Tertariknya ikan pada cahaya sering disebutkan karena terjadinya peristiwa fototaxis.
Cahaya merangsang ikan dan menarik ikan untuk berkumpul pada sumber cahaya tersebut
atau juga disebutkan karena adanya rangsangan cahaya, ikan kemudian memberikan
responnya. Peristiwa ini dimanfaatkan dalam penangkapan ikan yang umumnya disebut light
fishing atau dari segi lain dapat juga dikatakan memanfaatkan salah satu tingkah laku ikan
untuk menangkap ikan itu sendiri. Dapat juga dikatakan bahwa dalam light fishing,
penangkap ikan tidak seluruhnya memaksakan keinginannya secara paksa untuk menangkap
ikan tetapi menyalurkan keinginan ikan sesuai dengan nalurinya untuk ditangkap. Fungsi
cahaya dalam penangkapan ikan ini ialah untuk mengumpulkan ikan sampai pada suatu
catchable area tertentu, lalu penangkapan dilakukan dengan alat jaring ataupun pancing
dan alat-alat lainnya (Sudirman dan Mallawa, 2004).
Penggunaan lampu untuk penangkapan ikan di Indonesia dewasa ini telah sangat
berkembang, sehingga di tempat-tempat yang terdapat kegiatan perikanan laut, hampir
dapat dipastikan terdapat lampu yang digunakan untuk usaha penangkapan ikan. Dalam
beberapa tahun terakhir, penelitian batas optimum kekuatan intensitas cahaya telah menjadi
salah satu pokok bagian dari penelitian para ahli biologi laut kelautan. Ayodhyoa (1981)
mengatakan agar light fishing dapat memberikan daya guna yang maksimal, maka
diperlukan syarat-syarat sebagai berikut :
Mampu mengumpulkan ikan yang berada pada jarak jauh, baik secara horisontal maupun
vertikal.
Setelah ikan terkumpul, hendaklah ikan-ikan tersebut tetap senang berada dalam area
sumber cahaya pada suatu jangka waktu tertentu ( minimum sampai saat alat tangkap mulai
beroperasi ).
Pada saat ikan-ikan tersebut berkumpul di sekitar sumber cahaya, diupayakan semaksimal
mungkin agar ikan-ikan tersebut tidak melarikan diri ataupun menyebarkan diri.
Dilihat dari tempat penggunaannya dapat dibedakan antara lain lampu yang dipergunakan
di atas permukaan air dan lampu yang dipergunakan di dalam air. Menurut Ayodhyoa
(1976) perbandingan antara lampu yang dipasang di atas permukaan air dengan lampu yang
digunakan di bawah permukaan air adalah sebagai berikut :
2. Kurang efisien dalam penggunaan cahaya, karena sebagian cahaya akan diserap oleh
udara, terpantul oleh permukaan gelombang yang berubah-ubah dan diserap oleh air
sebelum sampai kesuatu kedalaman yang dimaksud dimana swiming layer ikan tersebut
berada.
3. Diperlukan waktu yang lama supaya ikan dapat naik ke permukaan air dan dalam masa
penerangan, ikan-ikan tersebut kemungkinan akan berserak.
4. Setelah ikan-ikan berkumpul karena tertarik oleh sumber cahaya dan berada di
permukaan, sulit untuk menjaga ikan tetap tenang, karena pantulan cahaya pada permukaan
air yang terus bergerak.
2. Cahaya yang digunakan lebih efisien, cahaya tidak ada yang memantul ataupun diserap
oleh udara, dengan kata lain cahaya dapat dipergunakan hampir seluruhnya.
3. Ikan-ikan yang bergerak menuju sumber cahaya dan berkumpul, lebih tenang dan tidak
berserakan, sehingga kemungkinan ikan yang tertangkap lebih banyak.
Struktur lampu di dalam air sangat berbeda dengan lampu-lampu biasa yang digunakan di
atas permukaan air. Penetrasi cahaya pada perairan sangat bergantung sekali terhadap
kondisi perairan itu sendiri dan yang paling menentukan adalah warna laut dan tingkat
transparansi air. Warna laut dalam hal ini berhubungan dengan jenis warna lampu yang
dipancarkan dari lampu itu sendiri. Warna lampu yang sinarnya dapat menembus kedalaman
tertinggi tentunya adalah warna lampu yang sejenis dengan warna perairan pada waktu itu
dan juga tergantung pada kondisi perairannya. Semakin besar tingkat transparansi perairan
semakin besar pula tingkat kedalaman penetrasi sumber cahaya. Hasil-hasil penelitian
menunjukkan bahwa warna cahaya yang baik digunakan pada light fishing adalah biru,
kuning dan merah (Sudirman dan Mallawa, 2004).
Cahaya yang masuk ke dalam air akan mengalami pereduksian yang jauh lebih besar bila
dibandingkan dalam udara. Hal tersebut terutama disebabkan adanya penyerapan dan
perubahan cahaya menjadi berbagai bentuk energi, sehingga cahaya tersebut akan cepat
sekali tereduksi sejalan dengan semakin dalam suatu perairan. Pembalikan dan pemancaran
cahaya yang disebabkan oleh berbagai partikel dalam air, keadaan cuaca dan gelombang
banyak memberikan andil pada pereduksian cahaya yang diterima air tersebut. Dengan
demikian daya penglihatan ikan banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor tersebut (Gunarso,
1985).
Kemampuan mengindera dari mata ikan memungkinkan untuk dapat melihat pada hampir ke
seluruh bagian dari lingkungan sekelilingnya. Hanya suatu daerah sempit pada bagian
sebelah belakang ikan yang tidak dapat dicakup oleh luasnya area yang dapat dilihat oleh
ikan, daerah sempit ini dikenal sebagai “dead zone.” Sedangkan untuk jarak penglihatan,
tidak hanya tergantung pada sifat indera penglihat saja, tetapi juga pada keadaan
penglihatan di dalam air. Pada kejernihan yang baik dan terang maka jarak penglihatan
untuk benda-benda yang kecil tergantung pada kemampuan jelasnya penglihatan mata,
misalkan pada jarak dimana titik-titik yang letaknya bersekatan, dapat dibedakan sebagai
dua titik dan tidak sebagai satu titik ataupun kabur kelihatannya. Dalam keadaan tertentu,
beberapa jenis ikan yang berukuran besar mempunyai kemampuan untuk bisa melihat benda-
benda yang agak besar dan berwarna kontras dengan latar belakangnya pada jarak
beberapa puluh meter. Anak-anak ikan mempunyai daya penglihatan yang sangat dekat.
Seekor anak ikan atherina berukuran 2 cm dapat membedakan benda-benda pada jarak 20
cm, sedangkan yang berukuran 0,8 cm hanya mampu membedakannya pada jarak 6-8 cm.
Dalam keadaan perairan yang keruh, kemampuan daya penglihatan ikan pada suatu objek
yang terdapat di dalam air akan sangat jauh berkurang. Namun tidaklah mengherankan
beberapa jenis ikan mampu mempertahankan hidupnya ketika mata ikan tersebut menjadi
buta (Gunarso, 1985).
Berbagai jenis ikan yang banyak dijumpai pada lapisan air yang relatif dangkal, banyak
menerima cahaya matahari pada waktu siang hari dan pada umumnya ikan-ikan yang hidup
di daerah tersebut mampu membedakan warna sama halnya dengan manusia sedangkan
beberapa jenis ikan yang hidup di laut dalam, dimana tidak semua jenis cahaya dapat
menembus, maka banyak diantara ikan-ikan tersebut tidak dapat membedakan warna atau
buta warna. Ketajaman warna yang dapat dilihat oleh mata ikan juga merupakan hal
penting. Pada kenyataannya, sesuatu yang mampu diindera oleh mata ikan memungkinkan
ikan tersebut untuk dapat membedakan benda-benda dengan ukuran tertentu dari suatu jarak
yang cukup jauh. Semakin kabur tampaknya suatu benda bagi mata ikan, maka hal tersebut
menyatakan bahwa kemampuan mata ikan untuk menangkap kekontrasan benda terhadap
latar belakangnya semakin berkurang (Gunarso, 1985).
Ikan sebagaimana jenis hewan lainnya mempunyai kemampuan yang mengagumkan untuk
dapat melihat pada waktu siang hari yang berkekuatan penerangan beberapa ribu lux hingga
pada keadaan yang hampir gelap sekalipun. Struktur retina mata ikan yang berisi reseptor
dari indera penglihat sangat bervariasi untuk jenis ikan yang berbeda. Pada ikan teleostei
memiliki jenis retina duplek, dengan pengertian bahwa dalam retina ikan tersebut terdapat
dua jenis reseptor yang dinamakan rod dan kon. Pada umumnya terjadi distribusi yang
berbeda dari kedua jenis reseptor tersebut, yang biasanya erat hubungannya dengan
pemanfaatan indera penglihatan ikan dalam lingkungan hidupnya. Untuk berbagai jenis ikan
pelagis sebagaimana dijumpai pada berbagai jenis ikan dari keluarga Clupeidae, ikan-ikan
tersebut memiliki pengkonsentrasian kon yang sangat padat pada area antara ventro-
temporal yang dibatasi oleh “area temporalis”. Pada Sardinops caerulea dan Alosa
sapidissimn, area temporalis tersebut sangat jelas dan bahkan pada jenis ikan ini reseptor
hampir seluruhnya hanya terdiri dari kon saja, rod hampir tidak ada atau tidak ada sama
sekali (Gunarso, 1985).
Jenis ikan yang aktif pada siang hari, umumnya mempunyai kon yang tersusun dalam bentuk
barisan ataupun dalam bentuk empat persegi. Pada umumnya ikan-ikan yang memiliki kon
dalam bentuk seperti ini adalah jenis ikan yang intensif sekali menggunakan indera
penglihatnya, biasanya ikan-ikan tersebut termasuk dalam jenis ikan yang aktif memburu
mangsa. Untuk jenis-jenis ikan yang aktif pada malam hari atau jenis ikan yang hidup pada
lapisan dalam, banyaknya kon sangat kurang atau tidak ada sama sekali dan kedudukan kon
tersebut digantikan oleh rod (Gunarso, 1985).
Retina dengan seluruh reseptornya terdiri dari rod banyak dijumpai pada jenis-jenis ikan
bertulang rawan, walau beberapa diantaranya masih dijumpai adanya kon pada retina mata
ikan-ikan tersebut. Retina yang keseluruhannya terdiri dari rod juga banyak dijumpai pada
berbagai ikan teleostei yang hidup di laut dalam. Hasil penghitungan banyaknya rod pada
beberapa jenis ikan laut dalam, menunjukkan jumlah yang lebih dari 25 juta rod/mm retina.
Hal ini menunjukkan bahwa mata jenis ikan laut demersallah yang mempunyai tingkat
sensitifitas tertinggi. Ikan-ikan pelagis yang memangsa makanannya yang berupa plankton,
pada umumnya jenis ikan ini mempunyai distribusi kon yang sangat padat pada bagian
ventro-temporal yang menunjukkan kemampuan untuk melihat kedepan dan ke arah atas.
Sedangkan jenis ikan pelagis yang berasal dari perairan yang cukup dalam biasanya justru
mempunyai retina yang seluruhnya dipenuhi oleh rod saja dan bentuk mata ikan-ikan
tersebut cukup besar. Diantara jenis ikan demersal yang biasanya memburu mangsa,
memiliki retina yang kaya akan kon pada bagian temporal, tapi terjadi perbedaan yang
mencolok sehubungan jumlah kon pada bagian-bagian retina yang lain, seperti halnya pada
jenis predator pelagis yang mempunyai kemampuan melihat arah lurus ke depan. Contoh
untuk jenis ikan ini antara lain adalah Cod, Coalfish dan keluarga Labridae (Gunarso,
1985).
Cahaya dengan segala aspek yang dikandungnya seperti intensitas, sudut penyebaran,
polarisasi, komposisi spektralnya, arah, panjang gelombang dan lama penyinaran,
kesemuanya akan mempengaruhi baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap
tingkah laku dan fisiologi ikan pelagis. Ikan mempunyai respon terhadap rangsangan yang
disebabkan oleh cahaya, meskipun besarnya kekuatan cahaya tersebut berkisar antara 0,01-
0,001 lux, dimana hal ini bergantung pada kemampuan suatu jenis ikan untuk beradaptasi
(Laevastu dan Hayes, 1991). Hasil pengamatan dengan echosounder dapat diketahui bahwa
suatu lampu yang oleh mata manusia hanya mampu diindera oleh manusia sampai
kedalaman 15 m saja, ternyata mampu memikat ikan sampai kedalaman 28 m. Ikan juga
mempunyai daya penglihatan yang cukup baik dalam hal membedakan warna. Dari sejumlah
percobaan yang telah dilakukan, ternyata ikan sangat peka terhadap sinar yang datang dari
arah dorsal tubuhnya. Ikan ternyata tidak menyukai cahaya yang datang dari arah bawah
tubuhnya (ventral) dan bila keadaannya tidak memungkinkan untuk turun ke lapisan air yang
lebih dalam lagi, dalam usaha untuk menghindari posisinya semula, ikan-ikan tersebut akan
menyebar ke arah horisontal (Gunarso, 1985).
Ada jenis ikan yang bersifat fototaxis positif, yaitu bahwa ikan akan bergerak ke arah sumber
cahaya karena rasa tertariknya, sebaliknya beberapa jenis ikan bersifat fototaxis negatif
yang memberikan respon dan tindakan yang sebaliknya dengan yang bersifat fototaxis
positif. Karena adanya sifat fototaxis positif ini, maka ada beberapa jenis ikan ekonomis
penting yang dapat dipikat dengan cahaya buatan pada malam hari. Bagi beberapa ikan
bahwa adanya cahaya juga merupakan indikasi adanya makanan. Hasil pengamatan
menunjukkan bahwa ikan yang dalam keadaan lapar akan lebih mudah terpikat oleh adanya
cahaya daripada ikan yang dalam keadaan tidak lapar. Bahkan adakalanya ikan-ikan
tersebut akan muncul ke permukaan, ke arah cahaya dengan tiba-tiba walaupun mungkin
setelah selang beberapa menit ikan akan menyebar dan meninggalkan tempat tersebut.
Respon ikan muda terhadap rangsangan cahaya adalah lebih besar daripada respon ikan
dewasa dan setiap jenis ikan mempunyai intensitas cahaya optimum dalam melakukan
aktifitasnya (Gunarso, 1985).
Daerah penerangan dimana ikan memberikan respon terhadap cahaya disebut daerah
phototaxis. Di luar batas daerah phototaxis ini respon ikan terhadap cahaya tidak ada,
karena kuat penerangannya sudah lemah. Semakin besar daerah phototaxis ini semakin
banyak ikan yang terkumpul dan semakin banyak pula ikan yang tertangkap dekat dengan
sumber cahaya (Fridman, 1969).
Terdapat keseimbangan batas intensitas tertentu untuk suatu jenis ikan terhadap intensitas
cahaya yang ada. Jenis ikan teri memiliki variasi yang jelas tentang pergerakan renang ikan
di kedalaman tertentu pada waktu siang hari. Jenis ikan ini akan berenang atau berada lebih
dekat ke permukaan pada waktu pagi dan sore hari bila dibandingkan pada saat tengah hari.
Diantara berbagai jenis ikan yang benar-benar phototaxis positif antara lain adalah jenis
sardinella, layang, selar dan ikan herring muda (Gunarso, 1985).
Richardson (1952) dalam Laevastu dan Hella (1970), menyatakan bahwa salah satu jenis
ikan sardin yang dikenal sebagai ikan Pilchard dapat dipikat dengan menggunakan cahaya
lampu pada waktu malam hari. Selain itu, kedalaman kelompok ikan herring dapat juga
ditentukan berdasarkan intensitas cahaya. Ikan herring dewasa tidak bersifat phototaxis
positif karena ikan tersebut lebih menyukai daerah yang berintensitas cahaya rendah. Namun
demikian, ikan ini dapat juga tertarik pada cahaya buatan pada waktu malam bila saja
cahaya yang dipakai tidak begitu kuat.
Pada umumnya ikan pelagis akan muncul ke lapisan permukaan sebelum matahari terbenam
dan biasanya ikan-ikan tersebut akan membentuk kelompok. Sesudah matahari terbenam,
ikan-ikan tersebut menyebar ke dalam kolom air dan mencari lapisan yang lebih dalam,
sedangkan ikan demersal biasanya menyebar ke dalam kolom air selama malam hari.
Dengan mengetahui ruaya ikan secara vertikal harian suatu jenis ikan, maka waktu untuk
melakukan pengoperasian alat penangkapan dapat ditentukan. Selain itu kemungkinan
berhasilnya penangkapan dengan bantuan sinar lampu akan lebih besar. Penangkapan
dengan bantuan lampu akan lebih efektif sebelum tengah malam dan hal ini menunjukkan
adanya kecenderungan bahwa fototaxis yang maksimal bagi ikan adalah pada waktu-waktu
tersebut (Laevastu dan Hella, 1970).
Cahaya yang masuk ke dalam air laut akan mengalami refraction atau pembiasan,
penyerapan (absorption), penyebaran (scattering), pemantulan (reflection) dan lain-lain
(Ayodhyoa, 1981). Cahaya lebih jelas terlihat pada keadaan air yang jernih daripada air
yang telah menjadi keruh dan meyebabkan cahaya menjadi melemah atau bahkan hilang
sama sekali. Pengukuran cahaya dapat digambarkan sebagai berikut:
E = F / A , E = I / R2
Dimana kuat penerangan E (lux) sebanding dengan Intensitas Cahaya I (candela ) dan
berbanding terbalik dengan radius penerangan (meter). Kuat penerangan berkurang dengan
bertambahnya kuadrat jarak sumber cahaya dan intensitas cahaya berkurang dengan cepat
dari jarak sumber cahaya pada medium yang berbeda. Kuat penerangan ini erat hubungan
dengan tingkat sensitifitas penglihatan ikan, dengan kata lain bahwa berkurangnya derajat
penerangan akan menyebabkan berkurangnya jarak penglihatan ikan. Jadi dengan
berkurangnya kekuatan penerangan beberapa puluh lux saja, maka jarak penglihatan ikan
terhadap objek akan menurun pula. Jarak penglihatan ikan juga tergantung pada ukuran
objek itu sendiri (Fridman, 1969).
I. Pendahuluan
Cahaya merupakan sejenis energi berbentuk gelombang elekromagnetik yang bisa dilihat
dengan mata. Cahaya juga merupakan dasar ukuran meter: 1 meter adalah jarak yang dilalui
cahaya melalui vakum pada 1/299,792,458 detik. Kecepatan cahaya adalah 299,792,458
meter per detik.
Sifat-sifat cahaya :
– Dapat dilihat oleh mata
– transversal
– Merambat menurut garis lurus
– Memiliki energi
– Dipancarkan dalam bentuk radiasi
– Dapat mengalami pantulan, pembiasan, interfensi, difraksi (lenturan), dan polarisasi
(terserap sebagian arah getarnya).
II. Penggunaan Cahaya Sebagai Alat Bantu Dalam Usaha Penangkapan Ikan
a. Obor
Obor dibuat dari bambu yang kemudian diisi dengan minyak tanah dan diberi sumbu pada
bagian ujung atasnya. Dahulu alat ini banyak digunakan untuk penangkapan di Selat Bali.
namun sekarang penggunaannya sulit ditemukan lagi.
b. Lampu Petromaks
Lampu petromaks umumnya memiliki kekuatan cahaya 200 lilin atau sekitar 200 watt. Di
daerah Indonesia bagian timur penggunaan petromaks jenis kedua biasa dilakukan untuk
melakukan penangkapan ikan di pinggiran pantai dengan cara menombak.
c. Lampu Listrik
Meskipun pemakaian lampu yang bersumber dari tenaga listrik ini lebih mudah, efektif dan
efisien, sebab penempatannya dapat diatur sesuai dengan keinginan, namun penggunaan
lampu listrik bagi nelayan kecil di Indonesia masih sangat terbatas.
Dilihat dari tempat penggunaannya dapat dibedakan antara lain lampu yang dipergunakan di
atas permukaan air dan lampu yang dipergunakan di dalam air.
Struktur lampu di dalam air sangat berbeda dengan lampu-lampu biasa yang digunakan di
atas permukaan air. Penetrasi cahaya pada perairan sangat bergantung sekali terhadap kondisi
perairan itu sendiri dan yang paling menentukan adalah warna laut dan tingkat transparansi
air. Warna laut dalam hal ini berhubungan dengan jenis warna lampu yang dipancarkan dari
lampu itu sendiri. Semakin besar tingkat transparansi perairan semakin besar pula tingkat
kedalaman penetrasi sumber cahaya. Hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa warna
cahaya yang baik digunakan pada light fishing adalah biru, kuning dan merah (Sudirman dan
Mallawa, 2004).
Persyaratan utama dalam penggunaan cahaya lampu sebagai alat bantu penangkapan adalah
kondisi lingkungan yang mendukung sehingga peran dan fungsi cahaya menjadi lebih efisien.
Kondisi lingkungan yang baik adalah cahaya lampu yang digunakan pada malam yang gelap.
Fase bulan menjadi faktor yang menentukan gelap dan terangnya bulan. Light fishing hanya
akan efektif dilaksanakan pada bulan gelap, dengan demikian cahaya lampu tidak dapat
dioperasikan pada siang hari. Pada saat bulan terang penggunaan cahaya sebagai alat bantu
penangkapan menjadi sangat tidak efektif. Akibat adanya cahaya lain yang turut
mempengaruhi behavior dari ikan-ikan di perairan.
b. Syarat Penangkapan
Selain faktor-faktor lingkungan diatas, ada beberapa syarat lain yang menentukan
keberhasilan suatu operasi penangkapan. Beberapa syarat yang perlu diperhatikan antara lain
:
1) Cahaya yang akan digunakan harus tepat untuk jenis ikan yang akan ditangkap dengan
mengetahui behavior dari ikan-ikan yang hendak ditangkap terhadap jenis cahaya.
2) Cahaya yang digunakan juga harus mampu menarik ikan pada jarak yang jauh baik
vertikal maupun horisontal, untuk syarat ini biasa digunakan cahaya berwarna biru atau hijau.
3) Ikan-ikan diusahakan untuk berkumpul pada area penangkapan tertentu.
4) Waktu yang tepat untuk menentukan mulai penangkapan terhadap ikan-ikan yang telah
berkumpul, setelah ikan mulai berkumpul diusahakan ikan tetap tenang berada pada area
penangkapan sampai batas waktu tertentu sebelum dilakukan penangkapan, untuk itu
diusahakan agar ikan tidak melarikan diri atau menyebar.
c. Syarat Biologi
Dalam hubungannya dengan keberhasilan operasi penangkapan dengan menggunakan
cahaya, perlu kiranya diketahui kebiasaan dari ikan-ikan yang akan ditangkap. Salah satu
kebiasan ikan yang perlu diperhatikan dalam penangkapan adalah ruaya vertikal harian ikan
tersebut. Berdasarkan ruaya vertikal hariannya, ikan dan hewan laut lainnya dapat dibagi atas
6 kelompok, yaitu :
1) Jenis ikan pelagis yang muncul sedikit diatas termoklin pada siang hari.
2) Jenis ikan pelagis yang muncul dibawah termoklin pada waktu siang hari.
3) Jenis ikan pelagis yang muncul dibawah termoklin selama waktu sore hari
4) Jenis ikan dasar (demersal fish) berada dekat dasar perairan pada waktu siang hari,
beruaya dan menyebar di bawah termoklin, terkadang berada diatas termoklin pada sore hari
kemudian turun ke dasar atau lapisan yang lebih dalam pada waktu pagi hari.
5) Jenis-jenis ikan yang menyebar melalui kolom air selama siang hari, sedangkan pada
waktu malam ikan tersebut akan turun ke dasar perairan.
6) Jenis ikan pelagis maupun demersal yang tidak memiliki migrasi harian yang jelas.
Oleh :
MUSLIM TADJUDDAH
BAB I PENDAHULUAN
Indonesia memiliki wilayah perairan yang luas, yaitu sekitar 3,1 juta km² wilayah perairan
territorial dan 2,7 juta km² wilayah perairan zona ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia.
Wilayah Perairan Indonesia memiliki potensi sumberdaya ikan yang sangat besar,
diperkirakan sebesar 6,41 juta ton per tahun. Potensi tersebut terdiri atas ikan pelagis besar
1,17 juta ton, pelagis kecil 3,61 juta ton, ikan demersal 1,37 juta ton, ikan karang 145,25 ribu
ton, udang penaeid 94,80 ribu ton, lobster 4,80 ribu ton dan cumi-cumi 28,25 ribu ton.
Jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB) adalah 80 % dan potensi lestari atau sekitar
5,12 juta ton per tahun (PRPT,2001)
Menurut Brant (1984) light fishing atau penangkapan ikan dengan cahaya adalah
suatu bentuk dari umpan yang berhubungan dengan mata (optical bait) yang digunakan
untuk menarik dan untuk mengumpulkan ikan. Light fishing oleh Brant (1984) diklasifikasikan
ke dalam kelompok attracting concentrating and fringhting fish, karena dalam hal ini cahaya
digunakan untuk mengumpulkan (concentrating) ikan pada suatu daerah tertentu sehingga
mudah untuk dilakukan operasi penangkapan.
Pada awalnya penggunaan cahaya (lampu) untuk penangkapan ikan di Indonesia
belum diketahui secara pasti siapa yang memperkenalkannya. Namun yang jelas sekitar
tahun 1950an di pusat-pusat perikanan Indonesia Timur, dimana usaha penangkapan
cakalang dengan pole and line marak dilakukan, penggunaan cahaya (lampu) untuk
penangkapan ikan telah dikenal secara luas. Penggunaan cahaya listrik dalam skala
industri penangkapan ikan pertama kali dilakukan di Jepang pada tahun 1900 untuk menarik
perhatian berbagai jenis ikan, kemudian berkembang dengan pesat setelah Perang Dunia II.
Di Norwegia penggunaan lampu berkembang sejak tahun 1930 dan di Uni Soviet baru mulai
digunakan pada tahun 1948 (Nikonorov, 1975)
1. Peristiwa langsung, yaitu ikan tertarik oleh cahaya lalu berkumpul. Ini tentu berhubungan
langsung dengan peristiwa fototaksis, seperti pada jenis-jenis sardinella,kembung dan
layang.
2. Peristiwa tidak langsung, yaitu karena ada cahaya maka plankton, ikan-ikan kecil dan
lain-lain sebagainya berkumpul, lalu ikan yang dimaksud datang berkumpul dengan
tujuan mencari makan (feeding). Beberapa jenis ikan yang termasuk dalam kategori ini
seperti ikan tenggiri, selar dan lain-lain
Selain dua kelompok diatas terdapat ikan yang tertarik pada cahaya sebagai hasil dari
reflex defensive ikan terhadap predator. Hal ini terjadi berkaitan dengan pembentukan
schoollng dan kemampuan penglihatan pada ikan. Ikan pada umumnya akan membentuk
schooling pada saat terang dan menyebar saat gelap. Dalam keadaan tersebar ikan akan
lebih mudah dimangsa predator dibandingkan saat berkelompok. Adanya pengaruh cahaya
buatan pada malam hari akan menarik ikan ke daerah iluminasi, sehingga memungkinkan
mereka membentuk schooling dan lebih aman dan incãran predator. Ikan yang tergolong
fototaksis positif akan memberikan respon dengan mendekati sumber cahaya, sedangkan
ikan yang bersifat fototaksis negatif akan bergerak menjauh.
B. Persoalan-persoalan biologi
1. Jenis cahaya yang disenangi ikan : berapa besar atau volume rangsangan
(stimuli) yang harus diberikan, supaya ikan terkumpul dan tidak berusaha untuk
melarikan diri dalam suatu jangka waktu tertentu. Tidaklah dikehendaki,
sehubungan dengan berjalannya waktu, pengaruh rangsangan ini akan lenyap,
karena ikan menjadi terbiasa (accustomed).
Agar cahaya dalam kegiatan light fishing dapat memberikan daya guna yang
maksimal, diperlukan syarat-syarat antara lain sebagai berikut: (1) Mampu mengumpulkan
ikan-ikan yang berada pada jarak yang jauh (horizontal maupun vertikal)
(2) Ikan-ikan tersebut hendaklah berkumpul ke sekitar sumber cahaya, di mana mungkin
akan tertangkap (catchable area).(3) Setelah ikan berkumpul, hendaklah ikan-ikan tersebut
tetap senang berada di sana pada suatu jangka waktu tertentu (minimum sampai saat alat
tangkap mulai beroperasi atau diangkat). (4) Sekali ikan berkumpul disekitar sumber
cahaya hendaklah ikan-ikan tersebut jangan melarikan diri ataupun menyebarkan diri
(escape, disperse).Perikanan Light fishing seperti terlihat pada gambar 3.
Faktor yang cukup krusial dalam kegiatan light fishing adalah kekuatan dari cahaya
lampu yang digunakan, dimana keberadaan cahaya lampu sendiri yang masuk atau
menembus perairan akan dipengaruhi kondisi cuaca saat penangkapan (gelap atau terang).
Selanjutnya Verheyen (1959) mengemukakan bahwa mekanisme tertariknya ikan pada
cahaya belum diketahui dengan jelas, namun diduga berkumpulnya ikan-ikan disebabkan
oleh keinginan mencari intensitas cahaya yang sesuai.
1. Kajian tentang cahaya lampu dalam kegiatan light fishing sebagai suatu sumber
3. Hubungan yang ada antara jumlah terang yang terjadi dalam perairan (light intensity,
brightness, lux) akibat penyinaran lampu dalam kegiatan penangkapan dan ikan-ikan
yang berkumpul. Ikan-ikan ini hendaklah berada dalam keadaan alamiahnya dan
hubungan tersebut hendaklah dapat diungkapkan dengan suatu satuan (unit) (besar
attracting intensity, besar intimidation effect, besar stimulus, dan lain-lain sebagainya).
4. Pola pergerakan ikan terhadap cahaya dalam aktivitas light fishing, serta motivasi ikan
berada disekitar cahaya tersebut.
Adapun di beberapa negara lain, misalnya Norwegia, cahaya sudah digunakan sejak
tahun 1885, tetapi untuk perikanan komersial baru digunakan sejak tahun 1930, di Filipina
lampu tekan kerosene yang berkekuatan 150-500 candela sudah diperkenalkan pada tahun
1924 dan lampu generator listrik (8-16 kW) dipakai pada pertengahan tahun 1950-an, di
Mediterania operator penangkapan ikan bangsa Yunani memperkenalkan jenis alat tangkap
purse seine dengan cahaya pada tahun 1954 dan di beberapa negara Pantai Afrika Barat
penggunaan cahaya sudah dilakukan sejak tahun 1963 (Yami, 1987). Sedangkan Soviet
telah melakukan penyelidikan penangkapan ikan dengan cahaya dimulai di Atlantik (1957)
dengan suatu ekspedisi yang dipimpin oleh kapal trawl Kazan, dan di dalam ekspedisi
tersebut diketahui adanya reaksi yang positif dari ikan terhadap cahaya yang diamati di
Pantai Atlantik Afrika dengan hasil tangkapan yang pertama adalah Jenis Ikan Sardinella
Kini semakin banyak masyarakat yang menggunakan lampu listrik dengan intensitas
yang tinggi dalam upaya penangkapan. Lampu listrik selain lebih efektif juga memiliki lebih
banyak keunggulan dibandingkan lampu lainnya. Lampu listik dapat ditempatkan pada
berbagai posisi di atas kapal maupun di perairan, memiliki daya iluminasi yang tetap dan
tidak terganggu oleh keadaan lingkungan seperti angin atau hujan. Dalam
perkembangannya beberapa sumber cahaya yang digunakan sebagal alat bantu
penangkapan di Indonesia antara lain:
A.Obor
Obor dibuat dari bambu yang kemudian diisi dengan minyak tanah dan diberi sumbu
pada bagian ujung atasnya. Pada waktu operasi penangkapanq obor ditempatkan pada sisi
perahu sedemikian rupa sehingga pancaran cahayanya dapat menerangi permukaan air.
Penggunaan alat ini memiliki beberapa kelemahan yaitu cahayanya mudah berubah oleh
tiupan angin dan bila turun hujan alat ini tidak dapat digunakan. Dahulu alat ini banyak
digunakan untuk penangkapan di Selat Bali. namun sekarang penggunaannya sulit
ditemukan
lagi.
B.Lampu.Petromaks
Lampu petromaks umumnya memiliki kekuatan cahaya 200 lilin atau sekitar 200 watt.
Terdapat dua jenis lampu yang digunakan oleh nelayan yaitu lampu petromaks dengan bola
gelas yang berada pada bagian bawah dan tabung lampu yang berada di atas, sedangkan
yang satu lagi adalah petromaks dengan tabung minyak pada bagian bawah dan lampu
berupa kaos lampu pada bagian atas. Di daerah Indonesia bagian timur penggunaan
petromaks jenis kedua biasa dilakukan untuk melakukan penangkapan ikan di pinggiran
pantai dengan cara menombak. Spesifikasi cahaya lampu petromaks umumnya dipengaruhi
oleh cahaya bulan. Oleh karena itu, biasanya lampu petromaks tidak efisien jika digunakan
pada saat terang bulan (purnama). Keadaan ini disebabkan karena pada kondisi demikian
ikan-ikan akan cenderung menyebar di dalam kolom air dan tidak naik ke atas permukaan
air. Pada saat terang bulan umumnya nelayan-nelayan yang menggunakan atraktor lampu
sebagai alat penarik ikan, tidak melakukan operasi penangkapan ikan (Gunarso, 1985).
C.Lampu.Listrik
Meskipun pemakaian lampu yang bersumber dari tenaga listrik ini lebih
mudah, efektif dan efisien, sebab penempatannya dapat diatur sesuai dengan keinginan,
namun penggunaan lampu listrik bagi nelayan kecil di Indonesia masih sangat terbatas. Hal
ini karena dibutuhkan biaya yang cukup besar dalam pemakaiannya. Di beberapa negara
seperti Jepang dan Norwegia penggunaan alat ini mulai berkembang setelah perang dunia
II. Penggunaan cahaya sebagai alat bantu penangkapan di Indonesia dewasa ini hampir
merata di seluruh wilayah. Di Indonesia nelayan tradisional lebih banyak menggunakan
lampu strongking dan petromaks dalam operasi penangkapan, sedangkan lampu listrik lebih
sering digunakan oleh kapal-kapal penangkapan yang lebih modern. Pada usaha
penangkapan cakalang di Indonesia bagian timur, cahaya digunakan untuk menangkap
umpan hidup (life bait fish).
d. Persyaratan Daerah Penangkapan Ikan Buatan dengan Alat bantu
Cahaya
A. Syarat Lingkungan
Selain dari fase bulan keadaan keadaan tingkat kekeruhan dalam perairan juga akan
mengurangi daya tembus cahaya di perairan pada akhirnya hal ini mempengaruhi efisiensi
penggunaan cahaya. Dalam keadaan cuaca yang baik dan arus laut yang tidak terlalu
kencang, operasi penangkapan dengan menggunakan lampu akan memberikan pengaruh
positif terhadap hasil tangkapan. Arus yang terlampau kencang akan mempengaruhi posisi
alat tangkap di dalam air.
B. Syarat Penangkapan
Selain faktor-faktor lingkungan diatas, ada beberapa syarat lain yang menentukan
keberhasilan suatu operasi penangkapan. Beberapa syarat yang perlu diperhatikan antara
lain :
1.) Cahaya yang akan digunakan harus tepat untuk jenis ikan yang akan ditangkap
dengan mengetahui behavior dari ikan-ikan yang hendak ditangkap terhadap jenis
cahaya.
2.) Cahaya yang digunakan juga harus mampu menarik ikan pada jarak yang jauh baik
vertikal maupun horisontal, untuk syarat ini biasa digunakan cahaya berwarna biru
atau hijau.
4.) Waktu yang tepat untuk menentukan mulai penangkapan terhadap ikan-ikan yang
telah berkumpul, setelah ikan mulai berkumpul diusahakan ikan tetap tenang berada
pada area penangkapan sampai batas waktu tertentu sebelum dilakukan
penangkapan, untuk itu diusahakan agar ikan tidak melarikan diri atau menyebar.
C. Syarat Biologi
1.) Jenis ikan pelagis yang muncul sedikit diatas termoklin pada siang hari.
Jenis ikan ini akan beruaya ke lapisan permukaan pada sore hari,
sedangkan saat malam hari, akan menyebar pada lapisan antara
permukaan dan termoklin. Kemudian pada pagi harinya ikan akan
menghindar dari lapisan diatas termoklin tersebut
2.) Jenis ikan pelagis yang muncul dibawah termoklin pada waktu siang
hari. Ikan ini beruaya melalui lapisan termoklin ke lapisan permukaan
pada sore hari lalu menyebar pada lapisan antara permukaan dengan
dasar perairan selama malam hari, dan sebagian besar dari ikan tersebut
berada diatas termoklin. Pada waktu matahari terbit ikan akan turun ke
lapisan yang lebih dalam.
3.) Jenis ikan pelagis yang muncul dibawah termoklin selama waktu sore
hari. Malam hari ikan tersebut akan menyebar antara lapisan termoklin
dan dasar perairan, bahkan mungkin turun ke lapisan yang lebih dalam
pada waktu terbit matahari.
4.) Jenis ikan dasar (demersal fish) berada dekat dasar perairan pada
waktu siang hari, beruaya dan menyebar di bawah termoklin, terkadang
berada diatas termoklin pada sore hari kemudian turun ke dasar atau
lapisan yang lebih dalam pada waktu pagi hari.
5.) Jenis-jenis ikan yang menyebar melalui kolom air selama siang hari,
sedangkan pada waktu malam ikan tersebut akan turun ke dasar perairan
6.) Jenis ikan pelagis maupun demersal yang tidak memiliki migrasi harian
yang jelas.
Pada umumya ikan pelagis akan naik ke lapisan permukaan sebelum matahari
terbenam dan akan membentuk kelompok yang besar. Sesudah matahari terbenam ikan-
ikan tersebut menyebar ke kolom air dan mencari lapisan air yang lebih dalam pada siang
hari. Ikan-ikan demersal biasanya menyebar ke dalam kolom air selama malam hari,
Dengan mengetahui pola kebiasaan harian ikan, akan memudahkan menentukan waktu dan
alat yang tepat sehingga keberhasilan penangkapan menjadi lebih besar.
a. Definisi Rumpon
Rumpon atau Fish Aggregating Device (FAD) adalah salah satu jenis alat bantu
penangkapan ikan yang dipasang dilaut, baik laut dangkal maupun laut dalam. Pemasangan
tersebut dimaksudkan untuk menarik gerombolan ikan agar berkumpul disekitar rumpon,
sehingga ikan mudah untuk ditangkap.
Menurut Naamin dan Kee-Cahi Chong (1987), pada awal penggunaan rumpon laut
dalam di Sorong antara tahun 1985 sampai 1986, ternyata dapat meningkatkan hasil
tangkapan total sebesar 105% dan hasil tangkapan per satuan upaya sebesar 142%.
meningkatkan pendapatan pemilik rumpon sebesar 367%, mengurangi pemakaian bahan
bakar minyak untuk kapal sebesar 64,3% serta mengurangi pemakalan umpan hidup
sebesar 50%. Namun dengan bertambahnya penggunaan rumpon maka terlihat
kecenderungan menurunnya hasil tangkapan per satuan upaya (CPUE).
a. Sejarah Rumpon (FAD) di Indonesia
Rumpon telah lama dikenal di Indonesia, terutama di daerah Sulawesi Selatan yang
dikenal sebagai ‘rompong mandar”. Didaerah Indonesia Bagian Timur lain seperti di Sorong,
Fakfak. Maluku Utara, Teluk Tomini, Laut Sulawesi, Sulawesi Tenggara berkembang
dengan alat tangkap pancing huhate (pole and line) dan pancing ulur (handline) rumpon
jenis ini biasanya dipasang di perairan laut dalam untuk menangkap ikan-ikan pelagis besar.
Sedangkan rumpon laut dangkal berkembang penggunaannya di perairan Selat Malaka dan
Laut Jawa dengan alat tangkap purse seine mini.
Teknologi rumpon laut dalam baru dikembangkan di Indonesia sekitar tahun 1985
untuk penangkapan ikan pelagis besar. Metode pemasangan dan dua jenis rumpon tersebut
hampir sama dan perbedaannya hanya pada daerah pemasangan serta bahan yang
digunakan. Pada rumpon laut dangkal digunakan dari alam seperti bambu, rotan. daun
kelapa dan batu kali.Sebaliknya pada rumpon laut dalam sebagian besar dari bahan seperti
bahan sintetis, plat besi, ban bekas, tali baja, tali nylon dan semen
Secara garis besar rumpon menurut Preston (1982) adalah tersusun dan tiga bagian
utama yang terdiri dan attraktor, mooring line dan pemberat. Konstruksi rumpon, terdiri dan
komponen-komponen yang sama bila dilihat berdasarkan fungsinya seperti pelampung, alat
pengumpul ikan, tali-temali dan pemberat. tetapi untuk rumpon-rumpon yang dipergunakan
oleh nelayan diberbagai lokasi di Indonesia mempunyai perbedaan bila dilihat dan material
masing-masing komponen konstruksi rumpon tersebut.
1. Pelampung,
– Mempunyai kemampuan mengapung yang cukup baik (bagian yang mengapung di
atas air 1/3 bagian)
– Konstruksi cukup kuat
– Tahan terhadap gelombang dan air
– Mudah dikenali dari jarak jauh
– Bahan pembuatnya mudah didapat;
3. Tali-temali,
– Terbuat dan bahan yang kuat dan tidak mudah busuk
– Harganya relatif murah mempunyai daya apung yang cukup untuk mencegah
gesekan terhadap benda-benda lainnya dan terhadap arus
– Tidak bersimpul (less knot);
4. Pemberat,
– Bahannya murah, kuat dan mudah diperoleh
– Massa jenisnya besar, permukaannva tidak licin dan dapat mencengkeram.
Daya tahan rumpon yang dipasang di laut sangat bervariasi tergantung jenis material
dari masing-masing komponen serta kondisi dan kedalaman perairan dimana rumpon
tersebut dipasang. Tim Pengkajian Rumpon IPB (1987) mengemukakan bahwa berdasarkan
hasil evaluasi rumpon yang dipasang PT. Usaha Mina di Perairan Utara Irian Jaya dan di
perairan Maluku utara dapat disimpulkan bahwa rumpon yang dipasang pada kedaan 600-
1000 m dapat bertahan antara 10-17 bulan
Rumpon sebagai alat bantu penangkapan dipasang di tengah laut. Oleh sebab itu
agar rumpon dapat berfungsi dengan dengan baik sesuai dengan tujuannya. maka dalam
pemasangannya diperlukan adanya informasi tentang kedalaman, kecerahan air. arus.
suhu, salinitas dan keadaan topografi dan dasar perairan dimana rumpon akan dipasang.
Informasi dasar tersebut sangat diperlukan untuk diketahui agar dalam pemasangan rumpon
benar-benar tepat pada perairan yang diharapkan dan menghindari rumpon putus.
Pemasangan rumpon harus pula memperhatikan aspek biologis dan ikan yang menjadi
sasaran penangkapan. Hal ini bertujuan agar rumpon yang dipasang benar-benar pada
perairan yang subur dan banyak ikannya.
Di samping kelima teori di atas Gooding dan Magnuson (1967) melaporkan bahwa
rumpon merupakan tempat stasiun pembersih (cleaning place) bagi ikan ikan tertentu.
Dikemukakan bahwa dolphin dewasa umumnya akan mendekati bagian bawah floating
objects dan menggesekkan badannya. Breder (1949) juga mendukung hal ini dimana
kadang-kadang dolphin mendekati ikan lain untuk membersihkan badannya. Tingkah laku
ini sesuai dengan tingkah laku dan famili coryphaenids yang memindahkan parasit atau
menghilangkan iritasi kulit dengan cara menggesekkannya. Freon dan Dagom (2000)
menambahkan teori tentang rumpon sebagai tempat berasosiasi (association place) bagi
jenis ikan-ikan tertentu.
Rumpon yang dipasang. pada suatu perairan akan dimanfaatkan oleh kelompok ikan
tertentu sebagai tempat berlindung dan serangan predator. Kelompok jenis ini akan
berenang-renang dengan mengusahakan agar posisi tubuh selalu membelakangi bangunan
rumpon. Selain sebagai tempat berlindung, rumpon diibaratkan sebagai pohon yang tumbuh
di padang pasir yang merupakan wadah pemikat kelompok ikan (Subani, 1972).
Ikan berkumpul di sekitar rumpon untuk mencari makan. Menurut Soemarto (1962)
dalam area rumpon terdapat plankton yang merupakan makanan ikan yang lebih banyak
dibandingkan di luar rumpon. Diterangkan juga oleh Soemarto (1962) bahwa perairan yang
banyak planktonnya akan menarik ikan untuk mendekat dan memakannya.
Subani (1972) mengemukakan bahwa ikan-ikan yang berkumpul disekitar
rumpon menggunakan rumpon sebagai tempat berlindung juga untuk mencari makan dalam
arti luas tetapi tidak memakan daun-daun rumpon tersebut.
d. Permasalahan Rumpon
Isu nasional konflik antara kelompok nelayan payang dengan kelompok nelayan
rumpon sudah berlangsung sekitar tahun 2002, sejak diperkenalkannya rumpon kepada
para nelayan di sekitar Teluk Palabuhan ratu. Pada saat itu di perairan Teluk Palabuhan ratu
dibangun 5 unit rumpon yang pengelolaan dan pemanfaatannya diserahkan kepada
kelompok nelayan pancing. Namun karena penempatan rumpon tersebut dianggap telah
mengganggu jalur penangkapan ikan nelayan jaring, terutama nelayan payang dan gillnet
maka keberadaan rumpon tersebut hanya bertahan selama 6 bulan. Menurut pengakuan
nelayan jaring kepada pihak Dinas Kelautan Dan Perikanan keberadaan rumpon tersebut
telah menyebabkan jaring mengalami kerusakan akibat tersangut pada rumpon. Dan
akhirnya para nelayan jaring tersebut “menebas” habis rumpon yang ada di sekitar perairan
Teluk Palabuhan ratu tersebut.
Pada tahun 2005 Yayasan Anak Nelayan Indonesia (YANI) kembali memasang
rumpon 2 unit di perairan Teluk Palabuhan ratu, akan tetapi letaknya berada di luar teluk.
Hal ini dimaksudkan selain untuk menghindari konflik dengan nelayan jaring juga untuk
“menargetkan” sumberdaya ikan yang ada di perairan Samudera Hindia. Namun demikian
ternyata keberadaan rumpon milik YANI tersebut juga di protes oleh para nelayan jaring
karena dianggap telah turut memperburuk hasil tangkapan nelayan jaring. Menurut aparat
Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sukabumi konflik ini disebabkan karena adanya
salah pemahaman dari kelompok nelayan jaring, khususnya nelayan payang yang
beranggapan bahwa penurunan produksi penangkapan perahu payang akibat dari
keberadaan rumpon di luar teluk. Sehingga ikan-ikan yang seharusnya beruaya ke dalam
teluk tertahan di rumpon yang ada di luar tersebut. Akhirnya pada akhir tahun 2005 sampai
triwulan pertama tahun 2006 Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sukabumi
melakukan sosialisasi rumpon kepada seluruh nelayan di Teluk Palabuhan ratu. Hal ini
dimaksudkan selain untuk menghindari kesalahpahaman juga untuk memberikan
pemahaman kepada para nelayan agar mempu memanfaatkan rumpun guna mengefetifkan
pencarian ikan dan meningkatkan produksi penangkapan.
Pada tahun 2006 Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sukabumi kembali
memasang rumpon di dalam teluk sebanyak 4 unit guna memperpendek jarak jangkauan
dan supaya dapat dimanfaatkan oleh perahu yang kecil sedangkan diluar teluk sebanyak 6
unit dari Anggaran Pembangunan Belanja Negara Propinsi (APBNP) Jawa Barat 1 Unit.
Pengelolaan sepuluh rumpon tersebut diserahkan kepada sepuluh kelompok pengelola
rumpon. Pembagian sepuluh pengelola tersebut tidak hanya didominasi oleh nelayan
pancing, tetapi juga melibatkan kelompok nelayan payang dan beleketek. Kesepuluh
kelompok tersebut membentuk sebuah forum pengelola rumpon yang diberi nama
Perkumpulan Nelayan Bahtera.
Namun demikian, pemasangan rumpon tersebut saat ini masih menyisakan konflik
dilapangan. Menurut sebagian besar nelayan payang menyatakan bahwa konflik tersebut
lebih disebabkan tidak dilibatkannya seluruh nelayan payang dan bagan dalam
pembangunan rumpon di perairan Teluk Palabuhan ratu. Sehingga masih ada dari para
nelayan yang tidak menerima keberadaan rumpon di Teluk Palabuhan ratu. Misalnya
penebasan jangkar rumpon oleh nelayan payang pada pertengahan tahun 2006 yang
menyebabkan tiga unit rumpon di dalam Teluk Palabuhanratu hilang terbawa arus. Selain itu
juga menurut Ketua Kelompok Nelayan Pancing Karang Deet Kecamatan Pelabuhan ratu
yang mengelola rumpon di sekitar perairan Sukawayana, kelompoknya terpaksa
memindahkan rumpon yang dikelolanya ke lokasi lain karena rumpon tersebut dijadikan
tempat bersandarnya bagan apung milik nelayan bagan.
Kekhawatiran pengusaha ikan tuna tersebut sangat beralasan, karena sampai saat
ini pemasangan rumpon di perairan Indonesia tidak dibarengi dengan sistem kelembagaan
yang kuat. Misalnya sampai saat ini belum ada aturan mengenai jenis dan ukuran ikan yang
boleh ditangkap oleh para nelayan rumpon, berapa jumlah ikan yang boleh ditangkap oleh
setiap kelompok nelayan rumpon, dan bagaimana tanggung jawab nelayan rumpon dalam
menjaga kelestarian sumberdaya ikan. Selama ini pemerintah hanya mengatur tentang
bagimana mendapatkan ijin pemasangan rumpon saja, tanpa dibarengi dengan beberapa
aturan (Suhana,2008)
Isu internasional tentang rumpon (FAD) sebagai alat bantu dalam penangkapan ikan
mengancam kelestarian sumberdaya ikan di perairan berkembang sejak Konferensi
Internasional tentang FAD di Martinique, Perancis pada tahun 1999. Tentu saja isu ini
berdasarkan pada Code of conduct for Responsible Fisheries yang dikeluarkan oleh FAO
pada tahun 1995. Hal ini dikarenakan alat tangkap purse seine yang berkembang dengan
pesat di Samudera Pasifik bagian Timur yang dioperasikan pada drifting fish aggregating
device menangkap ikan-ikan tuna berukuran kecil yang belum matang gonad. Terdapat pro
dan kontra tentang hal itu karena FAD merupakan alat bantu yang diyakini sangat efektif
dalam menangkap ikan dengan menggunakan alat tangkap purse seine, payang
dan.pancing.
Isu regional dan nasional tentang perkembangan penggunaan rumpon yang
pesat menimbulkan berbagai masalah diantaranya (Direktorat Jenderal Perikanan,1996):
(2) Lokasi pemasangan rumpon laut dalam tidak mencerminkan komposisi yang seimbang
antara kepentingan perikanan Industri (Philippina) yang menguasai
hampir seluruh kawasan ZEE Laut Sulawesi dan Pasifik, sedangkan BUMN dan
plasmanya terbatas di beberapa tempat perairan Maluku dan sebagian kecil di
Samudera Pasifik yaitu Utara Irian jaya dan Maluku
(3) Pemasangan rumpon oleh nelayan Philippina bahkan semakin cenderung tidak
terkontrol, walaupun pembatasannya sudah dilakukan oleh Direktorat jenderal
Perikanan, sehingga menimbulkan situasi padat rumpon yang menimbulkan keresahan
nelayan-nelayan pole and line di Sulawesi Utara dan Maluku karena rumpon tersebut
diduga telah menghalangi ruaya ikan dan Laut Sulawesi dan Pasifik yang menuju ke
perairan Maluku dan Laut Banda.
(4) Pemasangan rumpon laut dalam oleh perusahaan perikanan di lepas pantai Jawa Barat
dan lepas pantai Flores dan Timor telah menimbulkan gejolak sosial (konfik sosial)
karena telah mengganggu produktivitas nelayan setempat.
Untuk menanggulangi konflik baik secara internasional, regional dan nasional di atas
diperlukan peraturan-peraturan dalam skala nasional, regional maupun internasional.
Pemerintah Indonesia telah membuat beberapa peraturan secara nasional tentang rumpon
yaitu SK Mentan No. 51/Kpts/IK.250/1/97. Selain itu peraturan internasional tentang “Code
of Conduct for Responsible Fishing (CCRF)” (FAO, 1995) telah mulai disiapkan untuk
diimplementasikan, yang memuat beberapa aspek yaitu:
(5) Aspek praktek-praktek pasca panen dan perdagangan (Post-Harvest Practices and
Trade).
f. Pengelolaan Rumpon
(1) Teknologi pengumpulan ikan sebaiknya dikembangkan lebih jauh untuk memperbaiki
(2) Sistem manajemen alat pengumpul ikan sebaiknya mengemukakan tanggung jawab
otoritas yang berwenang dan pengguna untuk standar desain yang minimum, operasi
dan pemeliharaan alat pengumpul ikan tersebut.
(3) Otoritas yang berwenang juga sebaiknya menetapkan suatu sistem persetujuan untuk
penempatan alat pengumpul ikan dan memelihara dokumen pemilik. Dokumen harus
berisikan sebagai suatu persyaratan minimum :
a). tanda yang ditetapkan otoritas yang berwenang untuk identifikasi kepemilikan;
b). nama dan alamat pemilik;
c). tipe alat pengumpul ikan, dan
d). lokasi dan posisi geografis yang dialokasikan.
(4) Otoritas yang berwenang sebaiknya memastikan bahwa otorisasi menangkap ikan di
sekitar alat pengumpul ikan berisikan rincian metoda penangkapan yang digunakan dan
juga persyaratan untuk pelaporan hasil tangkapan.
(5) Alat pengumpul ikan, apakah dijangkar atau terapung, sebaiknya mempunyai alat-alat
untuk mengidentifikasi posisi alat pengumpul ikan pada siang dan malan hari.
(6) Otoritas yang berwenang juga sebaiknya menetapkan suatu sistem untuk pelaporan alat
pengumpul ikan yang hilang dan penemuan kembali alat pengumpul ikan yang dianggap
membahayakan navigasi.
Apabila dilihat dan tingkat pengusahaan sumberdaya perikanan pelagik besar yang
masih rendah maka peningkatan usaha penangkapan ikan masih sangat diperlukan.
Pengelolaan rumpon harus memperhatikan aspek-aspek biologi, lokasi lingkungan perairan,
alat penangkapan. sosial budaya dan ekonomi. Dalam pengelolaan ini harus pula
memperhatikan aspek legal yang menyangkut lokasi, jumlah, pemanfaatan dan izin
pemasangan dari instansi yang berwenang
a. Perairan 2 mil laut sampai dengan 4 mil laut, diukur dari garis pantai pada titik surut
terendah.
b. Perairan diatas 4 mil laut sampai dengan 12 mil laut, diukur dari garis pantai pada titik
surut terendah
d.Perorangan atau perusahaan berbadan hukum yang akan memasang rumpon wajib
terlebih dahulu memperoleh ijin.
a.
A. Apakah daerah tersebut tidak merupakan alur pelayaran atau kepentingan
lainnya seperti daerah suaka, atau daerah lainnya. Pemasangan rumpon
tidak boleh dilakukan pada daerah perairan tersebut.
B. Apakah daerah tersebut tidak merupakan konsentrasi penangkapan ikan
nelayan-nelayan yang tidak menggunakan rumpon, Rumpon tidak boleh
dipasang pada perairan tersebut.
C. Apakah daerah tersebut berbatasan dengan propinsi lain, untuk itu maka
Dinas Perikanan dan Kelautan dari domisili pemohon ijin rumpon ditujukan
kepada propinsi tersebut.
Sedangkan persyaratan jarak antar rumpon dapat dilihat pada Kepmentan Nomor
51/KPTS/IK.250/1/1997 tentang pemasangan dan pemanfaatan rumpon yaitu pada pasal 7
ayat b : Pemasangan rumpon di perairan dalam dengan syarat-syarat tidak boleh dipasang
dengan jarak pemasangan antara rumpon satu dengan rumpon lain kurang dari 10
(sepuluh) mil laut; dan ayat e :pemasangan rumpon tidak boleh dengan jarak kurang dari 12
mil laut diukur dari garis pasang surut terendah pada waktu air surut dari setiap pulau; atau
pada ayat f : rumpon tidak boleh dipasang dengan cara pemasangan yang mengakibatkan
efek pagar (zig-zag) yang mengancam kelestarian jenis ikan pelagis.
.
BAB IV. KESIMPULAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Alat bantu penangkapan diantaranya rumpon (FAD) dan cahaya lampu (Light
Fishing) digunakan dalam upaya optimalisasi hasil tangkapan.
2. Penggunaan rumpon (FAD) dan light fishing sebagai pembentuk daerah
penangkapan ikan buatan (Artificial fishing ground)
3. Rumpon (FAD) sebagai alat bantu dalam penangkapan ikan mengancam kelestarian
sumberdaya ikan maka diterbitkan Kepmen Kelautan dan Perikanan No. Kep
30/MEN/2004 tentang Pemasangan dan Pemanfaatan Rumpon
B. Saran
Nikonorov, I.V. 1975. Interaction of Fishing Gear With Fish Aggregations. Keter Publishing
House Jerisalem Ltd. Israel Program From Scientific
Translations, Jerusalem
Sulaiman.2006. Pendekatan Akustik dalam Studi Tingkah Laku Ikan pada proses
Penangkapan dengan Alat Bantu Cahaya.(Tidak di
Publikasikan,Thesis). Sekolah Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor. Bogor
Sudirman, 2003. Analisis Tingkah Laku Ikan untuk Mewujudkan teknologi Ramah
Lingkungan Dalam Proses Penangkapan pada bagan
Rambo (Tidak di Publikasikan.Disertasi) Program Pasca
sarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor