Anda di halaman 1dari 30

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kristal adalah suatu padatan yang atom, molekul, atau ion penyusunnya
terkemas secara teratur dan polanya polikristal. Struktur kristal mana yang akan
terbentuk dari suatu cairan tergantung pada kimia cairannya sendiri, kondisi ketika
terjadi pemadatan, dan tekanan ambien. Proses terbentuknya struktur kristalin dikenal
sebagai kristalisasi. Meski proses pendinginan sering menghasilkan bahan kristalin,
dalam keadaan tertentu cairannya bisa membeku dalam bentuk Non-kristalin. Dalam
banyak kasus, ini terjadi karena pendinginan yang terlalu cepat sehingga atom-
atomnya tidak dapat mencapai lokasi kisinya. Suatu bahan Non-kristalin biasa disebut
bahan amorf atau seperti gelas. Terkadang bahan seperti ini juga disebut sebagai
padatan amorf, meskipun ada perbedaan jelas antara padatan dan gelas.
Proses pembentukan gelas tidak melepaskan kalor lebur jenis (latent heat of
fusion). Karena alasan ini banyak ilmuwan yang menganggap bahan gelas sebagai
cairan, bukan padatan. Topik ini kontroversial, silakan lihat gelas untuk pembahasan
lebih lanjut. Meskipun istilah "kristal" memiliki makna yang sudah ditentukan dalam
ilmu material dan fisika zat padat, dalam kehidupan sehari-hari "kristal" merujuk pada
benda padat yang menunjukkan bentuk geometri tertentu, dan kerap kali sedap di
mata. Berbagai bentuk kristal tersebut dapat ditemukan di alam. Bentuk-bentuk kristal
ini bergantung pada jenis ikatan molekuler antara atom-atom untuk menentukan
strukturnya, dan juga keadaan terciptanya kristal tersebut. Bunga salju, intan, dan
garam dapur adalah contoh-contoh kristal.
Beberapa material kristalin mungkin menunjukkan sifat-sifat elektrik khas,
seperti efek feroelektrik atau efek piezoelektrik. Kelakuan cahaya dalam kristal
dijelaskan dalam optika kristal. Dalam struktur dielektrik periodik serangkaian sifat-sifat
optis unik dapat ditemukan seperti yang dijelaskan dalam kristal fotonik. Praktikum
kristalografi ini dilakukan supaya kami dapat mengetahui bentuk-bentuk dan
kenampakan mineral terkhususnya pada bagian kristalnya secara detail bukan hanya
dari segi teori didalam kelas tapi juga dengan cara praktiknya.

1
1.2 Tujuan Percobaan

Tujuan dari diadakannya praktikum kristalografi adalah sebagai berikut:


1. Menjelaskan kristal, serta hubungannya dengan mineral.
2. Mempelajari dan menentukan sistem kristal dari bermacam-macam
bentuk kristal baik bentuk dasar maupun bentuk kombinasi dan letak
posisi dan panjang sumbu kristal.
3. Mempelajari dan menentukan kelas simetri dari bermacam-macam bentuk
kristal berdasarkan jumlah unsur-unsur simetri yang dimilikinya

1.3 Ruang Lingkup

Adapun ruang ringkup dari praktikum ini berupa pengertian mineralogi dan
kristalografi, mineral dan kristal serta hubungan keduanya, axial rasio, sudut interaksi
serta geometri kristal. Praktikum ini dilakukan di laboratorium Analisis Pengolahan
Bahan Galian pada Hari Sabtu tanggal 3 Maret 2018.

2
BAB II

KRISTALOGRAFI

2.1 Definisi Kristalografi

Kristalografi adalah ilmu yang berhubungan dengan kristal. Kata itu berasal dari
kata Yunani "crystallus" yang berarti es Istilah ini digunakan di Yunani kuno untuk
kuarsa tak berwarna yang diyakini "fosil" Es. Fitur yang paling jelas dari kristal kuarsa
adalah bahwa ia didefinisikan oleh serangkaian permukaan datar terbentuk selama
pertumbuhan dan karenanya, harus mencerminkan struktur internal material. Fitur ini
dibagikan Dengan banyak bahan dan istilah yang digunakan untuk mereka adalah
kristal. Ciri penting kristal dari jenis yang sama adalah bahwa sudut antara permukaan
kristal identik, tidak masalah Betapa besar atau kecilnya kristal itu. Hukum tentang
"keteguhan sudut antarmuka" ditunjukkan oleh Nicolaus Steno pada tahun 1669.
Mineral bersifat kristalin. Bila mineral tumbuh dari meleleh (magma) itu terbentuk
kristal dengan wajah kristal yang sempurna. Karena semakin banyak kristal tumbuh
dan jumlah lelehan berkurang kristal dimulai bertabrakan satu sama lain. Bila semua
lelehan telah mengkristal batuan padat terdiri dari mineral itu terbentuk tapi wajah
kristal mereka jarang dijaga. Meskipun sifat mineral dari mineral itu mungkin Tidak
jelas di batuan padat, biasanya bisa dikonfirmasi dengan bantuan mikroskop dan selalu
menggunakan difraksi sinar-X (J. Richard Wilson, 2010).
Suatu kristal dapat didefinisikan sebagai padatan yang secara esensial
mempunyai pola difraksi tertentu. Jadi, suatu kristal adalah suatu padatan dengan
susunan atom yang berulang secara tiga dimensional yang dapat mendifraksi sinar X.
Kristal secara sederhana dapat didefinisikan sebagai zat padat yang mempunyai
susunan atom atau molekul yang teratur. Keteraturannya tercermin dalam permukaan
kristal yang berupa bidang-bidang datar dan rata yang mengikuti pola-pola tertentu.
Bidang-bidang datar ini disebut sebagai bidang muka kristal. Sudut antara bidang-
bidang muka kristal yang saling berpotongan besarnya selalu tetap pada suatu kristal.
Bidang muka kristal itu baik letak maupun arahnya ditentukan oleh perpotongannya
dengan sumbu-sumbu kristal. Dalam sebuah kristal, sumbu kristal berupa garis
bayangan yang lurus yang menembus kristal melalui pusat kristal. Sumbu kristal

3
tersebut mempunyai satuan panjang yang disebut sebagai parameter (Senechal, 1995
dalam Hibbard,2002).

2.2 Fase-Fase Pada Kristal

Pada kristal ada beberapa proses atau tahapan dalam pembentukan kristal.
Proses yang di alami oleh suatu kristal akan mempengaruhi sifat-sifat dari kristal
tersebut. Proses ini juga bergantung pada bahan dasar serta kondisi lingkungan
tempat dimana kristal tersebut terbentuk.
Berikut ini adalah fase-fase pembentukan kristal yang umumnya terjadi pada
pembentukan Kristal.
1. Fase cair ke padat : kristalisasi suatu lelehan atau cairan sering terjadi pada
skala luas dibawah kondisi alam maupun industri. Pada fase ini cairan atau
lelehan dasar pembentuk kristal akan membeku atau memadat dan
membentuk kristal. Biasanya dipengaruhi oleh perubahan suhu lingkungan.
2. Fase gas ke padat (sublimasi) : kristal dibentuk langsung dari uap tanpa
melalui fase cair. Bentuk kristal biasanya berukuran kecil dan kadang-
kadang berbentuk rangka (skeletal form). Pada fase ini, kristal yang
terbentuk adalah hasil sublimasi gas-gas yang memadat karena perubahan
lingkungan. Umumnya gas-gas tersebut adalah hasil dari aktifitas vulkanis
atau dari gunung api dan membeku karena perubahan temperature.
3. Fase padat ke padat : proses ini dapat terjadi pada agregat kristal dibawah
pengaruh tekanan dan temperatur (deformasi). Yang berubah adalah
struktur kristalnya, sedangkan susunan unsur kimia tetap (rekristalisasi).
Fase ini hanya mengubah kristal yang sudah terbentuk sebelumnya karena
terkena tekanan dan temperatur yang berubah secara signifikan. Sehingga
kristal tersebut akan berubah bentuk dan unsur-unsur fisiknya. Namun,
komposisi dan unsur kimianya tidak berubah karena tidak adanya faktor lain
yang terlibat kecuali tekanan dan temperatur (Querol X, 1993).
Mekanisme kristalisasi dapat terjadi melalui dua tahap, yaitu pengintian dan
pertumbuhan kristal. Kristalisasi dapat terjadi dengan pengerjaan dingin maupun
pengerjaan panas. Sebagai akibat dari pengerjaan dingin adalah sifat kekerasan,
kekuatan tarik dan tahanan listrik akan naik, sedangkan keuletan akan menurun.
Dalam keadaan cair, atom-atom tidak memiliki susunan yang teratur dan mudah

4
bergerak. Dengan berkurangnya suhu, maka energi atom semakin rendah, sehingga
atom sulit bergerak, selanjutnya atom mulai mengatur kedudukannya relatif terhadap
atom lain. Hal ini terjadi pada daerah relatif dingin yang merupakan daerah awal
terjadinya inti kristal. Proses pengintian selanjutnya terjadi pertumbuhan kristal yang
berlangsung dari suhu rendah ke suhu yang lebih tinggi. Energi termal yang terus
meningkat dapat mengakibatkan pertumbuhan kristal yang terus menerus hingga
transformasi akhir, yaitu amorf menjadi kristal (Triwikantoro, 2002).

Gambar 2.1 Diagram hipotektik transformasi fasa dari amorf menuju


fasa kristal (Koester, 1993).

Berdasarkan Gambar 2.1, ada beberapa kemungkinan kristalisasi dari fasa


amorf ke fasa kristal, yaitu:
1. Kristalisasi Polimorfi, yaitu pembentukan kristal dari fasa amorf dengan
komposisi kimia yang sama dan nilai energi bebas yang minimum.
Sebagaimana ditunjukkan garis Nomor 1 pada Gambar 2.1 (amorf α atau
amorf β)
2. Kristalisasi Primer, yaitu pembentukan kristal dari fasa amorf menjadi kristal
dengan sisa fasa amorf., sebagaimana ditunjukkan garis Nomor 2 pada
Gambar 1 (amorf α + amorf atau amorf β + amorf)
3. Kristalisasi Eutektik, yaitu pembentukan kristal dari fasa amorf menjadi
kristal dengan komposisi berbeda, sebagaimana ditunjukkan garis Nomor 3
pada Gambar 1 (amorf α + β)
Pada Gambar 2.1 juga berlaku kristalisasi dari fasa kristal 1 ke fasa kristal 2,
yang disebut dengan rekristalisasi. Untuk material polimorf akan terjadi transformasi
fasa dari bentuk/struktur kristal ke kristal lainnya. Zirkonium merupakan salah satu
material logam dengan struktur polimorf .

5
2.3 Bentuk Fisik Kristal

Bentuk fisik kristal atau biasa disebut crystal habit adalah bentuk mineral yang
dipengaruhi keadaan dimana kristal itu tumbuh. Bentuk fisik ini merupakan bentuk
yang identik yang dimiliki setiap kristal. Bentuk fisik kristal dibagi menjadi tiga,
diantaranya:
a. Bentuk Fisik Memanjang

Gambar 2.2 Macam-macam bentuk fisik kristal yang memanjang


b. Bentuk Fisik Membulat
Bentuk fisik membulat contohnya seperti kristal atau mineral yang berbentuk
butiran bulat atau biasa disebut colloform. Lalu ada yang berbentuk membutir
dinamakan granular seperti olivine, kriolit dan kordrit.
c. Bentuk Fisik Memipih
Bentuk memipih ini biasanya memiliki macam seperti bladed atau berbentuk
seperti sayatan silet. Lalu ada juga yang berbentuk seperti papan biasa disebut
tabular.

2.4 Unsur-Unsur Simetri Kristal

a. Pencerminan
Bidang pencerminan adalah bidang yang seolah-olah jika kristal dibelah
setengah menjadi dua bagian pada bagian tengahnya, maka kristal yang terbagi

6
dua tersebut memiliki bentuk yang sama. Seolah-olah kristal satu merupakan
pencerminan kristal yang lainnya.
b. Rotasi
Merupakan sumbu atau poros yang terbentuk dari garis bayangan yang
menembus kristal melewati titik pusat kristal. Jika kristal diputar hingga 360° pada
poros tersebut, maka akan mendapatkan beberapa kali tampilan kristal yang sama.
c. Invers
Bidang invers merupakan bidang yang terlihat terbalik dari bidang muka kristal
ketika kristal diputar penuh sampai 360° (Davis, 1996).

2.5. Proyeksi

a. Proyeksi Bola
Proyeksi bola merupakan bidang proyeksi garis yang ditarik dari pusat bola,
bidang Kristal dan diteruskan hingga memotong bidang proyeksi.
b. Proyeksi Stereografi
Prinsipnya sama dengan proyeksi bola, tetapi bidang proyeksinya merupakan
bidang ekuator bola atau bidang horizontal yang melalui equator bola
tersebut.Proyeksi stereografi memproyeksikan sumbu simetri (A).c. Proyeksi
Gnemonik
Prinsip dasar proyeksi gnemonik ini sama dengan proyeksi bola, tetapi
bidang proyeksi merupakan bidang singgung bola yang memotong kutub utara
d. Proyeksi Ortografi
Bidang proyeksi ortografi utara bola, sumbu U-S cara proyeksinya dengan
cara menarik garis, dari titik-titik yang berupa kutub bola ke bidang proyeksi
ortografi (Davis, 1996).

2.6 Kelas Simetri

a. Kelas Simetri menurut Herman Mauguin


Simbol Herman-Mauguin adalah simbol yang menerangkan ada atau tidaknya
bidang simetri dalam suatu kristal yang tegak lurus terhadap sumbu-sumbu utama
dalam kristal tersebut. Hal ini dapat dilakukan dengan mengamati sumbu dan bidang
yang ada pada kristal tersebut.

7
Pemberian simbol Herman-Mauguin ini akan berbeda pada masing-masing
kristal. Dan cara penentuannya pun berbeda pada tiap sistem kristal.

b. Kelas Simetri menurut Schonfils


Simbolisasi Scoenflish digunakan untuk menandai atau memberi simbol pada
unsur-unsur simetri suatu kristal. Seperti sumbu-sumbu dan bidang-bidang
simetri. Simbolisasi Schoenflish akan menerangkan unsur-unsur tersebut dengan
menggunakan huruf-huruf dan angka yan g masing-masing akan berbeda pada
setiap kristal.
Berbeda dengan Herman-Mauguin yang pemberian simbolnya berbeda-beda
pada masing-masing sistemnya, pada Schoenflish yanng berbeda hanya pada
sistem Isometrik. Sedangkan system-sistem yang lainnya sama cara penentuan
simbolnya.

2.7 Sistem Kristal

a. Sistem Kristal Isometrik


Sistem ini juga disebut sistem kristal regular, atau dikenal pula dengan
sistem kristal kubus atau kubik. Jumlah sumbu kristalnya ada 3 dan saling tegak
lurus satu dengan yang lainnya. Dengan perbandingan panjang yang sama
untuk masing-masing sumbunya.
Pada kondisi sebenarnya, sistem kristal Isometrik memiliki axial ratio
(perbandingan sumbu a = b = c, yang artinya panjang sumbu a sama dengan
sumbu b dan sama dengan sumbu c. Dan juga memiliki sudut kristalografi α = β
= γ = 90˚. Hal ini berarti, pada sistem ini, semua sudut kristalnya ( α , β dan γ )
tegak lurus satu sama lain (90˚)

Gambar 2.3 Sistem Isometrik

8
Pada penggambaran dengan menggunakan proyeksi orthogonal, sistem
Isometrik memiliki perbandingan sumbu a : b : c = 1 : 3 : 3. Artinya, pada
sumbu a ditarik garis dengan nilai 1, pada sumbu b ditarik garis dengan nilai 3,
dan sumbu c juga ditarik garis dengan nilai 3 (nilai bukan patokan, hanya
perbandingan). Dan sudut antar sumbunya a+^bˉ = 30˚. Hal ini menjelaskan
bahwa antara sumbu a+ memiliki nilai 30˚ terhadap sumbu bˉ.
Sistem isometrik dibagi menjadi 5 Kelas :Tetaoidal, Gyroida, Diploida,
Hextetrahedral, Hexoctahedral Beberapa contoh mineral dengan system kristal
Isometrik ini adalah gold, pyrite, galena, halite, Fluorite (Pellant, chris: 1992).

b. Sistem Kristal Tetragonal


Sama dengan system Isometrik, sistem kristal ini mempunyai 3 sumbu kristal
yang masing-masing saling tegak lurus. Sumbu a dan b mempunyai satuan
panjang sama. Sedangkan sumbu c berlainan, dapat lebih panjang atau lebih
pendek. Tapi pada umumnya lebih panjang.
Pada kondisi sebenarnya, Tetragonal memiliki axial ratio (perbandingan
sumbu) a = b ≠ c , yang artinya panjang sumbu a sama dengan sumbu b tapi
tidak sama dengan sumbu c. Dan juga memiliki sudut kristalografi α = β = γ =
90˚. Hal ini berarti, pada sistem ini, semua sudut kristalografinya ( α , β dan γ )
tegak lurus satu sama lain (90˚).

Gambar 2.4 Sistem Tetrahedral


Pada penggambaran dengan menggunakan proyeksi orthogonal, sistem
kristal Tetragonal memiliki perbandingan sumbu a : b : c = 1 : 3 : 6. Artinya,
pada sumbu a ditarik garis dengan nilai 1, pada sumbu b ditarik garis dengan
nilai 3, dan sumbu c ditarik garis dengan nilai 6 (nilai bukan patokan, hanya

9
perbandingan). Dan sudut antar sumbunya a+^bˉ = 30˚. Hal ini menjelaskan
bahwa antara sumbu a+ memiliki nilai 30˚ terhadap sumbu bˉ.
Sistem tetragonal dibagi menjadi 7 kelas yaitu Piramid Bipiramid, Bisfenoid,
Trapezohedral, Ditetragonal Piramid, Skalenohedral, Ditetragonal Bipiramid.
Beberapa contoh mineral dengan sistem kristal Tetragonal ini adalah rutil,
autunite, pyrolusite, Leucite, scapolite (Pellant, Chris: 1992).

c. Sistem Trigonal
Jika kita membaca beberapa referensi luar, sistem ini mempunyai nama lain
yaitu Rhombohedral, selain itu beberapa ahli memasukkan sistem ini kedalam
sistem kristal Hexagonal. Demikian pula cara penggambarannya juga sama.
Perbedaannya, bila pada sistem Trigonal setelah terbentuk bidang dasar, yang
terbentuk segienam, kemudian dibentuk segitiga dengan menghubungkan dua
titik sudut yang melewati satu titik sudutnya.
Pada kondisi sebenarnya, Trigonal memiliki axial ratio (perbandingan sumbu)
a = b = d ≠ c , yang artinya panjang sumbu a sama dengan sumbu b dan sama
dengan sumbu d, tapi tidak sama dengan sumbu c.

Gambar 2.5 Sistem Trigonal


Pada penggambaran dengan menggunakan proyeksi orthogonal, sistem
kristal Trigonal memiliki perbandingan sumbu a : b : c = 1 : 3 : 6. Artinya, pada
sumbu a ditarik garis dengan nilai 1, pada sumbu b ditarik garis dengan nilai 3,
dan sumbu c ditarik garis dengan nilai 6 (nilai bukan patokan, hanya
perbandingan). Dan sudut antar sumbunya a+^bˉ = 20˚ ; dˉ^b+= 40˚. Hal ini
menjelaskan bahwa antara sumbu a+ memiliki nilai 20˚ terhadap sumbu bˉ dan
sumbu dˉ membentuk sudut 40˚ terhadap sumbu b+.
Sistem ini dibagi menjadi 5 kelas: Trigonal pyramid, Trigonal Trapezohedral,
Ditrigonal Piramid, Ditrigonal Skalenohedral, Rombohedral. Beberapa contoh mineral

10
dengan sistem kristal Trigonal ini adalah tourmaline dan cinabar (Mottana, Arlondo.
1977).

d. Sistem Hexagonal
Sistem ini mempunyai 4 sumbu kristal, dimana sumbu c tegak lurus terhadap
ketiga sumbu lainnya. Sumbu a, b, dan d masing-masing membentuk sudut
120˚ terhadap satu sama lain. Sambu a, b, dan d memiliki panjang sama.
Sedangkan panjang c berbeda, dapat lebih panjang atau lebih pendek
(umumnya lebih panjang).
Pada kondisi sebenarnya, sistem kristal Hexagonal memiliki axial ratio
(perbandingan sumbu) a = b = d ≠ c , yang artinya panjang sumbu a sama
dengan sumbu b dan sama dengan sumbu d, tapi tidak sama dengan sumbu c.
Dan juga memiliki sudut kristalografi α = β = 90˚ ; γ = 120˚. Hal ini berarti,
pada sistem ini, sudut α dan β saling tegak lurus dan membentuk sudut 120˚
terhadap sumbu γ.

Gambar 2.6 Sistem Hexagonal


Pada penggambaran dengan menggunakan proyeksi orthogonal, sistem
Hexagonal memiliki perbandingan sumbu a : b : c = 1 : 3 : 6. Artinya, pada sumbu
a ditarik garis dengan nilai 1, pada sumbu b ditarik garis dengan nilai 3, dan sumbu
c ditarik garis dengan nilai 6 (nilai bukan patokan, hanya perbandingan). Dan sudut
antar sumbunya a+^bˉ = 20˚ ; dˉ^b+= 40˚. Hal ini menjelaskan bahwa antara
sumbu a+ memiliki nilai 20˚ terhadap sumbu bˉ dan sumbu dˉ membentuk sudut
40˚ terhadap sumbu b+.
Sistem ini dibagi menjadi 7 yaitu Hexagonal Piramid, Hexagonal Bipramid,
Dihexagonal Piramid, Dihexagonal Bipiramid, Trigonal Bipiramid, Ditrigonal
Bipiramid, Trapezohedral. Beberapa contoh mineral dengan sistem kristal Hexagonal
ini adalah quartz, corundum, hematite, calcite, dolomite, apatite (Mondadori,
Arlondo. 1977).

11
e. Sistem Kristal Orthorombik
Sistem ini disebut juga sistem Rhombis dan mempunyai 3 sumbu simetri
kristal yang saling tegak lurus satu dengan yang lainnya. Ketiga sumbu tersebut
mempunyai panjang yang berbeda.
Pada kondisi sebenarnya, sistem kristal Orthorhombik memiliki axial ratio
(perbandingan sumbu) a ≠ b ≠ c , yang artinya panjang sumbu-sumbunya tidak
ada yang sama panjang atau berbeda satu sama lain. Dan juga memiliki sudut
kristalografi α = β = γ = 90˚. Hal ini berarti, pada sistem ini, ketiga sudutnya
saling tegak lurus (90˚).

Gambar 2.7 Sistem Orthorombik


Pada penggambaran dengan menggunakan proyeksi orthogonal, sistem
Orthorhombik memiliki perbandingan sumbu a : b : c = sembarang. Artinya tidak
ada patokan yang akan menjadi ukuran panjang pada sumbu-sumbunya pada
sistem ini. Dan sudut antar sumbunya a+^bˉ = 30˚. Hal ini menjelaskan bahwa
antara sumbu a+ memiliki nilai 30˚ terhadap sumbu bˉ.
Sistem ini dibagi menjadi 3 kelas yaitu Bisfenoid, Piramid, Bipiramid. Beberapa
contoh mineral denga sistem kristal Orthorhombik ini adalah stibnite, chrysoberyl,
aragonite dan witherite (Pellant, chris. 1992).
f. Sistem Monoklin
Monoklin artinya hanya mempunyai satu sumbu yang miring dari tiga sumbu
yang dimilikinya. Sumbu a tegak lurus terhadap sumbu n; n tegak lurus
terhadap sumbu c, tetapi sumbu c tidak tegak lurus terhadap sumbu a. Ketiga
sumbu tersebut mempunyai panjang yang tidak sama, umumnya sumbu c yang
paling panjang dan sumbu b paling pendek.

12
Pada kondisi sebenarnya, sistem Monoklin memiliki axial ratio (perbandingan
sumbu) a ≠ b ≠ c , yang artinya panjang sumbu-sumbunya tidak ada yang sama
panjang atau berbeda satu sama lain. Dan juga memiliki sudut kristalografi α =
β = 90˚ ≠ γ. Hal ini berarti, pada ancer ini, sudut α dan β saling tegak lurus
(90˚), sedangkan γ tidak tegak lurus (miring).

Gambar 2.8 Sistem Monoklin


Pada penggambaran dengan menggunakan proyeksi orthogonal, sistem
kristal Monoklin memiliki perbandingan sumbu a : b : c = sembarang. Artinya
tidak ada patokan yang akan menjadi ukuran panjang pada sumbu-sumbunya
pada sistem ini. Dan sudut antar sumbunya a+^bˉ = 30˚. Hal ini menjelaskan
bahwa antara sumbu a+ memiliki nilai 45˚ terhadap sumbu bˉ.
Sistem Monoklin dibagi menjadi 3 kelas yaitu Sfenoid, Doma, Prisma.
Beberapa contoh mineral dengan ancer kristal Monoklin ini adalah azurite,
malachite, colemanite, gypsum, dan epidot (Pellant, Chris. 1992).
g. Sistem Triklin
Sistem ini mempunyai 3 sumbu simetri yang satu dengan yang lainnya tidak
saling tegak lurus. Demikian juga panjang masing-masing sumbu tidak sama.
Pada kondisi sebenarnya, sistem kristal Triklin memiliki axial ratio
(perbandingan sumbu) a ≠ b ≠ c , yang artinya panjang sumbu-sumbunya tidak
ada yang sama panjang atau berbeda satu sama lain. Dan juga memiliki sudut
kristalografi α = β ≠ γ ≠ 90˚.

13
Gambar 2.9 Sistem Triklin
Pada penggambaran dengan menggunakan proyeksi orthogonal, Triklin
memiliki perbandingan sumbu a : b : c = sembarang. Artinya tidak ada patokan
yang akan menjadi ukuran panjang pada sumbu-sumbunya pada sistem ini. Dan
sudut antar sumbunya a+^bˉ = 45˚ ; bˉ^c+= 80˚. Hal ini menjelaskan bahwa
antara sumbu a+ memiliki nilai 45˚ terhadap sumbu bˉ dan bˉ membentuk
sudut 80˚ terhadap c+.
Sistem ini dibagi menjadi 2 kelas yaitu Pedial, Pinakoidal. Beberapa contoh
mineral dengan ancer kristal Triklin ini adalah albite, anorthite, labradorite, kaolinite,
microcline dan anortoclase (Pellant, chris. 1992).

14
BAB III

METODOLOGI PERCOBAAN

3.1 ALAT DAN BAHAN

3.1.1 Alat

1. Pulpen
Fungsi : Untuk menulis hasil praktikum

Gambar 3.1 Pulpen


2. Pensil
Fungsi : Untuk mensketsa bentuk geometri dari kristal.

Gambar 3.2 Pensil


3. Kamera
Fungsi : Untuk Menangkap hasil gambar

15
Gambar 3.3 kamera

4. Buku rocks and minerals


Fungsi : literatur pada praktikum.

Gambar 3.4 Buku Rock and Minerals


5. Papan scanner
Fungsi : Untuk menulis hasil data

Gambar 3.5 Papan Scanner


6. Alat Peraga
Fungsi : Sebagai objek percobaan.

Gambar 3.6 Alat peraga

16
3.1.2 Bahan
Adapun bahan yang digunakan pada praktikum Mineralogi acara 1 adalah:
1. Lembar Deskripsi
Berfungsi untuk lembar mendeskripsi sistem kristal.

Gambar 3.14 Lembar Deskripsi

3.2 Metode Praktikum

Dalam praktikum Mineralogi acara pertama Kristalografi, yaitu pengenalan


sistem kristal isometrik, tetragonal, heksagonal, trigonal, orthorombik, moNoklin dan
triklin. Berikut adalah langkah-langkah dalam melakukan praktikum.
1. Hal yang pertama dilakukan adalah menyiapkan alat pendeskripsi sistem
Kristal.
2. Selanjutnya mengambil alat peraga yang terdiri dari beberapa peraga sistem
Kristal dan meniliti system kristal yang terdapat pada alat peraga tersebut.
3. Selanjutnya, dilakukan penggambaran bentuk ketampakan peraga kristal
dengan bantuan proyeksi kubus dan menentukan bidang simetri dengan
bantuan proyeksi stereografis.
4. Setelah itu, dilakukan pendeskripsian untuk menentukan kelas kristal dan
bentuk kristal dari menentukan sistem kristal, sifat kristal, elemen kristal,
nilai kristal dan insicies bidang.
5. Selanjutnya hal ini dilakukan kembali pada stasiun-stasiun berikutnya sampai
stasiun ke 7. Hal ini dilakukan untuk pengenalan lebih jauh mengenai materi
tentang kristalografi.

17
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil

Tabel 4.1 Deskripsi Kristal


SISTEM RASIO SUDUT GEOMETRI
NO. FOTO
KRISTAL SUMBU INTERAKSI KRISTAL

3
ST.1 ISOMETRIK A=B=C 𝛼 = 𝛽 = 𝛾 = 90O

1
ST.1 ISOMETRIK A=B=C 𝛼 = 𝛽 = 𝛾 = 90O

21
ST.1 ORTHOROMBIK A≠B≠C 𝛼 = 𝛽 = 𝛾 = 90O

25
ST.1 ORTHOROMBIK A≠B≠C 𝛼 = 𝛽 = 𝛾 = 90O

18
22
ST.1 TETRAGONAL A=B≠C 𝛼 = 𝛽 = 𝛾 = 90O

26
𝛼 = 𝛽 =90O
ST.2 MONOKLIN A≠B≠C
𝛾 ≠90O

12
A=B=D 𝛼 = 𝛽 =90O
ST.2 HEXAGONAL
≠C 𝛾 =60O

31
𝛼=𝛽=𝛾=
ST.2 TETRAGONAL A=B≠C
90O

6
𝛼=𝛽=𝛾=
ST.2 TETRAGONAL A=B≠C
90O

29
𝛼=𝛽=𝛾=
ST.2 TETRAGONAL A=B≠C
90O

19
10 A=B=D 𝛼 = 𝛽 = 90O
TRIGONAL
ST.3 ≠C 𝛾 = 120O

7 A=B=D 𝛼 = 𝛽 = 90O
HEXAGONAL
ST.3 ≠C 𝛾 = 120O

20 A=B=D 𝛼 = 𝛽 = 90O
HEXAGONAL
ST.3 ≠C 𝛾 = 120O

19 A=B=D 𝛼 = 𝛽 = 90O
HEXAGONAL
ST.3 ≠C 𝛾 = 120O

16 𝛼≠𝛽≠𝛾≠
TRIKLIN A≠B≠C
ST.3 90O

18 𝛼=𝛽=𝛾=
ORTHOROMBIK A≠B≠C
ST.4 90O

20
14 𝛼=𝛽=𝛾=
TETRAGONAL A=B≠C
ST.4 90O

28 𝛼=𝛽=𝛾=
ORTHOROMBIK A≠B≠C
ST.4 90O

30 A=B=D 𝛼 = 𝛽 = 90O
HEXAGONAL
ST.4 ≠C 𝛾 = 120O

23 𝛼=𝛽=𝛾=
ORTHOROMBIK A≠B≠C
ST.4 90O

44 𝛼=𝛽=𝛾=
TETRAGONAL A=B≠C
ST.5 90O

6 𝛼=𝛽=𝛾=
TETRAGONAL A=B≠C
ST.5 90O

21
32 A=B=D
TRIGONAL 𝛼 = 𝛽 = 𝛾 =90O
ST.5 ≠C

11
TRIKLIN A≠B≠C 𝛼 ≠ 𝛽 ≠ 𝛾 =90O
ST.5

2 𝛼=𝛽=𝛾=
ISOMETRIK A=B=C
ST.6 90O

8 𝛼=𝛽=𝛾=
TETRAGONAL A=B≠C
ST.6 90O

17 𝛼=𝛽=𝛾=
ORTHOROMBIK A≠B≠C
ST.6 90O

22
5 𝛼=𝛽=𝛾=
TETRAGONAL A=B≠C
ST.6 90O

15 A=B=D
TRIGONAL 𝛼 = 𝛽 = 𝛾 =90O
ST.7 ≠C

13 𝛼=𝛽=𝛾=
TETRAGONAL A=B≠C
ST.7 90O

27
TRIKLIN A≠B≠C 𝛼 ≠ 𝛽 ≠ 𝛾 =90O
ST.7

24 𝛼=𝛽=𝛾=
ORTHOROMBIK A≠B≠C
ST.7 90O

23
4.2 Pembahasan

Bentuk-bentuk kristal secara garis besar terbagi atas 7 bagian yaitu sistem
kristal Isometrik, Tertragonal, Hexagonal, Trigonal, Orthorombik, Monoklin dan Triklin.
Sistem Kristal tersebut terbagi atas beberapa kelas lagi.
a. Isometrik terdiri atas Tetaoidal, Gyroida, Diploida, Hexatetrahedral, Hexoctahedral.
b. Tetragonal terdiri atas Piramid Bipiramid, Bisfenoid, Trapezohedral, Ditetragonal
Piramid, Skalenohedral, Ditetragonal Bipiramid.
c. Hexagonal terdiri atas Hexagonal Piramid Hexagonal Bipiramid, Dihexagonal
Piramid, Dihexagonal Bipiramid, Trigonal Bipiramid, Ditrigonal Bipiramid, Hexagonal
Trapezohedral
d. Trigonal terdiri atas Trigonal piramid Trigonal Trapezohedral, Ditrigonal Piramid,
Ditrigonal Skalenohedral, Rombohedral.
e. Orthorombik terdiri atas Bisfenoid, Piramid, Bipiramid
f. Monoklin terdiri atas Sfenoid, Doma, Prisma
g. Triklin terdiri atas Pedial, Pinakoidal
Pada praktikum yang telah dilaksanakan di Laboratorium Analisis Pengolahan
Bahan Galian yang terdiri atas 7 stasiun dimana setiap stasiun dibagi atas beberapa
sampel yang berbeda-beda, penjabarannya sebagai berikut :

a. Stasiun 1
1. Sampel No. 1
Termasuk dalam bentuk Kristal Isometrik dengan kelas tetrakisheksahedron
atau piramida kubus. Hal ini dapat divisualisasikan sebagai kubus dengan
piramida empat sisi reguler yang diletakkan di atas wajahnya. Kita dapat
menurunkannya dengan membiarkan permukaan dasar pada sampel
membalikkan sumbu vertikal sedemikian rupa sehingga bagian cut-off sumbu Y
meningkat (tapi tidak membiarkan batasnya mencapai) sementara potongan
potongan X-aksis tetap tidak berubah.
2. Sampel No. 3
Termasuk dalam bentuk Kristal Isometrik tapi dengan kelas yang berbeda dari
yang No. 1, sampel No.3 merupakan bagian dari kelas kubus (Hexahedron)
karena bidang cermin yang ditekan itu tegak lurus terhadap wajah polyhedral
ini, yaitu, masing-masing untuk dirinya sendiri tidak memisahkan dua
(simetris) wajah. Jadi kita bisa membayangkan bahwa bagian-bagian tertentu

24
dari wajah dihapus karena penindasan pesawat cermin (utama), diikuti oleh
perpanjangan bagian-bagian yang tersisa, sehingga bagian yang tertekan
dipulihkan kembali, yang menyiratkan bahwa bentuk luar dari Formulir baru
tetap tidak berubah.
3. Sampel No. 21
Termasuk dalam bentuk kristal Orthorombik klas Rhombic-bipyramidal jenis
Brachydiagonal. Dari Brachypyramid Rhombic manapun (na: b: mc) dapat
diturunkan Brachyprism Rhombic (na: b: ~ c) dengan menghasilkan jumlah
yang sangat besar. Di sini kita mendapatkan semacam Brachyprism langsung
dari Protoprisme Rhombic, dengan perluasan jarak cut-off dari sumbu brachy.
4. Sampel No. 22
Termasuk dalam sistem tetragonal klas
b. Stasiun 2
1. Sampel No. 6, No. 31 dan No. 29
Termasuk dalam bentuk Tetrahedral dalam klas Ditetragonal Piramid. Elemen
Simetri, terdapat satu sumbu putar empat, sumbu putar dua, lima sumbu simetri.
Ketika kita mengarahkan wajah ini ke semua simetri Kelas kristal kita akan
mendapatkan prisma yang ditetragonal. Wajah terisolasi akan digandakan
oleh bidang cermin terdekat yang menghasilkan dua wajah yang berhubungan
simetris yang memiliki sudut antara satu sama lain lebih kecil dari 1800.
Pasangan wajah ini kemudian akan menjadi dikalikan empat kali dengan aksi
sumbu rotasi 4 kali lipat, menghasilkan prisma yang ditetragonal, terdiri dari
delapan muka vertikal. Garis horisontalnya (yaitu bila dilihat dari atas, atau di
bawahnya) sama dengan bidang ekuator dari bipiramid ditetragonal.
2. Sampel No. 26
Termasuk dalam sistem kristal monoklin
3. Sampel No. 12
Termasuk dalam sistem kristal Hexagonal klas Dihexagonal-bipiramidal,
terdapat 1 sumbu putar enam, 6 sumbu putar dua, 7 bidang simetri masing-
masing berpotongan tegak lurus terhadap salah satu sumbu rotasi dan satu
pusat
c. Stasiun 3
1. Sampel No. 7 dan 20

25
Termasuk dalam sistem kristal Hexagonal klas Hexagonal-trapezohedrik. Kelas
ini dapat diturunkan dari Kelas Holohedric (Divisi) (= Kelas Diheksagonal-
bipiramidal) dengan menekan semua bidang cermin (bersamaan). Elemen
simetri Kelas ini adalah Satu sumbu rotasi 6 kali lipat, bertepatan dengan
sumbu c , yaitu sumbu kristalografi vertikal. Tiga sumbu rotasi horizontal 2
kali lipat, bertepatan dengan tiga sumbu kristalografi horisontal. Tiga sumbu
rotasi horizontal 2 kali lipat, membelah sudut antara sumbu kristalografi dan
berbaring di bidang yang sama - bidang ekuator - seperti tiga sumbu yang
disebutkan di atas. Semua di semua Kelas berisi tujuh sumbu rotasi di mana
enam sumbu 2 kali lipat terletak pada bidang ekuator dan satu sumbu 6 kali
berorientasi tegak lurus terhadap bidang itu.
2. Sampel No. 19
Termasuk dalam sistem kristal Hexagonal klas Dihexagonal-bipiramidal. Prisma
Diheksagonal, adalah prisma yang terdiri dari 12 wajah vertikal. Setiap bagian
horisontal dari itu adalah diheksagon yang sama. Ini adalah Formulir terbuka,
yang dalam hal ini berarti tidak ditutup oleh wajah atas atau bawah. Namun,
prisma semacam itu bisa digabungkan dengan Formulir lain dari Kelas ini (yang
harus dibahas), yaitu Pinasoid Dasar, yang terdiri dari dua wajah parallel
horizontal yang bisa menutup prisma di bagian bawah dan juga di bagian atas.
d. Stasiun 4
1. Sampel No. 14
Termasuk dalam sistem kristal Tetragonal klas Ditetragonal-piramida. Karena
memiliki satu sumbu rotasi 4 kali lipat dan empat (2 + 2) bidang cermin
vertikal.
2. Sampel No. 30
Termasuk dalam sistem kristal Hexagonal klas Trigonal-Piramida jenis Prisma
Trigonal Tipe Igggri, Aplikasi hemimorfik ditunjukkan dengan cara pewarnaan
wajah depan berbentuk dua bagian, bagian atas dan bawah, yang
mengekspresikan penindasan bidang cermin ekuator.
3. Sampel No. 18, 23, 28
Termasuk dalam bentuk kristal Orthorombik klas Rhombic-bipyramidal jenis
Brachydiagonal. Dari Brachypyramid Rhombic manapun (na: b: mc)dapat
diturunkan Brachyprism Rhombic (na: b: ~ c) dengan menghasilkan jumlah

26
yang sangat besar. Di sini kita mendapatkan semacam Brachyprism langsung
dari Protoprisme Rhombic, dengan perluasan jarak cut-off dari sumbu brachy
e. Stasiun 5
1. Sampel No. 44
Termasuk dalam sistem kristal tetragonal klas Ditetragonal-bipiramidal.
Proyeksi setiap gambar ditunjukkan seolah-olah mereka mewakilikutub wajah
atas dan kutub wajah bagian wajah. Terdapat satu sumbu putar empat dan
empat bidang simetri, Dua sumbu a1 dan -a1 keduanya sama, dengan satu
sumbu (sumbu c ) bisa lebih panjang atau pendek dari kedua sumbu lainnya.
2. Sampel No. 6
Termasuk dalam sistem kristal tetragonal klas Ditetragonal-bipiramidal. Namun
dengan bentuk yang berbeda dari sampel No.4. Lima sumbu rotasi, yaitu satu
poros rotasi utama 4 kali lipat, bertepatan dengan poros utama kristalografi,
dan tegak lurus terhadap bidang cermin utama, dan dua + dua sumbu rotasi 2
kali lipat, dua di antaranya bertepatan dengan sumbu kristal horizontal.
f. Stasiun 6
1. Sampel No.2
Termasuk dalam bentuk kristal Isometric dengan klas tetrakisheksahedron
atau piramida kubus. Hal ini dapat divisualisasikan sebagai kubus dengan
piramida empat sisi reguler yang diletakkan di atas wajahnya. Kita dapat
menurunkannya dengan membiarkan permukaan dasar pada sampel
membalikkan sumbu vetikal sedemikian rupa sehingga bagian cut-off sumbu Y
meningkat (tapi tidak membiarkan batasnya mencapai) sementara potongan
potongan X -aksis tetap tidak berubah.
2. Sampel No. 8
Termasuk dalam sistem kristal Tetragonal klas Tetragonal-bipiramidal. Proyeksi
setiap gambar ditunjukkan seolah-olah mereka mewakilikutub wajah atas dan
kutub wajah bagian wajah. Terdapat satu sumbu putar empat dan satu bidang
simetri, Dua sumbu a1 dan –a1 keduanya sama, dengan satu sumbu (sumbu c
) bisa lebih panjang atau pendek dari kedua sumbu lainnya.
3. Sampel No. 5
Termasuk dalam sistem kristal Tetragonal klas Ditetragonal-bipiramidal jenis
Protopyramid primer. Protopyramid utama berasal dari bentuk ini dengan
menuntut agar Bentuk yang dihasilkan memiliki bundel simetri lengkap dari

27
Kelas ini Wajah dikalikan dengan sumbu rotasi 4 kali lipat yang menghasilkan
total empat wajah.
4. Sampel No. 17
Termasuk sistem kristal Orthorombik, karena sistem ini mempunyai 3 sumbu
simetri yang saling tegak lurus satu sama lain. Tetapi ketiga sumbu ini
mempunyai panjag yang berbeda-beda. Sumbu-sumbu simetri ini diberi tanda
huruf a, b, dan c denga parameter sumbu a.
g. Stasiun 7
1. Sampel No. 13
Termasuk dalam sistem kristal tetragonal klas Ditetragonal-bipiramidal. Proyeksi
setiap gambar ditunjukkan seolah-olah mereka mewakilikutub wajah atas dan
kutub wajah bagian wajah. Terdapat satu sumbu putar empat dan satu bidang
simetri. Sumbu Kristal : Dua sumbu a1 dan –a1 keduanya sama, dengan satu
sumbu (sumbu c ) bisa lebih panjang atau pendek dari kedua sumbu lainnya.
2. Sampel No. 24
Termasuk sistem kristal orthorombik klas Rhombic-bipyramidal, karena sistem
ini mempunyai 3 sumbu simetri yang saling tegak lurus satu sama lain. Tetapi
ketiga sumbu ini mempunyai panjag yang berbeda-beda. Sumbu-sumbu
simetri ini diberi tanda huruf a, b, dan c denga parameter sumbu a.

28
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

1. Berdasarkan praktikum yang telah dilaksanakan, praktikan dapat menarik


kesimpulan, bahwasanya kristal merupakan kumpulan mineral berbutir padat
yang memiliki bahan-bahan kimia homogen tertentu dan terikat dalam bentuk
ion, atom, atau senyawa kimia tertentu.
2. Bentuk dari kristal adalah bagian dari karasteristik atau ciri-ciri mineral. Dalam
mempelajari ilmu mineral salah satu hal penting yang perlu diketahui adalah
bagaimana bentuk mineral itu sendiri dan semua itu dipelajari didalam
kristalografi.
3. Bentuk-bentuk fisik kristal diantaranya bentuk fisik memanjang, membulat, dan
memipih. Unsur-unsur kristal terdiri dari bidang simetri, garis simetri dan pusat
simetri. Sistem kristal yang lazim diketahui ada 7 diantaranya isometrik,
hexagonal, monoklin, triklin, rombohedral, tetragonal dan trigonal.

5.2 Saran

1. Saat praktikum sebaiknya alat-alat praktikum bisa ditambahkan jumlahnya.


2. Sebaiknya ketika memberikan soal responsi, soal yang diberikan tidak jauh dari
tugas pendahuluan.

29
DAFTAR PUSTAKA

Davis, G. H. 1996. Structural Geology Of Rocks And Region. 2nd edition, John wiley &
Sons, Inc. Canada.
Hibbard, M.J. 2002. Mineralogy: A geologist's point of view. McGraw-Hill,
Boston. 562 hlm.
Triwikantoro, 2002, “Studi Pengaruh Struktur Mikro pada Sifat Oksidasi dan Kristalisasi
Bahan Gelas Metalik Berbasis Zirkonium”, Proceedings Seminar Nasional
Lemlit ITS, Surabaya.
Koester, U. 1993, ”Phase Transformation in Rapidly Solidifying Alloys”, Key Engineering
Materials 81-83, 227-233.
Mondadori. A .1977. Guide To Rocks And Minerals, Simon & Schuster’s,London.
Pellant, C .1992. Rocks And Minerals, Dorley Kindersling, Limited, London.
Querol, X., Alastuey, A., Zhuang, X., Hower, J.C., Lopez-Soler, A., Plana, F., Zeng, R.,
1993. Petrology, mineralogy and geochemistry of the Permian and Triassic coals
in the Leping area, Jiangxi Province, southeast China. International Journal of
Coal Geology 48, 23– 45.
Wilson, J. R. 2010. Minerals And Rocks. J Richard Wilson & Ventus Publishing ApS,
Denmark.

30

Anda mungkin juga menyukai