Anda di halaman 1dari 6

1 Mengevaluasi Struktur Teks Opini/Editorial

1) Pernyataan pendapat(thesis)

Bagian ini berisi sudut pandang penulis terhadap permasalahan yang diangkat.istilah
ini mengacu ke suatu bentuk pernyataan atau bisa juga sebuah teori yang nantinya
akan diperkuat oleh argumen.

2) Argumentasi

Merupakan bentuk alasan atau bukti yang digunakan untuk memperkuat pernyataan
dalam tesis walaupun dalam pengertian umum,argumentasi juga dapat digunakan
untuk menolak suatu pendapat.argumentasi dapat berupa peryataan
umum(generalisasi)atau dapat juga data hasil penelitian,peryataan para ahli,atau fakta-
fakta yang didasari atas referensi yang dapat dipercaya.

3) Pernyataan/penegasan ulang pendapat(Reiteration)

Bagian ini berisi penguatan kembali atas pendapat yang telah ditunjang oleh fakta-
fakta dalam bagian argumentasi.terdapat pada bagian akhir teks.

Sastra Facebook, Sebuah Alternatif Pengembangan Proses Kreatif

No Struktur Kalimat
1. Pernyataan pendapat Namun, sering karya sastra tidak mampu dinikmati setiap
orang karena berbagai keterbatasan. Salah satu
penyebabnya adalah kurangnya wahana pemublikasian
karya sastra tersebut, sehingga kerap karya yang telah
dilahirkan akhirnya harus mengendap di laci sang
penulis, terutama bagi penulis pemula.
2. Argumentasi 1) Sebuah karya sastra, apabila tidak dipublikasikan,
akan menguap begitu saja tanpa makna.
2) Dengan berputus asa seperti itu, berarti penulis
pemula itu telah pula menghambat proses kreatif
yang ada dalam dirinya.
3) Harus diakui bahwa koran dan media cetak
lainnya telah punya andil dalam membesarkan
nama para sastrawan, tetapi terlalu naif apabila
menganggap koran atau media cetak menjadi
satusatunya sumber untuk membuat seseorang
menjadi sastrawan,
terutama pada era keterbukaan dan era digital ini.
4) Peranan strategis Cybersastra merupakan wahana
berkreasi yang mampu meng-update karya secara
singkat sehingga menunjang produktivitas dan
mendorong perkembangan sastra.
5) Dengan menggunakan fasilitas yang disediakan
Facebook, mereka saling berbagi karya,
mengomentari satu sama lain, dan mendiskusikan
hal-hal yang berkaitan dengan sastra.
6) Media ini memiliki peranan penting dalam
menghidupkan karya sastra. Bagi para penulis
pemula, media ini bisa dijadikan sebagai sebuah
bentuk pencarian jati diri di tengah masyarakat
dalam
memasarkan karya-karyanya.
3. Penyataan ulang Tidak adanya batasan kreativitas pada Facebook ini,
pendapat seperti
halnya media cetak, menyebabkan kebebasan
berimajinasi
penulis cenderung menciptakan hal-hal baru, yang
terkadang
bersifat sesuka hati. Akibatnya, karya-karya sastra yang
lahir
pun semakin liar dan kadang tak terkendali.

2. Menginterpretasi Fungsi Sosial Teks Opini/Editorial

Dalam kehidupan kita sehari-hari kita tentu akrab dengan media cetak seperti surat
kabar,majalah,dan tabloit,semuanya pasti menggunakan bahasa indonesia sebagai pengantar
berita.tapi,tak semua penggunaan kata dimedia cetaka tersebut sesuai dengan ejaan yang
berlaku yaitu EYD.kesalahan tersebut dapat berupa ketidaksesuaian pada penggunaan
data,tanda baca,maupun singkatan dan akronim.

Pers memiliki fungsi pencerdas bangsa yang lebih menentukan.pers sekaligus menjadi
pencari berita dan menjadi guru bahasa.guru bahasa disini diartikan memiliki kepedulian
yang akhirnya mencerahkan pikiran warga masyarakat.dalam penyampaian informasi
tentunya pengunaan ejaan yang baik sangat dibutuhkan karena dengan adanya penggunaan
ejaan yang baik kita dapat dengan mudah memahami informasi yang disampaikan.

Pil Pilu Pemilu

Oleh: Zen Hae (Penyair dan Kritikus Sastra)

No Struktur Kalimat
1. Pernyataan pendapat 1) Pemilihan umum (pemilu) bukan hanya pesta
demokrasi, tetapi juga pesta akronim (dan singkatan).
Menjelang dan saat pemilulah kita menyaksikan
bangsa kita memproduksi akronim secara besar-
besaran. Pemilu itu adalah sebuah akronim, begitu
juga tahapan dan perangkatnya: pemilukada atau
pilkada, pileg, pilpres, pilwalkot, luber jurdil, parpol,
bawaslu/panwaslu, balon, dapil, caleg,
capres/cawapres, pantarlih, dan seterusnya.
2. Argumentasi 2) Tengok juga bagaimana para pasangan (calon)
pemimpin menamai diri mereka: WIN-HT (Wiranto-
Hary Tanoe), Aman (Annas Maamun-Arsyadjuliandi
Rachman), KarSa (Soekarwo-Saifullah Yusuf),
sementara pasangan Khofifah Indar Parawansa-
Herman Sumawireja berakronim “Berkah”. Adapun
Joko Widodo menjadi “Jokowi”, tetapi Basuki
Tjahaja Purnama malah dipanggil “Ahok”, tidak
diakronimkan dengan “Bacapur” atau “Basunama”.

3) Begitulah, pangkal soal utama akronim dalam hasrat


akan
keringkasan dalam berkomunikasi. Kita
menggunakan
akronim sebagai salah satu jalan keluar agar kalimat
yang kita ungkapkan terasa ringkas, mudah
diucapkan dan diingat oleh lawan bicara kita, bangsa
yang beringatan pendek ini.

4) Sejatinya, akronim bukanlah kata. Ia hanya kata


semu
yang proses morfologisnya menimbulkan,
setidaknya, tiga
kecenderungan. Pertama, prinsip semau gue. Satuan
terkecil akronim adalah huruf atau suku kata dari
sejumlah kata yang dipadatkan. Namun, tidak ada
kesepakatan dalam pemadatan itu. Huruf atau suku
kata manakah dari sebuah kata yang mesti dicomot:
yang pertama, yang tengah, yang akhir, atau
kombinasi ketiganya. Apakah yang mesti dikutip
adalah unsur
kata dasar atau kata turunan. Semuanya boleh
sepanjang
akronim itu bisa “diperlakukan sebagai sebuah kata”,
karena begitulah pengertian dasar akronim menurut
Pedoman Ejaan yang Disempurnakan (2009).

5) Akan tetapi, bagaimana kita bisa memperlakukan


akronim sebagai sebuah kata, dengan cara yang
wajar pula? Ambil contoh lain: “Sentra Gakkumdu”
(Sentra Penegakan Hukum Terpadu). Meski menurut
syarat pembentukan akronim ia tidak lebih dari tiga
suku kata dan taat asas dengan mengambil suku kata
terakhir setiap kata, “Gakkumdu” adalah “kata” yang
aneh, baik bunyi maupun kombinasi vokal dan
konsonannya.

6) Kedua, pencomotan huruf atau suku kata itu


menggiring kita kedalam perangkap alusi bunyi.
Sadar atau tidak, saat membuat akronim, kita
membayangkan bunyi yang mirip dengan bunyi kata
yang sudah ada, atau bahkan sama persis, sehingga
kata yang sudah ada itu mengalami pengayaan
makna. Misalnya, “pileg” (pemilu legislatif) beralusi
bunyi dengan pilek; “caleg” (calon anggota legislatif)
dengan calo, sementara “balon” (bakal calon)
sebunyi dengan balon.

7) Terakhir, sebaliknya, pembentukan akronim juga


menghindari jebakan alusi bunyi. Sejak awal Orde
Baru, “pemilihan umum” diakronimkan dengan
“pemilu”, bukan “pilum” atau “pemilum” (jika
mengacu ke pola “ketum”), tidak juga “pilu”, yang
mencomot unsur kata dasar pilih dan umum. Jika
pemilu diakronimkan dengan “pilu”, akan segera
beralusi bunyi dengan kata pilu yang kita sudah tahu
maknanya. Jika “pilu” yang digunakan, permainan
makna akan menyasar ironi pemilu di masa itu:
pemenangnya partai tertentu melulu. Sedangkan
kini “pemilu” bisa juga dimaknai sebagai
“menyebabkan
pilu atau sakit hati” akibat munculnya pelbagai
sengketa dan kecurangan pemilukada.

8) Memang, dalam pembuatannya, akronim yang


berpola kadang tidak menarik atau membingungkan,
maka orang memilih yang melenceng tetapi
menghasilkan kemerduan bunyi (misalnya
“sisminbakum”) atau menyaran kepada harapan dan
doa. Itulah mengapa Wiranto, capres dari Partai
Hanura, menyingkat namanya menjadi “Win”, bukan
“Wir”, karena dengan “Win” dia berharap akan
meraih kemenangan di pilpres. Sedangkan dengan
“Wir” terkesan peluangnya akan “terkiwir-kiwir”—
sebagaimana pernah dinyatakan seorang pengguna
Twitter.
3. Pernyataan Ulang 9) Akhirulkalam, bagaimana semestinya sikap kita
Pendapat terhadap
akronim? Saya menerima akronim sebagai sebentuk
kreativitas dan permainan makna yang menyegarkan.
Pada titik tertentu, ia terasa mengotori bahasa
Indonesia atau memperbingung penuturnya, apalagi
penutur asing. Agar mudah dipahami dalam
berkomunikasi, syaratnya sederhana: kita harus
merumuskan kalimat sepadat dan sejernih mungkin
—bukan membuat akronim atau singkatan.

Akronim ialah singkatan yang berupa gabungan huruf awal, gabungan suku kata,
ataupun gabungan huruf dan suku kata dari deret kata yang diperlukan sebagai kata.pada saat
pemilihan umum banyak sekali akronim yang digunakan seperti caleg, dapil, cagub, pileg,
TPS, panwaslu, gastarlih, pilpres dan masih banyak yang lainnya. Secara umum akronim-
akronim tersebut dibuat untuk mempersingkat jumlah kata agar menghemat waktu dalam
pengucapan. Selain itu, sebagian akronim sengaja diplesetkan agar terkesan lucu, untuk
menciptakan keakraban komunikasi sehari-hari. Terdapat banyak akronim yang berkembang
di masyarakat. Namun, tidak sedikit yang menerjang kaidah kebahasaan. Bahasa merupakan
ungkapan dan cerminan kehidupan budaya dalam arti yang luas. Dapat juga dikatakan bahwa
perubahan bahasa mencerminkan perubahan budaya dalam berbagai segi. Bahasa
memberikan gambaran orang yang memakai bahasa itu. Akronim cenderung hanya
dimengerti oleh kalangan tertentu, akronim itu cenderung membingungkan, bahkan pembaca
atau pendengar bisa terkecoh atau tertipu. Akronim dapat merusak Bahasa Indonesia.
Menyingkat – nyingkat tulisan memang mudah saja, tapi bahayanya adalah merusak bahasa
misalnya akronin MurMer kepanjangannya yaitu Murah Meriah yang tujannya tertentu saja
untuk menarik perhatian pembaca atau pelanggannya dalam rangka promosi.Tidak perlu
menambah mengurangi, bahasa kita yang justru malah merusak Bahasa Indonesia.

3. Memproduksi Teks Opini/Editorial Secara Bersama

Menulis teks opini berarti menyebarluaskan gagasan kepada khalayak .Dengan


berbagai argumentasi, penulis teks opini harus berusaha memengaruhi khalayak melalui
opininya.Apakah gagasannya diterima atau bahkan meperdebatkan oleh pembaca bergantung
seberapa kuat argumentasi yang diberikan penulis.Tentu saja untuk menghasilkan sebuah teks
opini, terdapat beberapa hal yang harus kalian perhatikan.Sebuah teks editoral dapat
memberitahukan pembaca, merangsa pemikiran, membentuk pendapat dan kadang-kadang
megajak orang-orang untuk bertindak.Teks opini atau editoral berupa pernyataan dari posisi
penulis tentang sebuah isu yang mencerminkan visi dan misinya.Teks opini atau editoral
harus memiliki argumen, baik untuk atau terhadap masalah yang diangkat.Serta memiliki
kritik dan menawarkan berbagai solusi untuk masalah

Ada beberapa langkah yang dapat dilakukan atau diikuti dalam memproduksi atau
membuat teks opini atau editorial.

1. Langkah pertama dalam menulis adalah menentukan tema. Untuk memilih tema
dalam menulis teks opini, ikutilah isu aktual yang berkembang. Isu bisa diperoleh dari
membaca media cetak atau berbagai media lainnya, menonton televisi, diskusi, atau
melakukan wawancara.
2. Setelah memilih isu yang dijadikan tema tulisan, tugas selanjutnya adalah
mengumpulkan data sebanyak mungkin. Data bisa didapatkan dari buku, media cetak,
internet, dan sebagainya.
3. Baca dan perhatikan sekali lagi data yang telah diperoleh. Pilihlah data yang sesuai
dengan tujuan dan dapat mendukung kekuatan tulisan.
4. Berilah judul untuk tulisan. Sebuah judul sangat menentukan ketertarikan pembaca.
Oleh sebab itu, pilihlah judul yang bagus dengan mencari sudut pandang yang
menarik. Pemberian judul dapat berupa pernyataan atau pertanyaan.
5. Sebuah teks opini memiliki struktur pernyataan pendapat^argumentasi^pernyataan
ulang pendapat. Nyatakanlah pendapat sebagai pembuka teks opini yang dibangun.
Untuk memancing pembaca agar menuntaskan pembacaan terhadap tulisan,
berikanlah kalimat pembuka yang menarik.
6. Bagian yang terpenting dalam sebuah teks opini adalah argumentasi. Bagian ini
dianggap jantung sebuah teks opini. Argumentasi yang diberikan harus mampu
meyakinkan pembaca, tentu saja didukung oleh data yang telah dikumpulkan.
Kecenderungan pembaca teks opini adalah membaca tulisan yag tidak panjang, enak
dibaca, dan mudah dicerna. Oleh sebab itu, sebagai penulis, gunakanlah bahasa yang
komunikatif, tidak bertele-tele, serta ringkas penyajiannya. Dalam mengeksplorasi
gagasan dan argumentasi, gunakanlah kalimat yang efektif, efisien, dan mudah
dimengerti. Kata yang tidak efektif bisa dipangkas. Jika menggunakan istilah asing
atau bahasa daerah, buatlah padanannya dalam bahasa Indonesia. Satu hal yang perlu
diingat, tulisan yang dibangun bukan untuk menggurui, tetapi hanya berbagi gagasan
dan berharap pembaca dapat menerima pendapat terhadap suatu hal.
7. Pada bagian akhir teks opini, bisa memberikan pernyataan ulang pendapat yang
berfungsi mempertegas gagasan yang ditawarkan kepada pembaca.
8. Tulislah kembali teks opini secara utuh.

Anda mungkin juga menyukai