Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prospek minat masyarakat melanjutkan
studi di Prodi S1 Nava Dhammasekha; kompetensi yang dibutuhkan pengguna
(steakholder) terhadap lulusan Prodi S1 Nava Dhammasekha; dan penilaian pakar terhadap
rencana pembukaan Prodi S1 Nava Dhammasekha. Penelitian ini menggunakan metode
survei di Provinsi Banten dan Jawa Tengah dengan responden pengurus dan guru
dhammasekha, kepala dan pimpinan sekolah berciri Buddhis, siswa SMA/SMK sederajat,
dan pakar pendidikan. Pengumpulan data penelitian ini menggunakan kuesioner dan
wawancara, sedangkan analisis datanya dilakukan secara kuantitatif dan kualitatif
deskriptif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) prospek minat masyarakat untuk
melanjutkan studi di Prodi S1 Nava Dhammasekha sangat baik, sebanyak 8%
responden menyatakan akan mendaftar, 25% mungkin mendaftar, 25% belum tahu,
27% tidak mendaftar dan 10% lainnya tidak menjawab; (2) pengguna sangat
mendukung pembukaan Prodi S1 Nava Dhammasekha dan masuk dalam katagori
kebutuhan yang sangat mendesak. Kompetensi utama yang diharapkan oleh pengguna
dari lulusan Nava Dhammasekha yaitu memiliki kompetensi kepribadian, sosial,
profesional, dan pedagogik yang baik, sedangkan kompetensi tambahan yang
diharapkan antara lain bidang seni dan budaya, bahasa, olahraga dan permainan,
hypnoteaching, dan manajemen; (3) pakar pendidikan menyatakan dukungan dan
kelayakan pembukaan Prodi S1 Nava Dhammasekha selama ada kepastian dan payung
hukum yang menaungi Dhammasekha sebagai satuan pendidikan formal; (4) kondisi
internal STAB Negeri Sriwijaya cukup siap dalam menyelenggarakan Prodi S1 Nava
Dhammasekha, namun masih perlu investasi SDM dalam beberapa tahun ke depan
sembari menunggu kepastian regulasi terkait dhammasekha. Oleh karena itu, STAB
Negeri Sriwijaya harus melakukan strategi investasi SDM yang tepat untuk
mengakomodasi pengembangan prodi di kampus, termasuk Nava Dhammasekha.
A. Pendahuluan
Berdasarkan Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 39 Tahun 2014 tentang
Pendidikan Keagamaan Buddha, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat
Buddha mencanangkan dua jenis pendidikan keagamaan yaitu formal dan
nonformal. Pendidikan keagamaan Buddha formal disebut Dhammasekha, sedangkan
pendidikan keagamaan Buddha nonformal mencakup Pendidikan Widya Dharma,
Pabbaja Samanera, dan Sekolah Minggu Buddha (SMB). Pendidikan Dhammasekha
formal mencakup Nava Dhammasekha (setara PAUD), Mula Dhammasekha (setara SD),
Muda Dhammasekha (setara SMP), dan Uttama Dhammasekha (setingkat SMA/SMK).
Meski tindak lanjut dari PMA Nomor 39 Tahun 2014 yang secara resmi mengatur
penyelenggaraan Dhammasekha sebagai pendidikan formal belum ada, namun ada
sebagian kelompok umat Buddha yang sangat serius menanggapi rencana tersebut.
Buktinya, di beberapa daerah telah beroperasi Nava Dhammasekha (setara PAUD)
seperti Dhammasekha Adicitta di Kabupaten Semarang dan Dhammasekha Karuna di
Kabupaten Tangerang. Meskipun demikian dari sisi pengelolaan pendidikan, kedua
Dhammasekha tersebut masih mengacu pada regulasi Kemendikbud. Misalnya
kurikulum yang digunakan adalah kurikulum PAUD umum karena kurikulum Nava
Dhammasekha hingga kini masih dalam tahap penyelesaian walaupun Keputusan
Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Buddha Nomor 323 Tahun 2016 yang
mengatur kurikulum Dhammasekha telah dikeluarkan.
Pada tanggal 11 Juni 2017 Ditjen Bimas Buddha menyelenggarakan seminar sehari
dengan tema “Tentang Prospek Pendidikan Keagamaan Buddha”. Dalam seminar
yang dihadiri Kabag Perencanaan dan Perundang-undangan pada Biro Hukum dan
KLN Imam Syaukani, Pusat Kurikulum dan Perbukuan Faisal Ghozali, dan Direktur
Urusan dan Pendidikan (Urpendik) Agama Buddha Supriyadi serta para dosen,
pakar pendidikan, dan praktisi tersebut tercetus empat keputusan. Salah satu dari
empat keputusan tersebut adalah melanjutkan Nava Dhammasekha sebagai
Pendidikan Keagamaan Buddha formal.
Berbagai kegiatan terus dilakukan untuk mematangkan kesiapan Nava Dhammasekha
sebagai Pendidikan Keagamaan Buddha Formal. Beberapa kegiatan yang telah dan
sedang dilakukan antara lain penyusunan kurikulum dan modul untuk Nava
Dhammasekha. Hal itu tentu menjadi peluang bukan hanya bagi kelompok umat
Buddha yang ingin membuka Nava Dhammasekha melainkan juga bagi Lembaga
Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) yang berada di bawah naungan
Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Buddha untuk meyediakan tenaga
pendidik, termasuk Sekolah Tinggi Agama Buddha Negeri Sriwijaya Tangerang
Banten (STABN Sriwijaya) yang tentunya juga harus menyambut prospek pasar
khususnya dalam bidang jasa pendidikan yang dijalankan.
STABN Sriwijaya memiliki dua jurusan yaitu Jurusan Dharmacarya dan Jurusan
Dharmaduta. Jurusan Dharmacarya memiliki Prodi Pendidikan Agama Buddha (PAB),
sedangkan Jurusan Dharmaduta memiliki Prodi Kepenyuluhan. Dengan usia yang
sangat matang dan pengalaman yang cukup memadai dalam mengelola pendidikan
dengan dukungan dan ketersediaan Sumber Daya Manusia (SDM) yang memadai
dan masih terus berkembang, sangat perlu bagi STABN Sriwijaya untuk membuka
prodi baru. Di samping itu, sarana dan prasaran yang sangat mendukung, letak
geografis yang strategis, serta tuntutan kebutuhan guru Dhammasekha di masa
mendatang juga menjadi faktor pendukung bagi STABN Sriwijaya untuk membuka
Prodi S1 Nava Dhammasekha Jurusan Dharmacarya. Di sisi lain sebagai sebuah institusi
pendidikan, diharapkan STABN Sriwijaya mampu memenuhi dimensi perguruan
tinggi yaitu pendidikan dan keilmuan guna berkontribusi maksimal terhadap
masyarakat.
Pembukaan prodi baru di sebuah institusi harus memenuhi beberapa aspek di
antaranya studi kelayakan. Studi kelayakan dapat dijadikan acuan awal dalam
memberikan gambaran prospek prodi yang akan dibuka. Animo masyarakat kuliah
di prodi tersebut, prospek kerja lulusan, dan kebutuhan pengguna dapat dipetakan
melalui studi kelayakan. Oleh karena, studi kelayakan merupakan kegiatan penting
bagi sebuah institusi sebelum memutuskan membuka prodi baru.
Pembukaan Program Studi Strata 1 (S1) Nava Dhammasekha diharapkan dapat
mememuhi tuntutan pasar pada saat yang tepat. Selain itu, lulusan Program Studi
Strata 1 (S1) Nava Dhammasekha juga bisa mengisi kebutuhan guru-guru PAUD di
sekolah umum yang berada di bawah naungan yayasan Buddhis. Penelitian ini
bertujuan untuk mendeskripsikan kelayakan pembukaan Program Studi Strata 1
(S1) Nava Dhammasekha yang juga di dalamnya meliputi kebutuhan kompetensi
lulusan, potensi kebutuhan masyarakat terhadap lulusan, minat masyarakat untuk
masuk Program Studi Strata 1 (S1) Nava Dhammasekha, serta kesiapan STABN
Sriwijaya dalam pengelolaan Prodi S1 Nava Dhammasekha. Hasil penelitian ini
diharapkan memberikan sebuah kondisi dan gambaran kelayakan yang digunakan
untuk pengambilan keputusan potensi pembukaan Program Studi Strata 1 (S1) Nava
Dhammasekha, untuk kemudian ditindaklanjuti dalam langkah yang lebih konkrit
oleh STABN Sriwijaya dalam mengembangkan proses pendidikan yang dilakukan.
B. Konsep Teoretis
1. Pembukaan Prodi Baru
Pembukaan prodi baru di lingkungan Perguruan Tinggi Agama Buddha (PTAB)
diatur dalam Keputusan Dirjen Bimas Buddha Nomor 234 Tahun 2014 Tentang
Pedoman Pembukaan Program Studi Perguruan Tinggi Agama Buddha. Merujuk
pada Lampiran Keputusan Menteri Agama Nomor 394 Tahun 2003 dan
keputusan menteri Pendidikan Nasional Nomor 234/U/2000, sebuah prodi baru
harus memiliki aspek-aspek yang dinilai sebagai persyaratan minimal. Aspek
tersebut antara lain kurikulum, nilai akreditasi prodi, tenaga pendidik dan
kependidikan, calon mahasiswa, dan proyeksi pembiayaan.
Pembukaan prodi diawali dengan mekanisme pengajuan proposal kepada
Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Buddha dengan melampirkan
persyaratan sesuai dengan Pasal 4 dan Pasal 5 Keputusan Menteri Agama Nomor
394 Tahun 2003. Pengajuan proposal pembukaan program studi harus dilampiri
dengan studi kelayakan, referensi bank dan bukti lain berkenaan dengan dana
penyelenggaraan perguruan tinggi, pendirian PTAB, statuta/AD-ART PTAB,
susunan pengurus prodi, sertifikat tanah dan prasarana fisik lainnya, serta
sertifikat akreditasi prodi yang sudah ada.
Proposal pembukaan prodi yang telah diajukan kemudian dinilai oleh tim
penilai. Proses penilaian ini dinamakan desk evaluation, karena hanya memotret
kondisi perguruan tinggi berdasarkan dokumen yang ada. Jika hasil desk
evaluation dikatakan layak maka tim akan melakukan visitasi ke lapangan untuk
mencocokkan hasil desk evaluation. Hasil visitasi lapangan dijadikan dasar apakah
prodi yang diusulkan layak dibuka atau tidak. Jika layak maka perguruan tinggi
yang bersangkutan tinggal menunggu terbitnya surat keputusan izin pembukaan
prodi baru.
2. Studi Kelayakan
Studi kelayakan merupakan langkah awal yang digunakan untuk pengambilan
keputusan guna pengembangan bisnis yang dilakukan. Kasmir dan Jakfar (2012:
7) menyatakan studi kelayakan bisnis adalah suatu kegiatan yang mempelajari
secara mendalam tentang suatu usaha atau bisnis yang akan dijalankan, dalam
rangka menentukan layak atau tidak usaha tersebut dijalankan. Kelayakan yang
diharapkan dalam penilaian dan sebuah proses studi kelayakan adalah
kemungkinan gagasan bisnis/usaha yang akan dilaksanakan memberikan
manfaat (benefit), baik dalam arti finansial maupun dalam pengertian sosial
benefit (Ibrahim, 2003: 1). Memahami kondisi yang akan menghasilkan studi
kelayakan yang baik akan membantu apakah, kapan, dan bagaimana studi
kelayakan akan dilakukan untuk organisasi. Tujuan menyeluruh dari studi
kelayakan adalah meningkatkan kesiapan organisasi untuk sukses sebelum
bisnis, kegiatan, dan dukungan dijalankan (Novom, 2007: 19).
3. Aspek Studi Kelayakan
Dalam menyusun sebuah studi kelayakan bisnis sekurang-kurangnya meliputi
beberapa aspek, diantaranya aspek pasar dan pemasaran, aspek teknis dan
teknologi, aspek organisasi dan manajemen, aspek ekonomi dan keuangan
(finansial), dan aspek legal dan perizinan (Ibrahim, 2009). Lebih mendalam,
Umar (2009: 24-29) menjabarkan studi kelayakan dapat dilakukan dengan
melihat aspek pasar, pemasaran, teknis dan teknologi, SDM, manajemen,
keuangan, sosial, politik, ekonomi, lingkungan industri, yuridis, dan aspek
lingkungan hidup. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan Keputusan Dirjen
Bimas Buddha Nomor 234 Tahun 2014 Tentang Pedoman Pembukaan Program
Studi Perguruan Tinggi Agama Buddha sebagai acuan aspek-aspek dalam studi
kelayakan. Aspek yang dimaksud antara lain analisis sumber daya dan fasilitas
pendukung, analisis pembiayaan pendidikan, analisis daya tampung dan prospek
minat mahasiswa, analisis kompetensi lulusan, analisis prospek pekerjaan, dan
analisis kebutuhan masyarakat.
4. Nava Dhammasekkha
Nava Dhammasekha merupakan Pendidikan Keagamaan Buddha formal yang
setara dengan Pendidikan Anak Usia Dini, ditempuh selama satu sampai dua
tahun. Kurikulum Nava Dhammasekha terdiri dari keagamaan Buddha dan
kurikulum pendidikan umum, memuat budi pekerti Buddhis dan pengenalan
kitab suci. Aspek-aspek pembelajaran Nava Dhammasekha dikembangkan oleh
penyelenggara pendidikan Dhammasekha sesuai kebutuhan dengan
mempertimbangkan kompetensi yang harus dikuasai.
Keputusan Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Buddha Nomor 323
Tahun 2016 Tentang Kurikulum Pendidikan Nava Dhammasekha menyatakan Nava
Dhammasekha diselenggarakan berdasarkan kelompok usia dan jenis pelayanan
yang meliputi:
1) Layanan Nava Dhammasekha untuk usia sejak lahir sampai enam tahun terdiri
atas Taman Penitipan Anak dan Nava Dhammasekha;
2) Layanan Penitipan Anak untuk usia dua sampai empat tahun merupakan
kelompok bermain (KB);
3) Layanan Pendidikan Anak Usia Dini untuk usia empat sampai dengan enam
tahun merupakan Nava Dhammasekha.
Kurikulum pendidikan Nava Dhammasekha mengacu pada tingkat pencapaian
perkembangan anak, terdiri atas kerangka dasar, struktur, kompetensi inti,
kompetensi dasar, dan indikator pencapaian perkembangan anak. Kerangka
dasar kurikulum berisi landasan filosofi, empiris, psikologis, sosial budaya, ilmu
pengetahuan dan teknologi, serta yuridis. Sedangkan struktur kurikulum
merupakan pengorganisasian muatan kurikulum, kompetensi inti, kompetensi
dasar, dan lama belajar.
C. Metodologi Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian survei. Penelitian dilaksanakan di dua provinsi,
yaitu Provinsi Banten dan Jawa Tengah. Pemilihan lokasi penelitian didasarkan
pada dua alasan, yaitu: 1) keberadaan Nava Dhammasekha formal yang telah
beroperasi, 2) banyaknya sekolah berciri Buddhis, dan 3) banyak siswa SMA/SMK
sederajat yang beragama Buddha dalam satau sekolah yang sama. Populasi dalam
penelitian ini adalah masyarakat pendidikan yang terdiri atas siswa, kepala sekolah,
dan pakar pendidikan. Pengambilan sampel penelitian dilaksanakan dengan cara
purposive sampel atau sampel bertujuan di dua Provinsi yaitu Banten dan Jawa
Tengah.
Pengumpulan data dilakukan dengan kuesioner atau angket (terbuka dan tertutup)
dan wawancara. Angket digunakan untuk memperoleh data mengenai minat
masyarakat melanjutkan studi di Prodi S1 Nava Dhammasekha dan kompetensi yang
dibutuhkan pengguna (Steakholder) terhadap lulusan Prodi S1 Nava Dhammasekha.
Wawancara dilakukan untuk mendapatkan data mengenai pendapat ahli terkait
rencana pembukaan Prodi S1 Nava Dhammasekha. Metode wawancara yang dipakai
dalam penelitian ini dengan menggunakan wawancara terstruktur. Analisis data
penelitian ini dilakukan secara kuantitatif dan kualitatif. Analisis data secara
kuantitatif digunakan untuk menganalisis hasil kuesioner yang telah terkumpul.
Analisis kuesioner yang berbentuk pertanyaan tertutup dilakukan dengan cara
mengelompokkan jawaban responden yang sama untuk kemudian dibuat
presentase dalam bentuk grafik. Analisis pertanyaan terbuka dalam kuesioner
dilakukan dengan cara mengelompokkan data ke dalam kelas-kelas atas dasar
kesamaan jawaban. Sementara itu, analisis data wawancara dalam penelitian ini
menggunakan model miles and huberman.
Gambar 8. Kendala Mengikuti Kuliah S1 Nava Dhammasekha
Data pada gambar 8 adalah kendala yang mungkin dihadapi siswa jika
melanjutkan studi S1 Nava Dhammasekha. Dari gambar tersebut dapat didapatkan
fakta bahwa sebanyak 3 siswa mengalami kendala dalam menggunakan komputer,
sebanyak 5 siswa kendalanya dalam menggunakan internet, 22 siswa terkendala
dalam penulisan ilmiah. Sementara itu, sebanyak 23 siswa terkendala dalam
penguasaan bahasa Inggris, 23 siswa terkendala pemerolehan sumber belajar, dan
7 siswa lainnya terkendala hal lain yang tidak disebutkan dalam kuesioner.
Kendala lain tersebut umumnya didominasi oleh dana atau pembiayaan saat
kuliah.
4. Pembahasan
Studi kelayakan pembukaan S1 Nava Dhammasekha memetakan tiga aspek yakni
prospek lulusan SMA/SMK sederajat melanjutkan studi di Prodi S1 Nava
Dhammasekha, kebutuhan dan kompetensi yang dibutuhkan oleh steakholder, dan
pendapat pakar terhadap rencana pembukaan Prodi S1 Nava Dhammasekha. Secara
umum, jika melihat hasil ketiga aspek studi kelayakan tersebut bisa dikatakan
bahwa Prodi S1 Nava Dhammasekha sangat prospektif. Meskipun demikian ada
beberapa hal yang perlu untuk dipertimbangkan sebelum pembukaan prodi
tersebut dilaksanakan.
Berkaca pada peluang lulusan SMA/SMK sederajat melanjutkan studi ke Prodi
S1 Nava Dhammasekha sebanyak 8% responden menyatakan mendaftar dan 25%
lainnya masih ragu-ragu. Angka tersebut dapat dikatakan prospektif mengingat
sebanyak 75% responden menyatakan tidak banyak mengetahui tentang prodi-
prodi yang ada di PTAB. Hanya 25% dari jumlah responden yang menyatakan
mengetahui prodi di PTAB dengan baik. Artinya, lebih dari sepertiga dari jumlah
responden yang mengetahui prodi di PTAB menyatakan siap untuk mendaftar.
Bahkan, jika Prodi S1 Nava Dhammasekha dibuka maka animo lulusan SMA/SMK
sederajat yang mendaftar hanya kalah dari Prodi Pendidikan Agama Buddha.
Sementara itu, jika dibandingkan dengan prodi lain yang telah eksis seperti
Kesehatan Buddha, Kepenyuluhan, dan Kepanditaan, Prodi Nava Dhammasekha
memiliki animo pendaftar yang lebih baik. Responden yang menyatakan
mendaftar pada Prodi Nava Dhammasekha keseluruhan berjenis kelamin
perempuan. Namun, tidak menutup kemungkinan guru Nava Dhammasekha
berjenis kelamin laki-laki.
Para pengguna lulusan juga menyambut positif rencana pembukaan Prodi S1
Nava Dhammasekha. Semua pengguna menyatakan membutuhkan lulusan Nava
Dhammasekha untuk mengisi guru Nava Dhammasekha maupun TK dan PAUD di
sekolah berciri Buddhis. Menurut pengguna ada tiga alasan mengapa mereka
sangat membutuhkan lulusan Nava Dhammasekha. Pertama, guru Nava
Dhammasekha, TK, dan PAUD harus diisi oleh lulusan yang latar belakang
pendidikannya sesuai. Kedua, guru yang ada saat ini sebagaian besar kualifikasi
pendidikannya tidak sesuai karena lebih banyak diisi oleh lulusan sarjana
Pendidikan Agama Buddha maupun Kepenyuluhan. Alasan ketiga adalah
kompetensi guru yang ada saat ini dianggap belum memenuhi kriteria guru yang
berkompeten. Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan oleh pakar pendidikan
bahawa untuk menangani anak usia dini memang dibutuhkan kualifikasi lulusan
yang memahami psikologi anak dan tugas-tugas perkembangan anak dengan
baik.
Meskipun demikian ada sebagian pengguna yang menyatakan saat ini
kebutuhan terhadap lulusan Nava Dhammasekha belum mendesak. Alasannya,
kualifikasi tersebut saat ini masih bisa digantikan oleh guru-guru dari bidang
keilmuan yang lain. Sementara itu, tim ahli penyusun kurikulum Dhammasekha
menekankan pentingnya payung hukum yang secara spesifik menanungi
operasional Dhammasekha termasuk kualifikasi tenaga pendidiknya. Termasuk
juga apakah kompetensi lulusan S1 Nava Dhammasekha dapat disetarakan dengan
lulusan PG PAUD. Jika hal itu dapat diwadahi oleh sebuah payung hukum yang
jelas maka lulusan Nava Dhammasekha akan sangat prosepektif.
Kompetensi yang diharapkan dimiliki oleh lulusan S1 Nava Dhammasekha seperti
guru pada umumnya yaitu kepribadian, sosial, profesional, dan pedagogik. Pada
kompetensi kepribadian, pengguna menekankan lulusan Nava Dhammasekha
harus memiliki karakter Buddhis yang baik. Sementara pada kompetensi
pedagogik, kemampuan didaktik metodik pengajaran harus diimbangi dengan
pengetahuan psikologi anak dan tahap-tahap perkembangan anak dengan baik.
Sementara untuk kompetensi profesional dan sosial, tidak terlalu menjadi
perhatian karena dapat dipelajari dengan mudah.
Selain kompetensi utama, pengguna dan pakar juga mengharapkan lulusan Nava
Dhammasekha memiliki kompetensi tambahan yang dapat menunjang kompetensi
utama guru. Kompetensi penunjang yang diharapkan dimiliki oleh lulusan Nava
Dhammasekha masih berhubungan dengan tugas mengajar anak usia dini yang
dipandang memiliki karakteristik berbeda. Kompetensi tersebut secara umum
dapat dikelompokkan ke dalam bidang seni dan budaya, bahasa, olahraga dan
permainan, hypnoteaching, dan manajemen.
Kompetensi di bidang seni dan budaya yang diharapkan dimiliki lulusan Nava
Dhammasekha antara lain seni dan budaya Buddhis, bermain musik, menyanyi,
bermain drama, menggambar, keterampilan tangan, dan bercerita. Hal itu tentu
sesuai dengan karakteristik pembelajaran anak usia dini yang menganut azas
belajar sambil bermain. Secara spesifik guru lulusan nava Dhammasekha
diharapkan mampu mengajarkan seni dan budaya Buddhis seperti membaca
Dhammapada.
Lulusan Nava Dhammasekha juga diharapkan memahami konsep dan tahu
bagaimana mengajarkan olahraga dan permainan kepada anak. Dalam pengajaran
anak usia dini yang selalu menitikberatkan pada pengembangan motorik halus
dan kasar, olahraga dan permainan bisa dijadikan sarana pengajaran yang efektif.
Selain itu, lulusan Nava Dhammasekha juga diharapkan memiliki kemampuan
berbahasa asing khususnya Mandarin dan Inggris. Selain itu, kemampuan
hypnoteaching menjadi kompetensi yang juga diharapkan dimiliki oleh lulusan
Nava Dhammasekha agar mampu mengelola siswa dalam pembelajaran di
kelas.Implementasi dari kompetensi-kompetensi yang diharapkan oleh
pengguna dan pakar tersebut dapat dituangkan dalam kurikulum dan sebaran
matakuliah.
Meskipun kebutuhan pengguna sangat besar, pembukaan prodi baru di
perguruan tinggi tetap harus mempertimbangkan banyak aspek baik internal
maupun eksternal. Aspek-aspek yang dikaji dalam penelitian ini termasuk aspek
eksternal, sedangkan aspek internal meliputi kemampuan sebuah perguruan
tinggi untuk menyelenggarakan sebuah prodi seperti kemampuan finansial,
organisasi dan manajemen, serta sarana dan prasarana. Kemampuan finansial
berkenaan dengan pendanaan pada perguruan tinggi sebagai akibat pembukaan
prodi baru. Organisasi dan manajemen berkenaan dengan segala pengaturan dan
operasional prodi termasuk menyiapkan tenaga pendidik yang sesuai dengan
prodi yang dibuka. Sementara sarana dan prasarana berkenaan dengan segala
kebutuhan barang modal termasuk sistem teknologi informasi yang dibutuhkan
dalam pembukaan prodi.
Melihat kondisi STAB Negeri Sriwijaya saat ini, pada aspek internal hal yang
agak sulit untuk diusahakan adalah organisasi dan manajemen. Sesuai dengan
Permendikbud Nomor 49 Tahun 2014 bahwa pembukaan prodi baru harus
memiliki minimal 6 dosen bergelar S2 yang bidang keahliaannya sesuai dengan
prodi. Sementera tenaga kependidikan yang sesuai dengan keahlian, saat ini
telah tersedia dan jumlahnya lebih dari cukup.
Aspek-aspek lain yang harus dipertimbangkan dalam pembukaan prodi juga
telah tersedia dengan baik dan hanya memerlukan penyesuaian. Pada aspek
kemampuan finansial misalnya, dengan sumber dana berasal dari DIPA tidak
akan menyulitkan STAB Negeri Sriwijaya meskipun harus menambah prodi
baru. Berikut gambaran umum alokasi dana di STAB Negeri Sriwijaya yang
digunakan untuk operasionalisasi penyelenggaraan pendidikan setiap tahun.
Tabel 3. Alokasi Dana untuk Tri Dharma Perguruan Tinggi
Persentase Dana
No. Jenis Penggunaan
TS-3 TS-2 TS-1
(1) (2) (3) (4) (5)
1 Pendidikan 2.412,415 1.550,885 1.851,289
2 Penelitian 498,000 362,125 1.410,084
3 Pengabdian kepada 455,705 73,721 333,606
Masyarakat
4 Investasi prasarana - - -
5 Investasi sarana 4.744,481 4.660,776 658,000
6 Investasi SDM 597,000 1.029,020 466,750
Sementara itu, sarana dan prasarana pembelajaran yang ada di STAB Negeri
Sriwijaya juga telah tersedia dengan baik. Sistem informasi dan teknologi
pembelajaran juga tersedia untuk menunjang kegiatan pembelajaran. Artinya,
sembari menunggu kejelasan payung hukum Dhammasekha, STAB Negeri
Sriwijaya dapat menyiapkan tenaga pendidik yang bidang keahliannya sesuai
dengan keahlian Prodi seperti yang disyaratkan dalam regulasi pembukaan
prodi.
E. Penutup
Berdasarkan hasil penelitian penulis menyimpulkan beberapa hal berkenaan dengan
studi kelayakan pembukaan Prodi S1 Nava Dhammasekha antara lain:
1. Prospek minat masyarakat untuk melanjutkan studi di Prodi S1 Nava
Dhammasekha sangat baik. Sebanyak 8% responden menyatakan akan mendaftar,
25% mungkin mendaftar, 25% belum tahu, 27% tidak mendaftar dan 10% lainnya
tidak menjawab.
2. Pengguna sangat mendukung pembukaan Prodi S1 Nava Dhammasekha dan masuk
dalam katagori kebutuhan yang sangat mendesak. Kompetensi utama yang
diharapkan oleh pengguna dari lulusan Nava Dhammasekha yaitu memiliki
kompetensi kepribadian, sosial, profesional, dan pedagogik yang baik, sedangkan
kompetensi tambahan yang diharapkan antara lain bidang seni dan budaya,
bahasa, olahraga dan permainan, hypnoteaching, dan manajemen.
3. Pakar pendidikan menyatakan dukungan dan kelayakan pembukaan Prodi S1
Nava Dhammasekha selama ada kepastian dan payung hukum yang menaungi
Dhammasekha sebagai satuan pendidikan formal.
4. Kondisi internal STAB Negeri Sriwijaya cukup siap dalam menyelenggarakan
Prodi S1 Nava Dhammasekha, namun masih perlu investasi SDM dalam beberapa
tahun ke depan sembari menunggu kepastian regulasi terkait Dhammasekha.
F. Referensi
Anas Sudijono. 2011. Pengantar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: RajaGrafindo.
Asnah Said,Asnah, Durri Andriani, Edy Sjarif, dkk. 2014. Studi Kelayakan Program
Studi S1 Teknologi Pendidikan Jurusan Ilmu Pendidikan FKIP-UT. Fakultas
Ilmu Keguruan dan Pendidikan Universitas Terbuka.
Ag Decision Maker. 2009. Feasibility Study Online, file c5-66.
https://www.extension.iastate.edu/agdm (diakses 7 September 2017).
Bonifaci, Pietro, SergioCopiello, & Stefano Stanghellini. 2016. The Methodological
Framework of Feasibility Study to Support Strategic Planning. Procedia -
Social and Behavioral Sciences 223, 45 – 50. University IUAV of Venice,
Departmnent Of Design and Planning, Dorsodure 2206, Venice 30123. Italy.
Ibrahim, Yacob. 2003. Studi Kelayakan Bisnis, Edisi Revisi. Jakarta: Rineka Cipta.
_____________. 2009. Studi Kelayakan Bisnis, Edisi Revisi. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Kasmir dan Jakfar. 2012. Studi Kelayakan Bisnis, (Edisi Revisi). Jakarta: kencana.
Keputusan Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Buddha Nomor 234 Tahun
2014 Tentang Pedoman Pembukaan Program Studi Perguruan Tinggi Agama
Buddha.
Keputusan Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Buddha Nomor 323 Tahun
2016 Tentang Kurikulum Pendidikan Nava Dhammasekha.
Keputusan Menteri Agama Nomor 394 Tahun 2003 Tentang Pedoman Pendirian
Perguruan Tinggi Agama.
Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 234/U/2000 Tentang Pedoman
Pendirian Perguruan Tinggi
Novom, L. Martin. 2007. The Fundraising Feasibility Study: It’s Not about the Money. New
Jersey: John Wiley & Sons, Inc.
Peraturan menteri Agama Republik Indonesia Nomor 17 tahun 2016, Tentang
Statuta Sekolah Tinggi Agama Buddha Negeri Sriwijaya Tangerang Banten.
Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007 Tentang Pendidikan Agama dan
Pendidikan Keagamaan.
Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2014 Tentang
Pendidikan Keagamaan Buddha.
Portal Sistem Informasi Data Bimas Buddha. Grafik Jumlah Dhammasekha.
Setemen, Komang, Putu Hendra Suputra, & Ketut Purnamawan. 2009. Studi
Kelayakan Pembukaan Program Diploma III Teknologi Informasi Undiksha
Singaraja. JPTK, UNDIKSHA, Vol. 6, No. 1, 1 – 16. Jurusan Manajemen Informatika,
FTK, Undiksha.\
Suliyanto. 2011. Studi Kelayakan Bisnis. Yogyakarta: Penerbit Andi.
Umar, Husein. 2005. Studi Kelayakan Bisnis, Edisi 3. Jakarta: PT.Gramedia
Pustaka Utama.
___________. 2009. Studi Kelayakan Bisnis, Edisi 3. Jakarta: PT.Gramedia Pustaka
Utama.