Anda di halaman 1dari 47

LAPORAN PRAKTIKUM

MT3103 PRAKTIKUM PEMROSESAN MATERIAL

Modul B
Proses Penguatan Logam (Metal Hardening)

Oleh:
Devri Agta Devani
13717045

Anggota:
Kelompok 5
Fransisco Serrano Aaron 13717001
Devri Agta Devani 13717045
Farrel Yussar Rashif 13717049
Siti Rodotun 13717050
Adiska Nur Safira 13717059

Tanggal Praktikum 26 September 2019


Tanggal Pengumpulan Laporan 01 Oktober 2019
Asisten (NIM) Aditya Rifanda Hendrawan (13716048)

LABORATORIUM TEKNIK MATERIAL DAN METALURGI


PROGRAM STUDI TEKNIK MATERIAL
FAKULTAS TEKNIK MESIN DAN DIRGANTARA
INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG
2019
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sebagai sarjana teknik material, kita akan sering diminta untuk mendesain material
logam yang memiliki kekuatan yang tinggi. Suatu hal yang penting untuk memahami
hubungan antara pergerakan dislokasi dengan sifat mekanik logam karena kekerasan
dan kekuatan berhubungan dengan kemudahan terjadinya deformasi plastis. Dengan
mengurangi kemudahan dislokasi, maka kekuatan material dapat ditingkatkan. Oleh
karena itu pada praktikum ini, praktikan akan dikenalkan dengan tiga jenis proses
penguatan yang umumnya dilakukan yaitu pengerasan martensitik, pengerasan
presipitat, dan rekristalisasi.

1.2 Tujuan

1. Menentukan nilai kekerasan baja sebelum dan sesudah proses quenching.


2. Menentukan nilai kekerasan paduan alumunium sebelum dan sesudah
proses penguatan presipitat
3. Menentukan nilai kekerasan tembaga sebelum dan sesudah proses
rekristalisasi

2
BAB II
TEORI DASAR

2.1 Deformasi elastis dan plastis pada logam [Prinsip serta kaitannya
terhadap ikatan atom, struktur kristal, dan cacat (imperfection)]

Deformasi pada material terbagi 2, yaitu deformasi elastis dan deformasi


plastis. Deformasi elastis adalah deformasi yang besar stress dan strain nya
proporsional dan bersifat tidak permanen, setelah tegangan dilepaskan maka
material akan kembali ke bentuk semula. Ketika deformasi elastis, ikatan antar
atom meregang dan jarak antar atom terjadi perubahan kecil, tanpa adanya
pemutusan anatar ikatan atom. Sedangkan deformasi plastis adalah deformasi
yang stress dan strain nya tidak proporsional dan bersifat tidak permanen atau
setelah tegangan dilepaskan, material tidak dapat kembali ke bentuk semula.
Ikatan antar atomnya akan lepas dan membentuk ikatan baru dengan atom
lainnya yang saling bergerak satu sama lain. Pergerakan ini dapat membentuk
cacat garis yang membuat atom sekitarnya tidak selaras dan terdapatnya
kekosongan dalam bentuk garis atau lebih dikenal dengan nama dislokasi. [1]

2.2 Perlakuan Panas (Definisi serta kegunaan)

Perlakuan panas (heat treatment) adalah proses pengubahan sifat logam agar
didapatkan sifat logam yang diinginkan dengan cara mengubah struktur mikronya
melalui pemanasan dan pengaturan laju pendinginan. Contoh proses dari heat
treatment diantaranya quenching, annealing, normalizing, tempering. Heat
treatment ini memiliki kegunaan, diantaranya meningkatan kekuatan dan/atau
keuletan material, menghilangkan tegangan sisa, mengatur ukuran butir,
mempermudah proses machining, dan juga untuk mempersiapkan material untuk
pengelohan berikutnya.

2.3 Mekanisme Penguatan

a. Penguatan Martensitik

3
o Diagram fasa Fe-C, Diagram CCT, TTT dari baja hypoeutectoid,
eutectoid, dan hypereutectoid

Diagram Fasa Fe-C

Gambar 2.1. Diagram Fasa Baja Karbon (Fe-C) [1]

Diagram fasa adalah diagram yang menghubungkan komposisi, temperatur, dan


daerah stabil suatu fasa dalam kondisi kesetimbangan.Diagram pada gambar 2.1
adalah diagram fasa baja karbon (Fe-C). Diagram fasa baja karbon (Fe-C). ini
menunjukan perubahan fasa yang akan terbentuk apabila suatu baja karbon
didinginkan atau dipanaskan dengan laju yang lambat dengan komposisi tertentu.
[1]
Pada paduan baja karbon, terdapat beberapa fasa sebagai berikut : [1]
a. Ferrite
Ferrite adalah fasa larutan padat (solid solution) baja karbon yang memiliki
struktur sel satuan body centered cubic (BCC). Ferrite stabil pada

4
temperatur kamar hingga mencapai temperature maksimum 912oC. Ferrite
memiliki kelarutan maksimum 0,022% C pada temperature 727 oC. Sifat
fasa ferrite umumnya ulet dan bersifat magnetik.
b. Austenite
Austenite merupakan salah satu fasa pada baja karbon yang memiliki
struktur sel satuan face centered cubic (FCC). Fasa ini memiliki kelarutan
sampai 2,11% C pada 1148 oC. Austenite adalah fasa yang penting pada
perluan panas baja. Struktur fasa tunggal fcc bersifat ulet seiring kenaikan
temperature. Austenite merupakan polimorf dari fasa ferrite.
c. Cementite

Pada batas kanan diagram fasa FeC, mikrostruktur akan mengandung


cementite yaitu 100% iron carbide (Fe3C) yang memiliki kandungan karbon
6,67%.

d. Pearlite
Pearlite merupakan mikrostruktur yang terdiri dari dua fasa, yaitu fasa
ferrite dan cementite yang dihasilkan melalui transformasi fasa austenite
pada temperatur dibawah 727oC (Teutektoid). Jika lapisan ferrite dan cementite
pada struktur pearlite tersusun rapat dan tipis dinamakan pearlite halus,
sedangkan jika lapisannya tebal dan berjarak struktur ini dinamakan pearlite
kasar. Pearlite halus akan terbantuk jika pendinginan terjadi dengan cepat
dan pearlite kasar kan terbentuk pada laju pendingingan yang lambat seperti
di dalam tungku.
e. Bainite
Bainite merupakan fasa yang terbentuk dari transformasi fasa austenite pada
temperatur diantara temperatur transformasi pearlite dengan martensite.
Fasa ini adalah fasa yang hanya dapat dilihat dengan menggunakan
mikroskop elektron. Bainite memiliki mikrostruktur yang sangat halus
terdiri dari ferrite dan cementite seperti pearlite namun dengan morfologi
yang berbeda. Secara umum, bainite lebih kuat dan ulet dibanding pearlite
pada tingkat kekerasan yang sama.

5
f. Martensite
Martensite adalah fasa pada baja karbon yang bersifat semi-stabil, terbentuk
dari karbon lewat jenuh, dan bukan termasuk kedalam fasa pada
kesetimbangan baja karbon karena tidak diperoleh melalui proses difusi.
Ketika austenite didinginkan dengan laju pendinginan yang cepat struktur
face centered cubic (FCC) nya akan bertansformasi menjadi struktur body
center tetragonal (BCT), perubahan ini terjadi karena atom atom karbon
tidak sempat berdifusi.

Diagram CCT dan TTT

Diagram CCT (Continuous Cooling Transformation) adalah diagram yang


menghubungkan temperatur dengan waktu untuk baja karbon dengan komposisi
tertentu yang digunakan untuk menunjukkan proses transformasi yang terjadi
apabila didinginkan dengan kecepatan pendinginan yang konstan. [1]

Diagram TTT (Time Temperature Transformation) adalah diagram yang


menghubungkan temperatur dengan waktu untuk baja karbon dengan komposisi
tertentu yang digunakan untuk menunjukkan proses transformasi yang terjadi
apabila didinginkan pada temperatur konstan. [1]

Diagram CCT dan TTT dapat dibedakan menjadi 3 jenis berdasarkan kadar karbon
dalam baja, yaitu: [1]

a. Baja Hypoeutectoid

Baja Hypoeutectoid berarti baja yang komposisi karbonnya dibawah dari


komposisi eutectoidnya (C<0.76). Diagram CCT dan TTT baja
hypoeutectoid adalah sebagai berikut:

6
Gambar 2.2 Diagram CCT dan TTT untuk Baja Hypoeutectoid [2]

b. Baja Eutectoid
Baja eutectoid berarti baja yang komposisi karbonnya sama dengan
0.76%wt. Diagram CCT dan TTT baja eutectoid adalah sebagai berikut:

Gambar 2.3 Diagram CCT dan TTT untuk Baja Eutectoid [2]

c. Baja Hypereutectoid
Baja Hypereutectoid berarti baja yang komposisi karbonnya diatas dari

7
komposisi eutectoidnya (C>0.76). Diagram CCT dan TTT baja
hypereutectoid adalah sebagai berikut:

Gambar 2.4 Diagram CCT dan TTT untuk Baja Hypereutectoid [2]

Bentuk dari diagram CCT dan TTT sama, namun penggunaannya berbeda. Diagram
CCT transformasi fasa dilakukan pada laju pendinginan yang konstan. Berbeda
dengan diagram TTT , transormasi fasa pada TTT dilakukan pada temperatur yang
konstan (isothermal). Hal ini dapat dilihatnya pada gambar 5.5 yang menunjukkan
CCT dan gambar 5.6 yang menunjukkan TTT. Contoh proses dari CCT adalah
proses quenching dan contoh dari TTT adalah proses austempering. [1]

8
Gambar 2.5 Continuous Cooling Tranformation Diagram [1]

Gambar 2.6 Isothermal Tranformation Diagram [1]

o Diagram termal proses penguatan martensitic


Berikut diagram termal dari proses penguatan martensitic :

9
Gambar 2.7 Diagram Termal Proses Penguatan Martensitic [1]

Fasa martensit akan terbentuk atau proses penguatan martensitic akan


terjadi apabila laju pendinginannya lebih cepat dari critical cooling rate
yang ditunjukkan oleh garis merah putus-putus pada gambar diatas. [1]

o Mekanisme austenite menjadi martensit


Austenit adalah fase awal yang dapat berubah menjadi martensit saat
dilakukan quenching. Transformasi fasa martensit bukanlah proses difusi,
sehingga martensit memiliki komposisi yang persis sama dengan komposisi
paduan fasa awal austenit. Karena proses difusi tidak dapat terjadi akibat
dari proses pendinginan cepat, maka atom karbon tidak dapat mempartisi
dirinya diantara sementit dan ferit. Atom karbon ini malah terperangkap di
sisi oktahedral dari struktur kristal face centered cubic (FCC). Hal ini
mengakibatkan terbentuknya fasa baru, martensit. Kelarutan karbon dalam

10
struktur FCC sangat tinggi pada saat martensit terbentuk, sehingga martensit
memiliki struktur body-centered tetragonal (BCT) . Martensit ini adalah
fasa metastabil (kurang stabil. [3]

Gambar 2.8 Mekanisme Penguatan Martensit [3]

Martensit terbentuk oleh mekanisme geser. Gambar 2.8 diatas menunjukkan


secara skematis terjadi geser atau transformasi pemindahan austenit ke
martensit. Arah tegangan geser berada pada sisi berlawanan dari tempat
transformasi dimulai. [3]

o Mekanisme penguatan pada martensit


Pembentukan martensite terjadi melalui mekanisme geser. Akibat
mekanisme geser ini densitas dislokasi meningkat, sehingga membuat
kekuatannya meningkat. Selain itu, martesnite memiliki struktur BCT (body
centered tetragonal). Struktur ini membuat terjadinya distorsi kisi dan

11
membuat kekuatannya meningkat. Dan peningkatan kekuatan pada
martensite juga disebabkan oleh faktor mekanisme twinning pada
martensite

o Proses pengerasan martensite pada baja karbon rendah, sedang, dan


tinggi.
Berdasarkan kadar karbon baja, proses pengerasan martensite akan terbagi
menjadi 3 bentuk martensite, yaitu : [3]

a. Lath Martensite ( %C < 0.6%)


b. Mixed Martensite (0.6% < %C < 1%)
c. Plate Martensite (%C > 1%)
Pembagian ini dapat dilihat pada gambar berikut : [3]

Gambar 2.9 Range pembentukan lath, mixed dan plate martensite [3]

Baja karbon rendah akan menghasilkan struktur mikro yaitu lath martensite.
Baja karbon sedang dapat menghasilkan struktur lath martensite atau mixed
martensite. Dan baja karbon tinggi nakan menghasilkan struktur plate
martensite. Mixed martensite nerupakan struktur gabungan dari lath dan
plate martensite. Plate martensite memiliki kekerasan yang lebih tinggi

12
daripada lath martensite, namun plate martensite ini akan lebih getas
daripada lath martensite. [3]

Gambar 2.10 Struktur mikro lath martensite [3]

13
Gambar 2.11 Struktur mikro plate martensite [3]

o Proses tempering pada baja


Tempering adalah proses memanaskan baja yang telah dikeraskan misalnya
martensite, hingga ke temperatur di bawah eutectoid dalam periode waktu
tertentu. Biasanya, tempering dilakukandi rentang temperatur 250 – 650 oC.
Pada proses tempering ini tegangan sisa internal akan dapat dilepaskan dan
dapat meningkatkan keuletannya. Martensite BCT yang memiliki kelarutan
karbon tinggi dapat berubah menjadi tempered martensite dyang terdiri dari
fasa stabil ferrite dan sementit. Tempered martensite kekuatannya hampir
sama dengan martensite BCT, namun jauh lebih baik pada keuletan dan
ketangguhannya. [1]

b.Penguatan Presipitat
o Jenis - jenis paduan aluminium dan Temper Designation
Aluminium dan paduannya memiliki kerapatan yang relatif rendah (2,7 g /
cm3) , konduktivitas listrik dan termal yang tinggi, dan ketahanan terhadap
korosi di beberapa lingkungan umum, termasuk atmosfer sekitar. Paduan ini
mudah dibentuk karena keuletannya yangt tinggi. Karena aluminium

14
memiliki struktur kristal FCC, keuletannya dapat dipertahankan hingga
suhu yang sangat rendah. Paduan alumunium memiliki titik leleh 660 oC
(1220 oF) , temperatur ini menunjukkan batas maksimum aluminium dapat
digunakan. [1]

Terdapat beberapa jeni paduan alumunium. Jenis - jenis paduan alumunium


adalah sebagai berikut : [4]

 Seri 1xxx : adalah aluminium murni.


Ketahanan korosinya paling tinggi dibandingkan dengan paduan.
Banyak digunakan dalam industri kimia dan tenaga listrik
 Seri 2xxx : adalah paduan aluminium dengan tembaga
Adanya paduan tambahan magnesium. Banyak digunakan dalam
industri pesawat terbang karena memiliki yield strength yang tinggi
berkisar 455 MPa.
 Seri 3xxx : adalah paduan aluminium dengan mangan
Banyak digunakan dalam konstruksi arsitektur dan berbagai produk
lainnya.
 Seri 4xxx : adalah paduan aluminium dengan silicon
Banyak digunakan dalam welding rod dan brazing sheets.
 Seri 5xxx : paduan aluminium dengan magnesium
Ketahanan air lautnya tinggi, sehingga digunakan pada alat-alat di
lingkungan laut, seperti boat hulls, gangplanks.
 Seri 6xxx : paduan aluminium dengan magnesium dan silicon
Digunakan untuk ekststruksi arsitektur dan komponen otomotif.
 Seri 7xxx : Paduan aluminium dengan seng
Ditambahkan juga dengan unsur paduan lain seperti Cu, Mg, Cr, Zr.
Banyak digunakan dalam komponen struktural pesawat terbang dan
pada aplikasi yang membutuhkan kekuatan tinggi. Seri ini
merupakan seri yang memiliki kekuatan paling tinggi (yield strength
≥ 500 MPa).

15
 Seri 8xxx : Paduan dengan berankea komposisi, dapat berupa
paduan dengan Sn, Li, Fe
 Seri 9xxx : Reserved for future use.

Temper designation dari paduan alumunium dapat dilihat pada gambar


berikut:

Gambar 2.12 Temper Designation Paduan Alumunium [1]

o Jenis – jenis penguatan pada paduan aluminum

16
Untuk dapat menguatkan paduan alumunium, dapat dilakukan berbagai
cara, diantaranya : proses pengerjaan cold working, solid solution
strengthening, grain boundary strengthening, dan precipitaion hardening.
Namun pada umumnya pada alumunium dilakukan penguatan dengan cara
pengerasan presipitat.

o Syarat – syarat material yang dapat dikuatkan melalui proses


penguatan presipitat
Syarat material untuk dapat dikeraskan dengan presipitasi adalah material
paduan yang dapat membentuk larutan lewat jenuh (super saturated solid
solution) yang ketika di aging akan membentuk presipitat. Untuk dapat
membentuk larutan lewat jenuh ini maka dibutuhkan unsur paduan yang
dapat larut membentuk fasa dengan baik dengan unsur utamanya, dan unsur
paduannya memiliki kelarutan yang cukup tinggi pada unsur utamanya,
serta unsur paduan harus memiliki penurunan kelarutan yang signifikan
ketika terjadi penurunan temperatur. Salah satu contoh paduan yang dapat
dikeraskan dengan metode ini adalah paduan Al – Cu. [1]
o Prinsip penguatan presipitat
Prinsip pengerasan logam adalah dengan membentuk presipitat yang
tersebar secara merata di dalam matriks base metalnya. Presipitat yang
terbentuk dan tersebar di dalam butir ini dapat menghambat pergerakan
dislokasi sehingga nilai kekerasan paduan logamnya meningkat. [1]
o Diagram termal proses penguatan presipitat

17
Gambar 2.13 Diagram Termal Proses Penguatan Presipitat [1]

o Perubahan struktur mikro dan susunan atom pada setiap tahapan


diagram termal proses penguatan presipitat

Gambar 2.14 Mekanisme Perubahan Struktur Mikro dan Susunan Atom pada Proses Penguatan
Presipitat [1]

Berdasarkan diagram termal pada gambar 2.13 diatas, dapat diketahui


proses pengerasan presipitat terdiri dari dua tahapan besar, yaitu : [1]
1. Solution Heat Treating
Pada tahap ini, paduan dipanaskan hingga mencapai To dimana pada
temperatur To fasa β larut di dalam fasa . Maka akan terbentuk larutan
padat dengan struktur mikro dan susunan atom seperti gambar 2.14 (a).
Setelah itu, paduan ditahan pada temperatur To untuk beberapa saat dengan
tujuan menjamin fasa β sudah sepenuhnya larut . Kemudian, paduan
didinginkan dengan cepat (quench) hingga mencapai temperatur T1,
dimana pada temperatur T1 difusi sangat sulit terjadi sehingga terjadi
ketidakseimbangan dan terbentuk partikel fasa transisi ” seperti terlihat
pada gambar 2.14 (b).. Pada T1 ini, paduan yang dihasilkan relatif lunak
dan lemah. [1]
2. Precipitation Heat Treating
Pada tahap ini, larutan padat terebut dipanaskan hingga mencapai
temperatur T2. Temperatur T2 memungkinkan terjadinya difusi sehingga
atom B terdifusi dan membentuk presipitat. Setelah presipitat terbentuk,
dilakukan penahanan selama beberapa waktu pada temperatur T2 dengan
tujuan menyeragamkan ukuran butir dan distribusi presipitat yang

18
terbentuk (aging). Ini akan membentuk struktur aom seperti pada gambar
2.14 (c). Setelah itu, paduan didinginkan kembali hingga mencapai
temperatur ruang. Mikrostruktur hasil dari proses pengerasn presipitasi ini
dapat dilihat pada gambar berikut : [1]

Gambar 2.15 Struktur Mikro Hasil dariProses Penguatan Presipitat [1]

o Jenis aging dan pengaruh waktu aging terhadap kekuatan material


logam
Jenis aging terbagi 2, yaitu : natural aging dan artificial aging. Natural aging
adalah proses aging yang dilakukan pada temperatur kamar, sedangkan
artificial aging merupakan proses aging yang dilakukan pada temperatur
tinggi. Temperatur aging ini mempengaruhi lama waktunya aging beserta
kekuatannya. Pengaruh temperatur ini dapat dilihat pada gambar berikut :
[1]

Gambar 2.16 Pengaruh Temperatur Aging, Lama Aging dan Waktu Aging [1]

Dan juga terlihat pada grafik diatas, kekerasan maksimum akan didapatkan
pada titik tertentu dari waktu aging. Setelah melewati titik maksimum

19
kekerasan tsb, meningkatnya waktu aging akan membuat kekerasan
menurun. Hal ini disebut overaging, yang membuat kekerasan menjadi tidak
optimal akibat terlalu lamanya proses aging. [1]

c. Rekristalisasi
o Perubahan struktur mikro dan sifat mekanik akibat proses pengerjaan
dingin
Logam ulet dapat menjadi lebih keras dan lebih kuat karena deformasi
plastis. Deformasi ini terjadi pada temperatur yang relatif “dingin”
dibandingkan suhu leleh logam. Sebagian besar dilakukan pada temperatur
kamar. Fenomena ini disebut dengan cold working. [1]

Gambar 2.17 Deformasi Plastis berupa Compression (a) Sebelum deformasi (b) Setelah deformasi [5]

Ketika logam mengalami deformasi plastis pada suhu kamar, butir menjadi
cacat dan memanjang, seperti yang ditunjukkan secara skematis pada
Gambar 2.17 diatas. Pada gambar tersebut dapat dilihat perubahan struktur
mikronya.

Selama deformasi plastis, batas butir tetap utuh dan kontinuitas massa
dipertahankan. Logam cacat akibat deformasi plastis akan memiliki sifat
mekanik kekuatan yang lebih tinggi, karena keterikatan dislokasi dengan
batas butir dan satu sama lain. Peningkatan kekuatan tergantung pada
tingkat deformasi, semakin tinggi deformasi, semakin kuat logamnya.
Kekuatannya akan lebih tinggi untuk logam dengan butiran yang lebih kecil,
karena mereka memiliki luas permukaan batas butir yang lebih besar per
satuan volume logam sehingga lebih banyak keterikatan dislokasi. [5]

20
o Driving force rekristalisassi dan temperature rekrstalisasi
Rekristalisasi adalah pembentukan butiran baru equiaxed ( butir
yangmemiliki dimensi yang kira-kira sama di semua arah) yang memiliki
kepadatan dislokasi rendah dan bebas tegangan dan regangan sisa. Driving
force untuk menghasilkan struktur butir baru ini adalah perbedaan energi
internal antara material yang mengalami regangan dan yang tidak
meregang. Butir baru terbentuk sebagai inti yang sangat kecil dan tumbuh
sampai mereka benar-benar menggantikan butir yang lama. Proses ini
melibatkan difusi jarak pendek. [1]
Rekristalisasi adalah proses yang bergantung pada waktu dan suhu. Fraksi
rekristalisasi meningkat seiring waktu. Perilaku rekristalisasi paduan logam
terkadang ditentukan oleh temperatur rekristalisasi. Biasanya, temperatur
rekristalisasi berada di antara sepertiga dan setengah dari suhu leleh absolut
logam atau paduan dan bergantung pada beberapa faktor, diantaranya
persen cold working sebelumnya dan kemurnian paduan. Meningkatkan
persentase cold working akan meningkatkan laju rekristalisasi, sehingga
temperatur rekristalisasi turun, dan kemudian akan mendekati nilai konstan
pada persen cold working . Hal ini dapat ditunjukkan pada Gambar 2.18 di
bawah ini. [1]

21
Gambar 2.18 Hubungan Temperatur Rekristalisasi dengan Persentase Cold Working [1]

Dan juga pada beberapa tingkat kritis cold working, rekristalisasi tidak dapat
terjadi, seperti yang ditunjukkan pada gambar 2.18 diatas. Biasanya tingkat
kritis ini berada antara 2% dan 20% cold working. [1]
o Perubahan struktur mikro dan sifat mekanik selama rekristalisasi
Proses rekristalisasi logam ini berguna untuk memperbaiki struktur butiran.
Struktur butiran yang terbentuk memiliki kepadatan dislokasi rendah dan
berbentuk equiaxed yaitu memiliki dimensi yang sama di semua arah. Butir
baru yang terbentuk tumbuh hingga menganntikan butir lama. Tahapan
perubahan struktur mikronya dapat dilihat pada gambar 2.19 berikut : [1]

22
Gambar 2.19 Tahapan Perubahan Struktur Mikro dari Proses Rekristalisasi [1]

Pada bagian (a), terlihat struktur logam setelah mengalami proses Cold
Working (33% CW) sebelum di rekristalisai. Kemudian pada bagian (b),
terlihat mikrostruktur tahap awal rekristalisasi setelah pemanasan 3s pada
temperatur 580 oC . Pada bagian (c) terjadi penggantian sebagian butir
coldworking dengan butir yang sudah direkristalisasi setelah 4s pada
tempertaur 580 oC. Kemudian, pada bagian (d) rekistralisasi telah lengkap
setelah 8 detik pada temperatur 580 oC. Kemudian, pada (e) terjadi
pertumbuhan butir setelah 15 menit pada 580 oC. Dan pada (e) butir semakin
besar dengan pertumbuhan setelah 10 menit pada 700 oC. [1]

Selama rekristalisasi, sifat-sifat mekanik yang diubah ketika cold working


dikembalikan ke nilai sebelumnya yaitu, logam menjadi lebih lembut dan
lebih lemah, namun lebih ulet. Perubahan sifat mekanik dapat ditunjukkan
pada gambar 2.20, yang memplot kekuatan tarik dan keuletan pada suhu
kamar dari paduan kuningan sebagai fungsi temperatur dan untuk waktu
perlakuan panas konstan 1 jam. Pada gmbar 2.20, ini struktur butir pada
berbagai tahap proses ini juga disajikan secara skematis. Semakin tinggi
temperaturnya maka keuletannya semakin tinggi namun kekuatannya
menurun. [1]

23
Gambar 2.20 Perubahan Sifat Mekanik dan Struktur Butir sebagai Fungsi Temperatur [1]

o Grain Boundary Strengthening (Jelaskan prinsip penguatannya)


Ukuran butir dalam logam polikristalin memengaruhi sifat mekanik. Butir
yang berdekatan yang memiliki orientasi kristalografi yang berbeda akan
membentuk suatu batas butir (grain boundaries). Selama deformasi plastis,
gerakan slip atau dislokasi harus melintasi batas butir. Batas butir ini akan
berfungsi sebagai penghalang gerakan dislokasi, karena dua alasan, yaitu:
[1]

1. Karena untuk dapat melintasi batas butir, dislokasi yang melewati batas
butir harus mengubah arah gerakannya. Semakin meningkatnya
misorientasi kristalografi, maka untuk dapat melewati batas butir akan
semakin sulit.

24
2. Gangguan atom dalam wilayah batas butir akan mengakibatkan
diskontinuitas bidang slip dari satu butir ke yang lainnya.

Daripada melintasi batas butir, dislokasi akan lebih cenderung menumpuk


pada batas butir. Tumpukan ini akan menghasilkan konsentrasi tegangan di
depan bidang slipnya, yang akan menghasilkan dislokasi baru pada butir
yang berdekatan. Material yang berbutir halus (yang memiliki butiran kecil)
akan lebih keras dan lebih kuat daripada yang berbutir kasar, karena material
yang berbutir halus memiliki area batas butir total yang lebih besar
dibanding butir kasar, sehingga hambatan gerakan dislokasinya semakin
besar. Untuk berbagai jenis material, yield strength akan dipengaruhi oleh
ukuran butir sesuai dengan persamaan : [1]
−1
𝜎𝑦 = 𝜎𝑜 + 𝑘𝑦 𝑑 2
Dimana :

σy = kekuatan material ky = konstanta

d = diameter butir σo = konstanta

Persamaan ini disebut dengan persamaan Hall-Petch. Persamaan ini tidak


berlaku untuk butir yang sangat besar (mis., Kasar) dan bahan polikristalin
butiran halus. Gambar dibawah menunjukkan ketergantungan kekuatan
luluh pada ukuran butir untuk paduan kuningan. Terlihat bahwa semakin
kecil butirnya maka semakin besar kekuatannya. [1]

25
Gambar 2.21 Garfik Grain Size – Yield Strength [1]

o Thermomechanical Treatment
Termomechanical Treatment atau juga disebut ausforming. Pada
ausforming ini baja dibentuk menjadi bentuk yang diinginkan dalam
rentang suhu dan waktu yang terkendali, untuk menghindari
pembentukan produk transformasi nonmartensitik. Pada bagian
ausformed ini didinginkan pada berbagai laju untuk mendapatkan
struktur mikro yang diinginkan. Hasil dari proses thermomechanical ini
bagian yg telah di treatment ini akan memiliki sifat mekanik yang
unggul. [5].

Pada thermomechanical treatment diberikan pemanasan atau


pendinginan yang dikombinasikan dengan deformasi plastis untuk
mengubah bentuk dan sekaligus memperbaiki struktur mikronya
sehingga didapatkan sifat mekanik yang lebih baik. Contoh proses
thermomechanical treatment ini adalah proses hot rolling, forging dan
lainnya. [3]

26
BAB III
METODOLOGI PERCOBAAN

3.1 Penguatan Martensitik

Siapkan 2 spesimen yang


terdiri dari baja karbon
rendah dan tinggi

Ukur kekerasan awal

Panaskan spesimen pada


temperatur
austenisasinya selama 30
menit

Lakukan proses
quenching ke dalam air

Ukur kekerasan akhir

27
2.2 Penguatan Presipitat

Siapkan 4 spesimen paduan Al-


Cu

Panaskan sampai temperatur 550


oC selama 12 jam lalu quench ke

dalam air (sudah dilakukan)

Ukur kekerasan keempat


spesimen

Panaskan lagi pada temperatur


200 oC masing-masing 10, 30,
60. dan 120 menit

Lakukan proses quenching ke


dalam air

Ukur kekerasan masing-masing

Buat kurva antara harga


kekerasan dan waktu aging

28
3.3 Rekristalisasi

Panaskan 6 spesimen tembaga pada 800 oC,


lalu didinginkan di udara dan lakukan
pengerolan dengan reduksi 50% (sudah
dilakukan)

Beri tanda setiap spesimen dengan nomor


1,2,3,4,5, dan 6

Ukur kekerasan awal salah satu spesimen

Panaskan spesimen no 1 pada 800 oC


selama 120 menit. Panaskan spesimen no 2
s/d 5 400 oC berturut-turut selama 10, 15,
30, 45, dan 60 menit. Panaskan spesimen
no 6 pada 100 oC selama 90 menit

Setelah pendinginan, ukur kekerasan


masing-masing

29
BAB IV
PENGOLAHAN DATA

4.1. Data Praktikum


4.1.1 Martensite Hardening
Data Kualitatif

Spesimen : Baja Karbon


Data Kuantitatif

Tabel 4.1. Hasil Pengukuran Kekerasan Spesimen Baja Karbon

Kekerasan Awal Kekerasan Akhir


Baja T t
(HRA) (HRA)
Karbon (oC) (min)
1 2 3 Avg 1 2 3 Avg
Kotak 850 30 36 35 37 36 58 56 55 56.3333
Bulat 850 30 55 59 54 56 76 77 78 77

4.1.2 Precipitation Hardening


Data Kualitatif

Spesimen : Paduan Al-Cu

Data Kuantitatif

Tabel 4.2. Hasil Pengukuran Kekerasan Spesimen Paduan Al-Cu

Kekerasan Akhir
T t Kekerasan Awal (HRE)
Spesimen (HRE)
(oC) (min)
1 2 3 Avg 1 2 3 Avg
A 200 10 87.5 87 86 86.83333333 91 90 91 90.6667

30
B 200 30 85 88 87 86.66666667 95 94 93 94
C 200 60 86 86 87 86.33333333 90 91 90 90.3333
D 200 120 88 89 85 87.33333333 86 85 85.5 85.5

4.1.3 Rekristalisasi
Data Kualitatif

Spesimen : Tembaga
Data Kuantitatif

Tabel 4.3. Hasil Pengukuran Kekerasan Spesimen Tembaga

Kekerasan Akhir
T t Kekerasan Awal (HRE)
Spesimen (HRE)
(oC) (min)
1 2 3 Avg 1 2 3 Avg
1 850 120 90.5 91 90 90.5 60 61 60.5 60.5
2 400 10 91.5 91 91.5 91.3333 81 80 81 80.6667
3 400 30 85 86 85 85.3333 78 78 79 78.3333
4 400 45 84.5 85 84 84.5 90 90 91 90.3333
5 400 60 83 82 83 82.6667 80 81 80.5 80.5
6 100 90 92 91 91.5 91.5 89 88 89 88.6667

4.2. Pengolahan Data


4.2.1 Martensite Hardening
Penentuan Grafik Perbandingan Kekerasan Awal dan Akhir Baja

Berdasarkan tabel 4.1. didapatkan grafik perbandingan kekerasan awal dan akhir
baja sebagai berikut :

31
Perbandingan Kekerasan Baja Kotak
60 56,33333333

50

40 36
HRA

30

20

10

0
Awal Akhir

Grafik 4.1 Grafik Perbandingan Kekerasan Baja Kotak

Perbandingan Kekerasan Baja Bulat


90
80 77

70
60 56

50
HRA

40
30
20
10
0
Awal Akhir

Grafik 4.2 Grafik Perbandingan Kekerasan Baja Bulat

4.2.2 Precipitation Hardening


Penentuan Kurva Kekerasan Akhir Vs Waktu Aging

Tabel 4.4. Waktu Aging VS Kekerasan Akhir

Waktu (menit) Kekerasan Akhir (HRE) Standar Deviasi


10 90.6667 0.57735

32
30 94 1
60 90.3333 0.57735
120 85.5 0.5

Waktu Aging VS Kekerasan Akhir


95 94
94
93
Kekerasan (HRE)

92
90,66666667 90,33333333
91
90
89
88
87
85,5
86
85
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 110 120 130
Waktu (menit)

Grafik 4.3 Grafik Waktu Aging VS Kekerasan Akhir

4.2.3 Rekristalisasi

Penentuan Kurva Kekerasan VS Waktu pada Proses Rekristalisasi

Tabel 4.4. Waktu VS Kekerasan Akhir pada Proses Rekristalisasi

T (oC) Waktu (menit) Kekerasan Akhir (HRE) Standar Deviasi


850 120 60.5 0.5
400 10 80.6667 0.57735
400 30 78.3333 0.57735
400 45 90.3333 0.57735
400 60 80.5 0.5
100 90 88.6667 0.57735

33
Waktu VS Kekerasan
100
90
80
Kekerasan (HRE)

70
60
50 400 Celcius
40 100 Celcius
30
850 Celcius
20
10
0
0 20 40 60 80 100 120 140
Waktu (menit)

Grafik 4.4 Grafik Waktu VS Kekerasan pada Proses Rekristalisasi

34
BAB V
ANALISIS DATA

Pada praktikum kali ini dilakukan 3 percobaan proses penguatan yaitu proses
penguatan martensit, proses penguatan presipitat dan proses rekristalisasi.

Pada percobaan proses penguatan martensit, terdapat 2 baja yang digunakan yaitu
baja kotak dan bulat. Yang mana kekerasan awal baja kotak lebih kecil daripada
baja bulat, yaitu baja kotak memiliki kekerasan awal 36 HRA dan baja bulat
memiliki kekerasan awal 56 HRA. Sehingga dapat diambil kesimpulan baja kotak
memiliki karbon yang sedikit daripada baja bulat, atau baja kotak adalah baja
karbon rendah dan baja bulat adalah baja karbon tinggi.

A3
A1

Gambar 5.1 Diagram Fe-C [1]

35
Terlihat pada grafik 4.1 dan 4.2, grafik perbandingan kekerasan baja kotak dan
bulat, kekerasan kedua baja ini mengalami peningkatan setelah melalui proses
penguatan martensit. Hal ini terjadi karena kedua baja yang awalnya berada pada
suhu kamar dan memiliki fasa perlit mengalami proses pemanasan hingga
temperatur yang lebih tinggi dari temperatur eutectoid dan temperatur A3. Sehingga
semua fasa perlit tadi telah berubah semuanya menjadi fasa austenite. Kemudian
baja yang dipanaskan hingga melebihi temperatur A3 ini akan di quenching ,
sehingga fasa austenite yang memiliki struktur kristal FCC tidak dapat berdifusi
membentuk struktur kristal BCC. Maka, terjadilah mekanisme geser yang mana
karbon akan terperangkap pada rongga oktahedral. Yang mengakibatkan struktur
kristal yang terbentuk bukanlah BCC melainkan BCT (body centered tetragonal).
Dan terbentuklah fasa martensit. Pada fasa ini, baja akan memiliki kekerasan yang
lebih besar karena beberapa hal yaitu mekanisme geser yang mengakibatkan
bertambahnya densitas dislokasi, struktur BCT yang membuat terjadinya distorsi
lattice, dan juga karena adanya twinning. Jika dibandingkan antara baja kotak dan
baja bulat, terlihat persentase peningkatan kekerasan lebih tinggi adalah
peningkatan kekerasan pada baja kotak. Hal ini terjadi karena pada baja bulat
terdapat karbon yang lebih banyak daripada baja kotak. Karbon yang lebih banyak
membuat lebih besar kemungkinan untuk terbentuknya austenit sisa. Karena
banyaknya karbon sehingga rongga oktahedral penuh dan karbon berlebih akan
mengisi rongga tetrahedral dan membentuk austenit sisa. Selain itu, semakin
banyak karbon maka batas martensite finish (Mf) akan semakin turun ke temperatur
yang lebih rendah, sehingga terdapat kemungkinan tidak terbentuk 100%
martesnite akibat tidak tercapainya batas martensite finish (mf) . Hal ini bisa diatasi
dengan dilakukannya sub zero treatment sehingga Mf nya tercapai.

Pada proses penguatan presipitat, spesimen paduan Al-Cu dikuatkan dengan cara
memunculkan presipitat di dalam butirnya. Pada grafik 4.3, dapat dilihat bahwa
lamanya waktu aging akan membentuk kurva kekerasan yang akan naik hingga titik
kekerasan maksimum dan kemudian akan menurun seiring dengan lamanya waktu
aging. Kenaikan kekerasan hingga titik kekerasan maksimum terjadi karena fasa
sebelum di aging yang merupakan fasa yang tidak stabil mengalami difusi dan
36
terbentuklah presipitat dan hingga waktu aging 30 menit terjadi penyeragaman butir
dan distribusi prsipitat yang bersifat menguatkan. Namun, setelah 30 menit ini
penyeragaman dan distribusi presipitat ini malah akan membuatnya akan semakin
kembali ke bentuk semula, sehingga akan menurunkan kekerasannya. Hal ini
disebut dengan overaging.

Pada proses rekristalisasi, dilakukan pemanasan spesimen yang telah di cold


working pada temperatur tertentu dan penahanan pada waktu tertentu. Berdasarkan
literatur [6], temperatur leleh spesimen tembaga ini adalah 1083oC. Maka,
temperatur rekristalisasi dapat diperkirakan yaitu dibawah temperatur dari
temperatur leleh, dan semakin rendah seiring dengan peningkatan persentase cold
workingnya hingga temperatur rekristalisasi minimum yaitu setengah dari
temperatur leleh yaitu 541.5 oC. Spesimen tembaga 6 dipanaskan pada temperatur
o
100 C selama 90 menit, temperaturnya ini diperkirakan belum mencapai
temperatur rekristalisasinya. Karena belum mencapai temperatur rekristalisasinya,
maka spesimen tembaga tersebut hanya mengalami proses recovery yaitu proses
dimana internal energy mulai dilepaskan dan jumlah dislokasi sedikit menurun. Dan
bentuk dari mikrostruktur dari spesimen ini masih akan pipih. Oleh karena itu, nilai
kekerasan dari spesimen tembaga 6 ini hanya mengalami sedikit penurunan.
Sedangkan pada spesimen 2,3,4,5 dilakukan pemanasan pada temperatur 400 oC
dengan waktu yang berbeda, yaitu 10,30,45 dan 60 menit. Pemanasan pada
o
temperatur 400 C ini juga diperkirakan belum mencapai temperatur
rekristalisasinya namun, sudah mendekati temperatur rekristalisasinya. Sehingga
pada temperatur ini terjadi proses recovery dan akan masuk ke proses rekristalisasi.
Oleh karena itu, penurunan kekerasannya masih kecil namun masih lebih besar
dibandingkan dengan spesimen 6. Pada spesimen 1, spesimen dipanaskan hingga
temperatur 850 oC, jauh diatas temperatur rekristalisasinya dan ditahan pada waktu
yang cukup lama yaitu 120 menit. Oleh karena itu, proses ini sudah mengalami
proses recovery, rekristalisasi dan proses grain growth. Pada proses rekristalisasi
terjadi pengintian dan terbentuklah butir baru . Pada proses grain growth ini, butir
akan tumbuh semakin besar berbanding lurus dengan temperatur pemanasan dan
lama pemanasannya. Oleh karena itu, butir yang dihasilkan pada spesimen 6 akan
37
menjadi besar dan mengakibatkan penurunan kekerasan yang sangat signifikan
yang dapat dilihat pada tabel 4.3 dan grafik 4.4 diatas.

38
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan
1. Nilai kekerasan baja sebelum dan sesudah proses quenching dapat dilihat
pada tabel berikut :

Tabel 4.1. Hasil Pengukuran Kekerasan Spesimen Baja Karbon

Kekerasan Awal Kekerasan Akhir


Baja T t
(HRA) (HRA)
Karbon (oC) (min)
1 2 3 Avg 1 2 3 Avg
Kotak 850 30 36 35 37 36 58 56 55 56.3333
Bulat 850 30 55 59 54 56 76 77 78 77

2. Nilai kekerasan paduan alumunium sebelum dan sesudah proses penguatan


presipitat dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 4.2. Hasil Pengukuran Kekerasan Spesimen Paduan Al-Cu

Kekerasan Akhir
T t Kekerasan Awal (HRE)
Spesimen (HRE)
(oC) (min)
1 2 3 Avg 1 2 3 Avg
A 200 10 87.5 87 86 86.83333333 91 90 91 90.6667
B 200 30 85 88 87 86.66666667 95 94 93 94
C 200 60 86 86 87 86.33333333 90 91 90 90.3333
D 200 120 88 89 85 87.33333333 86 85 85.5 85.5

39
3. Nilai kekerasan tembaga sebelum dan sesudah proses rekristalisasi adalah
sebagai berikut :

Tabel 4.3. Hasil Pengukuran Kekerasan Spesimen Tembaga

Kekerasan Akhir
T t Kekerasan Awal (HRE)
Spesimen (HRE)
(oC) (min)
1 2 3 Avg 1 2 3 Avg
1 850 120 90.5 91 90 90.5 60 61 60.5 60.5
2 400 10 91.5 91 91.5 91.3333 81 80 81 80.6667
3 400 30 85 86 85 85.3333 78 78 79 78.3333
4 400 45 84.5 85 84 84.5 90 90 91 90.3333
5 400 60 83 82 83 82.6667 80 81 80.5 80.5
6 100 90 92 91 91.5 91.5 89 88 89 88.6667

6.2.Saran
Sebaiknya sebelum diuji keras, spesimen dilakukan di grinding dan di polishing
dulu, sehingga permukaannya lebih datar dan bagus, serta lapisan kotoran atau
gosong akibat pemanasan juga dapat dihilangkan. Maka, akan didapatkan hasil
pengujian kekerasan yang lebih valid.

40
DAFTAR PUSTAKA

[1] J. &. D. G. R. William D. Callister, Materials Science and Engineering an


Introduction 9th Edition, Hoboken: John Wiley & Sons, Inc., 2014.

[2] H. Y. Malek, “Slide Player,” [Online]. Available:


https://slideplayer.com/slide/10585418/. [Diakses 24 September 2019].

[3] G. Krauss, S T E E L S, Processing, Structure, and Performance, Second


Edition, United States of America: ASM International, 2015.

[4] Aluminum and Aluminum Alloys, ASM International, 2001.

[5] S. S. Serope Kalpakjian, Manufacturing, Engineering and Technology SI 6th


Edition, 2009.

[6] “Pengelasan.net,” [Online]. Available: https://www.pengelasan.net/titik-lebur-


logam/. [Diakses 29 September 2019].

[7] N. Kang, “ResearchGate,” [Online]. Available:


https://www.researchgate.net/figure/Schematic-diagram-of-quenching-and-
tempering-process-during-an-induction-heat-treatment_fig1_271245406.
[Diakses 26 September 2019].

[8] “Practical Maintenance,” [Online]. Available:


https://practicalmaintenance.net/?p=1532. [Diakses 26 September 2019].

[9] “ResearchGate,” [Online]. Available:


https://www.researchgate.net/figure/Schematic-of-processing-sequence-of-
Al-Si-Mg-cast-alloys-and-the-microstructure-evolution_fig4_314355906.
[Diakses 26 September 2019].

41
LAMPIRAN

Lampiran 1 Dokumentasi Gambar Spesimen

Gambar L.1 Data Pengamatan

42
Gambar L.2 Dokumentasi Semua Spesimen

Gambar L.3 Dokumentasi Spesimen Baja

Gambar L.4 Dokumentasi Spesimen Paduan Alumunium

Gambar L.5 Dokumentasi Spesimen Tembaga

43
Lampiran 2 Tugas Setelah Praktikum
1. Gambarkan diagram termal proses Quench dan Temper baja karbon medium.
Jawab :
Baja karbon medium merupakan baja yang memiliki kadar karbon berkisar 0.2 –
0.5 %. Untuk dapat diquenching menjadi martensite, baja ini harus di austenitizing
dengan memanaskannya hingga melewati temperatur A3 yang dapat dilihat pada
gambar dibawah ini. Hal ini dilakukan agar fasa material tersebut berubah
keseluruhannya menjadi austenite. Dan kemudian temperatur ditahan dan di
quenching hingga temperatur yang rendah, sehingga didapatkan fasa martensite.
Dan kemudian baja ditempering hingga temperatur dibawah temperatu A1,
sehingga didapatkan struktur tempered martensite.

A3
A1

Gambar L.6 Diagram Fe-C [1]

44
Contoh proses quenching dan tempering baja karbon medium ini dapat dilihat pada
gambar di bawah ini yang merupakan quenching dan tempering dari baja karbon
0.35%. Untuk dapat melewati temperatur A3, baja ini diquenching pada temperatur
berkisar 840-1000 oC. Dan untuk proses tempering, temperatur temperingnya harus
dibawah temperatur A1, maka baja ini ditempering hingga temperatur kisaran 450-
720 oC.

Gambar L.7 Diagram Quenching dan Tempering pada 0.35% C. [7]

Proses quenching dan tempering ini pada diagram CCT dapat dilihat pada gambar
di bawah ini. Terlihat pada diagram tsb, prosesnya melewati martensite start dan
martensite finish agar terbentuk martensite dengan baik keseluruhan.

Gambar L.8 Diagram CCT Quenching dan Tempering . [8]

45
2. Paduan Al seri 6xxx akan dikeraskan dengan metode Precipitation Hardening.
Gambarkan diagram termal proses tersebut.
Jawab:
Paduan Al seri 6xxx merupakan paduan alumunium dengan silicon (Si) dan
magnesium (Mg). Paduan ini dapat melakukan penguatan presipitat, diagram termal
proses tersebut dapat dilihat pada gambar berikut :

Gambar L.9 Diagram Termal Precipitatio Hardening Paduan Al seri 6xxx. [9]

3. Jelaskan mengapa deformasi plastis diperlukan agar material logam dapat


rekristalisasi
Jawab:
Untuk dapat melakukan rekristralisasi, material logam membutuhkan sebuah
driving force. Driving force ini berupa perbedaan energi internal antar bagian yang
mengalami regangan akibat deformasi dengan yang tidak mengalami regangan .
Untuk dapat terbentuknya perbedaan energi internal ini maka dibutuhkannya
deformasi plastis untuk dapat melakukan rekristalisasi. Besarnya deformasi plastis
dapat direpresentasikan dengan persentase cold working. Terlihat pada kurva di
gambar 2.18, bahwa untuk dapat melakukan rekristalisasi, persentase cold working

46
nya harus melebihi batas minimalnya. Batas minimal cold working untuk dapat bisa
terjadinya rekristralisasi biasanya berada pada kisaran 2 – 20 %. [1]

47

Anda mungkin juga menyukai