Anda di halaman 1dari 40

STUDI KASUS FARMAKOTERAPI TERAPAN

STROKE

Disusun Oleh: Kelompok 12

Lilis Amongsari 192211101085

Eka Ayu Amaliyah 192211101086

Septi Sudianingsih 192211101087

Achmad Syarifudin Noor 192211101088

S. Nadya Riskia R. 192211101089

Rofiqoh Maulidah Sari 192211101090

Elok Puspitasari 192211101091

Nita Dwi Ariyanti 192211101092

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS JEMBER

2019
BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Pengertian Stroke


Menurut Lumbantobing (2013) stroke merupakan gangguan peredaran
darah di otak. Stroke juga dikenal dengan cerebrovascular accident dan Brain
Attack. Stroke berarti pukulan (to strike) yang tejadi secara mendadak dan
menyerang otak. Gangguan peredaran darah di otak dapat berupa iskemia yaitu
aliran darah berkurang atau terhenti pada sebagian daerah di otak. Sedangkan
gangguan peredaran darah lainnya adalah terjadinya perdarahan di otak karena
dinding pembuluh darah robek.

1.2 Epidemiologi Stroke


Di seluruh dunia, stroke merupakan penyebab utama kematian kedua dan
penyebab utama ketiga terjadinya kecacatan. Stroke adalah kematian mendadak
beberapa sel otak karena kekurangan oksigen ketika aliran darah ke otak hilang oleh
penyumbatan atau pecahnya pembuluh darah ke otak, juga merupakan penyebab
utama demensia dan depresi. Selama empat dekade terakhir, kejadian stroke di
negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah meningkat lebih dari dua kali
lipat. Selama beberapa dekade ini, insiden stroke telah menurun sebesar 42% di
negara-negara berpenghasilan tinggi (World Health Organization, 2016).
Di negara-negara ASEAN penyakit stroke juga merupakan masalah
kesehatan utama yang menyebabkan kematian. Dari data South East Asian Medical
Information Centre (SEAMIC) diketahui bahwa angka kematian stroke terbesar
terjadi di Indonesia yang kemudian diikuti secara berurutan oleh Filipina,
Singapura, Brunei, Malaysia, dan Thailand (Dinata dkk., 2013). Menurut hasil riset
kesehatan dasar di Indonesia, pada tahun 2018 prevalensi penderita stroke
meningkat dari tahun 2013 dari angka 7 per 1000 menjadi 10,9 per 1000 (Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2018).
1.3 Faktor Resiko Stroke
Menurut American Heart Association (2019), dalam analisis menggunakan
data dari Studi The Global Burden of Diseases (GBD), ≈90% risiko stroke dapat
dikaitkan dengan faktor risiko yang dapat dimodifikasi, seperti hipertensi, obesitas,
hiperglikemia, hiperlipidemia, dan disfungsi ginjal, serta 74% dapat dikaitkan
dengan faktor risiko perilaku, seperti merokok, gaya hidup yang monoton, dan diet
yang tidak sehat. Secara global, 29% risiko stroke disebabkan oleh polusi udara.

1.4 Klasifikasi dan Etilogi Stroke

Gambar 1.1. Klasifikasi stroke (Sumber: Dipiro, 2009)

Stroke digolongkan menjadi dua jenis kelompok, yaitu stroke iskemia dan
stroke hemoragi. Stroke iskemik merupakan penyumbatan pembuluh darah untuk
memasok darah ke otak, sedangkan stroke hemoragi merupakan perdarahan di
dalam atau di sekitar otak.
1. Stroke Iskemik
88 % kejadian stroke di dunia merupakan jenis stroke iskemik, yang
disebabkan oleh adanya penyumbatan pada pembuluh darah akibat adanya
gumpalan trombus maupun emboli. Trombus adalah gumpalan yang berasal
dari pembuluh darah otak, sedangkan emboli adalah gumpalan yang berasal
dari tempat lain, misalnya jantung atau arteri besar lainnya. Trombus umumnya
terjadi karena berkembangnya aterosklerosis pada dinding pembuluh darah,
sehingga arteri menjadi tersumbat dan aliran darah menjadi berkurang. Hal ini
menyebabkan sel otak tidak mendapat oksigen dan asupan yang cukup yang
menyebabkan disfungsi pada sebagian sel-sel otak yang mengakibatkan
kelumpuhan bahkan infark pada jaringan otak. Faktor lain yang berpengaruh
adalah denyut jantung yang irreguler (fibrilasi atrium) yang merupakan tanda
adanya sumbatan dijantung yang dapat keluar menuju otak. Adanya
penimbunan lemak pada pembuluh darah otak (aterosklerosis) akan
meningkatkan resiko terjadinya stroke iskhemik. Aliran darah ke otak adalah
sebesar 50-60 ml/100mg/menit. Iskemik ini terjadi ketika aliran darah ke otak
kurang dari 30 ml/100mg/menit (Dipiro dkk., 2009).
Stroke iskemik disebabkan oleh pembentukan trombus lokal atau
embolik yang mengakibatkan oklusi arteri serebral. Faktor kebanyakan pada
kasus stroke iskemik adalah aterosklerotik serebrovaskular, meskipun 30%
faktor penyebabnya adalah kriptogenik. Emboli kardiogenik terjadi jika pasien
mengalami fibrilasi atrium secara bersamaan, penyakit jantung valvular, atau
kondisi jantung lainnya yang dapat menyebabkan pembekuan. Berdasarkan
manifestasi klinis menurut ESO excecutive committe dan ESO writting
committee (2008) dan Jauch dkk (2013), stroke iskemik digolongkan menjadi:
a. TIA (Transient Ischemic Attack) atau serangan stroke sementara
Gejala defisit neurologis hanya berlangsung kurang dari 24 jam. TIA
menyebabkan penurunan jangka pendek dalam aliran darah ke suatu bagian
dari otak. TIA biasanya berlangsung selama 10-30 menit.
b. RIND (Reversible Ischemic Neurologic Deficit)
Gejala defisit neurologi yang akan menghilang dalam waktu lebih lama dari
24 jam, tetapi gejala akan menghilang tidak lebih dari 7 hari.
c. Stroke evaluasi (Progressing Stroke)
Kelainan atau defisit neurologi yang berlangsung secara bertahap dari yang
ringan hingga makin lama makin berat.
d. Stroke komplit (Completed Stroke)
Kelainan neurologis yang sudah menetap dan tidak berkembang lagi.
2. Stroke Hemoragi
12 % prevelensi stroke yang terjadi merupakan stroke hemoragi
yaitu stroke yang terjadi akibat adanya perdarahan pada otak dimana
perdarahan ini bisa terjadi karena adanya tekanan darah yang tidak terkontrol
(Dipiro dkk., 2009). Stroke hemoragi disebabkan karena pecahnya pembuluh
darah di otak terutama karena hipertensi yang mengakibatkan darah masuk ke
dalam jaringan otak, selanjutnya membentuk massa, menekan jaringan otak
dan menimbulkan udema di sekitar otak. Darah yang tidak dapat mengalir
secara semestinya menyebabkan otak mengalami hipoksia (kurangnya pasokan
oksigen) dan berakhir dengan kelumpuhan (Dipiro dkk., 2009). Berdasarkan
perjalanan klinisnya, stroke hemoragi di kelompokan sebagai berikut:
a. PIS (Perdarahan intraserebral)
Perdarahan intraserebral disebabkan karena adanya pembuluh darah
intraserebral yang pecah sehingga darah keluar dari pembuluh darah dan
masuk ke dalam jaringan otak. Keadaan tersebut menyebabkan peningkatan
tekanan intrakranial atau intraserebral sehingga terjadi penekanan pada
pembuluh darah otak sehingga menyebabkan penurunan aliran darah otak
dan berujung pada kematian sel sehingga mengakibatkan defisit neurologi
(Smeltzer dan Bare, 2005). Perdarahan intraserebral (PIS) adalah
perdarahan yang primer berasal dari pembuluh darah dalam parenkim otak
dan bukan disebabkan oleh trauma. Perdarahan ini banyak disebabkan oleh
hipertensi dan penyakit darah seperti hemofilia (Pizon dan Asanti, 2010).
b. PSA (Perdarahan subarakhnoid)
Perdarahan subarakhnoid merupakan masuknya darah ke ruang subrakhnoid
baik dari tempat lain (perdarahan subarakhnoid sekunder) atau sumber
perdarahan yang berasal dari rongga subrakhnoid itu sendiri (perdarahan
subarakhnoid) (Junaidi, 2011). Perdarahan subarakhnoidal (PSA)
merupakan perdarahan yang terjadi masuknya darah ke dalam ruangan
subarakhnoid (Pizon dan Asanti, 2010).
1.5 Patofisiologi Stroke
1. Stroke Iskemia
Stroke iskemik terjadi pada otak yang mengalami gangguan pasokan
darah sehingga otak kekurangan asupan oksigen dan nutrisi. Hal itu disebabkan
adanya plak yang mengakibatkan penyumbatan pada pembuluh darah. Ketika
terjadi stress dapat mengakibatkan pecahnya plak, paparan kolagen, agregasi
platelet dan pembentukan gumpalan. Gumpalan dapat menetap pada pembuluh
darah, menyebabkan penyumbatan lokal, atau bermigrasi seperti emboli, yang
akhirnya bermuara di pembuluh darah otak. Hasil akhir dari trombus dan
emboli adalah oklusi arteri serta penurunan aliran darah otak dan menyebabkan
iskemik (Dipiro dkk., 2009).
Aliran darah otak normal rata-rata 50 mL / 100 g per menit, ketika
aliran darah lokal otak menurun dibawah 20 mL/ 100 g per menit, iskemia
dapat terjadi dan ketika pengurangan lebih lanjut dibawah 12 mL/100 g per
menit dan bertahan, terjadi kerusakan permanan otak yang disebut infark.
Jaringan yang mengalami iskemik tetapi mempertahankan integritas membran
dan berpotensi untuk diselamatkan disebut sebagai penumbra iskemik yang
berada disekitar area infark atau mengelilingi infark. Penumbra ini berpotensi
diselamatkan melalui intervensi terapetik (Dipiro dkk., 2009).
Penurunan pasokan oksigen pada sel otak menyebabkan terjadinya
metabolisme anaerob sehingga terjadi asidosis laktat. Selain itu berkurangnya
penyediaan nutrisi ke sel iskemik menyebabkan berkurangnya fosfat seperti
adenosin trifosfat (ATP) yang diperlukan untuk menjaga ketahanan membran.
Selanjutnya, kalsium ekstraseluler terakumulasi dan pada saat bersamaan,
natrium dan air tertahan menyebabkan sel mengembang dan lisis.
Ketidakseimbangan elektrolit juga menyebabkan depolarisasi sel dan
masuknya kalsium ke dalam sel. Peningkatan kalsium intraseluler
mengakibatkan aktivasi lipase, protease dan endonukleat serta pelepasan asam
lemak bebas dari membran fosfolipid. Depolarisasi neuron mengakibatkan
pengeluaran asam amino seperti glutamate dan aspartate yang menyebabkan
kerusakan saraf ketika dikeluarkan berlebihan. Akumulasi dari asam lemak
bebas, termasuk asam arakidonat menyebabkan pembentukan prostaglandin,
leukotriene dan radikal bebas. Radikal bebas akan merombak molekul lemak
didalam membran sel, sehingga sel akan bocor dan terjadilah influx kalsium.
Peristiwa ini terjadi dalam waktu 2-3 jam dari onset iskemi dan berkurangnya
aliran darah ke otak yang menyebabkan kematian sel (Dipiro dkk., 2009).

3. Stroke Hemoragi
Stroke hemoragi terjadi karena pecahnya pembuluh darah di otak
akibat aneurisma, sehingga darah menggenangi atau menutupi ruang-ruang
jaringan sel otak. Adanya darah yang menggenangi atau menutupi ruang-ruang
jaringan sel otak akan menyebabkan kerusakan jaringan sel otak dan
menyebabkan kerusakan fungsi kontrol otak (Mir dkk., 2014). Stroke hemoragi
meliputi hemorrhage subarachnoid (SAH), hemorrhage intracrebral dan
subdural hematomas. Subarachnoid hemorrhage terjadi bila darah memasuki
area Subarachnoid (tempat cairan serebrospinal) baik karena trauma, pecahnya
aneurisma intracranial maupun arteriovenous malformation (AVM) (Dipiro
dkk., 2012). Hemorrhage intracrebral umumnya terjadi di arteri kecil atau
arteriol dan biasanya disebabkan oleh hipertensi, trauma, gangguan
perdarahan, angiopati amiloid, penggunaan obat-obatan terlarang seperti
amfetamin atau kokain, dan malformasi vascular (Mir dkk., 2014). Subdural
hematomas menjelaskan terkumpulnya darah dibawah area dura (melapisi
otak) dan sering disebabkan oleh trauma. Pada kondis-kondisi tersebut
biasanya darah dikeluarkan langsung ke parenkim otak yang merusak jaringan
disekitarnya melalui neurotoksisitas komponen darah dan produk
degradasinya. Stroke hemoragi menyebabkan peningkatan tekanan intracranial
dan kematian mendadak sehingga lebih berbahaya daripada stroke iskemik
dengan resiko kematian 2 sampai 6 kali lebih besar (Dipiro dkk., 2012).

1.5 Manifestasi Klinik Stroke


Pada umumnya, pasien kemungkin tidak dapat menyampaikan keluhan
yang dirasakan (data subjektif) karena adanya penurunan kemampuan kognitif dan
kesulitan berbicara. Sehingga informasi harus berasal dari anggota keluarga
pasien atau saksi lain yang memahami kondisi pasien.

1. Gejala Umum
a. Mengeluh kelemahan pada salah satu sisi tubuh
b. Ketidakmampuan untuk berbicara
c. Kehilangan kemampuan penglihatan
d. Mengalami vertigo hinga terjatuh
Stroke iskemik biasanya tidak menyakitkan, tetapi pasien mungkin
mengeluh sakit kepala, sedangkan pada stroke hemoragi akan merasakan
kesakitan yang sangat parah.
2. Tanda-Tanda Umum
a. Pasien biasanya memiliki beberapa tanda disfungsi neurologis dan defisit
spesifik tergantung dengan luas wilayah otak yang terlibat
b. Hemi/monoparesis sering terjadi seperti halnya hemisensori
c. Pasien dengan vertigo dan penglihatan ganda cenderung adanya kondisi
pada sirkulasi posterior
d. Pasien dengan stroke sirkulasi anterior sering mengalami afasia
e. Pasien juga mungkin menderita disartria, cacat lapang penglihatan, dan
penurunan tingkat kesadaran (Dipiro dkk., 2012).
Manifestasi klinik stroke dapat dilihat dari defisit neurologiknya, yaitu:
1. Defisit Lapangan Penglihatan
a. Homonimus heminopsia (kehilangan setengah lapang penglihatan):
1) Tidak menyadari orang atau objek di tempat kehilangan penglihatan
2) Mengabaikan salah satu sisi tubuh
3) Kesulitan menilai jarak
b. Kehilangan penglihatan perifer:
1) Kesulitan melihat pada malam hari
2) Tidak menyadari objek atau batas objek
c. Diplopia: Penglihatan ganda
2. Defisit Motorik
a. Hemiparesis (kelemahan salah satu sisi tubuh)
Meliputi kelemahan wajah, lengan, dan kaki pada sisi yang sama (karena
lesi pada hemisfer yang berlawanan).
b. Hemiplegia (paralisis pada salah satu sisi)
Melipuri paralisis wajah, lengan, dan kaki pada sisi yang sama (karena lesi
pada hemisfer yang berlawanan).
c. Ataksia
Meliputi berjalan tidak mantap, tegak. Tidak mampu menyatukan kaki dan
memerlukan dasar berdiri yang luas.
d. Disartria
Kesulitan dalam membentuk kata.
e. Disfagia
Kesulitan dalam menelan.
3. Defisit Sensori
Parestesia (terjadi pada sisi berlawanan dari lesi) meliputi kebas dan
kesemutan pada bagian tubuh serta kesulitan dalam propriosepsi.
4. Defisit Verbal
a. Afasia ekspresif
1) Tidak mampu membentuk kata yang dapat dipahami
2) Mungkin mampu bicara dalam respon kata-tunggal
b. Afasia reseptif
1) Tidak mampu memahami kata yang dibicarakan
2) Mampu bicara tetapi tidak masuk akal
c. Afasia global
Kombinasi baik afasia reseptif dan ekspresif
5. Defisit Kognitif
a. Kehilangan memori jangka pendek dan panjang
b. Penurunan lapang perhatian
c. Kerusakan kemampuan untuk berkosentrasi
d. Alasan abstrak buruk
e. Perubahan penilaian
6. Defisit Emosional
a. Kehilangan kontrol diri
b. Labilitas emosional
c. Penurunan toleransi pada situasi yang menimbulkan stress
d. Depresi
e. Menarik diri dari lingkungan
f. Rasa takut dan mudah marah
g. Perasaan ter-isolasi
Apabila dilihat bagian hemisfer mana yang terkena, manifestasi klinis
stroke dapat berupa:
1. Stroke hemisfer kanan
a. Hemiparese sebelah kiri tubuh
b. Penilaian buruk
c. Mempunyai kerentanan terhadap sisi kontralateral sebagai kemungkinan
terjatuh kesisi yang berlawanan
2. Stroke hemisfer kiri
a. Mengalami hemiparese kanan
b. Perilaku lambat dan sangat berhati-hati
c. Kelainan bidang pandang sebelah kanan
d. Disfagia global
e. Afasia
f. Mudah frustasi (Smeltzer dkk., 2010).
Tes laboratorium dalam penegakan diagnosis stroke yang umumnya
dilakukan adalah tes untuk kondisi hiperkoagulabel / darah kental (defisiensi
protein C, antibodi, dan antifosfolipid) harus dilakukan hanya ketika penyebab
stroke tidak dapat ditentukan berdasarkan faktor risiko stroke pada umumnya.
Protein C, protein S, dan antitrombim III paling baik diukur ketika dalam kondisi
tunak, bukan saat tahap akut. Tes Diagnostik dalam penegakan diagnosis stroke
yang umumnya dilakukan adalah sebagai berikut:
1. CT scan kepala akan mempresentasikan area hiperintensitas (putih) di area
perdarahan dan akan menjadi normal atau hipointense (gelap) di bidang infark.
CT scan mungkin memakan waktu kurang lebih 24 jam untuk menunjukkan
area infark.
2. MRI kepala akan mempresentasikan area iskemik dengan resolusi yang lebih
tinggi dan lebih cepat dari CT scan. Diffusion Weighted Imaging (DWI) akan
mempresentasikan area infark yang berkembang dalam beberapa menit.
3. Studi Carotid Doppler (CD) akan menentukan apakah pasien memiliki stenosis
derajat tinggi di arteri karotis yang memasok darah ke otak (penyakit
ekstrakranial).
4. Elektrokardiogram (EKG) akan menentukan apakah pasien memiliki fibrilasi
atrium, yaitu faktor etiologi yang kuat untuk stroke.
5. Transthoracic Echocardiography (TTE) akan menentukan apakah kelainan
katup atau kelainan gerakan dinding sumber emboli ke otak. "Tes gelembung"
dapat dilakukan untuk mencari intraatrial shunt yang menunjukkan defek
septum atrium atau foramen ovale paten.
6. Transesophageal Echocardiography (TEE) lebih sensitif dilakukan untuk tes
trombus pada atrium kiri. Efektif dalam memeriksa lengkung aorta untuk
ateroma, yaitu sumber potensial emboli.
7. Transcranial Doppler (TCD) akan menentukan apakah pasien kemungkinan
memiliki stenosis intrakranial misalnya stenosis arteri serebral tengah.
(Dipiro dkk., 2012).

1.6 Tatalaksana Terapi Stroke


1. Stroke Iskemik
a. Terapi Non-Farmakologi
1) Tindakan Bedah
Tindakan bedah dapat dilakukan bertujuan untuk mengurangi tekanan
intrakarnial.
2) Endarterektomi karotid dan Stenting
Endarterektomi karotid merupakan operasi di mana lapisan dalam arteri
karotis diangkat karena adanya penyumbatan yang menghambat
peredaran darah. Tujuan dari operasi ini adalah untuk menghilangkan
timbunan yang menumpuk pada arteri karotis.
Stenting merupakan pemasangan ring atau tabung kecil yang berperan
penting dalam mengatasi penyumbatan pembuluh darah di jantung. Alat
ini dipasang di dalam pembuluh darah yang tersumbat agar aliran darah
tetap lancar.
b. Terapi Farmakologi
1) Alteplase
Alteplase (t-PA, Tissue Plasminogen Activator) terapi mulai diberikan
dalam 4,5 jam munculnya gejala onset untuk mengurangi kecacatan dari
stroke iskemik. Berikut merupakan tata laksana dalam pemberian
alteplase pada pasien stroke agar mendapatkan hasil yang baik, yaitu:
 Obat sedini mungkin diberikan dalam waktu 4,5 jam setelah onset
 Dilakukan CT scan untuk menghindari perdarahan
 Diberikan alteplase 0,9 mg / kg (maksimum 90 mg) infus IV selama
1 jam, dengan 10% diberikan sebagai bolus setelah 1 menit
 Dihindari terapi antikoagulan dan antiplatelet selama 24 jam
 Dilakukan pemantauan pasien dengan seksama terhadap peningkatan
TD, respon tubuh, dan perdarahan.
2) Aspirin
Terapi dosis 160 hingga 325 mg / hari mulai diberikan antara 24 dan 48
jam setelah selesai pemberian terapi alteplase untuk mengurangi
terjadinya kecacatan jangka panjang.
3) Pencegahan Stroke Iskemik
 Terapi antiplatelet digunakan pada stroke non-kardioembolik seperti
aspirin, clopidogrel, dan extended-release dipyridamole + aspirin.
Cilostazol juga merupakan agen lini pertama, tetapi penggunaannya
dibatasi karena kurangnya data yang menunjang.
 Antikoagulasi oral direkomendasikan untuk fibrilasi atrium dan
emboli jantung. Antagonis vitamin K (warfarin) adalah lini pertama,
tetapi antikoagulan oral lainnya (misalnya, dabigatran) mungkin
direkomendasikan untuk beberapa pasien.
 Pengobatan peningkatan TD setelah stroke iskemik mengurangi risiko
kekambuhan stroke. Pedoman pengobatan merekomendasikan
pengurangan TD pada pasien dengan stroke atau TIA setelah periode
akut (7 hari pertama).
 Statin mengurangi risiko stroke sekitar 30% pada pasien dengan
penyakit arteri koroner dan peningkatan lipid plasma. Pasien stroke
iskemik diberikan terapi statin intensitas tinggi bertujuan untuk
mencapai pengurangan setidaknya 50% kadar LDL untuk pencegahan
stroke sekunder.
 Low-molecular-weight heparin atau low-dose subcutaneous
unfractionated heparin (5000 unit tiga kali sehari) direkomendasikan
untuk pencegahan trombosis vena dalam pada pasien rawat inap
dengan mobilitas yang menurun akibat stroke.
(Dipiro dkk., 2009).
2. Stroke Hemoragi
Tidak ada terapi farmakologis standar untuk mengobati kondisi perdarahan
intraserebral. Adapun langkah yang dilakukan ialah dengan mengelola TD,
peningkatan tekanan intrakranial, dan komplikasi medis lainnya pada pasien yang
berada pada unit perawatan neurointensive.
SAH akibat ruptur aneurisma sering dikaitkan dengan iskemik serebral yang
tertunda dalam 2 minggu setelah masa perdarahan. Vasospasme dari pembuluh
darah otak dianggap bertanggung jawab atas iskemik yang tertunda dan terjadi
antara 4 dan 21 hari setelah berdarah. Obat golongan calsium channel blocker yaitu
nimodipine 60 mg setiap 4 jam selama 21 hari, bersama dengan pemeliharaan
volume intravaskular dapat direkomendasikan untuk mengurangi insiden dan
tingkat keparahan neurologis yang dihasilkan dari iskemik tertunda. Penyebab
paling umum yang menyebabkan terjadinya kerusakan klinis pada pasien stroke
meliputi:
a. Ekstensi dari lesi asli di otak
b. Perkembangan edema serebral dan peningkatan tekanan intrakranial
c. Emergensi hipertensi
d. Infeksi (misalnya, infeksi saluran kemih dan saluran pernapasan)
e. Tromboemboli vena
f. Kelainan elektrolit dan gangguan ritmik
g. Stroke berulang

Adapun rekomendasi terapi untuk memantau kondisi stroke pasien dapat


dilihat pada tabel dibawah ini (Dipiro dkk., 2015), yaitu:

Gambar 1.2. Tatalaksana terapi stroke hemoragi (Sumber: Dipiro, 2015)

Prinsip utama dalam manajemen awal terapi kondisi Intracerebral


Haemorrhage (ICH) adalah seperti tabel diatas. Penatalaksanaan oksigen (jika
perlu), terapi kardiovaskular, pengobatan penurun TD segera, dan pengembalian
keadaan abnormalitas koagulasi harus segera dilakukan. Berbagai skala penilaian
digunakan untuk memprediksi prognosis pada tahap awal ICH. Skor ICH adalah
skala yang paling sering digunakan dan dapat dengan mudah dihitung berdasarkan
pemeriksaan neurologis dan temuan CT scan. Dalam studi kohort observasional
prospektif, skor ICH bisa menjadi penilaian klinis yang valid untuk mortalitas 30
hari dan 12 bulan. Semakin tinggi skor (skor 6) maka tingkat kematian pada pasien
ICH juga semakin tinggi yang ditunjukkan pada Gambar 1.3. Kondisi pasien
dengan ICH sering memburuk dalam 24 atau 48 jam pertama setelah onset gejala
karena cedera sekunder yang disebabkan oleh ekspansi hematoma, ekstensi
perdarahan intraventrikular (IVH), demam, dan tekanan darah tinggi. Adapun terapi
farmakologi untuk mengatasi stroke hemoragik menurut Kim dan Bae (2017)
ditunjukkan pada Gambar 1.4. Hemphill dkk (2015) menyatakan adanya
rekomendasi AHA / ASA tatalaksana terapi pada kondisi ICH yang ditunjukkan
pada Gambar 1.5.
Gambar 1.3. Skoring (Sumber: Dipiro, 2015)

Gambar 1.4. Tatalaksana terapi ICH (Sumber: Kim dan Bae, 2017)

Gambar 1.4. Tatalaksana terapi ICH ASA/AHA (Sumber: Hemphill, 2015)


BAB 2. ANALISIS SOAP

Pharmaceutical Care Plan

I. IDENTITAS PASIEN
Nama Pasien : Ny. M
Umur : 49 yahun BB: - TB: -
Tanggal MRS : 11 April 2019
Tanggal KRS : -
Diagnosis : CVA Pendarahan (Subarachnoid hemorrhage)

II. SUBYEKTIF
2.1. Keluhan Pasien :
- Tangan dan kaki lemas
- Terdapat luka robek pada pipi kiri
- Batuk dan pilek
2.2. Riwayat Penyakit :
- Hipertensi (tidak terkontrol)
2.3. Riwayat Pengobatan :
-
2.4. Riwayat Keluarga/Sosial :
-
2.5. Alergi Obat :
-
III. OBJEKTIF
A. Tanda-tanda vital
Parameter Nilai Tanggal
Normal 11/4 12/4 13/4 14/4 15/4 16/4 17/4 18/4 19/4 20/4
Suhu (C) 36,5-37,5 36,3 37,4 36,2 36,3 36,5 36,7 36
Tekanan darah 130/70 120/70 130/70 140/80 140/70 140/70 120/90 130/70 130/70 160/90
120/80
(mmHg)
Nadi (x/menit) 80-100 dbn dbn dbn dbn dbn dbn dbn dbn dbn dbn
RR (x/menit) 18-24 dbn dbn dbn dbn dbn dbn dbn dbn dbn dbn

B. Tanda-tanda klinik
Gejala fisik Tanggal
C. Data laboratorium
Parameter Nilai Normal Tanggal
11/4 12/4
HDL 45-65 - 35
Leukosit 4.000-10.000 3.900 3000
LED <7mm/jam - 35
IV. TERAPI PASIEN
Nama Obat Dosis & rute Tanggal
11/4 12/4 13/4 14/4 15/4 16/4 17/4 18/4 19/4 20/4
Nicholin 2x250 mg √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
Nimotop syr. Pump 2 cc/jam √ √ √ √ √ Stop
Nimotop tablet 3x60 mg √ 4x1 4x1 4x1 4x1
Ranitidin 2x1 amp √ √ √ Stop
Parasetamol 4x500 mg √ √ √ √ Stop
Vitamin K 4x1 amp √ √ √ √ √ √ √ √ √
Laxadin 1x1 cth (prn)
Fluimucil 3x1 sachet √ √ √ √ √ √ 2x1 2x1 2x1
Imunos 1x1 tablet √ √ √ √ √ Stop
Vitamin c 3x100 mg √ √ √ √ √ √ √ √ √
Dansera 4x1 tablet √ √ √ √ √ √ 3x1 3x1 3x1
Fenitoin 2x100 mg √ √ √ √ √ √ √ √
Vicillin 4x1 g √ √ √ √ √ √ Stop
L-Bio 1x1 √ √ √
Colaskin 2x1 tablet √ √
Telmisartan 1x40 mg √
V. ANALISIS SOAP

Problem Subyektif/ Terapi Analisis Obat DRP Plan & Monitoring


Medis Obyektif
PSA/SAH Subyektif: Nymotop syr. Nimotop merupakanobat golongan Rute pemberian obat Plan:
- Tangan dan pump 2 cc/jam Calcium Channel Blocker (CCB) yang tidak sesuai Dilakukan
kaki lemas mengandung nimodipin. Terapi Penggunaan dengan jalur penggantian rute
- Pasien nimodipin dapat mencegah vasopasme parenteral memiliki efek pemberian nimotop
terjatuh dan pada kondisi pasien perdarahan samping kardiovaskuler syringe menjadi
pingsan subaraknoid hemorraghe yang berat hingga peroral dengan
disebabkan rupture aneurisma (DIH 17). menyebabkan kematian penyesuaian dosis
Obyektif: (DIH 17). menjadi 60 mg tiap 4
- Diagnosis Oleh karena itu sebaiknya jam (6 kali sehari)
dokter: dari awal sudah diberikan (Dipiro 9th, 2015).
CVA nimotop dengan jalur
perdarahan peroral.
Nimotop tab Pemberian nimodipin hanya dapat Dosis terlalu rendah Plan:
- HDL 35 (3x60 mg) pd diberikan dalam peroral, jika pasien Dosis nimotop syringe Dosis ditingkatkan
tanggal 16/4 terdapat kesulitan menelan kapsul, obat dan tablet terlalu rendah menjadi 60 mg setiap
(4x1 mg) pd harus diberikan dalam jarum suntik lisan 4 jam (6 kali sehari)
tanggal 17- dengan label “hanya untuk penggunaan selama 21 hari.
20/4 oral”. th
(Dipiro 9 , 2015).
Dosis Nimodipin tablet yang biasa
digunakan yaitu 60 mg setiap 4 jam (6 Monitoring :
kali sehari)selama 21 hari. (Dipiro 9th, Tekanan darah pasien
2015).
Nicholin Nicholine merupakan obat dengan Tidak ada DRP Plan :
(citicolin) bahan aktif berupa citicoline. Citicoline Terapi dilanjutkan.
2x250 mg merupakan turunan dari choline dan 
cytidine dalam biosintesis lesitin.  Monitoring :
Citicoline dapat meningkatkan aliran Perlu dipantau terkait
darah dan konsumsi oksigen pada otak efek samping seperti
serta dapat diberikan sebagai terapi pada mual, sakit kepala,
gangguan serebrovaskular. dan diare.
Diberikan secara injeksi iv atau im
dengan dosis hingga 1 g tiap hari atau
secara po dalam dosis terbagi 200 hingga
600 mg tiap hari.(Martindale 36, hal
2283).
Telmisartan Telmisartan merupakan obat Terapi tidak Plan :
1x40 mg tgl 20 antihipertensi golongan Angiotensin diperlukan
terapi dihentikan
Reseptor Bloker (ARB) dengan dosis
awal 20-40 mg (Joint Formularium
Committe, 2019). Mekanisme kerja
Monitoring :
ARB adalah memblokade reseptor
angiotensin II tipe 1. ARB memiliki efek tekanan darah pasien
yang mirip dengan ACEI, tetapi tidak
mempengaruhi metabolism bradykinin
sehingga ARB tidak memiliki ES batuk
kering (Dipiro dkk., 2012).
Fenitoin Fenitoin merupakan obat golongan Terapi Tanpa Indikasi Plan:
(2x100 mg) antiepilepsi yang diindikasikan untuk Penggunaan fenitoin Terapi dihentikan
mengatasi kejang pada pasien stroke. sebagai terapi profilaksis secara tappering
down.
Loading dose: 15-20 mg / kg dalam 3 pada pasien SAH kurang
dosis terbagi yang diberikan setiap 2-4 direkomendasikan. Monitoring:
jam. Terapi obat
Dosis pemeliharaan: 300 mg/ hari atau 5- antiepilepsi dapat
6 mg/kg/hari dalam 3 dosis terbagi atau diberikan jika pasien
1-2 dosis terbagi. mengalami kejang,
(DIH Edisis 17, 2009)

Paracetamol Paracetamol (Acetaminophen) mer - Plan :


4x500 mg upakan obat golongan analgesik non-opi Terapi dilanjutkan jik
oid yang memiliki efek analgesic dan an a terdapat keluhan ny
tipiretik, tidak memiliki efek antiinflama
th eri atau sakit pada pa
si (BNF 76 , 2018) sien.a
Digunakan sebagai obat nyeri ringa
n hingga sedang.
Dosis : 325-659 setiap 4-6 jam atau 100 Monitoring :
0 mg 3-4x per hari, tidak boleh lebih dar Skala nyeri
th
i 4 gram per hari (DIH 17 , 2009)
Digunakan untuk mengurangi rasa n
yeri yang timbul akibat perdarahan yang
terjadi di subarachnoid
Vitamin K Vitamin K merupakan vitamin larut Tidak Ada DPR Plan:
(4x1 amp) lemak yang memiliki peran dalam proses Terapi dilanjutkan
pembekuan darah.
(BNF, 2019) Monitoring:
Pendarahan pada
pasien
Dansera (PO) Dansera merupakan suplemen Ada efek yang tidak Plan :
4x1 tab multivitamin yang berisi Serrapeptase 5 dikehendaki menghentikan terapi
tgl 12- 17 , mg, Vitamin B1 mononitrare 1,4 mg, Dansera dan
3x1 tab Vitamin B2 1,5 mg, Vitamin B3 15 mg, mengganti dengan
tgl 18 – 20 Vitamin B6 2,2 mg, Vitamin B12 3 mg terapi danzen 5 mg,
dan Vitamin E 3 mg. Betominplex.
Serrapeptase merupakan agen
antiinflamasi, anti edema serta mampu Monitoring :
melarutkan gumpalan darah dan plak kondisi perdarahan
aterosklerosis (Bhagat dkk., 2013). pasien
Vitamin B dapat menurunkan
kekambuhan stroke, infark miokard dan
vascular event pada pasien stroke baru
(Wang dkk., 2015). Vitamin E
meningkatkan resiko stroke hemoragik
sebesar 22% dan memperparah
outcomes stroke hemoragik (Schurks
dkk., 2010). Selain itu, menurut Bin dkk.
(2011) pemberian vitamin E tidak
memberikan support pada pasien stroke.
Imunos Imunos merupakan suplemen yang Tidak ada DRP Plan:
1x1 tabet digunakan untuk meningkatkan sistem -
imun tubuh. Suplemen Imunos
mengandung bahan aktif echinacea, Zn Monitoring:
pikolinat, selenium, na-askorbat -
(sdrugs.com).
Vitamin C Vitamin C/asam askorbat Tidak ada DRP Plan:
3x100 mg diperlukan untuk pembentukan kolagen terapi dilanjutkan
dan perbaikan jaringan. Berdasarkan
hasil penelitian, penggunaan vitamin C Monitoring:
menunjukkan kemungkinan penurunan Lemas, luka pada
risiko kematian akibat stroke dengan pipi. Bila pasien
dosis 45mg/hari. mengalami gagal
Dosis vitamin C untuk perempuan jantung, tidak boleh
yaitu 75mg/hari dengan dosis maksimal diberikan Vit.C
2000mg/hari (DIH 17th, 2009). karena meningkatkan
ekskresi zat besi
Laxadin Laxadin merupakan obat laksatif Dosis Terlalu Rendah Plan:
1x1 cth (5mL) atau pelunak feses yang mengadung Dosis Laxadin 0-0-10mL Apabila
Pro renata parafin cair sebagai bahan aktif utama. membutuhkan terapi
Parafin cair tidak dapat digunakan Laxadin, diberikan
jangka panjang karena memiliki efek dalam dosis 1x10mL
samping irisan (rembesan) anal parafin pada malam hari
menyebabkan iritasi anal setelah
penggunaan jangka panjang, reaksi Monitoring:
granulomatosa disebabkan oleh absorpsi -
sedikit parafin cair (terutama dari
emulsi), pnemonia lipoid dan gangguan
absorpsi vitamin-vitamin larut lemak.
(Pionas, 2019)
L-Bio L-Bio mengandung Tidak ada DRP Plan :
1x1 sachet probiotik Lactobacillus acidophilus. - Terapi dilanjutkan
Probiotik merupakan organisme hidup bila pasien masih
yang mampu memberikan efek yang mengalami
menguntungkan kesehatan hostnya konstipasi
apabila dikonsumsi dalam jumlah yang
cukup (ISAPP, 2009) dengan - Pengobatan
memperbaiki keseimbangan mikroflora dihentikan bila
intestinal pada saat masuk dalam saluran sudah tidak
pencernaan (Dommels, 2009). mengalami
konstipasi

Monitoring:
Keluhan pasien
terkait pencernaan
(konstipasi)
Colaskin Colaskin mengandung beta Sediaan tidak efektif Plan:
2x1 tablet carotene, kolagen, ekstrak biji anggur, Terapi diganti
ekstrak protein tumbuhan laut, selenium, dengan rute topikal
vitamin C, Vitamin E dan Zink. Colaskin dan diganti Bionect
digunakan untuk masalah sirkulasi darah cream
(insufisiensi vena, edema) dan masalah
mata tertentu (ketegangan mata). Monitoring:
Colaskin (ekstrak biji anggur) juga telah Kondisi luka pasien
digunakan sebagai sumber antioksidan
dan asam lemak esensial untuk
melindungi terhadap penyakit jantung
(sdrugs.com).
Problem Subyektif/ Terapi Analisis Obat DRP Plan & Monitoring
Medis Obyektif
Infeksi Subyektif: Vicillin(Ampic Vicillin merupakan obat antibiotik Tidak ada DRP Plan :
- ilin) 4x1 g ampicillin, golongan penicillin.  -
Pengobatan infeksi bakteri yang rentan  Monitoring :
Obyektif: terhadap (organisme penghasil nonbeta- Kadar LED dan
- Leukosit laktamase), pengobatan atau profilaksis Leukosit pasien.
11/4 3.900 endokarditis infektif, infeksi bakteri
12/4 3.000; yang rentan yang disebabkan oleh
LED 35 streptococci, pneumokokus,
staphylococci penghasil non
penicillinase, Listeria, meningococci,
beberapa strain H. influenzae,
Salmonella, Shigella, E. coli,
Enterobacter, dan Klebsiella.
Oral: 250-500 mg setiap 6 jam .
I.M., I.V.: 250-500 mg setiap 6 jam (DIH
Ed 17)

Problem Subyektif/ Terapi Analisis Obat DRP Plan & Monitoring


Medis Obyektif
Batuk Pilek Subyektif: Fluimucil Fluimucil mengandung N- Tidak ada DRP Plan:
Batuk pilek 3x1 sachet acetylcystein sebagai agen mukolitik. terapi dilanjutkan
(200 mg) Digunakan untuk terapi pada pasien hingga batuk pilek
Obyektif: dengan sekresi lendir yang abnormal reda
- atau kental pada bronkopulmoner akut
dan kronis. Selain itu juga sebagai terapi Monitoring:
adjuvant pada kondisi gangguan batuk pilek, mukus,
pernapasan. (DIH 17th, 2009) gejala vasospasm
Dosis: 600 mg perhari dosis tunggal (status mental, defisit
atau dengan dibagi menjadi tiga dosis neurologis fokal)
(Pionas)

Problem Subyektif/ Terapi Analisis Obat DRP Plan & Monitoring


Medis Obyektif
Stress ulcer Subyektif: Ranitidin Ranitidine merupakan obat Perlu terapi tambahan. Plan:
- golongan H2 blocker yang digunakan
2x1 amp Pemberian ranitidine
sebagai terapi ulkus duodenum, penyakit
perlu diberikan untuk
Obyektif: refluks gastroesofagus,dan esofagitis.
pencegahan
- Ranitidine juga digunakan sebagai
terjadinya resiko
pencegahan atau profilaksis terjadinya
stress ulcer dan efek
stres ulcer.Ranitidine digunakan sebagai
samping mual
pencegahan stress ulcer jangka pendek
muntah pada
selama masa MRS (DIH, 17th Edition).
sebagian terapi lain
yang diberikan.

Monitoring :
Tanda-tanda
terjadinya stress
ulcer dan mual
muntah.
Problem Subyektif/ Terapi Analisis Obat DRP Plan & Monitoring
Medis Obyektif
Hiponatremia Subyektif: - - Indikasi tanpa terapi Plan:
-
Terapi ditambahkan
Hipertonik saline.
Obyektif:
Hiponatremia terjadi
-
pada 50% pasien
yang mengalami
SAH. Hiponatremia
didefinisikan apabila
kadar natrium darah
<135 mEq/dL.
Dalam hal ini,
hipertonik salin
dipilih sebagai terapi
hiponatremia karena
dianggap efektif
dalam mengontrol
tekanan intrakranial
dan cerebral blood
flow (Leonardo dkk.,
2016).).
Monitoring :
Kadar Natrium darah
BAB 3. PEMBAHASAN

Pasien Ny.M didiagnosis CVA perdarahan (subarachnoid haemorrhage)


dengan data subyektif berupa tangan dan kaki kanan lemas serta terdapat luka robek
pada pipi kiri akibat jatuh di dapur dan sempat pingsan. Pasien memiliki riwayat
penyakit hipertensi tidak terkontrol. Suhu tubuh, denyut nadi, dan RR pasien masih
dalam batas normal selama pasien dirawat di rumah sakit. Tekanan darah pasien
pada tanggal 20 masih memasuki nilai target tekanan darah pada pasien SAH.
Selain itu, nilai HDL pasien pada tanggal 12 lebih rendah dari rentang nilai normal.
Kadar leukosit Ny.M semakin menurun dari tanggal 11 sampai 12. Sedangkan, nilai
LED pasien tinggi diatas normal pada tanggal 12.

Nimotop merupakan obat dengan kandungan nimodipin yang merupakan


obat golongan CCB (Calcium channel bloker). Terapi nimodipin mampu mencegah
vasopasme pada kondisi pasien perdarahan subaraknoid yang disebabkan ruptur
aneurisma. Pada terapi nimodipin diberikan syringe pump dengan dosis 2 cc/jam.
Pemberian nimodipin dirasa kurang tepat karena pemberian nimodipin hanya dapat
diberikan dengan jalur per oral. Pemberian dengan jarum suntik lisan harus
diberikan dengan label “hanya untuk penggunaan oral” serta hanya diberikan pada
pasien dengan kesulitan menelan kapsul (DIH 17, 2009). Oleh karena itu dilakukan
penggantian rute pemberian nimodipin menjadi peroral. Pada pemberian nimodipin
oral diberikan (3x60 mg) pada tanggal 16 dan dilakukan penaikan dosis menjadi
(4x1 mg) pd tanggal 17. Terapi nimodopin tablet sudah tepat dengan indikasi
mencegah vasopasme pada kondisi pasien perdarahan subaraknoid. hanya saja
perlu adanya penyesuaian dosis pemberian nimodipin secara per oral menjadi 60
mg tiap 4 jam (6 kali sehari) (Dipiro 9th, 2015).

Ny.M diberikan terapi nicholin 2x250 mg sejak hari pertama MRS yang
mengandung bahan aktif citicoline. Citicoline merupakan neuroprotektor yang
dapat meningkatkan aliran darah dan konsumsi oksigen pada otak serta dapat
diberikan sebagai terapi pada gangguan serebrovaskular (Sweetman, 2009). Efek
citicoline masih memberikan manfaat pada pasien stroke akut karena dapat
mengurangi terjadinya kerusakan sel yang dapat mengakibatkan kematian ataupun
kecacatan (PERDOSSI, 2011). Citicoline diberikan secara injeksi iv atau im dengan
dosis hingga 1 g tiap hari atau secara po dalam dosis terbagi 200 hingga 600 mg
tiap hari (Sweetman, 2009).. Sehingga, terapi pemberian citicoline pada Ny.M
direkomendasikan untuk dilanjutkan dengan monitoring efek samping berupa mual,
sakit kepala, dan diare.

Pada tanggal 20 Ny.M menerima terapi Telmisartan oral 1x40 mg.


Telmisartan merupakan obat antihipertensi golongan Angiotensin Reseptor Bloker
(ARB) dengan dosis awal 20-40 mg (Joint Formularium Committe, 2019).
Mekanisme kerja ARB adalah memblokade reseptor angiotensin II tipe 1. ARB
memiliki efek yang mirip dengan ACEI, tetapi tidak mempengaruhi metabolism
bradykinin sehingga ARB tidak memiliki ES batuk kering (Dipiro dkk., 2012).
Antihipertensi diberikan apabila terjadi peningkatan tekanan darah yang ekstrim
dengan tekanan darah sistolik (TDS) >180 mmHg (Steiner dan Unterberg, 2013).
Penurunan tekanan darah yang tinggi pada pasien stroke akut sebagai tindakan rutin
tidak dianjurkan, karena kemungkinan dapat memperburuk kondisi neurologis.
Pada perdarahan subaraknoid harus dipantau dan dikendalikan bersama
pemantauan tekanan perfusi serebral untuk mencegah resiko terjadinya stroke
iskemik sesudah perdarahan subaraknoid serta perdarahan ulang. Untuk mencegah
terjadinya perdarahan ulang tekanan darah diturunkan hingga TDS 140-160 mmHg.
Sedangkan TDS 160-180 mmHG sering digunakan sebagai target TDS dalam
mencegah resiko terjadinya vasospasme (PERDOSSI, 2011). Sehingga pemberian
telmisartan, direkomendasikan untuk tidak dilanjutkan karena tekanan darah pasien
pada tanggal 20 adalah 160/90 mmHg dimana tekanan darah tersebut tidak
membutuhkan penambahan terapi antihipertensi lagi.

Terapi fenitoin 2x100 mg diberikan kepada Ny.M dari tanggal 13 hingga


tanggal 20. Fenitoin merupakan obat golongan antiepileptik yang diindikasikan
untuk mencegah dan mengobati tejadinya kejang. Berdasarkan analisis cochrane,
penggunaan antiepilepsi sebagai profilaksis pada kondisi subarachnoid
hemorrhage (SAH) tidak seharusnya digunakan secara terus-menerus, kecuali pada
kondisi tertentu seperti kondisi post hemorrhagic dan pada pasien dengan resiko
kekambuhan kejang. Selain itu penggunaan antiepileptik tidak cukup bukti untuk
pencegahan primer atau sekunder kejang setelah perdarahan subaraknoid (SAH).
Penelitian Panczykowski dkk. (2016) menyatakan profilaksis antiepileptik tidak
menunjukkan penurunan resiko kejang pada pasien SAH. Adapun pengunaan
antiepilepsi direkomendasikan pada pasien yang menunjukkan kondisi klinis
kejang (Steiner dkk., 2013). Sehingga pemberian fenitoin sebaiknya tidak diberikan
lebih lanjut, namun penghentian fenitoin dilakukan secara tappering down.

Ny. M diberikan terapi parasetamol 4x1 500 mg sejak tanggal 12 hingga 15.
Manajemen umum untuk mengatasi sakit kepala akibat SAH dapat diberikan mild
analgesic seperti parasetamol (acetaminophen). Parasetamol mulai diberikan
dengan dosis 500 mg tiap 3-4 jam. Apabila nyeri yang dialami parah (severe) maka
perlu diganti dengan kodein, tramadol, atau piritramide (Steiner dkk., 2013).
Sehingga, disarankan pemberian parasetamol diberikan jika terdapat keluhan sakit.
Pasien Ny. M diberi fluimucil (N-asetilsistein) bentuk sediaan sachet (200 mg)
sebanyak 3x sehari. N-asetilsistein merupakan golongan obat mukolitik (DIH,
2009). Fluimucil diberikan pada pasien karena adanya keluhan batuk pilek.
Fluimucil ini digunakan dengan cara inhalasi yang dapat mengencerkan mukus
yang kental dan dapat menjadi terapi preventif untuk vasospasma pada penderita
SAH (Bavarsad Shahripour dkk., 2014). Beberapa penyakit saraf (stroke,
parkinson, dan sklerosismultipel) dapat menjadi progresif dan menyebabkan
komplikasi pada paru sehingga mengganggu fungsi respirasi.
Vitamin K merupakan vitamin larut lemak yang berperan dalam proses
pembekuan darah. Ny.M menerima terapi vitamin K sebanyak 4x1 amp dari
tanggal 12. Vitamin K dapat diberikan pada pasien SAH untuk mencegah terjadinya
perdarahan, dimana terjadinya perdarahan dapat memperburuk kondisi pasien.
Selain itu vitamin K juga direkomendasikan pada pasien intracerebral hemorrhage
(ICH) atau subarachnoid hemorrhage (SAH) yang menerima terapi antikoagulan
atau antiplatelet yang dapat menyebabkan terjadinya perdarahan (Pandey dkk.,
2016). Sehingga pemberian vitamin K direkomendasikan untuk tetap dilanjutkan.
Ny.M diberikan suplemen dan multivitamin dansera pada tanggal 12 hingga
20 yang mengandung Serrapeptase 5 mg, Vitamin B1 mononitrare 1,4 mg, Vitamin
B2 1,5 mg, Vitamin B3 15 mg, Vitamin B6 2,2 mg, Vitamin B12 3 mg dan Vitamin
E 3 mg. Serrapeptase merupakan agen antiinflamasi, anti edema dan analgesik.
Serrapeptase juga menunjukan potensi fibrinolitik yang dapat menghancurkan
fibrin dan jaringan yang rusak tanpa merusak jaringan yang lainnya, sehingga
mampu melarutkan gumpalan darah dan plak aterosklerosis (Bhagat dkk., 2013).
Vitamin B dapat menurunkan kadar plasma dari total homosistein, mengurangi
resiko kekambuhan stroke, infark miokard dan vascular event pada pasien stroke
baru (Wang dkk., 2015). Sedangkan untuk vitamin E dapat meningkatkan resiko
stroke hemoragik sebesar 22% dan memperparah outcomes stroke hemoragik
(Schurks dkk., 2010). Selain itu, menurut Bin dkk. (2011) pemberian vitamin E
tidak memberikan support pada pasien stroke. Sehingga berdasarkan pertimbangan
tersebut, pemberian dansera sebaiknya dihentikan karena resiko perburukan kondisi
akibat adanya kandunga vitamin E. Namun, lebih disarankan pemberian danzen
(serrapeptase 5 mg) dan Betominplex (vitamin B1, B2, B3, B6 dan B12). Pemberian
vitamin C pada Ny. M bertujuan sebagai terapi suportif pada kondisi stroke.
Vitamin C mampu membantu pembentukan kolagen dan perbaikan jaringan.
Penggunaan vitamin c mampu menurunkan resiko kematian akibat stroke dengan
dosis 45mg/hari. Dosis vitamin C untuk perempuan yaitu 75mg/hari dengan dosis
maksimal 2000mg/ hari (DIH 17th, 2009).
Konstipasi disebabkan oleh beberapah faktor seperti immobilitas, gangguan
neurologis, dan penggunaan diuretik (Wilkinson & Ahern, 2012). Pada pasien
stroke kejadian konstipasi dikaitkan dengan gangguan neurologis dimana pada
pasien stroke dapat menyebabkan gangguan saraf otonom. Saluran gastrointestinal
dipersarafi oleh sistem parasimpatis maupun simpatis dari sistem saraf
otonom kecuali sfingter ani eksterna yang berada dalampengendalian voluntar.
Serabut parasimpatis berjalan melewati saraf vagus dari medula oblogata kebagian
tegah kolon tranversum (Price & Wilson, 2006; Smeltzer & Bare,2008). Masalah
lain yang timbul akibat stroke sangat bervariasi sesuai luasnya daerah otak yang
mengalami infark atau kematian jaringan dan lokasi yang terkena. Sebagian besar
mengalami gejala sisa seperti gangguan mobilisasi, gangguan pergerakan atau
bahkan penurunan kesadaran (Mulyasih, 2011). Akibat ganguan mobilisasi pada
pasien stroke juga sering terjadi konstipasi akibat lemahnya Tonus perut, otot pelvik
dan diafragma yang mengakibatkan peristaltik menurun sehingga pergerakan chime
lambat dan mengakibatkan feses mengeras (Mcclurg, Hagen, Hawkins, &
Lowestrong, 2011). Pemberian L-Bio bila perlu yang mengandung probiotik dapat
membantu mengatasi konstipasi yang dialami pasien. Tetapi apabila terapi
konstipasi menggunakan Laxadin yang mengandung parafin cair sebagai laksatif
digunakan dalam dosis 10 mL pada malam hari bila perlu dan disarankan tidak
digunakan sebelum tidur (PIONAS).

Ny.M diberikan terapi ranitidine 2x1 amp yang dimungkinkan sebagai


terapi pencegahan terjadinya stress ulcer. Pada pasien dengan kondisi SAH, stress
ulcer dapat terjadi karena kondisi pasien yang diharuskan terus berbaring serta
pemberian obat-obatan yang dapat memicu stress ulcer, salah satunya adalah
pemberian analgesik pada pasien (AHA, 1988). Selain itu pemberian nimodipine
menyebabkan resiko terjadinya perdarahan pada gastrointestinal; fluimucil,
vitamin c, fenitoin, dan ampisilin menyebabkan resiko terjadinya mual dan muntah
(Medscape). Sehingga, pemberian ranitidine sebaiknya tetap dilanjutkan untuk
mencegah kemungkinan terjadinya hal tersebut.

Ny.M diberikan terapi collaskin karena adanya luka robekan pada pipi. Pada
penggunaan collaskin oral 2x1 tablet mengandung kolagen dan beberapa vitamin
,salah satunya vitamin E. Sedangkan dalam suatu penelitian, Vitamin E dapat
meningkatkan resiko stroke hingga 22% dan memperparah outcomes stroke
hemoragik (Schurks dkk., 2010). Sehingga disarankan untuk penanganan luka
robek pada pipi pasien diganti dengan penggunaan topikal. Karena tidak
tersedianya collaskin krim, maka penggunaan obat diganti dengan bionect cream
yang mengandung hyaluronic acid sodium 0,2% yang diindikasikan untuk
membantu meredakan peradangan, menstimulasi pembentukan jaringan granulasi,
mempercepat penutupan luka dengan sedikit rasa sakit dan bekas luka. Selain itu,
Ny.M juga diberikan suplemen Imunos mengandung bahan aktif echinacea, Zn
pikolinat, selenium, na-askorbat (sdrugs.com). Sehingga Imunos tetap diberikan
karena merupakan suplemen yang digunakan untuk meningkatkan sistem imun
tubuh pasien.

Hiponatremia terjadi pada 50% pasien yang mengalami SAH. Hiponatremia


didefinisikan apabila kadar natrium darah <135 mEq/dL. Sehingga dalam hal ini,
diperlukan terapi tambahan yaitu hipertonik salin. Hipertonik salin dipilih sebagai
terapi hiponatremia karena dianggap efektif dalam mengontrol tekanan intrakranial
dan cerebral blood flow (Leonardo dkk.,2016).
DAFTAR PUSTAKA

American Heart Association. 2019. Heart Disease and Stroke Statistics — 2019
Update A Report From the American Heart Association.

American Pharmacist Association. 2009. Drug Information Handbook A


Comprehensive Resource for all Clinicians and Healthcare Proffesionals.
Lexicomp. USA.

Aru W, Sudoyo. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi V. Jakarta:
Interna Publishing

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. 2018. Riset Kesehatan Dasar.


Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.

Bavarsad Shahripour, R., M. R. Harrigan, dan A. V. Alexandrov. 2014. N-


acetylcysteine (nac) in neurological disorders: mechanisms of action and
therapeutic opportunities. Brain and Behavior. 4(2):108–122.

Bhagat, S., M. Agarwal, dan V. Roy. 2013. Serratiopeptidase : a systematic review


of the existing evidence. IJSU. 11(3):209–217.

Bin, Q., X. Hu, Y. Cao, dan F. Gao. 2011. The role of vitamin e ( tocopherol )
supplementation in the prevention of stroke. SChattauer. 105(4):579–585.

British National Formulary. 2019. British National Formulary 76. London: BMJ
Group and the Royal Pharmaceutical.

Dinata C, Safrita Y, Sastri S. 2013. Gambaran Faktor Risiko dan Tipe Stroke pada
Pasien Rawat Inap di Bagian Penyakit Dalam - 31 Juni 2012. Jurnal
Kesehatan RSUD Kabupaten Solok Selatan Periode 1 Januari 2010 Andalas.
2(2):57

Dipiro, J. T., R. L. Talbert, G. C. Yee, G. R. Matzke, B. G. Wells, dan M. L. Posey.


2009. Pharmacotherapy A Phatophysilogic Approach. Edisi 7th. New York:
McGraw-Hill Education.

Dipiro, J., B. Wells, C. Dipiro, dan T. Schwinghammer. 2012. Pharmacotherapy


Handbook. Edisi 9. New York: McGraw-Hill Education.
Dipiro J. T., B. G. Wells, T. L. Schwinghammer, dan C. V. Dipiro. 2015.
Pharmacotherapy Handbook. Inggris: McGraw-Hill Education Companies.

European Stroke Organisation. 2008. Guidelines for management of ischaemic


stroke and transient ischaemic attack. Basel, Switzerland: ESO

Hemphill, J. C., S. M. Greenberg, C. S. Anderson, K. Becker, B. R. Bendok, M.


Cushman, G. L. Fung, J. N. Goldstein, R. L. MacDonald, P. H. Mitchell, P.
A. Scott, M. H. Selim, dan D. Woo. 2015. Guidelines for the management of
spontaneous intracerebral hemorrhage: a guideline for healthcare
professionals from the american heart association / american stroke
association. Journal of Stroke. 46(7):2032–2060.

Jauch E.C., Saver J.L., Adams H.P., Bruno A., Connors J.J.B., Demaerschalk B.M.,
Khatri P., McMullan P.W., Qureshi A.I., Rosenfield K., Scott P.A., Summers
D.R., Wang D.Z., Wintermark M. and Yonas H. 2013. Guidelines for the
Early Management of Patients with Acute Ischemic Stroke. American Heart
Association. 44 (3): 870–947.

Joint Formularium Committe. 2019. British National Formulary. Edisi 76. London:
British Medical Assosiation and Royal Pharmaceutical Society.

Junaidi I. 2011. Stroke, Waspadai Ancamannya. Yogyakarta : Andi Offset.

Kim, J. Y. dan H. J. Bae. 2017. Spontaneous intracerebral hemorrhage:


management. Journal of Stroke. 19(1):28–39.

Leonardo, A., D. O. Manoel, A. Goffi, T. R. Marotta, T. A. Schweizer, S.


Abrahamson, dan R. L. Macdonald. 2016. The critical care management of
poor- grade subarachnoid haemorrhage. Critical Care. 1–19.

Lumbantobing, S.M. 2013. Stroke Bencana Peredaran Darah. Jakarta: Badan


Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Mcclurg, D., Hagen, S., Hawkins, S., & Lowe-strong, A. 2011. Abdominal massage
for the alleviation of constipation symptoms in people with multiple
sclerosis : a randomized controlled feasibility study. 17(2): 223– 233.

Mir, M. A., R. S. Albaradie, dan M. D. Alhussainawi. 2014. Pathophysiology of


Strokes. India: Nova Science Publisher.
Mulyasih, E. 2011. Asuhan Keperawatan Pasien Stroke. In A. Rasyid & L.
Soertidewi (Eds.), Unit Stroke : Manajemen Stroke Secara Komprehensif (pp.
53–62). Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Panczykowski, D., M. Pease, Y. Zhao, G. Weiner, W. Ares, E. Crago, B. Jankowitz,


dan A. F. Ducruet. 2016. Prophylactic antiepileptics and seizure incidence
following subarachnoid hemorrhage: a propensity score-matched analysis.
Stroke. 47(7):1754–1760.

Pandey, S., C. Rathore, dan B. D. Michael. 2016. Antiepileptic drugs for the
primary and secondary prevention of seizures in viral encephalitis. Cochrane
Database of Systematic Reviews. 2016(5)

PERDOSSI. 2011. Guideline Stroke Tahun 2011. Jakarta: Perhinmpunan Dokter


Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI).

Pinzon R dan Asanti. 2010. Awas Stroke! Pengertian, Gejala, Tindakan, Perawatan
dan Pencegahan. Yogyakarta : Andi Offset.

pionas.pom.go.id

Price, S. ., & Wilson. 2006. Patofisilogi konsep klinis proses-proses penyakit.


Jakarta: EGC.

Schurks, M., R. J. Glynn, P. M. Rist, C. Tzourio, dan T. Kurth. 2010. Effects of


vitamin e on stroke subtypes : meta-analysis of randomised controlled trials.
BMJ Journal

Smeltzer dan Bare. 2005. Buku Ajar Keperawatan Medical Bedah Brunner &
Suddart. Edisi 8, Vol 1, alih bahasa: Kuncara Monica Ester. Jakarta: EGC.

Smeltzer, S. C., & Bare, B. G. 2008. Keperawatan Medikal Bedah Brunner &
Suddarth (8th ed.). Jakarta: EGC.

Smeltzer, S. C, dan B. G. Bare. 2010. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah.


Jakarta: EGC.

Sweetman, S. C. 2009. Martindale the complete drug reference. USA:


Pharmaceutical Press.

Wang, L., W. Cui, G. Nan, dan Y. Yu. 2015. Meta-analysis reveals protective
effects of vitamin b on stroke patients. 6:150–156.
Wilkinson, J. M., & Ahern, N. R. 2012. Buku saku diagnosis keperawatan :
Diagnosis NANDA, intervensi NIC, kriteria hasil NOC (9th ed.). Jakarta:
EGC.

World Health Organization. 2016. Stroke : a global response is needed. Bulletin of


the World Health Organization. Geneva : World Helath Organization.

www.sdrugs.com [Diakses pada tanggal 6 Oktober 2019].

Anda mungkin juga menyukai