Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang

Bell’s palsy adalah gangguan neurologis yang disebabkan oleh kerusakan


saraf fasialis yang menyebabkan kelemahan pada satu sisi wajah. Paralisis ini akan
menyebabkan asimetris wajah serta menggagu fungsi normal seperti makan dan
menutup mata. Bell’s palsy biasanya hanya menyerang sebagian sisi wajah. Kejadian
ini sangat jarang namun bisa terjadi serangan berulang. Bell’s palsy juga
didefinisikan sebagai parese nervus fasialis tipe perifer idiopatik, yang meliputi wajah
bagian atas dan bawah dengan atau tanpa hilangnya rasa pada lidah ipsilateral.
Umumnya gejala penyakit ini ringan dengan pemulihan sempurna dalam 2-3 minggu.

Insidensi Bell’s palsy ditemukan 20-30 kasus per 100.000 penduduk/tahun,


presentase kejadian pada laki-laki dan perempuan sama, biasa menyerang pada usia
pertengahan sekitar 40 tahun, namun dapat terjadi pada semua usia. Insiden
meningkat dengan riwayat terpapar angin, kebiasaan tidak memakai helm ketika
berkendara, dan terpapar AC di tempat kerja.

Selain kelumpuhan seluruh otot wajah satu sisi, didapatkan gangguan lain
yang mengiringi. Pertama, air mata yang keluar secara berlebihan di sisi yang lumpuh
dan pengecapan 2/3 lidah pada sisi yang lumpuh kurang tajam. Gejala tersebut timbul
karena konjungtiva bulbi tidak dapat penuh ditutupi kelopak mata yang lumpuh
sehingga mudah iritasi angin, debu, dan sebagainya.

Manifestasi klinis terkadang dianggap sebagai suatu serangan stroke atau


gambaran tumor yang menyebabkan separuh tubuh lumpuh atau tampilan distorsi
wajah yang bersifat permanen. oleh karena itu, fisioterapi berperan banyak dalam
rehabilitasi pasien Bell’s palsy dengan melakukan pemeriksaaan dan penatalaksanaan
fisiotereapi dengan menggunakan modalitas infra red untuk rileksasi otot dan
2

electrical stimulation untuk memfasilitasi kontraksi otot, massage untuk rileksasi dan
memperlancar peredaran darah.

1.2. Tujuan
Tujuan penyusunan laporan kasus ini adalah untuk menambah wawasan
penulis dan pembaca mengenai kasus Bell’s palsy dan memenuhi persyaratan yang
diperlukan sebelum mengikuti ujian komprehensif di bagian Ilmu Rehabilitasi Medik
RSUD Prof. Dr. W.Z. Johannes Kupang.

1.3. Isi
Laporan kasus ini berisi materi mengenai Bell’s palsy yang terdiri atas
anatomi, fisiologi, definisi, epidemiologi, etiologi, patofisiologi, gambaran klinis,
pemeriksaan, tereapi, fisioterapi, komplikasi, dan prognosis dari Bell’s palsy.
BAB II

LAPORAN KASUS

2.1 Identifikasi
Nama : Tn. JS
Jenis kelamin : Laki-laki
Umur : 54 tahun
Agama : Islam
Pekerjaan : Pensiunan
Alamat : Liliba
Tanggal pemeriksaan : 26 April 2019
2.2 Anamnesis
1. Keluhan Utama
Mulut mencong ke sebelah kanan.
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Mulut mencong ke sisi kanan sejak 12 hari yang lalu (17 April 2019)
3. Riwayat Peyakit Dahulu :-
4. Riwayat Penyakit Keluarga :-
2.3 Pemeriksaan Fisik
1. Status Generalis
Keadaan Umum : Compos mentis (E4M6V5)
Tekanan Darah : 120/80mmHg
Nadi : 78x/menit
Respirasi : 18x/menit
Suhu : 37,2
Berat badan : 82kg
2.4 Resume
Pasien laki-laki usia 54 tahun datang ke poli rehabilitasi medik RSUD Prof.
Dr. W. Z. Johannes Kupang dengan keluhan mulut mencong ke sisi kanan
sejak 12 hari yang lalu (17 April 2019), pasien mengatakan ada riwayat
terpapar angina sebelumnya. Dari pemeriksaan yang dilakukan dengan skala
Ugo Fisch didapatkan nilai 30 (sedang).
2.5 Diagnosis Kerja : Bell’s Palsy Dextra
2.6 Daftar Masalah
 Masalah medis : Bell’s Palsy Dextra
 Impairment : Kelemahan otot wajah bagian kanan
4

 Disabilitas : Penurunan rasa percaya diri saat berinteraksi dengan


masyarakat karena adanya gangguan ekspresi wajah.
 Handicap :-
 Problem rehabilitasi medik
a. Fisioterapi
Problem : Mulut pasien mencong ke sisi kanan
Rencana : Terapi Infra-Red dan massage
b. Terapi okupasi
Problem : Perlu diajarkan terapi okupasi untuk membantu
pasien mengatasi masalah yang timbul akibat
kelumpuhan otot wajah
Rencana : Latihan berkumur, minum dengan sedotan, latihan
meniup lilin, latihan menutup mata dan mengerutkan
dahi di depan cermin
2.7 Diagnosis Banding
 Ramsay-Hunt syndrome
 Miastenia Gravis
 Stroke
2.8 Planning
 Planning Terapi
a. Farmakoterapi : Steroid dan acyclovir
b. Non-Farmakoterapi : KIE, Infra-Red, Massage, Exercise
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Anatomi & Fisiologi

Gambar 3.1 Inervasi Nervus fasialis pada daerah wajah

Nervus fasialis terdiri atas 3 komponen, yaitu komponen motoris, sensoris dan
parasimpatis. Komponen motoris mempersarafi otot wajah, kecuali muskulus levator
palpebra superior. Selain otot wajah nervus fasialis juga mempersarafi muskulus
stapedius dan venter posterior muskulus digastrikus. Komponen sensoris
mempersarafi dua pertiga lida anterior untuk mengecap, melalui nervus corda
timpani. Komponen parasimpatis memberikan persarafan pada glandula lakrimalis,
glandula submandibularis dan glandula lingualis.
6

Otot-otot wajah dengan saraf fasialis yang mempersarafinya:

Tabel 3.1 Fungsi otot-otot wajah

Cabang nervus facialis Otot Fungsi

Auricula Posterior 1. Auricula posterior 1. Menarik telinga ke


2. Oksipitofrontalis belakang
2. Menarik kulit kepala
ke belakang
Temporal 1. Auricula anterior 1. Menarik telinga ke
2. Auricula superior depan
3. Oksipitofrontalis 2. Mengangkat pinna
4. Korugator 3. Menarik kulit kepala
superfisilia ke depan
5. Procerus 4. Menarik alis ke
medial dan bawah
5. Menarik alis bagian
tengah ke bawah
Temporal dan Orbicularis okuli Menutup mata dan kontraksi
Zigomatik kulit sekitar mata
Zigomatik dan Buccal Zigomatikus mayor Mengangkat sudut mulut
7

Buccal 1. Zigomatikus minor 1. Mengangkat bibir


2. Levator labii atas
superior 2. Mengangkat bibir
3. Levator labii su ala atas dan lipatan
nasi nasolabial bagian
4. Risorius tengah
5. Businator 3. Mengangkat lipatan
6. Levator onguli oris nasolabial bagian
7. Orbikularis oris medial dan ala nasi
8. Nasalis dilator nares 4. Menarik ke lateral
9. Nasalis compressor saat tersenyum
nares 5. Menarik tepi mulut
ke belakang dan
mengembungkan
pipi
6. Menarik tepi mulut
ke atas dan garis
tengah
7. Menutup dan
mengembungkan
bibir
8. Mengembangkan
lubang hidung
9. Mengecilkan lubang
hidung
Buccal dan Mandibula Depressor angulus oris Menarik tepi mulut ke
bawah
Mandibular 1. Depressor labii 1. Menarik bibir bawah
inferior ke bawah
2. Mentalis 2. Menarik dagu ke atas

Servikal Platisma Menarik tepi mulut


ke bawah

3.2 Definisi
Bells palsy adalah Merupakan kelemahan wajah dengan tipe lower motor neuron
yang disebabkan oleh keterlibatan saraf fasialis idiopatik di luar sistem saraf pusat,
tanpa ada penyakit neurologik lainnya.
8

3.3 Epidemiologi
 Ditemukan 20-30 kasus per100.000 penduduk/tahun
 Presentase laki-laki dan perempuan sama.
 wanita muda yang berumur 10-19 tahun lebih rentan terkena daripada laki-
laki pada kelompok umur yang sama
 Insiden terendah pada anak usia < 10 tahun, meningkat dari usia 10 sd 29
th dan stabil pada usia sekitar 30 sd 69 tahun
 Penyakit ini dapat terjadi pada semua umur, dan setiap saat tidak
didapatkan perbedaan insidensi antara iklim panas maupun dingin.
Meskipun begitu pada beberapa penderita didapatkan riwayat terkena udara
dingin, baik kendaraan dengan jendela terbuka, tidur di lantai, atau
bergadang sebelum menderita BP.
3.4 Etiologi dan Patofisiologi
Terdapat lima teori yang kemungkinan menyebabkan terjadinya Bell’s palsy,
yaitu iskemik vaskular, virus, bakteri, herediter, dan imunologi. Teori virus lebih
banyak dibahas sebagai etiologi penyakit ini. Tipe kelumpuhan bells palsy adalah
tipe kelumpuhan lower motor neuron, patosiologinya masih diperdebatkan namun
teori yang sering digunakan adalah teori edema dan iskemik akibat peradangan
yang mengakibatkan kompresi pada analis fasialis yang merupakan kanal
tersempit sepanjang perjalanan nervus fasialis ( nervus vii ). Infeksi yang terletak
pada saraf wajah, ganglion genikulata atau infeksi pada daerah proksimal dapat
menyebabkan kelumpuhan nervus vii perifer. Virus herpes memiliki kemampuan
unik untuk menyebabkan infeksi laten. Virus herpes simpleks tipe 1 (HSV-1) dan
virus varicela-zoster memiliki sifat neurotropisme, penyebab infeksi laten tipe
perifer dan mukokutaneus. HSV-1 memyebabkan diemelinesasiserat saraf oleh
mekanisme yang dimediasi oleh sistem imun. Selain itu, virus varicela zoster,
virus coxackie, virus influenza, citomegalovirus, virus gondok, virus campak,
HIV dapat menyebabkan disfungsi nervus facialis.
9

3.5 Gejala Klinis


Pasien bell’s palsy biasanya mengeluhkan kelumpuhan pada separuh wajah,
seperti halnya pada sebagian mulut sebelah sisi, alis mata dan kelopak mata
sebelah sisi, rasa tebal atau kaku pada separuh wajah tanpa defisit sensoris yang
obyektif, beberapa mengeluhkan nyeri yang ringan-moderat pada sudut rahang,
produksi air mata yang menurun, hiperakusis dan gangguan pengecapan.

Berdasarkan letak tingkat lesinya pada gambar 3.1 maka akan menunjukan defisit
yang khas pada tabel 3.2.
Tabel 3.2 letak lesi dan defisit yang disebabkan
Letak Lesi Kelemahan Gangguan Hipo- Hiper- Hipo- Tuli
seluruh otot wajah pengecap- sekresiakusis sekresi
ipsi-lateral an saliva lakrimalis
Meatus + + + + + +
akustikus internus
Ganglion + + + + + -
genikulatum
Lesi kanalis +, + + + - -
fasialis, nervus hiperlakrimalis
stapedius
Lesi kanalis +, + + - - -
fasialis, korda hiperlakrimalis
timpanik
Lesi foramen +, - - - - -
stilomastoideum hiperlakrimalis
10

Gambar 3.2 komponen nervus fasialis


(Diagnosis Topik Neurologis DUUS, ed 5)

3.6 Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan dengan melakukan pemeriksaan fisik serta jika perlu
dilakukan pemeriksaan penunjang.
11

1. Pemeriksaan Fisik
Paralisis fasialis mudah didiagnosis dengan pemeriksaan fisik yang lengkap
untuk menyingkirkan kelainan sepanjang perjalanan saraf dan kemungkinan
penyebab lain. Adapun pemeriksaan yang dilakukan adalah pemeriksaan gerakan
dan ekspresi wajah. Pemeriksaan ini akan menemukan kelemahan pada seluruh
wajah sisi yang terkena. Kemudian, pasien diminta menutup mata dan mata
pasien pada sisi yang terkena memutar ke atas.
Bagian atas dan bawah dari otot wajah seluruhnya lumpuh. Dahi tidak dapat
dikerutkan. Fisura palpebral tidak ditutup dan pada usaha untuk memejam mata
terlihatlah bola mata yang berbalik ke atas. Sudut mulut tidak bisa diangkat. Bibir
tidak bisa dicucurkan dan platisma tidak bisa digerakkan.
Gerakan volunter yang diperiksa, dianjurkan minimal
1. Mengerutkan dahi
2. Memejamkan mata
3. Mengembangkan cuping hidung
4. Tersenyum
5. Bersiul
6. Mengencangkan kedua bibir
A.Inspeksi5
Tabel 3.3 Fungsi otot-otot wajah

BAGIAN MUKA MUSCULUS FUNGSI

Dahi Occipitofriontalis Mengangkat alis,


mengerutkan dahi.

Mata Orbicularis Oculi Menutup mata atau


memejam.

Hidung Procerus Angkat tepi lateral


cuping hidung,
12

terbentuk kerutan
diagonal sepanjang

pangkal hidung.

Hidung Nasalis Melebarkan/


mengembangkan cuping

hidung diikuti dengan


kompresi.

Pipi Zygomaticus Mayor Gerakan tersenyum.

Pipi Buccinator Gerakan meniup dengan


kedua bibir

dirapatkan

Bibir Orbicularis Oris Dekatkan dan tekan


kedua bibir atas.

Bibir Depressor Anguli Menarik ujung mulut ke


bawah dengan
Oris
kuat, tampak pula
kontraksi Musculus

Platysma terutama di
daerah leher

Dagu Mentalis Gerakan tarik ke atas


ujung dagu dan tekan.

Leher Platysma Menarik ujung mulut ke


bawah dengan

kuat.

2. Pemeriksaan penunjang
Bell’s palsy merupakan diagnosis klinis sehingga pemeriksaan penunjang perlu
dilakukan untuk menyingkirkan etiologi sekunder dari paralisis saraf kranialis.
13

Pemeriksaan radiologis dengan CT-scan atau radiografi polos dapat dilakukan


untuk menyingkirkan fraktur, metastasis tulang, dan keterlibatan sistem saraf
pusat (SSP). Pemeriksaan MRI dilakukan pada pasien yang dicurigai neoplasma
di tulang temporal, otak, glandula parotis, atau untuk mengevaluasi sklerosis
multipel. Selain itu, MRI dapat memvisualisasi perjalanan dan penyengatan
kontras saraf fasialis.
3.7 Penatalaksanaan
Peran dokter umum sebagai lini terdepan pelayanan primer berupa identifikasi
dini dan merujuk ke spesialis saraf (jika tersedia) apabila terdapat kelainan lain
pada pemeriksaan neurologis yang mengarah pada penyakit yang menjadi
diagnosis banding Bell’s palsy. Jika tidak tersedia, dokter umum dapat
menentukan terapi selanjutnya setelah menyingkirkan diagnosis banding lain.
Terapi yang diberikan dokter umum dapat berupa kombinasi non-farmakologis
dan farmakologis seperti dijelaskan di bawah ini.
3.7.1 Terapi Farmakologis
Inflamasi dan edema saraf fasialis merupakan penyebab paling mungkin
dalam patogenesis Bell’s palsy. Penggunaan steroid dapat mengurangi
kemungkinan paralisis permanen dari pembengkakan pada saraf di kanalis fasialis
yang sempit. Steroid, terutama prednisolon yang dimulai dalam 72 jam dari onset,
harus dipertimbangkan untuk optimalisasi hasil pengobatan. Dosis pemberian
prednison (maksimal 40- 60 mg/hari) dan prednisolon (maksimal 70 mg) adalah 1
mg per kg per hari peroral selama enam hari diikuti empat hari tappering off.
Efek toksik dan hal yang perlu diperhatikan pada penggunaan steroid jangka
panjang (lebih dari 2 minggu) berupa retensi cairan, hipertensi, diabetes, ulkus
peptikum, osteoporosis, supresi kekebalan tubuh (rentan terhadap infeksi), dan
Cushing syndrome. Ditemukannya genom virus di sekitar saraf ketujuh
menyebabkan preparat antivirus digunakan dalam penanganan Bell’s palsy.
Namun, beberapa percobaan kecil menunjukkan bahwa penggunaan asiklovir
tunggal tidak lebih efektif dibandingkan kortikosteroid.
14

Terapi dengan valasiklovir dan prednison memiliki hasil yang lebih baik,
kombinasi antivirus dan kortikosteroid berhubungan dengan penurunan risiko
batas signifikan yang lebih besar dibandingkan kortikosteroid saja. Data-data ini
mendukung kombinasi terapi antiviral dan steroid pada 48-72 jam pertama setelah
onset.

Dosis pemberian asiklovir untuk usia >2 tahun adalah 80 mg per kg per hari
melalui oral dibagi dalam empat kali pemberian selama 10 hari. Sementara untuk
dewasa diberikan dengan dosis oral 2 000-4 000 mg per hari yang dibagi dalam
lima kali pemberian selama 7-10 hari. Sedangkan dosis pemberian valasiklovir
(kadar dalam darah 3-5 kali lebih tinggi) untuk dewasa adalah 1.000-3.000nmg
per hari secara oral dibagi 2-3 kali selama lima hari. Efek samping jarang
ditemukan pada penggunaan preparatn antivirus, namun kadang dapat ditemukan
keluhan berupa adalah mual, diare, dan sakit kepala.

3.7.2 Terapi Non Farmakologi


1. Fisioterapi
a. Infra-Red
Infra merah dapat diterapkan untuk menghangatkan otot dan meningkatkan
fungsi, tetapi harus dipastikan bahwa mata dilindungi dengan penutup
mata. Waktu penerapan selama 10 sampai 20 menit pada jarak biasanya antara
50 dan 75 cm.

b. Laser
Metode perawatan laser adalah metode pengobatan tambahan tanpa rasa sakit,
tanpa efek samping untuk pasien dengan kelumpuhan wajah, terutama mereka
yang diabetes dan hipertensi, serta bagi pasien dengan kontraindikasi
kortikosteroid. Terapi laser pada bell’s palsy dapat menggunakan Low Level
Laser Therapy (LLLT) dan High Level Laser Therapy (HLLT). Laser
15

diaplikasikan dengan kontak dan tegak lurus terhadap superfisial akar saraf
wajah dari sisi yang terkena sesuai gambar 3.2.
Aplikasi laser meningkatkan regenerasi neuron melalui efek lokal dan
sistemik. LLLT menstimulasi fotoreseptor yang ada pada mitokondriadan
selaput sel untuk mengubah energi cahaya menjadi bahan kimia energi dalam
bentuk ATP di dalam sel, yang meningkatkan fungsi seluler dan tingkat
proliferasi sel. LLLT melebarkan pembuluh arteri dan kapiler, sehingga
meningkat mikrosirkulasi, pengaktifan angiogenesis, dan stimulasi regenerasi
saraf dan proses imunologis.
HLLT meningkatkan aliran darah, permeabilitas pembuluh darah, dan
metabolisme sel. HILT menyebabkan penyerapan cahaya kecil dan lambat
oleh melanin dan kromofor Hbo2 [14]. Penyerapan ini meningkatkan reaksi
oksidatif mitokondria sebagai serta ATP, RNA, atau produksi DNA (efek
fotokimia), menghasilkan fenomena stimulasi jaringan (efek fotobiologi).
Beberapa studi pendahuluan telah menunjukkan bahwa HILT tampaknya
lebih efektif daripada LLLT karena intensitasnya yang lebih tinggi dan
kedalaman yang dicapai oleh laser.
Selain itu, itu disebutkan bahwa efektivitas laser tergantung pada faktor
seperti panjang gelombang, lokasi, durasi, dan dosis pengobatan serta
kedalaman jaringan target. Studi tentang dosis profil respons terapi laser
menunjukkan bahwa panjang gelombang berbeda memiliki kemampuan
penetrasi khusus melalui manusia kulit.
16

Gambar 3.3 Lokasi titik pengaplikasian laser pada bell’s palsy


(Bernal G,1993)
c. Electrical stimulation
Terapi electrical stimulation bekerja dengan menghasilkan kontraksi pada
otot melalui elektroda yang ditempelkan pada kulit. Electrical stimulation
pada pasien Bell’s Palsy ditempatkan pada titik motor pointdi wajah manusia :
(1) otot oksipital frontalis, (2) otot orbicularis oculi, (3) otot zygomaticus, (4)
otot corrugator, (5) facial nerve, (6) otot nasalis, (7) otot bucinator dan otot
resorius, (8) otot depressor labil inferior, (9) otot depressor anguli oris, (10)
otot mentalis, (11) otot platysma. Peletakan titik motor point pada wajah
membuat otot mengalami nervasi dengan sempurna sehingga dapat sembuh.
d. Latihan otot-otot wajah
Pada kondisi bells palsy, latihan yang dilakukan adalah mirror exercise
(didepan cermin) yang akan memberikan biofeedback (mekanisme kontrol
susatu sistem biologis untuk meningkatkan kekuatan otot). Posisi pasien berada
didepan cermin dan terapis berada di samping pasien. Pertama-tama terapis
memberikan contoh gerakan-gerakan yang harus dilakukan oleh pasien
kemudian pasien diminta untuk menirukan gerakan-gerakan tersebut, terapis
memperhatikan dan mengoreksi apabila ada gerakan yang keliru.
17

Gerakan yang diberikan seperti: mengangkat alis, mengerutkan dahi,


mendekatkan kedua alis ke medial, tersenyum, bersiul, dan turunkan mulut ke
bawah. Terapi dilakukan 8 kali pengulangan setiap gerakannya. Indikasi rasa
tebal wajah, kelemahan dan penurunan kekuatan otot wajah, gangguan fungsi
motorik wajah, gangguan ekspresi, gangguan fungsional wajah. Kontraindikasi
tidak dianjurkan pasien dengan tekanan darah tinggi, bila pasien merasakan
fatique yang sangat berat hentikan latihan.
e. Massage wajah
Manipulasi sistemik dan ilmiah dari jaringan tubuh dengan maksud untuk
perbaikan/pemulihan. Pada fase akut, bell’s palsy diberi gentle massage secara
perlahan dan berirama. Gentle massage memberikan efek mengurangi edema,
memberikan relaksasi otot dan mempertahankan tonus otot. Setelah lewat fase
akut dapat diberikan kneading massage yang dapat melancarkan pembuluh
darah vena dan limfe, melancarkan pembuangan sisa-sisa metabolic, asam
laktat, mengurangi edema meningkatkan penyerapat nutrisi pada serabut otot
dan meningkatkan gerakan intramuskuler sehingga melepaskan perlengketan.
Massage daerah wajah yaitu dagu, mulut, hidung dan dahi. Semua gerakan
diarahkan ke atas, lamanya 5-10 menit.
2. Okupasi Terapi
Pada dasarnya terapi disini memberikan latihan pada otot wajah. Latihan
diberikan dalam bentuk aktivitas sehari-hari atau dalam bentuk permainan. Perlu
diingan bahwa latihan secara bertahap dan melihat kondisi penderita, jangan
sampai melelahkan penderita. Latihan dapat berupa latihan berkumur, latihan
minum dengan menggunakan sedotan, latihan meniup lilin, latihan menutup mata
dan mengerutkan dahi didepan cermin.
3. Program Sosial Medik
Penderita bell’s palsy sering merasa malu dan menarik diri dari pergaulan
sosial. Problem social biasanya berhubungan dengan tempat kerja dan biaya.
Petugas social medic dapat membantu mengatasi dan menghubungi tempat kerja,
18

mungkin untuk sementara waktu bekerja pada bagian yang tidak banyak
berhubungan dengan umum. Untuk masalah biaya, dibantu dengan mencarikan
fasilitas kesehatan di tempat kerja. Selain itu memberikan penyuluhan bahwa
kerjasama penderita dengan petugas yang merawat sanagat penting untuk
kesembuhan penderita.
4. Program Psikologik
Untuk kasus-kasus tertentu dimana ada gangguan psikis amat menonjol, rasa
cemas sering menyertai penderita terutama pada penderita muda wanita atau
penderita yang mempunyai profesi yang mengharuskan ia sering tampil didepan
umum, maka bantuan psikolog sangat dibutuhkan.
5. Program Ortostetik-Prostetik
a. Tapping
Penggunaan tapping merupakan salah satu rehabilitasi pada
musculoskeletal dan gangguan nervus yang memberikan efek positif
mengurangi nyeri dan memperbaiki fungsi otot yang lemah. Tapping pada
bell’s palsy menggunakan konsep koreksi ruang dengan memperbaiki
fungsi otot wajah.

Gambar 3.4 tapping pada bell’s palsy


19

b. Y” Plester
Pemasangan “Y” plester dengan tujuan agar sudut mulut yang sakit
tidak jatuh. Dianjurkanagar plester diganti tiap 8 jam. Perlu diperhatikan
reaksi intoleransi kulit yang sering terjadi. Pemasangan “Y” plester
dilakukan jika dalam waktu 3 bulan belum ada perubahan Zygomaticus
selama parase dan mencegah terjadinya kontraktur.

6. Home Exercise
a. Kompresi hangat daerah sisi wajah yang sakit selama 20 menit.
b. Massage wajah yang sakit kearah atas dengan menggunakan tangan dari
sisi wajah yang sehat.
c. Latihan tiup lilin, berkumur, makan dengan mengunyah disisi yang sakit,
minum dengan sedotan, mengunyah permen karet
d. Perawatan mata:
1) Beri obat tetes mata (golongan artifisial tears) 3x sehari
2) Memakai kaca mata gelap sewaktu berpergian siang hari
3) Biasakan menutup kelopak mata secara pasif sebelum tidur
3.8 Komplikasi

Sekitar 5% pasien setelah menderita Bell’s palsy mengalami sekuele berat


yang tidak dapat diterima. Beberapa komplikasi yang sering terjadi akibat Bell’s
palsy, adalah

1) regenerasi motor inkomplit yaitu regenerasi suboptimal yang


menyebabkan paresis seluruh atau beberapa muskulus fasialis.
2) regenerasi sensorik inkomplit yang menyebabkan disgeusia (gangguan
pengecapan), ageusia (hilang pengecapan), dan disestesia (gangguan
sensasi atau sensasi yang tidak sama dengan stimuli normal), dan
3) reinervasi yang salah dari saraf fasial. Reinervasi yang salah arah pada
otot-otot yang terkena setelah episode kelumpuhan nervus fasialis
idiopatik kadang-kadang menimbulkan kontraktur wajah atau gerakan
abnormal tambahan (sinkinesia) pada otot ekspresi wajah. Sindrom air
20

mata buaya (crocodile tears syndrome) yaitu adanya lakrimasi


involunter yang terjadi pada saat penderita makan. Nervus fasilais
menginervasi glandula lakrimalis dan glandula salivatorius
submandibularis. Diperkirakan terjadi regenerasi saraf salivatorius
yang dalam perkembangannya terjadi ‘salah jurusan’ menuju ke
glandula lakrimalis.
4) Hemifasial spasme
Timbul kedutan pada otot wajah (otot bergerak secara spontan dan
tidak terkendali) dan juga spasme otot wajah biasanya ringan.
Kelelahan dan kelainan psikis dapat memperberat kelainan spasme.
Komplikasi ini terjadi bila penyembuhan tidak sempurna, yang timbul
dalam beberapa bulan atau 1-2 tahun kemudian.

3.9 Prognosis

Perjalanan alamiah Bell’s palsy bervariasi dari perbaikan komplit dini sampai
cedera saraf substansial dengan sekuele permanen. Sekitar 80-90% pasien dengan
Bell’s palsy sembuh total dalam 6 bulan, bahkan pada 50-60% kasus membaik
dalam 3 minggu. Sekitar 10% mengalami asimetri muskulus fasialis persisten,
dan 5% mengalami sekuele yang berat, serta 8% kasus dapat rekuren. Faktor yang
dapat mengarah ke prognosis buruk adalah palsi komplit (risiko sekuele berat),
riwayat rekurensi, diabetes, adanya nyeri hebat post-aurikular, gangguan
pengecapan, refleks stapedius, wanita hamil dengan Bell’s palsy, bukti denervasi
mulai setelah 10 hari (penyembuhan lambat), dan kasus dengan penyengatan
kontras yang jelas. Faktor yang dapat mendukung ke prognosis baik adalah
paralisis parsial inkomplit pada fase akut (penyembuhan total), pemberian
kortikosteroid dini, penyembuhan awal atau perbaikan fungsi pengecapan dalam
minggu pertama.
BAB IV

KESIMPULAN

Telah dilaporkan seorang pasien laki-laki berusia 54 tahun dating ke poli


rehabilitasi medic RSUD Prof. Dr. W.Z. Johannes berdasarkan anamnesa dan
pemeriksaan fisik, pasien terdiagnosis Bell’s Palsy dekstra. Pasien mendapat terapi
rehabilitasi medic berupa KIE, infra-red, massage, dan latihan otot wajah.
22

DAFTAR PUSTAKA

1. Baehr M, Frotscher M. Diagnosis Topik Neurologi DUUS. Edisi 4. Jakarta:


EGC. 2012: 16-69
2. Bernal G (1993) Helium neon and diode laser therapy is an effective
adjunctive therapy for facial paralysis. Laser Ther 5:79–87
3. Alayat, Mohamed & El-Sodany, Ahmed & El-Fiky, Amir. (2013). Efficacy of
high and low level laser therapy in the treatment of Bell's palsy: A
randomized double blind placebo-controlled trial. Lasers in medical science.
29. 10.1007/s10103-013-1352-z.
4. Ordahan, Banu & Karahan, Ali. (2017). Role of Low Level Laser Therapy
Added to Facial Expression Exercises in Patients with Idiopathic Facial
(Bell’s) Palsy. Lasers in Medical Science. 32. 10.1007/s10103-017-2195-9.
5. YUDAWIJAYA, Agus. Bell’s palsy: Anatomi hingga Tatalaksana. Majalah
Kedokteran, [S.l.], v. 32, n. 1, p. 49-57, apr. 2018. ISSN 0216-4752.
Available at: <http://ejournal.uki.ac.id/index.php/mk/article/view/683>. Date
accessed: 03 may 2019.

Anda mungkin juga menyukai