Anda di halaman 1dari 5

Berikut ini lima jenis kecurangan yang perlu diwaspadai dan dicegah oleh e-commerce di

Indonesia.

1. Kecurangan penjual
Selalu ada peluang yang bisa dimanfaatkan oleh para penjual nakal untuk mengeruk untung
dengan merugikan pihak lain, contohnya memberikan diskon abal-abal. Oknum penjual
menaikkan harga barang secara tidak wajar dan memberikan potongan harga yang tak wajar
hingga terkesan potongan harga besar. Contoh lainnya, penjual sudah menerima uang konsumen
tapi barang tak dikirim. E-commerce perlu menyeleksi secara ketat para penjualnya dan
memonitor akun-akun penjual dalam rangka pencegahan kecurangan semacam ini.

2. Kecurangan pegawai
Kecurangan yang dilakukan pegawai merupakan endemik global. Dunia e-commerce di
Indonesia pun baru-baru ini dikejutkan dengan insiden kecurangan karyawan di salah satu e-
commerce raksasa pada saat momen flash sale. Sejumlah oknum karyawan membuat pengguna
tak bisa mendapatkan barang sale dengan adil sehingga para oknum tersebut bisa mendapatkan
barang-barang tersebut yang akhirnya merugikan pengguna dan e-commerce itu sendiri.

Pencurian aset atau barang oleh karyawan bukan satu-satunya risiko. Pengalihan uang
konsumen ke rekening oknum juga bisa saja terjadi. Kecurangan berasal dari faktor internal
sebenarnya bisa minimalkan dengan memperketat proses rekrutmen karyawan.

3. Ulasan palsu
Jangan remehkan kekuatan sebuah testimoni atau ulasan jasa atau produk. Berbelanja online tak
seperti berbelanja model konvensional di mana konsumen bisa bertatap muka langsung dengan
penjual dan melihat langsung produk yang ditawarkan. Ulasan konsumen lain menjadi andalan
seorang konsumen dalam menilai sebuah produk atau jasa yang dijual secara online sebelum
memutuskan pembelian. Sayangnya, tak semua ulasan asli.

Bing Liu, seorang profesor ilmu komputer dari Universtias Illinois Chicago, AS mengungkapkan
sekitar 30% ulasan untuk produk-produk tertentu adalah palsu. Adapun hasil dari ivestigasi tim
peneliti Cornell menemukan ada 10% ulasan produk yang dianggap palsu. E-commerce di
Indonesia mungkin perlu belajar dari upaya pencegahan ulasan palsu yang dilakukan Amazon
yaitu dengan memverifikasi pengulas. Amazon menyediakan kolom ulasan bagi konsumen yang
sudah membeli produk di platform tersebut dan mengharuskan mereka menyertakan foto produk
yang dibeli apabila memberikan ulasan.
4. Kecurangan delivery
Bukan sekali dua kali kita mendengar berita konsumen yang kesal lantaran barang yang dipesan
tak kunjung datang padahal uang pembelian sudah ditransfer kepada penjual. Setelah diselidiki,
ternyata barang dibawa kabur oleh kurir pihak ketiga. E-commerce bisa menjalin kerjasama lebih
erat dengan kurir pihak ketiga untuk mencegah kecurangan ini. Dalam kasus semacam ini pihak
kurir biasanya memberikan ganti rugi pada konsumen.

5. Kecurangan transaksi
Menurut laporan Forter pada tahun 2015, Indonesia berada di peringkat tertinggi terjadinya
kecurangan transaksi e-Commerce (35%) dibanding Venezuela (33%), Afrika Selatan (25%),
Brazil (11%) dan Romania (10%). Para pelaku melakukan berbagai cara untuk curang, salah
satunya pencurian identitas.

Bentuk pencurian identitas konsumen kerap dilakukan dengan modus yang disebut ‘triangle
fraud’. Modus pelaku biasanya membuat akun fiktif di e-commerce tertentu, lalu menarik calon
pelanggan dengan berbagai promo dan mendorong mereka melakukan transaksi, dan mencuri
data pribadi pelanggan – biasanya informasi kartu kredit. Sebagai upaya pencegahan platform
bisa mendapatkan sertifikat SLL dan menerapkan metode otentifikasi dua faktor dalam transaksi.
Sekilas Kejahatan E-COMMERCE Di Indonesia
Dalam beberapa dekade terakhir ini, banyak sekali perbuatan-perbuatan pemalsuan (forgery)

terhadap surat-surat dan dokumen-dokumen yang berkaitan dengan bisnis. Perbuatan-perbuatan

pemalsuan surat itu telah merusak iklim bisnis di Indonesia. Dalam KUH Pidana memang telah

terdapat Bab khusus yaitu Bab XII yang mengkriminalisasi perbuatan-perbuatan pemalsuan surat,

tetapi ketentuan-ketentuan tersebut sifatnya masih sangat umum.  Pada saat ini surat-surat dan

dokumen-dokumen yang dipalsukan itu dapat berupa electronic document yang dikirimkan atau yang

disimpan di electronic files badan-badan atau institusi-institusi pemerintah, perusahaan, atau

perorangan. Seyogyanya Indonesia memiliki ketentuan-ketentuan pidana khusus yang berkenaan

dengan pemalsuan surat atau dokumen dengan membeda-bedakan jenis surat atau dokumen

pemalsuan, yang merupakan lex specialist di luar KUH Pidana.

Di Indonesia pernah terjadi kasus cybercrime yang berkaitan dengan kejahatan bisnis, tahun 2000

beberapa situs atau web Indonesia diacak-acak oleh cracker yang menamakan

dirinya Fabianclone dan naisenodni. Situs tersebut adalah antara lain milik BCA, Bursa Efek Jakarta

dan Indosatnet (Agus Raharjo, 2002.37).

Selanjutnya pada bulan September dan Oktober 2000, seorang craker dengan

julukan fabianclone berhasil menjebol web milik Bank Bali. Bank ini memberikan layanan internet

banking pada nasabahnya. Kerugian yang ditimbulkan sangat besar dan mengakibatkan terputusnya

layanan nasabah (Agus Raharjo 2002:38).

Kejahatan lainnya yang dikategorikan sebagai cybercrime dalam kejahatan bisnis adalah Cyber Fraud,

yaitu kejahatan yang dilakukan dengan melakukan penipuan lewat internet, salah satu diantaranya

adalah dengan melakukan kejahatan terlebih dahulu yaitu mencuri nomor kartu kredit orang lain

dengan meng-hackatau membobol situs pada internet.

Menurut riset yang dilakukan perusahaan Security Clear Commerce yang berbasis di Texas,

menyatakan Indonesia berada di urutan kedua setelah Ukraina (Shintia Dian Arwida. 2002).

Cyber Squalling, yang dapat diartikan sebagai mendapatkan, memperjualbelikan, atau menggunakan

suatu nama domain dengan itikad tidak baik atau jelek. Di Indonesia kasus ini pernah terjadi antara
PT. Mustika Ratu dan Tjandra, pihak yang mendaftarkan nama domain tersebut (Iman Sjahputra,

2002:151-152).

Satu lagi kasus yang berkaitan dengan cybercrime di Indonesia, kasus tersebut diputus di Pengadilan

Negeri Sleman dengan Terdakwa Petrus Pangkur alias Bonny Diobok Obok. Dalam kasus tersebut,

terdakwa didakwa melakukan Cybercrime. Dalam amar putusannya Majelis Hakim berkeyakinan

bahwa Petrus Pangkur alias Bonny Diobok Obok telah membobol kartu kredit milik warga Amerika

Serikat, hasil kejahatannya digunakan untuk membeli barang-barang seperti helm dan sarung tangan

merk AGV. Total harga barang yang dibelinya mencapai Rp. 4.000.000,- (Pikiran Rakyat, 31 Agustus

2002).

Namun, beberapa contoh kasus yang berkaitan dengan cybercrime dalam kejahatan bisnis jarang

yang sampai ke meja hijau, hal ini dikarenakan masih terjadi perdebatan tentang regulasi yang

berkaitan dengan kejahatan tersebut. Terlebih mengenai UU No. 11 Tahun 2008 Tentang Internet dan

Transaksi Elektronika yang sampai dengan hari ini walaupun telah disahkan pada tanggal 21 April

2008 belum dikeluarkan Peraturan Pemerintah untuk sebagai penjelasan dan pelengkap terhadap

pelaksanaan Undang-Undang tersebut.

Disamping itu banyaknya kejadian tersebut tidak dilaporkan oleh masyarakat kepada pihak kepolisian

sehingga cybercrime yang terjadi hanya ibarat angin lalu, dan diderita oleh sang korban.

Upaya  penanggulangan kejahatan e-commerce sekarang ini memang harus diprioritaskan. Indonesia

harus mengantisipasi lebih berkembangnya kejahatan teknologi ini dengan sebuah payung hukum

yang mempunyai suatu kepastian hukum. Urgensi cyberlaw bagi Indonesia diharuskan untuk

meletakkan dasar legal dan kultur bagi masyarakat indonesia untuk masuk dan menjadi pelaku dalam

pergaulan masyarakat yang memanfaatkan kecanggihan dibidang teknologi informasi.

Adanya hukum siber (cyberlaw) akan membantu pelaku bisnis dan auditor untuk melaksanakan

tugasnya. Cyberlaw memberikan rambu-rambu bagi para pengguna internet. Pengguna internet dapat

menggunakan internet dengan bebas ketika tidak ada peraturan yang mengikat dan “memaksa”.

Namun, adanya peraturan atau hukum yang jelas akan membatasi pengguna agar tidak melakukan

tindak kejahatan dan kecurangan dengan menggunakan internet. Bagi auditor, selain menggunakan

standar baku dalam mengaudit sistem informasi, hukum yang jelas dan tegas dapat meminimalisasi

adanya tindak kejahatan dan kecurangan sehingga memberikan kemudahan bagi auditor untuk

melacak tindak kejahatan tersebut. Adanya jaminan keamanan yang diberikan akan menumbuhkan
kepercayaan di mata masyarakat pengguna sehingga diharapkan pelaksanaan e-commerce  khususnya

di Indonesia dapat berjalan dengan baik.

Kasus-kasus cybercrime dalam bidang e-commerce sebenarnya banyak sekali terjadi, namun ditengah

keterbatasan teknologi dan sumber daya manusia aparat hukum dibidang penyelidikan dan

penyidikan, banyak kasus-kasus yang tidak terselesaikan bahkan tidak sempat dilaporkan oleh

korban, sehingga sangat dibutuhkan sekali kesigapan sistem peradilan kita untuk menghadapi

semakin cepatnya perkembangan kejahatan dewasa ini khususnya dalam dunia cyber.

Untuk mencapai suatu kepastian hukum, terutama dibidang penanggulangan kejahatan e-commerce,

maka dibutuhkan suatu undang-undang atau peraturan khusus mengenai cybercrime sehingga

mengatur dengan jelas bagaimana dari mulai proses penyelidikan, penyidikan sampai dengan

persidangan.

Diharapkan aparat penegak hukum di Indonesia lebih memahami dan “mempersenjatai” diri dengan

kemamampuan penyesuaian dalam globalisasi perkembangan teknologi ini sehingga secanggih

apapun kejahatan yang dilakukan, maka aparat penegak hukum akan dengan mudah untuk

menanggulanginya dan juga tidak akan terjadi perbedaan persepsi mengenai penerapan suatu

undang-undang ataupun peraturan yang telah ada, dan dapat tercapainya suatu kepastian hukum di

tengah-tengah masyarakat Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai