Anda di halaman 1dari 19

SATUAN ACARA PENYULUHAN (SAP)

TEKNIK KOMUNIKASI TERAPEUTIK

DI RUANG MELATI RSD DR. SOEBANDI JEMBER

Disusun Oleh :
ALVIN ILMIAH (1901031017)

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JEMBER
2019
SATUAN ACARA PENYULUHAN (SAP)

TEKNIK KOMUNIKASI TERAPEUTIK

DI RUANG MELATI RSD DR. SOEBANDI JEMBER

Topik : Teknik Komunikasi Terapeutik


Sub Topik : Cara Berkomunikasi Terapuetik untuk Keluarga pada Pasien
Sasaran : Keluarga Pasien di Ruang Melati RSD dr. Soebandi Jember
Hari / Tanggal : Senin, 11 November 2019
Tempat : Ruang Melati RSD dr. Soebandi Jember
Waktu : 10.00 – 10.30 WIB (30 menit)
Pelaksana : Mahasiswa Profesi Ners Universitas Muhammadiyah Jember

I. Tujuan
1. Tujuan Instruksional Umum (TIU)
Setelah mengikuti penyuluhan di harapkan keluarga pasien dapat memahami
dan menambah wawasan mengenai cara berkomunikasi yang terapeutik pada
pasien.
2. Tujuan Instruksional Khusus (TIK)
1. Menjelaskan macam-macam komunikasi terapeutik.
2. Menjelaskan manfaat dan tujuan dalam melakukan komunikasi
terapeutik.
3. Menjelaskan pentingnya peran Komunikasi Keluarga bagi Pasien

II. Materi
1. Pengertian Keluarga
2. Tugas Keluarga di Bidang Kesehatan
3. Peran keluarga di Bidang kesehatan
4. Pengertian Komunikasi Terapeutik
5. Bentuk-bentuk Komunikasi Terapeutik
6. Tujuan Komunikasi Terapeutik
7. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Komunikasi Terapeutik
8. Proses Komunikasi
9. Hambatan komunikasi
10. Komunikasi pada Pasien Stroke

III. Metode
1. Ceramah
2. Diskusi

IV. Media
1. Leafleat
V. Setting Tempat

Keterangan:

: Keluarga
: Pemateri
: Pasien

VI. Kegiatan Penyuluhan

No Waktu Kegiatan Penyuluhan Kegiatan Peserta Penanggung Jawab


1. 5 menit Pembukaan : 1. Menjawab salam
1. Mengucapkan salam 2. Mengenal tim
2. Memperkenalkan diri penyuluh Moderator
3. Menjelaskan kontrak waktu 3. Mengetahui kontrak
4. Menjelaskan tujuan dari penyuluhan waktu penyuluhan
5. Menyebutkan materi penyuluhan 4. Mengerti tujuan dari
yang akan diberikan penyuluhan
6. Melakukan Pre Test pada keluarga 5. Mengetahui poin-
pasien poin yang akan
disampaikan
6. Peserta menjawab
soal pretest yang
diberikan
2. 10 menit Mengkaji pengetahuan peserta 1. Mendengarkan dan Pemateri
mengenai Komunikasi Terapeutik pada memperhatikan
Pasien. materi
Menjelaskan materi tentang :
1. Pengertian dan Peran Keluarga
bagi Pasien
2. Pengertian dan tujuan
Komunikasi Terapeutik
3. Komunikasi pada Pasien Stroke
10 Menit Diskusi atau Tanya jawab dan 1) Mengajukan - Pemateri
evaluasi : pertanyaan - Fasilitator
1) Memberikan kesempatan pada 2) Menanggapi - Observer
peserta untuk bertanya kemudian jawaban
didiskusikan bersama 3) Menjawab
2) Menanyakan kepada peserta tentang pertanyaan
materi yang telah diberikan
3) Memberikan reinforcement kepada
peserta bila dapat menjawab dan
menjelaskan kembali pertanyaan
atau materi yang telah disampaikan
5 Menit Terminasi : 1) Menjawab soal post Moderator
1) Memberikan Post Test test
2) Memberikan leaflet kegiatan 2) Mendengarkan dan
3) Mengucapkan terimakasih kepada membalas salam
peserta
4) Mengucapkan salam penutup
VII. Evaluasi

1. Evaluasi Struktur
- Rencana pelaksanaan PKRS direncanakan pada saat pertama praktik
klinik di R. Melati
- ITim penyuluh dan sasaran tepat pada posisi yang direncanakan;
- Tempat dan alat tersedia sesuai perencanaan;
- Penyuluhan mengunakan leaflet yang sudah siap untuk diberikan;
- Pengorganisasian dan persiapan kegiatan penyuluhan dilakukan 60 menit
sebelum pelaksanaan dan saat penyuluhan dilaksanakan.
- Kontrak dengan sasaran dilaksanakan 1 hari sebelum pelaksanaan

2. Evaluasi Proses
- Penyaji mampu menguasai materi penyuluhan yang disampaikan;
- Keluarga mendengarkan penjelasan dengan baik dan aktif bertanya
dalam penyuluhan
- Selama penyuluhan berlangsung tidak ada keluarga yang meninggalkan
tempat.
- Pelaksanaan kegiatan sesuai dengan SAP yang telah dibuat.

3. Evaluasi Hasil
- Acara dimulai jam 10.00 WIB dan berakhir pada jam 10.30 WIB
- Acara berlangsung sesuai dengan rundown acara dan tidak terjadi
hambatan
- Penyaji menyampaikan materi dengan baik dan lancar sesuai dengan
materi SAP
- Keluarga terbukti memahami materi yang telah disampaikan penyaji
dapat diketahui dengan presentase hasil post test dan pre test
- Pelaksanaan sesuai dengan SAP yang telah di buat.
- Minimal 80% dari keluarga yang mengikuti penyuluhan mampu
menyebutkan definisi komunikasi terapeutik
- Minimal 80% dari peserta yang mengikuti penyuluhan mampu
menyebutkan manfaat dan tujuan dari komunikasi terapeutik
Lampiran

MATERI PENYULUHAN KOMUNIKASI TERAPEUTIK

A. Definisi Keluarga
Keluarga adalah suatu ikatan atas dasar perkawinan antara orang dewasa yang
berlainan jenis yang hidup bersama atau seorang laki-laki atau seorang perempuan
yang sudah sendiri dengan atau tanpa anak, dan tinggal disuatu rumah tangga.
Menurut UU No. 10 1992 tentang perkembangan kependudukan dan pembangunan
keluarga sejahtera (Suprajitno, 2004).
Keluarga merupakan subsistem komunikasi sebagai sistem sosial yang bersifat
unik dan dinamis. Oleh Karena itu perawat komunitas perlu memberikan intervensi
pada keluarga untuk membantu keluarga dalam peningkatan pemberdayaan peran
keluarga. Allender & Spradley, (1997, dalam achjar, 2010) memberikan alasan
mengapa keluarga menjadi penting, karena keluarga sebagai sistem, membutuhkan
pelayanan kesehatan seperti halnya individu agar dapat meilakukan tugas sesuai
perkembangannya. Tingkat kesehatan individu berkaitan dengan tingkat kesehatan
keluarga, begitu juga sebaliknya dan tingkat fungsional keluarga sebagai unit terkecil
dari komunitas dapat mempengaruhi derajat kesehatan sistem diatasnya. Keluarga
sebagai suatu sistem, dimana sistem keluarga merupakan bagian dari suprasistem
yang lebih besar dan disusun dari beberapa subsistem, perubahan pada salah satu
anggota keluarga akan

B. Tugas Keluarga di Bidang Kesehatan


Sesuai dengan fungsi pemeliharaan kesehatan, keluarga mempunyai peran di
bidang kesehatan meliputi:
1. Mengenal masalah kesehatan keluarga. Kesehatan merupakan kebutuhan keluarga
yang tidak boleh diabaikan karena tanpa kesehatan segala sesuatu tidak akan
berarti dan karena kesehatanlah kadang seluruh kekuatan sumber daya dan dana
keluarga habis.
2. Memutuskan tindakan kesehatan yang tepat bagi keluarga. Tugas ini merupakan
upaya keluarga yang utama untuk mencari pertolongan yang tepat sesuai dengan
keadaan keluarga, dengan pertimbangan siapa di antara keluarga yang mempunyai
kemampuan memutuskan untuk menentukan tindakan keluarga.
3. Merawat keluarga yang mengalami gangguan kesehatan. Sering kali keluarga
telah mengambil tindakan yang tepat dan benar, tetapi keluarga memiliki
keterbatasan yang telah diketahui oleh keluarga sendiri.
4. Memodifikasi lingkungan keluarga untuk menjamin kesehatan keluarga. 5.
Memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan di sekitarnya bagi keluarga
(Friedman, 2010).

C. Peran Keluarga di Bidang Kesehatan


Keluarga juga berperan atau berfungsi untuk melaksanakan praktek asuhan
keparawatan, yaitu untuk mencegah terjadinya gangguan kesehatan dan atau merawat
anggota keluarga yang sakit. Kemampuan keluarga dalam memberikan asuhan
keperawatan mempengaruhi status kesehatan keluarga. Kesanggupan keluarga
melaksanakan pemeliharaan kesehatan dapat dilihat dan tugas kesehatan keluarga
yang dilaksanakan. Keluarga yang dapat melaksanakan tugas kesehatan berarti
sanggup menyelesaikan masalah kesehatan (Setyowati, 2008).
Pemulihan merupakan rehabilitasi medik yang cacat akibat suatu penyakit
kepada kemampuan fisik, mental, emosi, social, vokasosial dan ekonomi yang
sebesar-besarnya dan bila mampu berkarya diberi kesempatan untuk mendapatkan
pekerjaan yang sesuai (Festy, P. 2009) Menurut WHO, Pemulihan atau rehabilitas
medic adalah semua tindakan yang ditujukan guna mengurangi dampak keadaan cacat
dan bersikap serta meningkatkan kemampuan klien mencapai integrasi social
(Thamrihsyam H, 1992).

D. Definisi Komunikasi Terapeutik


Komunikasi terapeutik adalah komunikasi yang direncanakan secara sadar, bertujuan
dan kegiatannya dipusatkan untuk kesembuhan pasien.
Komunikasi teraupetik adalah komunikasi yang bertujuan untuk pengobatan dan
dapat membantu pasien mengatasi masalah yang dihadapinya melalui komunikasi.
E. Bentuk-bentuk Komunikasi Teraupetik
1. Komunikasi verbal
Jenis komunikasi yang paling lazim digunakan dalam pelayanan keperawatan di
rumah sakit adalah pertukaran informasi secara verbal terutama pembicaraan
dengan tatap muka. Komunikasi verbal biasanya lebih akurat dan tepat waktu.
Katakata adalah alat atau simbol yang dipakai untuk mengekspresikan ide atau
perasaan, membangkitkan respon emosional, atau menguraikan obyek, observasi
dan ingatan. Sering juga untuk menyampaikan arti yang tersembunyi, dan menguji
minat seseorang. Keuntungan komunikasi verbal dalam tatap muka yaitu
memungkinkan tiap individu untuk berespon secara langsung. Komunikasi Verbal
yang efektif harus:
a. Jelas dan ringkas
Komunikasi yang efektif harus sederhana, pendek dan langsung. Makin
sedikit kata-kata yang digunakan makin kecil kemungkinan terjadinya
kerancuan. Kejelasan dapat dicapai dengan berbicara secara lambat dan
mengucapkannya dengan jelas. Penggunaan contoh bisa membuat penjelasan
lebih mudah untuk dipahami. Ulang bagian yang penting dari pesan yang
disampaikan. Penerimaan pesan perlu mengetahui apa, mengapa, bagaimana,
kapan, siapa dan dimana. Ringkas, dengan menggunakan kata-kata yang
mengekspresikan ide secara sederhana. Contoh: “Katakan pada saya dimana
rasa nyeri anda” lebih baik daripada “saya ingin anda menguraikan kepada
saya bagian yang anda rasakan tidak enak.”
b. Perbendaharaan Kata
Komunikasi tidak akan berhasil, jika pengirim pesan tidak mampu
menerjemahkan kata dan ucapan. Banyak istilah teknis yang digunakan dalam
keperawatan dan kedokteran, dan jika ini digunakan oleh perawat, klien dapat
menjadi bingung dan tidak mampu mengikuti petunjuk atau mempelajari
informasi penting. Ucapkan pesan dengan istilah yang dimengerti klien.
Daripada mengatakan “Duduk, sementara saya akan mengauskultasi paru-paru
anda” akan lebih baik jika dikatakan “Duduklah sementara saya
mendengarkan paru-paru Anda”.
c. Arti denotatif dan konotatif
Arti denotatif memberikan pengertian yang sama terhadap kata yang
digunakan, sedangkan arti konotatif merupakan pikiran, perasaan atau ide
yang terdapat dalam suatu kata. Kata serius dipahami klien sebagai suatu
kondisi mendekati kematian, tetapi perawat akan menggunakan kata kritis
untuk menjelaskan keadaan yang mendekati kematian. Ketika berkomunikasi
dengan klien, perawat harus hati-hati memilih kata-kata sehingga tidak mudah
untuk disalah tafsirkan, terutama sangat penting ketika menjelaskan tujuan
terapi, terapi dan kondisi klien.
d. Selaan dan kesempatan berbicara
Kecepatan dan tempo bicara yang tepat turut menentukan keberhasilan
komunikasi verbal. Selaan yang lama dan pengalihan yang cepat pada pokok
pembicaraan lain mungkin akan menimbulkan kesan bahwa perawat sedang
menyembunyikan sesuatu terhadap klien. Perawat sebaiknya tidak berbicara
dengan cepat sehingga kata-kata tidak jelas. Selaan perlu digunakan untuk
menekankan pada hal tertentu, memberi waktu kepada pendengar untuk
mendengarkan dan memahami arti kata. Selaan yang tepat dapat dilakukan
denganmemikirkan apa yang akan dikatakan sebelum mengucapkannya,
menyimak isyarat nonverbal dari pendengar yang mungkin menunjukkan.
Perawat juga bisa menanyakan kepada pendengar apakah ia berbicara terlalu
lambat atau terlalu cepat dan perlu untuk diulang.
e. Waktu dan relevansi
Waktu yang tepat sangat penting untuk menangkap pesan. Bila klien sedang
menangis kesakitan, tidak waktunya untuk menjelaskan resiko operasi.
Kendatipun pesan diucapkan secara jelas dan singkat, tetapi waktu tidak tepat
dapat menghalangi penerimaan pesan secara akurat. Oleh karena itu, perawat
harus peka terhadap ketepatan waktu untuk berkomunikasi. Begitu pula
komunikasi verbal akan lebih bermakna jika pesan yang disampaikan
berkaitan dengan minat dan kebutuhan klien.
f. Humor
Dugan (1989) mengatakan bahwa tertawa membantu pengurangi ketegangan
dan rasa sakit yang disebabkan oleh stres, dan meningkatkan keberhasilan
perawat dalam memberikan dukungan emosional terhadap klien. Sullivan dan
Deane (1988) melaporkan bahwa humor merangsang produksi catecholamines
dan hormon yang menimbulkan perasaan sehat, meningkatkan toleransi
terhadap rasa sakit, mengurangi ansietas, memfasilitasi relaksasi pernapasan
dan menggunakan humor untuk menutupi rasa takut dan tidak enak atau
menutupi ketidak mampuannya untuk berkomunikasi dengan klien.
2. Komunikasi Non Verbal
Komunikasi non-verbal adalah pemindahan pesan tanpa menggunakan katakata.
Merupakan cara yang paling meyakinkan untuk menyampaikan pesan kepada
orang lain. Perawat perlu menyadari pesan verbal dan non-verbal yang
disampaikan klien mulai dari saat pengkajian sampai evaluasi asuhan
keperawatan, karena isyarat non-verbal menambah arti terhadap pesan verbal.
Perawat yang mendektesi suatu kondisi dan menentukan kebutuhan asuhan
keperawatan. Komunikasi non-verbal teramati pada:
a. Metakomunikasi
Komunikasi tidak hanya tergantung pada pesan tetapi juga pada hubungan
antara pembicara dengan lawan bicaranya. Metakomunikasi adalah suatu
komentar terhadap isi pembicaraan dan sifat hubungan antara yang berbicara,
yaitu pesan di dalam pesan yang menyampaikan sikap dan perasaan pengirim
terhadap pendengar. Contoh: tersenyum ketika sedang marah.
b. Penampilan Personal
Penampilan seseorang merupakan salah satu hal pertama yang diperhatikan
selama komunikasi interpersonal. Kesan pertama timbul dalam 20 detik
sampai 4 menit pertama. Delapan puluh empat persen dari kesan terhadap
seserang berdasarkan penampilannya (Lalli Ascosi, 1990 dalam Potter dan
Perry, 1993). Bentuk fisik, cara berpakaian dan berhias menunjukkan
kepribadian, status sosial, pekrjaan, agama, budaya dan konsep diri. Perawat
yang memperhatikan penampilan dirinya dapat menimbulkan citra diri dan
profesional yang positif. Penampilan fisik perawat mempengaruhi persepsi
klien terhadap pelayanan/asuhan keperawatan yang diterima, karena tiap klien
mempunyai citra bagaimana seharusnya penampilan seorang perawat.
Walaupun penampilan tidak sepenuhnya mencerminkan kemampuan perawat,
tetapi mungkin akan lebih sulit bagi perawat untuk membina rasa percaya
terhadap klien jika perawat tidak memenuhi citra klien.
c. Intonasi (Nada Suara)
Nada suara pembicara mempunyai dampak yang besar terhadap arti pesan
yang dikirimkan, karena emosi seseorang dapat secara langsung
mempengaruhi nada suaranya. Perawat harus menyadari emosinya ketika
sedang berinteraksi dengan klien, karena maksud untuk menyamakan rsa
tertarik yang tulus terhadap klien dapat terhalangi oleh nada suara perawat.
d. Ekspresi wajah
Hasil suatu penelitian menunjukkan enam keadaan emosi utama yang tampak
melalui ekspresi wajah: terkejut, takut, marah, jijik, bahagia dan sedih.
Ekspresi wajah sering digunakan sebagai dasar penting dalam menentukan
pendapat

F. Tujuan Komunikasi Teraupetik


Tujuan komunikasi terapeutik (Purwanto, 1994 seperti dikutip dalam Damaiyanti,
2012) adalah:
1. Membantu pasien untuk memperjelas dan mengurangi beban perasaan dan pikiran
serta dapat mengambil tindakan untuk mengubah situasi yang ada bila pasien
percaya pada hal yang diperlukan.
2. Mengurangi keraguan, membantu dalam hal mengambil tindakan yang efektif dan
mempertahankan kekuatan egonya.
3. Mengulang keraguan membantu dalam pengambilan tindakan yang efektif dan
mempengaruhi orang lai lingkungan fisik dan dirinya

G. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Komunikasi Teraupetik


Proses komunikasi dipengaruhi oleh beberapa faktor (Potter & Perry, 1993):
1. Perkembangan
Agar dapat berkomunikasi efektif dengan perawat harus mengerti pengaruh
perkembangan usia baik dari sisi bahasa, maupun proses berpikir dari orang
tersebut. Cara berkomunikasi pada usia remaja dengan usia balita tentunya
berbeda, pada usia remaja Anda barangkali perlu belajar bahasa “gaul” mereka
sehingga remaja yang kita ajak bicara akan merasa kita mengerti mereka dan
komunikasi diharapkan akan lancar.
2. Persepsi
Persepsi adalah pandangan pribadi seseorang terhadap suatu kejadian atau
peristiwa. Persepsi ini. dibentuk oleh harapan atau pengalaman. Perbedaan
persepsi dapat mengakibatkan terhambatnya komunikasi.
3. Nilai
Nilai mempengaruhi perilaku sehingga penting bagi kita untuk menyadari nilai
seseorang. Kita perlu berusaha untuk mengetahui dan mengklarifikasi nilai
sehingga dapat membuat keputusan dan interaksi yang tepat dengan klien.
4. Latar Belakang Sosial Budaya
Bahasa dan gaya komunikasi akan sangat dipengaruhi oleh faktor budaya. Budaya
juga akan membatasi cara bertindak dan berkomunikasi seseorang.
5. Emosi
Emosi merupakan perasaan subyektif terhadap suatu kejadian, seperti marah,
sedih, seriang akan dapat mempengaruhi seseorang dalam berkomunikasi dengan
orang lain. Jenis Kelamin Setiap jenis kelamin mempunyai gaya komunikasi yang
berbeda-beda. Tanned (1990) menyebutkan bahwa wanita dan laki-laki
mempunyai perbedaan gaya komunikasi. Dari usia 3 tahun wanita ketika bermain
dalam kelompoknya menggunakan bahasa untuk mencari kejelasan,
meminimalkan perbedaan, serta membangun dan mendukung keintiman,
sedangkan laki-laki menggunakan bahasa untuk mendapat kemandirian diri
aktivitas bermainnya, di mana jika mereka ingin berteman maka mereka
melakukannya dengan bermain.
6. Pengetahuan
Tingkat pengetahuan akan mempengaruhi komunikasi yang dilakukan. Seseorang
yang tingkat pengetahuannya rendah akan sulit merespon pertanyaan yang
mengandung bahasa verbal dibanding dengan tingkat pengetahuan tinggi.
7. Peran dan hubungan
Gaya komunikasi sesuai dengan peran dan hubungan antar orang yang
berkomunikasi. Cara komunikasi seseorang perawat dengan koleganya, dengan
cara komunikasi seorang perawat pada klien akan berbeda tergantung perannya.
Demikian juga antara guru dengan murid.
8. Lingkungan
Lingkungan interaksi akan mempengaruhi komunikasi yang efektif. Suasana
bising, tidak ada privacy yang tepat akan menimbulkan kerancuan, ketegangan
dan ketidaknyamanan.
9. Jarak
Jarak dapat mempengaruhi komunikasi. Jarak tertentu menyediakan rasa aman
dan kontrol. Dapat dimisalkan dengan individu yang merasa terancam ketika
seseorang tidak dikenal tiba-tiba berada pada jarak yang sangat dekat dengan
dirinya. Untuk itu perawat perlu memperhitungkan jarak yang tepat pada saat
melakukan hubungan dengan klien.

H. Proses komunikasi
Dalam prosesnya, komunikasi memiliki dua tahap, yaitu proses komunikasi
secara primer dan sekunder. (Effendy, 2011:11-18)
1. Proses Komunikasi Secara Primer
Lambang sebagai media primer dalam proses komunikasi adalah
bahasa, kial, isyarat, gambar, warna, dan lain sebagainya yang secara
langsung mampu menerjemahkan pikiran atau perasaan komunikator
kepada komunikan. Pada tahapan pertama, seorang komunikator menyandi
(encode) pesan atau informasi yang akan disampaikan kepada komunikan.
Pada tahap ini komunikator mentransisikan pikiran/ perasan ke dalam
lambang yang diperkirakan dapat dimengerti oleh komunikan. Kemudian
komunikan mengawasandi (decode) pesan ataupun informasi tersebut
dimana komunikan menafsirkan lambang yang mengandung pikiran atau
perasaan komunikator tadi dalam konteks pengertiannya. Setelah itu,
komunikan akan bereaksi (response) tehadap pesan tersebut dan
memberikan umpan balik (feedback). Jika terdapat umpan balik positif,
komunikan akan memberikan reaksi yang menyenangkan sehingga
komunikasi berjalan lancar. Sebaliknya, jika terdapat umpan balik negatif,
komunikan memberikan reaksi yang tidak menyenangkan sehinngga
komunikator enggan melanjutkan komunikasinya. Dalam tahap umpan
balik ini, terdapat transisi fungsi dimana komunikan menjadi encoder dan
komunikator menjadi decoder.
2. Proses Komunikasi Secara Sekunder
Proses komunikasi ini adalah lanjutan dari proses komunikasi primer
dimana terdapat alat atau sarana sebagai media kedua setelah memakai
lambang sebagai media pertama dalam penyampaian pesan oleh sesorang
kepada orang lainnya. Biasanya penggunaan alat atau sarana ini digunakan
seseorang dalam melancarkan komunikasi dimana komunikannya berada
relatif jauh atau berjumlah banyak. Terdapat beberapa contoh media kedua
yang dimaksud yang sering digunakan dalam komunikasi, yaitu telepon,
surat, surat kabar, radio, majalah, televisi, dan banyak lainnya. Peranan
media sekunder ini dilihat penting dalam proses komunikasi karena dapat
menciptakan efiesiensi dalam mencapai komunikan. Tetapi kekurangan
dari media sekunder ini adalah keefektifan dan keefesiensian penyebaran
pesan-pesan yang bersifat persuasif karena kerangka acuan khalayak yang
menjadi sasaran komunikasinya tidak diketahui komunikator dan dalam
prosesnya, umpan balik berlangsung tidak pada saat itu yang dalam hal ini
disebut umpan balik tertunda (delayed feedback).

I. Hambatan komunikasi
Hambatan-hambatan dalam komunikasi menurut Ruslan (2008:9-10) antara
lain:
1. Hambatan dalam proses penyampaian (Sender Baries)
Hambatan bisa datang dari pihak komunikatr yang kesulitan dalam
menyampaikan pesan-pesan, tidak menguasai materi pesan, dan belum
berkemapuan menjadi komunikator yang handal. Hambatan ini juga
berasal dari penerima pesan (receiver barrier) karena sulitnya komunikan
memahami pesan. Kegagalan komunikasi terjadi dikarenakan berbagai
faktor antara lain feed back bahasa tidak tercapai, mediu barrier kurang
tepat, dan hambatan dalam memahami pesan.
2. Hambatan secara Fisik (Physical Barrier)
Secara fisik yang menghambat komunikasi efektif, misalnya
pendengaran kurang tajam dan gangguan pada sistem pengeras suara yang
terjadi dalam penyampaian informasi.
3. Hambatan secara Sematik (Sematik Pers)
Hambatan segi sematik (behasa dan arti perkataan), yaitu adanya
perbedaan pengertian dan pemahaman anatara pemberi pesan dan
penerima tentang bahasa atau lambang.
4. Hambatan Sosial (psychossosial noise)
Hambatan ini tediri atas aspek kebudayaan, adat, istiadat, kebiasaan,
persepsi, dan nilai-nilai yang dianut. Sehingga kebutuhan serta harapan-
harapan kedua belah pihak dalam berkomunikasi juga berbeda.
J. Gangguan komunikasi pada pasien stroke
Dua jenis gangguan dalam berkomuniasi yang menurut sifatnya dapat
diklasifikasikan sebagai berikut (Effendy, 2003: 45-46):
a. Gangguan Mekanik (mechanical, channel noise)
Gangguan yang disebabkan saluran komunikasi atau kegaduhan yang bersifat
fisik, contohnya adalah: huruf yang tidak jelas, huruf terbalik halaman yang sobek
pada surat kabar atau bunyi riuh hadirin pada saat seseorang memimpin rapat.
b. Gangguan Semantik (semantic noise)
Gangguan yang menjadikan pengertian sebuah pesan komunikasi menjadi
rusak. Arti kata semantik adalah pengetahuan mengenai pengertian kata yang
sebenarnya atau perubahan pengertian kata. Setiap orang dapat memiliki
pengertian yang berbeda dari sebuah lambang kata yang sama yang disebabkan
oleh dua jenis pengertian, yaitu: (1) pengertian denotatif (denotative meaning)
adalah pengertian suatu perkataan yang lazim ada dalam kasus yang diterima oleh
masyarakat dengan bahasa dan kebudayaan yang sama, dan (2) pengertian
konotatif (connotative meaning) adalah pengertian yang bersifat emosional dari
pengalaman dan latar belakang seseorang.
Gangguan pada penderita stroke bersifat gangguan fisik. Stroke adalah
terjadinya gangguan pada aktivitas suplai darah ke otak. Ketika aliran darah
menuju otak terganggu, maka oksigen dan nutrisi tidak dapat dikirim ke otak.
Kondisi ini akan mengakibatkan kerusakan sel-sel otak hingga membuat mati.
Matinya sel-sel otak kadang menyebabkan pembuluh darah otak pecah, sehingga
mengakibatkan perdarahan pada bagian otak (Koni, 2009). Gangguan komunikasi
pada penderita stroke terjadi karena perubahan pada sistem saraf pusat. Hambatan
komunikasi verbal tidak diatasi maka akan berakibat ketidak mampuan individu
untuk mengekspresikan keadaan dirinya dan dapat berakibat lanjut pada
penurunan harga diri pasien (Batticaca, 2008).

K. Komunikasi pasien stroke


Latihan komunikasi perlu dilakukan pada penderita stroke. Deteksi dini dan
latihan wicara pada pasien tidak hanya dapat memengaruhi pola penyembuhan otak,
tetapi juga dapat meningkatkan keterampilan berkomunikasi, sehingga dapat
mengurangi isolasi pada pasien dan meningkatkan partisipasi dalam rehabilitasi
(Salter, dkk., 2006) Berbagai cara digunakan untuk dapat memfasilitasi komunikasi
pasien dengan perawat dan keluarga, serta mendorong pasien berkomunikasi untuk
mengurangi frustasi, depresi, dan isolasi sosial. Hal demikian sejalan dengan
penelitian yang dilakukan oleh Happ, Roesch dan Kagan (dalam Ackley & Ladwig,
2011), bahwa penggunaan alat bantu komunikasi diperlukan ketika pasien tidak
mampu berkomunikasi secara verbal.
Latihan komunikasi yang dilakukan oleh keluarga kepada pasien adalah
kegiatan pasien sehari-hari yang selalu dilakukan, seperti setiap pasien mau makan,
minum, mandi, menggosok gigi, menyisir rambut, berpakaian, BAB, BAK,
penggunaan toilet, istirahat dan tidur, miring kanan/ kiri, duduk bersandar, minum
obat, mobilisasi dan lain- lain merupakan suatu latihan dan komunikasi dengan waktu
lima menit x 20 kegiatan sehari-hari (total latihan setiap hari = 100 menit). Total
latihan ini 30 jam selama 10 hari. Waktu 30 jam selama 10 hari merupakan waktu
yang pernah digunakan oleh Bhogal, dkk. (2003) yang menggunakan constraint
induced therapy (menggunakan kartu bergambar) dalam latihan wicara. Pasien
diajarkan setiap simbol/ gambar yang ada pada buku komunikasi. Bantu pasien untuk
menunjukkan setiap bagian/ label, misalnya bila pasien nyeri/ tidak nyaman. Jika
pasien tidak mampu mengidentifikasi simbol-simbol gambar tersebut, ganti symbol
gambar menjadi yang lebih familiar, jelaskan hubungan antara simbol dengan artinya
dalam bentuk kalimat dan instruksikan pasien untuk mengulangnya dalam bentuk
symbol lain. Keterlibatan keluarga juga merupakan salah satu bentuk dukungan yang
diperlukan dalam pelaksanaan latihan komunikasi, baik selama di rumah sakit
ataupun di rumah
Sumber:
Amila, Ratna Sitorus, Tuti Herawati. 2013. Pengaruh Augmentative and Alternative
Communication terhadap Komunikasi dan Depresi Pasien Afasia Motorik. Vol. 1 No.
3
Antartika, Resha Alfa. 2015. Identifikasi Kemampuan Komunikasi tenaga marketing dan
Dampaknya terhadap Kinerja Karyawan. Skripsi. Widyakartika
Liliweri, Alo. 2007. Dasar-Dasar Komunikasi Kesehatan. Yogyakarta : Pustaka Pelajar

Nusantara, Bina. 2012. Komunikasi. Thesis. Library Binus

Sari, Ariska Dwi Etika. 2015. Asuhan Keperawatan pada Tn. S dengan Gangguan Sistem
Persarafan: Stroe Non Hemoragik di Ruang Cempaka III RSUD Pandan Arang
Boyolali. Naskah Publikasi: Fakultas Ilmi Kesehatan. Universitas Muhammadiyah
Surakarta.

Sitanggang, R. (2015). Pengalaman Keluarga dalam Berkomunikasi dengan Pasien Stroke di


RSUD Dr. Pirngadi Medan . Skripsi Universitas Sumatera Utara.

Anda mungkin juga menyukai