Anda di halaman 1dari 12

PROFESIONALISME PENDIDIKAN

A. Pendahuluan
Dalam pembangunan secara keseluruhan dirasakan perlu
profesionalitas; praktek kerja dengan tingkat mutu keahlian tinggi yang
menunjang produktifitas. Profesionalitas dalam bidang hukum, khususnya
notaris, dan kedokteran relatif sudah mapan; mutu prakteknya mendapat
pengakuan, ada kode etik, ada undang-undang, ada organisasi. Bidang
konsultasi dan kewartawanan sudah mulai mengarah pada
profesionalitas, begitu pula pada kemiliteran sudah mengumandangkan
konsep prajurit dan profesional. Pertanyaannya yang paling relevan dalam
kajian saat ini, bagaimana dalam dunia pendidikan; apakah guru, kepala
sekolah, konselor dan pengelola sistem pendidikan semuanya telah
profesional? Seberapa jauh pendidikan mampu meningkatkan Sumber
Daya Manusia (SDM) kita dan jati diri bangsa dalam mengembangkan
demokrasi dan memupuk persatuan bangsa? Sebuah pertanyaan yang
sering terlontarkan, terkesan bernada klise, namun memiliki jangkauan
yang dalam.
Sedikitnya terdapat tiga syarat utama yang harus diperhatikan
dalam pembangunan pendidikan agar dapat berkonsentrasi terhadap
peningkatan Sumber Daya Manusia (SDM), yakni : (1) Sarana Gedung,
(2) buku yang berkualitas, dan (3) guru serta tenaga kependidikan yang
profesional. Hal ini diungkapkan oleh Wardiman Djoyonegoro dalam
wawancara dengan Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) tanggal 16
Agustus 2004, beliau mengemukakan bahwa “hanya 43% guru yang
memenuhi syarat”, yang berarti sebagian besar guru (57%) tidak mau
atau belum memenuhi syarat, tidak kompeten, dan tidak profesional.
Pantas kalau kualitas pendidikan kita jauh dari harapan, dan kebutuhan.
Pendidikan yang dilakukan selama ini baru mampu menghasilkan lulusan
yang memiliki kemampuan dalam bidang tertentu saja. Pendidikan selama
ini belum mampu membangkitkan kemauan peserta didik untuk
melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi kepentingan umat. Padahal
dalam kapasitasnya yang sangat luas pendidikan memiliki peran dan
pengaruh positif terhadap segala bidang kehidupan dan perekembangan
manusia dengan berbagai aspek kepribadiannya.
Di indonesia, orang pandai sudah cukup banyak, orang terampil
juga sudah membludak. Masalahnya bagaimana agar mereka memiliki
kemauan untuk memanfaatkan kepandaian dan keterampilannya bagi
pemecahan berbagai persoalan masyarakat dan bangsa, dalam skala
kecil sekalipun, bukan malah menambah masalah dan menghambat
pembangunan. Uraian ini tidak tanpa alasan, buktinya dapat disaksikan
betapa banyak para peserta didik yang keluyuran di mall pada jam-jam
efektif belajar. Mengapa mereka lebih senang bermain daripada belajar?.
Ini adalah tantangan, khususnya bagi para guru, bagaimana menciptakan
pembelajaran yang mengairahkan, menantang nafsu peserta didik, dan
menyenangkan.
Guru merupakan orang yang harus digugu dan ditiru, dalam arti
orang yang memiliki kharisma atau wibawa hingga perlu untuk untuk ditiru
dan diteladani. Mengutip pendapat Laurence D. Hazkew dan Jonathan C.
Mc London dalam bukunya “This is Teaching” : Guru adalah seorang yang
mempunyai kemampuan dalam menata dan mengelola kelas. Sedangkan
menurut Jean D. Grambs dan C. Morris Mc. Clare dijelaskan bahwa guru
adalah mereka yang secara sadar mengarahkan pengalaman dan tingkah
laku dari seseorang individu hingga terjadilah pendidikan. Jadi, guru
adalah orang dewasa yang secara sadar bertanggung jawab dalam
mendidik, mengajar dan membimbing peserta didik. Orang yang disebut
guru adalah orang yang memiliki kemampuan merancang program
pembelajaran serta mampu menata dan mengelola kelas agar peserta
didik dapat belajar dengan baik dan nyaman, hingga pada akhirnya dapat
mencapai tingkat kedewasaan sebagai tujuan akhir dari proses
pendidikan. Untuk itu, diperlukan guru yang kreatif, profesional, dan
menyenangkan, sehingga mampu menciptakan iklim pembelajaran yang
kondusif, suasana pembelajaran yang menantang, dan mampu
membelajarkan dengan menyenangkan. Hal ini penting dilakukan dalam
setiap pembelajaran karena guru memiliki peranan yang sangat
menentukan keberhasilan pendidikan secara keseluruhan. Kualitas
pembelajaran sangat tergantung pada kemampuan profesional guru,
terutama dalam memberikan kemudahan belajar kepada peserta didik
secara efektif dan efisien.

B. Hakikat Profesi dan Kaitannya


Perlu adanya pemahaman mengenai definisi profesi, profesional,
profesionalisme, profesionalitas, dan profesionalisasi. Secara bahasa;
Profesi berarti nomina-kondisi, keadaan pekerjaan ; Profesional berarti
ajektiva yang bisa juga nomina, sifat atau orang ; profesionalisme berarti
nomina-paham, kesepakatan keyakinan; profesionalitas berarti nomina-
produk, kadar ; profesionalisasi berarti nomina-produk, kadar ;
profesionalisasi berarti nomina-proses.
Lebih rinci dijelaskan Profesi berarti jabatan atau pekerjaan yang
menuntut landasan pendidikan keahlian (keterampilan, kejuruan, dsb)
tertentu dan etika khusus anggotanya. Hal ini memiliki makna tidak bisa
dilakukan oleh sembarang orang yang tidak terlatih dan tidak disiapkan
secara khusus untuk melakukan pekerjaan itu. Dua hal pokok yang
ditunjukkan untuk suatu profesi adalah pengetahuan dan persiapan
akademik. Profesi merujuk pada pekerjaan. Pekerjaan di sini dengan
sendirinya melahirkan pelayanan keahlian khusus diperoleh melalui apa
yang disebut profesionalisasi.
Profesional memiliki keterkaitan dengan kemampuan seseorang/
individu yang melakukan bidang pekerjaan yang membutuhkan keahlian
tertentu. Kemampuan seseorang dalam menjalankan profesi tertentu.
Profesional menunjuk pada dua hal, pertama orang yang menyandang
satu profesi; misalnya, “Dia seorang profesional”, kedua, penampilan
seseorang dalam melakukan pekerjaannya sesuai dengan profesinya.
Dalam pengertian kedua ini istilah profesional dikonsentraksikan dengan
“non-profesional”
Profesionalisme menunjuk kepada mutu, kualitas tindak tanduk
yang merupakan ciri suatu profesi, atau orang yang profesional, menunjuk
kepada komitmen para anggota suatu profesi tertentu untuk
meningkatkan kemampuan profesionalnya dan terus-menerus
mengembangkan strateg-strategi yang digunakan dalam melakukan
profesi tersebut.
Profesionalitas adalah perihal profesi, keprofesian, mengacu pada
keahlian yang mereka miliki dalam rangka melakukan pekerjaannya. Jadi
seorang prfofesional tidak akan mau mengerjakan sesuatu yang memang
bukan bidangnya.
Profesionalisasi adalah usaha menjadikan suatu jabatan sebagai
pekerjaan profesional; upaya dan proses peningkatan dasar, kriteria,
standar kemampuan, keahlian, etika dan perilindungan suatu profesi.
Profesionalisasi menunjuk pada proses peningkatan kualifikasi maupun
kemampuan para anggota profesi. Pada dasarnya merupakan
serangkaian proses pengembangan profesional baik dilakukan melalui
pendidikan/latihan “prajabatan”.
Pengertian profesi sebagai jabatan/pekerjaan yang memberikan
pelayanan intelektual spesialistik yang sangat tinggi dengan sifat-sifat
utamanya antara lain :
(1) Penguasaan ilmu dan kemampuan/keahlian menerapkannya,
seperangkat sikap dan teknik yang ditujukan sebagai pelayanan bagi
kepentingan kemanusiaan;
(2) Standar keberhasilan yang diukur oleh kesempurnaan melayani
kebutuhan manusia, bukan diukur oleh keuntungan pribadi;
(3) Keterpanggilan untuk menjalankan praktek itu,
dipertanggungjawabkan lewat pendidikan dan ujian, serta pengawasan
hukum serta melalui asosiasi dan kode etik lainnya.
Jika dalam masa pendidikan/latihan pra-jabatan itu profesionalsasi
lebih banyak ditentukan oleh lembaga (Comunity of scholars, faculty
members) dengan berpegang pada kaidah-kaidah akademik dan latihan
praktek yang standar, maka setelah bekerja profesionalisasi lebih banyak
tergantung kepada setiap individu profesional tersebut. Profesi
mempunyai ciri-ciri utama sebagai berikut :
1. Fungsi dan signifikansi sosial : suatu profesi merupakan suatu
pekerjaan yang memiliki fungsi dan signfikansi sosial yang crucial.
2. Keterampilan/keahlian; untuk mewujudkan fungsi ini, dituntut derajat
keterampilan/keahlian tertentu.
3. Pemerolehan keterampilan tersebut bukan bukan hanya dilakukan
secara rutin, melainkan bersifat pemecahan masalah atau
penanganan situasi kritis yang menuntut pemecahan dengan
menggunakan teori dan metode ilmiah.
4. Batang tubuh ilmu; suatu profesi dudasarkan kepada suatu disiplin
ilmu yang jelas, sistematis dan eksplisit (a systemic body of
knowledge) dan bukan hanya common sense.
5. Masa pendidikan; upaya mempelajari dan menguasai batang tubuh
ilmu dan keterampilan/keahlian tersebut membutuhkan masa latihan
yang lama, bertahun-tahun, dan tidak cukup hanya beberapa bulan.
Hal ini dilakukan pada tingkat perguruan tinggi.
6. Aplikasi dan sosialisasi nilai-nilai profesional; proses peniddikan
tersebut juga merupakan wahana untuk sosialisasi nilai-nilai
profesional di kalangan para siswa / mahasiswa.
7. Kode etik dalam memberikan pelayanan kepada klien, seorang
profesional berpegang teguh kepada kode etik yang pelaksanaannya
dikontrol oleh organisasi profesi. Setiap pelanggaran terhadap kode
etik dapat dikenakan sanksi.
8. Kebebasan untuk memberikan judgment; anggota suatu profesi
mempunyai kebebasan untuk menetapkan judgment-nya sendiri dalam
menghadapi atau memecahkan sesuatu dalam lingkup kerjanya.
9. Tanggung jawab profesional dan otonomi; komitmen pada suatu
profesi adalah melayani klien dan masyarakat dengan sebaik-baiknya.
Tanggungjawab profesi profesional harus diabdikan kepada mereka.
Oleh karena itu, praktek profesional itu otonom dari campur tangan
pihak luar.
10. Pengakuan dan imbalan sebagai; sebagai imbalan dari pendidikan dan
latihan yang lama, komitmennya dan seluruh jasa yang diberikan
kepada klien, maka seorang profesional mempunyai prestise yang
tinggi di mata masyarakat dan karenanya juga imbalan yang layak.

C. Perlunya Profesionalisasi dalam Pendidikan


Dalam rangka menjaga dan meningkatkan layanan profesi secara
optimal serta menjaga agar masyarakat jangan sampai dirugikan oleh
orang-orang yang tidak bertanggungjawab, tuntunan jabatan profesional
harus sangat tinggi. Profesi kependidikan, khususnya profesi keguruan
mempunyai tugas utama melayani masyarakat dalam dunia pendidikan.
Sejalan dengan alasan tersebut, jelas kiranya bahwa profesioanalisasi
dalam bidang keguruan mengandung arti peningkatan segala daya dan
usaha dalam rangak pencapaian secara optimal layanan yang akan
diberikan kepada masyarakat. Sehingga dimunculkan sejumlah asumsi
yang melandasi pekerjaan mendidik sebagai profesi sehingga perlu ada
profesi sehingga perlu ada profesionalisasi dalam pendidikan, yakni
sebagai berikut :
1) Subjek pendidikan adalah manusia dengan segala potensinya untuk
berkembang. Karena itu, pendidikan dilandasi oleh nilai-nilai
kemanusiaan; pendidikan menghargai martabat manusia, manusia
yang memiliki kemauan, pengetahuan, emosi dan perasaan.
2) Dalam melakukan aktivitasnya, pendidikan dilakukan secara sadar
dan bertujuan, jadi intensional. Ia tidak dilakukan secara random.
Oleh karena ada unsur tujuan ini, maka pendidikan menjadi normatif,
diikat oleh norma-norma dan nilai-nilai, baik yang bersifat universal
maupun yang nasional atau lokal yang menjadi acuan pelaku
pendidikan, yaitu pendidik, peserta didik, dan pengelola pendidikan
itu.
3) Oleh karena yang dihadapi oleh pendidikan adalah manusia dengan
segala teka-tekinya (enigma), maka ada teori-teori pendidikan yang
merupakan jawaban kerangka hipotesis tentang bagaimana
seharusnya pendidikan dilakukan.
4) Dalam memandang manusia, pendidikan bertolak dari asumsi yang
positif tentang potensi manusia. Potensi yang baik itulah yang harus
dikembangkan, yang oleh Norton (1977) disebut sebagai “daimon”
yakni suatu potensi yang unggul pada diri manusia ( a potential
excellence in personhood). Pendidikan merupakan usaha
mengembangkan potensi manusia yang baik (education as
development).
5) Inti pendidikan terjadi dalam prosesnya, yaitu situasi pendidikan yang
memungkinkan terjadi dialog antara pendidik dan terdidi. Dialog
memungkinkan terdidik untuk tumbuh ke arah tujuan yang
dikehendaki oleh pendidik yang selaras dengan nilai-nilai yang
dijunjung tinggi oleh masyarakat.
6) Tujuan utama pendidikan terletak pada dimensi intrinsiknya, yakni
menjadikan manusia sebagai manusia yang baik, yang dalam tujuan
pendidikan nasional digambarkan sebagai manusia yang beriman,
bertaqwa, berbudi luhur dst. Oleh karena pendidikan tidak
berlangsung dalam kevakuman dari tuntutan masyarakat.
Karena asumsi-asumsi dan karakteristik-karakteristik pekerjaan
kependidikan yang demikian, maka terlalu penting jika pendidikan
dilakukan secara random, hanya menurut “common sense”. Pendidikan
harus dilakukan secara profesional. Konsekuensinya, diperlukan upaya-
upaya yang sistematis dan intensional dalam rangka profesionalisasi
tenaga kependidikan yang dibahas dalam bagian selanjutnya.

D. Cakupan Profesi Kependidikan


Profesi kependidikan merupakan suatu payung yang melingkupi
berbagai profesi seperti dikemukakan dalam Undang-Ungdang nomor 20
tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (SISDIKNAS). Dalam
lingkup tenaga kependidikan ini termasuk guru, laboran, pengembang
kurikulum, pustakawan, administrator, konselor.
Pekerjaan indduknya adalah pendidikan, namun profesionalisasi
dilakukan dalam setiap sub-profesi, yang disebutkan di atas. Oleh sebab
itu, setiap diskusi mengenai profesi-profesi dalam lingkup pendidikan tidak
dapat dilepaskan dari payungnya yaitu profesi kependidikan.
Bagaimanakah hubungan antara pfofesi-profesi (sub-profesi)
kependidikan dapat didiskusikan di bawah ini :

PENDIDIK/
GURU
PENGELOLA
KONSELOR
PENDIDIKAN

PENILIK/
PROFESI
PENGAWAS PUSTAKAWAN
PENDIDIKAN
PENDIDIKAN

TEKNISI
PENELITI
SUMBER
PENDIDIKAN
BELAJAR
LABORAN
Dalam pengertian di atas, profesi kependidikan umumnya
menunjukkan kepada profesi-profesi yang bergerak dalam lingkup
persekolahan. Hal ini berarti bahwa memang sekolah merupakan basis
dari profesi pendidikan.
Akan tetapi timbul masalah, karena dengan pengertian yang
terbatas ini, maka seolah-olah diluar sekolah profesi kependidikan
terbatas ruang geraknya, atau bahkan tidak mempunyai hak hidup.
Bagaimana, misalnya, dengan pendidikan luar sekolah?. Selain itu, akan
timbul kesan seakan-akan pendidikan yang harus digarap secara
profesional dan oleh tenaga-tenaga kependidikan yang profesional hanya
terbatas di sekolah. Padahal pendidikan berlangsung pula di luar sekolah,
dalam masyarakat, melalui wadah pendidikan non formal. Pendidikan
yang berlangsung di luar lingkup persekolahan pun harus dilakukan
secara profesional.
Selain tenaga pendidikan yang di rujuk Undang-Undang sistem
Pendidikan Nasional, yang pada hakekatnya bukan penetapan limitatif itu,
sesungguhnya profesi kependidikan mengacu pula kepada pendidikan
luar sekolah. Ini berarti bahwa pendidikan yang berlangsung di luar
dinding sekolah pun harus dilakukan secara profesional.

E. Profesi Kependidikan dan Ilmu Pendidikan


Keberadaan pekerjaan-pekerjaan di bidang kependidikan sebagai
profesi masih banyak dipertanyakan. Apakah pendidikan merupakan
suatu prfesi, dan apakah pekerjaan mendidik merupakan pekerjaan
profesional? Pertanyaan ini berlangsung lama, bukan hanya di indonesia,
melainkan juga di negara-negara maju.
Mungkin rumusan pertanyaan pun kurang jelas. Di bawah ini ada
rumusan lain. Apakah pekerjaan-pekerjaan mengajar dan mendidik pada
umumnya sudah dinyatakan sebagai profesi oleh peraturan rundang-
undangan ? Lalu adakah perbedaan dalam tingkat – tingkat dan mutu
keahlian bagi praktek pekerjaan itu, sehingga keahlian profesional itu
dapat dibedakan dari keahlian non-profesional?
Mungkin sekali keraguan muncul juga karena beberapa kenyataan,
di antaranya :
(1) Beragamnya latar belakang pendidikan orang-orang yang bergerak
dalam profesi ini.
(2) Tiadanya acuan baku mengenai praktek atau perilaku profesional
tenaga kependidikan yang disepakati bersama (dan dikuatkan hukum)
(3) Tiadanya perbedaan yang nyata dalam performans tenaga
kependidikan yang yang berlatar belakang pendidikan tenaga
kependidikan dengan yang di luar tenaga kependidikan.
(4) Tidak / Belum ada perbedaan dari tingkat / derajat mutu keahlian
dalam keguruan dan bidang pendidikan pada umumnya.
Keadaan ini berpangkal dari ketidakjelasan konsep pendidikan.
Pendidikan cenderung hanya diartikan mengajar. Padahal mendidik itu
membesarkan anak melalui medium pendidikan. Yang terjadi sekarang
melalui pengajaran di sekolah – sekolah pada umumnya bukan mendidik
dalam arti “membesarkan” anak, melainkan memindahkan atau
mengajarkan pengetahuan/informasi.
Status Ilmu Pendidikan memang banyak didiskusikan akhir-akhir
ini. Ini mengaitkan dengan timbulnya sorotan bahkan gugatan terhadap
mutu pendidikan. Kemudian orang mulai secara kritis menoleh kepada hal
yang lebih mendasar, mungkin pangkalnya terletak pada ketidakjelasan
status ilmu pendidikan itu sendiri. Diagnose sementara yang masih
bersifat hipotesis menyatakan bahwa ilmu pendidikan (di kita) sedang
mengalami krisis identitas. Batang tubuhnya tak jelas, batas-batasnya
kabur, strukturnya sebagai “a body of knowledge” samar – samar.
Struktur dan kerangka dasar Ilmu Pendidikan harus di cari, dan
rumusan itu bisa terus berekembang. Ada pandangan bahwa sosok Ilmu
Pendidikan masa depan akan lebih berorientasi futuristik, seraya
mengakomodasi perkembangan dalam masyarakat dan bidang –bidang
dalam keilmuan yang lain. Sikap kalangan ilmuan pendidikan yang secara
ketat terkungkung (atau mengungkung diri?) dalam tembok –tembok yang
disebutnya batas-batas disiplin akan kurang relevan. Memang batas itu
harus ada, tetapi orang harus mau melihat Ilmu Pendidikan secara inter –
dan multi –multi disipliner.
Tantangan global masa kini mengharuskan orang-orang bergerak
dalam bidang ini untuk melihat pedidikan jauh lebih luas dari apa yang
sering diartikan secara sempit dalam konteks persekolahan. Untuk bisa
berperan dalam mengentaskan martabat manusia dan mengantarkan
mereka dalam melakukan transformasi budaya, maka kalangan ilmuan
pendidikan ditantang untuk juga mau melihat realitas dunia yang semakin
ruwet dan penuh degan berbagai trend dan bahkan ketidak-pastian. Untuk
itu, studi-studi antropologi , sosiologi, ekologi, dll perlu menjadi menu para
ahli pendidikan.

F. Perlindungan Terhadap Profesi Kependidikan


Suatu perkembangan yang menggembirakan muncul, menyusul
keluarnya Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, lalu muncul pula Undang-Undang Nomor 14 tahun
2005 tentang Guru dan Dosen. Dalam kedua undang-undang tersebut,
secara khusus dibicarakan mengenai tenaga kependidikan. Ini
menunjukkan bahwa kedudukan tenaga kependidikan begitu penting
dalam rangka upaya memajukan pendidikan secara keseluruhan.
Bagi profesi kependidikan, undang-undang sistem pendidikan
nasional dan undang-undang guru dan dosen mempunyai arti yang
sangat penting, karena dalam undang-undang ini, profesi kependidikan
telah jelas dasar hukumnya, bahkan pekerjaan guru secara tegas telah
dilindungi keberadaanya. Insan-insan pendidikan (yaitu tenaga
kependidikan dan murid) dilindungi secara hukum, mempunyai hak-hak di
samping kewajiban-kewajibannya.
Gagasan mendasar yang dikandung Undang-undang Sistem
Pendidikan Nasional dan Undang-undang Guru dan Dosen dalam
kaitannya dengan tenaga kependidikan ialah perlindungan dan
pengakuan yang lebih pasti terhadap jabatan guru khususnya dan tenaga
kependidikan umumnya. Profesi-profesi ini secara tegas akan dilindungi,
dihargai, diakui, dan dijamin keberadaannya secara hukum. Perlindungan
itu secara eksplisit dikemukakan dalam banyak pasal, baik pada Undang-
undang Sistem Pendidikan Nasional maupun undang-undang Guru dan
Dosen. Prinsip-prinsip tersebebut berlaku untuk tenaga kependidikan
pada semua jenjang pendidikan. Proteksi terhadap jabatan tenaga
kependidikan menyangkut juga lembaga penghasilnya, yakni LPTK.
Dengan adanya 2 Undang-Undang tersebut berkaitan erat dengan
dasar pengakuan status profesional tenaga kependidikan ialah adanya
perlindungan hukum bagi tenaga kependidikan dalam menjalankan
tugasnya. Hal ini membuktikan adanya keistimewaan kepada tenaga
kependidikan karena memiliki “dua jenis” perlindungan hukum, yaitu
sebagai warga negara biasa dan sebagai tenaga kependidikan.
Perlindungan hukum begitu penting bagi tenaga kependidikan,
karena hanya dengan ada jaminan ini maka mereka akan terbebas dari
rasa terancam tidak berani mengambil resiko, tidak mampu mengambil
keputusan mandiri. Padahal sifat-sifat semacam ini justru merupakan ciri-
ciri yang seharusnya melekat pada orang-orang profesional, termasuk
tenaga kependidikan. Perlindungan hukum bagi tenaga kependidikan
memerlukan penjabaran lebih lanjut, dan yang lebih penting lagi adalah
implementasnya secara nyata jangan sampai jaminan ini hanya ada di
atas kertas.

Anda mungkin juga menyukai