Semester
: IV 4. Hari Pertemuan/Jam : 3x50 Menit 5. Tempat Pertemuan : Gedung Fakultas Pariwisata Universitas
Udayana Denpasar 6. Deskripsi Singkat : Mata kuliah Ekonomi Pariwisata merupakan mata kuliah yang
wajib ditempuh oleh Mahasiswa PS. S1 Industri Perjalanan Wisata, Fakultas Pariwisata Unud Semester IV
dengan prasyarat Pengantar Pariwisata. Mahasiswa akan diberikan penerapan berbagai konsep ekonomi
makro dalam menganalisis fenomena kepariwisataan baik nasional maupun internasional serta
peranannya terhadap pembangunan. Kuliah akan diisi melalui tatap muka, tugas serta evaluasi berupa
kuesioner, ujian tengah maupun akhir semester. 7. Kompetensi Dasar : Setelah mengikuti mata kuliah ini
mahasiswa dapat menjelaskan konsep ekonomi makro dalam fenomena kepariwisataan baik nasional
maupun internasional serta peranannya terhadap pembangunan. 8. Strategi/Metode Perkuliahan : Kuliah,
Diskusi, Latihan, Tugas 9. Bahan Bacaan : 1. Boediono Ekonomi Mikro. Yogyakarta : BPFE-UGM. 2.
Boediono Ekonomi Internasional. Yogyakarta : BPFE-UGM. 3. Djinar Setiawina, Nyoman Ekonomi
Moneter. Denpasar : Univ. Udayana. 4. Erawan, I Nyoman Pariwisata dan Pembangunan Ekonomi (Bali
sebagai kasus). Denpasar : Upada Sastra. 5. Paul Sitohang. Mikro Ekonomi. Yogyakarta : BPFE-UGM. 6.
Sadono Sukirno Pengantar Teori Makroekonomi. Jakarta : Raja Grafindo Persada. 7. Sadono Sukirno
Pengantar Teori Mikroekonomi. Jakarta : Raja Grafindo Persada. 8. Spillane, James Ekonomi Pariwisata :
Sejarah dan Prospeknya. Yogyakarta : Kanisius.
3 9. UU No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan. 10. Bobot Penilaian : Tugas (30%), UTS (30%) dan
UAS (40%) 11. Tata Tertib : 1. Dosen maupun mahasiswa telah memenuhi kehadiran 75% dari 14 kali
pertemuan. 2. Dosen maupun mahasiswa menggunakan pakaian yang tertib dan sopan (kemeja, polo,
sepatu) saat perkuliahan. 3. Apabila dosen berhalangan, maka perkuliahan akan jam perkuliahan akan
diganti sesuai kesepakatan.
5 Disamping penggolongan jenis permintaan pariwisata diatas, dapat juga dibedakan permintaan
pariwisata lainnya yaitu : 1. Permintaan pariwisata pengganti (substitution demand), dimana hal ini dapat
terjadi karena terbatasnya penawaran di satu pihak dan terjadinya kelebihan penawaran (excess of supply)
di lain pihak. 2. Permintaan pariwisata yang dialihkan (redirection of demand), dimana hal ini dapat terjadi
karena perubahan permintaan secara geografis, seperti halnya perjalanan wisata ke Singapura dialihkan
ke Indonesia akibat penerbangan atau kamar hotel ke maupun di Singapura sudah penuh. Berkaitan
dengan bagaimana menaikkan permintaan tertahan menjadi permintaan efektif perlu dilihat beberapa
variabel yang mempengaruhinya, kelompok variabel masyarakat di daerah penerima (daerah tujuan
wisata) serta variabel antara, seperti terlihat pada tabel 1. Tabel 1. Variabel Ekonomi yang Mempengaruhi
Permintaan Pariwisata Daerah Pengirim Daerah Penerima Variabel Antara a. Pendapatan a. Tingkat harga
a. Perbandingan harga personal b. Kondisi antara daerah b. Distribusi persaingan sarana pengirim dengan
pendapatan pariwisata penerima c. Hari raya c. Kualitas produk b. Usaha promosi yang d. Nilai mata uang
pariwisata dilakukan daerah e. Kebijakan d. Aturan bidang penerima di daerah perpajakan dan ekonomi
terhadap pengirim pengawasan terhadap pengeluaran wisatawan wisatawan c. Kurs valuta asing d. Waktu
serta biaya perjalanan b. Pendekatan Matematis Pendekatan matematis menggambarkan permintaan
terhadap produk pariwisata yang dipengaruhi oleh beberapa variabel. Jika pada tabel 1 diterapkan pada
pendekatan matematis, maka model fungsi permintaan pariwisata menjadi : T = f (Yd, H, Ex, Tx, Pd, Qd,
R, Pc, Pr, C) Dimana : T = Permintaan terhadap produk pariwisata Yd = Pendapatan personal H = Hari
raya Ex = Kurs valuta asing Tx = Kebijakan perpajakan Pd = Tingkat harga pada destinasi Qd = Kualitas
produk pariwisata
7 bepergian (travel propensity). Travel propensity ini mengukur penetrasi keinginan melakukan perjalanan
di kalangan penduduk tertentu. Terdapat dua jenis travel propensity, yaitu : 1. Net Travel Propensity (NTP),
yaitu kecenderungan netto untuk melakukan perjalanan wisata yang menunjukkan persentase dari jumlah
penduduk yang melakukan perjalanan wisata minimum satu kali dalam periode waktu tertentu. Adanya
komponen permintaan tertahan atau terselubung (suppressed demand) serta tidak ada permintaan (no
demand) menjadi alasan bahwa travel propensity tidak akan mencapai angka 100%, walau pada negara
maju sekalipun. Di negara-negara maju, angka travel propensity maksimum mencapai 70-80%. 2. Gross
Travel Propensity (GTP), yaitu kecenderungan bruto untuk melakukan perjalanan wisata yang
menunjukkan perbandingan antara jumlah keseluruhan perjalanan wisata yang dilakukan dengan jumlah
penduduk dan dinyatakan dalam persen. Oleh karena itu, perjalanan liburan yang dilakukan kedua atau
ketiga kalinya akan dapat meningkatkan GTP dan angka GTP tersebut dapat melewati angka 100%. Pada
beberapa negara maju, GTP dapat mendekati 200%. Hal ini berarti dalam kurun waktu tertentu, diantara
mereka ada yang bepergian lebih dari satu kali. Secara sederhana, frekuensi perjalanan (travel frequency)
dapat dihitung dengan membagi GTP dengan NTP. Hasil perhitungannya akan memberikan gambaran
tentang rata-rata jumlah perjalanan wisata yang dilakukan oleh sekelompok penduduk tertentu yang pernah
melakukan perjalanan wisata. Contoh Kasus : Dari 10 juta penduduk pada negara A : 3 juta penduduk telah
bepergian 1 kali, berarti : 3,0 x 1 = 3,0 juta perjalanan 1,5 juta penduduk telah bepergian 2 kali, berarti : 1,5
x 2 = 3,0 juta perjalanan 0,8 juta penduduk telah bepergian 3 kali, berarti : 0,8 x 3 = 2,4 juta perjalanan 0,2
juta penduduk telah bepergian 4 kali, berarti : 0,2 x 4 = 0,8 juta perjalanan 5,5 juta penduduk paling tidak
pernah bepergian 1 kali 9,2 juta perjalanan Maka : NTP = ( Jumlah penduduk yang bepergian paling tidak
1 kali /Jumlah penduduk) x 100% = ( 5,5 /10) x 100% = 55% GTP = ( Total jumlah perjalanan /Total jumlah
penduduk) x 100% = ( 9,2 /10) x 100% = 92% Travel Frequency = GTP /NTP = 92% /55% = 1,67%
8 Pertimbangan lebih lanjut dari perhitungan diatas adalah untuk mengukur kemampuan suatu negara
dalam menciptakan perjalanan. Pengukuran ini memerlukan 3 tahapan, yaitu : 1. Jumlah perjalanan yang
berasal dari suatu negara dibagi oleh jumlah perjalanan keseluruhan yang telah dilakukan oleh semua
negara di dunia. Hal ini dapat memberikan angka indeks dari kemampuan masing-masing negara untuk
menghasilkan wisatawan (tahap I). 2. Penduduk suatu negara apabila dibagi dengan penduduk dunia akan
dapat memberikan ranking bagi setiap negara yang menunjukkan kepentingan relatif dalam kaitan dengan
penduduk dunia (tahap II). 3. Dengan membagi hasil yang diperoleh dari perhitungan tahap I dengan hasil
perhitungan tahap II, maka dapat dihasilkan angka indeks negara potensi pencipta wisatawan atau country
potential generation index (CPGI). CPGI dapat dirumuskan sebagai berikut : CPGI = (Ne/Nw) /(Pe/Pw)
Dimana : Ne = Jumlah perjalanan yang dihasilkan oleh suatu negara Nw = Jumlah perjalanan yang
dihasilkan oleh dunia Pe = Jumlah penduduk suatu negara Pw = Jumlah penduduk dunia Dengan
ketentuan bahwa : Angka indeks 1,0 : Memiliki kemampuan menghasilkan wisatawan ratarata. Angka
indeks >1,0 : Memiliki kemampuan menghasilkan wisatawan lebih besar dari yang diharapkan oleh
penduduknya. Angka indeks <1,0 : Memiliki kemampuan menghasilkan wisatawan lebih rendah dari rata-
rata.
10 diperlukan atau kegiatan mengelola objek dan daya tarik wisata yang telah ada. Pengusahaan objek
dan daya tarik wisata dikelompokkan menjadi : a. Pengusahaan objek dan daya tarik wisata alam. b.
Pengusahaan objek dan daya tarik wisata budaya. c. Pengusahaan objek dan daya tarik wisata minat
khusus. 3. Usaha Sarana Pariwisata. Usaha sarana pariwisata meliputi kegiatan pembangunan,
pengelolaan dan penyediaan fasilitas, serta pelayanan yang diperlukan dalam penyelenggaraan
pariwisata. Usaha sarana pariwisata dapat berupa jenisjenis usaha : a. Penyediaan akomodasi. b.
Penyediaan makan dan minum. c. Penyediaan angkutan wisata. d. Penyediaan sarana wisata tirta. e.
Kawasan pariwisata. PRASARANA DAN SARANA KEPARIWISATAAN Dalam memenuhi kebutuhan
wisatawan, sarana dan prasarana kepariwisataan yang merupakan tourist supply sangatlah perlu
dipersiapkan. Dalam Yoeti (1996), disebutkan bahwa prasarana (infrastructure) adalah semua fasilitas
yang memungkinkan proses kepariwisataan dapat berjalan dengan lancar sedemikian rupa, sehingga
memudahkan wisatawan untuk memenuhi kebutuhannya. Dalam pengertian ini yang termasuk dalam
prasarana adalah : 1. Prasarana umum (general infrastructure), yaitu prasarana yang menyangkut
kebutuhan umum bagi kelancaran perekonomian, seperti : air bersih, listrik, jalan raya, pelabuhan udara,
telekomunikasi, dan sebagainya. 2. Kebutuhan masyarakat banyak (basic need of civilized life), yaitu
prasarana yang menyangkut kebutuhan masyarakat banyak, seperti : rumah sakit, apotik, bank, pompa
bensin, dan sebagainya. Tanpa adanya prasarana tersebut, sangatlah sulit bagi sarana-sarana
kepariwisataan dapat memenuhi fungsinya untuk memberikan pelayanan bagi wisatawan. Sedangkan
sarana kepariwisataan dapat dibagi menjadi tiga macam, dimana satu dengan yang lainnya saling
melengkapi. Ketiga sarana kepariwisataan yang dimaksud adalah (Yoeti, 1996) : 1. Sarana pokok
kepariwisataan (main tourism superstructure), yaitu perusahaan-perusahaan yang hidup dan
kehidupannya sangat tergantung pada lalu lintas wisatawan. Fungsinya adalah menyediakan fasilitas
pokok yang dapat memberikan pelayanan bagi kedatangan wisatawan. Disebutkan bahwa terdapat pula
istilah receptive tourist plant, yaitu perusahaan yang mempersiapkan perjalanan dan penyelenggaraan
tour, sightseeing bagi wisatawan, seperti : travel agent, tour operator, tourist transportation, dan
sebagainya. Sedangkan residental tourist plant merupakan perusahaanperusahaan yang memberikan
pelayanan untuk menginap, menyediakan makanan dan minuman di daerah tujuan, seperti : hotel, motel,
bar, restoran, dan sebagainya. 2. Sarana pelengkap kepariwisataan (supplementing tourism
superstructure), yaitu fasilitas-fasilitas yang dapat melengkapi sarana pokok, sehingga dapat membuat
wisatawan tinggal lebih lama di tempat yang dikunjunginya,
11 seperti fasilitas untuk berolahraga. Harus ada sesuatu yang dapat dilakukan (something to do) di tempat
yang dikunjunginya, sehingga ada perintang yang tidak membuat wisatawan cepat bosan di tempat
tersebut. 3. Sarana penunjang kepariwisataan (supporting tourism superstructure), yaitu fasilitas yang
diperlukan wisatawan (khususnya business tourist), yang berfungsi tidak hanya melengkapi sarana pokok
dan sarana pelengkap, tetapi juga fungsinya yang lebih penting adalah agar wisatawan lebih banyak
membelanjakan uangnya di tempat yang dikunjunginya, seperti : bioskop, souvenir shop, night club, dan
sebagainya. HASIL (PRODUCT) INDUSTRI PARIWISATA Pariwisata sebagai suatu industri,
menghasilkan jasa-jasa sebagai produk yang dibutuhkan wisatawan pada khususnya dan travellers pada
umumnya. Burkart dan Medlik menyatakan bahwa produk industri pariwisata dapat merupakan susunan
produk yang terpadu, yang terdiri dari objek wisata, atraksi wisata, transportasi (jasa angkutan), akomodasi,
dan hiburan, dimana tiap unsur dipersiapkan oleh masing-masing perusahaan dan ditawarkan secara
terpisah. Produk industri pariwisata adalah semua produk dan jasa yang dibutuhkan wisatawan dari sejak
berangkat meninggalkan tempat kediamannya, hingga ia kembali ke rumah tempat tinggal semula. Produk
pariwisata terdiri atas bermacam-macam unsur atau merupakan suatu paket yang tidak terpisah. Medlik
dan Meddleton dalam Yoeti (1996), mengemukakan bahwa terdapat tiga unsur yang membentuk produk
industri pariwisata tersebut, yaitu : 1. Obyek dan atraksi wisata yang terdapat pada daerah tujuan wisata
yang menjadi daya tarik bagi wisatawan untuk berkunjung. 2. Fasilitas yang diperlukan di tempat tujuan
tersebut, mencakup sarana pokok, sarana penunjang, dan sarana pelengkap kepariwisataan. 3.
Aksesbilitas, yaitu keterjangkauan yang menghubungkan negara asal wisatawan (tourist generating
countries) dengan daerah tujuan wisata (tourist destination area) serta keterjangkauan di tempat tujuan
(local transportation) ke obyek-obyek pariwisata. Apabila ketiga unsur tersebut dikembangkan, maka
terdapat delapan macam unsur pokok produk industri pariwisata yang dibutuhkan wisatawan, dari sejak
meninggalkan kediamannya hingga kembali ke asalnya, yang merupakan satu paket, yaitu : 1. Jasa-jasa
travel agent untuk mengurus dokumen perjalanan, seperti passport, exit permit, visa, ataupun tiket pesawat
terbang. 2. Jasa-jasa pelayanan taksi atau coach-bus untuk transportasi dari rumah ke airport sewaktu
berangakat (departure). 3. Jasa-jasa maskapai penerbangan (airlines) yang akan membawanya ke tempat
tujuan yang dikehendaki. 4. Jasa-jasa pelayanan taksi maupun coach-bus untuk transportasi dari airport
ke hotel sewaktu tiba (arrival) di tempat tujuan. 5. Jasa-jasa akomodasi penginapan di tempat yang dituju
selama berkunjung di daerah tujuan.
12 6. Jasa-jasa tour operator untuk kegiatan sightseeing tour ke obyek-obyek wisata. 7. Jasa-jasa
pelayanan yang diberikan oleh obyek wisata, atraksi, dan entertainment di tempat yang dikunjungi. 8. Jasa-
jasa souvenir, handycraft centre, dan sebagainya.
13 BISINIS PARIWISATA BERSKALA KECIL Bisnis kecil dalam pariwisata dalam ruang lingkup fasilitas
fisik, merupakan tipe bisnis yang berhubungan dengan transportasi, akomodasi, katering, rekreasi atau
aktivitas budaya. Dalam hal penyelenggaraan pasar, melayani berbagai pihak dalam kegiatan
kepariwisataan, dimana pihak-pihak yang berkepentingan memerlukan kepuasan. Lokasi geografis, hal ini
menunjang suatu tipe dan karakteristik pasar yang akan dilayani. Susunan pemilikan modal dalam bisnis
kecil sangat berpengaruh pada bisnis yang akan dijalankannya. Dalam hal ini, pemilik modal biasanya turut
campur dalam hal manajemen yang dijalankannya. Berdasarkan uraian diatas, maka dapat dikatakan
bahwa bisnis kepariwisataan yang berskala kecil merupakan suatu susunan permodalan yang dimiliki oleh
individu atau group kecil, dimana manajer sekaligus pemilik modal, dengan struktur manajemen yang
moderat. Bisnis pariwisata berskala kecil sangatlah ramai, sebab industri pariwisata dahulunya didominasi
oleh bisnis yang berskala kecil dan hal ini masih berlanjut sampai tahun 90-an. Disamping itu, hambatan
untuk masuk ke dalam industri pariwisata dalam skala kecil sangatlah rendah. Apabila dilihat pengaruh-
pengaruh internal dan eksternal pada lingkungan usaha terhadap aktivitas pemasaran bisnis pariwisata
berskala kecil, dapat dijabarkan ke dalam enam pengaruh yang dominan, yaitu : 1. Pasar Domestik Dalam
keadaan ekonomi yang kurang membaik, pasar domestik dapat merupakan pasar yang baru untuk
dijalankan. 2. Pembangunan Teknologi Komunikasi Teknologi komunikasi sangat membantu para pebisnis
berskala kecil untuk memasarkan produknya dan melakukan transaksi secara global yang tentunya sangat
memudahkan bagi mereka. 3. Tingkah Laku Konsumen Para pebisnis pariwisata berskala kecil haruslah
dapat mengidentifikasi produk yang bagaimana diminati konsumen. 4. Dorongan Pemerintah Pemerintah
memberikan dorongan berupa komersialisasi pada publik. 5. Sumber Daya dan Kekuatan Dalam
pengembangannya, bisnis pariwisata berskala kecil memiliki kelemahan dalam hal kemampuan, waktu dan
sumber keuangan. Oleh karena itu, perlu suatu usaha yang terpadu dalam meraih sumber daya. 6.
Tingkatan Ketidakpastian. Bisnis pariwisata berskala kecil sangat rentan terhadap ketidakpastian yang
diakibatkan oleh pengaruh-pengaruh sosial, politik, dan ekonomi. Ketidakpastian ini merupakan hal yang
sulit bagi para pebisnis berskala kecil untuk melaksanakan aktivitas pemasaran secara efektif. Aktivitas
pemasaran dalam bisnis pariwisata berskala kecil dapat diidentifikasi ke dalam : 1. Orientasi Pasar Para
pebisnis pariwisata berskala kecil, haruslah melakukan suatu orientasi pasar untuk dapat meningkatkan
keuntungannya.
14 2. Kepuasan Pelanggan Kepuasan pelanggan merupakan hal utama yang diharapkan oleh para
pebisnis, sehingga nantinya mereka dapat mengembangkan usahanya ke arah yang lebih baik. 3.
Keuntungan yang Berkelanjutan Sebagai suatu usaha yang independen, maka melalui aktivitas pemasaran
diharapkan dapat memberikan keuntungan yang berlanjut. 4. Bisnis yang Dinamis Tidak ada bisnis yang
statis, maka dari itu pengembangan mutlak dilakukan dalam mengantisipasi perubahan-perubahan yang
terjadi. Terdapat enam elemen-elemen di dalam strategi pemasaran, yaitu : 1. Produk (Product),
merupakan perencanaan pembuatan produk yang disesuaikan dengan permintaan pasar, dalam arti sesuai
dengan apa yang dicari dan disukai oleh wisatawan. Pemasaran layanan produk pariwisata bergantung
pada manfaat wisata bagi wisatawan, spesifikasi dan keunikan wisatawan, variasi produk wisata, dan daya
dukung lingkungan terhadap pengembangan pariwisata. 2. Promosi (Promotion), merupakan upaya untuk
memperbesar daya tarik produk pariwisata terhadap calon wisatawan, baik yang aktual maupun yang
potensial. Pemasaran layanan promosi bergantung pada promosi langsung (consumer promotion), promosi
tidak langsung (dealer promotion), publikasi langsung, publikasi melalui media massa, dan humas (public
relations). 3. Personel (People), merupakan semua aktor yang terlibat dalam kegiatan jasa pelayanan
pariwisata dalam upaya mempengaruhi persepsi wisatawan. Aktor tersebut meliputi pemilik perusahaan,
karyawan perusahaan, pelanggan dan contact people lainnya, ketrampilan, keramahtamahan, inisiatif
pelayanan dan menanggapi pembayaran, keseragaman dan kode pakaian para aktor sebagaimana
kebersihan pribadi, kepantasan berbicara, dan postur yang baik dapat mempengaruhi persepsi wisatawan
atas produk dan jasa layanan terbaik yang diberikan. 4. Harga (Price), merupakan penentuan harga yang
tepat untuk produk kepariwisataan sehingga seimbang dengan daya beli pasar dan menarik bagi calon
wisatawan. Harga produk pariwisata didefinisikan sebagai penjumlahan harga beberapa komponen yang
terdiri atas angkutan, akomodasi, termasuk makan dan minum, serta obyek dan atraksi wisata. Pemasaran
layanan harga bergantung pada elastisitas permintaan, kebijakan penetapan harga, keberadaan variasi
harga dan peranan harga bagi wisatawan. 5. Tempat (Place), merupakan kegiatan yang menghadirkan
produk pariwisata dalam bentuk citra (image), baik secara lisan maupun tertulis atau berupa gambar-
gambar atau dalam bentuk kombinasi gambar dan tulisan. Citra pariwisata inilah yang didistribusikan dan
harus sesuai dengan apa yang diharapkan oleh wisatawan. Pemasaran layanan tempat bergantung pada
tersedianya paket wisata, pelayanan tour operator dan biro perjalanan wisata, serta citra wisata itu sendiri.
Proses Manajemen (Processes), merupakan suatu prosedur kontak bisnis antara manajemen dan
wisatawan berupa usaha untuk meyakinkan wisatawan agar mau membeli produk wisata yang ditawarkan
melalui kontak psikologis dan
15 kontak antar pribadi. Ini melibatkan prosedur transaksi yang terintegrasi secara profesional, mekanisme
birokrasi pelayanan, kontak antar pribadi dengan wisatawan, dan penanganan layanan non-standar secara
utuh dalam mengantisipasi kebutuhan tambahan wisatawan. Person layanan proses manajemen dilakukan
oleh seluruh komponen manajemen perusahaan kepada wisatawan, sehingga menciptakan hubungan
timbal balik yang akrab secara individual.
16 PERENCANAAN EKONOMI Dalam ilmu ekonomi ada sebuah teori tentang keseimbangan yang stabil
(stable equilibrium), yang mengatakan bahwa jika terdapat perubahan dari keadaan seimbang, maka akan
timbul suatu reaksi dalam bentuk perubahan ke arah yang berlawanan dengan perubahan yang pertama,
sehingga akhirnya keadaan kembali kepada keseimbangan semula (Kadariah, 1981). Teori ini temyata
tidak dapat diterapkan pada sistem sosial. Dalam sistem sosial tidak terdapat kekuatan yang secara
otomatis mengembalikan keadaan yang goncang ke arah stabil. Dalam kenyataan dapat dilihat bahwa jika
terjadi suatu perubahan dalam sistem sosial, maka perubahan itu justru menimbulkan perubahan lain yang
membawa sistem tersebut makin jauh dari keadaan semula. Artinya, suatu proses sosial mempunyai
kecenderungan untuk menjadi kumulatif bahkan dalam laju yang semakin cepat. Suatu contoh dari proses
kumulatif adalah proses yang biasa disebut lingkaran kemiskinan yang tidak berujung pangkal (the vicious
circle of proverty) yang diajarkan oleh Professor Ragnar Nurkse, dan dialami oleh negara-negara yang
perekonomiannya belum berkembang. Negara-negara ini dapat disamakan dengan orang miskin.
Kemiskinan yang diderita, sehingga tidak cukup makan, badannya menjadi lemah, dia tidak dapat bekerja
dengan giat, menyebabkan pendapatannya rendah, dan akhirnya dia tetap miskin. Kalau lingkaran yang
tidak berujung pangkal ini diterapkan pada negara yang pendapatannya masih rendah, maka secara
singkat dapat dikatakan bahwa suatu negara yang miskin akan tetap miskin karena kemiskinannya
(Todaro, 1983; 1986). Proses kumulatif ini berlaku sebaliknya. Jika seseorang itu kaya, cukup makan,
badannya sehat, maka ia dapat bekerja dengan giat. Karena ia bekerja dengan giat, pendapatannya tinggi,
dan oleh karenanya ia menjadi lebih kaya. Proses kumulatif ke arah kemiskinan dari negara-negara yang
miskin dan ke arah kemakmuran dan negara-negara yang sudah maju, maka akhirnya negara-negara di
dunia ini dapat dibagi dalam dua golongan, yaitu : negara-negara yang sudah maju perekonomiannya
dengan tingkat pendapatan riil per kapita yang sangat tinggi dan negara-negara yang belum maju
perekonomiannya dengan tingkat pendapatan niil per kapita yang sangat rendah. Di negara-negara yang
sudah maju perekonomiannya, semua indeks menunjukkan kemajuan yang terus menerus. Kalau diambil
rata-ratanya tidak terdapat tanda-tanda penurunan dalam perkembangan perekonomiannya. Di negara-
negara yang sudah maju industrinya, proses industrialisasi makin cepat. Di negara-negara itu selalu
terdapat penemuan-penemuan baru yang memerlukan modal, sehingga modal yang banyak tersedia
dalam masyarakat mendapat kesempatan untuk ditanam kembali (reinvest). Selain itu, di negaranegara
yang sudah berkembang terdapat perkembangan ke arah persamaan dalam kesempatan (equality of
opportunity) yang makin lama makin cepat prosesnya. Di negara-negara yang belum berkembang
perekonomiannnya, karena pendapatan masih jauh lebih rendah, maka pembentukan modal dan investasi
pada umumnya juga jauh lebih rendah, baik secara absolut maupun secara relatif dibandingkan dengan
pendapatannya. Padahal di negara-negara
17 yang belum maju, perkembangan penduduk biasanya lebih cepat dari pada di negara-negara yang
sudah maju, sehingga untuk mencapai laju perkembangan yang sama, negara-negara tersebut harus
mempunyai tingkat pembentukan modal yang lebih tinggi dari negara-negara yang sudah berkembang.
Akibatnya perkembangan perekonomiannya lebih lambat bahkan banyak juga yang mengalami
kemunduran dalam pendapatan per kapitanya. Dengan demikian terjadi jurang perbedaan yang makin
membesar antara tingkat perkembangan ekonomi dari kedua golongan negara tersebut di atas. Makin lama
orang-orang di negara-negara yang belum berkembang makin menginsyafi adanya perbedaan yang makin
membesar itu. Mereka juga sadar bahwa hal itu tidak dapat diserahkan sepenuhnya kepada kekuatan
pasar. Apa lagi sesudah Perang Dunia II banyak bangsa yang sebelumnya hidup di bawah penjajahan,
kemudian mencapai kemerdekaan. Dengan kemerdekaan tersebut mereka menginginkan pula persamaan
dalam kesempatan dengan bangsa-- bangsa lain. Perbedaan dalam tingkat perkembangan itu tidak hanya
berlaku dalam dunia internasional antara negara yang satu dengan negara yang lain melainkan juga di
dalam negara-negara yang belum berkembang itu sendiri antara daerah yang satu dengan daerah yang
lain. Jika hal itu diserahkan kepada kekuatan pasar tanpa dikendalikan oleh suatu kebijakan, maka kegiatan
produksi, industri. perdagangan, perbankan, asuransi, perkapalan dan semua aktivitas ekonomi lainnya
akan menumpuk di beberapa daerah lokal dan regional saja, sedang bagian lainnya akan tetap
terbelakang. Biasanya suatu daerah dapat maju karena suatu kejadian dalam sejarah. Artinya secara
kebetulan suatu kegiatan dimulai di daerah tersebut dan tidak di daerah lain dan kegiatan itu berhasil. Jika
sudah berhasil, maka kegiatan itu merupakan daya tarik kegiatan-kegiatan lainnya, sehingga
perekonomian pada umumnya di daerah itu berkembang. Sebaliknya di daerah-daerah lain, di mana
kebetulan tidak dimulai sesuatu kegiatan apapun, tidak timbul keuntungan-keuntungan ekstern yang dapat
menarik kegiatan-kegiatan lainnya, sehingga perekonomiannya tidak dapat berkembang. Orang-orang di
daerah ini banyak yang pindah ke daerah-daerah yang sudah lebih maju untuk mencari ilmu atau
bersekolah atau mencari pekerjaan, sehingga terjadi migrasi secara spontan dari daerah yang terbelakang
ke daerah yang sudah maju. Biasanya orang-orang yang bermigrasi ini adalah mereka yang dalam usia
produktif, sedang yang tinggal di daerahnya adalah mereka yang masih menjadi beban orang tua atau
orang-orang tua, sehingga migrasi ini menguntungkan daerah yang didatangi dan merugikan daerah yang
ditinggalkan. Dengan demikian makin memperbesar perbedaan dalam tingkat perkembangan
perekonomiannya. Demikian juga halnya dengan modal, karena di daerah yang sudah maju terdapat
banyak kesempatan untuk menanam modal dengan mendapat keuntungan yang besar, maka modal yang
sudah langka di daerah-daerah yang masih terbelakang tertarik ke daerah-daerah yang sudah maju.
Dengan perkembangan industri di daerah-daerah ini berkembang pula perdagangan, pengangkutan dan
fasilitas-- fasilitas lainnya yang semuanya membantu memperbesar jurang perbedaan
18 antara kedua golongan daerah tersebut. Proses sosial ini, baik yang internasional maupun yang
nasional dapat dihentikan. Kemungkinan yang pertama adalah jika terjadi perubahan yang berasal dari luar
sistem ekonomi negara atau daerah itu, yang dapat membawa kemajuan dalam perekonomiannya. Akan
tetapi karena kemungkinan itu tidak tentu datangnya, maka orang tidak dapat hanya menunggu saja.
Kemungkinan yang kedua adalah mengadakan pembangunan. Artinya, pemerintah secara aktif dan
sengaja turun tangan untuk menghentikan proses tersebut. Untuk dapat mencapai tujuan dengan baik dan
cepat, kebijakan pembangunan itu harus dituangkan dalam suatu rencana nasional yang menyeluruh dan
mencakup segala bidang kehidupan. Jadi rencana pembangunan adalah suatu program untuk strategi
pemerintah nasional dalam menjalankan campur tangan pemerintah untuk mempengaruhi permainan
kekuatan-kekuatan pasar, supaya terjadi perkembangan dalam proses sosial. Dalam kaitan ini pemerintah
harus mengambil alih banyak fungsi, di mana di negara yang sudah berkembang dijalankan oleh sektor
swasta. Jika kemudian dengan kebijakan pembangunannya pemerintah sudah berhasil menimbulkan
kekuatan-kekuatan di dalam masyarakat yang dapat mendorong perekonomian ke tingkat yang lebih maju,
maka kemajuan tersebut akan membuka banyak kesempatan bagi sektor swasta untuk berkembang.
Dalam tingkat kemajuan ini, tujuan perencanaan pusat hanyalah memperlunak keadaan, memperbesar
fleksibilitas agar perekonomian berjalan secara lancar. Pengertian-Pengertian Pokok dalam Perencanaan
Pada umumnya suatu rencana pertama-tama memuat tujuan, prinsip dan kebijakan pembangunan negara.
Tujuan itu antara lain : (a) Meningkatkan pendapatan per kapita secara cepat; (b) Menciptakan kesempatan
kerja seluasluasnya; (c) Mengusahakan pembagian pendapatan lebih merata; (d) Mengurangi perbedaan
tingkat perkembangan atau pembangunan dan kemakmuran antara regional atau daerah yang satu dengan
yang lain; (e) Merubah struktur perekonomian agar tidak berat sebelah (lihat Kadariah, 1981). Masing-
masing tujuan tersebut adalah penting, tetapi antara tujuan yang satu dengan yang lainnya sering terjadi
pertentangan (trade-off). Oleh karena itu dalam perencanaan pembangunan perlu ditentukan tujuan mana
harus diprioritaskan dan penentuan ini disesuaikan dengan keadaan negara. Secara umum dapat
dikatakan bahwa tujuan setiap perencanaan pembangunan adalah meningkatkan pendapatan per kapita
dengan cepat. Akan tetapi jika negara mengalami pertumbuhan tenagakerja (labor force) yang cepat, maka
perencanaan harus diprioritaskan pada penciptaan kesempatan kerja yang cukup untuk menampung
pertambahan tenaga kerja tersebut. Istilah perencanaan pembangunan (ekonomi) sudah sangat umum
didengar dalam pembicaraan sehari hari. Namun demikian hampir semua buku teks tentang perencanaan
memberikan pengertian yang berbeda beda. Lebih dari itu, di antara para pakar ekonomi-pun belum ada
kesepakatan tentang pengertian istilah perencanaan pembangunan ekonomi tersebut. Conyer & Hill
(dalam
19 Arsyad, 1999) mendefinisikan perencanaan sebagai suatu proses yang berkesinambungan yang
mencakup keputusan-keputusan atau pilihan-pilihan berbagai alternatif penggunaan sumberdaya untuk
mencapai tujuan-tujuan tertentu pada masa yang akan datang. Walaupun tidak ada kesepakatan di antara
para pakar ekonomi berkenaan dengan istilah perencanaan ekonomi, tetapi sebagian besar pakar ekonomi
menganggap bahwa perencanaan ekonomi mengandung arti pengendalian dan pengaturan suatu
perekonomian dengan sengaja oleh pemerintah untuk mencapai sasaran dan tujuan tertentu didalam
jangka waktu tertentu pula. Perencanaan pembangunan ekonomi ini ditandai dengan adanya usaha untuk
memenuhi berbagai ciri tertentu serta adanya tujuan yang bersifat pembangunan tertentu. Adapun ciri-ciri
dari suatu perencanaan pembangunan ekonomi adalah : (1) Usaha yang dicerminkan dalam rencana untuk
mencapai perkembangan sosial ekonomi yang mantap. Hal ini dicerminkan dalam usaha mencapai
pertumbuhan ekonomi yang positif, (2) Usaha yang dicerminkan dalam rencana untuk meningkatkan
pendapatan per kapita, (3) Usaha untuk mengadakan perubahan struktur ekonomi atau seringkali disebut
sebagai usaha diversifikasi ekonomi, (4) Usaha perluasan kesempatan kerja, (5) Usaha pemerataan
pembangunan. Sasaran yang ditentukan dengan cara sebelumnya mempunyai implikasi pada investasi.
Supaya produk nasional dapat naik, maka tabungan masyarakat harus mendapatkan kesempatan untuk
diinvestasikan. Tingkat investasi tidak selalu sama dengan tingkat tabungan. Distribusi investasi kepada
aktivitas-aktivitas ekonomi-pun tidak selalu seperti yang diperlukan untuk meningkatkan kapasitas produksi
ke arah yang dikehendaki. Di sini timbul persoalan untuk menjamin adanya kapasitas absorbsi dan
pengarahan investasi. Peningkatan dalam laju pertumbuhan produk nasionai dapat dicapai dengan jalan :
(1) meningkatkan laju tabungan; (2) menurunkan ICOR; atau (3) kedua-duanya. Menaikkan Laju
Tabungan. Ada tiga macam tabungan dalam negeri, yaitu : (1) tabungan perseorangan (personal saving);
(2) tabungan usaha (business saving); dan (3) tabungan pemerintah (Govemment saving). Jika prospensity
to save sektor swasta yang berlaku temyata kurang tinggi untuk membiayai tingkat investasi yang
diperlukan, maka pemerintah harus meningkatkan laju pajak dan berusaha meningkatkan laju tabungan,
baik pemerintah maupun swasta. Akan tetapi kenaikkan pajak ini akan mengurangi pendapatan disposible
(pendapatan perseorangan sesudah dikurangi pajak langsung), dan oleh karenanya akan ditentang oleh
sektor swasta. Jika tabungan sukarela (voluntary saving) ditambah dengan hasil pajak tidak cukup untuk
membiayai investasi yang diperlukan, maka pemerintah harus mencoba mendapatkan bantuan luar negeri
atau terpaksa harus menurunkan sasarannya. Jika kedua alternatif ini tidak mungkin, maka tabungan
sukarela ini dapat didampingi (supplemented) oleh tabungan paksa (forced saving), adalah dengan defisit
anggaran belanja (defisit financing) yang inflatoir. Cara ini banyak dijalankan negara-negara yang belum
maju di waktu lampau. Jadi urut-urutan cara mendapatkan modal untuk investasi yaitu : (1) tabungan
20 sukarela dari sektor swasta; (2) menaikkan tingkat pajak; (3) bantuan luar negeri; dan (4) tabungan
paksa dengan deficit flnancing yang inflatoir. Konsumsi sektor swasta lebih mudah dibatasi jika tingkat
pendapatan atau tingkat absolut konsumsi naik. Oleh karena itu dapat diadakan tabungan yang rendah
pada permulaan periode perencanaan dan tabungan ini kemudian dinaikkan dengan makin naiknya
pendapatan. Hal ini berarti juga bahwa laju perkembangan Produk Nasional akan naik dari tahun ke tahun.
Menurunkan ICOR. Dalam hal penurunan ICOR perekonomian nasional sebagai keseluruhan terdapat
kesukaran. Untuk menurunkan ICOR diperlukan teknik produksi baru yang memerlukan modal lebih kecil
untuk rnemproduksi hasil yang sama, dan diperlukan kombinasi produk yang memerlukan modal
sekecilkecilnya. Padahal penemuan-penemuan teknik baru makin lama makin padat modal, sehingga
ICOR makin tinggi. Akan tetapi karena banyak penemuanpenemuan baru, maka masih dapat dipilih teknik,
yang meskipun menaikkan ICOR, tetapi naiknya tidak seberapa. Bantuan Luar Negeri. Jika tingkat investasi
sudah tidak dapat dibiayai dengan tabungan dalam negeri dan sasaran sudah tidak dapat diturunkan, maka
satusatunya jalan adalah mencari bantuan luar negeri. Bantuan atau pinjaman luar negeri ini dapat dipakai
untuk mengimpor barang-barang modal tanpa pembayaran langsung dari hasil ekspor. Jika penduduk naik
dengan 1,5% dan direncanakan meningkatkan pendapatan per capita sebesar 2%, serta ICOR adalah 4,
maka diperlukan modal sebesar (1,5 + 2)% x 4 = 14%. Jika pinjaman/bantuan luar negeri yang dapat
diharapkan adalah 4% dari pendapatan nasional, maka tingkat tabungan dalam negeri yang diperlukan
bukan 14%, melainkan hanya 10%. Namun dalam menerima pinjaman luar negeri ini harus selalu diingat
bahwa pinjaman tersebut harus dibayar kembali dengan tabungan dalam negeri di waktu yang akan
datang. Jadi, jika kenaikan pendapatan nasional dan tingkat tabungan tidak menjamin pembayaran kembali
hutang tersebut, maka pinjaman luar negeri itu merupakan beban yang berat di hari depan. Karena itu
maka pinjaman luar negeri tersebut seharusnya digunakan untuk investasi yang secara langsung atau tidak
langsung dapat meningkatkan produk nasional. Jika bantuan luar negeri itu berupa grant, maka tidak timbul
persoalan pembayaran kembali. Jika program pembangunan itu bergantung pada bantuan luar negeri
untuk beberapa tahun berturut-turut, maka harus ada jaminan bahwa bantuan itu didapat selama periode
yang diperlukan. Perdagangan luar negeri. Jika biaya pembangunan bergantung pada perdagangan luar
negeri, maka ekspor harus cukup besar untuk membiayai impor barang-barang yang diperlukan. Jika
neraca pembayaran tidak menguntungkan, maka impor harus dikurangi. Supaya investasi untuk
pembangunan jangan berkurang, maka yang harus dikurangi adalah impor barang-barang konsumsi, dan
untuk penggantinya, produksi dalam negeri barang-barang konsumsi tersebut harus ditambah.
Pembentukan modal atau penambahan stok modal merupakan determinan yang menentukan laju
perkembangan pendapatan nasional. Pembentukan modal
21 mencakup tiga aktivitas, yaitu : (1) Saving, dalam arti mengurangi konsumsi sekarang (current
consumption); (2) Finance, dalam arti menyampaikan sumber-sumber kepada para investor; dan (3)
Investasi, dalam arti penggunaan sumber-sumber produksi/pembelian barang-barang modal. Laju
perkembangan perekonomian ditentukan, kecuali oleh : (a) penambahan jumlah modal, juga oleh (b)
penggunaan yang lebih produktif atau lebib penuh dan pada alat-alat modal dan paberik yang sudah ada.
Sedangkan pmbentukan modal dalam masyarakat ditentukan oleh keadaan kondisi yang bersifat ekonomis
dan non-ekonomis. Kondisi yang bersifat non ekonomis antara lain : (a) Hubungan dengan perekonomian
atau masyarakat lain yang mempunyai struktur yang berbeda. Hal ini dapat merupakan dorongan (stimulus)
untuk mengadakan perubahan dan untuk pembentukan modal. (b) Fleksibilitas sosial adalah adanya
kesempatan bagi golongan-golongan baru untuk tumbuh atau bagi orang-orang untuk mencapai
kedudukan dan kekuasaan. (c) Keinginan dan kekuatan untuk melawan ide-ide yang sudah ada dan
memperkenalkan/membawakan ide-ide baru. Perencanaan Ekonomi Regional Kebijakan Ekonomi
Regional Kebijakan ekonomi regional adalah penggunaan secara sadar berbagai macam peralatan
(instrument atau means) untuk merealisasikan tujuan-juan regional yang ingin dicapai (Kadariah, 1981).
Mungkin dalam jangka panjang apa yang menjadi tujuan itu akhirnya juga akan tercapai tanpa usaha
secara sadar, tetapi dilihat dari sudut sosial, politis atau ekonomis, lebih baik kalau tujuan itu dicapai dalam
jangka pendek atau menengah melalui campur tangan pemerintah. Banyak peralatan kebijakan ekonomi
regional yang disusun berdasarkan teori growthpole. Pembangunan regional didasarkan pada prinsip-
prinsip renovasi dan daya tarik unsur yang aktif, perhitungan efek multiplier dan hubungan/kaitan yang
dapat diharapkan akan timbul. Dalam hal ini perlu diingat bahaya penterapan model-model pembangunan
yang berlaku umum. Kebijakan pembangunan regional harus disesuaikan dengan struktur dasar masing-
masing daerah. Di samping itu orang sering terlalu membesar-besarkan pengaruh atau peranan external
economies yang disebabkan adanya growthpole. Kalau proses polarisasi itu berjalan terlalu lama
berdasarkan hubungan teknis (polarisasi teknis), hal itu dapat menyebabkan kepekaan konjungtur yang
lebih besar pada daerah yang bersangkutan. Rencana Pembangunan Regional Salah satu tujuan
kebijakan pembangunan adalah mengurangi perbedaan tingkat perkembangan atau pembangunan dan
kemakmuran antara daerah yang satu dengan daerah yang lain. Terdapat trade-off antara tujuan
pemerataan pembangunan dan tujuan meningkatkan pendapatan nasional atau pendapatan per kapita
secara cepat. Jika prioritas diberikan kepada peningkatan pendapatan, maka terlalu banyak investasi
diperlukan di daerah-daerah yang sudah maju, di mana sudah terdapat banyak prasarana, baik fisik,
maupun sosial. Akibatnya, daerah-daerah yang relatif sudah maju, makin maju, sedang daerah-daerah
yang
22 masih terbelakang makin sukar untuk berkembang. Hal ini sudah terang dirasakan kurang adil dan juga
dapat mengganggu kestabilan politik maupun sosiai. Oleh karena itu, baik negara yang sudah maju
maupun negara sedang berkembang yang melaksanakan pembangunan, baik secara absolut maupun
relatif, maka tujuan mengurangi perbedaan tingkat kemajuan ini perlu mendapat prioritas. Usaha ini dapat
mengurangi kecepatan peningkatan pendapatan nasional atau pendapatan per kapita dalam jangka
pendek. Dalam perencanaan pembangunan regional terdapat banyak teknik analisis untuk menentukan
atau memilih aktivitas ekonomi yang akan dikembangkan dalam suatu daerah atau untuk memilih atau
menentukan lokasi atau daerah bagi suatu aktivitas ekonomi atau suatu proyek. Di antara tehnik-tehnik
analisisi tersebut yang tergolong populer dan sederhana adalah Location Quotient (LQ). Location Quotient
Dalam hubungan ini kegiatan ekonomi suatu daerah dibagi ke dalam dua golongan, yaitu : (1) kegiatan
ekonomi (industri) yang melayani pasar di daerah sendiri dan pasar di luar daerah, dan (2) industri-industri
(kegiatan ekonomi) yang hanya melayani pasar di daerah itu sendiri. Industri atau sektor yang termasuk
golongan pertama disebut industri unggulan, sedang yang termasuk golongan kedua disebut industri atau
sektor bukan unggulan atau industri lokal (Kadariah, 1981). Dasar pemikiran penggunaan teknik ini adalah
teori economic base yang maknanya adalah sebagal berikut : Karena industri unggulan itu menghasilkan
barang dan jasa baik untuk pasar di daerah maupun untuk pasar di luar daerah yang bersangkutan, maka
penjualan hasil ke luar daerah itu mendatangkan arus pendapatan ke dalam daerah tersebut. Arus
pendapatan ini menyebabkan baik kenaikan konsumsi maupun kenaikan investasi di daerah itu, yang pada
gilirannya dapat meningkatkan pendapatan lagi dan kesempatan kerja. Jika di daerah itu terdapat
pengangguran, maka kesempatan kerja yang baru dapat menampungnya, atau jika di daerah itu tidak
terdapat pengangguran, maka daerah itu mempunyai daya tarik bagi tenaga kerja luar daerah. Peningkatan
pendapatan di daerah itu tidak hanya meningkatkan permintaan terhadap hasil industri unggulan,
melainkan juga akan meningkatkan permintaan terhadap hasil industri lokal bukan unggulan, dan
permintaan ini pada gilirannya akan meningkatkan investasi di industri-industri tersebut terakhir. Dengan
perkataan lain, penanaman modal di industri-industri lokal merupakan investasi yang induced sebagai
akibat peningkatan pendapatan di industri-industri unggulan. Berdasarkan gagasan ini, maka orang
berpendapat bahwa industri-industri unggulan inilah yang patut dikembangkan di daerah. Pertarna-tama
yang harus dilakukan adalah menggolongkan tiap industri di suatu daerah ke dalam salah satu dari kedua
golongan tersebut. Untuk keperluan inilah location quotion dipakai. Location quotient ini mengukur
perbandingan konsentrasi suatu kegiatan industri atau sektor dalam perekonomian daerah dengan
konsentrasi kegiatan industri atau sektor yang sama dalam perekonomian nasional.
23 Dasar penggolongan tersebut dapat berlainan dan dapat disesuaikan dengan keperluan. Umpamanya,
jika maksudnya mencari industri atau kegiatan ckononii yang dapat menciptakan kesempatan kerja
sebanyak-banyaknya, maka yang dipakai sebagai dasar ukuran adalah jumlah karyawan. Kalau yang
dianggap perlu adalah meningkatkan pendapatan regional, maka pendapatan (value added) merupakan
dasar ukuran yang tepat. Sedang jika hasil produksi yang dipentingkan, maka jumlah hasil produksilah
yang dipilih. Jika yang dipergunakan sebagai dasar ukuran adalah pendapatan (value added), maka
perhitungan koefisien (location quotient) tersebut dapat diterangkan sebagai berikut. Misalkan di daerah A
pendapatan yang berasal dari industri tekstil sebesar Rp 10 juta dan pendapatan daerah dari seluruh
kegiatan ekonomi di daerah tersebut sebesar Rp 250 juta. Jadi industri tekstil di daerah itu mempunyai arti
relatif (relative importance) sebesar 10/250 = 4 persen. Jika pendapatan yang berasal dari industri tekstil
di seluruh Indonesia sebesar Rp. 100 juta dan pendapatan yang berasal dari semua industri atau kegiatan
ekonomi di seluruh Indonesia adalah Pp juta, maka arti relatif (relative importance) dari industri tekstil di
Indonesia adalah 100/5000 atau 2 persen. Dalarn hal ini dikatakan bahwa industri tekstil di daerah A
mempunyai location quotient sebesar 4%/2% yaitu sebesar 2. Location quotient ini dapat juga dihitung
sebagai berikut. Pendapatan yang berasal dan industri tekstil di daerah A dibandingkan dengan
pendapatan yang berasal dari industri tekstil di seluruh Indonesia ialah sebagai Rp 10 juta dibandingkan
dengan Rp 100 juta yaitu 10 persen. Sedang pendapatan seluruhnya di daerah A dibandingkan dengan
pendapatan di seluruh Indonesia adalah Rp 250 juta dibandingkan dengan Rp juta yaitu 5 persen. Jadi
industri tekstil di daerah A mempunyai location quotient sebesar l0%/5% = 2 (dua). Secara umum location
quotient dapat dirumuskan (Hoover (1975 : 147; Azis, 1994 : 154; Antara, 2005) sebagai berikut : Jika vi
adalah pendapatan industri atau sektor i di suatu daerah vt adalah pendapatan total di daerah tersebut. Vi
adalah pendapatan industri i di suatu negara Vt adalah pendapatan total di suatu negara, maka industri i
di daerah itu mempunyai location quotient (LQ) sebesar : vi / vt Vi / Vt atau Vi / Vi Vt / Vt Dalam hal ini
diasumsikan bahwa penduduk di setiap daerah mempunyai pola permintaan sama dengan pola permintaan
pada tingkat nasional, dan juga permintaan daerah akan sesuatu barang pertama-tama dipenuhi oleh hasil
daerah itu sendiri dan baru jika jumlah yang diminta melebihi jumlah produksi daerah itu, kekurangannya
diimpor dari luar daerah. Berdasarkan asumsi ini,
24 maka jika baik seluruh Indonesia maupun daerah A dapat memenuhi kebutuhannya akan sesuatu
barang dengan produksi sendiri, atau dengan perkataan lain, baik seluruh Indonesia maupun daerah A
adalah swasembada dalam barang tersebut, maka arti relatif dari industri yang menghasilkan barang
tersebut dalam perekonomian daerah A adalah sama dengan arti relatif industri tersebut dalam
perekonomian nasional. Dalam hal ini, maka location quotient industri tersebut adalah satu. Jika location
quotient kurang dari satu, maka daerah itu harus mengimpor hasil produksi industri tersebut; sedang jika
location quotient itu lebih besar dari satu, maka dianggap daerah yang bersangkutan dapat mengekspor
hasil produksi industri tersebut. Location quotient sebesar 1½ (3/2) dapat diartikan bahwa 2/2 dari hasil
tersebut dipakai untuk memenuhi konsunisi dalam daerah itu sendiri, sedang setengahnya Iainnya dapat
diekspor. Penterapan yang relatif sederhana ini, memungkinkan teknik analisis ini sering dipakai, terutarna
dalam tahap permulaan dari suatu pengkajian. Umpamanya menganalisis sektor-sektor yang memiliki
potensi ekspor dan impor suatu daerah. Namun penggunaan location quotient dalam analisis ini ada
kelemahankelemahannya, antara lain : (1) Selera dan pola pengeluaran (expenditure pattern) atau pola
konsumsi masyarakat adalah berlainan di setiap daerah; (2) Tingkat konsumsi rata-rata untuk masing-
masing barang tidak sama di setiap daerah. Umpamanya, di daerah A konsumsi bahan pakaian rata-rata
adalah lebih tinggi dari pada di daerah B. Dalam hal ini maka industri bahan pakaian di daerah A dapat
mempunyai location quotient lebih besar dari pada satu, tetapi daerah ini mengimpor hasil produksinya,
sedang di lain pihak di daerah B industri tersebut mempunyal location quotient kurang dan satu tetapi
daerah B mengekspor hasil produksinya. (3) Keperluan-keperluan untuk produksi dan juga produktivitas
buruh berbeda di antara daerah. Umpamanya, industri pertenunan di daerah A rata-rata lebih banyak
memakai benang tenun kapas, sedang di daerah B lebih banyak dipakai benang tenun sintetis. Dalam hal
ini maka industri pemintalan kapas di daerah A dapat mempunyai location quotient lebih besar dari satu,
tetapi daerah itu mengimpor benang tenun dari daerah B, di mana industri pemintalan kapasnya
mempunyal location quotient kurang dari satu. Singkatnya, jika location quotient ini dipakal tersendiri, tidak
banyak gunanya. Tetapi jika teknik ini dipakai bersama dengan alat teknik analisisi lainnya, yang
memperhitungkan dan mencakup fungsi-fungsi produksi dan konsumsi yang non-linear dan juga yang
memperhitungkan perbedaan-perbedaan regional dalam selera, tingkat pendapatan dan distribusinya,
praktek-praktek produksi dan industrial mixes, maka location quotient ini banyak gunanya. Perencanaan
Pembangunan Sektor-Sektor Sektor-sektor dalam perekonomian mempunyai laju pertumbuhan yang
berbeda-beda. Oleh karena itu proses pembangunan ekonomi menimbulkan perubahan struktur ekonomi.
Umpamanya, permintaan terhadap hasil sektor pertanian naiknya lambat dan produktivitas per jam/buruh
adalah rendah, maka sektor ini tidak dapat berkembang dan tumbuh secara cepat. Untuk
Menunjukkan lagi
dokumen-dokumen yang mirip
Pengantar Ekonomi Makro. Oleh Ruly Wiliandri, SE., MM
Pengantar Ekonomi Makro Oleh Ruly Wiliandri, SE., MM Materi Perkuliahan: 1. Ruang Lingkup
Analisis Makroekonomi (Konsep dasar ekonomi makro) 2. Aliran kegiatan perekonomian (aliran sirkular
atau circular
Lebih terperinci
Pengantar Ekonomi Makro Oleh Ruly Wiliandri, SE., MM Pengertian Ilmu Ekonomi Adalah studi
mengenai cara-cara yang ditempuh oleh masyarakat untuk menggunakan sumber daya yang langka guna
memproduksi komoditas
Lebih terperinci
Lebih terperinci
Dr. I Gusti Bagus Rai Utama, MA. Referensi Utama: Utama, I Gusti Bagus Rai. (2015).
Pengantar Industri Pariwisata. Penerbit Deepublish Yogyakarta CV. BUDI UTAMA. Url
http://www.deepublish.co.id/penerbit/buku/547/pengantar-industri-pariwisata
Lebih terperinci
BAB II SEKILAS TENTANG OBJEK WISATA 2.1 Pengertian Objek Wisata Objek wisata adalah
perwujudan ciptaan manusia, tata hidup, seni budaya serta bangsa dan tempat atau keadaan alam yang
mempunyai daya tarik
Lebih terperinci
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kepariwisataan dalam dunia modern pada
hakekatnya merupakan suatu cara memenuhi kebutuhan manusia dalam memberi hiburan rohani dan
jasmani setelah beberapa waktu
Lebih terperinci
Lebih terperinci
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam menilai keberhasilan pembangunan dan upaya
memperkuat daya saing ekonomi daerah, masalah pertumbuhan ekonomi masih menjadi perhatian yang
penting. Hal ini dikarenakan
Lebih terperinci
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pariwisata telah menjadi salah satu industri
terbesar di dunia, dan merupakan andalan utama dalam menghasilkan devisa di berbagai negara. Dengan
berkembangnya
Lebih terperinci
Dr. I Gusti Bagus Rai Utama, MA. Referensi Utama: Utama, I Gusti Bagus Rai. (2015).
Pengantar Industri Pariwisata. Penerbit Deepublish Yogyakarta CV. BUDI UTAMA. Url
http://www.deepublish.co.id/penerbit/buku/547/pengantar-industri-pariwisata
Lebih terperinci
Lebih terperinci
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam rangka usaha untuk meningkatkan
kesejahteraan bangsa, negara, dan rakyat Indonesia, dewasa ini Pemerintah sedang giat-giatnya
melaksanakan pembangunan
Lebih terperinci
Lebih terperinci
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Parwisata berasal dari Bahasa Sanskerta,
yaitu pari dan wisata. Pari berarti banyak, berkali-kali, berputar-putar, lengkap. Wisata berarti perjalanan,
bepergian,
Lebih terperinci
Lebih terperinci
BAB II LANDASAN KONSEP DAN TEORI ANALISIS 2.1 Penelitian Sebelumnya Tinjauan hasil
penelitian sebelumnya yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kajian terhadap hasil-hasil penelitian
sebelumnya yang
Lebih terperinci
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam era globalisasi saat ini, sektor
pariwisata merupakan industry terbesar dan terkuat dalam pembiayaan ekonomi global. Sektor pariwisata
akan menjadi pendorong
Lebih terperinci
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pariwisata Indonesia saat ini mulai
berkembang dengan pesat. Indonesia memiliki potensi wisata untuk dikembangkan menjadi destinasi
pariwisata tingkat dunia.
Lebih terperinci
BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan yang konsisten dari tahun ke
tahun. World Tourism
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pariwisata telah menjadi industri terbesar
dan memperlihatkan pertumbuhan yang konsisten dari tahun ke tahun. World Tourism Organization
memperkirakan bahwa
Lebih terperinci
Lebih terperinci
Lebih terperinci
Lebih terperinci
BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Indonesia adalah negara
berkembang yang memiliki banyak pulau
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia adalah negara berkembang yang memiliki
banyak pulau sebagai salah satu aset untuk meningkatkan perekonomian masyarakat dengan
mengembangkan pariwisata yang
Lebih terperinci
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Memasuki era global saat ini, perkembangan
di dunia khususnya di bidang ekonomi sudah mengarah pada ilmu pengetahuan dan teknologi. Salah satu
pembangunan
Lebih terperinci
Lebih terperinci
Lebih terperinci
BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Pariwisata Keberadaan pariwisata dalam suatu daerah
bisa dikatakan merupakan suatu gejala yang kompleks di dalam masyarakat. Di sini terdapat suatu
keterkaitan antara
Lebih terperinci
Lebih terperinci
Lebih terperinci
1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pariwisata saat ini telah menjadi salah satu motor
penggerak ekonomi dunia terutama dalam penerimaan devisa negara melalui konsumsi yang dilakukan
turis asing terhadap
Lebih terperinci
Lebih terperinci
Lebih terperinci
Kebijakan Makro Ekonomi
Lebih terperinci
Lebih terperinci
Lebih terperinci
BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Pariwisata Istilah pariwisata secara etimologi yang
berasal dari Bahasa Sansekerta yang terdiri dari kata pari yang berarti halus, maksudnya mempunyai tata
krama tinggi
Lebih terperinci
Lebih terperinci
XII Peningkatan Daya Saing Industri Manufaktur Globalisasi ekonomi menuntut produk Jawa
Timur mampu bersaing dengan produk sejenis dari negara lain, baik di pasar lokal maupun pasar
internasional. Kurang
Lebih terperinci
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pariwisata merupakan salah satu sektor yang
memberikan kontribusi sangat besar bagi Indonesia yang kini banyak dikembangkan di berbagai daerah.
Kepariwisataan di Indonesia
Lebih terperinci
Lebih terperinci
Lebih terperinci
PENDAHULUAN BAB I 1.1. Latar Belakang Pembangunan ekonomi sangat terkait erat dengan
pembangunan sosial masyarakatnya. Pada awalnya pembangunan ekonomi lebih diprioritaskan pada
pertumbuhannya saja, sedangkan
Lebih terperinci
Lebih terperinci
Lebih terperinci
Lebih terperinci
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada dasarnya wisata adalah kegiatan perjalanan
yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang di luar tempat tinggalnya, bersifat sementara untuk
berbagai tujuan
Lebih terperinci
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sebagai negara berkembang, Indonesia
membutuhkan dana yang tidak sedikit jumlahnya di dalam pembangunan nasional. Dalam konteks
pembangunan nasional maupun
Lebih terperinci
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Cita-cita bangsa Indonesia dalam konstitusi negara
adalah untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur. Cita-cita mulia tersebut dapat diwujudkan melalui
pelaksanaan
Lebih terperinci
Lebih terperinci
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki
daya tarik wisata yang sangat menarik telah secara serius memperhatikan perkembangan sektor
pariwisata, dapat dilihat
Lebih terperinci
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Tingkat pertumbuhan ekonomi yang
dicapai oleh suatu negara diukur dari perkembangan pendapatan nasional riil yang dicapai suatu
negara/daerah ini terkandung
Lebih terperinci
BAB 5 SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dan hasil analisis
pengolahan data, dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut. 1. Dapat diketahui faktor eksternal dan internal
Hotel
Lebih terperinci
Lebih terperinci
Lebih terperinci
Lebih terperinci
BAB II URAIAN TEORITIS KEPARIWISATAAN DAN WISATA AGRARIS 2.1 Pengertian Wisata
Agraris Wisata Agraris merupakan salah satu dari beberapa wisata alternatif yang sedang dikembangkan
oleh pemerintah. Sebelum
Lebih terperinci
Lebih terperinci
Lebih terperinci
Lebih terperinci
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan, yang dilakukan setiap negara
ataupun wilayah-wilayah administrasi dibawahnya, sejatinya membutuhkan pertumbuhan, pemerataan dan
keberlanjutan. Keberhasilan
Lebih terperinci
III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Konseptual Proyek adalah kegiatan-
kegiatan yang direncanakan dan dilaksanakan dalam satu bentuk kesatuan dengan mempergunakan
sumber-sumber untuk mendapatkan
Lebih terperinci
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Fokus utama dari kebijakan moneter adalah mencapai
dan memelihara laju inflasi yang rendah dan stabil. Sesuai dengan UU No. 3 Tahun 2004 Pasal 7, tujuan
Bank Indonesia
Lebih terperinci
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu cara yang ditempuh oleh banyak negara
di dunia untuk mendapatkan devisa adalah dengan meningkatkan pembangunan pariwisata. Kemampuan
sektor pariwisata di
Lebih terperinci
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Otonomi daerah adalah wewenang pemerintah
daerah dalam mengatur dan mengurus daerahnya sendiri, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004. Andirfa (2009), menyatakan
Lebih terperinci
BAB II KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH 2.1 Perkembangan indikator ekonomi makro
daerah pada tahun sebelumnya; A. Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan ekonomi (economic growth)
merupakan salah satu indikator yang
Lebih terperinci
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Pariwisata adalah suatu kegiatan yang
unik, karena sifatnya yang sangat kompleks, mencakup hampir seluruh aspek kehidupan manusia. Oleh
karena itu, sudah
Lebih terperinci
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu
indikator penting untuk menganalisis pembangunan ekonomi yang terjadi disuatu Negara yang diukur dari
perbedaan PDB tahun
Lebih terperinci
Dr. I Gusti Bagus Rai Utama, MA. Referensi Utama: Utama, I Gusti Bagus Rai. (2015).
Pengantar Industri Pariwisata. Penerbit Deepublish Yogyakarta CV. BUDI UTAMA. Url
http://www.deepublish.co.id/penerbit/buku/547/pengantar-industri-pariwisata
Lebih terperinci
SATUAN ACARA PERKULIAHAN (SAP) Nama Mata Kuliah : Pengetahuan Bisnis Kode Mata
Kuliah : MI 006 Bobot Kredit : 2 SKS Semester Penempatan : I Kedudukan Mata Kuliah : Mata Kuliah
Keilmuan dan Keterampilan
Lebih terperinci
Lebih terperinci
Lebih terperinci
Lebih terperinci
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Sebagaimana cita-cita kita bangsa
Indonesia dalam bernegara yaitu untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur, maka
pelaksanaan pembangunan menjadi
Lebih terperinci
Lebih terperinci
Analisis fundamental Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas Analisis fundamental
adalah metode analisis yang didasarkan pada fundamental ekonomi suatu perusahaan. Teknis ini menitik
beratkan
Lebih terperinci
Mata Kuliah : Pengetahuan Bisnis Bobot Mata Kuliah : 2 Sks GARIS-GARIS BESAR
PROGRAM PENGAJARAN (GBPP) Deskripsi Mata Kuliah : Dasar-dasar bisnis; Rencana Bisnis; Bentuk
dan Metode Kepemilikan Bisnis;
Lebih terperinci
BAB II URAIAN TEORITIS 2.1 Pengertian Pariwisata Kata Pariwisata berasal dari bahasa
Sansekerta yang terdiri dari dua suku kata yaitu : pari dan wisata. Pari artinya banyak, berkali-kali atau
berkeliling.
Lebih terperinci
Lebih terperinci
Lebih terperinci
Lebih terperinci
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Sektor pariwisata Indonesia merupakan
salah satu industri penting yang ada di Indonesia, hal tersebut dibuktikan dengan meningkatnya jumlah
wisatawan mancanegara
Lebih terperinci
BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. rata-rata
pendapatan riil dan standar hidup masyarakat dalam suatu wilayah.
Oleh
BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 Landasan Teori dan Konsep 2.1.1
Konsep Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan ekonomi dapat diartikan sebagai suatu proses kenaikan
output yang terus menerus
Lebih terperinci
Lebih terperinci
Variabel, Masalah dan Kebijakan Ekonomi Putri Irene Kanny Pokok bahasan pertemuan ke-2
Variabel ekonomi Masalah dasar ekonomi Tujuan dan kebijakan Ekonomi Bentuk-bentuk kebijakan
makroekonomi Sifat-sifat
Lebih terperinci
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Isi pembukaan Undang-Undang Dasar 1945
diantaranya menyatakan bahwa salah satu tujuan negara Indonesia adalah untuk memajukan
kesejahteraan umum. Hal ini tidak terlepas
Lebih terperinci
PERATURAN DAERAH KABUPATEN TABALONG NOMOR 01
TAHUN 2015 TENTANG RENCANA INDUK PENGEMBANGAN
PARIWISATA DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA
ESA
Lebih terperinci
Lebih terperinci
Lebih terperinci
Lebih terperinci
BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN.
pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah. Ketimpangan ekonomi antar
wilayah
BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Ketimpangan Ekonomi Antar
Wilayah Ketimpangan ekonomi antar wilayah merupaka ketidakseimbangan pertumbuhan ekonomi di
suatu wilayah. Ketimpangan ekonomi
Lebih terperinci
4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Wisata Alam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang
kepariwisataan, menyebutkan bahwa wisata adalah kegiatan perjalanan yang dilakukan oleh seseorang
atau sekelompok orang
Lebih terperinci
III. METODOLOGI PENELITIAN A. Konsep Dasar dan Definisi Operasional Konsep dasar dan
definisi operasional dalam penelitian ini mencakup semua pengertian yang digunakan dalam memperoleh
dan menganalisis
Lebih terperinci
BAB II KERANGKA TEORITIS 2.1 Penelitian Terdahulu Mica (2005) melakukan penelitian dengan
judul Analisis Segmentasi Pasar Wisatawan Mancanegara Terhadap Daerah Tujuan Wisata Sumatera
Utara tentang adakah
Lebih terperinci
OBJEK DAN DAYA TARIK WISATA Objek dan daya tarik wisata adalah suatu bentukan dan
fasilitas yang berhubungan, yang dapat menarik minat wisatawan atau pengunjung untuk datang ke suatu
daerah atau tempat
Lebih terperinci
Sarana dan prasarana pariwisata yang lancar merupakan salah satu indikator perkembangan
pariwisata. Sarana/prasarana diartikan sebagai proses tanpa hambatan dari pengadaan dan peningkatan
hotel, restoran,
Lebih terperinci
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkembangan perekonomian negara dapat
dilihat dari pertumbuhan ekonomi negara tersebut. Pertumbuhan ekonomi berarti perkembangan kegiatan
dalam perekonomian
Lebih terperinci
Lebih terperinci
2020 © DocPlayer.info Pengaturan dan alat privasi | Ketentuan | Tanggapan