PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Baja High Strength Low Alloy Steel (HSLA) merupakan baja karbon paduan
rendah dengan kekuatan tinggi yang sangat dibutuhkan di industri manufaktur,
serta memiliki sifat kuat dan relatif ringan, sehingga aplikatif untuk bidang
transportasi dan disain struktur[1]. Salah satu parameter penting yang
mempengaruhi sifat mekanis baja HSLA adalah besar butir Prior Austenit
(besar butir austenit saat reheating sebelum mengalami deformasi) dan besar butir
austenit setelah deformasi.
Saat ini, dalam aplikasi di industri, diameter prior austenit sebagai dasar
perhitungan hanya didapatkan melalui trial-error dengan memanaskan baja
hingga temperatur reheating, dengan kondisi yang ada pada industri, sehingga ada
beberapa faktor yang diabaikan seperti kecepatan pemanasan (heating rate), lama
pemanasan, dan waktu tahan. Akibatnya perhitungan besar butir prior austenit
tidak konsisten, yang mengakibatkan perhitungan besar butir austenit setelah
proses canai panas tidak tepat dan sifat mekanis tidak sesuai dengan yang
diharapkan. Besar butir pada mikrostruktur akhir ditentukan oleh butir prior
austenit pada proses pemanasan awal (reheating), dimana untuk mendapatkan
butir ferit yang halus, dibutuhkan butir austenit yang berukuran kecil saat proses
pemanasan awal.
1
1.2. Tujuan Penelitian.
C Si Mn P S Al Nb V N Cu+Cr+Ni
0,12 0,266 0,645 0,009 0,005 0,034 0,028 0,011 0,0037 0,077
2
5. Holding time 10,30,60 menit.
6. Media pendingin yang digunakan adalah air.
7. Pengujian sifat mekanik yang dilakukan adalah pengujian kekerasan
dengan menggunakan metode Vickers.
8. Pengamatan struktur mikro dengan menggunakan Mikroskop Optic
standar ASTM E112
3
1.5 Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan ini disajikan dalam tulisan yang terdiri dari 5 bab.
BAB I : PENDAHULUAN
BAB IV : PEMBAHASAN
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Gambar 2.1. Efek dari besar butir ferit terhadap kekuatan luluh dan temperatur
impak[3].
5
Mikrostruktur dari material logam dapat diubah dengan mengatur
ukuran, bentuk dan orientasi dari butir-butirnya, dimana bentuk dan ukuran butir
merupakan hasil dari pertumbuhan butir yang umumnya bergantung pada
orientasi kristalin dari butir ketika terjadi pertumbuhan.
Ukuran dari butir atau diameter butir rata-rata, dalam logam polikristal
mempengaruhi sifat mekanisnya. Logam dengan butir yang halus lebih keras dan
kuat dibandingkan logam dengan butir kasar, karena butir halus memiliki area
batas butir total yang lebih luas untuk menghalangi pergerakan dislokasi.
Ukuran butir dapat diatur oleh laju solidifikasi dari fasa cair, dan juga oleh
deformasi plastis yang diikuti dengan perlakuan panas yang sesuai. Salah satu
metode pembentukan dalam proses deformsi plastis ini adalah melalui proses
termomekanik.
6
atas Ac3, seluruh struktur mikro baja bertransformasi menjadi austenit. Hal ini
dapat dilihat pada gambar di bawah ini. Untuk menentukan besarnya temperatur
Ac1 maupun Ac3 dapat diketahui dengan melihat diagram kesetimbangan baja
karbon dibawah ini
Gambar 2.2. Pengaruh Proses Reheating pada perubahan struktur mikro baja[9].
7
Gambar 2.3. Pengaruh temperatur dan persen karbon pada pertumbuhan butir
austenit[9].
Beberapa persamaan empiris untuk pertumbuhan butir dari baja karbon dan
mikroalloy dapat dilihat pada tabel 2.1. berikut.
8
Tabel 2.1. Persamaan yang memperlihatkan pertumbuhan butir austenite [8]
2.3. Baja
Baja merupakan paduan yang terdiri dari besi, karbon dan unsur yang
lainnya. Seperti : Silicon (Si), Fospor (S), Tembaga (Cu). Karbon merupakan
suatu unsur terpenting karena dapat meningkatkan kekerasan dan kekuatan baja.
Baja merupakan logam yang paling banyak digunakan dalam dunia teknik, dalam
bentuk pelat, lembaran, pipa batang, profil dan sebagainya. Baja dapat dibentuk
melalui pengecoran pencairan dan penempaan. Secara garis besar baja dapat
dikelompokkan sebangai berikut :
Baja karbon rendah ini disebut dengan baja lunak atau baja yang bukan
keras. Baja karbon rendah memiliki kandungan karbon kurang dari 0,25% C. Baja
karbon rendah digunakan untuk kawat, baja profil, mur, baut, ulir sekrup,dan lain-
lain.
9
dan sejumlah peralatan mesin seperti roda gigi otomotif, poros bubutan, poros
engkol, sikrup dan alat angkat presisi.
2.Baja Paduan
Baja yang mengandung unsur C tidak akan memiliki sifat seperti yang
diinginkan, dengan penambahan unsur-unsur paduan seperti Si, Mn, Ni, V, W,
dan lain sebagainya dapat menolong untuk mencapai sifat-sifat yang diinginkan.
Penambahan beberapa unsur paduan spesifikasi terhadap sifat baja antara lain:
Silikon merupakan unsur paduan yang ada pada setiap baja dengan jumlah
kandungan lebih dari 0,4% yang mempunyai pengaruh kenaikan tegangan tarik
dan menurunkan kecepatan pendinginan kritis (laju pendinginan minimal yang
dapat menghasilkan 100 martensite)
10
c. Unsur Nikel (Ni)
Nikel memberi pengaruh sama seperti Mn yaitu menurunkan suhu kritis dan
kecepatan pendinginan kritis. Ni membuat struktur butiran menjadi halus dan
menambah keuletan.
Unsur vanadium dan wolfram membentuk karbidat yang sangat keras dan
memberikan baja dengan kekerasan yang tinggi, kemampuan potong dan daya
tahan panas yang cukup tinggi pada baja yang sangat diperlukan untuk pahat
potong dengan kecepatan tinggi.
3. Baja HSLA
Baja HSLA adalah salah satu kelompok baja karbon rendah yang
memanfaatkan sebagian kecil elemen paduan untuk mencapai nilai yield strength
lebih dari 275 MPa (40 ksi) pada kondisi as-rolled. Baja jenis ini mempunyai sifat
mekanik dan ketahanan korosi yang lebih baik dibandingkan baja karbon lainnya
pada kondisi yang sama. Dengan kekuatannya yang lebih tinggi tersebut, baja
HSLA dapat dihasilkan dengan kadar karbon yang rendah sehingga kemampuan
lasnya lebih baik dari mild steel. Komposisi kimia dari baja HSLA dapat
bervariasi bergantung pada sifat yang ingin dicapai.
11
mampu bentuk, mampu las, dan ketahanan korosinya. Baja ini tidak dapat
digolongkan ke dalam baja paduan meskipun sifat-sifat yang diinginkan dapat
tercapai dengan hanya penambahan sedikit paduan. Adapun penggolongan baja
HSLA adalah sebagai berikut.
Weathering steels, baja yang ditambahkan sedikit Tembaga (Cu) dan Fosfor (P)
untuk meningkatkan ketahanan terhadap korosi atmosferik dan kemampuan
untuk dikuatkan melalui mekanisme penguatan larutan padat
o Microalloyed ferrite-pearlite steels, baja yang ditambahkan sedikit (kurang
dari 0.10%) elemen pembentuk Karbida dan Karbonitrida seperti Niobium,
Vanadium, dan atau Titanium untuk penguatan presipitat, penghalus butir,
dan kontrol terhadap perubahan temperatur.
o As-rolled pearlitic steels, disebut juga baja C-Mn tetapi dengan penambahan
elemen paduan lain untuk meningkatkan kekuatan, ketangguhan, mampu
bentuk, dan kemampulasan.
o Acicular Ferrite (Low carbon bainite) steels, baja dengan kandungan karbon
di bawah 0.05% C dan memiliki kombinasi tegangan luluh, mampu bentuk,
ketangguhan, kemampulasan yang sangat baik.
o Dual Phase Steels, baja dengan mikrostruktur martensit yang tersebar di
matriks ferrit dan memiliki kombinasi yang baik dari keuletan dan tegangan
luluh yang tinggi.
o Inclusion-shape-controlled steels, penambahan Calcium, Zirconium,
Titanium, dan logam-logam jarang sehingga bentuk dari inklusi sulfide
berubah menjadi lebih kecil, tersebar, dan berbentuk globular yang akan
meningkatkan keuletan.
12
itu, HSLA juga diaplikasikan pada kondisi aplikasi tegangan pada temperatur
yang sangat rendah
13
Gambar.2.4 Diagram kesetimbangan Besi-Karbon (Fe-C) [6].
14
Karena adanya gaya tarik menarik antar atom, maka atom-atom logam
akan membentuk persenyawa satu dengan yang lain. Persenyawaan ini akan
membentuk suatu bagian geometrik tertentu dalam keadaan padat, dan disebut
sebagai kristalit. Bentuk geometri dari persenyawaan logam besi dan baja
biasanya berupa kubus, yang tersusun dari atom-atomnya. Bentuk geometris inti
adalah BCC (Body Center Cubic), FCC (Face Center Cubic), HCP (Hexagonal
close pocked). Seperti terdapat pada gambar berikut ini
Fasa Ferrite ( α )
Kelarutan karbon maksimum pada ferrite adalah 0,025% C pada
temperatur 7230 C sel satuanya adalah BBC ( Body Centered Cubik ). Ini bisa
terjadi yaitu pada suhu dibawah 9100 C.
15
Gambar 2.6. Struktur ferrite pada baja lunak
Fasa Austinite ( γ )
Terjadi diatas temperatur 7230 C, sedangkan bentuk sel satuan dari austenit
adalah FCC ( Face Cementened Cubic ). Sifatnya adalah mudah dibentuk dan
ferro magnetic disebut juga karbida besi ( Fe3C ), fasa ini terjadi pada temperatur
dibawah 14000 C. Persentase karbon lebih dari 0,83% C. Bentuk sel satuan adalah
orthotombic pada keadaan tertentu, dimana dapat membentuk fasa karbon
sebangai grafit yang sifatnya keras dan getas.
Fasa Perlite ( P )
Perlite adalah merupakan campuran cementite dengan ferrite.Temperatur
fasa ini adalah 7230 C. Persentase karbon yang terkandung di atas 0.025% C,
sifatnya keras dan liat.
16
Gambar 2.8. Struktur pearlite pada baja karbon rendah (0,25% C
Fasa Delta (δ )
Fasa ini terjadi pada temperatur yang sangat tinggi yaitu antara 1400 –
15350 C, kadar karbon 0,1% C. Sedangkan bentuk sel satuan adalah BCC (Body
Center Cubic)
17
Gambar 2.10. Struktur delta pada baja karbon rendah
1. Air
♦Sangat umum digunakan sebagai quenching, dan juga mudah diperoleh
sehingga tidak ada kesulitan dalam pengambilan dan penyimpanan.
2. Oli
♦ Banyak digunakan
18
♦Viskositas yang rendah menyebabkan laju pendinginan tinggi dan menjadi
mudah terbakar.
3. Udara
♦ Distorsi bisa diabaikan
4. Salt bath
♦ Campuran nitrat dan nitrit (NaNO3 dan NaNO2)
Fluida yang ideal untuk media quench agar diperoleh struktur martensit,
harus bersifat :
Akibat adanya atom karbon yang terjebak tersebut, maka pada proses quenching
terjadi transformasi dari struktur austenit menjadi struktur martensit.
19
kemudian intan tersebut diberi tekanan pada benda uji dengan suatu gaya tertentu,
maka pada benda uji terdapat bekas penekanan dari indentor. Bekas penekanan
indentor ini akan lebih besar apabila benda uji tersebut semakin lunak dan bila
beban penekanan bertambah berat.
1. Dengan penekanan yang sama, baik pada bahan yang keras maupun lunak
nilai kekerasan suatu benda uji dapat diketahui.
20
2. Penentuan angka kekerasan pada benda-benda kerja yang tipis atau kecil
dapat diukur dengan memilih gaya yang relatif kecil.
Filter Cahaya
Filter cahaya berfungsi untuk menaikkan kontras dari batas butir maupun
keadaan fasa tertentu dengan cara membedakan warna.
Lensa Kondensor
Lensa kondensor berfungsi sebagai alat pemantul sinar dan memperbaiki
kontras bayangan.
Lensa Reflector
Lensa Reflector berfungsi untuk memantulkan cahaya dari cermin ke meja
objek melalui lubang yang terdapat di meja objek dan menuju mata
pengamat.
Lensa Objektif
Lensa objektif berfungsi untuk mengumpulkan sinar yang dipantulkan dari
spesimen.
21
Dalam rumus ini :
NA= n Sin α
dimana:
Lensa Okuler
Untuk pengukuran besar butir logam, lensa okuler dilengkapi dengan grid
yang sesuai dengan standar ASTM.
Mtot=M0 X Mf
dimana :
22
Gambar 2.12. Ilustrasi Prinsip Pengelihatan Gambar Struktur Mikro Dari
Spesimen Menggunakan Mikroskop Optik[8]
23
2.8.1. Metode Perhitungan Besar Butir Austenit Prior.
Setelah metode etsa dapat menampilkan batas butir Austenit Prior, maka
besar butir dihitung dengan menggunakan metode Intercept, sesuai dengan standar
perhitungan Metalografi kuantitatif American Standard Testing and Material
(ASTM E112). Teknik Penghitungan dilakukan sebagai berikut;
Dari gambar 2.13 di bawah , dihitung jumlah titik potong antara total panjang
garis yang ditarik sepanjang 500 mm dengan batas butir pada foto struktur mikro
dengan perbesaran 100 kali. Jumlah titik potong persatuan panjang (PL) dihitung
dengan
PL=PLT/M. ..........(Pustaka 8 Hal 449)
dimana PL = jumlah titik potong butir yang diamati dan garis hitung LT (500
mm)/satuan panjang.
P = Total titik potong fasa dan garis hitung LT (500 mm).
M = Perbesaran
24
Panjang garis Perpotongan (L3) ;
L3 = 1/PL ........(Pustaka 11 Hal 449)
LT = Panjang Garis Total (Sesuai standar ASTM =500mm)
Dari PL atau L3 , dapat dilihat di tabel besar butir ASTM E 112, atau dimasukkan
ke dalam rumus Empiris ;
G= [6,646 log (L3) – 3,298]
25
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
1.1 Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
a. Baja HSLA (high strenght low alloy stell)
Bahan yang digunakan adalah baja HSLA (high strenght low alloy
stell), berbentuk plat degan ukuran 50 mm x 30 mm x 5 mm. Dengan
komposisi
C Si Mn P S Al Nb V N Cu+Cr+Ni
0,12 0,266 0,645 0,009 0,005 0,034 0,028 0,011 0,0037 0,077
b. Air
Air digunakan sebagai media pendingin baja karbon paduan rendah
HSLA yang telah mengalami proses water quenching
5 mm
30 mm
50 mm
1. Gergaji
Gergaji digunakan untuk memotong ( membentuk ) specimen penelitian
26
Gambar 3.2 Gergaji
2. Tungku pemanas
Tungku pemanas digunakan
untuk proses pemanasan specimen penelitian tungku pemanas ini terdapat
Pada Laboratium Teknik Metalurgi Universitas HKBP Nommensen
Medan.
3. Sarung tangan
Sarung tangan digunakan untuk melindungi tangan pada saat
mengeluarkan benda kerja dari tungku pemanas.
27
Penjepit digunakan untuk menjepit benda kerja saat mengeluarkan benda
kerja dari tugku pemanas.
6. Mesin Polish
Sebelum melakukan pengamatan stuktur mikro dengan mikroskop optic,
dilakukan surface polishing dengan mesin polish
28
Gabar.3.7. Mesin Polish
29
Gabar 3.9. Miskroskop Optik
9. Media Pendingin.
Media pendingin yang digunakan adalah air
30
Pada penelitian ini desain yang digunakan adalah metose eksperimental
yang dilakukan di laboratorium metalurgi Universitas HKBP Nomensen.
Penelitian memerlukan langkah –langkah atau tindakan yang tersusun sehingga
dapat menjawab permasalahan yang diteliti. Alur eksperimen dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut
Mulai
Pemilihan Bahan
(Baja HSLA)
Reheating :
- 3 Variasi Temperatur Pemanasan (960,1060,1120 oC)
- 2 Variasi Laju Pemanasan(5 oC/mnt dan10 oC/mnt)
- 3 Variasi Waktu Tahan (10, 30, 60) mnt
Water Quenching
Pengamatan Mikrostruktur
(ASTM E 112)
Pengujian Kekerasan
(ASTM )
Pengumpulan Data
Kesimpulan
31
Adapun prosedur penelitian antara lain sebagai berikut :
3.4.1 Pembuatan Sampel
Sepesimen baja HSLA (high strenght low alloy stell) dipotong dengan
spesifikasi spesimen yang telah ditentukan. Jumlah spesimen yang dibuat
adalah 18 buah. Spesimen yang telah dipotong kemudian di bersihkan
dari beram-beram sisa-sisa pemotongan.
3.4.2 Proses water quenching
Proses water quenching dilakukan 3 variasi tempratur pemanasan 960,
1060, 1120 oC, 2 variasi laju pemanasan 5 oC/menit dan 10 oC/menit, 3
variasi waktu tahan 10,30,60 menit dan pendinginannya dilakukan
dengan pendinginan cepat menggunakan air. Proses ini bertujuan agar
benda kerja tidak mengalami distorsi dan retak. Pada perlakuan panas ini,
panas merambat dari luar kedalam dengan kecepatan tertentu.
3.4.3 Pengujian kekerasan
Pengujian kekerasan ini dilakukan dengan alat uji kekerasan mikro
Vickers, pengujian ini dengan cara:
a. Permukaan material dihaluskan dengan cara diampelas dengan urutan
ampelas No. 320-400-600-800-1000-1500.
b. Setelah diampelas pada bagian permukaan sampel di polish sampai
mengkilap.
c. Memasang/meletakkan sampel pada dudukan.
d. Menentukan besar pembebanan.
e. Menekan tombol untuk menggerakkan indentor.
f. Mengukur bekas penekanan indentor dengan mistar yang dilihat
pada lensa pembesar.
g. Menentukan nilai kekerasan dari diameter bekas injakan sesuai
dengan rumus atau tabel nilai kekerasan mikro.
32
Sebelum melakukan foto mikro benda kerja di amplas dengan urutan
kertas ampelas No. 320-400-600-800-1000-1500 setelah itu dicuci dan
dikeringkan lalu di poles. Pemolesan dilakukan dengan cara mengamplas
bagian permukaan sampai halus kemudian di poles menggunakan autosol
supaya mengkilap kemudian dicuci dan di keringkan. Dalam mengamati
batas butir dari fasa austenit digunakan larutan etsa picral 4 gram yang
dipanaskan sampai mendidih dan di tuang berulang-ulang ke atas
material yang sudah di poles selama 5 menit kemudian dikeringkan
setelah itu dilakukan foto struktur mikro pada permukaan yang telah di
etsa.
Setelah dilakukan foto mikro pada sampel yang sudah di etsa lalu
dilakukan perhitungan besar butir austenit pada material dengan standrat
American Standard Testing and Material (ASTM E112).
33
Di dalam suatu persamaan, variabel dependen adalah variabel yang nilai
tergantung dari nilai variabel lain. Sedangkan variabel independen adalah
variabel yang nilainya tidak tergantung dari variabel lain.
Bentuk hubungan antara dua variabel dapat searah (direct relationship)
dan dapat berlawanan arah (inverse relationship). Jika dua variabel mempunyai
hubungan searah artinya perubahan nilai yang satu dengan nilai yang lain
adalah searah. Sedangkan dua variabel mempunyai hubungan berlawanan arah
artinya perubahan nilai yang satu dengan yang lain adalah berlawanan arah.
34
X sehingga dapat membentuk model Ŷ = a + bX. Sedangkan pada regresi multi
linier variabel dependen (Y) tidak hanya dihubungkan pada satu variabel
independen (X) tetapi lebih dari satu variabel independen (X1, X2, ..., Xn).
35
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
o o o o o o o o o
960 C 960 C 960 C 1060 C 1060 C 1060 C 1120 C 1120 C 1120 C
t=10 mnt t=30 mnt t=60 mnt t=60 mnt t=60 mnt t=60 mnt t=60 mnt t=60 mnt t=60 mnt
1 341 345 336 396 299 353 401 325 265
2 332 341 313 396 362 362 391 321 280
3 362 353 321 391 317 328 376 358 262
Rata- 345,00 346,33 323,33 394,33 326,00 347,67 389,33 334,67 269,00
rata
36
Setelah metode etsa dapat menampilkan batas butir austenit maka dilakukan
perhitungan besar butir dengan menggunakan metode intercept, sesuai dengan
standart perhitungan metalografi kuantitatif ASTM E112
Tabel. 4.3 Besar butir austenit hasil pengamatan dan standart deviasinya.
Hasil perhitungan jumlah perpotongan dan besar butir austenit dapat dilihat pada
lampiran 2a, serta hasil perhitungan untuk masing-masing standart deviasi dapat
dilihat pada lampiran.
37
4.2 Pembahasan
Dari tabel 4.1. dan 4.2. tersebut diatas dapat digambarkan grafik hubungan
pengaruh temperatur, laju pemanasan dan waktu tahan terhadap kekerasan, serta
dari tabel 4.3. diatas dapat digambarkan grafik hubungan pengaruh temperatur,
laju pemanasan dan waktu tahan terhadap besar butir austenite, sebagaimana
berikut.
450
400
350
Kekerasan (HV)
960 C, 5 C/mnt
960 C, 10 C/mnt
1060 C, 5 C/mnt
300 1060 C, 10 C/mnt
1120 C, 5 C/mnt
1120 C, 10 C/mnt
Expon. (960 C, 5 C/mnt)
Expon. (960 C, 10 C/mnt)
250
Expon. (1060 C, 5 C/mnt)
Expon. (1060 C, 10 C/mnt)
Expon. (1120 C, 5 C/mnt)
Expon. (1120 C, 10 C/mnt)
200
0 10 20 30 40 50 60
Menit
Gambar 4.1. Grafik hubungan pengaruh temperatur, laju pemanasan dan waktu
tahan terhadap kekerasan butir austenite.
Dari grafik diatas, pada temperatur 960 oC dan laju pemanasan 5 oC/mnt terjadi
penurunan kecenderungan rata-rata kekerasan mulai dari waktu tahan 10 menit
sampai ke waktu tahan 60 menit. Kemudian pada pada temperatur yang sama
dengan laju pemanasan 10 oC/mnt, juga terjadi penurunan kecenderungan rata-rata
kekerasan. Namun jika dibandingkan antara laju pemanasan 5 oC/mnt dan 10
o
C/mnt, terlihat bahwa pada temperatur 960 oC laju pemanasan yang lebih kecil
menghasilkan kekerasan yang lebih besar.
38
Pada temperatur 1060 oC dengan laju pemanasan 5 oC/mnt dan 10 oC/mnt,
kecenderungan rata-rata kekerasan semakin menurun dengan semakin
meningkatnya waktu tahan. Dari kecenderungan rata-rata terlihat bahwa pengaruh
laju pemanasan mungkin tidak terlalu signifikan dalam mempengaruhi kekerasan
yang terjadi. Hal ini terlihat dari berimpitnya garis kecenderungan rata-rata dari
laju pemanasan 5 dan 10 oC/mnt.
Pada tempratur 1120 oC dengan laju pemanasan 5oC/mnt dan 10oC/mnt, rata-rata
kekerasan memperlihatkan kecenderungan yang semakin menurun, dan memiliki
sedikit perbedaan trend jika dibandingkan dengan temperatur 960oC dan 1060oC.
Pada temperatur ini, semakin lama waktu tahan memberikan pengaruh yang cukup
signifikan terhadap penurunan kekerasan.
Dari grafik ini dapat dilihat bahwa untuk memperoleh kekerasan yang signifikan,
maka kita harus dapat mengatur temperatur pemanasan, lamanya waktu tahan dan
laju pemanasan, dan hal ini diperlihatkan pada temperatur pemanasan 1060oC.
Dapat disimpulkan bahwa jika kita menginginkan sifat mekanis (kekerasan) butir
austenite sebagai salah satu tujuan proses, maka kita sebaiknya bekerja pada
daerah di sekitar temperatur 1060oC.
1200
1000
Diameter Butir Austenite (μm)
39
Gambar 4.2. Grafik hubungan pengaruh temperatur, laju pemanasan dan waktu
tahan terhadap diameter butir
Dari grafik diatas, pada temperatur 960 oC dan laju pemanasan 5 oC/mnt terjadi
peningkatan kecenderungan rata-rata diameter butir austenite mulai dari waktu
tahan 10 menit sampai ke waktu tahan 60 menit. Kemudian pada pada temperatur
yang sama dengan laju pemanasan 10 oC/mnt, juga terjadi peningkatan
kecenderungan rata-rata diameter butir austenite. Namun jika dibandingkan antara
laju pemanasan 5 oC/mnt dan 10 oC/mnt, terlihat bahwa pada temperatur 960 oC
laju pemanasan yang lebih besar menghasilkan diameter butir yang lebih besar.
Dari kedua temperatur tersebut, terlihat bahwa laju pemanasan memiliki pengaruh
yang cukup signifikan terhadap terjadinya pertumbuhan butir austenite.
Pada tempratur 1120 oC dengan laju pemanasan 5oC/mnt dan 10oC/mnt, rata-rata
diameter butir austenite memperlihatkan kecenderungan yang semakin meningkat
dimana pada waktu tahan yang rendah, besar butir austenite belum dipengaruhi
oleh laju pemanasan. Namun dengan semakin lamanya waktu tahan, laju
pemanasan juga turut mempengaruhi besar butir austenite yang terjadi. Jika
melihat grafik, maka disarankan bahwa untk temperatur 1120oC waktu tahan yang
memberikan pengaruh yang signifikan terhadap besar butir haruslah dibawah 30
menit.
Jika melihat grafik ini secara keseluruhan, dapat dilihat bahwa untuk memperoleh
besar butir austenite yang cukup signifikan, maka kita harus dapat mengatur
temperatur pemanasan, lamanya waktu tahan dan laju pemanasan, dan hal ini
40
diperlihatkan pada temperatur pemanasan 960oC dengan laju pemanasan
10oC/mnt, karena memberikan besar butir austenite yang kecil. Namun pada
temperatur tersebut, belum seluruhnya terbentuk butir austenite yang stabil,
dimana kemungkinan masih ada karbon yang belum terdifusi secara menyeluruh.
Oleh sebab itu, temperatur pemanasan 1060oC dengan laju pemanasan 10oC/mnt
memberikan alternatif terbaik terhadap besar butir austenite dan fasa butir
austenite yang terjadi (butir austenite yang stabil).
Secara keseluruhan, jika kita melihat kedua grafik diatas, maka parameter operasi
yang terbaik untuk memperoleh besar butir dan sifat mekanis (kekerasan) yang
sesuai adalah pada temperatur pemanasan 1060oC dengan laju pemasanan
10oC/mnt dan waktu tahan 30 menit.
41
- i adalah konstanta hubungan antara laju pemanasan dan besar butir, serta j
adalah eksponen kecenderungan kurva antara laju pemanasan dan besar
butir.
- v adalah konstanta hubungan antara waktu tahan dan besar butir, serta w
adalah eksponen kecenderungan kurva antara waktu tahan dan besar butir.
Persamaan besar butir dari 4.2 diatas dapat diselesaikan dengan menglogaritma
natural kan persamaan tersebut menjadi :
ln d = ln(aTb.iHrj.vtw)
ln d = b.lnT + lna + j.lnHr + ln i + w.ln t + ln v + ln K .......(4.3)
dimana: ln a + ln i + ln v + ln K = ln C, sehingga persamaan 4.3 menjadi :
ln d = b.ln T + j.ln Hr + w.ln t + ln C ....(4.4)
Persamaan (4.4) diatas dapat diselesaikan dengan menggambarkan grafik
hubungan logaritma natural antara masing-masing variabel temperatur pemanasan
(T), laju pemanasan (Hr) dan waktu tahan (t) dengan besar butir austenit (d)
dengan menggunakan data pada tabel 4.2. dari grafik tersebut akan diperoleh nilai
konstanta dan eksponen yang sesuai untuk ketiga variabel tersebut.
8
7
f(x) = 5.97285295532667
12.6566705698042 x − 84.8354220867171
36.434752605308
6 R² = 0.391036436054648
0.734380528897515
5
4
ln d
Hr = 5 C/mnt
3 Linear (Hr = 5
C/mnt)
2 Hr= 10 C/mnt
1 Linear (Hr= 10
C/mnt)
0
7.10 7.12 7.14 7.16 7.18 7.20 7.22 7.24 7.26
ln T
Gambar 4.3 Nilai konstanta a dan eksponen b untuk hubungan besar butir dan
temperatur pemanasan
42
8.00
7.00
f(x) = − 0.0937680613618436 x + 6.97791834763535
6.00 R²f(x) = − 0.333620874845087 x + 7.04201460537673
= 0.0301205702565565
R²f(x) = − 1.23891320264587 x + 8.08220338998991
= 0.627883135679695
5.00 R² = 0.321545712814362
960 C
4.00 Linear (960
ln d
C)
3.00 1020 C
2.00 Linear (1020
C)
1.00 1160 C
Linear (1160
0.00 C)
1.00 1.20 1.40 1.60 1.80 2.00 2.20 2.40
ln Hr
Gambar 4.4 Nilai konstanta i dan eksponen j untuk hubungan besar butir dan laju
pemanasan
8.00
7.00
f(x) = 0.342921946614012 x + 5.35344457016819
6.00 f(x)
R² = =0.275611927784615
0.268516230508139 x + 5.21145924655767
R² = 0.0706768447216753
5.00
4.00
ln d
Hr= 5 C/mnt
3.00
Linear (Hr= 5 C/mnt)
2.00 Hr = 10 C/mnt
1.00 Linear (Hr = 10 C/mnt)
0.00
2.20 2.40 2.60 2.80 3.00 3.20 3.40 3.60 3.80 4.00 4.20
ln t
Gambar 4.5 Nilai konstanta v dan eksponen w untuk hubungan besar butir dan
waktu tahan
Dari grafik pada gambar 4.3 sampai gambar 4.5 dan persamaan 4.3, maka
diperoleh :
1. ln d = b.lnT + ln a y = 5,9729x – 36,435 dengan korelasi sebesar 0,6253
ln d = b.lnT + ln a y = 12,657x – 84,835 dengan korelasi sebesar 0,8569
dimana: b = 5,9729 dan 12,657
ln a = -36,435 dan -84,835
43
2. ln d = j.lnHr + ln i y = -0,0938x +6,9779 dengan korelasi sebesar
0,1735
ln d = j.lnHr + ln i y = -0,3336x + 7,042 dengan korelasi sebesar 0,7924
ln d = j.lnHr + ln i y = -1,3289x – 8,0822 dengan korelasi sebesar 0,567
dimana: j = -0,0938; -0,3336 dan -1,3289
ln i = 6,9779; 7,042 dan -8,0822
Tabel 4.4. Logaritma natural dari diameter butir austenite eksperimen dan model.
No T Hr t b ln a j ln i w ln v ln T ln Hr ln t lnd hitung lndexp ln K lndmodel error ln C
1 960 5 10 5,9729 -36,44 -1,329 7,042 0,2685 5,2115 7,12 1,61 2,30 16,808 5,23 -10,76 6,05 13,5% -34,94
2 960 5 30 5,9729 -36,44 -1,329 7,042 0,2685 5,2115 7,12 1,61 3,40 17,103 6,47 -10,76 6,34 -2,0% -34,94
3 960 5 60 5,9729 -36,44 -1,329 7,042 0,2685 5,2115 7,12 1,61 4,09 17,289 6,56 -10,76 6,53 -0,5% -34,94
4 1060 5 10 5,9729 -36,44 -1,329 7,042 0,2685 5,2115 7,20 1,61 2,30 17,274 6,58 -10,76 6,51 -1,1% -34,94
5 1060 5 30 5,9729 -36,44 -1,329 7,042 0,2685 5,2115 7,20 1,61 3,40 17,569 6,41 -10,76 6,81 5,8% -34,94
6 1060 5 60 5,9729 -36,44 -1,329 7,042 0,2685 5,2115 7,20 1,61 4,09 17,755 6,52 -10,76 7,00 6,8% -34,94
7 1120 5 10 5,9729 -36,44 -1,329 7,042 0,2685 5,2115 7,24 1,61 2,30 17,537 6,55 -10,76 6,78 3,3% -34,94
8 1120 5 30 5,9729 -36,44 -1,329 7,042 0,2685 5,2115 7,24 1,61 3,40 17,832 6,83 -10,76 7,07 3,4% -34,94
9 1120 5 60 5,9729 -36,44 -1,329 7,042 0,2685 5,2115 7,24 1,61 4,09 18,018 7,09 -10,76 7,26 2,3% -34,94
10 960 10 10 5,9729 -36,44 -1,329 7,042 0,2685 5,2115 7,12 2,30 2,30 15,887 4,72 -10,76 5,13 8,0% -34,94
11 960 10 30 5,9729 -36,44 -1,329 7,042 0,2685 5,2115 7,12 2,30 3,40 16,182 4,84 -10,76 5,42 10,7% -34,94
12 960 10 60 5,9729 -36,44 -1,329 7,042 0,2685 5,2115 7,12 2,30 4,09 16,368 6,13 -10,76 5,61 -9,3% -34,94
13 1060 10 10 5,9729 -36,44 -1,329 7,042 0,2685 5,2115 7,20 2,30 2,30 16,353 6,35 -10,76 5,59 -13,5% -34,94
14 1060 10 30 5,9729 -36,44 -1,329 7,042 0,2685 5,2115 7,20 2,30 3,40 16,648 6,35 -10,76 5,89 -7,8% -34,94
15 1060 10 60 5,9729 -36,44 -1,329 7,042 0,2685 5,2115 7,20 2,30 4,09 16,834 6,13 -10,76 6,07 -0,9% -34,94
16 1120 10 10 5,9729 -36,44 -1,329 7,042 0,2685 5,2115 7,24 2,30 2,30 16,616 6,58 -10,76 5,86 -12,3% -34,94
17 1120 10 30 5,9729 -36,44 -1,329 7,042 0,2685 5,2115 7,24 2,30 3,40 16,911 6,79 -10,76 6,15 -10,4% -34,94
18 1120 10 60 5,9729 -36,44 -1,329 7,042 0,2685 5,2115 7,24 2,30 4,09 17,097 6,92 -10,76 6,34 -9,2% -34,94
44
Sehingga persamaan 4.4 dapat ditulis ulang menjadi :
ln d = 5,9729.lnT – 1,329.lnHr + 0,2685.lnt – 34,94
Dengan meng anti logaritma naturalkan persamaan diatas, maka diperoleh model
persamaan besar butir austenite untuk penelitian ini adalah :
d = 6,7.10-18.T5,9729.Hr-1,329.t0,2685 ...(4.5)
Yang jika digrafikkan dapat melihat pengaruh dari temperatur pemanasan, laju
pemanasan dan waktu tahan secara keseluruhan terhadap besar butir austenite
yang terjadi.
1800
1600
1400
1200
1000
d (μm)
800
600
400
d exp
200
0
940 960 980 1000 1020 1040 1060 1080 1100 1120 1140
T (oC)
Gambar 4.6 Grafik hubungan besar butir austenite hasil eksperimen dengan model
perhitungan besar butir yang terjadi
Dari hasil perhitungan dapat dilihat bahwa model matematika masih memeiliki
nilai eror yang cukup besar jika di bandingkan dengan perhitungan. Hal ini
dimungkinkan karena:
a. Akibat tidak seragamnya pengambilan spesimen dari dalam tungku
pemanas sehingga mempengaruhi laju pendinginan benda kerja.
b. Tingakat ketelitian dan kemampuan mata mengamati secara fisual
sehingga mengurangi nilai efisien dari benda kerja.
c. Adanya factor lain yang tidak terdeteksi misalnya pengaruh komposisi
unsur.
45
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1 KESIMPULAN
4.2 SARAN
46
DAFTAR PUSTAKA
47
48