Anda di halaman 1dari 90

RESUME TUTORIAL SKENARIO 1

LOKOMOTOR

BLOK 16

Oleh :

Tutorial F

1. Larasayu Putri Asyahrie 172010101001


2. Elok Tiara Pratmawati 172010101020
3. Lailatul Maghfiroh 172010101029
4. Bagus Wahyu M 172010101033
5. Sabila Larasati 172010101038
6. Eqiel Navadz Akhtar A 172010101049
7. Nadatil Hasanah P N 172010101094
8. Firman Pratama A 172010101119
9. M Naufal Akbar 172010101120
10. Roikhanatul Jannah 172010101127

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JEMBER
2020
I. LEARNING OBJECTIVE SKENARIO 1

1. Anatomi Otot dan Tulang


2. Embriologi
3. Histologi Tulang dan Otot Rangka
4. Fisiologi Secara Umum dan Fisiologi Movement
5. Patologi Kelainan Kongenital
5.1. DDH
5.2. Osteogenesis Imperfecta
5.3. Duchene Muscular Atrophy
5.4. Ricketsia
5.5. Akondroplasia
5.6. Displasia Fibrosa
5.7. Cleft Foot
5.8. Pes Planus
5.9. Genovarum dan Genovalgum
5.10. Kelainan Bentuk Tulang Belakang
5.10.1. Skoliosis
5.10.2. Kifosis
5.10.3. Lordosis

1. Anatomi Otot dan Tulang


1.1 Anatomi Ekstremitas Bawah
1.1.1 Tulang
Ekstremitas bawah terdiri dari tulang pelvis, femur, tibia, fibula, tarsal, metatarsal, dan tulang-
tulang phalangs.

1.1.1.1. Tulang Pelvis

(Gambar 1. Tulang Pelvis)

Pelvis terdiri atas sepasang tulang panggul (hip bone) yang merupakan tulang
pipih.Masing-masing tulang pinggul terdiri atas 3 bagian utama yaitu ilium, pubis dan
ischium.Ilium terletak di bagian superior dan membentuk artikulasi dengan vertebra sakrum,
ischium terletak di bagian inferior-posterior, dan pubis terletak di bagian inferior-anterior-
medial.Bagian ujung ilium disebut sebagai puncak iliac (iliac crest).Pertemuan antara pubis
dari pinggul kiri dan pinggul kanan disebut simfisis pubis.Terdapat suatu cekungan di bagian
pertemuan ilium-ischium-pubis disebut acetabulum, fungsinya adalah untuk artikulasi
dengan tulang femur.

1.1.1.2. Tulang Femur


(Gambar 1.2 Tulang Femur)
Femur adalah yang terkuat dari tulang panjang dalam tubuh dan merupakan tulang
hanya di daerah paha.Bagian paling adalah berbentuk seperti kepala baik-bulat yang duduk di
acetabulum tulang pinggul untuk membentuk sendi panggul.Sebuah leher kurus
menghubungkan kepala dengan poros tulang dan sering situs fraktur pada orang tua.
Bagian bawah dari femur sedikit diratakan dan menyebar keluar dan merupakan bagian
dari sendi lutut. Poros tebal femur terletak pada inti dari paha, benar-benar dikelilingi oleh otot-
otot yang kuat seperti paha depan dan paha belakang.

1.1.1.2. Tulang Patela

(Gambar 1.3 Tulang Femur)

Tutup lutut, bagian yang menonjol dari depan lutut, sebenarnya dibentuk oleh tulang
terpisah yang disebut patela. Ini adalah os sesamoid karena terletak di dalam tendon dari otot
quadriceps femoris, otot kuat di bagian depan paha.Bila ekstremitas bawah ini diluruskan,
patela bisa dirasakan dan bahkan digenggam dengan jari dan pindah dari sisi ke sisi.
1.1.1.3. Tulang Tibia Dan Fibula

(Gambar 1.4 Tulang Tibia dan Fibula)

Tibia merupakan tulang tungkai bawah yang letaknya lebih medial dibanding dengan
fibula. Di bagian proksimal, tibia memiliki condyle medial dan lateral di mana keduanya
merupakan facies untuk artikulasi dengan condyle femur. Terdapat juga facies untuk
berartikulasi dengan kepala fibula di sisi lateral.Selain itu, tibia memiliki tuberositas untuk
perlekatan ligamen.Di daerah distal tibia membentuk artikulasi dengan tulang-tulang tarsal
dan malleolus medial.
Fibula merupakan tulang tungkai bawah yang letaknya lebih lateral dibanding dengan
tibia. Di bagian proksimal, fibula berartikulasi dengan tibia. Sedangkan di bagian distal,
fibula membentuk malleolus lateral dan facies untuk artikulasi dengan tulang-tulang tarsal.

1.1.1.4. Tulang Tarsalia (Pangkal Kaki)


(Gambar 1.5 Tulang Tibia dan Fibula)

Os tarsalia dihubungkan dengan tungkai bawah oleh sendi pergelangan kaki, terdiri atas :
a) Talus: berhubungan dengan tibia dan fibula terdiri atas kaput talus, kolumna talus, dan
korpus tali.permukaan atas korpus tali mempunyai bongkol sendi yang sesuai dengan lekuk
sendi, terbentuk dari ujung sendi distal tibia dan fibula yang dinamakan trokhlea tali sebelah
medial permukaan berbentuk bulan sabit (fasies molaris medialis) yang berhubungan dengan
maleolus medialis.
b) Kalkaneus: terletak di bawah talus, permukaan atas bagian medial terdapat tonjolan
yang dinamakan suntentakulum tali, di bawahnya terdapat sulkulus muskular flexor halusis
longus. Bagian belakang kalkaneus terdapat tonjolan besar tuberkalkanei yang mempunyai
prosesus tuberkalkanei.
c) Navikulare: pada bagian medial terdapat tonjolan yang dinamakan tuberositas ossis
navikulare pedis, permukaan sendi belakang berhubungan dengan os kunaiformi I, II, dan III.
d) Os kuboideum: permukaan proksimal mempunyai fasies artikularis untuk kalkaneus,
permukaan distal mempunyai 2 permukaan untuk metatarsal IV dan V. Pada permukaan medial
mempunyai 2 permukaan sendi untuk navikular dan kunaiformi medialis.
e) Os kunaiformi, terdiri atas:
- Kunaiformi lateralis,
- Kunaiformi intermedialis,
- Kunaiformi medialis,
semuanya berbentuk baji, sedangkan permukaan proksimal berbentuk segitiga. Puncak
dari kunaiformi lateralis menghadap ke atas dan puncak kunaiformi medialis menghadap ke
bawah.

1.1.1.5. Tulang Metatarsal

(Gambar 1.6 Tulang Metatarsal)

Os metatarsalia mempunyai 5 buah tulang metatarsal I, II, III, IV, dan V. Bentuk kelima
tulang ini hampir sama yaitu bulat panjang. Bagian proksimal dari masing-masing tulang agak
lebar disebut basis ossis matatarsale.
Bagian tengah ramping memanjang dan lurus sedangkan bagian distalnya mempunyai
bongkok kepala (kaput ossis matatarsale).Metatarsal I agak besar daripada yang lain,
sedangkan metatarsal V bagian lateral basisnya lebih menonjol ke proksimal disebut
tuberositas ossis metatarsal V.

1.1.1.6. Tulang Falang Pedis


(Gambar 1.7 Tulang Falang Pedis

Os falang pedis merupakan tulang-tulang pendek.Falang I terdiri atas 2 ruas yang lebih
besar daripada yang lainnya. Fallang II, III, IV, dan V mempunyai 3 ruas lebih kecil dan lebih
pendek dibandingkan falang I. Pada ibu jari terdapat dua buah tulang kecil berbentuk bundar
yang disebut tulang baji (os sesamoid).
Pada kaki terdapat 4 buah lengkungan :
- Lengkungan medial: dari belakang ke depan kalkaneus.
- Lengkungan lateralis: dibentuk oleh kalkaneus kuboidea dengan dua tulang
metatarsalia.
- Lengkungan longitudinal: lengkung melintang metatarsal dibentuk oleh tulang tarsal.
- Lengkungan tranversal anterior: dibentuk oleh kepala tulang metatarsal pertama dan
kelima.

1.1.2. Otot Ekstremitas Bawah

1.1.2.1. Otot-otot ventral pangkal paha


1. M.Iliacus
2. M.psoas major
3. M.psoas minor
1.1.2.2. Otot-otot ventral paha
1. M.quadriceps femoris
2. M.sartorius
3. M.tensor fasciae latae
1.1.2.3. Otot-otot medial paha atas
1. M.gracilis
2. M.pectineus
3. M.adductor brevis
4. M.adductor longus
5. M.adduktor magnus
6. M.obturatorius eksternus
1.1.2.4. Otot-otot dorsal pinggul
1. M.gluteus maximus
2. M.gluteus medius
3. M.gluteus minimus
4. M.piriformis
5. M.obturatorius internus
6. M.gemellus superior
7. M.gemellus inferior (Gambar 1.8 Otot Ekstremitas Bawah 1)

8. M.quadratus femoris
1.1.2.5. Otot-otot dorsal paha
1. M.biceps femoris
2. M.semitendinosus
3. M.semimembranosus
1.1.2.6. Otot-otot ventral betis
1. M.tibialis anterior
2. M.extensor hallucis longus
3. M.extensor digitorum longus
4. M.fibularis (peroneus) tertius
1.1.2.7. Otot-otot lateral betis
1. M.fibularis (peroneus) longus
2. M.fibularis (peroneus) brevis
1.1.2.8. Otot-otot dorsal betis bagian permukaan
1.1.2.9. Otot-otot dorsal betis bagian dalam
1. M.popliteus (Gambar 1.9 Otot Ekstremitas Bawah 2)
2. M.tibialis posterior
3. M.flexor digitorum longus
4. M.flexor hallucis longus
1.1.2.10. Otot-otot kaki dorsal
1. M.ekstensor digitorum brevis
2. M.ekstensor hallucis brevis
1.1.2.11. Otot-otot medial telapak kaki
1. M.abduktor hallucis
2. M.flexor hallucis brevis
3. M.adduktor halluces
1.1.2.12. Otot-otot bagian tengah telapak kaki
1. M.flexor digitorum brevis
2. M.quadratus plantae
3. Mm.lumbricales pedis I-IV

(Gambar 1.10 Otot Ekstremitas Bawah 3)

1.1.3 Anatomi Vaskularisasi Ekstremitas Bawah

(Gambar 1.11 Arteri-arteri pelvis dan paha, sisi kanan, dilihat dari ventral)
Arteri profunda femoris adalah arteri utama untuk Articulatio coxae dan paha. Cabang-
cabang lain A. femoralis tidak berperan dalam pendarahan paha. A. profunda femoris
bercabang dari A. femoralis di 3-6 cm inferior dari Lig. inguinale dan membagi diri menjadi
Aa. circumflexae femoris medialis et lateralis. Pada orang dewasa, caput femoris hampir hanya
dipendarahi oleh A. circumflexa femoris medialis (R. profundus) yang mengelilingi Collum
femoris dari belakang. R. profundus juga mendarahi otot-otot adduktor dan hamstring. R.
acetabularis beranastomosis dengan cabang A. obturatoria yang bernama sama. A. circumflexa
femoris lateralis berjalan di anterior Collum femoris. Arteri ini mendarahi Collum femoris dan
dengan beberapa cabang otot-otot pinggul lateral serta otot-otot ventral paha. Aa. perforantes
merupakan cabang-cabang terminal yang mendarahi otot-otot adduktor dan hamstring. Semua
cabang saling beranastomosis serta juga beranastomosis dengan A. obturatoria dan Aa. gluteae
dari A. iliaca interna, yang menjadi dasar terbentuknya sirkulasi kolateral.

(Gambar 1.12. Daftar arteri ekstremitas bawah)


(Gambar 1.13. Arteri-arteri ekstremitas bawah sisi kanan dilihat dari dorsal)
(Gambar 1.14. Arteri-arteri ekstremitas bawah sisi kiri dilihat dari dorsal)

A. iliaca externa bercabang dari A. iliaca communis ke anterior Articulatio sacroiliaca


dan terus berlanjut di bawah Lig. Inguinale di dalam Lacuna vasorum sebagai A. femoralis
(lihat Gambar 2). Setelah melintasi Canalis adductorius, arteri ini dinamakan A. poplitea
(mempendarahi Articulatio genus). A. poplitea berjalan turun di bawah Arcus tendineus
musculi solei di antara otot-otot fleksor superfisial dan profundus tungkai lalu membagi diri
menjadi A. tibialis posterior yang melanjutkan perjalanannya, dan A. tibialis anterior yang
menembus Membrana interossea cruris untuk mencapai kompartemen ekstensor anterior (lihat
Gambar 3). Arteri yang terakhir ini berlanjut sebagai A. dorsalis pedis di dorsum pedis (lihat
Gambar 2). A. tibialis posterior memberi percabangan A. fibularis yang kuat ke Malleolus
lateralis dan kemudian berlanjut melalui Canalis malleolaris di sekitar Malleolus medialis
untuk mencapai telapak kaki; di sini, arteri tersebut bercabang menjadi dua cabang terminal
(Aa. plantares medialis et lateralis) (lihat Gambar 1.13).
(Gambar 1.15. Vena-vena ekstremitas bawah, sisi kanan, dilihat dari ventral)
Venae profundae (biru tua) berjalan bersama arteriae yang bersangkutan. Di tungkai,
biasanya dua vena berjalan bersama masing-masing arteri yang bersangkutan, sementara di
paha dan fossa poplitea, hanya ditemukan satu vena pengiring. Sistem vena superfisial (biru
muda) terdiri atas dua vena utama yang memperoleh darah dari dorsum dan telapak kaki. V.
saphena magna berasal dari anterior Malleolus medialis dan berjalan naik di sisi medial tungkai
dan paha ke Hiatus saphenus (lihat Gambar 4). Di sini, V. saphena magna menerima aliran
darah dari beberapa vena Regio inguinalis dan memasuki V. femoralis di Trigonum femorale.
Di sisi posterior, V. saphena parva berasal dari tepi lateral kaki posterior dari Malleolus
lateralis dan berjalan naik ke tengah otot betis menuju Fossa poplitea. Untuk memasuki V.
Poplitea, V. Saphena magna dan parva saling terhubung melalui berbagai macam cabang.
Penyuplai V. Saphena magna di Trigonum femorale:
 V. epigastrica superficialis
 V. circumflexa ilium superficialis
 V. saphena acessoria
 Vv. pudendae externae
(Gambar 1.16. Pembuluh darah dan saraf dorsum pedis, sisi kanan)
A. tibialis anterior terus berlanjut di Dorsum pedis sebagai A. dorsalis pedis. Di tingkat
malleoli, A. tibialis anterior memberi percabangan Aa. malleolares anteriores medialis et
lateralis untuk jejaring arteri di sekeliling malleoli (Rete malleolare mediale dan Rete
malleolare laterale). A. dorsalis pedis bercabang menjadi Aa. tarsales mediales yang lebih kecil
dan A.tarsalis lateralis yang menuju ke Tarsus lalu berlanjut sebagai A. arcuata. Arteri terakhir
ini melengkung ke tepi lateral kaki dan bercabang menjadi Aa. metatarsales dorsales yang
kemudian berlanjut sebagai Aa. digitales dorsales untuk mendarahi jari kaki. A. plantaris
profunda menunjang perfusi telapak kaki dengan mendarahi Arcus plantaris profundus (lihat
Gambar 1.16).
(Gambar 1.17. Arteri-arteri plantar pedis, sisi kanan, dilihat dari plantar)
Plantar pedis mendapat perfusi dari cabang terminal A. tibialis posterior. A. plantaris
medialis memberi cabang R. superficialis ke tepi media kaki dan R. profundus yang terhubung
ke Arcus plantaris profundus. Arcus ini merupakan kelanjutan langsung dari A. plantaris
lateralis (Paulsen & Waschke, 2012).

Sumber : Paulsen, F., & Waschke, J. (2012). Sobotta Atlas Anatomi Manusia. Jakarta: EGC.

1.1.4 Inervasi Ekstrimitas Inferior


Nervi yang memasuki extremitas inferior dari abdomen dan pelvis merupakan cabang-
cabang terminal plexus lumbosacralis pada dinding posterior abdomen dan dinding
posterolateral pelvis.
Plexus lumbalis dibentuk dari rami anterior nervi spinales L1-L3 dan sebagian L4. Sisa
ramus anterior L4 dan ramus anterior L5 bergabung membentuk truncus lumbosacralis, yang
memasuki cavitas pelvis dan bergabung dengan rami anterior Sl-S3 dan sebagian S4 untuk
membentuk plexus sacralis.
Nervi yang berasal dari plexus lumbosacralis dan meninggalkan abdomen dan pelvis
untuk memasuki extremitas inferior.

(Gambar 1.18. Cabang-cabang plexus lumbosacralis)


(Gambar 1.19. Daftar inervasi ekstremitas bawah)

1.1.4.1. Regio Gluteal


A. Nervus gluteus superior
Dari seluruh nervi yang berjalan melewati foramen ischiadicus majus, nervus gluteus
superior merupakan satu-satunya yang berjalan di atas musculus piriformis (Gambar 1.20).
Setelah memasuki regio glutealis, nervus melengkung naik di atas tepi inferior gluteus minimus
dan berjalan ke arah anterior dan lateral pada bidang di antara musculus gluteus minimus dan
musculus gluteus medius.
Nervus gluteus superior memberikan cabang-cabang untuk musculus gluteus minimus
dan musculus gluteus medius dan berakhir dengan mempersarafi musculus tensor fasciae latae.
B. Nervus ischiadicus/sciatus
Nervus ischiadicus memasuki regio glutealis melalui foramen ischiadicum majus di
bawah musculus piriformis (Gambar 1.20) Nervus ischiadicus berjalan turun pada bidang di
antara kelompok superficialis dan profundus musculi regio glutealis, pertama menyilang
permukaan posterior musculus obturator internus dan musculi gemelli terkait dan selanjutnya
musculus quadratus femoris. Nervus ischiadicus berada tepat di sebelah dalam terhadap gluteus
maximus, pada titik tengah antara tuber ischiadicum dan trochanter major. Pada tepi bawah
musculus quadratus femoris, nervus ischiadicus memasuki regio femoralis posterior.
Nervus ischiadicus merupakan nervus terbesar pada tubuh dan mempersarafi seluruh
musculi pada kompartemen posterior region femoralis yang melakukan flexi genus dan seluruh
musculi yang menggerakkan talocruralis dan pedis. Nervus ischiadicus juga mempersarafi
daerah kulit yang luas pada extremitas inferior.
C. Nervus musculus quadratus femoris
Nervus musculus quadrati femoris memasuki regio glutealis melalui foramen
ischiadicum majus di inferior dari musculus piriformis dan di sebelah dalam terhadap nervus
ischiadicus (Gambar 1.20). Berbeda dengan nervi lain pada regio glutealis, nervus musculus
quadrati femoris berada di anterior terhadap bidang musculi bagian dalam.
Nervus musculus quadrati femoris berjalan turun di sepanjang ischium. di sebelah
dalam terhadap tendo musculus obturator internus dan musculi gemelli terkait untuk
menembus dan mempersarafi quadratus femoris. Nervus tersebut memberikan sebuah cabang
kecil untuk gemellus inferior.
D. Nervus obturatorius internus
Nervus obturatorius internus memasuki regio glutealis melalui foramen ischiadicum
majus di inferior dari musculus piriformis dan di antara nervus cutaneus femoris posterior dan
nervus pudendus (Gambar 1.20). Nervus obturatorius internus memberikan sebuah cabang
kecil untuk gemelius superior dan kemudian berjalan di atas spina ischiadica dan melalui
foramen ischiadicum minus untuk mempersarafi musculus obturator internus dari permukaan
medial musculus pada perineum.
E. Nervus pudendus
Nervus pudendus memasuki regio glutealis melalui foramen ischiadicum majus di
inferior dari musculus piriformis dan medial dari nervus ischiadicus (Gambar 1.20). Nervus
pudendus melintas di atas ligamentum sacrospinale dan segera berjalan melalui foramen
ischiadicum minus untuk memasuki perineum. Perjalanan nervus pudendus pada regio
glutealis pendek dan seringkali nervus ini tersembunyikan oleh tepi atas ligamentum
sacrotuberale yang berada di atasnya.
Nervus pudendus merupakan nervus somaticae utama dari perineum dan tidak memiliki
cabang pada regio glutealis.
F. Nervus gluteus inferior
Nervus gluteus inferior memasuki regio glutealis melalui foramen ischiadicum majus
di inferior dari musculus piriformis dan berada di sepanjang permukaan posterior nervus
ischiadicus (Gambar 1.20). Nervus gluteus inferior menembus dan mempersarafi musculus
gluteus maximus.
G. Nervus cutaneous perforantes
Nervus cutaneus perforantes merupakan satu-satunya nervus pada regio glutealis yang
tidak memasuki daerah tersebut melalui foramen ischiadicum majus. Nervus cutaneus
perforantes merupakan nervus kecil yang meninggalkan plexus sacralis pada cavitas pelvis
dengan menembus ligamentum sacrotuberale. Nervus kemudian berputar mengitari batas
bawah gluteus maximus untuk mempersarafi kulit di atas aspectus medialis gluteus maximus
(Gambar 1.20).

(Gambar 1.20. Persarafan regio glutea)

1.1.4.2. Regio femoralis


Terdapat tiga nervus utama pada regio femoralis, masing-masing berkaitan dengan
salah satu dari tiga kompartemen. Nervus femoralis berkaitan dengan kompartemen anterior
regio femoralis, nervus obturatorius berkaitan dengan kompartemen medialis region femoralis,
dan nervus ischiadicus berkaitan dengan kompartemen posterior regio femoralis.
A. Nervus femoralis
Nervus femoralis berasal dari plexus lumbalis (segmen medulla spinalis L2-L4) pada
dinding posterior abdomen dan memasuki trigonum femorale pada regio femoralis dengan
melintas di bawah ligamentum inguinale Di dalam trigonum femorale, nervus femoralis
terletak pada sisi lateral arteria femoralis dan di luar sarung femoralis/femoral sheath, yang
mengelilingi vasa femoralis.
Sebelum memasuki regio femoralis, nervus femoralis memberikan cabang-cabang
menuju musculi iliacus dan pectineus.
Segera setelah lewat di bawah ligamentum inguinale, nervus femoralis terbagi menjadi
cabang-cabang anterior dan posterior, yang menyuplai musculi pada kompartemen anterior
region femoralis dan kulit pada aspectus anterior dan medial region femoralis dan pada sisi
medial regio cruralis dan pedis.
Cabang-cabang nervus femoralis meliputi:
 rami cutanei anteriores, yang menembus fascia profundus untuk menyuplai kulit regio
femoralis dan genus bagian depan;
 rami musculares, yang menyuplai musculus quadriceps femoris (musculi rectus
femoris, vastus lateralis, vastus intermedius, dan vastus medialis) dan musculus
sartorius: dan
 Satu nervus cutaneus yang panjang. nervus saphenus, yang menyuplai kulit jauh ke arah
distal hingga sisi medial pedis.
Nervus saphenus menyertai arteria femoralis di dalam canalis adductorius, namun
tidak berjalan melalui hiatus adductorius bersama arteria femoralis Sebaliknya, nervus
saphenus langsung menembus jaringan ikat di dekat ujung canalis untuk berada di antara
musculus sartorius dan musculus gracilis pada sisi medial genus. Di sini nervus saphenus
menembus fascia profundus dan kemudian menuruni sisi medial regio cruralis menuju pedis,
dan menyuplai kulit pada sisi medial genus, region cruralis, dan pedis.
B. Nervus obturatorius
Nervus obturatorius merupakan cabang plexus lumbalis (segmen medulla spinalis L2-
L4) pada dinding posterior abdomen. Nervus obturatorius berjalan turun pada musculus psoas,
dan kemudian berjalan keluar dari tepi medial musculus psoas untuk memasuki pelvis. Nervus
obturatorius berlanjut di sepanjang dinding lateral pelvis dan kemudian memasuki
kompartemen medialis regio femoralis dengan berjalan melalui canalis obturatorius. Nervus
obturatorius menyuplai sebagian besar musculusadductor dan kulit pada aspectus medialis
regio femoralis. Ketika memasuki regio femoralis, nervus obturatorius terbagi menjadi dua
cabang, sebuah ramus anterior dan sebuah ramus posterior. yang dipisahkan oleh musculus
adductor brevis.
▪ Ramus posterior berjalan turun di belakang musculus adductorbrevis dan pada permukaan
anterior musculus adductor magnus, dan menyuplai musculi obturator externus dan adductor
brevis dan sebagian adductor magnus yang melekat pada linea aspera.
▪ Ramus anterior berjalan turun pada permukaan anterior musculus adductor brevis dan berada
di belakang musculi pectineus dan adductor longus-ramus anterior memberikan cabang-cabang
menuju musculi adductor longus, gracilis, dan adductor brevis, dan seringkali berkontribusi
untuk menyuplai musculus pectineus, dan ramus cutaneus yang mempersarafi kulit pada sisi
medial regio femoralis.
C. Nervus ischiadicus
Nervus ischiadicus merupakan cabang plexus lumbosacralis (segmen medulla spinalis
L4-S3) dan berjalan turun menuju kompartemen posterior regio femoralis dari regio glutealis
(Gambar 1.22). Nervus ischiadicus rnempersarafi seluruh musculi pada kompartemen posterior
regio femoralis dan kemudian cabangcabangnya berlanjut menuju regio cruralis dan pedis.
Di dalam kompartemen posterior regio femoralis, nervus ischiadicus berada pada
musculus adductor magnus dan dilewati oleh caput longum musculus biceps femoris.
Di proximal dari genus, dan terkadang di dalam pelvis, nervus ischiadicus terbagi
menjadi dua cabang terminalnya: nervus tibialis dan nervus fibularis (peroneus) communis
(Gambar 1.22). Kedua nervus tersebut berjalan secara verticalis menuruni regio femoralis dan
memasuki fossa poplitea di posterior genus. Di sini, nervus tibialis dan nervus fibularis
communis bertemu arteria dan vena poplitea.
Nervus tibialis memberikan cabang-cabang untuk seluruh musculus pada kompartemen
posterior regio femoralis (caput longum musculus biceps femoris, semimembranosus,
semitendinosus): kecuali caput breve musculus biceps femoris, yang dipersarafi oleh pars
fibularis communis (Gambar 1.22).
Nervus tibialis berjalan turun melalui fossa poplitea, memasuki kompartemen posterior
regio cruralis, dan berlanjut ke dalam region plantaris pedis.
Nervus tibialis mempersarafi:
 seluruh musculus pada kompartemen posterior regio cruralis,
 seluruh musculus intrinsik pada regio plantaris pedis, kecuali musculi interossei
plantares I dan yang dipersarafi oleh nervus fibularis profundus, dan kulit pada 1/2
bagian bawah sisi posterolateral regio cruralis dan sisi lateral regio talocruralis, pedis,
dan digitus minimus, dan kulit pada regio plantaris pedis dan digiti.
Nervus fibularis communis menyuplai caput breve musculus biceps femoris pada
kompartemen posterior regio femoralis dan kemudian berlanjut ke dalam kompartemen latealis
dan anterior regio cruralis dan menuju pedis (Gambar 1.22),
Nervus fibularis communis mempersarafi:
 seluruh musculus pada kompartemen anterior dan lateralis region cruralis,
 sebuah musculus (extensor digitorum brevis) pada aspectus dorsalis pedis,
 musculi interossei dorsales I dan II pada regio plantaris pedis, dan
 kulit di atas aspectus lateralis regio cruralis, dan talocruralis. Dan di atas aspectus
dorsalis dari pedis dan digiti.

(Gambar 1.21.Inervasi Kompartemen Medial Femur)


(Gambar 1.22. Nervus Isciadicus)

1.1.4.3. Regio Cruralis


A. Kompartemen posterior
Nervus tibialis
Nervus yang berkaitan dengan kompartemen posterior region cruralis adalah nervus tibialis
.Sebuah cabang utama nervus ischiadicus yang berjalan turun menuju kompartemen posterior
dari fossa poplitea.
Nervus tibialis berjalan di bawah arcus tendineus yang terbentuk di antara caput fibulare
dan caput tibiale musculus soleus (arcus tendineus musculi solei) dan berjalan ke arah verticalis
melalui daerah profundus kompartemen posterior region cruralis, di permukaan musculus
tibialis posterior bersama vasa tibialis posterior.
Nervus tibialis meninggalkan kompartemen posterior region cruralis pada regio talocruralis
dengan berjalan melalui canalis tarsi di belakang malleolus medialis. Nervus tibialis memasuki
pedis untuk menyuplat sebagian besar musculus intrinsik dan kulit.
Pada regio cruralis, nervus tibialis mengeluarkan:
 cabang-cabang yang menyuplai seluruh musculus pada kompartemen posterior regio
cruralis, dan
 dua cabang-cabang cutaneu sn erus suralis dan nervus ̀ calcaneus medialis/rami
calcanei mediales.
Cabang-cabang nervus tibialis yang mempersarafi kelompok musculi superficialis pada
kompartemen posterior dan musculus popliteus kelompok profundus berasal dari regio cruralis
bagian atas, di antara kedua caput musculus gastrocnemius pada daerah distal fossa poplitea.
Cabang-cabang tersebut mempersarafi musculus gastrocnemius, musculus plantaris, dan
musculus soleus, dan berjalan lebih ke arah dalam menuju musculus popliteus.
Cabang-cabang (rami musculares) untuk musculi profundus kompartemen posterior
berasal dari nervus tibialis di sebelah dalam musculus soleus pada 1/2 bagian atas regio cruralis
dan mempersarafi musculus tibialis posterior, musculus flexor hallucis longus, dan musculus
flexor digitorum longus.
Nervus Suralis
Nervus suralis berasal dari regio cruralis bagian atas di antara kedua caput musculus
gastrocnemius.
Nervus suralis berjalan turun superficialis menuju perut musculus gastrocnemius dan
menembus fascia profundus di sekitar pertengahan regio cruralis, untuk bergabung dengan
ramus communicans fibularis dari nervus fibularis communis. Nervus suralis berjalan
menuruni regio cruralis, di sekitar malleolus lateralis, dan menuju pedis.
Nervus suralis menyuplai kulit pada bagian bawah permukaan posterolateral regio
cruralis dan sisi lateral pedis dan digitus minimus.

Nervus Calcaneus medialis/rami calcanei medialis


Nervus calcaneus medialis seringkali multipel dan berasal dari nervus tibialis pada
regio cruralis bagian bawah, di dekat region talocruralis dan berjalan turun menuju sisi medial
regio calcanea.
Nervus calcaneus medialis mempersarafi kulit pada permukaan medial dan planta regio
calcanea.
(Gambar 1.23. Nervus regio cruris gambar 1)

(Gambar 1.24. Nervus regio cruris gambar 2)


1.1.4.4. Kompartemen Lateralis
Nervus fibularis superficialis
Nervus yang berkaitan dengan kompartemen lateralis regio cruralis adalah nervus
fibularis superficialis. Nervus tersebut berawal sebagai salah satu dari dua cabang utama nervus
fibularis communis, yang memasuki kompartemen lateralis regio cruralis dari fossa poplitea.
Nervus fibularis communis berjalan mengelilingi collum fibulae dan memasuki
kompartemen lateralis dengan berjalan di antara perlekatan-perlekatan dari musculus fibularis
longus pada capitulum fibulae dan corpus fibulae. Di sini, nervus fibularis communis terbagi
menjadi dua cabang terminalnya:
 nervus libularis (peroneus) superficialis, dan
 nervus fibularis (peroneus) profundus
Nervus fibularis superficialis berjalan turun pada kompartemen lateralis di scbelah
dalam dari musculus tibularis longus dan mempersarafi musculus fibularis longus dan fibularis
brevis. Kemudian nervus fibularis superficialis menembus fascia profundus pada regio cruralis
bagian bawah dan memasuki pedis setelah nervus fibularis superficialis terbagi menjadi
cabangcabang medial dan lateral, yang menyuplai area-area dorsal pedis
dan digiti pedis kecuali untuk:
 selaput jari di antara hallux/digitus primus dan digitus secundus. yang dipersarafi oleh
nervus fibularis profundus. Dan
 sisi lateral digitus minimus, yang dipersarafi oleh nervus suralis cabang nervus tibialis.
Nervus fibularis profundus berjalan ke arah anteromedial, melalui septum
intermusculare cruris menuju kompartemen anterior regio cruralis, yang selanjutnya nervus
fibularis profundus ini menyuplai.

1.1.4.5 Kompartemen Anterior


Nervus fibularis profundus
Nervus yang berkaitan dengan kompartemen anterior region cruralis adalah nervus
fibularis profundu. Nervus tersebut berasal dari kompartemen lateralis regio cruralis sebagai
salah satu dari dua cabang nervus fibularis communis.
Nervus fibularis profundus berjalan melalui septum intermusculare cruris yang
memisahkan kompartemen lateralis dari kompartemen anterior regio cruralis dan kemudian
berjalan di sebelah dalam dari musculus extensor digitorum longus. Nervus fibularis profundus
mencapai membrana interossea cruris bagian anterior; di sini nervus tersebut bertemu dan
berjalan turun bersama arteria tibialis anterior.
Nervus fibularis profundus:
 mempersarafi seluruh musculus pada kompartemen anterior:
 kemudian berlanjut menuju aspectus dorsalis pedis dan mempersarafi musculus
extensor digitorum brevis, berkontribusi pada persarafan musculi interossei dorsales I
dan II, dan menyuplai kulit di antara hallux dan digitus secundus.
(Gambar 1.25. Nervus kompartemen anterior)
1.1.4.6. Regio Pedis
Pedis dipersarafi oleh nervus tibialis, nervus fibularis profundus, nervus fibularis
superficialis, nervus suralis, dan nervus saphenus:
 Kelima nervus tersebut berkontribusi pada persarafan cutaneous atau persarafan
sensorium umum.
 Nervus tibialis mempersarafi seluruh musculus intrinsik pedis kecuali musculus
extensor digitorum brevis, yang dipersarafi oleh nervus fibularis profundus.
 Nervus fibularis profundus juga berkontribusi pada persarafan musculi interossei
dorsales I dan II.
(Gambar 1.26. Nervus regio pedis)

2. Embriologi Sistem Skeletal

(Gambar 2.1. Embriologi minggu ke 5, 6, dan 8 )


Minggu ke 5
Tunas ekstremitas tampak sebagai kantong-kantong yang keluar dari dinding tubuh
ventrolateral. Tunas terdiri dari inti-inti mesenkim yang akan membentuk tulang dan
jaringan ikat ekstremitas. Inti mesenkim dilapisi oleh lapisan ektoderm kuboid. Ektoderm
dibatas distal ekstremitas menebal dan membentuk Apical Ectodermal Ridge (AER).
Perkembangan ekstremitas berlangsung secara proksimodistal.

Minggu ke 6
Bagian terminal tunas ekstremitas jadi pipih untung membentuk lempeng tangan
dan lempeng kaki. Jari tangan dan kaki terbentuk saat kematian sel di AER.

A: Hari ke 48, kematian sel di AER menciptakan bubungan pemisah untuk setiap jari.
B: Hari ke 51, kematian sel di ruang antar jari menyebabkan pemisahan antar jari.
C: Hari ke 56, pemisahan jari sudah tuntas.
(Gambar 2.2. Embriologi hari ke 48,51, dan 56 )

Minggu ke 7
Ekstremitas berputar dalam arah berlawanan. Ekstremitas atas berputar 90 derajat
ke lateral sehingga otot-otot ekstensor terletak di lateral dan posterior, ibu jari terletak di
lateral. Ekstremitas bawah berputar 90 derajat ke medial sehingga otot-otot ekstensor berada
di permukaan anterior dan ibu jari berada di medial.

Minggu ke 8
Perkembangan ekstremitas bawah tertinggal dibandingkan dengan ekstremitas atas
selama 1-2 hari.
3. Histologi

3.1. Histologi Tulang (Rawan dan Keras)


3.1.1. Histologi Tulang Rawan
Tulang rawan (cartilago) adalah bentuk khusus jaringan ikat yang juga berasal dari
mesenkim. Serupa dengan jaringan ikat, tulang rawan terdiri atas sel dan matriks ekstraselular
(matrix extracellularis) yang terdiri dari serat jaringan ikat (fibrae textuum connectivorum) dan
substantia fundamentalis (ground substance). Berbeda dari jaringan ikat, tulang rawan bersifat
nonvaskular (avaskular) dan menerima makanan dengan difusi melalui matriks ekstraselular.
Tulang rawan memperlihatkan kekuatan regang, membentuk penyokong struktural
yang kuat bagi jaringan lunak, memberikan kelenturan tanpa distorsi, dan tahan terhadap
tekanan. Tulang rawan terutama terdiri dari sel yang disebut kondrosit (chondrocytus) dan
kondroblas (chondroblastus) yang menyintesis matriks ekstraselular. Terdapat tiga jenis tulang
rawan dalam tubuh: hialin, elastik, dan fibrokartilago. Penggolongannya didasarkan pada
jumlah dan jenis serat jaringan ikat di dalam matriks ekstraselular.

3.1.1.1. Histologi Tulang Rawan Hialin


Tulang rawan hialin (cartilago hyalina) adalah jenis yang paling banyak ditemukan.
Pada embrio, tulang rawan hialin berfungsi sebagai model kerangka bagi kebanyakan tulang.
Seiring dengan pertumbuhan, model tulang rawan secara bertahap diganti dengan tulang
melalui proses yang disebut osifikasi endokondral (ossificatio endochondralis). Pada orang
dewasa, kebanyakan model tulang rawan hialin telah diganti dengan tulang, kecuali tulang
rawan permukaan sendi, ujung iga (tulang rawan lga), hidung, laring, trakea, serta di bronki.
Di sini, tulang rawan hialin menetap seumur hidup dan tidak mengalami penulangan.
(Gambar 3.1. Tulang rawan hialin dan struktur sekitar : trakea. Pulasan :
Hematoksilin dan Eosin)

3.1.1.2. Histologi Tulang Rawan Elastik


Tulang rawan elastik (cartilago elastica) serupa dengan tulang rawan hialin, namun
memiliki lebih banyak serat elastik (fibra elastica) bercabang di dalam matriksnya. Tulang
rawan elastik bersifat sangat lentur dan terdapat di telinga luar, dinding tuba auditorius,
epigiotis, dan laring.

(Gambar 3.2. Tulang rawan elastik : epiglotis. Pulasan : Perak)

3.1.1.3. Histologi Tulang Rawan Fibrous


Fibrokartilago (cartilago fibrosa) ditandai oleh adanya berkas-berkas serat kolagen
kasar yang padat dan tidak teratur dalam jumlah besar. Berbeda dari tulang rawan hialin dan
elastis, fibrokartilago terdiri atas lapisan matriks tulang rawan diselingi lapisan serat kolagen
tipe I padat. Serat kolagen ini berorientasi sesuai arah tegangan fungsional. Distribusi
fibrokartilago di tubuh terbatas dan ditemukan di diskus intervertebralis, simfisis pubis, dan
sendi tertentu.
(Gambar 3.3. Tulang rawan fibrous : diskus intervertebralis. Pulasan : Hematoksilin
dan eosin)

3.1.2. Histologi Tulang Dewasa


Serupa dengan tulang rawan, tulang dewasa juga merupakan bentuk khusus jaringan
ikat dan terdiri dari sel, serat, dan matriks ekstraselular. Karena pengendapan mineral dalam
matriks, tulang mengalami klasifikasi. Akibatnya, tulang menjadi keras dan dapat menahan
beban lebih besar dibandingkan dengan tulang rawan, berfungsi sebagai kerangka tubuh yang
kaku, dan memberikan tempat perlekatan bagi otot dan organ.
Tulang juga melindungi otak di dalam tengkoralg jantung dan paru di dalam toraks, dan
organ urinarium dan reproduksi di antara tulang-tulang pelvis. Selain itu, tulang berfungsi
dalam hemopoiesis (pembentukan sel darah), dan sebagai tempat penyimpanan (reservoir)
kalsium, fosfat, dan mineral lainnya. Hampir seluruh (99%) kalsium tubuh disimpan di dalam
tulang, dan kebutuhan harian tubuh akan kalsium berasal dari tulang.

3.1.2.1. Histologi Tulang Kompak


Pada tulang kompak, serat kolagen tersusun dalam lapisanJapisan tulang yang tipis
disebut lamela (lamella ossea) yang saling sejajar di bagian tepi tulang atau tersusun konsentris
mengelilingi suatu pembuluh darah. Di tulang panjang, lamela sirkumferensial luar (lamella
circumferentialis externa) terletak di bagian dalam periosteum. Lamela sirkumferensial dalam
(lamella circumferentialis interna) mengelilingi rongga sumsum tulang. Lamela konsentrik
(lamella osteoni) mengelilingi saluran-saluran dengan pembuluh darah, saraf; dan jaringan ikat
longgar yang disebut osteon (sistem Havers). Ruang di osteon yang mengandung pembuluh
darah dan saraf adalah kanalis sentralis (Havers). Sebagian besar tulang kompak terdiri dari
osteon (osteonum). Lakuna dengan osteosit dan terhubung melalui kanalikuli ditemukan di
antara lamela pada setiap osteon.
(Gambar 3.4. Tulang Kompak, kering (potongan transversal)

3.1.2.2. Histologi Tulang Spongiosa


Tulang kanselosa mengandung banyak daerah yang saling berhubungan dan tidak
padat, namun, kedua jenis tulang memiliki gambaran mikroskopik serupa. Pada bayi baru lahir,
rongga sumsum tulang panjang tampak merah dan menghasilkan sel darah. Pada orang dewasa,
rongga sumsum tulang panjang biasanya tampak kuning dan terisi oleh sel adiposa (lemak).

(Gambar 3.5. Tulang kanselosa dengan trabekula dan rongga sumsum tulang: sternum
(tulang dekalsifikasi, potongan transversal). Pewarnaan: hematoksilin eosin.)

Sumber: Eroschenko VP. 2003. Atlas Histologi di Fiore dengan Korelasi Fungsional Edisi
9.AlihBahasa:TambayongJan.Jakarta: EGC

3.2. Histologi Otot Rangka


 Menenempel untuk menggerakkan rangka
 40% BB
 Serabut= sel-sel dgn banyak inti sel
 Sel-sel jelas memiliki lurik-lurik
 Kontraksi bersifat disadar
 Jaringan otot terdiri atas sel-sel memanjang:
- Sitoplasma: sarkoplasma.
(Gambar 3.6. Histologi otot rangka
- Membran: sarkolema.
- Inti: terletak di tepi.
 Setiap serat otot mengandung beberapa ratus-ribu miofibril yang berdampingan:
terdiri atas 3000 filamen aktin & 1500 filamen miosin.

(Gambar 3.7. Histologi otot)

 Filamen aktin & miosin sebagian saling bertautan  miofibril memiliki pita terang &
gelap.
- Pita terang hanya mengandung filamen aktin (pita I).
- Pita gelap mengandung filamen miosin & ujung-ujung filamen aktin tempat
bertumpang tindih dengan filamen miosin (pita A).

• Ujung filamen aktin melekat pada lempeng Z.

• Bagian miofibril di antara 2 lempeng Z disebut sarkomer.

• Jaringan pembungkus otot bergaris:

- Otot rangka dikelilingi oleh lapisan jaringan ikat padat tidak teratur (epimisium).
- Dari epimisium, jaringan ikat kurang padat tidak teratur (perimisium) yang masuk dan
memisahkan otot menjadi fasikulus.
- Selapis tipis jaringan ikat retikular (endomisium) membungkus setiap serat otot.

(Gambar 3.8. Filamen otot)

Muscle spindle (fusus neuromuscularis=gelendong otot)


 Akhiran sabut saraf aferen pada otot, berkapsul.
• Di dalam fasikulus otot terdapat potongan melintang sebuah gelendong otot (muscle
spindle=fusus neuromuscularis).
• Gelendong otot adalah suatu organ sensorik (reseptor regang):
– memantau perubahan panjang otot & mengaktifkan refleks kompleks untuk
mengatur aktivitas otot.
• Gelendong terdiri atas:
– Serat otot di dalam gelendong yang dikelilingi oleh kapsul disebut serat
inftrafusal.
– Kapsul berasal dari perimisium yang berdekatan.
– Banyak ujung saraf.
(Gambar 3.9. Histologi muscle spindle)

Motor end plate (neuromuscular junction/ Hubungan saraf otot)


• Akhiran sabut saraf eferen somatik.

• Daerah pertautan khusus pada masing-masing serat otot, tempat berakhirnya akson.

• Tempat persarafan dan transmisi rangsangan ke otot.

• Motor neurons mempersarafi serabut otot

• Motor end plate adalah tempat pertemuannya

• Neurotransmitters dilepaskan oleh sinyal saraf menginisiasi pelepasan ion kalsium dan
kontraksi otot

• Motor Unit: sebuah motor neuron dan seluruh otot yang yang dipersarafinya •Rata-rata
~ 150, tapi bisa sampai beberapa ratus sel saraf •Semakin halus gerakan, semakin
sedikit otot yang terliba

(Gambar 3.10. Histologi motor end plate)


Tipe serabut otot rangka
Tergantung apakah mayoritas menggunakan oksigen untuk menghasilkan ATP atau tidak
- Oksidatif– aerobic (use oxygen)
- Glikolitik –anaerobik
1. Serabut cepat: serabut putih: besar, terutama anaerobik, cepat pegal, kebanyakan otot
rangka
2. Serabut lambat : serabut merah, diameter setengah, lebih lambat 3x tapi dapat terus
menerus, aerobik, lebih banyak mitokondria, mioglobbin
3. Intermediate: di antaranya

Otot rangka berkontraksi ketika motor unit dirangsang


- Jumlah tegangan tergantung
1. Frekuensi stimulasi
2. Jumlah motor unit yang terlibat
- Kontraksi sebuah otot yang sementara disebut twitch
- Prinsip All or none: kontraksi semua atau tidak sama sekali
- Jumlah tenaga tergantung berpa banyak motor unit yang teraktivasi
- Tonus otot : Walaupun dalam keadaan istirahat beberapa motor unit tetap aktiv tapi
tidak menyebabkan pergerakan
- Hipertrofi otot
a. Weight training (kerja berulang yang intense): meningkatkan diameter dan
kekuatan serabut otot cepat dengan meningkatkan
 mitokondria
 Protein aktin dan miosin
 Miofilamen
 Organel miofibril
b. Serabut membesar/hipertrofi bersamaan dengan jumlah dan ukuran miofibril
- Indurance training (aerobic): tidak menyebabkan hipertrofi
- Atrofi otot: hilangnya tonus dan massa otot karena kurang rangsangan : Otot menjadi
lebih kecil dan lemah

4. Fisiologi
4.1 Anatomi Fisiologi otot rangka
Myofibril adalah unit penting otot rangka sebab mengandung elemen protein kontraktil
yang menyebabkan otot berkontraksi. Terdapat ratusan sampai ribuan myofibril pada setiap
serabut otot, sementara setiap myofibril terdiri atas 1500 myosin dan 3000 aktin. Dibawah
mikroskop myosin yg merupakan filamen tebal akan tampak gelap (A-band), sementara aktin
yang merupakan filamen tipis terlihat terang (I-band). Aktin selalu terhubung dengan protein
lainnya membentuk kompleks aktin-troponin-tropomyosin yang saat kontraksi terjadi akan
berikatan dengan protein myosin. Bagian akhir aktin melekat pada suatu protein lain yang
disebut Z disk, dan daerah antara dua Z disk disebut sarkomer, yang merupakan suatu unit
kontraksi otot. Bila otot berkontraksi ukuran sarkomer sekitar 2 mikrometer.

4.2 Mekanisme kontraksi otot

(Gambar 4.1. Fisiologi Kontraksi)

Kontraksi otot secara umum mengikuti urutan proses berikut :

1. Potensial aksi dihantarkan sepanjang saraf dan berakhir di neuromuscular junction


pada membran otot.
2. Pada ujung saraf dilepaskan neurotrasnmitter asetilkolin.

3. Asetilkolin akan bekerja pada membran serabut otot dan membuka gate Natrium.

4. Masuknya ion Natrium dalam jumlah banyak memulai terjadinya aksi potensial pada
membran otot.

5. Aksi potensial dihantarkan sepanjang membran otot sebagaimana yang terjadi pada
membran saraf.

6. Aksi potensial yang terjadi di membran otot akhirnya sampai ke bagian tengah otot
yang menstimulasi retikulum sarkoplasma melepaskan ion Kalsium.

7. Ion Kalsium akan berikatan dengan troponin-C, dan ini mengawali ikatan antara aktin
dengan myosin.

8. Ikatan antara aktin dan myosin menyebabkan kedua filamen ini saling menarik ke
arah tengah (sliding filament mechanism) dan inilah yang disebut kontraksi otot.

9. Setelah beberapa waktu, ion Kalsium dipompa kembali ke retikulum sarkoplasma,


lalu terjadi pelepasan ikatan antara aktin dan myosin (relaksasi).

Kontraksi yang terjadi melalui sliding filament mechanism akibat terbentuknya cross-
bridge yang disusun oleh filamen myosin dan aktin, yang akan menarik aktin ke arah myosin
(tengah). Kekuatan untuk menarik diperoleh dari ATP yang tersedia di kepala myosin dan akan
aktif saat aksi potensial mencapai bagian otot.

4.3 Refleks Pada Otot Rangka

Refleks pada otot rangka adalah reflek yang terjadi untuk usaha proteksi tubuh agar tidak
terjadi kerusakan pada otot rangka dan juga agar timbul koordinasi otot dalam melakukan
gerakan tertentu, reflek ini terjadi karena karena adanya rangsangan sensoris akibat gerakan
otot, rangsangan tersebut diterima oleh propioreseptor, ada 3 macam propioreseptor yaitu
muscle spindle, golgi tendon organs, joint receptor, ketiganya memiliki mekanisme kerja yang
berbeda beda dengan penjelasan sebagai berikut.

 Muscle spindle reflex


Muscle spindle atau gelendong otot adalah struktur yang ada pada central region otot
yang memiliki kandungan filamen aktin dan miosin paling sedikit, namun pada organ
ini terdapat inervasi dari saraf aferen Gamma Motor Neuron yang berfungsi untuk
menerima rangsangan ketika terdapat regangan atau beban pada otot. Refleks
gelendong otot terjadi ketika otot menerima beban yang lebih kecil dari massa otot,
sehingga terjadi kontraksi agar beban dapat terangkat dan dapat memperkecil regangan
yang terjadi.

(Gambar 4.2. Muscle Spindle Reflex)

 Golgi tendon reflex


Golgi tendon adalah struktur tendon yang memiliki saraf sensoris pada permukaannya.
Golgi tendon refleks adalah refleks yang terjadi ketika beban yang diterima otot lebih
besar dari massa otot, sehingga timbul refleks untuk merelaksasikan otot demi
mencegah terjadinya overstretch pada otot.

(Gambar 4.3. Golgi Tendon Reflex)


 Joint reflex
Adalah refleks yang lebih kompleks dibanding dua refleks diatas karena melibatkan
organ organ yang melekat pada persendian, seperti tendon dan ligamen, contohnya
ketika melakukan gerak fleksi dengan menekuk bagian persendian akan menimbulkan
terjadinya kontraksi pada beberapa otot yang tendonnya melekat pada persendian dan
memaksa ligamen meregang untuk mempertahankan posisi persendian.

5. Patologi Kelainan Konginetal


5.1. DDH

Definisi

Displasia perkembangan pinggul adalah suatu kondisi bawaan kelainan panggul yang didapat
sejak lahir berupa dislokasi pada panggul karena acetabulumdan caput femur tidak berada pada
tempat seharusnya. Hal ini dapat terjadi sekali dalam setiap 1.000 kelahiran hidup. Sendi
panggul diciptakan seperti bola dan sendi soket. Pada Developmental Dysplasia of the Hip,
soket pinggul bisa jadi dangkal, sehingga "bola" dari tulang kaki yang panjang tidak pada
tempatnya, juga dikenal sebagai caput femoral menyelinap keluar dari soket. Caput femoral
bisa saja bergerak sebagian atau seluruhnya keluar dari soket pinggul.

(Gambar 5.1. Anatomi tempat kelainan DDH)


(Gambar 5.1. Berbagai bentuk dislokasi)

Epidemiologi
 Bilateral > Unilateral

 Perempuan > Laki-laki (8 : 1)

 Kejadian meningkat pada :

o Ada riwayat keluarga

o Kebiasaan membedung bayi

o Congenital Muskular Torticolis & Metatarsus Addutus.

Etiologi
Penyebab pasti pada kasus DDH belum dapat diketahui secara pasti, namun secara luas kasus
DDH ini diyakini sebagai gangguan perkembangan pada seorang anak. Hal ini karena DDH
dapat terjadi pada saat kehamilan, setelah lahir, bahkan selama masa kanak-kanak.
Faktor risiko :
 Genetik  kelemahan ligamen
 Lingkungan
o Intrauterin
 Desakan : kembar, oligohidramnion
Desakan dapat mengakibatkan caput femur janin yang masih belum
terfiksasi dengan baik lepas dari acetabulum.
 Hormon : Relaksin
Relaksin merupakan hormon yang muncul saat partus untuk
melemaskan tulang panggul
o Partus
 Kesalahan dalam penolongan partus
 Bayi dengan interpretasi bokong
o Pasca partus

(Gambar 5.3. Posisi partus yang mengakibatkan DDH)

 Kebiasaan membedung
Pembedungan dengan sangat erat sampai membuat kaki anak yang
seharusnya fleksi menjadi ekstensi, membuat timbulnya insiden DDH
semakin tinggi.

(Gambar 5.4. Membedung)

Manifestasi Klinis
 Kaki bayi panjang sebelah
 Terdapat lipatan bokong dan paha yang asimetris
Lipatan bokong dan paha yang asimetris dapat menggambarkan kemungkinan terjadi
DDH pada bayi, tetapi pemeriksaan penunjang seperti USG dan foto rontgen tetap
diperlukan untuk memastikan pinggul normal atau tidak.

(Gambar 5.5. Manifestasi klinis DDH)


Ketika bayi dengan DDH sudah tumbuh beberapa bulan, maka pinggul secara bertahap
akan kehilangan rentang gerak dan kedua kaki tidak akan sama panjang karena pinggul
telah tumbuh semakin ke atas.

 Kalau sudah berjalan, jalannya tidak seimbang.


 Nyeri
Nyeri biasanya tidak terdapat pada bayi dan anak-anak dengan displasia pinggul, tapi
rasa sakit adalah gejala yang paling umum dari displasia pinggul selama masa remaja
atau sebagai dewasa muda.
Diagnosis
 Anamnesa  usia, factor risiko, onset gejala
 Pemeriksaan fisik
o Tes Barlow  suatu pemeriksaan yang bertujuan untuk menguji DDH dengan
usaha mengeluarkan caput femur dari acetabulum dengan melakukan adduksi
kaki bayi dan ibu jari pemeriksa diletakkan di lipatan paha. Positif bila saat
mengeluarkan femur teraba caputnya oleh ibu jari tangan pemeriksa.
o Tes Ortoleni  suatu pemeriksaan untuk memeriksa DDH dengan
memasukkan caput femur ke acetabulum dengan melakukan abduksi pada kaki
bayi (gerakkan ke lateral). Positif bila ada terasa caput yang tadi keluar saat tes
Barlow kembali masuk ke acetabulum.
o Tes Galeazzi  fleksikan femur, dekatkan antara kiri dan kanan, lihat apakah
lututnya sama panjang atau tidak. Bila tidak sama panjang berarti +.
o Tes Tredelenberg  anak disuruh berdiri pada satu kaki secara bergantian. Saat
berdiri pada kaki yang terjadi DDH, akan terlihat otot panggul abduktor
menjauhi garis tubuh. Normalnya otot panggul akan mempertahankan posisinya
tetap lurus.

Pemeriksaan Penunjang
 USG  teknik pencitraan diagnostik yang menggunakan gelombang suara frekuensi
tinggi dan komputer untuk membuat gambar pembuluh darah, jaringan, dan organ.
Digunakan untuk usia < 6 bulan karena penulangan belum sempurna (tulang masih
dalam bentuk tulang rawan), jadi kalau diperiksa dengan rontgen hasilnya akan
radioluscent.
 Rontgen (X-ray)  sebuah tes diagnostik yang menggunakan terlihat balok energi
elektromagnetik untuk menghasilkan gambar dari jaringan internal tulang, dan organ
ke film. Digunakan untuk usia > 6 bulan. Digunakan untuk mendiagnosis dislokasi dan
selanjutnya untuk pemantauan pengobatan.
 Computed Tomography Scan (Juga disebut CT atau CAT Scan.) - sebuah prosedur
pencitraan diagnostik yang menggunakan kombinasi dari x-ray dan teknologi komputer
untuk menghasilkan gambar penampang (sering disebut iris), secara horisontal dan
vertikal dari tubuh. CT scan menunjukkan gambar rinci dari setiap bagian tubuh,
termasuk tulang, otot, lemak, dan organ. CT scan lebih rinci daripada umum x-ray.
 Magnetic Resonance Imaging (MRI) - sebuah prosedur diagnostik yang menggunakan
kombinasi magnet besar, radiofrequencies dan komputer untuk menghasilkan gambar
detil dari organ dan struktur dalam tubuh.

Penatalaksanaan
 Metode Pengobatan Tanpa Bedah
 Penggunaan Pavlik Harness
Dirancang khusus untuk lembut posisi pinggul bayi, sehingga pinggul dapat
sejajar dalam sendi, dan untuk menjaga sendi panggul tetap aman aman. Hal ini
biasanya digunakan untuk mengobati bayi dari lahir sampai usia enam bulan.
Karena hampir tidak mungkin untuk mengamankan satu pinggul saja, maka
kedua pinggul perlu diposisikan dengan menggunakan Palvik Harness, bahkan
jika ada masalah dengan hanya satu pinggul. Dengan memposisikan pinggul
bayi sedemikian rupa sehingga sendi pinggul sejajar dan stabil, sehingga akan
membantu pertumbuhan dan pengembangan sendi panggul. Setelah pengobatan
menggunakan Pavlik Harness telah tepat dan berhasil, belum ada laporan
mengenai kasus re-dislokasi. Namun, ada risiko perkembangan yang lambat
atau tidak lengkap dari acetabulum. Inilah sebabnya mengapa x-ray biasanya
direkomendasikan untuk tindak lanjut bahkan ketika Palvik Harness telah
berhasil. Setelah x-ray normal, maka mungkin ada kesempatan 99% bahwa
pinggul akan terus tumbuh normal. Kambuhnya displasia sangat jarang setelah
sukses penatalaksanaan memanfaatkan Pavlik Harness dan hasil x-ray yang
normal pada usia 9-12 bulan, tetapi kebanyakan dokter tetap menyarankan x-
ray pada usia yang lebih tua untuk mengetahui setiap acetabulum yang dangkal
dan mungkin perlu pengobatan untuk mencegah arthritis dini.
 Hip Abduction Brace
Sebuah penyangga dapat digunakan pada bayi dengan DDH untuk menahan
panggul dalam posisi sejajar supaya sendi panggul dapat tumbuh dengan normal.
Juga dapat disebut sebagai fixed-abduction braces, alat ini menahan kaki tetap
terpisah, tetapi tidak fleksibel seperti Palvik Harness. Pemilihan alat penahan
untuk tatalaksana DDH tergantung pada kebutuhan keluarga dan pengalaman
dokter. Kebanyakan dokter menyarankan untuk pemakaian secara penuh selama
6-12 minggu untuk semua alat. Namun beberapa dokter membolehkan membuka
alat penahan pada saat mandi dan mengganti popok, selama kaki bayi dapat
dipertahankan dalam posisi fleksi dan terpisah untuk menjaga caput femur dan
acetabulum dalam posisi yang sejajar. Setelah pinggul dalam keadaan stabil,
penahan dikenakan paruh waktu, biasanya dikenakan pada saat malam hari
selama 4-6 minggu.

 Traksi

Traksi lebih sering digunakan di Eropa dan Asia daripada di Amerika Serikat,
dan alasan untuk traksi dan manfaat traksi tetap kontroversial. Kadang-kadang
traksi digunakan dalam beberapa minggu untuk meregangkan ligamen sebelum
mencoba operasi seperti closed reduction

(Gambar 5.6. Traksi untuk tatalaksana DDH)

 Metode Pembedahan

 Closed Reduction
Penanganan ini paling banyak digunakan pada bayi berumur 6-24 bulan.
Terkadang sebelum prosedur, digunakan traksi selama beberapa minggu untuk
meregangkan dan merelaksasi ligamen anak sebelum mencoba closed
reduction. Setelah anak tidur karena diberikan anestesi, umumnya ada empat
langkah prosedur dalam treatment ini :
1. Arthogram
Dye disuntik ke dalam sendi panggul dengan jarum sehingga bagian
dalam sendi dapat terlihat pada x-ray. Hal ini memungkinkan dokter
untuk memastikan closed reduction dan membantu mengidentifikasi
masalah potensial yang dapat mencegah pinggul tidak tersambung (lari
dari tempatnya).
2. Adductor Tenotomy
Dokter membuat pembukaan yang sangat kecil di selangkangan dan
melakukan pembedahan tendon adductor. Tendon ini biasanya sangat
ketat. Melepaskan tendon memakai tekanan dari permukaan pinggul dan
membantu menjaga bola dalam soket setelah closed reduction.
3. Hip Reduction
Dokter memanipulasi bola di bagian atas tulang paha (femoral head)
kembali ke soket pinggul sambil memonitor progress dari x-ray. Dokter
menggunakan sinar-x untuk memastikan bahwa pinggul dalam posisi
terbaik sebelum casting.
4. Spica Cast
Hal ini membuat pinggul dalam posisi yang selaras selama
penyembuhan sendi, dan mendorong pembentukan yang tepat dari sendi
pinggul anak.

 Follow-up setelah Closed Reduction


Biasanya spica cast diganti setiap 6 minggu sekali selama 3-6 bulan. Perubahan cast
dapat dilakukan dengan pemeriksaan arthrogram. Total waktu cast tergantung dari
keadaan pinggul pada saat x-ray dengan athrogram tersebut. Anak yang telah diberi
cast mungkin saja kehilangan fleksibilitas karena kaku. Namun pinggul masih
membutuhkan waktu untuk tumbuh dan menjadi lebih stabil. Brace dapat membantu
agar otot anak kembali fleksibel dan memungkinkan pinggul bergerak lebih dari gips.
Selama waktu ini, penting untuk mengikuti resep dokter yang biasanya akan memakai
brace sepanjang hari, kecuali saat mandi. Umumnya anak-anak mentolerir proses ini
dengan sangat baik dan mereka cepat mengejar anak lain dalam semua kegiatan
mereka. Proses ini tidak selalu sukses dan terkadang ada masaah yang muncul selama
atau setelah treatment.

 Risiko Closed Reduction


Kadang-kadang treatment ini ditunda sampai tulang terlihat di head femur yang muncul
saat x-ray. Ada beberapa kekhawatiran closed reduction dapat menyebabkan kerusakan
pada pertumbuhan pinggul. Di sisi lain, menunggu sampai anak lebih tua dapat
menyebabkan kekakuan lebih dan mungkin muncul kelainan sendi pinggul lain. Saat
ini tidak ada kesepakatan ilmiah yang menunggu tulang ini muncul membantu
melindungi pinggul dari kerusakan selama reduksi. Kerusakan pada pasokan darah dari
pinggul atau kerusakan pada lempeng pertumbuhan dapat terjadi bahkan selama
penanganan closed reduction. Selanjutnya, tidak ada cara untuk mengetahui apakah hal
ini terjadi selama minimal 6 bulan setelah closed reduction. Untungnya kerusakan tidak
umum tetapi membutuhkan obat tambahan nanti bila itu terjadi. Dalam beberapa kasus
dokter akan merekomendasikan MRI atau CT scan selain x-ray setelah anak terjaga
untuk memastikan pinggul tetap dalam sendi.

 Open Reduction
Operasi ini berarti sendi pinggul dibuka untuk membebaskan head femur dan
acetabulum (soket) dari setiap jaringan yang menghalangi. Ada dua pendekatan
umum untuk prosedur ini :
1. Medial Approach
Pendekatan ini biasanya berhasil untuk anak-anak kurang dari satu
tahun. Prosedur ini dimulai melalui sayatan kecil di selangkangan
(medial ke pinggul). Ini adalah pendekatan bedah terbatas yang
memungkinkan sendi harus dibersihkan sehingga pinggul dapat
disejajarkan ke dalam soket. Metode ini biasanya digunakan ketika
closed reduction tidak berhasil dan arthrogram menunjukkan sesuatu
dalam sendi yang membuat pinggul keluar dari soket. Metode ini tidak
dapat memperbaiki masalah mendasar dalam struktur tulang. Spica cast
biasanya dibutuhkan selama beberapa bulan untuk menjaga pinggul
tetap sejajar ketika sedang tumbuh dan menjadi lebih stabil.

2. Anterior Approach
Pendekatan ini digunakan ketika ligament di sekitar pinggul perlu
diperbaiki dan diperketat setelah pinggul dibebaskan dan selaras. Ini
digunakan apabila usia anak 12 bulan atau dislokasi pinggul yang parah.

 Pelvic osteotomy
Istilah osteotomy dalam praktiknya mengacu pada pembentukan tulang
kembali. Ketika sisi panggul soket diperbaiki hal itu disebut osteotomy panggul.
Ada beberapa jenis osteotomy panggul dan pilihan tergantung pada bentuk
soket dan pengalaman dokter bedah. Ketika ujung atas tulang paha berbentuk
kembali, ini disebut “femoralis osteotomy”. Masing-masing prosedur ini dapat
dilakukan sendiri, dalam kombinasi, atau bersama-sama dengan reduction.
Anak usia minimal 2 tahun hampir selalu membutuhkan tiga prosedur ini untuk
membuat pinggul stabil dan mengembalikannya ke bentuk yang lebih normal.
Beberapa contoh operasi pelvic osteotomy untuk penanganan hip dysplasia
pada anak adalah :
1. Dega Osteotomy
Hal ini dilakukan bila soket terlalu lebar dan terlalu dangkal. Osteotomy
ini dapat membantu mengembalikan soket yang dangkal dan lebar
kembali menjadi normal.

(Gambar 5.6. Dega Osteotomy)


2. Salter (Innominate) Osteotomy
Ini sering dilakukan ketika soket tidak tepat di atas bola di bagian atas
tulang paha. Tulang panggul dipotong dan seluruh soket diputar ke
posisi yang lebih baik di atas kepala femoral. Tulang anak bisa saja
menekuk, namun di kemudian hari mereka re-modell setelah soket
stabil.

(Gambar 5.7. Salter Osteotomy)

 Femoral Osteotomy
1. Varus osteotomy of the femur
Jenis osteotomy ini memodifikasi pinggul ke dalam soket dan
pengalihan kekuatan menuju tengah soket bukan menuju tepi luar soket.
Ilustrasi sebelum dan sesudah menunjukkan bagaimana kekuatan pada
sendi pinggul yang diarahkan oleh osteotomy.

(Gambar 5.8. Femoral Osteotomy)

 Combined Osteotomy
Ini adalah prosedur yang paling sering digunakan pada anak yang berusia 18
bulan ke atas. Salah satu keuntungan dari prosedur ini adalah bahwa seluruh
unsure hip dysplasia dikoreksi melalui pembedahan sehingga waktu
penggunaan cast berkurang dan hanya menunggu pertumbuhan alami untuk
membantu memulihkan sendi normal. Namun, prosedur ini tidak harus menjadi
pilihan pertama ketika metode yang kurang invasif mungkin bekerja baik dalam
jangka panjang.
(Gambar 5.9. Combined Osteotomy)

(Kombinasi Open Reduction. Pelvic Osteotomy, Femoral Shortening, dan


Varus Osteotomy)

Prognosis
Semakin muda usia bayi saat dilakukan penatalaksanaan, maka semakin baik prognosisnya.
Sumber :
1. Lucile Packard Children’s Hospital California. [Online].; 2013 [cited 2013 June 13th.
Available from: HYPERLINK
"http://www.lpch.org/DiseaseHealthInfo/HealthLibrary/orthopaedics/ddh.html"
http://www.lpch.org/DiseaseHealthInfo/HealthLibrary/orthopaedics/ddh.html .

2. International Hip Dysplasia Institute. [Online].; 2012 [cited 2013 June 13th. Available
from: HYPERLINK "http://www.hipdysplasia.org/developmental-dysplasia-of-the-
hip/child-treatment-methods/" http://www.hipdysplasia.org/developmental-dysplasia-of-
the-hip/child-treatment-methods/ .

5.2. Osteogenesis Imperfecta


Definisi
Osteogenesis imperfekta disebut juga "brittle bone disease" adalah suatu kelainan
genetik yang umumnya mengenai tulang, dimana tulang rapuh sehingga mudah fraktur
walau tanpa penyebab atau hanya karena trauma ringan. Osteogenesis imperfekta juga
memiliki arti "imperfect bone formation" yang artinya ketidaksempurnaan
pembentukan tulang.
Etiologi
Suatu kondisi dari mutasi genetik. Hampir 90% tipe Osteogenesis imperfekta
disebabkan oleh kelainan struktural atau produksi dari prokolagen tipe 1 ( COL1A2 dan
COL1A2 ). Lalu sekitar 10% kasus tidak diketahui dengan jelas penyebabnya apa juga
tidak didapat kelainan biokimia dan molekul prokolagen.

Patofisiologi
Serat kolagen tipe 1 ditemukan pada tulang, organ kapsular, fasia, kornea,
sclera, meninges, dan dermis. Mutasi yang tidak terkodekan menjadi penyebab
osteogenesis imperfekta yang ditemukan pada pemeriksaan histologis. Defek kualitatis
(abnormalitas molekul kolagen 1) dan defek kuantitatif (penurunan produksi molekul
kolagen 1) memberikan manifestasi modifikasi dari kolagen dan menghasilkan sindrom
dari osteogenesis imperfekta.
Tipe dan Klinis
a. Tipe 1:
- Tidak memiliki deformitas pada tulang panjang
- Bisa didapatkan sklera berwarna biru atau putih
- Didapatkan adanya dentinogenesis imperfekta
- Seumur hidup kejadian fraktur antara 1-60 kali
- Tinggi badan biasanya normal
- Kemampuan adaptasi nyeri sangat tinggi
- Toleransi latihan dan kekuatan otot menurun secara signifikan
- Fraktur sering terjadi selama usia bayi dan bisa terjadi pada seluruh fase usia
- Hal lainnya yang mungkin didapatkan: kifoskoliosis, arkus senilis premature,
kehilangan pendengaran, dan mudah mengalami memar
b. Tipe 2:
- Didapatkan sklera berwarna biru
- Semua pasien mengalami fraktur di dalam rahin, termasuk tulang kepala, tulang
belakang, dan tulang panjang
- Penonjolan tulang iga
- Deformitas berat pada tulang-tulang panjang
- Penyebab kematian utama, seperti: retaknya tulang-tulang iga serta malformasi atau
perdarahan sistem saraf pusat
c. Tipe 3:
- Pasien mengalami gangguan sendi (hiperlaxity), kelemahan otot, nyeri tulang
kronis, deformitas tengkorak, dan kerapuhan tulang selama usia bayi
- Deformitas rangka atas
- Didapatkan adanya dentinogenesis imperfekta
- Perubahan warna sklera menjadi biru
- Fraktur dalam rahim
- Pemendekan rangka badan dan deformitas
- Sering memiliki wajah segitifa disertai maloklusi
- Vertigo
- Malformasi struktur jantung kongenital
- Hiperkalsiuria
- Komplikasi pernapasan sekunder dan kifoskoliosis
- Konstipasi
- Hernia
d. Tipe 4:
Tipe 4 adalah tipe dari osteogenesis imperfekta yang tidak teridentifikasi
dengan jelas. Walaupun pasien memiliki tinggi badan atau sklera normal tetapi bisa
didapatkan adanya dentinogenesis imperfekta. Fraktur sering terjadi pada masa bayi.
Tulang panjang biasanya mengalami pembengkokan.
Pemeriksaan Diagnostik
a. Laboratorium
Pemeriksaan densitas mineral tulang dengan pemeriksaan dual-energy x-ray
absorptiometry (DEXA) pada osteogenesis imperfekta tipe 3.
b. Radiodiagnostik
Pemeriksaan foto polos menunjukkan hal-hal berikut:
- Tipe 1: penipisan kortikal tulang-tulang panjanh. Tidak didapatkan adanya
deformitas tulang panjang.
- Tipe 2: pelebaran tulang, didapatkan adanya fraktur dan deformitas pada beberapa
tulang panjang.
- Tipe 3 dan 4: normal atau pelebaran tulang pada awalnya dan kemudian terjadi
penipisan tulang pada fase lanjut. Fraktur tulang iga dan dan tulang belakang sering
didapatkan.

(Gambar 5.10. Radiodiagnostik osteogenesis imperfecta)

Penatalaksanaan
a. Konservatif
Tujuan utama penatalaksanaan konservatif adalah mengurangi angka kejadian
fraktur, mencegah deformitas tulang panjang dan scoliosis serta meningkatkan luaran
fungsional.Oleh karena osteogenesis imperfekta merupakan kondisi genetik, maka
tidak ada pengobatan spesifik.Walaupun begitu pada beberapa penelitian menunjukkan
bahwa bifosfonat intravena (pamidronat) memberikan perbaikan bagi anak dengan
osteogenesis imperfekta.Bifosfonat adalah analog sintetis dari pirofosfat, penghambat
alami reabsorpsi tulang osteoklastik sehingga meningkatkan mineralisasi tulang dan
memperkuat tulang. Mekanisme kerjanya adalah dengan menekan aktivitas dan juga
memperpendek usia hidup osteoklas.
Penderita osteogenesis imperfekta yang rentang terhadap trauma dan
memerlukan imobilisasi jangka lama akibat frakturnya sering menyebabkan defisiensi
vitamin D dan kalsium pada anak. Oleh karena itu, diperlukan suplementasi vitamin D
400-800 IU dan kalsium 500-1000 mg sebagai profilaktik walau tidak memperbaiki
penyakit osteogenesis imperfekta sendiri.
b. Terapi bedah
Tatalaksana ortopedi ditujukan untuk perawatan fraktur dan koreksi deformitas.
Fraktur harus dipasang splin atau cast. Pada osteogenesis imperfekta fraktur akan
sembuh dengan baik, sedangkan cast diperlukan untuk meminimalkan osteoporosis
akibat imobilisasi jangka lama. Koreksi pada deformitas tulang panjang memerlukan
prosedur osteotomi dan pemasangan rod intramedullary.
c. Aktivitas
Rehabilitasi fisik dimulai pada usia awal penderita sehingga penderita dapat
mencapai tingkat fungsional yang lebih tinggi, antara lain berupa penguatan otot
isotonik, stabilisasi sendi, dan latihan aerobik. Penderita tipe 1 dan beberapa kasus tipe
4 mobilisasi spontan.Penderita tipe 3 kebanyakan memerlukan kursi roda namun tetap
tak mencegah terjadinya fraktur berulang.Kebanyakan penderita tipe 4 dan beberapa
tipe 3 dapat mobilisasi/berjalan dengan kombinasi terapi fisik penguatan otot sendi
panggul, peningkatan stamina, pemakaian bracing, dan koreksi ortopedi.
Orang tua perlu mendapatkan instruksi dalam merawat anaknya.Perhatian
khusu terhadap berbagai aktivitas yang bisa menyebabkan kondisi trauma selama
memandiakan, mengenakan pakaian, atau stimulasi fisik lainnya.

5.3. Duchene Muscular Atrophy


a. Definisi
Distrofi muskular Duchenne adalah suatu penyakit otot herediter yang disebabkan oleh
mutasi genetic pada gen dystropin yang diturunkan secara x-linked resesif mengakibatkan
kemerosotan dan hilangnya kekuatan otot secara progresif.
b. Etiologi
Adanya mutasi pada gen dystorpin yang diturunkan secara x-linked resesif yang
menyebabkan kelainan pembentukan protein distrofin yang berperan dalam menjaga stabilitas
membrane sel otot.
Pada distropi muscular Duchenne terjadi mutasi pada gen dystropin pada kromosom X
berupa delesi, duplikasi dan mutasi titik (point mutations), sehingga tidak dihasilkannya
protein dystropin atau terjadi defisiensi dan kelainan struktur dystropin. Kira-kira 60% pasien
distrofi muskular Duchenne terjadi mutasi secara delesi dan 40% merupakan akibat mutasi-
mutasi kecil dan penduplikasian
c. Patofisiologi
Gen untuk distrofi muscular Duchenne terletak pada lengan pendek (Xp) kromosom X
tepatnya pada Xp21, meliputi 86 exon yang membuat hanya 0,6% dari seluruh gen tersebut,
sisanya terdiri dari intron. Gen ini 10 kali lebih besar dari tiap-tiap gen lain yang dikarakterkan
saat ini dan terdiri dari 2 juta pasangan dasar, produknya dinamakan dystropin.
Dystropin merupakan protein dengan jumlah sedikit yang membentuk 0,002% dari total
protein otot. Dystropin adalah protein sitoskeletal dengan globular amino seperti tangkai
terpusat dan globular carboxy. Dystropin terletak pada permukaan dalam sarcolemma,
berkumpul sebagai homotetramer yang dihubungkan dengan aktin pada amino terminus dan
dengan glikoprotein pada carboxy terminus. Dystropin berperan dalam memberikan kekuatan
otot dan kestabilan membran otot.
Mutasi gen yang terjadi pada distrofi muskular Duchenne adalah delesi dan duplikasi.
Fenotip distrofi mulekular Duchenne tidak selalu berhubungan dengan ukuran delesi
pada gen dystropin, tetapi sangat berpengaruh pada sintesis dystropin. Delesi merusak codon
triplet sehingga merubah konsep pembacaan, terjadi penghentian prematur codon dan
sintesis dystropin terhenti dan mengalami degradasi, menghasilkan molekul protein kecil,
terpotong tanpa carboxy terminal.
Dystropin merupakan bagian dari kompleks protein sarkolemma dan gliko-protein.
Kompleks dystropinglikoprotein dapat menghasilkan stabilitas sarkolemma, dimana kompleks
ini dikenal sebagai dystropin-associated protein (DAP) dan protein-associated glycoprotein
(DAG). Bagian yang terpenting lainnya pada kompleks ini adalah dystroglycan, suatu
glikoprotein yang berikatan dengan matriks ekstraseluler merosin. Jika terjadi defisiensi salah
satu bagian kompleks tersebut akan menyebabkan terjadinya abnormalitas pada komponen
lainnya. Kehilangan dystropin bersifat paralel dengan kehilangan DAP dan penghancuran
kompleks dystroglycan. Perubahan ini menyebabkan sarkolemma menjadi lemah dan dan
mudah hancur saat otot berkontraksi. Kehilangan dystropin juga menyebabkan kehilangan
dystroglycan dan sarcoglycan, sehingga membuat sarcolemma semakin rapuh. Proses ini
berlangsung secara terus menerus sepanjang hidup penderita. Selain itu, akibat kerapuhan
membran otot memungkinkan kebocoran komponen sitoplasmik seperti creatine kinase dan
peningkatan masuknya Ca2+ yang mengawali sejumlah aspek patologis dari peristiwa yang
menyebabkan nekrosis dan fibrosis otot. Kekurangan dystropin juga mengakibatkan gangguan
pada transmisi tekanan normal dan tekanan lebih besar ditempatkan pada miofibrillar dan
protein membran yang menyebabkan kerusakan otot selama kontraksi.
d. Tanda dan gejala
Kelainan ini muncul pada masa bayi dengan nekrosis serat otot dan
enzim creatine kinase tinggi, tapi secara klinis baru terlihat ketika anak berusia 3 tahun atau
lebih. Anak mulai bisa berjalan lebih lambat dibanding anak normal lainnya dan lebih sering
jatuh. Gaya berjalan yang tidak normal sering terlihat pada usia 3-4 tahun.
Otot-otot pelvis dipengaruhi lebih awal dibanding otot bahu. Karena kelemahan otot
gluteus medius sebagai penyerap tekanan, ketika berjalan cendrung gemetar saat berjalan yang
menimbulkan gaya berjalan tertatihtatih (waddling gait). Untuk menjaga keseimbangan tubuh
timbul lordosis. Usia prasekolah, anak mengalami kesulitan bangkit dari lantai dengan posisi
kaki terkunci, posisi bokong diikuti penekanan lantai dengan tangan, berdiri dengan
menyangga lengan pada paha anterior (maneuver Gower). Manuver ini timbul karena
kelemahan
otot paha terutama gluteus maximus. Anak kesulitan naik tangga dimana
menggunakan tangan saat menapaki anak tangga. Anak cendrung berjalan dengan jari kaki
(jinjit) disebabkan kontraktur otot gastrocnemius dan menimbulkan rasa nyeri pada otot
tersebut. Muncul pseudohipertropi otot gasrocne-mius disebabkan oleh infiltrasi lemak dan
proliferasi kolagen.
Refleks tendon menurun dan dapat hilang karena hilangnya seratserat otot, refleks
patella cenderung menurun diawal penyakit sedangkan refleks Achiles biasanya masih dapat
muncul dalam beberapa tahun. Kiphoskoliosis bisa berkembang setelah anak tidak bisa
berjalan. Dengan mempertahankan postur tegak dengan penopang kaki bisa membantu
mencegah scoliosis.
Kelemahan intelektual terjadi pada penderita distropi muscular Duchenne, kemampuan
yang lebih terganggu adalah kemampuan verbal dan ini tidak bersifat progresif. Ratarata IQ
sekitar 83 dan 20-30% mempunyai IQ < 70%.
Pernapasan dapat terganggu karena kelemahan otot interkostalis, otot diafra-gma dan
skoliosis berat. Kelemahan otot mempengaruhi semua aspek dari fungsi paru termasuk
mucociliary clearance, pertukaran gas, kontrol pernapasan. Kardio-miopati dapat terjadi
berupa pembesaran jantung, takikardi persisten dan gagal jantung terjadi pada 50% - 80%
penderita.
e. Pemeriksaan dan diagnosis

Pemeriksaan laboratorium
Kadar creatine kinase serum adalah yang paling bernilai dan umum digunakan untuk
mendiagnosis distropinopati Duchenne. Kadar creatine kinase serum berkisar 10-20 kali
normal atau lebih (normal: <160 IU/L).
Elektromiogram (EMG)
Elektromiogram menunjukkan gambaran miopati dan tidak spesifik untuk distrofi
muskular Duchenne. EMG menunjukkan fibrilasi, gelombang positif, amplitude rendah,
potensial motor unit polipasik kadangkadang frekuensi tinggi.
Biopsi
Secara histologis menunjukkan variasi ukuran serat, degenerasi dan regenerasi serat
otot, kelompok fibrosis endomysial, ukuran serat lebih kecil dan adanya limposit. Degenerasi
melebihi regenerasi dan terjadi penurunan jumlah serat otot, digantikan dengan lemak dan
jaringan konektif (fibrosis).
Pemeriksaan genetik
Pemeriksaan genetik untuk mengetahui adanya delesi pada kedua titik penting gen
dengan PCR (Polymerase Chain Reaction) multipleks dapat mengidentifikasi adanya delesi
sekitar 60% pasien, tetapi teknik ini tidak bisa digunakan mengidentifikasi adanya
penduplikasian atau untuk menentukan genotip pada wanita carrier. Untuk menentukan
carrier dengan multiplex amplifiable probe hybridization. Pemeriksaan DNA pada sel darah
putih atau sel otot akan dapat memperlihatkan adanya mutasi gen dystropin.
f. Tatalaksana
Dalam penatalaksanaan penderita distrofi muskular Duchenne membutuhkan
multidisiplin keahlian diantaranya neurologi, psikiatri, bedah ortopedi, kardiologi,
pulmonologi, gizi, dan fisioterapi. Saat ini belum ada terapi yang efektif untuk distrofi
muskular Duchenne.
Untuk memperlambat progresifitas penyakit dapat digunakan prednison, prednisolon,
deflazacort, yang dapat menurunkan apoptosis dan menurunkan kecepatan timbulnya nekrosis.
Pemberian steroid lebih awal dapat meningkatkan kekuatan otot sehingga kemampuan berjalan
pasien diperpanjang sampai usia belasan dan menurunkan kejadian skoliosis, kontraktur,
menjaga fungsi pernapasan dan fungsi jantung.
Dosis prednison/prednisolone 0,75 mg/kgbb/hari bisa diberikan secara harian atau
diberikan secara intermiten, misalnya 10 hari diberikan/10 hari tidak, untuk
menghindari komplikasi kronis. Pemberian steroid sebelum hilangnya kemampuan berjalan
adalah lazim di sejumlah pusat perawatan, tapi belum terdapat bukti atas efek yang
menguntungkan memulai terapi steroid setelah hilangnya kemampuan berjalan pada pasien.
Adapun efek samping pemberian prednison jangka lama antara lain bertambahnya berat badan,
osteoporosis, cushingoid, iritabilitas, hirsutisme. Analog prednison, deflacort dengan dosis 0,9
mg/kgbb/hari yang sama efektif dengan prednisone tapi efek samping yang lebih sedikit tapi
berisiko timbulnya katarak asimtomatik. Penggunaan deksametason dan triamsinolon harus
dihindari karena akan menginduksi miopati.
Anak dengan muskular distrofi yang diterapi dengan prednison seharusnya juga
diberikan suplemen kalsium dan vitamin D karena efek kortikosteroid mengganggu
metabolisme pada tulang sehingga menyebabkan osteoporosis, kalsium diberikan 1000
mg/hari dan 400 unit vitamin D.
Fisioterapi penting untuk pemeliharaan fungsi otot dan dapat mencegah terjadinya
kontraktur pada penderita distrofi muskular Duchenne tetapi jika telah muncul kontraktur,
fisioterapi tidak banyak bermanfaat. Sembilan puluh persen penderita cendrung timbul
skoliosis. Pengawasan terhadap perkembangan adanya skoliosis harus dimulai sebelum
hilangnya kemampuan berjalan termasuk profilaksis dengan fisioterapi dan tempat duduk yang
sesuai untuk mencegah ketidaksimetrisan pelvis dan memberikan dukungan postural. Skoliosis
yang terjadi secara klinis, diindikasikan dikoreksi dengan pembedahan.
Gangguan respirasi pada penderita distrofi muskular Duchenne bisa diramalkan dan
berhubungan dengan kekuatan otot secara keseluruhan, sehingga anak yang kehilangan
kemampuan berjalan cendrung lebih dini memerlukan bantuan ventilasi dibandingkan anak
yang masih dapat berjalan. Pada dasarnya fungsi respiratori pada anak yang masih bisa berjalan
adalah normal dan permasalahan yang berhubungan dengan gangguan res-pirasi tidak terlihat
hingga hilangnya kemampuan berjalan.

5.4. Ricketsia

Rakitis atau riketsia adalah penyakit tulang dengan manifestasi gangguan pertumbuhan
pada anak-anak dan remaja. Hal ini disebabkan oleh kegagalan deposisi kalsium pada osteoid.
Kegagalan deposisi kalsium pada osteoid untuk orang dewasa disebut osteomalasia.
Kekurangan vitamin D pada penyakit rakitis terjadi ketika asupan metabolit vitamin D
berkurang. Kondisi lainnya adalah defisiensi asupan kalsium atau fosfor juga dapat
menghasilkan rakitis. Vitamin D, (kolekalsiferol) dibentuk di kulit dari turunan kolesterol di
bawah rangsangan sinar ultraviolet. Dampak dari rakitis memberikan berbagai manifestasi
gangguan pertumbuhan tulang.
Patofisiologi
Kolekalsiferol (yaitu vitamin D,) dibentuk di kulit dari 5-dihydrotachysterol.
Hidroksilasi dari steroid terjadi dalam 2 fase. Fase pertama terjadi di dalam hati, di mana hasil
hidroksilasi memproduksi kalsidiol (25-hydroxycholecalciferol), yang beredar dalam plasma
sebagai metabolit vitamin D dan dianggap sebagai indikator yang baik terhadap status vitamin
D secara keseluruhan. Fase kedua terjadi hidroksilasi di ginjal, di mana kalsidiol mengalami
hidroksilasi menjadi metabolit aktif kalsitriol (1,25-dihydroxycholecalciferol).
Kalsitriol bekerja dengan mengatur metabolisme kalsium dengan meningkatkan asupan
atau penyerapan kalsium dan fosfor dari reabsorpsi di usus, serta melepaskan kalsium dan
fosfat pada tulang. Kalsitriol juga dapat langsung memfasilitasi kalsifikasi tulang. Tindakan ini
meningkatkan konsentrasi kalsium dan fosfor dalam cairan ckstraselular. Peningkatan kalsium
dan fosfor dalam cairan ekstraseluler, pada gilirannya, akan mengarah pada kalsifikasi osteoid,
terutama pada ujung tulang metaphyseal dan juga seluruh osteoid pada tulang rangka. Hormon
paratiroid memfasilitasi langkah hidroksilasi dalam metabolisme vitamin D.
Dalam keadaan kekurangan vitamin D, hipokalsemia berkembang, yang merangsang
kelebihan hormon paratiroid, yang merangsang kehilangan fosfor ginjal, lebih lanjut
mengurangi deposisi kalsium dalam tulang. Kelebihan hormon paratiroid juga menghasilkan
perubahan di tulang serupa dengan yang terjadi pada hiperparatiroidisme. Pada awal perjalanan
rakitis, konsentrasi kalsium dalam serum menurun, Setelah respons paratiroid, konsentrasi
kalsium biasanya kembali ke kisaran normal, meskipun tingkat fosfor tetap rendah. Alkaline
fosfatase yang dihasilkan oleh sel osteoblas terlalu aktif diproduksi, kondisi ini memberikan
manifestasi kebocoran pada cairan ekstraselular sehingga konsentrasi alkaline fosfat
meningkat.
Malabsorpsi lemak di usus dan penyakit hati atau ginjal dapat menghasilkan gambaran
klinis dan biokimia sekunder riketsia. Obat antikonvulsan (misalnya: fenobarbital, fenitoin)
dapat mempercepat metabolisme kalsidiol, sehingga menyebabkan kekurangan dan rakitis,
terutama pada anak-anak yang mengalami terapi anti kejang dalam jangka waktu yang lama.

Manifestasi Klinik
Pada anamnesis, biasanya didapatkan adanya riwayat, meliputi hal-hal sebagai berikut.
1. Riwayat gangguan pertumbuhan badan.
2. Riwayat gangguan pertumbuhan gigi, termasuk cacat struktur gigi, pembentukan
rongga gigi, tidak optimalnya pembentukan email gigi.
3. Hipotoni otot secara umum.
4. Riwayat Craniotabes, manifestasi awal pada bayi dengan kekurangan vitamin D.
Walaupun fitur ini mungkin normal pada bayi, terutama bagi mereka yang lahir
prematur.
5. Jika rakitis terjadi pada usia anak yang lebih tua, didapatkan adanya riwayat penebalan
tengkorak. Kondisi ini memberikan manifestasi penonjolan frontal.
6. Riwayat perubahan bentuk dada, sternum dapat ditarik ke dalam.
7. Riwayat perubahan tungkai bawah.
8. Dalam kasus yang lebih parah pada anak-anak yang lebih tua dari 2 tahun, lemahnya
tulang belakang menyebabkan kifoskoliosis. Pada pergelangan kaki, palpasi malleolus
tibialis memberikan kesan epifisis ganda (tanda Marfan). Oleh karena tulang panjang
mengalami kelemahan pada sudut lengkungan, mereka mungkin mengalami patah satu
sisi (yaitu: fraktur greenstick).

Pemeriksaan Diagnostik
Laboratorium
1. Penurunan kadar kalsium darah, perlu juga dilakukan diagnosis terhadap peningkatan
hormon paratiroid.
2. Kadar kalsidiol (25-hidroksivitamin D) rendah dan hormon paratiroid meningkat.
3. Kadar kalsitriol mungkin didapatkan normal atau meningkat.
4. Fosfat alkalin meningkat.

Radiologis
Pemeriksaan radiografi diindikasikan pada pasien dengan rakitis, meliputi hal-hal sebagai
berikut.
1. Bayi atau anak usia tiga tahun dengan foto anterior dari tungkai, untuk mendeteksi
adanya iregularitas kalsifikasi tulang.
2. Pemeriksaan untuk mendeteksi adanya osteoid yang tidak terkalsifikasi pada sekitar
periosteum.

Penatalaksanaan
Pengobatan untuk rakitis dapat diberikan secara bertahap selama beberapa bulan ata di
hari dosis tunggal 15.000 mcg (600.000 U) vitamin D. Jika metode bertahap dipilih 125-250
mcg (5000-10.000 U) diberikan harian 2-3 bulan sampai penyembuhan tercap dan konsentrasi
alkali fosfatase mendekati kisaran referensi. Oleh karena metode ini membutuhkan perawatan
harian, kesuksesan bergantung pada kepatuhan. Jika dosis vitamin D diberikan dalam satu hari,
biasanya dibagi menjadi 4 atau 6 dosis oral. Suntikan intramuskular juga tersedia. Vitamin D
baik disimpan dalam tubuh dan secara bertahap dirilis selama beberapa minggu. Terapi tunggal
menghindari masalah dengan kepatuhan dan mungkin membantu dalam membedakan rakitis
gizi dari rakitis hipofosfatemia keluarga (FHR).
ASI mengandung sedikit vitamin D dan sedikit mengandung fosfor. Oleh karena itu,
bayi dengan berat kurang dari 1.500 g perlu diberikan suplemen khusus (misalnya: vitamin D,
kalsium, fosfor) jika ASI adalah sumber utama makanan mereka (Noor, 2016).

5.5. Akondroplasia

Definisi
Istilah Achondroplasia pertama kali digunakan oleh Parrot (1878). Achondroplasia berasal
dari bahasa Yunani yaitu; achondros: tidak ada kartilago dan plasia: pertumbuhan. Secara
harfiah Achondroplasia berarti tanpa pembentukan/ pertumbuhan kartilago, walaupun
sebenarnya individu dengan Achondroplasia memiliki kartilago. Masalahnya adalah gangguan
pada proses pembentukan kartilago menjadi tulang terutama pada tulang-tulang panjang.
Achondroplasia adalah dwarfisme atau kekerdilan yang disebabkan oleh gangguan osifikasi
endokondral akibat mutasi gen FGFR 3 (fibroblast growth factor receptor 3) pada lengan
pendek kromosom 4p16.3. Sindroma ini ditandai oleh adanya gangguan pada tulang-tulang
yang dibentuk melalui proses osifikasi endokondral, terutama tulang-tulang panjang. Selain
itu, Achondroplasia memberikan karakteristik pada kraniofasial. Achondroplasia juga dikenal
dengan nama Achondroplastic Dwarfism, Chondrodystrophia Fetalis, Chondrodystrophy
Syndrome atau Osteosclerosis Congenital.
Epidemiologi
Achondroplasia adalah tipe dwarfisme yang paling sering dijumpai. Insiden yang paling umum
menyebabkan Akondroplasia adalah sekitar 1/26.000 sampai 1/66.000 kelahiran hidup.
Achondroplasia bersifat autosomal dominant inheritance, namun kira-kira 85-90% dari kasus
ini memperlihatkan de novo gene mutation atau mutasi gen yang spontan. Ini artinya bahwa
kedua orang tua tanpa Akondroplasia, bisa memiliki anak dengan Achondroplasia. Jika salah
satu orang tua mempunyai gen Akondroplasia, maka anaknya 50% mempunyai peluang untuk
mendapat kelainan Achondroplasia yang diturunkan heterozigot Achondroplasia. Jika kedua
orang tua menderita Achondroplasia, maka peluang untuk mendapatkan anak normal 25%,
anak yang menderita Achondroplasia 50% dan 25% anak dengan homozigot Achondroplasia
(biasanya meninggal). Achondroplasia dapat terjadi pada laki-laki maupun perempuan dengan
frekuensi yang sama.
Etiologi
Achondroplasia disebabkan oleh mutasi dominan autosomal pada gen FGFR3 (fibroblast
growth factor receptor 3) pada lengan pendek kromosom 4p16.3
Patofisiologi
Achondroplasia disebabkan oleh mutasi dominan autosomal pada gen FGFR3 (fibroblast
growth factor receptor 3) pada lengan pendek kromosom 4p16.3. Gen FGFR3 berfungsi
memberi instruksi dalam hal pembentukan protein yang terlibat dalam pembentukan dan
pemeliharaan tulang, khususnya pembentukan tulang secara osifikasi endokondral. Dua mutasi
spesifik pada gen FGFR3 bertanggungjawab pada hampir semua kasus Akondroplasia. Sekitar
98% kasus, terjadi mutasi G ke A pada nukleotida 1138 pada gen FGFR3. Sebesar 1% kasus
disebabkan oleh mutasi G ke C. Mutasi-mutasi ini mengakibatkan protein tidak bekerja
sebagaimana mestinya, sehingga mempengaruhi perkembangan dan pertumbuhan tulang.
Osifikasi endokondral adalah salah satu jenis pertumbuhan tulang dimana sel mesenkim yang
tidak terdifferensiasi langsung berkondensasi dan berdifferensiasi membentuk kondroblas.
Kondroblas berproliferasi dan berdifferensiasi membentuk kondrosit yang secara bertahap
menjadi matur membentuk hipertrofik kondrosit. Setelah itu, hipertrofik kondrosit akan
mengalami apoptosis (kematian sel) dan pada regio tersebut terjadi kalsifikasi matriks
ekstraseluler. Proses ini akan membentuk pelat pertumbuhan (growth plate) dan pertumbuhan
normal tulang panjang tercapai melalui differensiasi dan maturasi kondrosit yang sinkron.
Adanya mutasi gen FGFR3 pada Achondroplasia menyebabkan gangguan pada proses
osifikasi endokondral, dimana kecepatan perubahan sel kartilago menjadi tulang pada pelat
pertumbuhan (growth plates) menurun sehingga pertumbuhan dan perkembangan tulang
terganggu.
Pada lingkup kraniofasial yang terpengaruh adalah basis kranium dan bagian tengah wajah
(midface) karena bagian-bagian ini dibentuk secara osifikasi endokondral. Rongga kranium
dan maksila dibentuk secara osifikasi intramebranosa, sedangkan mandibula dibentuk melalui
osifikasi periosteal dan aposisi
Manifestasi Klinis

Gejala umum dari achondroplasia adalah:

1. Postur tubuh pendek:


- Laki-laki: tinggi sekitar 131 cm
- Wanita: tinggi sekitar 124 cm

2. Memiliki tangan dan kaki yang pendek dengan lengan dan paha atas yang pendek,
pergerakan siku terbatas.
3. Kepala besar (macrocephaly) dengan dahi yang lebar.
4. Memiliki jari-jari yang pendek. Tangan terlihat bercabang tiga, akibat jari manis dan
jari tengah menyimpang.

Diagnosis

Achondroplasia dapat didiagnosis selama kehamilan dan setelah anak lahir.

Selama kehamilan:

 Ultrasound imaging dapat mendeteksi karakteristik achondroplasia seperti:


hydrocephalus, atau kepala yang terlalu besar
 Tes genetik dapat dilakukan apabila diduga adanya achondroplasia dengan
pengambilan sampel chorionic villus atau amniocentesis

Setelah anak Anda lahir, diagnosis achondroplasia dapat dilakukan berdasarkan:

 X-ray, ultrasound dan teknik penggambaran lainnya untuk mengukur panjang tulang
anak, serta tes darah untuk melihat adanya gen FGFR3.

Tatalaksana
 Pembedahan : koreksi genu varum, kifosis thoracolumbar, spinal stenosis

 Pemberian growth hormone (somatotropin)

5.6. Displasia Fibrosa

Fibrous dysplasia adalah suatu kelainan tulang yang ditandai dengan penggantian
tulang normal oleh jaringan ikat yang mengalami proliferasi yang berlebihan bercampur
dengan trabekula tulang yang iregular. Kelainan tulang ini merupakan penyakit kongenital,
bukan merupakan penyakit keturunan, dapat terjadi pada satu tulang maupun pada beberapa
tulang.
Fibrous dysplasia biasanya paling sering mengenai tulang panjang diikuti dengan
tulang kraniofacial dan tulang rahang. Fibrous dysplasia pertama sekali diuraikan oleh
Lichtenstein dan Jaffe (1942), oleh sebab itu terkadang disebut sebagai penyakit Lichtenstein-
Jaffe. Lichtenstein dan Jaffe menguraikan spektrum klinis dan patologi anatomi fibrous
dysplasia.
Fibrous dysplasia sering dijumpai pada masa anak-anak dan pada dewasa muda (dekade
pertama dan kedua). Prevalensi pada pria dan wanita hampir sama. Kelainan ini jarang
mendapat perhatian pasien, karena pertumbuhan lesi yang berjalan lambat, sering disadari
setelah mengalami perubahan tulang baik dari segi ukuran maupun perubahan bentuk.
Perubahan yang parah dapat menyebabkan terjadinya fraktur spontan. Fibrous dysplasia dapat
berkembang selama bertahun-tahun dan cenderung berhenti seiring berhentinya pertumbuhan
tulang.
Etiologi fibrous dysplasia belum diketahui secara jelas. Lichteinstein dan Jaffe
mengindikasikan bahwa aktifitas yang menyimpang dari pembentukan jaringan mesenkim
sebagai penyebab. Ada juga yang menyebutkan mutasi gen yang menyebabkan penyimpangan
proliferasi dan diferensiasi sel osteoblastik. Joseph dan James (1989) mengemukakan bahwa
fibrous displasia disebabkan adanya suatu reaksi yang abnormal dari peristiwa traumatik yang
terlokalisasi.
Secara umum klasifikasi dari fibrous dysplasia adalah monostotik, poliostotik dan
McCune-Albright Syndrom. Monostotik merupakan jenis yang paling banyak dijumpai (70-
80%) dari semua kasus fibrous dysplasia. Poliostotik melibatkan beberapa tulang.
Frekuensinya lebih sedikit (20-30), lebih sering dijumpai pada anak dan wanita. McCune-
Albright Syndrom merupakan poliostotik fibrous dysplasia dengan pigmentasi pada kulit (cafe-
au-lait spots) dan kelainan endokrin. Fibrous dysplasia adalah self limiting disease dimana
pertumbuhan lesi akan melambat dan kembali normal sesuai dengan berhentinya pertumbuhan
tulang . Beberapa kasus asimtomatik hanya diobservasi. Biphosponat secara intravena
digunakan untuk mengurangi nyeri dan meningkatkan kekuatan tulang pada pasien poliostotik.
Beberapa instansi, mengindikasikan operasi untuk mengetahui diagnosa histologis dan
mengoreksi deformitas dan pencegahan fraktur patologis. Peningkatan ukuran tumor yang
cepat, rasa nyeri, paresthesia atau gangguan fungsi merupakan alasan tambahan untuk
dilakukannya operasi. Munro dan Chan menguraikan eksisi komplit dari massa tulang dan
diganti dengan bone graft, biasanya digunakan pada tumor daerah frontalorbital-zygomatic.
Hasil pemeriksaan patologi anatomi menunjukkan fragmen jaringan woven bone yang
sebagian membentuk huruf Cina (curva), tidak didapat osteoblastic rimming. Terdapat
proliferasi jaringan ikat padat, tidak didapatkan tanda ganas. Dari hasil patologi anatomi ini
tegak diagnosa fibrous dysplasia.

(Gambar 5.11. Gambaran mikroskopik dysplasia fibrous)

Fibrous Dysplasia adalah kondisi non malignan dimana tulang dan sumsum tulang
digantikan oleh jaringan fibrous dan woven bone, bersifat non odontogenik. Prevalensi fibrous
dysplasia 5-7% dari seluruh tumor jinak pada tulang. Fibrous dysplasia sering terjadi pada masa
anak-anak dan dewasa muda (dekade pertama dan kedua) , stabil dan berhenti berkembang
pada saat tulang matur. Fibrous dysplasia diduga berhubungan dengan fungsi hormonal.
Fibrous dysplasia, dapat terjadi bersamaan dengan atau tanpa abnormalitas endokrin dan cafe-
au-lait spots (McCune-Albright Syndrome).
Pertumbuhan Fibrous dysplasia biasanya berupa siklus, dimana fase aktif terjadi
sepanjang masa anak-anak atau bersamaan dengan masa pubertas atau kehamilan. Sepanjang
masa pertumbuhan aktif, pasien dapat merasakan nyeri, dengan atau tanpa paresthesia, atau
defisit fungsional seperti terganggunya penglihatan. Tumor biasanya berhenti pertumbuhannya
pada usia 20-25 tahun. Wanita dapat mengalami pertumbuhan lebih lanjut pada waktu
kehamilan. Setelah usia 25 tahun, sangat jarang pasien mengalami pertumbuhan yang
signifikan dari fibrous dysplasia. Umumnya pasien tidak merasakan awal terjadinya kasus
fibrous dysplasia karena tidak ada simptom yang jelas. Kelainan tulang sering diketahui secara
tidak sengaja melalui pemeriksaan radiografi untuk alasan lain. Fibrous dysplasia biasanya
muncul tanpa rasa nyeri, pembesaran tumbuh lambat .
Diagnosa ditegakkan berdasarkan riwayat, pemeriksaan klinis, radiologis dan
histologis. Pada foto polos fibrous dysplasia tampak sebagai lesi intramedularry, expansile.
Selain itu fibrous dysplasia dapat tampak radiolusen atau sklerotik, namun kebanyakan
mempunyai karakteristik berupa hazy ground-glass appearance, Derajat kekabutan secara
radiografi menunjukkan korelasi yang mendasari kondisi histopatologi. Semakin radiolusen
maka semakin dominan elemen fibrous, semakin radiopak maka proporsi woven bone lebih
banyak. Fibrous dysplasia yang paling umum terjadi adalah jenis monostotik pada tulang rusuk,
femur, kraniofacial terutama daerah maksila. Tipe poliostotik sering ditemui pada tulang
femur, tibia, pelvis dan kaki. Kelainan bentuk tulang yang sering adalah diskrepansi panjang
kaki, asimetri wajah dan deformitas tulang rusuk.
Komplikasi yang paling umum adalah fraktur terutama pada tipe poliostotik.
Transformasi ke arah malignansi sangat jarang terjadi (0,4%-4%).

Diagnosis
> Pemeriksaan Radiologi : xray, CT scan, MRI, Bone Scan. Pada pemeriksaan ini, jaringan
tulang fibrosa akan terlihat beda dari jaringan tulang yang normal. Pemeriksaan ini juga
berguna untuk menentukan adanya fraktur (patah tulang) maupun deformitas (kelainan bentuk)
tulang.
> Pemeriksaan Laboratorium : dilakukan untuk mendeteksi peningkatan enzim alkalin
fosfatase darah dan hidroksiprolin pada urine
> Biopsi : dilakukan dengan mengambil sampel dari jaringan tulang yang diduga mengalami
displasia fibrosa

5.7. Cleft Foot

 Definisi
Cleft foot adalah adalah suatu kelainan kongenital pada telapak kaki yang
menyebabkan hilangnya sebagian struktur anatomi pada tengah telapak kaki seperti
jari kaki (phalanges) atau bahkan bisa sampai struktur tarsus, sehingga telapak kaki
tampak seperti bentuk huruf V atau capit lobster.
 Jenis
(Gambar 5.12. Tipe Cleft Foot)

Tipe 1 = metatarsal masih utuh akan tetapi pada jari nomer 2 – 5 ada yang aplasia.
Tipe 2 = sama seperti tipe satu metatarsal masih utuh akan tetapi ada bagian yang
menyatu atau synostosis.
Tipe 3 = hanya memiliki 4 metatarsal dengan hilangnya metatarsal nomer 2 atau 3.
Tipe 4 = hanya memiliki 3 metatarsal dengan hilangnya metatarsal nomer 2 dan 3 atau
3 dan 4.
Tipe 5 = hanya memiliki 2 metarsal dengan hilangnya metatarsal nomer 2, 3, dan 4
kondisi ini yang dinamakan dengan istilah lobster claw foot.
Tipe 6 = kondisi yang lebih parah tipe 5, dengan hanya menyisakan 1 metatarsal.
 Etiologi
Karena adanya mutasi gen pada kromosom X yang menyebabkan terjadinya
deformitas pada telapak kaki.
 Pemeriksaan
Dengan melihat menifestasi klinis yang tampak pada telapak kaki, dan pemeriksaan
penunjang seperti X- ray.
 Tatalaksana
Dilakukan operasi untuk rekonstruksi jaringan dan menutup celah yang terbentuk pada
telapak kaki, operasi dilakukan sedini mungkin pada pasien ketika sudah memasuki
usia 1 atau 2 tahun karena sudah dapat mentoleransi pemberian anastesi.
(Gambar 5.13. Post operasi Cleft food)

5.8. Pes Planus

Definisi
Kelemahan yang berlebihan dari kapsula sendi sehingga menyebabkan hilangnya lengkung
medial longitudinal telapak kaki  seluruh bagian dari telapak kaki tersebt menyentuh tanah.
Klasifikasi dan Etiologi
- Flatfoot fisiologik / flexible flatfoot  lengkungan normal ketika tidak menyokong
beban tubuh dan lengkungan mendatar saat sedang menyokong beban tubuh (dalam
keadaan berdiri)
- Flatfoot patologik / rigid flatfoot  lengkungan yang terfiksasi

Manifestasi klinik
- Nyeri pada lengkung medial dan pergelangan kaki
- Kaki memiliki bagian bawah yang mendatar
- Vagus kalkaneus akan tampak pada posisi berdiri

Tata laksana
- Sepatu ortopedik
- Jika terjadi kontraktur pada tendon achilles, maka peregangan secara manual dapat
dilakukan
- Pembedahan  peregangan dari lengkung medial

5.9. Genovarum dan Genovalgum


A. Definisi Genu Valgum dan Genu Varum
Deformitas valgus merujuk kepada angulasi abnormal dari suatu ekstremitas.
Deformitas angulasi tersebut dapat terjadi pada sendi, atau pada tulang di dekat sendi,
namun dapat juga terjadi pada tangkai tulang.

(Gambar 5.14. Genu varum dan genu valgrum)

Valgus adalah angulasi yang tidak mengikuti pola lingkaran imaginer dimana klien
berada. (Salter 1999).
1. Cubitus valgus adalah sudut lipat siku meningkat (carrying angle).
2. Coxa valga adalah sudut leher-tangkai femoral meningkat (>130°).
3. Genu valgum atau knock knee (kaki X) adalah kondisi pada saat lutut disatukan
kaki akan berjauhan.
4. Heel valgus adalah meningkatnya sudut antara aksis kaki dengan tumit, seperti
pada posisi eversi.
5. Talipes calcaneovalgus adalah deformitas eversi dari kaki dengan kombinasi
dengan calcaneus (deformitas fleksi dorsal) dari sendi pergelangan kaki.
6. Hallux valgus adalah deformitas abduksi ibu jari kaki melalui
sendi metatarsofalangeal
Menurut Wong (2009), genu valgum atau knock knees adalah keadaan dimana lutut
saling mendekat satu sama lain tapi kaki terpisah satu sama lain. Secara klinis dapat
ditentukan dengan metode yang sama dengan metode genu varum, tetapi dengan mengukur
jarak diantara maleolus, yang normalnya kurang dari 7,5 cm. Genu valgum biasanya terjadi
pada anka usia 2 sampai 7 tahun.
Genu valgum adalah istilah latin yang digunakan untuk menggambarkan knock-knee
deformitas. Sementara banyak anak-anak yang sehat memiliki kelainan knock-knee sebagai
sifat yang lewat, beberapa orang mempertahankan atau mengembangkan kelainan ini
sebagai akibat dari gangguan herediter atau keturunan atau penyakit tulang metabolik
(Steven 2013).

B. Etiologi Genu Valgum


Hal ini juga diakui bahwa balita berusia 2-6 tahun mungkin memiliki fisiologis
yang genu valgum. Untuk kelompok usia ini, fitur khas termasuk kelemahan ligamen,
simetri, dan kurangnya rasa sakit atau keterbatasan fungsional. Meskipun cacat
kadang-mengesankan, tidak ada perawatan yang diperlukan untuk kondisi pembatasan
diri ini. Riwayat alami dari kondisi ini adalah tumor jinak. Oleh karena itu, orang tua
hanya perlu dididik mengenai apa yang akan terjadi dan kapan (Stevens, 2014).

Beberapa etiologi pada genu valgum menurut Wahab, 2010 adalah :

a. Terdapat gangguan pertumbuhan tulang kaki yang menyebabkan pergeseran


sumbu mekanik ( garis lurus yang ditarik dari dari pusat kepala femoralis ke pusat
mata kaki; ini harus mebagi dua lutut) sehingga tekanan patologis ditempatkan pada
lateral femur dan tibia sehingga saat anak berdiri, titik beratnya tidak berada diantara
jari kaki pertama dan kedua seperti yang terjadi pada anak normal.
b. Posisi tidur yang salah misalnya tengkurap seperti katak. Jika berlangsung lama
kebiasaan ini dapat menyebabkan gangguan rotasi dan bentuk tungkai.
c. Kebiasaan menggendong yang salah, misalanya menggendong menyamping, kaki
anak dibiarkan melingkar tubuh ibu atau yang menggendong dan membentuk
sudut 90 derajat.
d. Memakai popok sekali pakai dengan cara dan saat yang tiak tepat, misalnya terus-
menerus pada saat anak sedang belajar berjalan. Hal ini dapat menyebabkan anak
sulit menemukan posisi kaki yang stabil
e. Faktor jenis kelamin, pada perempuan yang mempunyai pelvis yang lebih luas
darpada pria relatif mempunyai paha yang lebih pendek sehingga wanita lebih
sering mengalami genu valgum daripada pria.
f. Post traumatic. Trauma adalah penyebab paling umum adanya genovalgum.
g. Fraktur pada femur distal maupun fraktur tibia proksimal. Genovalgum juga bisa
disebabkan oleh fraktus metafisik dari tibial medial proksimal

C.
Manifestasi Genu
Valgum

Manifestasi klinis pada anak dengan genu varum dan genu valgum adalah:
1. Postur tubuh pendek, Kondisi ini diakibatkan karena pada esktremitas bawah anak
terbentuk garis kesejajaran tibia dan femur yang abnormal (membentuk sudut ke arah
medial atau ke arah lateral). Biasanya anak dengan genu varum menunjukkan postur
tubuh pendek yang lebih abnormal dibandingkan pada anak dengan genu valgus.

2. Pola jalan yang abnormal


Pola jalan abnormal ini sering menimbulkan kesulitan berjalan pada anak, karena
langkah anak akan melambat. Kesulitan berjalan ini sering nampak pada anak dengan
sudut antara femur dan tibia lebih dari 15º baik pada genu varum dan genu valgum.

3. Nyeri sendi lutut dan dislokasi patela intermiten


Gangguan titik tumpu terjadi pada sendi lutut baik perpindahan titik tumpu ke arah
medial dari pusat sendi lutut yang mengarah pada genu valgum atau pun ke arah lateral
dari pusat sendi lutut yang mengarah pada genu varum sehingga akan mengakibatkan
overkompresi sendi lutut dan struktur yang ada di sekitarnya. Pada kondisi ini dapat
muncul keluhan nyeri pada sendi lutut, selain itu juga dapat terjadi dislokasi atau
subluksasi patella intermiten.
D. Patofisiologi Genu Valgum
Pada genu valgum, aksis mekanik bergeser ke lateral, stress patologis memberi beban
pada femur dan tibia lateral serta menghambat pertumbuhan. Tidak hanya pertumbuhan fisis
terhambat, tetapi juga terjadi efek Heuter-Volkmann, tekanan berkelanjutan atau berlebih pada
epifisis memberi efek inhibisi terhadap pertumbuhan. Akibatnya, pertumbuhan kondilus
lateral femur secara keseluruhan ditekan, sehingga sulkus femoral menjadi dangkal dan
patela cenderung untuk miring (Stevens, 2013).

E. Pemeriksaan Diagnostik Genu Valgum dan Genu Varum


1. Pemeriksaan fisik
Dalam melakukan pemeriksaan fisik, pakaian harus dilepaskan, sehingga kedua
ekstremitas bawah dapat dievaluasi dengan baik. Penilaian dilakukan baik dalam posisi
berdiri, berjalan ataupun terlentang (supinasi) pada meja pemeriksaan. Pada posisi
berdiri, besarnya angulasi dari lutut dapat dinilai dengan dua cara, yaitu:
1) Sudut femoral-tibia : sudut diantara paha dengan tungkai bawah
2) Pengukuran jarak antara penanda tulang
(1) Jarak interkondilar (genu
varum)
Jarak antara kondilus femoral medial pada lutut
(2) Jarak intermolar (genu
valgum)
Jarak dikedua medial malcolus pada pergelangan kaki
Anak harus diperhatikan cara berjalannya, dengan perhatian tertuju pada lutut ketika
fase melangkah untuk menentukan adanya pembentukan sudut ke lateral (lateral thrust) atau
medial (medial thrust). Anak dengan varum atau valgum fisiologis pada lutut umumnya
tidak terjadi pembentukan sudut. Namun pada kondisi patologis, pembentukan sudut biasanya
menunjukkan kelemahan ligamen lutut yang bisa meningkatkan potensi untuk bertambahnya
keparahan deformitas.
Pada posisi prone/supinasi dapat dinilai rotasi pinggul interna dan eksterna (torsi femoral)
dan aksis paha-kaki (torsi tibia). Pada pemeriksaan fisik, diperiksa juga adanya diskrepansi
panjang ekstremitas dengan pengukuran true length dan apparent length.

2. Radiografi

Menurut Peter (2013) Plain radiography merupakan satu prosedur diagnostik utama
yang diperlukan dalam berbagai kasus terutama pada kasus deformitas bentuk tulang. Gold
standart pemeriksaan ini adalah full-length anteroposterior (AP) ekstremitas bawah.
Indikasi pemeriksaan ini dilakukan jika anak memiliki tinggi badan di bawah persentil 25
(berdasarkan kurva tinggi badan terhadap umur). Pada kondisi genu varum maupun genu
valgum, pemeriksaan radiologis dilakukan dengan mengambil foto antero-posterior (AP)
paha hingga pergelangan kaki untuk kedua esktremitas. Aksis mekanikal dan juga aksis
anatomik dari ekstremitas bawah diukur untuk penentuan diagnosis. Pada anak dengan
suspek genu valgum, pemeriksaan yang dilakukan adalah pengukuran aksis mekanikal
(aksis yang digambar dari tengah kepala femur hingga pada pertengahan dari sendi
pergelangan kaki). Pada kondisi normal garis ini akan tepat membagi dua dari sendi
pergelangan kaki atau masih berada pada 50% bagian tengah dari sendi pergelangan kaki.
Genu valgum didefinisikan sebagai deviasi lateral dari aksis atau deviasi diluar dari
margin sendi kruris. Deformitas mungkin terjadi pada femur, tibia, atau keduanya. Sudut
normal dari femoralis distal (LDFA) adalah 84° (6° dari valgus), dan sudut proksimal tibial
medial (PMTA) adalah 87° (3° dari varus).

F. Penatalaksanaan Genu Valgum dan Genu Varum


Genu valgum fisiologi (biasanya terjadi pada usia < 2 tahun) biasanya akan membaik
secara spontan dan penatalaksanaan hanya berupa observasi. Informasikan kepada orang tua
klien perkembangan yang diharapkan dan komunikasikan penemuan dan rekomendasi kepada
dokter keluarga. Observasi berkelanjutan dapat dilakukan dengan pemeriksaan anak secara
berkala. Jika alignment tulang tidak sesuai dengan yang diharapkan, anak dapat kembali
dievaluasi.
Anak dengan kondisi yang patologis harus dievaluasi lebih lanjut. Setelah diagnosis
diputuskan, penatalaksanaan terdiri dari observasi dengan pemeriksaan klinis dan
radiografi berulang, orthosis, serta berbagai tindakan bedah seperti realignment osteotomy,
hemiepiphyseodesis, dan lainnya.
1. Penatalaksanaan Non Operatif

1) Health Education

Beberapa edukasi atau penjelasan yang dapat diberikan kepada keluarga klien antara
lain:
(1) Menjelaskan pertumbuhan kaki yang normal;
(2) Menjelaskan bahwa modifikasi dan perubahan sepatu dirasa tidak efektif;
(3) Menjelaskan bahwa kondisi ini normal pada anak-anak karena bisa menjadi
normal secara spontan;
(4) Mengkaji riwayat keluarga yang mengalami genuvarum; dan
(5) Pada sebagian besar anak, tatalaksana yang dapat dilakukan berupa observasi,
monitoring waktu dan perkembangan untuk mengkoreksi kaki anak.

2) Brace treatment
Bracing dapat digunakan untuk semua klien dengan usia di bawah 2,5-5 tahun
dengan blount disease dan klien yang lebih dari 2 tahun dengan persistent bowing
atau memiliki faktor risiko blount disease. Penelitian terakhir menunjukkan bahwa brace
treatment dapat mengoreksi deformitas varus akibat gangguan pertumbuhan patologis
proximal-medial tibial.
(Gambar 5.14. Brace treatment)

3) KAFO (Knee Ankle Foot Orthosis)


Sebelum usia 3 tahun, digunakan knee-ankle-foot-orthosis (KAFO) selama 23
jam sehari. Tulang akan diluruskan dengan brace, orthotic diganti setiap dua bulan
atau lebih untuk memperbaiki posisi bowlegged (kaki O). Kegagalan untuk
memperbaiki deformitas sering mengakibatkan kerusakan permanen pada
pertumbuhan tulang. Yang kemudian dapat terjadi degenerasi sendi.

(Gambar 5.15. KAFO)

2. Pengobatan Operatif

Jika deformitas tidak membaik dengan pengobatan ortotik dan penyakit berlanjut
ke tahap berikutnya maka koreksi bedah harus dilakukan. Operasi dianjurkan untuk
cacat yang semakin parah dan bisa melumpuhkan anak, atau jika anak tersebut memiliki
sudut metaphyseal-diaphyseal lebih besar dari 14°. Indikasi mutlak untuk operasi adalah
depresi tibialis dataran tinggi (Langenskold tahap IV), dan kelemahan ligamen lutut.
(1) Guide growth
Tujuan dari tindakan ini adalah untuk mengembalikan sumbu mekanik
menjadi netral, sehingga mengurangi dampak kumulatif dari gravitasi pada struktur
kelebihan beban, mengurangi rasa sakit, serta membantu melindungi lutut yang
tumbuh selama bertahun-tahun. Ketika teknik reversibel seperti penempatan
delapan-plate digunakan, fisis akan terus tumbuh selama guide growth, dan
pertumbuhan fisis ini akan terus berlanjut setelah implan dilepas. Ketika sumbu
mekanik telah dikembalikan ke netral, implan akan dihapus. Pertumbuhan
selanjutnya harus dimonitoring. Monitoring tersebut tergantung pada etiologi seperti
adanya deformitas berulang karena growth rebound. Oleh karena itu haru dilakukan
ulang prosedur guide growth.
Menurut Métaizeau et al. (1998); Peter (2013) Waktu untuk memonitoring
tindakan tersebut berkisar selama 6-24 bulan, tetapi biasanya sumbu mekanik
diperbaiki dalam waktu 12 bulan dari penyisipan (Peter 2013).

(2) Osteotomi
Osteotomi merupakan tindakan bedah yang paling sering digunakan. Tujuannya
adalah untuk meluruskan ekstremitas dan memberikan sumbu mekanik netral
sementara untuk mengoreksi malrotasi serta memulihkan panjang tungkai yang sama
(Peter 2013).
Osteotomi adalah operasi bedah dimana tulang dipotong untuk memperpendek,
memperpanjang, atau bahkan mengubah keselarasannya dari tulang. Dalam
osteotomi, sepotong tulang berbentuk baji akan dihilangkan dari sisi medial femur.
Setelah itu potongan tulang dimasukkan ke tibia kemudian dilakukan fiksasi. Jika
fiksasi digunakan di dalam kaki, maka hal ini disebut osteotomi fiksasi internal.
Sebaliknya jika menggambarkan frame kawat khusus melingkar di bagian luar kaki
dengan pin untuk memegang perangkat di tempat maka disebut dengan osteotomi
fiksasi eksternal.

(Gambar 5.16. Proses osteotomies)


G. Komplikasi Genu Valgum dan Genu Varum
Pada genu valgum terjadi angulasi lateral dari pergelangan kaki terhadap
hubungannya dengan paha. Karena adanya sudut berlebihan yang dibentuk oleh lutut ini
pada genu valgum, maka titik tumpu berat tubuh akan berada pada bagian lateral dari
pusat sendi lutut. Konsekuensinya, ligamen kolatteral tibial akan mengalami stretching
berlebihan, dan juga terjadi stress berlebihan pada menicus lateralis dan kartilago dari
femoralis lateralis, serta stress berlebih pada kondilus tibial. Patela yang pada
normalnya terdorong ke arah lateral oleh tendon dari vastus lateralis, pada individu
dengan genu valgum akan terdorong lebih jauh ke arah lateral ketika pergelangan
kaki ekstensi, sehingga artikulasi dengan femur akan menjadi abnormal. Kondisi
keabnormalan sendi ini akan dapat menyebabkan terjadinya artrosis dari kartilago
artikular (Moore, Dalley, & Arthur, 2006).

Jika genu valgum menetap dan tidak dilakukan koreksi, maka osteoarthritis dapat
berkembang saat usia dewasa sebagai akibat dari stress intraartikular abnormal. Genu
varum dapat menyebabkan gangguan pola jalan dan dapat meningkatkan resiko untuk
terjadinya sprain dan fraktur. Genu valgum yang tidak dikoreksi dapat subluksasi
dan dislokasi berulang pada patela dengan meningkatkan presdiposisi untuk kemunculan
kondromalasia dan nyeri serta fatigu pada sendi.

Komplikasi yang bisa terjadi pada genu valgum adalah:


1. Komplikasi post-op seperti infeksi, sindrom kompartmen, deformitas berulang,
dan gangguan pertumbuhan.
2. Artritis degeneratif patellofemoral, pada genuvalgum yang parah tanpa diobati,
dapat menimbulkan radang sendi degeneratif patellofemoral.
3. Deviasi gaya berjalan (gait), hal ini terkait dengan deformitas yang terjadi pada
tibia, seperti pada blount disease/tibia vara (Aird 2009).

H. Prognosis Genu Valgum dan Genu Varum

Prognosis untuk remaja dengan kondisi genu valgum baik jika deformitas diobati
sebelum tulang matur. Jika kondisi ini tetap tidak diobati, bisa terjadi kerusakan
meniscus, dan keterbelakangan dari kondilus lateral femur, sehingga terjadi masalah
kompartemen lateral dari lutut (Lescher 2011).
Penataksanaan medis yang tepat, dialisis dan transplantasi renal juga dapat
meningkatkan kemungkinan hidup klien.
Sumber:
Stevens, P. 2013. Pediatrics Genu Valgum.
http://emedicine.medscape.com/article/1259772- overview.

Wong, Donna. 2003. Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik. Jakarta : EGC.

5.10. Kelainan Bentuk Tulang Belakang


5.10.1. Skoliosis

Definisi
Skoliosis adalah deformitas tulang belakang berupa deviasi vertebra ke arah lateral.
Etiologi
Kebanyakan skoliosis bersifat idiopatik dan di beberapa kasus disebabkan oleh faktor
herediter yang diturunkan secara autosomal dominan.
Patogenesis
Pembengkokan tulang vertebra ke arah lateral diakibatkan adanya penebalan dan
pemendekan yang mengakibatkan pendorongan dan penyempitan kanalis spinalis dan
mengakibatkan tulang vertebra ke arah lateral. Biasanya menyerang vertebra bagian
thoraco lumbal dan melibatkan 2-8 tulang vertebra.
Gambaran klinis
Penderita datang karena ada keluhan tulang belakang yang tidak simetris atau karena
tidak sama tinggi.
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan radiologis terdiri atas pemeriksaan foto polos, AP, lateral dan oblik dalam
keadaan berdiri atau duduk dengan tujuan untuk menentukan besarnya sudut dan
beratnya skoliosis.
Pengobatan
a) Pengobatan konservatif
Sudut kelengkungan < 400 Dapat menggunakan penyangga dari milwaukee
b) Pengobatan operatif
Sudut kelengkungan > 400 dilakukan tindakan operatif sebelum penderita usia dewasa

Sumber :Rasjad, chairuddin. 2007. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Jakarta: PT Yarsif
watampone

5.10.2. Kifosis
a. Definisi
Kifosis merupakan salah satu bentuk kelainan postur dalam bidang sagital yang bisa
dialami karena bawaan sejak lahir maupun karena kesalahan posisi tubuh, baik itu saat duduk,
tidur, berdiri atau berolahraga. Dalam keadaan normal, punggung atas atau area tulang
belakang bagian atas tiap manusia memiliki bentuk seperti kurva yang menyerupai lengkungan,
tetapi hanya sedikit.
Kifosis terjadi pada kondisi ketika kurva tulang belakang dada adalah di luar kisaran
normal, sehingga membuat postur menjadi bungkuk. Sudut kurva dada pada kifosis berkisar
antara 10 sampai 40 derajat dalam pengukuran sudut antara lempengan ujung atas T5 dan
lempengan ujung bawah T12.
Seseorang yang mengidap kifosis dapat terlihat dari kondisi fisiknya, dimana bagian
belakang tubuhnya akan terdapat punuk, tepatnya berada di punggung bagian atas. Jika punuk
tersebut dilihat dari tubuh bagian samping, maka akan terlihat seperti punggung atas yang
menonjol atau membulat.
b. Gejala
Gejala kifosis yang biasanya terjadi, antara lain:
 Postur tubuh bungkuk.
 Nyeri punggung.
 Kekakuan.
 Beda tinggi antara bahu kiri dan kanan
 Beda tinggi atau posisi pada tulang belikat
 Saat membungkuk, punggung atas terlihat tidak normal
 Otot hamstring tegang

c. Etiologi
Kifosis dapat terjadi ketika tulang belakang pada punggung atas mengalami perubahan
bentuk (deformitas). Deformitas tersebut dapat disebabkan oleh berbagai masalah kesehatan,
termasuk:
 Osteoporosis
Kondisi yang menyebabkan pengeroposan tulang ini dapat menyebabkan fraktur akibat
kompresi tulang. Osteoporosis paling sering terjadi pada orang dengan usia lanjut, terutama
wanita, dan orang yang mengonsumsi kortikosteroid dosis tinggi selama jangka panjang.
 Degenerasi diskus
Diskus yang lunak dan sirkuler berfungsi sebagai bantalan pada tulang belakang. Seiring
dengan bertambahnya usia, diskus menjadi semakin kering dan mengecil, yang memperburuk
kondisi kifosis.
 Cacat bawaan
Bila tulang belakang dari bayi tidak berkembang dengan baik pada saat di dalam rahim, maka
tulang dapat tidak terbentuk secara sempurna yang menyebabkan kifosis.
 Adanya sindrom tertentu
Kifosis pada anak-anak dapat berkaitan dengan beberapa sindrom, seperti sindrom Marfan atau
Prader-Willi.
 Kanker dan pengobatan kanker
Kanker pada tulang belakang dapat membuat tulang belakang menjadi lemah dan lebih rentan
terhadap fraktur kompresi, demikian pula halnya dengan kemoterapi dan terapi radiasi pada
kanker.

d. Diagnosis
Untuk mengetahui penyakit kifossi biasanya akan dilakukan pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang. Pasien diminta membungkukan badan ke depan lalu dokter akan
melihat posisi tulang belakang dari samping. Rontgen juga bisa dilakukan untuk melihat
derajat kurvatura dan deformitas. Selain itu, jika dicurigai adanya tumor atau infeksi bisa
dilakukan CT scan atau MRI.

e. Tatalaksana
Pada kebanyakan pengidap kifosis tidak membutuhkan pengobatan dikarenakan hanya
kesalahan pada postur tubuh. Walau begitu, pengidapnya harus memperbaiki postur melalui
fisioterapi. Selain itu, pada kifosis dengan kelainan tulang belakang, pengobatannya tergantung
dari faktor penyebabnya. Faktor tersebut adalah usia dan jenis kelamin, juga tingkat keparahan
penyakit tersebut.
Penanganan lainnya yang mungkin dilakukan dokter untuk mengatasi kifosis yaitu
dengan cara memberikan obat-obatan. Obat-obatan yang mungkin diberikan oleh dokter yaitu
obat pereda nyeri dan obat untuk osteoporosis. Selain memberikan obat, dokter juga akan
memberikan saran pada pengidapnya untuk rutin melakukan peregangan.
Penanganan kifosis tergantung dari penyebabnya, antara lain:
 Anti nyeri.
 Pengobatan osteoporosis.
 Fisioterapi.
 Jika menjepit saraf, maka dokter akan menyarankan tindakan pembedahan

5.10.3. Lordosis

Lordosis adalah penekanan ke arah dalam kurvatura servikal lumbal melebihi batas
fisiologis. Lordosis kongenital pada kondisi klinik sedikit didapatkan, biasanya deformitas
bersifat progresif. Dengan adanya kondisi deformitas lordosis akan memberikan pengaruh
pada spina torakal, jarak spina-sternum (penurunan kapasitas paru), gagal napas, dan bahkan
kematian dini. Pada saat deformitas ini terjadi pada lumbal, maka secara progresif akan terjadi
hiperlordosis pada lumbal.
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan sepenuhnya dengan intervensi bedah. Intervensi konservatif pada
lordosis kongenital tidak bisa dilakukan karena kondisi ini bersifat progresif. Intervensi bedah
bisa dilakukan secara fusi anterior dan bedah koreksi. Fusi anterior biasa dilakukan pada anak
yang lebih muda, sebelum progresivitas berkembang lebih jauh. Intervensi ini termasuk eksisi
diskus, pengangkatan kartilago, dan packing dari ruang diskus. Bedah koreksi dilakukan bila
terdapat kondisi deformitas luas dan biasanya sudah mengganggu fungsi pernapasan (Noor,
2016).
Sumber : Noor, Z. (2016). Buku Ajar Gangguan Muskuloskeletal. Jakarta: Penerbit Salemba
Medika.

Anda mungkin juga menyukai