Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH

NILAI, NORMA DAN BUDAYA LOKAL LAMPUNG

Mata Kuliah : Pendidikan Etika dan Kearifan Lokal


Kode Mata Kuliah : UNI617109
Jumlah Sks : 2 SKS
Semester :1E
Dosen Pengampu : Dr. Sowiyah, M.Pd.

Disusun Oleh :
Kelompok 1
1. Dini Indah Nur’aini 1913053120
2. Dyah Tri Sulistiani 1913053104
3. Gde Satya Yudhatama 1913053129
4. Meriska Dwi Setianingsih 1913053115

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR


FAKULTAS KEGURUAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
2019
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Dari sisi etnis dan budaya daerah sejatinya menunjuk kepada karaktreristik
masing-masing keragaman bangsa Indonesia. Pada sisi yang lain, karakteristik
itu mengandung nilai-nilai luhur memiliki sumber daya kearifan, di mana
pada masa-masa lalu merupakan sumber nilai dan inspirasi dalam strategi
memenuhi kebutuhan hidup, mempertahankan diri dan merajut kesejehteraan
kehidupan mereka. Artinya masing-masing etnis itu memiliki kearifan lokal
sendiri, seperti etnis Lampung yang dikenal terbuka menerima etnis lain
sebagai saudara (adat muari, angkon)
Beberapa nilai dan bentuk kearifan lokal, termasuk hukum adat, nilai-nilai
budaya dan kepercayaan yang ada sebagian bahkan sangat relevan untuk
diaplikasikan ke dalam proses pembangunan kesejahteraan masyarakat.
Dalam bingkai kearifan lokal ini, antar individu, antar kelompok masyarakat
saling melengkapi, bersatu dan berinteraksi dengan memelihara nilai dan
norma sosial yang berlaku.
Keanekaragaman budaya daerah tersebut merupakan potensi sosial yang dapat
membentuk karakter dan citra budaya tersendiri pada masing-masing daerah,
serta merupakan bagian penting bagi pembentukan citra dan identitas budaya
suatu daerah.
2

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa yang dimaksud nilai dalam masyarakat ?
2. Apa saja jenis jenis norma budaya lampung ?
3. Apa saja falsafah budaya lokal lampung ?

1.3 Tujuan Penelitian


1. Untuk mengetahui nilai dalam masyarakat Lampung.
2. Untuk mengetahui apa saja jenis jenis norma yang berlaku dalam
masyarakat Lampung.
3. Untuk mengetahui budaya yang ada di Lampung
1.4 Rumusan Masalah
4. Apa yang dimaksud nilai dalam masyarakat ?
5. Apa saja jenis jenis norma budaya lampung ?
6. Apa saja falsafah budaya lokal lampung ?

1.5 Tujuan Penelitian


4. Untuk mengetahui nilai dalam masyarakat Lampung.
5. Untuk mengetahui apa saja jenis jenis norma yang berlaku dalam
masyarakat Lampung.
6. Untuk mengetahui budaya yang ada di Lampung
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 NILAI

Nilai budaya adalah seperangkat nilai-nilai yang disepakati dan tertanam dalam


suatu masyarakat, lingkup organisasi, atau lingkungan masyarakat, yang telah
mengakar pada kebiasaan, kepercayaan (believe), dan simbol-simbol, dengan
karakteristik tertentu yang bisa dibedakan satu dan lainnya sebagai acuan prilaku
dan tanggapan atas apa yang akan terjadi atau sedang terjadi.

Nilai-nilai budaya akan terlihat pada simbol-simbol, slogan, moto, visi misi, atau
sesuatu yang tampak sebagai acuan pokok moto suatu lingkungan atau
organisasi. Ada tiga hal yang berkaiatan dengan nilai-nilai budaya yaitu:

1. Simbol-simbol, slogan atau yang lainnya yang kasat mata (jelas)


2. Sikap, tingkah laku, gerak gerik yang muncul sebagai akibat adanya slogan
atau moto tersebut
3. Kepercayaan yang tertanam (believe system) yang telah mengakar dan
menjadi kerangka acuan dalam bertindak dan berperilaku (tidak terlihat).
a. Pengertian Nilai Budaya Menurut Para Ahli

Adapun definisi nilai budaya menurut para ahli, antara lain:

 Koentjaraningrat (dalam Warsito 2012 : 99)

Nilai budaya merupakan nilai yang terdiri atas konsepsi-konsepsi yang hidup
dalam alam fikiran sebahagian besar warga masyarakat dalam hal-hal yang
mereka anggap amat mulia. Sistem nilai yang ada dalam suatu masyarakat
menjadi orientasi dan rujukan dalam bertindak bagi mereka.
Oleh sebab itu, nilai budaya yang dimiliki seseorang mempengaruhinya dalam
mengambil alternatif, cara-cara, alat-alat dan tujuan-tujuan pembuatan yang
tersedia.

 Clyde Kluckholn (dalam Warsito 2012: 99)

Nilai budaya ialah sebagai konsepsi umum yang terorganisasi, berpengaruh


terhadap perilaku yang berkaitan dengan alam, kedudukan manusia dalam
alam, hubungan orang dengan orang dan tentang hal-hal yang diingini dan
tidak diingini yang mungkin berkaitan dengan hubungan orang dengan
lingkungan dan sesama manusia.

 Sumaatmadja (dalam Koentjaraningrat 2000: 180)

Nilai budaya merupakan nilai-nilai yang melekat dalam masyarakat yang


mengatur keserasian, keselarasan, serta keseimbangan berdasarkan pada
perkembangan penerapan budaya dalam kehidupan.

b. Fungsi Nilai Budaya

Nilai budaya memiliki beberapa fungsi dalam kehidupan bermasyarakat,


diantaranya yaitu:

1. Sebagai salah satu pedoman bagi perilaku manusia di masyarakat


2. Sebagai faktor pendorong munculnya pola berpikir masyarakat
3. Sebagai salah satu sumber tatanan cara berperilaku yang cukup penting,
misalnya hukum adat dan kebiasaan, aturan mengenai sopan santun, dan lain
sebagainya

c. Ciri Nilai Budaya

Sebagai ciri khas yang membedakan suatu kelompok masyarakat di suatu tempat
dengan kelompok masyarakat lainnya maka nilai budaya memiliki karaketeristik
dibandingkan dengan yang lain. Antara lain;
1. Nilai budaya bukan merupakan bawaan dari lahir, melainkan sesuatu yang
perlu dipelajari
2. Nilai budaya bisa diwariskan dari satu orang ke orang lainnya, atau dari suatu
kelompok ke kelompok lainnya, bahkan bisa diwariskan pula antar generasi
manusia
3. Nilai budaya memiliki simbol yang menjadi ciri khas suatu budaya
4. Nilai yang bermakna dalam sifat budaya akan senantiasa dinamis, sehingga
akan terus berubah seiring berjalannya waktu
5. Nilai budaya bersifat selektif dan merepresentasikan perilaku manusia secara
terbatas
6. Berbagai unsur kebudayaan saling berkaitan dengan nilai budaya
7. Adanya anggapan bahwa nilai budaya sendiri memiliki kelebihan jika
dibandingkan dengan nilai budaya yang lain

Nilai Budaya Lampung

Upacara adat yang masih dilestarikan :

 upacara kuruk liman : upacara tujuh bulanan


 upacara Becukor :upacara gunting rambut bayi yang berumur 2 tahun
 Upacara turun tanah : upacara ketika bayi berumur 3 bulan
 Upacara nyerak : upacara melubangi bagian daun telinga bagi perempuan
untuk memasang anting – anting
 Upacara rebah diah : upacara adat perkawinan besar dari suku saibatin
 Upacara hibalbatin : upacara adat perkawinan jujur antara pria dan wanita
yang berlainan marga
 Upacara bumbung aji : upacara adat perkawinan jujur tingkat 2 dimana
memelai pria hanya menggunakan pakaian haji
 Upacara intar padang : upacara perkawinan adat yang tidak dilakukan di balai
adat, hanya dilakukan oleh pemuka adat dan tidak disaksikan oleh
penyimbang
 Upacara sebambangan : upacara perkawinan tanpa melalui lamaran dan masa
pertunangan
 Upacara adat kematian
 Upacara ngelepaskan niat : upacara yang dilakukan seseorang yang memenuhi
nazar
 Upacara ngerujak – ngeliman : upacara makan rujak dan membersihkan
rambut pada bulan Ramadhan
 Upacara bujenong jaru marga : upacara pengukuhan kepala marga yang baru
2.2 NORMA

Pengertian Norma adalah kaidah, pedoman, acuan, dan ketentuan berperilaku dan


berinteraksi antar manusia di dalam suatu kelompok masyarakat dalam menjalani
kehidupan bersama-sama.

Secara etimologi, kata norma berasal dari bahasa Belanda, yaitu “Norm” yang
artinya patokan, pokok kaidah, atau pedoman. Namun beberapa orang
mengatakan bahwa istilah norma berasal dari bahasa latin, “Mos” yang artinya
kebiasaan, tata kelakuan, atau adat istiadat.

Biasanya norma berlaku dalam suatu lingkungan masyarakat tertentu, misalnya


etnis atau negara tertentu. Namun, ada juga norma yang sifatnya universal dan
berlaku bagi semua manusia.

Norma merupakan aturan berperilaku dalam kehidupan bermasyarakat. Bagi


individu atau kelompok masyarakat yang melanggar norma-norma yang berlaku
di masyarakat tersebut, maka akan dikenakan sanksi yang berlaku. Dengan kata
lain, norma memiliki kekuatan dan sifatnya memaksa.
Menurut John J. Macionis norma adalah sebuah aturan – aturan dan harapan –
harapan masyarakat yang memadu sebuah perilaku anggota – anggotanya.

Fungsi Norma dalam Kehidupan :

 Mengatur tingkah laku masyarakat agar sesuai dengan nilai yang berlaku.
 Menciptakan ketertiban dan keadilan didalam masyarakat
 menciptakan kenyamanan, kemakmuran dan kebahagiaan anggotanya
 Menciptakan keselarasan hubungan setiap anggota
 Membantu mencapai tujuan bersama masyarakat
 Menjadi dasar untuk memberikan sanksi kepada masyarakat yang
melanggar norma
 Menjadi petunjuk bagaimana menjalin suatu hubungan antar anggota
 Menciptakan suasana yang tertib dan tentram untuk setiap anggota

Macam – macam norma yang ada dimasyarakat Lampung :

A. Kuntara Raja Niti

Kitab “Kuntara Raja Niti”nadalah kitab hukum adat orang lampung yang telah
ada sejak zaman kerajaan sekala berak. Selain Kuntara Raja Niti juga dikenal
Cepalo Ghuwabelas dan Ketaro Adat Lampung.

Isi Kuntara Raja Niti diantaranya : Aturan Negeri.

Bab I Pasal I “Tercelanya Negeri”

Ayat 1. Kutogh di muka di bulakang, artinya didalam suatu negeri akan tercela
apabila penduduknya tidak bisa menjaga kebersihan lingkungan serta
halaman rumahnya masing-masing.
Ayat 2. Mak bupakkalan ghagah, artinya didalam negeri akan tercela apabila
tidak ada tempat pemandian khusus baik khusus pria maupun wanita, bila
mandi bercampur baur disatu tempat.

Ayat 3. Mak busesat, artinya didalam negeri akan tercela apabila tidak memiiki
balai adat tempat bermusyawarah sehingga permasalahan tidak pernah
dimusyawarahkan bersama.

Ayat 4. Mak bulanggah mak bumusigit, artinya didalam negeri akan tercela
apabila tidak memiliki masjid atau langgar tempat beribadah, menunjukan
masyarakat tidak pernah sholat berjamaah sebagai kerukunan beragama
dalam beribadah.

Ayat 5. Mak ngagantung kalekep, artinya didalam suatu negeri akan tercela
apabila tidak menggantungkan kentongan sebagai pertanda keamanan
lingkungan tidak diperdulikan dengan tidak adanya ronda malam.
Ayat 6. Mak bugeduk, artinya didalam negeri akan tercela apabila tidak
mempunyai beduk, maksudnya suatu negeri tidak ada alat untuk
mengingatkan waktu untuk beribadah sebagai hamba Allah swt.
Ayat 7. Hun kughuk tiyuh mak ngenah dandan batin, artinya didalam negeri akan
tercela apabila orang lain yang masuk kewilayah itu tidak melihat tanda
atau perbedaan rumah seorang pemimpin dengan masyarakat biasa, jadi
menunjukan bahwa masyarakat tidak patuh dan menghormati pemimpin.
Ayat 8. Mak bukahandak, artinya didalam negeri akan tercela apabila
masyarakatnya tidak berkemauan atau tidak memiliki prakarsa, sehingga
dari waktu ke waktu daerah itu tidak ada perubahan situasi.
Ayat 9. Kughang kanan, artinya didalam negeri akan tercela apabila terjadi
kekurangan persediaan makanan, sehingga terjadi kelaparan.
Ayat 10. Punyimbang lom tiyuh mak sai tungkul, artinya didalam negeri akan
tercela apabila para pemimpin dalam wilayah negeri itu sudah tidak seiya
sekata, maksudnya hanya salung menonjolkan diri sendiri tidak perlu
dengan pemimpin lainya bahkan saling bermusuhan.
Bab I pasal 2 “Senangni Negeri”
Ayat 1. Cawa sai sepuluh   sudi cukup, artinya satu kata sudah cukup dari pada
sepuluh tapi bertele-tele, maksudnya suatu negeri akan berbahagia jika
pendududknya dlam menyelesaikan suatu masalh tidak bertele-tele atau
terlalu banyak kiasan, tidak terlalu banyak pembicaraan yang tidak
bermanfaat.
Ayat 2. Muli meghanai lamen ghanta sapuk, artinya bujang gadis yang rajin
bekerja, maksudnya suatu negeri akan berbahagia jika bujang gadisnya
sebagai generasi penerus kader yang kreatif, tidak malas, maka masa
depan bangsa akan cerah.
Ayat 3. Ghajani sabar, artinya rajanya sabar. Maksudnya seorang pemimpin
haruslah yang arif dan bijaksana dalam menghadapi masyarakat yang
beraneka ragam sifat dan harus selalu sabar dalam memimpin.
Ayat 4. Anak buah makai kakigha,  artinya masyarakat sebagai warga akan selalu
tertanam rasa berperasaan serta tenggang raa terhaap sesama, serta tahu
diri.
Ayat 5. Tanom tumbuh silamat, artinya tanaman tumbuh subur. Maksudnya
negeri akan berbahagia jika masyarakatnya selalu berusaha bertani,
berupaya dalam segala hal agar tanaman menghasilkan hasil yang
melimpah sesuai dengan kesuburan daerahnya.
Ayat 6. Penguluni ghajin bulanggagh, artinya pemimpin rajin kemasjid atau
langgar. Memberikan contoh kepada masyarakat sebagai umat muslim
yang selalu berserah diri denga cara menunaikan rukun islam secara
bersama-sama dimasjid.

Bab I Pasal 3 “Sejahteghani negeri”

Ayat 1. Nemuiko hun tandang tawa himpun manuk uttawa himpun tahlui, artinya
suatu negeri akan bangga bila didatangi orang bertandang kenegeri itu
untuk mencari kebutuhan yang banyak berupa hasil bumi, ayam, telur, dsb.
Itu menunjukkan negeri itu makmur dalam berbagai segi.
Ayat 2. Kalalan cunham di iwa wai, iwa daghak, artinya pengairan yang
mengalir mengandung banyak ikan maksudnya pelestarian sungai akan
menghasilkan ikan yang banyak menambah kemakmuran negeri.
Ayat 3. Inggoman dukhagh beghsih di bah di lambung pukalan deghus, artinya
ternak yang banyak hasil gembala yang melimpah ruah, suasana bersih
pemandian mengalir deras. Maksudnya negeri itu sangat berbahagia jika
ternak melimpah, kebersihan terjaga, air yang cukup, dan pemandian
yang teratur.
Ayat 4. Ghanglaya gawang, artinya jalan raya selalu bersih, terhindar dari
rumput dan kotoran, ternak yang berkeliaran, dan anak-anak tidak
mengganggu lalu lintas suasana umum.
Ayat 5. Juwal bughugan sai ghanta kejung jama punyimbangni ngedok hajat
mak ngunut kekughanganni di humbul baghih, artinya bakat trampil dan
kreatif masyarakat suatu daerah atau negeri dalam hasil karyanya
merupakan tambahan dalam mencukupi kebutuhan hajat sendiri ataupun
hajat pemimpinnya, tanpa mencari kedaerah lain.

B. Cepalo Ghuwa Belas


Berisikan 12 larangan dalam rangka menjaga kesopanan dan kerukunan.
1)    Dilarang mandang majeu ulun maupun anak mulei ulun jamo pandangan
jamo birahi. Hukumano dendo. Artinya dilarang memandang istri orang
maupun anak gadis orang dengan pandangan yang mengandung birahi,
hukumannya denda.
2)  Dilarang balahkamah atau cabul, ngehasut, mitnah, kabagh buhung.
Hukumano dendo. Artinya dilarang berbicara kotor/cabul, menghaut,
memfitnah, kabar bohong, hukumannya denda.
3)   Dilarang mejeng dipok sai lebih gecak anjak pok mejeng ulun tuho, atau
ulun sai gham hormati. Hukumano dendo. Artinya dilarang duduk
ditempat yang lebih tinggi dari tempat duduk orang tua atau orang yang
kita hormati. Hukumannya denda.
4)    Dilarang nampaken aurat didepan ulun ghamik. Hukumano dendo.
Artinya dilarang menampakkan aurat didepan khalayak ramai,
hukumannya denda.
5)   Dilarang nepuk beteng didepan ulun sai lagei meteng.hukumano dendo.
Artinya dilarang menepuk perut didepan orang yang sedang hamil,
hukumannya denda.
6) Dilarang pedem tengkurep didawah haghei, ditengah
keppung/tiyuh/ghadeu. Artinya dilarang tidur tertelungkup disiang hari,
ditengah kampung atau digardu. Hukumannya denda.
7) Dilarang kughuk nuwo ulun baghih liwat belangan. Artinya dilarang
memasuki orang lain tanpa izin melalui pintu belakang, hukumannya
denda.
8)   Dilarang liwat ruangan lun tanpa izin. Artinya dilarang melewati ruangan
orang lain tanpa izin, hukumannya denda.
9)    Dilarang mandie dipok pemandian sebai/sebalikno. Artinya dilarang
mandi ditempat pemandian perempuan atau sebaliknya. Hukumannya
denda.
10) Dilarang ngukuk ulun baghik tanpomizin pemilikno. Artinya dilarang
mengambil hak orang lain tanpa izin pemiliknya, hukumannya denda.
11) Dilarang ngebok/ngelarieken mejo ulun, hukumano dikucilken/diusir.
Artinya dilarang membawa/melarikan istri orang, hukumannya
dikucilkan/diusir.
12) Dilarang berbuat mesum/zina, hukumano dipatieken. Artinya dilarang
berbuat mesum/zina, hukumannya dibunuh.

C. Hukum Adat Penguasaan Tanah / Pelatoeran


1. Kedudukan seseorang yang memangku jabatan sebagai penguasa Marga
dalam marga disebut sebagai Bandar atau Penyimbang Marga atau Kepala
Adat Marga. Kekuasaan yang melekat pada jabatan ini diantaranya adalah
pengawasan dan pengelolaan atas tanah, hutan belukar dan segala tanam
tumbuh dalam wilayah kebandaran
2. Penyimbang Bandar berhak menyewakan tanah dalam wilayah Tanah-
tanah yang ada di bawah kekuasaan Penyimbang Bandar dapat digunakan
untuk :
a. Kepentingan sendiri;
b. Kepentingan pengikutnya (rakyatnya) yang langsung di bawah
kekuasaan dan pengawasannya;
c. Dibagikan kepada penggawa-penggawa atau sebatin tiyuh yang ada
dalam wilayah kekuasaan penyimbang bandar. Tanah-tanah yang dibagikan
ini dapat digunakan untuk:
1. kepentingan sendiri;
2. dibagikan kepeda pengikutnya masing-masing sebagai hak pakai.
3. kekuasaannya kepada rakyatnya yang semarga atau kepada orang lain di luar
marganya. Tanah-tanah yang dimaksud adalah tanah-tanah yang belum
dibagikan kepada rakyatnya atau tanah-tanah yang bukan tanah yang telah
ditentukan sebagai tanah Pusaka marga keturunan.
4. Proses penyewaan tanah-tanah itu harus melalui perjanjian yang dibuat oleh
penyewa. Syarat-syaratnya adalah sebagai berikut:
a. Apabila penyewa itu orang berasal dari luar marga, maka yang
bersangkutan membuat perjanjian sebagai berikut:
1. Tanam tumbuhnya buah pekerjaannya dibagi 3 bagian, yaitu: 1/3
untuk penyimbang bandar (penguasa tanah) sebagai upeti, pajak atau
cukainya. Sedangkan 2/3-nya adalah bagian dari pihak penyewanya
(yang mengusahakan).
2. Penyewa tanah yang bersangkutan boleh memilih dan menanam jenis
tanaman yang disukai, tapi apabila ia hendak meninggalkan tanah
garapannya atau kembali ke wilayah marga asalnya, maka tanam
tumbuh buah usahanya itu tidak boleh dijual, melainkan harus
dikembalikan kepada penyimbang adat bandar sebagai penguasa tanah
dalam marga
b. Penyewaan tanah itu berlaku juga bagi anggota masyarakat dalam marga,
dengan syarat:
1. Penarikan upeti, pajak atau cukai adalah hanya terhadap tanah yang
belum dibagikan kepada penggawa atau sebatin-sebatin tiyuh dalam
marga untuk digunakan dan dipeliharanya sendiri sebagaimana pada
point 3.
2. Tanah-tanah pusaka (larangan) dan tanah yang disewakan tidak boleh
dijualbelikan, melainkan harus dikembalikan kepada penyimbang adat
bandar sebagai penguasa tanah dalam marga bersama dengan
penyelesaian surat sewanya.
3. Apabila penyewa tanah itu boleh menjual tanam tumbuhnya kepada
masyarakat dalam marga kekuasaan penyimbang bandar, dengan
syarat melaporkan kepada penyimbang bandar yang bersangkutan.
Kemudian penyimbang bandar memanggil kedua-belah pihak yang
berjual-beli dengan beberapa orang saksi untuk penyelesaian transaksi
jual-beli itu. Kemudian dibuatlah surat perjanjian antara kedua belah
pihak jual-beli dengan penyimbang bandar, bahwa dalam jual beli itu
tidak berikut tanahnya.
c. Apabila pihak pembeli (penyewa baru) sebagaimana point b.3 hendak
menanam tanaman baru karena tanaman lama telah mati, maka kewajiban
penyewa baru ini adalah sebagai berikut:
1. Penyewa membuat perjanjian baru kepada penyimbang bandar sebagai
penguasa tanah dengan proses yang sama dengan butir a. dan butir b.
2. Penyewa baru tidak boleh menanam tanaman baru apabila tanam
tumbuh (kayu-kayuan) yang dibeli sebelumnya masih hidup atau
belum mati semua.
3. Penyewa baru hanya boleh menanam padi atau selain tanaman kayu-
kayuan
5. Bagi penggawa atau sebatin tiyuh yang telah menerima tanah pemberian
penyimbang bandar berkewajiban memeliharanya yang untuk
kepentingannya sendiri dan membagikan sebagian kepada segenap
warganya. Baik penggawa maupun warganya hanya memiliki hak guna
usaha dan tidak berhak untuk memperjual-belikan.
6. Para penggawa dalam kebandaran yang berhak menerima pembagian tanah
kekuasaan penyimbang bandar itu adalah mereka yang diakui bersamaan
waktunya dengan berdirinya kepenyimbangan bandar (penyimbang Tuha).
Penggawa-penggawa yang berdiri kemudian diperbolehkan menggunakan
tanah kelebihan yang belum dikelola oleh penggawa-penggawa dan anggota
masyarakat sebelumnya, dan tanah ini bukan tanah larangan (tanah pusaka)
penyimbang marga.
7. Semua penggawa dan anggota masyarakat yang telah mendapat pembagian
tanah bebas mengelolanya untuk kekayaan dan kepentingannya sendiri,
tetapi tidak berhak untuk menjualnya kepada orang lain di luar marga,
kecuali tanam tumbuhnya dan apabila orang lain itu telah resmi menjadi
anak adat dalam marga penguasa tanah.
8. Penyimbang bandar tidak memungut upeti kepada Penggawa atau warga
masyarakat marga yang telah diberi tanah, kecuali kalau tanah yang
dibagikan itu disewakan kepada orang lain lagi oleh penggawa atau warga
masyarakat marga tersebut dengan sepengetahuan penyimbang bandar. Hak
penggawa hanya dapat menyewakan untuk kepentingan rumahtangganya
sendiri, dan ia tidak berhak untuk menjualnya.
9. Penghasilan Bandar dan sebatin paksi adalah:
a. Pajak sewa bumi/tanah, yaitu tanah hutan marga yang dikelola.
Penghasilan ini dibagi 10: 1 bagian untuk bandar atau paksinya ; 9 bagian
untuk pengelola tanah.
b. Denda dan upeti adat.
10. Perihal bantuan antara rakyat dengan Penyimbang:
Apabila Penyimbang Bandar, sebatin paksi, Penggawa dusun dan suku-
sukunya mengadakan acara adat, seperti nayuh, pengembaraan menuntut
ilmu/kunjungan atau upacara penobatan sebatin baru, maka rakyatnya
berkewajiban untuk memberi bantuan kepada penyimbangnya. Demikian
juga sebaliknya apabila rakyatnya mengadakan acara yang berkaitan
dengan adat, maka para penyimbang wajib pula untuk memberikan
bantuan.
Bantuan-bantuan ini bisa berupa:

1. Bantuan tenaga:
(a) membuat Bebakhung (kubu panjang),
(b) membuat Pusiban (kubu Ratu mandi)

2. Bantuan biaya:
(a) mengumpulkan uang jujur;
(b) sumbangan biaya nayuh. Jika yang punya acara adat adalah
penyimbang, maka rakyat yang ada dibawah kekuasaan
penyimbang tersebut harus bergotong royong memberikan bantuan.

3 Bantuan makanan (mi mesak/nasi) secukupnya atau kesepakatan,


tergantung pada status keadatan dan besarnya acara adat.

2.3 Budaya Lokal Lampung


Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang, dan dimiliki bersama oleh
sebuah kelompok orang rumah dan diwariskan dari generasi ke generasi.
Kebudayaan merupakan tingkah laku, kebiasaan dan tradisi kehidupan yang
terlahir dari peniggalan leluhur yang diyakini dan dipercayai oleh elemen
masyarakat.
Kebudayaan memiliki lima aspek yang saling terkait:

(1) Aspek atau asas batin, yang sering disebut juga sebagai asas metafisik.
Asas ini sering diartikan sebagai gambaran dunia (worldview),
pandangan/cara hidup (way of life) membimbing tindakan lahiriyah dan
formal manusia dalam hidupnya sebagai anggota masyarakat;

(2) Aspek epistemologis atau metodologis, yang juga dapat disebut aspek
pengetahuan. Karena itu aliran anthropologi tertentu sering menyebut
kebudayaan sebagai sistem penngetahuan. Setiap kebudayaan
mengajarkan cara-cara, kaedah-kaedah atau metode-metode tertentu
untuk memperoleh pengetahuan atau kebenaran tentang sesuatu. Bila
kebudayaan modern Barat lebih meniscayakan metode empiris, rasional
positivistik dan histories (kesejarahan), kebudayaan Timur meyakini
juga metode intuitif dan metode religius, yaitu pembuktian kebenaran
dengan bersandar pada kitab suci seperti Veda, Dhammapada, al-
Qur’an, dan lain sebagainya;

(3) Aspek nilai atau epistemologis. Karena itu sering dikatakan bahwa suatu
kebudayaan pasti didasarkan atas sistem nilai tertentu. Sistem ini
ditransformasikan dalam norma-norma sosial, etika, ethos atau prinsp-
prinsip moral. Dengan kata lain aspek aksiologis dapat disebut sebagai
aspek yang berkenaan dengan etika dan estetika. Ingat pepatah Melayu:
Yang kurik kundi, yang merah saga/Yang baik budi, yang indah bahasa.
Yang terakhir ini merujuk kepada seni secara khusus;

(4) Aspek sosiologis dan historis. Suatu kebudayaan berkembang dinamis


atau statis tergantung pada masyarakat, begitu pula maju mundurnya
kebudayaan tergantung pada kemampuan suatu komunitas dalam
menjawab tantangan yang dihadapkan padanya. Apabila tiga aspek
terdahulu megalami kemerosotan dan suatu komunitas mengalami
disintegrasi, disebabkan rapuhnya solidaritas, runtuhnya organisasi
sosial dan rusaknya pemerintahan disebabkan tak berfungsinya
kekuasaan, maka kebudayaan akan mengalami kemerosotan dan
kehancuran;

(5) Aspek formal teknis. Yaitu ketrampilan yang dibiasakan untuk mengolah
sarana-sarana produksi atau peralatan tertentu misalnya dalam
mengembangkan budaya baca tulis, pertanian, seni rupa, dan lain
sebagainya

Sebagaimana diketahui bahwa nilai-nilai budaya masyarakat Lampung


mengakar dalam Falsafah Hidup Fiil Pesenggiri

Piil Pesenggiri diartikan sebagai segala sesuatu yang menyangkut harga diri,
perilaku dan sikap yang dapat menjaga dan menegakkan nama baik dan
martabat secara pribadi maupun secara berkelompok senantiasa dipertahankan.

Secara ringkas unsur-unsur Piil Pesenggiri itu dapat dijelaskan sebagai berikut:

a. Juluk-Adek

Secara etimologis Juluk-adek (gelar adat) terdiri dari kata juluk dan adek,
yang masing-masing mempunyai makna; Juluk adalah nama panggilan
keluarga seorang pria/wanita yang diberikan pada waktu mereka masih muda
atau remaja yang belum menikah, dan adek bermakna gelar/nama panggilan
adat seorang pria/wanita yang sudah menikah melalui prosesi pemberian
gelar adat. Akan tetapi panggilan ini berbeda dengan inai dan amai. Inai
adalah nama panggilan keluarga untuk seorang perempuan yang sudah
menikah, yang diberikan oleh pihak keluarga suami atau laki-laki.
Sedangkan amai adalah nama panggilan keluarga untuk seorang laki-laki
yang sudah menikah dari pihak keluarga isteri.

Juluk-adek merupakan hak bagi anggota masyarakat Lampung, oleh karena


itu juluk-adek merupakan identitas utama yang melekat pada pribadi yang
bersangkutan. Biasanya penobatan juluk-adek ini dialakukan dalam suatu
upacara adat sebagai media peresmiannya. Juluk adek ini biasanya
mengikuti tatanan yang telah ditetapkan berdasarkan hirarki status pribadi
dalam struktur kepemimpinan adat. Sebagai contoh; Pengiran, Dalom, Batin,
Temunggung,

Radin, Minak, Kimas dst. Dalam hal ini masing-masing kebuwaian tidak
selalu sama, demikian pula urutannya tergantung pada adat yang berlaku
pada kelompok masyarakat yang bersangkutan.

Karena juluk-adek melekat pada pribadi, maka seyogyanya anggota


masyarakat Lampung harus memelihara nama tersebut dengan sebaik-
baiknya dalam wujud prilaku pergaulan kemasyarakatan sehari-hari. Juluk-
adek merupakan asas identitas dan sebagai sumber motivasi bagi anggota
masyarakat Lampung untuk dapat menempatkan hak dan kewajibannya, kata
dan perbuatannya dalam setiap perilaku dan karyanya.

b. Nemui-Nyimah

Nemui berasal dari kata benda temui yang berarti tamu, kemudian menjadi
kata kerja nemui yang berarti mertamu atau mengunjungi/silaturahmi.
Nyimah berasal dari kata benda “simah”, kemudian menjadi kata kerja
“nyimah” yang berarti suka memberi (pemurah). Sedangkan secara harfiah
nemui-nyimah diartikan sebagai sikap santun, pemurah, terbuka tangan, suka
memberi dan menerima dalam arti material sesuai dengan kemampuan.
Nemui-nyimah merupakan ungkapan asas kekeluargaan untuk menciptakan
suatu sikap keakraban dan kerukunan serta silaturahmi. Nemui-nyimah
merupakan kewajiban bagi suatu keluarga dari masyarakat Lampung
umumnya untuk tetap menjaga silaturahmi, dimana ikatan keluarga secara
genealogis selalu terpelihara dengan prinsip keterbukaan, kepantasan dan
kewajaran.

Pada hakekatnya nemui-nyimah dilandasi rasa keikhlasan dari lubuk hati


yang dalam untuk menciptakan kerukunan hidup berkeluarga dan
bermasyarakat. Dengan demikian, maka elemen budaya nemui-nyimah tidak
dapat diartikan keliru yang mengarah kepada sikap dan perbuatan tercela
atau terlarang yang tidak sesuai dengan norma kehidupan sosial yang
berlaku.

Bentuk konkrit nemui nyimah dalam konteks kehidupan masyarakat dewasa


ini lebih tepat diterjemahkan sebagai sikap kepedulian sosial dan rasa
setiakawan. Suatu keluarga yang memiliki keperdulian terhadap nilai-nilai
kemanusiaan, tentunya berpandangan luas ke depan dengan motivasi kerja
keras, jujur dan tidak merugikan orang lain.

c. Nengah-Nyappur

Nengah berasal dari kata benda, kemudian berubah menjadi kata kerja yang
berarti berada di tengah. Sedangkan nyappur berasal dari kata benda cappur
menjadi kata kerja nyappur yang berarti baur atau berbaur. Secara harfiah
dapat diartikan sebagai sikap suka bergaul, suka bersahabat dan toleran antar
sesama. Nengah-nyappur menggambarkan bahwa anggota masyarakat
Lampung mengutamakan rasa kekeluargaan dan didukung dengan sikap
suka bergaul dan bersahabat dengan siapa saja, tidak membedakan suku,
agama, tingkatan, asal usul dan golongan. Sikap suka bergaul dan bersahabat
menumbuhkan semangat suka bekerjasama dan tenggang rasa (toleransi)
yang tinggi antar sesamanya. Sikap toleransi akan menumbuhkan sikap ingin
tahu, mau mendengarkan nasehat orang lain, memacu semangat kreativitas
dan tanggap terhadap perkembangan gejala-gejala sosial. Oleh sebab itu
dapat diambil suatu konklusi bahwa sikap nengah-nyappur menunjuk kepada
nilai musyawarah untuk mufakat. Sikap nengah nyappur melambangkan
sikap nalar yang baik, tertib dan seklaigus merupakan embrio dari
kesungguhan untuk meningkatkan pengetahuan serta sikap adaptif terhadap
perubahan. Melihat kondisi kehidupan masyarakat Lampung yang
pluralistik, maka dapat dipahami bahwa penduduk daerah ini telah
menjalankan prinsip hidup nengah-nyappur secara wajar dan positif.

Sikap nengah-nyappur juga menunjukkan sikap ingin tahu yang tinggi,


sehingga menumbuhkan sikap kepeloporan. Pandangan atau pemikiran
demikian menggabarkan bahwa anggota masyarakat Lampung merupakan
bentuk kehidupan yang memiliki jiwa dan semangat kerja keras dan gigih
untuk mencapai tujuan masa depannya dalam berbagai bidang kehidupan.

Nengah-nyappur merupakan pencerminan dari asas musyawarah untuk


mufakat. Sebagai modal untuk bermusyawarah tentunya seseorang harus
mempunyai pengetahuan dan wawasan yang luas, sikap toleransi yang tinggi
dan melaksanakan segala keputusan dengan rasa penuh tanggung jawab.
Dengan demikian berarti masyarakat Lampung pada umumnya dituntut
kemampuannya untuk dapat menempatkan diri pada posisi yang wajar, yaitu
dalam arti sopan dalam sikap perbuatan dan santun dalam tutur kata. Makna
yang lebih dalam adalah harus siap mendengarkan, menganalisis, dan harus
siap menyampaikan informasi dengan tertib dan bermakna.
d. Sakai-Sambaiyan

Sakai bermakna memberikan sesuatu kepada seseorang atau sekelompok


orang dalam bentuk benda dan jasa yang bernilai ekonomis yang dalam
prakteknya cenderung menghendaki saling berbalas. Sedangkan sambaiyan
bermakna memberikan sesuatu kepada seseorang, sekelompok orang atau
untuk kepentingan umum secara sosial berbentuk benda dan jasa tanpa
mengharapkan balasan.

Sakai sambaiyan berarti tolong menolong dan gotong royong, artinya


memahami makna kebersamaan atau guyub. Sakai-sambayan pada
hakekatnya adalah menunjukkan rasa partisipasi serta solidaritas yang tinggi
terhadap berbagai kegiatan pribadi dan sosial kemasyarakatan pada
umumnya.

Sebagai masyarakat Lampung akan merasa kurang terpandang bila ia tidak


mampu berpartisipasi dalam suatu kegiatan kemasyarakatan. Perilaku ini
menggambarkan sikap toleransi kebersamaan, sehingga seseorang akan
memberikan apa saja secara suka rela apabila pemberian itu memiliki nilai
manfaat bagi orang atau anggota masyarakat lain yang membutuhkan.
BAB III
KESIMPULAN

3.1 KESIMPULAN

3.1.1 Koentjaraningrat (dalam Warsito 2012 : 99)

Nilai budaya merupakan nilai yang terdiri atas konsepsi-konsepsi yang hidup
dalam alam fikiran sebahagian besar warga masyarakat dalam hal-hal yang
mereka anggap amat mulia. Sistem nilai yang ada dalam suatu masyarakat
menjadi orientasi dan rujukan dalam bertindak bagi mereka.

3.1.2 Jenis norma budaya lampung

 Kitab kuntara raja niti


 Cepalo ghuwa belas
 Pelatoeran

3.1.3 Falsafah budaya lokal lampung

 Juluk-adek (gelar adat)


 Nemui-nyimah

Nemui nyimah merupakan kewajiban bagi suatu keluarga dari masyarakat


Lampung umumnya untuk tetap menjaga silaturahmi, dimana ikatan keluarga
secara genealogis selalu terpelihara dengan prinsip keterbukaan, kepantasan
dan kewajaran.

 Nengah Nyappur

Nengah-nyappur menggambarkan bahwa anggota masyarakat Lampung


mengutamakan rasa kekeluargaan dan didukung dengan sikap suka bergaul

dan bersahabat dengan siapa saja, tidak membedakan suku, agama,


tingkatan, asal usul dan golongan

 Sakai Sambaiyan

Sakai sambaiyan berarti tolong menolong dan gotong royong, artinya


memahami makna kebersamaan atau guyub. Sakai-sambayan pada
hakekatnya adalah menunjukkan rasa partisipasi serta solidaritas yang tinggi
terhadap berbagai kegiatan pribadi dan sosial kemasyarakatan pada
umumnya.

3.2 SARAN
Sebagai masyarakat Lampung seharusnya kita melestarikan budaya yang ada di
Lampung. Manaati norma yang berlaku menjauhi larangannya agar terciptanya nilai
dalam masyarakat Lampung.

Anda mungkin juga menyukai