Anda di halaman 1dari 37

REFLEKSI KASUS

LIMFOMA MALIGNA NON-HODGKIN CAVUM NASI DEXTRA


Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Kepaniteraan Klinik dan Melengkapi Salah Satu Syarat
Menempuh Program Pendidikan Profesi Dokter
Bagian Ilmu Kesehatan THT-KL Rumah Sakit Umum Daerah R.A. Kartini

Disusun oleh :
Bima Satria Aji
30101507407

Pembimbing:
dr. Dian Indah S, Sp. THT-KL

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG
2019

1
REFLEKSI KASUS

LIMFOMA MALIGNA NON-HODGKIN


Disusun Untuk Memenuhi Tugas Kepaniteraan Klinik Dan Melengkapi Salah Satu Syarat
Menempuh Program Pendidikan Profesi Dokter
Bagian Ilmu Kesehatan THT-KL Rumah Sakit Umum Daerah R.A. Kartini
Oleh :
Bima Satria Aji
30101507407

Jepara, 09 Desember 2019


Mengetahui,
Pembimbing

dr. Dian Indah S, Sp. THT-KL

2
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang

Limfoma adalah sekumpulan keganasan primer pada kelenjar getah bening dan
jaringan limfoid. Berdasarkan tipe histologiknya, limfoma dapat dibagi menjadi dua
kelompok besar, yaitu Limfoma Non Hodgkin dan Hodgkin. Pada protokol ini hanya
akan dibatasi pada limfoma non -Hodgkin.
Limfoma Non Hodgkin (LNH) merupakan sekumpulan besar keganasan primer
kelenjar getah bening dan jaringan limfoid ekstra nodal, yang dapat berasal dari limfosit
B, limfosit T, dan sel NK. Saat ini terdapat 36 entitas penyakit yangdikategorikan sebagai
LNH dalam klasifikasi WHO.
LNH merupakan keadaan klinis yang kompleks dan bervariasi dalam hal
patobiologi maupun perjalanan penyakit. Insidennya berkisar 63.190 kasus pada tahun
2007 di AS dan merupakan penyebab kematian utama pada kanker pada pria usia 20-39
tahun . Di Indonesia, LNH bersama - sama dengan limfoma Hodgkin dan leukemia
menduduki urutan peringkat keganasan ke - 6.
Mengingat luasnya cakupan ilmu terkait dengan limfoma maligna non-hodgkin,
besarnya dampak kesehatan yang diakibatkan terutama bagi kelompok penduduk dewasa
usia produktif namun disertai keterbatasan data yang ada, maka perlu dipelajari lebih jauh
tentang limfoma maligna non-hodgkin. Tujuan laporan kasus ini dibuat adalah untuk
menguraikan tentang limfoma non-hodgkin.

1.2 Tujuan

Tujuan pembuatan laporan tentang limfoma maligna non-hodgkin untuk melaporkan


suatu kasus sehingga mengetahui gejala dan dapat mendiagnosa hingga mengelola penderita
dengan kasus serupa, sehingga diharapkan dapat memberikan masukan pengetahuan tentang
penyakit limfoma maligna non-hodgkin dari mulai anamnesa, pemeriksaan fisik,
penanganan post operatif khususnya untuk pelayanan primer

3
1.3 Manfaat

Laporan kasus ini diharapkan dapat membantu mahasiswa dalam mempelajari


menegakan diagnosis, tatalaksana serta komplikasi dari Limfoma Maligna Non-Hodgkin.

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Hidung dan Sinus Paranasal

Bentuk hidung luar seperti piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah : 1)
pangkal hidung (bridge), 2) batang hidung (dorsum nasi), 3) puncak hidung (hip), 4) ala nasi,
5) kolumela, dan 6) lubang hidung (nares anterior).

Dorsum nasi Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang
dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau
menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari: 1) tulang hidung (os nasal), 2)
prosesus frontalis os maksila dan 3) prosesus nasalis os frontal ; sedangkan kerangka tulang
rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak di bagian bawah hidung, yaitu
1) sepasang kartilago nasalis lateralis superior, 2) sepasang kartilago nasalis lateralis inferior
yang disebut juga sebagai kartilago ala mayor dan 3) tepi anterior kartilago septum.(2)

5
Bagian hidung dalam terdiri atas struktur yang membentang dari nares anterior di
sebelah anterior hingga koana di posterior yang memisahkan rongga hidung dari nasofaring.
Kavum nasi dibagi oleh septum, dinding lateral terdapat konka suprema (rudimenter), konka
superior, konka media, dan konka inferior. Celah antara konka inferior dengan dasar hidung
dinamakan meatus inferior, berikutnya celah antara konka media dan inferior disebut meatus
media dan sebelah atas konka media disebut meatus superior.(2)

1. Septum Nasi

Septum membagi kavum nasi menjadi dua ruang kanan dan kiri. Bagian posterior
dibentuk oleh lamina perpendikularis os etmoid dan vomer, bagian anterior oleh kartilago
septum (kuadrilateral), premaksila dan kolumela membranosa; bagian posterior dan
inferior oleh os vomer, krista maksila, krista palatine serta krista sfenoid.(2)

6
2. Kavum Nasi

Kavum nasi terdiri dari : (2)

 Dasar hidung
Dibentuk oleh prosesus palatine os maksila dan prosesus horizontal os palatum.

 Atap hidung
Terdiri dari kartilago lateralis superior dan inferior, os nasal, prosesus frontalis os
maksila, korpus os etmoid, dan korpus os sphenoid. Sebagian besar atap hidung
dibentuk oleh lamina kribrosa yang dilalui oleh filament-filamen n.olfaktorius
yang berasal dari permukaan bawah bulbus olfaktorius berjalan menuju bagian
teratas septum nasi dan permukaan kranial konka superior.

 Dinding Lateral
Dinding lateral dibentuk oleh permukaan dalam prosesus frontalis os maksila, os
lakrimalis, konka superior dan konka media yang merupakan bagian dari os
etmoid, konka inferior, lamina perpendikularis os platinum dan lamina
pterigoideus medial.

 Konka
Fosa nasalis dibagi menjadi tiga meatus oleh tiga buah konka; celah antara konka
inferior dengan dasar hidung disebut meatus inferior; celah antara konka media
dan inferior disebut meatus media, dan di sebelah atas konka media disebut meatus
superior. Kadang-kadang didapatkan konka keempat (konka suprema) yang teratas.
Konka suprema, konka superior, dan konka media berasal dari masa lateralis os
etmoid, sedangkan konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada
maksila bagian superior dan palatum.

3. Meatus superior
7
Meatus superior atau fisura etmoid merupakan suatu celah yang sempit antara
septum dan massa lateral os etmoid di atas konka media. Kelompok sel-sel etmoid
posterior bermuara di sentral meatus superior melalui satu atau beberapa ostium yang
besarnya bervariasi. Di atas belakang konka superior dan di depan korpus os sfenoid
terdapat resesus sfeno-etmoidal, tempat bermuaranya sinus sfenoid.(2)

4. Meatus media

Merupakan salah satu celah yang penting yang merupakan celah yang lebih luas
dibandingkan dengan meatus superior. Di sini terdapat muara sinus maksila, sinus frontal
dan bagian anterior sinus etmoid. Di balik bagian anterior konka media yang letaknya
menggantung, pada dinding lateral terdapat celah yang berbentuk bulan sabit yang
dikenal sebagai infundibulum. Ada suatu muara atau fisura yang berbentuk bulan sabit
yang menghubungkan meatus medius dengan infundibulum yang dinamakan hiatus
semilunaris. Dinding inferior dan medial infundibulum membentuk tonjolan yang
berbentuk seperti laci dan dikenal sebagai prosesus unsinatus. Di atas infundibulum ada
penonjolan hemisfer yaitu bula etmoid yang dibentuk oleh salah satu sel etmoid. Ostium
sinus frontal, antrum maksila, dan sel-sel etmoid anterior biasanya bermuara di
infundibulum. Sinus frontal dan sel-sel etmoid anterior biasanya bermuara di bagian
anterior atas, dan sinus maksila bermuara di posterior muara sinus frontal. Adakalanya
sel-sel etmoid dan kadang-kadang duktus nasofrontal mempunyai ostium tersendiri di
depan infundibulum.(2)

5. Meatus Inferior

8
Meatus inferior adalah yang terbesar di antara ketiga meatus, mempunyai muara
duktus nasolakrimalis yang terdapat kira-kira antara 3 sampai 3,5 cm di belakang batas
posterior nostril.(2)

6. Nares
Nares posterior atau koana adalah pertemuan antara kavum nasi dengan
nasofaring, berbentuk oval dan terdapat di sebelah kanan dan kiri septum.(2)

7. Kompleks ostiomeatal (KOM)


Kompleks ostiomeatal (KOM) adalah celah pada dinding lateral hidung yang
dibatasi oleh konka media dan lamina papirasea. Struktur anatomi penting yang
membentuk KOM adalah processus unsinatus, infundibulum etmoidalis, hiatus
semilunaris, bula etmoid, orificium, resessus frontalis, dan ager nasi.

KOM merupakan unit fungsional yang merupakan tempat ventilasi dan drainase
dari sinus-sinus maksilaris, etmoidalis anterior, dan frontalis. Jika terjadi obstruksi pada
celah sempit ini maka akan terJdi perubahan patologis yg signifikan pada sinus terkait

9
Vaskularisasi Rongga Hidung

Pada bagian anterior septum, terdapat anastomosis dari a. sphenopalatine, a. palatina


mayor dan a. labialis superior dan a. etmoidalis anterior yang membentuk pleksus kiesselbach
atau little area. Pleksus ini terletak superficial sehingga menjadi sumber perdarahan tersering
pada epistaksis anterior

Pada bagian posterior, terdapat pleksus woodruff yang dibentuk oleh anastomosis dari a.
sfenopalatina, a.nasalis posterior dan a. faringeal ascendens

10
Persarafan Rongga Hidung

Rongga hidung bagian depan dan atas mendapat persarafan sensoris dari nervus
nasalis anterior cabang dari nervus ethmoidalis anterior. Rongga hidung bagian lainnya
mendapat persarafan sensoris dari nervus maxilla. Persarafan parasimpatis rongga hidung
berasal dari nervus nasalis posterior inferior & superior cabang dari ganglion sphenopalatina.
Persarafan simpatis berasal dari ganglion cervical superior. Efek persarafan parasimpatis
pada cavum nasi yaitu sekresi mukus dan vasodilatasi. Dalam rongga hidung, terdapat serabut
saraf pembau yang dilengkapi sel-sel pembau. Setiap sel pembau memiliki rambut-rambut
halus (silia olfaktoria) di ujungnya dan selaput lendir meliputinya untuk melembabkan rongga
hidung.(3)

11
SINUS PARANASAL

Secara embriologi sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa rongga hidung dimulai
usia 3-4 bulan usia fetus kecuali sinus sfenoid dan sinus frontal. Sinus merupakan hasil
pneumatisasi tulang-tulang kepala sehingga terbentuk rongga di dalam tulang. Muara sinus ke
rongga hidung.

1. Sinus Maksila

Sinus yan paling besar dan sudah ada sejak lahir berukuran 6-8 cm. Muara ostiumnya di
hiatus semilunaris melalui infundibulum etmoid. Dinding inferiornya adalah prosessus
alveolaris dan palatum, dari segi klinik berdekatan dengan akar gigi m1 m2 dan kadang
c1 dan m3 bahkan akar dari gigi menonjol ke arah ruangan sinus sehingga mudah
terinfeksi akibat gigi geligi. Ostium sinus maksilaris lebih tinggi dari dasar sinus
sehingga drainase total diperankan oleh gerakan silia dan harus melalui infundibulum
apabila terdapat radang mukosa hidung akan menghalangi drainasenya.

12
2. Sinus Frontalis

Sinus frontalis mulai berkembang dari sinus etmoid anterior pada usia 8 tahun dan
mencapai ukuran maksimal usia 20 tahun. Sinus frontal dipisahkan oleh tulang yang
relatif tipis dari orbita dan fosa serebri anterior sehingga infeksi dapat menjalar ke bagian
ini. Drainase melalui resessus frontal melalui infundibulum etmoid.

3. Sinus etmoidalis

Sinus etmoid merupakan sinus yang terpenting karena merupakan fokus infeksi pada
sinus-sinus lainnya. Anatomis etmoid berbentuk berongga rongga seperti sarang tawon.
Sel sel etmoid anterior lebih kecil ukurannya daripada etmoid posterior. Sel yang terbesar
di etmoid anterior disebut bula etmoid. Terdapat penyempitan pada daerah etmoid
anterior yang disebut infundibulum etmoid tempat bermuaranya tiga sinus yaitu sinus
etmoid anterior, sinus maksila dan sinus frontal. Atap sinus etmoid adakah fovea
etmoidalis berbatasan dengan lamina cribosa. Dinding lateral sinus adalah lamina
papiresea yang sangat tipis berbatasan dengan rongga orbita.

4. Sinus sfenoid

Terletak didalam os sfenoid di belakang sinus etmoid posterior. Sinus sfenoid jarang
mengalami peradangan kecuali pada kasus pan sinusitis. Muaranya di meatus nasi
superior bersama sinus etmoid posterior.

2) HISTOLOGI FISIOLOGI HIDUNG & SINUS PARANASAL

Secara histologi mukosa hidung dibagi menjadi mukosa pernapasan dan mukosa
olfaktori. Mukosa pernapasan terdapat pada sebagian besar rongga hidung dan
permukaannya dilapisi oleh epitel kolumner pseudokompleks bersilia dan ber sel goblet.
Mukosa respiratorik terletak pada konka superior atau sepertiga superior septum dan
permukaannya dilapisi oleh epitel kolumner pseudokompleks tidak bersilia. Normalnya
mukosa respiratorik berwarna merah muda karena dilapisi oleh palut lendir pada
permukaannya. Pada mukosa hidung terdapat pembuluh darah yang susunannya khas dan
menyerupai kavernosa yang bersifat erektil sehingga dapat dipengaruhi oleh sistem otonom.
13
Fisiologis hidung dan sinus paranasal adalah: 1) sebagai jalan nafas; 2) pengatur kondisi
udara (air conditioning); 3) sebagai proteksi; 4) indra penghidu; 5) resonansi suara; 6) proses
bicara; 7) refleks nasal.(4)

1. Sebagai jalan nafas

Pada inspirasi, udara masuk melalui nares anterior, lalu naik ke atas setinggi
konka media dan kemudian turun ke bawah ke arah nasofaring, sehingga aliran udara ini
berbentuk lengkungan atau arkus. Pada ekspirasi, udara masuk melalui koana dan
kemudian ekspirasi mengikuti jalan yang sama seperti udara inspirasi. (4)

2. Pengatur kondisi udara (air conditioning)

Fungsi hidung sebagai pengatur kondisi udara perlu untuk mempersiapkan udara
yang akan masuk ke dalam alveolus. Fungsi ini dilakukan dengan cara : (4)

a. Mengatur kelembaban udara. Fungsi ini dilakukan oleh palut lendir. Pada musim
panas, udara hampir jenuh oleh uap air, penguapan dari lapisan ini sedikit,
sedangkan pada musim dingin akan terjadi sebaliknya.

b. Mengatur suhu. Fungsi ini dimungkinkan karena banyaknya pembuluh darah di


bawah epitel dan adanya permukaan konka dan septum yang luas, sehingga
radiasi dapat berlangsung secara optimal. Dengan demikian suhu udara setelah
melalui hidung kurang lebih 37o C.

3. Transport mukosilier sebagai fungsi proteksi

Fungsi ini berguna untuk membersihkan udara inspirasi dari debu dan bakteri dan
dilakukan oleh : (4)

 Rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi


 Silia akan bergerak ke belakang kearah nasofaring dan tertelan. Pada dinding
lateral terdapar dua rute besar transport mukosilier yaitu rute pertama gabungan
sekresi sinus frontal, maksila, dan etmoidalis anterior bergabung di dekat
infundibulum etmoidalis selanjutnya ke tepi bebas proc unsinatus. Rute kedua
gabungan sekresi sinus etmoidalis posterior dan sphenoid bertemu di resesus
sfenoetmoid. Kedua rute bergabung yaitu pada inferior dari tuba eustachius.
14
 Palut lendir (mucous blanket). Debu dan bakteri akan melekat pada palut lendir
dan partikel – partikel yang besar akan dikeluarkan dengan refleks bersin. Palut
lendir ini akan dialirkan ke nasofaring oleh gerakan silia.
Palut lendir terdiri dari cairan serous dan mucus pada permukaannya. Pada serous
terdapat laktoferin, lisozim, inhibitor proteinase sekretorik, dan Ig A. Sedangkan
pada mucus terdapat protein plasma berisi glikoprotein, IgG, IgM dan
komplemen.

4. Indra penghidu
Hidung juga bekerja sebagai indra penghidu dengan adanya mukosa olfaktorius
pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas septum. Partikel bau
dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut lendir atau bila menarik nafas
dengan kuat. (4)

5. Resonansi suara

Penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan menyanyi. Sumbatan hidung
akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang, sehingga terdengar suara sengau.(4).

6. Proses bicara

Membantu proses pembentukan kata dengan konsonan nasal (m,n,ng) dimana


rongga mulut tertutup dan rongga hidung terbuka, palatum molle turun untuk aliran
udara.(4)

7. Refleks nasal

Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan saluran


cerna, kardiovaskuler dan pernafasan. Contoh : iritasi mukosa hidung menyebabkan
refleks bersin dan nafas terhenti. Rangsang bau tertentu menyebabkan sekresi kelenjar
liur, lambung dan pankreas.(4)

Di bagian atap dan lateral dari rongga hidung terdapat sinus yang terdiri atas sinus
maksila, etmoid, frontalis dan sphenoid. Sinus maksilaris merupakan sinus paranasal
terbesar di antara lainnya, yang berbentuk piramid yang irregular dengan dasarnya

15
menghadap ke fossa nasalis dan puncaknya menghadap ke arah apeks prosesus
zygomatikus os maksilla. Sinus paranasal adalah rongga-rongga di dalam tulang kepala
yang berisi udara yang berkembang dari dasar tengkorak hingga bagian prosesus
alveolaris dan bagian lateralnya berasal dari rongga hidung hingga bagian inferomedial
dari orbita dan zygomatikus. Sinus-sinus tersebut terbentuk oleh pseudostratified
columnar epithelium yang berhubungan melalui ostium dengan lapisan epitel dari rongga
hidung. Sel-sel epitelnya berisi sejumlah mukus yang menghasilkan sel-sel goblet.(2)

SISTEM LIMFATIK TUBUH

16
Sistem limfatik adalah sistem saluran limfe yang meliputi seluruh tubuh yang dapat
mengalirkan isinya ke jaringan dan kembali sebagai transudat ke sirkulasi darah. Sistem limfatik
terdiri dari pembuluh limfe, organ dan jaringan limfoid.8
Nodus dan nodulus limfoid adalah massa dari jaringan limfatik; mempunyai ukuran dan
lokasi bervariasi. Nodus biasanya lebih besar, panjangnya nodus berkisar 10 - 20 mm dan
mempunyai kapsul; sedangkan nodulus panjangnya antara sepersekian milimeter sampai
beberapa milimeter dan tidak mempunyai kapsul.
Organ limfoid berupa kumpulan nodulus kecil yang mengandung banyak limfosit
merupakan tempat awal terjadinya respon imun spesifik terhadap antigen protein yang dibawa
melalui sistem limfatik.8
Organ limfoid terdiri atas:
1. Organ limfoid primer
Organ limfoid primer atau sentral yaitu kelenjar timus dan bursa fabricius atau
sejenisnya seperti sumsum tulang, diperlukan untuk pematangan diferensiasi dan
proliferasi sel T dan sel B sehingga menjadi limfosit yang dapat mengenal antigen.
2. Organ limfoid sekunder
Organ limfoid sekunder utama adalah sistem imun kulit ( Skin Associated
Lymphoid Tissue/SALT), Mucosal Associated Lymphoid Tissue / MALT), Gut
Associated Lymphoid Tissue/ GALT), kelenjar limfe dan lien. Organ limfoid
sekunder mempunyai fungsi untuk menangkap dan mengumpulkan antigen yang

17
efektif, proliferasi dan diferensiasi limfosit yang disensitisasi oleh antigen spesifik
dan merupakan tempat utama produksi antibodi.8
Jaringan limfoid mukosa yang terorganisasi terdiri atas plak Peyer ( Peyer’s patch) di
usus kecil, tonsil faring dan folikel limfoid yang terisolasi.

Fungsi Sistem Limfatik


Fungsi sistim limfatik antara lain membantu mempertahankan keseimbangan cairan pada
jaringan; menyerap lemak dari saluran cerna; sebagai bagian dari sistem pertahanan tubuh
terhadap penyakit, dimana mengandung limfosit, sel epitel dan stroma yang tersusun dalam
organ dengan kapsul atau berupa kumpulan jaringan limfoid yang difus.8
Sistim vassa limfatika berawal di kapiler limfe yang terdapat pada sebagian besar ruang
jaringan. Kapiler limf sangat permeabel dan mengumpulkan cairan jaringan dan protein.Kapiler
limf menyatu membentuk vassa limfatika yang lebih besar dengan susunan menyerupai vena.
Pada vassa limfatika tidak terdapat pompa (sebagaimana pompa untuk darah adalah jantung),
namun limf tetap mengalir dalam vassa limfatika dengan mekanisme yang sama, yang
mempercepat aliran balik vena. Limf mengalir kembali dalam darah untuk kembali menjadi
plasma.8

LIMFOMA NON-HODGKINS

Limfoma adalah sekumpulan keganasan primer pada kelenjar getah bening dan
jaringan limfoid. Berdasarkan tipe histologiknya, limfoma dapat dibagi menjadi dua

18
kelompok besar, yaitu Limfoma Non Hodgkin dan Hodgkin. Pada protokol ini hanya
akan dibatasi pada limfoma non -Hodgkin.7
Limfoma Non Hodgkin (LNH) merupakan sekumpulan besar keganasan primer
kelenjar getah bening dan jaringan limfoid ekstra nodal, yang dapat berasal dari limfosit
B, limfosit T, dan sel NK. Saat ini terdapat 36 entitas penyakit yangdikategorikan sebagai
LNH dalam klasifikasi WHO.7

Etiologi :
Etiologi pasti terjadinya keganasan LNH pada manusia masih belum jelas. Penelitian
selama ini banyak dilakukan terhadap hewan menunjukkan keterlibatan virus yang dikenal
sebagai virus onkogenik. Faktor lain yang diduga berperan pada terjadinya limfoma antara lain:
mutasi, faktor lingkungan dan imunodefisiensi.8

Manifestasi Klinis :
Gejala yang sering ditemukan pada penderita limfoma pada umumnya non - spesifik,
diantaranya7:
 Penurunan berat badan >10% dalam 6 bulan 
 Demam 38 derajat C >1 minggu tanpa sebab yang jelas
 Keringat malam banyak
 Cepat lelah
 Penurunan nafsu makan
 Pembesaran kelenjar getah bening yang terlibat
 Dapat pula ditemukan adanya benjolan yang tidak nyeri di leher, ketiak atau
pangkal paha (terutama bila berukuran di atas 2 cm); atau sesak napas akibat
pembesaran kelenjar getah bening mediastinum maupun splenomegali.

Pemeriksaan fisik:
 Pembesaran KGB
 Kelainan/pembesaran organ (hati/limpa)
 Performance status: ECOG atau WHO/Karnofsky

19
Pemeriksaan penunjang:
A. Biopsi eksisional atau core biopsy
1. Biopsi KGB dilakukan cukup pada 1 kelenjar yang paling representa tif, superfisial, dan
perifer. Jika terdapat kelenjarsuperfisial/perifer yang paling representatif, maka tidak
perlu biopsi intraabdominal atau intratorakal. Kelenjar
getah bening yang disarankan adalah dari leher dan supraclavicular, pilihan kedua adalah
aksila dan pilihan terakhir adalah inguinal.Spesimen kelenjar diperiksa7:
a. Rutin
Histopatologi: sesuai klasifikasi WHO terbaru
b. Khusus
Immunohistokimia
Molekuler (hibridisasi insitu) EBV
2. Diagnosis awal harus ditegakkan berdasarkan histopatologi dan tidak cukup hanya
dengan sitologi. Pada kondisi tertentu dimana KGB sulit dibiopsi, maka kombinasi core
biopsy FNAB bersama - sama dengan teknik lain (IHK, Flowcytometri `dan lain - lain)
mungkin dapat mencukupi untuk diagnosis7.
B. Laboratorium
1. Rutin
Hematologi:
 Darah Perifer Lengkap (DPL) : Hb, Ht,
leukosit,trombosit, LED, hitung jenis
 Gambaran Darah Tepi (GDT) : morfologi sel darah
 Analisis urin : urin lengkap
Kimia klinik:
 SGOT, SGPT, Bilirubin (total/direk/indirek), LDH,
protein total, albumin - globulin
 Alkali fosfatase, asam urat, ureum, kreatinin
 Gula darah sewaktu
 Elektrolit: Na, K, Cl, Ca, P
 HIV, TBC, Hepatitis C (anti HCV, HBsAg)
Khusus:
20
 Gamma GT
 Serum Protein Elektroforesis (SPE)
 Imunoelektroforesa (IEP)
 Tes Coomb
 B2 mikroglobulin

KLASIFIKASI STADIUM
Penetapan stadium penyakit harus dilakukan sebelum pengobatan dan setiap lokasi
jangkitan harus didata dengan cermat baik jumlah dan ukurannya serta digambar secara
skematis.Hal ini penting dalam menilai hasil pengobatan.Disepakati menggunakan sistem
staging menurut Ann –Arborr7.

BAB III
LAPORAN KASUS

1. Identitas Pasien

Nama : Tn. S

Umur : 70 th
21
Jenis kelamin : Laki - Laki

Alamat : Keling 2/2 Keling Jepara

Agama : Islam

No. CM : 000715853

Ruang : Cempaka

Tanggal Masuk : 30/11/2019

Tanggal Keluar : 07/12/2019

2. Anamnesis

Autoanamnesis dilakukan pada pasien, pada tanggal 30 November 2019 pukul 22.40 WIB di
IGD RSUD R.A. Kartini Jepara.

a. Keluhan utama
Muntah darah

b. Riwayat penyakit sekarang


Laki - Laki usia 70 tahun datang IGD RSUD KARTINI Jepara pada tanggal 30
November 2019 dengan keluhan muntah darah sejak tadi sore, awalnya mimisan
terlebih dahulu lalu darah tersebut tertelan sehingga dimuntahkan. Keluhan disertai
hidung tersumbat dan nyeri di tulang kepala terutama dibagian pipi kanan. Keluhan hidung
tersumbat sudah 3 bulan yang lalu. Saat ini batuk (-), pilek (+). Riwayat pasien rhinitis
alergi (-) , asma (-).

c. Riwayat Penyakit Dahulu


 Riwayat keluhan serupa : disangkal

 Riwayat hipertensi : disangkal

 Riwayat penyakit paru : diakui (pleuro pneumonia dextra)

 Riwayat ISPA : disangkal

22
 Riwayat DM : disangkal

 Riwayat trauma kepala : disangkal

 Riwayat alergi : disangkal

 Riwayat sakit gigi : disangkal

 Riwayat operasi sebelumnya : disangkal

d. Riwayat Keluarga
 Riwayat keluhan serupa : disangkal

 Riwayat ISPA : disangkal

 Riwayat alergi : disangkal

 Riwayat hipertensi : disangkal

 Riwayat DM : disangkal

 Riwayat asma : disangkal

e. Riwayat Sosial Ekonomi


 Pasien sudah tidak bekerja
 Biaya pengobatan pasien menggunakan BPJS
 Kesan ekonomi: cukup

PEMERIKSAAN FISIK (OBJECTIVE)


A. STATUS GENERALIS
Keadaan umum : Tampak Kesakitan

Kesadaran : Compos mentis

23
Status gizi : Normal

Tekanan darah : 130/80 mmHg

Nadi : 90 x/menit

Napas : 20 x/menit

Suhu : 36,6 0C

TB : 165 cm

Bb : 77 kg

B. STATUS LOKALIS THT (TELINGA, HIDUNG, TENGGOROKAN)


Kepala dan Leher
• Kepala : Normocephale
• Wajah : Simetris
• Leher : Tidak ada pembesaran KGB

Pemeriksaan Telinga
Bagian Auricula Dexter Sinister
Auricula Bentuk normal Bentuk normal
Nyeri tragus (-) Nyeri tragus (-)
Hiperemis (-) Hiperemis (-)
Pre auricular Bengkak (-) Bengkak (-)
Nyeri tekan (-) Nyeri tekan (-)
Fistula (-) Fistula (-)
Hiperemis (-) Hiperemis (-)
Retro auricular Bengkak (-) Bengkak (-)
Nyeri tekan (-) Nyeri tekan (-)

24
Fistula (-) Fistula (-)
Hiperemis (-) Hiperemis (-)
Mastoid Bengkak (-) Bengkak (-)
Nyeri tekan (-) Nyeri tekan (-)
Fistula (-) Fistula (-)
Hiperemis (-) Hiperemis (-)
CAE Serumen (-) Serumen (-)
Hiperemis (-) Hiperemis (-)
Sekret (-) Sekret (-)
Corpus alienum (-) Corpus alienum (-)
Membran Intak Intak
timpani Putih mengkilat Putih mengkilat
Refleks cahaya (+) Refleks cahaya (+)
Retraksi (-) Retraksi (-)
Bulging (-) Bulging (-)

Pemeriksaan Hidung
Bagian Hidung Luar
Dextra Sinistra
Deformitas - -
Kelainan Kongenital - -
Trauma - -
Tanda Peradangan - -
Massa - -
Rhinoskopi anterior
Vestibulum nasi Normal Normal
cavum nasi Blood Clothing -
Sekret - -
Mukosa Hiperemis Tidak bisa dinilai
Benda asing - -
Perdarahan + (Blood clothing) -
Palatal phenomen - -
Konka nasi media Tidak bisa dinilai Sulit dinilai
Konka nasi inferior. Tidak bisa dinilai Normal
Septum Tidak bisa dinilai Normal
25
Transluminasi Tidak dilakukan
Massa Tidak bisa dinilai -

Rhinoskopi posterior : Tidak dilakukan

Diafanoskopi : Tidak dilakukan

Pemeriksaan Sinus Paranasal

LOKASI DEKSTRA/SINISTRA
Sinus Frontalis Nyeri tekan (-)

Nyeri ketuk (-)


Sinus Maksilaris Nyeri tekan (+)/(-)

Nyeri ketuk (+)/(-)


Sinus Ethmoidalis Nyeri tekan (-)

Nyeri ketuk (-)

Pemeriksaan Tenggorokan

Trismus Tidak ada

Bibir Mukosa bibir basah, berwarna merah

Mukosa buccal dan Mukosa mulut basah berwarna merah muda, tidak ada massa,
ginggiva stomatitis(-), ulkus (-), gingiva bengkak (-)

Gigi geligi Karies (+), Gangren (-),

Lidah Ulkus(-), beslag(-) bentuk, ukuran, pergerakan dalam batas


26
normal

Uvula Bentuk normal, hiperemi (-), posisi ditengah, edema(-)

Palatum Simetris, Ulkus (-), bercak hiperemi (-),


mole+arkus
phalatofaring

Dinding Posterior Mukosa hiperemis (+), dinding rata, granular (-)


Faring

Tonsila palatine Kanan Kiri

Ukuran T1 T1

Warna Hiperemis (-) Hiperemis (-)

Permukaan Licin Licin

Kripte Tidak melebar Tidak melebar

Detritus - -

Peri Tonsil - -

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium Klink Haematologi
Nilai Normal
Pemeriksaan Hasil Satuan

Hemoglobin 15,5 gr% 14-18


Leukosit 9230 mm 3 4000-10000
Trombosit 200.000 mm 3 150.000-400.000
Hematokrit 43,7 % 40-48
CT 3’55” menit 2-6
BT 1’40” menit 1-3

Pemeriksaan Laboratorium Klink Kimia Darah


Nilai Normal
Pemeriksaan Hasil Satuan
Laki Laki
GDS 110 mg% 80-150
Ureum 33,3 mg% 10-50
Creatinin 1,00 mg/dl 0.6-1.1
Natrium 139 mmol/L 135-155
27
Chlorida 110,0* Mmol/L 3.5-5.5
Calsium 9,1 Mmol/L 95-105
Magnesium 2,28 Mg% 8.1-10.4
Kalium I Potasium 3,72 mmol/L 3.5 – 5.5
HBSAG (-) Negatif

Kesan Lab :
X foto SPN

Kesan : Tampak Kesuraman pada sinus maksilaris dextra, adanya destruksi tidak
dapat di interpretasi.

RESUME
Pemeriksaan Subjektif

 Keluhan utama : Muntah darah

 RPS

 Mimisan sejak tadi sore sehingga muntah darah

 Hidung tersumbat sudah sejak 3 bulan yang lalu

 Nyeri pada tulang wajah khususnya pipi kanan

28
 RPD : Pleuro Pnemonia Dextra

Pemeriksaan Objektif

 Pemeriksaan rinoskopi anterior :


Terdapat Massa pada cavum nasi dextra

 Pemeriksaan telinga luar dan dalam : Dalam Batas Normal

 Pemeriksaan Tenggorokan : Dalam Batas Normal

 Pemeriksaan Sinus : terdapat nyeri tekan dan ketuk pada sinus maxilaris dextra
 PEMERIKSAAN PENUNJANG
 Laboratorium: Darah rutin
 Biopsi PA
 Durante op : polip ++ pada sinus maxilarris dextra dan cairan pada sinus maxillaris

DIAGNOSIS BANDING

 Tumor nasal dextra

 Tumor nasofaring

DIAGNOSIS
Limfoma Maligna Non-Hodgkins Nasal Dextra

PENATALAKSANAAN
1) Non medikamentosa
 Bed rest

2) Operatif :Extirpasi Tumor & CWL

29
3) Post Operatif ( 1 hari pasca operasi) :

 Posisi pasien tidur 300

 Kompres ice di pipi sebelah kanan

 Rencana aff tampon CWL hari Rabu, 4 Desember 2019 di poli THT

 Rencana aff tampon hidung hari Jumat, 6 Desember 2019 di poli THT

 Infus Rl 20 tpm

30
 Inj. Futrolite 1 flash/ 24 jam iv drip

 Inj. Cefotaxime 1 gr/ 12jam iv

 Inj. Kalnex 500 mg/ 8 jam iv

 Inj. Ketorolac 30mg/ 12 jam iv

 Inj. Dexametason 1 amp/ 8 jam iv

 Diet lunak 3x

PROGNOSIS
Ad vitam: dubia ad malam

Ad functionam: dubia ad bonam

Ad sanationam: dubia ad bonam

FOLLOW UP
Tanggal Keadaan Klinis Progam / Terapi
2/12/2019 S: Hidung nyeri kanan Infus Rl 20 tpm
O: perdarahan (+), massa nasal (+) Inj. Cefotaxim 2 x 1 gr
kanan Inj. Kalnex 3 x 500 mg
A : tumor nasal dextra Inj Dexamethason 3 x 3 amp
P: Rencana Extirpasi Tumor Nasal Inj. Vit K 1 x 1 amp
Selasa 3/12/2019 jam 08.00 WIB

31
Tunggu hasil foto SPN, Puasa 6 jam
preop

3/12/2019 S: Pasien mengeluh nyeri hidung post Pasang tampon hidung 1x24
operasi jam
O: KU lemah, awasi TTV
 Inf. RL 20 tpm
A: Nyeri post op extirpasi tumor
P: Monitor KU, TTV tanda Inj. Futrolite 1 flash/24 jam
perdarahan, terpasang tampon
 Inj. Cefotaxim 1 gr/ 12 jam iv
1x24jam, aff tampon CWL Rabu
pagi.  Inj. Kalnex 500mg/12 jam iv

 Inj. Ketorolac 30 mg/12 jam iv

 Inj. Dexamethason 1 amp/8jam


iv

4/12/2019 S:nyeri post op  Infus RL 20 tpm


O: terpsang tampon hidung, post
 Inj. Futrolite 1 flash/24 jam
nasal bleeding (-)
A: post extirpasi tumor nasal hari I  Inj. Cefotaxim 1 gr/ 12 jam iv
P: aff tampon CWL, aff tampon
 Inj. Kalnex 500mg/12 jam iv
hidung tgl 6 Desember 2019.
 Inj. Ketorolac 30 mg/12 jam iv

 Inj. Dexamethason 1 amp/8jam


iv

5/12/2019 S : nyeri hidung kanan  Infus RL 20 tpm


O : terpasang tampon hidung kanan,
post nasal bleeding (-)
32
A : LMNH nasal post extirpasi dan Inj. Cefotaxim 2x 1gr
gastritis hari II (dari hasil PA)
 Injc. Kalnex 3x500mg
P : aff tampon hidung tgl 6/12/2019
jam 08.00WIB di poli THT  Inj. Omeprazol 2x20mg

 Inj. Ketorolac 2x30mg

6/12/2019 S:-  Kontrol tanggal 9/12/2019


O : post nasal bleeding (-),
 Cefixime 2x200mg
perdarahan nasal (-)
A: LMNH nasal post extirpasi hari III
P: aff tampon hidung
BLPL

BAB IV

PEMBAHASAN

Anamnesis, pf, pp. Teori


Rhinosinusitis Kronis
Laki – Laki usia 70 tahun datang ke IGD Manifestasi Klinis :
RS Kartini Jepara pada tanggal 30 Gejala yang sering ditemukan pada penderita limfoma
Desember 2019 jam 22.40 WIB dengan pada umumnya non - spesifik, diantaranya:
keluhan muntah darah sejak tadi sore Penurunan berat badan >10% dalam 6 bulan 
yang didahului mimisan. Pasien juga Demam 38 derajat C >1 minggu tanpa sebab yang jelas
merasakan hidungnya mampet sejak 3 bulan Keringat malam banyak
yang lalu. Saat ini batuk (-), pilek (-). Cepat lelah
Riwayat pasien rhinitis alergi (-), asma (-).
Penurunan nafsu makan

33
 Keluhan utama : Muntah darah Pembesaran kelenjar getah bening yang terlibat
Dapat pula ditemukan adanya benjolan yang tidak nyeri
 RPS
di leher, ketiak atau pangkal paha (terutama bila
 Mimisan sejak tadi sore sehingga berukuran di atas 2 cm); atau sesak napas akibat
muntah darah pembesaran kelenjar getah bening mediastinum maupun
splenomegali.
 Hidung tersumbat sudah sejak 3
bulan yang lalu
pemeriksaan fisik:
 Nyeri pada tulang wajah khususnya  Pembesaran KGB
pipi kanan  Kelainan/pembesaran organ (hati/limpa)

RPD : Pleuro Pnemonia Dextra  Performance status: ECOG atau WHO/Karnofsky

Pemeriksaan Objektif

 Pemeriksaan rinoskopi anterior :


Pemeriksaan penunjang:
Terdapat massa pada cavum nasi dextra
A. Biopsi eksisional atau core biopsy
 Pemeriksaan telinga luar dan dalam : 2. Biopsi KGB dilakukan cukup pada 1 kelenjar yang
Dalam Batas Normal paling representa tif, superfisial, dan perifer. Jika
terdapat kelenjarsuperfisial/perifer yang paling
 Pemeriksaan Tenggorokan : Dalam
representatif, maka tidak perlu biopsi
Batas Normal
intraabdominal atau intratorakal. Kelenjar
 Pemeriksaan Sinus : Terdapat nyeri getah bening yang disarankan adalah dari leher dan
tekan dan nyeri ketok pada sinus supraclavicular, pilihan kedua adalah aksila dan
maxilaris pilihan terakhir adalah inguinal.Spesimen kelenjar
diperiksa:
PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Rutin
 Laboratorium: Darah rutin
Histopatologi: sesuai klasifikasi WHO
 Pemeriksaan lab PA : didapatkan
terbaru
hasil Limfoma Maligna Non-
b. Khusus
Hodgkin
Immunohistokimia
Durante op : polip ++ pada sinus
Molekuler (hibridisasi insitu) EBV
maxilarris dextra dan cairan pada sinus
3. Diagnosis awal harus ditegakkan berdasarkan
34
maxillaris histopatologi dan tidak cukup hanya dengan
sitologi. Pada kondisi tertentu dimana KGB sulit
dibiopsi, maka kombinasi core biopsy FNAB
bersama - sama dengan teknik lain (IHK,
Flowcytometri `dan lain - lain) mungkin dapat
mencukupi untuk diagnosis.

Dari hasil pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa pasien tersebut kurang sesuai dengan Limfoma
Non Hodgkins pada pasien ini didiagnosis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
penunjang yang sudah sesuai dengan teori yang ada

BAB V

KESIMPULAN
Limfoma non hodgkin adalah kanker yang berawal dari sistim limfatik, tumbuh akibat
perubahan sel limfosit yang sebelumnya normal menjadi ganas dan menyebar ke berbagai organ
tubuh termasuk kepala dan leher.
Pada limfoma non - Hodgkin tubuh membentuk limfosit yang abnormal yang akan terus
membelah dan bertambah banyak dengan tidak terkontrol. Limfosit yang bertambah banyak ini
akan memenuhi kelenjar getah bening dan menyebabkan pembesaran.
Tumor bersifat heterogen dengan lokasi bervariasi, dapat dijumpai diluar nodulus
sepanjang aliran limfatik yang dikenal dengan limfoma non hodgkin ekstranodal. Pada daerah
kepala dan leher, limfoma non hodgkin ekstranodal ditemukan di berbagai tempat, antara lain:
cincin waldeyer, sinus paranasalis, cavum nasi, laring, rongga mulut, kelenjar ludah, tiroid dan
orbita.Tonsil merupakan tempat tersering.
Mekanisme terjadinya belum diketahui dengan pasti. Faktor - faktor yang diduga
berperan pada terjadinya limfoma non hodgkin antara lain: virus onkogen yang menyebabkan
mutasi melalui translokasi kromosom, faktor lingkungan (karsinogen, kemoterapi, radiasi), dan
imunodefisiensi.

35
DAFTAR PUSTAKA

1. Mangunkusumo E, Soetjipto D. Sinusitis. Buku ajar ilmu kesehatan telinga, hidung,


tenggorok, kepala dan leher. Edisi ketujuh. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia; 2012.h.150-4.
2. Adams GL, Boies LR, Higler PH. Hidung dan sinus paranasalis. Buku ajar penyakit tht.
Edisi keenam. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC; 1994.h.173-240
3. Cummings CW. Radiology of nasal cavities and paranasal. Cumming otolaryngology
head and neck surgery. 4th edition. USA: Mosby; 2006.p.201.
4. Cheson BD, Fisher RI, Barrington SF, et al.Recommendations for initi al evaluation,
staging, and response assessment of hodgkin and non - hodgkin lymphoma: The lugano
classification. J Clin Oncol 2014; 32: 3059 – 3067
5. Armitage JO, Armitage JO. Staging Non – Hodgkin Lymphoma. Epub ahead of print
2009. DOI: 10.3322/canjclin.55.6.368.
6. Nuhonni S, Indriani. Panduan Pelayanan Klinis Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi:
Disabilitas pada Kanker . Jakarta: Perdosri, 2014

36
7. Komite Penanggulangan Kanker Nasional, Panduan Penatalaksanaan Limfoma Non-
Hodgkins. Jakarta, 2016.
8. Surarso, Bhakti. Patogenesis Limfoma Non Hodgkin Ekstra Nodal Kepala dan Leher,
Surabaya, 2009.

37

Anda mungkin juga menyukai