Anda di halaman 1dari 8

Tahapan pembentukan Kristal dari proses kristalisasi

1. Nukleasi
Nukleasi adalah pembentukan inti-inti kristal baru. Nukleasi dapat dibagi menjadi dua jenis berdasarkan
pembentukannya, yaitu nukleasi primer dan nukleasi sekunder. Nukleasi primer terjadi dalam sistem yang
belum terdapat kandungan kristal sama sekali. Nukleasi primer yang terjadi secara spontan disebabkan
tercapainya supersaturasi disebut nukleasi homogen, sedang nukleasi primer yang terjadi karena induksi
partikel lain disebut nukleasi heterogen. Jenis nukleasi yang lain adalah nukleasi sekunder, merupakan
nukleasi yang terjadi karena induksi dari kristal yang sudah terkandung dalam larutan induk. Selain
dikarenakan kontak dengan sesama partikel kristal, nukleasi sekunder dapat terjadi disebabkan oleh
tumbukan kristal dengan dinding crystallizer dan agitator, maupun shear stress fluida. Kondisi
supersaturasi yang cukup tinggi akan mendorong adanya nukleasi. Pengadukan, mechanical shock, friksi
dan tekanan ekstrem dapat menginduksi nukleasi. Nukleasi juga dipengaruhi oleh temperatur, bibit, dan
impurities.
Pengaruh impurities dalam nukleasi Impurities dapat menghambat nukleasi. Beberapa koloid
seperti gelatin dapat menghambat nukleasi pada larutan berpelarut air (Mullin, 2001). Kation-kation juga
ditemukan dapat menghambat nukleasi. Beberapa bukti menunjukkan, semakin tinggi muatannya,
semakin besar hambatannya. Kation-kation ini dapat menjadi pemecah struktur kristal. Bahan-bahan
dengan berat molekul tinggi dapat teradsorpsi pada permukaan kristal. Bahanbahan ini akan mengurangi
keaktifan heteronukleus. Selain itu beberapa impurities juga dapat mengawali terjadinya pemecahan
kristal. Impurities seperti Cr3+ dan Fe3+ ditemukan dapat memperlama waktu induksi (waktu antara
pencapaian supersaturasi dan munculnya Kristal pertama kali) pada kristalisasi garam anorganik.
Impurities yang sama ditemukan dapat mempengaruhi morfologi kristal amonium sulfat (Larson dan
Mullin, 1973). Cr3+ sebesar 20 ppm akan mengubah amonium sulfat yang ortorhombik menjadi bentuk
non-faceted. Impurities dapat juga mempengaruhi ukuran rata-rata kristal.

2. Pertumbuhan Kristal
Pertumbuhan kristal adalah bertambah besarnya ukuran kristal. Pada kondisi supersaturasi yang tidak
terlalu tinggi, lebih cenderung terjadi pembesaran kristal daripada terjadi nukleasi.
a. Teori Pertumbuhan Kristal
Ada banyak sekali teori tentang pertumbuhan kristal. Mulai didasari dari teori energy permukaan
(surface energy), adsorption layer, kinematik, hingga teori difusi-reaksi. Kesemuanya menurunkan
banyak sekali teori pertumbuhan. Adsorption layer theory misalnya, memunculkan teori-teori
seperti Volmer’s theory yang mengemukakan tentang pertumbuhan diskontinyu lapisan demi
lapisan, Kossel theory yang mengemukakan pertumbuhan berdasar kink, step, dan muka (face)
kristal. Teori yang cukup baru mengemukakan tentang pengaruh boundary layer pada
pertumbuhan kristal (Mullin, 2001). Masing masing teori mempunyai kelemahan dan belum dapat
berdiri sendiri menjelaskan fenomena pertumbuhan kristal. Seringkali satu teori harus didukung
dengan teori yang lainnya. Akan tetapi, dikarenakan pertumbuhan kristal adalah fenomena
mikroskopis, fenomena aktual dari pertumbuhan kristal masih sangat sulit diketahui

Mekanisme kristalisasi

Kristalisasi dari larutan terdiri dari dua phenomena yang berbeda: pembentukan inti
kristal/nukleasi (nucleation) dan pertumbuhan kristal(crystal growth). Baik nukleasi maupun
pertumbuhan kristal memerlukan kondisi supersaturasi dari larutannya.

Salah satu sifat penting kristal yang perlu diperhatikan adalah ukuran kristal individual dan keseragaman
ukuranya (Sebagai kristal bulk). Untuk alasan inilah distribusi ukuran kristal (Crystal Size Distribution,
CSD) harus selalu dikontrol. (McCabe et al, 1985) .Supersaturasi merupakan suatu kondisi dimana
konsentrasi padatan (solute), dalam suatu larutan melebihi konsentrasi jenuh larutan tersebut ,maka pada
kondisi inilah kristal pertama kali terbentuk. ada 4 metode untuk membangkitkan supersaturasi, yaitu :
Pengubahan suhu, penguapan solven, reaksi kimia, dan pengubahan komposisi solven.
Pembangkitan supersaturasi dengan cara pengubahan suhu lebih dikenal dengan istilah Cooling,
yaitu penurunan suhu Apabila suatu larutan jenuh diturunkan suhunya maka konsentrasi jenuh larutan
tersebut akan turun, sehingga kondisi supersaturasi tercapai dan kristal mulai terbentuk. Pembangkitan
supersaturasi dengan cara penguapan solven dilakukan dengan proses eveporasi. Apabila pelarut (Solvent)
pada suatu larutan jenuh dikurangi, maka konsentrasi jenuh larutan tersebut akan turun, sehingga kondisi
supersaturasi tercapai dan kristal terbentuk.

Supersaturasi diartikan
sebagai perbedaan antara konsentrasi aktual dalam larutan dan konsentrasi dimanafasa cair secara
termodinamik berkesetimbangan dengan fasa padat (kelarutan). Keadaan supersaturasi dapat diperoleh
dengan beberapa carayaitu : dengan perubahan suhu (pendinginan untuk sistem yang gradient kurva
kelarutannya positif atau pemanasan untuk sistem yang gradienkurva kelarutannya negatif), dengan
pemisahan pelarut (biasanya dengan penguapan) atau dengan penambahan bahan tertentu (drowning-
out agent ).Pada diagram konsentrasi terhadap suhu , kelarutan suatu bahandigambarkan sebagai kurva
kelarutan (solubility). Kelarutan suatu bahanada yang naik terhadap kenaikan suhu (gradien positif),
tetapi ada jugayang turun terhadap kenaikan suhu (gradien negatif).

Ada bahan yang gradien kurva kelarutannya sangan besar, tetapi juga ada yang gradienkurva
kelarutannya kecil. Semua sifat-sifat tadi ikut menentukan pemilihan metode kristalisasi yang
akan digunakan.Daerah di bawah kurva solubility adalah daerah undersaturated,sehingga daerah ini
dikatagorikan daerah stabil karena pada daerah initidak akan terjadi peristiwa pembentukan inti kristal
(nukleasi). Kurva supersolubility adalah batas dimana nukleasi spontan mulai terjadi.Daerah antara kurva
solubility dan supersolubility disebut metastable zone supersolubility dapat bergeser
tergantung beberapa variabel proses, sehingga lebar daerah metastabil (metastable zone width) juga
bisa berubah-ubah. Pada daerah metastabil ini bisaterjadi nukleasi sekunder. Daerah diatas kurva
supersolubility disebut daerah labil karena pada daerah ini nukleasi spontan pasti terjadi yang
mengakibatkan konsentrasi turun dan membawa kondisi keluar dari daerah ini.

Bentuk Kristal

Suatu kristal mempunyai jumlah muka (crystal faces) tertentu dengan sudut antar muka
(interfacial angle) yang tertentu pula. Kristal dapat tumbuh menjadi berbagai macam bentuk dengan tetap
mempertahankan jumlah muka, dan sudut antar muka yang sama. Hal ini sering
diistilahkan sebagai crystal habit. Crystal habit modification melalui pengubahan laju pertumbuhan muka
kristal dapat dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya dengan pengubahan kecepatan kristalisasi,
pengubahan derajat supersaturasi dan atau temperatur, pengontrolan pH, penambahan zat lain (impurities),
penggunaan solven yang berbeda, maupun pengubahan kondisi pengadukan dalam sistem. Kombinasi
beberapa cara di atas mungkin dilakukan.
Impurities atau ketidakmurnian dalam kristalisasi tidak melulu pengotor. Impurities bisa jadi zat
(ketiga) yang sengaja ditambahkan dalam suatu larutan induk. Pengaruh impurities pada ukuran dan
distribusi kristal sangat tergantung pada pengaruhnya dalam nukleasi dan pertumbuhan kristal.
Faktor yang sangat berpengaruh terhadap ukuran kristal yang dihasilkan adalah kecepatan nukleasi
dan growth rate. Sedangkan nukleasi dan growth rate sendiri sangat dipengaruhi oleh kondisi
supersaturasi, selain juga oleh keasaman, suhu adanya bibit dan atau impurities dan atau surfaktan dalam
kristalisator.
Bentuk kristal dibedakan berdasarkan sifat-sifat simetrinya (bidang simetri dan sumbu simetri) dibagi
menjadi :

1. Sistem Isometrik
Sistem ini juga disebut sistem kristal regular, atau dikenal pula dengan sistem kristal kubus atau kubik.
Jumlah sumbu kristalnya ada 3 dan saling tegak lurus satu dengan yang lainnya. Dengan perbandingan
panjang yang sama untuk masing-masing sumbunya.
Pada kondisi sebenarnya, sistem kristal Isometrik memiliki axial ratio (perbandingan sumbu a = b = c,
yang artinya panjang sumbu a sama dengan sumbu b dan sama dengan sumbu c. Dan juga memiliki sudut
kristalografi α = β = γ = 90˚. Hal ini berarti, pada sistem ini, semua sudut kristalnya ( α , β dan γ ) tegak
lurus satu sama lain (90˚).

Gambar 1 Sistem Isometrik

Pada penggambaran dengan menggunakan proyeksi orthogonal, sistem Isometrik memiliki perbandingan
sumbu a : b : c = 1 : 3 : 3. Artinya, pada sumbu a ditarik garis dengan nilai 1, pada sumbu b ditarik garis
dengan nilai 3, dan sumbu c juga ditarik garis dengan nilai 3 (nilai bukan patokan, hanya perbandingan).
Dan sudut antar sumbunya a+^bˉ = 30˚. Hal ini menjelaskan bahwa antara sumbu a+ memiliki nilai 30˚
terhadap sumbu bˉ.
Sistem isometrik dibagi menjadi 5 Kelas :
 Tetaoidal
 Gyroida
 Diploida
 Hextetrahedral
 Hexoctahedral
Beberapa contoh mineral dengan system kristal Isometrik ini adalah gold, pyrite, galena, halite,
Fluorite(Pellant, chris: 1992)

2. Sistem Tetragonal
Sama dengan system Isometrik, sistem kristal ini mempunyai 3 sumbu kristal yang masing-masing saling
tegak lurus. Sumbu a dan b mempunyai satuan panjang sama. Sedangkan sumbu c berlainan, dapat lebih
panjang atau lebih pendek. Tapi pada umumnya lebih panjang.
Pada kondisi sebenarnya, Tetragonal memiliki axial ratio (perbandingan sumbu) a = b ≠ c , yang artinya
panjang sumbu a sama dengan sumbu b tapi tidak sama dengan sumbu c. Dan juga memiliki sudut
kristalografi α = β = γ = 90˚. Hal ini berarti, pada sistem ini, semua sudut kristalografinya ( α , β dan γ )
tegak lurus satu sama lain (90˚).

Gambar 2 Sistem Tetragonal

Pada penggambaran dengan menggunakan proyeksi orthogonal, sistem kristal Tetragonal memiliki
perbandingan sumbu a : b : c = 1 : 3 : 6. Artinya, pada sumbu a ditarik garis dengan nilai 1, pada sumbu b
ditarik garis dengan nilai 3, dan sumbu c ditarik garis dengan nilai 6 (nilai bukan patokan, hanya
perbandingan). Dan sudut antar sumbunya a+^bˉ = 30˚. Hal ini menjelaskan bahwa antara sumbu a+
memiliki nilai 30˚ terhadap sumbu bˉ.
Sistem tetragonal dibagi menjadi 7 kelas:
 Piramid
 Bipiramid
 Bisfenoid
 Trapezohedral
 Ditetragonal Piramid
 Skalenohedral
 Ditetragonal Bipiramid
Beberapa contoh mineral dengan sistem kristal Tetragonal ini adalah rutil, autunite, pyrolusite, Leucite,
scapolite (Pellant, Chris: 1992)

3. Sistem Hexagonal
Sistem ini mempunyai 4 sumbu kristal, dimana sumbu c tegak lurus terhadap ketiga sumbu lainnya.
Sumbu a, b, dan d masing-masing membentuk sudut 120˚ terhadap satu sama lain. Sambu a, b, dan d
memiliki panjang sama. Sedangkan panjang c berbeda, dapat lebih panjang atau lebih pendek (umumnya
lebih panjang).
Pada kondisi sebenarnya, sistem kristal Hexagonal memiliki axial ratio (perbandingan sumbu) a = b = d ≠
c , yang artinya panjang sumbu a sama dengan sumbu b dan sama dengan sumbu d, tapi tidak sama
dengan sumbu c. Dan juga memiliki sudut kristalografi α = β = 90˚ ; γ = 120˚. Hal ini berarti, pada sistem
ini, sudut α dan β saling tegak lurus dan membentuk sudut 120˚ terhadap sumbu γ.

Gambar 3 Sistem Hexagonal

Pada penggambaran dengan menggunakan proyeksi orthogonal, sistem Hexagonal memiliki perbandingan
sumbu a : b : c = 1 : 3 : 6. Artinya, pada sumbu a ditarik garis dengan nilai 1, pada sumbu b ditarik garis
dengan nilai 3, dan sumbu c ditarik garis dengan nilai 6 (nilai bukan patokan, hanya perbandingan). Dan
sudut antar sumbunya a+^bˉ = 20˚ ; dˉ^b+= 40˚. Hal ini menjelaskan bahwa antara sumbu a+ memiliki
nilai 20˚ terhadap sumbu bˉ dan sumbu dˉ membentuk sudut 40˚ terhadap sumbu b+.
Sistem ini dibagi menjadi 7:
 Hexagonal Piramid
 Hexagonal Bipramid
 Dihexagonal Piramid
 Dihexagonal Bipiramid
 Trigonal Bipiramid
 Ditrigonal Bipiramid
 Hexagonal Trapezohedral
Beberapa contoh mineral dengan sistem kristal Hexagonal ini adalah quartz, corundum, hematite, calcite,
dolomite, apatite.

4. Sistem Trigonal
Jika kita membaca beberapa referensi luar, sistem ini mempunyai nama lain yaitu Rhombohedral, selain
itu beberapa ahli memasukkan sistem ini kedalam sistem kristal Hexagonal. Demikian pula cara
penggambarannya juga sama. Perbedaannya, bila pada sistem Trigonal setelah terbentuk bidang dasar,
yang terbentuk segienam, kemudian dibentuk segitiga dengan menghubungkan dua titik sudut yang
melewati satu titik sudutnya.
Pada kondisi sebenarnya, Trigonal memiliki axial ratio (perbandingan sumbu) a = b = d ≠ c , yang artinya
panjang sumbu a sama dengan sumbu b dan sama dengan sumbu d, tapi tidak sama dengan sumbu c. Dan
juga memiliki sudut kristalografi α = β = 90˚ ; γ = 120˚. Hal ini berarti, pada sistem ini, sudut α dan β
saling tegak lurus dan membentuk sudut 120˚ terhadap sumbu γ.

Gambar 4 Sistem Trigonal

Pada penggambaran dengan menggunakan proyeksi orthogonal, sistem kristal Trigonal memiliki
perbandingan sumbu a : b : c = 1 : 3 : 6. Artinya, pada sumbu a ditarik garis dengan nilai 1, pada sumbu b
ditarik garis dengan nilai 3, dan sumbu c ditarik garis dengan nilai 6 (nilai bukan patokan, hanya
perbandingan). Dan sudut antar sumbunya a+^bˉ = 20˚ ; dˉ^b+= 40˚. Hal ini menjelaskan bahwa antara
sumbu a+ memiliki nilai 20˚ terhadap sumbu bˉ dan sumbu dˉ membentuk sudut 40˚ terhadap sumbu b+.
Sistem ini dibagi menjadi 5 kelas:
 Trigonal pyramid
 Trigonal Trapezohedral
 Ditrigonal Piramid
 Ditrigonal Skalenohedral
 Rombohedral
Beberapa contoh mineral dengan sistem kristal Trigonal ini adalah tourmaline dan cinabar (Mondadori,
Arlondo. 1977)

5. Sistem Orthorhombik
Sistem ini disebut juga sistem Rhombis dan mempunyai 3 sumbu simetri kristal yang saling tegak lurus
satu dengan yang lainnya. Ketiga sumbu tersebut mempunyai panjang yang berbeda.
Pada kondisi sebenarnya, sistem kristal Orthorhombik memiliki axial ratio (perbandingan sumbu) a ≠ b ≠
c , yang artinya panjang sumbu-sumbunya tidak ada yang sama panjang atau berbeda satu sama lain. Dan
juga memiliki sudut kristalografi α = β = γ = 90˚. Hal ini berarti, pada sistem ini, ketiga sudutnya saling
tegak lurus (90˚).
Gambar 5 Sistem Orthorhombik

Pada penggambaran dengan menggunakan proyeksi orthogonal, sistem Orthorhombik memiliki


perbandingan sumbu a : b : c = sembarang. Artinya tidak ada patokan yang akan menjadi ukuran panjang
pada sumbu-sumbunya pada sistem ini. Dan sudut antar sumbunya a+^bˉ = 30˚. Hal ini menjelaskan
bahwa antara sumbu a+ memiliki nilai 30˚ terhadap sumbu bˉ.
Sistem ini dibagi menjadi 3 kelas:
 Bisfenoid
 Piramid
 Bipiramid
Beberapa contoh mineral denga sistem kristal Orthorhombik ini adalah stibnite, chrysoberyl, aragonite
dan witherite (Pellant, chris. 1992)

6. Sistem Monoklin
Monoklin artinya hanya mempunyai satu sumbu yang miring dari tiga sumbu yang dimilikinya. Sumbu a
tegak lurus terhadap sumbu n; n tegak lurus terhadap sumbu c, tetapi sumbu c tidak tegak lurus terhadap
sumbu a. Ketiga sumbu tersebut mempunyai panjang yang tidak sama, umumnya sumbu c yang paling
panjang dan sumbu b paling pendek.
Pada kondisi sebenarnya, sistem Monoklin memiliki axial ratio (perbandingan sumbu) a ≠ b ≠ c , yang
artinya panjang sumbu-sumbunya tidak ada yang sama panjang atau berbeda satu sama lain. Dan juga
memiliki sudut kristalografi α = β = 90˚ ≠ γ. Hal ini berarti, pada ancer ini, sudut α dan β saling tegak
lurus (90˚), sedangkan γ tidak tegak lurus (miring).

Gambar 6 Sistem Monoklin

Pada penggambaran dengan menggunakan proyeksi orthogonal, sistem kristal Monoklin memiliki
perbandingan sumbu a : b : c = sembarang. Artinya tidak ada patokan yang akan menjadi ukuran panjang
pada sumbu-sumbunya pada sistem ini. Dan sudut antar sumbunya a+^bˉ = 30˚. Hal ini menjelaskan
bahwa antara sumbu a+ memiliki nilai 45˚ terhadap sumbu bˉ.
SistemMonoklin dibagi menjadi 3 kelas:
 Sfenoid
 Doma
 Prisma
Beberapa contoh mineral dengan ancer kristal Monoklin ini adalah azurite, malachite, colemanite,
gypsum, dan epidot (Pellant, chris. 1992)
7. Sistem Triklin
Sistem ini mempunyai 3 sumbu simetri yang satu dengan yang lainnya tidak saling tegak lurus. Demikian
juga panjang masing-masing sumbu tidak sama.
Pada kondisi sebenarnya, sistem kristal Triklin memiliki axial ratio (perbandingan sumbu) a ≠ b ≠ c , yang
artinya panjang sumbu-sumbunya tidak ada yang sama panjang atau berbeda satu sama lain. Dan juga
memiliki sudut kristalografi α = β ≠ γ ≠ 90˚. Hal ini berarti, pada system ini, sudut α, β dan γ tidak saling
tegak lurus satu dengan yang lainnya.

Gambar 7 Sistem Triklin

Pada penggambaran dengan menggunakan proyeksi orthogonal, Triklin memiliki perbandingan sumbu a :
b : c = sembarang. Artinya tidak ada patokan yang akan menjadi ukuran panjang pada sumbu-sumbunya
pada sistem ini. Dan sudut antar sumbunya a+^bˉ = 45˚ ; bˉ^c+= 80˚. Hal ini menjelaskan bahwa antara
sumbu a+ memiliki nilai 45˚ terhadap sumbu bˉ dan bˉ membentuk sudut 80˚ terhadap c+.
Sistem ini dibagi menjadi 2 kelas:
 Pedial
 Pinakoidal

Anda mungkin juga menyukai