Anda di halaman 1dari 17

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa. Karena atas berkat rahmat-
Nya kami dapat menyelesaikan tugas ini tepat pada waktunya. Tak lupa pula kami mengucapkan
terima kasih kepada dosen Mata Kuliah Obstetri yang telah memberikan tugas ini kepada kami
sebagai upaya untuk menjadikan kami manusia yang berilmu dan berpengetahuan.
Keberhasilan kami dalam menyelesaikan makalah ini tentunya tidak lepas dari bantuan
berbagai pihak. Untuk itu, kami menyampaikan terima kasih pada semua pihak yang telah
membantu dalam penyelesaian makalah ini.
Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan dan masih
banyak kekurangan yang perlu diperbaiki, untuk itu, kami mengharapkan saran yang membangun
demi kesempurnaan makalah ini, sehingga dapat bermanfaat bagi siapapun yang membacanya.
Poso,

Penulis
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tuberkulosis (TBC atau TB) adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh
bakteri Mikobakterium tuberkulosa. Bakteri ini merupakan bakteri basil yang sangat kuat sehingga
memerlukan waktu lama untuk mengobatinya. Bakteri ini lebih sering menginfeksi organ paru-
paru dibandingkan bagian lain tubuh manusia.
Insidensi TBC dilaporkan meningkat secara drastis pada dekade terakhir ini di seluruh dunia.
Demikian pula di Indonesia, Tuberkulosis / TBC merupakan masalah kesehatan, baik dari sisi
angka kematian (mortalitas), angka kejadian penyakit (morbiditas), maupun diagnosis dan
terapinya. Dengan penduduk lebih dari 200 juta orang, Indonesia menempati urutan ketiga
setelah India dan China dalam hal jumlah penderita di antara 22 negara dengan masalah TBC
terbesar di dunia.
Hasil survei Kesehatan Rumah Tangga Depkes RI tahun 1992, menunjukkan
bahwa Tuberkulosis (TBC) merupakan penyakit kedua penyebab kematian, sedangkan pada tahun
1986 merupakan penyebab kematian keempat. Pada tahun 1999 WHO Global Surveillance
memperkirakan di Indonesia terdapat 583.000 penderita Tuberkulosis / TBC baru pertahun dengan
262.000 BTA positif atau insidens rate kira-kira 130 per 100.000 penduduk. Kematian akibat
Tuberkulosis / TBC diperkirakan menimpa 140.000 penduduk tiap tahun. Jumlah penderita TBC
paru dari tahun ke tahun di Indonesia terus meningkat.
Saat ini setiap menit muncul satu penderita baru TBC paru, dan setiap dua menit muncul satu
penderita baru TBC paru yang menular. Bahkan setiap empat menit sekali satu orang meninggal
akibat TBC di Indonesia. Sehingga kita harus waspada sejak dini & mendapatkan informasi
lengkap tentang penyakit TBC.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalahnya adalah sebagai berikut :
a. Jelaskan bagaimana cara mendiagnosis penyakit TBC
b. Jelaskan bagaimana cara pengobatan penyakit TBC
c. Jelaskan cara mencegah penyakit TBC
C. Tujuan
Adapun tujuan penulisannya adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui cara mendiagnosis penyakit TBC
2. Untuk mengetahui cara pengobatan penyakit TBC
3. Untuk mengetahui cara pencegahan penyakit TBC
BAB II
PEMBAHASAN

A. Diagnosis Tuberkulosis TBC (Tuberkulosis)


Untuk mendeteksi TBC (tuberkulosis), pertama-tama dokter akan menanyakan
keluhan dan penyakit yang pernah diderita. Kemudian dokter akan melakukan pemeriksaan
fisik, terutama dengan mendengarkan suara napas di paru-paru menggunakan stetoskop.
Dokter juga akan memeriksa ada tidaknya pembesaran kelenjar, bila dicurigai adanya TBC
kelenjar. Jika pasien diduga mengalami TBC, dokter akan meminta pasien melakukan
pemeriksaan dahak yang disebut. Pemeriksaan BTA juga dapat dilakukan menggunakan
sampel selain dahak, untuk kasus TBC yang terjadi bukan di paru-paru. Jika dokter
membutuhkan hasil yang lebih spesifik, dokter akan menganjurkan pemeriksaan kultur
BTA, yang juga menggunakan sampel dahak penderita. Tes kultur BTA dapat mengetahui
efektif atau tidaknya obat TBC yang akan digunakan dalam membunuh kuman. Namun, tes
ini memakan waktu yang lebih lama. Selain pemeriksaan BTA, dokter dapat melakukan
serangkaian pemeriksaan lain sebagai pendukung diagnosis, meliputi:
a. Foto Rontgen
b. CT scan
c. Tes kulit Mantoux atau Tuberculin skin test
d. Tes Darah IGRA (interferon gamma release assay).
e. Pemeriksaan riwayat keluhan, pemeriksaan fisik, dan tes dahak
Gejala TBC hampir sama dengan beberapa gejala penyakit pernafasan lainnya. Oleh
karena itu, penting untuk mengkonsultasikan ke dokter guna menjalankan diagnosa yang
tepat. Sehingga bisa diketahui dengan pasti apakah Anda tertular TBC atau tidak. Dokter
biasanya akan menjalankan diagnosis, terdiri dari tes darah, tes dahak, rontgen dada, dan
Mantoux test. Tes tersebut dilakukan untuk mengetahui jenis tuberculosis tersebut apakah
laten atau aktif.
Siapa saja yang termasuk dalam kelompok TBC?
a. Perokok aktif
b. Pengguna narkoba dan obat-obatan terlarang lainnya
c. Sering berhubungan dengan pengidap TBC aktif
d. Orang yang sering menjalani kemoterapi
e. Orang yang memiliki daya tahan tubuh lemah
f. Pengidap HIV/AIDS
Oleh sebab itu, melakukan diagnosa TBC secara dini diperlukan, agar tidak
berkembang dari tuberculosis laten menjadi tuberculosis aktif. Ini sebagai langkah
pencegahan sekaligus untuk mempermudah pengobatan. Sebab hanya dengan pengobatan
yang tepat saja, maka risiko komplikasi yang muncul akibat penyakit TBC dapat dicegah.
B. Pengobatan TBC
Penyakit ini dapat disembuhkan dan jarang berakibat fatal jika penderita mengikuti
saran dari dokter. Prinsip utama pengobatan TBC (tuberkulosis) adalah patuh untuk minum
obat selama jangka waktu yang dianjurkan oleh dokter (minimal 6 bulan).
Apabila berhenti meminum obat sebelum waktu yang dianjurkan, penyakit TBC yang Anda
derita berpotensi menjadi kebal terhadap obat-obat yang biasa diberikan. Jika hal ini terjadi,
TBC menjadi lebih berbahaya dan sulit diobati. Obat yang diminum merupakan kombinasi
dari . Sama seperti semua obat, obat TBC juga memiliki efek samping, antara lain:
a. Warna urine menjadi kemerahan
b. Menurunnya efektivitas pil KB, KB suntik, atau susuk
c. Gangguan penglihatan
d. Gangguan saraf
e. Gangguan fungsi hati
f. nyeri sendi
g. tidak ada nafsu makan
h. Mual
i. kesemutan dan rasa terbakar di hati
j. gatal dan kemerahan dikulit gangguan keseimbangan hingga kekuningan (ikterus).

Untuk penderita yang sudah kebal dengan kombinasi obat tersebut, akan menjalani
pengobatan dengan kombinasi obat yang lebih banyak dan lebih lama. Lama pengobatan
dapat mencapai 18-24 bulan. Selama pengobatan, penderita TBC harus rutin menjalani
pemeriksaan dahak untuk memantau keberhasilannya.
1. Jenis Obat
a. Isoniasid
b. Rifampicin
c. Pirasinamid
d. Streptomicin
2. Prinsip Obat
Obat TB diberikan dalam bentuk kombinasi dari beberapa jenis, dalam jumlah cukup dan
dosis tepat selama 6-8 bulan,supaya semua kuman dapat dibunuh. Dosis tahap intensif dan dosis
tahap lanjutan ditelan dalam dosis tunggal,sebaiknya pada saat perut kosong. Apabila paduan obat
yangdigunakan tidak adekuat, kuman TB akan berkembangmenjadi kuman kebal. Pengobatan TB
diberikan dalan 2 Tahap yaitu:
a. Tahap intensif Pada tahap intensif penderita mendapat obat (minum obat) setiap hari selama 2-
3 bulan.
b. Tahap lanjutan Pada tahap lanjutan penderita mendapat obat (minum obat) tiga kali seminggu
selama 4 – 5 bulan.
Terapi tuberkulosis (TB) pada kehamilan berbeda dengan terapi tuberkulosis pada populasi lain
karena tidak hanya bertujuan untuk menyembuhkan infeksi, tetapi juga mencegah penularan ke
janin yang dapat terjadi secara hematogen via vena umbilikalis. Transmisi ke janin juga dapat
terjadi melalui aspirasi cairan amnion yang terinfeksi. Terapi tuberkulosis pada kehamilan juga
berperan untuk mencegah komplikasi atau kematian ibu. Di sisi lain, terdapat potensi teratogenik
pada obat antituberkulosis (OAT). Untuk itu, perlu dipertimbangkan pemilihan regimen obat
antituberkulosis dengan risiko yang minimal terhadap janin.
 Keamanan Terapi Tuberkulosis pada Ibu Hamil

Obat antituberkulosis (OAT) sebagian besar terbukti dapat menembus plasenta. Akan tetapi
obat pyrazinamide, ethionamide, paraaminosalicylic acid (PAS), cycloserine, gatifloxacin belum
diketahui dapat menembus plasenta atau tidak. Kategori Obat Antituberkulosis pada Kehamilan
oleh FDAPemberian terapi untuk penyakit TBC pada kehamilan harus dilakukan secara berhati-
hati dengan menimbang manfaat dan risiko. Hal ini karena obat antituberkulosis oleh FDA
dikategorikan ke dalam kategori C atau D.
Kategori OAT lini pertama adalah kategori C, kecuali streptomycin yang tergolong kategori D.
OAT lini kedua, umumnya digunakan untuk penyakit-penyakit, juga sebagian besar termasuk
dalam kategori C, kecuali kanamycin dan amikacin yang tergolong kategori D.

Potensi Efek Buruk Obat terhadap Janin


Obat antituberkulosis yang dapat menyebabkan dampak buruk bagi janin adalah sebagai berikut:
 Streptomycin, amikacin dan kanamicin: ototoksik
 Isoniazide : defek sistem saraf pusat
 Rifampicin: perdarahan
 Pyrazinamide: icterus

Perbandingan Manfaat Terapi dan Risiko Penggunaan OAT pada Kehamilan


Beberapa studi menunjukkan manfaat terapi lebih besar dibanding risiko pada kasus TB
paru sensitif obat maupun resisten.
Suatu meta analisis terhadap 14 studi dengan jumlah sampe,l 375 ibu hamil menilai luaran terapi
TB pada kehamilan.
Luaran ibu:
 88,5% pasien sembuh
 6,4% pasien meninggal akibat TB (meningitis TB, TB MDR, sindrom distress, pernapasan akut)
Luaran kehamilan dari 332 pasien melahirkan:
 1 aborsi terapeutik
 3 abortus
 3 lahir mati
 25 meninggal
Luaran neonatus dari 322 kelahiran:
 Kematian 4 neonatus akibat pneumonia dan kelahiran prematur
 1 neonatus mengalami TB aktif
 2 neonatus menderita infeksi TB laten
 50 neonatus dengan berat badan lahir rendah (BBLR)
 7 neonatus mengalami restriksi pertumbuhan
Suatu studi terhadap 38 partisipan dengan TB MDR menunjukkan luaran ibu:
 61% sembuh
 13% meninggal
 13% putus obat
 5% dalam proses terapi
 5% gagal pengobatan

Terkait luaran kehamilan maupun neonatus:


 5 kasus abortus spontan
 1 lahir mati
 32 bayi lahir: 25 bayi sehat, 7 bayi komplikasi BBLR, pneumonia, TB MDR
Studi menunjukkan persentase kesembuhan dan pencegahan transmisi ke janin yang cukup
tinggi. Walaupun masih terdapat luaran buruk, hal ini dinilai tidak sebanding dengan manfaat
pencegahan komplikasi dan kematian ibu, serta transmisi tuberkulosis ke janin. Hal ini menjadi
dasar rasionalisasi pemberian obat antituberkulosis pada kehamilan.

 Regimen Pengobatan Tuberkulosis pada Ibu Hamil


Pada ibu hamil, infeksi tuberkulosis dapat aktif menimbulkan gejala maupun infeksi
laten. Pada infeksi tuberkulosis aktif, pengobatan tuberkulosis paru diberikan dalam bentuk
paduan OAT yang tepat untuk mencegah terjadinya resistensi. Konsumsi OAT harus teratur dan
dalam dosis yang tepat. Pengobatan diberikan dalam dua tahap, yaitu tahap awal/intensif serta
tahap lanjutan untuk mencegah kekambuhan. Penentuan pemilihan regimen obat berdasarkan
indikasi sebagaimana penderita tuberkulosis dewasa lainnya. Akan tetapi, beberapa OAT
dikontraindikasikan untuk ibu hamil.

Obat Antituberkulosis Kategori I


Panduan OAT lini pertama kategori I diberikan untuk pasien TB paru maupun ekstra paru kasus
baru. Tidak ada perbedaan regimen terapi untuk ibu hamil jika direncanakan mendapat terapi
OAT kategori I.
Tabel 1. Dosis OAT kategori 1

Dosis
Obat Dosis Maksimum/Hari

Rifampisin
(R) 10 mg/kgBB/hari 600 mg

5 mg/kgBB/hari (tiap hari) atau 10 mg/kgBB/hari (untuk


Isoniazid (H) pemberian 3x/minggu) 300 mg

Pirazinamid
(Z) 25 mg/kgBB/hari 2000 mg

Etambutol (E) 15 mg/kgBB/hari

Jika diberikan OAT dalam bentuk kombinasi dosis tetap (KDT) maka dosis obat terangkum dalam
tabel berikut.

Tabel 2. Dosis KDT

Tahap Intensif Tiap Hari Tahap Lanjutan Tiga Kali Seminggu

4KDT 2KDT
Berat Badan (kg)

selama 56 hari selama 16 minggu

30-37 2 tablet 2 tablet

38-54 3 tablet 3 tablet

55-70 4 tablet 4 tablet

>71 5 tablet 5 tablet

Sumber: dr. Debtia, 2018.


CDC merekomendasikan pada tahap intensif pasien diterapi dengan isoniazide, rifampicin,
dan etambutol setiap hari, selama 2 bulan. Tahap lanjutan isoniazide dan rifampicin tiap hari atau
dua kali per minggu selama 7 bulan. Pemberian tahap lanjutan lebih lama karena pyrazinamide
tidak disertakan dalam regimen terapi tahap intensif. CDC tidak merekomendasikan pyrazinamide
karena belum diketahui efeknya terhadap janin. Belum ada studi pyrazinamide terhadap hewan
untuk mengetahui potensi teratogenik. Sebaliknya, WHO memperbolehkan penggunaan
pyrazinamide.

Obat Antituberkulosis Kategori II


Penggunaan OAT kategori II untuk pasien kambuh, gagal pada pengobatan dengan paduan
OAT kategori 1 sebelumnya serta kasus putus berobat. Perbedaannya pada ibu hamil, streptomycin
dikontraindikasikan karena berpotensi ototoksik terhadap janin (kategori FDA D).

Tabel 3. Obat Antituberkulosis Kategori II

Tahap Intensif Tiap Hari Tahap Lanjutan 3 kali Seminggu

RHZE (150 / 75 / 400 / 275) RH (150 / 150) + E(400)

Berat badan (kg) Selama 56 hari Selama 28 hari Selama 20 minggu

30-37 2 tablet 4KDT 2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT + 2 tablet etambutol

38-54 3 tablet 4KDT 3 tablet 4KDT 3 tablet 2KDT + 3 tablet etambutol

55-70 4 tablet 4KDT 4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT + 4 tablet etambutol

≥ 71 5 tablet 4KDT 5 tablet 4KDT 5 tablet 2KDT + 5 tablet etambutol

Sumber: dr. Debtia, 2018.


 Pemantauan Pengobatan
Pemantauan pengobatan meliputi evaluasi klinis, bakteriologi, kepatuhan minum obat serta
efek samping obat.

Evaluasi Bakteriologi
Pemantauan keberhasilan terapi salah satunya melalui pemeriksaan sputum basil tahan
asam (BTA) pada bulan kedua, kelima dan keenam. Jika pemeriksaan sputum BTA negatif maka
pengobatan terus dilanjutkan. Jika hasil pemeriksaan BTA positif pada bulan kedua maka
ditambahkan sisipan. Pada akhir fase sisipan jika BTA tetap positif maka lanjutkan pengobatan
tahap lanjutan sambil merujuk ke fasilitas pengobatan TB MDR. Jika pada pemeriksaan sputum
bulan kelima atau keenam hasil BTA positif maka rujuk pasien ke fasilitas pengobatan TB MDR
dan mulai pengobatan OAT kategori 2.

Evaluasi Efek Samping


Evaluasi efek samping pengobatan tuberkulosis pada ibu hamil meliputi pemantauan fungsi
hati terutama jika mendapat terapi INH, ethionamide dan PAS. Risiko hepatotoksik yang
diinduksi obat terutama INH harus dipantau hingga 2-3 bulan pasca melahirkan.

 Penanganan Post Partum


Segera lakukan evaluasi klinis pada bayi. Jika tidak terdapat gejala klinis maka cukup
berikan profilaksis. Profilaksis untuk neonatus dapat diberikan setelah lahir yaitu INH 5-10
mg/kgBB/hari hingga 6 bulan. Lakukan evaluasi setelah profilaksis selesai. Jika timbul gejala
klinis atau pemeriksaan penunjang seperti uji tuberkulin menjadi positif maka bayi mendapat
terapi TB. Jika tuberkulin tetap negatif maka cukup lanjutkan profilaksis hingga selesai. Setelah
profilaksis selesai segera vaksinasi BCG jika terbukti tidak terinfeksi tuberkulosis. Beberapa
pedoman merekomendasikan waktu pemberian profilaksis yang berbeda. WHO
merekomendasikan profilaksis selama 6 bulan, American Academy of Pediatric (AAP)
merekomendasikan 3-4 bulan sedangkan the National Institute for Health and Care
Excellence (NICE), Inggris, hanya merekomendasikan profilaksis selama 6 minggu.
C. Pencegahan TBC
Salah satu langkah untuk mencegah TBC (tuberkulosis) adalah dengan Vaksin
BCG (Bacillus Calmette-Guerin). Di Indonesia, vaksin ini termasuk dalam daftar imunisasi wajib
dan diberikan sebelum bayi berusia 2 bulan. Bagi yang belum pernah menerima vaksin BCG,
dianjurkan untuk melakukan vaksin bila terdapat salah satu anggota keluarga yang menderita TBC.
TBC juga dapat dicegah dengan cara yang sederhana, yaitu mengenakan masker saat berada di
tempat ramai dan jika berinteraksi dengan penderita TBC, serta sering mencuci tangan. Walaupun
sudah menerima pengobatan, pada bulan-bulan awal pengobatan (biasanya 2 bulan), penderita
TBC juga masih dapat menularkan penyakit. Jika Anda menderita TBC, langkah-langkah di bawah
ini sangat berguna untuk mencegah penularan, terutama pada orang yang tinggal serumah dengan
Anda:
1. Tutup mulut saat batuk dan bersin
TBC menular lewat dahak dan air liur yang keluar dari mulut. Maka, pengidap TBC harus
menutup mulutnya saat bersin atau batuk. Namun, jangan tutup mulut dengan menangkup kedua
tangan. Kuman bisa berpindah ke tangan Anda dan kemudian berpindah lagi ke orang lain saat
Anda berjabat tangan atau memegang mereka. Sebaiknya gunakan tisu (jangan lupa
untuk segera buang di tempat sampah, Jangan dibuang sembarangan) atau sapu tangan pribadi
untuk menutup mulut. Jika tidak ada, tutup mulut dengan memalingkan wajah ke sisi lengan
dalam atau siku dalam Anda. Kenakan masker saat flu, saat berada di tempat umum untuk
mencegah penularan TBC pada orang yang sehat.
2. Jangan meludah atau buang dahak sembarangan!
Sama halnya dengan batuk atau bersin di tempat umum, buang dahak dan meludah pun
tidak boleh sembarangan di tempat umum. Bakteri yang ada di dalam ludah Anda bisa
berterbangan di udara dan kemudian terhirup oleh orang-orang sekitar.
Jika ingin membuang dahak atau meludah, lakukanlah di kamar mandi. Siram ludah Anda
sampai terbilas bersih. Apabila situasi dan kondisi tidak memungkinkan Anda untuk pergi ke
kamar mandi terdekat, meludahlah di selokan atau kali yang airnya mengalir.
3. Hindari kontak langsung dengan anak-anak
Sebisa mungkin, hindari berdekatan atau kontak langsung dengan bayi, balita, atau anak-
anak, karena sistem imun mereka masih belum kuat dan cenderung lemah.
4. Biarkan sinar matahari masuk ke dalam ruangan
Kuman penyebab TB umumnya dapat bertahan hidup di udara bebas selama satu sampai
dua jam, tergantung dari ada tidaknya paparan sinar matahari, kelembapan, dan ventilasi. Pada
kondisi gelap, lembap, dan dingin, kuman TB dapat bertahan berhari-hari — bahkan sampai
berbulan-bulan. Namun, bakteri TB bisa langsung mati jika terpapar oleh sinar matahari
langsung. Maka, bukalah jendela dan tirai Anda ketika cuaca cerah. Biarkan sinar matahari
masuk ke dalam ruangan untuk membunuh kuman-kuman TBC yang mungkin bersemayam
dalam rumah Anda. Ketika Anda membuka jendela, sirkulasi udara pun dapat membantu
mendorong kuman-kuman keluar rumah sehingga mereka mati ketika terpapar sinar ultraviolet
dari sinar matahari.
5. Jangan tidur sekamar dengan orang lain, sampai dokter menyatakan TBC yang Anda derita tidak
lagi menular.
Terlebih lagi juga terdapat risiko komplikasi yang mungkin saja terjadi, yakni:
1. Meningitis
2. Kerusakan sendi
3. Gangguan organ tubuh, seperti ginjal, hati, jantung
4. Merasa nyeri pada punggung
5. Mengingat besarnya risiko yang bisa muncul karena penyakit TBC ini, maka pengobatan yang
diberikan dalam bentuk antibiotik juga sangat beragam
BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan
Dengan demikian, bahwa penyakit tuberculosis (TBC) itu disebabkan karena adanya
bakteri Mikobakterium tuberkulosa. Oleh karena itu untuk mencegah penularan penyakit ini
sebaiknya harus menjaga kebersihan diri dan lingkungan. Tuberkulosis juga penyakit yang harus
benar-benar segera ditangani dengan cepat.
Pengobatan tuberkulosis paru pada ibu hamil lebih banyak memberikan manfaat dibandingkan
dengan risiko yang mungkin muncul. Terapi tuberkulosis pada ibu hamil harus tetap diberikan sebagaimana
terapi pasien dewasa lainnya kecuali streptomycin, kanamycin dan amikacin. Kehamilan harus tetap
dipertahankan karena infeksi tuberkulosis bukan indikasi untuk mengugurkan kandungan.
B. Saran
Saran yang paling tepat untuk mencegah penyakit tuberkulosis adalah meningkatkan daya
tahan tubuh dengan makanan bergizi TBC adalah penyakit yang dapat disembuhkan, untuk
mencapai hal tersebut penderita dituntut untuk minum obat secara benar sesuai yang dianjurkan
oleh dokter serta teratur untuk memeriksakan diri ke klinik/puskesmas.
DAFTAR PUSTAKA

Barbara, C.L. 1996. Perawatan Medikal Bedah (suatu pendekatan proses keperawatan) Bandung
Doengoes, M. Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi 3. Jakarta: Buku Kedokteran EGC
Smeltzer and Bare. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: Buku Kedokteran EGC
Subuh M, Priohutomo S, Widaningrum C, Dinihari N, Siagian V, Uyainah A, et al. Pedoman
Nasional Pengendalian Tuberkulosis. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI. 2014
Mathad JS, Gupta A. Tuberculosis in pregnant and postpartum women: Epidemiology,
Management, and Research Gaps. CID. 2012

Anda mungkin juga menyukai