Anda di halaman 1dari 29

Jakarta, CNN Indonesia -- Dua hari lagi, Senin (13/4) Ujian Nasional untuk tingkat SMA dan

sederajat akan dimulai. Setelah itu secara berturut-turut dan mungkin hanya akan berselang
beberapa pekan ujian akhir untuk setingkat SMP juga akan dilakukan. Lalu diakhiri dengan ujian
akhir setingkat SD pada bulan Mei mendatang.
Biasanya segala ketegangan bukan hanya harus dihadapi anak-anak yang menjalani ujian. Namun
juga orang tua yang akan mendampingi anak. Sangat disayangkan jika ketegangan yang dirasakan
orang tua justru akan menambah beban anak saat menghadapi ujian.
Semestinya hal ini harus dihindarkan. Meski orang tua punya kewajiban untuk mendorong dan
memotivasi anak untuk lebih giat belajar bukan berarti membiarkan anak sampai mengalami stres.
Seperti ditulis di laman Kidspot ketika anak-anak tak mau menyampaikan perasaan mereka bahwa
mereka mengalami stres pra-ujian, hal itu bisa terbaca dari perilaku mereka. Misalnya:
-Mudah marah.
-Mudah sedih.
-Gelisah.
-Enggan menjalankan kegiatan yang biasanya mereka sukai.
Jika tanda-tanda ini muncul apa saja yang bisa dilakukan?
1.Mendampingi secara emosional.
Saat menjalani masa sulit seperti ujian, anak-anak membutuhkan kehadiran dan perhatian lebih dari
orang tuanya. Mereka perlu dimengerti, maka jangan sepelekan saat-saat bisa bersama mereka.
Hal itu akan membuat mereka merasa aman dan percaya diri. Bersikaplah terbuka akan apapun
yang ingin disampaikan anak-anak.
2. Mendiskusikan perasaaan.
Dorong anak untuk bicara tentang apa yang mereka rasakan. Dengarkan dengan empati, sehingga
mereka mengerti bahwa mereka dipahami dan bahwa perasaan tegang mereka adalah sesuatu
yang normal.
3. Bangun kepercayaan diri mereka.
Ajari anak untuk lebih berani dengan menunjukan Anda percaya mereka mampu melampaui ujian,
bahkan saat mereka merasa gugup. Menyebarkan perasaan positif, akan sangat mendukung
mereka meraih sukses.
4. Ajari anak-anak teknik relaksasi
Ajari yang ringan-ringan seperti berdoa dalam hening, mengatur nafas panjang dan membayangkan
bahwa mereka akan baik-baik saja menjalani ujian. Lakukan dengan cara-cara yang
menyenangkan.

Pilihan Redaksi

Cara Tubuh Merespon Perubahan Cuaca


Tips Agar Makanan Tak Tercemar Racun dan Bakteri Jahat
Orang Tua Perokok Berisiko Sebabkan Gangguan ADHD pada Anak
Negara dengan Orang-orang Gemuk Terbanyak di Dunia

5. Ajari dan beri contoh bagaimana berpikir positif.


Mengajarkan kata-kata penegasan penting buat anak-anak. Misalnya mengganti kata-kata Saya
tidak bisa dengan membiasakan anak mengatakan, Saya akan mencobanya.
6. Bantu anak untuk punya persiapan yang rinci.
Berkordinasi dengan sekolah tentang dimana anak-anak akan menjalankan ujiannya. Apa saja yang
akan diujikan, bagaimana ujian akan berlangsung. Lebih baik lagi jika Anda dan anak sudah
mengunjungi tempat ujian akan dilaksakan.
7. Berdiskusi tentang pemecahan masalah
Ajak anak untuk mendiskusikan tak hanya tentang materi yang akan diujikan tapi juga bagaiman
strategi menghadapi ujian. Seperti misalnya mengerjakan hal-hal yang mudah dulu.

http://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20150410194701-255-45806/tujuh-caramenyiapkan-anak-menghadapi-ujian/

Peran Orangtua Mendampingi Anak Menghadapi Ujian

Saya tidak pernah ragu, begitu kata para orangtua. Akan tetapi, saat anak membutuhkan perasaan bahwa ia mendapat dukungan pe
orangtuanya, diterima dengan penuh cinta atas kelebihan dan kekurangannya, orangtua justru menularkan kecemasan pada anak. Ba
kalau ia tidak lulus tes atau tidak naik kelas? Bagaimana kalau ujian negaranya tidak lulus? Catatannya sudah lengkap atau belum?
Selain faktor IQ, anak juga membutuhkan kondisi ideal agar sukses belajar. Kondisi ideal didapatkan anak jika orangtua menanam
positif tentang pendidikan anak, memberi perhatian dan imbalan yang tepat dari setiap upaya anak, pendampingan yang penuh ka
disertai tuntutan dan penekanan.

Berbaik
sangka,
bersikap
positif,
bersikap,
berkata
dan
berperilaku
Segala hal yang dikemas dengan negatif, pasti akan mengedepankan "pesan" negatifnya lebih dahulu sebelum inti pesan positifnya te
oleh anak. Anak akan mudah tergoyahkan rasa percaya dirinya, bila mendapati bahwa prestasinya tak sebaik anak lainnnya. Maka
menakut-nakuti anak, mengkondisikan bahwa kalau tak pandai takkan jadi orang.

Memotivasi, mendampingi dan mendukung anak


Tugas orangtua terkait dengan upaya mempersiapkan anak menyongsong masa depan adalah dengan memotivasi, mendamp
mendukung anak.

* Ketika anak tidak memenuhi harapan, orangtua sibuk menyalahkan orang lain atau hal lain di luar dirinya. Bukankah saat kita m
keluar, tiga jari otomatis tertuju pada diri?

* Kadang kita kurang menyadari bahwa tugas orangtua bukanlah memaksakan apa yang dianggap kebenaran sebagai hasil pengalama
orangtua justru memfasilitasi anak agar menemukan kebenaran melalui pengalamannya sendiri.

* Kenalkan anak pada cara belajar efektif. Mengulang pelajaran yang tadi diberikan guru. Membuat intisari dari tiap bab yang telah
Berdiskusi mengenai kaitan pelajaran dengan kehidupan nyata.

* Biasakan berorientasi pada proses dan tidak hanya berorientasi pada hasil akhir. Anak perlu memperoleh reward atas usahanya, tida
reward pada hasil akhir yang ia peroleh.

* Jangan jadikan gengsi Anda sebagai acuan untuk menilai kemajuan dan keberhasilan pendidikan anak. Di dalam gengsi ada unsur
dan keinginan yang merupakan "show off" Anda, bukan pengakuan atas kelebihan dan kekurangan anak Anda.

* Emosi itu menular, maka biasakan untuk membuat diri Anda berpikir, bersikap, berperilaku positif. Dengan begitu energi yang m
dari diri Anda juga terserap oleh anak.

Berikan anak haknya


Anak tetap butuh bermain, bergembira bersama teman sebaya. Anak berhak memiliki hobi dan peluang menampilkan diri di bidang la
prestasi akademiknya. Bila anak punya bakat gitar berikan kesempatan bermain di pentas sekolah. Dengan begitu anak menumbuh
percaya dirinya. Pada akhirnya, anak juga akan lebih percaya diri dalam belajar.

Sebagai orangtua, tak ada kata lelah, putus asa, apalagi lengah mengenai berbagai hal terkait dengan anak. Antusiasme dan sik
orangtua akan memberikan rasa aman dan nyaman pada anak dalam mengeksplorasi dirinya. Ini semua adalah landasan kokoh bagi tu
kesadaran mandiri dalam diri orangtua untuk mengoptimalkan potensi anak. (Nova)

http://www.kancilku.com/Ind//index.php?option=com_content&task=view&id=219

IKASHI
Ikatan Kepala Sekolah Hidayatullah

Minggu, 03 Mei 2009


Persiapan Psikologis Orangtua Menghadapi Ujian Nasional Anak

Persiapan psikologis orangtua adalah sikap dan perilaku yang harus ditunjukkan atau dilakukan
orangtua terhadap anak-anaknya yang akan menghadapi ujian nasional. Bagaimanakah
seharusnya orangtua melakukannya?, semoga pembahasan berikut dapat sedikit membantu para
orangtua yang anaknya anak menghadapi ujian nasional.

PARADIGMA KESUKSESAN
Kesuksesan berkaitan dengan kecerdasan
Seseorang yang sukses adalah seseorang yang cerdas. Terdapat lebih dari 150
teori kecerdasan. Dalam perkembangannya teori multiple intelligence merupakan
titik pangkal teori kecerdasan modern yang mempunyai peluang untuk munculnya
perkembangan teori-teori kecerdasan yang baru.

Teori Multiple Intelligence dicetuskan oleh DR. Howard Gardner pada tahun 1983
di Harvard University. Teori MI menjelaskan :
*Redefinisi kecerdasan, yaitu kecerdasan tidak dapat dinilai dari hasil tes apapun,
namun dapat dinilai dari kebiasaan seseorang dalam memecahkan masalahnya
(problem solving) dan kebiasaan seseorang menciptakan produk baru yang punya
nilai budaya (kreativitas)
*Kecerdasan seseorang itu dapat dinilai dari berbagai banyak ranah, sampai saat ini
ditemukan 9 ranah kecerdasan, yaitu kecerdasan linguistik, matematis logis, musik,
spasial visual, intrapersonal, interpersonal, kinestetis, naturalis dan eksistensial
atau spiritual.
PARADIGMA KOMPETENSI
Kompetensi adalah kemampuan seseorang menguasai hal tertentu dalam ranah
kognitif (daya pikir), psikomotorik (hasil karya) dan afektif (sikap).
Dalam perkembangan zaman sekarang ini kemampuan seseorang harus
ditekankan dalam Kurikulum pendidikan di negara maju, mengalami perubahan dari
Kurikulum Berbasis Materi (kognitif murni) menjadi Kurikulum Berbasis Kompetensi
(kognitif, psikomotorik dan afektif)
Dunia usaha memprioritaskan sumber daya manusia yang BISA APA daripada
TAHU APA
porsi yang besar pada ranah Afektif dan Psikomotorik dari pada Kognitif.
PARADIGMA UJIAN
Ujian yang isinya merupakan soal-soal yang harus dikerjakan oleh siswa merupakan
salah satu alat uji keberhasilan siswa dalam akademik. Dalam perkembangannya
tes yang saat ini banyak diakui mampu menilai secara otentik kemampuan siswa
adalah TES OTENTIK, yang mempunyai kriteria sebagai berikut:
1. Soal berkualitas adalah soal yang bisa dikerjakan oleh siswa.
2. Ability Test, bukan Disability Test.
3. Discovering Ability
4. Ipsative, kemampuan anak dinilai berdasar perkembangan hasil anak itu sendiri
5. Penilaian berbasis proses, bukan pada akhir pembelajaran.
6. Kualitas soal mengacu pada TAKSONOMI BLOOM
7. Penilaian tidak hanya dalam ranah kognitif saja, namun ranah psikomotorik dan
afektif juga dinilai.

REALITAS
Keberhasilan unas merupakan tanggung jawab tiga pihak, yaitu siswa, sekolah dan
orangtua.
Pihak Sekolah, dengan mengadakan program untuk menghadapi unas.
PIHAK ORANGTUA
1. Responsibility / Tanggung Jawab
Orangtua ikut bertanggung jawab (kondisi psikologis) dalam perjuangan anak
dalam menempuh unas, tidak hanya merupakan tanggung jawab sekolah dan siswa.
TIPS:

Membuka komunikasi dengan sekolah tentang permasalahan akademik dan


psikologis anaknya dalam rangka mencari solusi terbaik.
Membuka komunikasi dengan anak untuk mengetahui kebutuhan akademis dan
psikologis anak dalam persiapan menghadapi unas dan membantu anak memenuhi
kebutuhannya.
Melakukan peran aktif dalam menyelesaikan permasalahan akademis dan
psikologis anak.
2. Memahami kondisi emosinal anak
Orangtua memahami kondisi emosional anak dalam menghadapi unas, terkait
dengan kondisi neurologis dan kondisi psikis.
Kondisi neurologis adalah kondisi otak yang mengalami down shifting pada saat
dalam waktu yang lama menerima beban kognitif.
Kondisi psikis adalah kondisi kejiwaan anak yang harus bebas dari tekanan psikis
pada saat anak dalam waktu yang lama menerima beban kognitif.
TIPS:
Menghindari memberi perintah kepada anak yang merupakan beban si anak,
sebab anak sudah mempunyai beban neurologis dan psikis yang berat.
Menghindari memberi hukuman fisik dan hukuman psikis anak.
Membuat kegiatan refreshing secara periodik dengan kuantitas yang seimbang.
Memahami gaya belajar anak di rumah.
3. Sikap terhadap hasil ujian
Orangtua harus menerima hasil ujian anaknya dengan lapang dada, baik hasil
yang tidak sesuai dengan harapan.
Orangtua harus mempunyai pandangan bahwa hasil unas anaknya yang tidak
sesuai harapan, bukan berarti kegagalan total dalam perjalanan hidup seorang
anak.
TIPS:
Memberi motivasi kepada anak tentang keberhasilan pendidikan bukan mutlak di
tentukan dari hasil unas.
Memberi informasi kepada anak bahwa yang terpenting adalah proses belajar
anaknya menghadapi unas yang sudah dilakukan oleh anaknya. Sedangkan
hasilnya dijadikan indikator untuk memulai proses belajar berikutnya.
4. Sikap spiritual
Orangtua harus berdoa secara khusus dan meminta anaknya juga berdoa secara
khusus kepada Allah untuk keberhasilan unas.
Orangtua dan anak harus lebih sering bersedekah kepada orang yang
membutuhkan dengan niat keberhasilan anaknya dalam unas.
TIPS:
Orangtua dan anak menyempurnakan sholat wajib.
Orangtua dan anak melakukan sholat malam.
Orangtua dan anak melakukan doa khusus untuk keberhasilan anaknya setiap
pagi.
Orangtua dan anak membiasakan bersedekah semampunya dengan niat
keberhasilan anak dalam unas.

DOA ORANGTUA KEPADA ANAK

Ya Allah...
Berikanlah ketenangan pada aku dan pada diri anakku
Menghadapi satu tahapan penting dalam kehidupannya
Kuatkan tubuh anakku ... hindarkan dari sakit
Dan jauhkan hamba ini dari perilaku
yang membuat buah hatiku sakit
Sakit fisiknya ... sakit hatinya ...
Ya Allah ampuni hambamu ...
Yang malah membebani anakku dengan perintah perintah
Padahal sudah bongkok pundak anakku memanggul beban
Yang malah membebani anakku dengan makian-makian
Padahal mereka sekarang butuh ceria, canda dan tawa
Ya Allah sadarkan nurani dan pikiranku ...
Terangkan dan buat sejuk hatiku
Kala melepas anakku pergi sekolah
Kala menerima anakku pulang sekolah
Sadarkan dalam pikiranku ya Allah ..
Bahwa anakku pergi berjuang
Bahwa anakku pulang dalam kelelahan
Ampuni hamba ini ya Allah ...
Yang menyambut pahlawannya dengan tekanan
Yang menyambut pahlawannya dengan marah
Yang tidak memberi kesempatan pahlawannya
istirahat barang sejenak
Hamba tahu bahwa ujian nasional itu penting
Namun jangan sampai merusak hubungan aku dengan anakku
Jangan sampai membuat lubang menganga dalam hati anakku
Sehingga mereka menjadi manusia peragu
Sehingga mereka menjadi manusia penakut
Sehingga mereka menjadi manusia
yang tak punya kepercayaan diri
Sehingga mereka merasa menjadi manusia lemah dan bodoh
Ya Allah ...
Karuniakan kata-kata yang sejuk yang keluar dari mulut hamba
Untuk membantu anak hamba yang sedang butuh bantuan
Untuk mendinginkan panasnya mentari yang membakar otaknya
Untuk memberi semangat bahwa anakku harus berhasil
Untuk memberi pengertian bahwa yang terpenting adalah proses
Untuk memberi keteduhan kala harapan yang tinggi tak tergapai
Ya Allah ...

Patrikan hambamu keyakinan


Bahwa anak kami akan melewati ujian ini dengan tenang
Bahwa anak kami akan mampu melewati titian berikutnya
Bahwa anak kami pasti akan menemukan
kondisi akhir terbaiknya
Bahwa kami dan anak kami siap menerima segala takdirmu
Setelah kami dan anak kami berusaha sekuat mungkin
Apapun keputusanMu Ya Allah ...
Kami yakin akan ada hujan hikmah buat kami sekeluarga
Amien ....
Home Interiors

Plumbing Supplies

Indoor Lighting

Cyprus Hotels

Back to Top
Saturday, March 17, 2012

INTERNALISASI IMAN TERHADAP ANAK SEJAK USIA DINI


Tinjauan Berdasarkan Hadits-hadits Nabi
A. PENDAHULUAN
Orang tua memegang peranan yang sangat penting dalam mendidik anak-anaknya. Baik buruknya anakanak di masa yang akan datang banyak ditentukan oleh pendidikan dan bimbingan orang tuanya. Karena,
di dalam keluarga itulah anak-anak pertama kali memperoleh pendidikan sebelum pendidikanpendidikan yang lain. Sejak anak-anak lahir dari rahim ibunya, orang tua selalu memelihara anak-anak
mereka dengan penuh kasih sayang dan mendidiknya dengan secara baik dengan harapan anak-anaknya
tumbuh dan berkembang menjadi manusia dewasa yang baik. Pendidikan yang diberikan di lingkungan
keluarga berbeda dengan pendidikan yang dilaksanakan di sekolah, karena pendidikan dalam keluarga
bersifat informal yang tidak terikat oleh waktu dan program pendidikan secara khusus.
Pendidikan dalam keluarga berjalan sepanjang masa, melalui proses interaksi dan sosialisasi di dalam
keluarga itu sendiri. Esensi pendidikannya tersirat dalam integritas keluarga, baik di dalam komunikasi
antara sesama anggota keluarga, dalam tingkah laku keseharian orang tua dan anggota keluarga lainnya
juga dalam hal-hal lainnya yang berjalan dalam keluarga semuanya merupakan sebuah proses pendidikan
bagi anak-anak. Oleh karena itu, orang tua harus selalu memberikan contoh tauladan yang baik kepada
anak-anak mereka, karena apa pun kebiasaan orang tua di rumah akan selalu dilihat dan dicerna oleh
anak-anak.
Menurut A. Syafii Maarif, bahwa pendidikan pada umumnya dan khususnya pendidikan Islam,
tujuannya tidaklah sekedar proses alih budaya atau ilmu pengetahuan (transfer of knowledge), tetapi juga
proses alih nilai-nilai ajaran Islam (transfer of islamic values). Tujuan Islam pada hakikatnya menjadikan
manusia yang bertaqwa, manusia yang dapat mencapai kesuksesan hidup di dunia dan akherat
(muflikhun). Pendidikan merupakan usaha seorang pendidik guna mempersiapkan anak didik agar
menjadi pribadi yang mandiri dan bermanfaat bagi masyarakat. Proses pendidikan dapat berlangsung
dalam keluarga, sekolah dan masyarakat.
Masa usia dini merupakan periode emas (golden age) bagi perkembangan anak untuk memperoleh proses
pendidikan. Periode ini merupakan pentingnya pendidikan anak usia dini. Masa usia dini merupakan
periode emas bagi perkembangan anak untuk memperoleh proses pendidikan. Periode ini adalah tahuntahun berharga bagi seorang anak untuk mengenali berbagai macam fakta di lingkungannya sebagai
stimulans terhadap perkembangan kepribadian, psikomotor, kognitif maupun sosialnya. Berdasarkan
hasil penelitian, sekitar 50% kapabilitas kecerdasan orang dewasa telah terjadi ketika anak berumur 4
tahun, 80% telah terjadi ketika berumur 8 tahun, dan mencapai titik kulminasi ketika anak berumur

sekitar 18 tahun. Sehingga periode emas ini merupakan periode kritis bagi anak, dimana perkembangan
yang diperoleh pada periode ini sangat berpengaruh terhadap perkembangan periode berikutnya hingga
masa dewasa. Sementara masa emas ini hanya datang sekali, sehingga apabila terlewat berarti habislah
peluangnya. Untuk itu pendidikan untuk usia dini dalam bentuk pemberian rangsangan-rangsangan
(stimulasi) dari lingkungan terdekat sangat diperlukan untuk mengoptimalkan kemampuan anak.
Pendidikan Islam merupakan kebutuhan manusia, karena sebagai makhluk pedagosis manusia dilahirkan
dengan membawa potensi dapat dididik dan mendidik sehingga mampu menjadi khalifah di bumi,
pendidikan usia dini merupakan pijakan pertama bagi manusia untuk dapat menentukan langkah awal
hidupnya. Anak yang lahir ke dunia akan terbentuk dari pendidikan pertama yang didapatkan.


: :


Tidaklah seorang anak dilahirkan kecuali dalam keadaan fitrah. Lalu kedua orang tuanyalah yang
menjadikan ia Yahudi, Nashrani, dan Majusi, sebagaimana dilahirkannya binatang ternak dengan
sempurna, apakah padanya terdapat telinga yang terpotong atau kecacatan lainnya?. Kemudian Abu
Hurairoh membaca, Jika engkau mau hendaklah baca, (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan
manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus. (HR.
Bukhori, Muslim, Ibnu al-Mundzir, Ibnu Abu Hatim)
B. PEMBAHASAN
1. Konsep Internalisasi Iman
1.1. Pengertian dan Ruang Lingkup Internalisasi Iman
Pengertian Internalisasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, diartikan sebagai penghayatan,
pendalaman, penguasaan secara mendalam yang berlangsung melalui binaan, bimbingan dan
sebagainya.
Sedangkan menurut Muhaimin bahwa, dalam proses internalisasi yang dikaitkan dengan pembinaan
peserta didik atau anak asuh ada tiga tahap yang mewakili proses atau tahap terjadinya internalisasi,
yaitu:
a. Tahap transformasi nilai. Tahap ini merupakan suatu proses yang dilakukan oleh pendidik dalam
menginformasikan nilai-nilai yang baik dan kurang baik. Pada tahap ini hanya terjadi komunikasi verbal
antara pendidik dan peserta didik atau anak asuh,
b. Tahap transaksi nilai. Suatu tahap pendidikan nilai dengan jalan melakukan komunikasi dua arah, atau
interaksi antara peserta didik dengan pendidik yang bersifat interaksi timbal-balik.
c. Tahap transinternalisasi. Tahap ini jauh lebih mendalam dari tahap transaksi. Pada tahap ini bukan
hanya dilakukan dengan komunikasi verbal tapi juga sikap mental dan kepribadian. Jadi, pada tahap ini
komunikasi kepribadian yang berperan secara aktif.
Internalisasi nilai berarti penanaman nilai moralitas manusiawi, sedangkan Leckon lebih senang
menyebutnya sebagai pendidikan watak yang meliputi tiga unsur penting yang saling terkait, yaitu
pengertian, perasaan, dan tindakan moral. Unsur yang termasuk dalam pengertian moral adalah
kesadaran moral, pengertian akan nilai, kemampuan untuk mengambil gagasan orang lain, pengambilan
keputusan berdasarkan nilai moral dan pengertian mengenai diri sendiri. Unsur tersebut termasuk ke
dalam domain kognitif. Sementara itu, unsur perasaan moral meliputi suara hati, harga diri seseorang,
sikap empati terhadap orang lain, perasaan mencintai kebaikan, kontrol diri, dan rendah hati. Perasaan
moral ini sangat mempengaruhi seseorang untuk bertindak baik atau buruk. Oleh karenanya harus
mendapatkan perhatian dan bimbingan yang serius. Unsur ini termasuk ke dalam wilayah afektif.
Internalisasi yang berimbas pada kebiasaan adalah faktor yang penting untuk terbiasa berperilaku baik.
Anak seharusnya dilatih mulai dari tindakan yang kecil dan sederhana menuju tindakan yang lebih besar
melalui kebiasaan yang dilatihkan.
Unsur ketiga tindakan moral adalah kompetensi dalam arti mempunyai kemampuan untuk
mengaplikasikan keputusan dan perasaan moral ke dalam tindakan yang meliputi kemauan dan kebisaan.
Seseorang yang tanpa kemauan yang kuat, meskipun ia sudah tahu tentang tindakan baik yang harus
dilakukan, ia tidak melaksanakannya. Oleh karenanya, kemampuan ini harus senantiasa dimunculkan
dan ditingkatkan. Anak harus selalu dibimbing dan dibantu agar selalu mempunyai kemauan untuk

melakukan nilai dan menjadikannya sebagai kebiasaan sehari-hari. Unsur ini termasuk kedalam domain
psikomotor.
Internalisasi Iman itu sangat penting, karenanya semua proses ibadah dalam Islam tidak lain adalah
untuk internalisasi keimanan kepada Allah. Dengan cara mengislamkan lahir dan batin pada diri manusia
besarta perangkat di sekitarnya. Bagaimana proses internalisasi iman ini berproses dalam segenap
kehidupan manusia, dan terus menerus tanpa henti, uraian di bawah ini setidaknya bisa membantu kita
untuk memahaminya. Adapun ruang lingkup internalisasi iman terangkum dalam 5 pilar Islam yang
dikenal rukun Islam:
a. Syahadat adalah proses internalisasi iman lewat logika. Dalam arti kata, mengislamkan pola berpikir .
Orang yang telah bersyahadat, selain ia masuk islam, maka logika hidup dan matinya, diset hanya Iman
kepada Allah dan Rasul-Nya, Hanya Allah sebagai Tuhannya, dan Rasulullah sebagai petunjuknya.
Dengan logika demikian, maka sebagai orang muslim, internalisasi iman lewat pikiran ini, akan
membantu proses kehidupan selanjutnya. Misalnya, dalam gerak hidupnya sehari-hari si hamba akan
berpikir lillahi taala. Bekerja dengan semangat guna menghidupi keluarga, dinilai lillahi taala, dengan
tidak melanggar aturan Allah dan Rasul-Nya.
b. Shalat adalah proses internalisasi iman lewat badan kita. Artinya, orang yang melaksanakan shalat
dalam arti lain, dia tengah mengislamkan (memasrahkan) raganya menghadap hanya kepada Allah.
Shalat dengan berbagai tekniknya, membutuhkan tenaga dan gerak yang sinergis dan simetris serta
kolektif.
Karenanya, gerak tubuh yang tengah mengerjakan shalat dari ujung rambut hingga ujung kaki, terusmenerus menghadapkan dirinya hanya kepada Allah. Artinya, raga orang-orang muslim yang
mengerjakan shalat berarti terus berlatih guna pasrah kepada Allah. Sebagiamana ucapan setelah
takbiratul ikhram, Qul Inna shalati wanusuki, wamahyaya wamamati lillahi robbil alamin. (6:162)
Dalam kehidupan sosial gerak tangan, kaki dalam membantu masyarakat dan keluarga juga bukan karena
hal lain kecuali karena mengharap rido Allah swt.
c. Puasa. Proses internalisasi lewat puasa ini adalah melalui jiwa atau rohani. Ruh berasal dari Allah, dan
akan kembali kepadaNya. Namun ruh yang menempati badan seringkali redup cahanya. Ruh yang
menempati hati nurani, kadangkala menjadi keruh dan sulit menerima nasehat Allah.
Karena nasehat Allah melalui ruh inilah maka puasa sebagai satu-satunya proses internalisasi iman yang
sangat baik. Orang yang berpuasa oleh Allah akan diberi imbalan secara langsung dan yang mengawasi
juga Allah sendiri. Washoumi li, wa ana ajzii bih, puasa itu untukku dan akulah yang akan membalasnya.
d. Zakat. Internalisasi keimanan kepada Allah juga harus dilakukan bukan saja kepada badan dan ruh
serta akal pikiran, tetapi perangkat pendukung kehidupan: Harta benda adalah perangkat kehidupan
yang menciptakan kemakmuran dalam hidup di dunia.
Islam menghendaki harta benda itu benar-benar bersih tidak ada kotoran. Sebagaimana akal fikir, badan
dan rohnai bersih. Harta yang dibersikan adalah harta yang dizakatkan. Internalisasi ini membutuhkan
kerelaan pemiliknya untuk diserahkan kepada orang yang berhak menerimanya. Para fakir miskin dan
asnaf lainnya adalah juga pemilik dari harta yang kita dapatkan selama berusaha. Karenanya, kehadiran
si miskin di dunia ini sejatinya adalah karunia untuk membantu membersihkan atau mengislamkan harta
kita.
e. Haji. Haji sebagai rukun Islam kelima, tidak lain adalah proses internalisasi iman lewat pendekatan
sejarah. Hidup adalah proses sejarah. Islam adalah bagian dari sejarah. Karenanya, sejarah dalam agama
ini perlu dibersihkan dan perlu disaksikan oleh pengikutnya. Jangan sampai sejarah datangnya Islam
adalah hanya fatamorgana, hanya ilusi saja.
Orang sedunia berkumpul dan melaksanakan ritual haji, tidak lain semata-mata untuk menjadi saksi
yang langsung ke tempatnya di Makkatul Mukarromah. Di sana, umat muslim dibawa kepada situs-situs
sejarah, di hadapkan kepada qiblat sebagai mana shalat sehari semalam. Dengan melihat langsung,
bukankah ini merupakan proses keyakinan yang bernilai ilmu pengetahuan tinggi.
1.2. Faktor Proses Internalisasi Iman
Iman sendiri merupakan terminal pilihan, dan tempat pemberhentian, tetapi sekaligus sebagai titik start
awal dalam eksplorasi baru. Kualitas iman yang tidak akan pernah berhenti sehingga liang lahat, setiap
peristiwa kehidupan adalah proses internalisasi iman, apakah akan menuju penguatan dan

kristalisasi/mengakar ataukah menurun menuju kehancuran. Jadi inilah yang dimaksud berkembang dan
hidup (al-imanu yaziidu dan yanquushu).
Dalam proses seperti ini iman jelas bersinergi dengan akal untuk mewujudkan sebuah daya juang
ataupun kekuatan dalam rangka kehidupan. Jadi iman bukanlah hal yang mengawang-awang dan diluar
kehidupan, tetapi kehidupan itu sendiri. Oleh karena itu, terbentuknya kristalisasi iman yang kuat pasti
dipengaruhi faktor yang berkaitan dengan pengalaman dan pengamalan ajaran agama
a. Lingkungan Keluarga
Keluarga merupakan potensi lingkungan pertama dan utama bagi anak, oleh karena itu peranan keluarga
(orang tua) dalam perkembangan kesadaran beragama anak sangatlah dominan. Keluarga adalah tempat
yang penting dimana anak akan pemperoleh dasar dalam membentuk kemampuannya agar kelak menjadi
orang berhasil di masyarakat karena keluarga memiliki beberapa fungsi: (1) mendapatkan keturunan dan
membesarkan anak; (2) memberikan afeksi atau kasih sayang, dukungan dan keakraban; (3)
mengembangkan kepribadian; (4) mengatur pembagian tugas, menanamkan kewajiban, hak dan
tanggung jawab; (5) mengajarkan dan meneruskan adat istiadat, kebudayaan, agama, sistem nilai moral
kepada anak.
Salah seorang ahli psikologi, yaitu Hurlock berpendapat bahwa keluarga merupakan Training Centre
bagi penanaman nilai-nilai (termasuk juga nilai-nilai agama). Pendapat ini menunjukan bahwa keluarga
mempunyai peran sebagai pusat latihan bagi anak untuk memperoleh pemahaman tentang nilai-nilai
(tata krama, sopan santun, atau ajaran agama) dan kemampuan untuk mengamalkan atau
menerapkannnya dalam kehidupan sehari-hari, baik secara personal maupun sosial kemasyarakatan.
Terkait dengan upaya mendidik anak agar berakhlak mulia, Imam Al-Ghazali memberikan fatwa kepada
para orangtua agar mereka melakukan kegiatan-kegiatan berikut: (1) menjauhan anak dari pergaulan
yang tidak baik; (2) membiasakan anak untuk bersopan-santun; (3) memberikan pujian kepada anak
yang melakukan amal shalih, misalnya berperilaku sopan, dan menegur anak yang melakukan perbuatan
buruk; (4) membiasakan anak untuk berpakaian yang bersih dan rapih; (5) menganjurkan anak untuk
berolahraga; (6) menanamkan sikap sederhana kepada anak; (7) mengizinkan anak untuk bermain
setelah belajar.
b. Lingkungan sekolah
Sekolah merupakan lembaga pendidikan formal yang mempunyai program yang sistemik dalam
melaksanakan bimbingan, pengajaran dan latihan kepada anak (siswa) agar mereka berkembang sesuai
dengan potensinya secara optimal, baik menyangkut aspek fisik, psikis (intelektual dan emosional),
sosial, maupun moral-spiritual. Sekolah mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap kepribadian
anak, karena sekolah merupakan substansi dari keluarga dan guru substitusi dari orangtua.
Dalam kaitannya dengan upaya mengembangkan fitrah beragama anak, atau siswa, sekolah mempunyai
peranan yang sangat penting. Peranan ini terkait mengembangkan pemahaman, pembiasaan
mengamalkan ibadah atau akhlak yang mulia, serta sikap apresiatif terhadap ajaran atau hukum-hukum
agama. Upaya-upaya itu diantaranya sebagai berikut:
1) Dalam mengajar, guru hendaknya menggunakan pendekatan (metode) yang bervariasi (seperti
ceramah, tanya jawab, diskusi, demontrasi, dan berkisah), sehingga anak tidak merasa jenuh
mengikutinya.
2) Dalam menjelaskan materi pelajaran, guru agama hendaknya tidak terpaku kepada teks atau materi itu
saja (bersifat tekstual), tetapi materi itu sebaiknya peristiwa-peristiwa yang terjadi di masyarakat
(kontekstual).
3) Guru hendaknya memberikan penjelasan kepada siswa, bahwa semua ibadah ritual (mahdloh) akan
memberikan makna yang lebih tinggi di hadapan Allah, apabila nilai-nilai yang terkandung dalam setiap
ibadah tersebut direfleksikan dalam kehidupan sehari-hari.
4) Guru hendaknya memiliki kepribadian yang baik (akhlak mulia).
5) Guru-guru yang mengajar bukan pendidikan agama hendaknya mengintegrasikan nilai-nilai agama ke
dalam materi-materi pelajaran yang diajarkannya.
6) Sekolah hendaknya menyediakan saran ibadah (mesjid) yang memadai dan memfungsikannya secara
optimal.
7) Sekolah hendaknya menyelenggarakan kegiatan ektrakulikuler kerohanian bagi para siswa dan

ceramah-ceramah atau diskusi keagamaan secara rutin.


c. Lingkungan masyarakat
Yang dimaksud lingkungan masyarakat ini adalah interaksi sosial dan sosiokulktural yang potensial
berpengaruh terhadap perkembangan fitrah beragama anak (terutama remaja).
Perkembangan moral seorang anak banyak dipengaruhi oleh lingkungan di mana ia hidup. Tanpa
masyarakat (lingkungan), kepribadian seorang individu tidak dapat berkembang, demikian pula halnya
dengan aspek moral pada anak. Anak belajar dan diajar oleh lingkungannnya mengenai bagaimana ia
harus bertingkah laku yang baik dan tingkah laku yang dikatakan salah atau tidak baik.
Dalam masyarakat, anak atau remaja melakukan interaksi sosial dengan teman sebayanya (peer group)
atau anggota masyarakat lainnya. Apabila teman sepergaulan itu menampilkan perilaku yang sesuai
dengan nilai-nilai agama (berakhlak mulia), maka anak cenderung berakhlak mulia. Namun apabila
sebaliknya yaitu perilaku teman sepergaulannya itu menunjukan kebobrokan moral, maka anak
cenderung akan terpegaruh untuk berprilaku seperti temannya tersebut. Hal ini terjadi, apabila anak
kurang mendapat bimbingan agama dari orangtuanya.
Kualitas pribadi, perilaku, atau akhlak orang dewasa yang kondusif (menunjang) bagi perkembangan
kesadaran beragama anak adalah (1) mereka yang taat melaksanakan ajaran agama, seperti ibadah ritual,
menjalin persaudaraan, saling menolong, dan bersikap jujur, dan (2) menghindari sikap dan perilaku
yang dilarang agama, seperti sikap permusuhan, saling mencurigai, sikap munafik, mengambil hak orang
lain (mencuri, korupsi, dsb) dan perilaku maksiat lainnya (berzina, berjudi dan minuman keras).
Warga masyarakat (baik yang memegang kekuasaan maupun warga biasa) bersikap melecehkan norma
agama, atau bersikap acuh tak acuh dan bahkan mensponsori kemaksiatan, seperti: perjudian, prostitusi,
minuman keras, dan penayangan acara-acara televisi, maka hal ini dapat merusak aqidah dan akhlak.
Bagaimanpun juga pengaruh masyarakat terhadap perkembangan anak sangat penting. Sebagai
gambaran sederhana adalah bagaimana kualitas anak yang hidup disamping masjid atau pondok
pesantren daripada anak yang hidup disamping tempat prostitusi?
1.3. Usaha Dalam Internalisasi Iman
Pendidikan anak adalah perkara yang sangat penting di dalam Islam. Di dalam Al-Quran kita dapati
bagaimana Allah menceritakan petuah-petuah Luqman yang merupakan bentuk pendidikan bagi anakanaknya. Begitu pula dalam hadits-hadits Rasulullah Saw, kita temui banyak juga bentuk-bentuk
pendidikan terhadap anak, baik dari perintah maupun perbuatan beliau mendidik anak secara langsung.
Seorang pendidik, baik orang tua maupun guru hendaknya mengetahui betapa besarnya tanggung-jawab
mereka di hadapan Allah terhadap pendidikan putra-putri Islam, diantara beberapa tuntunan untuk
menanamkan keimanan kepada anak antara lain:
a. Menanamkan tauhid dan aqidah yang benar kepada anak
Suatu hal yang tidak bisa dipungkiri bahwa tauhid merupakan landasan Islam. Apabila seseorang benar
tauhidnya, maka dia akan mendapatkan keselamatan di dunia dan akhirat. Sebaliknya, tanpa tauhid dia
pasti terjatuh ke dalam kesyirikan dan akan menemui kecelakaan di dunia serta kekekalan di dalam adzab
neraka. Rasulullah Saw sendiri telah memberikan contoh penanaman aqidah yang kokoh ini ketika beliau
mengajari anak paman beliau, Abdullah bin Abbas dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Al-Imam
At-Tirmidzi dengan sanad yang hasan. Ibnu Abbas bercerita:
Pada suatu hari aku pernah berboncengan di belakang Nabi (di atas kendaraan), beliau berkata
kepadaku: Wahai anak, aku akan mengajari engkau beberapa kalimat: Jagalah Allah, niscaya Allah akan
menjagamu. Jagalah Allah, niscaya engkau akan dapati Allah di hadapanmu. Jika engkau memohon,
mohonlah kepada Allah. Jika engkau meminta tolong, minta tolonglah kepada Allah. Ketahuilah.
kalaupun seluruh umat (jin dan manusia) berkumpul untuk memberikan satu pemberian yang
bermanfaat kepadamu, tidak akan bermanfaat hal itu bagimu, kecuali jika itu telah ditetapkan Allah
(akan bermanfaat bagimu). Ketahuilah. kalaupun seluruh umat (jin dan manusia)berkumpul untuk
mencelakakan kamu, tidak akan mampu mencelakakanmu sedikitpun, kecuali jika itu telah ditetapkan
Allah (akan sampai dan mencelakakanmu). (HR: Tirmidzi, Hasan- shahih)
b. Mengajari anak untuk melaksanakan ibadah

Hendaknya sejak kecil putra-putri kita diajarkan bagaimana beribadah dengan benar sesuai dengan
tuntunan Rasulullah Saw. Mulai dari tata cara bersuci, shalat, puasa serta beragam ibadah lainnya.
Rasulullah Saw bersabda:

Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat. (HR. Al-Bukhari).


Hadits lain:
, " :
,
Ajarilah anak-anak kalian untuk shalat ketika mereka berusia tujuh tahun, dan pukullah mereka ketika
mereka berusia sepuluh tahun, dan pisahkanlah tempat tidur mereka. (Shahih. Lihat Shahih Shahihil
Jami karya Al-Albani).
Bila mereka telah bisa menjaga ketertiban dalam shalat, maka ajak pula mereka untuk menghadiri shalat
berjamaah di masjid. Dengan melatih mereka dari dini, ketika dewasa, mereka sudah terbiasa dengan
ibadah-ibadah tersebut.
c. Mengajarkan al-quran, hadits serta doa dan dzikir yang ringan kepada anak-anak
Dimulai dengan surat Al-Fathihah dan surat-surat yang pendek serta doa tahiyat untuk shalat. Dan
menyediakan guru khusus bagi mereka yang mengajari tajwid, menghapal Al-Quran serta hadits. Begitu
pula dengan doa dan dzikir sehari-hari. Hendaknya mereka mulai menghapalkannya, seperti doa ketika
makan, akan tidur, mau belajar, keluar masuk WC, keluar rumah, naik kendaraan, dan lain-lain.
d. Mendidik anak dengan berbagai adab dan akhlaq yang mulia
Ajarilah anak dengan berbagai adab Islami seperti makan dengan tangan kanan, mengucapkan basmalah
sebelum makan, menjaga kebersihan, mengucapkan salam, mengetuk pintu, dan lain-lain. Begitu pula
dengan akhlak, seperti berkata dan bersikap jujur, berbakti kepada orang tua, dermawan, menghormati
yang lebih tua dan sayang kepada yang lebih muda, serta beragam akhlaq lainnya.
e. Melarang anak dari berbagai perbuatan yang diharamkan
Hendaknya anak sedini mungkin diperingatkan dari beragam perbuatan yang tidak baik atau bahkan
diharamkan, seperti merokok, judi, minum khamr, mencuri, mengambil hak orang lain, zhalim, durhaka
kepada orang tua dan segenap perbuatan haram lainnya. Seperti tergambar dalam hadits:

Sungguh akan ada dari umatku yang menghalalkan zina, sutra, khamr dan al-maazif (alat-alat musik).
(Shahih, HR. Al-Bukhari dan Abu Daud).
Maksudnya adalah akan datang dari muslimin kaum-kaum yang meyakini bahwa perzinahan,
mengenakan sutra asli bagi laki-laki, minum khamar dan musik sebagai perkara yang halal, padahal
perkara tersebut adalah haram. Dan al-maazif adalah setiap alat yang bernada dan bersuara teratur
seperti kecapi, seruling, drum, gendang, rebana dan yang lainnya.
f. Menanamkan ketangguhan dan keberanian
Membacakan atau menceritakan sejarah keberanian Nabi dan para sahabatnya dalam peperangan untuk
menegakkan Islam agar mereka mengetahui bahwa beliau adalah sosok yang pemberani, dan sahabatsahabat beliau seperti Abu Bakr, Umar, Utsman, Ali dan Muawiyah telah membebaskan negeri-negeri
adalah untuk penanaman jiwa keberanian anak, dan untuk meneladaninya. Dan sebaliknya, menjauhi
mendidik anak menakut-nakuti dengan cerita-cerita bohong, horor, dan lan-lain.
1.4. Metode Dalam Internalisasi Iman Bagi Anak Usia Dini
a. Metode Keteladanan
Al-Ashfahany Ibn Zakariya mendefinisikan, bahwa uswah berarti qudwah yang artinya ikutan,
mengikuti yang diikuti. Dengan demikian, keteladanan adalah hal-hal yang dapat ditiru atau dicontoh
oleh seseorang dari orang lain. Namun, keteladanan yang dimaksud di sini adalah keteladanan yang
dapat dijadikan sebagai alat pendidikan Islam, yaitu keteladanan yang baik, sesuai dengan pengertian
uswah dalam ayat-ayat yang telah disebutkan sebelumnya.
Jika pendidik jujur, dapat dipercaya berakhlaq mulia, berani dan menjauhkan dari perbuatan-perbuatan
yang bertentangan dengan agama, maka anak akan tumbuh dalam kejujuran, terbentuk akhlaq mulia,

berani menjauhkan dari perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan agama. Begitu pula sebaliknya
jika pendidik adalah seorang pembohong, pengkhianat, kikir, penakut, dan hina. Maka anak akan tumbuh
dalam kebohongan, kikir dan hina.
b. Metode Cerita
Ahmad Tafsir memberikan pengertian metode adalah cara yang paling tepat dan cepat dalam melakukan
sesuatu. Sedangkan Abudin Nata, metode bercerita merupakan suatu metode yang mempunyai daya tarik
yang menyentuh perasaan anak. Islam menyadari sifat alamiah manusia untuk menyenangi cerita yang
pengaruhnya besar terhadap perasaan. Oleh karenanya dijadikan sebagai salah satu teknik pendidikan.
Dunia kehidupan anak-anak itu dapat berkaitan dengan lingkungan keluarga, sekolah, dan luar sekolah.
Kegiatan bercerita harus diusahakan menjadi pengalaman bagi anak di Taman Kanak-kanak yang bersifat
unik dan menarik yang menggetarkan perasaan anak dan memotivasi anak untuk mengikuti cerita
sampai tuntas.
c. Metode Nasehat
Menurut Abdullah Nasih Ulwan, metode Al-Quran dalam menyajikan nasihat dan pengajaran
mempunyai ciri khas tersendiri yaitu: (1) seruan yang menyenangkan, seraya dibarengi dengan
kelembutan atau upaya penolakan; (2) metode cerita disertai perumpamaan yang mengandung pelajaran
dan nasihat; (3) metode wasiat dan nasihat.
Terdapat banyak strategi sederhana yang bisa dilakukan secara konsisten untuk mengajarkan anak
memiliki kemampuan untuk menjadi pendengar yang baik: (1) Dapatkan perhatiannya. Usahakan orang
tua berjongkok dan biarkan anak berdiri agar posisi sejajar, sehingga orang tua bisa melihat mata anak
dan mendapatkan perhatiannya; (2) Jelas dan langsung pada inti pesan yang ingin disampaikan orang
tua ke anaknya harus jelas, sederhana dan tidak otoriter; (3) Lebih menekankan kata-kata ditambahkan
dengan isyarat gerakan; (4) memberikan contoh; (5) Memotivasi anak. Beberapa anak akan memberikan
respons yang baik, jika orang tua melakukannya dengan sedikit hal yang menyenangkan (humor).
d. Metode Pembiasaan (Praktek dan Pengulangan)
Hery Noer Aly menyatakan bahwa, pembiasaan merupakan salah satu metode yang sangat penting dalam
penginternalisasian nilai-nilai agama Islam, terutama bagi anak-anak. Mereka belum menginsafi apa
yang disebut baik dan buruk dalam arti susila. Demikian pula mereka belum mempunyai kewajibankewajiban yang harus dikerjakan seperti pada orang dewasa. Ingatan mereka belum kuat. Mereka
langsung melupakan apa yang sudah dan baru terjadi. Di samping itu, perhatian mereka langsung dengan
mudah beralih kepada hal-hal yang baru dan disukainya. Apalagi pada anak-anak yang baru lahir, semua
itu belum ada sama sekali atau setidaknya, belum sempurna sama sekali.
Adapun langkah-langkah mengaplikasikan dalam metode pembiasaan, dapat dilakukan diantaranya:
1) mulailah pembiasaan itu sebelum terlambat. Usia sejak bayi dinilai waktu yang sangat tepat untuk
mengaplikasikan pendekatan ini, karena setiap anak mempunyai rekaman yang cukup kuat dalam
menerima pengaruh lingkungan sekitarnya dan secara langsung akan dapat membentuk kepribadian dan
perilaku seorang anak,
2) pembiasaan hendaklah dilakukan secara kontinyu, teratur, dan berprogram,
3) pembiasaan hendaknya diawasi secara ketat, konsisten dan tegas. Jangan memberi kesempatan yang
luas kepada anak didik untuk melanggar kebiasaan yang telah ditanamkan.
2. Contoh Hadits Tentang Internalisasi Iman (Hadits Tarbawiy)
2.1. Dalam riwayat Ahmad no. 7744, Abu Hurairah menjelaskan :
.



Kami berada bersama Rasulullah saw ketika beliau membagikan kurma shadaqah/zakat. Saat itu Hasan
ibn Ali sedang ada dalam pangkuannya. Ketika selesai, Nabi saw menggendongnya ke atas pundaknya.
Tiba-tiba menetes air ludahnya pada tubuh Nabi saw. Beliau lalu menengadahkan kepalanya, ternyata
ada kurma di mulut Hasan. Beliau pun kemudian memasukkan tangannya pada mulut Hasan dan
mengambil kurma tersebut, lalu bersabda: Tidakkah kamu tahu bahwa zakat/shadaqah tidak halal bagi
keluarga Muhammad.
2.2. Hadis perintah untuk mengajari shalat







Perintahkanlah anak-anakmu shalat pada usia 7 tahun. Pukullah mereka pada usia 10 tahun, dan
pisahkan juga mereka dari tempat tidur mereka (Sunan Abi Dawud kitab as-shalat bab mata yu`marulghulam bis-shalat no. 495. Hadits hasan shahih [al-Albani]).
2.3. Hadis untuk mengenal Allah, Imam Muhammad Baqir, mengatakan:
: , :
: ,
, : :
, ,

Jika anak telah berumur tiga tahun, ajarilah ia kalimat Laa ilaaha illallah (tiada Tuhan selain Allah)
sebanyak tujuh kali lalu tinggalkan ia. Saat ia berusia tiga tahun tujuh bulan dua puluh hari, katakan
kepadanya Muhammad Rasulullah (Muhammad adalah utusan Allah) sebanyak tujuh kali, lalu
tinggalkan sampai ia berumur empat tahun. Kemudian, ajarilah ia untuk mengucapkan Shallallaah alaa
Muhammad wa aalihi (Salam sejahtera atas Muhammad dan keluarganya) sebanyak tujuh kali dan
tinggalkan. Setelah ia genap berusia lima tahun, tanyakanlah kepadanya mana kanan dan mana kiri? Jika
ia mengetahui arah kanan dan kiri palingkan wajahnya untuk menghadap kiblat dan perintahkanlah ia
untuk bersujud lalu tinggalkan. Setelah ia berumur tujuh tahun suruhlah ia untuk mencuci wajah dan
kedua tangannya dan perintahkanlah ia untuk shalat lalu tinggalkan. Saat ia berusia genap sembilan
tahun ajarilah wudhu dan shalat yang sebenarnya dan pukullah ia bila meninggalkan kewajibannya ini.
Jika anak telah mempelajari wudhu dan shalat dengan benar, maka Allah akan mengampuninya dan
mengampuni kedua orang tuanya, Insya Allah.
2.4. Rasulullah SAW sering menyuruh dua cucunya, Al-Hasan dan Al-Husain, untuk bergulat.
Diriwayatkan bahwa suatu malam Rasulullah SAW masuk ke rumah putrinya, Fathimah a.s. ketika AlHasan dan Al-Husain ada di situ. Kepada mereka berdua, beliau bersabda:
...
Ayo bangunlah kalian dan bergulatlah....
Hadits lain:

Ajarilah anakmu berenang dan memanah dan menunggang kuda. (HR. Bukhari Muslim)
2.5. Hadits riwayat Abu Daud, Tirmidzi, ad-Darimi, dan Ahmad ibn Hanbal
: ,

:
: :

: ,

Dari Hisyam bin Sa`id dia berkata; Pernah kami pergi ke rumah Mu`adz bin Abdullah bin Khu`aib AlJuhni r.a., lalu dia berkata kepada istrinya;Kapankah anak-anak itu harus mengerjakan shalat? Maka
isterinya berkata;Seorang diantara kami menyebutkan Rasulullah Saw, bahwasanya beliau pernah
ditanya seseotang tentang itu, maka beliau bersabda;Apabila anak itu telah mengenal kanan dan kirinya,
maka suruhlah dia mengerjakan shalat.
2.6. HR. Ahmad, Muslim, Abu Daud dan Turmudzi. Tentang etika aurat/pendidikan seks







( ) .
Rasulullah Saw bersabda; Laki-laki tidak boleh melihat aurat laki-laki lain dan perempuan tidak boleh
melihat aurat perempuan lain. Dan seorang laki-laki tidak boleh tidur bersama laki-laki lain dalam satu
selimut, dan seorang perempuan tidak boleh tidak boleh tidur bersama perempuan lain dalam satu
selimut.

2.7. HR. Ibnu Majah, tentang memperbaiki akhlak anak



Muliakanlah anak-anakmu dan perbaikilah akhlak mereka
2.8. Hadits tentang cinta
:
Didiklah anak-anakmu dengan tiga perkara; Mencintai Nabi kalian(Muhammad SAW), mencintai
Ahlulbaitnya dan membaca Al-Qur'an
2.9. Mengenalkan dengan hukum halal dan haram, berdasarkan hadits Ibn Jarir dan Ibn Mundhir, dari
Ibn Abbas ra, sesungguhnya nabi bersada:
"
.
mandikanlah (anakmu) dengan ketaatan, dan takutlah untuk berbuat maksiat, dan perintahlah anakmu
untuk mentaati perntah Allah dan menjauhi larangan-Nya, itulah penjagaanmu dan anak-anakmu dari
neraka.
2.10. Riwayat Baihaqi tentang pengajaran sopan santun

Kewajiban orang tua terhadap anaknya adalah memberi nama yang baik, memberi tempat tinggal yang
baik, dan mengajari sopan santun.
Dan masih banyak hadits-hadits lain dengan beragam derajat hadits. Seperti dalam buku Athfaalul
Muslimin, Kaifa Rabbaahumun Nabiyyul Amiin oleh Jamal Abdur Rahman yang sudah diterjemahkan
oleh Bahrun Abu Bakar Ihsan Ubaidi dengan judul Tahapan Mendidik Anak: Teladan Rasulullah Saw
yang memuat kurang lebih 120 hadits dengan syarahnya. Dan buku 43 Langkah Mengakrabkan Orangtua
dengan Anak karangan Muhammad Thalib.

3. Implementasi Internalisasi Iman Dalam Pendidikan


Tujuan dari pendidikan akhlak dalam Islam adalah untuk membentuk manusia yang bermoral baik, keras
kemauan, sopan dalam berbicara dan perbuatan, mulia dalam tingkah laku perangai, bersifat bijaksana,
sempurna, sopan dan beradab, ikhlas, jujur dan suci. Dengan kata lain pendidikan akhlak bertujuan
untuk melahirkan manusia yang memiliki keutamaan (al-fadhilah). Berdasarkan tujuan ini, maka setiap
saat, keadaan, pelajaran, aktifitas, merupakan sarana pendidikan akhlak. Dan setiap pendidik harus
memelihara akhlak dan memperhatikan akhlak di atas segala-galanya. Menurut penulis, bahwa akhlaq
mulia dalam Islam yang sangat beragam jenisnya, jika dikaitkan dengan isu pendidikan sekarang adalah
masuk dalam bingkai pendidikan karakter, oleh karena itu dalam makalah ini untuk penyebutan akhlaq
mulia disebut pendidikan karakter.
Konsep Ilahiah dalam Islam atau Aqidah Islamiyah adalah pondasi yang harus dimiliki oleh orang yang
beragama Islam. Akan lebih baik jika konsep aqidah ini ditanamkan sejak masa kanak-kanak. Mengapa
harus kanak-kanak? Menurut Dr. Amani Ar-Ramadi masa kanak-kanak adalah masa yang masih jernih
pemikirinnya. Karenanya, pengarahan anak untuk mengenal agama mendapatkan porsi yang masih luas
dalam hatinya, tempat tersendiri dalam pikirannya, dan sambutan oleh akalnya. Selain itu, anak adalah
amanat Allah. Allah menitipkan amanat itu kepada orang tua, pendidik, keluarga dan masyarakat untuk
dididik dengan baik dan benar. Atas amanat, tersebut mereka semua akan dimintai pertanggung-jawaban
dan akan dihisab atas kelalaian mereka dalam pendidikannya. Begitu pula, mereka akan mendapatkan
pahala jika berbuat baik kepada anak-anak dan bertaqwa kepada Allah.
Anak merupakan pondasi yang paling mendasar bagi terbentuknya sebuah bangunan umat. Apabila anak
diletakkan dalam posisi yang benar, bangunannya secara utuh akan bisa lurus. Pondasi dasar yang harus
ditanamkan kepada anak adalah pemahaman Aqidah, supaya anak bisa menjadi bangunan yang
terbentuk lurus. Imam Ghazali telah menekankan untuk memberikan perhatian terhadap anak dan
mendiktekannya sejak kecil agar ia bisa tumbuh di atas aqidah itu. Beliau mengatakan, Ketahuilah

bahwa apa yang telah kami sebutkan dalam menjelaskan aqidah seyogyanya diberikan kepada sang anak
di awal perkembangannya agar ia bisa menghafalkannya benar-benar, sehingga makna-maknanya kelak
di masa dewasa terus terungkap sedikit demi sedikit.
Imam Ghazali juga menjelaskan dalam kitab Al-Ihya Ulumuddin cara menanamkan aqidah pada anakanak. Beliau mengatakan ,Cara menamkan keyakinan ini bukanlah dengan mengajarkan keterampilan
berdebat dan berargumentasi, akan tetapi caranya adalah menyibukkan diri dengan membaca Al-Quran
dan tafsirnya, membaca hadits dan makna-maknanya serta sibuk dengan tugas ibadah. Dengan demikian,
kepercayaan dan keyakinan anak akan terus bertambah kokoh sejalan dengan semakin seringnya dalildalil Al-Quran yang didengar olehnya dan juga sesuai dengan berbagai bukti dari hadits Nabi yang ia
telah dan berbagai faedah yang bisa ia petik darinya. Ini ditambah lagi oleh cahaya-cahaya ibadah dan
amalan-amalan yang dikerjakannya yang akan semakin memperkuat itu semua.
Konsep aqidah islamiyah, sudah sepantasnya orang tua dan pendidik memahami terlebih dahulu tentang
konsep Ilahiah itu sendiri. Dan ketika anak mulai dikenalkan dengan Ilah-nya, akan timbul berbagai
macam pertanyaan dalam benaknya. Orang tua dan pendidik harus berusaha menjelaskan menggunakan
bahasa yang mudah dipahami oleh anak-anak. Selain itu, orang tua atau pun pendidik dituntut untuk
kreatif dalam menjelaskan masalah aqidah ini agar lebih mudah dipahami. Misalnya cara mengenalkan
Allah kepada anak-anak, ketika mereka bertanya Siapa Rabb-ku? jelaskan kepada mereka bahwa Rabb
mereka adalah Allah yang telah menciptakan, memelihara, menguasai, dan mengatur alam semesta ini.
Gunakan dalil dari Al-Quran supaya mereka lebih yakin, seperti firman Allah Subhanahu wa Taala dalam
surat Al-Fatihah :

" Segala puji bagi Allah, Rab semesta alam."
Ketika mereka bertanya Dari mana engkau mengenal Rabb-mu? jelaskan kepada mereka bahwa mereka
mengenal Rabb-nya dari tanda-tanda kekuasaan Allah. Seperti adanya malam, siang, matahari, bulan,
tujuh lapis langit, tujuh lapis bumi, berikut apa yang ada di langit dan di bumi serta apa yang ada di
antara keduanya. Kemudian apabila anak-anak bertanya Di mana Allah? jelaskan kepada mereka bahwa
Allah berada di atas langit, bersemayam tinggi dan naik di atas Arsy. Sayangnya, banyak orang tua
ataupun tenaga pendidik yang ketika ditanya Di mana Allah?, kebanyakan dari mereka menjawab Allah
ada di atas. Jawaban yang abstrak apabila diberikan kepada anak-anak. Karena bisa jadi ketika si anak
berada di dalam rumahnya dan mendongakkan kepalanya ke atas, berharap agar bisa melihat Allah
karena jawaban yang diberikan kepadanya Allah itu ada di atas-. Ternyata si anak hanya menemukan
cicak yang sedang berburu nyamuk. Salah-salah anak tersebut mengira cicak itulah Ilahnya.
Naudzubillah.
Dan apabila mereka bertanya Apa itu Arsy?, jelaskanlah bahwa Arsy adalah makhluk Allah yang paling
besar, yang letaknya paling tinggi, yang berada di atas langit ketujuh. Sertakan dalil dari Al-Quran surat
Thaahaa ayat 5 agar si anak bertambah yakin dan ajarkan untuk menghapalnya, yang berbunyi :

"(yaitu) Ilah(Rab) yang Maha Pemurah. yang bersemayam di atas 'Arsy."
Anak-anak adalah amanat Allah yang dititipkan kepada orang tua, pendidik, keluarga, dan masyarakat
untuk dididik dengan baik dan benar. Atas amanat tersebut, mereka semua akan dimintai pertanggungjawaban dan akan dihisab atas kelalaian mereka dalam pendidikannya. Begitu pula, mereka akan
mendapatkan pahala jika berbuat baik kepada anak-anak dan bertaqwa kepada Allah. Oleh karena itu,
penanaman konsep Ilahiah dalam Islam sebaiknya dimulai dari sejak kanak-kanak agar pendidikan anak
yang merupakan amanat dari Allah bisa dipertanggung-jawabkan dengan baik.
3.1. Nilai Iman dalam Pembelajaran
Perubahan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional dari UU Nomor 2 tahun 1989 kepada UU
Nomor 20 tahun 2003 diantaranya dikarenakan tidak memadai lagi UU yang petama dan dirasa perlu
disempurnakan agar sesuai dengan amanat perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Perubahan ini secara langsung juga berimplikasi terhadap model pendidikan
secara nasional, terutama pendidikan nilai baik di lingkungan pendidikan formal maupun pendidikan
nonformal (PLS).
Nilai-nilai iman dapat diimplikasikan dalam seluruh komponen pembelajaran, baik komponen fisik

seperti sarana prasarana, media, buku sumber, dan performance guru, maupun komponen non fisik
seperti tujuan, metode, materi, evaluasi, dan sebagainya. Dalam konteks komponen pembelajaran yang
sifatnya fisik, maka intinya adalah menciptakan lingkungan belajar (learning environment) yang
mendukung proses internalisasi nilai keimanan terhadap peserta didik serta mendorong pendidik dan
tenaga kependidikan yang ada di sekolah untuk menjadi rujukan, tauladan, atau model dari sosok
manusia Indonesia yang beriman dan bertakwa. Sarana dan prasarana yang ada di sekolah harus
mencerminkan budaya sekolah religius, demikian halnya dengan segala media dan buku sumber yang
menjadi rujukan guru harus selalu diintegrasikan dengan derivasi nilai keimanan yang universal.
Kompetensi guru pun harus di up grad oleh pemegang kebijakan agar ia siap dan mumpuni untuk
melakukan tugas-tugas profesionalnya dengan baik, khususnya tugas yang berhubungan langsung dengan
upaya menanamkan nilai keimanan terhadap peserta didik.
Pembentukan school culture di lingkungan sekolah yang mendukung peningkatan kualitas iman
diantaranya dapat diusahakan melalui: (1) Penataan sarana fisik sekolah yang mendukung proses
internalisasi nilai IMTAK dalam pembelajaran; (2) Pendirian sarana Ibadah yang memadai; (3)
Membiasakan membaca al quran/tadarus setiap mengawali PBM; (4) Membiasakan memperdengarkan
lantunan-lantunan Al quran setiap ketika akan masuk kelas, jam istirahat dan jam pulang melalui radio
kelas; (5) Pembinaan Al quran dan Al Hadist secara rutin; (6) Adanya pola pembinaan keagamaan guru
secara terprogram dan terpola serta adanya Wakil Kepala yang secara khusus membidangi program
pembinaan Iman dan Taqwa Guru dan Siswa. (7) Adanya ketauladanan (Personal Image) dan kontrol
sosial dari kepala sekolah terhadap prilaku guru; (8) Membiasakan shalat berjamaah; (9) Adanya
penataan yang tertib tentang tempat guru akhwat dan ikhwan; (10) Program keputrian bagi Guru
perempuan; (11) Membudayakan ucapan salam di lingkungan sekolah; (12) Adanya program BP yang
berbasis nilai-nilai Iman dan Taqwa; dan lain-lain
3.2. Urgensi Pembelajaran Berbasis Nilai Keimanan
Sistem pendidikan yang dibutuhkan sekarang adalah sistem pendidikan yang berbasiskan nilai-nilai
illahiyah (IMTAK), sudah saatnya kita meninggalkan sistem pendidikan yang sudah lama dipraktekan
selama ini yang cenderung semi sekuler, mata pelajaran agama tidak menjadi bagian yang penting, hal ini
terbukti dengan dibatasinya alokasi waktu mata pelajaran agama (proporsinya tidak sebanding dengan
ilmu lainya) dan khasanah agama tidak menjadi pondasi keilmuan dari mata pelajaran lainya, dalam
prakteknya seolah adanya dikotomi paradigma antara ilmu agama dengan ilmu pengetahuan umum.
Pembelajaran berbasis keimanan dalam pengertian penulis adalah proses pembelajaran dimana semua
mata pelajaran dilandasi oleh khasanah nilai-nilai universal yang bersumber dari agama sebagai sumber
nilai illahiah yang komprehenship disertai pembentukan school culture di semua lingkungan /lembaga
pendidikan yang bernuansa religius, selain edukatif dan ilmiah. Untuk bisa mewujudkanya tentunya perlu
adanya daya dukung yang utuh dari seluruh stakeholder pendidikan. Dalam sekala mikro (pelakasanaan
di lingkungan lembaga pendidikan/sekolah), hal tersebut bisa diwujudkan dengan didukung oleh faktor
pendukung utama yang memadai yaitu SDM sekolah, dimana kepala sekolah dan komite sekolah sebagai
motornya harus memiliki kompetensi yang memadai, komitmen yang kuat, ketauladanan dalam
memimpin dan keistiqomahan dalam sikap dan prilaku yang terwujud dalam segala bentuk kebijakanya.
Sedangkan dalam skala makro, terwujudnya pembelajaran berbasis keimanan akan bisa terwujud apabila
secara yuridis diperkuat dengan diundangkanya sistem ini oleh legislatif serta di dukung oleh faktor
anggaran pendidikan yang memadai. Terwujudnya pembelajaran berbasis nilai keimanan setidaknya bisa
menjadi solusi jangka panjang atas problematika ummat dewasa ini, khususnya yang terkait dengan
akhlak generasi muda (remaja) sekarang, kita ketahui bahwa remaja (se-usia sekolah) sekarang sudah
banyak terpengaruh oleh budaya barat, penjajahan ala barat melalui food, fashion dan fun serta gerakan
dakwah melalui tontotan di televisi yang banyak mengajarkan gaya hidup sekuler sudah banyak memakan
korban.
Konsep keimanan dalam Islam dapat dipandang dari sudut teologis-religi dan sosial-humanis. Konsep
teologis keimanan dikenal dengan konsep tauhid yang sifatnya doktriner, yaitu kepercayaan tunggal
terhadap keesaan Allah Swt. Menutut Syekh Mahmud Syaltout (1984) unsur pertama dalam keimanan
adalah mempercayai wujud dan wahdaniyat Allah dalam menciptakan, mengurus, dan mengatur segala
urusan. Oleh karena itu, keimanan ini memiliki makna sosial yang dalam istilah M. Amin Rais sebagai

tauhid sosial. Istilah ini tidak lain menggambarkan sebuah kondisi prilaku yang sesuai dengan ajaran
tauhid (keimanan). Konsep tauhid sosial ini diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari yang
dalam bahasa agama disebut amal shaleh yaitu sejumlah perbuatan baik yang sesuai aturan agama.
Deskripsi iman dan takwa hanyalah memperjelas bahwa pentingnya pendidikan dalam konteks keislaman
dan moralitas adalah terbinanya hubungan vertikal di samping secara manusiawi dan sosial. Maka
sebuah konsep pendidikan atau pembinaan yang dilandasi keimanan dan ketakwaan, bukan hanya
menghasilkan output yang memiliki tanggung jawab sosial (pribadi, masyarakat, bangsa) namun juga
memiliki tanggung jawab moral kepada Tuhan. Konsep pembelajaran berbasis nilai iman dan taqwa
merupakan derivasi dari rumusan tujuan pendidikan nasional yang terkandung dalam UU No 20 tahun
2003. sekaligus sebagai bagian dari kegiatan preventif dan kuratif terhadap fenomena saat ini dan
antisipasi masa mendatang. Disadari bahwa perkembangan dunia global bukan hanya menghasilkan
produktivitas manusia dalam mempermudah cara hidupnya, namun telah berakibat buruk terhadap pola
dan tata hubungan kemanusiaan. Misalnya kehadirian televisi di satu sisi telah memberi nilai tambah
informasi dan hiburan kepada masyarakat, namun tayangan televisi telah pula mendorong tumbuhnya
tindakan destruktif di masyarakat. Bahkan dari berbagai kemajuan muncul dekadensi moral yang
mengglobal juga saat ini.
Kenyataan terjadinya dekadensi moral bukan hanya menjadi komoditas isu sosial yang menjadi wacana.
Namun, hendaknya menyadarkan bangsa Indonesia bahwa pendidikan dewasa ini belum cukup mampu
membentengi generasi muda (remaja) dari prilaku-prilaku destruktif yang mereka konsumsi dari
berbagai sumber informasi. Oleh karenanya, dalam tataran operasional, pendidikan kini mutlak harus
diarahkan pada pembelajaran yang terintegrasi dengan nilai iman dan taqwa sehingga generasi muda
memiliki daya filter yang tinggi terhadap pengaruh negatif dari luar serta memiliki tanggung jawab
terhadap masa depan dirinya, bangsa dan negara. Untuk mewujudkan hal tersebut, perlu ada kesadaran
penuh dari semua komponen pendidikan, termasuk birokrasi pendidikan. Adapun dalam tataran mikro
operasional di sekolah, unsur yang paling dominan dalam melaksanakan pembelajaran berbasis nilai
keimanan dan ketaqwaan adalah guru.
3.3. Peran Guru Dalam Penanaman Iman
Dalam pendidikan guru penting sekali dikembangkan nilai-nilai etika dan estetika inti seperti kepedulian,
kejujuran, keadilan, tanggung jawab, dan rasa hormat terhadap diri dan orang lain bersama dengan nilainilai kinerja pendukungnya seperti ketekunan, etos kerja yang tinggi, dan kegigihan sebagai basis
karakter yang baik. Guru harus berkomitmen untuk mengembangkan nilai keimanan peserta didik
berdasarkan nilai-nilai Yang dimaksud serta mendefinisikannya dalam bentuk perilaku yang dapat
diamati dalam kehidupan sekolah sehari-hari. Yang terpenting adalah semua komponen sekolah
bertanggung jawab terhadap standar-standar perilaku yang konsisten sesuai dengan nilai-nilai inti.
Seseorang dapat dikatakan berkarakter jika telah berhasil menyerap nilai dan keyakinan yang
dikehendaki masyarakat serta digunakan sebagai kekuatan moral dalam hidupnya. Demikian juga
seorang pendidik dikatakan berkarakter, jika memiliki nilai dan keyakinan yang dilandasi hakikat dan
tujuan pendidikan serta digunakan sebagai kekuatan moral dalam menjalankan tugasnya sebagai
pendidik. Dengan demikian pendidik yang berkarakter, berarti telah memiliki kepribadian yang ditinjau
dari titik tolak etis atau moral, seperti sifat kejujuran, amanah, keteladanan, ataupun sifat-sifat lain yang
harus melekat pada diri pendidik. Pendidik yang berkarakter kuat tidak hanya memiliki kemampuan
mengajar dalam arti sempit (transfer pengetahuan/ilmu), melainkan juga harus memiliki kemampuan
mendidik dalam arti luas (keteladanan sehari-hari).
Upaya guru bersikap dan berprilaku sebaik-baiknya terhadap siswa merupakan nilai positif bagi
peningkatan mutu dan kualitas proses belajar mengajar. Terutama pada pendidikan agama, ia
mempunyai tanggung jawab yang lebih berat dibandingkan dengan pendidikan pada umunya, karena
selain bertanggung jawab terhadap pembentukan pribadi anak yang sesuai dengan tuntunan agama
Islam, juga bertanggung jawab terhadap Allah di akhirat nanti.
Sikap, prilaku dan perkataan guru yang sesuai dengan ajaran Islam perlu diaplikasikan dalam kehidupan
sehari-hari sebagai teladan bagi anak didiknya. Untuk menerapkan pendidikan moral agama tersebut
terdapat beberapa metode diantaranya adalah dengan pendidikan secara langsung, dengan cara
menggunakan petunjuk, tuntunan, nasehat, menjelaskan manfaat dan bahaya-bahaya sesuatu,

memberikan contoh yang baik (teladan), sehingga mendorong anak untuk berbudi pekerti luhur dan
menghindari segala hal yang tercela. Hal ini tentunya tidak terlepas dari sikap guru dan perilaku guru
sebagai contohnya serta teladan bagi siswanya.
Karena adanya kecenderungan anak untuk meniru apa yang dilihatnya, maka dengan keteladanan pribadi
seorang guru tanpa disadari telah terpengaruh dan tertanam pada diri anak. Dari sikap tersebut akhirnya
tertanamlah suatu akhlak yang baik dan diharapkan pada diri anak, sehingga pembentukan akhlakul
karimah dapat terealisasikan.
Menyadari pernyataan di atas dapat diambil pengertian bahwa kebutuhan manusia akan keteladanan
lahir dari suatu gharizah (naluri) yang bersemayam di dalam jiwa manusia yaitu jiwa taqlid (peniruan).
Sebagai contoh bahwa manusia suka meniru adalah sekelompok anak remaja yang sedang mengalami
perkembangan, ia mulai mencari orang lain yang dapat mereka jadikan teladan (pahlawan) atau hero
sebagai ganti orang tua dan orang-orang yang bisa menasehati mereka.
C. KESIMPULAN
Pendidikan berlangsung seumur hidup dan dilaksanakan di dalam lingkungan rumah tangga, sekolah dan
masyarakat, karena itu pendidikan adalah tanggung jawab bersama antara keluarga, masyarakat, dan
pendidikan.
Oleh karena itu sebagai upaya antisipasi dan memberikan alternatif sekolah yang berorientasi masa
depan, serta untuk menyiapkan generasi yang dapat mengantisipasi dan berkompetisi di era global. Maka
perlu diadakan perubahan didalam sistem maupun kurikulumnya. Upaya-upaya konsepsional dimana
pemerintah sebagai pelopornya, menunjukkan bahwa pendidikan merupakan unsur utama dan pertama
bagi terciptanya atmosfer masyarakat bangsa yang hakiki yang tetap berpegang teguh pada unsur-unsur
etika moral nenek moyang sendiri dan secara global bersumber dari norma-norma agama.
Dalam pendidikan anak usia dini salah satu kawasan yang harus dikembangkan adalah nilai moral,
karena dengan diberikannya pendidikan nilai dan moral sejak usia dini, diharapkan pada tahap
perkembangan selanjutnya anak akan mampu membedakan baik buruk, benar salah, sehingga ia dapat
menerapkannya dalam kehidupan sehari-harinya. Ini akan berpengaruh pada mudah tidaknya anak
diterima oleh masyarakat sekitarnya dalam hal bersosialisasi.
Dalam pengembangan nilai moral untuk anak usia dini perlu dilakukan dengan sangat hati-hati. Hal ini
dikarenakan anak usia dini adalah anak yang sedang dalam tahap perkembangan pra operasional
kongkrit seperti yang dikemukakan oleh Piaget, sedangkan nilai-nilai moral merupakan konsep-konsep
yang abstrak, sehingga dalam hal ini anak belum bisa dengan serta merta menerima apa yang diajarkan
guru/orang tua yang sifatnya abstrak secara cepat. Untuk itulah orang tua harus pandai-pandai dalam
memilih dan menentukan metode yang akan digunakan untuk menanamkan nilai moral kepada anak
agar pesan moral yang ingin disampaikan guru dapat benar-benar sampai dan dipahami oleh siswa untuk
bekal kehidupannya di masa depan.

D. DAFTAR PUSTAKA
A. Syafii Maarif, Pendidikan di Indonesia, Antara Cita dan Fakta, Yogyakarta, Tiara Wacana, 1991
Abdullah Nasih Ulwan, Pendidikan Anak Dalam Islam, terjemahan. Jamalauddin Miri, Jakarta: Pustaka
Amani, 1995
Abdurrahman An-Nahlawi, Prinsip-prinsip Metode Pendidikan Islam, Bandung : Diponegoro, 1992
Abu Ahmadi, dkk, Ilmu Pendidikan, Jakarta: Rineka Cipta, 1991
Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001, Cet. ke-4
Agus Prasetyo, S.Pd dan Emusti Rivasintha, S.Pd, Konsep, Urgensi Dan Implementasi Pendidikan
Karakter Di Sekolah dalam http://edukasi.kompasiana.com/2011/05/27/konsep-urgensi-danimplementasi-pendidikan-karakter-di-sekolah/ diakses pada tanggal 15 Januari 2010 jam 20.00
Ahmad Tafsir, Metodologi Pengajaran Agama Islam, Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 2003, Cet ke-7
Al-Qadir Hasan, Terjemahan Nainul Authar, Jilid. V. Surabaya, PT. Bina Ilmu, 1984
Al-Syaibany, Omar Mohammad Al-Taomy , Falsafah Pendidikan Islam (terj. Hasan Langgulung), Jakarta:
Bulan Bintang, 1979
AM Saefudin, dkk., Desekularisasi Pemikiran Landasan Islamisasi, Bandung: Mizan, 1987

Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, Jakarta: Ciputat Pers, 2002
CD Hadits, Kutubbus Sittah
Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan: Suatu Analisa Psikologi dan Pendidikan, Jakarta: Pustaka
Al-Husna, 1989
Hery Noer Aly, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Logos, 1999
http://sadidadalila.wordpress.com/2010/01/03/ pentingnya-pendidikan-anak-usia-dini-di-indonesia/,
diakses pada tanggal 12 Januari 2012, jam 18.00 WIB
http://staff.uny.ac.id/system/files/penelitian/Ajat%20Sudrajat,%20Prof.%20Dr.
%20%20M.Ag./Membangun%20Kultur%20Akhlak%20Mulia.pdf
http://www.al-shia.org, diakses tanggal 14 Januari 2012 jam 11.00 yang sudah diterjemahkan dari bahasa
aslinya oleh Ahmad hafidz al-Kaff dengan judul Pendidikan Anak Menurut Islam
http://www.voa-islam.com/muslimah/education/2011/01/22/12913/tips-agar-anak-patuh-pada-nasihatorangtua/ diakses tanggal 16 Januari 2012 jam 10.00
Humaidi Tata Pangarsa, Metodologi Pendidikan Islam, Malang, Penerbit Almamater YPTP, IKIP Malang,
1974
M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam: Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan
Interdisipliner, Jakarta: Bumi Aksara, 1991
M. Collin Mallary, dkk. Mengubah Perilaku Siswa, Jakarta: PT BPK. Gunujng Mulia, 199
Mahfudzh Shalahuddin, dkk, Metodologi Pendidikan Agama, Surabaya, PT. Bina Ilmu, 1987
Muhaimin, Srategi Belajar Mengajar, Surabaya: Citra Media, 1996
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2004, Cet. ke-4), hlm. 115
Singgih Gunarsa, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, Jakarta: Gunung Mulia, 2004
Suyanto, Urgensi Pendidikan Karakter, dalam http://mandikdasmen.kemdiknas.go.id/web/pages/
urgensi.html diakses pada tanggal 17 Januari 2011 jam 21.00
Syamsu Yusuf, Psikologi Belajar Agama, Bandung: Maestro, 2002
Tim Pustaka Familia, Konsep Diri Positif, Menentukan Prestasi Anak. Yogyakarta: Kanisius, 2006
Zakiah Daradjat, Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah, Bandung, PT Remaja Rosda Karya, 1995
Dipresentasikan pada Mata Kuliah Studi Al-Qur'an Hadits oleh Siti Rochmiyatun di IAIN Surakarta,
Pebruari 2012

Menata Ruhiyah Demi Dakwah


8 Mei 2011 pukul 3:18

Tweet
Oleh : Ustad Salman, MA

Umar bin Khattab pernah meneteskan air matanya ketika melihat keadaan seorang ibu yang pada
malam itu (ketika Khalifah Umar sedang mengadakan inspeksi malam hendak melihat kondisi
sebenarnya masyarakat yang dipimpinnya) pura-pura memasak untuk

menenangkan anak-anaknya yang terus menangis menahan lapar. Padahal dalam kuali tersebut
hanyalah berisi batu. Menyaksikan hal demikian, sang khalifah langsung menuju gudang (sejenis
bulog) mengambil sekarung gandum. Masya Allah, dengan tangan dan pundaknya sendiri, beliau
membawa sekarung gandum tersebut untuk diberikan kepada sang ibu tadi.

Makna ruhiyah

Dalam kamus dikemukakan, bahwa ruhiyah berasal dari kata ruh yang mendapatkan ya

nisbah menjadi ruhi, yang memiliki arti ruhani (spiritual) yang merupakan lawan dari kata maadi atau
materi. Kata ruhiyah sering kali diidentikkan dengan nuansa hati yang penuh terisi dengan nilai-nilai
keimanan, sehingga merasakan adanya ketentraman dan kesejukan jiwa yang memotivasi untuk
beramal dalam mencari ridho Allah. Sehingga pengaruh dari adanya ruhiyah dalam diri seseorang
teraplikasi pada peningkatan aktivitas ibadah dan dawah, dalam berbagai bentuknya

Barangkali kita pernah mendapati ada kader dakwah yang cukup handal dalam pengetahuan dan
wawasan keislamannya namun minus dalam aspek ruhiyah. Pengetahuan dan wawasan
keislamannya hanya mampu memberinya petunjuk tentang sebuah pemecahan persoalan dan
kebenaran tetapi ia tidak mampu menghayati persoalan dan kebenaran tersebut. Seorang yang
minus aspek ruhiyah seperti itu akan tampak kuat dalam pengembangan penalaran dan
intelektualitas, namun kering dalam penjiwaan nuansa-nuansa sentuhan religius. Ia hanya memiliki
kekayaan warna pemikiran, namun miskin dalam emosionalitas keagamaan yang mampu memberi
warna dalam pribadinya. Ketajaman analisis berpikir yang dimilikinya tidak diikuti dengan
kecemerlangan hubungannya dengan Allah Swt dan ketinggiannya dalam akhlak.

Urgensi tarbiyah ruhiyah

Ruhiyah (manawiyah) adalah aspek yang harus mendapatkan perhatian khusus oleh setiap muslim.
Sebab ruhiyah menjadi motor utama sisi lainnya, hal ini bisa kita simak dalam firman Allah Swt di
surat Asy-Syams : 7-10 Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), Maka Allah mengilhamkan
kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketaqwaannya. Sungguh sangat merugi orang yang

mensucikannya dan sungguh merugilah orang yang mengotorinya, . Dan dalam surat Al Hadid ayat
16: Belumkah datang waktunya untuk orang-orang yang beriman untuk tunduk hati mereka berdzikir
kepada Allah dan kepada kebenaran yang telah turun kepada mereka dan janganlah mereka seperti
orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Alkitab di dalamnya, kemudian berlalulah masa yang
panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras, dan kebanyakan di antara mereka adalah
orang-orang yang fasik . Ayat-ayat di atas memberikan pelajaran kepada kita akan pentingnya untuk
senantiasa menjaga ruhiyah, kerugian yang besar bagi orang yang mengotorinya dan peringatan
keras agar kita meninggalkan amalan yang bisa mengeraskan hati. Bahkan tarbiyah ruhiyah adalah
dasar dari seluruh bentuk tarbiyah, menjadi pendorong untuk beramal shaleh dan dia juga
memperkokoh jiwa manusia dalam menyikapi berbagai problematika kehidupan.

Indikasi ruhiyah yang kuat

Indikasi bahwa seseorang memiliki aspek ruhiyah yang kuat, diantaranya:

1.Adanya sikap ketergantungan yang sangat tinggi terhadap Allah Swt. Ia menjadikan Allah Swt
sebagai satu-satunya tujuan dalam segala hal yang dibarengi dengan kegigihan dan
kesungguhannya dalam mengerjakan sebuah aktivitas.

2.Ia berupaya keras untuk selalu mengisi kehidupannya dengan kebajikan dan perbuatan yang
bermanfaat. Ia juga berupaya meninggalkan keburukan dan hal-hal yang tidak berguna.

3.Ia gemar menjalankan ibadah-ibadah sunnah. Perangainya sangat terjaga dan merupakan
cerminan dari akhlak karimah seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah Saw.

4.Seseorang yang mampu memberi makna terhadap setiap peristiwa yang terjadi dalam hubungan
dirinya dengan Tuhannya dan segala kekuasaan yang dimiliki-Nya.

5.Ia akan merasakan keberadaan Tuhan dalam berbagai peristiwa yang terjadi dan fakta-fakta yang
disaksikannya.

Urgensi ruhiyah

Betapa penting aspek ruhiyah bagi seorang kader dakwah. Ia mampu menjaga dari rasa frustasi dan
putus asa ketika seseorang mengalami kekecewaan dan kegagalan, menjaga dari kegembiraan
yang berlebihan dan rasa takabur apabila mengalami keberhasilan, kebahagiaan dan kemenangan,
membentengi diri dari rasa malas berkelanjutan dalam beraktivitas dakwah dan memberikan
semangat keberanian dengan mengharap perlindungan dan pertolongan kepada Allah Swt.

Ia akan mengobati hati seorang kader dakwah dari sakitnya dan menuntunnya dari gelap gulita
kepada terang-benderang, memberikan kesabaran dan keteguhan untuk tetap istiqomah dalam
berdawah, memberikan optimisme dan harapan terhadap masa depan dakwah, membangkitkan
semangat berkorban yang tinggi yang diiringi dengan keyakinan kuat bahwa Allah Swt akan
memberikan balasan yang lebih baik lagi.

Ia akan menggerakkan seorang kader dakwah untuk menyerap segala pertolongan dan kekuatan
dari Allah Swt melalui segenap perilaku dan keutamaan ibadah-ibadahnya, mengundang datangnya
petunjuk dan bimbingan dari Allah Swt melalui kesungguhan memohon penjelasan dalam
melangkah di jalan dawah, membangkitkan simpati dari obyek dakwah bahkan dari musuh dakwah
karena keutamaan perangai dan perilakunya dan mendatangkan segala bantuan dan kelebihan bagi
seorang kader dakwah dalam menjalani dunia dakwahnya.

Apabila organisasi gerakan dakwah terdiri dari individu-individu yang kuat dalam aspek ruhiyahnya
dan dijadikannya aspek ruhiyah itu sebagai salah satu hal yang diperhatikan, maka oraginsasi ini
akan memiliki kelebihan dan keunggulan dalam menjalani gerakan dakwahnya. Tidak sedikit
pertolongan dan bantuan Allah Swt akan diberikan kepada organisasi tersebut dalam mencapai
keberhasilan dan kemenangannya. Inilah peran penting aspek ruhiyah bagi sebuah organisasi
gerakan dakwah dan para aktifis dakwah.

Tarbiyah ruhiyah

Agar terbentuk aspek ruhiyah yang kuat pada seorang kader dakwah, maka diperlukan pembinaan
ruhiyah (tarbiyah ruhiyah) secara berkesinambungan. Karena itu organisasi gerakan dakwah harus
memiliki program pembinaan ruhiyah bagi para kadernya. Pembinaan ruhiyah ini dapat dilakukan
melalui penyampaian materi-materi yang mengantarkan kepada pemahaman tentang Allah Swt
beserta segala sifat dan kekuasaan-Nya, penjelasan tentang kehidupan akhirat, janji-janji dan
ancaman Allah kepada manusia dan sebagainya.

Pemberian pemahaman harus diiringi dengan pembiasaan praktek-praktek ibadah (mulai dari yang
fardhu sampai dengan ibadah-ibadah sunnah yang utama), membiasakan untuk introspeksi diri
(muhasabah), pengenalan kekuasaan Allah Swt pada alam semesta secara langsung dan lainnya
yang bersifat praktis. Juga jangan dilupakan tentang penanaman akhlak karimah dengan segala
keutamaannya.

Jika ingin mencapai kelebihan dan keberhasilan, pembinaan ruhiyah tidak boleh diabaikan oleh
gerakan dakwah. Sekalipun pembinaan ruhiyah bukanlah satu-satunya pembinaan yang harus
dilakukan, namun pengabaian terhadap pembinaan ruhiyah akan berakibat kepada tidak utuhnya
sebuah gerakan dakwah. Agar diperoleh pribadi-pribadi muslim paripurna sebagaimana yang
dikehendaki oleh Allah Swt dan Rasul-Nya, maka pembinaan ruhiyah harus dilakukan dengan
sebaik-baiknya dan secara berkesinambungan.

Namun perlu diingat bahwa untuk mencapai aspek ruhiyah yang kuat pada seseorang bukanlah
pekerjaan yang mudah dan waktu yang singkat. Gerakan dakwah harus bersungguh-sungguh,
penuh kesabaran yang berkelanjutan dalam melakukan pembinaan ruhiyah terhadap kaderkadernya. Jerih payah ini suatu saat nanti akan menampakkan hasil.

Ruhiyah qabla dakwah

Ruhiyah adalah bekal yang terbaik bagi setiap muslim, terutama bagi seorang dai. Ruhiyah inilah
yang akan memotivasi, menggerakkan dan kemudian menilai setiap perbuatan yang dilakukannya.
Keberadaan ruhiyah yang baik dan stabil menentukan kualitas kejayaan hidup seseorang, begitu
juga dengan dakwah. Sangat tepat ungkapan yang menyatakan, Ar-Ruhiyah qablad dakwah kama

Annal Ilma qablal qauli wal amal. Ungkapan ini merupakan iqtibas dari salah satu judul bab dalam
kitab shahih Al-Bukhari, Berilmu sebelum berbicara dan beramal, demikian juga memiliki ruhiyah
yang baik sebelum berdakwah dan berjuang.

Dalam kontek dakwah, menjaga dan mempertahankan ruhiyah harus sentiasa dilakukan sebelum
beranjak ke medan dakwah, sehingga sangat ironis jika seseorang berdakwah tanpa
mempersiapkan bekal ruhiyah yang maksimum, boleh jadi dakwahnya akan hambar seperti juga
ruhiyahnya yang sedang kering.

Allah Swt berfirman, Hai orang-orang yang beriman, rukulah kalian bersama-sama, sujudlah dan
sembahlah Tuhanmu, kemudian lakukanlah amal kebaikan, dan berjihadlah di jalan Allah dengan
sebenar-benar jihad. (Al-Hajj: 77-78)

Menurut susunannya, ayat di atas memuat perintah Allah kepada orang-orang yang beriman
berdasarkan skala kepentingan; diawali dengan perintah menjaga dan memperbaiki kualitas ruhiyah
yang tercermin dalam tiga perintah Allah: ruku, sujud dan ibadah, kemudian diiringi dengan
menerapkan dari ruhiyah tersebut dalam bentuk amal dan jihad yang benar. Yang diharapkan dari
menjalankan perintah ayat ini sesuai dengan urutannya adalah agar kita meraih kemenangan dan
keberuntungan dalam seluruh aspek kehidupan, lebih-lebih lagi urusan yang kental dengan ruhiyah
yaitu dakwah. Tentunya susunan ayat Al-Quran yang demikian bijak dan tepat bukan semata-mata
hanya memenuhi aspek keindahan bahasa atau ketepatan makna, namun lebih dari itu, terdapat
hikmah yang layak untuk digali karena susunan ayat atau surah dalam Al-Quran memang bersifat
tauqifiy (berdasarkan wahyu, bukan ijtihad).

Tentang pentingnya ruhiyah dalam dakwah dapat difahami juga dari sejarah turunnya surah AlMuzzammil. Surah ini secara hukum dapat dibagikan menjadi dua kelompok:

1.kelompok yang pertama dari awal surah hingga ayat 19 yang berisi arahan kewajiban shalat
malam, tilawah, zikir, tabattul, sabar dan tawakkal.

2.kelompok kedua yang berisi rukhshah dalam hukum qiyamullail menjadi sunnah muakkadah yaitu
pada ayat yang terakhir, ayat 20.

Bisa dibayangkan satu tahun lamanya generasi terbaik dari umat ini melaksanakan kewajiban
qiyamullail layaknya shalat lima waktu semata-mata untuk mengisi dan memperkuat ruhiyah mereka
sebelum segala sesuatunya. Baru di tahun berikutnya turun rukhshah dalam menjalankan shalat
malam yang merupakan inti dari aktifitas memperkuat ruhiyah. Hal ini dilakukan, karena mereka
memang dipersiapkan untuk mengemban amanah dakwah yang cukup berat dan
berkesinambungan.

Pada tataran aplikasinya, kestabilan ruhiyah harus diuji dengan dua ujian sekaligus yaitu ujian
nikmat dan ujian cobaan atau musibah. Karena boleh jadi seseorang mampu mempertahankan
ruhiyahnya dalam keadaan susah dan banyak mengalami ujian dan cobaan, namun saat dalam
keadaan lapang dan senang, mudah saja ia lengah dan lupa dengan tugas utamanya. Inilah yang
dikhawatirkan oleh Rasulullah Saw dalam sabdanya, Bukanlah kefaqiran yang sangat aku
khwatirkan terjadi pada kalian, tetapi aku sangat khwatir jika (kemewahan, kesenangan) dunia
dibentangkan luas atas kalian, kemudian karenanya kalian berlomba-lomba untuk meraihnya seperti
yang pernah terjadi pada orang-orang sebelum kalian. Maka akhirnya kalian binasa sebagaimana
mereka juga binasa karenanya. (H.R Bukhari dan Muslim). Maka seorang mukmin yang kualitas
ruhiyahnya baik adalah yang mampu mempertahankannya dalam dua keadaan sekaligus.
Demikianlah yang pernah Rasulullah Saw isyaratkan dalam sabdanya, Sungguh mempesona
keadaan orang beriman itu, jika ia mendapat anugerah nikmat ia bersyukur dan itu baik baginya.
Namun jika ia ditimpa musibah ia bersabar dan itu juga baik baginya. Sikap sedemikian ini tidak
akan muncul kecuali dari seorang mukmin. (H.R Bukhari)

Dalam konteks ini, contoh yang sempurna adalah Muhammad saw. Beliau mampu memelihara
kestabilan ruhiyahnya dalam keadaan apapun, dalam keadaan suka dan duka, senang dan sukar,
ringan dan berat. Justru, semakin besar nikmat yang diterima seseorang, semestinya semakin
bertambah rasa syukurnya. Semakin besar rasa syukurnya, maka akan semakin tinggi kekuatan
dakwahnya. Begitu seterusnya sehingga wajar jika Rasulullah tampil sebagai abdan syakuran.
Karena memang demikian jaminan Allah Swt, Barang siapa yang bersyukur, maka pada hakikatnya
ia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya (Luqman: 12). Orang yang bersyukur akan memperoleh hasil
syukurnya yaitu kenikmatan ruhiyah yang ditandai dengan hidup menjadi lebih bahagia, tenteram
dan sejahtera. Karena bersyukur hakikatnya adalah untuk dirinya sendiri.

Dan ternyata kejayaan dakwah Rasulullah Saw yang diteruskan oleh para sahabatnya sangat
ditentukan selain dari pertolongan Allah- dengan kekuatan ruhiyahnya. Selain dari qiyamullail yang
menjadi amalan rutin sepanjang masa, cahaya Al-Quran juga sentiasa menyinari hatinya. Allah swt
menegaskan dalam firman-Nya, Dan sesungguhnya Al-Quran ini benar-benar diturunkan oleh
Tuhan semesta alam. Ia dibawa turun oleh Ar-ruhul Amin (Jibril), ke dalam hatimu (Muhammad) agar
kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan. (Asy-Syuara: 192194). Demikian persiapan Muhammad sebelum menjadi rasul yang akan memberi peringatan yang
merupakan tugas yang berat dan mengandung risiko adalah dengan dibekali Al-Quran yang akan
sentiasa mengarahkan hatinya.

Dalam hal ini, Yusuf Al-Qardawi pernah menyatakan dengan tegas rahasia kekuatan Al-Quran, AlQuran adalah kekuatan Rabbani yang akan menghidupkan hati dan fikiran. Al-Quran akan
sentiasa memancarkan kekuatan Allah yang akan kembali menghidupkan hati dan fikiran yang
sedang dirundung duka dan kemaksiatan. Kekuatan nabi Muhammad sendiri ada pada kekuatan
hatinya yang senantiasa dibantu dengan cahaya Al-Quran. Dan demikian seharusnya, kekuatan
dakwah seseorang ditentukan oleh kekuatan ruhiyahnya, bukan dengan lainnya.

Pada masa yang sama, agar ruhiyah tetap stabil terpelihara, maka harus dijaga dengan banyak
beramal, meskipun hanya sedikit. Karena amal yang terbaik menurut Rasulullah Saw adalah amal
yang berkesinambungan, Sebaik-baik amal adalah yang berkesinambungan meskipun sedikit demi
sedikit. (H.R Tirmidzi). Dalam konteks ini, inkonsistensi ruhiyah pernah ditegur oleh Rasulullah Saw,
Janganlah kamu seperti si fulan; dahulu ia rajin qiyamul lail, kemudian ia tinggalkan.

Penguatan aspek ruhiyah sebelum yang lainnya pada hakikatnya merupakan bentuk kewaspadaan
seorang mukmin di hadapan musuh besarnya yaitu syaitan yang seringkali bekerja sama dengan
manusia untuk melancarkan serangannya dan merealisasikan misinya. Tepat ungkapan Muhammad
Mutawalli Asy-Syarawi: Syaitan akan sentiasa mengintai dan mencari titik lemah manusia. Dengan
licik dan komit, syaitan sentiasa mengincar kelemahan manusia tanpa henti, karena ia tahu bahwa
setiap manusia memiliki kelemahan dan oleh karenanya manusia diperintahkan untuk berlindung
hanya kepada Allah dengan memperkuat aspek ruhiyahnya.

Jadi aspek ruhiyah selalu menjadi potensi andalan para pemimpin dakwah yang telah menoreh tinta
emas dalam sejarah dakwah ini. Mereka adalah orang-orang yang terbaik dalam kualitas ruhiyah
dan amalnya. Ruhbanun bil Lail wa Fursanun bin Nahar. Bisa jadi kelemahan dan kelesuan
dakwah memang berpangkal dari kelemahan dan kelesuan ruhiyah. Saatnya para dai menyadari

kepentingan ruhiyah sebelum amal dakwah dengan memberi perhatian yang besar tentang aspek ini
dalam pembinaan. Demikianlah memang dakwah mengajar kita melalui generasi terbaiknya.

Kiat membina ruhiyah

Ada beberapa kiat dalam rangka melatih kekuatan ruhiyah dalam diri kita.

Pertama, tajarrud anid dunya. Mulai saat ini, pandangan hidup kita terhadap materi keduniaan
harus diubah secara total. Bahwa materi keduniaan (harta benda dan kedudukan/jabatan) hanyalah
alat untuk mencapai tujuan, bukan tujuan akhir. Sehingga kita tidak menghalalkan segala cara untuk
memenuhi setiap keinginan.

Kedua, senantiasa menjaga diri agar tetap berada di jalan kebenaran yang telah ditetapkan Allah
dan Rasul-Nya serta waspada terhadap godaan-godaan menggiurkan yang dapat memalingkan dari
jalan-Nya.

Ketiga, memerangi syetan dengan segala tipu dayanya. Imam Al-Ghazali menempatkan syetan
sebagai musuh utama manusia dalam beribadah mendekatkan diri kepada Allah Swt. Syetan akan
selalu menggoda manusia dengan berbagai tipu dayanya. Oleh karena itu, Allah memerintahkan
kepada hamba-Nya agar senantiasa berlindung dari godaan syetan yang terkutuk.

Keempat, membiasakan diri bangun di tengah malam mengerjakan shalat malam dan berpuasa
pada siang harinya.

Kelima, meningkatkan muhasabah, muraqabah, muaqabah dan mujahadah dalam rangka


meningkatkan ketaqwaan.

Keenam, sering bergaul dengan masyarakat terutama masyarakat bawah sehingga dengan
sendirinya dapat merasakan penderitaan mereka. Dan berusaha dengan sekuat tenaga turut
meringankan beban yang mereka alami. Wallahu alam bi ash-shawab.

Anda mungkin juga menyukai