Anda di halaman 1dari 11

KAJIAN MORFOLOGI KOTA BANDUNG

A. Rona Wilayah Kota Bandung

Secara geografis Kota Bandung terletak di wilayah Jawa Barat dan merupakan
Ibu kota Provinsi Jawa Barat. Kota Bandung terletak di antara 1070 – 430 Bintang
Timur dan 60 00 – 60 20 Lintang Selatan. Kota Bandung terletak pada ketinggian
768 Meter di atas permukaan laut, titik tertinggi di daerah Utara dengan
ketinggian 1.050 Meter dan terendah di sebelah Selatan adalah 675 Meter di
atas permukaan laut.

Kota Bandung Bandung dikelilingi oleh pegunungan, sehingga Bandung


merupakan suatu cekungan (Bandung Basin), di bagian Selatan permukaan
tanah relative datar, sedangkan di wilayah Kota Bandung bagian Utara berbukit-
bukit.
Adapun batas-batas administratif Kota Bandung, sebagai berikut :

1. Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Lembang Kabupaten Bandung


Barat.
2. Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Cileunyi Kabupaten Bandung.
3. Sebelah Barat berbatasan dengan Jalan Terusan Pasteur Kecamatan Cimahi
Utara, Cimahi Selatan dan Kota Cimahi.
4. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Dayeuh Kolot, Bojongsoang,
Kabupaten Bandung.

Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 06 Tahun 2008 Tentang


perubahan Atas Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 06 Tahun 2006
Tentang Pemekaran dan Pembentukan Wilayah Kerja Kecamatan Dan
Kelurahan di Lingkungan Pemerintah Kota Bandung, wilayah administratif
kecamatan dan kelurahan Kota Bandung terdiri dari tiga puluh (30) kecamatan
dan seratus lima puluh satu ( 151) kelurahan. Untuk lebih jelas, letak geografis
Kota Bandung dapat dilihat pada gambar 1.

1
Gambar 1. Peta Kota Bandung

B. Sejarah Kota Bandung

Kota Bandung tidak berdiri bersamaan


dengan pembentukan Kabupaten
Bandung. Kota Bandung dibangun
dengan tenggang waktu cukup jauh
setelah Kabupaten Bandung berdiri.
Kabupaten Bandung dibentuk sekitar
pertengahan abad ke-17 masehi,
secara pasti tidak diketahui berapa
lama Kota Bandung dibangun. Kota Bandung dibangun bukan atas prakarsa
Daendles, melainkan atas prakarsa Bupati Bandung, bahkan pembangunan kota
itu langsung dipimpin oleh Bupati. Dengan kata lain, Bupati R. A
Wiranatakusuma II adalah pendiri (the founding father) Kota Bandung.

2
Kota Bandung diresmikan sebagai ibukota baru Kabupaten Bandung dengan
surat keputusan tanggal 25 September 1810. Awalnya, Kabupaten Bandung
beribukota di Krapyak (sekarang Dayeh Kolot) kira-kira 11 kilometer kearah
selatan dari pusat Kota Bandung sekarang. Ketika Kabupaten Bandung dipimpin
oleh Bupati ke-6, yaitu R.A Wiranatakusuma II (1794-1829) yang dijuluki “Dalem
Kaum1”, kekuasaan di Nusantara beralih dari komponen ke pemerintahan Hindia
Belanda, dengan gubernur jendral pertama Herman Willem Daendels (1808-
1811).

Daendels membangun Jalan Raya Pos (Groote Postweg) dari Anyer di ujung
Jawa Barat ke Panarukan di ujung timur Jawa Timur kira-kira 1000 km) untuk
kelancaran tugasnya di Pulau Jawa. Jalan Raya Pos mulai dibangun
pertengahan tahun 1808, dengan memperbaiki dan memperlebar jalan yang
telah ada. Jalan raya pos itu adalah Jalan Raya Sudirman, Jalan Raya Asia
Afrika, Jalan Raya Ahmad Yani, berlanjut ke Sumedang dan seterusnya. Bupati
Bandung sudah merencanakan untuk memindahlan ibukota Kabupaten
Bandung, bahkan telah menemukan tempat yang strategis bagi pusat
pemerintahan. Tempat yang dipilih adalah lahan kosong berupa hutan, terletak di
tepi barat sungai Cikapundung, tepi selatan jalan raya pos yang sedang
dibangun (pusat Kota Bandung sekarang) alasan pemindahan ibukota itu antara
lain, Krapyak tidak strategis sebagai pusat ibukota pemerintahan, karena terletak
di sisi selatan daerah Bandung dan sering dilanda banjir bila musim hujan.

Pada tahun 1808/awal 1809, Bupati beserta sejumlah rakyatnya pindah dari
Krapyak mendekati lahan yang akan dijadikan ibukota baru. Mula-mula Bupati
tinggal di Cikalintu (daerah Cipaganti), kemudian pindah ke Balubur Hilir,
kemudian selanjutnya ke Kampung Bogor (Kebon Kawung, pada lahan Gedung
Pakuan Sekarang). Tanggal 21 Februari 1906, pada masa pemerintahan R.A.A
Martanegara (1893-1918). Kota Bandung sebagai ibukota Kabupaten Bandung,
statusnya berubah menjadi Gemente (Kota Pradja), dengan pejabat Walikota
pertama adalah tuan B. Coops. Sejak saat itulah Kota Bandung resmi terlepas
dari pemerintahan Kabupaten Bandung sampai sekarang.

3
Gambar 2. Kondisi Kota Bandung dimasa lalu Jl. Braga dan Jl Asia-Afrika

C. Dinamika Perkembangan Morfologi Kota Bandung

Kota Bandung pada zaman kolonial


direncanakan menjadi pusat
pemerintahan. Keadaan tersebut
menyebabkan markas besar tentara,
pusat telekomunikasi, pusat kereta api,
pengairan dan lalu lintas, pendidikan
teknik dan penelitian keteknikan berada
di Bandung. Hal tersebut mengubah Kota Bandung dari pusat pelayanan aktifitas
perkebunan menjadi pusat aktifitas kota.

Sejalan dengan pertambahan jumlah penduduk, berkembanglah kawasan


permukiman. Sebelum tahun 1980-an, perkembangan pemukiman dilakukan
secara perorangan yang mengikuti jaringan jalan, sehingga terbentuk pola jari-
jari kota. Dengan semakin intensifnya pembangunan permukiman. Semakin
berkembanglah kota bandung. Perkembangan ini diikuti oleh kota-kota lain
dikawasan cekungan Bandung, seperti lembang, Cimahi, Padalarang, Soreang,
Banjaran, Dayeuhkolot, Ciparay, Majalaya, dan cicalengka (Nawangsidi,1998).

4
Perkembangan tersebut karena pesatnya perkembangan kegiatan ekonomi di
dekade 1980-an, berdampak pada meningkatnya kegiatan industri. Kegiatan
industry diwilayah Bandung, Baik Kotamadya maupun Kabupaten Bandung
didominasi oleh industry tekstil dan pakaian jadi. Peningkatan kegiatan industry
meningkatkan aktifitas perdagangan di kota Bandung.

Sektor perdagangan memberikan kontribusi yang besar didalam perekonomian


Bandung karena sektor ini memberikan kesempatan yang luas dalam hal mata
pencarian, memanfaatkan produk-produk sektor pertanian, pertambangan dan
industry. Sektor perdagangan di kota bandung dewasa ini telah memasuki sektor
“matang”, yakni telah memperdagangkan bukan saja hasil pertanian, tetapi juga
sebagian besar produk-produk industri pengolahan. Kota Bandung dalam
aktifitas perdagangan menjadi pusat koleksi dan distribusi.

Secara topografi wilayah Kota Bandung terdiri atas dataran, perbukitan hingga
pegunungan namun kota Bandung menunjukan gejala perkembangan fisik pusat
kota hingga keluar pusat kota (suburban) dan membentuk pola konsentrik
akbibat adanya ekspansi fungsi ruang Kota Bandung. Adapun model konsentrik
yang digagas Burgess dapat dilihat pada gambar dibawah ini.

Gambar 3. Organisasi keruangan perkotaan di Bandung Berdasarkan pada


Model konsentrik (Burgess)

5
D. Konsep Organisasi Spasial Perkotaan dan Kawasan Komersial Kota
Bandung

Kawasan komersial kota Bandung bila


dibandingkan dengan teori spasial
perkotaan, tampak mengikuti model
yang di kemukakan oleh Burgess yaitu
model Konsentrik, walaupun tidak
secara ideal demikian. Sebagai zona
1 atau KPB adalah pusat kota atau
alun-alun Bandung, yang meliputi
Jalan Asia Afrika, Jalan Dalem Kaum, Jalan Oto Iskandardinata, Jalan Braga dan
sekitarnya. Di Zona 1 ini merupakan kawasan perdagangan berbagai jenis
barang, kawasan perkantoran (swasta dan pemerintah), kawasan hiburan dan
perbankan.

Zona 2 merupakan zona transisi; awalnya merupakan lahan permukiman. Karena


pengaruh/daya tarik peluang bisnis dan usaha maka berkembanglah area
tersebut menjadi daerah komersial. Di Bandung, zona ini meliputi jalan Ir. H.
Juanda, Jalan Cihampelas, Jalan Sukajadi, Jalan Kopo, Jalan Moh. Toha dan
Jalan Buahbatu.

Dalam model konsentrik dari Burgess , Zona 3 merupakan wilayah permukiman


dengan warga kota yang berpenghasilan rendah, dan zona 4 merupakan wilayah
permukiman dengan penduduk berpenghasilan tinggi. Di wilayah kota Bandung
pemisahan kedua zona ini tidak jelas karena batasnya kabur. Di kota Bandung
wilayah warga berpenghasilan rendah dan tinggi terdapat didalam satu zona.
Zona yang dihuni oleh warga berpenghasilan tinggi berada di perumahan-
perumahan dengan jalan yang lebar. Sedangkan warga berpenghasilan rendah
berada di area jalan-jalan sempit dan tidak beraturan.

Zona terakhir adalah zona 5 merupakan zona yang dihuni oleh penglaju. Wilayah
ini meliputi Soreang, Banjaran,Rancaekek, Cicalengka dan sekitarnya. Pada
gambar 3 ditunjukan organisasi keruangan perkotaan di Bandung.

6
E. Kawasan Pusat Bisnis Kota Bandung

Pusat kota Bandung atau kawasan pusat Bisnis (KPB) di kawasan alun-alun. Di
kawasan ini terdapat Mesjid Agung,taman kota (alun-alun) kantor pos pusat,
kawasan perdagangan, kawasan perkantoran, kawasan perbankan, kawasan
hiburan, restoran, hotel dan sebagainya.

Terdapat fenomena ketertarikan masyarakat Bandung terhadap pusat pertokoan


baru. Di kota Bandung pusat pertokoan modern yang pertama dibuat sekitar
oloni 70-an yaitu Miramar. Pada tahun tersebut pusat pertokoan Miramar yang
terletak di Jalan Asia Afrika ramai dikunjungi orang. Beberapa tahun kemudian
muncul pusat pertokoan yang lebih modern yaitu Palaguna yang berlokasi
dibelakang Miramar. Pada saat tersebut pusat pertokoan Miramar relative
menjadi sepi, pengunjung beralih ke Palaguna. Pada saat ini di jalan Dewi
Sartika terdapat pusat pertokoan yang lebih modern yaitu Jogja Pasar Raya.
Para pengunjung beralih ke pusat pertokoan tersebut.

Secara spasial keadaan tersebut dapat dianalisis. Pada oloni 1970-an akses
jalan ke asia afrika masih mudah, lahan parkir cukup luas dan tidak ada
kemacetan lalu lintas. Jadi sepinya pusat pertokoan Miramar karena oloni
terbatasnya akses, sulitnya lahan parkir cukup luas dan tidak ada kemacetan lalu
lintas. Dibangunnya Palaguna dilengkapi dengan sarana parkir mengakibatkan
pengunjung kepusat pertokoan yang lebih baru (Jogja Pasar Raya) karena
aksesnya lebih baik, lahan parkir lebih lapang dan konsep halte perbelanjaan
yang ditawarkannya.

Fenomena Khas KPB (Kawasan Pusat Bisnis) kota Bandung sebagaimana kota
besar lainnya di Indonesia adalah adanya kegiatan perdagangan oloni informal.
Sektor informal ini meliputi pedagang kaki lima dan pedagang asongan. Para
pedagang kaki lima ini menempati areal jalan asia afrika. Jalan Dalem Kaum dan
jalan Oto iskandardinata.

Secara keruangan wilayah KPB ini perlu penataan yang baik. Pemda Kotamadya
dalam Rencana Umum Tata Ruang Kota (Revisi Rencana Induk Kota Bandung
2005) tahun 1992 dibidang perdagangan telah menetapkan perlunya
penanganan kawasan lalu-lintas di jalan-jalan yang ada di kota Bandung. Karena

7
lokasi perdagangan dipusat kota maka kegiatan pengangkutan dan bongkar
muat barang mengurangi kapasitas lalu-lintas. Sebagai akibatnya sering terjadi
kemacetan dan perlambatan kecepatan lalu lintas. Penurunan tingkat pelayanan
fasilitas transportasi ini, menjadikan kegiatan berbelanja dipusat kota menjadi
tidak nyaman dan menimbulkan keengganan konsumen untuk berbelanja
dikawasan perdagangan tesebut.

F. Perubahan Morfologi Spasial Kota Bandung

Organisasi spasial perkotaan di Bandung


agak berbeda dengan konsep model
spasial dinegara maju. Dengan
menggunakan konsep model konsentrik
dari Burgess, kota Bandung memiliki 5
zona. Perbedaan yang tampak antara
model spasial Negara maju dan Negara
a Bandung : Contoh yang sedang berkembang adalah adanya pemisahan zona yang jelas antara
mpulan bangunan dan
kawasan perumahan berpenghasilan rendah dan berpenghasilan tinggi dinegara
berkembang. Sedangkan di kota Bandug sebagai contoh kota di negara yang
sedang berkembang hal tersebut tidak tampak nyata, sehingga batas zona 3 dan
4 menjadi kabur/samar.

Kawasan pusat bisnis (KPB) dari kota Bandung berada di pusat kota, yaitu alun-
alun. Terdapat fenomena spesifik pada KPB kota Bandung, yaitu adanya
pedagang kaki lima (PKL). Karakteristik ini mewarnai kota-kota besar di
Indonesia dan gambaran ini berbeda dengan negara yang telah berkembang.
Perlu kebijakan penanganan khusus untuk PKL ini, karena dengan adanya
PKLselain dapat menurunkan aktifitas perdagangan dikawasan pertokoan pusat
kota juga dapat mengganggu kelancaran lau-lintas, dan selanjutnya berdampak
pada kegiatan bisnis kota.

Di kawasan cihampelas dan cibaduyut terdapat kawasan perdagangan khas


kota Bandung. Pada dua kawasan ini terjadi dampak ganda. Di jalan Cihampelas
terdapat kawasan perdagangan jeans dan di jalan Cibaduyut terdapat kawasan
perdagangan sepatu. Ini berimplikasi pada penyerapan tenaga kerja.

8
Tahun 1989

Tahun 2004

Tahun 1939

Gambar 4. Perubahan wajah pusat Kota Bandung masa olonial dan modern

Gambar 5. Bangunan tua bersejarah (Gedung Merdeka) diantara bangunan-


bangunan modern di Pusat Kota Bandung

Gambar 6. Perkembangan Morfologi Kota Bandung dari masa-kemasa


Berdasarkan pengamatan pada gambar 4, 5 dan 6 diatas terlihat perubahan fisik
Kota Bandung dari masa-kemasa seiring terjadinya modernisasi kota dan
dampak peran dan posisi Kota Bandung sebagai Ibukota Provinsi Jawa Barat

9
sehingga akselerasi pembangunan di Kota Bandung sangat signifikan khususnya
perkembangan kawasan-kawasan bisnis, hiburan dan pemerintahan.

Pembangunan yang terjadi di Kota Bandung dari tahun-ketahun membentuk


suatu pola Under Bounded City sebagai dampak terjadinya pembangunan Kota
Bandung yang semakin meningkat.

Gambar 7. Pola Bentuk Under Bounded City yang terjadi di Kota Bandung

10
Daftar Pustaka

Yunus, S.H. 2008. Struktur Tata Ruang Kota. Penerbit. Pustaka Pelajar

Koestoer,RH dkk. 2001. Dimensi Keruangan Kota. Penerbit UI Press

Jayadinata, JT. 1992. Tata Guna Tanah dalam Perencanaan Pedesaan


Perkotaan dan Wilayah. Penerbit ITB.

http://www.bandung.go.id/?fa=pemerintah.detail&id=326 Diakses tanggal 11


Oktober 2012

http://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Bandung Diakses tanggal 11 Oktober 2012

11

Anda mungkin juga menyukai