Oleh
Dr. Rahman Setiawan
Pembimbing
Dr. Julius Anzar, Sp.A (K)
Dr. Moretta Damayanti, Sp.A (K)
Penilai
Dr. Julniar M Tasli, Sp.A (K)
Dr. Ria Nova, Sp.A (K)
Dr. Julius Anzar, SpA (K) Dr. Moretta Damayanti, SpA (K) M.Kes
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT karena atas berkah dan karunia-Nya penulis dapat
menyelesaikan sari pustaka dengan judul Susu Formula Bayi. Sari pustaka ini disusun sebagai
salah satu persyaratan bagi peserta didik dalam Program Pendidikan Dokter Spesialis Kesehatan
Anak Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya,RSMH Palembang.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dr.
Julius Anzar, SpA (K) sebagai pembimbing atas bimbngan dan saran-sarannya dalam penyusunan
sari pustaka ini. Pada kesempatan ini penulis juga mengucapkan terima kasih kepada
1. Dr. Yusmala Helmy, SpA (K) sebagai kepala bagian anak Fakultas Kedokteran Universitas
Sriwijaya, RSMH Palembang
2. Dr. Aditiawati, SpA (K) sebagai ketua program studi pendidikan dokter spesialis kesehatan
anak Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya, RSMH Palembang
3. Dr. Julniar M Tasli, SpA (K) dan dr. Ria Nova SpA (K) sebagai penilai sari pustaka ini
4. Seluruh staf pengajar PPDS kesehatan anak fakultas kedokteran Universitas Sriwijaya,
RSMH Palembang yang telah memberikan ilmu pengetahuan dan wawasan kepada penulis
5. Semua pihak yang membantu dan mendukung penulisan sari pustaka ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa sari pustaka ini masih perlu disempurnakan. Oleh
karena ini penulis mengharapkan kritik dan saran demi perbaikan sari pustaka ini. Penulis juga
berharap sari pustaka ini dapat menambah wawasan bagi kita semua
iv
DAFTAR ISI
Halaman sampul...................................................................................................... i
Halaman pengesahan ............................................................................................. ii
Lembar bimbingan ................................................................................................ iii
Kata pengantar ...................................................................................................... iv
Daftar isi................................................................................................................. v
Daftar singkatan .................................................................................................... vi
Daftar tabel.......................................................................................................... viii
BAB I Pendahuluan ............................................................................................... 1
BAB II Aspek medis dan non medis terkait susu formula bayi
2.1 Aspek medis ............................................................................................ 2
2.1.1 Definisi ................................................................................................. 2
2.1.2 Indikasi ................................................................................................. 2
2.1.3 Kontraindikasi ...................................................................................... 3
2.2 Aspek non medis ..................................................................................... 4
2.2.1 Sejarah............................................................................................. 4
2.2.2 Aturan tentang susu formula bayi ................................................... 5
2.2.2.1 Iklan dan promosi ............................................................... 5
2.2.2.2 Pelabelan ............................................................................. 6
BAB III Komposisi dan klasifikasi susu formula bayi
3.1 Komposisi ................................................................................................ 7
3.1.1. Protein ........................................................................................... 7
3.1.2. Lemak ............................................................................................ 8
3.1.3. Karbohidrat ................................................................................... 8
3.1.4 Vitamin........................................................................................... 9
3.1.5 Mineral ......................................................................................... 10
3.1.6 Komponen lain ............................................................................. 10
3.2. Klasifikasi ............................................................................................ 10
BAB IV Risiko kesehatan terkait susu formula bayi
4.1 Risiko kontaminasi patogen ................................................................... 16
4.2 Risiko kontaminasi bahan kimia ............................................................ 16
4.3 Pemilihan botol susu .............................................................................. 17
BAB V Ringkasan .................................................................................................. 22
Daftar Pustaka ........................................................................................................ 24
v
DAFTAR SINGKATAN
vi
DAFTAR TABEL
vii
BAB I
PENDAHULUAN
Air susu ibu (ASI) merupakan nutrisi terbaik untuk bayi karena mengandung zat bioaktif
yang baik untuk sistem pencernaan dan kekebalan tubuh.1 Pada tahun 2002, World Health
Organization (WHO) merekomendasikan pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan pertama
kehidupan.2 Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI) juga merekomendasikan
pemberian ASI eksklusif di Indonesia selama 6 bulan dan dianjurkan dilanjutkan sampai anak
berusia 2 tahun dengan pemberian makanan tambahan yang sesuai. 3
Pada tahun 2010, persentase pemberian ASI eksklusif pada bayi sampai usia 6 bulan di
Amerika Serikat adalah 43%.2 Di Indonesia, berdasarkan data Kemenkes RI tahun 2016,
persentase bayi yang mendapatkan ASI eksklusif adalah 54%. Sedangkan di Sumatera Selatan
persentase bayi yang mendapat ASI eksklusif adalah 55%.3 Pemerintah Indonesia membuktikan
komitmennya dalam menurunkan angka kematian bayi dan mendukung pemberian ASI eksklusif
dengan mengeluarkan Undang-Undang Kesehatan No. 36 tahun 2009. Pada pasal 128 dinyatakan
hak bayi untuk mendapat ASI eksklusif kecuali atas indikasi medis dan terdapat ancaman hukuman
pidana bagi yang tidak mendukungnya termasuk bagi para petugas kesehatan.3
Beberapa kondisi medis tertentu menyebabkan ASI eksklusif tidak bisa diberikan pada
bayi, sehingga pemberian susu formula dapat dipertimbangkan. Kondisi medis tersebut antara lain
beberapa kelainan metabolik bawaan (KMB) yang menyebabkan tubuh tidak memiliki enzim
tertentu untuk mencerna salah satu komponen nutrien dalam ASI ataupun susu hewan. Bayi
tersebut memerlukan formula khusus yang disesuaikan dengan kebutuhannya. Kondisi lain
misalnya penyakit ibu yang dapat ditularkan kepada bayinya melalui ASI. 4
Sari pustaka ini bertujuan untuk membahas hal-hal terkait susu formula pada bayi 0-12
bulan dari aspek medis maupun non medis, klasifikasi susu formula dan risiko kesehatan terkait
susu formula.
1
BAB II
ASPEK MEDIS DAN NON MEDIS TERKAIT SUSU FORMULA
2
2.1.2.1.2 Fenilketonuria. Penyakit ini memerlukan formula tanpa fenilalanin. Bayi dengan
fenilketouria masih dapat diberikan ASI karena kadar fenilalanin ASI rendah, dan
agar manfaat lainnya tetap diperoleh asalkan disertai pemantauan kadar fenilalanin
dalam darah.7
2.1.2.2 Kondisi medis ibu yang tidak dapat memberikan ASI eksklusif karena harus mendapatkan
pengobatan sesuai dengan standar pelayanan medis seperti ibu dengan Human Immune
Defisiecy Virus (HIV) positif. Virus HIV juga ditularkan melalui ASI. Pada prinsipnya, ibu
dengan HIV dianjurkan tidak menyusui bayinya, untuk mencegah penularan HIV kepada
bayinya melalui ASI. Oleh karena itu, bayi diberikan pengganti air susu ibu. Namun dalam
keadaan tertentu dimana pemberian PASI tidak memungkinkan dan bayi akan jatuh dalam
keadaan kurang gizi, ASI masih dapat diberikan dengan cara diperah dan dihangatkan
terlebih dahulu pada suhu diatas 660C. Rekomendasi cara menyusui untuk ibu HIV positif
adalah sebagai berikut 6,7
a. Menyusui bayinya secara ekslusif selama 4-6 bulan untuk semua ibu yang tidak
terinfeksi atau ibu yang tidak diketahui status HIV-nya.
b. Ibu dengan HIV positif dianjurkan untuk tidak memberikan ASI dan sebaiknya
memberikan PASI dengan syarat affordable (diterima), feasible (terlaksanakan),
affordable (terjangkau), sustainable (berksinambungan), safe (aman) (AFASS).
c. Bila PASI tidak memungkinkan, disarankan pemberian ASI ekslusif selama 4-6
bulan kemudian dilanjutkan dengan ASI.
2.2.2.3 Pelabelan
Ketentuan pelabelan produk susu formula bayi adalah sebagai berikut15
Produsen dan atau distributor susu formula bayi dan/atau produk bayi lainnya wajib
mencantumkan label pada setiap kemasan susu formula bayi dan/atau produk bayi lainnya,
dengan mencantumkan nama produk “Formula bayi.”
Label sebagaimana dimaksud harus ditulis secara jelas dengan menggunakan Bahasa
Indonesia yang baik dan benar, dan sekurang-kurangnya memuat nama produk, daftar bahan
yang digunakan, berat bersih (dinyatakan dalam per 100 g atau per 100 ml dan per 100
kkal), informasi nilai gizi, tanggal kadaluwarsa dan petunjuk penyimpanan, keterangan
tentang peruntukan (usia bayi), cara penggunaan, nama dan alamat pihak yang
memproduksi atau memasukkan ke dalam wilayah Indonesia dan keterangan lain yang perlu
diketahui.
Keterangan tentang daftar bahan yang digunakan meliputi15
a. Semua bahan yang digunakan harus dicantumkan secara berurutan ke samping atau ke
bawah mulai dari yang terbanyak jumlahnya.
b. Uraian tentang vitamin dan mineral dibuat tersendiri dan tidak harus secara berurutan
menurut jumlahnya.
c. Untuk bahan-bahan yang berasal dari hewan atau tanaman serta bahan tambahan pangan
harus ditulis secara spesifik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
d. Sumber protein yang digunakan pada produk harus dinyatakan dengan jelas pada label.
e. Jika susu sapi merupakan satu-satunya sumber protein, produk dapat mencantumkan
“Formula bayi berbahan dasar susu sapi”.
Pada label juga harus disertakan kalimat “ASI adalah makanan terbaik untuk bayi” atau
kalimat sejenis yang menyatakan keunggulan menyusui dengan ASI, serta tidak boleh memuat
gambar bayi dan wanita atau sesuatu yang mengunggulkan penggunaan susu formula bayi baik
dalam bentuk gambar ataupun kalimat. 15,16
BAB III
KOMPOSISI SUSU FORMULA BAYI
3.1.1 Protein
Kandungan protein dalam ASI dalam bentuk whey 70% dan kasein 30%, dengan variasi
komposisi whey: kasein adalah 90:10 pada hari ke-4 sampai 10 setelah melahirkan, 60:40 pada
ASI matur (hari ke-11 sampai 240) dan 50:50 setelah hari ke-240. Jumlah kandungan protein
pada susu formula adalah 1.8-3 gr/100 kkal dengan perbandingan whey: kasein adalah 18:82.15
Protein whey tahan terhadap suasana asam dan lebih mudah diserap sehingga akan
mempercepat pengosongan lambung. Selain itu protein whey mempunyai fraksi asam amino
fenilalanin, tirosin, dan metionin dalam jumlah lebih rendah dibanding kasein, tetapi dengan
kadar taurin lebih tinggi. Komponen utama protein whey ASI adalah alfa-laktalbumin,
sedangkan protein whey pada susu sapi adalah beta-laktoglobulin. Laktoferin, lisozim, dan
sIgA merupakan bagian dari protein whey yang berperan dalam pertahanan tubuh.15,16
7
3.1.2 Lemak
Sumber kalori utama ASI adalah lemak. Kurang lebih 50% energi yang terkandung pada
ASI berasal dari lemak, terdapat 40 gram lemak dalam 1 liter ASI (40 g/L). Asam lemak
yang terkandung pada ASI kaya akan asam palmitat, asam oleat, asam linoleat dan asam alfa
linolenat. Trigliserida adalah bentuk lemak utama pada ASI, dengan kandungan antara 97%
- 98%. ASI sangat kaya asam lemak esensial yaitu asam lemak yang tidak bisa diproduksi
tubuh tetapi sangat diperlukan untuk pertumbuhan otak. Asam lemak esensial tersebut adalah
asam linoleat 8-17%, asam linolenat 0,5-1,0%, dan derivatnya yaitu asam arakidonat (AA)
0,5-0,7% dan asam dokosaheksanoat (DHA) 0,2-0,5%.15,17 Kandungan asal lemak trans,
asam erusat dan fosfolipid tidak boleh lebih dari 3%, 1%, 300 mg/100 kkal dari total asam
lemak, secara berurutan.16
3.1.3 Karbohidrat
Karbohidrat utama dalam ASI adalah laktosa. Di dalam usus halus laktosa akan dipecah
menjadi glukosa dan galaktosa oleh enzim laktase. Produksi enzim laktase pada usus halus
bayi kadang-kadang belum mencukupi, karenanya di dalam ASI terdapat enzim laktase untuk
memecah laktosa tersebut, sedamgkan pada susu formula laktosa dan polimer glukosa
merupakan karbohidrat utama yang digunakan pada formula berbahan protein susu sapi dan
protein hidrolisat. Kandungan karbohidrat minimum pada susu formula adalah 9 gr/100 kkal
dan maksimum adalah 14 gr/100 kkal. Penambahan karbohidrat tersebut maksimum 30%
dari total karbohidrat dan maksimum 2 g/100 ml.16
3.1.4 Vitamin
Kandungan vitamin di dalam susu formula yang harus ada adalah sebagai berikut
Tabel 1. Aturan kandungan vitamin susu formula 15,16
Vitamin Satuan Minimum Maksimum ABA
Vitamin A mcg re /100 kkal 60 180 -
Vitamin D3 mcg/100 kkal 1 2,5 -
Vitamin E mcg α-te /100 kkal 0,5 - 5
Vitamin K mcg/100 kkal 4 - 27
Tiamin mcg/100 kkal 60 - 300
Riboflavin mcg/100 kkal 80 - 500
Niasin mcg/100 kkal 300 - 1500
Piridoksin mcg/100 kkal 35 - 175
Vitamin B12 mcg/100 kkal 0,1 - 1,5
Asam Pentoneat mcg/100 kkal 400 - 2000
Asam Folat mcg/100 kkal 10 - 50
Vitamin C mcg/100 kkal 10 - 70
Biotin mcg/100 kkal 1,5 - 10
15
Sumber : Kemenkes RI
2) Formula berbahan dasar protein non susu sapi seperti formula berbasis soya
Formula ini menggunakan kedelai sebagai sumber protein untuk mengganti komponen
susu sapi. Susu formula soya juga bebas laktosa yang aman dipakai oleh bayi dan anak
yang memerlukan diet bebas laktosa. Soya menggunakan isolat protein kedelai sebagai
bahan dasar. Isolat protein kedelai tersebut memiliki kandungan protein tinggi yang setara
dengan susu sapi. Karbohidrat pada formula soya adalah maltodextrin, yaitu sejenis
karbohidrat yang dapat ditoleransi oleh sistem pencernaan bayi yang terluka saat
mengalami diare ataupun oleh sistem pencernaan bayi yang memang alergi terhadap susu
sapi.14
Pada penelitian yang dilakukan terhadap 170 bayi alergi susu sapi didapatkan susu
soya bisa diterima oleh sebagian besar bayi dengan alergi susu sapi baik IgE dan Non
IgE. Perkembangan IgE berkaitan dengan susu soya termasuk jarang. Namun, meskipun
tidak mengandung susu sapi, dapat terjadi reaksi silang antara protein susu sapi dengan
protein kedelai, sehingga 30-40% bayi alergi susu sapi dapat mengalami reaksi alergi
dengan penggunaan susu ini. 17,20,21
Susu formula bayi yang komposisinya tidak termasuk dalam formula standar disebut formula
khusus, adapun yang termasuk di dalam formula khusus adalah12
1) Susu formula bayi prematur
Air susu ibu merupakan nutrisi yang direkomendarikan pada bayi prematur karena efek
imunoprotektif, stimulasi maturitas fungsi gastrointestinal, dan factor bioaktif yang
berkontribusi untuk luaran neurodevelopmental (LoE 3). Namun ASI saja tidak selalu
memenuhi kecukupan nutrisi bayi prematur. Komposisi ASI dari ibu yang melahirkan bayi
prematur berbeda dari ibu yang melahirkan cukup bulan. Asi bayi prematur pada awalnya
mengandung lebih banyak protein, lemak, asam amino bebas dan natrium, tetapi beberapa
minggu kemudian kadar zat gizi tersebut menurun.18
Walaupun ASI prematur memiliki kandungan energi dan protein yang lebih tinggi, namun
tetap tidak dapat memenuhi kecukupan BBLSR yang sedang kejar tumbuh, terutama untuk
protein, fosfor dan kalsium. Oleh karena itu, pemberian human milk fortifier (HMF) perlu
dilakukan pada BBLSR yang mendapat ASI (LoE 3). Tujuan utama fortifikasi adalah
meningkatkan konsetrasi nutrien tertentu sehingga volume minum tidak terlalu besar. Zat gizi
kunci dalam HMF adalah protein dan dapat dibuat dari susu sapi atau ASI, serta dapat berupa
cair atau bubuk. Beberapa HMG menggunakan protein susu sapi terhidrolisis parsial
sedangkan lainnya protein utuh. Pemberian HMF meningkatkan secara signifikan pertambahan
berat badan, panjang badan dan lingkar kepala (Loe1).17,18
Terdapat beberapa jenis HMF dengan petunjuk penyiapan masing-masing. HMF yang
beredar di Indonesia adalah bentuk bubuk yang berasal dari susu sapi. Dalam menggunakan
HMF perlu diperhatikan petunjuk penyiapan dan perhitungan kalori. Satu saschet HMF yang
dilarutkan dalam 25 ml ASI menambah kalori sebanyak 4 kkal/oz sehingga kalori ASI+HMF
menjadi 24 kkal/oz, sedangkan bila satu sashet HMF dilarutkan di dalam 50 ml ASI akan
menambah kalori sebanyak 2 kkal/oz sehingga kalori ASI+HMF menjadi 22 kkal/oz. HMF
juga mengandung elektrolit, makromineral, mikromineral dan vitamin sehingga dapat
mencukupi kebutuhan bayi prematur yang lebih tinggi dari bayi cukup bulan. HMF
meningkatkan osmolalitas ASI sebanyak 36-95 Mosm/kgH2O.18
2) Formula Hipoalergenik
Alergi protein susu sapi terjadi karena proses alergi terhadap protein susu sapi yang
intak, proses ini dapat bermanifestasi dengan timbulnya gejala keluhan kulit, pernapasan,
dan gastrointestinal. Alergi protein susu sapi biasanya muncul karena ada riwayat atopi di
dalam keluarga. Non-IgE-mediated protein susu sapi dapat bermanifestasi sebagai
enteropati dan enterocolitis. Formula hipoalergenik adalah pilihan pengganti formula susu
sapi, dikatakan formula hipoalergenik apabila tidak menimbulkan reaksi alergi pada 90%
anak yang terbukti alergi susu sapi. Beberapa jenis susu formula alternatif yang tersedia
sebagai pengganti antara lain20,21
Penggunaan formula bayi harus dilakukan secara higieni dan sesuai standar yang ditetapkan,
meliputi26,27
16
a. perhatikan tanggal kadaluarsa
b. perhatikan keutuhan kemasan
c. cuci setiap bagian alat yang digunakan untuk penyiapan/penyajian susu formula bayi
d. rebus alat yang digunakan untuk penyiapan/penyajian susu formula bayi dengan air
mendidih.
Polyethylene terephthalate (PETE) biasa dipakai untuk botol plastik transparan seperti
botol air mineral, botol minuman, botol jus, botol minyak goreng, botol kecap, botol sambal, botol
obat, dan botol kosmetik dan hampir semua botol minuman lainnya. Untuk pertekstilan, PET
digunakan untuk bahan serat sintetis atau lebih dikenal dengan polyester.31,32
PETE/PET direkomendasikan hanya untuk sekali pakai. Penggunaan berulang kali
terutama pada kondisi panas akan menyebabkan melelehnya lapisan polimer dan keluarnya zat
karsinogenik SbO3 (Antimon Trioksida) dari bahan plastik tersebut, sehingga dapat menyebabkan
kanker untuk penggunaan jangka panjang.32
High density polyethylene (HDPE) memiliki sifat bahan yang lebih kuat, keras, buram dan
lebih tahan terhadap suhu tinggi. HDPE biasa dipakai untuk botol kosmestik, botol obat, botol
minuman, botol susu yang berwarna putih susu, tupperware, galon air minum, kursi lipat, dan
jerigen, pelumas, dan lain-lain. Walaupun demikian HDPE hanya direkomendasikan untuk sekali
pakai, karena pelepasan senyawa SbO3 (Antimon trioksida) terus meningkat seiring waktu. Bahan
HDPE bila ditekan tidak kembali ke bentuk semula.31,32
Polyvinyl chloride (PVC) adalah jenis plastik yang paling sulit didaur ulang. Jenis plastik
PVC ini bisa ditemukan pada plastik pembungkus (cling wrap), untuk mainan, selang, pipa
bangunan, taplak meja plastik, botol kecap, botol sambal dan botol sampo. PVC mengandung
DEHA yang berbahaya bagi kesehatan. Makanan yang dikemas dengan plastik berbahan ini dapat
terkontaminasi karena DEHA melebur/lumer pada suhu -150C. DEHA juga mudah melebur jika
terdapat kontak antara permukaan plastik dengan minyak.30,31
5. Polypropylene (PP)
Plastik jenis Polypropylene ini adalah pilihan bahan plastik terbaik, terutama untuk tempat
makanan dan minuman seperti tempat menyimpan makanan, tutup botol, cup plastik, mainan anak,
botol minum dan yang terpenting, pembuatan botol susu formula untuk bayi. Bahan yang terbuat
dari PP memiliki sifat yang elastis, yaitu apabila ditekan akan kembali ke bentuk semula.
Karakteristik plastik jenis ini transparan dan cenderung berawan (keruh). 30.31
6. Polystyrene (PS)
Polystyrene biasa dipakai sebagai bahan tempat makan styrofoam, tempat minum sekali
pakai seperti sendok, garpu gelas, dan lainlain. Polystyrene dapat mengeluarkan bahan styrene ke
dalam makanan ketika makanan tersebut bersentuhan. Bahan ini harus dihindari, karena berbahaya
untuk kesehatan, selain itu bahan ini sulit didaur ulang. Banyak negara bagian di Amerika sudah
melarang pemakaian tempat makanan berbahan styrofoam termasuk negara China. 30.31
7. Other
Untuk jenis plastik ini ada 4 jenis, yaitu: Styrene acrylonitrile (SAN), Acrylonitrile
butadiene styrene (ABS), Polycarbonate (PC), dan Nylon. SAN dan ABS memiliki resistensi yang
tinggi terhadap reaksi kimia dan suhu, kekuatan, kekakuan, dan tingkat kekerasan yang telah
ditingkatkan sehingga merupakan salah satu bahan plastik yang sangat baik untuk digunakan
dalam kemasan makanan ataupun minuman. Biasanya terdapat pada mangkuk mixer, pembungkus
termos, piring, alat makan, penyaring kopi, dan sikat gigi, sedangkan ABS biasanya digunakan
sebagai bahan mainan lego dan pipa.29-31
Polycarbonate dapat ditemukan pada botol susu bayi, botol minum polikarbonat, dan
kaleng kemasan makanan dan minuman, termasuk kaleng susu formula. Pada penggunaanya, PC
dapat melepaskan bahan utamanya yaitu Bisphenol-A ke dalam makanan dan minuman yang
berbahaya bagi kesehatan sehingga dianjurkan untuk tidak digunakan sebagai tempat makanan
ataupun minuman. Akan tetapi banyak botol susu yang terbuat dari PC dan sangat mungkin
mengalami proses pemanasan untuk tujuan sterilisasi dengan cara merebus, dipanaskan dengan
microwave, atau dituangi air mendidih atau air panas. BPA adalah bahan kimia industri dalam
pembuatan polikarbonat. Dengan kata lain plastik dengan simbol 7 menggandung BPA. Dan
plastik kode 3 juga dapat mengandung BPA sebagai antioksidan dalam plasticizer. Kode 1, 2, 4,
5, dan 6 tidak mengandung BPA walaupun masih dalam perdebatan penelitian terakhir
menyebutkan bahayanya Bisphenol-A.30,32
Paparan terbesar manusia harus BPA adalah melalui mulut dari sumber-sumber seperti
kemasan makanan, lapisan epoxy makanan logam dan kaleng minuman, dan botol plastik. Pada
tahun 2012, FDA melarang penggunaan BPA dalam botol bayi. Pada tahun 2015, The Endocrine
Society mengatakan bahwa hasil yang ada memberikan alasan tentang potensi bahaya.33,34
Namun berdasarkan jenis botol susu yang ada, penggunaan plastik jenis Polypropylene
atau denan kode no 5 adalah pilihan bahan plastik terbaik, terutama untuk tempat makanan dan
minuman seperti tempat menyimpan makanan, tutup botol, cup plastik, mainan anak, botol minum
dan yang terpenting dalam pembuatan botol susu formula untuk bayi. 31-34
BAB V
RINGKASAN
Air susu ibu (ASI) merupakan nutrisi terbaik untuk bayi karena mengandung zat bioaktif
yang baik untuk sistem pencernaan dan kekebalan tubuh. Undang-Undang Kesehatan No. 36 tahun
2009, pasal 128 yang menekankan hak bayi untuk mendapat ASI eksklusif kecuali atas indikasi
medis dan ancaman hukuman pidana bagi yang tidak mendukungnya, termasuk diantaranya para
petugas kesehatan.
Kondisi medis yang menjadi indikasi pemberian susu formula tersebut antara lain beberapa
kelainan metabolik bawaan dimana tubuh tidak memiliki enzim tertentu untuk mencerna salah satu
komponen nutrien dalam ASI ataupun susu hewan. Bayi tersebut memerlukan formula khusus
yang disesuaikan dengan kebutuhannya. Kondisi lain misalnya penyakit ibu yang dapat
menyebabkann penularan kepada bayinya melalui ASI. Kontraindikasi susu formula berhubungan
dengan klasifikasi susu formula itu sendiri. Beberapa jenis susu formula tidak direkomendasikan
untuk kasus-kasus tertentu terutama kasus alergi terhadap bahan dasar susu formula.
Aturan tentang pengiklanan dan promosi susu formula diatur di dalam peraturan
pemerintah nomor 33 tahun 2012 tentang pemberian ASI eksklusif , cara pelabelannya telah diatur
agar tidak bertentangan dengan program pemberian ASI. Aturan mengenai komposisi susu
formula diatur dalam peraturan kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia
Nomor Hk.00.05.1.52.3920 tentang pengawasan formula bayi dan formula bayi untuk keperluan
medis khusus. Peraturan ini mengacu pada Codex Alimentarius susu formula..
Berdasarkan kelompok usia, susu formula diklasifikasikan menjadi susu formula awal dan
susu formula lanjutan, berdasarkan sumber proteinnya, susu formula diklasifikasikan menjadi
formula berbahan dasar protein susu sapi dan non susu sapi. Susu formula bayi yang komposisinya
berbeda dengan formula standar disebut formula khusus, yang termasuk didalamnya yaitu formula
bayi prematur, formula hipoalergenik dan formula catch up growth.
Susu formula memiliki risiko kesehatan terkait kontaminasi dalam penggunaanya, risiko
tersebut dapat berasal dari kontaminasi patogen maupun kontaminasi bahan kimia. Kontaminasi
bahan kimia dikaitkan dengan penggunaan botol susu yang tidak memenuhi standar sehingga dapat
berisiko terhadap kesehatan bayi, oleh karena itu pemilihan botol susu formula juga harus
memenuhi standar yang ada. Berdasarkan jenis botol susu yang ada penggunaan plastik jenis
22
Polypropylene atau dengan kode no 5 adalah pilihan bahan plastik terbaik, terutama dalam
pembuatan botol susu formula untuk bayi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Lessen R., Kavanagh K. Position of the academy of nutrition and dietetics: Promoting and
supporting breastfeeding. J Acad Nutr Diet. 2015;115:444–9
2. Martin CR, Ling P-R, Blackburn GL. Review of infant feeding: Key features of breast milk
and infant formula. Nutrients. 2016; 8(5):279-85
3. Kemenkes RI. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tentang Kesehatan. 2009.
4. World Health Assembly. Infant and young child nutrition. Fifty-fifth. AA55/15, 2002.
5. Kozhimannil KB, Jou J, Attanasio LB, Joarnt LK, McGovern P. Medically complex
pregnancies and early breastfeeding behaviors: A retrospective analysis. PLoS ONE.
2014;9(8): 212-9
6. Kemenkes RI. Peraturan pemerintah Republik Indonesia nomor 33 tentang pemberian ASI
eksklusif. 2012.
7. Tewari A, Meyer R, Fisher H, Du Toit G. Soya Milk and Allergy: Indications and
Contraindications. Clin Immunol. 2006;19(3); 41-8.
8. Institute of Medicine (US) Committee on the Evaluation of the Addition of Ingredients New
to redmond. Infant Formula: Evaluating the Safety of New Ingredients. Washington (DC): Nat
Act Press (US); 2004. 3-9
9. Correa FF, Vieira MC, Yamamoto DR, Speridião PG, de Morais MB. Open challenge for the
diagnosis of cow’s milk protein allergy. J Pediatr (Rio J). 2010;86(2):163-6.
10. Vandenplas Y, Castrellon P G, Rivas R, Gutierrex C J, Garcia L D, Jimenez J E, Anzo A,
Hegar B, Alarcon P. Brit J Nut. 2013 1:21
11. Stevens E.E., Patrick T.E., Pickler R. A history of infant feeding. J Perinat Educ. 2009;18:32-
9.
12. O'Connor, Nina. Infant Formula. Am Fam Physician. 2009 Apr 1;79(7):565-70.
13. Vandenplas Y, Brueton M, Dupont C, et al. Guidelines for the diagnosis and management of
cow’s milk protein allergy in infants. Arc Child. 2007;92(10):902-8.
14. Bhatia J, Greer F, for the American Academy of Pediatrics Committee on Nutrition. Use of
soy protein-based formulas in infant feeding. Ped. 2008;121(5):1062-8.
15. Kemenkes RI. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 39 Tentang Susu
Formula Bayi Dan Produk Bayi Lainnya. 2013
16. BPOM. Peraturan kepala badan pengawas obat dan makanan Republik Indonesia nomor
HK.00.05.1.52.3920 Tentang pengawasan formula bayi dan formula bayi untuk keperluan
medis khusus. 2009.
17. ESPGHAN Committee on Nutrition. J Ped Gastroenterol Nutr. 2006;42:352-61
18. Appleton J, Laws R, Russell CG. Infant formula feeding practices and the role of advice and
support: an exploratory qualitative study. BMC Ped. 2018;18:12-9
19. World Health Organization. Safe preparation, storage and handling of powdered infant formula
Guidelines. World Health Organization in collaboration with Food and Agriculture
Organization of the United Nations. 2007.
20. Lifschitz C, Szajewska H. Cow’s milk allergy: evidence-based diagnosis and management for
the practitioner. Eur J Ped. 2015;174:141-50.
21. Brill H. Approach to milk protein allergy in infants. Cad Fam Physic. 2008;54(9):1258-64.
22. Gribble KD, Hausman BL. Milk sharing and formula feeding: Infant feeding risks in
comparative perspective. Aus Med J. 2012;5(5):275-83.
23. Forsythe SJ. Enterobacter sakazakii and other bacteria in powdered infant milk formula. Mat
Child Nutr. 2005;1(1):44–50.
24. Drudy D, Mullane NR, Quinn T, Wall PG, Fanning S. Enterobacter sakazakii: An emerging
pathogen in powdered infant formula. Clin Infect Dis. 2006;42(7):996-9.
25. Schier JG, Wolkin AF, Valentin-Blasini L, Belson MG, Kieszak SM, Rubin CS, Blount BC.
Perchlorate exposure from infant formula and comparisons with the perchlorate reference dose.
J Expo Sci Environ Epidemiol. 2010;20 (3):281-7.
26. Redmond EC, Griffith CJ. The importance of hygiene in the domestic kitchen: Implications
for preparation and storage of food and infant formula. Persp Pub Health. 2009;129 (2):69–76.
27. Herbold NH, Scott E. A pilot study describing infant formula preparation and feeding
practices. Int J Environ Health Res. 2008;18(6):451-9.
28. Wright CM, Waterston AJR. Relationships between paediatricians and infant formula milk
companies. Archives of Disease in Childhood. 2006;91(5):383-5.
29. Koletzko B, Shamir R. Standards for infant formula milk: Commercial interests may be the
strongest driver of what goes into formula milk. BMJ. 2006;332(7542):621-2.
30. Yang CZ, Yaniger SI, Jordan VC, Klein DJ, Bittner GD. Most Plastic Products Release
Estrogenic Chemicals: A Potential Health Problem That Can Be Solved. Environmental Health
Perspectives. 2011;119(7):989-96.
31. Bittner GD, Yang CZ, Stoner MA. Estrogenic chemicals often leach from BPA-free plastic
products that are replacements for BPA-containing polycarbonate products. Environmental
Health. 2014;13:41-9
32. Andrady AL, Neal MA. Applications and societal benefits of plastics. Philosophical
Transactions of the Royal Society B: Bio Sciences. 2009;364(1526):1977-84.
33. Gore AC, Chappell VA, Fenton SE, et al. Executive Summary to EDC-2: The Endocrine
Society’s Second Scientific Statement on Endocrine-Disrupting Chemicals. Endocrine
Reviews. 2015;36(6):593-602.
34. Giulivo M, Lopez de Alda M, Capri E, Barceló D. Human exposure to endocrine disrupting
compounds: Their role in reproductive systems, metabolic syndrome and breast cancer. A
review. Environ Res. 2016;151:251-64.