PENDAHULUAN
processes”. Maka itu sel epitel viseral juga dikenal sebagai podosit.
Antara sel endotel dan podosit terdapat membrana basalis
glomeruler (GBM = glomerular basement membrane). Membrana basalis
ini tidak mengelilingi seluruh lumen kapiler. Dengan mikroskop elektron
diketahui bahwa membrana basalis ini terdiri atas tiga lapisan, yaitu dari
arah dalam ke luar ialah lamina rara interna, lamina densa dan lamina
rara externa.
Simpai Bowman di sebelah dalam berlapiskan sel epitel parietal
yang gepeng, yang terletak pada membrana basalis simpai Bowman.
Membrana basalisini berlanjut dengan membrana basalis glomeruler pada
kutub vaskuler, dan dengan membrana basalis tubuler pada kutub tubuler.
Dalam keadaan patologik,sel epitel parietal kadang-kadang berproliferasi
membentuk bulan sabit (”crescent”). Bulan sabit bisa segmental atau
sirkumferensial, dan bisa seluler, fibroseluler atau fibrosa.
B. Epidemiologi
Sampai saat ini masih belum ada data epidemiologi
glomerulonefritis di Indonesia, hal ini disebabkan karena biopsi ginjal
tidak selalu dapat dilakukan dalam menegakkan diagnosis etiologi dari
glomerulonefritis. Data Perhimpunan Nefrologi Indonesia (Pernefri)
menunjukkan bahwa glomerulonefritis sebagai penyebab penyakit ginjal
tahap akhir (PGTA) yang menjalani hemodialisis mencapai 39% pada
tahun 2000.
Sibutar RP dan kawan melaporkan 177 kasus glomerulonefritis
yang lengkap dengan biopsi ginjal dari 459 kasus rawat inap yang
dikumpulkan dari 5 rumah sakit selama 5 tahun. Dari 177 yang dilakukan
biopsi ginjal didapatkan 35% menunjukkan manifestasi klinik sindrom
nefrotik, 19,2% sindrom nefritik akut, 3,9% glomerulonefritis progresif
cepat, 15,3% dengan hematuria, 19,3% proteinuria, dan 6,8% hipertensi.1
C. Etiologi
Faktor-faktor penyebab yang mendasari terjadinya GNA dapat
dibagi menjadi kelompok infeksi dan kelompok non-infeksi.4
1. Kelompok Infeksi
a. GN pasca infeksi streptokokus (penyebab terbanyak)
b. GN infeksi non-streptokokus
1) Bakteri: Diplococci, Staphylococci, Salmonella typhi,
Treponema Pallidum.
2) Virus: cytomegalovirus (CMV), coxsackievirus, Epstein-Barr
virus (EBV), hepatitis B (HBV), rubella.
3) Parasit: malaria, toksoplasmosis.
2. Kelompok Non-Infeksi
a. Penyakit ginjal primer
1) Membranoproliferatif glomerulonefritis (MPGN); Hal ini
disebabkan oleh perluasan dan proliferasi sel mesangial akibat
pengendapan komplemen. Tipe I mengacu pada deposisi
granular dari C3, tipe II mengacu pada proses yang tidak
teratur.
2) Nefropati Ig A (Penyakit Berger); Hal ini menyebabkan GN
sebagai akibat dari deposisi mesangial difus IgA dan IgG
3) Glomerulonefritis proliferatif mesangial
4) Glomerulonefritis progresif cepat (rapidly progressive
glomerulonephritis-RPGN); Bentuk GN yang ditandai dengan
adanya glomerulus crescent. Terdapat 3 tipe: tipe I adalah
antiglomerular basement membrane disease, tipe II dimediasi
oleh kompleks imun, dan tipe III diidentifikasi dengan antibody
sitoplasmik antineutrophil (ANCA)
b. Penyakit sistemik
1) Lupus eritematous sistemik (SLE); Hal ini menyebabkan GN
melalui deposisi kompleks imun pada ginjal.
2) Vaskulitis (Wegener granulomatosis, vaskulitis
hipersensitivitas)
3) Henoch-Schonlein purpura; Hal ini menyebabkan vaskulitis
umum yang mengakibatkan GN
4) Poliarteritis nodosa; GN terjadi akibat dari vaskulitis yang
melibatkan arteri ginjal
D. Patomekanisme
Glomerulonefritis merupakan penyakit glomerulus akibat respon
imunologik dan hanya jenis tertentu yang secara pasti telah diketahui
etiologinya. Secara garis besar ada dua mekanisme terjadinya
glomerulonefritis, yaitu circulating immune complex (CIC) dan
terbentuknya deposit komplek imun in-situ.1
Pada CIC, antigen (Ag) tidak berasal dari glomerulus. Antigen
mungkin endogen, seperti pada glomerulopati yang berkaitan dengan SLE,
atau eksogen, seperti pada GN yang terjadi setelah infeksi bakteri
(streptokokus), virus (hepatitis B), parasite (malaria Plasmodium
falciparum), dan spirokaeta (Treponema pallidum), namun kadang antigen
pemicu tidak diketahui. Antigen (Ag) tersebut memicu terbentuknya
antibodi (Ab) spesifik, kemudian membentuk komplek imun (Ag-Ab)
dalam sirkulasi. Komplek imun akan mengaktivasi sistem komplemen dan
selanjutnya komplemen berkaitan dengan Ag-Ab bertujuan untuk
membersihkan komplek imun dari sirkulasi melalui reseptor C3b yang
terdapat pada eritrosit. Komplek imun akan mengalami degradasi dan
dibersihkan dari sirkulasi pada saat eritrosit melewati hati dan limpa.
Apabila antigenemia menetap dan bersihan komplek imun terganggu,
maka komplek imun akan menetap dalam sirkulasi. Komplek imun
kemudian akan terjebak pada glomerulus melalui ikatannya dengan
reseptor-Fc yang terdapat pada sel mesangial atau ruang sub-endotel.
Aktivasi sistem komplemen akan terus berjalan setelah terjadi
pengendapan komplek imun pada glomerulus.1,5
Mekanisme pembentukan endapan komplek imun dapat terjadi
secara in-situ apabila Ab secara langsung berikatan dengan Ag yang
merupakan komponen dari membrane basal glomerulus (fixed-Ag) atau Ag
dari luar yang terjebak pada glomerulus (planted-Ag).1
Penyakit Anti-Membran Basal Glomerulus (anti-GBM) terjadi
ketika seseorang membentuk antibodi IgG terhadap antigen glikoprotein
dalam membran basalis glomerulus. Antibodi akan mengikat antigen
dalam komponen kolagenase-resistan dari kolagen IV yang terletak pada
lamina rara interna, ikatan ini terlihat sebagai pola garis-garis pada
pemeriksaan imunofluoresen yang diwarnai untuk IgG. Ikatan IgG ke
antigen membrane basalis mengaktifkan komplemen kaskade, sel polimorf
akan tertarik dan terjadi glomerulonefritis proliferatif yang menonjol.
Penyakit anti-GBM merupakan penyebab yang jarang untuk terjadinya
glomerulonefritis. Kelainan ini terjadi pada sindroma Goodpasture,
dimana glomerulonefritis dikaitkan dengan perdaran paru, karena antigen
terdapat juga pada membran basalis alveoli.6
Konsep pembentukan in-situ dikembangkan dengan
mempelajarinya pada binatang percobaan yang dengan nefritis Heymann
atau nefritis kompleks imun autologus (AIC). Binatang percobaan ini
membentuk antibodi terhadap glikoprotein yang terjadi pada mikrovili sel
epitel tubulus. Gambaran histologisnya sangat serupa dengan
glomerulonefritis membranosa pada manusia. Glikoprotein yang terikat
pada membran sebagai lekukan yang terselubung pada sel epitel
merupakan tempat interaksi antibodi. Setelah terbentuk pada permukaan
sel, kompleks imun tergeser masuk ke dalam membran basalis di bawah
dan kemudian mempunyai proses yang dinamik untuk remodeling dan
modifikasi yang menyebabkan terjadinya pembesaran atau pengurangan.
Antigen yang tertanam (planted antigen) ikut serta pada pengikatan
antigen ekstrinsik ke membran basalis. Sebagai contoh, pada SLE,
antigennya adalah DNA, yang mempunyai afinitas kuat untuk molekul
kolagen, dan karenanya akan terikat pada membran basalis. Sebagai
kelanjutannya, antibodi yang beredar akan membentuk kompleks in-situ
dengan antigen yang tertanam dalam membran basalis.6
Ketika reaktan imun menjadi terlokalisasi dalam membran basalis
glomerulus, terjadi pengaktifan komplemen kaskade dan melepaskan
substansi vasoaktif. Ini semua merupakan mediator radang akut yang
bertanggung jawab terhadap terjadinya kerusakan membran basalis,
mengubah lingkungannya untuk menghasilkan beberapa kelainan traktus
urinarius yang dapat ditemukan pada pemeriksaan klinis. Substansi
tersebut ialah :
Komplemen mempunyai peranan besar pada proses radang dalam
glomerulonefritis. Jalur klasik diaktifkan oleh kompleks imun
yang terkait di dalam glomerulus. Proses ini akan menarik
neutrophil polimorf, meningkatkan permeabilitas vaskuler, dan
menyebabkan kerusakan membran basalis.
Faktor nefritik (NeF-AP dan NeF-CP) merupakan
immunoglobulin yang terikat dan mengktifkan inhibitor dari
converting enzim komplemen kaskade. Konsekuensinya,
pemecahan C3 tanpa pengecekan lebih lanjut menyebabkan
terjadinya pengosongan C3 dari plasma, dan kondisi ini disebut
hipokomplementemia.
Leukosit polimorfonuklear ditarik oleh adanya kemotaktik dari
C5a. Dengan reseptor C3 dan Fc-nya sel polimorf mengikatkan
diri ke kompleks imun. Meskipun demikian, sel polimorf tidak
mampu memfagosit kompleks imun, dan sebagi kelanjutannya
pelepasan enzim lisosomalnya di sekitar kompleks imun akan
meningkatkan kerusakan membran basalis glomerulus.
Faktor pembekuan juga memperantai kerusakan glomerulus.
Fibrin biasa ditemukan pada glomerulonefritis. Fibrin menangkap
trombosit yang akan membentuk mikrotrombi (karena adanya
reseptor C3 dan Fc), bergranulasi dan melepaskan peptida
vasoaktif, sehingga meningkatkan permeabilitas vaskuler.
E. Manifestasi Klinik
Pada glomerulonefritis akut secara klinis menimbulkan sindrom
nefritis akut. Pasien nefritik biasanya datang dengan hematuria, silinder
eritrosit dan/atau dismorfik eritrosit di urin, azotemia, aligouria, dan
hipertensi ringan sampai sedang. Pasien juga sering mengalami proteinuria
dan edema, namun tidak separah seperti pada sindrom nefrotik.
Manifestasi klinis tidak spesifik lain yang mungkin didapatkan seperti
nyeri pinggang, nyeri kepala, mual, muntah, dan malaise.2,7
F. Diagnosis
Anamnesis
Tanyakan awitan dan durasi penyakit, biasanya mendadak
Identifikasi penyakit sitemik serta infeksi yang baru terjadi (infeksi
tenggorokan, kulit, dan lain-lain)
Riwayat penggantian katup jantung
Tanyakan gejala kehilangan nafsu makan, gatal generalisata,
kelelahan, mual, mudah memar, mimisan, bengkak pada wajah
serta kaki, dan sesak nafas.
Pertanyaan seputar buang air kecil (BAK): hematuria, oligouria,
adanya rasa nyeri abdomen.
Trias sinusitis, infiltrat paru, nefritis apabila curiga granulomatosis
Wegener.
Purpura, mual, muntah, dan nyeri abdomen apabila curiga purpura
Henoch-Schonlein.
Altralgia, terkait dengan SLE.
Hemoptysis, terjadi pada sindrom Goodpasture atau GN progresif
idiopatik.
Ruam-ruam kulit biasanya pada vaskulitis hipersensitivitas, SLE,
purpura Henoch-Schonlein.
Pemeriksaan Fisis
Penunjang
G. Tatalaksana
Tatalaksana glomerulonefritis akut bergantung kepada etiologi
yang mendasari tetapi prinsip umum yang dapat diterapkan adalah:
1. Mengatur tekanan darah dengan antihipertensi (diuretik dosis tinggi,
ACE-inhibitor, atau ARB, atau Calcium Chanel Blocker
nondihidropiridin) dan restriksi asupan garam. Target tekanan darah
<125/75 mmHg.
2. Reduksi proteinuria dengan restriksi asupan protein (0,8-1
g/kgBB/hari) serta penggunaan ACE-Inhibitor atau ARB. Hati-hati
dengan risiko malnutrisi yang mungkin dialami pasien.
3. Reduksi edema dengan diuretic dosis tinggi dan pengaturan asupan
cairan. Pengeluaran cairan disarankan kurang dari 2 kg/hari untuk
mengurangi risiko hypervolemia.
4. Tatalaksana konsekuensi metabolic (hyperlipidemia, hiperkoagubilitas)
5. Hindari penggunaan zat-zat nefrotoksik.
Tatalaksana spesifik
1. GNAPS (Glomerulonefritis Akut Pasca Infeksi Streptokokus)
a. Antibiotic: penisilin, eritromisin, atau sefalosporin generasi
pertama
2. Nefritis Lupus
a. Hidroksiklorokuin 6-6,5 mg/KgBB ideal
b. Kortikosteroid dan agen sitotoksik (biasanya siklofosfamid oral/IV
bulanan selama 6 bulan)
3. GN Pauci-Imun (terkait antineutrophil cytoplasmic antibody (ANCA)
a. Kortikosteroid + siklofosfamid/rituximab (apabila siklofosfamid
dikontraindikasikan)
b. Pasien yang mencapai remisi, diberikan terapi maintenance selama
18 bulan (azatioprin 1-2 mg/KgBB/hari)
c. Plasmaferesis diberikan pada pasien yang memerlukan dialysis,
pasien dengan peningkatan kreatinin cepat, serta adanya
perdarahan paru
4. Penyakit Anti-GBM (Glomerular basement membrane)
a. Kortikosteroid + siklofosfamid + plasmaferesis
b. Tidak diberikan terapi imunosupresif maintenance
5. Nefropati IgA
a. Penggunaan ACE-Inhibitor atau ARB untuk pasien dengan
proteinuria >1 g/hari, target proteinuria <1 g/hari
b. Apabila proteinuria persisten dalam 3-6 bulan terapi ACE-
Inhibitor atau ARB serta LFG>50mL/menit, pasien diberikan
kortikosteroid selama 6 bulan
c. Pemberian minyak ikan (fish oil) bagi pasien.
H. Diagnosis Banding
Nefrolithiasis; pasien biasanya mengalami nyeri hebat selain
hematuria lokasi dan penjalaran bergantung pada lokasi batu. Pada
pemeriksaan urinalisis menunjukkan hematuria, tetapi tidak
terdapat silinder atau dismorfik sel darah merah (RBCs) dan pada
pemeriksaan radiologi ditemukan adanya batu pada saluran kemih.
Kanker kandung kemih; menyebabkan hematuria tanpa rasa nyeri,
biasa ditemukan pada usia lanjut dan sebagian besar memiliki
riwayat merokok. Urinalisis menunjukkan hematuria, tetapi tidak
ada silinder atau dismorfik eritrosit (RBC). Diagnosis ditegakkan
dengan sistoskopi dan biopsy.
Kanker ginjal; ditemukan adanya trias nyeri ketok costoverterbrae
angle, demam, dan hematuria. Banyak kasus terdeteksi secara
kebetulan ketika CT-Scan, ditemukan adanya massa pada ginjal.
Pada urinalisis tampak hematuria, namun tidak ada silinder atau
dismorfik eritrosit.
I. Komplikasi
Glomerulonefritis dapat merusak ginjal, sehingga kehilangan
fungsi filtrasinya. Akibatnya tingkat cairan, elektrolit dan sisa hasil
metabolisme yang berbahaya menumpuk dalam tubuh. Kemungkinan
komplikasi yang dapat terjadi, antara lain:
Gagal ginjal akut; kehilangan fungsi filtrasi pada nefron, sehingga
mungkin perlu dilakukan hemodialysis.
Gagal ginjal kronik; ginjal secara bertahap kehilangan fungsi
filtrasinya. Fungsi ginjal yang memburuk kurang dari 10 persen
dari kapasitas normal menghasilkan penyakit ginjal tahap akhir,
yang membutuhkan hemodialysis atau transplantasi ginjal untuk
mempertahankan hidup.
Hipertensi retinopati/ensefalopati
Sindrom nefrotik; terjadi proteinuria massif, sehingga
menyebabkan hipoalbuminemia dan kadar kolesterol yang tinggi
dalam darah. Akibat dari hipoalbuminemia dapat terjadi edema
anasarka.
J. Prognosis
Jejas glomerulus terjadi pada GN sering tidak dapat pulih kembali
sehingga menyebabkan fibrosis glomerulus akibat dari proses inflamasi.
Pada GN akut biasanya membaik dengan sedikit atau tanpa kerusakan
ginjal yang permanen.