Indonesia.
1. Kecurangan penjual
Selalu ada peluang yang bisa dimanfaatkan oleh para penjual nakal untuk mengeruk untung
dengan merugikan pihak lain, contohnya memberikan diskon abal-abal. Oknum penjual
menaikkan harga barang secara tidak wajar dan memberikan potongan harga yang tak wajar
hingga terkesan potongan harga besar. Contoh lainnya, penjual sudah menerima uang konsumen
tapi barang tak dikirim. E-commerce perlu menyeleksi secara ketat para penjualnya dan
memonitor akun-akun penjual dalam rangka pencegahan kecurangan semacam ini.
2. Kecurangan pegawai
Kecurangan yang dilakukan pegawai merupakan endemik global. Dunia e-commerce di
Indonesia pun baru-baru ini dikejutkan dengan insiden kecurangan karyawan di salah satu e-
commerce raksasa pada saat momen flash sale. Sejumlah oknum karyawan membuat pengguna
tak bisa mendapatkan barang sale dengan adil sehingga para oknum tersebut bisa mendapatkan
barang-barang tersebut yang akhirnya merugikan pengguna dan e-commerce itu sendiri.
Pencurian aset atau barang oleh karyawan bukan satu-satunya risiko. Pengalihan uang
konsumen ke rekening oknum juga bisa saja terjadi. Kecurangan berasal dari faktor internal
sebenarnya bisa minimalkan dengan memperketat proses rekrutmen karyawan.
3. Ulasan palsu
Jangan remehkan kekuatan sebuah testimoni atau ulasan jasa atau produk. Berbelanja online tak
seperti berbelanja model konvensional di mana konsumen bisa bertatap muka langsung dengan
penjual dan melihat langsung produk yang ditawarkan. Ulasan konsumen lain menjadi andalan
seorang konsumen dalam menilai sebuah produk atau jasa yang dijual secara online sebelum
memutuskan pembelian. Sayangnya, tak semua ulasan asli.
Bing Liu, seorang profesor ilmu komputer dari Universtias Illinois Chicago, AS mengungkapkan
sekitar 30% ulasan untuk produk-produk tertentu adalah palsu. Adapun hasil dari ivestigasi tim
peneliti Cornell menemukan ada 10% ulasan produk yang dianggap palsu. E-commerce di
Indonesia mungkin perlu belajar dari upaya pencegahan ulasan palsu yang dilakukan Amazon
yaitu dengan memverifikasi pengulas. Amazon menyediakan kolom ulasan bagi konsumen yang
sudah membeli produk di platform tersebut dan mengharuskan mereka menyertakan foto produk
yang dibeli apabila memberikan ulasan.
4. Kecurangan delivery
Bukan sekali dua kali kita mendengar berita konsumen yang kesal lantaran barang yang dipesan
tak kunjung datang padahal uang pembelian sudah ditransfer kepada penjual. Setelah diselidiki,
ternyata barang dibawa kabur oleh kurir pihak ketiga. E-commerce bisa menjalin kerjasama lebih
erat dengan kurir pihak ketiga untuk mencegah kecurangan ini. Dalam kasus semacam ini pihak
kurir biasanya memberikan ganti rugi pada konsumen.
5. Kecurangan transaksi
Menurut laporan Forter pada tahun 2015, Indonesia berada di peringkat tertinggi terjadinya
kecurangan transaksi e-Commerce (35%) dibanding Venezuela (33%), Afrika Selatan (25%),
Brazil (11%) dan Romania (10%). Para pelaku melakukan berbagai cara untuk curang, salah
satunya pencurian identitas.
Bentuk pencurian identitas konsumen kerap dilakukan dengan modus yang disebut ‘triangle
fraud’. Modus pelaku biasanya membuat akun fiktif di e-commerce tertentu, lalu menarik calon
pelanggan dengan berbagai promo dan mendorong mereka melakukan transaksi, dan mencuri
data pribadi pelanggan – biasanya informasi kartu kredit. Sebagai upaya pencegahan platform
bisa mendapatkan sertifikat SLL dan menerapkan metode otentifikasi dua faktor dalam transaksi.
Sekilas Kejahatan E-COMMERCE Di Indonesia
Dalam beberapa dekade terakhir ini, banyak sekali perbuatan-perbuatan pemalsuan (forgery)
pemalsuan surat itu telah merusak iklim bisnis di Indonesia. Dalam KUH Pidana memang telah
terdapat Bab khusus yaitu Bab XII yang mengkriminalisasi perbuatan-perbuatan pemalsuan surat,
tetapi ketentuan-ketentuan tersebut sifatnya masih sangat umum. Pada saat ini surat-surat dan
dokumen-dokumen yang dipalsukan itu dapat berupa electronic document yang dikirimkan atau yang
dengan pemalsuan surat atau dokumen dengan membeda-bedakan jenis surat atau dokumen
Di Indonesia pernah terjadi kasus cybercrime yang berkaitan dengan kejahatan bisnis, tahun 2000
beberapa situs atau web Indonesia diacak-acak oleh cracker yang menamakan
dirinya Fabianclone dan naisenodni. Situs tersebut adalah antara lain milik BCA, Bursa Efek Jakarta
julukan fabianclone berhasil menjebol web milik Bank Bali. Bank ini memberikan layanan internet
banking pada nasabahnya. Kerugian yang ditimbulkan sangat besar dan mengakibatkan terputusnya
Kejahatan lainnya yang dikategorikan sebagai cybercrime dalam kejahatan bisnis adalah Cyber Fraud,
yaitu kejahatan yang dilakukan dengan melakukan penipuan lewat internet, salah satu diantaranya
adalah dengan melakukan kejahatan terlebih dahulu yaitu mencuri nomor kartu kredit orang lain
Menurut riset yang dilakukan perusahaan Security Clear Commerce yang berbasis di Texas,
menyatakan Indonesia berada di urutan kedua setelah Ukraina (Shintia Dian Arwida. 2002).
Cyber Squalling, yang dapat diartikan sebagai mendapatkan, memperjualbelikan, atau menggunakan
suatu nama domain dengan itikad tidak baik atau jelek. Di Indonesia kasus ini pernah terjadi antara
PT. Mustika Ratu dan Tjandra, pihak yang mendaftarkan nama domain tersebut (Iman Sjahputra,
2002:151-152).
Satu lagi kasus yang berkaitan dengan cybercrime di Indonesia, kasus tersebut diputus di Pengadilan
Negeri Sleman dengan Terdakwa Petrus Pangkur alias Bonny Diobok Obok. Dalam kasus tersebut,
terdakwa didakwa melakukan Cybercrime. Dalam amar putusannya Majelis Hakim berkeyakinan
bahwa Petrus Pangkur alias Bonny Diobok Obok telah membobol kartu kredit milik warga Amerika
Serikat, hasil kejahatannya digunakan untuk membeli barang-barang seperti helm dan sarung tangan
merk AGV. Total harga barang yang dibelinya mencapai Rp. 4.000.000,- (Pikiran Rakyat, 31 Agustus
2002).
Namun, beberapa contoh kasus yang berkaitan dengan cybercrime dalam kejahatan bisnis jarang
yang sampai ke meja hijau, hal ini dikarenakan masih terjadi perdebatan tentang regulasi yang
berkaitan dengan kejahatan tersebut. Terlebih mengenai UU No. 11 Tahun 2008 Tentang Internet dan
Transaksi Elektronika yang sampai dengan hari ini walaupun telah disahkan pada tanggal 21 April
2008 belum dikeluarkan Peraturan Pemerintah untuk sebagai penjelasan dan pelengkap terhadap
Disamping itu banyaknya kejadian tersebut tidak dilaporkan oleh masyarakat kepada pihak kepolisian
sehingga cybercrime yang terjadi hanya ibarat angin lalu, dan diderita oleh sang korban.
Upaya penanggulangan kejahatan e-commerce sekarang ini memang harus diprioritaskan. Indonesia
harus mengantisipasi lebih berkembangnya kejahatan teknologi ini dengan sebuah payung hukum
yang mempunyai suatu kepastian hukum. Urgensi cyberlaw bagi Indonesia diharuskan untuk
meletakkan dasar legal dan kultur bagi masyarakat indonesia untuk masuk dan menjadi pelaku dalam
Adanya hukum siber (cyberlaw) akan membantu pelaku bisnis dan auditor untuk melaksanakan
menggunakan internet dengan bebas ketika tidak ada peraturan yang mengikat dan “memaksa”.
Namun, adanya peraturan atau hukum yang jelas akan membatasi pengguna agar tidak melakukan
tindak kejahatan dan kecurangan dengan menggunakan internet. Bagi auditor, selain menggunakan
standar baku dalam mengaudit sistem informasi, hukum yang jelas dan tegas dapat meminimalisasi
adanya tindak kejahatan dan kecurangan sehingga memberikan kemudahan bagi auditor untuk
melacak tindak kejahatan tersebut. Adanya jaminan keamanan yang diberikan akan menumbuhkan
kepercayaan di mata masyarakat pengguna sehingga diharapkan pelaksanaan e-commerce khususnya
Kasus-kasus cybercrime dalam bidang e-commerce sebenarnya banyak sekali terjadi, namun ditengah
keterbatasan teknologi dan sumber daya manusia aparat hukum dibidang penyelidikan dan
penyidikan, banyak kasus-kasus yang tidak terselesaikan bahkan tidak sempat dilaporkan oleh
korban, sehingga sangat dibutuhkan sekali kesigapan sistem peradilan kita untuk menghadapi
semakin cepatnya perkembangan kejahatan dewasa ini khususnya dalam dunia cyber.
Untuk mencapai suatu kepastian hukum, terutama dibidang penanggulangan kejahatan e-commerce,
maka dibutuhkan suatu undang-undang atau peraturan khusus mengenai cybercrime sehingga
mengatur dengan jelas bagaimana dari mulai proses penyelidikan, penyidikan sampai dengan
persidangan.
Diharapkan aparat penegak hukum di Indonesia lebih memahami dan “mempersenjatai” diri dengan
apapun kejahatan yang dilakukan, maka aparat penegak hukum akan dengan mudah untuk
menanggulanginya dan juga tidak akan terjadi perbedaan persepsi mengenai penerapan suatu
undang-undang ataupun peraturan yang telah ada, dan dapat tercapainya suatu kepastian hukum di