Anda di halaman 1dari 8

PENERAPAN HEALING ENVIRONMENT PADA PERANCANGAN

SEKOLAH DASAR LUAR BIASA BAGIAN TUNALARAS

Endhita Januar Bihastuti 1*, Ummul Mustaqimah2, Maya Andria Nirawati3


Program Studi Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Sebelas Maret1
Email: endhitajb@gmail.com*
Program Studi Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Sebelas Maret2
Program Studi Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Sebelas Maret3

Abstract
Children with emotional and behavioral disorders are one of kind children with special
education need. Education as a basic right of every child in Indonesia, especially children with
emotional and behaviour disorder, has not been fully realized, this is due to the lack of
awareness of parents and teachers. The earlier the children with emotional and behaviour
disorders are detected, the higher the expectation to recovery is, so special elementary school
for emotional and behaviour disorder facilities are essential. For designing a building that
maximizes space program and environmental atmosphere available with the type of needs and
program activities that take place, the healing environment is chosen as a design solution at the
planned school. Healing environment is related to the creation of an environment that affects
health by influencing action and interaction by applying the sensory, natural, and psychological
aspects. Aspects of the healing environment will be applied to the spatial, site, form and mass
arrangement, and landscape.

Keywords: Children with emotional and behaviour disorders,Healing environment,Education


facility Special elementary school

1. PENDAHULUAN kurang mampu menyesuaikan diri dengan


materi pembelajaran yang diajarkan. Biasanya
Anak tunalaras merupakan istilah yang dikenal
saat hal tersebut terjadi akan meningkatkan
dalam dunia pendidikan luar biasa untuk anak
hiper-aktivitas mereka, yaitu karakteristik
dengan gangguan emosi dan perilaku. Anak
emosional dan sosial yang menyimpang yang
tunalaras dibagi menjadi dua, yaitu anak
mengganggu jalannya pembelajaran (Aini
tunalaras aktif dan anak tunalaras pasif. Anak
Mahabbati, 2006). Anak tunalaras yang
tunalaras memiliki karakteristik yang kompleks
mengalami gangguan perilaku yang ringan
dan seringkali ciri-ciri perilakunya juga
masih dapat bersekolah di sekolah reguler,
dilakukan dilakukan oleh anak-anak sebaya
tetapi anak tunalaras dengan gangguan perilaku
lain. Orangtua dan guru pada umumnya
yang sedang dan berat membutuhkan layanan
menganggap perilaku tersebut wajar, hanya
khusus yang dikenal dengan Sekolah Luar
perlu untuk diberi label nakal dan
Biasa Anak Tunalaras (SLB-E) (Aini
memperingatkan teman-teman sebayanya
Mahabbati, 2006).
untuk berhati-hati bahkan menjauhinya. Pada
Di Indonesia, angka partisipasi anak
akhirnya, anak tunalaras mengalami kesulitan-
berkebutuhan khusus untuk sekolah masih
kesulitan perkembangan yang tidak
rendah. Angkanya masih 11% dari 1,5 juta
teridentifikasi, tidak teratasi dan semakin parah,
ABK anak usia sekolah berdasarkan data Badan
bahkan akan menjadi perilaku menetap hingga
Pusat Statistik 2015 (Suyatmi, 2016). Jadi, pada
mereka dewasa (Aini Mahabbati,2006).
dasarnya belum seluruhnya anak tunalaras
Anak tunalaras cenderung memiliki nilai
tertampung dalam pendidikan formal.
akademik yang rendah di sekolah reguler,
Penyebab rendahnya angka partisipasi anak
padahal kemampuan intelektual mereka
tunalaras di SLB-E karena kurangnya informasi
normal. Nilai akademik anak tunalaras yang
dan pengetahuan orang tua tentang tunalaras
rendah, disebabkan karena anak tunalaras
Arsitektura, Vol. 15, No.2, Oktober 2017: 447-454

serta stigma buruk masyarakat tentang murid faktor lingkungan mempunyai pengaruh yang
SLB-E. besar 40% dalam proses penyembuhan yaitu
Indonesia telah meratifikasi Konvensi Hak 40% faktor fisik, faktor medis 10 %, faktor
Anak sejak 5 September 1990. Hal ini genetis 20%, dan faktor lain 30% (Kaplan dkk,
merupakan komitmen Indonesia dalam 2010 dalam Kurniawati, 2007) Healing
menghormati dan memenuhi hak anak. environment adalah sebuah sistem dan tempat
Pemerintah mentransformasikan hak anak yang teridiri dari orang-orang, perilaku,
kedalam proses pembangunan dengan perawatan, dan parameter psikologis dan fisik
mengembangkan kebijakan Kota Layak Anak. mereka (Wayne B. Jonas, 2007 dalam Phyllis J.
Salah satu kota yang mendapat predikat kota Water,2008). Lingkungan fisik merupakan
layak anak adalah Surakarta, yang telah sebuah dimensi dari penyembuahan itu sendiri,
memulai upaya mewujudkan kota layak anak ini berkaitan dengan dimensi lain dari sebuah
sejak tahun 2006 (Solo Kota Layak Anak, optimal healing environment. Lingkungan
2014). Dalam mewujudkan kota layak anak, dapat berdampak pada kesehatan dengan
terdapat seruan internasional tentang mempengaruhi perilaku, aksi, dan interaksi dari
penuntansan Education for All yang diharapkan pasien dan keluarga juga berlaku pada pegawai
tercapai pada tahun 2015, tetapi pada perawatan
kenyataannya sampai dengan akhir tahun 2015 Dalam mendesain dengan pendekatan healing
belum sepenuhnya dapat tercapai (Suyatmi, environment, terdapat tiga aspek yaitu, alam,
2016). indra, dan psikologis (Murphy, 2008 dalam
Populasi anak tunalaras di Surakarta sejumlah Vidra Lidyasa dkk, 2012). Aspek alam
2.738 anak, berdasarkan prevalensi 2% dari diaplikasikan pada desain dengan healing
populasi anak sekolah (Sutjihati Somantri, garden dan penggunaan elemen serta orientasi
2006). Dari jumlah tersebut belum semuanya bangunan ke alam. Pendekatan indra adalah
tertampung dan tertangani, karena di Surakarta pendekatan menggunakan elemen-elemen yang
hanya terdapat dua lembaga pendidikan yang dapat memberi stimulus indra manusia yang di
khusus menangani anak tunalaras, yaitu SLBE aplikasikan dalam desain arsitektural. Indra
Bhina Putera Mandiri dan SLBE Prayuwana yang digunakan ada empat, yaitu indra
Anak Indonesia mendapatkan pendidikan penglihatan (warna, pencahayaan, skala,
formal paling dasar di sekolah dasar. Sebagai bentuk), indra pendengaran (musik,
pendidikan dasar, siswa sekolah dasar kebisingan), indra peraba (tekstur,
umumnya berusia 7-12 tahun. Anak usia SD penghawaan, suhu), dan indra penciuman (bau).
tengah belajar untuk mengatur emosinya dalam Kedua pendekatan tersebut secara tidak
seting sosial, membalas stimulus perilaku orang langsung mempengaruhi psikologis manusia
lain dengan pengaturan respon dan ekspresi dengan menghasilkan stimulus yang akan
(Aini Mahabbati, 2006). Apabila anak tunalaras menghasilkan respon
yang belum terdeteksi dan tidak dispesifikkan
berada di sekolah dasar akan mengakibatkan 2. METODE
proses pendidikan cenderung sulit baik bagi
Gagasan ide dasar pembuatan objek desain
guru maupun bagi siswa. Semakin dini
berawal dari fenomena non-arsitektur, yaitu
terdeteksi dan tertangani, maka kesempatan
tentang anak tunalaras yang menghasilkan
anak untuk kembali memulihkan perilakunya,
objek desain berupa sekolah dasar luar biasa
sehingga anak dapat melanjutkan pendidikan
bagian tunalaras. Kemudian dikembangkan
formal ke jenjang selanjutnya (Sekolah
dengan fenomena arsitektur yang ada dengan
Menengah Pertama) di sekolah reguler.
meakukan alnalisis berupa tinjauan data.
Manusia dan alam lingkungan pada hakikatnya
Sekolah dasar luar biasa bagian tunalaras
merupakan satu kesatuan yang tidak dapat
adalah suatu lembaga pendidikan yang
dipisahkan. Keduanya saling berinteraksi, dan
memberikan pelayanan pendidikan formal
dari proses interaksi tersebut dapat berupa
jenjang paling dasar yang secara khusus
lingkungan fisik. Dengan demikian manusia
ditujukan untuk anak tunalaras. Mendesain
membentuk bangunan dan selanjutnya
sekolah khusus anak tunalaras terdapat empat
bangunan akan membentuk manusia (Sriti
hal yang perlu diperhatikan pada lingkungan
Mayang,2003) Sejalan dengan hal tersebut,

448
Endhita Januar Bihastuti, Ummul M, Maya AN, Sekolah Dasar Luar Biasa…

sekolahnya, yaitu kejelasan fungsi sebuah Setiap aspek memiliki elemen-elemen yang
ruang, ruangan yang dapat mengontrol diterapkan di desain seperti pada tabel berikut.
stimulasi berlebih, penataan ruang yang dapat Tabel 1: Penerapan healing environment
mempermudah pengawasan, serta sebuah Aspek Elemen Penerapan
tempat sepi untuk mendukung kebutuhan dari Penglihatan Warna
anak tunalaras pasif (Quinn, 2000 dalam Pencahayaan
Puspita Tunggadewi dkk, 2014). Bentuk
Untuk memfasilitasi anak tunalaras tersebut, Pendengaran Musik
perlu desain bangunan yang dapat Indra Pengaturan
memaksimalkan antara program ruang dan kebisingan
suasana lingkungan yang tersedia dengan jenis Peraba Tekstur
kebutuhan dan program kegiatan yang Penghawaan
berlangsung, maka healing environment dipilih Penciuman Bau
sebagai solusi desain pada sekolah yang Pemandangan Lansekap
direncanakan. Healing Area rekreasi
Penerapkan healing environment digunakan garden dan sosial
sebagai dasar untuk mensintesa antara fenomen Alam
informal
arsitektur dan fenomena non arsitektur yang Area seni
menghasilkan kriteria desain. Kriteria desain Area olahraga
menjadi dasar untuk menentukan konsep
Kenyamanan Keselamatan
peruangan, tapak, bentuk dan tata masa
fisik dan
bangunan, serta lansekap yang
Psikologis keamanan
ditransformasikan kan menjadi sebuah desain.
Rasa kontrol
Privasi
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Anak tunalaras diklasifikasikan menjadi
Konsep healing environment adalah menjadi 2 jenis, yaitu anak tunalaras aktif
membangun suasana melalui penyesuaian (externalizing behavior) dan anak tunalaras
semua elemen desain untuk dapat memberikan pasif (internalizing behavior). Prinsip healing
rangsangan positif bagi indra. Manusia environment digunakan dengan menerapkan
menyesuaikan responnya terhadap rangsang kontrol dan stimulasi pada lingkungan anak
yang datang dari luar, sedangkan stimulus dapat tunalaras. Kontrol dan stimulasi didasarkan
diubah sesuai dengan kebutuhan manusia pada karakter perilaku mereka yang dibagi
(Wohlwill, 1974 dalam Sriti Mayang, 2003). menjadi 2, seperti pada tabel di bawah.
Sehingga manusia menyesuaikan respon Tabel 2: : Analisis penerapan healing environment anak
terhadap lingkungan sekitarnya untuk tunalaras tipe externalizing
disesuaikan dengan daya-daya dan kebutuhan Karakter Kontrol Stimulus
 Suka mengancam  Ruang yang Ruang:
yang dimilikinya. Prinsip-prinsip penerapan atau aman  Ruang yang
healing environment pada desain adalah mengintimidasi  Kejelasan fungsi dapat
sebagai berikut berikut (Subekti, 2007 dalam  Suka berkelahi ruang sehingga mendorong
atau menyerang menghindari interaksi
Febriani Kurniawati, 2007):  Agresif ruang-ruang antar siswa
a. Desainnya harus mampu mendukung  Membantah yang berpotensi dan guru dan
negatif (sepi dan siswa antar
proses pemulihan baik fisik maupun psikis tidak terpantau) siswa
seseorang.  Menghilangkan  Stimulus
b. Akses ke alam. benda-benda yang
atau potensi menenangkan
c. Adanya kegiatan-kegiatan outdoor yang kekerasan dan kondusif
berhubungan langsung dengan alam.  Pembedaan  Penggunaan
d. Desainnya diarahkan pada penciptaan ruang karya seni
berdasarkan yang
kualitas ruang agar suasana terasa aman, kelompok umur menenangkan
nyaman, dan tidak menimbulkan stres.  Mengganggu  Pengaturan dan memberi
Terdapat 3 aspek yang digunakan dalam orang lain perabot yang semangat
 Sulit konsentrasi memberikan Kegiatan
mendesain healing environment, yaitu indra,  Sulit diam jarak antar anak
alam, dan psikologi (Vidra Lidyasa dkk, 2012).  Aktif bergerak

449
Arsitektura, Vol. 15, No.2, Oktober 2017: 447-454

 Menyingkirkan  Terapi dan  Kegiatan yang


benda yang tidak kegiatan terjadwal
dibutuhkan yang sesuai
 Ruang kelas  Kegiatan Hasil dan pembahasan didapatkan dengan
yang sederhana langsung menerapkan elemen-elemen healing
 Mengurangi dengan alam environment yang akan dibahas menjadi empat,
distraksi atau  Program
pengalih terapi yang yaitu peruangan, tapak, bentuk dan tata massa
perhatian beragam bangunan, serta lansekap.
 Ruang yang dikemas 3.1. Peruangan
penyimpanan dengan
alat-alat permainan Healing environment pada peruangan
sebaiknya  Kegiatan diterapkan di interior ruang-ruang yang sering
tersembunyi yang
atau sulit terjadwal
digunakan anak tunalaras, yaitu lobby, ruang
dijangkau anak  Penerapan kelas, ruang tidur, dan ruang belajar.
 Tidak ada peraturan dan 3.1.1 Ruang kelas
bidang menonjol capaian
di kelas  Membantu
Ruang kelas dibagi menjadi dua berdasarkan
 Sukaembolos,  Keamanan dan siswa karakteristik anak tunalaras, yaitu ruang kelas
suka kabur keselamatan menaati anak aktif dan ruang kelas anak pasif. Setiap
 Kemudahan peraturan
pengawasan
ruang kelas memiliki ruang penyimpanan
guru atau peralatan sendiri, ini dimaksudkan untuk
pegawai keamanan dengan menyimpan peralatan belajar
 Sukar menahan  Terdapat ruang
amarah tenang di setiap
yang sedang tidak dipakai dan mengurangi
 Menolak saran kelas distraksi pandangan dengan meletakkan
dan norma ruangan pada sisi belakang ruang.
Tabel 3 : Analisis penerapan healingg environment anak Anak tunalaras memiliki kesulitan mengontrol
tunalaras tipe internalizing
Karakter Kontrol Stimulus
emosi dan mudah terpicu distraksi yang
 Senang  Menyediakan  Ruang menyendiri menyebabkan tantrum, sehingga setiap kelas
menyendiri ruang untuk yang terkoneksi memiliki ruang tenang. jendela sebagai sumber
 Menarik diri menyendiri dengan ruang-ruang pencahayaan dan penghawaan alami didesain
dari  Mengindari kegiatan aktif, kantin, dengan jendela mati pada bagian bawah sebagai
lingkungan penempatan koridor, taman
akses pemandangan ke alam dan jendela ayun
ruang sepi atau  Terapi dan kegiatan
kosong yang yang sesuai dibagian atas untuk keamanan sehingga sukar
sulit untuk  Kegiatan langsung diakses anak-anak.
dipantau atau dengan alam
diawasi
 Gangguan  Terapi dan  Memberikan
tidur konsultasi aromaterapi
 Kehilangan  Membuat  Pemberian motivasi
minat daftar  Membantu siswa
 Pandangan pencapaian diri meraih capaian
negatif  Terapi dan kegiatan
terhadap yang sesuai
lingkungan,  Kegiatan langsung Gambar 1: Ruang kelas anak externalizing
dirinya, dengan alam Salah satu karakter anak tunalaras aktif adalah
masa depan aktif bergerak dan sulit konsentrasi, sehingga
 Lesu
bangku siswa diatur zigzag guna memberikan
 Kecemasan
dan depresi
jarak antar siswa dan pandangan siswa ke depan
 Perasaan leluasa. Warna yang digunakan untuk ruang
sangat sedih kelas anak aktif adalah biru dan oranye. Warna
 Sulit  Pengaturan  Ruang yang dapat biru degradasi sebagai latar dapat menurunkan
konsentrasi perabot dan mendorong interaksi perasaan gelisah, tekanan darah, tekanan
 Tidak aktif interior antar siswa dan guru
jantung, dan memberi efek ketenangan untuk
 Malu dan siswa antar siswa
 Program terapi yang
anak rewel dan anak yang memiliki masalah
beragam yang perilaku (Kristi S. Gaines dkk, 2011).
dikemas dengan Sedangkan warna oranye pada area depan
permainan mendorong keterbukaan, kemandirian, dan

450
Endhita Januar Bihastuti, Ummul M, Maya AN, Sekolah Dasar Luar Biasa…

menginspirasi komunikasi dan kerjasama dan karakter anak yang mudah terdistraksi,
(Kristi S. Gaines dkk, 2011). untuk itu dipilih latar gambar alam dengan
warna-warna yang memberikan efek tenang
dan nyaman seperti warna biru, hijau, merah
muda, dan coklat.

Gambar 2: Ruang kelas anak internalizing


Gambar 3: Ruang tidur anak
Ruang kelas internalizing menggunakan warna 3.1.3 Ruang belajar
gradasi oranye dan coklat yang memberi efek Ruang belajar difungsikan untuk memfasilitasi
psikologi kebahagiaan, kenyamanan, karakter anak yang berbeda-beda, sehingga
kesenangan, rasa intim. pada ruang belajar dibagi menjadi dua area,
Anak tunalaras pasif memiliki karakter yaitu area belajar individu dan area belajar
diantaranya tidak aktif, malu, dan sulit
kelompok. Area belajar indvidu ditujukan
konsentrasi, sehingga pola tempat duduk diatur untuk anak yang sulit konsentrasi dan suka
melingkar untuk meningkatkan komunikasi menyendiri, sehingga area ini ditata dengan
antar siswa dan antara siswa dan guru. Warna bilik-bilik yang memungkinkan setiap anak
yang digunakan pada ruang kelas anak memiliki privasi dalam belajar. Area belajar
tunalaras pasif adalah gradasi oranye sebagai
kelompok ditujukan untuk membangun
latar dan warna coklat di depan untuk komunikasi antar anak melalui penataan
memberikan efek psikologi kebahagiaan, bangku yang melingkar.
kenyamanan, kesenangan, dan rasa intim
(Kristi S. Gaines dkk, 2011).

Gambar 4: Ruang belajar


3.2. Tapak
Gambar 7: Ceruk di koridor kelas Hasil dari tabel 1, 2, dan 3 diterapkan pada
Anak tunalaras pasif memiliki karakter suka tapak berupa pertimbangan dalam pemilihan
menyendiri dan menarik diri dari lingkungan, tapak, mempertimbangkan pencapaian,
sehingga disediakan ceruk pada koridor agar klimatologi, view dan orientasi, dan kebisingan.
mereka bisa menyendiri tetapi tetap bisa Tapak yang dipilih memenuhi kriteria di
terpantau dan terkoneksi dengan kegiatan anak antaranya berada di dekat pemukiman untuk
aktif. memudahkan sosialisi dan akses jalur sirkulasi
3.1.2 Ruang Tidur menuju tapak yang tidak ramai untuk
Ruang tidur merupakan ruang yang memiliki keamanan.
privasi tinggi, tetapi juga sebagai ruang untuk
menjalin ikatan antara penghuni. Sehingga satu
ruang tidur diisi tiga sampai empat anak dengan
pengaturan perabot yang memberikan jarak
antar area tidur guna menciptakan rasa kontrol
sekaligus privasi. Penataan latar kamar
mempertimbangkan karakter anak yang ceria

451
Arsitektura, Vol. 15, No.2, Oktober 2017: 447-454

masuk ke dalam bangunan, pemisahan ruang


kelas berdasarkan jenjang. Ketiga penggunaan
warna exterior yang sama untuk bangunan yang
memiliki fungsi sama sehingga pengguna
mudah mengenali lingkungannya.

Gambar 5 : Tapak terpilih


Bangunan batas site sebelah utara dan selatan
memiliki kepadatan bangunan yang rendah dan
vegetasi hijau yang cukup banyak, sehingga
Gambar 7: Perspektif objek desain
view dari site ke arah utara dan selatan sesuai Privasi diterapkan dengan penggunaan banyak
untuk zona kegiatan yang membutuhkan massa pada asrama dan ruang kelas berdasarkan
ketenangan seperti zona asrama, zona jenjang umur.
pendidikan, dan zona penunjang. Keamanan dan keselamatan diterapkan dengan
Sisi barat site memiliki bangunan perumahan peletakan ruang pengelola sekolah di tengah
dengan ketinggian satu sampai dua lantai dan untuk pengawasan, akses masuk satu arah, dan
jalan pemukiman yang relatif sempit sehingga pembatas fisik di setiap zona.
digunakan sebagai jalur sirkulasi servis. Sisi
timur bangunan digunakan sebagai jalur masuk
utama karena memiliki kepadatan bangunan
yang lumayan, arus yang relatif ramai dan lebar
jalan yang paling lebar dari lebar jalan sekitar
site lainnya, sehingga jarak pandang dari jalan
menuju site baik.
3.3. Bentuk dan Tata massa bangunan
Aspek healing environment berupa psikologis Gambar 8: Warna exterior yang berbeda untuk bangunan
dan indra diterpakan pada bentuk dan tata dengan fungsi yang berbeda.
massa bangunan. Aspek psikologi yang Indra penglihatan diterapkan melalui warna,
diterapkan ada tiga, yaitu rasa kontrol, warna yang dipilih untuk exterior bangunan
keamanan dan keselamatan, serta privasi. disesuaikan dengan suasana yang dibutuhkan.
Aspek indra yang diterapkan ada yaitu indra Indra pendengaran diterapkan melalui musik
penglihatan, indra pendengaran, dan indra dan pengaturan kebisingan. Musik dapat
peraba. memberikan terapi untuk kemampuan motoric,
kognitif, berbicara, dan kemampuan motorik
dan sosial (Exwan, 2014). Musik diterapkan
dengan memasang instalasi audio pada ruang
yang membutuhkan, seperti ruang kelas.
Pengaturan kebisingan bertujuan untuk
mengurangi dampak buruk pada kesehatan,
seperti gangguan tidur, kualitas tidur yang
buruk, peningkatan tekanan darah, peningkatan
denyut jantung dan menurunkan kepuasan
pasien.
Gambar 6: Denah objek desain Indra peraba diterapkan dengan pemilihan
Rasa kontrol diterapkan dengan tiga cara, yang tekstur dan penghawaan. Tekstur dapat menjadi
pertama berupa pemilihan bentuk dasar massa batas dan membagi zona yang menciptakan
berupa persegi yang memiliki sifat sederhana, suasana tertentu. Tekstur diterapkan dengan
statis, dan stabil. Kedua penataan massa menentukan jenis-jenis tekstur berdasarkan
menggunakan pola klaster terhadap akses efek pskologis yang dibutuhkan pada setiap

452
Endhita Januar Bihastuti, Ummul M, Maya AN, Sekolah Dasar Luar Biasa…

kebutuhan ruang. Sedangkan penghawaan Area sosial informal ditujukan untuk mewadahi
diterapkan dengan penggunaan penghawaan kebutuhan sosial dan emosional para pengguna.
alami dan buatan sesuai dengan kebutuhan Area ini juga dapat menjadi pilihan tempat bagi
ruang. terapi individu maupun kelompok. Pengaturan
area sosial yang mempertimbangkan tingkat
3.4. Lansekap privasi dapat memberikan rasa kontrol bagi
Aspek alam pada healing environment yang pengguna untuk memiliki pilihan sesuai dengan
diterapkan di lansekap adalah healing garden. keadaan yang diinginkan. Area sosial dan
Tujuan healing garden adalah untuk membuat informal berupa area duduk, area berkumpul
orang merasa aman, stres berkurang, lebih dan area berjalan santai.
nyaman, dan merasa segar. Aktivitas luar ruang Area seni memiliki dampak positif dalam
dapat mendukung proses pembelajaran, penciptaan healing environment dan bagi anak-
mendorong anak untuk memiliki kemajuan anak. Area seni ini dibuat untuk mengasah
berbagai ketrampilan (motorik, sosial kreatifitas anak, mengasah kemampuan
emosional, sensorik), dan rekreasi relaksasi. kognitif, sosial emosional, dan motorik. Area
Pengaturan lansekap yang tepat dapat seni mewadahi salah satu kegiatan seni yaitu
mendorong aktivitas luar ruangan yang optimal, menggambar. Kriteria dalam pembuatan area
sehingga dibagi menjadi tiga zona, zona area bermain ini antara lain, aman, mudah dijangkau
olahraga, zona area rekreasi dan sosial anak, memiliki tampilan menarik. Area ini juga
informal, dan zona area seni. menjadi sarana salah karakteristik anak
Area olahraga dibagi menjadi dua yaitu area tunalaras yaitu suka mencorat-coret.
permukaan lunak dan area permukaan keras.
Area permukaan lunak diperuntukkan untuk 4. KESIMPULAN
aktivitas berkumpul, lari, dan olahraga lainnya.
Area permukaan lunak difungsikan untuk Kesimpulan dari penerapan healing
kegiatan olahraga basket. environment pada sekolah dasar luar biasa
bagian tunalaras di Surakarta adalah sebagai
berikut:
a. Prinsip healing environment berupa
desainnya harus mampu mendukung proses
pemulihan baik fisik maupun psikis
seseorang dan desainnya diarahkan pada
penciptaan kualitas ruang agar suasana
terasa aman, nyaman, dan tidak
Gambar 9: Area olahraga menimbulkan stres menghasilkan kontrol
Area rekreasi dan sosial informal bertujuan dan stimulus pada kontrol dan stimulus yang
untuk mewadahi aktivitas rekreasi disesuaikan dengan karakter anak tipe
(playground) dan aktivitas sosial antar externaling dan anak tipe internalizing,
pengguna. Area rekreasi berisi berbagai pilihan selanjutnya diterapkan menggunakan
permainan yang memenuhi beberapa kriteria, elemen-elemen healing environment pada
yaitu aman, berbahan lunak, dan memiliki peruangan, tapak, bentuk dan tata massa
berbagai alternatif jenis permainan, mengasah bangunan.
motorik anak, dan sesuai dengan umur anak. b. Prinsip healing environment berupa akses
kea lam dan Adanya kegiatan-kegiatan
outdoor yang berhubungan langsung dengan
alam diterapkan pada objek desain melalui
healing garden yang menghasilkan 3 jenis
area, yaitu area olahraga, area rekreasi dan
sosial informal, dan area seni.

Gambar 10: Area rekreasi


REFERENSI

453
Arsitektura, Vol. 15, No.2, Oktober 2017: 447-454

Gaines, Kristi S. Curry, Zane D. 2011. “The


Inclusive Classroom: The Effect of Color
on Learning and Behavior”.
Kurniawati, Febriani. 2007. “Peran Healing
Environment terhadap Proses
Penyembuhan”.
Lidyasa, Vidra. Alhamdani, M Ridha. Pebriano,
Valentinus. 2012. “Konsep dan Aplikasi
Healing Environment dalam Fasilitas
Rumah Sakit”.
Mahabbati, Aini. 2006. “Identifiasi Anak
dengan Gangguan Emosi dan Perilaku di
Sekolah Dasar”.
Mayang, Sriti. 2003. “ Peran Warna pada
Inerior Rumah Sakit berwawasan
‘Helaing Environment’ terhadap Proses
Penyembuhan Pasien”.
http://puslit.petra.ac.id/journals/interior/.
Diakses 4/9/16.
“Solo Kota Layak Anak”. 2014.
Kampungnesia.
http://kampungnesia.org/berita-solo-
kota-layak-anak-.html. diakses 25/3/16
Somantri, Sutjiati. 2006. “Psikologi Anak Luar
Biasa”. PT Ravika Aditama
Suyatmi. 2016. “Rakor PKLK Permasalahan
dan Tantangan Pendidikan ABK 2015-
2019”. Spirit edisi 77.
Tunggadewi, Puspita. Ekasiwi, Sri Nastiti.
Setijanti, Purwanita. 2014. “Perancangan
Sekolah Luar Biasa Khusus Anak
Tunalaras dengan menggunakan
Pendekatan Perilaku”.
Water, Phyllis J. 2008. “Characteristics of
Healing Environment as Describe by
Expert Nurses Who Practice within thw
Conceptual Framework of Rogers’
Science of Unitary Human Being
Qualitative Study”.

454

Anda mungkin juga menyukai