Anda di halaman 1dari 27

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi Ginjal


2.1.1 Anatomi Ginjal
Ginjal terletak di dalam ruang retroperitoneum, terletak setinggi vertebra
torakal 12 hingga lumbal 4. Ginjal mempunyai lapisan luar korteks yang
berisi glomerulus, tubulus kontortus proksimal-distal dan duktus kolektivus.
Lapisan dalam medulla yang mengandung bagian-bagian tubulus yang lurus,
lengkung henle, vasa rekta dan duktus koligens terminal.3

Gambar 2.1. Anatomi Ginjal2


Setiap ginjal mengandung sekitar satu juta nefron (terdiri dari glomerulus
dan tubulus). Pada manusia, pembentukan nefron telah selesai pada janin 36-
40 minggu, tetapi maturasi fungsional terus terjadi hingga tahun pertama
kehidupan. Karena tidak ada nefron baru yang dapat dibentuk sesudah lahir,
hilangnya nefron secara progresif karena proses infeksi saluran kemih atau
refluks dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan ginjal.2,3

2
3

Gambar2.2. Gambaran nefron yang terdiri dari nefron kortikal dan nefron jukstamedular2
2.1.2 Sistem Glomerulus Normal
Glomerulus terdiri atas suatu anyaman kapiler yang sangat khusus dan
diliputi oleh kapsul bowman. Glomerulus pada perbatasan korteks dan
medula (“juxtamedullary”) memiliki ukuran lebih besar dari pada glomerulus
perifer. Perdarahan glomerulus dari percabangan kapiler yang berasal dari
arteriola afferens, membentuk lobul-lobul, dan kemudian berpadu lagi
menjadi arteriola efferens. Tempat masuk dan keluarnya kedua arteriola itu
disebut kutub vaskuler. Di seberangnya terdapat kutub tubuler, yaitu
permulaan tubulus contortus proximalis.2,3
Glomerulus yang terdiri atas anyaman kapiler ditunjang oleh jaringan yang
disebut mesangium, yang terdiri atas matriks dan sel mesangial. Mesangium
berfungsi sebagai pendukung kapiler glomerulus dan berperan dalam
pembuangan makromolekul pada glomerulus, baik melalui fagositosis
intraseluler maupun dengan transpor melalui saluran-saluran intraseluler ke
regio jukstaglomerular. Kapiler-kapiler dalam keadaan normal tampak paten
dan lebar. Di sebelah dalam daripada kapiler terdapat sel endotel dan luar
kapiler terdapat sel epitel viseral, yang terletak di atas membran basalis
dengan tonjolan-tonjolan sitoplasma, yang disebut sebagai “foot processes”
4

dan dikenal sebagai podosit. Antara sel endotel dan podosit terdapat
membrana basalis glomeruler yang terdiri atas tiga lapisan, yaitu lamina rara
interna, lamina densa dan lamina rara externa. Kapsul bowman di sebelah
dalam berlapiskan sel epitel parietal yang gepeng, yang terletak pada
membrana basalis kapsul bowman. Dalam keadaan patologik, sel epitel
parietal kadang-kadang berproliferasi membentuk bulan sabit (”crescent”).
Bulan sabit bisa segmental atau sirkumferensial, dan bisa seluler, fibroseluler
atau fibrosa.2,3

Gambar 2.3. Glomerulus dan struktur yang berkaitan2


2.1.3 Fisiologi Ginjal
Fungsi utama ginjal adalah mempertahankan volume dan komposisi cairan
ekstraseluler dalam batas-batas normal. Komposisi dan volume cairan
ekstraseluler ini dikontrol oleh filtrasi glomerulus, reabsorpsi dan sekresi
tubulus. Fungsi utama ginjal terbagi menjadi3:
Fungsi ekskresi
- Mempertahankan osmolalitas plasma sekitar 285 mOsmol dengan
mengubah ekskresi air.
- Mempertahankan pH plasma sekitar 7,4 dengan mengeluarkan kelebihan
H+ dan membentuk kembali HCO3ˉ
- Mempertahankan kadar masing-masing elektrolit plasma dalam rentang
normal.
5

- Mengekskresikan produk akhir nitrogen dan metabolisme protein


terutama urea, asam urat dan kreatinin.
- Mengekskresikan berbagai senyawa asing, seperti : obat, pestisida, toksin,
& berbagai zat eksogen yang masuk kedalam tubuh.
Fungsi non ekskresi
- Menghasilkan renin yang penting untuk mengatur tekanan darah.
- Menghasilkan kalikrein, suatu enzim proteolitik dalam pembentukan
kinin, suatu vasodilator
- Menghasilkan eritropoietin yaitu suatu faktor yang penting dalam
stimulasi produk sel darah merah oleh sumsum tulang.
- Memetabolisme vitamin D menjadi bentuk aktifnya.
Fungsi dasar nefron adalah membersihkan plasma darah dan substansi
yang tidak diperlukan tubuh sewaktu darah melalui ginjal. Substansi yang
paling penting untuk dibersihkan adalah hasil akhir metabolisme seperti urea,
kreatinin, asam urat dan lain-lain. Selain itu ion-ion natrium, kalium, klorida
dan hidrogen yang cenderung untuk berakumulasi dalam tubuh secara
berlebihan. Mekanisme kerja utama nefron dalam membersihkan substansi
yang tidak diperlukan dalam tubuh adalah2,3:
- Nefron menyaring sebagian besar plasma di dalam glomerulus yang akan
menghasilkan cairan filtrasi.
- Jika cairan filtrasi ini mengalir melalui tubulus, substansi yang tidak
diperlukan tidak akan direabsorpsi sedangkan substansi yang diperlukan
direabsorpsi kembali ke dalam plasma dan kapiler peritubulus.
- Mekanisme kerja nefron yang lain dalam membersihkan plasma dan
substansi yang tidak diperlukan tubuh adalah sekresi. Substansi-substansi
yang tidak diperlukan tubuh akan disekresi dan plasma langsung melewati
sel-sel epitel yang melapisi tubulus ke dalam cairan tubulus.
- urin yang akhirnya terbentuk terdiri dari bagian utama berupa substansi-
substansi yang difiltrasi dan juga sebagian kecil substansi-substansi yang
disekresi.
6

2.1.4 Filtrasi Glomerulus


Darah yang mengalir ke dalam kapiler glomerulus akan disaring melalui
dinding kapiler glomerulus. Hasil ultrafiltrasi tersebut yang bebas sel,
mengandung semua substansi plasma seperti elektrolit, glukosa, fosfat,
ureum, kreatinin, peptida, protein-protein dengan berat molekul rendah
kecuali protein yang berat molekulnya lebih dari 68.000 (seperti albumin dan
globulin). Filtrat dikumpulkan dalam ruang bowman dan masuk ke dalam
tubulus sebelum meninggalkan ginjal berupa urin.
Filtrasi glomerulus adalah hasil akhir dari gaya-gaya yang berlawanan
melewati dinding kapiler. Gaya ultrafiltrasi (tekanan hidrostatis kapiler
glomerulus) berasal dari tekanan arteri sistemik, yang di ubah oleh tonus
arteriol aferen dan eferen. Gaya utama yang melawan ultrafiltrasi adalah
tekanan onkotik kapiler glomerulus, yang dibentuk oleh perbedaan tekanan
antara kadar protein plasma yang tinggi dalam kapiler dan ultrafiltrat yang
hampir saja bebas protein dalam ruang bowman. Filtrasi dapat diubah oleh
kecepatan aliran plasma glomerulus, tekanan hidrostatis dalam ruang
bowman, dan permeabilitas dari dinding kapiler glomerulus. Permeabilitas,
seperti yang diukur dengan koefisien ultrafiltrasi adalah hasil kali
permeabilitas air pada membran dan luas permukaan kapiler glomerulus total
yang tersedia untuk filtrasi.3
7

Gambar 2.4. Filtrasi glomerulus, total tekanan filtrasi glomerulus3


2.2 Glomerulonefritis
Glomerulonefritis adalah suatu istilah umum yang dipakai untuk
menjelaskan berbagai macam penyakit ginjal yang mengalami proliferasi dan
inflamasi di glomerulus akibat suatu proses imunologis. Glomerulonefritis
dibagi menjadi glomerulonefritis primer dan glomerulonefritis sekunder.
Glomerulonefritis primer diartikan sebagai kelainan ginjal yang penyakit
dasarnya berasal dari ginjal itu sendiri, sedangkan gomerulonefritis sekunder
mengindikasikan kelainan ginjal yang penyakit dasarnya berasal dari
penyakit sistemik, seperti: DM, SLE, mieloma multiple, amiloidosis.2
2.2.1 Glomerulonefritis primer
Glomerulonefritis Lesi Minimal
Glomerulonefritis lesi minimal merupakan salah satu jenis
glomerulonefritis yang dikaitkan dengan sindroma nefrotik, sehingga disebut
juga sebagai nefrosis lupoid. Pemeriksaan dengan mikroskop cahaya dan IF
menunjukkan gambaran glomerolus yang normal. Pada pemeriksaan
mikroskop elektron menunjukkan hilangnya foot processes sel epitel visceral
glomerolus.

Glomerulosklerosis Fokal dan Segmental


8

Secara klinis memberikan gambaran sindroma nefrotik dengan gejala


proteinuria masif, hipertensi, hematuria, dan sering disertai dengan gangguan
fungsi ginjal. Pemeriksaan mikroskop cahaya menunjukkan sklerosis
glomerolus yang mengenai bagian atau segmen tertentu. Obliterasi kapiler
glomerolus terjadi pada segmen glomerolus dan dinding kapiler mengalami
kolaps. Kelainan ini disebut hialinosis yang terdiri dari IgM dan komponen
C3. Glomerolus yang lain dapat normal ataupun membesar dan pada sebagian
kasus ditemukan penambahan jumlah sel.
Glomerulonefritis Membranosa
Glomerulonefritis membranosa disebut juga nefropati membranosa dan
sering menjadi penyebab utama sindroma nefrotik. Pada sebagian besar kasus
penyebabnya tidak diketahui, sedangkan pada kasus yang lain sering
dikaitkan dengan SLE, infeksi hepatitis virus B atau C, tumor ganas, atau pun
akibat obat. Pemeriksaan mikroskop cahaya tidak menunjukkan kelainan
berarti. Sedangkan pada pemeriksaan mikroskop IF ditemukan deposit IgG
dan komponen C3 berbentuk granular pada dinding kapiler glomerolus.
Dengan pewarnaan khusus tampak konfigurasi spike like pada MBG.
Gambaran histopatologi pada mikroskop cahaya, IF dan mikroskop elektron
sangat bergantung pada stadium penyakitnya.2
2.2.2. Glomerulonefritis Sekunder
Gomerulonefritis sekunder mengindikasikan kelainan ginjal yang
penyakit dasarnya berasal dari penyakit sistemik. Gomerulonefritis sekunder
terbagi menjadi 2 yaitu:
Glomerulonefritis Akut (GNA)
Suatu reaksi imunologis pada ginjal terhadap bakteri atau virus tertentu.
Mayoritas bakteri penyebanya adalah streptococcus.
Glomerulonefritis Kronik (GNK)
Adanya hematuria dan proteinuria yang menetap akibat dari terjadinya
eksaserbasi berulang dari glomerulonefritis akut.2
9

Glomerulonefritis yang paling sering terjadi pada anak adalah


Glomerulonefritis akut pasca infeksi, dan paling sering akibat infeksi
streptokokus beta hemolitikus grup A.1
2.3 Glomerulonefritis Akut Pasca Streptococcus
2.3.1 Definisi
Glomerulonefritis merupakan penyakit ginjal yang mengalami inflamasi
dan proliferasi sel glomerulus yang disebabkan oleh suatu mekanisme
imunologis. Pada anak kebanyakan kasus glomerulonefritis akut adalah
pasca infeksi, paling sering infeksi streptokokus beta hemolitikus grup A.
Dari perkembangan teknik biopsi ginjal perkutan, pemeriksaan dengan
mikroskop elektron dan imunofluoresen serta pemeriksaan serologis,
glomerulonefritis akut pasca streptokokus telah diketahui sebagai salah
satu contoh dari penyakit kompleks imun. Penyakit ini memiliki
manifestasi gross hematuria, edema, hipertensi dan insufisiensi ginjal
akut.1,4
2.3.2 Epidemiologi
Berdasarkan penelitian deskriptif Husein Akbar dan Syarifuddin Rauf,
didapatkan 76,4% dari 509 anak GNA berusia diatas 6 tahun. Terdapat
sebanyak 68,9% anak dengan sosial ekonomi rendah dan 82% dengan
pendidikan rendah. Selain itu, dilaporkan sebanyak 45,8% anak
mengalami infeksi saluran napas atas dan 31,6% mengalami infeksi kulit.
Pada penilitian ini menduga bahwa sebagian besar penyebab terjadinya
GNA adalah adalah Streptococcus yang dilihat dari peningkatan kadar
anti-streptolisin O (ASO) (66%), penurunan konsentrasi C3 (60,4%).
Manifestasi yang terjadi pada GNA berupa edema periorbital (76,3%),
hipertensi (61,8%), gross hematuri (53,6%). Hasil pemeriksaan penunjang
menunjukkan terdapat mikro hematuri (99,3%), proteinuria (98,5%),
peningkatan sedimen elektrolit (85,3%), pada foto thorax sebanyak 81,6%
mengalami efusi pleura, 80,2% dengan kardiomegali dan pemeriksaan
ekokardiogram dilaporkan sebanyak 80,2% mengalami efusi perikardial.5
10

Penelitian di RSCM Jakarta, selama 5 tahun (1998-2002), didapatkan


45 pasien glomerulonefritis akut (26 laki-laki dan 19 perempuan) yang
berumur antara 4 – 14 tahun dengan umur paling sering adalah 6-11 tahun.
Riwayat infeksi saluran nafas akut didapatkan pada 36 pasien, dan infeksi
kulit 14 pasien.
Glomerulonefritis akut pasca infeksi streptokokus dapat terjadi secara
epidemik atau sporadik, paling sering pada anak usia sekolah yang lebih
muda, antara 5-8 tahun. Perbandingan anak laki-laki dan anak perempuan
2 : 1. Di Indonesia, penelitian multisenter selama 12 bulan pada tahun
1988 melaporkan 170 orang pasien yang dirawat di rumah sakit
pendidikan, terbanyak di Surabaya (26,5%) diikuti oleh Jakarta (24,7%),
Bandung (17,6%), dan Palembang (8,2%). Perbandingan pasien laki-laki
dan perempuan 1,3:1 dan terbanyak menyerang anak usia 6-8 tahun
(40,6%).1
2.3.3 Etiologi
Sebagian besar glomerulonefritis akut timbul setelah infeksi saluran
pernapasan bagian atas, penyebab infeksi yang paling sering GNA adalah
infeksi oleh spesies Streptococcus yang melibatkan serotipe yang
berbeda:
- Serotipe M1, 2, 4, 12, 18, 25, nefritis Poststreptococcal akibat infeksi
saluran pernapasan atas, yang terjadi terutama di musim dingin.
- Serotipe 49, 55, 57, 60 - nefritis Poststreptococcal karena infeksi kulit,
biasanya diamati pada musim panas dan gugur dan lebih merata di
daerah selatan Amerika Serikat.
Gejala dan tanda yang muncul ketika terinfeksi streptococcus meliputi
perubahan suara, suhu diatas 38OC, eksudat pada tonsil dan adenopati
servikal. Manifestasi klinis seperti batuk, coryza dan diare lebih sering
dihubungkan dengan infeksi virus. Centor score dapat membantu klinisi
dalam menentukan pemeriksaan penunjang dan terapi yang akan
diberikan.6
11

Gambar 2.5. Centor score6


GNAPS biasanya berkembang 1-2 minggu pada orang dengan
faringitis dan 2-4 minggu pada mereka dengan infeksi kulit.
Glomerulonefritis pascainfeksi nonstreptococcal dapat juga akibat hasil
dari infeksi lain seperti bakteri, virus, atau parasit. Bakteri selain
streptokokus grup A yang dapat menyebabkan glomerulonefritis termasuk
diplococci, streptokokus lainnya, staphylococci, dan mikobakteri.
Penyebab virus yang mungkin menyebabkan glomerulonefritis
pascainfeksi antara lain Cytomegalovirus (CMV), coxsackievirus,
Epstein-Barr virus (EBV), virus hepatitis B (HBV), rubella. Etiologi
12

parasit yang dapat menyebabkan glomerulonefritis antara lain


Plasmodium, Schistosoma mansoni, Toxoplasma gondii, dan filariasis.1,5
2.3.4 Patogenesis
Mekanisme yang terjadi pada glomerulonefritis berhubungan dengan
kompleks antigen-antibodi. Terbentuknya kompleks antigen-antibodi ini
pada saat sirkulasi melalui glomerulus, kompleks-kompleks ini dapat
tersebar dalam mesangium, dilokalisir pada subendotel membran basalis
glomerulus sendiri, atau menembus membran basalis dan terperangkap
pada sisi epitel yang selanjutnya komponen tersebut akan terfiksasi dan
mengakibatkan lesi serta peradangan yang menimbulkan agregasi leukosit
polimorfonuklear (PMN) dan trombosit menuju tempat lesi. Fagositosis
dan pelepasan enzim lisosom juga dapat merusak endothel dan membran
basalis glomerulus. Sebagai respon terhadap lesi yang terjadi, timbul
proliferasi sel-sel endotel yang diikuti sel-sel mesangium dan selanjutnya
sel-sel epitel. Semakin meningkatnya kebocoran kapiler gromelurus
menyebabkan protein dan sel darah merah dapat keluar ke dalam urine
ketika melewati glomerulus yang mengakibatkan proteinuria dan
hematuria.7

Gambar 2.6. Patogenesis penyakit glomerulus7


Apapun antigennya, kompleks antigen-antibodi yang terbentuk di
dalam sirkulasi akan tersangkut di glomerulus dan mengendap pada
mesangium, subendotel dan subepitel. Endapan ini dapat dibuktikan
13

dengan pemeriksaan mikroskop flouresen dengan pola granular. Pada


penyakit antimembran basal glomerulus, antibodi secara langsung
berikatan dengan molekul kolagen di sepanjang membran basal
glomerulus, kadang-kadang bereaksi silang dengan membran basal di
alveolus paru sehingga secara bersamaan terjadi lesi di ginjal dan paru
yang disebut sindrom goodpasture. Pada pemeriksaan mikroskop
flouresens terlihat pola linier.7

Gambar 2.7. Mikroskop imunoflouresens. A. Pola granular, B. Pola linier7


2.3.5 Manifestasi Klinis
Lebih dari 50 % kasus GNAPS adalah asimtomatik. Kasus klasik
diawali dengan infeksi saluran napas atas dengan nyeri tenggorok dua
minggu mendahului timbulnya sembab. Periode laten rata-rata 10 atau 21
hari setelah infeksi tenggorok atau kulit. Hematuria dapat timbul berupa
gross hematuria maupun mikroskopik. Gross hematuria terjadi pada 30-
50% pasien yang dirawat. Variasi lain yang tidak spesifik bisa dijumpai
seperti demam, malaise, nyeri, nafsu makan menurun, nyeri kepala, atau
lesu. Pada pemeriksaan fisis dijumpai hipertensi pada hampir semua
pasien GNAPS, biasanya ringan atau sedang. Hipertensi pada GNAPS
dapat mendadak tinggi selama 3-5 hari. Setelah itu tekanan darah menurun
perlahan-lahan dalam waktu 1-2 minggu. Edema bisa berupa wajah
sembab, edem pretibial atau berupa gambaran sindrom nefrotik. Asites
dijumpai pada sekitar 35% pasien dengan edem. Dari 45 pasien GNA,
hematuria makroskopik didapatkan pada 29 pasien, anuria/oliguria 31
14

pasien, dan edem pada 39 pasien. Hipertensi dijumpai pada 39 pasien, 19


di antaranya merupakan krisis hipertensi. Proteinuria dan hematuria
mikroskopik didapatkan pada semua pasien, leukosituria 29 pasien.
Penurunan fungsi ginjal didapatkan pada 21 pasien, peningkatan titer ASO
21 pasien, dan komplemen C3 yang menurun 32 pasien.5,8,9
2.3.6 Diagnosis
a. Anamnesis
Umumnya pasien datang dengan hematuria nyata (gross hematuria)
atau sembab di kedua kelopak mata dan tungkai. Pada anak dengan GNA
akan terlihat perubahan warna urin yang mendadak. Warna urin pada anak
dengan GNA biasanya digambarkan sebagai urin berwarna seperti teh.
Warna urin pada GNA seragam di sepanjang pancaran urin. Hematuria
pada GNA hampir selalu tidak disertai rasa nyeri. Selain itu, sebagian
pasien datang dengan kejang dan penurunan kesadaran akibat ensefalopati
hipertensi. Beberapa pasien memiliki riwayat infeksi saluran nafas atas
(faringitis) 1-2 minggu sebelumnya atau infeksi kulit (pioderma) 3-6
minggu sebelumnya. Kecurigaan akan adanya GNAPS dicurigai bila
dijumpai gejala klinis berupa hematuria nyata yang timbul mendadak,
sembab dan gagal ginjal akut setelah infeksi streptokokus. Tanda
glomerulonefritis yang khas pada urinalisis, bukti adanya infeksi
streptokokus secara laboratoris dan rendahnya kadar komplemen C3
mendukung bukti untuk menegakkan diagnosis.10
b. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik diawali dengan penilaian yang cermat mengenai
tanda-tanda vital, terutama tekanan darah. Tekanan darah 5 mm di atas
persentil ke-99 berdasarkan usia anak, jenis kelamin, dan tinggi badan
perlu mendapat perhatian. Pada pasien GNAPS sering ditemukan
hipertensi dan edema di kedua kelopak mata dan tungkai. Selain itu, dapat
ditemukan lesi bekas infeksi di kulit. Bila terjadi ensefalopati, pasien dapat
mengalami penurunan kesadaran hingga kejang. Pasien juga dapat
mengalami gejala-gejala hipervolemia seperti gagal jantung, edema paru.10
15

c. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan urin sangat penting untuk menegakkan diagnosis nefritis
akut. Volume urin sering berkurang dengan warna gelap atau kecoklatan
seperti air cucian daging. Hematuria makroskopis maupun mikroskopis
dijumpai pada hampir semua pasien. Eritrosit khas terdapat pada 60-85%
kasus, menunjukkan adanya perdarahan glomerulus. Proteinuria biasanya
sebanding dengan derajat hematuria dan ekskresi protein umumnya tidak
melebihi 2gr/m2 luas permukaan tubuh perhari. Sekitar 2-5% anak disertai
proteinuria masif seperti gambaran nefrotik.1
Umumnya LFG berkurang, disertai penurunan kapasitas ekskresi air
dan garam, menyebabkan ekspansi volume cairan ekstraselular.
Menurunnya LFG akibat tertutupnya permukaan glomerulus dengan
deposit kompleks imun. Sebagian besar anak yang dirawat dengan GNA
menunjukkan peningkatan urea nitrogen darah dan konsentrasi serum
kreatinin.1
Anemia sebanding dengan derajat ekspansi volume cairan
esktraselular dan membaik bila edem menghilang. Beberapa peneliti
melaporkan adanya pemendekan masa hidup eritrosit. Kadar albumin dan
protein serum sedikit menurun karena proses dilusi dan berbanding
terbalik dengan jumlah deposit imun kompleks pada mesangial
glomerulus.1
Bukti yang mendahului adanya infeksi streptokokus pada anak dengan
GNA harus diperhatikan termasuk riwayatnya. Pemeriksaan bakteriologis
apus tenggorok atau kulit penting untuk isolasi dan identifikasi
streptokokus. Bila biakan tidak mendukung, dilakukan uji serologi respon
imun terhadap antigen streptokokus. Peningkatan titer antibodi terhadap
streptolisin-O (ASTO) terjadi 10-14 hari setelah infeksi streptokokus.
Kenaikan titer ASTO terdapat pada 75-80% pasien yang tidak mendapat
antibiotik. Titer ASTO pasca infeksi streptokokus pada kulit jarang
meningkat dan hanya terjadi pada 50% kasus. Titer antibodi lain seperti
antihialuronidase (Ahase) dan anti deoksiribonuklease B (DNase B)
16

umumnya meningkat. Pengukuran titer antibodi yang terbaik pada keadaan


ini adalah terhadap antigen DNase B yang meningkat pada 90-95% kasus.
Pemeriksaan gabungan titer ASTO, Ahase dan ADNase B dapat
mendeteksi infeksi streptokokus sebelumnya pada hampir 100% kasus.1
Penurunan komplemen C3 dijumpai pada 80-90% kasus dalam 2
minggu pertama, sedang kadar properdin menurun pada 50% kasus.
Penurunan C3 sangat nyata, dengan kadar sekitar 20-40 mg/dl (normal 80-
170 mg/dl). Kadar IgG sering meningkat lebih dari 1600 mg/100 ml pada
hampir 93% pasien. Pada awal penyakit kebanyakan pasien mempunyai
krioglobulin dalam sirkulasi yang mengandung IgG atau IgG bersama-
sama IgM atau C3.1
Hampir sepertiga pasien menunjukkan pembendungan paru. Penelitian
Albar dkk., di Ujung Pandang pada tahun 1980-1990 pada 176 kasus
mendapatkan gambaran radiologis berupa kardiomegali 84,1%, bendungan
sirkulasi paru 68,2 % dan edem paru 48,9%. Gambaran tersebut lebih
sering terjadi pada pasien dengan manifestasi klinis disertai edem yang
berat. Foto abdomen menunjukkan kekaburan yang diduga sebagai asites.1
Kecurigaan akan adanya GNAPS dicurigai bila dijumpai gejala klinis
berupa hematuria nyata yang timbul mendadak, sembab dan gagal ginjal
akut setelah infeksi streptokokus. Tanda glomerulonefritis yang khas pada
urinalisis, bukti adanya infeksi streptokokus secara laboratoris dan
rendahnya kadar komplemen C3 mendukung bukti untuk menegakkan
diagnosis.1
2.3.7 Diagnosis Banding
Anak yang memiliki gejala hematuria, proteinuria, hipertensi, edema,
oligouria sangat mungkin untuk menderita GNA. Berikut adalah diagnosis
banding GNA yang dapat dilihat pada tabel 2.1. dan alur pendekatan
diagnosis GNA pada gambar 2.72:
17

Tabel 2.1 Diagnosis banding GNA2


18

Gambar 2.8. Alur pendekatan diagnosis GNA2

2.3.8 Komplikasi
Pasien dengan GNA, dapat berkembang menjadi gagal ginjal, dan
berakibat pada kematian ginjal dalam waktu singkat. Urinalisis yang
19

abnormal seperti mikrohematuria dapat bertahan selama bertahun-tahun.


Berdasarkan penelitian Husein Akbar dan Syarifuddin Rauf, komplikasi
yang dapat terjadi seperti edema paru akut (11,5%), hipertensi ensefalopati
(9,2%) dan gagal ginjal akut (10,5%).5
2.3.9 Tatalaksana
Penanganan pasien adalah suportif dan simtomatik. Perawatan
dibutuhkan apabila dijumpai penurunan fungsi ginjal sedang sampai berat
( klirens kreatinin <60 ml/1 menit/1,73 m2), BUN > 50 mg, anak dengan
tanda dan gejala uremia, muntah, letargi, hipertensi ensefalopati, anuria
atau oliguria menetap. Tatalaksana cairan yang dapat diberikan untuk
mengatasi terjadinya edema berupa diet rendah natrium dan restriksi
cairan. Cairan yang diberikan berdasarkan perhitungan menggunakan luas
permukaan tubuh yang didapat dari:

Luas permukaan tubuh =


√ Berat badan x Tinggi badan
3600
Restriksi cairan hari pertama = luas permukaan tubuh x 400 + urin output.
Restriksi cairan hari selanjutnya jika diberikan furosemide:
luas permukaan tubuh x 400 + (urin output:2)
Hipertensi
Tujuan pengobatan hipertensi pada anak adalah mengurangi risiko
jangka pendek maupun panjang terhadap penyakit kardiovaskular dan
kerusakan organ target. Tujuan akhir pengobatan hipertensi adalah
menurunkan tekanan darah hingga di bawah persentil ke-95 berdasarkan
usia dan tinggi badan anak. Pengobatan yang dilakukan secara tepat sejak
awal pada anak yang menderita hipertensi akan menurunkan risiko
terjadinya stroke dan penyakit jantung koroner di kemudian hari.11
Hipertensi pada anak yang merupakan indikasi pemberian anti
hipertensi antara lain; hipertensi simtomatik, adanya kerusakan organ
target (retinopati, hipertrofi ventrikel kiri dan proteinuria), hipertensi
sekunder, diabetes melitus, hipertensi tingkat 1 yang tidak menunjukkan
respons dengan perubahan gaya hidup, dan hipertensi tingkat 2. Perlu
20

ditekankan bahwa tidak ada satupun obat antihipertensi yang lebih


superior dibanding dengan jenis yang lain dalam hal efektivitasnya untuk
mengobati hipertensi pada anak.11
Menurut the national high blood pressure education program
(NHBEP) working group on high blood pressure in children and
adolescents pemberian antihipertensi harus mengikuti aturan berjenjang,
dimulai dengan satu macam obat pada dosis terendah, kemudian
ditingkatkan secara bertahap hingga mencapai efek terapetik atau
munculnya efek samping atau bila dosis maksimal telah tercapai. Obat
kedua boleh diberikan dengan menggunakan obat yang memiliki
mekanisme kerja yang berbeda. Obat antihipertensi yang digunakan pada
anak disajikan pada Tabel 2.2.11
21
22

Golongan diuretik dan β-blocker merupakan obat yang dianggap aman dan
efektif untuk anak. Golongan β-adrenergik atau penghambat calcium-channel
dianjurkan pada anak yang mengalami migrain.
Pada hipertensi akibat glomerulonefritis pasca infeksi streptokokus
pemberian diuretik merupakan pilihan utama. Langkah-langkah pendekatan
pengobatan farmakologis pada anak dengan hipertensi dapat dilihat pada Gambar
2.8.

Gambar 2.9. Langkah-langkah pendekatan pengobatan farmakologis pada anak dengan


hipertensi11

Golongan obat lain yang perlu dipertimbangkan untuk anak dengan


hipertensi disertai diabetes melitus atau terdapat proteinuria adalah
penghambat ACE (angiotensi converting enzyme). Penggunaan obat
penghambat ACE harus hati-hati pada anak yang mengalami penurunan
fungsi ginjal. Enlapril, suatu penghambat ACE yang baru memiliki masa
23

kerja yang panjang sehingga dapat diberikan dengan interval lebih panjang
dibandinglan dengan kaptopril. Obat ini lebih selektif dalam mekanisme
kerjanya dan memiliki efek samping batuk yang lebih sedikit dibandingkan
dengan golongan obat penghambat ACE.11
Hipertensi emergensi
Hipertensi emergensi adalah hipertensi berat disertai komplikasi yang
mengancam jiwa seperti ensefalopati (kejang, stroke, defisit fokal), gagal
jantung akut, edema paru, aneurisma aorta, atau gagal ginjal akut. Keadaan
ini harus diatasi dalam waktu satu jam dan sebaiknya dilakukan di ruangan
perawatan intensif. Obat-obat antihipertensi untuk penanggulangan
hipertensi krisis disajikan pada Tabel 2.3.11
24

Tabel 2.3 obat-obat antihipertensi untuk penanggulanagan hipertensi krisis11

Tekanan darah diukur tiap 5 menit pada 15 menit pertama


selanjutnya setiap 15 menit pada 1 jam pertama kemudian setiap 30 menit
sampai tekanan darah diastolik < 100 mmHg dan tiap 1 – 3 jam sampai
tekanan darah stabil. Turunkan tekanan darah 25 – 30% dalam 6 jam
pertama selanjutnya 25 – 30 % dalam 24 – 36 jam, selanjutnya dalam 48 –
72 jam. Pada anak dengan hipertensi kronik danjurkan untuk menurunkan
tekanan darah sebear 20 – 30 % dalam waktu 60-90 menit. Salah satu
bentuk hipertensi emergensi adalah hipertensi krisis yaitu tekanan darah
meningkat dengan cepat hingga mencapai sistolik > 180 mmHg atau
diastolik > 120 mmHg.11
Pemberian nifedipin secara oral atau sublingual sangat membantu
pada tahap awal pengobatan, sambil mencari cara agar obat suntikan dapat
segera diberikan. Nifedipin dosis 0,1 mg/kg dinaikkan 0,1 mg/kg/x setiap
15 menit pada 1 jam selanjutnya tiap 30 menit, dengan dosis maksimal 10
mg/kali. Tambahkan furosemid dosis 1 mg/kg/kali, 2 kali sehari secara
intravena namun bila keadaan pasien baik dapat diberikan per oral. Bila
tekanan darah belum turun, tambahkan kaptopril dosis awal 0,3
mg/kg/kali, 2 – 3 kali sehari dosis maksimal 2 mg/kg/hari. Bila tekanan
darah belum turun juga, dapat dikombinasikan dengan antihipertensi
lainnya. Bila tekanan darah dapat diturunkan dilanjutkan dengan nifedipin
oral 0,25 – 1 mg/kg/hari, 3 – 4 kali sehari. Dosis kaptopril dan nifedipin
kemudian diturunkan secara bertahap.11
Pada anak dengan hipertensi kronis atau yang kurang terkontrol
seringkali memerlukan anti hipertensi kombinasi untuk memantau
kenaikan tekanan darah. Prinsip dasar pemberian anti hipertensi kombinasi
adalah menggunakan obat dengan tempat dan mekanisme kerja yang
berbeda. Pemilihan obat juga harus sesederhana mungkin yaitu
memberikan obat dengan masa kerja panjang sehingga obat cukup
diberikan satu atau dua kali sehari. Lama pengobatan yang tepat pada anak
dan remaja dengan hipertensi tidak diketahui dengan pasti dan bervariasi.
25

Oleh karena itu bila tekanan darah terkontrol dan tidak terdapat kerusakan
organ maka obat dapat diturunkan secara bertahap, kemudian dihentikan
dengan pengawasan ketat setelah penyebabnya diperbaiki. Pada bayi bila
tekanan darah terkontrol selama 1 bulan, dosis obat tidak meningkat, berat
badan tetap naik maka dosis diturunkan sekali seminggu dan berangsur-
angsur dihentikan. Pada anak dan remaja, bila tekanan darah terkontrol
dalam batas normal selama 6 bulan sampai 1 tahun, terapi diubah menjadi
monoterapi. Setelah terkontrol kira-kira 6 minggu, dosis diturunkan dan
berangsur-angsur dihentikan.11
Retensi cairan ditangani dengan pembatasan cairan dan natrium.
Asupan cairan sebanding dengan invensible water loss (400-500 ml/m2
luas permukaan tubuh/hari ) ditambah setengah atau kurang dari urin yang
keluar. Bila berat badan tidak berkurang diberi diuretik seperti furosemid
2mg/ kgBB, 1-2 kali/hari.
Pemakaian antibiotik tidak mempengaruhi perjalanan penyakit.
Namun, pasien dengan biakan positif harus diberikan antibiotik untuk
eradikasi organisme dan mencegah penyebaran ke individu lain. Diberikan
antimikroba berupa amoksisilin 80mg/kgBB/hari dibagi 3 dosis selama 10
hari. Jika anak alergi golongan penisilin, diberikan eritomisin dengan dosis
30mg/kgBB/hari dibagi 3 dosis. Pembatasan bahan makanan tergantung
beratnya edem, gagal ginjal, dan hipertensi. Protein tidak perlu dibatasi
bila kadar urea N kurang dari 75 mg/dL atau 100 mg/dL. Bila terjadi
azotemia asupan protein dibatasi 0,5 g/kgBB/hari. Pada edem berat dan
bendungan sirkulasi dapat diberikan NaCl 300 mg/hari sedangkan bila
edem minimal dan hipertensi ringan diberikan 1-2 g/m2/ hari. Bila disertai
oliguria, maka pemberian kalium harus dibatasi. Anuria dan oliguria yang
menetap, terjadi pada 5-10 % anak. Penanganannya sama dengan GGA
dengan berbagai penyebab dan jarang menimbulkan kematian.1

Biopsi Ginjal
26

Pada GNAPS biopsi ginjal tidak diindikasikan. Biopsi


dipertimbangkan bila terdapat gangguan fungsi ginjal berat khususnya bila
etiologi tidak jelas (berkembang menjadi gagal ginjal atau sindrom
nefrotik), tidak ada bukti infeksi streptokokus, tidak terdapat penurunan
kadar komplemen, perbaikan yang lama dengan hipertensi yang menetap,
azotemia, gross hematuria setelah 3 minggu, kadar C3 yang rendah setelah
6 minggu, proteinuria yang menetap setelah 6 bulan dan hematuria yang
menetap setelah 12 bulan.1
Biopsi ginjal pada pasien GNAPS akan memberikan gambaran lesi
glomerulus yang terdiri dari sebukan limfosit ke dalam glomerulus dan
proliferasi sel endotel, mesangium dan epitel parietal.12

A B

Gambar 2.10. Biopsi Ginjal. A: Glomerulus normal, B:Glomerulus pasien


GNAPS12,13
2.3.10 Perjalanan Penyakit/Pemantauan
Fase awal glomerulonefritis akut berlangsung beberapa hari sampai 2
minggu. Setelah itu anak akan merasa lebih baik, diuresis lancar, edem dan
hipertensi hilang, LFG kembali normal. Penyakit ini dapat sembuh sendiri,
jarang berkembang menjadi kronik. Kronisitas dihubungkan dengan awal
penyakit yang berat dan kelainan morfologis berupa hiperselularitas
lobulus.1
Pasien sebaiknya kontrol tiap 4-6 minggu dalam 6 bulan pertama
setelah awitan nefritis. Pengukuran tekanan darah, pemeriksaan eritrosit
dan protein urin selama 1 tahun lebih bermanfaat untuk menilai perbaikan.
27

Kadar C3 akan kembali normal pada 95% pasien setelah 8-12 minggu,
edem membaik dalam 5-10 hari, tekanan darah kembali normal setelah 2-3
minggu, walaupun dapat tetap tinggi sampai 6 minggu.1
Gross hematuria biasanya menghilang dalam 1-3 minggu, hematuria
mikroskopik menghilang setelah 6 bulan, namun dapat bertahan sampai 1
tahun. Proteinuria menghilang 2-3 bulan pertama atau setelah 6 bulan.
Pearlman dkk, di Minnesota menemukan 17% dari 61 pasien dengan
urinalisis rutin abnormal selama 10 tahun pemantauan. Ketidaknormalan
tersebut meliputi hematuria atau proteinuria mikroskopik sendiri-sendiri
atau bersama-sama. Dari 16 spesimen biopsi ginjal tidak satupun yang
menunjukkan karakteristik glomerulonefritis kronik. Penelitian Potter dkk,
di Trinidad, menjumpai 1,8% pasien dengan urin abnormal pada 4 tahun
pertama tetapi hilang 2 tahun kemudian dan 1,4% pasien dengan
hipertensi. Hanya sedikit urin dan tekanan darah yang abnormal
berhubungan dengan kronisitas GNAPS. Nissenson dkk, mendapatkan
kesimpulan yang sama selama 7-12 tahun penelitian di Trinidad. Hoy dkk,
menemukan mikroalbuminuria 4 kali lebih besar pada pasien dengan
riwayat GNAPS, sedangkan Potter dkk di Trinidad, menemukan 3,5% dari
354 pasien GNAPS mempunyai urin abnormal yang menetap dalam 12 -17
tahun pemantauan. Penelitian White dkk, menemukan albuminuria yang
nyata dan hematuria masing-masing pada 13% dan 21% dari 63 pasien
selama 6-18 tahun pemantauan. Kemungkinan nefritis kronik harus
dipertimbangkan bila dijumpai hematuria bersama-sama proteinuria yang
bertahan setelah 12 bulan.1
2.3.11 Prognosis
Berbagai faktor memegang peran dalam menetapkan prognosis
GNAPS antara lain umur saat serangan, derajat berat penyakit, galur
streptokukus tertentu, pola serangan sporadik atau epidemik, tingkat
penurunan fungsi ginjal dan gambaran histologis glomerulus. Anak kecil
mempunyai prognosis lebih baik dibanding anak yang lebih besar atau
orang dewasa oleh karena GNAPS pada dewasa sering disertai lesi
28

nekrotik glomerulus. Perbaikan klinis yang sempurna dan urin yang


normal menunjukkan prognosis yang baik. Insiden gangguan fungsi ginjal
berkisar 1-30%. Kemungkinan GNAPS menjadi kronik 5-10 %; sekitar
0,5-2% kasus menunjukkan penurunan fungsi ginjal cepat dan progresif
dan dalam beberapa minggu atau bulan jatuh ke fase gagal ginjal terminal.
Angka kematian pada GNAPS bervariasi antara 0-7 %. Melihat GNAPS
masih sering dijumpai pada anak, maka penyakit ini harus dicegah karena
berpotensi menyebabkan kerusakan ginjal. Pencegahan dapat berupa
perbaikan ekonomi dan lingkungan tempat tinggal, mengontrol dan
mengobati infeksi kulit. Pencegahan GNAPS berkontribusi menurunkan
insiden penyakit ginjal dan gagal ginjal di kemudian hari.1,14

Anda mungkin juga menyukai