Anda di halaman 1dari 9

INTEGRASI K-13, PPK, DAN GLS PADA SPMI DI SATUAN PENDIDIKAN

Oleh:

IDRIS APANDI

(Widyaiswara Ahli Madya Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan/LPMP Jawa Barat)

Pendidikan abad 21 mensyaratkan pembelajaran kooperatif, kolaboratif, menguasai


teknologi, informasi, dan komunikasi. Oleh karena itu, setiap satuan pendidikan harus
mampu mengantisipasi sekaligus menyelenggarakan layanan pendidikan yang mampu
menjawab tantangan zaman.

Berdasarkan kepada hal tersebut, maka sekolah harus meningkatkan mutu layanan
pendidikan. Pasal 5 ayat (1) Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional (Sisdiknas) mengamanatkan bahwa "Setiap warga negara mempunyai
hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu." Lalu pada pasal 11 dinyatakan
bahwa "Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta
menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa
diskriminasi."

Salah satu upaya yang dilakukan adalah melalui Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan
(SPMP). Penjaminan mutu pendidikan adalah amanat Undang-undang Nomor 20 tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pada pasal ayat (3) dinyatakan bahwa "Sistem
pendidikan nasional adalah keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait secara
terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan nasional."

Hal ini dipertegas dalam Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2005 tentang
Standar Nasional Pendidikan (SNP). Pada pasal 91 ayat (1), (2), dan (3) dinyatakan bahwa;
(1) Setiap satuan pendidikan pada jalur formal dan nonformal wajib melakukan penjaminan
mutu pendidikan; (2) Penjaminan mutu pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
bertujuan untuk memenuhi atau melampaui Standar Nasional Pendidikan; (3) Penjaminan
mutu pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara bertahap, sistematis,
dan terencana dalam suatu program penjaminan mutu yang memiliki target dan kerangka
waktu yang jelas.

Dalam upaya mencapai SNP, Mendikbud menerbitkan Permendikbud Nomor 28 tahun 2016
tentang Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan (SPMP) Dasar dan Menengah. Pada pasal 1
ayat (3) disebutkan bahwa "Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan Dasar dan Menengah
adalah suatu kesatuan unsur yang terdiri atas organisasi, kebijakan, dan proses terpadu yang
mengatur segala kegiatan untuk meningkatkan mutu pendidikan dasar dan menengah yang
saling berinteraksi secara sistematis, terencana dan berkelanjutan."
SPMP terdiri dari dua bentuk, yaitu; (1) Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) dan (2)
Sistem Penjaminan Mutu Eksternal (SPME). Pasal 1 ayat (4) Permendikbud Nomor 28 Tahun
2016 menyatakan bahwa "Sistem Penjaminan Mutu Internal Pendidikan Dasar dan
Menengah, yang selanjutnya disingkat SPMI-Dikdasmen adalah suatu kesatuan unsur yang
terdiri atas kebijakan dan proses yang terkait untuk melakukan penjaminan mutu pendidikan
yang dilaksanakan oleh setiap satuan pendidikan dasar dan satuan pendidikan menengah
untuk menjamin terwujudnya pendidikan bermutu yang memenuhi atau melampaui Standar
Nasional Pendidikan."

Lalu pasal 1 ayat (5) menyatakan bahwa "Sistem Penjaminan Mutu Eksternal Pendidikan
Dasar dan Menengah, yang selanjutnya disingkat SPME-Dikdasmen, adalah suatu kesatuan
unsur yang terdiri atas organisasi, kebijakan, dan proses yang terkait untuk melakukan
fasilitasi dan penilaian melalui akreditasi untuk menentukan kelayakan dan tingkat
pencapaian mutu satuan pendidikan dasar dan pendidikan menengah."

Kedua sistem tersebut saling terkait, sama-sama penting, dan sama-sama diperlukan dalam
rangka meningkatkan mutu pendidikan, tetapi hal yang paling utama adalah penjaminan mutu
yang dilakukan oleh sekolah. SPMI membangun semangat kesadaran terhadap pentingnya
budaya mutu dan perbaikan mutu berkelanjutan.

SPMI melibatkan warga sekolah mulai dari Kepala Sekolah, Guru, Staf, siswa, Komite
Sekolah, orang tua siswa, dunia usaha dan dunia industri (DUDI), di bawah binaan atau
pendampingan pengawas sekolah. Berbagai pihak tersebut diharapkan duduk bersama,
memikirkan dan menyusun berbagai program peningkatan mutu sekolah.

Kurikulum 2013

Integrasi Kurikulum 2013 (K-13) dalam Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI), utamanya
berkaitan dengan pemenuhan Standar Nasional Pendidikan (SNP) yang berhubungan dengan
empat standar akademik, yaitu; (1) standar kelulusan (SKL), (2) standar isi, (3) standar
proses, dan (4) standar penilaian. Keempat standar tersebut dijabarkan dalam indikator dan
subindikator pada instrumen Pemetaan Mutu Pendidikan (PMP). Hasil pengisian instrumen
PMP lalu menjadi rapor mutu satuan pendidikan. Berbagai indikator atau subindikator yang
nilainya masih rendah atau belum mencapai SNP, perlu dipenuhi atau ditingkatkan
berdasarkan skala prioritas melalui program yang disusun dalam Rencana Kerja Sekolah
(RKS) dan Rencana Kerja Anggaran Sekolah (RKAS).

Pada kurikulum 2013 ditekankan penanaman aspek sikap dengan tetap memperhatikan aspek
pengetahuan dan sikap. Hal ini tercermin pada Empat Kompetensi Inti (KI), yang meliputi
KI-1 sikap spiritual, KI-II sikap sosial, KI-III pengetahuan, dan KI-IV keterampilan. KI
merupakan kompetensi yang mengikat berbagai Kompetensi Dasar (KD) ke dalam aspek
sikap, keterampilan, dan pengetahuan yang harus dipelajari peserta didik untuk suatu jenjang
sekolah, kelas, dan mata pelajaran. KI harus dimiliki peserta didik untuk setiap kelas melalui
pembelajaran Kompetensi Dasar yang diorganisasikan dalam pembelajaran tematik integratif
dengan pendekatan pembelajaran siswa aktif. Kompetensi Dasar merupakan kompetensi
setiap mata pelajaran untuk setiap kelas.
Pada implementasi K-13 juga ditekankan tentang penerapan pendekatan santifik yang dikenal
dengan 5M yang meliputi: mengamati, menanya, mengumpulkan informasi, menalar/
mengasosiasikan, dan mengomunikasikan. Kemudian membekali peserta didik dengan
kemampuan abad 21 (4C) yang meliputi: communication (komunikasi), collaboration
(kolaborasi), critical thinking and problem solving (berpikir kritis dan menyelesaikan
masalah), creative and innovative (kreatif dan inovatif).

Perencanaan, pelaksanaan, dan penilaian pembelajaran harus merangsang kemampuan


berpikir tingkat tinggi (higher order thinking skills/HOTS) dimana peserta didik bukan hanya
diberikan pelajaran pada ranah C-1 (pengetahuan), C-2 (pemahaman), dan C-3 (aplikasi/
penerapan) yang dikategorikan sebagai ranah keterampilan berpikir tingkat rendah (lower
order thinking skills/LOTS), tetapi pada ranah C-4 (analisis), C-5 (evaluasi), dan C-6
(mencipta). Pada aspek penilaian pun, guru harus menerapkan penilaian otentik atau
penilaian apa adanya, objektif dalam mengukur kemampuan siswa melalui berbagai jenis
metode dan teknik penilaian.

Berbagai hal yang saya uraikan di atas merupakan hal erat kaitannya dengan standar-standar
yang bersifat akademik. Pada implementasi SPMI, berbagai hal tersebut dipenuhi melalui
tahapan: pemetaan mutu, penyusunan rencana pemenuhan mutu, monitoring dan evaluasi
pelaksanaan pemenuhan mutu, dan penyusunan strategi baru pemenuhan mutu.

Guru merupakan sosok yang memegang peranan penting pada pemenuhan SNP yang
berkaitan dengan akademik. Oleh karena itu, rekomendasi atau rencana pemenuhan mutu
tidak akan lepas dari peningkatan mutu atau kompetensi guru. Dan tentunya perlu
dipertimbangkan berdasarkan prioritas kemampuan sekolah khususnya dalam hal anggaran,
walau peningkatan mutu guru tidak selalu identik dengan anggaran yang dikeluarkan oleh
satuan pendidikan, karena bisa saja dilakukan oleh guru secara mandiri.

Penguatan Pendidikan Karakter (PPK)

Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) menjadi salah satu agenda penting dalam peningkatan
mutu pendidikan. PPK melibatkan Tri Pusat Pendidikan, yaitu keluarga, sekolah, dan
masyarakat. Pasal 1 ayat (1) Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2017 menyatakan bahwa:
"Penguatan Pendidikan Karakter yang selanjutnya disingkat PPK adalah gerakan pendidikan
di bawah tanggung jawab satuan pendidikan untuk memperkuat karakter peserta didik
melalui harmonisasi olah hati, olah rasa, olah pikir, dan olah raga dengan pelibatan dan kerja
sama antara satuan pendidikan, keluarga, dan masyarakat sebagai bagian dari Gerakan
Nasional Revolusi Mental (GNRM)."

PPK dilaksanakan dengan menerapkan nilai-nilai Pancasila dalam pendidikan karakter


terutama meliputi nilai-nilai religius, jujur, toleran, disiplin, bekerja keras, kreatif, mandiri,
demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi,

Sejalan dengan implementasi kurikulum 2013, PPK diintegrasikan ke dalam kegiatan seperti;
pembiasaan, proses pembelajaran (intrakurikuler), kokurikuler, dan kegiatan ekstrakurikuler.
Dan yang paling utama, agar PPK ini dapat berhasil dengan baik, diperlukan keteladanan dari
orang tua, guru, pemimpin, dan orang dewasa lainnya, karena PPK minus keteladanan adalah
yang ironis sekaligus kontraproduktif. Sebuah pepatah bijak mengatakan "satu perbuatan
lebih utama daripada 1000 nasihat." Hal itu menunjukkan pentingnya sebuah keteladanan
dalam proses pendidikan karakter.

Dalam konteks implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI), pendidikan karakter
bisa menjadi ruh dalam pelaksaaan SPMI. Menurut Apandi (2018 : 135-137), ada nilai-nilai
karakter yang ditanamkan dari pelaksanaan SPMI, antara lain : (1) sadar budaya mutu, (2)
kolaborasi dan sinergi, (3) berjiwa pembelajar, (4) kerja keras, (5) komunikasi efektif, (6)
berjiwa reflektif.

Pertama, sadar budaya mutu. Saat ini, mutu menjadi suatu hal yang sangat penting dalam
membangun daya saing. Ada perusahaan yang maju pesat karena kreatif, inovatif, dan terus
meningkatkan mutu, baik mutu produk, maupun mutu layanan. Tetapi ada juga yang colaps
bahkan bangkrut karena tidak kreatif, inovaif, dan tidak mampu menjaga mutunya.

Begitupun dengan sekolah. Saat ini diakui atau tidak, persaingan sekolah untuk meraih
kepercayaan masyarakat semakin ketat. Masyarakat, utamanya yang relatif berpendidikan
menengah ke atas semakin kritis dalam menilai mutu sekolah. Ada sekolah yang diburu oleh
masyarakat, bahkan sebelum datang tahun pelajaran baru, sudah banyak yang mendaftar dan
waiting list, tetapi ada sekolah jumlah muridnya semakin menurun, bahkan terpaksa ditutup
karena sudah tidak mampu lagi beroperasional.

Agar sekolah mampu bertahan dan diminati masyarakat, maka harus terus meningkatkan
mutunya, baik mutu pendidik dan tenaga kependidikan, mutu sarana dan prasarana, mutu
pembelajaran, mutu kegiatan ekstrakurikuler, maupun mutu lulusannya. Mutu sekolah
setidaknya terlihat dari prestasi sekolah, baik prestasi akademik maupun nonakademik.

Kedua, kolaborasi dan sinergi. Proses penjaminan mutu di sekolah tidak hanya mengandalkan
pihak-pihak tertentu saja, tetapi memerlukan peran serta atau partisipasi semua warga
sekolah, mulai dari kepala sekolah, guru, staf, dan komite sekolah. Dengan kata lain perlu ada
kolaborasi dan sinergi diantara semua pihak. Adapun TPMPS menjadi leading sector yang
menangani pelaksanaan berbagai program penjaminan mutu di sekolah. Tanpa bantuan dari
semua warga sekolah, peran TPMPS tidak akan optimal.

Kata kuncinya adalah KOMITMEN bersama. Komitmen mudah untuk diucapkan, tetapi
dalam pelaksanaannya sulit karena dihadapkan pada tantangan dan godaan. Oleh karena itu,
perlu kesadaran semua pihak terkait untuk menghormati dan melaksanakan komitmen yang
telah disepakati. Pada awal pelaksanaan SPMI, setiap sekolah membuat komitmen dan fakta
integritas yang ditandatangani oleh semua warga dan dipampang di dinding sekolah. Dan
pertanyaannya adalah apakah komitmen itu ditindaklanjuti dengan aksi nyata atau tidak?

Ketiga, berjiwa pembelajar. Pelaksanaan SPMI di sekolah dapat disikapi secara positif, yaitu
semua warga sekolah didorong untuk belajar mekanisme penjaminan mutu. Disamping
membaca berbagai sumber belajar, mereka pun dapat mengundang orang yang paham tentang
penjaminan mutu ke sekolah, atau berdikusi dengan sesama rekan terkait dengan penjaminan
mutu. Dengan demikian, maka sekolah menjelma menjadi organisasi pembelajar. Sekolah
sebagai organisasi pembelajar akan menumbuhkan iklim yang kondusif dalam peningkatan
profesionalisme pendidik dan tenaga kependidikan.
Keempat, kerja keras. Untuk mewujudkan sekolah yang bermutu, tentunya memerlukan kerja
keras semua pihak. Pengorbanan pastinya juga perlukan. Minimal pengorbanan waktu dan
tenaga, tidak dipungkiri juga pengorbanan biaya. Ibarat menanam pohon jati, hasil dari kerja
keras kadang tidak dapat dirasakan dalam waktu dekat, tetapi perlu waktu lama untuk
merasakannya.

Kelima, komunikasi efektif. SPMI merupakan kerja tim, bukan kerja yang dilakukan oleh
segelintir orang. Dalam pelaksanaannya memerlukan komunikasi efektif antarberbagai pihak
yang terkait. Saling pengertian dan saling memahami mutlak diperlukan. Warga sekolah tidak
saling mengandalkan dalam melaksanakan pekerjaan, dan tidak saling menyalahkan ketika
ada masalah, tetapi dievaluasi mengapa masalah tersebut terjadi? Apa penyebabnya? Dan apa
alternatif solusi yang dilakukan untuk menyelesaikan masalah?

Keenam, berjiwa reflektif. Penjaminan mutu merupakan sebuah siklus yang berlangsung
secara berkelanjutan. Dari satu siklus ke siklus berikutnya perlu dilakukan refleksi, mana hal
yang sudah tercapai, dan mana yang belum tercapai. Sejauh mana pelaksanaan komitmen
yang telah dibuat? apakah sudah dilaksanakan oleh semua warga sekolah atau masih ada yang
perlu diingatkan dan mendapatkan pembinaan?

Refleksi juga perlu dilakukan agar semua warga sekolah dapat merenungkan sejauhmana
peran dan kontribusinya dalam proses penjaminan mutu di sekolah. Kadang-kadang
merefleksikan sendiri lebih nyaman dibandingkan dengan diingatkan oleh orang lain, karena
pada dasarnya manusia adalah makhluk yang egois, sulit untuk menerima kritik orang lain.

Selain sebagai ruh implementasi SPMI, pendidikan karakter pun dapat dijadikan sebagai
bingkai penjaminan mutu pendidikan. Menurut Apandi (2018: 146-149), ada beberapa nilai
karakter yang ditanamkan, antara lain;

Pertama, organisasi pembelajar. Satuan pendidikan yang melakukan penjaminan mutu


pendidikan akan menjelma menjadi organisasi pembelajar. Warga sekolah, mulai dari kepala
sekolah, guru, hingga staf administrasi memiliki semangat untuk mengetahui, memahami,
dan melaksanakan penjaminan mutu pendidikan dalam rangka mencapai 8 SNP.

Sebagai pembelajar, warga sekolah terbuka terhadap hal-hal baru sepanjang hal tersebut
bermanfaat dan dapat menambah pengetahuan yang berdampak terhadap peingkatan kinerja
sekolah. Tujuan akhir dari layanan pendidikan adalah dihasilkannya lulusan yang kompeten
dalam pengetahuan, sikap, dan keterampilan. Untuk mewujudkan hal tersebut, tentunya para
pembeli layanan pendidikan, seperti kepala sekolah (layanan kepemimpinan dan layanan
manajerial), guru (layanan pembelajaran) ditopang dengan staf administrasi (layanan
administratif) harus kompeten.

Jantung dari layanan pendidikan di sekolah tentunya adalah proses pembelajaran yang
dilakukan oleh guru. Oleh karena itu, pemerintah menyadari terhadap pentingnya
peningkatan profesionalisme guru yang ditindaklanjuti dengan berbagai pelatihan, bimbingan
teknis (bimtek) dan sebagainya. Hasil yang diharapkan dari kegiatan tersebut adalah lahirnya
guru yang berkualitas, kreatif, dan inovatif, serta mampu menyajikan pembelajaran yang
bermakna bagi siswa.
Kedua, membangun komitmen. Peningkatan mutu pendidikan di satuan pendidikan
memerlukan komitmen semua warga sekolah. Tidak hanya mengandalkan pihak-pihak
tertentu. Oleh karenanya, hal yang pertama kali harus dibangun adalah komitmen bahwa
peningkatan mutu merupakan sebuah kebutuhan sekaligus tuntutan untuk meningkatkan daya
saing satuan pendidikan.

Komitmen mudah diucapkan dan mudah disusun dengan menggunakan bahasa yang indah
dan terlihat sangat bersemangat, tetapi kadang dalam pelaksanaanya tidak semudah
sebagaimana yang tercantum dalam tulisan. Oleh karena itu, diperlukan kesadaran masing-
masing untuk menghormati dan melaksanakannya. Perlu pula saling mengingatkan agar
komitmen yang telah dibuat tetap dijaga dan dipelihara agar tidak hanya sekedar indah di atas
kertas.

Ketiga, membangun budaya gotong royong. Peningkatan mutu pendidikan tidak bisa
dilakukan seorang diri oleh kepala sekolah, tetapi memerlukan tim kerja (team work) yang
solid dan kompak. Oleh karena itu, sekolah membuat Tim Peningkatan Mutu Pendidikan
Sekolah (TPMPS) sebagai leading sector peningkatan mutu di satuan pendidikan.

Budaya gotong royong dan kerjasama dibangun dalam tim. Bekerja bersama dan sukses pun
bersama. Jangan sampai ada ada yang capai bekerja sedangkan yang lain berleha-leha. Jangan
sampai kesuksesan hanya diklaim oleh pihak tertentu saja. Hargai dan apresiasi sekecil
apapun kontribusi yang diberikan oleh orang-orang yang berada dalam tim, agar muncul rasa
bangga dan rasa memiliki terhadap tim. Sehingga hal ini dapat meningkatkan motivasi untuk
bekerja lebih baik lagi.

Gotong royong merupakan budaya bangsa yang perlu dilestarikan dalam berbagai bidang
kehidupan, termasuk dalam meningkatkan mutu pendidikan. Pemerintah, satuan pendidikan,
dan masyarakat perlu bergotong royong dan bersinergi dalam mewujudkan pendidikan yang
bermutu.

TPMPS adalah sebuah unit yang diharapkan perannya untuk dapat menjembatani komunikasi
antara pihak sekolah dengan pemerintah, sekolah dengan komite sekolah, dan pihak sekolah
dengan dunia usaha dan industri. Itulah sejatinya hakikat Manajemen Berbasis Sekolah
(MBS). Sekolah diberikan kewenangan untuk mengelola sekolahnya sendiri sesuai dengan
kebutuhan dan kemampuan sekolah masing-masing.

Keempat, peningkatan mutu berkelanjutan. Implementasi sistem penjaminan mutu di satuan


pendidikan dapat memacu semangat untuk melakukan peningkatan mutu secara
berkelanjutan. Indikator-indikator mutu dicapai secara bertahap sesuai dengan skala prioritas
sesuai hasil Evaluasi Diri Sekolah (EDS) atau rapot mutu. Program-program peningkatan
mutu disusun secara demokratis dan partisipatif. Perlahan tapi pasti, mutu sekolah akan terus
meningkat, dan sekolah akan memiliki daya saing. Sekolah yang memiliki daya saing
tentunya akan semakin kompetitif dan semakin diminati masyarakat.

Dalam beberapa kunjungan saya ke beberapa daerah, diantaranya ada sekolah-sekolah yang
telah bubar. Dan ternyata hal tersebut disebabkan oleh semakin minimnya jumlah siswa di
sekolah tersebut. Hal ini tidak dipungkiri sebagai dampak semakin minimnya kepercayaan
masyarakat atau munculnya sekolah-sekolah baru yang lebih berkualitas.
Di lingkungan masyarakat, khususnya masyarakat pendidikan ke atas, yang juga kritis
dengan masalah mutu pendidikan, sekolah gratis tidak menjadi daya tarik utama untuk
menyekolahkan anaknya. Yang dilihat adalah sejauh mana sekolah dapat memberikan
layanan pendidikan berkualitas bagi anaknya, walau konsekuensinya harus membayar dengan
biaya yang tidak murah.

Sebagai sebuah investasi, tentunya pendidikan adalah sebuah kegiatan yang memerlukan
modal. Adanya kebijakan sekolah gratis diakui atau tidak telah mengurangi layanan kualitas
pendidikan. Walau demikian, para sekolah yang menerapkan sekolah gratis, utamanya pada
jenjang SD dan SMP tetap berupaya memberikan layanan pendidikan yang berkualitas di
tengah banyak keterbatasan. Mereka memutar otak, gali lobang dan tutup lobang bagaimana
operasional sekolah bisa terus berjalan walau tantangannya berat.

Kelima, belajar tertib administrasi. Pelaksanaan sistem penjaminan mutu di satuan


pendidikan mendorong warga sekolah, utamanya TPMPS untuk tertib administrasi. Semua
tahapan pelaksanaan penjaminan mutu didokumentasikan baik dalam bentuk soft copy
maupun hard copy. Hal ini selain sebagai bentuk tertib administrasi, juga sebagai bentuk
akuntabilitas. Tertib administrasi juga akan memudahkan warga sekolah dalam mengakses
berbagai dokumen yang diperlukan.

Pada saat pelaksanaan akreditasi, bukti-bukti fisik akan sangat membantu sekolah dalam
menjawab pertanyaan tim assessor atau menunjukkan bukti pendukung kegiatan, sehingga
tim assessor bisa yakin dan memberikan nilai yang objektif. Jadi, tidak akan ada lagi sekolah
yang antara nilai akreditasinya dengan kondisi riilnya tidak sesuai.

Keenam, motif berprestasi. Melalui implemetasi sistem penjaminan mutu, satuan pendidikan
didorong untuk meningkatnya prestasinya. Selain prestasi secara institusional, bukti nyata
prestasi sekolah adalah pada prestasi siswa atau prestasi lulusannya, baik prestasi akademik,
maupun prestasi non akademik. Oleh karena itu, TPMPS sangat disarankan untuk menulis
praktik terbaik (best practice) yang isinya menceritakan kisah sukses sekolah dalam
meningkatkan tata kelola, mutu, atau prestasi sekolah.

Ketujuh, integritas. Pelaksanaan penjaminan mutu di sekolah memerlukan kejujuran sekolah


dalam melaksanakan setiap tahapan penjaminan mutu. Bahkan kejujuran menjadi fondasi
penting dalam penjaminan mutu. Kejujuran atau integritas sekolah dalam melakukan EDS
atau mengisi rapot mutu akan menjadi pintu gerbang peningkatan mutu sekolah. Tidak ada
kekhawatiran sekolahnya akan dinilai berkinerja rendah, karena memang hasil EDS
menunjukkan keadaan yang sebenarnya.

Berdasarkan kepada uraian di atas, dapat diambil sebuah benang merah bahwa SPMI bukan
hanya sekedar proses peningkatan mutu, tetapi sarat akan makna yang dapat diambil oleh
semua warga sekolah, khususnya dalam penguatan pendidikan karakter.

Gerakan Literasi Sekolah (GLS)

Gerakan literasi saat ini adalah sebuah kebutuhan yang mendesak, karena hasil dari berbagai
kajian menunjukkan bahwa minat baca masyarakat masih rendah. Berdasarkan studi "Most
Littered Nation In the World" yang dilakukan oleh Central Connecticut State Univesity pada
Maret 2016 lalu, Indonesia dinyatakan menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat
membaca. Indonesia persis berada di bawah Thailand (59) dan di atas Bostwana (61).
(Kompas, 29/08/2016). Lima indikator kesehatan literasi negara, yakni perpustakaan, surat
kabar, pendidikan, dan ketersediaan komputer.

Berdasarkan hasil penelitian perpustakaan nasional tahun 2017, tata-rata orang Indonesia
hanya membaca buku 3-4 kali per minggu, dengan durasi waktu membaca per hari rata-rata
30-59 menit. Sedangkan, jumlah buku yang ditamatkan per tahun rata-rata hanya 5-9 buku.
(Kompas, 26/03/2018).

Berdasarkan kepada hal tersebut, Kemdikbud melaksanakan Gerakan Literasi Sekolah (GLS).
Tujuannya adalah untuk menumbuhkan dan membumikan budaya literasi di sekolah. Minat
baca harus di tanamkan sejak dini. Gerakan literasi di sekolah bukan hanya difokuskan
kepada siswa, tetapi semua warga sekolah. Kepala Sekolah, guru, dan staf harus mendukung
dan memberikan contoh rajin membaca.

Pengertian Literasi Sekolah dalam konteks GLS adalah kemampuan mengakses, memahami,
dan menggunakan sesuatu secara cerdas melalui berbagai aktivitas, antara lain membaca,
melihat, menyimak, menulis, dan/atau berbicara. GLS merupakan sebuah upaya yang
dilakukan secara menyeluruh untuk menjadikan sekolah sebagai organisasi pembelajar yang
warganya literat sepanjang hayat melalui pelibatan publik.

Gerakan Literasi Sekolah (GLS) merupakan bagian Gerakan Literasi Nasional (GLN).
Gerakan literasi merupakan salah satu bentuk penumbuhan budi pekerti. Hal ini didasarkan
kepada Permendikbud Nomor 23 Tahun 2015 tentang penumbuhan Budi Pekerti. GLS adalah
upaya menyeluruh yang melibatkan semua warga sekolah (guru, peserta didik, orang tua/wali
murid) dan masyarakat, sebagai bagian dari ekosistem pendidikan.

Tujuan Umum dari GLS adalah menumbuhkembangkan budi pekerti peserta didik melalui
pembudayaan ekosistem literasi sekolah yang diwujudkan dalam Gerakan Literasi Sekolah
agar mereka menjadi pembelajar sepanjang hayat. Sedangkan tujuan khususnya sebagai
berikut: (1) Menumbuhkembangkan budaya literasi di sekolah, (2) Meningkatkan kapasitas
warga dan lingkungan sekolah agar literat, (3) Menjadikan sekolah sebagai taman belajar
yang menyenangkan dan ramah anak agar warga sekolah mampu mengelola pengetahuan, (4)
Menjaga keberlanjutan pembelajaran dengan menghadirkan beragam buku bacaan dan
mewadahi berbagai strategi membaca.

Adapun tahapan dari GLS adalah; (1) pembiasaan berupa penumbuhan minat baca melalui
kegiatan 15 menit membaca, (2) pengembangan berupa meningkatkan kemampuan literasi
melalui kegiatan menanggapi buku pengayaan, dan (3) pembelajaran dalam bentuk
meningkatkan kemampuan literasi di semua mata pelajaran, menggunakan buku pengayaan,
dan strategi membaca di semua mata pelajaran. (Kemdikbud, 2016).

Ada enam jenis literasi dasar yang saat ini dijadikan sebagai pilar dari gerakan literasi, yaitu;
(1) literasi baca-tulis, (2) literasi numerasi, (3) literasi finansial, (4) literasi sains, (5) literasi
budaya dan kewarganegaraan, dan (6) literasi teknologi, informasi, dan komunikasi.
Keenam literasi dasar tersebut dapat dikembangkan ke dalam berbagai jenis literasi, karena
pada berbagai kehidupan manusia tidak akan lepas dari dunia literasi. Mengapa demikian?
Karena hakikat dari literasi adalah kemelekkan terhadap berbagai informasi. Orang yang
melek terhadap informasi akan memiliki wawasan yang luas dan bersikap kritis dalam
menyikapi sebuah informasi. Apalagi saat ini di media sosial banyak sekali hoaks yang
beredar. Orang yang literat tentunya tidak dengan mudah menerima sebuah informasi, tetapi
disaring, cek dan ricek, diverifikasi, atau diklarifikasi kebenarannya. Dan kalaupun benar, dia
tidak mudah menyebarkannya jika tidak bermanfaat bagi masyarakat.

Dalam konteks penjaminan mutu pendidikan di satuan pendidikan, gerakan literasi


merupakan bagian dari SPMI. Proses pendidikan tidak lepas dari aktivitas membaca dan
menulis. Pengetahuan baru didapatkan melalui membaca berbagai referensi. Kegiatan
menulis pun membutuhkan aktivitas membaca, karena bahan yang ditulis tentunya adalah
hasil yang dibaca.

Pendidik dan tenaga kependidikan yang rajin membaca dan menulis adalah orang-orang yang
ikut berpartisipasi dalam proses penjaminan mutu pendidikan, minimal mereka menjamin
untuk meningkatkan kompetensi dirinya sendiri. Dari peningkatan kualitas pribadi
diharapkan akan berimbas pada peningkatan kualitas pendidikan secara umum. Dengan
dibangunnya semangat literasi di sekolah, maka setiap warga sekolah menjadi sosok
pembelajar, dan otomatis telah berkontribusi dalam mewujudkan sekolah sebagai organisasi
pembelajar.

Dalam konteks penjaminan mutu pendidikan, sekolah sebagai organisasi pembelajar adalah
organisasi yang semua warganya memiliki komitmen dalam melakukan penjaminan mutu
dalam rangka mencapai 8 (delapan) Standar Nasional Pendidikan (SNP) yang prosesnya
diawali dengan melakukan melakukan Evaluasi Diri Sekolah, memetakan mutu SNP,
mengidentifikasi SNP yang paling lemah dan mendesak untuk ditingkatkan, membuat
rencana pemenuhuan mutu, melaksanakan pemenuhan mutu, melakukan audit, hingga
menetapkan strategi pemenuhan mutu yang baru. Dan hal itu merupakan sebuah siklus.

Dalam proses penjaminan mutu tersebut, tentunya tidak akan lepas dari budaya literasi,
karena setiap warga sekolah harus mengetahui dan memahami tupoksinya masing-masing
yang tentunya diperoleh melalui proses membaca untuk selanjutnya membuat berbagai
langkah atau SOP dalam menjamin mutu pendidikan di sekolahnya.

K-13 (SNP yang berkaitan dengan standar akademik), PPK, dan literasi merupakan sebuah
kesatuan, saling mewarnai, saling melengkapi, dan saling berkontribusi antara satu dengan
yang lainnya dalam implementasi SPMI di satuan pendidikan dalam rangka mencapai SNP.
Dengan demikian, ketiga hal tersebut terintegrasi dalam implementasi SPMI. Oleh karena itu,
SPMI perlu dilakukan secara optimal oleh semua warga sekolah dengan dimotori oleh
TPMPS.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa sukses implementasi SPMI di satuan
pendidikan dapat dicerminkan dari sukses implementasi K-13, PPK, dan literasi, karena
implementasi SPMI yang baik akan terlihat dari komitmen, kerja keras, sinergi, kolaborasi,
minat, dan semangat warga sekolah menjadi manusia pemelajar, sehingga hal ini akan
berkontribusi dalam mewujudkan sekolah sebagai organisasi pemelajar. Wallaahu a'lam.

Anda mungkin juga menyukai