Anda di halaman 1dari 6

PEMBAHASAN

Diagnosa 1: Bersihan jalan napas tidak efektif b.d adanya benda asing pada jalan
napas

Pada bab ini penulis akan membahas tentang Asuhan Keperawatan pada Ny K.J dengan
cedera kepala berat di ruang Intensive Care Unit (ICU). Pembahasan pada bab ini
terutama akan membahas adanya kesenjangan maupun kesesuaian atara teori dengan
kasus Asuhan Keperawatan yang diberikan meliputi pengkajian, diagnose
keperawatan, intervensi keperawatan, implemetasi keperawatan dan evaluasi
keperawatan.

Cedera kepala merupakan suatu gangguan traumatic dari fungsi otak yang disertai atau
tanpa perdarahan intersitial dalam subtansi otak tanpa diikuti terputusnya kontinuitas
otak. Pada penyakit cedera kepala jaringan otak akan mengalami kerusakan yang
menyebabkan perubahan autoregulasi odem serebral yang mengakibatkan kejang lalu
terjadi obstruksi jalan napas Pengkajian yang dilakukan pada Ny. K.J didapatkan
bahwa Ny. K.J masuk di ruangan ICU pada tanggal 01 januari 2020 mengalami
penurunan kesadaran dengan diagnosa medis Cedera Kepala, ICH Frontal (S), Fr.
Linear os occipital, SDH traumati dan post operasi Trepanasi (Kraniektomi
Dekompresi). sesuai dengan data yang didapatkan yaitu Tampak sputum berlebih,
Terdapat suara napas tambahan (ronkhi), Klien terpasang Endotrakeal Tube dengan
ventilator mode SIMV, terpasang Oroparyngeal Tube, R: 14x/m, SpO2: 99%, sehingga
diangkat diagnose keperawatan yang pertama yaitu bersihan jalan napas tidak efektif.
Cedera kepala berat rata-rata mengalami penurunan kesadaran, nyeri kepala, dan
bersihan jalan napas tidak efektif.

Bersihan jalan napas tidak efektif merupakan ketidakmampuan membersihan secret


atau obstruksi jalan napas untuk mempertahankan jalan napas tetap paten (Tim Pokja
SDKI DPP PPNI, 2017). Pasien yang mengalami penurunan kesadaran umumnya
mengalami gangguan jalan napas, gangguan pernapasan dan gangguan sirkulasi.
Gangguan pernapasan biasanya disebabkan oleh gangguan sentral akibat depresi
pernapasan pada lesi di medulla oblongata atau akibat gangguan perifer, seperti :
aspires, edema paru, emboli paru yang dapat berakibat hipoksia dan hiperkapnia.
Tindakan yang dilakukan pada kondisi di atas adalah pemberian oksigen, cari dan atasi
factor penyebab serta pemasangan ventilator. Pada pasien cedera kepala berat dan
sudah terjadi disfungsi pernapasan, dirawat di ruang perawatan intensive dan terpasang
selang endotracheal dengan ventilator dan sampai kondisi klien menjadi stabil
(Muttaqin, 2012). Dalam kasus ini pasien terpasang Endotracheal Tube, tindakan yang
memerlukan intubasi endotracheal ini banyak dilakukan pada kasus gawat darurat dan
pada pasien kritis yang dirawat intensive untuk oksigenisasi dan bantuan ventilasi
mekanik dalam jangka waktu tertentu. indikasi intubasi endotracheal yaitu mengontrol
jalan napas, menyediakan saluran udara yang bebas hambatan untuk ventilasi dalam
jangka Panjang, meminimalkan resiko aspirasi, menyelenggarakan proteksi terhadap
pasien dengan keadaan gawat atau pasien dengan reflex akibat sumbatan yang terjadi
dan v entilasi yang tidak adekuat. Kurt (2007) menyatakan dalam jurnalnya bahwa
penggunaan endoktrakhea intubasi pada pasien cedera kepala berat dapat
memperpanjang kehidupan

Pasien yang terpasang ventilator membutuhkan rencana keperawatan yang khusus.


Perawatan jalan napas terdiri dari pelembapan adekuat, tindakan membuang secret,
perubahan posisi dan suctioning .Intervensi yang perawat berikan untuk mengatasi
pasien cedera kepala berat dengan diagnose keperawatan bersihan jalan napas tidak
efektif yaitu : Memonitor pola napas, Memonitor bunyi napas tambahan, Memonitor
sputum, melakukan fisioterapi dada (vibrasi), berkolaborasi dengan dokter untuk
melakukan suction. Intervensi di berikan setiap 8 jam selama 3 hari di ruang ICU,
tujuan dari intervensi ini adalah agar supaya produksi sputum menurun dan tidak ada
ronchi. Salah satu tindakan yang dilakukan yaitu suction. Suction dilakukan bila
terdengar suara atau sekresi terdengar saat pernapasan. Peningkatan tekanan inspirasi
puncak pada ventilator dapat mengidentifikasikan adanya perlengketan atau
penyempitan jalan napas oleh secret, juga menunjukan kebutuhan untuk dilakukan
suction (Hudak & Gallo, 2010). Suction adalah aspirasi secret melalui sebuah kateter
yang disambungkan ke mesin penghisap atau saluran penghisap yang ada di dinding
penghisapan dapat dialkukan melalui nasofaring, orofaring dan intubasi endotrakeal
bertujuan untuk membebaskan jalan napas, mengurangi retensi sputum, merangsang
batuk, mencegah terjadinya infeksi paru ( Kellerher & Andrews, 2006).

Suction dilakukan untuk membersihkan secret maupun saliva yang menumpuk pada
jalan napas, agar oksigen masuk dengan bebas (Mahrur, 2015). Berdasarkan Penelitian
yang dilakukan oleh Wardani, Yuwono & Yuniato (2017) menunjukakn bahwa
tindakan suction efektif untuk membebaskan sumbatan jalan napas pada klien dengan
masalah keperawatan ketidakefektifan bersihan jalan napas. Hasil evaluasi hari ke 3
pada kasus ini di dapatkan sputum berkurang dan ronchi masih terdengar sehingga
intervensi tetap di pertahankan.

Diagnosa 2: Hipertermi b.d proses penyakit

Kerusakan bagian otak pada pasien Cedera Kepala Berat dapat menyebabkan
peningkatan suhu tubuh (Muttaqin, 2018). Peningkatan suhu tubuh sangat umum
terjadi pada pasien cedera kepala. Hal ini diakibatkan adanya gangguan pada set point
di hipotalamus (Agrawal, Timothy, & Thapa, 2017). Selain itu, peningkatan suhu pada
pasien cedera kepala juga bisa disebabkan oleh inflamasi otak, kerusakan hipotalamus
secara langsung, atau infeksi sekunder. Peningkatan suhu tubuh pada pasien Cedera
Kepala Berat biasanya terjadi pada 72 jam pertama (Thompson, Tkacs, Saatman,
Raghupathi, & McIntosh, 2016). Pada kasus Ny. K.J saat dilakukan pengkajian,
didapatkan adanya peningkatan suhu tubuh dengan menggunakan alat thermometer
didapatkan suhu badan Ny.K.J yaitu pada hari pertama didapatkan SB: 37,6⁰C, hari
kedua didapatkan SB: 38,1˚C dan pada hari ketiga didapatkan SB: 38,1˚C. Lamanya
peningkatan suhu tubuh pasien tergantung pada derajat keparahan Cedera Kepala
yang dialaminya. Oleh karena itu, untuk mencegah perburukan kondisi
akibat peningkatan suhu tubuh yang banyak dialami pasien Cedera Kepala,
petugas kesehatan harus menjaga suhu tubuh pasien agar tetap normal (Mcilvoy,
2018). Terdapat beberapa metode dalam menangani peningkatan suhu tubuh yaitu
manajemen farmakologis dan non farmakologis. Metode non farmakologis
untuk menangani peningkatan suhu tubuh dapat dilakukan dengan metode kompres
hangat. Pada Ny. K.J telah dilakukan tindakan keperawatan farmakologis (obat-obatan
penurun demam) dan non farmakologis (kompres hangat untuk membantu
menurunkan suhu tubuh) selama 3 hari. Setelah dilakukan tindakan keperawatan untuk
mengatasi hipertermia yang dialami oleh Ny. K.J, didapatkan hasil bahwa tidak terjadi
penurunan suhu tubuh pada Ny. K.J walaupun sudah diberikan tindakan keperawatan
farmakologis dan non farmakologis. Hal ini sejalan dengan penelitian Dietrich dalam
Thompson, Tkacs, Saatman, Raghupathi, dan McIntosh (2018) yang menyatakan
bahwa pada pasien cedera kepala yang mengalami peningkatan suhu tubuh dapat
mengalami perburukan, jika dibandingkan dengan pasien cedera kepala dengan
suhu tubuh normal. Pasien yang mengalami peningkatan suhu tubuh akan memiliki
resiko kematian yang lebih besar. Selain itu, volume contusio cerebri akan
bertambah dalam 4 hari pertama. Sejalan dengan penelitian tersebut, Diringer,
Reaven, Funk, dan Uman (2017) mengungkapkan bahwa pasien Cedera Kepala yang
mengalami peningkatan suhu tubuh memiliki tekanan intrakranial yang lebih
tinggi dan angka mortalitas serta hari rawat yang lebih lama dibandingkan dengan
pasien yang tidak mengalami peningkatan suhu tubuh.

Diagnosa 3: Resiko infeksi b.d efek prosedur invasive

Cedera kepala (trauma capitis) adalah cedera mekanik yang secara langsung atau tidak
langsung mengenai kepala yang mengakibatkan luka di kulit kepala, fraktur tulang
tengkorak, robekan selaput otak dan kerusakan jaringan otak itu sendiri, serta
mengakibatkan gangguan neurologis.(Syahrir H.2012) Pada pengkajian tanggal 02
januari 2020 diperoleh data objektif, terdapat luka post op kraniektomi dekompresi ec
SDH traumatik frontotemporoparietal sinistra ukuran ± 15 cm. Melihat data objektif
dan terkait batasan karakteristik atau faktor resiko yang ada maka dirumuskan diagnosa
resiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasif. Berdasarkan uraian di buku
Nanda Nic Noc 2015, resiko infeksi adalah peningkatan resiko terserang organisme
patogenik. Secara teori untuk memunculkan diagnosa tersebut terdapat batasan
karakteristik atau faktor resiko seperti penyakit kronis, prosedur invasive, malnutrisi,
peningkatan paparan organisme pathogen lingkugan, ketidakadekuatan pertahanan
tubuh primer, dan ketidakadekuatan pertahanan tubuh sekunder.
Berdasarkan data yang di temukan dan disesuaikan dengan batasan karakteristik serta
faktor resiko maka penulis mengangkat diagnosa resiko infeksi yang berhubungan
dengan prosedur invasive. Prosedur invasive ini akan mengakibatkan kerentangan
terhadap bakteri yang merupakan pintu masuk bagi kuman atau mikro organisme
penyebab infeksi. Tujuan yang ingin dicapai setelah dilakukan tindakan keperawatan
selama 3 x 8 jam maka tingkat infeksi menurun dengan kriteria hasil, kebersihan tangan
meningkat, demam menurun, kemerahan menurun, dan bengkak menurun. Rencana
tindakan pada diagnosa keperawatan ini adalah monitor tanda dan gejala infeksi,
berikan perawatan kulit pada luka post op, cuci tangan sebelum dan sesudah kontak
dengan pasien dan lingkungan pasien, serta kolaborasi dengan dokter pemberian
antibiotik. Tindakan keperawatan yang dapat dilakukan adalah memonitor tanda dan
gejala infeksi, memberikan perawatan kulit pada luka post op, mencuci tangan sebelum
dan sesudah kontak dengan pasien dan lingkungan pasien, serta berkolaborasi dengan
dokter pemberian antibiotik.

Diagnosa 4: Defisit perawatan diri b.d kelamahan

Perawatan diri adalah salah satu kemampuan dasar manusia dalam memenuhi
kebutuhannya guna mempertahankan kehidupannya, kesehatan dan kesejatraan sesuai
dengan kondisi kesehatannya. Pasien dinyatakan terganggu kesehatannya dan
kesejatraannya sesuai dengan kondisi kesehatanya dan terganggu keperawatan diri (
Depkes, 2000 dalam Direja, 2011, h 152). Karena aktivitas perawatan diri menurun
terjadi defisit perawatan diri pada pasien gangguan jiwa. Defisit perawatan diri tampak
dari ketidakmampuan merawat kebersihan diri, makan, berhias diri dan eliminasisecara
mandiri ( Keliat, 2010, h 164)

Asuhan keperawatan defisit perawatan diri bertujuan agar pasien mampu melakukan
perawatan diri ( kebersihan diri, berhias, makan, eliminasi) secara mandiri(Direja,
2011, h 155). Dalam strategi pelaksanaan asuhan keperawatan defisit perawatan diri ,
diajarkan kemampuan untuk merawat diri. Setiap kemampuan yang diajarkan
dimasukan dalam jadwal harian untuk kemudian dilatih. Pelaksanaan jadwal harian
dalam asuhan keperawatan defisit perawatan diri ini bermanfaat untuk meningkatkan
kemandirian pasien dalam merawat diri. Hal ini dapat dilihat pada penelitian Novita P,
Julia V R, Ferdinand W (2006) dalam penelitian berjudul” Pengaruh penerapan
Asuhan Keperawatan Defisit Perawatan diri Terhadap Kemandirian Personal Hygiene
Pada pasien di RSJ. Prof. V. Ratumbusyang Manado Tahun 2016” Hasil penelitian
tersebut menunjukan adanya pengaruh penerapan asuhan keperawatan defisit
perawatan diri terhadap kemandirian personal Hygiene pada pasien ruang Katrili dan
Alabadiri rsj. Prof. dr v. l ratumbuysyang Manado (P=0,003<α=0,05). S

Yang merupakan faktor presiptasi defisit perawatan diri adalah kurang penurunan
motivasi, kerusakan kognisi, atau perceptual, cemas, lelah/lemah yang dialami individu
sehingga menyebabkan individu kurang mampu melakukan perawatan diri. ( Depkes,
2000, dalam Anonim, 2009). Sedangkan Tarwoto dan Wartonah (200), dalam Anonim
( 2009), Menyatakan bahwa kurangnya perawatan diri disebabkan oleh Kelelahan Fisik
dan Penurunan kesadaran

Anda mungkin juga menyukai