Anda di halaman 1dari 25

2

EVIDANCE BASED NURSING


PENERAPAN QUEUING THEORY UNTUK MENGOPTIMALKAN
PROSES TRIASE DI DEPARTEMEN PERAWATAN
DARURAT TERSIER (“ER”)

Oleh :
Kelompok 3

Indriana Wahyu Sukandar NIM.


Nia Urbani NIM.
Pramula Regita Herdian, S.Kep NIM. 19020066
Rifatul Kamila NIM
Thariq Faisal Badri, S.Kep NIM. 19020090

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN dr. SOEBANDI JEMBER
YAYASAN JEMBER INTERNATIONAL SCHOOL
2019-2020
3

LEMBAR PENGESAHAN

Evidance Based Nursing yang berjudul “penerapan queuing theory untuk


mengoptimalkan proses triase di departemen perawatan darurat tersier (“er”)”
Telah di sahkan pada :
Hari :
Tanggal :
Tempat : Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Daerah dr. Soebandi Jember

Yang mengesahkan,

Ka. Instalasi Gawat Darurat, Pembimbing Akademik,

Ns.Feri Ekaprasetia, S.Kep.,M.Kep


(…………………………………..)
NIK.19920122 201609 1 127
NIP/NIK.
4

DAFTAR ISI

HALAMAN COVER...........................................................................................
LEMBAR PENGESAHAN..................................................................................
DAFTAR ISI.........................................................................................................
KATA PENGANTAR...........................................................................................
BAB1 PENDAHULUAN......................................................................................
1.1 Latar Belakang..............................................................................................
1.2 Rumusan Masalah.........................................................................................
1.3 Tujuan Evidence Based Nursing...................................................................
1.4 Manfaat Evidence Based Nursing................................................................
BAB 2 TUJUAN PUSTAKA................................................................................
2.1 Konsep Teori.................................................................................................
2.2 Literatur Review............................................................................................
BAB 3 PEMBAHASAN.......................................................................................
3.1 Metode..........................................................................................................
3.2 Hasil..............................................................................................................
3.3 Pembahasan...................................................................................................
BAB 4 PENUTUP.................................................................................................
4.1 Kesimpulan .................................................................................................
4.2 Saran.............................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................
LAMPRAN...........................................................................................................

KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan
rahmatnya sehingga dapat menyelesaikan Evidence Based Nursing untuk
memenuhi salah satu persyaratan menyelesaikan pendidikan Program Profesi
Ners STIKES dr. Soebandi Jember dengan judul “Penerapan Queuing Theory
Untuk Mengoptimalkan Proses Triase Di Departemen Perawatan Darurat Tersier
(“Er”)”
Terselesaikannya Evidence Based Nursing ini tidak lepas dari bantuan dan
bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu dalam kesempatan ini kami
mengucapkan terima kasih kepada pembimbing dosen dan pembimbing klinik.
5

Kami menyadari bahwa dalam penyusunan laporan ini masih kurang


sempurna. Untuk itu kami mengharapkan saran dan Masukan dari berbagai pihak
yang bersifat membangun. Semoga Evidence Based Nursing ini bermanfaat bagi
pengembang pembelajaran untuk ilmu kesehatan khususnya bagi keperawatan
gawat darurat dan kritis.

Jember, 5 februari 2020

Penyusun
6

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


IGD merupakan pintu utama untuk masuknya semua pasien baik dengan
kondisi emergency maupun non emergency. IGD merupakan salah satu unit
pelayanan di rumah sakit yang memberikan pertolongan pertama dan sebagai
jalan pertama masuknya pasien dengan kondisi gawat darurat. Keadaan gawat
darurat adalah suatu keadaan klinis dimana pasien membutuhkan pertolongan
medis yang cepat untuk menyelamatkan nyawa dan kecacatan lebih lanjut
(Kepmenkes RI, 2009).
Pelayanan IGD pada suatu rumah sakit merupakan salah satu tolak ukur
kualitas pelayanan rumah sakit pada umumnya. IGD adalah salah satu bagian
rumah sakit yang melakukan tindakan berdasarkan triage keadaan pasien
(Musliha, 2010). Pembagian triage pada pasien sangat penting guna mencegah
kecacatan dan kematian pada pasien. Oleh sebab itu, petugas IGD khususnya
dokter dan perawat harus mempunyai kecepatan, ketrampilan dan kesiagaan yang
lebih dari petugas medis di ruangan lain. Perkembangan triase modern tak lepas
dari pengembangan sistim layanan gawat darurat. Seiring dengan berkembangnya
penelitian di bidang gawat darurat, sejak tahun 1950 an diterapkan metode triase
di rumah sakit di Amerika Serikat, namun belum ada struktur yang baku. Seiring
dengan perkembangan keilmuan dibidang gawat darurat, triase rumah sakit
modern sudah berkembang menjadi salah satu penentu arus pasien dalam layanan
gawat darurat. (Kemenkes RI, 2014)
Permasalahan yang sering terjadi pada pelayanan IGD antara lain
kepadatan sehingga permintaan untuk layanan melebihi kapasitas IGD, lama
waktu tunggu akibat Overcrowding atau kesibukan di IGD. Masalah antrian di
IGD diperparah dengan adanya pasien tunggu (pasien transisi). Departemen IGD
identik dengan kepadatan yang menyebabkan keterlambatan dalam melakukan
tindakan. Hal ini berdampak pada pasien yang harus menunggu lama untuk
diperiksa dan dilayani. Tidak hanya itu, rumah sakit mengalami kehilangan pasien
karena pindah ke rumah sakit lain atau pulang ke rumah. Berbagai kondisi yang
dihadapi perawat di departemen IGD menimbulkan berbagai masalah. Bermula
dari kejenuhan para pekerja medis, banyak pekerja medis yang mengundurkan
diri, dan terjadi kesalahan medis (salah mendiagnosis, salah melakukan tindakan)
dimana menurut Lowry (2009) kesalahan yang sering terjadi di ruang Instalasi
7

Gawat Darurat (IGD), berpotensi membahayakan keselamatan pasien dan


kebanyakan disebabkan oleh kesalahan sumber daya manusianya (human error).
Sebesar 85% kesalahan dilakukan oleh para perawat, 13% oleh dokter spesialis
dan dokter residen; dan 2% oleh petugas administrasi. Akibat dari kesalahan-
kesalahan ini, sebesar 44% berdampak buruk bagi instansi rumah sakit yang
bersangkutan; dan sisanya berdampak buruk bagi pasien. (Lowry, 2009)
Triase menjadi komponen yang sangat penting di unit gawat darurat
terutama karena terjadi peningkatan drastis jumlah kunjungan pasien ke rumah
sakit melalui unit ini. Berbagai laporan dari IGD menyatakan adanya kepadatan
(overcrowding) menyebabkan perlu ada metode menentukan siapa pasien yang
lebih prioritas sejak awal kedatangan. Ketepatan dalam menentukan kriteria triase
dapat memperbaiki aliran pasien yang datang ke unit gawat darurat, menjaga
sumber daya unit agar dapat fokus menangani kasus yang benar-benar gawat, dan
mengalihkan kasus tidak gawat darurat ke fasilitas kesehatan yang sesuai.
(Haryatun, 2008)
Dalam rangka meningkatkan performa pelayanan di IGD dan fungsi triase
Untuk itu, perkembangan sistem triase rumah sakit diberbagai negara perlu
diketahui, terutama dalam metode antrian, sehingga dapat dijadikan bahan
pertimbangan apakah sistim triase tersebut relevan diterapkan di RSD dr. Soeandi
Jember.

1.2 Rumusan Masalah


1.2.1 Bagaimana efektifitas queuing theory untuk mengoptimalkan proses triase
di departemen perawatan darurat tersier?
1.2.2 Apakah dengan queuing theory dapat mengoptimalkan proses triase di
departemen perawatan darurat tersier?

1.3 Tujuan
1.3.1 mengetahui efektifitas queuing theory untuk mengoptimalkan proses triase
di departemen perawatan darurat tersier.
1.3.2 Menganalisis queuing theory dalam mengoptimalkan proses triase di
departemen perawatan darurat tersier.

1.4 Manfaat
1.4.1 Bagi Peulis
8

Hasil penelitian ini di harapkan dapat menambah pengetahuan mahasiswa


khususnya program profesi ners dalam menangani asien gawat darurat ngususnya
pada manajemen triase.
1.4.2 Bagi RSD dr.Soebandi
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi perkembangan
rumah sakit terkait perkembangan ilmu keperawatan gawat darurat di manajemen
triase instalasi gawat darurat RSD dr. Soebandi Jember.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Teori


2.1.1 Konsep Gawat Darurat
A. Keperawatan Gawat darurat
Gawat darurat adalah keadaan klinis pasien yang membutuhkan
tindakan medis segera guna penyelamatan nyawa dan pencegahan kecacatan
lebih lanjut (UU no 44 tahun 2009). Gawat darurat adalah suatu keadaan
yang terjadinya mendadak mengakibatkan seseorang atau banyak orang
memerlukan penanganan/ pertolongan segera dalam arti pertolongan secara
cermat, tepat dan cepat. Apabila tidak mendapatkan pertolongan semacam itu
mekakorban akan mati atau cacat/ kehilangan anggota tubuhnya seumur
hidup (Saanin, 2012).
Keadaan darurat adalah keadaan yang terjadinya mendadak, sewaktu-
waktu/ kapan saja terjadi dimana saja dan dapat menyangkut siapa saja
sebagai akibat dari suatu kecelakaan, suatu proses medic atau perjalanan
suatu penyakit (Saanin, 2012). Pelayanan gawat darurat tidak hanya
memberikkan pelayanan untuk mengatasi kondisi kedaruratan yang di alami
pasien tetapi juga memberikan asuhan keperawatan untuk mengatasi
kecemasan pasien dan keluarga. Keperawatan gawat darurat adalah
pelayanan professional keperawatan yang diberikan pada pasien dengan
kebutuhan urgen dan kritis. Namun IGD dan klinik kedaruratan sering
digunakan untuk masalah yang tidak urgent, sehingga filosofi tentang
keperawatan gawat darurat menjadi luas, kedaruratan yaitu apapun yang
dialami pasienatau keluarga harus di pertimbangkan sebagai kedaruratan
(Hati, 2011 dalam Saanin,2012). System pelayanan bersifat darurat sehingga
perawat dan tenaga medis lainnya harusmemiliki kemampuan, keterampilan,
tehnik serta ilmu pengetahuan yang tinggi dalammemberikan pertolongan
kedaruratan kepada pasien (Saanin, 2012). Pasien yang tiba-tibadalam
keadaan gawat atau akan menjadi gawat dan terancam nyawanya dan atau
anggota badannya (akan menjadi cacat) bila tidak mendapatkan pertolongan
secepatnya . biasanyadi lambangkan dengan label merah. Misalnya AMI
(Acut Miocard Infark). Pasien berada dalam keadaan gawat tetapi tidak
memerlukan tindakan darurat. Biasanya dilambangkan dengan label biru.
Misalnya pasien dengan Ca stadium akhir.
Pasien akibat musibah yang datang tiba-tiba, tetapi tidak mengancam
nyawa dan anggota badannya. Biasanya di lambangkan dengan label kuning.
Misalnya, pasien Vulnus Lateratum tanpa pendarahan. Pasien yang tidak
mengalami kegawatan dan kedaruratan. Biasanya dilambangkan dengan label
hijau. Misalnya, pasien batuk, pilek. Keperawatan gawat darurat atau
emergency nursing merupakan pelayanan keperawatanyang komprehensif
diberikan kepada pasien dengan injuri akut atau sakit yangmengancam
kehidupan.Kegawatdaruratan medis dapat diartikan menjadi suatu
keadaancedera atau sakit akut yang membutuhkan intervensi segera untuk
menyelamatkan nyawaatau mencegah atau mencegah kecacatan serta rasa
sakit pada pasien. Pasien gawat daruratmerupakan pasien yang memerlukan
pertolongan segera dengan tepat dan cepat untukmencegah terjadinya
kematian atau kecacatan. Dalam penanganannya dibutuhkan bantuanoleh
penolong yang profesional. Derajat kegawatdaruratan serta kualitas dari
penangananyang diberikan membutuhkan keterlibatan dari berbagai tingkatan
pelayanan, baikdari penolong pertama, teknisi kesehatan kegawatdaruratan
serta dokterkegawatdaruratannya itu sendiri. Respon terhadap keadaan
kegawatdaruratan medis bergantung kuat pada situasinya. Keterlibatan pasien
itu sendiri serta ketersediaan sumberdaya untuk menolong. Hal tersebut
beragam tergantung dimana peristiwakegawatdaruratan itu terjadi, diluar atau
didalam rumah sakit (Caroline 2013). Karakteristik keperawatan gawat
darurat:
1. Tingkat kegawatan dan jumlah pasien sulit diprediksi
2. Keterbatasan waktu, data dan sarana: pengkajian, diagnosis, dan tindakan
3. Keperawatan diberikan untuk seluruh usia
4. Tindakan memerlukan kecepatan dan ketepatan tinggi
5. Saling ketergantungan yang tinggi antara profesi kesehatan
B. Prinsip Keperawatan Gawat darurat
Prinsip pada penanganan penderita gawat darurat harus cepat dan tepat
serta harus dilakukan segera oleh setiap orang yang pertama
menemukan/mengetahui (orang awam, perawat, para medis, dokter), baik
didalam maupun diluar rumah sakit karena kejadian inidapat terjadi setiap
saat dan menimpa siapa saja
1. Bersikap tenang tapi cekatan dan berpikir sebelum bertindak (jangan
panik)
2. Sadar peran perawat dalam menghadapi korban dan wali ataupun saksi.
Melakukan pengkajian yang cepat dan cermat terhadap masalah yang
mengancam jiwa(henti napas, nadi tidak teraba, perdarahan hebat,
keracunan)
3. Melakukan pengkajian sistematik sebelum melakukan tindakan secara
menyeluruh.Pertahankan korban pada posisi datar atau sesuai (kecuali
jika ada ortopnea), lindungi korban dari kedinginan
4. Jika korban sadar jelaskan apa yang terjadi, berikan bantuan untuk
menenangkan danyakinkan akan ditolong
5. Hindari mengangkat atau memindahkan yang tidak perlu, memindahkan
jika hanyaada kondisi yang membahayakan
6. Jangan di beri minum jika ada trauma abdomen atau perkiraan
kemungkinan tindakananastesi umum dalam waktu dekat

Jangan dipindahkan (ditransportasi) sebelum pertolongan pertama


selesai dilakukandan terdapat alat transportasi yang memadai. Kondisi gawat
darurat dapat diklasifikasikan sebagai berikut (kumpulan materi matakuliah
Gadar: 2006) :

1. Gawat darurat Suatu kondisi dimana dapat mengancam nyawa apabila


tidak mendapatkan pertolongan secepatnya. Contoh : gawat nafas, gawat
jantung, kejang, koma, traumakepala dengan penurunan kesadaran
2. Gawat tidak darurat Suatu keadaan dimana pasien berada dalam kondisi
gawat tetapi tidak memerlukantindakan yang darurat contohnya : kanker
stadium lanjut
3. Darurat tidak gawat Pasien akibat musibah yang datang tibatiba tetapi
tidak mengancam nyawa atau anggota badannya contohnya : fraktur
tulang tertutup
4. Tidak gawat tidak darurat Pasien poliklinik yang datang ke IGD

2.1.2 Konsep Triase


A. Pengertian Triase
Triase adalah suatu sistem pembagian/klasifikasi prioritas klien
berdasarkan berat ringannya kondisi klien atau kegawatanya yang
memerlukan tindakan segera. Dalam triage, perawat dan dokter mempunyai
batasan waktu (response time) untuk mengkaji keadaan dan memberikan
intervensi secepatnya yaitu < 10 menit. Penggunaan awal kata “trier”
mengacu pada penampisan screening di medan perang. Kata ini berasal dari
bahasa Perancis yang berarti bermacam - macam dalam memilah gangguan.
Dominique larrey, ahli bedah Napolleon Bonaparte yang pertama kali
melakukan triase. Kini istilah tersebut lazim digunakan untuk
menggambarkan suatu konsep pengkajian yang cepat dan terfokus dengan
suatu cara yang memungkinkan pemanfaatan sumber daya manusia, peralatan
serta fasilitas yang paling efisien terhadap hampir 100 juta orang yang
memerlukan pertolongan di Instalasi Gawat Darurat (IGD) setiap tahunnya
(Pusponegoro, 2010).
Triage yang akurat merupakan kunci untuk tindakan yang efisien di
Instalasi Gawat Darurat (Manitoba Health, 2010). Penatalaksanaan pada
kondisi darurat didasarkan pada respon klinis dari pada urutan kedatangan
(ACEM, 2005). Pasien dengan prioritas rendah akan menunggu lebih lama
untuk penilaian dan pengobatan (Manitoba Health, 2010). Triase memiliki
fungsi penting di Instalasi Gawat Darurat (IGD), di mana banyak pasien
dapat hadir secara bersamaan. Hal ini bertujuan untuk memastikan bahwa
pasien dirawat sesuai urutan urgensi klinis mereka yang mengacu pada
kebutuhan untuk intervensi waktu - kritis. Urgensi klinis tidak identik dengan
kompleksitas atau tingkat keparahan. Triase juga memungkinkan untuk
alokasi pasien untuk penilaian dan pengobatan daerah yang paling tepat, dan
memberikan kontribusi informasi yang membantu untuk penanganan kasus
lebih lanjut (ACEM, 2005).
B. Pembagian Triase
Berbagai sistem triase mulai dikembangkan pada akhir tahun 1950-an
seiring jumlah kunjungan IGD yang telah melampaui kemampuan sumber
daya yang ada untuk melakukan penanganan segera. Tujuan triase adalah
memilih atau menggolongkan semua pasien yang datang ke IGD dan
menetapkan prioritas penanganan. Triase terbagi atas Single Patient Triage
dan Routine Multiple Casualty Triage.
1. Single Patient Triage
Menurut Pusponegoro (2011), triase tipe ini dilakukan terhadap satu
pasien pada fase pra-rumah sakit maupun pada fase rumah sakit di
Instalasi Gawat Darurat dalam day to day emergency dimana pasien
dikategorikan ke dalam pasien gawat darurat (true emergency) dan pasien
bukan gawat darurat (false emergency). Dasar dari cara triase ini adalah
menanggulangi pasien yang dapat meninggal bila tidak dilakukan
resusitasi segera. Single patient triage dapat juga dibagi dalam kategori
berikut:
a. Resusitasi adalah pasien yang datang dengan keadaan gawat darurat
dan mengancam nyawa serta harus mendapat penanganan resusitasi
segera.
b. Emergent adalah pasien yang datang dengan keadaan gawat darurat
karena dapat mengakibatkan kerusakan organ permanen dan pasien
harus ditangani dalam waktu maksimal 10 menit
c. Urgent adalah pasien yang datang dengan keadaan darurat tidak
gawat yang harus ditangani dalam waktu maksimal 30 menit.
d. Non-urgent adalah pasien yang datang dalam kondisi tidak gawat
tidak darurat dengan keluhan yang ringan-sedang, tetapi mempunyai
kemungkinan atau dengan riwayat penyakit serius yang harus
mendapat penanganan dalam waktu 60 menit.
e. False emergency adalah pasien yang datang dalam kondisi tidak
gawat tidak darurat dengan keluhan ringan dan tidak ada
kemungkinan menderita penyakit atau mempunyai riwayat penyakit
yang serius.
2. Routine Multiple Casualty Triage
a. Simple triage and rapid treatment (START)
Dalam Hospital Preparedness for Emergencies & Disasters (2007)
dinyatakan bahwa sistem ini ideal untuk Incident korban massal tetapi
tidak terjadi functional collapse rumah sakit. Ini memungkinkan
paramedik untuk memilah pasien mana yang perlu dievakuasi lebih
dulu ke rumah sakit. Prinsip dari START adalah untuk mengatasi
ancaman nyawa, jalan nafas yang tersumbat dan perdarahan masif
arteri. START dapat dengan cepat dan akurat tidak boleh lebih dari 60
detik perpasien dan mengklasifikasi pasien ke dalam kelompok terapi:
1) Hijau: pasien sadar dan dapat jalan dipisahkan dari pasien lain,
walking wounded dan pasien histeris
2) Kuning/delayed: semua pasien yang tidak termasuk golongan
merah maupun hijau.
3) Merah/immediate (10%-20% dari semua kasus): semua pasien
yang ada gangguan air way, breathing, circulation, disability and
exposure. Termasuk pasien-pasien yang bernafas setelah air way
dibebaskan, pernafasan > 30 kali permenit, capillary refill > 2
detik.
4) Hitam: meninggal dunia
b. Triase bila jumlah pasien sangat banyak
SAVE (secondary Assessment of Victim Endpoint) Sistem ini dapat
mentriase dan menstratifikasi korban bencana. Ini sangat membantu
bila dilakukan dilapangan dimana jumlah pasien banyak, sarana
minimum dan jauh dari fasilitas rumah sakit definitive (Depkes,
2007). Kategori triase dalam SAVE dibagi menjadi tiga kategori
sebagai berikut:
1) Korban yang akan mati tanpa melihat jumlah perawatan yang
diterimanya
2) Korban yang akan selamat tanpa melihat langkah perawatan apa
yang diberikan
3) Korban yang akan sangat beruntung dari intervensi di lapangan
yang sangat terbatas
C. Triase Rumah Sakit
Sistem triase IGD memiliki banyak variasi dan modifikasi yang sesuai
dengan kondisi masing-masing rumah sakit. Beberapa sistem triase yang
digunakan di rumah sakit adalah sebagai berikut:
1. Patient Acuity Category Scale (PACS)
Sistem PACS berasal dari singapura dan diadopsi oleh rumah sakit yang
bekerja sama atau berafiliasi dengan Singapore General Hospital. (Hadi,
2014). PACS terdiri dari 4 skala prioritas yaitu:
a) PAC 1 merupakan kategori pasien-pasien yang sedang mengalami
kolaps kardiovaskular atau dalam kondisi yang mengancam nyawa.
Pertolongan pada kategori ini tidak boleh delay, contohnya antara lain
major trauma, STEMI, Cardiac arrest, dan lain-lain.
b) PAC 2 merupakan kategori pasien-pasien sakit berat, tidur dibrankar
atau bed, dan distress berat, tetapi keadaan hemodinamik stabil pada
pemeriksaan awal. Pasien pada kategori ini mendapatkan prioritas
pertolongan kedua dan pengawasan ketat karena cenderung kolaps
bila tidak mendapat pertolongan. Contohnya anatara lain stroke,
fraktur terbuka tulang panjang, serangan asma dan lain-lain.
c) PAC 3 merupakan kategori pasien-pasien dengan sakit akut,
moderate, mampu berjalan, dan tidak beresiko kolaps. Pertolongan
secara efektif di IGD biasa cukup menghilangkan atau memperbaiki
keluhan penyakit pasien. Contohnya antara lain vulnus, demam,
cedera ringan-sedang, dan lain-lain.
d) PAC 4 merupakan kategori pasien-pasien non emergency. Pasien ini
dirawat di poli. Pasien tidak membutuhkan pengobatan segera dan
tidak menderita penyakit yang beresiko mengancam jiwa. Contohnya
antara lain acne, dislipidemia, dan lain-lain.
2. Worthing Physiology Score System (WPSS)
Worthing Physiological Scoring System (WPSS) adalah suatu sistem
skoring prognostik sederhana yang mengindentifikasi penanda fisiologis
pada tahap awal untuk melakukan tindakan secepatnya, yang dituangkan
dalam bentuk intervention- calling score. Skor tersebut didapatkan dari
pengukuran tanda vital yang mencakup tekanan darah, frekuensi nadi,
frekuensi pernapasan, temperatur, saturasi oksigen, dan tingkat kesadaran
berdasar AVPU (alert, verbal, pain, unresponsive) (Duckitt, et al., 2007).
Intervention-calling score WPSS mempunyai keterbatasan pada pasien
trauma oleh karena pada pasien trauma walaupun mengalami kondisi
yang berat yang berkaitan dengan traumanya namun dalam keadaan akut
seringkali masih memiliki cadangan fisiologis yang masih baik.
The Worthing Physiological Scoring System (WPSS) melakukan
penilaian tanda vital dengan sederhana dalam identifikasi pasien, serta
memberikan kategori triage yang obyektif. Selain itu WPSS memiliki
beberapa keuntungan, yaitu:
a. Penilaian cepat dan akurat terhadap pasien gawat
b. Mengubah parameter klinis yang terukur kedalam suatu nilai skor
c. Peralatan (tensimeter, termometer, dan pulse oxymetri) yang
dibutuhkan minimal, tidak menyakiti, serta mudah digunakan
d. Penilaian yang dilakukan akan seragam antar staf.
3. Australia Triage Scale
Australian Triage Scale (ATS) merupakan skala yang digunakan
untuk mengukur urgensi klinis sehingga paten terlihat pada waktu yang
tepat, sesuai dengan urgensi klinisnya. (Emergency Triage Education Kit,
2009). Australian Triage Scale (ATS) dirancang untuk digunakan di
rumah sakit berbasis layanan darurat di seluruh Australia dan Selandia
Baru. Ini adalah skala untuk penilaian kegawatan klinis. Meskipun
terutama alat klinis untuk memastikan bahwa pasien terlihat secara tepat
waktu, sepadan dengan urgensi klinis mereka, ATS juga digunakan untuk
menilai kasus. Skala ini disebut triase kode dengan berbagai ukuran hasil
(lama perawatan, masuk ICU, angka kematian) dan konsumsi sumber
daya (waktu staf, biaya). Ini memberikan kesempatan bagi analisis dari
sejumlah parameter kinerja di Unit Gawat Darurat (kasus, efisiensi
operasional, review pemanfaatan, efektivitas hasil dan biaya).
Tabel 2.2. Kategori Skala Triase Australia berdasarkan waktu tunggu
maksimal.

Australian Triage Acuity Performance


Scale (Maximum Waiting Indicator Threshold
Category Time)
ATS 1 Immediate 100%

ATS 2 10 Minutes 80%

ATS 3 30 Minutes 75%

ATS 4 60 Minutes 70%

ATS 5 120 Minutes 70%

4. Emergency Severity Index (ESI)


Sistem ESI dikembangkan di Amerika Serikat dan Kanada oleh
perhimpunan perawat emergensi. Emergency Severity Index diadopsi
secara luas di Eropa, Australia, Asia, dan rumah sakit-rumah sakit di
indonesia. Emergency Severity Index (ESI) memiliki 5 skala prioritas
yaitu:
a. Prioritas 1 (label biru) merupakan pasien-pasien dengan kondisi yang
mengancam jiwa (impending life/limb threatening problem) sehingga
membutuhkan tindakan penyelematan jiwa yang segera. Parameter
prioritas 1 adalah semua gangguan signifikan pada ABCD. Contoh
prioritas 1 antara lain, cardiac arrest, status epilptikus, koma
hipoglikemik dan lain-lain.
b. Prioritas 2 (label merah) merupakan pasien-pasien dengan kondisi
yang berpotensi mengancam jiwa atau organ sehingga membutuhkan
pertolongan yang sifatnya segera dan tidak dapat ditunda. Parameter
prioritas 2 adalah pasien-pasien haemodinamik atau ABCD stabil
dengan penurunan kesadaran tapi tidak sampai koma (GCS 8-12).
Contoh prioritas 2 antara lain, serangan asma, abdomen akut, luka
sengatan listrik dan lain-lain.
c. Prioritas 3 (label kuning) merupakan pasien-pasien yang
membutuhkan evaluasi yang mendalam dan pemeriksaan klinis yang
menyeluruh. Contoh prioritas 3 antara lain, sepsis yang memerlukan
pemeriksaan laboratorium, radiologis dan EKG, demam tifoid dengan
komplikasi dan lain-lain.
d. Prioritas 4 (label kuning) merupakan pasien-pasien yang memerlukan
satu macam sumber daya perawatan IGD. Contoh prioritas 4 antara
lain pasien BPH yang memerlukan kateter urine, vulnus laceratum
yang membutuhkan hecting sederhana dan lain-lain.
e. Prioritas 5 (label putih) merupakan pasien-pasien yang tidak
memerlukan sumber daya. Pasien ini hanya memerlukan pemeriksaan
fisik dan anamnesis tanpa pemeriksaan penunjang. Pengobatan pada
pasien dengan prioritas 5 umumnya per oral atau rawat luka
sederhana. Contoh prioritas 5 antara lain, common cold, acne,
eksoriasi, dan lain-lain (Hadi, 2014).

2.1.3 Queuning Theory


A. Definisi
Queuing theory adalah pendekatan matematis untuk memecahkan
masalah antrian. Pada artikel ini penulis menggunakan istilah Garis Tunggu
untuk waiting lines dan Teori Antrian untuk queuing theory. Garis Tunggu
terjadi ketika suatu obyek (bisa manusia, pasien, atau benda) secara acak
masuk ke dalam sistem untuk mendapatkan pelayanan. Misalnya antrian
pasien di bagian admission terjadi ketika pasien datang ke meja regitrasi
untuk melakukan pendaftaran. Antrian atau tumpukan faktur pembelian
terjadi ketika dokumen tersebut diserahkan ke bagian administrasi untuk
dimasukkan datanya.
Secara teoritis antrian di pelayanan kesehatan terjadi ketika tingkat
kedatangan pasien (misalnya per jam) lebih besar dibanding tingkat
pelayanan per jam. Misalnya jika seorang dokter mampu melayani 5 pasien
per jam, sedangkan tingkat kedatangan adalah 8 pasien per jam maka sudah
pasti terjadi antrian (disebut dengan overloaded). Sementara jika tingkat
kedatangan hanya 3 pasien per jam, tidak akan terjadi antrian (disebut dengan
underloaded).
Menurut Gupta & Hira (2008) masalah antrian terjadi bukan hanya
ketika terjadi kelebihan kedatangan pasien namun juga ketika terjadi
kedatangan pasien terlalu sedikit atau telalu banyak pelayanan, sehingga:
a. Masalah antrian terjadi jika fasilitas atau pelayanan terhadap pemintaan
pelanggan tidak cukup memenuhi kedatangan pelanggan
b. Masalah antrian terjadi ketika jumlah permintaan pelayanan terlalu sedikit
sehingga terjadi fasilitas yang menganggur atau terlalu banyak pelayanan

B. Tujuan
Tujuan mempelajari teori antrian adalah mengetahui karakteristik antrian dan
melakukan pengontrolan terhadap sistem antrian. Namun demikian pada
dasarnya tujuan analisis sistem pelayanan dengan teori antrian adalah untuk
meminimalkan biaya (Stevenson, 2018). Terdapat dua jenis biaya dalam
sistem antrian yaitu :
1. Biaya menunggu yaitu biaya yang berkaitan dengan waktu tunggu pasien
untuk dilayani (cost of customers waiting). Biaya menunggu misalnya
pendapatan pasien yang hilang akibat menunggu dilayani, gaji petugas
yang menganggur akibat menunggu dilayani, pendapatan pelayanan
kesehatan yang hilang akibat pasien tidak mau dilayani dan sebagainya.
2. Biaya kapasitas yaitu biaya yang berkaitan dengan kapasitas pelayanan
(cost of service capacity). Biaya kapasitas dibutuhkan untuk memastikan
pelayanan tetap berjalan, misalnya gaji perawat, biaya reagen
laboratorium dan sebagainya.

C. Jenis Antrian
Setiap subyek (baik itu pasien atau benda lainnya) yang masuk ke dalam
sistem pelayanan akan mendapat “perlakuan” yang berbeda tergantung pada
disiplin antrian yang diterapkan. Adapun jenis disiplin antrian yang dapat
terjadi pada sistem antrian antara lain:
1. First-come First-Served atau FCFS
Disiplin kedatangan ini merupakan sistem yang melayani
pasien/pelanggan yang datang lebih awal. Disebut juga First In First Out
(FIFO). Sebagian besar sistem antrian diasumsikan memiliki disiplin
antrian FCFS, contohnya antrian pelayanan Medical Check Up, antrian
kendaraan saat masuk parkir, dan sebagainya.
2. Last-come First-served atau LCFS
Disiplin antrian ini disebut juga Last In First Out atau LIFO. Pada disiplin
antrian ini subyek yang datang belakangan dilayani terlebih dahulu.
Sangat jarang ditemui disiplin pelayanan LCFS pada subyek pasien.
Umumnya disiplin ini diperlakukan pada subyek benda mati, misalnya
tumpukan dokumen yang akan diinput ke komputer, antrian kendaraan
yang akan diservice karena keterbatasan lahan dilayani yang terakhir
datang, dan sebagainya.
3. Priority Queue atau Disiplin Prioritas
Disiplin Prioritas menerapkan aturan pasien dengan kondisi atau kelas
tertentu dapat mendahului antrian pasien yang lain, misalnya antrian
pasien IGD, antrian pemeriksaan spesimen laboratorium dapat
mendahului sampel darah yang “Cito”, antrian resep di pelayanan
farmasi, dan sebagainya.
4. Random Order atau Disiplin Acak
Disiplin antrian ini memungkinkan subyek antrian ditentukan secara acak
dengan pola tertentu. Jenis pelayanan ini sangat jarang terjadi pada
pelayanan kesehatan, terkecuali untuk tujuan penelitian atau survey dalam
rangka pengumpulan data kesehatan. Disebut dengan Sistem In Random
Order (SIRO).

D. Model Antrian Pelayanan Kesehatan


Gupta (2013) menyatakan ada empat jenis model antrian utama pada
pelayanan kesehatan, dengan penjelasan sebagai berikut:
1. Single-Station dan Single-Server Models (Model satu stasiun dan satu pos
pelayanan)
Model ini merupakan “mesin penggerak” dari teori antrian, karena model
- model antrian lahir dari pengkajian terhadap model single-server. Model
ini terdiri dari dua jenis yaitu 1) Model dengan kapasitas ruang tunggu
tidak terbatas (infinite waiting room) yang terbagi atas model M/M/1,
M/G/1, dan GI/G/1 dan 2) Model dengan kapasitas ruang tunggu terbatas
(finite waiting room) yang terbagi atas M/M/1/K, M/G/1/K, dan
GI/G/1/K.
2. Model Infinite Waiting Room
Model M/M/1 merupakan model yang paling sering digunakan dalam
pelayanan kesehatan, hal ini karena model ini paling sesuai dengan
kondisi yang ada. Contoh model ini adalah mobile clinic (poliklinik
keliling), apotek, dan registrasi atau chek-in pasien di Rumah Sakit.
Model M/G/1 merupakan model yang waktu pelayanannya berdistribusi
eksponensial karena perbedaan waktu pelayanan antara satu pasien
dengan pasien lain tidak terlalu bervariasi, dengan contohnya dalam
pelayanan kesehatan adalah pengambilan spesimen darah di laboratorium,
layanan MRI, dan layanan bedah/operasi. Model GI/G/1 merupakan
model yang interval waktu kedatangan dan waktu pelayanan berdistribusi
eksponensial, dengan contonya pada pelayanan kesehatan adalah antrian
sistem appointment/booking registrasi pasien dimana klinik menentukan
interval waktu kedatangan antar pasien.
3. Model Finite Waiting Room
Ramainya antrian di klinik atau unit emergensi merupakan hal biasa.
Sering pasien akhrnya meninggalkan antrian karena melihat antrian yang
panjang. Untuk mengindari hal ini, klinik bisa menetapkan aturan
menutup antrian jika jumlah pasien telah mencapai jumlah tertentu
sehingga lahirlah model antrian dengan kapasitas ruang tunggu terbatas
atau finite waiting room. Contohnya model M/M/1/K adalah
4. Network Models (model jaringan)
Model jaringan terdiri dari beberapa sistem antrian yang saling
berhubungan, dimana pasien dapat bergabung dengan sistem antrian
sesuai dengan tujuan pelayanan. Misalnya pada antrian layanan medical
check up dengan berbagai paket pemeriksaan, seorang pasien dengan
paket tertentu dapat melewati berbagai subsistem pemeriksaan misalnya
pemeriksaan dokter, rontgen, sampling darah, dan USG. Pasien lain dapat
melalui pemeriksaan yang berbeda misalnya pemeriksaan dokter,
Sampling darah, USG, ECG, dan Audiometri.
5. Priority Queues (Antrian dengan Disiplin Prioritas)
Pada model antrian ini, seorang pasien dapat mendahului pasien di
depannya yang sudah mengantri karena memiliki prioritas tertentu. Pada
model ini ada dua jenis model yaitu model preemptive dan non-
preemptive. Model preemptive memungkinkan layanan pada pasien yang
didahului dapat dihentikan untuk memberikan pelayanan kepada pasien
prioritas, misalnya pada pelayanan resep obat kategori cito, resep yang
tidak cito dapat dihentikan penyiapannya. Sementara pada non-
preemptive, pelayanan kepada pasien yang akan didahului harus
diselesaikan terlebih dahulu, misalnya pada antrian tindakan bedah.

2.2 Literatur Review


Evidance Based Nursing (EBN) yang ingin ditrapkan oleh kelompok adalah
“penerapan queuing theory untuk mengoptimalkan proses triase di departemen
perawatan darurat tersier”. adapun beberapa literatur yang menjadi acuan kelompok
karena kesamaan tema yang di ambil yaitu sebagai berikut:
1. Judul jurnal : Application of Queuing Theory to Optimize the Triage Process in
a Tertiary Emergency Care (“ER”) Department
2. Penulis : Atilio Moreno-Carrillo, Lina María Ávila Arenas, Julián Andrés
Fonseca, Camilo Andrés Caicedo, Sandra Verónica Tovar, Oscar
Mauricio Muñoz-Velandia
Di ruang gawat darurat merupakan klasifikasi pasien tahap awal. Penerapan
manajemen triase menentukan prioritas pasien sesuai dengan keparahan tanda dan
gejala dan pastinya tidak sesuai urutan kedatangan pasien. Namun, perawatan tahap
ini dikaitkan dengan resiko klinis yang besar yang dapat mencegah keparahan pasien
jika di rawat tepat waktu. Di lembaga yang menyediakan layanan kesehatan di
Bogota, Kolombia, yang melayani rata-rata 3.592 pasien / bulan, para peneliti
menemukan waktu tunggu yang panjang dengan waktu rata-rata 18 dan 23 menit
untuk pasien yang masing-masing diklasifikasikan sebagai Emergency Severity Index
(ESI) Level 2 dan 3. Waktu tunggu yang lama memotivasi peneliti dengan maksud
mengevaluasi bagaimana mengatur jadwal staf dengan menggunakan queuing theory
untuk mengurangi waktu tunggu pada saat sebelum triase. Penelitian ini dilakukan 7
bulan dai bulan agustus 2016 - februari 2017, dengan 3 variabel, (1) jumlah pasien,
(2) waktu yang digunakan oleh perawat untuk mengklasifikasikan pasien, dan (3)
waktu menunggu.penelitian ini membandingkan waktu pelatihan awal, sebelum dan
sesudah jadwal staf berubah menggunakan uji-t berpasangan.
Hasil dari penelitian ini dengan menggunakan menunjukkan peningkatan
signifikan dalam waktu layanan, tanpa mempengaruhi biaya atau personil yang
dipekerjakan, yang menunjukkan bahwa perencanaan personil dengan strategi ini
efektif untuk mencapai klasifikasi yang tepat waktu. Meskipun jumlah pasien yang
sama diterima setiap bulan, waktu sebelum triase berkurang rata-rata 14,6 menit. Ini
sesuai dengan pengurangan 65% dalam waktu tunggu.Tabel 6 menunjukkan bahwa
waktu tunggu rata-rata dalam antrian (Wq) untuk periode 2017–2018 adalah 7,5
menit. Dalam 3 bulan terakhir periode ini (Desember hingga Februari), perilaku itu
stabil, dengan waktu rata-rata sekitar 6,2 menit, membuktikan penurunan progresif
dalam waktu rata-rata dalam antrian (Wq), yang dimulai pada Agustus 2017 dengan
8,5 menit dan berakhir pada Februari 2018 dengan 6,4 menit.Bahkan ketika sistem
triase lima tingkat berdasarkan ESI dilaksanakan 3 bulan sebelum awal penelitian ini,
pengawasan kami menunjukkan bahwa waktu untuk menyelesaikan proses triase
stabil di kedua periode evaluasi, sehingga perubahan hanya dikaitkan dengan
perubahan dijelaskan dalam jadwal staf.Selain itu, kami mengevaluasi waktu yang
telah berlalu antara triase dan evaluasi oleh dokter. Untuk pasien yang
diklasifikasikan sebagai triase 1, 2, dan 3, waktunya adalah 2,2 ± 3,85, 34,9 ± 4,49,
dan 53,1 ± 5,6 menit masing-masing, tanpa perubahan signifikan antara dua periode
evaluasi. Dengan demikian, pengurangan waktu pretriage menghasilkan pengurangan
nyata dalam total waktu antara kedatangan di UGD dan evaluasi pasien oleh dokter.
BAB 3
PEMBAHASAN

3.1 Metode
Metode yang digunakan dalam penuisan literature review ini adalah dengan
penelusuran yang bersumber dari elektronic data base yaitu NCBI PUBMED dengan
kata kunci Emergency, queuing theory, triage. Peneliti hanya menyaring artikel atau
jurnal yang dipubliksikan dalam kurun waktu 2016-2020. data yang diperoleh
kemudian ditelaah, disusun secara sitematis.

3.2 Hasil
Hasil literatur review didapatkan bahwa dengan penggunaan queuing theory
sangat efektif untuk optimalisasi triase pada departemen gawat darurat. Dengan cara
memastikan waktu perawatan dan jadwal pembagian beban kerja perawat dan dokter
dapat mengurangi waktu tunggu pasien dalam pre-triase. Adapun jurnal terkait adalah
sebagi berikut:
No Sumber pustaka Latar belakang, tujuan, Hasil dan kesimpulan
metode
1 Judul : Latar belakang: Hasil:
Application of Pretriage should be as short The present work
Queuing Theory to as possible, considering that evaluates the impact of an
Optimize the Triage the longer the prioritization intervention based on
Process in a Tertiary time, the greater the clinical queuing theory in
Emergency Care risk of the patient. In an pretriage time in an ER. It
("ER") Department. institution that provides showed a significant
health services in Bogota, improvement in service
Penulis : Colombia, which serves an times, without affecting
Atilio Moreno- average of 3592 costs or personnel
Carrillo, Lina María patients/month, the employed, which shows
Ávila Arenas, Julián researchers found long that personnel planning
Andrés Fonseca, pretriage times with an with this strategy is
Camilo Andrés average time of 18 and 23 effective to achieve a
Caicedo, Sandra min for patients classified as timely classification.
Verónica Tovar, and Emergency Severity Index Although a similar
Oscar Mauricio (ESI) Level 2 and 3, number of patients were
Muñoz-Velandia respectively. In another received each month, the
institution, an average time before triage was
pretriage time of 24 min reduced by an average of
was found for nocturnal 14.6 min. This
visits and 48 min on corresponds to a 65%
weekends for 150 patients reduction in the waiting
classified as ESI level 2. time.
Both cases show long
pretriage periods. Similar to Kesimpulan:
what was reported in other Bahwa dengan
institutions, our research penggunaan queuing
found that in our emergency theory sangat efektif
department the untuk optimalisasi triase
preclassification time pada departemen gawat
frequently exceeded 30 min darurat. Dengan cara
in 2016. The long waiting memastikan waktu
time motivated this perawatan dan jadwal
investigation, with the pembagian beban kerja
intention of evaluating how perawat dan dokter dapat
to organize the staff's mengurangi waktu tunggu
schedules, using queuing pasien dalam pre-triase.
theory to reduce pretriage
time.

3.3 Pembahasan
BAB 4
KESIMPULAN
DAFTAR PUSAKA

Lowry, F. 2009. Most Mistakes In The Emergency Departement Caused By Human


Error. Artikel. Bmc Emergency Medicine, Diakses Melalui
Http://Www.Medscape.Com/Viewarticle/709164

Kementrian Kesehatan Ri. 2009. Keputusan Menteri Kesehatan Ri No. 856/ Menkes/
Sk/ Ix/ 2009 Tentang Satndarisasi Pelayanan Gawat Darurat Di Rumah Sakit.

Kementrian Kesehatan Ri. 2014. Peraturan Menteri Kesehatan Ri Nomor 69 Tahun


2014 Tentang Kewajiban Rumah Sakit Dan Kewajiban Pasien.

Haryatun, Nunuk dan Sudaryanto. 2008. Perbedaan Waktu Tanggap Tindakan


Keperawatan Pasien Cedera Kepala Kategori I-V Di Instalasi Gawat Darurat
RSUD Dr. Moewardi. Jurnal Berita Ilmu Keperawatan

Anda mungkin juga menyukai