Anda di halaman 1dari 22

SEJARAH CSR

Sejarah merupakan torehan kejadian masa lampau yang mengungkapkan fenomena realitas
sosial yang bisa menjadi kajian menarik dan bermanfaat di masa kini dan mendatang.
Dengan memahami sejarah tentang obyek kajian akan bermakna bagi pengungkapan
realitas sosial yang lebih obyektif. Corporate Social Responsibility (CSR) telah
ada sejak Abad 17 dan mengalami perkembangan kajian yang mencerminkan dinamika
implementatif yang terus mengalami perubahan. Berikut disajikan sejarah singkat CSR
dari masa ke masa.

Sejarah CSR Di Tingkat Internasional


Tahun 1700-an SM Tanggung Jawab Sosial Korporasi (Corporate Social Responsibility)
telah menjadi pemikiran para pembuat kebijakan sejak lama. Bahkan dalam Kode
Hammurabi (1700an SM) yang berisi 282 hukum telah memuat sanksi bagi para pengusaha
yang lalai dalam menjaga kenyamanan warga atau menyebabkan kematian bagi
pelanggannya. Dalam Kode Hammurabi disebutkan bahwa hukuman mati diberikan kepada
orangorang yang menyalahgunakan ijin penjualan minuman, pelayanan yang buruk dan
melakukan pembangunan gedung di bawah standar sehingga menyebabkan kematian orang
lain. Perhatian para pembuat kebijakan tentang CSR menunjukkan telah adanya
kesadaran bahwa terdapat potensi timbulnya dampak buruk dari kegiatan usaha. Dampak
buruk tersebut tentunya harus direduksi sedemikian rupa sehingga tidak membahayakan
kemaslahatan masyarakat sekaligus tetap ramah terhadap iklim usaha. Tahun 1940-an:
Pengembangan Masyarakat (Community Development) Secara resmi istilah Comdev
dipergunakan di Inggris 1948, untuk mengganti istilah mass education (pendidikan
massa). Menurut Hodge, akar munculnya model pengembangan masyarakat (Community
Development) terkait dengan disiplin ilmu pendidikan (education). Di Amerika
Serikat pengembangan masyarakat juga berakar dari disiplin pendidikan di tingkat
pedesaan (rural extension program), sedangkan di perkotaan mereka mengembangkan
organisasi komunitas (community organization) yang bersumber dari ilmu
kesejahteraan Sosial yang diawali pada tahun 1873 (http://www.create.or.id/?
module=articles&action). Pengembangan masyarakat merupakan pembangunan alternatif
yang komprehensif dan berbasis komunitas yang dapat melibatkan baik oleh
Pemerintah, Swasta, ataupun oleh lembagalembaga non pemerintah. Dari segi tujuan
bisa bersifat spesifik, tidak selalu multi-tujuan. Beberapa alternatif pendekatan
yang pernah terjadi di Amerika Serikat terkait dengan pengembangan masyarakat ini,
antara lain: (1) pendekatan komunitas, (2) pendekatan pemecahan masalah, (3)
pendekatan eksperimental, (4)
pendekatan konflik kekuatan, (5) pengelolaan sumberdaya alam, dan (6) perbaikan
lingkungan komunitas masyarakat perkotaan. Pendekatan komunitas merupakan
pendekatan yang paling sering dipergunakan dalam pengembangan masyarakat.
Pendekatan ini mempunyai tiga ciri utama (1) basis partisipasi masyarakat yang
luas, (2) fokus pada kebutuhan sebagian besar warga komunitas, dan (3) bersifat
holistik. Pendekatan ini menaruh perhatian pada kepentingan hampir semua warga.
Keunggulan pendekatan ini adalah adanya partisipasi yang tinggi dari warga dan
pihak terkait dalam pengambilan keputusan (perencanaan) dan pelaksanaan, serta
dalam evaluasi dan menikmati hasil kegiatan bersama warga komunitas. Comdev semakin
menjadi kebutuhan tidak saja bagi masyarakat, tetapi juga perusahaan. Perusahaan
bukan lagi merupakan kesatuan yang independen dan terisolasi, sehingga manajer
tidak hanya bertanggung jawab kepada pemilik tetapi juga kepada kepentingan yang
lebih luas yang membentuk dan mendukungnya dari lingkungan sekitarnya. Dalam
mengejar tujuan ekonomisnya, perusahaan menimbulkan berbagai konsekuensi sosial
lainnya, baik kemanfaatan (keamanan, kenyamanan, dan kemakmuran bagi masyarakat)
maupun biaya sosial (degradasi potensi sumberdaya lingkungan, limbah dan
pencemaran). Perkembangan lebih lanjut, konsep Comdev ini mempunyai kontribusi yang
signifikan terhadap CSR. Tahun 1950-an: CSR MODERN Literatur-literatur awal yang
membahas CSR pada tahun 1950-an menyebut CSR sebagai Social Responsibility (SR
bukan CSR). Tidak disebutkannya kata corporate dalam istilah tersebut kemungkinan
besar disebabkan pengaruh dan dominasi korporasi modern belum terjadi atau belum
disadari. Menurut Howard R. Bowen dalam bukunya: “Social Responsibility of The
Businessman” dapat dianggap sebagai tonggak bagi CSR modern. Dalam buku itu Bowen
(1953:6) memberikan definisi awal dari CSR sebagai: “… obligation of businessman to
pursue those policies, to make those decision or to follow those line of action
wich are desirable in term of the objectives and values of our society.” Walaupun
judul dan isi buku Bowen bias gender (hanya menyebutkan businessman tanpa
mencantumkan businesswoman), sejak penerbitan buku tersebut definisi CSR yang
diberikan Bowen memberikan pengaruh besar kepada literatur-literatur CSR yang
terbit setelahnya. Sumbangsih besar pada peletakan fondasi CSR tersebut membuat
Bowen pantas disebut sebagai Bapak CSR. Tahun 1960-an Pada tahun 1960-an banyak
usaha dilakukan untuk memberikan formalisasi definisi CSR. Salah satu akademisi CSR
yang terkenal pada masa itu adalah Keith Davis. Davis dikenal karena berhasil
memberikan pandangan yang mendalam atas hubungan antara CSR dengan kekuatan bisnis.
Davis mengutarakan “Iron Law of Responsibility” yang menyatakan bahwa tanggung
jawab sosial pengusaha sama dengan kedudukan sosial yang mereka miliki (social
responsibilities of businessmen need to be commensurate
with their social power). Sehingga, dalam jangka panjang, pengusaha yang tidak
menggunakan kekuasaan dengan bertanggungjawab sesuai dengan anggapan masyarakat
akan kehilangan kekuasaan yang mereka miliki sekarang. Kata corporate mulai
dicantumkan pada masa ini. Hal ini bisa jadi dikarenakan sumbangsih Davis yang
telah menunjukkan adanya hubungan yang kuat antara tanggung jawab sosial dengan
korporasi. Tahun 1962, Rachel Carlson menulis buku yang berjudul “Silent Spring”.
Buku tersebut dianggap memberikan pengaruh besar pada aktivitas pelestarian alam.
Buku tersebut berisi efek buruk penggunaan DDT sebagai pestisida terhadap
kelestarian alam, khususnya burung. DDT menyebabkan cangkang telur menjadi tipis
dan menyebabkan gangguan reproduksi dan kematian pada burung. Silent Spring juga
menjadi pendorong dari pelarangan penggunaan DDT pada tahun 1972. Selain
penghargaan Silent Spring juga menuai banyak kritik dan dinobatkan sebagai salah
satu ”buku paling berbahaya abad ke-19 dan ke-20” versi majalah Human Events. Tahun
1963, Joseph W. McGuire (1963:144) memperkenalkan istilah Corporate Citizenship.
McGuire menyatakan bahwa: “The idea of social responsibilities supposes that the
corporation has not only economic and legal obligations but also certain
responsibilities to society which extend beyond these obligations”. McGuire
kemudian menjelaskan lebih lanjut kata “beyond” dengan menyatakan bahwa korporasi
harus memperhatikan masalah politik, kesejahteraan masyarakat, pendidikan,
“kebahagiaan” karyawan dan seluruh permasalahan sosial kemasyarakatan lainnya. Oleh
karena itu korporasi harus bertindak “baik,” sebagai mana warga negara (citizen)
yang baik. Tahun 1970-an Tahun 1971, Committee for Economic Development (CED)
menerbitkan Social Responsibilities of Business Corporations. Penerbitan yang dapat
dianggap sebagai code of conduct bisnis tersebut dipicu adanya anggapan bahwa
kegiatan usaha memiliki tujuan dasar untuk memberikan pelayanan yang konstruktif
untuk memenuhi kebutuhan dan kepuasan masyarakat. CED merumuskan CSR dengan
menggambarkannya dalam lingkaran konsentris. Lingkaran dalam merupakan
tanggungjawab dasar dari korporasi untuk penerapan kebijakan yang efektif atas
pertimbangan ekonomi (profit dan pertumbuhan); Lingkaran tengah menggambarkan
tanggung jawab korporasi untuk lebih sensitif terhadap nilai-nilai dan prioritas
sosial yang berlaku dalam menentukan kebijakan mana yang akan diambil; Lingkaran
luar menggambarkan tanggung jawab yang mungkin akan muncul seiring dengan
meningkatnya peran serta korporasi dalam menjaga lingkungan dan masyarakat. Tahun
1970-an juga ditandai dengan pengembangan definisi CSR. Dalam artikel yang berjudul
“Dimensions of Corporate Social Performance”, S. Prakash Sethi memberikan
penjelasan atas perilaku korporasi yang dikenal dengan social obligation, social
responsibility, dan social responsiveness. Menurut Sethi, social obligation adalah
perilaku korporasi yang didorong oleh kepentingan pasar dan
pertimbanganpertimbangan hukum. Dalam hal ini social obligatioan hanya menekankan
pada aspek ekonomi dan hukum saja. Social responsibility merupakan perilaku
korporasi yang tidak hanya menekankan pada aspek ekonomi dan hukum saja tetapi
menyelaraskan social obligation dengan norma, nilai dan harapan kinerja yang
dimiliki oleh lingkungan sosial. Social responsivenes merupakan perilaku korporasi
yang secara responsif dapat mengadaptasi kepentingan sosial masyarakat. Social
responsiveness merupakan tindakan antisipasi dan preventif. Dari pemaparan Sethi
dapat disimpulkan bahwa social obligation bersifat wajib, social responsibility
bersifat anjuran dan social responsivenes bersifat preventif. Dimensidimensi
kinerja sosial (social performance) yang dipaparkan Sethi juga mirip dengan konsep
lingkaran konsentris yang dipaparkan oleh CED. Tahun 1980-an Era ini ditandai
dengan usaha-usaha yang lebih terarah untuk lebih mengartikulasikan secara tepat
apa sebenarnya corporate responsibility. Walaupun telah menyinggung masalah CSR
pada 1954 , Empu teori manajemen Peter F. Drucker baru mulai membahas secara serius
bidang CSR pada tahun 1984 , Drucker (1984:62) berpendapat: ”But the proper ‘social
responsibility’ of business is to tame the dragon, that is to turn a social problem
into economic opportunity and economic benefit, into productive capacity, into
human competence, into well-paid jobs, and into wealth”. Dalam hal ini, Drucker
telah melangkah lebih lanjut dengan memberikan ide baru agar korporasi dapat
mengelola aktivitas CSR yang dilakukannya dengan sedemikian rupa sehingga tetap
akan menjadi peluang bisnis yang menguntungkan. Tahun 1987, Persatuan Bangsa-Bangsa
melalui World Commission on Environment and Development (WECD) menerbitkan laporan
yang berjudul “Our Common Future” – juga dikenal sebagai Brundtland Report untuk
menghormati Gro Harlem Brundtland yang menjadi ketua WECD waktu itu. Laporan
tersebut menjadikan isu-isu lingkungan sebagai agenda politik yang pada akhirnya
bertujuan mendorong pengambilan kebijakan pembangunan yang lebih sensitif pada isu-
isu lingkungan. Laporan ini menjadi dasar kerjasama multilateral dalam rangka
melakukan pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Tahun 1990-an Earth
Summit dilaksanakan di Rio de Janeiro pada 1992. Dihadiri oleh 172 negara dengan
tema utama Lingkungan dan Pembangunan Berkelanjutan. Menghasilkan Agenda 21,
Deklarasi Rio dan beberapa kesepakatan lainnya. Hasil akhir dari pertemuan tersebut
secara garis besar menekankan pentingnya eco-efficiency dijadikan sebagai prinsip
utama berbisnis dan menjalankan pemerintahan.

CSR di Indonesia
Di antara negara-negara di Asia, penetrasi aktivitas CSR di Indonesia masih
tergolong rendah. Pada tahun 2005 baru ada 27 perusahaan yang memberikan laporan
mengenai aktivitas CSR yang dilaksanakannya. Ikatan Akuntan Indonesia Kompartemen
Akuntan Manajemen sejak tahun 2005 mengadakan Indonesia Sustainability Reporting
Award (ISRA). Secara umum ISRA bertujuan untuk mempromosikan voluntary reporting
CSR kepada perusahaan di Indonesia dengan memberikan penghargaan kepada perusahaan
yang membuat laporan terbaik mengenai aktivitas CSR. Kategori penghargaan yang
diberikan adalah Best Social and Environmental Report Award, Best Social Reporting
Award, Best Environmental Reporting Award, dan Best Website. Pada Tahun 2006
kategori penghargaan ditambah menjadi Best Sustainability Reports Award, Best
Social and Environmental Report Award, Best Social Reporting Award, Best Website,
Impressive Sustainability Report Award, Progressive Social Responsibility Award,
dan Impressive Website Award. Pada Tahun 2007 kategori diubah dengan menghilangkan
kategori impressive dan progressive dan menambah penghargaan khusus berupa
Commendation for Sustainability Reporting: First Time Sutainability Report. Sampai
dengan ISRA 2007 perusahaan tambang, otomotif dan BUMN mendominasi keikutsertaan
dalam ISRA. Perkembangan program CSR di Indonesia dimulai dari sejarah perkembangan
PKBL. Pembinaan usaha kecil oleh BUMN dilaksanakan sejak terbitnya Peraturan
Pemerintah Nomor 3 Tahun 1983 tentang tata cara pembinaan dan pengawasan Perusahaan
Jawatan (Perjan), Perusahaan Umum (Perum) dan Perusahaan Perseroan (Persero). Pada
saat itu, biaya pembinaan usaha kecil dibebankan sebagai biaya perusahaan. Dengan
terbitnya keputusan Menteri Keuangan No.:1232/KMK.013/1989 tanggal 11 Nopember 1989
tentang Pedoman Pembinaan Pengusaha Ekonomi Lemah dan Koperasi melalui Badan Usaha
Milik Negara, dana pembinaan disediakan dari penyisihan sebagian laba sebesar 1%-5%
dari laba setelah pajak. Nama program saat itu lebih dikenal dengan Program
Pegelkop. Pada Tahun 1994, nama program diubah menjadi Pembinaan Usaha Kecil dan
Koperasi (Program PUKK) berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan No.:316/KMK.016/1994
tanggal 27 Juni 1994 tentang Pedoman Pembinaan Usaha Keciln dan Koperasi melalui
Pemanfaatan Dana dari Bagian Laba Badan Usaha Milik Negara. Memperhatikan
perkembangann ekonomi dan kebutuhan masyarakat, pedoman pembinaan usaha kecil
tersebut beberapa kali mengalami penyesuaian, yaitu melalui Keputusan Menteri
Negara Pendayagunaan BUMN/Kepala Badan Pembina BUMN No.: Kep-216/MPBUMN/1999
tanggal 28 September 1999 tentang Program Kemitraan dan Bina Lingkungan BUMN,
Keputusan Menteri BUMN No.: Kep-236/MBU/2003 tanggal 17 Juni 2003 tentang Program
Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan, dan terakhir melalui
Peraturan Menteri Negara BUMN No.: Per05/MBU/2007 tanggal 27 April 2007 tentang
Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan. Pembinaan
usaha kecil yang dilakukan BUMN ini tidak terlepas dari beberapa peraturan
perundang-undangan lainnya, yaitu sebagai berikut.
a. Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1998 tentang Pembinaan dan Pengembangan
Usaha Kecil. Penjelasan Pasal 16; Lembaga pembiayaan menyediakan dukungan modal
untuk pembinaan dan pengembangan usaha kecil antara lain meliputi skim modal awal,
modal bergulir, kredit usaha kecil, kredit program dan kredit modal kerja usaha
kecil, kredit kemitraan, modal ventura, dana dari bagian laba Badan Usaha Milik
Negara, anjak piutang dan kredit lainnya b. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003
tentang BUMN. Pasal 2: Salah satu tujuan pendirian BUMN adalah turut aktif
memberikan bimbingan dan bantuan kepada pengusaha golongan ekonomi lemah, koperasi,
dan masyarakat. Pasal 88 ayat (1): BUMN dapat menyisihkan sebagian laba bersihnya
untuk keperluan pembinaan usaha kecil/koperasi serta pembinaan masyarakat sekitar
BUMN. c. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah
(lihat uraian di bawah). Pengaturan dan Pelaksanaan CSR di Indonesia 1. UU No. 23
Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup Ketentuan UU ini yang berkaitan
dengan CSR adalah sebagai berikut:
o o o o Setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup
serta mencegah dan menanggulangi pencemaran dan perusakan (Pasal 6:1). Setiap orang
yang melakukan usaha dan/atau kegiatan berkewajiban memberikan informasi yang benar
dan akurat mengenai pengelolaan lingkungan hidup (Pasal 6:2). Setiap penanggung
jawab usaha dan/atau kegiatan wajib melakukan pengelolaan limbah hasil usaha
dan/atau kegiatan (Pasal 16:1). Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan
wajib melakukan pengelolaan bahan berbahaya dan beracun (Pasal 17:1).

2. UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Undang-undang ini banyak


mengatur tentang kewajiban dan tanggung jawab perusahaan terhadap konsumennya.
Perlindungan konsumen ini bertujuan untuk menumbuhkan kesadaran corporate tentang
pentingnya kejujuran dan tanggung jawab dalam perilaku berusaha. Hal-hal lain yang
diatur di sini adalah larangan-larangan pelaku usaha, pencantuman klausula baku dan
tanggung jawab pelaku usaha. 3. UU No. 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal
Beberapa ketentuan UU ini yang berkaitan dengan CSR adalah sebagai berikut. o
Setiap penanam modal berkewajiban (Pasal 15): melaksanakan tanggung jawab sosial
perusahaan;
menghormati tradisi budaya masyarakat sekitar lokasi kegiatan usaha penanaman
modal; Yang dimaksud dengan "tanggung jawab sosial perusahaan" adalah tanggung
jawab yang melekat pada setiap perusahaan penanaman modal untuk tetap menciptakan
hubungan yang serasi, seimbang, dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma, dan
budaya masyarakat setempat (penjelasan pasal 15 Huruf b). o Setiap penanam modal
bertanggung jawab (Pasal 16) menjaga kelestarian lingkungan hidup; menciptakan
keselamatan, kesehatan, kenyamanan, dan kesejahteraan pekerja; … Pasal 34:
(1) Badan usaha atau usaha perseorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 yang
tidak memenuhi kewajiban sebagaimana ditentukan dalam Pasal 15 dapat dikenai sanksi
administratif berupa: a. peringatan tertulis; b. pembatasan kegiatan usaha c.
pembekuan kegiatan usaha dan/atau fasilitas penanaman modal; atau d. pencabutan
kegiatan usaha dan/atau fasilitas penanaman modal. (2) Sanksi administratif
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh instansi atau lembaga yang
berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Selain dikenai
sanksi administratif, badan usaha atau usaha perseorangan dapat dikenai sanksi
lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Berdasarkan pengaturan-pengaturan di atas, kewajiban dan tanggung jawab perusahaan


bukan hanya kepada pemilik modal saja, melainkan juga kepada karyawan dan
keluarganya, konsumen dan masyarakat sekitar, serta lingkungan hidup. 4. UU NO. 40
Tahun 2007 tentang Perseroan terbatas Undang-undang ini diundangkan secara resmi
pada tanggal 16 Agustus 2007. Ketentuan dalam Pasal 74 ayat (1): Perseroan yang
menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam
wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan. o Bagi BUMN yang sudah
melakukan alokasi biaya untuk bina wilayah atau yang sejenis sebelum diterbitkan
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 (UUPT), maka dalam pelaksanaannya agar dilakukan
sesuai dengan mekanisme korporasi dengan memperhatikan prinsip-prinsip Good
Corporate Governance (GCG). o Bagi BUMN yang sumber dana program kemitraan dan bina
lingkungan (PKBL)-nya berasal dari penyisishan laba, maka tetap melaksanakan PKBL
sesuai dengan alakosi dana yang disetujui RUPS. o Bagi BUMN yang sumber dana
program kemitraan dan/atau bina lingkungan (PKBL)nya dibebankan/menjadi biaya
perusahaan sebagai pelaksanaan Pasal 74 UUPT, maka dalam pelaksanaannya agar tetap
berpedoman pada peraturan menteri Negara BUMN No: Per-05/MBU/2007, sampai adanya
penetapan lebih lanjut dari menteri Negara BUMN.
Selengkapnya tentang Pasal 74 UU No. 40 tahun 2007 tersebut adalah sebagai berikut:
Bab V – Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Pasal 74: (1) (2) Perseroan yang
menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam
wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan. Tanggung Jawab Sosial dan
Lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kewajiban Perseroan yang
dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya Perseroan yang pelaksanaannya
dilakukan dengan memperhitungkan kepatutan dan kewajaran. Perseroan yang tidak
melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ketentuan lebih lanjut mengenai
Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan diatur dengan Peraturan Pemerintah

(3) (4)

5. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah Bunyi
Pasal 21 UU No. 20 Tahun 2008:…..Badan Usaha Milik Negara dapat menyediakan
pembiayaan dari penyisihan bagian laba tahunan yang dialokasikan kepada Usaha Mikro
dan Kecil dalam bentuk pemberian pinjaman, penjaminan, hibah, dan pembiayaan
lainnya. PKBL merupakan Program Pembinaan Usaha Kecil dan pemberdayaan kondisi
lingkungan oleh BUMN melalui pemanfaatan dana dari bagian laba BUMN. Jumlah
penyisihan laba untuk pendanaan program maksimal sebesar 2% (dua persen) dari laba
bersih untuk Program Kemitraan dan maksimal 2% (dua persen) dari laba bersih untuk
Program Bina Lingkungan (CSR). Ketentuan UU inilah yang dijadikan dasar bagi
penataan tentang pemanfaatan CSR di Indonesia. 6. Keputusan Mahkamah Konstitusi
(MK) 15 April 2009 Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusannya 15 April 2009 menolak
gugatan uji material oleh Kadin terhadap pasal 74 Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007
tentang Perseroan Terbatas (UU PT) mengenai kewajiban Tanggung Jawab Sosial dan
Lingkungan (TJSL) bagi perusahaan yang berkaitan dengan sumber daya alam. Karena
putusan MK bersifat final dan mengikat, maka lebih baik kita melihat dari sisi
positifnya, yaitu sinergi antara pasal PJSL dengan UU Pajak Penghasilan 36/2008 (UU
PPh) pasal 6 ayat 1 huruf a yang sekarang memberlakukan beberapa jenis sumbangan
sosil sebagai biaya, yaitu. • • • • • • Biaya beasiswa, magang, dan pelatihan;
Sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana nasional yang ketentuannya diatur
dengan Peraturan Pemerintah; Sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan
yang dilakukan di Indonesia yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah;
Biaya pembangunan infrasrtuktur sosial yang ketentuannya diatur dengan Peraturan
Pemerintah; Sumbangan fasilitas pendidikan yang ketentuannya diatur dengan
Peraturan Pemerintah:dan Sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga yang
ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Corporate Social Responsibility (CSR), merupakan komitmen perusahaan untuk
membangun kualitas kehidupan yang lebih baik bersama dengan para pihak yang
terkait, utamanya masyarakat di sekelilingnya dan lingkungan sosial dimana
perusahaan tersebut berada, yang dilakukan terpadu dengan kegiatan usahanya secara
berkelanjutan. Sayangnya, masih ada perusahaan yang mempersepsi CSR sebagai bagian
dari biaya atau tindakan reaktif untuk mengantisipasi penolakan masyarakat dan
lingkungan. Beberapa perusahaan memang mampu mengangkat status CSR ke tingkat yang
lebih tinggi dengan menjadikannya sebagai bagian dari upaya brand building dan
peningkatan corporate image. Namun upaya-upaya CSR tersebut masih jarang yang
dijadikan sebagai bagian dari perencanaan strategis perusahaan. Masyarakat kini
telah semakin well informed, dan kritis serta mampu melakukan filterisasi terhadap
dunia usaha yangg tengah berkembang. Hal ini menuntut para pengusaha untuk
menjalankan usahanya dengan semakin bertanggung-jawab. Pengusaha tidak hanya
dituntut untuk memperoleh capital gain atau profit dari kegiatan usahanya,
melainkan mereka juga diminta utk memberikan kontribusi baik materiil maupun
spirituil kepada masyarakat dan pemerintah sejalan dengan aturan yang berlaku.

CSR di Jawa Timur


Pelaksanaan CSR di Propinsi Jawa Timur telah berkembang dengan baik, dan telah
memberikan kontribusi nyata bagi pelaksanaan pembangunan di wilayah Jawa Timur.
Sejauh ini penyelenggaraan CSR di Jawa Timur belum teridentifikasi dengan baik,
baru tahun 2009 Bappeprov Jatim mulai melakukan penelitian tentang program
kemitraan (PK) dan Bina Lingkungan (BL) atau PKBL. Bina lingkung (BL) dimaknai oleh
BUMN sebagai Corporate Social Responsibility (CSR). Hasil penelitian menunjukkan
bahwa bentuk atau motif penyelenggaraan kegiatan CSR atau bina lingkungan yang
dilakukan perusahaan sangat beragam, antara lain sebagai berikut. o Kepedulian
terhadap pelanggan o Pengembangan Sumber Daya Manusia melalui pendidikan formal dan
informal o Mengembangkan Green Environment o Peningkatan kesadaran Perilaku Hidup
Bersih dan Sehat o Memberikan dukungan dalam pengembangan komunitas dan lingkungan
sosial ekonomi o Bentuk-bentuk kegiatan strategis lainnya yang sesuai dengan
pengembangan perusahaan. Namun demikian, dengan tidak mengurangi sisi positif dari
kegiatan CSR yang telah berjalan, seringkali pelaksanaan di lapangan masih tumpang
tindih (overlapping), kurang tepat sasaran, dan tidak berkelanjutan. Bahkan banyak
kita lihat belum adanya konvergensi perencanaan dan pelaksanaan antara program
pemerintah dengan agenda kegiatan CSR perusahaan. Oleh karenanya, perlu dirumuskan
suatu kebijakan
efektivitas pemanfaatan CSR yang akan dijadikan acuan penyelenggaraan CSR di Jawa
Timur. Hal ini mempertimbangkan prioritas program pembangunan di Jawa Timur dalam
pengentasan kemiskinan, penciptaan lapangan kerja, pendidikan, kesehatan, dan
pengembangan UMK yang memerlukan adanya kebijakan pendukung dalam upaya efektivitas
pemanfaatan CSR di Jawa Timur. Beberapa perkembangan penting tentang pelaksanaan
CSR di Jawa Timur adalah sebagai berikut. 1. Pembentukan Bidang Pembiayaan
Pembangunan Di Bappeda Provinsi Jawa Timur per Januari 2009 Pembentukan Bidang
Pembiayaan Pembangunan ini dimaksudkan untuk mengidentifikasikan berbagai peluang
pendanaan di luar APBD Provinsi. Bidang pembiayaan pembangunan ini mempunyai
Tupoksi untuk mencari terobosan sumber dana di luar APBD untuk pembiayaan
pembangunan di Jawa Timur. Sumber pembiayaan di maksud dapat berupa kerjasama
dengan luar negeri, berasal dari corporate, NGO, perorangan, dompet amal, dan
sejenisnya. 2. Penyelenggaraan Riset tentang PKBL/CSR melalui Kerjasama Pemprov
Jatim dengan Perguruan Tinggi dan NGO yang dilakukan sejak Tahun 2009 Riset yang
telah dilakukan Bappeda Provinsi Jawa Timur tahun 2009 tersebut di antaranya telah
melibatkan Lembaga Penelitian Universitas Negeri Malang dengan judul-judul sebagai
berikut. o Penelitian Pertama: “Survey Partisipasi Dunia Usaha Dalam Rangka
Menunjang Pembiayaan Pembangunan Daerah”. o Penelitian Kedua: “Penyusunan Strategi
Kebijakan Efektivitas Pemanfaatan Corporate Social Responsibiliti (CSR) Untuk
Kinerja Pembangunan Daerah. 3. Pembentukan Sekretariat Tetap (Sektap) PKBL/CSR Jawa
Timur per April 2009 Sekretariat Tetap yang telah dilaksanakan per April 2009,
terdiri dari unsur-unsur sebagai berikut: (1) Dinas (SKPD) yang terkait, (2)
Perguruan Tinggi, (3) NGO, dan (4) Corporate. Sekretariat Tetap ini sebagai Tim
Teknis yang berfungsi untuk mengelola sistem informasi PKBL/CSR di Provinsi Jawa
Timur. Sektap ini bertugas menggali, menampung, memproses data dalam sistem
informasi yang akan memperlancar proses penyelenggaraan PKBL/CSR di Jawa Timur.
Pemberian informasi ini ditujukan pada semua pihak utamanya pelaku penyelenggara
PBKL/CSR dan masyarakat sasaran pemanfaat PKBL/CSR. 4. Pembentukan Forum PKBL/CSR
per 18 Januari 2010 Forum PKBL/CSR ini dibentuk oleh Bappeda untuk melakukan
koordinasi, sharing informasi dan sinkronisasi dalam upaya pengintegrasian program
agar lebih konvergen antara program pemerintah dengan corporate penyelenggara
PKBL/CSR. Forum yang telah terbentuk ini telah menjembatani terselenggaranya
penandatanganan atau MoU antara Gubernur dengan corporate tentang penyelenggaraan
PKBL/CSR di Jawa Timur. Penandatanganan ini kesepakatan ini telah dilaksanakan di
Ngawi yang disaksikan oleh Presiden RI Bapak D. Soesilo
Bambang Yudoyono. Adapun penyelenggara PKBL/CSR yang terlibat dalam penandatangan
MoU dengan Gubernur Jatim ini sebanyak 14 Corporate.

HASIL RISET (KERJASAMA BAPPEDA PROVINSI JATIM DENGAN LEMBAGA PENELITIAN UNIVERSITAS
NEGERI MALANG) PENELITIAN PERTAMA: “Survey Partisipasi Dunia Usaha Dalam Rangka
Menunjang Pembiayaan Pembangunan Daerah”, menemukan bukti-bukti yang dapat
disimpulkan sebagai berikut.
a. Bidang dan Jenis Usaha Korporasi dan UMK Bidang usaha korporasi dan UMK yang
melakukan kerjasama kemitraan umumnya sesuai dengan arah kebijakan pengembangan
program jangka panjang Jawa Timur sebagai pusat agribisnisnis terkemuka, berdaya
saing dan berkelanjutan. Bentuk badan usaha korporasi umumnya berpentuk PT dan
Perorangan/UD, sedangkan UMK sebagian besar berbentuk Perorangan, sebagian lain
tidak berbadan hukum. b. Mekanisme Pelaksanaan Kerjasama Kemitraan dengan UMK
Mekanisme kerjasama kemitraan berawal dari identifikasi mitra, seleksi UMK mitra,
pembuatan MoU, pembinaan UMK, technical assistance, pendampingan dan Monev. Namun
pihak UMK umumnya memandang MoU sebagai hal yang tidak terlalu penting. Pembinaan
UMK, technical assistance, pendampingan dan Monev dilakukan oleh pihak korporasi
sebagai upaya untuk menjamin bahwa proses produksi yang dilakukan oleh UMK akan
menghasilkan produk yang sesuai dengan spesifikasi yang diharapkan oleh korporasi.
Hal ini memberikan manfaat: Pertama, merupakan pembinaan terhadap peningkatan
kemampuan UMK dalam kegiatan usahanya; Kedua, memberikan jaminan bagi pihak
korporasi terhadap keberlangsungan usahanya (safety play). c. Bidang dan Pola-pola
Kerjasama Kemitraan dengan UMK Sebagian besar korporasi dan UMK melakukan kerjasama
kemitraan dengan UMK dalam bidang produksi, dengan pola kemitraan intiplasma yang
dilakukan melalui kemitraan antara dan kemitraan awal. Kondisi ini menggambarkan
bahwa UMK belum didukung sumberdaya yang memadai. d. Kapasitas Kegiatan: Cakupan
dan Besaran Nilai Kontrak Kerjasama Kemitraan dengan UMK Jumlah korporasi sampel
yang telah melakukan kerjasama kemitraan dengan UMK di Jawa Timur sebanyak 148
korporasi. Secara kumulatif jumlah mitranya sebesar 67.050 UMK, yang meliputiyang
meliputi bidang pertanian, perkebunan, perikanan, peternakan, kehutanan, food and
baverage, perdagangan, manufaktur, pertambangan, industri kimia, tekstil, produk
tekstil dan kerajinan. Nilai kerjasama kemitraan (kontrak dan non kontrak) sebesar
Rp 3.430.187.479.650,. UMK yang melakukan kontrak, mengalami peningkatan nilai
kontrak dari tahun ke tahun. e. Kapabilitas: Aspek Output Produksi, Pemasaran,
Keuangan/laba, dan Manajemen SDM Dari aspek output produksi, sebagian besar
korporasi yang melakukan kerjasama kemitraan bermanfaat terhadap peningkatan output
dan efisiensi biaya produksi; Dari aspek pemasara, relatif dapat meningkatkan
luasan segmen pasar dan pangsa pasar; Dari aspek keuangan dapat meningkatkan
efisiensi biaya produksi, daya saing dan peningkatan laba korporasi; Dari aspek SDM
dapat meningkatkan efisiensi manajemen SDM, dan mengurangi konflik SDM Bagi UMK,
dari aspek output kerjasama kemitraan dengan korporasi dapat meningkatkan output
produksi; Dari aspek pemasaran dapat meningkatkan omset dan asset; Dari aspek
keuangan
dapat meningkatkan efisiensi biaya produksi dan laba; Dari aspek SDM dapat
meningkatkan kualitas SDM dan ketrampilan manajerial. f. Strategi Pelaksanaan
Kerjasama Kemitraan dengan UMK

Strategi korporasi dalam melaksanakan kerjasama dengan UMK umumnya dilakukan secara
tersentralisasi, sebagian kecil secara desentralisasi, dan sebagian lagi kombinasi
keduanya. Hal ini menunjukkan korporasi lebih menekankan pada kemudahan
pengendalian dan efisiensi manajemen. Strategi UMK dalam menjalin kemitraan
dilakukan melalui pengajuan proposal dan atau menjaga mutu dan kuantitas produk.
Hanya sebagian kecil yang melakukannya melalui pameran produk. Hal ini menunjukkan
bahwa UMK dituntut untuk proaktif mencari peluang dan mampu menjaga pencitraan
melalui kualitas dan kuantitas produk yang dihasilkannya. g. Keberlanjutan
Kerjasama Kemitraan Keberlanjutan kerjasama korporasi dengan UMK sebagian besar
didasarkan pertimbangan frekuensi kerjasama, dan sebagian kecil lainnya karena
pengaruh jangka waktu kontrak yang disepakati. Sebagian besar kerjasama bersifat
kooperatif (tidak saling menggantungkan), sebagian kecil lainnya lebih bersifat
obligat (adanya saling ketergantungan). Kondisi ini menggambarkan bahwa kerjasama
kemitraan yang terjalin selama ini sebagian besar belum memberikan jaminan
keberlanjutan di masa mendatang. h. Permasalahan yang Dihadapi Korporasi atas
Kemitraan dengan UMK Sebagian besar korporasi maupun UMK menyatakan hambatan yang
dihadapi dalam kemitraan relatif sangat kecil dan bisa diatasi. Hal ini menunjukkan
bahwa masing-masing pihak mampu melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya sesuai
dengan kesepakatan yang telah dibuat bersama. i. Kebutuhan dan Harapan
Keberlanjutan Kerjasama Kemitraan

Hampir keseluruhan korporasi dan UMK sepakat untuk melanjutkan kerjasama kemitraan
dengan syarat kondisi daya serap pasar, kontinyuitas pasokan produk, serta kualitas
produk yang dihasilkan UMK. Adapun syarat yang diajukan UMK adalah kelancaran
pembayaran, dan transfer tehnologi secara berkelanjutan dari korporasi. Rekomendasi
Hasil penelitian Berdasarkan temuan potensi, permasalahan dan harapan pelaku
kerjasama Pemprov Jawa Timur perlu menciptakan iklim kondusif melalui kebijakan-
kebijakan yang berpihak pada penumbuhkembangan kerjasama kemitraan dengan langkah-
langkah sebagai berikut. 1. Membentuk Forum Kemitraan Usaha (FKU) Jatim yang
berperan sebagai mediator, fasilitator, motivator, akselerator, dan sumber
informasi bagi pelaku kerjasama kemitraan. FKU ini merupakan forum independen yang
difasilitasi oleh Pemprov yang terdiri dari unsur-unsur birokrat, pelaku usaha
(praktisi), akademisi, dan NGO. Forum ini juga perlu dibentuk di tingkat daerah
oleh Pemerintah Kota/Kabupaten yang fungsinya sebagai ’kepanjangan tangan’ FKU
Propinsi Jatim. 2. FKU Jatim bekerjasama dengan FKU Kota/Kabupaten melakukan
mapping potensi dan permasalahan usaha mikro-kecil dan usaha menengah-besar yang
melaksanakan kerjasama kemitraan secara menyeluruh di Jawa Timur. Mensosialisasikan
hasil mapping kepada korporasi menengah-besar (termasuk BUMN) dalam upaya
penggalian sumber dana lunak dari berbagai sumber 3. FKU melibatkan multi stake
holders di tingkat provinsi dan kabupaten/kota, yang terdiri atas unsur birokrat,
pelaku usaha (praktisi), akademisi, dan NGO, menyusun platform sistem agribisnis.
Sistem yang dibangun ini akan menjadi acuan stake holders untuk mengambil peran
pada subsistem sesuai dengan Tupoksinya. 4. Pemprov Jatim menciptakan suasana
kondusif yang memungkinkan usaha mikro-kecil (UMK) dapat mengoptimalkan potensinya,
sehingga kerjasama kemitraan yang terjalin dengan usaha
menengah-besar (korporasi) terlaksana secara berkesinam-bungan dengan mengedepankan
nuansa kesetaraan dan saling membesarkan. Untuk itu diharapkan agar penciptaan
suasana kondusif tersebut lebih difokuskan pada 4 hal pokok, yaitu: a) Aspek
permodalan, yang bisa dilakukan dalam bentuk pembenahan sistem jaminan kredit
diluar ketentuan bank teknis, meningkatkan penyelenggaraan kredit dana bergulir
dengan syarat lunak (6%) dan peningkatan baik jumlah maupun layanannya. Hal ini
dapat dilaksanakan melalui koordinasi yang padu dengan BUMN yang mempunyai dana
bergulir (PKBL); b) Aspek pemasaran, yang bisa dilakukan dalam bentuk penggalakan
pameran produk UMK, baik dalam maupun luar negeri. Pameran luar negeri
diperuntukkan bagi UMK yang mempunyai prospek yang baik di bidang ekspor. Selain
itu Pemprov diharapkan memfasilitasi pembentukan dan pengembangan jaringan usaha
pada skala komoditas yang sama atau terkait; c) Aspek SDM, yang dapat dilakukan
dengan meningkatkan upaya pendampingan berupa pemberian bimbingan teknis (Bintek)
kewirausahaan. d) Aspek Informasi dan komunikasi, yang dapat dilakukan dengan
membangun sistem informasi agribisnis yang berbasis ICT. 5. Pemberian penghargaan
terhadap pelaku kerjasama kemitraan yang mempunyai kinerja baik, spesifik, dan
mempunyai nilai kemanfaatan yang tinggi bagi pelaku kerjasama kemitraan.
Penghargaan ini menjadi bagian penting dalam upaya menumbuh-kembangkan kemitraan di
kalangan usaha menengah-besar dengan mikro-kecil di Jawa Timur.

PENELITIAN KEDUA: “Penyusunan Strategi Kebijakan Efektivitas Pemanfaatan Corporate


Social Responsibiliti (CSR) Untuk Kinerja Pembangunan Daerah”. Temuan penelitian
kedua ini adalah sebagai berikut.
1. Bidang, Jenis, dan Lingkup Korporasi Penyelenggara CSR di Jawa Timur a. Bidang
Usaha Jenis bidang usaha korporasi penyelenggara CSR cukup bervariasi yaitu terdiri
atas 13 bidang usaha. Urutan berdasarkan besarnya persentase, ke-13 bidang usaha
tersebut antara lain manufaktur (22.22%), perkebunan (16.67%), tekstil dan produk
tekstil (13.89%), perikanan (9.72%), food and beverage (8,33%), pertambangan
(8.33%), perdagangan (6.94%), industri kimia (4,17%), peternakan, pertanian, dan
kunstruksi/real estate masing-masing 2.78%, dan otomotif (1.39%). Dilihat dari
besarnya nilai CSR yang telah dilaksanakan oleh korporasi terhadap kelompok
sasaran, bidang usaha agribisnis sebesar Rp. 369,171,264,500,-Jika dikaitkan dengan
bidang perdagangan nilainya sebesar Rp. 372,638,961,373,- atau sebesar 89.09%.
Berdasarkan temuan ini dapat dikemukakan bahwa strategi menempatkan agribisnis
sebagai fokus pengembangan ekonomi di Jawa Timur merupakan satu pilihan yang sangat
tepat dan perlu didukung oleh semua pihak. b. Jenis Badan Usaha Berdasarkan hasil
analisis data diketahui bahwa sebagian besar bentuk badan usaha dari pelaku
kerjasama kemitraan adalah PT (korporasi 47.1%), dan dalam bentuk CV 24.3%.
Selebihnya perseorangan (21.4%) dan koperasi (7.1%). Badan usaha PT yang
menyelenggarakan CSR merupakan badan usaha dari korporasi sampel penyelenggara CSR
yang terbanyak jumlahnya. PT biasanya dipilih karena pertimbangan kemudahan
memperoleh dana, dan resiko usaha yang sebatas modal
yang disertakan. Bentuk badan usaha Firma tidak ditemui pada jenis badan usaha yang
menyelenggarakan CSR. Berdasarkan ketentuan UU No 40 Tahun 2007 Pasal 74 ayat (1) :
Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan
sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan. Realisasi
Undang-Undang ini belum sepenuhnya dilaksanakan secara proposional oleh korporasi
yang usahanya mengeksploitasi sumber daya alam. Untuk itu, perlu penjabaran lebih
lanjut tentang kebijakan dan peraturan yang lebih operasional berkaitan dengan
masalah penyelenggaraan CSR. c. Lingkup Operasional Berdasarkan lingkup operasional
korporasi penyelenggara CSR sampel, diperoleh data bahwa sebagian besar (46,67%)
korporasi yang bergerak pada lingkup domestik. Sebanyak 25,33% merupakan korporasi
multinasional, dan 22,67% adalah korporasi internasional. Sedang sisanya sebanyak
5.33% merupakan korporasi global/transnasional. Berdasarkan data tersebut,
korporasi penyelenggara CSR sebagian besar (53,37%) pada dasarnya adalah korporasi
yang bergerak di bidang ekspor. Melalui CSR dapat dilakukan penciptaan kondisi yang
kondusif guna menjaga core competences-nya. Jika sustainable of supply dapat
dilakukan dengan baik, maka perusahaan yang bergerak dalam kegiatan ekspor akan
survive dalam pasar, dan hal ini akan menjadi kunci penting dalam memenangkan
persaingan. 2. Strategi dan Latar Belakang Penyelenggaraan CSR a. Strategi
Penyelenggaraan CSR Strategi penyelenggaraan CSR umumnya (85.90%) adalah
dilaksanakan sendiri oleh korporasi. Sedangkan sebanyak 11.54% diserahkan pada agen
swasta, dan sisanya 2.56% diserahkan pada agen pemerintah. Korporasi umumnya
menyelenggarakan sendiri kegiatan CSR dengan pertimbangan kepentingan dan
pengkondisian lingkungan sasaran yang lebih baik, terencana, terkoordinasi, dan
memudahkan pelaksanaan Monev dan tindak lanjut program CSR. Dengan melaksanakan
sendiri, diharapkan terjalinnya hubungan yang semakin baik antara korporasi dengan
masyarakat lingkungan yang menjadi sasasaran CSR. b. Latar Belakang Penyelenggaraan
CSR Penyelenggaraan CSR dilatarbelakangi oleh beberapa hal, di antaranya: 1)
Tanggung jawab sosial perusahaan, mayoritas (98.6%) korporasi yang menyelenggarakan
CSR menyatakan dilatarbelakangi oleh rasa tanggung jawab sosial terhadap
lingkungannya; 2) Peraturan perundang-undangan, diperoleh bukti bahwa 38.6%
korporasi yang menyelengarakan CSR dilatarbelakangi atau dimotivasi oleh adanya
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sedangkan 18.5%
penyelenggaraan CSR dilatarbelakangi di luar ketentuan Undang-Undang. Sisanya
sebesar 48.6% menyatakan tidak menentukan sikap. 3) Tanggung jawab moral korporasi,
secara umum ( 87.1%) korporasi yang menyelenggarakan CSR dimotivasi oleh rasa
tanggung jawab moral, sebagai wujud implementasi bisnis yang beretika. Penerapan
CSR mencakup tata kelola perusahaan beretika, seyogyanya bisa dimulai sejak bisnis
pada skala UMK, sehingga saat berkembang besar tinggal meneruskan atmosfir praktek
bisnis berorientasi CSR. 4) Kegiatan promosi & image building, secara umum (82.9%)
korporasi menyatakan bahwa penyelenggaraan CSR oleh korporasi sekaligus dimaksudkan
sebagai kegiatan promosi atau membangun pencitraan publik. 5) Pengamanan asset,
sebagian besar (57.2%) menyatakan bahwa penyelenggaraan CSR dimaksudkan untuk
mengamankan asset atau kekayaan korporasi dari gangguan atau berbagai hal yang
muncul dari lingkungan tempat korporasi berada. 3. Mekanisme Penyelenggaraan CSR
Mekanisme penyelenggaraan CSR sebagian besar dilakukan melalui tahapan identifikasi
seleksi sasaran CSR (dilakukan oleh 84.29% korporasi sampling). Perencanaan
kegiatan CSR juga dilakukan oleh sebagian (41.43%) korporasi sampling. Selain itu,
korporasi yang mengimplementasikan kegiatan CSR sebanyak 62.86% korporasi sampling.
Kegiatan technical
assistance dilakukan oleh sebanyak 24.29% korporasi sampling. Kegiatan monitoring
dan evaluasi dalam pelaksanaan CSR masing-masing dilaksanakan oleh 42.86% dan
32.86% korporasi sampling. Sebesar 21.43% korporasi mempunyai rencana tindak lanjut
dari mekanisme penyelenggaraan CSR. 4. Bidang dan Pola Penyelenggaraan CSR a.
Bidang Pembinaan yang Dilaksanaan Korporasi Bidang pembinaan yang dilaksanaan
korporasi mencakup dua hal pokok yaitu pembinaan UEP dan pembinaan sosial
kemasyarakatan. Bidang pembinaan UEP sebagian besar dalam bidang keuangan yaitu
sebesar 32.56%. Urutan kedua adalah bidang produksi sebesar 26.74% kemudian bidang
tenaga kerja sebesar 10.47%, bidang pemasaran sebesar 16.28% dan disusul bidang
manajemen sebesar 6.98%. Pembinaan bidang sosial kemasyarakatan meliputi bidang
pendidikan, kesehatan, keagamaan, seni budaya, kepemudaan dan oleh raga. Bidang
pembinaan sosial kemasyarakatan yang mempunyai porsi paling banyak (37,40%) yaitu
bidang keagamaan, dan sebesar 22,70% dalam bidang pendidikan. Bidang kepemudaan dan
olah raga sebesar 16.76%, bidang kesehatan sebesar 14.59% dan bidang seni budaya
sebesar 8.65%. Sisanya sebanyak 16.76% korporasi sampling melakukan pembinaan
sosial kemasyarakatan dalam bidang lainnya. Keberadaan bidang keagamaan ini semakin
menguatkan bahwa nuansa charity selama ini lebih dominan dibandingkan pemberdayaan.
Hal ini akan membawa akibat bahwa CSR tidak akan berdampak signifikan terhadap
kegiatan UEP. b. Pola Penyelenggaraan CSR Pola penyelenggaraan CSR umumnya (70%)
berbentuk charity, selebihnya pola penyelenggaraan CSR yang bernuansa pemberdayaan
sebesar 30%. Pola penyelenggaraan berbentuk charity ini akan berdampak pada
perilaku dan pemanfaatan dana CSR oleh kelompok sasaran penerima CSR. 5. Kapasitas
Penyelenggaraan CSR Jumlah korporasi sampel yang menyelenggarakan CSR di Jawa Timur
sebanyak 70 korporasi. Nilai CSR yang telah dilaksanakan oleh korporasi terhadap
kelompok sasaran sebesar 418,291,214,191. Nilai penyelenggaraan CSR yang terbesar
diselenggarakan oleh korporasi yang bergerak di bidang usaha perkebunan sebesar Rp
368.077.664.500,- (88%). Terbesar kedua adalah bidang usaha manufaktur sebesar Rp
36.048.978.000,- (8.62%), dan industri kimia sebesar Rp 8.544.086.500,00 (2,04%),
dan Sisanya bidang kerajinan (lainnya) sebanyak 11.608.925.318,00 (2,78%).
Perkebunan mempunyai kontribusi yang sangat besar terhadap kegiatan CSR. Korporasi
di bidang perkebunan ini umumnya membutuhkan lingkungan yang aman, melibatkan
tenaga kerja yang cukup besar, sehingga mempunyai kontribusi yang terbesar dalam
hal nilai CSR yang dikucurkannya. 6. Kapabilitas Pelaksana CSR Kapabilitas
Pelaksana CSR meliputi empat aspek, yaitu. a. Sebagian besar (70%) korporasi
penyelenggara CSR mampu mencapai tujuan program CSR secara akurat sesuai dengan
keinginan korporasi. Hal ini menunjukkan bahwa adanya kesungguhan dari korporasi
untuk melaksanakan CSR. b. Pelaksanaan program CSR yang telah dilaksanakan
korporasi sebagian besar (71.4%) dapat dipertanggung-jawabkan atau akuntabel. c.
Pelaksanaan program CSR umumnya (77.1%) terselenggara secara transparan, hanya
sebagian kecil (5.7%) pelaksanaan program CSR oleh korporasi dinilai kurang
transparan. d. Partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan CSR umumnya (82.9%)
tergolong tinggi. Apresiasi masyarakat biasanya diwujudkan dalam bentuk dukungan
terhadap program CSR yang dirasakan
mempunyai benefiditas yang tinggi. Jika masyarakat sasaran CSR telah merasakan
manfaat tersebut, biasanya diikuti oleh peningkatan partisipasi masyarakat. 7.
Keberlanjutan Program CSR a. Tingkat Kesesuaian Program CSR Tingkat kesesuaian
program CSR meliputi: 1) Kesesuaian program CSR dengan program pemerintah, secara
umum (70%) tergolong memiliki tingkat kesesuaian yang sangat tinggi. Dalam
praktiknya CSR lebih diorientasikan pada aspek sosial. Di masa mendatang program
pemerintah tentang CSR sebaiknya lebih diorientasikan pada recovery sumber daya
alam yang telah dieksplorasi oleh korporasi. 2) Secara umum (92.8%) korporasi
menyatakan bahwa terdapat kesesuaian yang sangat tinggi antara program CSR dengan
nilai/norma di masyarakat. Kesesuaian program CSR dengan nilai/norma masyarakat
sangatlah tinggi dan dipersepsi sama oleh sebagian besar korporasi. 3) Sebagian
besar (92.9%) korporasi menyatakan bahwa penyelenggaraan program CSR dilaksanakan
sesuai dengan kebutuhan masyarakat. CSR sangat dibutuhkan oleh masyarakat dan juga
dibutuhkan oleh korporasi. Kedua belah pihak saling membutuhkan untuk kepentingan
yang berbeda. b. Tingkat Kemanfaatan Program CSR Tingkat kemanfaatan program CSR
bisa dilihat dari tiga sisi berikut. 1) Bagi korporasi, umumnya (85.7%) menyatakan
bahwa penyelenggaraan program CSR memiliki tingkat manfaat yang sangat tinggi bagi
korporasi, hanya 1.4% korporasi yang menyatakan program CSR tidak bermanfaat bagi
korporasi. Hal ini mengisaratkan bahwa korporasi akan selalu berupaya meningkatkan
penyelenggaraan CSR di masa mendatang. 2) Bagi pemerintah, umumnya (81.4%)
korporasi menyatakan bahwa penyelenggaraan program CSR sangat bermanfaat bagi
pemerintah dan hanya sebagian kecil (4.3%) korporasi yang menyatakan
penyelenggaraan program CSR tidak bermanfaat bagi pemerintah. 3) Bagi masyarakat,
umumnya (98.6%) korporasi menyatakan bahwa penyelenggaraan program CSR sangat
bermanfaat bagi masyarakat. Meskipun dalam praktiknya masih ditemui beberapa
permasalahan dan kendala. c. Tingkat Kerumitan Program CSR Berdasarkan data di Bab
IV, mayoritas korporasi (47.1%) menyatakan bahwa tingkat kerumitan program CSR
rendah dengan kata lain bahwa penyelenggaraan program CSR mudah, namun sebesar 20%
korporasi menyatakan tingkat kerumitan program CSR tinggi. Korporasi yang
mempersepsi kemuritan CSR tinggi, bisa jadi karena belum matangnya perencanaan yang
dibuat oleh korporasi yang bersangkutan. Masalah yang sering muncul yang dihadapi
korporasi antara lain. 1) Terdapat kesenjangan antara kemampuan pengelolaan
administrasi masyarakat dengan tuntutan korporasi penyelenggara CSR. Masih
rendahnya kemampuan masyarakat dalam mengelola bantuan CSR khususnya manajemen
adminstratif yang menjadi persyaratan perusahaan sebagai salah satu wujud
pertanggungjawaban masyarakat penerima bantuan CSR 2) Belum adanya data-based
sebagai buah dari tehnologi informatika tepat guna yang mendukung kegiatan sasaran
CSR, sehingga sering terjadi overlap dalam pelaksanaan penyelenggaraan CSR. d.
Tingkat Keberhasilan Program CSR Jika dilihat dari tingkat keberhasilan pelaksanaan
program CSR, mayoritas korporasi (78.6%) menyatakan tingkat keberhasilan program
CSR sangat tinggi, bahkan hanya 1.4% saja korporasi yang menyatakan tingkat
keberhasilan program CSR adalah tergolong rendah. Hal ini menunjukkan bahwa program
CSR juga dibutuhkan oleh korporasi maupun masyarakat. Akan tetapi dalam
pelaksanaan masih dijumpai beberapa permasalahan yang menghambat pelaksanaan
program CSR, di antaranya. o o o o Mental masyarakat yang suka menganggap CSR
sebagai charity yang dikeluarkan oleh korporasi. Kurangnya pemahaman aparat,
masyarakat, dan korporasi tentang peraturan perundangundangan sekitar CSR dan
filosofi konsep CSR. Pimpinan korporasi yang menganggap CSR adalah kewenangan
sepenuhnya korporasi, dan tidak menghendaki campur tangan pemerintah dalam mengatur
penyelenggaraan CSR. Kemauan masyarakat sasaran penerima CSR dalam mengembangkan
potensi diri sendiri dipersepsi rendah oleh korporasi.

Rekomendasi Hasil Penelitian


1. Dasar Pertimbangan a. Potensi CSR sebagai sumber pembiayaan pembangunan 1)
Kebijakan CSR masih relatif baru, disosialisasikan th. 2007. Berdasarkan ketentuan
UU No 40 Tahun 2007 Pasal 74 ayat (1) : Perseroan yang menjalankan kegiatan
usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan
Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan. Realisasi Undang-Undang ini belum sepenuhnya
dilaksanakan secara proposional oleh korporasi yang dalam kegiatan usahanya
berkaitan dengan sumber daya alam. Berdasarkan survey, terdapat 8 korporasi
(11,43%) yang bergerak di bidang eksplorasi sumberdaya alam dengan nilai CSR Rp
4.909.571.873,00 (atau 1,17% dari total CSR Rp 418.291.214.191,00). Berdasar data
ini diketahui bahwa pada umumnya yang melakukan kegiatan CSR justru dari korporasi
yang mempunyai bidang usaha di luar eksplorasi sumberdaya alam. 2) Beberapa
perusahaan masih belum mampu melaksanakan CSR tahun 2008, karena masih melakukan
pembenahan manajemen sebagai akibat dari adanya krisis ekonomi. Dari hasil survey
banyak perusahaan yang merencanakan melaksanakan CSR tahun 2009. 3) Pelaksana CSR
dari hasil survey tidak hanya oleh perusahaan dalam bentuk PT, tetapi juga CV,
koperasi dan perorangan. Hal ini menunjukkan bahwa tanggungjawab sosial perusahaan
bukan semata-mata karena kewajiban sebagai akibat perundangan UU PT, namun juga
merupakan bagian dari strategi bisnis (pengamanan core competences, promosi dan
building image) 4) Pelaksanaan CSR ada yang dilakukan sendiri oleh perusahaan,
diserahkan kepihak ke dua (agen pelaksana), yang menarik ada yang diserahkan ke
pihak pemerintah untuk melaksanakannya. 5) Kegiatan CSR banyak dilakukan di bidang
pendidikan, keagamaan, kesehatan, kepemudaan, seni budaya, dan kegiatan fisik,
serta peringatan hari-hari besar. 6) Sebagian besar pelaksanaan CSR dalam bentuk
Charity, dan sebagian kecil dalam bentuk pemberdayaan. 7) Operasional CSR dilakukan
dengan transparan, akuntabel, serta melibatkan partisipasi masyarakat untuk akurasi
pencapaian tujuan CSR. 8) Kegiatan CSR yang dilakukan korporasi telah sesuai dengan
program pemerintah, sejalan dengan norma/nilai-nilai yang berkembang di masyarakat
serta sesuai dengan kebutuhan masyarakat. 9) Korporasi dan masyarakat sasaran
merasakan bahwa program CSR sangat bermanfaat. 10) Untuk pelaksanaan kegiatan CSR
tahun 2008 secara umum hasilnya sesuai dengan harapan korporasi pelaksana CSR,
meskipun masih perlu dioptimalkan. 11) Hasil survey di delapan kabupaten/kota
terhadap 70 korporasi menunjukkan bahwa total dana CSR tahun pada tahun 2008
mencapai Rp 418.291.214.191,-. dengan jumlah sasaran mencapai 22.617 yang terdiri
dari perorangan, kelompok masyarakat, organisasi, Desa/Kelurahan dan atau
Kecamatan. 12) Dilihat dari besarnya nilai CSR yang telah dilaksanakan, bidang
usaha agribisnis sebesar Rp. 369,171,264,500,-Jika dikaitkan dengan bidang
perdagangan nilainya sebesar Rp. 372,638,961,373,- atau sebesar 89.09%.
b. Permasalahan dan Kendala Pelaksanaan CSR 1) Perijinan pelaksanaan kegiatan CSR
di instansi terkait relatif lambat. Hal ini seringkali menjadi penghambat
pelaksanaan kegiatan CSR di lapangan; 2) Sebagian masyarakat beranggapan bahwa CSR
identik dengan "upeti" atau bantuan ”uang tunai” perusahaan kepada masyarakat,
sehingga peruntukannya tidak perlu dikembangkan dan dipertanggungjawabkan karena
sifatnya hadiah. 3) Persepsi korporasi bahwa tugas memberdayakan masyarakat adalah
kewajiban pemerintah dan posisi perusahaan sebagai pendukung. Oleh karena itu
korporasi menyikapi bahwa kegiatankegiatan yang melibatkan instansi pemerintah
tidak boleh dialokasikan biaya. 4) Kemauan masyarakat sasaran penerima CSR dalam
mengembangkan potensi diri sendiri dipersepsi rendah oleh korporasi. Kondisi ini
mencerminkan rendahnya motivasi masyarakat sasaran CSR untuk berkembang. 5)
Dirasakannya terdapat kesenjangan antara kemampuan pengelolaan administrasi
masyarakat dengan tuntutan korporasi penyelenggara CSR. Masih rendahnya kemampuan
masyarakat dalam mengelola bantuan CSR khususnya manajemen adminstratif yang
menjadi persyaratan perusahaan sebagai salah satu wujud pertanggungjawaban
masyarakat penerima bantuan CSR. 6) Belum terjalinnya komunikasi yang harmonis
antara stakeholders dengan masyarakat sasaran CSR, sehingga seringkali terjadi
konflik yang kontra produktif, dan tidak seharusnya terjadi. 7) Belum adanya data-
based kegiatan sasaran CSR, sehingga sering terjadi overlap dalam pelaksanaan
penyelenggaraan CSR. Kondisi ini merupakan pemborosan pembiayaan pembangunan. 8)
Belum banyaknya korporasi yang sadar akan pentingnya melakukan CSR, dan di sisi
lain masyarakat belum memahami benar fungsi CSR. Hal ini menimbulkan beberapa
permasalahan yang justru merugikan kedua belah pihak. 9) Adanya pihak yang tidak
bertanggungjawab untuk mencari uang dan keuntungan sendiri dengan berdalih
kepentingan sosial madyarakat, dengan membuat proposal fiktif, meminta dengan
sedikit memaksa. 10) Masyarakat membutuhkan bantuan dari pihak perusahaan untuk
kegiatan sosial, baik pendidikan maupun kegiatan sosial keagamaan lainnya. Sebagian
besar masyarakat berpendapat bahwa CSR merupakan sumbangan biasa yang memang
selayaknya dilakukan perusahaan sebagai wujud kepedulian terhadap masyarakat
sekitar. Mereka umumnya memahami bahwa CSR hanya diperuntukkan kegiatan sosial di
lingkungan perusahaan. Persepsi yang sama seringkali juga dilakukan oleh korporasi
dengan dalih pengamanan core competences dari perusahaan yang bersangkutan. Hal ini
menunjukkan bahwa hakikat penyelenggaraan CSR belum sepenuhnya dipahami secara
substansial oleh kedua belah pihak. 11) Program CSR dibaurkan dengan kegiatan
kemitraan, sehingga tidak jelas besaran dan wujudnya. Hal ini dilakukan oleh
perusahaan dengan dalih keterpaduan dan pengoptimalan kemanfaatan CSR bagi
pengembangan usaha mikro-kecil yang ada di bawah binaan korporasi. CSR dikaburkan
oleh korporasi agar dipersepsi ”kemudahan” atau ”pelatihan gratis” oleh masyarakat
sasaran yang juga binaan korporasi. Pada praktik semacam ini menjadikan masyarakat
sasaran yang menjadi obyek CSR mempersepsi korporasi sebagai perusahaan yang
mempunyai brand image yang baik. 12) Birokrasi pemerintah dikesani mempersulit dan
menambah cost tanpa menambah manfaat dari penyelenggaraan CSR, sehingga kegiatan
CSR dilaksanakan sendiri oleh perusahaan tanpa perlu memberitahu dan berkoordinasi
dengan instansi pemerintah yang terkait. 13) Pelaksanaan CSR sering tidak
terprogram dan tidak berkesinambungan, sehingga selain overlap juga daya manfaat
yang diterima masyarakat kurang optimal. Beberapa korporasi lebih memperlakukan CSR
dalam bentuk charity. 14) CSR disamakan dengan istilah Community Development yang
memiliki kemiripan makna dengan CSR, dimana perusahaan mengeluarkan pembiayaan
untuk community development dalam bentuk fisik maupun nonfisik. 15) Dinas yang
terkait dengan CSR (misal, Pertanian) tidak memiliki data konkret tentang kemitraan
dan CSR yang telah dilaksanakan oleh korporasi, dan tidak mempunyai kemauan untuk
melaksanakan pendataan. Hal ini menyulitkan Dinas terkait dalam melakukan
koordinasi
16) 17) 18) 19)

tentang pelaksanaan CSR. Ini terjadi karena belum dipahaminya peraturan perundangan
yang berlaku bagi koporasi sehingga wajib menyelenggarakan CSR. Mental masyarakat
yang suka menganggap CSR sebagai charity yang dikeluarkan oleh korporasi.
Masyarakat kurang akuntabel dalam menyikapi CSR. Kurangnya pemahaman aparat,
masyarakat, dan korporasi tentang peraturan perundangundangan sekitar CSR dan
filosofi konsep CSR. Pimpinan korporasi yang menganggap CSR adalah kewenangan
sepenuhnya korporasi, dan tidak menghendaki campur tangan pemerintah dalam mengatur
penyelenggaraan CSR. Kondisi perekonomian yang labil dan kecenderungan menurunnya
kinerja korporasi yang menyebabkan turunnya kontribusi korporasi dalam kegiatan
CSR.

c. Kebutuhan dan Harapan Masyarakat terhadap CSR Harapan yang diinginkan berbagai
pihak, khususnya masyarakat terhadap program CSR ini adalah seabagai berikut. 1)
Membantu memperlancar kegiatan usaha masyarakat melalui pemberian bimbingan dan
pelatihan keahlian tertentu untuk membuka atau mengembangkan usaha baru yang
mengarah kepada kemandirian ekonomi masyarakat. 2) Membantu meringankan beban
masyarakat baik bidang pendidikan, ekonomi dan kesehatan, meskipun Pemerintah telah
memulai dengan program pendidikan dan layanan kesehatan gratis, tetapi faktanya
masih banyak berbagai hal yang menjadi pengeluaran masyarakat. 3) Masyakat dan
perusahaan terjalin komunikasi dan sinergi positif yang saling menguntungkan kedua
belah pihak. Adanya pengakuan bahwa masyarakat di lingkungan korporasi sebagai
mitra perusahaan. Hubungan timbal balik ini memerlukan fasilitasi pemerintah guna
terbangunnya situasi yang kondusif dan masing-masing mampu berkembang sesuai dengan
perannya. 4) Masyarakat menginginkan agar korporasi dapat menciptakan lingkungan
sehat, dan bebas pencemaran polusi. Untuk menjaga kondisi ini, pemerintah hendaknya
berbuat lebih proaktif, memberikan jalan keluar masalah yang terbaik dan
menguntungkan semuanya. Penerapan aturan hendaknya dibarengi dengan pembudayaan
aturan itu melalui berbagai kegiatan sosialisasi baik bagi masyarakat maupun dunia
usaha. 5) Perusahaan membutuhkan ketenangan, lingkungan yang nyaman dan korporasi
bersedia mengutamakan penerimaan tenaga kerja dari lingkungan perusahaan. Guna
memenuhi kebutuhan dan harapan tersebut, pemerintah diharapkan bisa memberikan
fasilitas pelatihan sesuai dengan kebutuhan tenaga oleh perusahaan. 6) Perlu adanya
recovary sumberdaya yang menopang keberlanjutan kegiatan korporasi (misal,
terganggunya siklus hidrologi), atau adanya masukan energi sebagai akibat dari
proses produksi yang mengakibatkan penurunan fungsi lingkungan (misal, rusaknya
kawasan sungai dan pantai karena limbah industri, pencemaran tanah karena
penggunaan pupuk yang berlebihan). 2. Rekomendasi Pengembangan CSR ke depan a.
Pemerintah perlu memberikan penjabaran terhadap dasar hukum CSR ke dalam aturan-
aturan yang lebih operasional, untuk penyamaan persepsi tentang urgensi dan
permasalahan dalam opersionalisasi kegiatan CSR. b. Aturan yang disusun hendaknya
mengacu pada filosofi CSR, yaitu tanggung jawab terhadap pelestarian sumberdaya
alam sebagai penompang keberlanjutan kehidupan, namun demikian aturan tersebut
tetap memberikan peluang pada korporasi untuk menuangkan aspirasinya terkait dengan
kepentingan perlindungan terhadap core competences, promosi, serta pencitraan
publik. c. Pentingnya pemerintah memfasilitasi pelaksanaan CSR oleh korporasi,
dengan tanpa membatasi kepentingan perusahaan terkait dengan CSR (misal, aspek
promosi, perlindungan aset, dll). Bentuk fasilitasi pemerintah dapat berupa
fasilitasi perijinan pelaksanaan CSR, penyediaan data, sosialisasi tentang CSR
kepada masyarakat, dan sharing program. d. Pemerintah perlu melaksanakan koordinasi
dengan korporasi dalam rangka memparalelkan (sebagai tahap awal untuk mengarah pada
keterpaduan program) program CSR korporasi dengan program pemerintah sehingga tidak
terjadi overlaping program.
e. Perlu adanya pengurangan CSR yang bentuknya cherity, sebagai langkah awal untuk
mengarahkan CSR dalam bentuk pemberdayaan. Cherity dapat menumbuhkan ketergantungan
masyarakat dan rendahnya rasa tanggungjawab terhadap penggunaan dana CSR. f.
Pemerintah perlu memberikan penghargaan terhadap perusahaan yang dengan suka rela
melaksanakan CSR karena tanggungjawab sosial dan moral. Bentuk penghargaan bisa
berupa dukungan kebijakan kepada korporasi, dan fasilitasi pemerintah terhadap
korporasi yang melaksanakan CSR. g. Perlunya dibangun komunikasi yang lebih
intensif antara pemerintah dan dunia usaha terhadap pelaksanaan CSR. Akan lebih
efektif jika komunikasi tersebut diwadahi dalam suatu forum ( forum CSR) di tingkat
propinsi dan kabupaten/kota, dalam rangka koordinasi dan pemaduan program. h. Perlu
dikembangkan ide kreatif untuk memadukan program CSR dengan program kemitraan yang
saat ini tengah dilaksanakan oleh dunia usaha, dengan mempertimbangkan prioritas
programprogram pembangunan di Jawa Timur. Secara umum program pengembangan CSR di
Jawa Timur digambarkan dalam skema berikut.
Pemetaan SDA terkait kegiatan korporasi

Pemetaan profil masyarakat sasaran CSR

Visi Jawa Timur Tahun 2025

Peta potensi SDA Provinsi Jawa Timur

Peta Agribisnis Provinsi Jatim

Program Kerjasama Kemitraan

Program pembangunan Program CSR Jatim

agribisnis Provinsi Jatim

Kegiatan CSR

Pelaksanaan pembangunan agribisnis

Recovary kritis

SDA

Pemberdayaa n masyarakat

Rekaveri SDA kritis

Pemberdayaan masyarakat dibidang agribisnis

Gambar 1. Skema pengembangan program CSR, yang dipadukan dengan program pembangunan
bidang ekonomi dan Program Kerjasama Kemitraan korporasi di Jawa Timur.

Anda mungkin juga menyukai