Anda di halaman 1dari 12

TUGAS MATA KULIAH BUDAYA LAHAN KERING,

KEPULAUAN DAN PARIWISATA

OLEH
NAMA : HELMINA NOYANA BAGUL
NIM : 1807010186
SEMESTER : 4
KELOMPOK: 3

PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS NUSA CENDANA
KUPANG
2020
1. Struktur Sosial Masyarakat Pesisir

Definisi Struktur Sosial adalah tatanan atau susunan sosial yang membentuk kelompok-
kelompok sosial dalam suatu masyarakat. Dalam hal ini struktur sosial dapat horizontal
maupun vertikal susunannnya. Contoh struktur sosial yang Horizontal adalah kelompok pria
dan kelompok wanita, atau kelompok orang beragama Islam, Kristen, Katholik, Hindu,
Budha dan Konghucu. Cirinya masing-masing dalam kelompok tersebut tidak bertingkat,
artinya di masyarakat kedudukannya sama. Sedangkan contoh Sruktur sosial yang vertikal
adalah kelompok orang kaya dan kelompok orang miskin, hal ini jelas menunjukkan
kedudukan yang berbeda dalam masyarakat. Orang kaya berada di tempat yang lebih tinggi
daripada orang miskin.

Struktur sosial merupakan pola perilaku berulang-ulang yang memunculkan hubungan


antar individu dan antar kelompok dalam masyarakat.

Struktur sosial dalam masyarakat nelayan umumnya dicirikan dengan kuatnya ikatan
patron-klien. Kuatnya ikatan patron-klien tersebut merupakan konsekuensi dari sifat kegiatan
penangkapan ikan yang penuh dengan resiko dan ketidakpastian. Bagi nelayan menjalin
ikatan dengan patron-klien merupakan langkah yang penting untuk menjaga kelangsungan
kegiatannya karena patron- klien merupakan institusi jaminan sosial ekonomi. Hal ini terjadi
karena hingga saat ini nelayan belum menemukan alternatif intuisi yang mampu menjamin
kepentingan sosial ekonomi mereka.
Hubungan patron-klien merupakan pertalian antara dua orang atau lebih, yakni seorang
individu dari status golongan ekonomi tinggi (patron) dan sumber dayanya memberikan
perlindungan, keuntungan atau keduanya kepada individu dari status ekonomi yang lebih
rendah (klien). Sebagai timbal baliknya, individual dari status yang lebih rendah memberikan
pelayanan menyeluruh termasuk pelayanan individu serta dukungan untuk kepentingan
ekonomi maupun politis. Mengenai hubungan patron-klien ini tata hubungan patron-klien
umumnya berkaitan dengan :

 Hubungan antar pelaku yang menguasai sumberdaya yang tidak sama,


 Hubungan yang bersifat khusus yang merupakan hubungan pribadi dan mengandung
keakraban,
 Hubungan yang didasarkan pada asas saling menguntungkan
Sementara itu,melihat hubungan patron-klien sebagai fenomena yang terbentuk atas
dasar ketidaksamaan dan sifat fleksibilitas yang tersebar sebagai sebuah sistem pertukaran
pribadi. Dalam pertukaran itu, berarti ada arus dari patron-klien dan sebaliknya. Arus dari
patron-klien meliputi :

a. penghidupan subsisten dasar, berupa pemberian pekerjaan tetap, penyediaan saprodi, jasa
pemasaran, dan bantuan teknis,
b. jaminan krisis subsisten berupa pinjaman yang diberikan pada saat klien menghadapi
kesulitan ekonomi,
c. perlindungan terhadap klien dari ancaman pribadi (musuh pribadi) maupun ancaman
umum,
d. memberikan jasa kolektif berupa bantuan untuk mendukung sarana umum setempat
(sekolah, tempat ibadah, atau jalan) serta mendukung festifal serta perayaan desa.

Arus dari klien ke patron sulit dikategorisasi karena klien adalah “milik” patron yang
menyediakan tenaga dan keahliannya untuk kepentingan patron apapun bentuknya, seperti
jasa pekerjaan dasar, jasa tambahan bagi rumah tangga patron, jasa domestik pribadi. Selain
itu, klien merupakan anggota setia dari faksi lokal tersebut.
Berdasarkan tata hubungan tadi, jelaslah bahwa hubungan antar nelayan dengan patron
yang menguasai sumberdaya tidak sama. Artinya, patron menguasai sumberdaya modal jauh
lebih besar daripada nelayan. Dengan ketidaksamaan penguasaan sumberdaya itu, terjalinlah
ikatan patron-klien. Pada saat hasil tangkapan kurang baik, nelayan kekurangan uang. Pada
akhirnya, ia melepas barang-barang yang mudah dijual dengan harga lebih murah kepada
patron. Seringkali peran penjualan dilakukan isteri-isteri nelayan melalui mekanisme
pegadaian sehingga mereka menjadi sering berhubungan dengan institusi pegadaian.
Selanjutnya, nelayan akan mencari hutang kepada patron dengan jaminan ikatan
pekerjaan atau hasil tangkapan yang hanya akan dijual kepada patron dengan harga yang
lebih rendah dari harga pasar. Dengan pola patron-klien seperti ini, klien sering dihadapkan
pada sejumlah masalah seperti pelunasan kredit yang tidak pernah berakhir.
Hubungan patron-klien pada masyarakat pesisir dan lautan merupakan sistem sosial
yang telah berakar pada masyarakat dan sulit untuk diubah dan hubungan tersebut cenderung
menguntungkan pihak patron. Namun demikian pola patron-klien terus terjadi dalam
komunitas masyarakat nelayan karena memang belum ada institusi formal yang mampu
berperan sebagai patron. Institusi tersebut belum berjalan secara efektif karena ada
kesenjangan kultur intuisi yang dibangun secara formal dengan kultur nelayan yang masih
menekankan aspek personalitas. Di sisi lain, nelayan sendiri belum mampu membangun
institusi baru secara mandiri. Meski diakui bahwa para nelayan itu memiliki etos kerja dan
mobilitas tinggi serta solidaritas sesama yang kuat, tetap saja mereka masih memiliki
sejumlah kelemahan, khususnya kemampuan dalam mengorganisasi diri untuk kepentingan
ekonomi maupun profesi.

2. Stratifikasi Sosial Masyarakat Nelayan

Isitilah dari kata stratifikasi sosial berasal dari bahasa latin, yakni stratum yang berarti
tingkatan serta socius yang berarti masyarakat. pengertian stratifikasi sosial tersebut secara
umum yaitu sebagai tingkatan sosial yang terdapat di dalam masyarakat. Stratifikasi sosial
merupakan kiasan yang berasal dari gambaran kondisi yang ada dalam keadaan kehidupan
masyarakat.

Stratifikasi sosial atau dalam bahasa inggris disebut sebagai “sosial stratifikasion” merupakan
perbedaan masyarakat atau penduduk ke dalam kelas-kelas secara bertingkat atau “hierarkis”.

Secara harfiah dalam bahasa Indonesia stratifikasi adalah pelapisan sosial. Stratifikasi
sosial adalah penggolongan atau pembedaan orang-orang dalam suatu sistem sosial tertentu
ke dalam lapisan-lapisan hirarkis menurut dimensi kekuasaan, previlese, dan prestise
(Ibrahim, 2003).
Selanjutnya, penggolongan atau pembedaan artinya setiap individu menggolongkan
dirinya sebagai orang yang termasuk dalam suatu lapisan tertentu (menganggap dirinya lebih
rendah atau lebih tinggi dari pada orang lain). Dengan demikian pelapisan sosial merupakan
proses menempatkan diri dalam suatu lapisan (subyektif) atau penempatan orang ke dalam
lapisan tertentu (obyektif).
Menurut Sorokin (1962) dalam Satria (2002), stratifikasi sosial berarti pembedaan
populasi berdasarkan kelas secara hirarkis. Basis pembedaan kelas adalah hak dan previlege,
kewajiban dan tanggung jawab, nilai sosial dan privasi, serta kekuasaan dan pengaruhnya
terhadap masyarakat. Lebih lanjut Sorokin membagi bentuk stratifikasi menjadi tiga, yaitu :

1. stratifikasi berdasarkan ekonomi, yaitu jika dalam suatu masyarakat terdapat perbedaan
atau ketidaksetaraan ekonomi,
2. stratifikasi berdasarkan politik, yaitu jika terdapat rangking sosial berdasarkan otoritas,
prestise, kehormatan dan gelar, atau jika ada pihak yang mengatur dan yang diatur.
3. Stratifikasi berdasarkan pekerjaan, yaitu jika masyarakat terdiferensiasi ke dalam
berbagai pekerjaan dan beberapa di antara pekerjaan itu lebih tinggi statusnya
dibandingkan pekerjaan lain.

Untuk mempelajari stratifikasi sosial suatu masyarakat setidaknya ada tiga pendekatan
yang dapat dilakukan (Zanden, 1990) dalam Satria (2002) :

1. Pendekatan obyektif, yaitu menggunakan ukuran obyektif berupa variabel yang mudah
diukur secara statistik seperti pendidikan, pekerjaan, atau penghasilan.
2. Pendekatan subyektif, yaitu kelas dilihat sebagai kategori sosial dan disusun dengan
meminta para responden survei untuk menilai status sendiri dengan jalan menempatkan
diri pada skala kelas tertentu. Data yang terkumpul memberikan gambaran subyektif
mengenai stratifikasi.
3. Pendekatan reputasional. Dalam pendekatan ini subyek penelitian diminta untuk menilai
status orang lain dengan jalan menempatkan orang lain itu pada skala tertentu.

Stratifikasi sosial terwujud dua unsur yaitu status (kedudukan) dan role (peranan).
Kedudukan dan peranan sebenarnya melekat dalam satu obyek individu. Keduanya
sebenarnya melekat dalam satu obyek individu. Keduanya merupakan sisi-sisi yang saling
berkait erat. Pengertian kedua konsep tersebut sebagai berikut :

a). Status sosial atau kedudukan sosial adalah tempat dimana seseorang dalam suatu sistem
sosial dihubungkan dengan orang-orang lainnya dalam sistem sosial (dalam pengertian
obyektif). Seseorang dikatakan berada pada ststus sosial yang tinggi karena orang lain
menempatkan dia pada tempat yang lebih tinggi dari dirinya.

b). Sosial role atau peranan sosial adalah perilaku normatif seseorang karena kedudukannya.
Dapat juga diartikan sebagai pola perilaku yang diharapkan dari seseorang sesuai status
yang disandangnya dalam sistem sosial tertentu.

Peranan merupakan sisi lain dari kedudukan. Apabila seseorang melaksanakan hak dan
kewajiban sesuai kedudukannya, maka berarti dia menjalankan suatu peranan. Tinggi
rendahnya status seseorang dalam suatu sistem sosial tertentu dilihat dari beberapa kriteria
ukuran yang tidak lain merupakan dimensi-dimensi pelapisan sosial yakni kekuasaan,
previlese, dan prestise (kehormatan).

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kekuasaan, previlese, dan prestise antara lain :

 Faktor Ekonomi
Faktor ekonomi dalam pelapisan sosial merupakan faktor utama atau dominan dalam
proses pelapisan sosial di masyarakat. Pelapisan sosial berdasarkan faktor ekonomi
berarti kita membedakan orang menurut kesempatan yang dimilikinya dalam bidang
ekonomi. Kesempatan-kesempatan itu antara lain dapat dilihat dalam pendapatan yang
diperoleh setahun, kekayaan yang dimilikinya sekarang yang dapat dipergunakan
sewaktu-waktu untuk meningkatkan kehidupan ekonominya.

 Faktor Seks (jenis kelamin)


Jenis kelamin merupakan kategori sosial yang diperoleh manusia sejak lahir, artinya
tidak diperoleh atas dasar usaha yang disengaja.
Ada kecenderungan bahwa pria memiliki kesempatan yang lebih banyak dibanding
wanita. Dengan kata lain wanita dipandang lebih rendah oleh beberapa masyarakat dari
pada pria. Pemikiran-pemikiran yang membedakan kedudukan dan peran berdasarkan
jenis kelamin disebut gender. Budaya pingit masyarakat Jawa sangat menunjukkan pola
stratifikasi sosial berdasarkan jenis kelamin yang begitu jelas. Karena itu timbul usaha-
usaha emansipasi seperti yang dimotori oleh R.A. Kartini dan Dewi Sartika.
 Faktor Usia
Proses menghargai orang tua adalah hal yang telah membudaya dalam masyarakat
Indonesia. Proses menghargai orang tua dalam budaya Indonesia melahirkan budaya
paternalistik dan gerontokrasi. Sifat paternalistik ditunjukkan dengan dihormatinya orang
tua tidak hanya dalam kehidupan keluarga tetapi juga dalam bidang pemerintahan, hukum
dan politik. Dalam hal kehidupan politik muncullah kekuasaan gerontokrasi yaitu
kekuasaan yang kebanyakan dipegang oleh orang-orang tua.
Budaya menghormati orang tua pada dasarnya mempunyai nilai yang baik dalam
kehidupan masyarakat. Tetapi kadangkala ada sifat menghormati yang berlebihan dan
secara tidak langsung menghambat kemajuan generasi dibawahnya.

 Faktor Pendidikan
Orang-orang terdidik umumnya mempunyai hubungan sosial yang lebih luas, informasi
yang lebih banyak, sehingga mudah menerima inovasi baru. Karena itu, para terdidik ini
mudah menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan sosial yang dialaminya. Aspek-
aspek ini diberi nilai yang lebih oleh orang lain dan mendudukkan para terdidik itu
kedudukan yang lebih tinggi.
Dampak stratifikasi sosial
 Eklusivitas
Eklusivitas dapat berupa gaya hidup, perilaku dan kebiasaan yang sering berbeda antara
satu lapisan dengan lapisan yang lain. Eklusivitas yang ada sering membatasi pergaulan di
antara kelas sosial tertentu, mereka enggan bergaul dengan kelas sosial dibawahnya atau
membatasi diri hanya bergaul dengan kelas yang sama dengan kelas mereka.
 Etnosentrisme
Etnosentrisme dipahami sebagai mengagungkan kelompok sendiri. Kelompok sosial atas
akan menganggap dirinya adalah kelompok yang paling baik dan menganggap rendah dan
kurang bermartabat kepada mereka yang berada pada kelompok sosial rendah. Pola
perilaku kelas sosial atas dianggap lebih berbudaya dibandingkan dengan kelas sosial di
bawahnya. Kelas sosial bawah akan memandang mereka sebagai orang boros dan
konsumtif.
 Konflik Sosial
Perbedaan yang ada di antara kelas sosial dapat menyebabkan terjadinya kecemburuan
sosial maupun iri hati. Jika kesenjangan karena perbedaan tersebut tajam tidak menutup
kemungkinan terjadinya konflik sosial antara kelas sosial satu dengan kelas sosial yang
lain. Misalnya Pengoperasian alat tangkap yang tingkat kualitasnya berbeda di antara dua
kelompok nelayan (misalnya, nelayan pancingan dengan nelayan payang), sehingga hasil
tangkapan yang diperoleh timpang.
Seseorang yang banyak memiliki sesuatu yang dihargai akan dianggap sebagai orang
yang menduduki pelapisan atas. Sebaliknya mereka yang hanya sedikit memiliki atau
bahkan sama sekali tidak memiliki sesuatu yang dihargai tersebut, mereka akan dianggap
oleh masyarakat sebagai orang-orang yang menempati pelapisan bawah atau
berkedudukan rendah. Dalam stratifikasi sosial terdapat tiga kelas sosial, yaitu:
1. Masyarakat yang terdiri dari kelas atas
2. Masyarakat yang terdiri kelas menengah
3. Masyarakat Kelas bawah
Dalam kehidupan masyarakat terdapat kriteria yang dipakai untuk
menggolongkan orang dalam pelapisan sosial adalah sebagai berikut:
1. Ukuran kekayaan
2. Ukuran kekuasaan dan wewenang
3. Ukuran kehormatan
4. Ukuran ilmu pengetahuan
3. Budaya Bahari
A. Pengertian
Budaya bahari adalah sistem-sistem gagasan/ide, prilaku/tindakan dan sarana/ prasarana fisik
yang digunakan oleh masyarakat pendukungnya (masyarakat bahari) dalam rangka
pengelolaan, pemanfaatan sumberdaya alam dan merekayasa jasa-jasa lingkungan laut bagi
kehidupannya. Budaya bahari mengandung isi/unsur-unsur berupa sistem-sistem
pengetahuan, kepercayaan, nilai, norma/aturan, simbol komunikatif, kelembagaan, teknologi
dan seni berkaitan kelautan.
Sistem budaya bahari mencakup beberapa hal sebagai berikut:
a) Sistem pengetahuan .
Nelayan harus memiliki pengetahuan tentang biota laut ekonomis, lokasi penangkapan
dan rumah ikan, musim, tanda - tanda alam, dan lingkungan lingkungan sosial budaya.
b) Gagasan/ide
Potensi laut melimpah dan diperuntukkan bagi semua, sumberdaya laut untuk semua
tetapi hanya sebagian bisa memanfaatkannya, laut luas tetapi tidak semua bisa dimasuki.
c) Keyakinan/ kepercayaan
Pemanfaatan sumberdaya laut, khususnya perikanan, di banyak tempat di dunia nelayan
mempraktekkan keyakinan-keyakinan dari agama atau kepercayaan dianutnya sebagai
mekanisme pemecahan persoalan-persoalan lingkungan pisik dan sosial dihadapinya
sehari-hari.
d) Nilai, dan norma/aturan berkenaan dengan pemanfaatan sumberdaya dan jasa-jasa
laut.
B. Sistem Kelembagaan Bahari
Komuniti-komuniti bahari negara-negara sedang berkembang termasuk Indonesia, memiliki
kelembagaan/pranata tradisional (traditional institution) yang tetap bertahan antara lain :
1) Pranata kekerabatan/keluarga (kinship/domestic institution)
Pranata keluarga adalah bagian dari pranata sosial yang meliputi lingkungan keluarga
dan kerabat. Pembentukan watak dan perilaku seseorang dapat dipengaruhi oleh pranata
keluarga yang dialami dan diterapkannya sejak kecil. Bagi masyarakat, pranata keluarga
berfungsi untuk menjaga dan mempertahankan kelangsungan hidup masyarakat.
2) Pranata agama/kepercayaan (religious institution)
Pranata agama adalah sistem nilai dan norma yang terkait dengan keyakinan dan
kebenaran. Agama sebagai pranata sosial dapat dipahami dengan adanya aturan-aturan
transendental yang mengatur kehidupan manusia.
3) Pranata ekonomi (economic institution),
Pranata ekonomi merupakan bagian dari pranata sosial yang mengatur kegiaan ekonomi,
seperti produksi, distribusi, dan konsumsi barang/jasa yang dibutuhkan manusia. Pranata
ekonomi ada dan diadakan oleh masyarakat dalam rangka mengatur dan membatasi
perilaku ekonomi masyarakat agar dapat tercapai keteraturan dan keadilan dalam
perekonomian masyarakat
4) Pranata politik (political institution)
Pranata politik adalah serangkaian peraturan, baik tertulis ataupun tidak tertulis yang
berfungsi mengatur semua aktivitas politik dalam masyarakat atau negara.
5) . Pranata pendidikan (educational institution).
Pranata pendidikan, yaitu sistem nilai, norma dan perilaku dalam lingkup pendidikan.
Pendidikan yang dimaksud seringkali diasosiasikan dengan pendidikan formal seperti
sekolah

Contoh beberapa kelembagaan bahari seperti kelembagaan Sawi-sawi pada masyarakat


nelayan Bugis, Makasar dan Bajo dari Sulawesi Selatan misalnya kelompok ponggawa-
sawi. Kelembagaan pemilikan hak atas sumberdaya dan wilayah perikanan. Di Maluku,
institusi pemilikan komunal atas wilayah darat dan pantai disebut ‘sasi .

C. Budaya Bahari Masyarakat NTT


Beberapa komunitas adat di NTT yang memiliki kebudayaan laut yang unik seperti
 Di Lamalera ada tradisi Tena Laja (Perahu Layar).
Tradisi penangkapan ikan Paus atau dalam bahasa setempat disebut tena laja
(perahu layar). Meski demikian, bila dirunut secara historis, tradisi tena laja bukan
muncul setelah suku-suku ini berada dan berdiam di Lamalera, tetapi dibawa
bersamaan dengan eksodus mereka dari Luwuk – Sulawesi, yakni sekitar abad ke-14.
Kuatnya interaksi dan kohesi sosial antarsuku Lamalera dari waktu ke waktu turut
pula memperkukuh tradisi tena laja. Begitu pula sebaliknya dari tena laja mereka
hidup, bergantung dan membangun jejaring hidup dengan yang lain, membina relasi
intersubjektif dengan siapa saja.
Dalam hal pembagian hasil tangkapan misalnya, siapa pun di kampung itu,
terutama para janda dan yatim piatu, meski tidak ikut melaut, tetap diberi jatah
(gratis) sebagai tanda kesatuan dan persaudaraan. Lebih dari itu, ketika agama
modern masuk (Katolik Roma) ke Lamalera pada tahun 1881, tradisi ini sama sekali
tidak dihilangkan, tetapi justru semakin diberi makna, bobot religius yang tinggi-suatu
hal yang sudah semakin sering diabaikan, terutama oleh mereka yang mengaku diri
sebagai agamawan. Sebelum, selama dan sesudah kegiatan penangkapan ikan Paus
selalu diadakan kebaktian secara Katolik (misa lefa/laut), doa dan pemberkatan dari
pastor (pendeta Katolik) untuk memohon restu dan perlindungan dari Ama Lera
Wulan Tana Ekan (Sebutan untuk Allah).
Sampai di sini jelas bahwa tradisi tena laja tidak hanya sekedar
merepresentasikan, tapi juga mengabadikan (mempertahankan) korps, keberadaan
orang – orang Lamalera sebagai tubuh yang hidup. Hidup dengan pengertian, makna,
filosofi, hasrat dan persepsi kultural tertentu diwujudkan dengan menghidupkan
tradisi ini. Melalui penghidupan ini, orang-orang Lamalera dimungkinkan untuk
menemukan dan mendefinisikan identitas mereka sendiri di hadapan suatu entitas
sosial atau kultural tertentu; indentitas sosial telah banyak berurusan dengan
bagaimana suatu masyarakat memahami karya yang diolahnya sendiri dan karya
orang lain. Dengan kata lain, upaya penghidupan ini tidak lain adalah cara vital orang-
orang Lamalera dalam melanggengkan pengertian, makna, hasrat dan filosofi yang
sudah dianutnya. Menyikapi ancaman kepunahan Suku-suku di Lamalera adalah satu-
satunya etnis di Indonesia, yang sampai sekarang masih menangkap ikan paus secara
adat dengan peralatan tradisional.

 Di Mingar, Pasir Putih, ada budaya tangkap Nale (guti nale)


Masyarakat Desa Pasir Putih atau yang lebih dikenal dengan nama Mingar di
Kecamatan Nagawutung, Kabupaten Lembata, masih memegang teguh tradisi yang
diwariskan nenek moyang mereka. Salah satu tradisi warisan leluhur yang masih
dilaksanakan hingga kini adalah Guti Nale. Guti Nale merupakan tradisi menangkap
atau mengambil Nale atau Nyale, sejenis cacing laut. Tradisi ini berlangsung pada
akhir bulan Februari dan Maret. Nale memang hanya keluar pada sekitaran waktu itu
saja. Nale muncul di tiga titik sepanjang Pantai Mingar. Bagi masyarakat setempat,
Nale si cacing laut memiliki beragam manfaat. Selain untuk dimakan, Nale juga
berkhasiat sebagai obat dan digunakan juga untuk menyuburkan lahan pertanian. Bagi
masyarakat setempat, kehadirannya menjadi perlambang kesejahteraan.
Tradisi ini sudah tua. Menurut tuturan lisan yang diwariskan turun-temurun,
Guti Nale sudah dimulai sejak tahun 500 Masehi. Awalnya Nale berasal dari Duli, laut
di Alor, tepatnya di Selat Merica. Dua pendatang bernama Srona dan Srani yang
membawa Nale hingga ke kampung Mingar. Srona dan Srani kemudian mengenalkan
Nale kepada Belake dan Geroda (Suku Ketepapa) serta Belawa (Suku Ata Kabeleng).
Berita baik ini kemudian diteruskan kepada seluruh masyarakat Mingar yang terbagi
ke dalam delapan suku. Srona dan Srani tinggal lama bersama masyarakat Mingar
sambil memberitahukan bagaimana cara menangkap Nale, kewajiban dan pantangan
ketika menangkap Nale, serta mewariskan cara berkomunikasi, memanggil, dan
berpamitan dengan Nale.
Ada ritual khusus yang harus dilakukan sebelum mulai menangkap Nale.
Beberapa waktu sebelum penangkapan, dilakukan upacara adat di ‘Korke Nale’
(Rumah Nale). Dalam upacara ini akan terlihat Nale melata pada tiang kanan Korke.
Ketika hari mulai gelap dan laut mulai surut, seluruh masyarakat akan menuju pantai.
Mereka menunggu waktu penangkapan di pinggir pantai dengan membawa segala
perlengkapan. Sementara itu, tuan Nale (dari suku Ketepapa) akan mengamati
kehadiran Nale di Benebong. Ketika saatnya tiba, ia akan memanggil seluruh
masyarakat untuk turun ke laut. Segera setelah pemanggilan dari tuan Nale,
masyarakat akan berhamburan ke laut untuk menangkap Nale. Proses penangkapan
akan selesai dalam waktu satu sampai dua jam sejak panggilan menangkap Nale oleh
tuan Nale. Turunnya hujan juga menjadi tanda bahwa penangkapan harus segera
diakhiri. Merupakan suatu pantangan bila Nale terkena hujan. Menurut kepercayaan
masyarakat Mingar, Nale akan berangsur-angsur menyusut (mencair) bila terkena
hujan.
Pada hari terakhir, penangkapan akan ditutup dengan pamitan oleh tuan Nale
dalam bahasa adat kepada Nale. Pamitan ini dimaksudkan agar Nale akan kembali
lagi ke Mingar pada tahun berikutnya.

 Suku Alor percaya akan adanya kekuasan tertinggi di laut disebut Dewa Laut
(Lahatala). Pemujaan roh atau benda alam menjadi simbol pemujaan terhadap dewa
Lahatala. Melalui pemujaan tersebut doa diterus kepada Dewa Mou Maha Maha agar
dijauh dari marabahaya selama berlayar dan mendapatkan berkah tangkapan ikan.
Diiringi lagu dan tarian suku Orang Alor mempersembahkan ritual berupa tarian
Handek dan Heeloro sambil menarik sampan ke laut diiringi alat musik trandisional.

Makna tradisi yang dibangun antara lain


 Tradisi-tradisi semacam itu menjadi aktivitas kultural, sosial dan religius masyarakat
 Tradisi itu juga membangun interaksi dan kohesi sosial antar suku
 Membina relasi intersubjektif dengan siapa saja
 Menemukan dan mendefinisikan identitas mereka sendiri di hadapan suatu entitas
sosial atau kultural tertentu
 Dimensi spasial semacam itulah menjadi alasan mengapa beberapa masyarakat adat di
pesisir NTT tetap memilih dan menghidupi tradisi laut karena Laut adalah lokus
kultural, tempat mereka menghidupi dan menginternalisasi religiositas, solidaritas,
kohesi sosial.

Anda mungkin juga menyukai