Anda di halaman 1dari 12

LEMBAR TUGAS MANDIRI

PBL-2

Judul : Patofisiologi Edema dan Proteinuria


Nama : Ade Gautama
NPM : 1806188722
Kelas : KD-15
Patofisiologi Edema dan Proteinuria
A. Pembukaan
Pada pemicu diketahui bahwa pasien adalah seorang anak yang berumur 5 tahun.
Pasien ini mengalami edema di seluruh bagian tubuhnya, dimana sejak 5 hari yang lalu
terdapat bengkak di area kelopak mata, tungkai bawah, dan di daerah abdomen yang
menetap. Bengkak berupa perbedaran di daerah abdomen ini juga dikenal dengan nama
asites. 2 minggu sebelumnya, pasien juga diketahui mengalami bengkak di kelopak matanya
pada pagi hari dan bengkaknya menghilang di siang hari. Selain bengkak, ditemukan juga
adanya urin pasien yang berkurang dan berwarna keruh.(1)
Selain gejala yang disebutkan di pemicu, terdapat hasil pemeriksaan penunjang
lainnya. Dimulai dari pemeriksaan fisik dan tanda vital yaitu nadi 72 bpm, tekanan darah
100/70 mmHg, frekuensi nafas 32x/menit, suhu 36,9 derajat celcius, berat badan 21 kg,
panjang badan 105 cm, palpebra edema, sklera tidak ikterik, JVP 5-2 cm H20, THT normal,
jantung normal, paru normal, tetapi asites positif, pitting edema di ekstremitas positif, serta
edema skrotum. Kemudian terdapat hasil pemeriksaan laboratorium dimana kadar Hb: 13,5
g/dL, hematocrit 41%, trombosit 350.000/uL, leukosit 7000/uL, albumin 1,8 gr/ dl, globulin
3 gr/dl, ureum 30 mg/dl, kreatinin 0,6 gr/dl, dan kolesterol 280 mg/dl, serta LED sebesar 40
mm. Setelah itu juga ada hasil pemeriksaan urin/ urinalisis, dimana didapatkan berat jenis
urin sebesar 1.030, pH 7, protein dengan interpretasi +4, glukosa negatif, leukosit esterase
juga tidak ada, sedimen juga ditemukan 2-3 eritrosit/ lapang pandang besar, 0-2 leukosit/
LPB, silinder eritrosit negatif, dan silinder hyalin positif.(1)
Keadaan pasien ini membuat kelompok kami ingin mengidentifikasi masalah apa yang
ada pada pasien sehingga muncul edema, urin berkurang, dan urin keruh pada pasien.
Sementara untuk hipotesisnya, kelompok kami menyatakan bahwa edema di banyak bagian
tubuh, berkurangnya dan keruhnya urin pada pasien disebabkan oleh sindrom nefrotik.
Lembar tugas ini akan membahas mengenai patofisiologi dari edema dan proteinuria, gejala
yang tampak pada pasien. Selain patofisiologi edema, terdapat juga pembahasn mengenai
1
jenis-jenis edema. Proteinuria sendiri dipilih karena proteinuria adalah salah satu penyebab
kencing berwarna keruh ditambah lagi dengan adanya hasil pemeriksaan urin yang
menyatakan bahwa ditemukan protein pada urin pasien. Tujuan penulisan lembar ini adalah
untuk mengetahui bagaimana bisa muncul gejala terkait dengan penyakit yang dialami oleh
pasien.

B. Patofisiologi Proteinuria
Proteinuria memiliki pengertian yaitu sebuah keadaan dimana ditemukan protein
dalam jumlah yang bermakna di dalam urin seseorang. Proteinuria menjadi banyak penanda
dari disfungsi renal yang progresif dan menjadi salah satu faktor resiko untuk penyakit
kardiovaskuler. Protein yang paling sering ditemukan dalam urin apabila ada masalah
adalah albumin. Mikroalbuminuria (30-300mg/ hari) menandakan adanya peran ginjal
dalam obesitas, diabetes, dan sindrom metabolic. Mikroalbuminemia ini lebih sensitif untuk
menentukan tahap akhir penyakit kardiovaskular. Sementara Makroalbuminemia (>500
mg/hari) lebih berhubungan dengan tahap akhir penyakit ginjal.(2)
Proteinuria dapat terjadi apabila terdapat gangguan pada struktur mikroskopis
pembentuk saringan glomerulus. Saringan yang dikenal dengan nama glomerular filtration
barrier ini terbentuk dari 3 lapisan berbeda yaitu sel endothel glomerular, membran basalis
glomerulus, dan sel epitel viseral atau podosit. Sel endothel glomerular merupakan lapisan
yang terdiri dari banyak fenestrae atau lubang ovoid transeluler di sitoplasma sel endothel
glomerular. Lubang ini cukup besar, bahkan cukup untuk menjadi lubang keluar albumin.
Namun, GEC (Glomerular endothelial cell) memiliki lapisan yang bernama glycocalyx.
Lapisan ini bermuatan negatif, sehingga dapat mencegah bocornya albumin atau protein
lain yang bermuatan negatif. Glycocalyx ini terbentuk dari proteoglikan dan sialoprotein.
Kerusakan pada lapisan glycocalyx GEC dapat dihubungkan dengan kejadian
proteinuria.(2,3)
Selain GEC, terdapat GBM yaitu Gromerular Basal Membrane atau Membran Basal
Glomerulus. GBM adalah lapisan yang memisahkan antara lapisan endothel dengan lapisan
epitel kapsula bowman, dimana ia juga diketahui memiliki fungsi untuk filtrasi
makromolekul. GBM ini berupa lapisan aselular dan memiliki komponen berupa kolagen
tipe IV, laminin, nidogen, serta proteoglikan sulfat. Komponen GBM tersebut memiliki
isoform spesifik dari membran basal lainnya. Kebanyakan protein yang ada di GBM
diproduksi oleh podosit dan sedikit yang diproduksi oleh GEC. Kolagen tipe IV pada gBM
disusun sebagai jaringan bersilangan dari molekul berbentuk triple helix yang memberikan

2
dukungan struktural untuk dinding kapiler glomerulus dan membuat sifat selektif terhadap
ukuran dan muatan filter glomerulus. Maka dari itu, mutasi pada gen pengkode kolagen tipe
IV dapat memicu terjadinya sindrom Alport dimana manifestasinya dapat berupa hematuria
bersamaan dengan proteinuria sedang. Kemudian, terdapat proteoglycan yang terkandung
di dalam GBM memiliki inti protein yang berikatan kovalen dengan rantai samping
glikosaminoglikans atau GAG. Contoh proteoglikan pada GBM adalah perlecan dan agrin.
Keduanya memiliki heparan sulfat sebagai rantai samping GAGnya, dimana hal ini
menyediakan selektivitas terhadap muatan negatif yang melalui membran menuju urine.(2,4)
Lapisan terakhir yaitu lapisan epitel capsula bowman yang terdiri dari sel epitel viseral
bowman atau dikenal dengan nama podosit. Podosit ini merupakan sel terbesar di
glomerulus yang memiliki prosesus sitoplasma yang panjang. Prosesus ini kemudian secara
individual terbagi menjadi kaki-kaki atau disebut pedikel. Pedikel inilah yang kemudian
menempel pada GBM. Di sitoplasma podosit terdapat banyak mikrotubul dan mikrofilamen
serta filamen aktin. Pada kondisi normal, jarak antarprosesus berkisar antara 25 nm – 60
nm, jarak ini juga dihubungkan oleh membran tipis atau yang dikenal sebagai slit
diaphragm. Celah ini memiliki beberapa protein unik seperti nephrin dan podocin.
Abnormalitas dan kehilangan protein nephrin serta podocin dapat mengakibatkan
kebocoran protein ke urine.(2,4)
Gangguan di lapisan ini dapat dilihat dari cederanya podosit atau tidak, dimana cedera
podosit menandakan banyaknya sebab molekuler penyebab proteinuria. Pertama, pada
percobaan dengan hewan tikus, rantai α3, yang penting untuk pembentukan susunan kapiler
gromerulus, apabila diinaktivasi, dapat menunjukkan proteinuria yang masif. Namun,
mekanisme penyebab hal ini masih belum diketahui dengan jelas. Selain itu, gangguan
terhadap kompleks integrin-laminin dapat menyebabkan pelemahan pada interaksi podosit-
GBM, dimana hal ini berhubungan dengan proteinuria. Kemudian terdapat podokaliksin,
atau glikokaliks yang membungkus podosit. Podokaliksin ini mengatur adhesi dan
morfologi dari podosit. Pada penyakit nefron yang diteliti, bisa terjadi netralisasi muatan
negatif podokaliksin. Hal ini membuat struktur pedikel menjadi terganggu dan membuat
celah diafragma hilang atau digantikan oleh celah lebar yang tidak terhubung. Kelainan
struktur celah diafragma ini paling sering ditemukan di gangguan nefrotik.(2)
Selain itu, terdapat model penelitian lain yang menunjukkan bahwa gangguan pada
podosit penyebab proteinuria memiliki hubungan dengan abnormalitas aktin dan represi
dari molekul celah diafragma/ slit diaphragm. Abnormalitas aktin ini erat kaitannya dengan
foot process effacement seperti yang banyak dilihat pada minimal change disease. FPE

3
adalah pedikel atau kaki-kaki podosit yang mengalami pemendekan atau penipisan. Selain
itu, FPE juga bisa ditandai dengan fusi dari beberapa pedikel dan membuat lapisannya
selektif untuk kehilangan albumin. Fusi dari pedikel ini dapat menyebabkan peningkatan
tekanan di kapiler membran basal. Tekanan ini membuat beberapa area dengan lubang yang
lebih besar. Kombinasi dari tekanan yang meningkat dan pori-pori yang membesar
membuat kejadian proteinuria. Maka dari itu, FPE sangat dikaitkan erat dengan kejadian
proteinuria, tetapi masih belum bisa dijadikan satu-satunya penyebab proteinuria. Lalu,
kelainan podosit, sebagai penghasil banyak komponen protein GBM, dapat berimbas pada
perubahan GBM. Perubahan ini juga diketahui dapat menyebabkan proteinuria. Hal yang
sama juga berlaku pada sel endothel, tetapi untuk bagian ini masih perlu penelitian lebih
lanjut.(5,6)

Gambar B.1. Epitel glomerulus yang modifikasi menjadi podosit. Gambar B.2. Mikrografi pedikel yang
mengelilingi kapiler glomerulus. Gambar B.3. Hubungan sel mesagial dengan kapiler, ilustrasi pedikel yang
mengelilingi dinding kapiler. Gambar B.4. potongan membran filtrasi glomerular memperlihatkan fenestrae
endothelium, membran basal, dan pedikel.
Sumber: Silverthorn DU. Human physiology an integrated approach. 7th ed. Harlow: Pearson Education Ltd.; 2016. 961 p.

4
Gambar B.5. Komponen-komponen molekuler penyusun podosit dan slit diaphragm.
Sumber: Toblli JE, Bevione P, Gennaro F Di, Madalena L, Cao G, Angerosa M. Understanding the Mechanisms of Proteinuria :
Therapeutic Implications. Int J Nephrol. 2012;2012.

Penjabaran di atas menjelaskan mekanisme terjadinya proteinuria yang bisa terjadi


akibat gangguan barrier filtration membrane. Selain itu, terdapat mekanisme lain yaitu saat
adanya produksi berlebihan dari protein abnormal yang melebihi kapasitas tubulus untuk
reabsorbsi. Biasanya hal ini juga terjadi bersamaan dengan diskrasia sel plasma seperti
myeloma multiple, amyloidosis, dan limfoma. Diskrasia sel plasma jenis ini dikaitkan erat
dengan produksi monoklonal dan rantai ringan immunoglobulin.(6)
Eksresi protein yang melebihi 3,5 gram dalam sehari dikaitkan erat dengan kejadian
hypoalbuminemia, hyperlipidemia, dan edema. Kumpulan gejala ini dikenal dengan nama
sindrom nefrotik. Hipoalbuminemia di sindrom nefrotik ini dapat terjadi akibat proses
pembuangan urin yang berlebihan dan peningkatan katabolisme tubulus proksimal terhadap
albumin yang terfiltrasi. Akibat kejadian ini, kecepatan hepar dalam sintesis albumin
meningkat, tetapi belum cukup untuk menghindari hypoalbuminemia. Proteinuria juga
berhubungan erat dengan pembentukan edema pada tubuh.(6)
Kemudian, protein-protein yang terbuang akibat proteinuria juga dapat menyebabkan
banyak variasi kelainan metabolic. Contohnya adalah thyroxine-binding Globulin,
kekurangan protein ini akan menghambat transport tiroksin ke bagian tubuh sehingga

5
menghambat pertumbuhan, terutama pada anak-anak. Selain itu, gangguan transport zat-zat
lain dalam tubuh juga dapat disebabkan oleh keluarnya protein lainnya seperti
cholecarciferol-binding protein, transferrin, dan metal-binding protein. Selain kehilangan
protein pengikat untuk transport, tubuh juga bisa mengalami kekurangan faktor-faktor
koagulan seperti antithrombin III, kekurangan level protein C dan S di serum,
hiperfibrinogemia, dan agregasi keeping darah. Beberapa bahkan menderita kekurangan
IgG dan mengakibatkan kelemahan di sistem imunnya.(6,7)

Gambar B.6. Perjalanan efek proteinuria terhadap tubuh


Sumber: Pudjiastuti P. Glomerulopathy in children: clinical aspects [unpublished lecture notes]. Renal and body fluid module. Jakarta:
Universitas Indonesia; lecture given 2020 Feb 5.

C. Jenis Edema
Edema adalah manifestasi klinis yang paling penting dalam diagnosis sindrom nefrotik
dari berbagai macam etiologi. Edema berarti pembengkakan yang dapat dipalpasi akibat
akumulasi cairan di kompartemen interstitial. Edema ini bisa terjadi di beberapa bagian
tubuh atau di banyak bagian tubuh. Edema paling sering muncul di ekstremitas bagian
bawah. Jenis edema adalah sebagai berikut.(8,9)
a. Edema Periferal, edema di sistem vaskuler peripheral seperti yang ada pada ekstremitas.
b. Edema Pedal, edema yang ada di kaki
c. Edema Pulmoner, akumulasi cairan yang ada di rongga udara dan parenkim paru-paru.
Hal ini dapat menyebabkan kegagalan respirasi.
d. Edema Serebral, akumulasi cairan yang ada di otak, dimana edema ini biasa disebabkan
oleh stroke iskemik, kanker, ataupun inflamasi di otak.

6
e. Angioedema, edema yang terjadi di bagian bawah kulit dan biasanya terjadi di wajah.
f. Angioedema herediter, kondisi genetik langka yang memengaruhi sistem imun.
Pembengakakan ini biasa terjadi di wajah, genital, dan abdomen.
g. Papilledema, edema yang ada pada saraf optic mata, dimana hal ini menyebabkan
peningkatan tekanan intracranial di dalam tengkorak dan sekitar otak.
h. Edema Makular, edema yang terjadi akibat gangguan homeostasis sawar darah retina.
i. Edema dependen, bengkak yang dapat terjadi di tungkai bawah akibat pengaruh
gravitasi, jadi edema ini bergantung pada posisi.
j. Lymphedema Scrotum, bengkak karena adanya perbesaran testis akibat akumulasi
cairan di sekitar testis
k. Lipedema, gangguan jaringan lemak yang dapat menyebabkan pembengkakan tungkai
bawah dan pinggul.
l. Edema Idiopathic, akumulasi cairan di jaringan dengan penyebab yang tidak diketahui.
m. Pitting Edema, saat dilakukan penekanan pada edema, dapat terlihat
n. Non-pitting edema, edema yang tidak tampak efek penekanannya setelah diberi
tekanan.
Selain jenis jenis edema di atas juga terdapat istilah medis yang merujuk ke individu
yang mengalami edema di banyak bagian tubuh. Hal ini dikenal dengan nama anasarca.
Anasarca berbeda dengan edema bengkak biasa atau bengkak yang biasa, rata-rata edema
yang muncul adalah pitting edema dan terlokalisasi di beberapa bagian tubuh, contohnya
ada di abdomen, wajah, tungkai bawah, dan persendian. Anasarca ini bukan penyakit
melainkan sebuah gejala akibat kondisi lain seperti malnutrisi/ defisiensi protein,
pengunaan obat kemoterapi, dan penggunaan obat IV. Anasarca juga sangat sering ditemui
pada pasien yang mengalami gagal ginjal atau gagal jantung.(10)

D. Patofisiologi Edema pada Sindrom Nefrotik


Anak-anak dan neonatus memiliki perbandingan cairan total tubuh dan interstitial yang
lebih besar dibandingkan remaja dan orang dewasa. Hal ini menjadi salah satu faktor yang
dapat membuat edema sindrom nefrotik lebih banyak di anak-anak. Edema nefrotik berisi
transudat dengan kadar protein yang rendah. Biasanya, edema yang ada merupakan pitting
edema dan lebih tersebar di banyak bagian tubuh. Edema dapat muncul terutama di bagian
tubuh dengan tekanan hidrostatik yang tinggi seperti di area tungkai bawah. Selain itu,
edema juga dapat muncul di jaringan dengan resistensi rendah atau tekanan hydrostatic
yang rendah, contohnya di kelopak mata, rongga abdomen, dan scrotum.(9)

7
Mekanisme pembentukan edema pada sindrom nefrotik masih berupa hipotesis. Salah
satu hipotesisnya adalah penurunan tekanan onkotik yang dapat menyebabkan filtrasi
berlebihan dari cairan intravaskuler menuju ke interstitial. Hipotesisnya mengatakan hal
tersebut dapat membuat hypovolemia, hiperperfusi renal, dan aktivasi sistem hormonal
renin-angiotensin-aldosteron, dan retensi sekunder sodium ginjal. Hipotesis ini dikenal
dengan nama “underfill mechanism”. Sementara itu, terdapat hipotesis lain yang
menyebutkan bahwa glomerulonefritis dapat menyebabkan retensi primer sodium ginjal
lalu berlanjut menjadi edema. Hipotesis ini dikenal dengan nama “overfill mechanism”.(11)
Maka dari itu, pembahasan hipotesis terbentuknya edema di sindrom nefrotik ini dapat
mengacu pada hukum starling. Hukum starling ini menyatakan bahwa net filtration
dipengaruhi oleh permeabilitas membran, luas permukaan, dan koefisien protein yang
melewati dinding kapiler. Berikut adalah rumus hukum Starling.
𝐽𝑣 = 𝐾𝑓 ([𝑃𝑐 − 𝑃𝑖 ] − 𝜎[𝜋𝑐 − 𝜋𝑖 ])
Jv adalah net filtration atau jumlah cairan yang bergerak di antara kedua kompartemen.
Sementara Kf adalah permeabilitas dinding kapiler (dalam hal ini adalah kapiler glomerular)
terhadap aliran volume dikalikan dengan luas permukaan untuk pergerakan cairan.
Kemudian terdapat [𝑃𝑐 − 𝑃𝑖 ] yang merupakan selisih tekanan hidrostatik kapiler dengan
cairan interstitial. Selain itu, terdapat juga 𝜎 yang menyatakan koefisien protein; angkanya
bervariasi mulai dari 0 sampai 1 atau juga bisa menunjukkan permeabilitas kapiler terhadap
albumin dan protein besar lainnya. 𝜎 yang bernilai 1 menyatakan membran kapiler yang
impermeabel terhadap protein, sementara 𝜎 yang bernilai 0 menyatakan bahwa kapiler
permeabel terhadap protein. Lalu, terakhir ada [𝜋𝑐 − 𝜋𝑖 ] yang menyatakan selisih tekanan
onkotik kapiler dengan tekanan onkotik interstitial.(9,11)
Struktur dan fisiologi yang unik pada kapiler glomerulus membuat ginjal berbeda
dengan bagian tubuh lainnya dalam hal homeostasis cairan dan elektrolit jika ditinjau
dengan gaya Starling. Rata-rata tekanan filtrasi di kapiler glomerulus bernilai kecil antara
6-8 mmHg. Lalu, kapiler glomerulus yang impermeabel terhadap protein menyebabkan
tekanan onkotik filtrat menjadi 0 atau tidak dianggap, pada keadaan inilah nilai 𝜎 sama
dengan 1. Kemudian pada sindrom nefrotik, terjadi perubahan nilai dari komponen-
kompenen gaya Starling. Perubahan tersebut adalah penurunan 𝜋𝑐 , peningkatan
permeabilitas kapiler, peningkatan 𝑃𝑐 (tergantung etiologi penyebab sindrom nefrotik),
peningkatan 𝜋𝑖 , dan obstruksi saluran limfatik yang dapat memicu terjadinya edema.(9)
Seperti yang sudah ada di pembahasan sebelumnya, terdapat 2 hipotesis pembentukan
edema yaitu underfill hypothesis dan overfill hypothesis. Aspek mendasar dari underfill

8
theory adalah berkurangnya albumin di plasma menyebabkan tekanan onkotik plasma
intravaskular menurun. Hal ini membuat gradien konsentrasi intravascular ke interstitial
menurun sehingga banyak cairan akhirnya keluar dari ruangan intravaskular. Hal ini
kemudian menyebabkan aktivasi beberapa mekanisme seperti retensi Na+ dan cairan
sekunder, aktivasi sistem renin-angiotensin, hormon antidiuretic, serta sistem saraf
simpatik. Hipotesis overfill memiliki pernyataan yang bertolak belakang, hipotesis overfill
memiliki nama lain yaitu edema nefrotik. Contoh penyakitnya adalah post-streptococca;
glomerulonephritis dan kelainan inflamasi lainnya yang menyebabkan aktivasi mediator
yang dapat memicu retensi Na+ primer. Hal ini mengakibatka ekspansi volume
intravaskular, peningkatan tekanan hidrostatik kapiler dan edema.(6,9,11)

Gambar B.5. Perbandingan patofisiologi mekanisme “underfill” dan mekanisme “overfill”


Sumber: Ellis D. Pathophysiology, evaluation, and Management of edema in Childhood Nephrotic Syndrome. Front Pediatr. 2016;3:1–11.

Skema di atas menunjukkan bahwa mekanisme undefill dapat dimulai dari sindrom
nefrotik primer atau idiopatik. Salah satu gejala dari sindrom nefrotik adalah proteinuria,
sehingga terjadilah hypoalbuminemia pada penderita. Karena hypoalbuminemia ini,
terjadilah penurunan tekanan onkotik kapiler. Akhirnya, penurunan ini berimbas juga
terhadap penurunan volume sirkulasi darah, dikenal sebagai “underfill”. Lalu, hal ini
memicu terjadinya reabsorbsi sekunder dari Na+ renal dan air. Sementara itu, mekanisme
“overfill” dimulai dari adanya inflamasi intersitial atau glomerulonephritis. Kemudian
terjadi proteinuria dan pelepasan mediator. Kedua hal ini kemudian dapat memicu retensi
air dan Na+ serta hormon vasokontriktif yang dilepaskan ke pembuluh darah. Faktor-faktor
9
ini kemudian menyebabkan pengurangan di koefisien ultrafiltrasi glomerular. Akhirnya,
terjadi penurunan GFR dan pembatasan terhadap ekspresi Na+, keadaan ini disebut
“overfill” serta meningkatkan tekanan hidrostatik kapiler. Akhirnya hal ini membuat
akumulasi cairan di kompartemen intersititial.(9)
Kedua mekanisme ini masih memiliki kontroversi. Kontroversi pertama adalah
mengenai retensi Na+ primer dan sekunder. Beberapa penelitian mengungkapkan bahwa
kehilangan plasmin dan beberapa serine protease di regulasi up dari ENaC (Epithelilal
soidum Channel) menyebabkan retensi Na+ dan cairan. Selain itu, terdapat kontroversi lain
terkait status volume darah. Secara teoritis, edema terjadi disertai dengan pengurangan
volume di intravaskular. Tidak semua kasus edema nefrotik mengalami penurunan volume
intravaskular, tetapi masih ada yang memiliki volume darah efektif yang cukup untuk
bersirkulasi.(9)
Pada mekanisme edema ini terdapat alterasi pada aktivitas neurohormon. Pertama,
neurohormon tersebut adalah Renin, Angiotensin II, dan Aldosterone, atau lebih dikenal
dengan nama sistem RAA. Sistem ini berfungsi secara langsung untuk reabsorbsi Na+ di
tubulus kontortus proksimal dengan AT II dan retensi Na+ dengan aldosteron. Pada pasien
dengan MCD, diketahui aktivitas reninnya lebih tinggi dan memiliki level aldosterone yang
lebih tinggi juga. Selanjutnya adalah ADH non-osmotik/ pelepasan vasopressin yang
berguna untuk retensi air di duktus koligens dan vasokonstriksi. Pasien dengan sindrom
nefrotik memiliki level basal AVP yang lebih tinggi. Vasopressin ini dapat menyebabkan
retensi cairan bebas dan formasi edema di beberapa pasien dengan sindrom nefrotik.(9,11)
Selain itu, juga masih ada pengaruh pelepasan norepinefrin atau NE. Pelepasan NE ini
dapat mereabsorbsi Na+ dengan cara stimulasi α-Adrenergic di tubular ginjal dan
melakukan vasokonstrik si. Lalu terdapat ANP atau Atrial natriuretic peptide yang
memiliki fungsi untuk memicu natriuresis dan diuresis pada tubulus kontortus distal dan
duktus koligens, tetapi epitel tubular pasien NS bersifat esisten terhadap efek ANP ini. ANP
ini dilepaskan setelah ada stimulus berupa distensi atrium. Lalu terdapat aktivasi urodilatin
yang dapat mempromosikan natriuresis dan diuresis di tubulus contortus distal dan duktus
kolektivus. Sama seperti efek pelepasan ANP, pada pasien NS, epitel tubularnya resisten
terhadap efek ini. Kemudian terdapat aktivasi phosphodiesterase yang bisa mendegradasi
NP dan urodilatin.(9,11)
Pada beberapa individu juga ditemukan aktivasi kanal dan transporter yang dapat
memicu reabsorbsi Na+ dan formasi edema. Yang pertama adalah peningkatan aktivitas
Na+-hydrogen exchanger atau NHE3. NHE3 ini diketahui memiliki fungsi untuk mediasi

10
reabsorbsi Na+ di tubulus kontortus proximal. Kemudian juga terdapat aktivasi kanal Na
epithelial atau ENaC oleh absennya plasmin di urin nefrotik. Akivasi ini merangsang
reabsorbsi Na+ di tubulus kontortus distal dan tubulus kolektivus. Terakhir terdapat aktivasi
Na+/ K+/ ATPase yang menyediakan energi untuk pompa transport Na+ secara aktif dan
memfasilitasi pengeluaran Na+ keluar sel di tubulus kolektivus menuju ke kapiler
peritubular.(9)

E. Kesimpulan
Pada pemicu, pasien mengalami edema yang awalnya muncul di kelopak mata di pagi
hari lalu hilang di siang hari. Setelah itu pasien mengalami edema di banyak bagian
tubuhnya seperti di bawah kelopak mata, tungkai bawah, dan asites abdomen. Gejala ini
disebut sebagai edema anasarca atau dalam bahasa inggrisnya adalah generalized edema.
Selain itu, pasien juga mengeluarkan urin berwarna keruh yang di hasil urinalisisnya
menunjukkan 4(+) urin mengandung protein. Keadaan ini disebut sebagai proteinuria,
karena ada terlalu banyak protein yang dikeluarkan bersama urin,
Proteinuria pada pasien dapat terjadi karena adanya gangguan pada membran filtrasi
glomerulus yang terdiri dari 3 lapisan yaitu lapisan endothel, lapisan membran basal, dan
lapisan epitel (podosit). Gangguan dari masing-masing lapisan dapat mengubah sifat
selektif membran terhadap muatan dan ukuran molekul-molekul yang terfiltrasi. Lalu
edema, mekanisme pembentukannya masih terbagi menjadi 2 yaitu mekanisme “underfill”
dan mekanisme “overfill”. Mekanisme underfill biasa disebabkan oleh sindrom nefrotik
yang idiopatik, sementara mekanisme overfill biasa disebabkan oleh glomerulonephritis
atau akibat inflamasi. Patofisiologi kedua mekanisme berbeda, tetapi bisa sama-sama
membuat edema pada pasien. Keduanya sama-sama melakukan retensi Na+ dan cairan,
meskipun berbeda di sekunder dan primernya.
Proteinuria yang dialami pasien, edema, dan hipoalbumin yang diakibatkan
proteinuria membuat pasien masuk dalam kategori sindrom nefrotik. Proteinuria yang
dialami pasien juga dapat memicu hilangnya protein transporter zat dalam tubuh, hilangnya
protein fungsional, dan hipoalbuminemia. Hipoalbuminemia ini kemudian menyebabkan
tekanan onkotik berkurang dan menyebabkan hyperlipidemia yang kemudian dapat
diteruskan menjadi lipiduria. Tekanan onkotik yang berkurang dapat menyebabkan edema
dan hipovolemi pada pasien.(7) Maka dari itu, hipotesis kelompok kami, yang menyatakan
bahwa edema di banyak bagian tubuh, volume kencing berkurang, dan kencing berwarna
keruh pada pasien disebabkan oleh sindrom nefrotik, dapat diterima.

11
Referensi
1. Nainggolan G, Yolanda S, Gayatri A, Nugroho P, Fachri W, Kusumaningrum A et al.
Buku pedoman kerja mahasiswa (BPKM) Modul Ginjal dan Cairan Tubuh. A G, K DGB,
editors. Medical Education Unit FKUI; 2020. 54 p.
2. Toblli JE, Bevione P, Gennaro F Di, Madalena L, Cao G, Angerosa M. Understanding
the Mechanisms of Proteinuria : Therapeutic Implications. Int J Nephrol. 2012;2012.
3. Barasila AC. Histologi Ginjal dan Saluran Kemih [unpublished lecture notes]. Renal and
Body Fluid Module. Jakarta: Universitas Indonesia; lecture given 2020 Jan 28.
4. Silverthorn DU. Human physiology an integrated approach. 7th ed. Harlow: Pearson
Education Ltd.; 2016. 961 p.
5. Nagata M. Podocyte injury and its consequences. Kidney Int [Internet]. :1–10. Available
from: http://dx.doi.org/10.1016/j.kint.2016.01.012
6. Harrison. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 17th ed. Fauci AS, Braunwald E,
Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL, et al., editors. New York: McGraw Hill;
2008. 3352 p.
7. Pudjiastuti P. Glomerulopathy in children: clinical aspects [unpublished lecture notes].
Renal and body fluid module. Jakarta: Universitas Indonesia; lecture given 2020 Feb 5.
8. Aslesha E. A Review on Edema. 2016;5(2):63–70.
9. Ellis D. Pathophysiology , evaluation , and Management of edema in Childhood
Nephrotic Syndrome. Front Pediatr. 2016;3:1–11.
10. Reddenna L, Venkatesh P, Kumar KS, Reddy AS. Anasarca : A generalized swelling.
2017;5(8):41–5.
11. Siddall EC, Radhakrishnan J. The pathophysiology of edema formation in the nephrotic
syndrome. Kidney Int [Internet]. 2012;82(6):635–42. Available from:
http://dx.doi.org/10.1038/ki.2012.180

12

Anda mungkin juga menyukai