Anda di halaman 1dari 2

Buruk UN Guru Dicela

Oleh Toto Subandriyo


Pasca-pengumuman hasil ujian nasional lima tahun lalu, Guru Besar Universitas Gajah
Mada Riswandha Imawan (almarhum) menulis, "Seandainya dari 30 siswa suatu sekolah
dua anak tidak lulus, itu salah muridnya. Jika satu kelas tidak lulus semua, itu salah
gurunya. Namun, jika seluruh siswa dari satu atau beberapa sekolah di Tanah Air tidak lulus,
itu salah sistemnya" (Kompas, 4 Juli 2005).
Prahara ujian nasional (UN) 2005 kembali terulang. Hasil UN 2010 tingkat SMA/MA/SMK
yang diumumkan serentak 26 April 2010 menunjukkan kenyataan yang menyedihkan.
Dari 16.467 SMA/MA/SMK peserta UN tahun ini, sedikitnya 267 sekolah siswanya tidak lulus
semua (Kompas, 28/4). Pengumuman UN SMP/MTs/SMP Terbuka nyaris serupa, 561
sekolah lulus nol persen (Kompas, 7/5).
Rasa cemas sebenarnya sudah berlangsung jauh sebelum UN pada seluruh komponen
masyarakat: siswa, guru, orang tua, sekolah, pemerintah daerah. Ritual istigasah yang
digelar di beberapa daerah menjelang pelaksanaan UN adalah refleksinya. Ritual itu
sebagai wujud kepasrahan kepada Sang Pencipta setelah berbagai upaya ditempuh.
Dalam try out, masih banyak siswa yang tidalulus. Ternyata hasil try out itu cukup
mencerminkan hasil UN 2010 yang sebenarnya. Klimaksnya, prahara UN 2005 nyaris
terulang. Banyak guru schok dan banyak siswa menangis histeris. Bahkan, di Jogjakarta,
kota yang selama ini menjadi baromater pendidikan negeri ini, persentase ketidaklulusannya
justru tertinggi di Jawa.
Salah urus
Banyak suara miring menyikapi buruknya hasil UN tahun ini, salah satunya dialamatkan
kepada sosok guru. Padahal, kalau mau jujur mengakui, sistem pendidikan di republik ini
sebenarnya telah salah urus sangat parah selama bertahun-tahun. Wajah bopeng dunia
pendidikan tercermin, antara lain, pada seringnya pendidikan dijadikan proyek: mulai dari uji
coba kurikulum sampai block grant yang tidak tepat sasaran, mulai dari pengabaian
kesejahteraan guru hingga kerusakan gedung sekolah.
Presiden kedua Amerika Serikat John Adams pernah menegaskan, "Pembangunan
pendidikan rakyat jelata lebih penting dfaripada harta milik orahg-orang kaya di seluruh
negara." Tampak betapa penting arti pendidikan sebagai investasi masa depan suatu
bangsa.
Masalahnya, anggaran di Indonesia sudah sarat beban.Beban utang yang harus dibayar
pemerintah tahun-tahun lalu, misalnya, besarnya 2,8 kali anggaran pendidikan, 10,6
anggaran bidang kesehatan, dan 119 kali dari anggaran ketenagakerjaan.
Pendidikan negeri ini memang penuh ironi. Para pemimpin selalu beretorika ingin menjadi
bangsa ini besar, tetapi kurang menaruh perhatian pada pendidikan. Inilah negara dengan
jumlah mobil mewah terbanyak di Asia, tetapi sekaligus negara dengan jumlah anak-anak
usia sekolah terbesar yang tak dapat melanjutkan sekolah.
Politisasi dunia pendidikan yang berlangsung bertahun-tahun membuat sektor pendidikan
terpuruk. Akibatnya angka indeks pembangunan manusia selalu rendah, bahkan di bawah
negara-negara tetangga.
Peran guru
Beberapa tahun lalu, apresiasi terhadap sektor pendidikn negeri ini amat rendah. Salah
satunya terlihat dari penghargaan terhadap profesi guru. Maka, sosok guru pun seperti yang
digambarkan dalam lirik lagu "Oemar Bakri" karya Iwan Fals: sosok miskin yang ke mana-
mana memakai sepeda kumbang. Selama bertahun-tahun para guru dipolitisasi dan
dimarjinalkan dengan jargon heroik "pahlawan tanpa tanda jasa".
Stereotip semacam ini menjadikan para lulusan terbaik SMA nyaris tak ada yang bercita-cita
menjadi guru karena tidak menjanjikan dari sisi materi. Mengingat peran sentral guru dalam
menciptakan pemimpin-pemimpin bangsa, sudah saatnya pemerintah mengapresiasi profesi
guru.
Saatnya lulusan terbaik SMA/MA/SMK mendapat beasiswa ikatan dinas untuk melanjutkan
pendidikan ke fakultas pendidikan dan menjadi guru di almamaternya dengan imbalan gaji
dan fasilitas memadai.
Memang materi bukan satu-satunya ukuran tingkat kebahagiaan dan status sosial
seseorang. Namun, dalam era di mana materi dipuja seperti sekarang, rasanya munafik
menisbikan faktor ini.
Tanpa pembenahan sistem pendidikan yang diikuti dengan perbaikan nasib dan status
sosial para guru, putra-putri terbaik bangsa ini tidak akan pernah tertarik menekuni profesi
guru. Jika hal itu yang terjadi, fenomena involusi pendidikan yang berlangsung secara
sitemik akan menggerogoti dan membangkrutkan bangsa dan negara ini.

Anda mungkin juga menyukai