Anda di halaman 1dari 14

BANDUNG SEBAGAI IBUKOTA HINDIA BELANDA1

Oleh : Iwan Hermawan2

Abstract

The city of Bandung was began when daendels built the highways postal (de groote postweg) in
1808. At that time, Bandung nowadays formely was a transferred capital from a place called
Krapyak. This transformation had change Bandung become vastly developed place from a
remote-tropical village to a centre of governement place in many purpose including as military
based exiled capital of Netherlands kingdom.
The planing of Bandung as the Netherland Indische capital, has also encouraged the Dutch
government to centralized their military forces in area nearest of Bandung, ie by making Cimahi
as the center of the Dutch military, and The weapons and Munitions factories were moved to
Bandung, and built the defense buildings in Sumedang.

Kata Kunci :
Kota Bandung; kolonial Belanda; bangunan pertahanan; pusat pemerintahan.

Pendahuluan
Perjalanan kota Bandung dimulai ketika Gubernur jenderal Daendels (1808-1811)
merencanakan pembangunan Jalan Raya Pos yang membentang dari Anyer di pantai barat Pulau
Jawa sampai Panarukan di pantai timur Pulau Jawa pada tahun 1808. Pada masa itu, Bandung
merupakan wilayah di pedalaman Pulau Jawa dan menjadi salah satu daerah yang dilalui ruas
jalan tersebut. Tujuan pembangunan Jalan Raya Pos adalah untuk memperkuat pertahanan pulau
Jawa dari kemungkinan serangan pasukan Inggris yang ketika itu sudah memblokade pelayaran
di Laut Jawa. Sebelum pembangunan Jalan Raya Pos, kota Bandung sekarang hanyalah sebuah
kampung kecil di tengah belantara hutan tropis yang dikenal dengan sebutan Tatar Ukur. Pusat
pemerintahan kabupaten Bandung pada masa itu adalah Krapyak, sebuah daerah di tepi sungai
Citarum sekitar 11 km arah selatan dari posisi Kota Bandung sekarang.
Keberadaan Jalan Raya Pos berhasil merubah wajah Bandung, dari sebuah kampung di
tengah hutan belantara menjadi sebuah kota yang terus berkembang hingga menjadi salah satu
kota besar di Indonesia. Sebuah kota yang jika dipandang dari berbagai aspek kehidupan
memiliki nilai strategis, terutama secara ekonomi, politik dan militer.
Pembangunan Bandung dimulai ketika Daendels memerintahkan bupati Bandung, R.A.
Wiranatakusumah II, untuk memindahkan ibukota kabupaten Bandung dari Krapyak ke tepi

1
Bagian dari buku : “Arkeologi Masa Kini". Editor : Ali Akbar. Bandung : Alqaprint 2010
2
Peneliti di Balai Arkeologi Bandung . pos-el : iwan1772@yahoo.com

1
Jalan Raya Pos. Perintah tersebut dilaksanakan oleh bupati dengan pertama-tama mencari lahan
yang tepat untuk calon ibukota yang tentunya didasarkan pada berbagai pertimbangan, termasuk
perhitungan mistik. Setelah mencari lahan untuk ibukota Kabupaten Bandung yang sesuai
dengan kriteria gubernur jendral dan persyaratan adat istiadat, akhirnya sebidang lahan di tepian
barat Sungai Cikapundung dan di tepi selatan Jalan Raya Pos ditetapkan sebagai bakal pusat
pemerintahan kabupaten Bandung.
Dorongan percepatan pembangunan Bandung untuk menjadi sebuah kota juga dilakukan
Daendels ketika melakukan inspeksi pembangunan Jalan Raya Pos di sekitar pendopo kabupaten
Bandung sekaligus meresmikan jembatan yang melintasi Sungai Cikapundung. Setelah berjalan
menyebrangi jembatan yang baru selesai dengan diiring oleh para pejabat, termasuk bupati R.A.
Wiranatakusumah II, Daendels menancapkan tongkatnya dan berkata “Zorg, dat als ik terug
komhier een stad is gebouwd !” (Usahakan, bila aku datang kembali ke sini, sebuah kota telah
dibangun).
Pembangunan Bandung yang berjalan dengan pesat telah menjadikan kota ini menjadi
salah satu kota strategis di Hindia Belanda, statusnya terus meningkat dari waktu ke waktu.
Mulai dari ibukota kabupaten Bandung, kemudian meningkat menjadi Ibukota Karesidenan
Priangan, dan ditingkatkan kembali menjadi Gemeente (kota), Stadsgemeente (kota besar), serta
diproyeksikan untuk menjadi Ibukota Hindia Belanda, bahkan pernah diwacanakan untuk
menjadi ibukota kerajaan Belanda di pengasingan saat Negeri Belanda berada di bawah
pendudukan pasukan Nazi Jerman. Berbagai fasilitas pendukung sebuah kota terus didirikan
guna melengkapi kota ini, terutama fasilitas permukiman, gedung perkantoran, kesehatan,
perekonomian, dan pendidikan.
Kondisi inilah yang menjadi perhatian penulis dalam mengungkap latar belakang
direkomendasikannya Bandung sebagai calon ibukota Hindia Belanda menggantikan Batavia
yang dianggap sudah tidak layak sebagai pusat pemerintahan. Untuk menggali data dan
informasi yang diperlukan, penulis melakukan studi literatur terhadap berbagai literatur yang
berhubungan dengan Sejarah dan Geografi Kota Bandung. Data dan informasi tersebut kemudian
dianalisis secara keruangan sesuai dengan fokus perhatian tulisan ini.

Dari Ibukota Kabupaten ke Ibukota Nusantara

2
Pembangunan kota Bandung dimulai pada zaman pemerintahan gubernur jenderal
Daendels, tepatnya ketika Daendels mengeluarkan perintah kepada Bupati Bandung, R.A.
Wiranatakusumah II untuk memindahkan ibukota kabupaten Bandung dari Krapyak (sekarang
dikenal dengan nama Dayeuhkolot) ke dekat Jalan raya Pos. Perintah Daendels tersebut
disampaikan melalui Surat tertanggal 25 Mei 1810 (Hardjasaputra, 2000).
Perintah pemindahan ibukota kabupaten tersebut, dilaksanakan oleh bupati Bandung
dengan langkah nyata, yaitu dengan membangun sarana prasarana penunjang ibukota
pemerintahan. Sebelum menempati pendopo yang terletak di tepi barat sungai Cikapundung dan
sisi selatan jalan raya Pos, Bupati R.A.Wiranatakusumah II pernah tinggal di Cikalintu (sekarang
adalah daerah Cipaganti) dan membangun masjid kaum Cipaganti, kemudian pindah ke kampung
Balubur hilir, dan selanjutnya pindah ke Kampung Bogor (sekarang dikenal dengan nama
Kebonkawung) yang jaraknya tidak terlalu jauh dari jalan raya pos dan proyek pembangunan
pusat pemerintahan kabupaten Bandung. Secara resmi perpindahan Ibukota Kabupaten Bandung
dari Krapyak ke Bandung dilaksanakan pada tanggal 25 September 1810 (Hardjasaputra,
2000:121-122).

25 Mei 1810
Pemindahan Ibukota Kabupaten Bandung dan Parakanmuncang
Setelah memberitahukan dengan surat kepada penguasa Jakarta dan daerah pedalaman
Priangan, bahwa ia telah mendengar ketika mengadakan inspeksi yang terakhir, bahwa ibukota
Bandung dan Parakanmuncang terletak jauh dari jalan yang baru, sehingga pekerjan pembuatan jalan
itu terlambat, oleh karena itu diusulkan untuk memindahkan ibukota tersebut, yaitu (ibukota)
Bandung ke Cikapundung dan (ibukota) Parakanmuncang ke Andawadak, kedua tempat itu terletak
di jalan besar dan selain itu sangat cocok dan disamping pemindahan yang telah disebutkan juga
mengenai beberapa tanaman-tanaman akan dapat ditingkatkan karena lahan yang diusulkan menjadi
ibukota dan sekitarnya sangat subur; bilamana keputusan usul mengenai pemindahan ibukota
Bandung ke Cikapundung dan Parakanmuncang ke Andawadak tersebut diterima, mohon paduka
memberikan otorisasi dan perintah yang harus dilaksanakan.

H.W. Daendels
Sumber : Hardjasaputra, 2000 : 121

Sejak selesai dibangunnya Jalan Raya Pos dan ibukota Kabupaten Bandung pindah dari
Krapyak ke Bandung, pembangunan di segala bidang tiada berhenti walau sesaat. Setelah Inggris
meninggalkan pulau Jawa, kedudukan daerah Priangan yang subur makmur semakin penting
bagi perekonomian pemerintah kolonial sehingga berbagai fasilitas pendukung sebuah kota terus

3
dibangun untuk memenuhi berbagai kebutuhan penghuninya. Pembangunan tersebut telah
merubah wajah Bandung dari sebuah kampung yang berada di pedalaman hutan belantara
menjadi sebuah kota yang strategis dan impian setiap orang.
Melihat posisi Bandung yang semakin
strategis, pada tahun 1819, Dr. Andries de Wilde
mengajukan saran kepada pemerintah Belanda
agar ibukota Karesidenan Priangan dipindah dari
Kabupaten Cianjur ke Kabupaten Bandung.
Alasan pemindahan ibukota tersebut adalah agar
dapat memberikan dampak positif dan
mempermudah usaha pengembangan wilayah
pedalaman Priangan. Usulan tersebut baru
direspon oleh pemerintah pada tahun 1856,
setelah Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Gambar 1 :
Peta Bandung tahun 1825 (Sumber : Kunto,
Charles Ferdinand Pahud, memerintahkan 1984:183)

pemindahan Ibukota karesidenan Priangan dari Cianjur ke Bandung. Perintah pemindahan


tersebut baru dilaksanakan oleh residen Priangan, Van der Moore, pada tahun 1864 bertepatan
dengan meletusnya Gunung Gede yang menggoncang Cianjur (Kunto, 1984:17-18).
Peningkatan status kota Bandung kembali terjadi, yaitu menjadi kotapraja (Gemeente)
pada tanggal 1 April 1906. Peningkatan
status ini didasarkan pada Undang-undang
Desentralisasi (Decentralisatiewet) yang
dikeluarkan pada tahun 1903; keputusan
tentang Desentralisasi (Decentralisasi
Besluit), dan Ordonansi Dewan Kota
(Locale Raden Ordonantie) yang dibuat
tahun 1905. Penetapan status kota Bandung
menjadi Gemeente semakin memperkuat
Gambar 2 :
Gedung Sate, kantor Gubernur Jawa Barat. Awalnya fungsinya sebagai pusat pemerintahan,
merupakan Kantor Departement van Geouvernements
Bedrijven (GB) (Sumber : Dok. Penulis, 2007) terutama pemerintahan kolonial Belanda.
Pada awalnya Gemeente dipimpin oleh Asisten Residen Priangan selaku pimpinan Dewan kota

4
(Gemeenteraad), namun sejak tahun 1913 Gemeente dipimpin oleh seorang burgemeester atau
walikota (Kunto, 1986:122; Hardjasaputra, 2000:128). Pada tanggal 1 Oktober 1926, Kota
Bandung kembali meningkat statusnya menjadi Stadsgemeente. Dengan status baru tersebut,
Bandung diberi wewenang untuk mengelola kota dan mengurus pemerintahannya sendiri (Kunto,
1986:122).
Pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal J.P. Graaf van Limburg Stirum (1916-1921),
timbul gagasan untuk memindahkan ibukota
Hindia Belanda dari Batavia ke Bandung.
Gagasan tersebut bermula dari hasil studi
tentang kesehatan kota-kota pantai di pulau
Jawa oleh H.F. Tillema, seorang Ahli
Kesehatan Lingkungan yang bertugas di
Semarang. Hasil Studi tersebut Gambar 3 :
menyimpulkan “Kota-kota Pelabuhan di Gedung Museum Geologi di Wilhelmina Boulevard
Jln. Diponegoro, sekarang) pada tahun 1920
pantai Jawa yang tidak sehat, menyebabkan (Sumber : http://bandungtempodulu.com)

orang tidak pernah memilih sebagai kedudukan Kantor pemerintah, Kantor Pusat Niaga dan
Industri, Pusat Pendidikan dan sebagainya”. Hasil penelitian tersebut tidak mengecualikan
Batavia, kota pelabuhan ini kurang memenuhi persyaratan sebagai pusat pemerintahan Hindia
Belanda. Pada rekomendasi akhirnya,
H.F. Tillema merekomendasikan agar
kota Bandung dipilih sebagai Ibukota
Hindia Belanda yang baru menggantikan
Batavia (Kunto, 1984: 248-249).
Usul pemindahan ibukota Hindia
Belanda dari Batavia ke Bandung
mendapat dukungan dari Prof. Ir. J
Klopper, Rektor Magnificus
Bandoengsche Technische Hoogeschool
Gambar 4 : (sekarang dikenal dengan nama ITB) dan
Dataran Tinggi Bandung yang dikelilingi oleh gunung,
kawasan ideal bagi pusat pemerintahan karena dilindungi mulai dilaksanakan pada tahun 1920.
oleh Benteng Alam (Sumber : Kunto, 1986:23)
Mulai saat itu, perpindahan kantor

5
pemerintah dan Swasta dari Batavia ke Bandung mulai dilaksanakan. Instansi pemerintah yang
memindahkan kantor pusatnya ke Bandung adalah Jawatan Kereta Api Negara (SS); P.T.T.;
Departement van Geouvernements Bedrijven (GB) yang membawahi Dinas Pekerjaan Umum
(BOW), Jawatan Metrologi (Tera), Jawatan Geologi dan sebagainya pindah dari Weltevreden
(Gambir), Batavia pada tanggal 1 Januari 1921. Departement GB menempati Gedung Sate,
sebuah bangunan yang dibangun dengan memakan biaya sebesar enam juta gulden dan dirancang
oleh arsitek J. Gerber. Gedung ini merupakan gedung pemerintahan yang dianggap paling
representatif di Hindia Belanda. Perpindahan tersebut disusul oleh pindahnya sebagian
Departemen Perdagangan dari Bogor, Kantor Keuangan, Lembaga Cacar yang bergabung
dengan Institut Pasteur yang telah berada di Bandung. Guna memperkuat pertahanan kota
Bandung, Kementrian Pertahanan (Departement van Oorlog/DVO) secara bertahap telah
memindahkan personilnya sejak tahun 1916 dan mulai menetap di Bandung pada tahun 1920
(Kunto, 1984:250-251). Selain itu, secara bertahap mulai tahun 1898 pabrik mesiu di Ngawi dan
Pabrik Senjata atau Artillerie Constructie Winkel (ACW) di Surabaya dipindahkan ke Bandung.
Pemindahan ini secara keseluruhan selesai pada tahun 1920. (Kunto, 1984:163-164).
Sebagai kota yang disiapkan sebagai Ibukota Hindia Belanda, Bandung melengkapi
dirinya dengan Museum Geologi yang dipindah dari Batavia pada tahun 1924. Pada awalnya,
Museum tersebut menumpang di Gedung Sate, baru pada tanggal 16 Mei 1929 diresmikan
gedung baru yang tidak jauh dari Gedung Sate (sekarang adalah Gedung Museum Geologi).
Selain itu, didirikan juga Museum Pos dan Tilpon
atau Museum PTT yang menempati salah satu
ruang di Gedung Sate (Kunto, 1984:253-254).
Kedua Museum tersebut dibangun untuk
melengkapi kantor pusat instansi mereka
(Jawatan Geologi dan PTT) yang pindah dari
Batavia ke Bandung.
Pada tahun 1920 Belanda menentukan Gambar 5 :
Gedung Pos yang dibangun pemerintah kolonial
Kampung Andir yang letaknya sebelah Barat dari Belanda di tepi Jalan Raya Pos di sisi utara Alun-
alun Bandung (Sumber : Dok. Penulis, 2007)
kota Bandung sebagai lokasi lapang terbang baru
menggantikan lapangan terbang di Sukamiskin. Alasan pemindahan adalah karena lapangan
terbang Sukamiskin letaknya terlalu jauh dari kota Bandung dan secara teknis tanahnya terlalu

6
banyak mengandung air. Pada tahun 1925, pemindahan lapangan udara dari Sukamiskin ke
Andir selesai dan tanggal 26 Oktober 1925 resmi dipakai. Pada tahun 1928 di Hindia Belanda
didirikan Koninkelijke Nederlands Indische Luchtvaart Maatschappij (KNILM), yaitu
Perusahaan Penerbangan Kerajaan Hindia Belanda. Rute penerbangan Batavia - Bandung dan
Batavia - Semarang dibuka mulai 1 November 1928. Dalam perkembangan selanjutnya pada
tahun 1930 lapangan terbang Andir dijadikan rute akhir bagi penerbangan Belanda - Hindia
Belanda. (Koesman, 2002). Rute penerbangan dari Bandung ke Surabaya, Semarang, Palembang
dan Singapura dimulai pada tahun 1930 (Kunto, 1986: 259). Uraian tersebut menunjukkan,
lapangan terbang Andir sebagai salah satu lapangan terbang yang memiliki posisi penting di
Hindia Belanda.
Setelah dihubungkan dengan transportasi udara, hubungan komunikasi radio mulai
dikembangkan di Bandung khususnya dan di Hindia Belanda pada umumnya. Hubungan
komunikasi radio dari Hindia Belanda ke Negeri Belanda secara resmi dibuka pada tanggal 5
Mei 1923. Hubungan tersebut dilakukan melalui Stasiun Pemancar Radio yang dibangun di
lereng gunung Malabar, sedangkan hubungan Radio Telepon dalam negeri dipancarkan melalui
stasiun pemancar yang dibangun di Rancaekek (Kunto, 259-262).
Kantor Gubernur Jenderal Hindia Belanda baru pindah ke Bandung pada awal Maret
1942, ketika posisi Belanda di Batavia sudah terdesak oleh Jepang. Melalui perjanjian di Kalijati,
Subang pada tanggal 8 Maret 1942 Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang. Penyerahan
kedaulatan dari pemerintah Belanda yang diwakili oleh Gubernur Jenderal
Tjarba van Starkenburg Stakhouwer dan Letnan Jenderal Ter Poorten dilakukan pada tanggal 10
Maret 1942 di Balai Kota Bandung. Sesaat setelah penyerahan kedaulatan, kedua petinggi
Belanda tersebut langsung ditawan Jepang dan dikirim ke Formosa (Taiwan) dan akhirnya ke
Manchuria (Darsoprajitno, 06-01-2004).
Fakta lain berkenaan dengan pentingnya posisi Bandung namun tidak banyak diketahui
dan dipublikasikan, adalah usulan menjadikan Bandung sebagai Ibukota Kerajaan Belanda di
pengasingan. Setelah beberapa waktu memimpin pemerintahan Belanda di pengasingan di
London, pada bulan Mei 1940 Ratu Wilhelmina disarankan oleh anggota kabinet Belanda, De
Geer, untuk mempertimbangkan pemindahan pemerintah kerajaan Belanda dari London ke
daerah Belanda sendiri, tepatnya ke Hindia Belanda. Adapun tempat yang direkomendasikan
untuk dijadikan sebagai ibukota adalah Kota Bandung dengan alasan Iklimnya mendukung

7
sebagai pusat pemerintahan. Namun sayang, Ratu Wilhelmina keberatan atas usul tersebut
dengan alasan : (1) masalah kesehatan, karena secara langsung pindah ke daerah tropis untuk
waktu yang tidak menentu terlalu riskan; (2) secara strategis dan psikologis keberadaannya di
London yang letaknya tidak jauh dari Belanda menjadikan Ratu tetap dapat memonitor
perkembangan negeri dan rakyatnya; (3) kedudukan London sebagai basis utama kekuatan
sekutu sangat menguntungkan bagi Belanda karena Belanda merupakan bagian dari Sekutu
(Koesman, 2002).

Pertahanan Hindia Belanda


Mempersiapkan Bandung sebagai pengganti Batavia sebagai ibukota Hindia Belanda
sebenarnya sudah dilakukan sejak zaman Gubernur Jenderal H.W. Daendels, yaitu dengan
menjadikan Bandung sebagai salah satu daerah yang dilalui oleh rencana pemangunan Jalan
Raya Pos walaupun posisi Bandung berada di bagian tengah pulau Jawa, bukan daerah pesisir
utara pulau Jawa. Kondisi tersebut menunjukkan, sebagai seorang yang berpengalaman dalam
berperang, Daendels memandang posisi Bandung yang kala itu masih berupa hutan belantara
sebagai posisi yang ideal sebagai pusat pemerintahan pengganti Batavia di masa depan.
Sejarah membuktikan, pasukan Hindia Belanda yang dikonsentrasikan di kota Pantai,
yaitu di Batavia, Semarang, dan Surabaya dengan mudah dapat dipatahkan musuh. Hal ini
terlihat ketika armada pasukan Inggris yang dipimpin Lord Minto menyerbu Batavia (4 Agustus
1811) berhasil mengalahkan kekuatan militer Belanda dengan tanpa perlawanan berarti.
Pengalaman tersebut melahirkan rencana besar dalam pembangunan militer Hindia Belanda,
yaitu memindahkan pangkalan militer
Belanda dari daerah pantai ke daerah
pedalaman. Adapun daerah yang dipilih
sebagai pangkalan militer jaraknya harus
dekat dengan Ibukota namun sulit dijangkau
musuh (Kunto, 1984:162).
Setelah melalui berbagai pertimbangan
Gambar 6 : maka pada tahun 1896 dipilih Cimahi sebagai
Rumah Sakit Dustira Cimahi yang dibangun pada
tahun 1887 (Sumber : Pusat Militer Belanda. Pemilihan tersebut
http://www.cingciripit.wordpress.com) terutama didasarkan pada letak geografis

8
Cimahi yang strategis, yaitu tidak terlalu jauh dari Batavia serta dikelilingi pegunungan tinggi
dan terjal. Selain itu, Cimahi berdekatan dengan persimpangan dua jalan penghubung Bandung –
Batavia, yaitu Jalan Kereta Api dan dan Jalan Raya Pos. Cimahi berada dekat dengan pertemuan
Jalan Kereta Api Bandung – Batavia melalui Cianjur dan jalur Kereta Api Bandung – Batavia
melalui Purwakarta. Selain itu, Cimahi juga dekat dengan simpang Jalan Raya Bandung –
Batavia melalui Cianjur atau jalan raya pos serta Jalan Raya Bandung – Batavia melalui
Purwakarta.
Peresmian Cimahi sebagai Garnisun Militer dilakukan pada bulan September 1896
dengan komandan pertamanya Mayor Infanteri CA van Loenen dan ajudannya Luitenan JA
Kohler. Keberadaan pusat pertahanan tersebut didukung oleh keberadaan pabrik senjata yang
dibangun di kawasan Bandung (Kunto, 1984:163-164). Untuk memperkuat pertahanan, Cimahi
juga dihubungkan jalur Jalan Kereta Api dengan pusat pertahanan Belanda di Samudera Hindia,
yaitu Cilacap.
Kebijaksanaan pertahanan Hindia
Belanda dapat diketemukan pada Pokok-
pokok Dasar Pertahanan yang berlaku
mulai tahun 1927. Pada prinsipnya tentara
Belanda di dalam kebijaksanaan tersebut
lebih ditekankan pada tugas "rust en orde"
yaitu penegakan keamanan dan ketertiban
di dalam negeri sedangkan pertahanan
Gambar 7 :
Lapangan Udara Andir dilihat dari udara tahun 1920 menghadapi serangan dari luar kurang
(sumber : http://www.bandungtempodulu.com)
mendapat perhatian. Belanda nampaknya
akan berlindung pada kekuatan Sekutu yaitu Inggris dan Amerika, sehingga keberadaan lapangan
terbang Andir lebih difokuskan untuk kepentingan penerbangan sipil. Baru pada tahun 1939
dengan meningkatkan perkembangan politik di Eropa dan Asia, Belanda menyadari perlunya
peninjauan kembali kebijakan pertahanan yang telah ada. Salah satunya adalah kekuatan udara
perlu dijadikan kekuatan pokok disamping kekuatan laut, sehingga perlu dikembangkan system
pertahanan udara. Kebijakan ini menjadikan keberadaan lapangan udara Andir semakin penting
karena selain sebagai lapangan terbang sipil juga berfungsi sebagai pangkalan militer. Kondisi
ini semakin memposisikan lapangan terbang Andir sebagai salah satu lapangan terbang

9
terpenting di Hindia Belanda (Koesman, 2002). Melalui lapangan terbang ini, evakuasi pejabat
militer dan sipil Belanda ke Australia dilakukan ketika posisi Belanda semakin terdesak oleh
Jepang serta pulau Jawa tidak mungkin untuk tetap dipertahankan.
Menyadari keberadaan lapangan udara Andir akan menjadi target penyerangan musuh
jika terjadi peperangan, Belanda juga
mempersiapkan landas pacu cadangan yang
berada di luar lapangan udara Andir namun
posisinya tidak jauh dari pusat kota Bandung.
Landas pacu tersebut harus tersamar agar musuh
tidak mudah diketahui musuh. Adapun ruas jalan
(1)
yang dimaksud adalah jalan Buahbatu, yaitu ruas
jalan penghubung kota Bandung dengan kawasan
pinggirannya. Jalan tersebut dibangun
memanjang membelah persawahan kota
Bandung.
Sejarah mencatat, ketika Belanda
(2) semakin terdesak dan menyerah tanpa syarat
kepada Jepang pada tanggal 8 Maret 1942,
Letnan Jenderal HW Van Mook didampingi
perwira intelejen Mayor S.H. Spoor melarikan
diri ke Australia dengan pesawat Dakota yang
tinggal landas di Jalan Buah Batu karena takut
akan pembalasan Jepang (Darsoprajitno, 06-01-
2004). Penggunaan jalan buah batu sebagai
landas pacu ketika Van Mook keluar dari
(3)
Gambar 8 : Bandung, adalah karena landas pacu lapangan
Bangunan Pertahanan yang dibangun Belanda di
Sumedang. (1) Bangunan pertahanan di Gunung udara Andir tidak dapat didarati pesawat akibat
Gadung, (2) Bangunan pertahanan di Gunung
gempuran pasukan Jepang. Pelarian Van Mook
Palasari; (3) Bangunan pertahanan di Gunung
Kunci atau Pandjoenan (sumber : Dok. Balar dan pejabat Belanda lainnya ke Australia
Bandng, 2007)
dilakukan karena secara realistis sudah tidak ada

10
harapan lagi untuk mempertahankan pulau Jawa dari serbuan bala tentara Jepang (The Glasgow
Herald, 11-03-1942).
Untuk memperkuat pintu masuk Bandung dari arah timur, Belanda membangun basis
pertahanan di wilayah Sumedang, sekitar 45 km timur Bandung. Hal ini terlihat dari tinggalan-
tinggalan sejarah yang masih bisa dijumpai hingga saat ini, yaitu berupa bangunan-bangunan
pertahanan di Gunung Palasari, Gunung Kunci, dan Gunung Gadung/Pasir Laja yang dibangun
antara tahun 1914-1918 (Abrianto, 2007).
Bangunan pertahanan di Gunung Palasari berada pada ketinggian 675 mdpl, dibuat di
atas permukaan tanah dengan konstruksi beton bertulang dengan ketebalan rata-rata 0,80 m.
Bangunan ini berfungsi sebagai tempat penyimpanan atau gudang serta sebagai asrama atau
barak prajurit; Bangunan pertahanan Gunung Kunci atau Panjoenan, berdiri di puncak sebuah
bukit pada ketinggian 500 mdpl. Sebagian bangunan ini berada di dalam tanah dan sebagian lagi
di permukaan tanah serta dibuat dengan konstruksi beton bertulang dengan ketebalan rata-rata
0,80 m – 1,60 m. Bangunan pertahanan ini berfungsi sebagai bangunan pertahanan sekaligus
sebagai asrama atau barak prajurit serta gudang. Orientasi pertahanan bangunan ini, adalah
selatan, barat, dan timur; Bangunan pertahanan di Gunung Gadung atau Pasirlaja, merupakan
bangunan pertahanan yang berada pada ketinggian 718 mdpl dan dibangun di bawah permukaan
tanah dengan konstruksi beton cor bertulang dan mempunyai ketebalan dinding rata-rata 0,5 –
1,50 m. Bangunan ini berfungsi sebagai pertahanan, gudang/penyimpanan dan barak atau asrama
prajurit (Abrianto, 2007).
Letak ketiga bangunan pertahanan tersebut tidak jauh dari Jalan Raya Pos dan orientasi
pertahanannya adalah jalan raya tersebut serta fungsinya sebagai markas pasukan dan gudang
penyimpanan. Kondisi ini menunjukkan ketiga bangunan pertahanan tersebut merupakan pusat
pertahanan pasukan Belanda guna menghambat laju pergerakan militer musuh yang berusaha
masuk kota Bandung dari arah timur.

Posisi Strategis Bandung


Pemindahan ibukota Hindia Belanda dari Batavia ke Bandung yang direkomendasikan
oleh Tillema dan mendapat apresiasi dari pemerintah Belanda menunjukkan Bandung
mempunyai kedudukan yang strategis dibanding kota lainnya di pulau Jawa. Hal ini didasarkan
pada Iklim di Bandung yang lebih sejuk dibanding Batavia, serta lingkungannya yang lebih sehat

11
dibanding kota-kota pantai. Udara panas di kota-kota pantai dapat mengakibatkan orang cepat
lelah dan semangat kerja menurun. Kondisi tersebut berbeda jika ibukota pemerintahan berada di
daerah sejuk dimana orang tidak cepat lelah dan semangat kerja tetap bisa terjaga. Selain itu,
semangat untuk memindahkan Ibukota Hindia Belanda dari Batavia ke kota Bandung semakin
meningkat setelah Inggris memindahkan Ibukota daerah koloninya di India dari Calcuta ke New
Delhi yang berada di daerah pedalaman.
Alasan lain yang menjadi dasar pemindahan ibukota Hindia Belanda ke kota Bandung
adalah letak geografis Kota Bandung. Secara geografis, Kota Bandung tidak jauh dari Batavia
dan secara geomorfologis berada pada zona depresi antar montana yang merupakan pemisah
antara zona pegunungan utara pulau Jawa dengan zona pegunungan selatan pulau Jawa, sehingga
topografinya berupa cekungan dengan dataran yang luas di tengah dan dikelilingi oleh
perbukitan dan pegunungan di sekelilingnya (Bemmelen, 1949).
Keberadaan pegunungan, perbukitan tinggi dan terjal serta lembah-lembah dalam yang
mengelilingi Bandung merupakan keuntungan tersendiri karena bukit, gunung dan lembah
merupakan benteng alam yang kokoh melindungi dari serbuan musuh. Selain itu, akses masuk
kota Bandung terbatas, yaitu hanya melalui Jalan Raya Anyer – Panarukan (Jalan Raya Pos)
yang membentang dari Barat ke Timur membelah dataran Bandung. Terbatasnya akses masuk
menjadikan pengelolaan pertahanan kota dapat dikelola dengan lebih baik, karena pemusatan
pasukan pertahanan hanya difokuskan di kedua pintu masuk, yaitu di sebelah Barat dan Timur
kota Bandung. Di sebelah barat, Belanda membangun pusat militer di Cimahi dan di sebelah
timur dibangun benteng-benteng pertahanan di Sumedang.
Keadaan dunia yang masa itu sedang diliputi oleh peperangan, menjadikan posisi
strategis secara militer menjadi pertimbangan dalam menentukan ibukota pemerintahan di
banyak negara. Kota yang dipilih sebagai pusat pemerintahan, adalah kota yang secara militer
berada pada posisi strategis, yaitu berada di daerah yang secara alami terlindung dan mudah
dipertahankan, namun sulit dijangkau musuh.

Penutup
Ketika Daendels membangun Jalan Raya Pos, Bandung hanyalah sebuah kampung kecil
di tengah belantara tropik pulau Jawa. Daendels berharap di Bandung berdiri sebuah kota dan
harapan itu terwujud. Dalam waktu kurang dari lima puluh tahun, Bandung telah menyandang

12
dua fungsi, yaitu ibukota Kabupaten Bandung dan ibukota Karesidenan Priangan menggantikan
Cianjur. Memasuki abad ke duapuluh, status Bandung kembali meningkat menjadi sebuah
kotapraja (Gemeente) dan terus meningkat menjadi kota dengan status Stadsgemeente seiring
dengan semakin maraknya pembangunan di kota ini.
Kemajuan pembangunan infrastruktur di kota Bandung dan letaknya yang strategis, serta
kondisi iklimnya yang sejuk telah menjadikan kota ini satu-satunya yang direkomendasikan
sebagai ibukota Hindia Belanda menggantikan Batavia yang pada saat itu kondisinya dianggap
sudah tidak layak sebagai ibukota. Usulan tersebut disambut pemerintah dengan melakukan
percepatan pembangunan infrastruktur yang diperlukan guna mendukung sebuah ibukota negara,
bahkan kekuatan militer Belanda juga ikut pindah ke sekitar Bandung dan dipusatkan di Cimahi.
Setelah menunggu lebih dari duapuluh tahun sejak kota Bandung direkomendasikan
menjadi Ibukota Hindia Belanda menggantikan Batavia, kantor Gubernur Jenderal Hindia
Belanda akhirnya pindah ke Bandung pada awal Maret 1942, ketika posisi Belanda di Batavia
sudah terdesak oleh Jepang. Namun sayang, kedudukan Bandung sebagai ibukota Hindia
Belanda hanya berlangsung beberapa hari, karena pada tanggal 8 Maret 1942 Belanda menyerah
tanpa syarat kepada Jepang. Penyerahan kedaulatan dari pemerintah Belanda kepada Jepang
dilakukan di Bandung, tepatnya di gedung Balaikota Bandung (gedung Papak) pada tanggal 10
Maret 1942. Hal ini menunjukkan, secara de facto walau hanya beberapa hari Bandung telah
menjadi Ibukota Hindia Belanda menggantikan Batavia.

Daftar Pustaka
Abrianto, O. 2007. Laporan Hasil penelitian Arkeologi Bangunan Pertahanan Masa Kolonial di
Kabupaten Sumedang. Bandung : Balai Arkeologi Bandung (Tidak diterbitkan).
Affandie, R.M.A., 1969. Bandung Baheula 1-2. Bandung : Guna Utama
Bemmelen, R.W.V. 1949. The geology of Indonesia, The Hague : Martinus Nijhoff.
Daldjoeni, N. 1988. Geografi Kota dan Desa. Bandung : Alumni.
Daldjoeni, N. 1988. Geografi Kesejarahan 1-2. Bandung : Alumni.
Daljoeni, N. 1991. Dasar-dasar Geografi Politik. Bandung : Alumni.
Darsoprajitno, S. 2004. “Mengenang KAA, Merestorasi Bangunan Lama”. Pikiran Rakyat (06-
01-2004).
Hardjasaputra, A.S. 2000. Bandung dalam : Lubis, N.H., dkk. (2000) Sejarah Kota-kota lama di
Jawa Barat. Bandung : Alqaprint.
Koesman, H. Aboeng. 2002, “IPTN : Harapan dan Tantangan” dalam http://www.indonesian-
aerospace.com/book/d02.htm [diakses tanggal : 28-03-2010].
Kunto, Haryoto. 1984. Wajah Bandung Tempo Doeloe. Bandung : Granesia
Kunto, Haryoto. 1986. Semerbak Bunga di Bandung Raya. Bandung : Granesia

13
The Glasgow Herald. Mar 11, 1942 “Dutch Still Fighting in Java, Dr. Van Mook on Lesson for
Australia” dalam http://news.google.com/newspapers [diakses tanggal : 06-04-2010].
Rosidi, A. ed. 2000. Ensiklopedi Sunda . Jakarta : Pustaka Jaya
Sumaatmadja, N. 1988. Studi Geografi, Suatu pendekatan dan Analisa Keruangan.. Bandung :
Alumni.

14

Anda mungkin juga menyukai