Anda di halaman 1dari 47

LABEL INDIKATOR PENDETEKSI Staphylococcus aureus

BERBAHAN BPA (BAIRD PARKER AGAR)


DAN EGG YOLK TELLURITE

NURUL LATIFAH

DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN


FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Label Indikator


Pendeteksi Staphylococcus aureus Berbahan BPA (Baird Parker Agar) dan Egg
Yolk Tellurite adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing
dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun
tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan
dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan
hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2014

Nurul Latifah
NIM F34100082
ii

ABSTRAK
NURUL LATIFAH. Label Indikator Pendeteksi Staphylococcus aureus
Berbahan BPA (Baird Parker Agar) dan Egg Yolk Tellurite. Dibimbing oleh
MULYORINI RAHAYUNINGSIH dan ENDANG WARSIKI.
Staphylococcus aureus merupakan salah satu bakteri yang menyebabkan
keracunan makanan karena menghasilkan enterotoksin. Pada penelitian ini akan
dibuat label yang dapat memberikan informasi kepada konsumen tentang
keberadaan S. aureus pada produk pangan terkemas. Tujuan penelitian ini adalah
(i) membuat label pendeteksi Staphylococcus aureus, (ii) mendapatkan formulasi
yang tepat untuk pembuatan label cerdas pendeteksi bakteri S. aureus, dan (iii)
menguji respon label cerdas dalam mendeteksi keberadaan S. aureus. Formulasi
terbaik untuk membuat label cerdas pendeteksi S. aureus meliputi, 2% agar
bubuk, 0,5% tapioka,1% gliserol, dan 0,5% BPA (Baird Parker Agar) + egg yolk
tellurite. Penelitian pendahuluan terdiri dari konfirmasi bentuk koloni S. aureus di
media BPA + egg yolk tellurite, pemilihan metode pembuatan label terbaik dan
konfirmasi pertumbuhan S. aureus pada label kering dan basah, pemilihan
komposisi bahan pembuatan label terbaik, dan uji kebenaran keberadaan S.
aureus. Penelitian utama terdiri dari uji sensitivitas label dalam mendeteksi S.
aureus dan aplikasi label pada daging sapi. Label yang dihasilkan adalah label
basah, karena S. aureus hanya dapat tumbuh pada media berkadar air tinggi. Rata-
rata nilai aw label cerdas adalah 0,856. Sensitivitas label cerdas dalam mendeteksi
keberadaan S. aureus tidak tergantung dengan jumlah S. aureus, tapi tergantung
pada suhu. Berdasarkan hasil aplikasi label pada daging sapi, label belum dapat
mendeteksi jumlah minimal koloni S. aureus dengan cepat dan mendeteksi
dengan pasti jumlah S. aureus yang terdapat pada produk.

Kata kunci: label cerdas, racun makanan, Staphylococcus aureus.

ABSTRACT

NURUL LATIFAH. Indicator Label As Detector of Staphylococcus aureus


Based BPA (Baird Parker Agar) and Egg Yolk Tellurite Ingredient. Supervised by
MULYORINI RAHAYUNINGSIH dan ENDANG WARSIKI.
Staphylococcus aureus is a bacterium that cause food poisoning due to it
produce enterotoxin. In this research the smart label provide information to
consumers about presence of S. aureus in food packaged was produced. The
research aimed to (i) produce a smart label as an S. aureus indicator, (ii) get the
formulation of best materials of this smart label, and (iii) assay response of smart
label to detect the S. aureus. The best formulation the label was 2% agar powder,
0.5% tapioca, 1% glycerol, and 0.5% Baird Parker Agar and egg yolk tellurite.
Preliminary research consisted of S. aureus form confirmation, best method
selection for making the labels, materials composition selection, and test the truth
of S. aureus presence. The main research consisted of assay the sensitivity of
smart labels and label application on beef. The characteristic of label was wet, due
to it should be high water content for the growth of S. aureus. The aw average of
wet label was 0.856. The label sensitivity to detect the presence of S. aureus did
iii

not depend on the number of S. aureus existence, but on the temperature. Based
on result of label application on beef, the label could not yet identified both the
minimum number quickly and exactly number of S. aureus in beef.

Key words: food poisoning, smart label, Staphylococcus aureus.


iv
v

LABEL INDIKATOR PENDETEKSI Staphylococcus aureus


BERBAHAN BPA (BAIRD PARKER AGAR)
DAN EGG YOLK TELLURITE

NURUL LATIFAH
F34100082

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Teknologi Pertanian
pada
Departemen Teknologi Industri Pertanian

DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN


FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
vi
vii

Judul Skripsi : Label Indikator Pendeteksi Staphylococcus aureus Berbahan BPA


(Baird Parker Agar) dan Egg Yolk Tellurite
Nama : Nurul Latifah
NIM : F34100082

Disetujui oleh

Dr Ir Mulyorini Rahayuningsih, MSi Dr Endang Warsiki, STP MSi


Pembimbing I Pembimbing II

Diketahui oleh

Prof Dr Ir Nastiti Siswi Indrasti


Ketua Departemen

Tanggal Lulus:
viii

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2014 ini ialah
pengemasan, dengan judul Label Indikator Pendeteksi Staphylococcus aureus
Berbahan BPA (Baird Parker Agar) dan Egg Yolk Tellurite.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr Ir Mulyorini Rahayuningsih,
Msi dan Ibu Dr Endang Warsiki, STP MSi selaku dosen pembimbing, serta Ibu
Ari selaku pegawai PAU yang telah banyak memberi saran. Di samping itu,
penghargaan penulis sampaikan kepada Alm. Ali Aksan dan Siti Mualifah selaku
orang tua penulis, serta Abdullah Hanif, Nasichatun Nisa, Siti Malichah, dan
Lailatul Fitri selaku kakak penulis, atas segala doa dan kasih sayangnya. Serta
kepada teman-teman, Dayyus Assegaf, Andre Wahyu Nugroho, Novi Kurniawan,
Ridha Alfhia, Ardhi Novrialdi Ginting, Fitrian Rahmad Hartanto, Jannatin
Alfaafa, Mentari Medinawati, Fatimah Jumiati Pasaribu, Roseiga Retno
Anggarani, dan Ninuk Gilang Wiranti atas bantuan, dukungan, dan nasehatnya
dalam menjalankan penelitian. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2014

Nurul Latifah
ix

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi
DAFTAR GAMBAR vi
DAFTAR LAMPIRAN vi
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Tujuan Penelitian 2
TINJAUAN PUSTAKA 2
Kemasan Cerdas 2
Staphylococcus aureus 4
Baird Parker Agar 5
Staphylococcus aureus Pada Daging Sapi 5
Fase Pertumbuhan Mikroorganisme 6
Low Density Polyethilen (LDPE) 7
METODE 8
Bahan 8
Alat 8
Metodologi 8
HASIL DAN PEMBAHASAN 14
Pertumbuhan S. aureus di Baird Parker Agar + egg yolk tellurite 14
Metode Pembuatan Label Terbaik dan Konfirmasi Pertumbuhan S. aureus Pada
Label Kering dan Basah 14
Komposisi Bahan Label Terbaik 16
Uji Kebenaran Keberadaan S. aureus 19
o
Uji Sensitivitas Label Dalam Mendeteksi S. aureus pada Suhu (4 ± 2) C, (25 ±
2) oC, dan (37 ± 2) oC 21
Aplikasi Label Pada Daging Sapi 22
SIMPULAN DAN SARAN 28
Simpulan 28
Saran 28
DAFTAR PUSTAKA 28

RIWAYAT HIDUP 33
x

DAFTAR TABEL

1 Contoh aplikasi kemasan aktif 3


2 Respon mikroorganisme tumbuh di Baird Parker Agar 5
3 Syarat Mutu Mikrobiologis Daging Sapi 6
4 Hasil inkubasi label PVA 0,5% 17
5 Hasil inkubasi label PVA 0% 18
6 Hasil pengujian sensitivitas label pada suhu (4 ± 2)oC, (25 ± 2)oC,
dan (37 ± 2)oC 22
7 Hasil pengamatan sampel yang tidak diinjeksi S. aureus 102 cfu/mL
pada suhu (4 ± 2)oC 25
8 Hasil pengamatan sampel yang diinjeksi S. aureus 102 cfu/mL pada
suhu (4 ± 2)oC 25
9 Hasil pengamatan sampel yang tidak diinjeksi S. aureus 102 cfu/mL
pada suhu (25 ± 2)oC 26
10 Hasil pengamatan sampel yang diinjeksi S. aureus 102 cfu/mL pada
suhu (25 ± 2)oC 27

DAFTAR GAMBAR
1 Diagram alir metode penanaman S. aureus di media BPA + egg yolk 9
2 Diagram alir pembuatan label cerdas dengan metode Lestari (2013)
modifikasi pertama 10
3 Diagram alir pembuatan label dengan metode Lestari (2013)
modifikasi kedua 11
4 Ilustrasi cara konfirmasi pertumbuhan S. aureus pada label (Lestari
2013) 11
5 Ilustrasi uji sensitivitas label dalam jar 12
6 (a) penampakan S. aureus hasil penelitian, (b) penampakan S. aureus
(Acumedia 2012) 14
7 Label dengan PVA (a) 0,5%; (b) 0% 15
8 Penampakan label hari ke (a) 0; (b) 7 15
9 Penampakan S. aureus pada label basah 16
10 Hasil uji Staphylococcus aureus (a) positif; (b) negatif 19
11 Hasil uji katalase: (a) negatif; (b) positif 20
12 Penampakan S. aureus menggunakan pewarnaan gram (perbesaran
1000×) 21
13 Jumlah koloni S. aureus di daging sapi pada suhu (4±2)oC 23
14 Jumlah koloni S. aureus di daging sapi pada suhu (25±2)oC 24
15 Pengamatan pada suhu (4±2)oC hari ke-0: (a) daging); (b) label 25
16 Pengamatan pada suhu (25±2)oC jam ke-0: (a) daging; (b) label 26
xi

DAFTAR LAMPIRAN

1 Hasil pengujian sensitivitas label pada suhu (4 ± 2)oC, (25 ± 2)oC,


dan (37 ± 2)oC 31
xii
PENDAHULUAN

Latar Belakang

Seiring dengan pengembangan teknologi dalam pengolahan pangan,


semakin berkembang pula teknologi yang berhubungan dengan pangan seperti
pengemasan. Salah satu teknologi baru yang dikembangkan di bidang
pengemasan adalah kemasan cerdas. Sampai sekarang, kemasan berperan dalam
menjaga produk tetap dalam keadaaan baik. Kemasan berfungsi membungkus
produk di dalamnya dengan tujuan melindungi dan mengawetkan produk dari
pengaruh lingkungan luar dan kontaminasi eksternal. Kemasan cerdas merupakan
suatu kemasan yang dapat memberikan informasi kepada konsumen tentang
keadaan bahan yang dikemas melalui sensor kimia dan biosensor. Berdasarkan
literatur, kemasan cerdas telah diklasifikasikan menjadi beberapa jenis, yaitu
active, intelligent, smart, diagnostic, functional, dan enhanced packaging (Kerry
dan Butler 2008).
Aplikasi kemasan cerdas di negara lain telah banyak dikembangkan, seperti
active packaging yang menggunakan sistem oxygen scavenger dan diterapkan
pada produk roti, kue, biskuit, pizza, pasta, keju, ikan, kopi, makanan ringan,
sayuran dan makanan kering. Pira International Ltd memperkirakan pasar global
dari oxygen scavenger menjadi 14,4 milyar unit di Jepang, 4,5 milyar di USA, dan
5,7 milyar di Eropa Barat pada tahun 2007 (Kerry dan Butler 2008). Selain itu,
contoh yang lain dari kemasan cerdas adalah Modified Atmosphere Packaging
(MAP). MAP merupakan jenis sistem dan teknologi kemasan yang biasa
digunakan untuk produk daging. Atmosfer didalam MAP yang digunakan untuk
daging merah segar diatur dengan jumlah oksigen 70-80% dan karbondioksida 20-
30%, sedangkan untuk produk ternak segar yang mungkin dijual eceran, MAP
diatur dengan jumlah nitrogen 65-75% dan karbondioksida 25-35% (Sivertsvik
2002). Sampai saat ini pengembangan kemasan cerdas masih terus dilakukan
untuk dapat diaplikasikan pada berbagai produk yang mempunyai karakter dan
persyaratan mutu yang berbeda-beda. Saat ini telah ada kemasan cerdas yang
dibentuk menjadi label atau stiker pada kemasan. Label atau stiker tersebut akan
memberikan informasi visual secara langsung pada produsen, pengecer, dan
konsumen mengenai kondisi produk. Selain itu, saat ini telah dikembangkan
tentang label cerdas indikator warna dari daun erpa (Aerva sanguinolenta) oleh
Nofrida et al. (2012) dan label cerdas pendeteksi Eschericia coli yang telah diteliti
oleh Lestari (2013). Namun, hingga saat ini belum ada penelitian mengenai label
cerdas yang dapat mendeteksi Staphylococcus aureus.
Staphylococcus aureus merupakan bakteri patogen yang terdapat pada tubuh
hewan dan manusia, S. aureus mempunyai beberapa jalur dalam menginfeksi
hewan dan manusia, antara lain hidung, kerongkongan, rambut, dan kulit.
Staphylococcus aureus merupakan salah satu bakteri yang menyebabkan
keracunan makanan karena menghasilkan Enterotoksin. Toksin yang dihasilkan
oleh S. aureus dapat menyebabkan gastroenteritis. Dosis infeksi S. aureus adalah
106-107 cfu/g untuk orang dewasa dan < 106-107 cfu/g untuk anak-anak, orang tua,
dan orang sakit. Gejala utama terkena enterotoksin adalah mual dan muntah, kram
2

perut, dan diare. Beberapa gejala seterusnya adalah berkeringat, kedinginan, sakit
kepala, dan dehidrasi (Ray 2004). Pada tingkatan yang lebih parah dapat terjadi
sakit kepala, kram otot, peningkatan denyut nadi, perubahan tekanan darah dan
kadang-kadang sampai pingsan (Jay 2000). Staphylococcus aureus sangat mudah
tumbuh di makanan yang mengandung protein tinggi dan tidak diolah dengan
baik, seperti daging babi, daging yang telah diawetkan dengan garam, salami,
daging barbeque, salad, produk panggang yang mengandung krim, saus, dan keju.
Berdasarkan informasi di atas, mendeteksi keberadaan S. aureus
menggunakan label cerdas perlu dilakukan untuk menghindari kontaminasi dari
bakteri tersebut. Label cerdas merupakan label yang dapat memberikan informasi
kepada konsumen tentang keadaan bahan yang dikemas. Bahan-bahan untuk
membuat label cerdas meliputi, agar bubuk, tapioka, gliserol, dan media
pertumbuhan mikroba (Lestari 2013). Pada penelitian ini media pertumbuhan S.
aureus yang ditambahkan adalah Baird Parker Agar (BPA) dan egg yolk tellurite.
Baird Parker Agar (BPA) adalah salah media untuk isolasi dan perbanyakan S.
aureus serta membedakannya dari Staphylococcus yang lain. Baird Parker Agar
(BPA) mengandung karbon dan nitrogen sumber kebutuhan pertumbuhan S.
aureus. Glisin, lithium klorida, dan potassium tellurit berperan sebagai selective
agents untuk menekan pertumbuhan mikroba lain selain staphylococcus.
Staphylococcus aureus memproduksi koloni abu-abu gelap hampir hitam karena
mereduksi tellurite. S. aureus yang memproduksi lesitinase memecah egg yolk
dan menyebabkan zona bening di sekitar koloni. Sebuah zona opak mungkin juga
terbentuk karena aktivitas lipase (Acumedia 2012).

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah membuat label sebagai indikator pendeteksi


bakteri Staphylococcus aureus, mendapatkan formulasi yang tepat untuk
pembuatan label cerdas pendeteksi bakteri Staphylococcus aureus, menguji respon
label cerdas dalam mendeteksi keberadaan Saphylococcus aureus.

TINJAUAN PUSTAKA

Kemasan Cerdas

Kemasan cerdas merupakan suatu kemasan yang dapat memberikan


informasi kepada konsumen tentang keadaan bahan yang dikemas melalui sensor
kimia dan biosensor. Berdasarkan literatur, kemasan cerdas telah diklasifikasikan
menjadi beberapa jenis, yaitu active, intelligent, smart, diagnostic, functional, dan
enhanced packaging (Kerry dan Buttler 2008). Berdasarkan tinjauan sebelumnya,
active packaging (kemasan aktif) telah diklasifikasikan sebagai bagian dari smart
packaging (kemasan cerdas) dan mengarah ke penggabungan bahan tambahan ke
dalam film kemasan atau ke dalam tempat kemasan untuk membantu memelihara
dan memperpanjang umur simpan produk (Day 2003). Menurut Robertson (2006),
definisi kemasan aktif fokus pada bahan tambahan yang dapat membuat kemasan
aktif.
3

Kemasan aktif meliputi sistem komponen kemasan yang dapat menangkap


oksigen, menyerap karbondioksida, kelembaban, dan atau bau, memancarkan
etilen, mengeluarkan karbondioksida, etanol, antioksidan dan atau pengawet, dan
atau mengatur suhu. Kemasan aktif telah digunakan oleh banyak produk makanan,
seperti yang dapat dilihat pada Tabel 1 di bawah ini.

Tabel 1 Contoh aplikasi kemasan aktif


Sistem kemasan aktif Aplikasi
Penangkap oksigen Roti, kue, biskuit, pizza, pasta, keju, daging yang sudah
dibumbui, ikan, kopi, makanan ringan, makanan dan
sayuran kering

Penangkap Kopi, daging segar dan ikan, kacang dan makanan


karbondioksida ringan lainnya, kue sponge
Pemancar etilen Buah, sayur, dan produk holtikultura lainnya
Pelepasan pengawet Sereal, daging, ikan, roti, keju, makanan ringan, buah
dan sayur
Penyerap kelembaban Ikan, daging, hasil ternak, makanan ringan, sereal,
makanan kering, sandwich, buah dan sayur
Penyerap bau Jus buah, makanan goreng, ikan, sereal, hasil ternak,
produk turunan susu, dan buah
Kemasan pengatur Makanan siap saji, daging, ikan, hasil ternak dan
suhu sayuran
Film yang Buah, sayur, dan produk hortikultura lainnya.
mengkompensasi suhu
Sumber: Kerry dan Butller (2008)

Contoh yang lain dari kemasan cerdas adalah Modified Atmosphere


Packaging (MAP). MAP merupakan jenis sistem dan teknologi kemasan yang
biasa digunakan untuk produk daging. Atmosfer didalam MAP yang digunakan
untuk daging merah segar diatur dengan jumlah oksigen 70-80% dan
karbondioksida 20-30%, sedangkan untuk produk ternak segar yang mungkin
dijual eceran, MAP diatur dengan jumlah nitrogen 65-75% dan karbondioksida
25-35%. MAP adalah sebuah teknologi pengemasan yang sangat penting yang
digunakan untuk distribusi, penyimpanan, dan pameran daging dan produk ternak
selama rantai distribusi dingin (Sivertsvik 2002). Daging dan produk ternak yang
telah matang atau produk matang yang didinginkan sangat sensitif dengan
oksigen. Oleh karena itu, biasanya disimpan secara vakum atau dalam MAP
dengan atmosfer 60-80% nitrogen dan 20-40% karbondioksida.
Meningkatnya kebutuhan informasi untuk konsumen mengenai produk yang
dikonsumsi, mendorong kebutuhan kemasan cerdas semakin meningkat. Saat ini
telah ada kemasan cerdas yang dibentuk menjadi label atau stiker pada kemasan.
Label atau stiker tersebut akan memberikan informasi visual secara langsung pada
produsen, pengecer, dan konsumen mengenai kondisi produk. Mekanisme kerja
dari label tersebut adalah saat produk rusak maka label akan berubah warna.
Selain itu, telah dikembangkan tentang label cerdas indikator warna dari daun
4

erpa (Aerva sanguinolenta) oleh Nofrida et al. (2012) dan label cerdas pendeteksi
Eschericia coli yang telah diteliti oleh Lestari (2013).

Staphylococcus aureus

Staphylococcus aureus merupakan bakteri patogen gram positif yang


berbentuk bulat tunggal, terkadang berpasangan, tapi paling sering bergerombol
berbentuk tidak teratur seperti anggur. Bakteri ini bersifat anaerob fakultatif dan
pertumbuhannya melambat pada kondisi anaerob. Ukuran tunggal dari sel S.
aureus adalah 0,5 hingga 1 µm (Ray 2004). Menurut Beishir (1991), S. aureus
bersifat katalase positif. Enzim katalase dapat memecah hidrogen peroksida
(H2O2) menjadi air dan oksigen karena menghasilkan enzim katalase. Apabila
mencampur satu lup Staphylococcus dengan 3% hidrogen peroksida (H2O2), maka
gelembung-gelembung oksigen akan muncul. Berbeda dengan Staphylococcus
yang lain, S. aureus bersifat koagulase positif karena dapat memproduksi
koagulase.
Kondisi aw dimana S. aureus dapat tumbuh sangat berbeda dengan bakteri
nonhalofilik lainnya. Tercatat bahwa bakteri ini hidup pada aw paling rendah
adalah 0,83 hingga lebih dari 0,99 (FDA 2003). Berdasarkan dari kemampuan
untuk dapat memulai pertumbuhan, S. aureus tergolong sebagai mikroorganisme
mesofil yang mempunyai suhu pertumbuhan antara 7-48oC, dengan suhu optimum
pertumbuhan adalah 20-37oC (Ray 2004). Pada makanan yang terbuat dari daging
ayam Staphylococcus aureus dapat bertahan hidup pada suhu 112oF (44,4oC)
namun tidak dapat tumbuh di salad ham pada suhu yang sama. Hal ini
menunjukkan bahwa pertumbuhan S. aureus dipengaruhi oleh kondisi yang
bervariasi (Jay 2000).
Menurut Loir et al. (2003), telah dilaporkan bahwa 30-50% dari populasi
manusia sehat merupakan pembawa S. aureus. Staphylococcus aureus merupakan
bakteri patogen yang terdapat pada tubuh hewan dan manusia, S. aureus
mempunyai beberapa jalur dalam menginfeksi hewan dan manusia, antara lain
hidung, kerongkongan, rambut, dan kulit. Staphylococcus aureus merupakan salah
satu bakteri yang menyebabkan keracunan makanan karena menghasilkan
Enterotoksin. Toksin yang dihasilkan oleh S. aureus dapat menyebabkan
gastroenteritis. Dosis infeksi S. aureus adalah 106-107 cfu/g untuk orang dewasa
dan < 106-107 cfu/g untuk anak-anak, orang tua, dan orang sakit. Gejala utama
terkena enterotoksin adalah mual dan muntah, kram perut, dan diare. Beberapa
gejala seterusnya adalah berkeringat, kedinginan, sakit kepala, dan dehidrasi (Ray
2004). Pada tingkatan yang lebih parah dapat terjadi sakit kepala, kram otot,
peningkatan denyut nadi, perubahan tekanan darah dan kadang-kadang sampai
pingsan (Jay 2000). Staphylococcus aureus sangat mudah tumbuh di makanan
yang mengandung protein tinggi dan tidak diolah dengan baik, seperti daging
babi, daging yang telah diawetkan dengan garam, salami, daging barbeque, salad,
produk panggang yang mengandung krim, saus, dan keju.
5

Baird Parker Agar

Baird Parker Agar (BPA) adalah media selektif dan diferensial untuk
mengisolasi dan memperbanyak Staphylococcus aureus yang terdapat dalam
makanan, lingkungan, dan bahan klinis. BPA secara umum digunakan dan
dimasukkan ke dalam banyak prosedur standar untuk menguji makanan,
kosmetik, atau air kolam renang yang terdapat S. aureus. Media ini tidak
digunakan untuk mengisolasi Staphylococcus lain kecuali S. aureus.
Baird Parker Agar (BPA) mengandung karbon dan nitrogen sumber
kebutuhan pertumbuhan S. aureus. Glisin, lithium klorida, dan potassium tellurit
berperan untuk menekan pertumbuhan mikroorganisme lain selain
staphylococcus. Staphylococcus aureus memproduksi koloni abu-abu gelap
hampir hitam karena mereduksi potassium tellurite. Staphylococcus aureus yang
mengandung lesitinase memecah egg yolk dan menyebabkan zona bening
disekitar koloni. Sebuah zona opak mungkin juga terbentuk karena aktivitas
lipase. Baird Parker Agar berbahaya bagi kesehatan apabila tertelan, terhirup,
ataupun terkena kulit (Acumedia 2012). Respon masing-masing mikroorganisme
ketika ditumbuhkan di Baird Parker Agar dapat dilihat di Tabel 2.

Tabel 2 Respon mikroorganisme tumbuh di Baird Parker Agar


Mikroorganisme Hasil pertumbuhan
Staphylococcus aureus Pertumbuhan bagus hingga luar biasa; warna abu-
abu tua hingga hitam, berkilau, ukuran koloni
sedang, lingkaran bening di sekitar koloni.
Staphylococcus epidermis Tidak tumbuh atau cukup tumbuh; ukuran kecil,
tidak berwarna hingga berwarna abu-abu kecoklatan;
tidak terdapat zona bening
Eschericia coli Terhambat seluruhnya
Proteus mirabilis Tidak terjadi pertumbuhan hingga tumbuh dengan
bagus; koloni berwarna coklat tua, kurang
berkerumun
Tidak diinokulasi Warna kekuning-kuningan hingga coklat menyala
Sumber: Parker (1962)

Staphylococcus aureus Pada Daging Sapi

Menurut Lawrie (1995) bakteri pencemar daging yang paling sering


ditemukan adalah Salmonella, Shigella, Eschercia coli, Bacillus cereus, Bacillus
proteus, Staphylococcus albus, Staphylococcus aureus, dan Streptococcus dari
feses. Clostridium botulinum yang berasal dari tanah juga dapat mencemari
daging. Secara umum hampir 50% kejadian yang diakibatkan mikroba tersebut
terjadi pada sapi. Sapi berumur tua akan lebih peka terhadap adanya infeksi
meskipun beberapa sapi menunjukkan resistensi. Berdasarkan SNI tahun 2008
yang bisa dilihat pada Tabel 3, syarat mutu mikrobiologis daging sapi maksimal
mengandung S. aureus sebanyak 1×102 cfu/g.
6

Tabel 3 Syarat Mutu Mikrobiologis Daging Sapi


No Jenis uji Satuan Persyaratan
1 Total Plate Count cfu/g Maksimum 1x106
2 Coliform cfu/g Maksimum 1x102
3 Staphylococcus aureus cfu/g Maksimum 1x102
4 Salmonella sp. Per 25 g Negatif
5 Escherichia coli cfu/g Maksimum 1x101
sumber: BSN (2008)

Banyak faktor yang mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme pada dan


di dalam daging termasuk temperatur, kadar air/kelembaban, oksigen, tingkat
keasaman (pH), dan kandungan gizi daging. Daging sangat memenuhi persyaratan
untuk perkembangan mikroorganisme tersebut, termasuk mikroorganisme perusak
atau pembusuk. Menurut Soeparno (2005) hal tersebut disebabkan karena
beberapa hal:
a. Daging memiliki kadar air yang tinggi (kira-kira 68-75%)
b. Daging kaya akan zat yang mengandung nitrogen dengan
kompleksitasnya yang berbeda.
c. Daging mengandung sejumlah karbohidrat yang dapat difermentasikan
d. Daging kaya akan mineral dan kelengkapan faktor untuk pertumbuhan
mikroorganisme
e. Daging mempunyai pH yang sesuai dengan beberapa mikroorganisme
(5,3-6,5)
Phillips et al. pada tahiun 2001 memperoleh tingkat kontaminasi S. aureus
24,3% pada karkas sapi dan 17,5% pada daging tanpa tulang. Winarno (1984)
menjelaskan bahwa sel-sel yang terdapat dalam daging mentah masih terus
mengalami proses kehidupan, sehingga di dalamnya masih terjadi reaksi-reaksi
metabolisme. Kecepatan proses metabolisme tersebut sangat tergantung pada suhu
penyimpanan. Semakin rendah suhu maka semakin lambat proses tersebut
berlangsung dan semakin lama daging dapat disimpan. Selain itu, suhu
penyimpanan daging yang rendah juga menghambat pertumbuhan dan
perkembangbiakan bakteri pembusuk yang terdapat pada permukaan daging.

Fase Pertumbuhan Mikroorganisme

Menurut Fardiaz (1992), pertumbuhan mikroorganisme melalui lima fase,


yaitu fase adaptasi, fase pertumbuhan awal, fase pertumbuhan logaritmik, fase
pertumbuhan lambat, fase pertumbuhan tetap (statis), dan fase menuju kematian
dan fase kematian. Pada fase adaptasi mikroorganisme menyesuaikan diri dengan
substrat dan lingkungannya sehingga belum terjadi pembelahan sel karena
mungkin beberapa enzim belum disintesis. Jumlah sel pada fase adaptasi mungkin
tetap atau bahkan menurun. Lamanya fase adaptasi dipengaruhi oleh beberapa
faktor, antara lain medium dan lingkungan pertumbuhan, serta jumlah inokulum.
Sel yang ditempatkan dalam medium dan lingkungan pertumbuhan sama seperti
medium dan lingkungan pertumbuhan sebelumnya, mungkin tidak diperlukan
waktu adaptasi. Tetapi jika nutrien yang tersedia dan kondisi lingkungan yang
baru sangat berbeda dengan sebelumnya, diperlukan waktu penyesuaian untuk
7

mensintesis enzim-enzim yang dibutuhkan untuk metabolisme. Jumlah awal sel


yang tinggi akan mempercepat fase adaptasi. Penyebab fase adaptasi menjadi
lambat antara lain, kultur dipindah dari medium yang kaya nutrien ke medium
yang kandungan nutriennya terbatas, mutant yang baru terbentuk menyesuaikan
diri dengan lingkungannya, kultur yang dipindahkan dari fase statis ke medium
baru dengan komposisi sama seperti sebelumnya.
Pada fase pertumbuhan awal, sel akan mulai membelah dengan kecepatan
yang masih rendah karena baru selesai tahap penyesuaian diri. Pada fase
pertumbuhan logaritmik, sel jasad renik membelah dengan cepat dan konstan,
yang mana pertambahan jumlahnya mengikuti fase logaritmik. Pada fase ini
kecepatan pertumbuhan sangat dipengaruhi oleh medium tempat tumbuhnya,
seperti pH dan kandungan nutrien, juga kondisi lingkungan termasuk suhu dan
kelembaban udara. Pada fase ini sel membutuhkan energi lebih banyak
dibandingkan dengan fase lainnya, selain itu sel paling sensitif terhadap keadaan
lingkungan. Pada fase pertumbuhan lambat, populasi jasad renik diperlambat
karena beberapa sebab, misalnya zat nutrisi di dalam medium sudah sangat
berkurang, adanya hasil-hasil metabolisme yang mungkin beracun atau dapat
menghambat sel tidak stabil, tetapi jumlah populasi masih naik karena jumlah sel
yang tumbuh masih lebih banyak daripada jumlah sel yang mati. Pada fase
pertumbuhan tetap (statis), jumlah populasi sel tetap karena jumlah sel yang
tumbuh sama dengan jumlah sel yang mati. Ukuran sel pada fase ini menjadi lebih
kecil karena sel tetap membelah meskipun zat nutrisi sudah mulai habis. Oleh
karena itu, sel kemungkinan mempunyai komposisi berbeda dengan sel yang
tumbuh pada fase logaritmik. Pada fase ini, sel-sel menjadi lebih tahan terhadap
keadaan ekstrem seperti panas, dingin, radiasi, dan bahan kimia. Pada fase menuju
kematian dan fase kematian, populasi jasad renik mulai mengalami kematian
karena beberapa sebab, yaitu nutrien di dalam medium sudah habis dan energi di
dalam sel sudah habis. Jumlah sel yang mati semakin lama akan semakin banyak,
dan kematian jasad renik dipengaruhi oleh kondisi nutrien, lingkungan, dan jenis
jasad renik.

Low Density Polyethilen (LDPE)

Low Density Polyethilen (LDPE) dibuat dari gas etilen karena tersusun dari
banyak rantai cabang maka struktur molekul LDPE kurang rapat dan amorf,
mempunyai densitas 0,910-0,925 g/cm3, serta dihasilkan melalui proses tekanan
tinggi. Low Density Polyethilen (LDPE) merupakan kelompok Polyethylene (PE).
Polyethylene (PE) memiliki sifat lemas, lebih lunak, kekuatan tarik rendah, serta
tidak tahan panas dan bahan kimia. Polyethylene (PE) apabila dipanaskan pada
suhu tinggi akan mengakibatkan karbonil yang menyebabkan timbulnya bau
plastik terhadap produk yang ada di dalamnya (Syarief 1989).
8

METODE

Bahan

Bahan yang digunakan pada penelitian ini antara lain, agar bubuk, Baird
Parker Agar + egg yolk tellurite, gliserol, tapioka, aquades, polivinil alkohol,
biakan S. aureus, alkohol, garam fisiologis, Nutrient Broth.

Alat

Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini antara lain, gelas piala, coloni
counter quebec, magnetic stirer, hot stirer, batang penyebar, termometer, neraca
analitik, mikro pipet, cawan petri, sudip alumunium, plat kaca berukuran 20 cm ×
30 cm dan oven.

Metodologi

Konfirmasi Pertumbuhan Staphylococcus aureus di media Baird Parker Agar


(BPA) + egg yolk tellurite
Tahap pertama yang dilakukan dalam penelitian ini adalah mengetahui
bentuk S. aureus yang tumbuh di media BPA + egg yolk tellurite. Konfirmasi
bentuk pertumbuhan S. aureus dilakukan dengan cara menumbuhkan S. aureus di
media BPA (Baird Parker Agar) + egg yolk tellurite. Metode yang digunakan
adalah metode permukaan (surface plate). Langkah pertama, sebanyak 6,3 gram
BPA ditambah dengan 100 mL Aquades kemudian dipanaskan hingga jernih
(homogen). Setelah itu, sterilisasi larutan BPA yang sudah homogen dengan
autoklaf pada suhu 121oC selama 15 menit. Lalu, larutan BPA yang telah steril di
tuang ke dalam cawan petri steril dengan masing-masing volume adalah 15-20
menit. Larutan BPA didinginkan hingga suhu 50oC di dalam ruangan steril
dengan suhu ruang, tujuan dari pendinginan tersebut adalah untuk menyesuaikan
dengan suhu egg yolk tellurite yang akan ditambahkan. Menurut Koswara (2009)
kuning telur ayam akan terkoagulasi pada suhu 65oC, koagulasi tersebut terjadi
akibat reaksi antara protein dan air yang diikuti dengan penggumpalan protein
(karena ikatan-ikatan antar molekul). Setelah media BPA+egg yolk tellurite
membeku, kemudian diinjeksikan 0,1 mL kultur murni S. aureus ke atas media
menggunakan batang penyebar yang telah disterilisasi. Diagram alir metode
penanaman S. aureus di media BPA + egg yolk tellurite dapat dilihat pada
Gambar 1.
9

6,3 gram BPA

Akuades 100 mL

pemanasan

Sterilisasi suhu 121oC, 15 menit

Larutan BPA steril

Penuangan ke cawan

Pendinginan hingga 50oC


Egg yolk tellurite
1 mL
Pendinginan

Penuangan 0,1 mL S. aureus

Gambar 1 Diagram alir metode penanaman S. aureus di media BPA + egg yolk
tellurite

Kultur murni S. aureus yang diinjeksikan ke atas media BPA + egg yolk
tellurite harus diencerkan dulu menggunakan NaCl fisiologis 0,85%. Menurut
Rahardhianto et al. (2012), NaCl fisiologis berfungsi untuk mengurangi aktifitas
mikroorganisme sehingga dapat mempertahankan kehidupan mikroorganisme
tersebut. Larutan NaCl fisiologis memberikan sifat buffer sehingga dapat
mempertahankan pH dalam suhu ruang dan bersifat isotonis dalam cairan sel.

Pemilihan Metode Pembuatan Label Terbaik dan Konfirmasi Pertumbuhan


S. aureus pada Label Kering dan Basah
Pemilihan metode pembuatan label cerdas bertujuan untuk menentukan
metode pembuatan label cerdas terbaik. Terdapat dua metode yang telah
dilakukan pada penelitian ini, yaitu (i) metode penelitian Lestari (2013)
modifikasi pertama dan (ii) metode Lestari (2013) modifikasi kedua. Langkah
metode penelitian Lestari (2013) modifikasi pertama yaitu, aquades dipanaskan
hingga suhu 50oC, kemudian tapioka ditambahkan dan larutan dihomogenisasi
hingga suhu 60oC. Setelah itu, PVA dimasukkan (apabila ditambahkan PVA) dan
10

larutan dihomogenisasi hingga suhu 70oC. Lalu agar bubuk dan BPA ditambahkan
dan larutan dihomogenisasi hingga suhu 90oC. Larutan kemudian didinginkan
hingga suhu 50oC, lalu gliserol ditambahkan kemudian diaduk untuk
menghomogenisasi larutan. Setelah larutan homogen, egg yolk tellurite
ditambahkan kemudian dihomogenisasi. Setelah itu, larutan dicetak menggunakan
plat kaca ukuran 30×20 cm. Kemudian larutan label dikeringkan di dalam oven
50oC selama 24 jam. Setelah 24 jam, label diambil dari oven dan jadi label dengan
karakteristik kering.
Pada dasarnya langkah-langkah metode Lestari (2013) modifikasi pertama
sama dengan modifikasi keduanya. Perbedaan kedua metode tersebut terdapat
pada cara pengeringan label di oven suhu 50oC. Berdasarkan metode Lestari
(2013) modifikasi pertama, setelah label selesai dibuat kemudian label dituang ke
plat kaca ukuran 30×20 cm, lalu dikeringkan pada oven dalam keadaan terbuka
suhu 50oC selama 24 jam sehingga dihasilkan label kering. Sedangkan metode
Lestari (2013) modifikasi kedua, dilakukan dengan mengeringkan label pada oven
suhu 50oC dalam keadaan tertutup di cawan petri sehingga menghasilkan label
basah. Diagram alir pembuatan label menggunakan metode Lestari (2013)
modifikasi pertama dapat dilihat pada Gambar 2, sedangkan pembuatan label
cerdas menggunakan metode Lestari (2013) modifikasi kedua dapat dilihat pada
Gambar 3.

Akuades

Dipanaskan suhu 50oC

Tapioka
Homogenisasi hingga suhu 60oC
PVA
Homogenisasi hingga suhu 70oC
Agar dan
BPA
Homogenisasi hingga suhu 90oC
Gliserol

Egg yolk Pendinginan hingga suhu 50oC


tellurite

Pencetakan

Pengeringan suhu 50oC, 24 jam

Label kering

Gambar 2 Diagram alir pembuatan label cerdas dengan metode Lestari (2013)
modifikasi pertama
11

Akuades

Pemanasan suhu 50oC


Tapioka

Homogenisasi hingga 70oC

Agar dan BPA

Homogenisasi hingga 90oC

Gliserol
Pendinginan hingga 50oC
Egg yolk
tellurite
Penuangan ke cawan petri

Pengeringan suhu 50oC selama 24 jam

Label basah

Gambar 3 Diagram alir pembuatan label dengan metode Lestari (2013) modifikasi
kedua

Kedua label dikonfirmasi pertumbuhan S. aureus pada label kering dan


basah, untuk menentukan jenis label terbaik yang dapat mendeteksi S. aureus.
Ilustrasi cara melakukan konfirmasi pertumbuhan S. aureus pada label kering dan
basah dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4 Ilustrasi cara konfirmasi pertumbuhan S. aureus pada label (Lestari


2013)
12

Pemilihan Komposisi Bahan Pembuatan Label Terbaik


Setelah didapatkan metode pembuatan label terbaik, maka dilakukan
modifikasi komposisi label untuk mendapatkan karakteristik fisis mekanis yang
baik. Pembuatan label dengan berdasarkan komposisi Lestari (2013) sebelumnya
memiliki karakteristik yang kurang baik, maka pada penelitian ini dilakukan
penambahan polivinil alkohol (PVA) untuk memperbaiki karakteristik label. Pada
penelitian ini ada dua perlakuan, yaitu penambahan 0,5% PVA dan 0% PVA.
Label kemudian dikonfirmasi pertumbuhan S. aureus untuk mengetahui formulasi
label terbaik untuk mendeteksi S. aureus.
Label yang basah menyebabkan label susah untuk ditempelkan di produk,
oleh karena itu penempelan label dilakukan dengan cara membungkus label
dengan plastik LDPE (Low Density Poliethylene) dan ditempelkan pada kemasan
produk agar dapat mendeteksi S. aureus pada produk. Sensitivitas label dari
masing-masing perlakuan diuji dengan cara disimulasikan dengan jar. Label yang
telah dibungkus plastik LDPE ditempelkan di dalam tutup jar yang yang terlebih
dahulu dimasukkan media yang telah ditumbuhi S. aureus. Ilustrasi uji sensitivitas
label dalam jar dapat dilihat pada Gambar 5.
Label dalam sachet

Tutup jar

Jar
Biakan S. aureus

BPA + Egg yolk tellurite

Gambar 5 Ilustrasi uji sensitivitas label dalam jar

Uji Kebenaran Keberadaan S. aureus


Label yang telah mengalami perubahan secara fisik harus diuji untuk
membuktikan bahwa penyebab perubahan pada label tersebut benar disebabkan
keberadaan S. aureus.
1. Uji Staphylococcus aureus (BAM 2001)
Label yang telah diinkubasi selama 7 hari kemudian dihancurkan atau
dipotong beberapa bagian. Lalu beberapa bagian label tersebut dibuat
suspensi dengan ditambahkan ke dalam nutrient broth steril sebanyak 9 mL,
setelah itu diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37oC. Setelah diinkubasi,
sebanyak 0,1 mL suspensi dipindahkan kedalam masing-masing cawan petri
yang telah berisikan medium Baird Parker Agar + egg yolk tellurite dan
diinkubasikan selama 48 jam. Setiap cawan petri yang menunjukkan adanya
pertumbuhan koloni abu-abu hingga hitam mengkilap dengan zona bening di
sekelilingnya, maka koloni tersebut adalah S. aureus.
13

2. Uji konfirmasi (BAM 2001)


a. Uji katalase
Uji katalase dilakukan dengan meneteskan cairan peroksida 3% ke atas
koloni mikroba. Kemudian diamati terjadinya reaksi setelah dilakukan
penetesan, apabila terbentuk gelembung-gelembung gas maka mikroba
tersebut merupakan katalase positif.
b. Pewarnaan gram
Pewarnaan gram dilakukan untuk membedakan bakteri gram positif dan
gram negatif. Hasil positif untuk bakteri gram positif yaitu jika sel yang
teramati di bawah mikroskop berwarna biru dan untuk bakteri gram
negatif yaitu jika sel yang teramati berwarna merah. Urutan pewarnaan
gram adalah sebagai berikut:
1. Kultur dioles di atas gelas objek, kemudian difiksasi
2. Kultur ditetesi dengan violet kristal selama 1 menit
3. Dibilas dengan air
4. Kultur ditetesi dengan larutan iodium selama 1 menit
5. Kultur di atas gelas objek dicelupkan alkohol 96% selama beberapa
detik
6. Kultur ditetesi dengan safranin selama 20 detik
7. Kultur diamati di bawah mikroskop dengan perbesaran 1000 kali.

Uji Sensitivitas Label Cerdas Dalam Mendeteksi S. aureus pada Suhu (4 ±


2)oC, (25 ± 2)oC, dan (37 ± 2)oC
Uji sensitivitas label terhadap jumlah S. aureus pada suhu (4 ± 2)oC, (25 ±
2)oC, dan suhu (37 ± 2)oC perlu dilakukan untuk mengetahui sensitivitas label
dalam mendeteksi S. aureus pada suhu-suhu tersebut. Uji tersebut dilakukan
dengan cara mengemas label dalam plastik LDPE (Low Density Poliethylene)
kemudian menempelkannya ke dalam tutup jar dan menumbuhkan S. aureus di
dasar jar. Setelah itu diinkubasi pada suhu (4 ± 2)oC, (25 ± 2)oC, dan suhu (37 ±
2)oC selama 7 hari dan dilakukan pengamatan terhadap perubahan label setiap
hari.

Aplikasi Label Pada Daging Sapi


Aplikasi label ini bertujuan untuk mengetahui kesamaan respon label ketika
mendeteksi biakan murni S. aureus dibandingkan dengan S. aureus yang terdapat
dalam produk seperti daging. Aplikasi label dilakukan dengan cara yang sama
dengan pengujian sensitivitas label dalam jar. Daging dimasukkan ke dalam
kemasan jar, kemudian di dalam tutup jar ditempeli dengan label yang telah
dibungkus plastik LDPE. Setelah itu diinkubasi selama 48 jam pada suhu (25 ±
2)oC dan selama 12 hari pada suhu (4 ± 2)oC. Pengamatan pada suhu (25 ± 2)oC
dilakukan setiap 12 jam untuk melihat sensitivitas label, sedangkan pengamatan
pada suhu (4 ± 2)oC dilakukan setiap 6 hari sekali. Pada aplikasi ini daging diberi
2 perlakuan, yaitu diinjeksi dengan 102 cfu/mL S. aureus dan tidak diinjeksi
dengan S. aureus. Masing-masing sampel diuji secara duplo. Teknik aplikasi label
pada daging sapi sama dengan teknik dalam uji sensitivitas label cerdas dalam
mendeteksi S. aureus pada suhu (4 ± 2)oC, (25 ± 2)oC, dan suhu (37 ± 2)oC dan
ilustrasinya seperti pada Gambar 6.
14

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pertumbuhan S. aureus di Baird Parker Agar + egg yolk tellurite

Konfirmasi pertumbuhan S. aureus di media Baird Parker Agar + egg yolk


tellurite berguna untuk mengetahui bentuk morfologi dari S. aureus ketika
ditumbuhkan di media tersebut. Hal ini diperlukan karena media pertumbuhan S.
aureus yang ditambahkan di bahan dasar label adalah Baird Parker Agar + egg
yolk tellurite. Baird Parker Agar (BPA) adalah salah media untuk isolasi dan
perbanyakan S. aureus serta membedakannya dari Staphylococcus yang lain.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, dapat diketahui bahwa bentuk
S. aureus yang tumbuh di atas media Baird Parker Agar + egg yolk tellurite
adalah koloni berwarna hitam, konveks, terdapat zona bening dan opak di sekitar
koloni. Hal tersebut sesuai dengan literatur karena Baird Parker Agar (BPA)
mengandung karbon dan nitrogen sumber kebutuhan pertumbuhan S. aureus.
Glisin, lithium klorida, dan potassium tellurit dalam Baird Parker Agar (BPA)
berperan sebagai selective agents. Egg yolk adalah substrat untuk mendeteksi
produksi lesitinase dan aktivitas lipase. Staphylococcus aureus memproduksi
koloni abu-abu gelap hampir hitam karena mereduksi tellurite. S. aureus yang
memproduksi lesitinase memecah egg yolk dan menyebabkan zona bening
disekitar koloni. Sebuah zona opak mungkin juga terbentuk karena aktivitas lipase
(Acumedia 2012). Penampakan S. aureus dapat dilihat pada Gambar 6.

(a) (b)
Gambar 6 (a) Penampakan S.aureus hasil penelitian, (b) penampakan S. aureus
(Acumedia 2012)

Metode Pembuatan Label Terbaik dan Konfirmasi Pertumbuhan S. aureus


Pada Label Kering dan Basah

Berdasarkan penelitian Lestari (2013), label cerdas yang dihasilkan bersifat


kering dan dapat menyerap air pada produk. Sifat label kering yang dapat
menyerap air pada produk, dapat dijadikan sebagai moisture absorbers (penyerap
kelembaban) sehingga menurunkan nilai aw pada produk dan mencegah
pertumbuhan mikroba. Namun, menurut Lestari (2013) sifat label kering yang
dapat menyerap air dapat menyebabkan migrasi dari bahan label ke produk yang
ditempeli label. Berdasarkan dari penelitian Lestari (2013), dilakukan
penambahan PVA (Polivinil alkohol) untuk mencegah migrasi dari label kering ke
produk sehingga dapat dihasilkan label yang dapat berfungsi sebagai penyerap
kelembaban dan pendeteksi S. aureus pada produk. Polivinil Alkohol merupakan
bahan pembuat plastik yang larut dalam air. Polivinil Alkohol berperan dalam
pembentukan film dan pengemulsi. Polivinil alkohol memiliki kekuatan tarik
15

tinggi, fleksibilitas yang baik, dan sifat penghalang oksigen yang baik. Pada tahun
1998 Shrogen et al. menambahkan PVA untuk meningkatkan kekuatan,
fleksibilitas, dan ketahanan foam berbasis pati pada adonan sebelum proses
pembakaran. Hal tersebut dilakukan karena foam berbasis pati memiliki sifat yang
rapuh dan sensitif terhadap air sehingga membutuhkan perlakuan lebih lanjut atau
modifikasi bahan. Pada penelitian ini ada dua perlakuan, yaitu penambahan 0%
PVA dan 0,5% PVA. Hasil pembuatan pembuatan label dapat dilihat pada
Gambar 7.

(a) (b)
Gambar 7 Label dengan PVA (a) 0,5%; (b) 0%

Setelah dihasilkan label cerdas dari masing-masing perlakuan, kemudian


sensitivitas label diuji dengan cara menumbuhkan S. aureus di atas label. Pada
pengujian dengan cara menginjeksi S. aureus, diketahui bahwa tidak terjadi
perubahan warna pada label setelah diinkubasi pada suhu (37 ± 2)oC selama 7
hari. Hasil inkubasi selama 7 hari label kering setelah diinjeksi S. aureus dapat
dilihat pada Gambar 8.

(a) (b)
Gambar 8 Penampakan label hari ke (a) 0; (b) 7

Berdasarkan hasil tersebut diketahui bahwa label dengan karakteristik


kering tidak sensitif dalam mendeteksi keberadaan S. aureus. Label dengan
karakteristik kering mempunyai nilai aw (activity water) sebesar 0,631. Nilai
tersebut lebih rendah daripada nilai aw minimal yang dibutuhkan S. aureus untuk
tumbuh yaitu 0,83 (FDA 2003). Activity water (aw) adalah sebuah properti penting
yang dapat digunakan untuk memperkirakan stabilitas dan keamanan makanan
yang berhubungan dengan pertumbuhan mikroba. Istilah aktivitas air digunakan
untuk menjabarkan air bebas dalam suatu sistem yang dapat menunjang reaksi
biologis dan kimiawi (Fontana 2008). Aktivitas air (Water activity) adalah jumlah
air bebas yang dapat digunakan oleh mikroba untuk pertumbuhannya.
Meskipun label kering dapat menyerap air pada produk, namun label kering
tidak mampu mendeteksi keberadaan S. aureus. Oleh karena itu, kemudian
dilakukan modifikasi kembali untuk metode Lestari (2013) modifikasi pertama.
Tujuan modifikasi ini adalah untuk menghasilkan label dengan nilai aw minimal
16

0,83 yang berkarakteristik basah sehingga dapat mendeteksi keberadaan S. aureus.


Setelah dilakukan modifikasi metode dihasilkan label dengan nilai aw sebesar
0,856. Label Label berkarakteristik basah kemudian diuji untuk mengetahui
sensitivitas label dalam mendeteksi S. aureus. Hasil uji sensitivitas label basah
dalam mendeteksi keberadaan S. aureus setelah diinkubasi selama 48 jam dapat
dilihat pada Gambar 9.

Gambar 9 Penampakan S. aureus pada label basah


Berdasarkan hasil tersebut, diketahui bahwa S. aureus yang diinjeksi ke
atas label dapat mengkontaminasi label sehingga memproduksi koloni abu-abu
gelap hampir hitam karena mereduksi tellurite (Acumedia 2012), oleh karena itu
label basah dengan rata-rata nilai aw sebesar 0.856 merupakan pilihan label
terbaik. Label basah tersebut tidak mampu untuk menyerap air pada produk
sehingga fungsi dari label tersebut hanya untuk mendeteksi keberadaan S. aureus.

Komposisi Bahan Label Terbaik

Pemilihan komposisi bahan label bertujuan untuk menghasilkan label


dengan karakteristik terbaik. Perlakuan yang dilakukan sama dengan sebelumnya,
yaitu dengan penambahan 0,5% PVA dan 0% PVA. Label yang telah dibuat
dengan masing-masing perlakuan kemudian dibungkus dengan plastik LDPE
steril untuk mempermudah penempelan label pada bagian dalam kemasan produk
dengan menggunakan double tip. Permeabilitas gas kemasan plastik sangat
mempengaruhi ketersediaan oksigen. Ketersediaan oksigen sangat penting untuk
respirasi dan pertumbuhan S. aureus. Dalam proses respirasi, oksigen dikonsumsi
oleh S. aureus sehingga jumlah oksigen semakin berkurang. Menurut Ray (2004),
S. aureus bersifat anaerob fakultatif namun pada keadaan anaerobik
pertumbuhannya sangat lambat.
Setelah itu, label dari masing-masing perlakuan diuji menggunakan jar. Jar
digunakan sebagai simulasi kemasan produk, dengan jarak antara tutup jar dengan
dasar jar 8,1 cm dan diameter jar 4,6 cm, menurut Acumedia (2012) BPA (Baird
Agar) dapat membahayakan kesehatan. Label yang telah dibungkus LDPE steril
kemudian ditempelkan di bagian dalam tutup jar, sedangkan media BPA yang
telah diinjeksi S. aureus diletakkan di dasar jar, setelah itu diinkubasi pada suhu
37oC selama 7 hari. Hasil pengamatan label diinkubasi selama 7 hari dapat dilihat
pada Tabel 4 dan 5.
17

Tabel 4 Hasil inkubasi label PVA 0,5%


Hari Sampel 1 Sampel 2 Sampel 3
Ke
1

7
18

Tabel 5 Hasil inkubasi label PVA 0%


Hari Sampel 1 Sampel 2 Sampel 3
ke
1

Berdasarkan hasil pengamatan yang telah dilakukan selama 7 hari yang


dapat dilihat di Tabel 5, diketahui bahwa label dengan perlakuan ditambah 0%
19

PVA lebih cepat mendeteksi keberadaan S. aureus dibanding label yang ditambah
PVA 0,5%. Label tanpa penambahan PVA dapat mendeteksi keberadaan S. aureus
dalam 2 hari, sedangkan label dengan penambahan PVA dapat mendeteksi
keberadaan S. aureus dalam 4 hari. Hal tersebut bisa terjadi karena PVA
mempunyai sifat kedap terhadap uap air sehingga mampu menjaga komponen
aktif dan bahan lainnya yang terkandung di dalam bahan dari kontak dengan
oksigen.

Uji Kebenaran Keberadaan S. aureus

Uji Staphylococcus aureus (BAM 2001)


Label yang telah terkontaminasi S. aureus akan berubah warna menjadi abu-
abu sampai hitam. Koloni yang tumbuh di label harus dibuktikan kalau memang
benar S. aureus karena bentuknya tidak sesuai dengan literatur Acumedia (2012).
Label berubah warna dari abu-abu hingga hitam sedikit demi sedikit hingga
akhirnya merata pada permukaan label. Koloni S. aureus yang tumbuh di label
tidak berbentuk bulat, cembung, dan tidak terdapat zona bening maupun opak
disekitar koloni. Hal tersebut dikarenakan jumlah BPA yang tidak sesuai dengan
aturan pemakaian. Menurut Himedia Technical Data (2011), untuk membuat
media BPA dibutuhkan 63 gram dalam 950 mL air destilata dan 50 mL egg yolk
tellurite dalam 950 mL air destilata, sedangkan BPA yang ditambahkan ke dalam
komposisi label hanya sebanyak 0,5% dari volume air destilata, sehingga hasil S.
aureus dalam mereduksi semua komponen dalam BPA kurang sempurna.
Hasil potongan label yang telah dijadikan suspensi dengan ditambahkan
nutrient broth kemudian diinkubasi di atas media BPA + egg yolk tellurite, maka
apabila koloni yang tumbuh di label merupakan S. aureus akan berbentuk bulat
hitam, cembung, dan timbul zona bening disekitar koloni ketika ditumbuhkan
kembali di BPA + egg yolk tellurite. Contoh uji Baird Parker Agar (BPA) + egg
yolk tellurite yang menunjukkan hasil positif dan negatif dapat dilihat pada
Gambar 10.

(a) (b)
Gambar 10 Hasil uji Staphylococcus aureus (a) positif; (b) negatif
20

Uji Konfirmasi
Setelah terbukti bahwa koloni yang tumbuh merupakan S. aureus yang
diketahui melalui uji S. aureus menggunakan metode BAM (2001), maka S.
aureus dikonfirmasi kembali melalui uji katalase dan pewarnaan gram.
a. Uji katalase
Menurut Beishir (1991), S. aureus menghasilkan enzim katalase. Enzim
katalase dapat memecah hidrogen peroksida (H2O2) menjadi air dan oksigen.
Apabila mencampur satu lup Staphylococcus dengan 3% hidrogen peroksida
(H2O2), maka gelembung-gelembung oksigen akan muncul. Oleh karena itu, S.
aureus merupakan katalase positif. Berikut adalah hasil uji katalase pada S.
aureus. Hasil uji katalase dapat dilihat pada Gambar 11.

(a) (b)

Gambar 11 Hasil uji katalase: (a) negatif; (b) positif


b. Pewarnaan gram
Pewarnaan gram merupakan salah satu teknik pewarnaan yang paling
penting dan paling luas digunakan untuk bakteri. Pewarnaan gram merupakan
pewarnaan diferensial yang membutuhkan pewarna utama dan pewarna
pembanding. Pewarna utama adalah ungu kristal yang diikuti dengan larutan
iodin. Iodin disebut dengan mordant (khusus untuk pencelupan) yang merupakan
sebuah bahan yang sering digunakan untuk campuran metal yang
mengkombinasikan dengan sebuah bahan celupan untuk membentuk campuran
berwarna dan tidak larut. Endapan tidak larut ini disebut dengan kompleks ungu
kristal-yodium dalam prosedur pewarnaan gram. Organisme gram positif tidak
menahan celupan utama setelah iodin mordant dihilangkan. Setelah pewarnaan,
biasanya menggunakan 95% etanol, kemudian pewarna pembanding safranin
diteteskan. Organisme yang menolak menghilangkan warna dan mempertahankan
kompleks ungu kristal-yodium menunjukkan warna ungu atau biru tua secara
mikroskopik, maka disebut gram positif. Sedangkan sel yang menghilangkan
warna kompleks ungu kristal-yodium secara cepat maka akan menerima pewarna
pembanding safranin dan berwarna merah, maka disebut gram negatif (Beishir
1991).
Menurut Pelczar dan Chan (2006), terdapat dua kemungkinan mekanisme
yang bekerja saat pewarnaan gram. Pertama, dinding bakteri gram negatif lebih
tipis dan mengandung lipid dalam presentasi yang lebih tinggi (11-22%)
dibandingkan dengan bakteri gram positif (1-4%). Perlakuan dengan etanol
(alkohol) terhadap bakteri gram negatif menyebabkan terekstaksinya lipid
21

sehingga memperbesar daya rembes atau permeabilitas dinding sel. Jadi kompleks
ungu kristal-yodium yang telah memasuki dinding sel selama langkah awal dalam
proses pewarnaan dapat terekstraksi. Kandungan lipid yang lebih rendah pada
dinding sel bakteri gram positif menjadi terdehidrasi selama perlakuan etanol.
Ukuran pori-pori mengecil, permeabilitasnya berkurang, dan kompleks ungu
kristal-yodium tidak dapat terekstraksi.
Kedua, dinding sel bakteri gram negatif mengandung peptidoglikan jauh
lebih sedikit dan peptidoglikan ini mempunyai ikatan silang yang jauh kurang
ekstensif dibandingkan dengan yang dijumpai pada dinding bakteri gram positif.
Oleh karena itu, pori-pori pada peptidoglikan bakteri gram negatif masih cukup
besar meskipun telah diperlakukan dengan etanol sehingga memungkinkan
ekstraksi kompleks ungu kristal-yodium. Setelah perlakuan etanol, kompleks ungu
kristal-yodium terperangkap di dalam dinding bakteri gram positif yang
mengurangi diameter pori-pori pada peptidoglikan dinding sel. Hasil pewarnaan
gram S. aureus dengan perbesaran mikroskop 1000× dapat dilihat pada Gambar
12.

Gambar 12 Penampakan S. aureus menggunakan pewarnaan gram (perbesaran


1000×)

Staphylococcus aureus merupakan salah satu contoh bakteri gram positif


sehingga sel akan berwarna ungu kristal-yodium kompleks ketika dilakukan uji
pewarnaan gram. Selain itu, melalui pewarnaan gram juga dapat diketahui bentuk
morfologi dari S. aureus. S. aureus berbentuk bulat atau coccus dengan ukuran
diameter 0,5-1,0 µm. Sel membentuk kelompok tidak beraturan, tunggal, atau
kadang-kadang berpasangan. Namun bentuk yang sering ada adalah kelompok
tidak beraturan (Ray 2004). Berdasarkan uji Staphylococcus aureus, katalase, dan
pewarnaan gram dibuktikan bahwa perubahan fisik dari label disebabkan karena
adanya pertumbuhan S. aureus pada label.

Uji Sensitivitas Label Dalam Mendeteksi S. aureus pada Suhu (4 ± 2)oC, (25 ±
2)oC, dan (37 ± 2)oC

Uji sensitivitas label terhadap jumlah S. aureus pada suhu (4 ± 2)oC, (25 ±
2) C, dan suhu (37 ± 2)oC perlu dilakukan untuk mengetahui suhu optimum label
o

dalam mendeteksi S. aureus. Pengamatan pada suhu (4 ± 2)oC dan (25 ± 2)oC
perlu dilakukan karena umumnya masyarakat terbiasa untuk menyimpan makanan
pada suhu tersebut. Koswara (2001) menyebutkan bahwa temperatur refrigerasi
dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme pembusuk dan mencegah
22

hampir semua mikroorganisme patogen. Menurut Fardiaz (1992), S. aureus


merupakan bakteri mesofil yang dapat hidup pada suhu (10-45)oC. Pengamatan
pada suhu (4 ± 2)oC dilakukan untuk mengetahui pertumbuhan S. aureus dan
mengetahui respon label dalam mendeteksi S. aureus di luar suhu
pertumbuhannya. Suhu (37 ± 2)oC merupakan suhu optimum pertumbuhan S.
aureus sehingga menjadi kontrol pembanding dengan respon yang dihasilkan
pada label yang diinkubasi pada suhu (4 ± 2)oC, (25 ± 2)oC. Hasil pengujian
sensitivitas label pada suhu-suhu tersebut dapat dilihat di Tabel 6. Sedangkan
untuk gambar hasil pengujian sensitivitas label pada suhu-suhu tersebut dapat
dilihat di Lampiran 1.

Tabel 6 Hasil pengujian sensitivitas label pada suhu (4 ± 2)oC, (25 ± 2)oC,
dan (37 ± 2)oC
Hari Suhu
(4 ± 2) oC (25 ± 2) oC (37 ± 2) oC
S1 S2 S3 S1 S2 S3 S1 S2 S3
1 - - - - - - - - -
2 - - - - - - + - -
3 - - - - - + + - -
4 - - - - - + + - -
5 - - - + - + + - +
6 - - - + - + + - +
7 - - - + - + + - +

Berdasarkan hasil pengamatan selama 7 hari, diketahui bahwa pada suhu (4


± 2)oC label belum bisa mendeteksi keberadaan S. aureus. Pada suhu (25 ± 2)oC,
dua sampel dari tiga sampel label dapat mendeteksi keberadaan S. aureus dengan
waktu mendeteksi 5 hari dan 3 hari, sedangkan pada suhu (37 ± 2)oC terdapat dua
sampel dari tiga sampel yang dapat mendeteksi keberadaan S. aureus dengan
waktu mendeteksi 2 hari dan 5 hari.
Hal tersebut mungkin dikarenakan aktivitas enzim S. aureus pada suhu (4 ±
2)oC berhenti. Menurut Fardiaz (1992), keadaan di bawah suhu minimum dan di
atas suhu maksimum akan menyebabkan aktivitas enzim berhenti, bahkan pada
suhu yang terlalu tinggi akan terjadi denaturasi enzim. Suhu minimum
pertumbuhan S. aureus adalah (10 - 20)oC, optimum (20-40)oC, dan maksimum
(40 - 45)oC. Suhu (25 ± 2)oC dan (37 ± 2)oC merupakan suhu optimum bagi
pertumbuhan S. aureus, sehingga waktu yang dibutuhkan label untuk mendeteksi
S. aureus hanya mempunyai selisih waktu satu hari.

Aplikasi Label Pada Daging Sapi

Pertumbuhan S. aureus pada daging sapi yang telah diinjeksi S. aureus dan
tanpa Diinjeksi S. aureus
Berdasarkan literatur pada tinjauan pustaka yang menyebutkan bahwa S.
aureus sangat berpotensi tumbuh pada daging karena beberapa faktor yang
mempengaruhi, maka aplikasi label diuji coba pada daging sapi. Cara aplikasi
yang dilakukan sama dengan cara pengujian sensitivitas label. Aplikasi ini
23

dilakukan pada dua suhu yang berbeda, yaitu suhu (4 ± 2)oC berdasarkan suhu
refrigerator dan suhu (25 ± 2)oC berdasarkan suhu ruang. Pengamatan pada suhu
(4 ± 2)oC dilakukan selama 12 hari karena menurut Jay (2000), fase pertumbuhan
eksponensial mikroorganisme pada daging yang disimpan pada suhu 5oC adalah 8
- 12 hari.
Daging yang diberi perlakuan pada suhu (4 ± 2)oC berasal dari pasar
tradisional, sedangkan daging yang diberi perlakuan pada suhu (25 ± 2)oC berasal
dari rumah pemotongan hewan (RPH) Elders yang bertempat di kampus IPB,
Dramaga. Rata-rata S. aureus yang berada dalam daging setelah diambil dari pasar
tradisional adalah 1,2×106 cfu/gram, sedangkan jumlah koloni untuk daging sapi
yang berasal dari RPH Elders adalah 3,5×102 cfu/gram. Jumlah tersebut tidak
sesuai dengan SNI daging yang mensyaratkan jumlah maksimum S. aureus pada
daging yaitu 1×102 cfu/gram. Kontaminasi S. aureus pada makanan dapat berasal
saat proses pengolahan, yang berasal dari tangan, hidung, atau kulit. Bakteri ini
disebarkan oleh para pengelola pangan. Hal tersebut sangat mendukung adanya
kontaminasi S. aureus pada daging sapi karena pengolahan daging sapi di pasar
tradisional pada umumnya menggunakan tangan. Meskipun pengolahan daging
sapi di RPH Elders sangat higienis, namun adanya kontaminasi dapat terjadi pada
saat distribusi daging sebelum diberi perlakuan. Jumlah koloni S. aureus di daging
sapi pada suhu (4 ± 2)oC dapat dilihat pada Gambar 13.

2,5
Jumlah koloni (x109

2,2
2 1,9
1,9
cfu/g)

1,5
1 tidak diinjeksi
0,5 0,425 diinjeksi
0,0012
0
0 6 12
Waktu penyimpanan (hari)

Gambar 13 Jumlah koloni S. aureus di daging sapi pada suhu (4 ± 2)oC

Berdasarkan jumlah koloni S. aureus pada suhu (4 ± 2)oC, dapat diketahui


bahwa adanya pertumbuhan mikroba selama penyimpanan. Pada suhu tersebut S.
aureus mengalami keadaan dorman sehingga pertumbuhan S. aureus sangat
lambat. Menurut buku Modern Food Microbiology oleh Jay (2000), daging yang
disimpan pada suhu 5oC selama 12 hari akan ditumbuhi mikroorganisme berupa
kapang atau bakteri. Kapang akan tumbuh pada daging ketika permukaan daging
terlalu kering untuk pertumbuhan bakteri atau daging yang telah diberi antibiotik
seperti tetracycline. Namun, kapang tidak akan tumbuh ketika bakteri bisa tumbuh
secara bebas.
Berdasarkan Gambar 13, diketahui pada sampel yang diinjeksi dengan 102
cfu/mL S. aureus menunjukkan populasi S. aureus yang lebih banyak
dibandingkan dengan sampel yang tidak diinjeksi S. aureus. Pertumbuhan S.
aureus pada daging yang diinjeksi maupun tidak diinjeksi S. aureus menunjukkan
24

fase eksponensial hingga hari ke-6, namun setelah itu langsung mengalami fase
kematian. Hal tersebut mungkin dikarenakan pertumbuhan jasad renik lain yang
dapat menghambat pertumbuhan S. aureus. Menurut Lawrie (1995) bakteri
pencemar daging yang paling sering ditemukan adalah Salmonella, Shigella,
Eschercia coli, Bacillus cereus, Bacillus proteus, Staphylococcus albus,
Staphylococcus aureus, dan Streptococcus dari feses. Clostridium botulinum yang
berasal dari tanah juga dapat mencemari daging. Jumlah koloni S. aureus di
daging sapi pada suhu (25 ± 2)oC dapat dilihat pada Gambar 14.

20
19
18
Jumlah koloni (x1011 cfu/g)

16
14
12
10
diinjeksi
8
6 tidak diinjeksi
4
3,5E-09 0,0074 1,8
2 0,00021 0,003
0
0 12 0,00075 24 0,0058 36 0,63 48
Waktu penyimpanan (jam)

Gambar 14 Jumlah koloni S. aureus di daging sapi pada suhu (25 ± 2)oC

Pertumbuhan S. aureus pada suhu (25 ± 2)oC, menunjukkan kurva


pertumbuhan yang sangat berbeda dibandingkan suhu (4 ± 2)oC. Hal tersebut
dikarenakan waktu pengamatan yang berbeda dan suhu yang berbeda.
Pengamatan pertumbuhan S. aureus pada suhu (25 ± 2)oC dilakukan setiap 12 jam
selama 48 jam. Berdasarkan Gambar 14, diketahui bahwa pertumbuhan S. aureus
pada daging yang telah diinjeksi dengan 102 cfu/mL S. aureus lebih banyak
dibandingkan dengan daging tanpa diinjeksi S. aureus. Pertumbuhan S. aureus
dari jam ke-0 hingga jam ke-48 terus mengalami peningkatan tanpa mengalami
penurunan. Hal tersebut disebabkan karena keadaan lingkungan yang mendukung,
seperti tersedianya nutrien, air, suhu, pH, oksigen, dan potensi oksidasi-reduksi,
adanya zat penghambat, dan adanya jasad renik lain. Daging sapi mengandung
banyak nutrisi yang dibutuhkan untuk pertumbuhan mikroorganisme, antara lain
air, karbohidrat, protein, lemak, dan abu (Jay 2000). Selain komposisi daging
yang mempengaruhi pertumbuhan S. aureus, suhu (25 ± 2)oC juga sangat
mempengaruhi pertumbuhan S. aureus, karena suhu tersebut merupakan salah satu
suhu optimum untuk S. aureus tumbuh (Fardiaz 1992).

Respon label terhadap pertumbuhan S. aureus


Respon label dalam mendeteksi pertumbuhan S. aureus pada daging
bertujuan untuk mengetahui waktu yang dibutuhkan label dalam mendeteksi
pertumbuhan S. aureus. Pengamatan respon label jam ke-0 pada suhu (4 ± 2)oC
25

dapat dilihat pada Gambar 15. Sedangkan hasil pengamatan suhu (4 ± 2)oC hari
ke-6 dan hari ke-12 dapat dilihat pada Tabel 7 dan 8.

(a) (b)
o
Gambar 15 Pengamatan pada suhu (4 ± 2) C hari ke-0: (a) daging); (b) label
Tabel 7 Hasil pengamatan sampel yang tidak diinjeksi S. aureus 102 cfu/mL pada
suhu (4 ± 2)oC
Hari Sampel 1 Sampel 2
1
6

12

Tabel 8 Hasil pengamatan sampel yang diinjeksi S. aureus 102 cfu/mL pada suhu
(4 ± 2)oC
Hari Sampel 1 Sampel 2
6

12

Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan dapat diketahui bahwa pada


perlakuan suhu (4 ± 2)oC untuk label pada daging yang diinjeksi dengan S. aureus
terlebih dahulu belum bisa mendeteksi keberadaan S. aureus hingga hari ke-12.
Sedangkan untuk label pada daging yang tidak diinjeksi S. aureus dapat
mendeteksi keberadaan S. aureus pada hari ke-12 ketika jumlah koloni 4,3×108
cfu/g. Padahal apabila dilihat dari jumlah koloni, besar koloni pada daging yang
26

tidak diinjeksi S. aureus sebelumnya lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah


koloni yang telah diinjeksi S. aureus. Pengamatan respon label jam ke-0 pada
suhu (25 ± 2)oC dapat dilihat pada Gambar 16. Sedangkan hasil pengamatan suhu
(25 ± 2)oC jam ke-12 hingga jam ke-48 dapat dilihat pada Tabel 9 dan 10.

Gambar 16 Pengamatan pada suhu (25 ± 2) oC jam ke-0: (a) daging; (b) label
Tabel 9 Hasil pengamatan sampel yang tidak diinjeksi S. aureus 102 cfu/mL
pada suhu (25 ± 2)oC
J
Jam Sampel 1 Sampel 2
1
12

2
24

3
36

4
48
27

Tabel 10 Hasil pengamatan sampel yang diinjeksi S. aureus 102 cfu/mL pada
suhu (25 ± 2)oC
J
Jam Sampel 1 Sampel 2
1
12

2
24

3
36

4
48

Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan pada sampel yang diberi


perlakuan suhu (25 ± 2)oC. Label pada daging yang telah diinjeksi S. aureus
belum bisa mendeteksi keberadaan S. aureus hingga jam ke-48. Sedangkan untuk
label pada daging yang tidak diinjeksi S. aureus sudah mulai dapat mendeteksi S.
aureus pada jam ke-48 dengan jumlah koloni 1,2×109 cfu/g.
Berdasarkan hasil yang didapatkan, diketahui bahwa waktu paling cepat
label dalam mendeteksi S. aureus adalah 2 hari pada suhu (25 ± 2)oC dengan
jumlah koloni 1,2×109 cfu/g. Lamanya waktu label dalam mendeteksi S. aureus
mungkin dipengaruhi oleh jumlah media pertumbuhan S. aureus (BPA) yang
tidak sesuai dengan takaran penggunaan semestinya. Menurut Himedia Technical
Data (2011), untuk membuat media BPA dibutuhkan 63 gram dalam 950 mL air
destilata dan 50 mL egg yolk tellurite dalam 950 mL air destilata. Sedangkan BPA
yang ditambahkan ke dalam komposisi label hanya sebanyak 0,5% dari volume
air destilata. Hal tersebut menyebabkan aktivitas S. aureus dalam mensintesis
enzim lesitinase yang digunakan untuk mereduksi tellurite menjadi sangat lambat
karena kekurangan nutrisi. Selain jumlah BPA, hal yang mempengaruhi
pertumbuhan S. aureus adalah suhu. Seperti yang disebutkan sebelumnya,
menurut Fardiaz (1992), S. aureus tergolong sebagai mikroorganisme mesofil
yang mempunyai syarat minimal suhu untuk tumbuh adalah (10-20)oC, suhu
optimum (20-40)oC, dan suhu maksimum (40-45)oC. Oleh karena itu, suhu sangat
mempengaruhi kemampuan S. aureus dalam mensintesis enzim lesitinase untuk
mereduksi tellurite.
28

Jumlah koloni S. aureus yang tumbuh tidak mempengaruhi sensitivitas


label. Jumlah koloni S. aureus dan jasad renik lain yang tumbuh di daging dapat
menyebabkan persaingan antar bakteri semakin besar. Menurut Fardiaz (1992),
adanya berbagai jasad renik yang terdapat pada makanan kadang-kadang
mengakibatkan dua atau lebih jasad renik hidup bersama saling menguntungkan
(sinergisme) atau jasad renik yang satu mungkin merugikan pertumbuhan jasad
renik lainnya (antagonisme).

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa label


indikator pendeteksi S. aureus dapat dibuat menggunakan formulasi sebagai
berikut: 2% agar bubuk, 0,5% tapioka, 1% gliserol, dan 0,5% media pertumbuhan
S. aureus (Baird Parker Agar + egg yolk tellurite). Label cerdas pendeteksi S.
aureus terbaik bersifat basah dengan besar nilai aw (activity water) minimal 0,83.
Respon label cerdas dalam mendeteksi S. aureus ditandai dengan perubahan fisik
label. Label berubah warna menjadi abu-abu hingga hitam karena S. aureus
mereduksi tellurite yang terdapat dalam komposisi label. Sensitivitas label cerdas
dalam mendeteksi S. aureus sangat tergantung terhadap suhu karena label lebih
cepat mendeteksi keberadaan S. aureus pada saat penyimpanan dengan suhu (25 ±
2)oC dan (37 ± 2)oC dibandingkan saat penyimpanan pada suhu (4 ± 2)oC. Selain
itu, aplikasi label pada daging menunjukkan bahwa sampai saat ini label baru bisa
mendeteksi S. aureus dalam waktu paling cepat 2 hari dengan jumlah koloni yang
sangat banyak.

Saran

Aplikasi label belum bisa diterapkan di produk karena waktu label dalam
mendeteksi S. aureus kurang cepat dan label baru bisa mendeteksi koloni S.
aureus dengan jumlah yang sangat banyak. Hal tersebut mungkin dikarenakan
formulasi label yang kurang tepat, sehingga disarankan untuk memperbaiki
formulasi label terutama memperbaiki kadar media tumbuh S. aureus (BPA + egg
yolk tellurite) atau melakukan penelitian lebih dalam tentang penentuan kadar
media tumbuh S. aureus yang paling tepat.

DAFTAR PUSTAKA

Acumedia. 2012. Baird Parker Agar 7112. Neogen Corporation.


Badan Standardisasi Nasional. 2008. SNI 3932:2008, Mutu karkas dan daging
sapi. Jakarta: Badan Standardisasi Nasional.
[BAM] Bacteriological Analytical Manual. 2001. BAM: Staphylococcus aureus
[Internet]. [Diunduh pada 08 Agustus 2014]. Tersedia pada
29

http://www.fda.gov/Food/FoodScienceResearch/LaboratoryMethods/ucm0714
29.htm.
Beishir L. 1991. Microbiology In Practice: A Self-Instructional Laboratory
Course, Fifth Edition. New York: Harper Collins Publisher Inc.
Day BPF. 2003. Active Packaging. In: Food Packaging Technologies (eds Coles
R, McDowell D, and Kirwan M). CRC Press, Boca Raton, FL, USA, pp.282-
302
Fardiaz S. 1992. Mikrobiologi Pangan 1. Jakarta: Gramedia.
Food Drug Administration. 2003. Handbook of Foodborne Pathogens. New
York : Marcel Dekker Inc.
Fontana AJ. 2008. Understanding The Importance of Water Activity in Food,
Innovation in Food Technology. [internet]. [diunduh pada 18 Juni 2014].
Tersedia pada www.innovfoodtech.com
Himedia Technical Data. 2011. Baird Parker Agar Base [Internet]. [Diunduh pada
9 Agustus 2014]. Tersedia pada http://himedialabs.com/TD/M043.pdf.
Jay JM, 2000. Modern Food Microbiology, sixth edition. Las Vegas, Nevada:
University of Nevada Las Vegas.
Kerry J, Buttler P, editor. 2008. Smart Packaging Technologies for Fast Moving
Consumer Goods. England: J Wiley.
Koswara E. 2001. Studi tentang lama simpan bakso daging sapi dengan tipe
pengemasan dan tingkat suhu penyimpanan yang berbeda pada kegiatan
magang di pusat inkubator agribisnis dan agroindustri Institut Pertanian
Bogor [Skripsi]. Bogor (ID): IPB.
Koswara S. 2009. Teknologi Pengolahan Telur (Teori dan Praktek).
eBookPangan.com
Lawrie RA. 1995. Ilmu Daging. Ed ke-5. Parakkasi A, penerjemah. Jakarta (ID):
UI Pr.
Lestari IA. 2013. Pembuatan Label Cerdas Pendeteksi Esherichia coli [Skripsi].
Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Loir LY, Baron F, Gautier M. 2003. Staphylococcus aureus and Food Poisoning.
Genet. Mol. Res. 2:63-76.
Nofrida R, Warsiki E, Yuliasih I. 2013. Pengaruh Suhu Penyimpanan Terhadap
Perubahan Warna Label Cerdas Indikator Warna Dari Label Daun Erpa (Aerva
sanguinolenta). Jurnal Teknologi Industri Pertanian. 23(3):232-241.
Parker AC. 1962. An improved diagnostic and selective medium for isolating
coagulase-positive staphylococci. J. Appl. Bacteriol. 25:12-19.
Pelczar MJ Jr, Chan ECS. 2006. Dasar-dasar Mikrobiologi 1. Jakarta (ID): UI Pr.
Phillips D, Sumner J, Alexander JF, Dutton KM. 2001. Microbiological quality of
Australian beef. J. Food Protect. 6:692-696.
Rahardhianto A, Abdulghani N, Trisyani N. 2012. Pengaruh Konsentrasi Larutan
Madu dalam NaCl Fisiologis terhadap Viabilitas dan Motilitas Spermatozoa
Ikan Patin (pangasius pangasius) selama Masa Penyimpanan. ITS, siap terbit
Ray B. 2004. Fundamental Food Microbiology, Third Edition. USA: CRC Press
LLC
Robertson GI. (ed).2006. Food Packaging- Principles and Practice. Second
edition. CRC Press, Boca Raton, FL, USA.
30

Shrogen R, Lawton J, Tiefenbacher K, Chen L. 1998. Starch-poly(vinyl alcohol)


foamed articles prepared by a baking process. J appl. Polym. Sci. 68: 2129-
2140.
Sivertsvik M, Rosnes JT, and Bergslien H. 2002. Modified atmosphere packaging.
In T. Ohlason and N. Bengtsson, Minimal Processing Technologies in the Food
Industry (pp. 61-86). Cambridge, UK: Woodhead Publishing Ltd.
Soeparno. 2005. Ilmu dan Teknologi Daging. Yogyakarta (2005): UGM Press.
Syarief R. 1989. Teknologi Pengemasan Bahan. Bogor (ID): Laboratorium
Rekayasa Proses Pangan PAU, IPB.
Winarno. 1984. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta (ID): PT Gramedia
Lampiran 1 Hasil pengujian sensitivitas label pada suhu (4 ± 2) oC, (25 ± 2) oC, dan (37 ± 2)oC

Suhu/ (4 2)°C (25 °C (37 °C


minggu
Sampel 1 Sampel 2 Smapel 3 Sampel 1 Sampel 2 Sampel 3 Sampel 1 Sampel 2 Sampel 3
1

31
2

32
Suhu/
(4 2)°C (25 °C (37 °C
minggu
Sampel 1 Sampel 2 Smapel 3 Sampel 1 Sampel 2 Sampel 3 Sampel 1 Sampel 2 Sampel 3
5

7
RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Demak pada tanggal 18 Juni 1992 dari pasangan Ali
Aksan (alm) dan Siti Mualifah. Penulis adalah putri kelima dari lima bersaudara.
Tahun 2010 penulis lulus dari SMA Negeri 5 Semarang dan pada tahun yang
sama penulis lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur
Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan diterima di Departemen Teknologi
Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian.
Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif dalam beberapa organisasi dan
perkuliahan. Penulis aktif di beberapa organisasi, yaitu Badan Eksekutif
Mahasiswa (BEM) TPB periode 2010-2011, BEM FATETA periode 2011-2013.
Selain itu, penulis juga pernah menjadi asisten praktikum fisika TPB dan
mengajar les privat SMP.
Penulis melakukan Praktik Lapangan di pabrik gula Tasikmadu PTPN IX,
Surakarta pada bulan Juni-Agustus 2013. Judul Praktik Lapangan yang diambil
adalah Pengkajian Teknologi Produksi Gula di Pabrik Gula Tasikmadu PT.
Perkebunan Nusantara IX (Persero) Surakarta. Selain itu, pada bulan Februari
hingga Juli 2014 penulis melakukan penelitian di Laboratorium Dasar Ilmu
Terapan, Laboratorium Teknologi Pengemasan, Distribusi dan Transportasi, dan
Laboratorium Bioindustri dengan judul Pembuatan Label Indikator Pendeteksi
Staphylococcus aureus Berbahan BPA (Baird Parker Agar) dan Egg Yolk
Tellurite.

Anda mungkin juga menyukai