Anda di halaman 1dari 25

Makalah Sistem Perkemihan

PENYAKIT GLOMERULONEFRITIS
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Glomerulonefritis merupakan penyebab utama terjadinya gagal ginjal tahap akhir dan
tingginya angka morbiditas baik pada anak maupun pada dewasa. Terminologi
glomerulonefritis yang dipakai disini adalah bahwa kelainan yang pertama dan utama terjadi
pada glomerulus, bukan pada struktur ginjal yang lain. Glomerulonefritis merupakan penyakit
peradangan ginjal bilateral. Peradangan dimulai dalam glomerulus dan bermanifestasi sebagai
proteinuria dan atau hematuria. Meskipun lesi utama pada gromelurus, tetapi seluruh nefron
pada akhirnya akan mengalami kerusakan, sehingga terjadi gagal ginjal.

Penyakit yang mula-mula digambarkan oleh Richard Bright pada tahun 1827 sekarang
diketahui merupakan kumpulan banyak penyakit dengan berbagai etiologi, meskipun respon
imun agaknya menimbulkan beberapa bentuk glomerulonephritis. Indonesia pada tahun 1995,
melaporkan adanya 170 pasien yang dirawat di rumah sakit pendidikan dalam 12 bulan.
Pasien terbanyak dirawat di Surabaya (26,5%), kemudian disusul berturut-turut di Jakarta
(24,7%), Bandung (17,6%), dan Palembang (8,2%). Pasien laki-laki dan perempuan
berbanding 2 : 1 dan terbanyak pada anak usia antara 6-8 tahun (40,6%). Gejala
glomerulonefritis bisa berlangsung secara mendadak (akut) atau secara menahun (kronis)
yang seringkali tidak diketahui karena tidak menimbulkan gejala. Gejalanya dapat berupa
mual-mual, kurang darah (anemia), atau hipertensi. Gejala umum berupa sembab kelopak
mata, kencing sedikit, dan berwarna merah, biasanya disertai hipertensi. Penyakit ini
1

umumnya (sekitar 80%) sembuh spontan, 10% menjadi kronis, dan 10% berakibat fatal.

1.2 Identifikasi Masalah


Beberapa hal yang menjadi pokok permasalahan dalam pembahasan makalah ini adalah:
1. Apakah glomerulonefritis akut itu ?
2. Bagaimana askep pada klien glomerulonephritis akut?
3. Apakah Glomerulonefritis Kronis itu?
4. Bagaimana Askep pada klien glomerulonefritis Kronis?

1.3 Tujuan Penulisan


1. Tujuan Umum
Adapun tujuan umum dari penulisan makalah ini yaitu agar mahasiswa dapat
mengetahui

tentang

asuhan

keperawatan

glomerulonefritis

akut

dan

glomerulonephritis kronis.
2. Tujuan Khusus:
a. Mahasiswa mampu mengetahui Anatomi Fisiologi Ginjal.
b. Mahasiswa mampu menjelaskan definisi, etiologi, patofisiologi, gejala klinis dari
glomerulonefritis akut maupun kronis.
c. Mahasiswa

mampu

menjelaskan

penatalaksanaan,

komplikasi,

masalah

keperawatan yang mungkin muncul pada glomerulonefritis akut dan kronis.


d. Mahasiswa mampu melakukan perencanaan asuhan keperawatan dari masalah
keperawatan glomerulonefritis akut dan kronis.

1.4 Manfaat Penulisan


1. Bagi Penulis
Semoga dengan makalah ini diharapkan kami sebagai mahasiswa dapat meningkatkan
pengetahuan dan wawasan mengenai penyakit glomerulonefritis agar terciptanya
kesehatan masyarakat yang lebih baik.
2. Bagi Pembaca
Diharapkan agar pembaca dapat mengetahui tentang glomerulonefritis lebih dalam
2

sehingga dapat mencegah serta mengantisipasi diri dari penyakit glomerulonefritis.


3. Bagi Petugas Kesehatan dan Institusi Pendidikan
Dapat menambah bahan pembelajaran dan informasi tentang glomerulonefritis.

BAB II
PEMBAHASAN
A. KONSEP MEDIS
2.1 Anatomi Fisiologi
Ginjal terbungkus oleh selaput tipis yang disebut kapsula renalis. Lapisan luar terdapat
korteks renalis dan lapisan sebelah dalam disebut medula renalis. Didalam ginjal terdapat
nefron yang merupakan bagian terkecil dari ginjal. Nefron terbentuk dari 2 komponen utama
yaitu :
1. Glomerulus dan kapsula Bowmans sebagai tempat air dan larutan difiltrasi dari
darah.
2. Tubulus yaitu tubulus proksimal, ansa henle, tubulus distalis dan tubulus kolagentes
yang mereabsorpsi material penting dari filtrat yang memungkinkan bahan-bahan
sampah dan material yang tidak dibutuhkan untuk tetap dalam filtrat dan mengalir ke
pelvis renalis sebagai urin.

Kapiler glomerulus secara relatif bersifat impermeable terhadap protein plasma yang
lebih besar dan cukup permeable terhadap air dan larutan yang lebih kecil seperti elektrolit,
asam amino, glukosa dan sisa nitrogen. Kapiler glomerulus mengalami kenaikan tekanan
darah (90 mmHg vs 10-30 mmHg). Kenaikan ini terjadi karena arteriole aferen yang
mengarah ke kapiler glomerulus mempunyai diameter yang lebih besar dan memberikan
sedikit tahanan daripada kapiler yang lain.
3

Glomerulus terdiri atas suatu anyaman kapiler yang sangat khusus dan diliputi oleh
simpai Bowman. Glomerulus yang terdapat dekat pada perbatasan korteks dan medula
(juxtame-dullary) lebih besar dari yang terletak perifer. Percabangan kapiler berasal dari
arteriola afferens, membentuk lobul-lobul, yang dalam keadaan normal tidak nyata , dan
kemudian berpadu lagi menjadi arteriola efferens. Tempat masuk dan keluarnya kedua
arteriola itu disebut kutub vaskuler. Di seberangnya terdapat kutub tubuler, yaitu permulaan
tubulus contortus proximalis.

Gelung glomerulus yang terdiri atas anyaman kapiler tersebut, ditunjang oleh jaringan
yang disebut mesangium, yang terdiri atas matriks dan sel mesangial. Kapiler-kapiler dalam
keadaan normal tampak paten dan lebar. Di sebelah dalam daripada kapiler terdapat sel
endotel, yang mempunyai sitoplasma yang berfenestrasi. Di sebelah luar kapiler terdapat sel
epitel viseral, yang terletak di atas membran basalis dengan tonjolan-tonjolan sitoplasma,
yang disebut sebagai pedunculae atau foot processes. Maka itu sel epitel viseral juga
dikenal sebagai podosit. Antara sel endotel dan podosit terdapat membrana basalis glomeruler
(GBM = glomerular basement membrane). Membrana basalis ini tidak mengelilingi seluruh
lumen kapiler. Dengan mikroskop elektron ternyata bahwa membrana basalis ini terdiri atas
tiga lapisan, yaitu dari arah dalam ke luar ialah lamina rara interna, lamina densa dan lamina
rara externa.

Simpai Bowman di sebelah dalam berlapiskan sel epitel parietal yang gepeng, yang
terletak pada membrana basalis simpai Bowman. Membrana basalis ini berlanjut dengan
membrana basalis glomeruler pada kutub vaskuler, dan dengan membrana basalis tubuler
pada kutub tubuler . Dalam keadaan patologik, sel epitel parietal kadang-kadang
berproliferasi membentuk bulan sabit ( crescent). Bulan sabit bisa segmental atau
sirkumferensial, dan bisa seluler, fibroseluler atau fibrosa. Dengan mengalirnya darah ke
dalam kapiler glomerulus, plasma disaring melalui dinding kapiler glomerulus. Hasil
ultrafiltrasi tersebut yang bebas sel, mengandung semua substansi plasma seperti ektrolit,
4

glukosa, fosfat, ureum, kreatinin, peptida, protein-protein dengan berat molekul rendah
kecuali protein yang berat molekulnya lebih dari 68.000 (seperto albumin dan globulin).
Filtrat dukumpulkan dalam ruang bowman dan masuk ke dalam tubulus sebelum
meningalkan ginjal berupa urin. Laju filtrasi glomerulus (LFG) atau gromelural filtration rate
(GFR) merupakan penjumlahan seluruh laju filtrasi nefron yang masih berfungsi yang juga
disebut single nefron glomerular filtration rate (SN GFR).besarnya SN GFR ditentukan oleh
faktor dinding kapiler glomerulus dan gaya Starling dalam kapiler tersebut.

2.2 Definisi
Glumerulonefritis ( juga disebut sindrom nefrotik), mungkin akut, dimana pada kasus
seseorang dapat meliputi seluruh fungsi ginjal atau kronis ditandai oleh penurunan fungsi
ginjal lambat , tersembunyi , dan progresif yang akhirnya menimbulkan penyakit ginjal tahap
akhir. Ini memerlukan waktu 30 tahun untuk merusak ginjal sampai tahap akhir. Pada
keadaan ini beberapa macam intervensi seperti dialisa atau pencangkokan ginjal dibutuhkan
untuk menopang kehidupan. ( Blaiir, 1990).

Glumerulonefritis adalah suatu sindrom yang ditandai oleh peradangan dari glomerulus
diikuti pembentukan beberapa antigen yang mungkin endogenus ( seperti sirkulasi
tiroglobulin) atau eksogenus ( agen infeksius atau proses penyakit sistemik yang menyertai).
Hopes ( ginjal ) mengenali antigen sebagai benda asing dan mulai membentuk antibodi untuk
menyerangnya. Respons peradangan ini menimbulkan penyebaran perubahan patofisiologi,
termasuk menurunnya laju filtrasi glomerulus ( LFG), peningkatan permebilitas dari dinding
kapiler glomerulus terhadap protein plasma ( terutama albumin) dan SDM , dan retensi
abnormal natrium dan air yang menekan produksi renin dan aldosteron( Glassock, 1988).
a) Glomerulonefritis Akut (GNA)
Adalah reaksi imunologi pada ginjal terhadap bakteri atau virus tertentu yang sering
terjadi ialah akibat infeksi kuman streptococcus, sering ditemukan pada usia 3-7
tahun, (Kapita Selecta, 2000).
Glomerulonefritis merupakan suatu istilah yang dipakai untuk menjelaskan berbagai
ragam penyakit ginjal yang mengalami proliferasi dan inflamasi glomerulus yang
5

disebabkan oleh suatu mekanisme imunologis.


b) Glomerulonefritis Kronis (GNK)
Bersifat progresif dan irreversible dimana terjadi uremia karena kegagalan tubuh
untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan serta elektrolit
( SmeltzerC, Suzanne, 2002 hal 1448).
Glomerulus Nefritis Kronik merupakan lanjutan dari glomerulonefritis akut,dalam
jangka waktu panjang.
Glomerulus Nefritis Kronis ini merupakan penyakit ginjal tahap akhir (and stage)
dengan kerusakan jaringan ginjal akibat proses nefrotik dan hipertensi sehingga
menimbulkan gangguan fungsi ginjal yang irreversible.

2.3 Etiologi
Biasanya didahului oleh suatu penyakit infeksi pada saluran pernapasan bagian atas,
misalnya pharyngitis atau tonsillitis. Penyakit infeksi lain yang juga dapat berhubungan ialah
skarlatina, otitis media, mastoiditis, abses peritonsiler dan bahkan infeksi kulit sehingga
pencegahan dan pengobatan infeksi saluran pernafasan atas dan kulit dapat menurunkan
kejadian penyakit ini. Jasad reniknya hampir selalu streptokok beta hemolitik golongan A,
dan paling sering ialah tipe 12. Strain nefritogenik lain yang dapat ditemukan pula ialah tipe
4, 47, 1, 6, 25 dan Red Lake (49).

Hubungan antara glomerulonefritis akut dan infeksi streptococcus dikemukakan pertama


kali oleh Lohlein pada tahun 1907 dengan alasan timbulnya glomerulonefritis akut setelah
infeksi skarlatina,diisolasinya kuman streptococcus beta hemoliticus golongan A, dan
meningkatnya titer anti- streptolisin pada serum penderita. Periode antara infeksi saluran
nafas atau kulit dengan gambaran klinis dari kerusakan glomerulus dinamakan periode laten.
Periode laten ini biasanya antara 1-2 minggu, merupakan ciri khusus dari penyakit ini
sehingga dapat dibedakan dengan sindrom nefritik akut karena sebab lainnya. Periode laten
dari infeksi kulit (impetigo) biasanya antara 8-21 hari. (Prico, 1998)

Kuman streptococcus beta hemoliticus tipe 12 dan 25 lebih bersifat nefritogen daripada
6

yang lain, tapi hal ini tidak diketahui sebabnya. Kemungkinan factor iklim, keadaan gizi,
keadaan umum dan factor alergi mempengaruhi terjadinya glomerulonefritis akut setelah
infeksi kuman streptococcus. Glomerulonefritis akut dapat juga disebabkan oleh sifilis,
keracunan seperti keracunan timah hitam tridion, penyakit amiloid, trombosis vena renalis,
purpura anafilaktoid dan lupus eritematosus.

2.4 Patogenesis/Patofisiologi
Pathogenesis
Dari hasil penyelidikan klinis imunologis dan percobaan pada binatang menunjukkan
adanya kemungkinan proses imunologis sebagai penyebab glomerulonefritis. Beberapa ahli
mengajukan hipotesis sebagai berikut :
1) Terbentuknya kompleks antigen-antibodi yang melekat pada membrane basalis
glomerulus dan kemudian merusaknya.
2) Proses auto imun kuman streptococcus yang nefritogen dalam tubuh menimbulkan
badan auto-imun yang merusak glomerulus.
3) Streptococcus nefritogen dengan membrane basalis glomerulus mempunyai
komponen antigen yang sama sehingga dibentuk zat anti yang langsung merusak
membrane basalis ginjal.

Adanya periode laten antara infeksi streptokok dengan gambaran klinis dari kerusakan
glomerulus menunjukan bahwa proses imunologi memegang peranan penting dalam
patogenesis glomerulonefritis. Glomerulonefritis akut pasca streptokok merupakan salah satu
contoh dari penyakit komplek imun. Pada penyakit komplek imun, antibodi dari tubuh (host)
akan bereaksi dengan antigen-antigen yang beredar dalam darah ( circulating antigen ) dan
komplemen untuk membentuk circulating immunne complexes. Untuk pembentukkan
circulating immunne complexes ini diperlukan antigen dan antibodi dengan perbandingan
20 : 1. Jadi antigen harus lebih banyak atau antibodi lebih sedikit. Antigen yang beredar
dalam darah (circulating antigen), bukan berasal dari glomerulus seperti pada penyakit anti
7

GBM, tetapi bersifat heterolog baik eksogen maupun endogen.

Kompleks immune yang beredar dalam darah dalam jumlah banyak dan waktu yang
singkat menempel/melekat pada kapiler-kapiler glomeruli dan terjadi proses kerusakan
mekanis melalui aktivasi sistem komplemen, reaksi peradangan dan mikrokoagulasi. Pada
umumnya dapat dikatakan bahwa bentuk Glomerulonefritis akut pasca-streptokok
mempunyai prognosis pada lebih baik daripada bentuk non-streptokok, dan prognosis pada
anak lebih baik daripada orang dewasa. Pada anak lebih kurang 90% atau lebih akan
menyembuh. Gejala klinik menghilang dalam beberapa minggu, namun hematuria
mikroskopik, cylindruria dan proteinuria ringan dapat tetap ada selama lebih kurang 1 tahun.

Patofisiologi
1) Kelainan urinalisis: proteinuria dan hematuria
Kerusakan dinding kapiler glomerulus lebih permeabel dan porotis terhadap protein
dan sel-sel eritrosit, sehingga terjadi proteinuria dan hematuria.
2) Oedem
Mekanisme retensi natrium Na + dan oedem pada glomerulonefritis tanpa penurunan
tekanan onkotik plasma. Hal ini berbeda dengan mekanisme oedem pada sindrom
nefrotik. Penurunan faal ginjal LFG tidak diketahui sebabnya, mungkin akibat
kelainan histopatologis (pembengkakan sel-sel endotel, proliferasi sel mesangium,
oklusi kapiler-kaliper) glomeruli. Penurunan faal ginjal LFG ini menyebabkan
penurunan ekskresi natrium Na + (natriuresis), akhirnya terjadi retensi natrium Na +.
Keadaan retensi natrium Na + ini diperberat oleh pemasukan garam natrium dari diet.
Retensi natrium Na + disertai air menyebabkan dilusi plasma, kenaikan volume
plasma, ekspansi volume cairan ekstraseluler, dan akhirnya terjadi oedem.
3) Hipertensi
Patogenesis hipertensi ginjal sangat kompleks. LEDINGHAM (1971) mengemukakan
hipotesis mungkin akibat dari dua atau tiga faktor berikut:
a. Gangguan keseimbangan natrium (sodium homeostasis), Gangguan keseimbangan
natrium ini memegang peranan dalam genesis hipertensi ringan dan sedang.
8

b. Peranan sistem renin-angiotensin-aldosteron biasanya pada hipertensi berat,


Hipertensi dapat dikendalikan dengan obat-obatan yang dapat menurunkan
konsentrasi renin, atau tindakan drastis nefrektomi.
c. Substansi renal medullary hypotensive factors, diduga prostaglandin. Penurunan
konsentrasi dari zat ini menyebabkan hipertensi.
4) Bendungan Sirkulasi
Bendungan sirkulasi merupakan salah satu ciri khusus dari sindrom nefritik akut,
walaupun mekanismenya masih belum jelas. Beberapa hipotesis telah dikemukakan
dalam kepustakaan antara lain:
a. Vaskulitis umum
Gangguan pembuluh darah umum dicurigai merupakan salah satu tanda kelainan
patologis dari glomerulonefritis akut. Kelainan-kelainan pembuluh darah ini
menyebabkan transudasi cairan ke jaringan interstisial dan menjadi oedem.
b. Penyakit jantung hipertensif
Bendungan sirkulasi paru akut diduga berhubungan dengan hipertensi yang dapat
terjadi pada glomerulonefritis akut.
c. Miokarditis
Pada sebagian pasien glomerulonefritis tidak jarang ditemukan perubahanperubahan elektrokardiogram: gelombang T terbalik pada semua lead baik standar
maupun precardial. Perubahan-perubahan gelombang T yang tidak spesifik ini
mungkin berhubungan dengan miokarditis.Retensi cairan dan hipervolemi tanpa
gagal jantung. Hipotesis ini dapat menerangkan gejala bendungan paru akut,
kenaikan cardiac output, ekspansi volume cairan tubuh. Semua perubahan
patofisiologi ini akibat retensi natrium dan air.

Glomerulonefritis kronis,awalnya seperti glomerulonefritis akut atau tampak sebagai tipe


reaksi antigen/antibody yang lebih ringan,kadang-kadang sangat ringan,sehingga terabaikan.
Setelah kejadian berulang infeksi ini, ukuran ginjal sedikit berkurang sekitar seperlima dari
ukuran normal,dan terdiri dari jaringan fibrosa yang luas, korteks mengecil menjadi lapisan
yang

tebalnya

1-2

mm

atau

kurang.

Berkas

jaringan

parut

merusak

sistem
9

korteks,menyebabkan permukaan ginjal kasar dan ireguler. Sejumlah glomeruli dan


tubulusnya berubah menjadi jaringan parut,dan cabang-cabang arteri renal menebal. Akhirnya
terjadi perusakan glomerulo yang parah, menghasilkan penyakit ginjal tahap akhir (ESRD).
1) Penurunan GFR
Pemeriksaan klirens kreatinin dengan mendapatkan urin 24 jam untuk mendeteksi
penurunan GFR. Akibat dari penurunan GFR, maka klirens kretinin akan menurun,
kreatinin akan meningkat, dan nitrogen urea darah (BUN) juga akan meningkat.

2) Gangguan klirens renal


Banyak masalah muncul pada gagal ginjal sebagai akibat dari penurunan jumlah
glomeruli yang berfungsi, yang menyebabkan penurunan klirens (substansi darah yang
seharusnya dibersihkan oleh ginjal).
3) Retensi cairan dan natrium
Ginjal kehilangan kemampuan untuk mengkonsentrasikan atau mengencerkan urin secara
normal. Terjadi penahanan cairan dan natrium sehingga meningkatkan resiko terjadinya
edema, gagal jantung kongestif dan hipertensi.
4) Anemia
Anemia terjadi sebagai akibat dari produksi eritropoetin yang tidak adekuat,
memendeknya usia sel darah merah, defisiensi nutrisi, dan kecenderungan untuk terjadi
perdarahan akibat status uremik pasien, terutama dari saluran GI.
5) Ketidakseimbangan kalsium dan fosfat
Kadar serum kalsium dan fosfat tubuh memiliki hubungan yang saling timbal balik, jika
salah satunya meningkat, yang lain akan turun. Dengan menurunnya GFR, maka terjadi
peningkatan kadar fosfat serum dan sebaliknya akan terjadi penurunan kadar kalsium.
Penurunan kadar kalsium ini akan memicu sekresi paratormon, namun dalam kondisi
gagal ginjal, tubuh tidak berespon terhadap peningkatan sekresi parathormon, akibatnya
kalsium di tulang menurun menyebabkab perubahan pada tulang dan penyakit tulang.
6) Penyakit tulang uremik (osteodistrofi)
Terjadi dari perubahan kompleks kalsium, fosfat, dan keseimbangan parathormon.
( SmeltzerC, Suzanne, 2002 hal 1448).
10

2.5 Manifestasi Klinis


Gambaran klinis dapat bermacam-macam. Kadang-kadang gejala ringan tetapi tidak
jarang anak datang dengan gejala berat. Tanda utama kelainan glomerulus adalah proteinuria,
hematuria, sembab, hipertensi dan penurunan fungsi ginjal, yang dapat terlihat secara
tersendiri atau secara bersama seperti misalnya pada sindrom nefrotik, gejala klinisnya
terutama terdiri dari proteinuria massif dan hipoalbuminemia, dengan atau tanpa sembab.

Penyakit ginjal biasanya dibagi menjadi kelainan glomerulus dan non glomerulus
berdasarkan etiologi, histology, atau perubahan faal yang utama. Dari segi klinis suatu
kelainan glomerulus yang sering dijumpai adalah hipertensi, sembab, dan penurunan fungsi
ginjal. Meskipun gambaran klinis biasanya telah dapat membedakan berbagai kelainan
glomerulus dan non glomerulus, biopsy ginjal masih sering dibutuhkan untuk menegakkan
diagnosis pasti. Riwayat klasik didahului (10-14 hari) oleh faringitis, tonsilitis atau infeksi
kulit (impetigo).
1. Infeksi Streptokok
Glomerulonefritis akut pasca streptokok tidak memberikan keluhan dan ciri khusus.
Keluhan-keluhan seperti anoreksia, lemah badan, tidak jarang disertai panas badan, dapat
ditemukan pada setiap penyakit infeksi.
2. Keluhan saluran kemih
Hematuria makroskopis (gross) sering ditemukan, hampir 40% dari semua pasien.
Hematuria ini tidak jarang disertai keluhan-keluhan seperti infeksi saluran kemih bawah
walaupun tidak terbukti secara bakteriologis. Oligouria atau anuria merupakan tanda
prognosis buruk pada pasien dewasa.
3. Hipertensi
Hipertensi sistolik dan atau diastolik sering ditemukan hampir pada semua pasien.
Hipertensi biasanya ringan atau sedang, dan kembali normotensi setelah terdapat diuresis
tanpa pemberian obat-obatan antihipertensi. Hipertensi berat dengan atau tanpa
esefalopati hanya dijumpai pada kira-kira 5-10% dari semua pasien.
4. Oedem dan bendungan paru akut
11

Hampir semua pasien dengan riwayat oedem pada kelopak mata atau pergelangan kaki
bawah, timbul pagi hari dan hilang siang hari. Bila perjalanan penyakit berat dan
progresif, oedem ini akan menetap atau persisten, tidak jarang disertai dengan asites dan
efusi rongga pleura.

2.6 Komplikasi
1) Ensefalopati hipertensi yang merupakan gejala serebrum karena hipertensi. Terdapat
gejala berupa gangguan penglihatan, pusing, muntah dan kejang-kejang. Ini
disebabkan spasme pembuluh darah lokal dengan anoksia dan edema otak.
2) Gangguan sirkulasi berupa dispne, ortopne, terdapatnya ronki basah, pembesaran
jantung dan meningginya tekanan darah yang bukan saja disebabkan spasme
pembuluh darah, melainkan juga disebabkan oleh bertambahnya volume plasma.
Jantung dapat memberas dan terjadi gagal jantung akibat hipertensi yang menetap dan
kelainan di miokardium.
3) Anemia yang timbul karena adanya hipervolemia di samping sintesis eritropoetik
yang menurun.
4) Terdapat gejala berupa gangguan pada penglihatan, pusing, muntah, dan kejangkejang. Hal ini disebabkan spasme pembuluh darah local dengan anoksia dan edema
otak.

2.7 Pemeriksaan Penunjang


1) Pemeriksaan urine : adanya proteinuria (+1 sampai +4), kelainan sedimen urine
dengan eritrosit disformik, leukosituria serta torak selulet, granular, eritrosit(++),
albumin (+), silinder lekosit (+) dan lain-lain. Analisa urine adanya strptococus.
Warna: secara abnormal warna urin keruh kemungkinan disebabkan oleh pus, bakteri,
lemak, fosfat atau urat sedimen. Warna urine kotor, kecoklatan menunjukkan adanya
darah, Hb, mioglobin, porfirin. Volume urine: biasanya kurang dari 400 ml/24 jam
bahkan tidak ada urine (anuria). Berat jenis: kurang dari 1,010 menunjukkn kerusakan
ginjal berat. Osmolalitas: kurang dari 350 mOsm/kg menunjukkan kerusakan ginjal
tubular dan rasio urin/serum sering 1:1
12

2) Pemeriksaan darah :

Kadar ureum dan kreatinin serum meningkat.

Jumlah elektrolit : hiperkalemia, hiperfosfatem dan hipokalsemia.

Analisa gas darah ; adanya asidosis.

Komplomen hemolitik total serum (total hemolytic comploment) dan C3 rendah.

Kadar albumin, darah lengkap (Hb,leukosit,trombosit dan erytrosit)adanya


anemia.

3) Pemeriksaan Kultur tenggorok : menentukan jenis mikroba adanya streptokokus.


4) Pemeriksaan serologis : antisterptozim, ASTO, antihialuronidase, dan anti Dnase \.
5) Pemeriksaan imunologi : IgG, IgM dan C3.kompleks imun.
6) Pemeriksaan radiologi : foto thorak adanya gambaran edema paru atau payah jantung.
7) ECG : adanya gambaran gangguan jantung.
8) Urinalisis (UA) menunjukkan hematnya gross, protein dismonfik dan (bentuk tidak
serasi) SDm, leusit, dan gips hialin.
9) Lajur filtrasi glomeruslus (IFG) menurun, klerins kreatinin pada unrin digunakan
sebagai pengukur dan LFG spesine urin 24 jam dikumpulkan. Sampel darah untuk
kreatinin juga ditampung dengan cara arus tegah (midstream).
10) Nitrogen urea darah (BUN) dan kreatinin serum meningkat bila fungsi ginjal mulai
menurun.
11) Albumin serum dan protein total mungkin normal atau agak turun (karena
hemodilusi).
12) Elektrolit serum menunjukkan peningkatan natrium dan peningkatan atau normal
kadar-kadar kalium dan klorida.
13) Biopsi ginjal untuk menunjukkan obstruksi kapiler glomerular dan memastikan
diagnosis.

2.8 Penatalaksanaan
13

Tujuan penatalaksanaan adalah untuk melindungi fungsi ginjal dan menangani


komplikasi dengan tepat jika terjadi.
a. Medis
1) Pemberian penisilin pada fase akut. Pemberian antibiotika ini tidak mempengaruhi
beratnya

glomerulonefritis,

melainkan

mengurangi

menyebarnya

infeksi

Streptococcus yang mungkin masih, dapat dikombinasi dengan amoksislin 50 mg/kg


BB dibagi 3 dosis selama 10 hari. Jika alergi terhadap golongan penisilin, diganti
dengan eritromisin 30 mg/kg BB/hari dibagi 3 dosis. Dan dilanjutkan per oral 2 x
200.000 IU selama fase konvalesen.
2) Pengobatan terhadap hipertensi. Pemberian cairan dikurangi, pemberian sedative
untuk menenangkan penderita sehingga dapat cukup beristirahat. Pada hipertensi
dengan gejala serebral diberikan reserpin dan hidralazin. Mula-mula diberikan
reserpin sebanyak 0,07 mg/kgbb secara intramuskular. Bila terjadi diuresis 5-10 jam
kemudian, maka selanjutnya reserpin diberikan peroral dengan dosis rumat, 0,03
mg/kgbb/hari. Magnesium sulfat parenteral tidak dianjurkan lagi karena memberi efek
toksis. Drug of Choice: golongan vasodilator prozasin HCL dosis 3 x 1-2 mg/hari.
3) Pemberian furosemid (Lasix) secara intravena (1 mg/kgbb/kali) dalam 5-10 menit
tidak berakibat buruk pada hemodinamika ginjal dan filtrasi glomerulus.
4) Bila timbul gagal jantung, maka diberikan digitalis, sedativa dan oksigen.
5) Bila ada anuria atau muntah, maka diberikan IVFD dengan larutan glukosa 10%. Pada
penderita tanpa komplikasi pemberian cairan disesuaikan dengan kebutuhan.

b. Keperawatan
1) Istirahat mutlak selama 3-4 minggu. Dulu dianjurkan istirahat mutlah selama 6-8
minggu untuk memberi kesempatan pada ginjal untuk menyembuh. Tetapi
penyelidikan terakhir menunjukkan bahwa mobilisasi penderita sesudah 3-4 minggu
dari mulai timbulnya penyakit tidak berakibat buruk terhadap perjalanan penyakitnya
dan pambatasan aktivitas sesuai kemampuannya.
2) Pada fase akut program diet ketat tetapi cukup asupan gizinya diberikan makanan
rendah protein (1 g/kgbb/hari) dan rendah garam (1 g/hari). Makanan lunak diberikan
14

pada penderita dengan suhu tinggi dan makanan biasa bila suhu telah normal kembali.
3) Bila ada komplikasi seperti gagal jantung, edema, hipertensi dan oliguria, maka
jumlah cairan yang diberikan harus dibatasi dan dianjurkan secara teratur untuk
senantiasa kontrol pada ahlinya untuk mencegah berlanjut ke sindrom nefrotik atau
GGK.
4) Kaji edema dan timbang BB setiap hari jika over load berikan diuretic.
5) Observasi

tanda-tanda

ambulasi,monitor

vital

proteinure

waspada
dan

terhadap

hematuria

jika

adanya

CHF.

meningkat

Jika

sudah

bedrest

tetap

dijalankan,jika ambulasi dapat ditolelir pasien boleh pulang.


6) Bila anuria berlangsung lama (5-7 hari), maka ureum harus dikeluarkan dari dalam
darah dengan beberapa cara misalnya dialisis pertonium, hemodialisis, bilasan
lambung dan usus (tindakan ini kurang efektif, tranfusi tukar). Bila prosedur di atas
tidak dapat dilakukan oleh karena kesulitan teknis, maka pengeluaran darah vena pun
dapat dikerjakan dan adakalanya menolong juga.

B. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN


3.1 Pengkajian
Anamnesis
a. Indentitas klien: GNA adalah suatu reaksi imunologi yang sering ditemukan pada
anak umur 3-7 tahun lebih sering pada pria.
b. Riwayat penyakit
Sebelumnya : Adanya riwayat infeksi streptokokus beta hemolitik dan riwayat lupus
eritematosus atau penyakit autoimun lain.
Sekarang : Klien mengeluh kencing berwarna seperti cucian daging, bengkak sekitar
mata dan seluruh tubuh. Tidak nafsu makan, mual , muntah dan diare. Badan panas
hanya sutu hari pertama sakit.
c. Pertumbuhan dan perkembangan :
Pertumbuhan : BB = 9x7-5/2=29 kg , menurut anak umur 9 tahun BB nya

15

adalah BB umur 6 tahun = 20 kg ditambah 5-7 lb pertahun = 26 - 29 kg,


tinggi badan anak 138 cm. Nadi 80100x/menit, dan RR 18-20x/menit,
tekanan darah 65-108/60-68 mm Hg. Kebutuhan kalori 70-80 kal/kgBB/hari.
Gigi pemanen pertama /molar, umur 6-7 tahun gigi susu mulai lepas, pada
umur 1011 tahun jumlah gigi permanen 10-11 buah.
Perkembangan : Psikososial : Anak pada tugas perkembangan industri X
inferioritas, dapat menyelesaikan tugas menghasilkan sesuatu.

Pemeriksaan Fisik
1. Aktivitas/istirahat
- Gejala: kelemahan/malaise.
- Tanda: kelemahan otot, kehilangan tonus otot.
2. Sirkulasi
- Tanda: hipertensi, pucat,edema.
3. Eliminasi
- Gejala: perubahan pola berkemih (oliguri).
- Tanda: Perubahan warna urine (kuning pekat, merah).
4. Makanan/cairan
- Gejala: (edema), anoreksia, mual, muntah.
- Tanda: penurunan keluaran urine.
5. Pernafasan
- Gejala: nafas pendek.
- Tanda: Takipnea, dispnea, peningkatan frekwensi, kedalaman (pernafasan kusmaul).
6. Nyeri/kenyamanan.
- Gejala: nyeri pinggang, sakit kepala.
- Tanda: perilaku berhati-hati/distraksi, gelisah.

Pengkajian Perpola
a. Pola nutrisi dan metabolic
Suhu badan normal hanya panas hari pertama sakit. Dapat terjadi kelebihan beban
16

sirkulasi karena adanya retensi natrium dan air, edema pada sekitar mata dan seluruh
tubuh. Klien mudah mengalami infeksi karena adanya depresi sistem imun. Adanya
mual , muntah dan anoreksia menyebabkan intake nutrisi yang tidak adekuat. BB
meningkat karena adanya edema. Perlukaan pada kulit dapat terjadi karena uremia.
b. Pola eliminasi
Eliminasi alvi tidak ada gangguan, eliminasi urin : gangguan pada glumerulus
menyebakan sisa-sisa metabolisme tidak dapat diekskresi dan terjadi penyerapan
kembali air dan natrium pada tubulus yang tidak mengalami gangguan yang
menyebabkan oliguria sampai anuria, proteinuri, hematuria.
c. Pola Aktifitas dan latihan
Pada Klien dengan kelemahan malaise, kelemahan otot dan kehilangan tonus karena
adanya hiperkalemia. Dalam perawatan klien perlu istirahat karena adanya kelainan
jantung dan dan tekanan darah mutlak selama 2 minggu dan mobilisasi duduk
dimulai bila tekanan ddarah sudah normaal selama 1 minggu. Adanya edema paru
maka pada inspeksi terlihat retraksi dada, pengggunaan otot bantu napas, teraba ,
auskultasi terdengar rales dan krekels , pasien mengeluh sesak, frekuensi napas.
Kelebihan beban sirkulasi dapat menyebabkan pemmbesaran jantung (Dispnea,
ortopnea dan pasien terlihat lemah) , anemia dan hipertensi yang juga disebabkan oleh
spasme pembuluh darah. Hipertensi yang menetap dapat menyebabkan gagal jantung.
Hipertensi ensefalopati merupakan gejala serebrum karena hipertensi dengan gejala
penglihatan kabur, pusing, muntah, dan kejang-kejang. GNA munculnya tiba-tiba
orang tua tidak mengetahui penyebab dan penanganan penyakit ini.
d. Pola tidur dan istirahat
Klien tidak dapat tidur terlentang karena sesak dan gatal karena adanya uremia.
keletihan, kelemahan malaise, kelemahan otot dan kehilangan tonus.
e. Kognitif & perseptual
Peningkatan ureum darah menyebabkan kulit bersisik kasar dan rasa gatal. Gangguan
penglihatan dapat terjadi apabila terjadi ensefalopati hipertensi. Hipertemi terjadi pada
hari pertama sakit dan ditemukan bila ada infeksi karena inumnitas yang menurun.
f. Persepsi diri
17

Klien cemas dan takut karena urinenya berwarna merah dan edema dan perawatan
yang lama. Anak berharap dapat sembuh kembali seperti semula
g. Hubungan peran

Anak tidak dibesuk oleh teman temannya karena jauh dan lingkungan perawatann
yang baru serta kondisi kritis menyebabkan anak banyak diam.
h. Nilai keyakinan
Klien berdoa memohon kesembuhan sebelum tidur.

Pemeriksaan Diagnostik
Pada laboratorium didapatkan:
- Hb menurun ( 8-11 ).
- Ureum dan serum kreatinin meningkat.
( Ureum : Laki-laki = 8,84-24,7 mmol/24jam atau 1-2,8mg/24jam, wanita = 7,9-14,1
mmol/24jam atau 0,9-1,6mg/24jam, Sedangkan Serum kreatinin : Laki-laki = 55-123
mikromol/L atau 0,6-1,4 mg/dl, wanita = 44-106 mikromol/L atau 0,5-1,2 mg/dl ).
- Elektrolit serum (natrium meningkat, normalnya 1100g).
- Urinalisis (BJ. Urine meningkat : 1,015-1,025 , albumin , Eritrosit , leukosit ).
- Pada rontgen: IVP abnormalitas pada sistem penampungan (Ductus koligentes)
- Pemeriksaan darah LED meningkat, Kadar HB menurun, Albumin serum menurun (++).
Ureum & kreatinin meningkat, Titer anti streptolisin meningkat.

3.2 Diagnosa Keperawatan


1. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan kekurangan protein dan disfungsi ginjal.
Potensial kelebihan volume cairan berhubungan dengan retensi air dan natrium serta
disfungsi ginjal.
2. Potensial terjadi infeksi (ISK, lokal, sistemik) berhubungan dengan depresi sistem
imun.
3. Potensial gangguan perfusi jaringan: serebral/kardiopulmonal berhubungan dengan
resiko krisis hipertensi.
4. Perubahan integritas kulit berhubungan dengan imobilisasi, uremia, kerapuhan kapiler
18

dan edema.
5. Kurang pengetahuan yang berhubungan dengan kurangnya informasi tentang proses
penyakit, perawatan dirumah dan instruksi evaluasi.

3.3 Intervensi
1.

Intoleransi aktifitas berhubungan dengan kekurangan protein dan disfungsi ginjal.

Tujuan
Kriteria hasil

: Klien dapat toleransi dengan aktifitas yang dianjurkan.


:

- Mengikuti rencana aktiftas

- TD dalam batas normal tanpa pengeluaran protein berlebihan


Intervensi

Rasional

1. Pantau kekurangan protein yang 1.

Kekurangan

protein

beerlebihan

dapat

berlebihan ( proteinuri, albuminuria ).


menimbulkan kelelahan.
2. Gunakan diet protein untuk mengganti 2. Diet yang adekuat dapat mengembalikan
potein yang hilang.
3. Beri diet tinggi

protein

kehilangan protein.
tinggi 3. TKTP berfungsi menggantikan protein dan

karbohidrat.
4. Anjurkan Pasien untuk tirah baring.

KH yang hilang.
4. Tirah baring meningkatkan mengurangi

penggunaan energi.
5. Berikan latihan selama pembatasan 5. Latihan penting untuk mempertahankan
aktifitas.
tunos otot.
6. Rencana aktifitas dengan waktu 6. Keseimbangan

aktifitas

dan

istirahat.
mempertahankan kesegaran.
7. Rencanakan cara progresif untuk 7.
Aktifitas
yang
bertahap

istirahat
menjaga

kembali beraktifitas normal ; evaluasi kesembangan dan tidak mmemperparah proses


tekanan darah danhaluaran protein urin.
2.

penyakit.

Potensial kelebihan volume cairan b.d. retensi air dan natrium serta disfungsi ginjal.

Tujuan
Kriteria hasil

: Klien tidak menunjukan kelebihan volume cairan.


:

- Tidak memperlihatkan Tanda-tanda kelebihan cairan dan elektrolit.

- Intake dan output dalam keadaan seimbang.


Intervensi
Rasional
1. Pantau dan laporkan tanda dan gejala 1. Memonitor kelebihan cairan sehingga dapat
19

kelebihan cairan : Ukur dan catat intake dilakukan tindakan penanganan.


dan output setiap 4-8 jam.
2. Catat jumlah dan karakteristik urine. 2. Jumlah , karakteristik urin dan BB dapat
Ukur berat jenis urine tiap jam dan menunjukan adanya ketidak seimbangan cairan.
timbang BB tiap hari.
3. Kolaborasi dengan

gizi

dalam 3.

pembatasan diet natrium dan protein.

Natrium

dan

protein

meningkatkan

osmolaritas sehingga tidak terjadi retriksi

cairan.
4. Berikan es batu untuk mengontrol rasa 4. Rangsangan dingin dapat merangsang
haus dan masukan dalam perhitungan pusat haus.
intake.
5. Pantau elektrolit tubuh dan observasi 5. Memonitor adanya ketidak seimbangan
adanya
tubuh

tanda
:

kekurangan
Hipokalemia

elektrolit elektrolit dan menentukan tindakan penanganan


(kram, yang tepat.

letargi,aritmia), Hiperkalemia (kram otot,


kelemahan),
rangsang

Hipokalsemia
pada

(peka

neuromuskuler),

Hiperfosfatemia (hiperefleksi,parestesia,
kram otot, gatal, kejang), Uremia (kacau
mental, letargi,gelisah).
6. Kaji efektifitas pemberian elektrolit 6. Pemberian elektrolit yang tepat mencegah
parenteral dan oral.
3.

ketidak seimbangan elektrolit.

Potensial terjadi infeksi (ISK, lokal, sistemik) b.d. depresi sistem imun.

Tujuan
Kriteria hasil

: Klien tidak mengalami infeksi setelah diberikan asuhan keperawatan.


:

- Memiliki hasil pemeriksaan temperatur dan lab dalam batas normal

- Memiliki suara paru yang bersih


- Urinnya bening dan kuning
- Kulit utuh
Intervensi
1.

Kaji

efektifitas

Rasional
pemberian 1.

Imunosupresan berfungsi menekan sistem


20

imunosupresan.

imun bila pemberiannya tidak ekeftif maka

2.

Pantau jumlah leukosit.

tubuh akan sangat rentan terhadap infeksi.


2. Indikator adanya infeksi.

3.
4.

Pantau suhu tiap 4 jam.


Perhatikan karakteristik urine.

3. Memonitor suhu & mengantipasi infeksi.


4. Urine keruh menunjukan adanya infeksi

5.

saluran kemih.
Hindari pemakaian alat/ kateter pada 5. Kateter dapat menjadi media masuknya

saluran urine.
kuman ke saluran kemih.
6.
Pantau tanda dan gejala ISK dan 6. Memonitor adanya infeksi sehingga dapat
lakukan tindakan pencegahan ISK.
dilakukan tindakan dengan cepat.
7.
Gunakan dan anjurkan tehnik cuci 7.
Tehnik cuci tangan yang baik dapat
tangan yang baik.
8.
Anjurkan

pada

klien

memutus rantai penularan.


untuk 8. Sistim imun yang terganggu memudahkan

menghindari orang terinfeksi.


untuk terinfeksi.
9. Lakukan pencegahan kerusakan 9.
Kerusakan integritas kulit merupakan
integritas kulit.

hilangnya barrier pertama tubuh.

4. Potensial gangguan perfusi jaringan: serebral/kardiopulmonal b.d. resiko krisis hipertensi.


Tujuan

: Klien tidak mengalami perubahan perfusi jaringan.

Kriteria Hasil:

- Mengikuti rencana aktiftas


-

1.

TD dalam batas normal tanpa pengeluaran protein berlebihan

Intervensi
Rasional
Pantau tanda dan gejala krisis 1. Krisis hipertensi menyebabkan suplay darah

hipertensi

(Hipertensi,

takikardi, ke organ tubuh berkurang.

bradikardi, kacau mental, penurunan


tingkat kesadaran, sakit kepala, tinitus,
mual, muntuh, kejang dan disritmia).
2. Pantau tekanan darah tiap jam dan 2. Tekanan darah

yang tinggi menyebabkan

kolaborasi bila ada peningkatan TD suplay darah berkurang.


sistole >160 dan diastole > 90 mm Hg.
3. Kaji keefektifan obat anti hipertensi.

3. Efektifitas obat anti hipertensi penting untuk

4. Pertahankan TT dalam posisi rendah.

menjaga adekuatnya perfusi jaringan.


4. Posisi tidur yang rendah menjaga suplay
21

darah yang cukup ke daerah cerebral.


5. Perubahan integritas kulit b.d. imobilisasi, uremia, kerapuhan kapiler dan edema.
Tujuan : Klien tidak menunjukan adanya perubahan integritas kulit selama menjalani
perawatan.
Intervensi
1. Kaji kulit dari kemerahan, kerusakan, 1.

Rasional
Mengantisipasi adanya kerusakan kulit

memar, turgor dan suhu.


sehingga dapat diberikan penangan dini.
2. Jaga kulit tetap kering dan bersih. 2. Kulit yang kering dan bersih tidak mudah
Bersihkan & keringkan daerah perineal terjadi

iritasi

dan

mengurangi

media

setelah defikasi.
pertumbuhan kuman.
3. Rawat kulit dengan menggunakan 3. Lotion dapat melenturkan kulit sehingga
lotion untuk mencegah kekeringan untuk tidak mudah pecah/rusak.
daerah pruritus.
4. Hindari penggunaan sabun yang keras 4.
dan kasar pada kulit klien.
5. Instruksikan klien untuk

Sabun yang keras dapat menimbulkan

kekeringan kulit dan sabun yang kasar dapat


menggores kulit.
tidak 5. Menggaruk menimbulkan kerusakan kulit.

menggaruk daerah pruritus.


6. Anjurkan ambulasi semampu klien.

6.

Ambulasi

meningkatkan

dan

perubahan

sirkulasi

dan

posisi

mencegah

penekanan pada satu sisi.


7. Bantu klien untuk mengubah posisi 7. Lipatan menimbulkan tekanan pada kulit.
setiap 2 jam jika klien tirah baring.
Pertahankan linen bebas lipatan. Beri
pelindung pada tumit dan siku.
8. Lepaskan pakaian, perhiasan yang 8. Sirkulasi yang terhambat memudahkan
dapat menyebabkan sirkulasi terhambat.
9. Tangani area edema dengan hati -hati.

terjadinya kerusakan kulit.


9. Elastisitas kulit daerah edema sangat kurang

10. Pertahankan nutrisi adekuat.

sehingga mudah rusak.


10. Nutrisi yang adekuat

meningkatkan

pertahanan kulit.

22

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Glomerulonefritis adalah suatu reaksi imunologis pada ginjal terhadap bakteri atau virus
tertentu (infeksi kuman streptococcus ). GN sering ditemukan pada anak usia 3-7 thn dan
pada anak pria lebih banyak. Penyakit sifilis, keracunan penyakit amiloid,trombosis vena
renalis, purpura anafilaktoid, dan lupus eritematosus. Laju endap darah meninggi, HB
menurun pada pemeriksaan laboratorium. Pada pemeriksaan urin didapatkan jumlah urin
mengurang, berat jenis meninggi,hematuria makroskopik, albumin (+), eritrosit (++), leukosit
(+),silinder leukosit,ureum dan kreatinin darah meningkat. Pada penyakit ini, klien harus
istirahat selama 1-2 minggu, diberikan penicilli, pemberian makanan rendah protein dan bila
anuria,

maka

ureum

harus

dikeluarkan.

Komplikasi

yang

ditimbulkan

adalah

oliguria,ensefalopati hipertensi,gangguan sirkulasi serta anemia.

Gejala-gejala umum yang berkaitan dengan permulaan penyakit adalah rasa lelah,
anoreksia dan kadang demam,sakit kepala, mual, muntah. Gambaran yang paling sering
ditemukan

adalah

:hematuria,

oliguria,edema,hipertensi.

Tujuan

utama

dalam

penatalaksanaan glomerulonefritis adalah untuk meminimalkan kerusakan pada glomerulus,


meminimalkan metabolisme pada ginjal, meningkatkan fungsi ginjal. Tidak ada pengobatan
khusus yang mempengaruhi penyembuhan kelainan glomerulus. Pemberian pinisilin untuk
membrantas semua sisa infeksi,tirah baring selama stadium akut, diet bebas bila terjadi
edema atau gejala gagal jantung dan antihipertensi kalau perlu,sementara kortikosteroid tidak
mempunyai efek pada glomerulofritis akut pasca infeksi strepkokus.

23

B. Saran
1. Bagi Penulis
Sebagai mahasiswa haruslah dapat meningkatkan pengetahuan dan wawasan
mengenai penyebab serta upaya pencegahan penyakit glomerulonefritis agar
terciptanya kesehatan masyarakat yang lebih baik.
2. Bagi Pembaca
Diharapkan agar pembaca dapat mengetahui tentang glomerulonefritis lebih dalam
sehingga dapat mencegah serta mengantisipasi diri dari penyakit glomerulonefritis.
3. Bagi Petugas Kesehatan dan Institusi Pendidikan

Dapat menambah bahan pembelajaran dan informasi tentang glomerulonefritis.

24

DAFTAR PUSTAKA
1. Andrianto, petrus. Gumawan Johannes,1990. Kapita Selekta Patologi klinik. Edisi
Jakarat: EGC.
2. Arfin, Behrama Kliegman, 2000. Nelson : Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta : EEC .
3. Brunner and Suddarth, 2001.Keperawatan Medikal Bedah. Ed.8 Vol.2. Jakarta : EEC.
4. Chandrasoma Parakrama ,Clive R Taylor, 1994. Patologi Anatomi. Edisi 2.Jakarta: EGC.
5. Doengoes, Marilynn E, 1999. Rencana Asuhan Keperawatan.Ed.3. Jakarta : EEC.
6. Engram Barbara, 1999. Rencana Asuhan Kepertawatan Medikal Bedah.Vo.l 1. Jakarta:
Buku Kedokteran EGC.
7. Mansjoer, Arif.dkk, 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Ed.3. Jilid 2. Jakarta : Media
Aesculapius. FKUI

25

Anda mungkin juga menyukai