Essay
Essay
Seputar Pro-
Kontra Kebijakan Ujian
Nasional
Posted on 28 November 2009 by AKHMAD SUDRAJAT — 84 Komentar
D ari tahun ke tahun penyelenggaraan Ujian Nasional selalu diwarnai dengan pro-kontra. Di satu
pihak ada yang meyakini bahwa Ujian Nasional sebagai syarat kelulusan siswa masih tetap diperlukan.
Tetapi di lain pihak, tidak sedikit pula yang menyatakan menolak Ujian Nasional sebagai syarat
kelulusan siswa. Masing-masing pihak tentunya memliki argumentasi tersendiri.
Berikut ini disajikan aneka berita seputar Pro-Kontra Kebijakan Ujian Nasional yang berhasil dihimpun
dari berbagai sumber, yang tentunya baru sebagian kecil saja dari sejumlah berita yang saat ini sedang
hangat diberitakan dalam berbagai mass media.
Menyusul keputusan Mahkamah Agung yang menolak kasasi ujian nasional yang diajukan oleh
pemerintah, Pemerintah akan kembali melakukan upaya hukum yang terakhir yakni pengajuan peninjauan
kembali. “Terus terang saya belum membaca keputusan MA. Yang jelas kita menghormati apa pun
keputusan lembaga hukum. Siapa pun juga harus menghormati upaya-upaya hukum yang masih
dilakukan. Untuk selanjutnya, tentu pemerintah akan menggunakan hak yang dimiliki,” kata Menteri
Pendidikan Nasional RI Mohammad Nuh seusai upacara bendera Peringatan Hari Guru, Rabu (25/11) di
halaman Departemen Pendidikan Nasional RI, Jakarta. (baca selengkapnya Kompas.com)
Salah satu anggota Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), Prof Mungin Eddy Wibowo,
mengatakan bahwa putusan Mahkamah Agung (MA) yang melarang pelaksanaan Ujian Nasional (UN)
tak memengaruhi penyelenggaraan UN pada 2010. “Kami akan tetap menyelenggarakan UN pada 2010
sesuai dengan jadwal yang ditetapkan, dan hal itu juga telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor
19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan,” kata Mungin. (baca selengkapnya Kompas.com)
“… Dari segi hukum perlu diapresiasi, karena setidaknya putusan MA itu perlu dikritisi oleh pemerintah
untuk benar-benar meninjau kembali UN, yang selama ini terjadi pemerintah tidak pernah melakukan
itu,” ujar Dr Anita Lie, dosen di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Unika WIdya Mandala
Surabaya.
“….Sementara itu, menurut Sekretaris Institute for Education Reform Universitas Paramadina
Mohammad Abduhzen, ada hal lebih penting dari putusan MA tersebut, yaitu soal pemborosan. Abduh
mengatakan, pemborosan terjadi akibat dikeluarkannya kebijakan UN ulang bagi siswa yang tidak lulus.
“Dengan model yang seperti ini, UN sampai saat ini tidak memperlihatkan satu hal pun yang menyangkut
soal peningkatan mutu anak didik,” ujarnya. Abduh menegaskan, kalau tidak dikritisi oleh masyarakat,
kondisi yang terjadi akan terus begini. “UN itu tentu bisa diadakan, tetapi kalau sudah dilakukan
perubahan pada kerangka pendidikan nasional yang bermutu secara menyeluruh, namun kenyataannya
secara makro hal itu tidak ada sama sekali, tidak ada kompromi,” tambahnya. (Baca selanjutnya
Kompas.com)
Peringatan Hari Guru di Bandung dirayakan dengan tumpengan oleh guru, siswa, dan masyarakat
pemerhati pendidikan. Syukuran ini juga dilakukan terkait ditolaknya permohonan kasasi pemerintah
mengenai ujian nasional oleh Mahkamah Agung. (Baca se;engkapnya Kompas.Com )
Para guru yang tergabung dalam Forum Interaksi Guru Banyumas (Figurmas), Jumat (27/11), menuntut
agar Ujian Nasional dibatalkan, menyusul keputusan Mahkamah Agung yang menolak kasasi perkara UN
yang diajukan pemerintah. (baca selengkapnya Kompas.Com )
Wakil Ketua MPR Lukman Hakim Saifuddin meminta pemerintah menerima putusan MA yang
membatalkan ujian nasional. Ketimpangan fasilitas pendidikan menjadikan pendidikan di Indonesia tidak
pantas lagi distandarisasi secara nasional. (baca se;lanjutnya : Detik News )
Aliansi Mahasiswa Peduli Pendidikan (AMPP) Polewali Mandar, Sulawesi Barat, melakukan aksi unjuk
rasa di kantor dinas pendidikan setempat. Dalam orasinya para mahasiswa mendesak pemerintah dan
dinas pendidikan untuk bertanggung jawab dengan bobroknya pelaksanaan ujian nasional tahun ini. (baca
se;lanjutnya : Liputan6.com)
Puluhan mahasiswa dari Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Palangkaraya berdemo di halaman
Dinas Pendidikan Provinsi Kalimantan Tengah. Mereka menolak ujian nasional sebagai standar
kelulusan. (baca se;lanjutnya: Kompas.com)
… Kebijakan mencampur peserta UN itu membingungkan pihak sekolah, guru, dan siswa. Apalagi hingga
saat ini kepastian soal perubahan-perubahan teknis dalam pelaksanaan UN belum juga disampaikan
secara resmi ke sekolah.Sejumlah pimpinan sekolah dari berbagai daerah, Rabu (25/11), mengatakan,
rencana mencampur peserta UN menambah beban psikologis pelajar. (baca selengkapnya: Kompas. com)
2. Kisah Pahit Para Korban Ujian Nasional
Ujian nasional digugat. Ujian sebagai standarisasi kelulusan itu dianggap mengabaikan prestasi yang
dibina anak didik selama bertahun-tahun. Banyak siswa berprestasi tidak lulus hanya lantaran gagal dalam
ujian nasional. Seperti yang dialami Siti Hapsah pada 2006. Mimpinya kuliah di Institut Pertanian Bogor
sirna gara-gara ujian ujian nasional. Ia dinyatakan tak lulus ujian nasional lantaran nilainya kurang 0,26.
(baca selengkapnya VivaNews)
Seorang siswi kelas 3 SMP Negeri 4 Kendari, Sulawesi Tenggara mengalami gangguan jiwa setelah
terlalu banyak belajar menghadapi ujian nasional. (baca selengkapnya VivaNews)
Gara-gara tak lulus ujian nasional (UN) SMA, seorang pemuda nekat bunuh diri. Diduga karena tak kuat
menahan beban psikis, Tri Sulistiono (21) memilih mengakhiri hidupnya dengan cara melompat ke dalam
sumur. (baca selengkapnya Suara Merdeka)
Edi Hartono (19), aib karena gagal UN masih terus terasa menyesakkan. Setelah mengurung diri di rumah
neneknya, mantan siswa SMA di Besuki itu akhirnya bunuh diri. (baca selengkapnya: Kompas. com)
Hasil ujian nasional sekolah menengah pertama nyaris membawa korban jiwa di Banyuwangi, Jawa
Timur, belum lama ini. Ida Safitri, siswi SMPK Santo Yusuf, mencoba bunuh diri dengan menenggak
puluhan pil tanpa merek karena gagal lulus. Beruntung nyawa korban dapat diselamatkan setelah pihak
keluarga segera membawanya ke rumah sakit. (baca selengkapnya: Liputan6.com)
7. Siswa SMK Coba Bunuh Diri, Diduga Karena Tak Bisa Ikut UN
Ujian Nasional (UN) adalah segalanya bagi seorang siswa. Diduga karena stres tidak bisa ikut UN,
Hendrik Irawan (19) nekat minum racun serangga. Beruntung nyawanya bisa diselamatkan. (baca
selengkapnya : DetikNews.com)
[ essay ] [ MASIH PENTINGKAH UJIAN NASIONAL DIPERTAHANKAN? ] [ Ahidatus Syarifah ]
Kebijakan pemerintah ini, sebagai mana tahun-tahun sebelumnya, telah melahirkan pro kontra
dengan berbagai sudut pandang. Pihak yang pro, pada dasarnya memandang UN sebagai alat
untuk meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia. Sementara yang kontra, pada intinya
menganggap UN merupakan kebijakan yang kredibilitasnya masih diragukan dan
mempersoalkan fungsinya sebagai penentu kelulusan bagi peserta didik.
Ketidaksamaan pandangan dalam melihat penyelenggaraan UN sebagai alat ukur (penilaian)
pendidikan tersebut, menyebabkan kita terlibat terus untuk mempersoalkan dan mengkajinya
lebih jauh dan mendalam lagi. Kajian tersebut akan menjawab permasalahan masih pentingkah
sistem UN dipertahankan ?
Penyelenggaraan pendidikan di Indonesia telah di atur dalam Undang-undang (UU) Nomor 20
Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, termasuk mengatur tentang evaluasi untuk
peningkatan mutu pendidikan. Evaluasi tersebut kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan pada
Bab X tentang Standar Penilaian Pendidikan. Standar penilaian tersebut kemudian diperjelan
lagi dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 20 Tahun 2007
Tentang Standar Penilaian Pendidikan.
Dalam PP dan Permendiknas itu, ditegaskan bahwa penilaian hasil belajar pada jenjang
pendidikan dasar dan menengah dilakukan oleh pendidik, satuan pendidikan dan pemerintah.
UN merupakan bentuk penilaian yang dilakukan oleh pemerintah. Bertujuan untuk menilai
pencapaian kompetensi lulusan secara nasional pada mata pelajaran tertentu dalam kelompok
mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi. Penyelenggarannya dilakukan secara obyektif,
berkeadilan, dan akuntabel. Penyelenggaraan UN dilaksanakan oleh Badan Standar Nasional
Pendidikan (BSNP). Hasil UN digunakan sebagai salah satu pertimbangan untuk melakukan
pemetaan mutu program dan/atau satuan pendidikan, dasar seleksi masuk jenjang pendidikan
berikutnya, penentuan kelulusan peserta didik dari program dan/atau satuan pendidikan, serta
pembinaan dan pemberian bantuan kepada satuan pendidikan dalam upaya untuk
meningkatkan mutu pendidikan.
Kebijakan UN yang selalu menjadi fokus pembicaraan yang melahirkan pro kontra adalah
terletak pada penyelenggaraannya yang belum sesuai dengan apa yang diamatkan oleh
peraturan tertulis tersebut, yang harus diselenggarakan secara obyektif, berkeadilan, dan
akuntabel. Selain itu, isi PP dan Permendiknas yang selalu mendapat sorotan tajam dari
masyarakat adalah adanya ketentuan yang mengatur bahwa hasil UN merupakan penentu
kelulusan peserta didik dari program dan/atau satuan pendidikan.
Obyektifitas penyelenggaraan UN diragukan mengingat masih terjadinya kasus kebocoran
dokumen soal UN. Menjelang pelaksanaan UN, banyak bertiup isu bahwa ada soal UN yang
telah beredar. Kunci jawaban juga banyak beredar melalui pesan singkat (SMS). Bahkan
tragisnya lagi, ada kasus pemberian kunci jawaban kepada peserta didik atas inisiatif guru atau
sekolahnya. Di beberapa daerah kasus semacam itu telah terbukti secara hukum. Sedangkan
yang tidak terungkap, disadari atau tidak, masih lebih banyak lagi. Mengingat akan hal itu, maka
hasil UN tidak dapat sepenuhnya dapat dikatakan sebagai hasil petbuatan yang jujur.
Ketidakjujuran tersebut timbul dari adanya rasa takun dan tekanan. Pengelola sekolah dan
guru, takut kepada masyarakat kalau banyak siswa yang tidak lulus, serta takut akibat yang
akan diterima dari pemerintah daerah kalau hasil UN jelek dan tidak sesuai dengan yang
diharapkan. Pemerintah daerah secara langsung, maupun tidak langsung telah memberikan
tekanan agar penyelenggaraan UN sesuai dengan garis kebijakannya. Tekanan (intervensi)
politis ini menyebabkan pelaksanaan UN di satuan pendidikan tidak sesuai dengan rambu-
rambu (pedoman) yang telah ditetapkan. Mencari keselamatan diri dan kelompok menjadi
pilihan, dengan cara yang tidak sesuai aturan baku.
Kenyataan seperti diatas menunjukkan bahwa penyelenggaraan UN belum mencerminkan
prinsip keadilan. Ketidakadilan tersebut juga terlihat dari adanya persamaan soal UN untuk
semua sekolah. Hal ini menjadi sebuah ironi, mengingat satuan-satuan pendidikan di setiap
wailayah, kota sampai desa tidak memiliki sarana fisik yang sama, dan kualitas tenaga
pendidikan yang berbeda. Di kota-kota pada umumnya satuan pendidikan memiliki fasilitas
pendukung yang lengkap dan tenaga guru dengan kualitas yang baik melimpah. Sementara
satuan pendidikan di pelosok-pelosok kondisi fasilitas dan tenaga pendidiknya kekurangan.
Bahkan ada sekolah yang kondisinya teramat parah dan memperihatinkan, sehingga mati
enggan hidup pun tak mau. Fakta ini apabila disamakan dalam pelaksanaan UN, maka keadilan
itu tidak pernah ada.
Dengan munculnya kasus-kasus kebocoran dokumen UN, serta tidak meratanya falisitas dan
tenaga pendidik untuk semua satuan pendidikan, maka akuntabelitas penyelenggaraan UN
patut dipertanyakan. Alangkah tidak ironisnya nilai UN peserta didik yang ada di kota lebih
rendah dengan yang ada di pelosok pedesaan. Alangkah lucunya satuan pendidikan yang
proses pembelajarannya Senin Kamis (tidak efektif) mendapatkan peringkat sepuluh besar hasil
UN, dari pada sekolah yang proses pembelajarannya tidak diragukan. Hasil UN menjadi kurang
dapat dipertanggungjawabkan kredibilitasnya, apabila kita melihat kenyataan bahwa lulusan
dari satuan pendidikan yang memperoleh nilai UN rata-rata tinggi dan mampu meluluskan 100
% tidak bisa diterima di sekolah-sekolah favorit atau tidak lulus seleksi masuk perguruan tinggi.
Keraguan ini bisa juga timbul dari cara pembobotan nilai kelulusan peserta didik, yang
ditetapkan dengan rasio 60 % UN dan 40 % Ujian Sekolah (US). Ini akan mendorong terjadinya
manipulasi nilai peserta didik, sehingga yang bodoh pun bisa lulus. Dengan cara ini, satuan
pendidikan bisa jadi akan menaikkan kreteria ketuntasan minimal (KKM) secara serampangan,
tanpa didasarkan pada kenyataan yang ada di satuan pendidikan.
Kredibilitas penyelenggaraan UN menjadi diragukan, bisa dikaji lagi dari kebijakan yang
memposisikan hasil UN sebagai salah satu penentu kelulusan. Ini menjadi momok yang
menakutkan bagi peserta didik, sekolah dan pemerintah daerah. Kehawatiran untuk tidak lulus,
mendorong mereka untuk mencari cara agar bisa lulus, walaupun cara tersebut bertentangan
dengan aturan yang berlaku. Seharusnya hasil UN tidak ikut menentukan kelulusan peserta
didik, tetapi dijadikan sebagai alat untuk melihat, memetakan dan meningkatkan mutu
pendidikan. Mengingat pula bahwa yang paling mengetahui keadaan siswa, baik prestasi
maupun kepribadiannya adalah guru-guru yang ada di setiap satuan pendidikan. Seharusnya
guru dan satuan pendidikan diberikan hak penuh untuk menentukan kelulusan sesuai dengan
fungsi dan tanggungjawabnya.
Berangkat dari kenyataan di atas, maka sistem penyelenggaraan UN yang sekarang perlu
dievaluasi secara menyeluruh, dan bila perlu diganti dengan sistem yang lain, misalnya kembali
menggunakan sistem Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (EBTANAS) di era tahun 1980-an
dan 1990-an. Kita belum terlambat untuk merubah kebijakan yang telah ditetapkan, mengingat
penyelenggaraan UN masih cukup panjang. Perlu kita ingat kembali, bahwa pada saat
pemberlakuan sistem EBTANAS, tidak pernah seheboh seperti sistem penyelenggaraan UN
dewasa ini. Sistem lama ini tidak mengebiri hak-hak guru dan sekolah, mereka diberikan hak
yang besar untuk menyelenggarakannya, hak penuh dalam mengoreksi hasilnya, dan memiliki
hak penuh pula dalam menentukan kelulusan peserta didik, berdasarkan pedoman yang telah
ditetapkan. Sedangkan hasil EBTANAS yang murni tidak dijadikan penentu kelulusan, tetapi
dijadikan sebagai syarat untuk seleksi masuk ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Dengan
begitu penyelenggaraan Ujian Akhir Nasional (UAN) menjadi lebih obyektif, berkeadilaan dan
akuntabel.
Nama : Ahidatus Syarifah
Kelas : XI Ipa 4
No. Absen : 02
Di Balik Pro-Kontra UN
Anak-anak yang gagal dan sekolah yang gagal adalah sebuah indikasi dari adanya sistem yang
salah, bukan otak yang salah" (Eric Jensen, penulis Brain Based Lerning tahun 2008). Bandingkan dengan
peribahasa, 'Buruk muka cermin dibelah'.
Jika saat ini Ujian Nasional (UN) dipersoalkan dan terjadi persoalan dalam pelaksanaan UN perlu
dipertanyakan apa persoalan hakiki UN tersebut. Persoalan UN bukan terletak pada ada atau tidak
adanya UN. Sebab itu, tidak perlu diperdebatkan sehingga menimbulkan pro kontra. Justru jauh lebih
penting dituntaskan adalah fenomena di balik ada atau tidak adanya UN.
Pertama, anak yang bersangkutan tidak menguasai kompetensi dasar yang diuji. Kedua, alat ujinya
tidak valid. Solusinya ada pada dua hal itu. Jadi, bukan dengan meniadakan salah satunya, karena
meniadakan salah satunya akan mengurangi tingkat validitas keseluruhan proses evaluasi.
Terkait hal itu, setiap guru menetapkan batas kriteria ketuntasan minimal (KKM) sebelum
pembelajaran dimulai di awal tahun. Penetapan kriteria ini didasarkan atas kajian tentang kemampuan
dasar awal siswa (intake), kompleksitas materi dan kompetensi, serta daya dukung (profesionalisme
guru dan sarana prasarana yang tersedia). Ketiga hal ini menentukan tinggi rendahnya ketuntasan
minimal masing-masing mata pelajaran.
Kisaran ketuntasan minimal yang ditetapkan guru antara 60-80 persen, bergantung pada kondisi
sekolahnya, dan bahkan sekolah-sekolah unggulan menetapkan di atas itu. Artinya, guru menetapkan
target pencapaian pembelajaran minimum adalah 60 persen dari 100 persen kompetensi yang diajarkan.
Jika persentase itu betul-betul murni hasil pencapaian kompetensi, maka semua anak lulus UN karena
batasan UN berada di bawah itu, yaitu 55 persen. Artinya, ketika siswa naik kelas, mereka tuntas
menguasai kompetensi, ia akan lulus UN. Jika ada anak yang gagal UN, penyebabnya dua.
Pertama, pencapaian ketuntasan minimum hanya kamuflase, atau hanya tuntas angka, bukan
tuntas komepetensi karena kalau tuntas kompetensi sangat kecil kemungkinan anak gagal UN karena
kompeten berbeda dengan hafal. Bila anak kompeten, diuji oleh siapa pun, kapan pun, dan di mana pun
pasti dia bisa, jika hanya hafal, bisa jadi gagal karena gugup pada saat ujian.
Kedua, alat uji UN yang tidak valid. Jika anak gagal karena alat uji tidak valid, namanya
penzaliman, ini dapat disebut merampas hak anak. Sampai saat ini belum ada satu pun lembaga
independen mengkhususkan diri untuk meneliti validitas alat uji UN ini. Artinya, sejauh ini tidak ada yang
mempersoalkan validitas UN. Padahal, validitas alat uji jauh lebih penting daripada mempersoalkan
keberadaannya, jika terbukti alat yang digunakan tidak valid, alasan ini sangat kuat untuk menganulir
hasil UN. Ketika ada siswa yang belum mencapai KKM, guru akan melakukan remedial. Persoalnya
adalah, guru sering kali keliru memaknai remedial dan KKM. Remedial pada umumnya dipahami sebagai
perbaikan nilai padahal bukan perbaikan nilai, tapi perbaikan kompetensi.
Sebagai contoh, saat tes menulis karangan, anak mendapat angka 40, artinya anak belum
tuntas karena di bawah KKM (60 persen). Jika alat tes yang digunakan oleh guru itu valid, mengacu
kepada indikator yang terukur, mestinya guru tahu sejak awal apa permasalahan yang dihadapi
tersebut. Misalnya, ternyata anak yang bersangkutan belum mahir merangkai kata menjadi kalimat, dan
tentunya untuk merangkai kalimat menjadi suatu paragraf akan bermasalah.
Ketika guru paham dengan kondisi anak ini, maka remedialnya adalah memberikan latihan atau
bimbingan sehingga anak menjadi mahir dalam menyusun kata menjadi kalimat yang bermakna, dan
seterusnya dia mahir menyusun kalimat menjadi paragraf yang padu. Berikutnya setelah remedial,
untuk memastikan apakah anak sudah tuntas atau belum, anak yang bersangkutan dapat diuji kembali.
Jika proses ini dilakukan sejak awal pembelajaran dimulai, berarti guru fokus pada pencapaian
kompetensi. Akhirnya, kompetensi anak akan terus meningkat, dan beban kerja guru akan terus
berkurang sejalan dengan meningkatnya penguasaan kompetensi anak. Dengan cara itu, semua anak
akan tuntas, dan tidak ada lagi anak yang tingal kelas. Tentunya, tidak akan ada anak yang tidak lulus
UN, karena semua anak tuntas dan ketuntatasan paling rendah 60 persen, di atas batas 55 persen untuk
kelulusan UN.
Bila ini terjadi, anak, orangtua, guru, kepala sekolah, kepala dinas, kepala daerah tidak perlu lagi
mencemaskan UN. Tidak ada yang merasa terancam mutasi setelah hasil UN diumumkan. Inilah makna
pembelajaran dalam kurikulum berbasis kompetensi.
Orang yang takut UN adalah orang yang meragukan kemampuannya. Jika yang menolak UN itu
orang dewasa, seperti guru, para ahli, pejabat, itu artinya mereka menyangsikan hasil pekerjaannya
sendiri selama ini.
Zulfikri Anas ;
Praktisi Pendidikan, Penggagas Kelompok Kajian Teaching Learning Camp (TLC), Banten
J ika
Tampaknya seb
ada pertanyaan kebijakan pendidikan apa yang paling kontroversial di Indonesia saat ini?
Begitulah refleksi saya terkait dengan hiruk pikuknya pelaksanaan Ujian Nasional 2013. Bagaimana
menurut Anda?
Meski kita belum mampu menyediakan pendidikan yang terbaik untuk anak-anak kita tetapi paling tidak