Anda di halaman 1dari 17

essay: Pro Kontra Ujian Nasional

Posted on August 8, 2012by fralifia


PRO KONTRA UJIAN NASIONAL
Alifia Fathur Rizkiyah
SMAN 1 Surakarta

Ujian Nasional yang selanjutnya disebut UN adalah kegiatan pengukuran dan


penilaian kompetensi peserta didik secara nasional pada jenjang pendidikan dasar
dan menengah (Pasal 1 Permendiknas No 75 Tahun 2009). Ujian Nasional bertujuan
menilai pencapaian kompetensi lulusan secara nasional pada mata pelajaran
tertentu dalam kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi. Adapun
hasil UN digunakan sebagai salah satu pertimbangan untuk: (a) pemetaan mutu
satuan dan/atau program pendidikan; (b) seleksi masuk jenjang pendidikan
berikutnya; (c) penentuan kelulusan peserta didik dari program dan/atau satuan
pendidikan; dan (d) pembinaan dan pemberian bantuan kepada satuan pendidikan
dalam upaya peningkatan mutu pendidikan.
Dalam pelaksanaan Ujian Nasional ini ternyata menimbulkan pro-kontra di
berbagai pihak. Banyak yang berkata Ujian Nasional perlu dilakukan, namun tak
jarang pula yang menentangnya. Lalu bagaimana?
Pertama, adalah pihak yang pro dengan adanya Ujian Nasional. Mereka
beranggapan bahwa ujian nasional adalah suatu bentuk usaha untuk
menyamaratakan seperti yang telah disebutkan di atas. Dengan adanya Ujian
Nasional tentu siswa akan berusaha keras untuk meraih hasil semaksimal mungkin.
Ujian Nasional juga dapat dipakai sebagai tingkat prestasi suatu sekolah. Misal,
sekolah C pada tahun ini siswanya lulus 100% dengan nilai yang memuaskan, tentu
akan menarik minat para calon siswa baru. Masyarakat beranggapan bahwa sekolah
yang mampu meluluskan siswanya dengan hasil yang baik tentu sistem
pembelajarannya baik.
Seseorang yang mendapatkan nilai hasil Ujian Nasional dengan angka yang tinggi
dianggap sebagai siswa yang pandai dan akan dimudahkan untuk meneruskan
tingkat pendidikan selanjutnya (SMP ke SMA).
Namun, terkadang jalan yang dipakai untuk melangkah ke Ujian Nasional tidaklah
mulus. Seperti layaknya jalanan, selurus-lurusnya jalan tentu ada belokan juga.
Dalam pelaksanaan Ujian Nasional ternyata tak semulus yang diharapkan. Banyak
belokan atau memang sengaja ada yang membelokkan diri.
Ujian Nasional ternyata menjadi ancaman bagi beberapa siswa yang notabene
‘kurang’ pintar. Mereka yang menganggap Ujian Nasional sebagai momok mulai
melakukan segala usaha, namun terkadang usaha yang mereka lakukan tidaklah
benar dengan adanya penghalalan segala cara. Dimulai dari siswa, siswa yang dinilai
‘kurang’ dari yang lainnya biasanya mulai berusaha dengan cara yang ‘lain’. Mereka
sadar bahwa mereka kurang, sehingga mereka mulai mencari celah demi
keberhasilan mereka. Kebanyakan mereka melakukan tindak seperti ini karena
mendapatkan suatu tekanan dari pihak lain, seperti orang tua, guru, dan teman-
teman. Orang tua mereka menuntut agar lulus dengan hasil yang memuaskan. Guru
juga begitu, sehingga menambah beban mental di pikiran siswa. Sedangkan jika
nantinya mereka gagal dalam Ujian Nasional mereka takut akan cibiran teman-
teman dan banyak yang menjauhi. Alhasil, mereka mulai mencari-cari kunci
jawaban.
Sebagai seseorang yang masih labil, belum menemukan jati dirinya, biasanya para
remaja mudah saja percaya dan terhasut pada omongan orang lain. Mereka yang
‘kurang’ biasanya lebih mudah terhasut oleh oknum yang menjual kunci jawaban.
Banyak dari mereka yang beranggapan bahwa semakin mahal suatu kunci jawaban,
maka semakin ‘manjur’-pulalah jawaban yang akan keluar nantinya. Namun,
bodohnya masyarakat kita ialah mereka mempercayainya bulat-bulat. Seperti halnya
siswa yang mempunyai atau telah mendapatkan kunci jawaban yang mahal
beranggapan bahwa kunci yang dipegangnya benar dan mereka pun menyalinnya
tanpa memperhatikan soal yang ditanyakan. Di situlah letak kesalahan terbesar dari
seorang siswa.
Selain siswa yang dianggap ‘kurang’, siswa yang ‘lebih’ dari yang lain pun tak lepas
dari perang batin. Mereka yang pandai mayoritas memilih untuk mengerjakan
ujiannya dengan hasil keringatnya sendiri. Namun, kecaman dari orang-orang di
sekitarnya yang membuatnya goyah. Misalnya, jika dia tidak mau memberikan
jawabannya pada saat ujian akan dianggap sombong atau tidak mau bertoleransi
dengan teman mereka yang membutuhkan. Di lain hal, mereka pun berpikir jika
teman-teman mereka membeli kunci jawaban dan apabila kunci jawaban mereka
benar maka tidaklah mustahil posisinya yang berada di atas akan tergeser. Dirinya
pun mulai ikut-ikutan membeli kunci jawaban dengan dalih takut tersaingi.
Tentunya, seperti halnya dengan siswa yang ‘kurang’, mereka pun tak mau atau
lebih tepatnya menghindari cibiran dari orang lain.
Apalagi pada zaman serba-modern seperti sekarang ini, kunci jawaban tak lagi
diperjualbelikan dalam bentuk lembaran. Namun, sudah merambah ke dunia
teknologi. Apalagi kalau bukan ponsel? Kunci jawaban dapat langsung terkirim
dalam sekali pencet, yaitu melalui pesan singkat atau SMS. Selain SMS, kunci
jawaban juga dapat diakses melalui internet yang tersedia di dalam ponsel. Namun,
kunci jawaban lebih sering dikirim melalui SMS. Meskipun telah tertera larangan
keras membawa ponsel ke dalam kelas, namun faktanya masih ada peserta ujian
yang membawa ponselnya masuk ke ruang ujian.
Selain dari segi siswa, kita juga dapat melihat dari segi kesalahan yang diperbuat
orang tua. Sebagai orang yang dihormati anak, orangtua acapkali menuntut agar
sang anak sukses di Ujian Nasional. Hal ini dilakukan karena lagi-lagi karena tak
mau dicibir oleh orang lain jika mereka gagal. Sebagai penanggung jawab atas
perbuatan anaknya, para orang tua pun mulai mengusahakan yang terbaik. Mulai
dari memfasilitasi anaknya untuk mengikuti bimbingan belajar, pembelian buku-
buku, dan lain lain. Namun, sebagai orang tua mereka terkadang memberikan welas
tanpa alis (istilah Jawa), yakni membantu putra-putrinya mendapatkan hasil
memuaskan tanpa pertimbangan yang matang. Para orang tua mendukung anaknya
meraih yang diinginkan, namun terkadang jalan yang mereka tempuh tidaklah
benar. Seperti halnya membelikan kunci jawaban atau bagi mereka yang mempunyai
hubungan atau koneksi dengan para oknum pembuat soal Ujian Nasional memohon
pada mereka untuk membantu ‘kesuksesan’ sang buah hati.
Guru yang pada dasarnya digugu lan ditiru (dihormati dan dipercaya serta dicontoh;
istilah Jawa) juga banyak yang melakukan tindakan yang tak pantas digugu lan
ditiru pada saat pelaksanaan Ujian Nasional. Guru sendiri dapat dibagi ke dalam
dua kelompok, yaitu: guru hitam dan guru putih. Guru hitam adalah guru yang
membantu siswa-siswinya menuju ‘sukses’ Ujian Nasional dengan menghalalkan
segala cara. Dengan alasan membantu siswa-siswinya, mereka ikut ‘membantu’ anak
didiknya dalam mencari kunci jawaban. Bahkan, mereka yang ‘berani’ membantu
anak didiknya mengerjakan langsung dengan memberikan kunci jawaban di depan
kelas.
Guru putih ialah guru yang mengajarkan siswa-siswinya untuk berusaha keras
bermandi keringat dalam mendapatkan kesuksesan. Biasanya mereka berusaha
memberikan pelajaran tambahan pada siswa yang dianggap ‘kurang’. Guru putih
beranggapan bahwa kejujuran jauh lebih berharga dibanding kesuksesan semu.
Mereka pun menentang segala bentuk kecurangan. Namun, tekanan di sekitar
merekalah yang membuat mereka tenggelam. Persentase jumlah guru putih yang
jauh lebih kecil dibanding dengan guru hitam membuatnya tesisih menjadi golongan
minoritas dan tak terdengar. Mereka pun terkadang dalam posisi dilematis, nurani
mereka berkata bahwa kejujuranlah yang penting namun posisinya sebagai
golongan minoritas membuatnya terpaksa ‘mengalah’.
Selain guru, kepala sekolah juga rawan dengan ketidakjujuran dalam pelaksanaan
Ujian Nasional. Tuntutan untuk Kepala Sekolah tidak hanya datang dari satu pihak,
tapi berbagai pihak. Seperti halnya orang tua siswa yang menuntut Kepala Sekolah
untuk mengusahakan yang terbaik, guru-guru yang mengharap Kepala Sekolah
membuat suatu kebijakan khusus dalam pelaksanaan Ujian Nasional. Bahkan, Dinas
juga menghendaki Kepala Sekolah mempersembahkan hasil yang maksimal demi
kemajuan daerahnya. Selain hal itu, Kepala Sekolah juga memiliki tanggungan akan
nasib sekolahnya. Masyarakat pada umumnya beranggapan bahwa sekolah yang
baik adalah sekolah yang memiliki peringkat atas pada saat Ujian Nasional. Tingkat
kelulusan dan hasil Ujian Nasional dijadikan tolok ukur masyarakat untuk menilai
baik-buruknya suatu sekolah. Tuntutan dari berbagai pihak itulah yang seringkali
membuat para Kepala Sekolah melakukan tindakan yang tidak sewajarnya.
Kepala sekolah pada umumnya meminta para guru mengadakan bimbingan belajar
tambahan kepada anak didiknya menjelang pelaksanaan Ujian Nasional. Hal ini
diharapkan untuk me-refreshkan ingatan siswa pada pelajaran tingkat sebelumnya
yang mungkin terlupakan. Bimbingan tambahan juga diberikan untuk memberikan
try-out Ujian Nasional. Hal itu merupakan usaha yang wajar dan baik untuk
dilakukan. Namun, kadangkala Kepala Sekolah tak tahan memilih jalan singkat
untuk mencapai Ujian Nasional tersebut yaitu dengan cara berbuat curang.
Contohnya memerintahkan si pandai untuk membantu si kurang pandai atau
bahkan membuat tim ‘sukses’ Ujian Nasional. Dalam pelaksanaan Ujian Nasional,
selain ada peserta ujian juga ada pengawas. Pengawas tentunya bertugas untuk
mengawasi jalannya ujian dan menjaga ujian agar tetap tertib dan teratur. Seperti
halnya siswa, pengawas pun juga ada yang ‘nakal’. Pengawas yang semestinya
menjaga jalannya ujian dari segala bentuk kecurangan ternyata ada juga yang
membiarkan kecurangan tersebut terjadi. Seperti halnya pengawas yang
membiarkan para peserta ujian menyontek atau bertanya pada siswa lain. Pada
peraturan tertulis bahwa pengawas tidak diperbolehkan membawa ponsel ke dalam
ruangan kelas, namun layaknya peserta ujian mereka tetap saja ngeyel membawa
ponselnya masuk kelas. Lalu bagaimana pelaksanaan Ujian Nasional ini bisa
berjalan lancar jika pengawas maupun pesertanya tidak tertib?
Soal Ujian Nasional tentunya dibuat sama atau setara se-Indonesia dengan kode A
dan B. Para pembuatnya pun sudah benar-benar pilihan. Soal yang dibuat
disetarakan antara sekolah favorit dan non-favorit.
Seperti kata pepatah, semakin tinggi jabatan seseorang semakin kompleks pula
godaan yang datang padanya. Ada banyak faktor yang dapat menyebabkan
timbulnya oknum pembuat soal Ujian Nasional. Misalnya, ada keluarga oknum yang
memohon-mohon agar diberi tahu kunci jawaban UN pada si oknum padahal si
oknum telah diwanti-wanti pemerintah untuk tidak membocorkannya pada
siapapun. Oknum pun akan merasa bimbang karena dia sudah berjanji, namun jika
dia tidak memberitahunya dia akan di-cap sebagai orang yang tidak mau membantu
orang lain.
Posisi dilematis-lah yang seringkali menjerumuskan seseorang atau sekelompok
orang untuk menghalalkan segala cara. Pembuat soal yang merasa finansial yang
diperolehnya tidak seperti yang diharapkan rawan sekali mengubah dirinya menjadi
oknum yang menyebarkan kunci jawaban pada para peserta UN.
Hal-hal yang telah disebutkan di atas itulah yang menyebabkan munculnya pro-
kontra Ujian Nasional di Indonesia. Ujian Nasional yang seharusnya menjadi sebuah
kompetisi besar bagi para siswa ternyata banyak pula yang menjadikannya momok
menakutkan. Ujian Nasional yang seharusnya dapat menjadi tolok ukur kualitas
sekolah dan kualitas siswa ternyata banyak kecurangan di sana-sini yang
menyebabkan hasil Ujian Nasional tidak murni.
Selain melihat segi kekurangan, kita juga harus melihat sisi kebaikannya. Jika tidak
ada Ujian Nasional, penilaian kualitas suatu sekolah tidak mudah. Karena tidak ada
yang dijadikan tolok ukur secara nasional. Siswa baru yang akan melanjutkan ke
tingkat berikutnya harus belajar kembali untuk mengikuti tes masuk. Sekolah yang
mencari siswa baru pun kesulitan. Jika sekolah tersebut menggunakan nilai rapor,
padahal standar nilai di tiap-tiap sekolah berbeda, maka akan merepotkan. Dan jika
menggunakan tes masuk, sekolah pun harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit
untuk mengurusi segala keperluan tes tersebut.
Kesimpulannya, Ujian Nasional masih perlu dilaksanakan. Kenaikan standar
kelulusan juga sangat perlu karena pada kenyataannya kualitas pendidikan kita
berada jauh di belakang Malaysia apalagi Singapura. Ini dapat diketahui dari
peringkat Indonesia di HDI (Human Development Index) yang semakin merosot
atau anjlok. Selain meningkatkan standar kelulusan, pemerintah hendaknya
mengawasi secara ketat perihal jalannya Ujian Nasional agar tetap lancar dan
sportif.
Semua kalangan (Pemerintah, Lembaga Pendidikan, Kepala Sekolah, Guru, Siswa,
dan semua yang terkait dengan ujian nasional) hendaknya mengkaji tujuan mulia
diselenggarakannya ujian nasional. Hal ini dimaksudkan agar tujuan mulia ujian
nasional untuk meningkatkan mutu pendidikan dapat tercapai. Selain itu, biaya
besar yang dikeluarkan Pemerintah agar tidak sia-sia. Jayalah Indonesiaku, Jayalah
Bangsaku, Jayalah Negeriku.

(Essay ini memenangkan Lomba Essay se-Eks Karisidenan Surakarta, principium


Fak. Hukum UNS, agustus 2010)

Seputar Pro-
Kontra Kebijakan Ujian
Nasional
Posted on 28 November 2009 by AKHMAD SUDRAJAT — 84 Komentar

D ari tahun ke tahun penyelenggaraan Ujian Nasional selalu diwarnai dengan pro-kontra. Di satu

pihak ada yang meyakini bahwa Ujian Nasional sebagai syarat kelulusan siswa masih tetap diperlukan.
Tetapi di lain pihak, tidak sedikit pula yang menyatakan menolak Ujian Nasional sebagai syarat
kelulusan siswa. Masing-masing pihak tentunya memliki argumentasi tersendiri.
Berikut ini disajikan aneka berita seputar Pro-Kontra Kebijakan Ujian Nasional yang berhasil dihimpun
dari berbagai sumber, yang tentunya baru sebagian kecil saja dari sejumlah berita yang saat ini sedang
hangat diberitakan dalam berbagai mass media.

BERITA PRO UJIAN NASIONAL


1. Penerbitan Permendiknas Ujian Nasional 2010
Mendiknas menerbitkan peraturan No.74 dan 75 tentang Panduan UN Tahun Pelajaran 2009-2010
SD dan SMP/SMA/SMK, ditandatangani oleh Mendiknas Bambang Sudibyo per tanggal 13 Oktober
2009. Salah satu isinya menyebutkan bahwa Hasil UN digunakan sebagai salah satu pertimbangan
untuk penentuan kelulusan peserta didik dari program dan/atau satuan pendidikan. (baca selengkapnya
Depdiknas )
2. Kalah di MK Soal UN, Pemerintah Segera Ajukan PK

Menyusul keputusan Mahkamah Agung yang menolak kasasi ujian nasional yang diajukan oleh
pemerintah, Pemerintah akan kembali melakukan upaya hukum yang terakhir yakni pengajuan peninjauan
kembali. “Terus terang saya belum membaca keputusan MA. Yang jelas kita menghormati apa pun
keputusan lembaga hukum. Siapa pun juga harus menghormati upaya-upaya hukum yang masih
dilakukan. Untuk selanjutnya, tentu pemerintah akan menggunakan hak yang dimiliki,” kata Menteri
Pendidikan Nasional RI Mohammad Nuh seusai upacara bendera Peringatan Hari Guru, Rabu (25/11) di
halaman Departemen Pendidikan Nasional RI, Jakarta. (baca selengkapnya Kompas.com)

3. 2010, UN Bukan Penentu Kelulusan


Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) M Nuh mengatakan, pada tahun 2010 Departemen Pendidikan
Nasional (depdiknas) akan melakukan perubahan pelaksanaan Ujian Nasional (UN). Tetapi pihaknya
menyangkal jika perubahan tersebut dikaitkan dengan keputusan Mahkamah Agung (MA) yang menolak
kasasi dari pemerintah berkait keputusan dari Pengadilan Tinggi Jakarta tentang pelaksanaan UN. (baca
selengkapnya Republika Online)
4. Ujian Nasional Jalan Terus

Salah satu anggota Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), Prof Mungin Eddy Wibowo,
mengatakan bahwa putusan Mahkamah Agung (MA) yang melarang pelaksanaan Ujian Nasional (UN)
tak memengaruhi penyelenggaraan UN pada 2010. “Kami akan tetap menyelenggarakan UN pada 2010
sesuai dengan jadwal yang ditetapkan, dan hal itu juga telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor
19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan,” kata Mungin. (baca selengkapnya Kompas.com)

5. Hasil UN Meningkat, Pemerintah Puas


Pemerintah atau Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas), melalui Badan Standar Nasional
Pendidikan (BSNP), mengaku merasa puas dengan hasil Ujian Nasional (UN) 2008/2009 yang secara
nasional persentasenya mengalami kenaikan.(baca selengkapnya: Diknas.go.id)

BERITA KONTRA UJIAN NASIONAL


1. Press Realease dari Mahkamah Agung
Mahkamah Agung menolak permohonan pemerintah terkait perkara ujian nasional, dalam perkara Nomor
: 2596 K/Pdt/2008 dengan para pihak Negara RI cq Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono; Negara RI
cq Wakil Kepala Negara, Wakil Presiden RI, M. Jusuf Kalla; Negara RI cq Presiden RI cq Menteri
Pendidikan Nasional, Bambang Sudibyo; Negara RI cq Presiden RI cq Menteri Pendidikan Nasional cq
Ketua Badan Standar Nasional Pendidikan, Bambang Soehendro melawan Kristiono, dkk (selaku para
termohon Kasasi dahulu para Penggugat/para Terbanding.(baca selengkapnya Mahkamah Agung )
2. Pasca Putusan MA, Pemerintah Perlu Tinjau UN

“… Dari segi hukum perlu diapresiasi, karena setidaknya putusan MA itu perlu dikritisi oleh pemerintah
untuk benar-benar meninjau kembali UN, yang selama ini terjadi pemerintah tidak pernah melakukan
itu,” ujar Dr Anita Lie, dosen di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Unika WIdya Mandala
Surabaya.

“….Sementara itu, menurut Sekretaris Institute for Education Reform Universitas Paramadina
Mohammad Abduhzen, ada hal lebih penting dari putusan MA tersebut, yaitu soal pemborosan. Abduh
mengatakan, pemborosan terjadi akibat dikeluarkannya kebijakan UN ulang bagi siswa yang tidak lulus.
“Dengan model yang seperti ini, UN sampai saat ini tidak memperlihatkan satu hal pun yang menyangkut
soal peningkatan mutu anak didik,” ujarnya. Abduh menegaskan, kalau tidak dikritisi oleh masyarakat,
kondisi yang terjadi akan terus begini. “UN itu tentu bisa diadakan, tetapi kalau sudah dilakukan
perubahan pada kerangka pendidikan nasional yang bermutu secara menyeluruh, namun kenyataannya
secara makro hal itu tidak ada sama sekali, tidak ada kompromi,” tambahnya. (Baca selanjutnya
Kompas.com)

3. Putusan Kasasi UN Dirayakan dengan Tumpeng

Peringatan Hari Guru di Bandung dirayakan dengan tumpengan oleh guru, siswa, dan masyarakat
pemerhati pendidikan. Syukuran ini juga dilakukan terkait ditolaknya permohonan kasasi pemerintah
mengenai ujian nasional oleh Mahkamah Agung. (Baca se;engkapnya Kompas.Com )

4. Pemerintah Dinilai Langgar Hukum Jika Tetap Gelar Ujian Nasional


Pemerintah dinilai melanggar hukum jika tetap menyelenggarakan Ujian Nasional tahun depan. Sebab,
putusan Mahkamah Agung yang menolak kasasi yang diajukan pemerintah dianggap sudah final. (baca
selengkapnya Tempointeraktif )

5. Guru Menuntut Ujian Nasional Dibatalkan

Para guru yang tergabung dalam Forum Interaksi Guru Banyumas (Figurmas), Jumat (27/11), menuntut
agar Ujian Nasional dibatalkan, menyusul keputusan Mahkamah Agung yang menolak kasasi perkara UN
yang diajukan pemerintah. (baca selengkapnya Kompas.Com )

6. Wakil Ketua MPR Setuju Penghapusan Ujian Nasional

Wakil Ketua MPR Lukman Hakim Saifuddin meminta pemerintah menerima putusan MA yang
membatalkan ujian nasional. Ketimpangan fasilitas pendidikan menjadikan pendidikan di Indonesia tidak
pantas lagi distandarisasi secara nasional. (baca se;lanjutnya : Detik News )

7. Mahasiswa Demo Minta Ujian Nasional Dihapus

Aliansi Mahasiswa Peduli Pendidikan (AMPP) Polewali Mandar, Sulawesi Barat, melakukan aksi unjuk
rasa di kantor dinas pendidikan setempat. Dalam orasinya para mahasiswa mendesak pemerintah dan
dinas pendidikan untuk bertanggung jawab dengan bobroknya pelaksanaan ujian nasional tahun ini. (baca
se;lanjutnya : Liputan6.com)

8. Tolak UN, BEM Universitas Palangkaraya Demo

Puluhan mahasiswa dari Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Palangkaraya berdemo di halaman
Dinas Pendidikan Provinsi Kalimantan Tengah. Mereka menolak ujian nasional sebagai standar
kelulusan. (baca se;lanjutnya: Kompas.com)

BERITA “KORBAN” UJIAN NASIONAL


1. Peserta UN Dicampur, Guru Bingung

… Kebijakan mencampur peserta UN itu membingungkan pihak sekolah, guru, dan siswa. Apalagi hingga
saat ini kepastian soal perubahan-perubahan teknis dalam pelaksanaan UN belum juga disampaikan
secara resmi ke sekolah.Sejumlah pimpinan sekolah dari berbagai daerah, Rabu (25/11), mengatakan,
rencana mencampur peserta UN menambah beban psikologis pelajar. (baca selengkapnya: Kompas. com)
2. Kisah Pahit Para Korban Ujian Nasional

Ujian nasional digugat. Ujian sebagai standarisasi kelulusan itu dianggap mengabaikan prestasi yang
dibina anak didik selama bertahun-tahun. Banyak siswa berprestasi tidak lulus hanya lantaran gagal dalam
ujian nasional. Seperti yang dialami Siti Hapsah pada 2006. Mimpinya kuliah di Institut Pertanian Bogor
sirna gara-gara ujian ujian nasional. Ia dinyatakan tak lulus ujian nasional lantaran nilainya kurang 0,26.
(baca selengkapnya VivaNews)

3. Pelajar Alami Gangguan Jiwa Hadapi UN {Video)

Seorang siswi kelas 3 SMP Negeri 4 Kendari, Sulawesi Tenggara mengalami gangguan jiwa setelah
terlalu banyak belajar menghadapi ujian nasional. (baca selengkapnya VivaNews)

4. Bunuh Diri Karena Tak Lulus UN

Gara-gara tak lulus ujian nasional (UN) SMA, seorang pemuda nekat bunuh diri. Diduga karena tak kuat
menahan beban psikis, Tri Sulistiono (21) memilih mengakhiri hidupnya dengan cara melompat ke dalam
sumur. (baca selengkapnya Suara Merdeka)

5. Mengurung diri setelah gagal UN, Edy akhirnya bunuh diri

Edi Hartono (19), aib karena gagal UN masih terus terasa menyesakkan. Setelah mengurung diri di rumah
neneknya, mantan siswa SMA di Besuki itu akhirnya bunuh diri. (baca selengkapnya: Kompas. com)

6. Gagal UN, Siswi SMP Mencoba Bunuh Diri

Hasil ujian nasional sekolah menengah pertama nyaris membawa korban jiwa di Banyuwangi, Jawa
Timur, belum lama ini. Ida Safitri, siswi SMPK Santo Yusuf, mencoba bunuh diri dengan menenggak
puluhan pil tanpa merek karena gagal lulus. Beruntung nyawa korban dapat diselamatkan setelah pihak
keluarga segera membawanya ke rumah sakit. (baca selengkapnya: Liputan6.com)

7. Siswa SMK Coba Bunuh Diri, Diduga Karena Tak Bisa Ikut UN

Ujian Nasional (UN) adalah segalanya bagi seorang siswa. Diduga karena stres tidak bisa ikut UN,
Hendrik Irawan (19) nekat minum racun serangga. Beruntung nyawanya bisa diselamatkan. (baca
selengkapnya : DetikNews.com)
[ essay ] [ MASIH PENTINGKAH UJIAN NASIONAL DIPERTAHANKAN? ] [ Ahidatus Syarifah ]
Kebijakan pemerintah ini, sebagai mana tahun-tahun sebelumnya, telah melahirkan pro kontra
dengan berbagai sudut pandang. Pihak yang pro, pada dasarnya memandang UN sebagai alat
untuk meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia. Sementara yang kontra, pada intinya
menganggap UN merupakan kebijakan yang kredibilitasnya masih diragukan dan
mempersoalkan fungsinya sebagai penentu kelulusan bagi peserta didik.
Ketidaksamaan pandangan dalam melihat penyelenggaraan UN sebagai alat ukur (penilaian)
pendidikan tersebut, menyebabkan kita terlibat terus untuk mempersoalkan dan mengkajinya
lebih jauh dan mendalam lagi. Kajian tersebut akan menjawab permasalahan masih pentingkah
sistem UN dipertahankan ?
Penyelenggaraan pendidikan di Indonesia telah di atur dalam Undang-undang (UU) Nomor 20
Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, termasuk mengatur tentang evaluasi untuk
peningkatan mutu pendidikan. Evaluasi tersebut kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan pada
Bab X tentang Standar Penilaian Pendidikan. Standar penilaian tersebut kemudian diperjelan
lagi dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 20 Tahun 2007
Tentang Standar Penilaian Pendidikan.
Dalam PP dan Permendiknas itu, ditegaskan bahwa penilaian hasil belajar pada jenjang
pendidikan dasar dan menengah dilakukan oleh pendidik, satuan pendidikan dan pemerintah.
UN merupakan bentuk penilaian yang dilakukan oleh pemerintah. Bertujuan untuk menilai
pencapaian kompetensi lulusan secara nasional pada mata pelajaran tertentu dalam kelompok
mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi. Penyelenggarannya dilakukan secara obyektif,
berkeadilan, dan akuntabel. Penyelenggaraan UN dilaksanakan oleh Badan Standar Nasional
Pendidikan (BSNP). Hasil UN digunakan sebagai salah satu pertimbangan untuk melakukan
pemetaan mutu program dan/atau satuan pendidikan, dasar seleksi masuk jenjang pendidikan
berikutnya, penentuan kelulusan peserta didik dari program dan/atau satuan pendidikan, serta
pembinaan dan pemberian bantuan kepada satuan pendidikan dalam upaya untuk
meningkatkan mutu pendidikan.
Kebijakan UN yang selalu menjadi fokus pembicaraan yang melahirkan pro kontra adalah
terletak pada penyelenggaraannya yang belum sesuai dengan apa yang diamatkan oleh
peraturan tertulis tersebut, yang harus diselenggarakan secara obyektif, berkeadilan, dan
akuntabel. Selain itu, isi PP dan Permendiknas yang selalu mendapat sorotan tajam dari
masyarakat adalah adanya ketentuan yang mengatur bahwa hasil UN merupakan penentu
kelulusan peserta didik dari program dan/atau satuan pendidikan.
Obyektifitas penyelenggaraan UN diragukan mengingat masih terjadinya kasus kebocoran
dokumen soal UN. Menjelang pelaksanaan UN, banyak bertiup isu bahwa ada soal UN yang
telah beredar. Kunci jawaban juga banyak beredar melalui pesan singkat (SMS). Bahkan
tragisnya lagi, ada kasus pemberian kunci jawaban kepada peserta didik atas inisiatif guru atau
sekolahnya. Di beberapa daerah kasus semacam itu telah terbukti secara hukum. Sedangkan
yang tidak terungkap, disadari atau tidak, masih lebih banyak lagi. Mengingat akan hal itu, maka
hasil UN tidak dapat sepenuhnya dapat dikatakan sebagai hasil petbuatan yang jujur.
Ketidakjujuran tersebut timbul dari adanya rasa takun dan tekanan. Pengelola sekolah dan
guru, takut kepada masyarakat kalau banyak siswa yang tidak lulus, serta takut akibat yang
akan diterima dari pemerintah daerah kalau hasil UN jelek dan tidak sesuai dengan yang
diharapkan. Pemerintah daerah secara langsung, maupun tidak langsung telah memberikan
tekanan agar penyelenggaraan UN sesuai dengan garis kebijakannya. Tekanan (intervensi)
politis ini menyebabkan pelaksanaan UN di satuan pendidikan tidak sesuai dengan rambu-
rambu (pedoman) yang telah ditetapkan. Mencari keselamatan diri dan kelompok menjadi
pilihan, dengan cara yang tidak sesuai aturan baku.
Kenyataan seperti diatas menunjukkan bahwa penyelenggaraan UN belum mencerminkan
prinsip keadilan. Ketidakadilan tersebut juga terlihat dari adanya persamaan soal UN untuk
semua sekolah. Hal ini menjadi sebuah ironi, mengingat satuan-satuan pendidikan di setiap
wailayah, kota sampai desa tidak memiliki sarana fisik yang sama, dan kualitas tenaga
pendidikan yang berbeda. Di kota-kota pada umumnya satuan pendidikan memiliki fasilitas
pendukung yang lengkap dan tenaga guru dengan kualitas yang baik melimpah. Sementara
satuan pendidikan di pelosok-pelosok kondisi fasilitas dan tenaga pendidiknya kekurangan.
Bahkan ada sekolah yang kondisinya teramat parah dan memperihatinkan, sehingga mati
enggan hidup pun tak mau. Fakta ini apabila disamakan dalam pelaksanaan UN, maka keadilan
itu tidak pernah ada.
Dengan munculnya kasus-kasus kebocoran dokumen UN, serta tidak meratanya falisitas dan
tenaga pendidik untuk semua satuan pendidikan, maka akuntabelitas penyelenggaraan UN
patut dipertanyakan. Alangkah tidak ironisnya nilai UN peserta didik yang ada di kota lebih
rendah dengan yang ada di pelosok pedesaan. Alangkah lucunya satuan pendidikan yang
proses pembelajarannya Senin Kamis (tidak efektif) mendapatkan peringkat sepuluh besar hasil
UN, dari pada sekolah yang proses pembelajarannya tidak diragukan. Hasil UN menjadi kurang
dapat dipertanggungjawabkan kredibilitasnya, apabila kita melihat kenyataan bahwa lulusan
dari satuan pendidikan yang memperoleh nilai UN rata-rata tinggi dan mampu meluluskan 100
% tidak bisa diterima di sekolah-sekolah favorit atau tidak lulus seleksi masuk perguruan tinggi.
Keraguan ini bisa juga timbul dari cara pembobotan nilai kelulusan peserta didik, yang
ditetapkan dengan rasio 60 % UN dan 40 % Ujian Sekolah (US). Ini akan mendorong terjadinya
manipulasi nilai peserta didik, sehingga yang bodoh pun bisa lulus. Dengan cara ini, satuan
pendidikan bisa jadi akan menaikkan kreteria ketuntasan minimal (KKM) secara serampangan,
tanpa didasarkan pada kenyataan yang ada di satuan pendidikan.
Kredibilitas penyelenggaraan UN menjadi diragukan, bisa dikaji lagi dari kebijakan yang
memposisikan hasil UN sebagai salah satu penentu kelulusan. Ini menjadi momok yang
menakutkan bagi peserta didik, sekolah dan pemerintah daerah. Kehawatiran untuk tidak lulus,
mendorong mereka untuk mencari cara agar bisa lulus, walaupun cara tersebut bertentangan
dengan aturan yang berlaku. Seharusnya hasil UN tidak ikut menentukan kelulusan peserta
didik, tetapi dijadikan sebagai alat untuk melihat, memetakan dan meningkatkan mutu
pendidikan. Mengingat pula bahwa yang paling mengetahui keadaan siswa, baik prestasi
maupun kepribadiannya adalah guru-guru yang ada di setiap satuan pendidikan. Seharusnya
guru dan satuan pendidikan diberikan hak penuh untuk menentukan kelulusan sesuai dengan
fungsi dan tanggungjawabnya.
Berangkat dari kenyataan di atas, maka sistem penyelenggaraan UN yang sekarang perlu
dievaluasi secara menyeluruh, dan bila perlu diganti dengan sistem yang lain, misalnya kembali
menggunakan sistem Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (EBTANAS) di era tahun 1980-an
dan 1990-an. Kita belum terlambat untuk merubah kebijakan yang telah ditetapkan, mengingat
penyelenggaraan UN masih cukup panjang. Perlu kita ingat kembali, bahwa pada saat
pemberlakuan sistem EBTANAS, tidak pernah seheboh seperti sistem penyelenggaraan UN
dewasa ini. Sistem lama ini tidak mengebiri hak-hak guru dan sekolah, mereka diberikan hak
yang besar untuk menyelenggarakannya, hak penuh dalam mengoreksi hasilnya, dan memiliki
hak penuh pula dalam menentukan kelulusan peserta didik, berdasarkan pedoman yang telah
ditetapkan. Sedangkan hasil EBTANAS yang murni tidak dijadikan penentu kelulusan, tetapi
dijadikan sebagai syarat untuk seleksi masuk ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Dengan
begitu penyelenggaraan Ujian Akhir Nasional (UAN) menjadi lebih obyektif, berkeadilaan dan
akuntabel.
Nama : Ahidatus Syarifah
Kelas : XI Ipa 4
No. Absen : 02

Di Balik Pro-Kontra UN
Anak-anak yang gagal dan sekolah yang gagal adalah sebuah indikasi dari adanya sistem yang
salah, bukan otak yang salah" (Eric Jensen, penulis Brain Based Lerning tahun 2008). Bandingkan dengan
peribahasa, 'Buruk muka cermin dibelah'.

Jika saat ini Ujian Nasional (UN) dipersoalkan dan terjadi persoalan dalam pelaksanaan UN perlu
dipertanyakan apa persoalan hakiki UN tersebut. Persoalan UN bukan terletak pada ada atau tidak
adanya UN. Sebab itu, tidak perlu diperdebatkan sehingga menimbulkan pro kontra. Justru jauh lebih
penting dituntaskan adalah fenomena di balik ada atau tidak adanya UN.

Bagaimanapun, penyelenggaraan UN terbukti berjasa mengungkap "borok-borok" yang ada di


dalamnya, baik dalam hal persiapan, pelaksanaan, maupun hasil UN. Kelihatannya ada kekeliruan
mindset ketika ada pihak yang menganggap UN merampas hak-hak guru dalam melakukan evaluasi
terhadap peserta didiknya. Padahal, UN sama sekali tidak merampas hak guru. Di dalam sebuah sistem,
evaluasi perlu dilakukan secara internal dan eksternal, ada kalanya dilakukan secara simultan. Evaluasi
eksternal diperlukan untuk melakukan verifikasi terhadap proses dan validitas evaluasi internal.
Nah, antara ujian yang dilakukan oleh guru dan UN semestinya saling menguatkan. Ujian adalah
salah satu tahapan dalam proses evaluasi yang bertujuan untuk mendapatkan data yang valid. Jika ada
anak yang gagal ujian, baik UN maupun non UN, persoalannya hanya dua.

Pertama, anak yang bersangkutan tidak menguasai kompetensi dasar yang diuji. Kedua, alat ujinya
tidak valid. Solusinya ada pada dua hal itu. Jadi, bukan dengan meniadakan salah satunya, karena
meniadakan salah satunya akan mengurangi tingkat validitas keseluruhan proses evaluasi.

Terkait hal itu, setiap guru menetapkan batas kriteria ketuntasan minimal (KKM) sebelum
pembelajaran dimulai di awal tahun. Penetapan kriteria ini didasarkan atas kajian tentang kemampuan
dasar awal siswa (intake), kompleksitas materi dan kompetensi, serta daya dukung (profesionalisme
guru dan sarana prasarana yang tersedia). Ketiga hal ini menentukan tinggi rendahnya ketuntasan
minimal masing-masing mata pelajaran.

Kisaran ketuntasan minimal yang ditetapkan guru antara 60-80 persen, bergantung pada kondisi
sekolahnya, dan bahkan sekolah-sekolah unggulan menetapkan di atas itu. Artinya, guru menetapkan
target pencapaian pembelajaran minimum adalah 60 persen dari 100 persen kompetensi yang diajarkan.
Jika persentase itu betul-betul murni hasil pencapaian kompetensi, maka semua anak lulus UN karena
batasan UN berada di bawah itu, yaitu 55 persen. Artinya, ketika siswa naik kelas, mereka tuntas
menguasai kompetensi, ia akan lulus UN. Jika ada anak yang gagal UN, penyebabnya dua.

Pertama, pencapaian ketuntasan minimum hanya kamuflase, atau hanya tuntas angka, bukan
tuntas komepetensi karena kalau tuntas kompetensi sangat kecil kemungkinan anak gagal UN karena
kompeten berbeda dengan hafal. Bila anak kompeten, diuji oleh siapa pun, kapan pun, dan di mana pun
pasti dia bisa, jika hanya hafal, bisa jadi gagal karena gugup pada saat ujian.

Kedua, alat uji UN yang tidak valid. Jika anak gagal karena alat uji tidak valid, namanya
penzaliman, ini dapat disebut merampas hak anak. Sampai saat ini belum ada satu pun lembaga
independen mengkhususkan diri untuk meneliti validitas alat uji UN ini. Artinya, sejauh ini tidak ada yang
mempersoalkan validitas UN. Padahal, validitas alat uji jauh lebih penting daripada mempersoalkan
keberadaannya, jika terbukti alat yang digunakan tidak valid, alasan ini sangat kuat untuk menganulir
hasil UN. Ketika ada siswa yang belum mencapai KKM, guru akan melakukan remedial. Persoalnya
adalah, guru sering kali keliru memaknai remedial dan KKM. Remedial pada umumnya dipahami sebagai
perbaikan nilai padahal bukan perbaikan nilai, tapi perbaikan kompetensi.

Sebagai contoh, saat tes menulis karangan, anak mendapat angka 40, artinya anak belum
tuntas karena di bawah KKM (60 persen). Jika alat tes yang digunakan oleh guru itu valid, mengacu
kepada indikator yang terukur, mestinya guru tahu sejak awal apa permasalahan yang dihadapi
tersebut. Misalnya, ternyata anak yang bersangkutan belum mahir merangkai kata menjadi kalimat, dan
tentunya untuk merangkai kalimat menjadi suatu paragraf akan bermasalah.

Ketika guru paham dengan kondisi anak ini, maka remedialnya adalah memberikan latihan atau
bimbingan sehingga anak menjadi mahir dalam menyusun kata menjadi kalimat yang bermakna, dan
seterusnya dia mahir menyusun kalimat menjadi paragraf yang padu. Berikutnya setelah remedial,
untuk memastikan apakah anak sudah tuntas atau belum, anak yang bersangkutan dapat diuji kembali.
Jika proses ini dilakukan sejak awal pembelajaran dimulai, berarti guru fokus pada pencapaian
kompetensi. Akhirnya, kompetensi anak akan terus meningkat, dan beban kerja guru akan terus
berkurang sejalan dengan meningkatnya penguasaan kompetensi anak. Dengan cara itu, semua anak
akan tuntas, dan tidak ada lagi anak yang tingal kelas. Tentunya, tidak akan ada anak yang tidak lulus
UN, karena semua anak tuntas dan ketuntatasan paling rendah 60 persen, di atas batas 55 persen untuk
kelulusan UN.

Bila ini terjadi, anak, orangtua, guru, kepala sekolah, kepala dinas, kepala daerah tidak perlu lagi
mencemaskan UN. Tidak ada yang merasa terancam mutasi setelah hasil UN diumumkan. Inilah makna
pembelajaran dalam kurikulum berbasis kompetensi.

Orang yang takut UN adalah orang yang meragukan kemampuannya. Jika yang menolak UN itu
orang dewasa, seperti guru, para ahli, pejabat, itu artinya mereka menyangsikan hasil pekerjaannya
sendiri selama ini.

Zulfikri Anas ;

Praktisi Pendidikan, Penggagas Kelompok Kajian Teaching Learning Camp (TLC), Banten

SUARA KARYA, 27 April 2013


Ketika UN Masih menjadi
Penentu Kelulusan
Posted on 21 April 2013 by AKHMAD SUDRAJAT — 31 Komentar

J ika

Tampaknya seb
ada pertanyaan kebijakan pendidikan apa yang paling kontroversial di Indonesia saat ini?

agian besar orang akan menunjuk pada dua kata


yaitu Ujian Nasional. Memang, sejak kelahiranya tahun 2005, di masyarakat (umum, praktisi maupun
teoritisi pendidikan), kebijakan Ujian Nasional senantiasa menjadi bahan perdebatan yang tajam. Di satu
sisi, ada sebagian pihak yang mendukung dan sebagian lagi ada yang jelas-jelas menentang kehadiran,
tentu dengan argumentasinya masing-masing.
Kelompok pendukung ujian nasional pada umumnya menganggap bahwa ujian nasional masih
diperlukan, terutama untuk kepentingan pengendalian mutu pendidikan secara nasional dan penegakan
akuntabilitas pengelola dan penyelenggara pendidikan. Sementara, dari pihak yang menolak kehadiran
Ujian Nasional menganggap bahwa kehadiran Ujian Nasional sebagai penentu kelulusan telah banyak
madlaratnya dari pada manfaatnya, baik dilihat dari sisi psikologis, ekonomis, yuridis dan terutama
pedagogis. [lihat tulisan ini: Kemdikbud, lakukan reposisi terhadap Ujian Nasional!]
Berdasarkan hasil survey yang dilakukan PGRI pada tahun 2012 menunjukkan bahwa sebagian besar
guru, kepala sekolah, dan pengawas sekolah menganggap kebijakan ujian nasional (UN) tidak tepat.
Sebanyak 28,57 persen, guru menganggap UN sebagai kebijakan yang tidak tepat, dan 42,86 persen
sangat tidak tepat. Kepala sekolah menganggap kebijakan UN tidak tepat 26,15 persen, dan 49.23 persen
menganggap kebijakan UN sangat tidak tepat. Adapun pengawas sekolah sebanyak 27 persen
menganggap kebijakan UN tidak tepat dan sangat tidak tepat 41,77 persen. Menurut Ketua Umum
Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PB PGRI), Sulistiyo, bahwa munculnya pesepsi dari
ketiga unsur praktisi pendidikan tersebut disebabkan karena Ujian Nasional tidak berhasil meningkatkan
semangat belajar, menimbulkan kecurangan, menimbulkan ketegangan murid, dan menanamkan mental
koruptif pada anak. (Kompas.com, 16-04-2013).
Untuk meredusir polemik dan masalah yang berkaitan dengan penyelenggaraan Ujian Nasional ini,
sejak tahun 2011 pemerintah telah berkompromi dengan menetapkan “sharing” kontribusi penentuan
kelulusan siswa menggunakan formulasi : 40% nilai sekolah dan 60% nilai ujian nasional. Tetapi
ketentuan ini tampaknya belum menjadi obat mujarab, malah beresiko memunculkan masalah baru dalam
bentuk praktik penggelembungan (bubble) nilai siswa, yang tidak menggambarkan kemampuan
sebenarnya.
Dalam pandangan saya, ketika sekolah memaksakan dan dipaksakan (oleh para pemaksa) untuk fokus
pada ujian nasional dan menjadikan ujian nasional se bagai tujuan, maka secara langsung atau
tidak langsung di sana akan terjadi pengikisan keutuhan makna pendidikan. Proses pendidikan tidak lagi
dipandang sebagai proses pemanusiaan manusia, tetapi sudah tergelincir dan terjebak pada proses
dehumanisasi dan domistikasi guna mencapai target keberhasilan kognitif semata atau mungkin target di
luar kepentingan pendidikan itu sendiri. Lebih parah lagi, ketika ujian nasional masih selalu diwarnai
dengan berbagai kecurangan yang sistemik dan disengaja [lihat tulisan ini, Oh, UN itu Begini?], maka
anak-anak kita sesungguhnya telah kehilangan dua hal penting dalam hidupnya, yaitu intelektual
sekaligus moralnya.
Tahun 2013 ini puteri bungsu saya tercatat sebagai peserta Ujian Nasional SMA. Saya berusaha
meyakinkan anak saya untuk tidak tergoda menyontek. Saya katakan kepada dia, bahwa saya adalah
orang yang lebih percaya pada proses ketimbang hasil. Kewajiban dia adalah berusaha belajar dengan
sebaik mungkin dan mengisi soal-soal ujian nasional sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya.
Persoalan hasil (lulus atau tidak lulus), itu adalah urusan Tuhan, bukan menjadi kewajiban dia. Saya
tegaskan pula, sebagai orang tua, saya tetap bangga, kalau nanti hasil ujiannya tidak sesuai dengan
harapan, yang penting sudah berusaha sebaik-baiknya dan sejujur-jujurnya.

Begitulah refleksi saya terkait dengan hiruk pikuknya pelaksanaan Ujian Nasional 2013. Bagaimana
menurut Anda?

Meski kita belum mampu menyediakan pendidikan yang terbaik untuk anak-anak kita tetapi paling tidak

berikanlah mereka pendidikan yang tepat dan benar.

Anda mungkin juga menyukai