Disusun Oleh :
Kelompok 1
1. Dini Indah Nur’aini 1913053120
2. Dyah Tri Sulistiani 1913053104
3. Gde Satya Yudhatama 1913053129
4. Meriska Dwi Setianingsih 1913053115
PENDAHULUAN
PEMBAHASAN
2.1 NILAI
Nilai-nilai budaya akan terlihat pada simbol-simbol, slogan, moto, visi misi, atau
sesuatu yang tampak sebagai acuan pokok moto suatu lingkungan atau
organisasi. Ada tiga hal yang berkaiatan dengan nilai-nilai budaya yaitu:
Nilai budaya merupakan nilai yang terdiri atas konsepsi-konsepsi yang hidup
dalam alam fikiran sebahagian besar warga masyarakat dalam hal-hal yang
mereka anggap amat mulia. Sistem nilai yang ada dalam suatu masyarakat
menjadi orientasi dan rujukan dalam bertindak bagi mereka.
Oleh sebab itu, nilai budaya yang dimiliki seseorang mempengaruhinya dalam
mengambil alternatif, cara-cara, alat-alat dan tujuan-tujuan pembuatan yang
tersedia.
Sebagai ciri khas yang membedakan suatu kelompok masyarakat di suatu tempat
dengan kelompok masyarakat lainnya maka nilai budaya memiliki karaketeristik
dibandingkan dengan yang lain. Antara lain;
1. Nilai budaya bukan merupakan bawaan dari lahir, melainkan sesuatu yang
perlu dipelajari
2. Nilai budaya bisa diwariskan dari satu orang ke orang lainnya, atau dari suatu
kelompok ke kelompok lainnya, bahkan bisa diwariskan pula antar generasi
manusia
3. Nilai budaya memiliki simbol yang menjadi ciri khas suatu budaya
4. Nilai yang bermakna dalam sifat budaya akan senantiasa dinamis, sehingga
akan terus berubah seiring berjalannya waktu
5. Nilai budaya bersifat selektif dan merepresentasikan perilaku manusia secara
terbatas
6. Berbagai unsur kebudayaan saling berkaitan dengan nilai budaya
7. Adanya anggapan bahwa nilai budaya sendiri memiliki kelebihan jika
dibandingkan dengan nilai budaya yang lain
Secara etimologi, kata norma berasal dari bahasa Belanda, yaitu “Norm” yang
artinya patokan, pokok kaidah, atau pedoman. Namun beberapa orang
mengatakan bahwa istilah norma berasal dari bahasa latin, “Mos” yang artinya
kebiasaan, tata kelakuan, atau adat istiadat.
Mengatur tingkah laku masyarakat agar sesuai dengan nilai yang berlaku.
Menciptakan ketertiban dan keadilan didalam masyarakat
menciptakan kenyamanan, kemakmuran dan kebahagiaan anggotanya
Menciptakan keselarasan hubungan setiap anggota
Membantu mencapai tujuan bersama masyarakat
Menjadi dasar untuk memberikan sanksi kepada masyarakat yang
melanggar norma
Menjadi petunjuk bagaimana menjalin suatu hubungan antar anggota
Menciptakan suasana yang tertib dan tentram untuk setiap anggota
Kitab “Kuntara Raja Niti”nadalah kitab hukum adat orang lampung yang telah
ada sejak zaman kerajaan sekala berak. Selain Kuntara Raja Niti juga dikenal
Cepalo Ghuwabelas dan Ketaro Adat Lampung.
Ayat 1. Kutogh di muka di bulakang, artinya didalam suatu negeri akan tercela
apabila penduduknya tidak bisa menjaga kebersihan lingkungan serta
halaman rumahnya masing-masing.
Ayat 2. Mak bupakkalan ghagah, artinya didalam negeri akan tercela apabila
tidak ada tempat pemandian khusus baik khusus pria maupun wanita, bila
mandi bercampur baur disatu tempat.
Ayat 3. Mak busesat, artinya didalam negeri akan tercela apabila tidak memiiki
balai adat tempat bermusyawarah sehingga permasalahan tidak pernah
dimusyawarahkan bersama.
Ayat 4. Mak bulanggah mak bumusigit, artinya didalam negeri akan tercela
apabila tidak memiliki masjid atau langgar tempat beribadah, menunjukan
masyarakat tidak pernah sholat berjamaah sebagai kerukunan beragama
dalam beribadah.
Ayat 5. Mak ngagantung kalekep, artinya didalam suatu negeri akan tercela
apabila tidak menggantungkan kentongan sebagai pertanda keamanan
lingkungan tidak diperdulikan dengan tidak adanya ronda malam.
Ayat 6. Mak bugeduk, artinya didalam negeri akan tercela apabila tidak
mempunyai beduk, maksudnya suatu negeri tidak ada alat untuk
mengingatkan waktu untuk beribadah sebagai hamba Allah swt.
Ayat 7. Hun kughuk tiyuh mak ngenah dandan batin, artinya didalam negeri akan
tercela apabila orang lain yang masuk kewilayah itu tidak melihat tanda
atau perbedaan rumah seorang pemimpin dengan masyarakat biasa, jadi
menunjukan bahwa masyarakat tidak patuh dan menghormati pemimpin.
Ayat 8. Mak bukahandak, artinya didalam negeri akan tercela apabila
masyarakatnya tidak berkemauan atau tidak memiliki prakarsa, sehingga
dari waktu ke waktu daerah itu tidak ada perubahan situasi.
Ayat 9. Kughang kanan, artinya didalam negeri akan tercela apabila terjadi
kekurangan persediaan makanan, sehingga terjadi kelaparan.
Ayat 10. Punyimbang lom tiyuh mak sai tungkul, artinya didalam negeri akan
tercela apabila para pemimpin dalam wilayah negeri itu sudah tidak seiya
sekata, maksudnya hanya salung menonjolkan diri sendiri tidak perlu
dengan pemimpin lainya bahkan saling bermusuhan.
Bab I pasal 2 “Senangni Negeri”
Ayat 1. Cawa sai sepuluh sudi cukup, artinya satu kata sudah cukup dari pada
sepuluh tapi bertele-tele, maksudnya suatu negeri akan berbahagia jika
pendududknya dlam menyelesaikan suatu masalh tidak bertele-tele atau
terlalu banyak kiasan, tidak terlalu banyak pembicaraan yang tidak
bermanfaat.
Ayat 2. Muli meghanai lamen ghanta sapuk, artinya bujang gadis yang rajin
bekerja, maksudnya suatu negeri akan berbahagia jika bujang gadisnya
sebagai generasi penerus kader yang kreatif, tidak malas, maka masa
depan bangsa akan cerah.
Ayat 3. Ghajani sabar, artinya rajanya sabar. Maksudnya seorang pemimpin
haruslah yang arif dan bijaksana dalam menghadapi masyarakat yang
beraneka ragam sifat dan harus selalu sabar dalam memimpin.
Ayat 4. Anak buah makai kakigha, artinya masyarakat sebagai warga akan selalu
tertanam rasa berperasaan serta tenggang raa terhaap sesama, serta tahu
diri.
Ayat 5. Tanom tumbuh silamat, artinya tanaman tumbuh subur. Maksudnya
negeri akan berbahagia jika masyarakatnya selalu berusaha bertani,
berupaya dalam segala hal agar tanaman menghasilkan hasil yang
melimpah sesuai dengan kesuburan daerahnya.
Ayat 6. Penguluni ghajin bulanggagh, artinya pemimpin rajin kemasjid atau
langgar. Memberikan contoh kepada masyarakat sebagai umat muslim
yang selalu berserah diri denga cara menunaikan rukun islam secara
bersama-sama dimasjid.
Ayat 1. Nemuiko hun tandang tawa himpun manuk uttawa himpun tahlui, artinya
suatu negeri akan bangga bila didatangi orang bertandang kenegeri itu
untuk mencari kebutuhan yang banyak berupa hasil bumi, ayam, telur, dsb.
Itu menunjukkan negeri itu makmur dalam berbagai segi.
Ayat 2. Kalalan cunham di iwa wai, iwa daghak, artinya pengairan yang
mengalir mengandung banyak ikan maksudnya pelestarian sungai akan
menghasilkan ikan yang banyak menambah kemakmuran negeri.
Ayat 3. Inggoman dukhagh beghsih di bah di lambung pukalan deghus, artinya
ternak yang banyak hasil gembala yang melimpah ruah, suasana bersih
pemandian mengalir deras. Maksudnya negeri itu sangat berbahagia jika
ternak melimpah, kebersihan terjaga, air yang cukup, dan pemandian
yang teratur.
Ayat 4. Ghanglaya gawang, artinya jalan raya selalu bersih, terhindar dari
rumput dan kotoran, ternak yang berkeliaran, dan anak-anak tidak
mengganggu lalu lintas suasana umum.
Ayat 5. Juwal bughugan sai ghanta kejung jama punyimbangni ngedok hajat
mak ngunut kekughanganni di humbul baghih, artinya bakat trampil dan
kreatif masyarakat suatu daerah atau negeri dalam hasil karyanya
merupakan tambahan dalam mencukupi kebutuhan hajat sendiri ataupun
hajat pemimpinnya, tanpa mencari kedaerah lain.
1. Bantuan tenaga:
(a) membuat Bebakhung (kubu panjang),
(b) membuat Pusiban (kubu Ratu mandi)
2. Bantuan biaya:
(a) mengumpulkan uang jujur;
(b) sumbangan biaya nayuh. Jika yang punya acara adat adalah
penyimbang, maka rakyat yang ada dibawah kekuasaan
penyimbang tersebut harus bergotong royong memberikan bantuan.
(1) Aspek atau asas batin, yang sering disebut juga sebagai asas metafisik.
Asas ini sering diartikan sebagai gambaran dunia (worldview),
pandangan/cara hidup (way of life) membimbing tindakan lahiriyah dan
formal manusia dalam hidupnya sebagai anggota masyarakat;
(2) Aspek epistemologis atau metodologis, yang juga dapat disebut aspek
pengetahuan. Karena itu aliran anthropologi tertentu sering menyebut
kebudayaan sebagai sistem penngetahuan. Setiap kebudayaan
mengajarkan cara-cara, kaedah-kaedah atau metode-metode tertentu
untuk memperoleh pengetahuan atau kebenaran tentang sesuatu. Bila
kebudayaan modern Barat lebih meniscayakan metode empiris, rasional
positivistik dan histories (kesejarahan), kebudayaan Timur meyakini
juga metode intuitif dan metode religius, yaitu pembuktian kebenaran
dengan bersandar pada kitab suci seperti Veda, Dhammapada, al-
Qur’an, dan lain sebagainya;
(3) Aspek nilai atau epistemologis. Karena itu sering dikatakan bahwa suatu
kebudayaan pasti didasarkan atas sistem nilai tertentu. Sistem ini
ditransformasikan dalam norma-norma sosial, etika, ethos atau prinsp-
prinsip moral. Dengan kata lain aspek aksiologis dapat disebut sebagai
aspek yang berkenaan dengan etika dan estetika. Ingat pepatah Melayu:
Yang kurik kundi, yang merah saga/Yang baik budi, yang indah bahasa.
Yang terakhir ini merujuk kepada seni secara khusus;
(5) Aspek formal teknis. Yaitu ketrampilan yang dibiasakan untuk mengolah
sarana-sarana produksi atau peralatan tertentu misalnya dalam
mengembangkan budaya baca tulis, pertanian, seni rupa, dan lain
sebagainya
Piil Pesenggiri diartikan sebagai segala sesuatu yang menyangkut harga diri,
perilaku dan sikap yang dapat menjaga dan menegakkan nama baik dan
martabat secara pribadi maupun secara berkelompok senantiasa dipertahankan.
Secara ringkas unsur-unsur Piil Pesenggiri itu dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Juluk-Adek
Secara etimologis Juluk-adek (gelar adat) terdiri dari kata juluk dan adek,
yang masing-masing mempunyai makna; Juluk adalah nama panggilan
keluarga seorang pria/wanita yang diberikan pada waktu mereka masih muda
atau remaja yang belum menikah, dan adek bermakna gelar/nama panggilan
adat seorang pria/wanita yang sudah menikah melalui prosesi pemberian
gelar adat. Akan tetapi panggilan ini berbeda dengan inai dan amai. Inai
adalah nama panggilan keluarga untuk seorang perempuan yang sudah
menikah, yang diberikan oleh pihak keluarga suami atau laki-laki.
Sedangkan amai adalah nama panggilan keluarga untuk seorang laki-laki
yang sudah menikah dari pihak keluarga isteri.
Radin, Minak, Kimas dst. Dalam hal ini masing-masing kebuwaian tidak
selalu sama, demikian pula urutannya tergantung pada adat yang berlaku
pada kelompok masyarakat yang bersangkutan.
b. Nemui-Nyimah
Nemui berasal dari kata benda temui yang berarti tamu, kemudian menjadi
kata kerja nemui yang berarti mertamu atau mengunjungi/silaturahmi.
Nyimah berasal dari kata benda “simah”, kemudian menjadi kata kerja
“nyimah” yang berarti suka memberi (pemurah). Sedangkan secara harfiah
nemui-nyimah diartikan sebagai sikap santun, pemurah, terbuka tangan, suka
memberi dan menerima dalam arti material sesuai dengan kemampuan.
Nemui-nyimah merupakan ungkapan asas kekeluargaan untuk menciptakan
suatu sikap keakraban dan kerukunan serta silaturahmi. Nemui-nyimah
merupakan kewajiban bagi suatu keluarga dari masyarakat Lampung
umumnya untuk tetap menjaga silaturahmi, dimana ikatan keluarga secara
genealogis selalu terpelihara dengan prinsip keterbukaan, kepantasan dan
kewajaran.
c. Nengah-Nyappur
Nengah berasal dari kata benda, kemudian berubah menjadi kata kerja yang
berarti berada di tengah. Sedangkan nyappur berasal dari kata benda cappur
menjadi kata kerja nyappur yang berarti baur atau berbaur. Secara harfiah
dapat diartikan sebagai sikap suka bergaul, suka bersahabat dan toleran antar
sesama. Nengah-nyappur menggambarkan bahwa anggota masyarakat
Lampung mengutamakan rasa kekeluargaan dan didukung dengan sikap
suka bergaul dan bersahabat dengan siapa saja, tidak membedakan suku,
agama, tingkatan, asal usul dan golongan. Sikap suka bergaul dan bersahabat
menumbuhkan semangat suka bekerjasama dan tenggang rasa (toleransi)
yang tinggi antar sesamanya. Sikap toleransi akan menumbuhkan sikap ingin
tahu, mau mendengarkan nasehat orang lain, memacu semangat kreativitas
dan tanggap terhadap perkembangan gejala-gejala sosial. Oleh sebab itu
dapat diambil suatu konklusi bahwa sikap nengah-nyappur menunjuk kepada
nilai musyawarah untuk mufakat. Sikap nengah nyappur melambangkan
sikap nalar yang baik, tertib dan seklaigus merupakan embrio dari
kesungguhan untuk meningkatkan pengetahuan serta sikap adaptif terhadap
perubahan. Melihat kondisi kehidupan masyarakat Lampung yang
pluralistik, maka dapat dipahami bahwa penduduk daerah ini telah
menjalankan prinsip hidup nengah-nyappur secara wajar dan positif.
3.1 KESIMPULAN
Nilai budaya merupakan nilai yang terdiri atas konsepsi-konsepsi yang hidup
dalam alam fikiran sebahagian besar warga masyarakat dalam hal-hal yang
mereka anggap amat mulia. Sistem nilai yang ada dalam suatu masyarakat
menjadi orientasi dan rujukan dalam bertindak bagi mereka.
Nengah Nyappur
Sakai Sambaiyan
3.2 SARAN
Sebagai masyarakat Lampung seharusnya kita melestarikan budaya yang ada di
Lampung. Manaati norma yang berlaku menjauhi larangannya agar terciptanya nilai
dalam masyarakat Lampung.