Anda di halaman 1dari 9

Tarif yang dikenakan pada PPh pasal 17 untuk wajib pajak pribadi dibagi atas beberapa

lapisan penghasilan. Perhitungan tarif pajak pada PPh pasal 17 Ayat 1(a) adalah sebagai
berikut:

• Penghasilan sampai dengan Rp 50.000.000, tarif pajak yang dibebankan 5%


• Penghasilan di atas Rp 50.000.000 sampai dengan Rp 250.000.000, tarif pajaknya 15%
• Penghasilan di atas Rp 250.000.000 sampai dengan Rp 500.000.000, tarif pajaknya 25%
• Penghasilan di atas Rp 500.000.000, tarif pajaknya 30%
Sementara, tarif pajak yang dibebankan pada wajib pajak badan tertera dalam PPh pasal 17
Ayat 1(b), yakni sebesar 28%. Namun, pada Ayat 2(a) disebutkan mulai tahun pajak 2010 tarif
pajak penghasilan bagi wajib pajak badan ditetapkan sebesar 25%.

• Wajib Pajak badan dalam negeri atau bentuk usaha tetap


Wajib Pajak yang merupakan badan atau bentuk usaha tetap wajib membayar PPh dengan
tarif yang berbeda. Khusus untuk subjek pajak ini, tarif yang dikenakan adalah 28% dari seluruh
jumlah penghasilan.

Penjelasan Tarif Pajak Penghasilan Badan Usaha


• Tarif umum pajak penghasilan badan usaha adalah sebesar 28% dari omset kotor dikurangi biaya-biaya.
• Apabila memenuhi ketentuan PP No 81 Tahun 2007, maka tarif yang berlaku adalah 25% dari omset kotor
dikurangi biaya-biaya.
• Untuk omset dibawah Rp4,8 miliar, maka akan mendapat fasilitas penurunan tarif sebesar 50% sehingga tarif
efektifnya adalah 12,5% dari omset kotor dikurangi biaya-biaya.
• Tarif Pasal 17 UU PPh Badan ini hanya berlaku untuk tahun pertama. Apabila di tahun tersebut omsetnya
tidak mencapai Rp4,8 milyar, maka di tahun berikutnya tarif pajak penghasilan badan mengacu pada PP No
46 Tahun 2013 yaitu sebesar 1% dari omset kotor.

Cara Menghitung Pasal 17 UU PPh

Cermati contoh penghitungan PPh Badan berikut ini:

Wajib Pajak memiliki Omzet tahun 2019 sebesar Rp5 miliar. Jumlah seluruh biaya adalah Rp4 miliar.
Maka tarif pajak penghasilan badannya adalah:
• Penghasilan Kena Pajak = Rp5 miliar – Rp4 miliar = Rp1 miliar.
• Penghasilan yang mendapat tarif 12,5% adalah proporsi dari batas fasilitas yaitu Rp4,8 miliar dibanding
dengan total omset, sehingga Penghasilan Kena Pajak yang mendapat fasilitas (tarif 12,5%) adalah (Rp4,8
miliar / Rp5 miliar) x Rp1 miliar = Rp960.000.000.
• Sedangkan, Penghasilan Kena Pajak yang tidak mendapat fasilitas tarif di atas adalah Rp1.000.000.000 –
Rp960.000.000 = Rp40.000.000.
• Sehingga besar Pajak Penghasilan Badan Usahanya adalah (12,5% x Rp960.000.000) + (25% x Rp40.000.000)
= Rp130.000.000.
• Jadi untuk omset Rp5 miliar pajak penghasilannya adalah Rp130.000.000. Dan di tahun 2019 Wajib Pajak
tetap menggunakan tarif pasal 17 UU PPh. Hal ini dikarenakan omset tahun 2018 sudah di atas Rp4,8 miliar.

Menghitung Tarif Pasal 17

Apabila seorang Wajib Pajak memiliki PKP sejumlah Rp60.000.000 per tahun, untuk menghitung
PPh yang harus dibayar adalah sebagai berikut:

• Rp50.000.000 x 5% = Rp2.500.000
• (Rp60.000.000-Rp50.000.000) x 15% = Rp1.500.000
Catatan: Dikurangi dengan Rp50.000.00 karena Rp50.000.00 tersebut sudah dikalikan dengan
tarif 5%.

Jadi, jumlah pajak yang harus dibayarkan oleh Wajib Pajak adalah:

Rp2.500.000+ Rp1.500.000 = Rp4.000.000.

Contoh lain:

Apabila Wajib Pajak memiliki penghasilan kena pajak senilai Rp400.000.000 per tahun, maka
perhitungan PPh yang harus dibayar adalah sebagai berikut:

• 5% x Rp50.000.000 = Rp2.500.000
• 15% x Rp200.000.000 = Rp30.000.000
• 25% x Rp150.000.000 = Rp37.500.000
Jadi, jumlah pajak yang harus dibayarkan oleh Wajib Pajak adalah Rp70.000.000. Nilai ini akan
semakin besar apabila PKP Wajib Pajak semakin tinggi.

Ketentuan Tarif Pasal 17 untuk Kondisi Tertentu

Selain ketentuan tarif Pasal 17 untuk orang pribadi dan badan atau bentuk usaha tetap, ada
pula beberapa aturan lain yang diberlakukan kepada Wajib Pajak berdasarkan kondisi
tertentu. Berikut penjelasannya:
• Tarif tertinggi yang dikenakan pada Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri dapat
diturunkan paling rendah 25%.
• Khusus untuk tarif pajak yang diberlakukan kepada Wajib Pajak badan dan bentuk
usaha tertentu akan menjadi 25% dan mulai berlaku pada 2010.
• Perseroan Terbuka sebagai Wajib Pajak badan dalam negeri dan memiliki setidaknya
40% jumlah keseluruhan saham yang disetor dan diperdagangkan di Bursa Efek
Indonesia serta memenuhi persyaratan tertentu, dapat memperoleh tarif lebih rendah
5% daripada tarif normal.
• Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri yang menerima pembagian dividen akan
dikenakan tarif Pajak Penghasilan sebesar 10%. Tarif ini bersifat final. Ketentuan
selanjutnya mengenai hal ini diatur dalam peraturan pemerintah.

Jumlah peredaran bruto 2018: Rp50 miliar.


Jumlah penghasilan kena pajak 2018: Rp5 miliar.
PPh badan terutang = 25% x Rp5 miliar = Rp1,25 miliar.

Tarif PPh Badan untuk Wajib Pajak Tertentu (Pasal 31E UU PPh)

Selain itu, wajib pajak badan dalam negeri yang memiliki peredaran bruto sampai dengan
Rp50 miliar mendapat fasilitas berupa pengurangan tarif sebesar 50% dari tarif
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf b dan ayat (2a) yang dikenakan atas
penghasilan kena pajak dari bagian peredaran bruto sampai dengan Rp4,8 miliar.

Berdasarkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor: SE-66/PJ/2010, ketentuan


penerapan tarif Pasal 31E UU PPh adalah sebagai berikut:

• fasilitas pengurangan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31E ayat (1) UU PPh dilaksanakan
dengan cara self assessment pada saat penyampaian SPT tahunan PPh wajib pajak badan, sehingga
wajib pajak badan dalam negeri tidak perlu menyampaikan permohonan untuk dapat memperoleh
fasilitas tersebut.
• BUT merupakan subjek pajak luar negeri, sehingga tidak mendapat fasilitas berupa pengurangan
tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31E ayat (1) UU PPh.
• batasan peredaran bruto sampai dengan Rp50 miliar adalah sebagai batasan maksimal peredaran
bruto yang diterima atau diperoleh wajib pajak badan dalam negeri untuk dapat memperoleh fasilitas
pengurangan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31E ayat (1) UU PPh.
• peredaran bruto sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 31E ayat (1) UU PPh merupakan semua
penghasilan yang diterima dan/atau diperoleh dari kegiatan usaha dan dari luar kegiatan usaha,
setelah dikurangi dengan retur dan pengurangan penjualan serta potongan tunai dalam tahun pajak
yang bersangkutan, sebelum dikurangi biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
penghasilan, baik yang berasal dari indonesia maupun dari luar indonesia, meliputi:
o penghasilan yang dikenai pajak penghasilan bersifat final;
o penghasilan yang dikenai pajak penghasilan tidak bersifat final; dan
o penghasilan yang dikecualikan dari objek pajak.
• fasilitas pengurangan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31E ayat (1) UU PPh tersebut bukan
merupakan pilihan, sehingga bagi wajib pajak badan dalam negeri yang memiliki akumulasi
peredaran bruto sebagaimana dimaksud pada huruf d di atas sampai dengan Rp50 miliar, tarif pajak
penghasilan yang diterapkan atas penghasilan kena pajak bagi wajib pajak badan dalam negeri
tersebut wajib mengikuti ketentuan pengurangan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31E ayat
(1) UU PPh.
• fasilitas pengurangan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31E ayat (1) UU PPh ini berlaku
untuk penghitungan pajak penghasilan terutang atas penghasilan kena pajak yang berasal dari
penghasilan yang dikenai pajak penghasilan tidak bersifat final.
• untuk menghitung besarnya angsuran PPh Pasal 25 tahun berjalan, wajib pajak badan dalam negeri
yang telah memenuhi persyaratan fasilitas pengurangan tarif pajak penghasilan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 31E ayat (1) UU PPh wajib menggunakan tarif PPh sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 31E ayat (1) UU PPh.

Contoh 1:

Peredaran bruto PT X dalam tahun pajak 2018 sebesar Rp4,5 miliar dengan penghasilan
kena pajak sebesar Rp500 juta.

Penghitungan pajak yang terutang: seluruh penghasilan kena pajak yang diperoleh dari
peredaran bruto tersebut dikenai tarif sebesar 50% dari tarif PPh badan yang berlaku karena
jumlah peredaran bruto PT X tidak melebihi Rp4,8 miliar.

PPh yang terutang: (50% x 25%) x Rp500 juta = Rp62,5 juta.

Contoh 2:

Peredaran bruto PT Y dalam tahun pajak 2018 sebesar Rp30 miliar dengan penghasilan
kena pajak sebesar Rp3 miliar.

Penghitungan penghasilan kena pajak yang mendapat fasilitas dan tidak mendapat fasilitas:

• Jumlah penghasilan kena pajak dari bagian peredaran bruto yang memperoleh fasilitas: (Rp4,8 miliar
: Rp30 miliar) x Rp3 miliar = Rp480 juta.
• Jumlah penghasilan kena pajak dari bagian peredaran bruto yang tidak memperoleh fasilitas: Rp3
miliar – Rp480 juta = Rp2,52 miliar.

PPh yang terutang:

• (50% x 25%) x Rp480 juta = Rp60 juta.


• 25% x Rp2,52 miliar = Rp630 juta.

Jumlah PPh yang terutang = Rp60 juta + Rp630 juta = Rp690 juta.
Ketentuan Perhitungan Pasal 31E:
a. Peredaran bruto sampai dengan Rp 4.800.000.000,-
PPh terutang = 50% x 25% x
Seluruh PKP

b. Peredaran bruto lebih dari Rp 4.800.000.000,- sampai dengan Rp 50.000.000.000,- PPh terutang :

PKP dari bagian bruto yang memperoleh fasilitas:

Rp 4,8 Miliar x PKP


Peredaran Bruto

PKP dari bagian bruto yang tidak memperoleh fasilitas :


Keseluruhan PKP – PKP yang memperoleh fasilitas

Contoh penghitungan 1 :
Total peredaran bruto PT A dalam Tahun Pajak 2015 sebesar Rp4.500.000.000,00 (empat miliar lima ratus juta rupiah).
Rinciannya adalah sebagai berikut:
a. Peredaran bruto dari penghasilan yang:
Dikenai PPh bersifat final berdasarkan PP Nomor 46
1. Rp2.500.000.000,00
Tahun 2013
2 Dikenai PPh bersifat final atas jasa konstruksi Rp1.500.000.000,00
3 Dikenai PPh tidak bersifat final Rp 500.000.000,00
Jumlah Rp4.500.000.000,00

b. Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang:


Dikenai PPh bersifat final berdasarkan PP Nomor
1. (Rp2.300.000.000,00)
46 Tahun 2013
2 Dikenai PPh bersifat final atas jasa konstruksi (Rp1.300.000.000,00)
3 Dikenai PPh tidak bersifat final (Rp 400.000.000,00)
Jumlah (Rp4.000.000.000,00)

c. Jumlah penghasilan neto Rp 500.000.000,00

d. Koreksi fiskal :
1) Peredaran bruto dari penghasilan yang dikenai PPh (Rp2.500.000.000,00)
bersifat final berdasarkan PP Nomor 46 Tahun 2013
2) Peredaran bruto dari penghasilan yang dikenai PPh (Rp1.500.000.000,00)
bersifat final atas jasa konstruksi
3) Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan
memelihara penghasilan yang dikenai PPh bersifat Rp2.300.000.000,00
final berdasarkan
PP Nomor 46 Tahun 2013
4) Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan
memelihara penghasilan dari penghasilan yang Rp1.300.000.000,00
dikenai PPh
bersifat final atas jasa konstruksi
Jumlah (Rp 400.000.000,00)

e. Jumlah penghasilan neto setelah koreksi fiskal Rp 100.000.000,00


f. Kompensasi kerugian Rp 0,00
g. Penghasilan Kena Pajak Rp 100.000.000,00

Penghitungan Pajak Penghasilan terutang:

Seluruh Penghasilan Kena Pajak dikenai tarif sebesar 50% dari tarif Pajak Penghasilan badan yang berlaku karena jumlah
peredaran bruto PT A tidak melebihi Rp 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah).

Pajak Penghasilan yang terutang untuk Tahun Pajak 2015:


50% x 25% x Rp100.000.000,00 = Rp12.500.000.00

Contoh penghitungan 2 :

Total peredaran bruto PT B dalam Tahun Pajak 2015 sebesar Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah).
Rinciannya adalah sebagai berikut:
a. Peredaran bruto dari penghasilan yang:
Dikenai PPh bersifat final berdasarkan PP Nomor 46
1. Rp4.500.000.000,00
Tahun 2013
2 Dikenai PPh bersifat final atas jasa konstruksi Rp 500.000.000,00
3 Dikenai PPh tidak bersifat final Rp1.000.000.000,00
Jumlah Rp6.000.000.000,00
b. Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang:
Dikenai PPh bersifat final berdasarkan PP Nomor 46
1. (Rp4.000.000.000,00)
Tahun 2013
2 Dikenai PPh bersifat final atas jasa konstruksi (Rp 200.000.000,00)
3 Dikenai PPh tidak bersifat final (Rp 800.000.000,00)
Jumlah (Rp5.000.000.000,00)

c. Jumlah penghasilan neto Rp1.000.000,000,00


d. Koreksi fiskal :
1) Peredaran bruto dari penghasilan yang dikenai PPh (Rp4.500.000.000,00)
bersifat final berdasarkan PP Nomor 46 Tahun 2013
2) Peredaran bruto dari penghasilan yang dikenai PPh (Rp 500.000.000,00)
bersifat final atas jasa konstruksi
3) Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara Rp4.000.000.000,00
penghasilan yang dikenai PPh bersifat final berdasarkan
PP
Nomor 46 Tahun 2013
4) Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara Rp 200.000.000,00
penghasilan dari penghasilan yang dikenai PPh bersifat
final atas jasa konstruksi
Jumlah (Rp 800.000.000,00)

e. Jumlah penghasilan neto setelah koreksi fiskal Rp 200.000.000,00


f. Kompensasi kerugian Rp 0,00
g. Penghasilan Kena Pajak Rp 200.000.000,00
Penghitungan Pajak Penghasiian terutang:

a. Jumlah Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto yang memperoleh fasilitas:
Rp4.800.000.000,00 x Rp200.000.000,00 = Rp160.000.000,00
Rp6.000.000.000,00
b. Jumlah Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto yang tidak memperoleh fasilitas:
Rp200.000.000,00 - Rp160.000.000 = Rp40.000.000,00

Pajak Penghasilan yang terutang untuk tahun 2015 :


a. 50% x 25% x Rp160.000.000,00 = Rp20.000.000,00
b. 25% x Rp40.000.000,00 = Rp10.000.000.00
Jumlah Pajak Penghasilan terutang = Rp30.000.000,00

etapi kemudian Pasal 31E UU PPh mengatur :

Pasal 31E
(1) Wajib Pajak Badan Dalam Negeri dengan peredaran bruto sampai dengan Rp 50.000.000.000,00
(lima puluh miliar rupiah) mendapat fasilitas berupa pengurangan tarif sebesar 50% (lima puluh persen)
dari tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf b dan ayat (2a) yang dikenakan atas
Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto sampai dengan Rp 4.800.000.000,00 (empat miliar
delapan ratus juta rupiah).
(2) Besarnya bagian peredaran bruto sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dinaikkan dengan
Peraturan Menteri Keuangan.

ehingga menurut Pasal 31E di atas, Wajib Pajak Badan Dalam Negeri (Tidak termasuk
BUT) yang memiliki peredaran bruto tidak melebihi 50 miliar rupiah, atas Penghasilan Kena
Pajak dari bagian peredaran bruto sebesar 4.8 miliar rupiah, mendapat pengurangan tarif 50%,
sehingga tarifnya hanya 12.5% saja.

Berikut saya berikan contoh untuk penggunaan tarif Pasal 31E ini:
1) Wajib Pajak Badan Dengan Peredaran Bruto Tidak Melebihi Rp 4.8 miliar

Untuk Wajib Pajak Badan dengan peredaran bruto tidak melebihi Rp 4.8 miliar rupiah, maka
bisa langsung menggunakan tarif 12.5%. Misal :

Peredaran bruto PT XYZ pada tahun 2012 sebesar Rp 4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah)
dengan Penghasilan Kena Pajak (PKP) sebesar Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
Penghitungan PPh Terutangnya :

PPh Terutang = 50% x 25% x Rp 300.000.000

= Rp 37.500.000

2) Wajib Pajak Badan Dengan Peredaran Bruto Lebih dari Rp 4.8 miliar tetapi tidak lebih
dari Rp 50 miliar

Wajib Pajak Badan dengan peredaran bruto tidak melebihi Rp 4.8 miliar tetapi masih di bawah
Rp 50 miliar, maka ada sebagian dari Penghasilan Kena Pajaknya yang dihitung dengan tarif
12.5%, dan ada sebagian yang lain yang tetap dihitung dengan tarif 25%. Misal :

Peredaran Bruto PT ABC pada tahun 2012 sebesar Rp 48.000.000.000,00 (empat puluh miliar
rupiah) dengan Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp 4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).
Penghitungan PPh Terutangnya :

a) Hitung bagian Penghasilan Kena Pajak dari Peredaran Bruto yang mendapat fasilitas,
sebesar Rp 4.8 miliar

(Rp 4.8 miliar / Rp 48 miliar) x Rp 4 miliar = Rp 400.000.000,-

b) Hitung bagian Penghasilan Kena Pajak yang tidak mendapat frasilitas

Rp 4 miliar – Rp 400 juta = Rp 3.6 miliar


Sehingga PPh Terutang dihitung dengan :

a) 50% x 25% x Rp 400.000.000 = Rp 50.000.000

b) 25% x Rp 3.600.000.000 = Rp 900.000.000

Jumlah PPh Terutang = Rp 950.000.000

4) Peredaran bruto sebagaimana dimaksud Pasal 31E ayat (1) UU PPh merupakan semua
penghasilan yang diterima dan/atau diperoleh dari kegiatan usaha dan dari luar kegiatan
usaha, setelah dikurangi dengan retur dan pengurangan penjualan serta potongan tunai
dalam tahun pajak yang bersangkutan, sebelum dikurangi biaya untuk mendapatkan,
menagih, dan memelihara penghasilan, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari
luar Indonesia, meliputi:
a) penghasilan yang dikenai PPh Final
b) penghasilan yang dikenai PPh tidak bersifat final
c) penghasilan yang dikecualikan dari objek pajak

Anda mungkin juga menyukai