Sejarah CSR
Sejarah CSR
Sejarah merupakan torehan kejadian masa lampau yang mengungkapkan fenomena realitas
sosial yang bisa menjadi kajian menarik dan bermanfaat di masa kini dan mendatang.
Dengan memahami sejarah tentang obyek kajian akan bermakna bagi pengungkapan
realitas sosial yang lebih obyektif. Corporate Social Responsibility (CSR) telah
ada sejak Abad 17 dan mengalami perkembangan kajian yang mencerminkan dinamika
implementatif yang terus mengalami perubahan. Berikut disajikan sejarah singkat CSR
dari masa ke masa.
CSR di Indonesia
Di antara negara-negara di Asia, penetrasi aktivitas CSR di Indonesia masih
tergolong rendah. Pada tahun 2005 baru ada 27 perusahaan yang memberikan laporan
mengenai aktivitas CSR yang dilaksanakannya. Ikatan Akuntan Indonesia Kompartemen
Akuntan Manajemen sejak tahun 2005 mengadakan Indonesia Sustainability Reporting
Award (ISRA). Secara umum ISRA bertujuan untuk mempromosikan voluntary reporting
CSR kepada perusahaan di Indonesia dengan memberikan penghargaan kepada perusahaan
yang membuat laporan terbaik mengenai aktivitas CSR. Kategori penghargaan yang
diberikan adalah Best Social and Environmental Report Award, Best Social Reporting
Award, Best Environmental Reporting Award, dan Best Website. Pada Tahun 2006
kategori penghargaan ditambah menjadi Best Sustainability Reports Award, Best
Social and Environmental Report Award, Best Social Reporting Award, Best Website,
Impressive Sustainability Report Award, Progressive Social Responsibility Award,
dan Impressive Website Award. Pada Tahun 2007 kategori diubah dengan menghilangkan
kategori impressive dan progressive dan menambah penghargaan khusus berupa
Commendation for Sustainability Reporting: First Time Sutainability Report. Sampai
dengan ISRA 2007 perusahaan tambang, otomotif dan BUMN mendominasi keikutsertaan
dalam ISRA. Perkembangan program CSR di Indonesia dimulai dari sejarah perkembangan
PKBL. Pembinaan usaha kecil oleh BUMN dilaksanakan sejak terbitnya Peraturan
Pemerintah Nomor 3 Tahun 1983 tentang tata cara pembinaan dan pengawasan Perusahaan
Jawatan (Perjan), Perusahaan Umum (Perum) dan Perusahaan Perseroan (Persero). Pada
saat itu, biaya pembinaan usaha kecil dibebankan sebagai biaya perusahaan. Dengan
terbitnya keputusan Menteri Keuangan No.:1232/KMK.013/1989 tanggal 11 Nopember 1989
tentang Pedoman Pembinaan Pengusaha Ekonomi Lemah dan Koperasi melalui Badan Usaha
Milik Negara, dana pembinaan disediakan dari penyisihan sebagian laba sebesar 1%-5%
dari laba setelah pajak. Nama program saat itu lebih dikenal dengan Program
Pegelkop. Pada Tahun 1994, nama program diubah menjadi Pembinaan Usaha Kecil dan
Koperasi (Program PUKK) berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan No.:316/KMK.016/1994
tanggal 27 Juni 1994 tentang Pedoman Pembinaan Usaha Keciln dan Koperasi melalui
Pemanfaatan Dana dari Bagian Laba Badan Usaha Milik Negara. Memperhatikan
perkembangann ekonomi dan kebutuhan masyarakat, pedoman pembinaan usaha kecil
tersebut beberapa kali mengalami penyesuaian, yaitu melalui Keputusan Menteri
Negara Pendayagunaan BUMN/Kepala Badan Pembina BUMN No.: Kep-216/MPBUMN/1999
tanggal 28 September 1999 tentang Program Kemitraan dan Bina Lingkungan BUMN,
Keputusan Menteri BUMN No.: Kep-236/MBU/2003 tanggal 17 Juni 2003 tentang Program
Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan, dan terakhir melalui
Peraturan Menteri Negara BUMN No.: Per05/MBU/2007 tanggal 27 April 2007 tentang
Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan. Pembinaan
usaha kecil yang dilakukan BUMN ini tidak terlepas dari beberapa peraturan
perundang-undangan lainnya, yaitu sebagai berikut.
a. Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1998 tentang Pembinaan dan Pengembangan
Usaha Kecil. Penjelasan Pasal 16; Lembaga pembiayaan menyediakan dukungan modal
untuk pembinaan dan pengembangan usaha kecil antara lain meliputi skim modal awal,
modal bergulir, kredit usaha kecil, kredit program dan kredit modal kerja usaha
kecil, kredit kemitraan, modal ventura, dana dari bagian laba Badan Usaha Milik
Negara, anjak piutang dan kredit lainnya b. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003
tentang BUMN. Pasal 2: Salah satu tujuan pendirian BUMN adalah turut aktif
memberikan bimbingan dan bantuan kepada pengusaha golongan ekonomi lemah, koperasi,
dan masyarakat. Pasal 88 ayat (1): BUMN dapat menyisihkan sebagian laba bersihnya
untuk keperluan pembinaan usaha kecil/koperasi serta pembinaan masyarakat sekitar
BUMN. c. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah
(lihat uraian di bawah). Pengaturan dan Pelaksanaan CSR di Indonesia 1. UU No. 23
Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup Ketentuan UU ini yang berkaitan
dengan CSR adalah sebagai berikut:
o o o o Setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup
serta mencegah dan menanggulangi pencemaran dan perusakan (Pasal 6:1). Setiap orang
yang melakukan usaha dan/atau kegiatan berkewajiban memberikan informasi yang benar
dan akurat mengenai pengelolaan lingkungan hidup (Pasal 6:2). Setiap penanggung
jawab usaha dan/atau kegiatan wajib melakukan pengelolaan limbah hasil usaha
dan/atau kegiatan (Pasal 16:1). Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan
wajib melakukan pengelolaan bahan berbahaya dan beracun (Pasal 17:1).
(3) (4)
5. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah Bunyi
Pasal 21 UU No. 20 Tahun 2008:…..Badan Usaha Milik Negara dapat menyediakan
pembiayaan dari penyisihan bagian laba tahunan yang dialokasikan kepada Usaha Mikro
dan Kecil dalam bentuk pemberian pinjaman, penjaminan, hibah, dan pembiayaan
lainnya. PKBL merupakan Program Pembinaan Usaha Kecil dan pemberdayaan kondisi
lingkungan oleh BUMN melalui pemanfaatan dana dari bagian laba BUMN. Jumlah
penyisihan laba untuk pendanaan program maksimal sebesar 2% (dua persen) dari laba
bersih untuk Program Kemitraan dan maksimal 2% (dua persen) dari laba bersih untuk
Program Bina Lingkungan (CSR). Ketentuan UU inilah yang dijadikan dasar bagi
penataan tentang pemanfaatan CSR di Indonesia. 6. Keputusan Mahkamah Konstitusi
(MK) 15 April 2009 Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusannya 15 April 2009 menolak
gugatan uji material oleh Kadin terhadap pasal 74 Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007
tentang Perseroan Terbatas (UU PT) mengenai kewajiban Tanggung Jawab Sosial dan
Lingkungan (TJSL) bagi perusahaan yang berkaitan dengan sumber daya alam. Karena
putusan MK bersifat final dan mengikat, maka lebih baik kita melihat dari sisi
positifnya, yaitu sinergi antara pasal PJSL dengan UU Pajak Penghasilan 36/2008 (UU
PPh) pasal 6 ayat 1 huruf a yang sekarang memberlakukan beberapa jenis sumbangan
sosil sebagai biaya, yaitu. • • • • • • Biaya beasiswa, magang, dan pelatihan;
Sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana nasional yang ketentuannya diatur
dengan Peraturan Pemerintah; Sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan
yang dilakukan di Indonesia yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah;
Biaya pembangunan infrasrtuktur sosial yang ketentuannya diatur dengan Peraturan
Pemerintah; Sumbangan fasilitas pendidikan yang ketentuannya diatur dengan
Peraturan Pemerintah:dan Sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga yang
ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Corporate Social Responsibility (CSR), merupakan komitmen perusahaan untuk
membangun kualitas kehidupan yang lebih baik bersama dengan para pihak yang
terkait, utamanya masyarakat di sekelilingnya dan lingkungan sosial dimana
perusahaan tersebut berada, yang dilakukan terpadu dengan kegiatan usahanya secara
berkelanjutan. Sayangnya, masih ada perusahaan yang mempersepsi CSR sebagai bagian
dari biaya atau tindakan reaktif untuk mengantisipasi penolakan masyarakat dan
lingkungan. Beberapa perusahaan memang mampu mengangkat status CSR ke tingkat yang
lebih tinggi dengan menjadikannya sebagai bagian dari upaya brand building dan
peningkatan corporate image. Namun upaya-upaya CSR tersebut masih jarang yang
dijadikan sebagai bagian dari perencanaan strategis perusahaan. Masyarakat kini
telah semakin well informed, dan kritis serta mampu melakukan filterisasi terhadap
dunia usaha yangg tengah berkembang. Hal ini menuntut para pengusaha untuk
menjalankan usahanya dengan semakin bertanggung-jawab. Pengusaha tidak hanya
dituntut untuk memperoleh capital gain atau profit dari kegiatan usahanya,
melainkan mereka juga diminta utk memberikan kontribusi baik materiil maupun
spirituil kepada masyarakat dan pemerintah sejalan dengan aturan yang berlaku.
HASIL RISET (KERJASAMA BAPPEDA PROVINSI JATIM DENGAN LEMBAGA PENELITIAN UNIVERSITAS
NEGERI MALANG) PENELITIAN PERTAMA: “Survey Partisipasi Dunia Usaha Dalam Rangka
Menunjang Pembiayaan Pembangunan Daerah”, menemukan bukti-bukti yang dapat
disimpulkan sebagai berikut.
a. Bidang dan Jenis Usaha Korporasi dan UMK Bidang usaha korporasi dan UMK yang
melakukan kerjasama kemitraan umumnya sesuai dengan arah kebijakan pengembangan
program jangka panjang Jawa Timur sebagai pusat agribisnisnis terkemuka, berdaya
saing dan berkelanjutan. Bentuk badan usaha korporasi umumnya berpentuk PT dan
Perorangan/UD, sedangkan UMK sebagian besar berbentuk Perorangan, sebagian lain
tidak berbadan hukum. b. Mekanisme Pelaksanaan Kerjasama Kemitraan dengan UMK
Mekanisme kerjasama kemitraan berawal dari identifikasi mitra, seleksi UMK mitra,
pembuatan MoU, pembinaan UMK, technical assistance, pendampingan dan Monev. Namun
pihak UMK umumnya memandang MoU sebagai hal yang tidak terlalu penting. Pembinaan
UMK, technical assistance, pendampingan dan Monev dilakukan oleh pihak korporasi
sebagai upaya untuk menjamin bahwa proses produksi yang dilakukan oleh UMK akan
menghasilkan produk yang sesuai dengan spesifikasi yang diharapkan oleh korporasi.
Hal ini memberikan manfaat: Pertama, merupakan pembinaan terhadap peningkatan
kemampuan UMK dalam kegiatan usahanya; Kedua, memberikan jaminan bagi pihak
korporasi terhadap keberlangsungan usahanya (safety play). c. Bidang dan Pola-pola
Kerjasama Kemitraan dengan UMK Sebagian besar korporasi dan UMK melakukan kerjasama
kemitraan dengan UMK dalam bidang produksi, dengan pola kemitraan intiplasma yang
dilakukan melalui kemitraan antara dan kemitraan awal. Kondisi ini menggambarkan
bahwa UMK belum didukung sumberdaya yang memadai. d. Kapasitas Kegiatan: Cakupan
dan Besaran Nilai Kontrak Kerjasama Kemitraan dengan UMK Jumlah korporasi sampel
yang telah melakukan kerjasama kemitraan dengan UMK di Jawa Timur sebanyak 148
korporasi. Secara kumulatif jumlah mitranya sebesar 67.050 UMK, yang meliputiyang
meliputi bidang pertanian, perkebunan, perikanan, peternakan, kehutanan, food and
baverage, perdagangan, manufaktur, pertambangan, industri kimia, tekstil, produk
tekstil dan kerajinan. Nilai kerjasama kemitraan (kontrak dan non kontrak) sebesar
Rp 3.430.187.479.650,. UMK yang melakukan kontrak, mengalami peningkatan nilai
kontrak dari tahun ke tahun. e. Kapabilitas: Aspek Output Produksi, Pemasaran,
Keuangan/laba, dan Manajemen SDM Dari aspek output produksi, sebagian besar
korporasi yang melakukan kerjasama kemitraan bermanfaat terhadap peningkatan output
dan efisiensi biaya produksi; Dari aspek pemasara, relatif dapat meningkatkan
luasan segmen pasar dan pangsa pasar; Dari aspek keuangan dapat meningkatkan
efisiensi biaya produksi, daya saing dan peningkatan laba korporasi; Dari aspek SDM
dapat meningkatkan efisiensi manajemen SDM, dan mengurangi konflik SDM Bagi UMK,
dari aspek output kerjasama kemitraan dengan korporasi dapat meningkatkan output
produksi; Dari aspek pemasaran dapat meningkatkan omset dan asset; Dari aspek
keuangan
dapat meningkatkan efisiensi biaya produksi dan laba; Dari aspek SDM dapat
meningkatkan kualitas SDM dan ketrampilan manajerial. f. Strategi Pelaksanaan
Kerjasama Kemitraan dengan UMK
Strategi korporasi dalam melaksanakan kerjasama dengan UMK umumnya dilakukan secara
tersentralisasi, sebagian kecil secara desentralisasi, dan sebagian lagi kombinasi
keduanya. Hal ini menunjukkan korporasi lebih menekankan pada kemudahan
pengendalian dan efisiensi manajemen. Strategi UMK dalam menjalin kemitraan
dilakukan melalui pengajuan proposal dan atau menjaga mutu dan kuantitas produk.
Hanya sebagian kecil yang melakukannya melalui pameran produk. Hal ini menunjukkan
bahwa UMK dituntut untuk proaktif mencari peluang dan mampu menjaga pencitraan
melalui kualitas dan kuantitas produk yang dihasilkannya. g. Keberlanjutan
Kerjasama Kemitraan Keberlanjutan kerjasama korporasi dengan UMK sebagian besar
didasarkan pertimbangan frekuensi kerjasama, dan sebagian kecil lainnya karena
pengaruh jangka waktu kontrak yang disepakati. Sebagian besar kerjasama bersifat
kooperatif (tidak saling menggantungkan), sebagian kecil lainnya lebih bersifat
obligat (adanya saling ketergantungan). Kondisi ini menggambarkan bahwa kerjasama
kemitraan yang terjalin selama ini sebagian besar belum memberikan jaminan
keberlanjutan di masa mendatang. h. Permasalahan yang Dihadapi Korporasi atas
Kemitraan dengan UMK Sebagian besar korporasi maupun UMK menyatakan hambatan yang
dihadapi dalam kemitraan relatif sangat kecil dan bisa diatasi. Hal ini menunjukkan
bahwa masing-masing pihak mampu melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya sesuai
dengan kesepakatan yang telah dibuat bersama. i. Kebutuhan dan Harapan
Keberlanjutan Kerjasama Kemitraan
Hampir keseluruhan korporasi dan UMK sepakat untuk melanjutkan kerjasama kemitraan
dengan syarat kondisi daya serap pasar, kontinyuitas pasokan produk, serta kualitas
produk yang dihasilkan UMK. Adapun syarat yang diajukan UMK adalah kelancaran
pembayaran, dan transfer tehnologi secara berkelanjutan dari korporasi. Rekomendasi
Hasil penelitian Berdasarkan temuan potensi, permasalahan dan harapan pelaku
kerjasama Pemprov Jawa Timur perlu menciptakan iklim kondusif melalui kebijakan-
kebijakan yang berpihak pada penumbuhkembangan kerjasama kemitraan dengan langkah-
langkah sebagai berikut. 1. Membentuk Forum Kemitraan Usaha (FKU) Jatim yang
berperan sebagai mediator, fasilitator, motivator, akselerator, dan sumber
informasi bagi pelaku kerjasama kemitraan. FKU ini merupakan forum independen yang
difasilitasi oleh Pemprov yang terdiri dari unsur-unsur birokrat, pelaku usaha
(praktisi), akademisi, dan NGO. Forum ini juga perlu dibentuk di tingkat daerah
oleh Pemerintah Kota/Kabupaten yang fungsinya sebagai ’kepanjangan tangan’ FKU
Propinsi Jatim. 2. FKU Jatim bekerjasama dengan FKU Kota/Kabupaten melakukan
mapping potensi dan permasalahan usaha mikro-kecil dan usaha menengah-besar yang
melaksanakan kerjasama kemitraan secara menyeluruh di Jawa Timur. Mensosialisasikan
hasil mapping kepada korporasi menengah-besar (termasuk BUMN) dalam upaya
penggalian sumber dana lunak dari berbagai sumber 3. FKU melibatkan multi stake
holders di tingkat provinsi dan kabupaten/kota, yang terdiri atas unsur birokrat,
pelaku usaha (praktisi), akademisi, dan NGO, menyusun platform sistem agribisnis.
Sistem yang dibangun ini akan menjadi acuan stake holders untuk mengambil peran
pada subsistem sesuai dengan Tupoksinya. 4. Pemprov Jatim menciptakan suasana
kondusif yang memungkinkan usaha mikro-kecil (UMK) dapat mengoptimalkan potensinya,
sehingga kerjasama kemitraan yang terjalin dengan usaha
menengah-besar (korporasi) terlaksana secara berkesinam-bungan dengan mengedepankan
nuansa kesetaraan dan saling membesarkan. Untuk itu diharapkan agar penciptaan
suasana kondusif tersebut lebih difokuskan pada 4 hal pokok, yaitu: a) Aspek
permodalan, yang bisa dilakukan dalam bentuk pembenahan sistem jaminan kredit
diluar ketentuan bank teknis, meningkatkan penyelenggaraan kredit dana bergulir
dengan syarat lunak (6%) dan peningkatan baik jumlah maupun layanannya. Hal ini
dapat dilaksanakan melalui koordinasi yang padu dengan BUMN yang mempunyai dana
bergulir (PKBL); b) Aspek pemasaran, yang bisa dilakukan dalam bentuk penggalakan
pameran produk UMK, baik dalam maupun luar negeri. Pameran luar negeri
diperuntukkan bagi UMK yang mempunyai prospek yang baik di bidang ekspor. Selain
itu Pemprov diharapkan memfasilitasi pembentukan dan pengembangan jaringan usaha
pada skala komoditas yang sama atau terkait; c) Aspek SDM, yang dapat dilakukan
dengan meningkatkan upaya pendampingan berupa pemberian bimbingan teknis (Bintek)
kewirausahaan. d) Aspek Informasi dan komunikasi, yang dapat dilakukan dengan
membangun sistem informasi agribisnis yang berbasis ICT. 5. Pemberian penghargaan
terhadap pelaku kerjasama kemitraan yang mempunyai kinerja baik, spesifik, dan
mempunyai nilai kemanfaatan yang tinggi bagi pelaku kerjasama kemitraan.
Penghargaan ini menjadi bagian penting dalam upaya menumbuh-kembangkan kemitraan di
kalangan usaha menengah-besar dengan mikro-kecil di Jawa Timur.
tentang pelaksanaan CSR. Ini terjadi karena belum dipahaminya peraturan perundangan
yang berlaku bagi koporasi sehingga wajib menyelenggarakan CSR. Mental masyarakat
yang suka menganggap CSR sebagai charity yang dikeluarkan oleh korporasi.
Masyarakat kurang akuntabel dalam menyikapi CSR. Kurangnya pemahaman aparat,
masyarakat, dan korporasi tentang peraturan perundangundangan sekitar CSR dan
filosofi konsep CSR. Pimpinan korporasi yang menganggap CSR adalah kewenangan
sepenuhnya korporasi, dan tidak menghendaki campur tangan pemerintah dalam mengatur
penyelenggaraan CSR. Kondisi perekonomian yang labil dan kecenderungan menurunnya
kinerja korporasi yang menyebabkan turunnya kontribusi korporasi dalam kegiatan
CSR.
c. Kebutuhan dan Harapan Masyarakat terhadap CSR Harapan yang diinginkan berbagai
pihak, khususnya masyarakat terhadap program CSR ini adalah seabagai berikut. 1)
Membantu memperlancar kegiatan usaha masyarakat melalui pemberian bimbingan dan
pelatihan keahlian tertentu untuk membuka atau mengembangkan usaha baru yang
mengarah kepada kemandirian ekonomi masyarakat. 2) Membantu meringankan beban
masyarakat baik bidang pendidikan, ekonomi dan kesehatan, meskipun Pemerintah telah
memulai dengan program pendidikan dan layanan kesehatan gratis, tetapi faktanya
masih banyak berbagai hal yang menjadi pengeluaran masyarakat. 3) Masyakat dan
perusahaan terjalin komunikasi dan sinergi positif yang saling menguntungkan kedua
belah pihak. Adanya pengakuan bahwa masyarakat di lingkungan korporasi sebagai
mitra perusahaan. Hubungan timbal balik ini memerlukan fasilitasi pemerintah guna
terbangunnya situasi yang kondusif dan masing-masing mampu berkembang sesuai dengan
perannya. 4) Masyarakat menginginkan agar korporasi dapat menciptakan lingkungan
sehat, dan bebas pencemaran polusi. Untuk menjaga kondisi ini, pemerintah hendaknya
berbuat lebih proaktif, memberikan jalan keluar masalah yang terbaik dan
menguntungkan semuanya. Penerapan aturan hendaknya dibarengi dengan pembudayaan
aturan itu melalui berbagai kegiatan sosialisasi baik bagi masyarakat maupun dunia
usaha. 5) Perusahaan membutuhkan ketenangan, lingkungan yang nyaman dan korporasi
bersedia mengutamakan penerimaan tenaga kerja dari lingkungan perusahaan. Guna
memenuhi kebutuhan dan harapan tersebut, pemerintah diharapkan bisa memberikan
fasilitas pelatihan sesuai dengan kebutuhan tenaga oleh perusahaan. 6) Perlu adanya
recovary sumberdaya yang menopang keberlanjutan kegiatan korporasi (misal,
terganggunya siklus hidrologi), atau adanya masukan energi sebagai akibat dari
proses produksi yang mengakibatkan penurunan fungsi lingkungan (misal, rusaknya
kawasan sungai dan pantai karena limbah industri, pencemaran tanah karena
penggunaan pupuk yang berlebihan). 2. Rekomendasi Pengembangan CSR ke depan a.
Pemerintah perlu memberikan penjabaran terhadap dasar hukum CSR ke dalam aturan-
aturan yang lebih operasional, untuk penyamaan persepsi tentang urgensi dan
permasalahan dalam opersionalisasi kegiatan CSR. b. Aturan yang disusun hendaknya
mengacu pada filosofi CSR, yaitu tanggung jawab terhadap pelestarian sumberdaya
alam sebagai penompang keberlanjutan kehidupan, namun demikian aturan tersebut
tetap memberikan peluang pada korporasi untuk menuangkan aspirasinya terkait dengan
kepentingan perlindungan terhadap core competences, promosi, serta pencitraan
publik. c. Pentingnya pemerintah memfasilitasi pelaksanaan CSR oleh korporasi,
dengan tanpa membatasi kepentingan perusahaan terkait dengan CSR (misal, aspek
promosi, perlindungan aset, dll). Bentuk fasilitasi pemerintah dapat berupa
fasilitasi perijinan pelaksanaan CSR, penyediaan data, sosialisasi tentang CSR
kepada masyarakat, dan sharing program. d. Pemerintah perlu melaksanakan koordinasi
dengan korporasi dalam rangka memparalelkan (sebagai tahap awal untuk mengarah pada
keterpaduan program) program CSR korporasi dengan program pemerintah sehingga tidak
terjadi overlaping program.
e. Perlu adanya pengurangan CSR yang bentuknya cherity, sebagai langkah awal untuk
mengarahkan CSR dalam bentuk pemberdayaan. Cherity dapat menumbuhkan ketergantungan
masyarakat dan rendahnya rasa tanggungjawab terhadap penggunaan dana CSR. f.
Pemerintah perlu memberikan penghargaan terhadap perusahaan yang dengan suka rela
melaksanakan CSR karena tanggungjawab sosial dan moral. Bentuk penghargaan bisa
berupa dukungan kebijakan kepada korporasi, dan fasilitasi pemerintah terhadap
korporasi yang melaksanakan CSR. g. Perlunya dibangun komunikasi yang lebih
intensif antara pemerintah dan dunia usaha terhadap pelaksanaan CSR. Akan lebih
efektif jika komunikasi tersebut diwadahi dalam suatu forum ( forum CSR) di tingkat
propinsi dan kabupaten/kota, dalam rangka koordinasi dan pemaduan program. h. Perlu
dikembangkan ide kreatif untuk memadukan program CSR dengan program kemitraan yang
saat ini tengah dilaksanakan oleh dunia usaha, dengan mempertimbangkan prioritas
programprogram pembangunan di Jawa Timur. Secara umum program pengembangan CSR di
Jawa Timur digambarkan dalam skema berikut.
Pemetaan SDA terkait kegiatan korporasi
Kegiatan CSR
Recovary kritis
SDA
Pemberdayaa n masyarakat
Gambar 1. Skema pengembangan program CSR, yang dipadukan dengan program pembangunan
bidang ekonomi dan Program Kerjasama Kemitraan korporasi di Jawa Timur.