Anda di halaman 1dari 9

CARA MEMBANGUN KEMESRAAN SUAMI ISTRI DENGAN 5 PILAR

KOMUNIKASI

Setelah menikah dan memiliki anak, apakah kisah hidup kemudian  berjalan seindah
dongeng Cinderella atau Putri Salju, “live happily everafter”?  Nyatanya tidaklah
sama.  Setidaknya itu yang aku rasakan. Aku membayangkan rumah tangga yang
romantis sepanjang pernikahan. Peluk, cium, belaian sayang, kata-kata manis, dan
tatapan mata mesra penuh cinta menggelora. Ah sungguh indah!  

Pernikahan semacam itu hanya akan menjadi impian bila tak ada upaya
mewujudkannya.  Butuh kemauan kuat, dan konsistensi, termasuk juga harus tabah
menghadapi drama-drama yang menyertai upaya itu.

Mari simak perjuanganku menerapkan 5 pilar komunikasi yang kupelajari dari


training Transforming Behaviour Skill  berdasarkan ilmu Neuro Linguistic
Programming (NLP), untuk mencapai tujuan, membangun kemesraan dalam rumah
tangga.

Dulu, di masa sebelum menikah, si Akang begitu gigih dengan perhatiannya. Kami
bertemu saat sama-sama bekerja membangun corridor block gas milik salah satu oil
and gas company di tengah belantara Sumatera tahun 1997. Surat-suratnya mengalir
lancar. Goresan hati si Akang  dikirim lewat  office boy merangkap kurir surat
cinta . Kata-katanya lugas menggambarkan perasaan rindu, sayang, cinta dan hasrat
untuk selalu bersama. Mesranya  tingkat dewa! Sikapnya juga sangat manis saat
kami bertemu.

Ketika kami telah menikah, punya anak-anak, kehidupan yang nyaman dan segalanya
tampak baik-baik saja, aku merasa ada yang kurang.  Kemana perginya kemesraan
itu?

Bertahun-tahun, aktivitas sehari-hari berjalan rutin. Si Akang bekerja 2 minggu di


lapangan dan dua minggu di rumah. Sikapnya yang dulu  sangat romantis, perhatian
dan mesra kemudian menjadi cuek. Bila aku mengajak berbincang masalah pernak-
pernik rumah tangga, Akang tak terlalu menanggapi, karena menurutnya itu bukan
masalah besar.  Sementara aku sebagai ibu rumah tangga,  tak punya “masalah
besar” yang bisa kujadikan alasan untuk terlibat perbincangan hangat dengan
Akang. Rasanya tak enak, tidak bisa curhat dengan nyaman pada suami sendiri. 

Dia sibuk dengan hobinya, aku sibuk dengan anak-anak. Kami tidak bertengkar, tapi
juga tidak mesra. Biasa-biasa saja. Aku merasa  hubungan kami  hambar.

Aku mengagumi cara Tuhan membentuk diriku. Di alam pikiran, ada sosok-sosok 
yang perkataannya mempengaruhi aku dalam merespon peristiwa. Tiga sosok itu aku
visualisasikan sebagai Iwed yang sensitif, Neng yang logis, dan Dewi yang ceriwis.
Semuanya bagian dari diriku, selalu bersama, sehingga selalu terlibat dalam seluruh
peristiwa dalam hidupku. Dalam Neuro Linguistic Programming, perdebatan sisi- sisi
diri itu disebut “self talk”.

Self talk “ramai” berdebat dalam pikiran ketika aku merasa tak nyaman dengan
kondisi hubungan yang hambar ini.

1
Dewi yang ceriwis mulai  mengoceh. “Kenapa ya si Akang sekarang berubah. Kok
jarang peluk-peluk lagi. Peluknya cuma kalo lagi ada maunya saja. Gak pernah bilang
I love you lagi.  Sibuk sendiri saja dengan kamera dan motor-motornya. Apa karena
penampilanku sudah tidak menarik lagi ya. Jangan-jangan dia sudah tak cinta lagi.”

Neng menanggapi.”Jangan terlalu cepat mengambil kesimpulan. Dia betah kok di


rumah. Kalau gak cinta lagi pasti sudah sering kelayapan.Kenapa gak tanya saja
sama orangnya?”

 Maka aku pun bertanya pada Akang. 

“Kenapa sih Akang sekarang berubah? Gak mesra lagi. Apa sudah gak sayang lagi ya
sama Neng?  “  Kalimat yang terlempar dari mulutku disertai  ekspresi wajah
cemberut itu langsung menusuk Akang. Dia  meradang.

“Apaan sih, Neng. Kurang baik apalagi Akang ini. Semua penghasilan Akang buat
Neng. Sekarang malah dituduh-tuduh nggak sayang. Maunya apa? “ Sahut Akang
keras. Duh…

Bukan sekali dua kali pembicaraan sejenis itu terjadi. Sering. Hasilnya bukan
kemesraan, malah menjadi bara yang membakar hati.

Self talk-ku ribut lagi.


“Kenapa jadi begini? Inginnya mesra kok malah jadi marahan..” Suara Iwed
membuatku merasa sedih.
“Cara bertanyanya itu  salah. Salah pilih kata-katanya. Salah ekspresi mukanya.
Kamu kan sudah cukup tahu kalau adatnya si Akang itu nggak bisa dikerasin. “ Si
Neng berkata bijak. 

“Harusnya dia mengerti dong. Istri minta dimesra-mesrain, kok malah dibalas
marah.” Ucapan Dewi bagaikan kompor.

“Sekarang masalahnya apa?  Si Akang toh tidak macam-macam. Kalau dibilang dia
tidak cinta lagi, dia masih tetap menunjukkan tanggung jawab yang besar terhadap
keluarga. Dua minggu libur di rumah dia tidak kelayapan sendiri,kok. Dia tetap ada di
rumah. Jadi apa maumu sebenarnya? Kau tidak cukup puas dengan keadaan ini?”
Neng berkata dengan jalan pikirannya yang logis.

“Tidak. Aku tidak terima. Rumah tangga ini akan berlangsung selamanya, seumur
hidupku.  Dan aku tidak mau menjalani hari-hari yang biasa-biasa saja bersamanya.
Aku ingin dipandang dengan mesra, dibelai lebih sering, dicium lebih banyak, aku
membutuhkan perhatian yang konsisten. Aku rindu pada romantisme seperti yang
pernah dirasakan saat jatuh cinta dulu. Aku ingin dipuji, dimanja, sedikit dicemburui,
dan  diperhatikan bahkan untuk hal-hal kecil.” Sahut Dewi sengit.

“Jadi bagaimana? Sudah beberapa kali bicara tapi hasilnya nihil.” Iwed terdengar
lesu.

"Aku harus atur strategi untuk membuat si Akang mesra lagi. Mari  tentukan
langkah-langkahnya.” Ujar Neng mantap.

Ketiga sisi diriku telah sepakat untuk berupaya mewujudkan tujuan bersama. Untuk
mencapai tujuan itu, aku menerapkan metode dalam training Transforming Behaviour
Skill yang berdasarkan ilmu Neuro Linguistic Programming (NLP).

2
Menurut arti kata, Neuro itu adalah hal-hal yang menyangkut sistem syaraf manusia. Bagaimana manusia
menyimpan pengalaman yang di tangkap melalui panca inderanya, yaitu pendengaran, penglihatan,
penciuman, rasa dan pengecapan. Sedangkan Linguistic  mengacu pada bagaimana manusia
menuangkan perasaan, pendapat, dan reaksinya terhadap sesuatu dalam bentuk bahasa. Dalam hal ini
bisa bahasa verbal, bahasa tubuh, ekspresi wajah, dll. Sementara Programming adalah proses
pembelajaran atau bisa juga diartikan membuat program.
Jadi definisi NLP  adalah bagaimana manusia memprogram sebuah cara yang tepat dan efisien
berdasarkan  neuro dan linguistic untuk mencapai tujuannya.  Dengan kata lain, NLP adalah ilmu atau
seni kepiawaian berkomunikasi  (baik berkomunikasi dengan diri sendiri atau orang lain)  untuk
menciptakan hasil sesuai  tujuan. 
MENENTUKAN TUJUAN
Sebelumnya tentu saja aku harus menentukan terlebih dahulu tujuan yang akan dicapai. Tujuan
ditentukan dengan rumus sebagai berikut : 
a. spesifik, jelas, kapan, dimana, bagaimana
b. hasilnya bisa dirasakan, dilihat dan didengar
c. menggunakan kalimat positif
d. selaras dengan tujuan yang lebih tinggi
e. ekologis, tidak bertentangan dengan keyakinan atau lingkungan
f. sukses atau tidaknya berada ditanganku, tidak tergantung pada orang lain
Untuk lebih jelasnya, dalam hal ini aku menentukan tujuanku yaitu : Menemukan cara yang tepat untuk
mempengaruhi suami agar  bersikap mesra selama bersamaku .Yang dimaksud dengan mesra wujudnya
dengan belaian, ciuman, pelukan, kata-kata manis, tatapan mesra, yang menimbulkan rasa nyaman baik
bagi diriku maupun bagi suami.  Ukuran keberhasilan adalah bila suami sudah membalas perlakuan yang
sama, atau menunjukkan kebutuhan untuk diperlakukan demikian. 
Apakah hal ini selaras dengan tujuan yang lebih tinggi, yaitu menciptakan rumah tangga  yang penuh
dengan sakinah( tentram), mawaddah (cinta), warrahmah ( kasih sayang) ? Tentu saja. 

Apakah tujuan itu ekologis, tidak bertentangan dengan keyakinan? Tentu saja sejalan dengan keyakinan. 
Seorang istri adalah pasangan syah, dan halal bagi suaminya. Jadi tujuan itu tidak bertentangan dengan
syariah Islam yang kuyakini. 

Sukses atau tidaknya upaya ini berada di tanganku. Bila respon Akang belum sesuai tujuan, yang harus
aku lakukan adalah menemukan cara lain yang lebih  tepat untuk mempengaruhinya. 
Bila keberhasilan mencapai tujuan divisualisasikan sebagai sebuah bangunan, maka untuk mewujudkan
bangunan itu berdiri tegak dan kokoh dibutuhkan pilar-pilar penyangga. 

Dalam training Transforming Behaviour Skill, pilar-pilar kesuksesan berkomunikasi  itu adalah sebagai
berikut :
1. Selesaikan Emosi
2. Fokus pada tujuan
3. Bangun kedekatan
4. Gunakan ketajaman indera
5. Fleksibel dalam bertindak.
MENYELESAIKAN EMOSI DENGAN RE-FRAMING
Yang kulakukan selanjutnya  adalah menyelesaikan emosi. Tapi nyatanya berminggu-minggu kemudian
emosiku tak kunjung usai.  Perasaanku  terombang-ambing antara sedih, sebal, dan  marah. Hal itu
timbul karena sikap Akang yang cuek kuberi frame atau kumaknai sebagai “ tidak peduli perasaan istri”,
“tidak sayang”, atau “cinta sudah luntur”. Akibatnya rasa tidak nyaman itu makin menjadi-jadi.
“Mungkin karena kurang ilmu. Coba cari referensi. Tanya pada orang-orang yang sudah lebih
berpengalaman dalam berumah tangga. Atau cari pengetahuan dari buku, artikel atau materi lainnya
tentang rumah tangga bahagia.” Usul si Neng.

3
Bertanya pada teman-teman yang lebih senior dalam berumah tangga tak juga membuahkan hasil 
memuaskan. Kebanyakan mengatakan bahwa memang demikianlah kehidupan berumah tangga.  Tak
semanis masa pacaran dan bulan madu. Bahkan ada teman yang berkata dengan sengit. 
“Kamu itu terlalu banyak keinginan!   Harusnya ya sudah, terima saja keadaan ini. Toh suamimu tetap
bertanggung jawab, tidak selingkuh, tidak macam-macam. Kurang apa lagi?”
Pencarianku akhirnya  menemukan titik terang ketika aku membaca sebuah artikel. Menurut artikel itu,
pria yang sudah menikah berada dalam  zona nyaman. Dulu sebelum punya istri, pria harus berusaha
keras memikat hati gadis incarannya. Salah satunya dengan memberi perhatian dan bersikap romantis
supaya sang gadis terpikat dan mantap memilih sang pria  menjadi suami. Ketika sudah berumah tangga,
para suami  merasa tak perlu berupaya lagi, tak perlu bermanis-manis, bersusah-susah merayu, atau
bermesra-mesra. Toh gadis idamannya sudah ada disisinya, sudah dalam genggamannya. Dia sudah
merasa nyaman dengan kondisi ini. Suami tak lagi disibukkan dengan upaya mencari pendamping
hidup,karena itu mereka lebih fokus pada hal-hal lain seperti pekerjaan dan hobinya.
Membaca artikel itu membuat hatiku lega bukan kepalang!  Akhirnya aku menemukan makna yang
memberdayakan. Artikel itu sangat membantu aku  me-reframe atau  meletakkan makna baru pada sikap
Akang yang cuek. Prosesnya sebagai berikut: 
Frame atau makna awal yang kuletakkan pada sikap cuek Akang adalah “Akang tidak perduli, tidak
sayang, cinta sudah luntur”.  Akibat dari memaknai yang demikian itu emosi yang timbul adalah emosi
yang tidak memberdayakan seperti  marah, sedih, kecewa dan sebal. Ketika pikiran dipenuhi emosi
negatif, yang terjadi adalah respon yang terbatas pada ungkapan kekesalan dan protes yang berujung
ribut dengan Akang. Frame ini aku singkirkan. 
Kemudian  aku  me-reframe atau mengganti makna sikap cuek Akang sebagai “pria yang tengah berada
di zona nyaman”, maka emosiku langsung reda. Self talk-ku, si Dewi,  yang tadinya ribut meneriakkan
tuduhan-tuduhan negatif,  kini  tenang . Akhirnya aku  bisa menerima bahwa sikap cuek itu wajar bagi
pria yang sudah merasa nyaman dengan istrinya.
Aku   mencatat sebuah pelajaran, bahwa untuk menyelesaikan emosi, aku harus mengganti frame atau
makna yang tidak memberdayakan menjadi frame yang memberdayakan. Dan untuk menemukan frame
yang memberdayakan, aku butuh  informasi, ilmu,  dan pengetahuan. Informasi bisa datang  dari mana
saja. Fungsi dari berbagai informasi itu adalah untuk membuka wawasan yang lebih luas, peta mental
yang lebih lengkap sehingga aku punya pilihan yang lebih banyak  dan lebih baik dalam memaknai
sebuah peristiwa.
FOKUS PADA TUJUAN
Setelah emosi selesai, self talk-ku diwarnai perbincangan yang lebih nyaman.
“Sekarang mari kita pikirkan tindakan apa yang bisa kita lakukan untuk mencapai tujuan. Bagaimana
membuat Akang jadi mesra lagi.  Komunikasi verbal tampaknya belum berhasil.” Iwed membuka
percakapan. 
“Menurutku, yang harus kita lakukan bukan mengajaknya bicara. Toh sudah berkali-kali bicara hasilnya
malah ribut. Kita harus FLEKSIBEL DALAM BERTINDAK. Cari cara lain. “ Dewi menyahut.
“Ingat prinsip emosi itu menular. Kenapa tidak kita pakai cara ini? Emosi yang dimaksud adalah perasaan
jatuh cinta. Bangkitkan saja perasaan jatuh cinta yang menggebu-gebu, lalu tularkan  pada dia. Caranya
dengan melakukan tindakan lewat bahasa tubuh, sentuhan, ekspresi wajah. Kalau perlu dengan kata-
kata. Nah, mulai saja melakukan kemesraan seperti yang ingin kau dapatkan dari dia.” Usul Neng.
“Baiklah, jadi upaya  menularkan bahasa cinta pada Akang pesannya  kira-kira seperti ini : Hai, sayang.
Aku memperlakukanmu seperti ini karena aku ingin kau perlakukan aku seperti ini.” Dewi menegaskan.
Kemudian si Neng mulai merumuskan langkah-langkah yang diambil, dan satu persatu langkah-langkah
itu kulakukan.
Yang pertama adalah memeluk  dan menciumi Akang saat dia akan berangkat  beraktivitas ke luar
rumah.  

Aku ingat pertama kali melakukan hal ini, seperti drama yang menyedihkan. 
4
Dengan hati berdebar aku menunggui Akang bersiap-siap. 
“Pergi ya. “ Ujarnya.
Kemudian aku memeluknya dan menghujaninya dengan ciuman, seolah-olah ini adalah pertemuan
terakhir kami. Akang kaget.
“Apa-apan sih Neng?!” Serunya. KETAJAMAN INDERA-ku menangkap ekspresi tegang dan kaget di
wajah Akang. Tangannya refleks mendorong tubuhku menjauh. 
Duh.. rasanya campuk aduk. Perih dan terhina, ditolak suami sendiri. Marah, karena upayaku
merendahkan diri menuai reaksi penolakan. Rasanya ingin menangis dan berteriak. 
Untung saja Neng mengambil alih kendali. “ Hei, sabar! Marah boleh, sedih juga boleh. Tapi nanti.
Sekarang senyum dulu. Senyum!”
Maka aku tersenyum melepas Akang pergi, walau  hati rasanya nyut-nyut-an. Ketika Akang sudah
berlalu, kutumpahkan tangisku di kamar.  Sepanjang tangis itu, selftalk-ku ribut . 
“Kenapa reaksinya seperti itu? Kenapa dia menolakku?” Jerit Iwed.
“Dulu di awal pernikahan, dia yang menghujani aku dengan peluk dan cium. Sekarang kurendahkan
diriku laksana pengemis cinta, tapi dia  mendorongku. Laki-laki tak punya perasaan!” Pekik Dewi penuh
amarah.
“Hai, kau pikir apa yang diperjuangkan ini akan langsung berhasil? Ini baru langkah awal! Namanya juga
usaha, wajar saja kalau langkah awal belum sukses. Coba  pikir apa yang dilakukan tadi. Kau
memeluknya terus langsung nyosor menciumnya. Harusnya ada pendahuluan . Katakan sesuatu yang
manis dulu. Lakukan dengan lembut, bukan mendadak-mendadak. Pantas saja dia kaget. “ Neng
menganalisa, membuka kesadaran.
Ucapan Neng tadi meredakan kesedihan Iwed. Tapi Dewi masih protes.
“Tapi berat rasanya menekan ego. Apakah pantas merendahkan diriku sampai segitunya?”
“Lha, kau ini ingin meraih tujuan atau tidak sih? Letak salahnya dimana kalau kau merendahkan dirimu?
Dia itu suamimu. Pasangan halalmu. Dari sudut manapun tak ada salahnya kau mengemis  perhatian
dan cintanya.  Kau yang paling berhak memperoleh perhatian dan perlakuan paling manis dari dia. Upaya
ini butuh pengorbanan! Lakukan saja. Katakan pada dirimu, tidak apa-apa kau merendahkan dirimu, demi
hasil yang diharapkan. Mengerti? Jadi bagaimana ini? Mau berhenti sampai di sini, atau kita lanjutkan?
Alangkah kecil nyali dan semangatmu kalau mau berhenti sampai di sini. Mulai sekarang, mari
bersepakat. Seburuk apa pun reaksi  Akang, tampilkan senyum dan bersikaplah santai. Masalah nanti
mau sedih, mau nangis, mau marah, bahkan ingin mengamuk, lakukan dibelakang si Akang. Setelah
menumpahkan emosi, kita susun kekuatan lagi, kita cari cara lain yang lebih efektif. Ingat ya,  FOKUS
PADA TUJUAN! Emosi apa pun jangan sampai mengalihkan perhatian kita dari tujuan. Setuju??”  
Ucapan Neng itu membuat tangisku usai, hatiku jadi mantap dan lega. 

MEMBANGUN KEDEKATAN
Hal yang penting dilakukan demi mencapai tujuan adalah kembali membangun kedekatan dengan Akang.
Proses membangun kedekatan ini aku mulai melalui kegiatan penyamaan dalam berbagai aspek.
Sebisanya aku berusaha menyukai  atau minimal  terlibat dalam kegiatan yang disukai Akang. 

Akang suka fotografi. Maka meskipun pengetahuanku tentang fotografi sangat payah, aku menyediakan
diriku menjadi objek foto si Akang, atau minimal jadi asisten Akang saat hunting foto. Usulnya untuk
hunting foto kusambut dengan semangat. Aku bersedia menemaninya memotret berbagai objek. Biarpun
perananku cuma memegang reflektor  di tengah sengat matahari untuk menghasilkan foto yang lebih
baik, aku jalani dengan senang. Yang penting aku punya kegiatan bersamanya. 

Akang suka nonton. Kegiatan itu sebenarnya tak terlalu kuminati. Apalagi selera Akang tidak cocok
dengan seleraku. Akang suka film action, kadang-kadang malah film “jotos-jotosan” sampai berdarah-

5
darah.  Aku? Sukanya film drama romantis, yang dinilai Akang film picisan. Mana mau dia nonton film
kegemaranku. 
Demi terbangun kedekatan, aku rela menemani dia nonton baik di bioskop maupun di rumah. Kalau ada
adegan yang tak kusukai, aku menguatkan diriku.
“Hei, kau disini bukan buat nonton orang berantem. Jangan hiraukan filmnya. Kau di sini dalam rangka
membangun kedekatan dengan belahan jiwamu. Nikmati saja kebersamaan dengannya.”
Bila ada adegan yang tak kusukai, kualihkan pandanganku dari layar ke wajahnya.  Bila perlu aku
memeluknya, membenamkan wajah di lengannya, membelainya, bermanja-manja dan berharap aksiku
mendatangkan perasaan nyaman buat Akang.
Kadangkala aku melakukan apa yang disebut  “Gorilla Unconditional Love “. Kalau Akang terlihat sibuk,
menatap serius layar laptopnya, aku berusaha tetap berada di dekatnya meski tidak bicara. Sesekali aku 
lewat di dekatnya, membelai punggungnya, atau mencium kepalanya. Atau menyodorkan teh panas. 
Dalam hati aku berkata,” Hai sayang. Aku ada di sini untukmu dan kau boleh sibuk dengan gadgetmu.”
Dalam hal berbicara mengungkapkan perasaan pun aku menghilangkan “tirai pembatas” dengan Akang.
Aku berharap dengan cara ini terbangun kedekatan yang mendalam diantara kami. Aku mengatakan
dengan lugas apa yang kurasakan selaras dengan apa yang kupikirkan, meskipun kadang-kadang
terdengar vulgar, bodoh, bahkan konyol. Kusingkirkan semua  rasa malu, dan rasa untuk menjaga image,
atau gengsi.  Aku mengatakan kalimat yang tak pernah kuucapkan pada orang lain. Aku menampilkan
diriku apa adanya pada Akang. 
Setiap Akang akan  berangkat keluar rumah, baik ke kantor, ke lapangan,  atau pun hanya mau ke
tempat fitness, aku memeluk, mencium dan mendoakannya. Kadang-kadang disertai kata-kata manis. “
Cepat pulang ya, Neng kangen.”
Hal ini  terus aku lakukan meskipun pada saat aku sedang marah.  
Si Neng yang sibuk mengingatkan tentang hal ini. “ Hei, kalau suami mau pergi, peluk, cium dan doakan
dia. Siapa tahu ini adalah pertemuan terakhir dengannya. Umur di tangan Allah. Singkirkan dulu
marahmu, sakit hatimu. Nanti kita selesaikan emosi, setelah dia berangkat. Alangkah baiknya bila dia
berangkat setelah memandang senyum dan merasakan peluk-cium, diiringi doa-mu kan?”
Ah, aku bersyukur ada si Neng dalam diriku.
Akang suka motor besar. Dia senang touring ke tempat-tempat yang jauh. Tentang hal ini, kutantang
diriku sendiri untuk terlibat dengan kegiatan ini. 

“How far can you go to reach his heart? Berani nggak  ikut touring juga? Kalau usaha jangan setengah-
setengah. ” Tantang si Neng.

Yang protes duluan si Iwed.“Kan perjalanannya jauh, nanti capek. Mana panas lagi. Kulit bisa rusak
terbakar matahari.”
“Pake sun block dong…Dilapis lagi pake balaclava, dan full face helm. Aman kok ” Sergah Neng.
“Coba dulu saja sekali, ikut touring. Nanti kita putuskan bagaimana selanjutnya.” Usul Dewi.
Maka ketika pertama kali ikut  touring menjadi pengalaman yang sangat menyenangkan, selanjutnya aku
melakukan dengan senang hati. Kami melakukan touring ke Jogja, Dieng, Baturaden, Guci Tegal,
Bangka, Palembang, Jawa Timur dan lain-lain. Kegiatan touring ini sangat besar efeknya dalam
membangun kedekatan dengan Akang.

KETAJAMAN INDRA dan FLEKSIBEL DALAM BERTINDAK


Dengan berjalannya waktu, aku makin mengenal Akang. Aku bisa mengenali ekspresi wajah, intonasi
suara, dan bahasa tubuhnya bila dia marah,  senang, kecewa, kesal, dan sebagainya. 

6
Ketajaman indra ini membantu aku  mengenali respon Akang yang menjadi feedback dalam memperbaiki
tindakanku. Aku bisa lebih fleksibel, mengganti-ganti cara bicara atau perilakuku dengan melihat respon
Akang, sehingga aku bisa mencapai tujuanku. Ketajaman indra dan flesibel dalam bertindak ini banyak
membantu aku dalam upaya membangun kedekatan, dan tentu saja untuk mencapai tujuan.

Caranya bagaimana? Bila aku mengatakan sesuatu atau melakukan sesuatu  pada Akang, aku
memperhatikan responnya. Dengan ketajaman indera aku bisa tahu apakah respon Akang mendekatkan
aku pada tujuan atau menjauhkan aku dari tujuanku.  Kalau wajahnya jadi berubah ekspresi, misalnya
jadi manyun, alias garis bibir tertarik ke bawah, itu tandanya dia tak setuju, tak suka, atau sebal.Kalau
aku teruskan dengan upaya yang sama, bisa gagal mencapai tujuan.

Maka aku ganti cara bicaraku, atau ekspresi wajahku, atau pilih kata lain yang kedengaran lebih nyaman
di telinganya. 

Aku catat : Kalau gaya bicaraku begini, respon si Akang nggak oke. Jadi ya jangan bicara seperti itu lagi.
Ganti nada bicaranya,  perbaiki ekspresi wajah, atau bisa juga ganti cara menyampaikan topik yang ingin
dikemukakan, yang penting pesannya sampai.

Contoh : 

Aku ingin mampir ke sebuah candi saat touring ke Dieng. Jadi tujuanku : mencari cara yang tepat
mengajak Akang mampir ke candi.  Lalu aku bilang pada Akang,
"Kang, sebelum pulang ke Bogor, kita mampir ke Candi Arjuna dulu  ya?

Ekspresi wajah si Akang langsung "kencang". Garis bibirnya datar . Nada bicaranya tegas.

"Enggak. Langsung pulang aja. Nanti kita kesiangan, bisa terjebak macet di jalan. Cepetan sekarang
mandi, wudhu, shalat, packing dan berangkat pulang."

Dalam hati aku kecewa. Dada rasanya bergemuruh. Panas. Self talk ribut.

"Kenapa sih Akang nggak mengerti keinginanku? Kan aku suka bangunan kuno, yang membangkitkan
eksotisme sejarah penuh misteri berusia ratusan hingga ribuan tahun. Itu kan hebat. Kenapa sih Akang
tidak sudi meluangkan sedikit saja waktu hanya karena takut macet? Alasan yang sulit diterima! "

Nah.. Self Talk yang demikian itu bikin emosi naik. Inginnya  protes keras tapi aku ingat kunci utama 5
pillar komunikasi : selesaikan emosi, supaya bisa memikirkan solusi.

Salah satu cara menyelesaikan emosi bisa dengan sub modality editting. Dalam hal ini aku mengolah sub
modality kinestetik (rasa).  Tarik napas dalam-dalam. Rasakan panas di dalam dada, bayangkan panas
itu bentuknya seperti asap berwarna merah menyala,  buang dan lepaskan asap itu   seiring dengan
hembusan napas. Fiuuuh.... Setelah merasa lebih nyaman,  baru berpikir.

Aku sudah hafal ekspresi, nada suara si Akang dan bahasa tubuh si Akang yang demikian itu. Ketajaman
inderaku mengatakan bahwa itu artinya : Jangan coba-coba membantah! 

Dari catatan dataku, dulu kalau aku berkeras membantahnya dengan bahasa verbal dan perbedatan
frontal, maka efeknya ya wassalam😡😩😕. Kami akan ribut, dan bisa ditebak pemenangnya siapa lagi
kalau bukan si Akang. 

Jadi bagaimana? Di sinilah jurus FLEXIBEL DALAM BERTINDAK harus diberdayakan. Satu cara tidak
berhasil? Lakukan cara lain!

Dari pengalaman hidup bersama si Akang, aku tahu kalau si Akang hatinya lembut dan baik. Orang yang
hatinya baik akan mudah kasihan😁.

Maka dengan patuh aku lakukan perintahnya. Mandi, wudhu, shalat subuh, dan packing. Tapi aku

7
melakukannya dengan wajah sedih dan tak banyak bicara. Aku pasang dengan maksimal ekspresi  wajah
memelas. Wajah memelas ya.. bukan wajah cemberut. Jangan salah...Wajah memelas itu semacam
wajah orang yang menderita banget tapi nggak melawan, sejenis wajah tak berdaya😥.

Selesai berkemas, aku duduk lesu menanti Akang. Dia mengenakan sepatu dan  pelindung lutut, duduk
di dekatku. Sesekali dia mencuri pandang menatapku. Aku pura-pura tak tahu, tetap memasang wajah
menderita tapi pasrah.

"Kita lihat dulu ya Neng. Kalau candinya sudah buka, kita ke sana. Oke, Neng? " Ucap Akang lembut..

Nah.. itulah ampuhnya jurus FLEKSIBEL DALAM BERTINDAK.😍😍😍😍 


MENUAI HASIL

Setiap malam sebelum tidur, biasanya dia  akan berbaring di sisi kirinya,  membelakangiku. Lalu
terdengar dengkur halusnya. Sementara aku tenggelam dalam kekesalan, berharap ada sedikit
kemesraan sebagai pengantar tidur. Kemudian kebiasaan itu aku ubah. 
Ketika dia sudah bersiap tidur membelakangiku, aku memeluk punggungnya. Aku ajak bicara dengan
lembut sambil membelai. Lalu sebelum dia terlelap, aku menciumnya dan meminta dia membalas ciuman
itu.  Sekali dua kali reaksinya datar saja. Tak jarang dia malah mengeluh.
“Akang sudah ngantuk Neng..” Ujarnya setengah terpejam.
Maka si Neng akan tampil menguatkan diriku. “ Hei, sabar. Fokus pada tujuan. Jangan terpengaruh!” 
Kemesraan menjelang tidur ini aku lakukan dengan intens setiap malam. Aku sudah tak ingat lagi berapa
lama waktu berlalu, hingga suatu malam aku ingin mengetahui apa reaksinya bila kebiasaan memeluk
dan mencium tak kulakukan.
Akang berbaring di sisi kirinya. Aku berbaring terlentang menatap langit-langit kamar. Beberapa menit
berlalu tanpa kata. Aku sudah mulai gelisah. 
“Yaah… percuma kayaknya membiasakan peluk dan cium sebelum tidur. Kok, tidak ada efeknya ya..”
Iwed berkata dengan nada pesimis.
Sejurus kemudian, Akang membalik tubuhnya, berbaring menghadapku. Lalu tangannya bergerak,
meraihku dalam peluknya. 
Wow… Rasanya bahagia sekali!! Usahaku sudah mulai tampak hasilnya.

5 Pillar dalam upaya mewujudkan tujuan sudah aku lakukan. Sudah banyak kemajuan bila aku
bandingkan dengan tahun-tahun yang lalu.  Ukuran keberhasilanku adalah Akang sudah merespon
sesuai keinginanku. 
 Akang akan bertanya kalau sebelum dia  berangkat aku tak menunjukkan gelagat mencium, memeluk
dan bermanja-manja. 
“ Kenapa, Neng? Marah ya?” Tanyanya. Lalu Akang akan memeluk dan merayu aku.
Dengan berlalunya waktu,  upayaku  terus menerus menggempurnya dengan kemesraan telah
mendatangkan perasaan nyaman bagi Akang. 

Setiap malam sebelum tidur, dia sekarang yang meminta sesi bermanja-manja. Akang sering memintaku 
memijat-mijat, menggaruk-garuk punggungnya, atau minta dibelai. Pillow talk dengan canda dan
kemesraan juga sering kami lakukan. Dan ketika salah satu “ ritual” kemesraan tak dijumpainya, dia 
merasa ada yang kurang. Harapanku untuk melalui hari-hari manis dalam kehidupan pernikahan, bukan
hari yang biasa-biasa saja, sudah menampakan hasil.
Benarlah bila ada pepatah mengatakan bahwa hasil tak  mengkhianati usaha. Meskipun tidak ada
jaminan bahwa upayaku akan berhasil membuatku menggenggam hati Akang. Adalah Allah yang
menentukan segala upaya manusia. Teringat nasehat guruku tercinta, CikGu Okina Fitriani,  bahwa Allah

8
tidak   menilai manusia dari hasilnya, tapi Allah menilai upaya hambaNya. Sedangkan hasil berada
didalam kuasaNya. Biarlah semua upayaku ini menjadi catatan amal yang akan membantu aku kelak di
pengadilanNya. Insya Allah…

Anda mungkin juga menyukai