DEFINISI
Dehidrasi merupakan suatu keadaan keseimbangan cairan tubuh terganggu karena
hilangnya cairan tubuh baik cairan intrasel maupun cairan ekstrasel tanpa diimbangi dengan
konsumsi cairan yang cukup. Banyak penyebab yang dapat membuat tubuh mengalami kondisi
dehidrasi seperti aktivitas yang berlebih, kurang mengonsumsi cairan, muntah, dan diare. Kasus
dehidrasi yang sering terjadi adalah dehidrasi yang diakibatkan oleh diare akut dan aktivitas yang
berlebih tanpa diimbangi dengan konsumsi cairan atau air yang cukup (Narendra, 2007).
Menurut Adam (1995) dehidrasi sering terjadi akibat hilangnya natrium (Na+) dan air
dari darah dengan kegagalan ginjal dalam waktu yang bersamaan. Berbagai macam penyakit
dapat menjadi penyebab terjadinya dehidrasi seperti diare, muntah, dan poliuria (El-Hadi, 1996).
Kejadian diare merupakan kasus yang paling sering menyebabkan terjadinya dehidrasi, di
samping muntah dan poliuria (Philips et al., 2001).
GEJALA KLINIS
Gejala Klinis
Semakin tinggi derajat dehidrasi maka semakin terlihat gejala yang ditimbulkan. Hal ini
bisa dilihat dari enopthalmus yang semakin lama semakan dalam, kulit semakin hilang tingkat
elastisitasnya, CRT semakin panjang, dan hewan terlihat lesu dan lemah. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Constable et al. (1998) bahwa kedalaman enopthalmus sangat berhubungan erat
dengan tingkat dehidrasi, diikuti oleh elastisitas kulit. Enopthalmus, elastisitas kulit punggung,
elastisitas kulit mata, elastisitas kulit leher, Capillary Refill Time (CRT), suhu tubuh, napas, dan
Pulsus penting untuk diperhatikan.
Gejala Umum
Gejala klinis dehidrasim menurut Joy (2007), pada umumnya hewan akan tampak lemas,
kehilangan nafsu makan, mata cekung dan kering, mulut kering, pulsus meningkat CRT lambann
dan turgor kulit buruk. Penampakan gejala klinis bergantung pada kecepatan dan besarnya
perubahan, berdasarkan besarnya kecepatan pada kondisi kehilangan cairan ynag banyak dan
cepat, maka akan terjadi hipovolemic shock. Pada kondisi kehilangan cairan secara perlahan dan
tidak begitu parah ditandai dengan lesu, lemah, lelah, dan anorexia, membran mukosa pucat ,
lidah kering, dan turgor kulit yang buruk. Berdasarkan besarnya perubahan gejala awal, mula-
mula hewan akan tampak lelah, kurang lincah, lebih hangat, painting meningkat dan perilakunya
berubah, gejala pertengahan, turgor mulai buruk, CRT menurun, selaput lendir gusi dan lidah
semakin gelap, temperatur rektal lebih dari 1050F, gejala akhir, hewan sangat lemah dan tidak
stabil.
Diagnosa penyakit pada hewan memerlukan teknik pemeriksaan klinis dan pemeriksaan
laboratoris. Teknik diagnosa klinis dehidrasi diukur secara kualitatif dengan uji turgor dan uji
waktu pengembalian capiler (Capilary Refill Time). Menurut Davidson (1974) teknik diagnosa
laboratories dehidrasi dibagi dalam tiga paket yang kesemuanya bersifat konfirmatif. Pertama
adalah paket uji hematokrit dan uji protein plasma, yaitu untuk memastikan bahwa hewan benar-
benar menderita dehidrasi. Kedua adalah paket uji kreatinin dan uji Blood Urea Nitrogen (BUN),
yaitu untuk memastikan penyebab dehidrasi apakah bersifat renalis atau non-renalis maupun
untuk memastikan penyebab yang lebih spesifik, misalnya karena perdarahan sistem pencernaan,
diet tinggi protein, atau kontruksi sistem urunarius. Ketiga adalah paket urinalisis, pada paket ini,
hal yang menonjol dan erat kaitannya untuk diagnosa dehidrasi adalah pemeriksaan berat jenis
urin.
Riwayat penyakit
Dokter hendaknya menanyakan ke pemilik tentang volume air yang diminum hewannya
(sehihingga dokter mendapatkan informasi apakah hewan mengalami, polydipsia, hipodipsia,
atau normal). Kehilangan cairan secara abnormal bisa diketahui dengan menanyakan pemiliknya
apakah terjadi polyuria, diare, muntah, tersengal-sengal, salivasi berlebih, atau leleran tubuh.
Pemeriksaan Fisik
Membantu untuk melacak dehidrasi namun sifatnya subjektif. Tanda-tanda yang
ditemukan pada pasien seperti terlalu lelah dan depresi bisa saja merupakan tanda suatu penyakit
atau bersamaan dengan kehilangan keseimbangan asam-basa. Ketika dehidrasi bertambah parah
turgor atau kelenturan kulit menurun, mata seperti tenggelam dalam cavum orbital, membran
mukosa kering, takikardia, capillary refill time / CRT bertambah, dan ada tanda-tanda syok.
Peningkatan atau penurunan secara akut bobot badan kerap mencerminkan perolehan atau
kehilangan air tubuh. Perubahan ini merupakan alat klinik yang peka untuk menilai dehidrasi dan
rehidrasi. Perubahan bobot badan yang naik atau turun, sebesar 1 kg setara dengan 1000mL.
PENANGANAN
Manajemen dehidrasi pada hewan dapat bersifat pencegahan dan pengobatan. Bagi
pemilik hewan, jika menemukan gejala dehidrasi pada hewannya, maka segera hewan
ditempatkan pada daerah yang teduh, diberikan sejumlah air setiap beberapa menit dan jika
muncul tanda-tanda yang mengkhawatirkan harus segera di bawa ke dokter hewan. Dalam
keadaan tersebut, sebaiknya tidak diberikan pakan yang kering dan minuman dalam jumlah
besar, karena menyebabkan hewan muntah dan akan lebih menderita dehidrasi. Pemberian
bongkahan es sebaiknya dihindari karena dapat menyebabkan konstriksi sirkulasi darah.
Prinsip pengobatan dehidrasi pada intinya mengembalikan cairan tubuh. Pada dehidrasi
yang mencapai 6-7% harus diganti dengan cairan dalam waktu 2-8 jam dan tidak boleh lebih
dari 88 ml/kg/jam. Menurut Anonim (2006b) pada prinsipnya terapi cairan diberikan
berdasarkan overestimasi kondisi dehidrasi, kecuali pada hewan yang mengalami gagal jantung,
gagal ginjal, hypoproteinemia yang parah, anemia yang parah, pulmonary edema yang parah.
Perawatan pada hewan dehidrasi dibutuhkan cairan 60 ml/kg/hari. Pada hewan yang
kurang nafsu makan, muntah dan diare perlu diberikan preparat cairan potasium. Demikian juga
pada hewan yang mengalami penurunan berat badan secara progresif perlu diberikan cairan.
Setiap kehilangan 0.5 kg berat badan, perlu digantikan dengan cairan sebanyak 500 ml air
(Anonim 2006b).
Hati-hati overhydration. Dalam terapi cairan yang harus diperhatikan adalah jika terjadi
overhydration. Tanda-tandanya, antara lain inspiratory pulmonary crackles, murumur sistolik
pada jantung, irama galop pada jantung atau oedema (terutama di daerah cervical). Tekanan
sistem syaraf pusat juga merupakan indikator kelebihan pemberian cairan. Namun demikian
kasus gagal jantung atau gagal ginjal akibat rehidrasi yang berlebihan sangat jarang terjadi.
Pencegahan Dehidrasi Secara Umum
Pencegahan dihidrasi secara umum dapat dilakukan dengan meningkatkan perhatian
pemilik terhadap hewan peliharaannya. Penyakit-penyakit yang dapat menyebabkan dehidrasi
seperti muntah dan diare maupun perlakuan yang dapat menyebabkan dehidrasi seperti exercise
yang berlebihan atau kondisi kandangyang terlalu panas, sebaiknya dihindarkan. Pencegahan
penyakit yang menyebabkan muntah dan diare, seperti distemper dan infeksi parfovirus,
hendaknya diantisipasi dengan vaksinasi. Kedua penyakit ini menyebabkan dehidrasi yang
sangat berat dan menyebabkan kematian. Saran ini disampaikan oleh kalangan dokter hewan,
sebagaimana ditulis oleh pada artikel Jonni Dog health and older dogs pada website
Tipe dehidrasi dibatasi berdasarkan konsentrasi sodium dalam serum pada saat terjadi dehidrasi
(Batan, 2017)
a. Dehidrasi Isotonik: merupakan tipe dehidrasi yang paling umum ditemukan dan batasnya
adalah ditemukannya kadar sodium serum normal (145-157 9 mEq/L) pada saat dehidrasi
isotonik. Dehidrasi terjadi karena kehilangan cairan dan elektrolit degan proporsi yang
sama dengan serum normal.
b. Dehidrasi Hipertonik: adalah tipe dehidrasi yang banyak ditemukan setelah dehidrasi
isotonik, pada keadaan ini ditemukan kadar sodium serum meningkat diatas 157 mEq/L
pada saat dehidrasi. Dehidrasi hipertonik terjadi sebagai akibat kehilangan air atau
kehilangan air dengan bahan terlarut berlebihan ditemukan dalam serum (hipertonik).
c. Dehidrasi Hipotonik: bentuk dehidrasi yang jarang ditemukan dan didefinisikan sebagai
ditemukannya kadar sodium yang rendah dalam serum (143 mEq/L atau lebih rendah).
Karena kehilangan cairan isotonic, diikuti dengan meminum atau menyerap cairan
hipotonik (seperti minum air) membuat konsentasi sodium ekstraseluler terencerkan
hingga dibawah normal.
b. Dehidrasi Sekunder
Terjadi dehidrasi sekunder, karena hilangnya cairan yang mengandung elektrolit.
Hal sering terjadi akibat keluarnya cairan melalui saluran pencernaan, seperti pada
keadaan muntah-muntah dan diare yang intermitten. Akibat sodium depletion ini, hewan
mengalami hipotoni cairan ektraseluler. sehingga tekanan osmotik menurun, dimana di
lingkungan ekstraseluler banyak mengandung elektrolit sodium dan lingkungan
intraseluler banyak mengandung potasium. Hal ini akan menghambat dikeluarkannya
hormon antidiuretik, sehingga ginjal akan mengekskresikan air seni (Sari, 2009).
Penurunan volume plasma maupun cairan intestitinum pada dehidrasi sekunder
menyebabkan tercapai konsentrasi cairan ekstraseluler yang normal. Dalam hal ini karena
terdapat hipotoni ekstraseluler, maka air akan masuk ke dalam sel. Perkembangan
selanjutnya, intraseluler akan mengalami hipotoni dan pada keadaan ini rasa haus tidak
muncul lagi. Gejala khas pada dehidrasi sekunder adalah mual (nausea), muntah-muntah,
kekejangan, perasaan lesu dan lelah. Kematian pada dehidrasi sekunder terjadi karena
kegagalan aliran perifer akan mempercepat terjadinya hipovolemik (Sari, 2009).
Gejala khas pada dehidrasi sekunder adalah nausea, muntah-muntah, kekejangan,
perasaan lesu dan lelah. Kematian pada dehidrasi sekunder teradi karena kegagalan aliran
perifer (Ettinger 1975).
Pada tahap dehidrasi ringan tubuh sudah mengalami kekurangan cairan sebesar 1 sampai 2%
dan mengalami tanda-tanda dehidrasi seperti haus, lemah, lelah, sedikit gelisah, dan hilang selera
makan (Gustam, 2012).
Pada tahap dehidrasi sedang tubuh sudah mengalami kekurangan cairan sebesar 3 sampai 4%
dan mengalami tanda-tanda dehidrasi seperti kulit kering, mulut dan tenggorokan kering, volume
urin berkurang (Gustam, 2012).
Pada tahap dehidrasi berat, tubuh sudah mengalamim kekurangan cairan 5 sampai 6% dan
mengalami tanda-tanda dehidrasi seperti sulit berkonsentrasi, sakit kepala, kegagalan pengaturan
suhu tubuh serta peningkatan frekuensi nafas. Kehilangan cairan > 6% dapat meningkatkan
risiko gangguan kesehatan, seperti dapat mengakibatkan otot kaku dan collapse, saat tubuh
kehilangan cairan sebesar 7% sampai dengan 10% dapat menurunkan volume darah serta
berakibat kegagalan fungsi ginjal saat tubuh kehilangan cairan sebesar 11% (Gustam, 2012).
2. Syok
Kekurangan cairan dalam tubuh (dehidrasi) dapat menyebabkan penurunan volume
cairan dalam tubuh. Hal ini menyebabkan pengisian ventrikel tidak memadai, maka curah
jantung menurun dan tekanan darah ikut turun. Pada akhirnya, pengambilan oksigen di paru-
paru juga ikut menurun. Penurunan ini mengganggu pasokan oksigen ke sel tubuh sehingga
kerja organ vital pun ikut terganggu.
3. Infark Ginjal
Penurunan curah jantung tentu menyebabkan penurunan laju filtrasi glomerulus yang
terjadi pada ginjal untuk membentuk urine. Filtrasi berfungsi untuk memisahkan zat yang
dapat direabsorbsi kembali seperti kalsium, asam lemak, dan mineral. Tidak heran jika
hewan mengalami dehidrasi sering terjadi dysuria bahkan anuria. Laju filtrasi glomerulus
merupakan indikator penilaian fungsi ginjal. Semakin lama laju filtrasi glomerulus
menurun, maka fungsi ginjal semakin terganggu dan dapat terjadi infark ginjal (gagal
ginjal).
4. Koma
Syok yang tidak segera diatasi bisa menyebabkan kurangnya pasokan darah dan oksigen
ke otak. Ketika otak kekurangan oksigen untuk bekerja, maka terjadi koma. Akibat lainnya,
adalah kegagalan fungsi banyak organ vital dalam tubuh.
5. Kematian
Jika dehirasi tidak segera ditangani, kegagalan fungsi organ vital seperti jantung, ginjal,
dan otak dapat menyebabkan kematian.