LP Fraktur Humerus
LP Fraktur Humerus
“FRAKTUR HUMERUS”
Di Ruang 20 RSUD dr.SAIFUL ANWAR MALANG
Oleh :
LAPORAN PENDAHULUAN
FRAKTUR HUMERUS
A. DEFINISI
Humerus (arm bone) merupakan tulang terpanjang dan terbesar dari
ekstremitas superior. Tulang tersebut bersendi pada bagian proksimal dengan
skapula dan pada bagian distal bersendi pada siku lengan dengan dua tulang,
ulna dan radius.
Fraktur humerus adalah hilangnya kontinuitas tulang , tulang rawan
sendi, tulang rawan epifisial baik yang bersifat total maupun parsial pada
tulang humerus.
Pada fraktur jenis ini, insidensinya meningkat pada usia yg lebih tua yang
terkait dengan osteoporosis. Perbandingan wanita dan pria adalah mekanisme
trauma pada orang dewasa tua biasa dihubungkan dengan
kerapuhan tulang (osteoporosis). Pada pasien dewasa muda, fraktur ini dapat
terjadi karena high-energy trauma, contohnya kecelakaan lalu lintas sepeda
motor. Mekanisme yang jarang terjadi antara lain peningkatan abduksi bahu,
trauma langsung, kejang, proses patologis malignansi.
Gejala klinis pada fraktur ini adalah nyeri, bengkak, nyeri tekan, nyeri
pada saat digerakkan, dan dapat teraba krepitasi. Ekimosis dapat terlihat
dinding dada dan pinggang setelah terjadi cedera. Hal ini harus dibedakan
dengan cedera toraks.
B. ETIOLOGI
Kebanyakan fraktur dapat saja terjadi karena kegagalan tulang humerus
menahan tekanan terutama tekanan membengkok, memutar, dan tarikan.
Trauma dapat bersifat:
1. Langsung
Trauma langsung menyebabkan tekanan langsung pada tulang dan
terjadi fraktur pada daerah tekanan. Fraktur yang terjadi biasanya
bersifat kominutif dan jaringan lunak ikut mengalami kerusakan.
2. Tidak langsung
Trauma tidak langsung terjadi apabila trauma dihantarkan ke daerah
yang lebih jauh dari daerah fraktur. Yang patah biasanya adalah bagian
yang paling lemah dalam jalur hantaran vektor kekerasan.
3. Kekerasan akibat tarikan otot
Patah tulang akibat tarikan otot sangat jarang terjadi. Kekuatan dapat
berupa pemuntiran, penekukan, penekukan dan penekanan, kombinasi
dari ketiganya, dan penarikan.
Tekanan pada tulang dapat berupa :
1. Tekanan berputar yang menyebabkan fraktur bersifat oblik atau spiral
2. Tekanan membengkok yang meny ebabkan fraktur transversal
3. Tekanan sepanjang aksis tulang yang dapat meny ebabkan fraktur
impaksi, dislokasi, atau fraktur dislokasi
4. Kompresi vertikal yang dapat menyebabkan fraktur kominutif atau
memecah
5. Trauma oleh karena remuk
6. Trauma karena tarikan pada ligament atau tendon akan menarik
sebagian tulang
C. KLASIFIKASI
1. Fraktur suprakondilar humerus
a. Tipe ekstensi. Trauma terjadi ketika siku dalam posisi hiperekstensi,
lengan bawah dalam posisi supinasi. Hal ini menyebabkan fraktur
pada suprakondilar, fragmen distal humerus akan mengalami dislokasi
keanterior dari fragmen proksimalnya.
b. Tipe fleksi. Trauma terjadi ketika posisi siku dalam keadaan fleksi,
sedang lengan bawah dalam keadaan pronasi. Hal ini megakibatkan
fragmen distal humerus mengalami dislokasi keposterior dari fragmen
proksimalnya.
Hal ini akan menyebabkan komplikasi jika terjadi penekanan pada arteri
brakialis yang disebut dengan iskemia volkmanss. Timbulnya sakit,
denyut arteri radialis berkurang, pucat, rasa kesemutan, dan kelumpuhan.
D. PATOFISIOLOGI
Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekeuatan dan gaya pegas
untuk menahan tekanan. Tapi apabila tekanan eksternal yang datang lebih besar
dari yang dapat diserap tulang, maka terjadilah trauma pada tulang yang
mengakibatkan rusaknya atau terputusnya kontinuitas tulang. Setelah terjadi
fraktur, periosteum dan pembuluh darah serta saraf dalam korteks, marrow, dan
jaringan lunak yang membungkus tulang rusak. Perdarahan terjadi karena
kerusakan tersebut dan terbentuklah hematoma di rongga medula tulang. Jaringan
tulang segera berdekatan ke bagian tulang yang patah. Jaringan yang mengalami
nekrosis ini menstimulasi terjadinya respon inflamasi yang ditandai denagn
vasodilatasi, eksudasi plasma dan leukosit, dan infiltrasi sel darah putih. ini
merupakan dasar penyembuhan tulang
E. PATHWAY
F. MANIFESTASI KLINIS
Secara umum tanda dan gejala fraktur yang terjadi biasanya seperti menurut
M. Clevo & Margareth, tahun 2012 :
1. Pada tulang traumatik dan cedera jaringan lunak biasanya disertai nyeri.
Setelah terjadi patah tulang terjadi spasme otot yang menambanh rasa
nyeri. Fraktur patologis mungkin tidak disertai nyeri
2. Bengkak dan nyeri tekan: edema muncul secara cepat dari lokasi dan
ekstravaksasi darah dalam jaringan yang berdekatan dengan fraktur
3. Deformitas: Daya terik kekuatan otot menyebabkan fragmen tulang
berpindah dari tempatnya perubahan keseimbangan dan contur terjadi
seperti :
i. Rotasi pemendekan tulang
ii. Penekanan tulang
4. Mungkin tampak jelas posisi tulang dan ekstermitas yang tidak alami
5. Echumosis dari Perdarahan Subculaneous
6. Spasme otot spasme involunters dekat fraktur
7. Tenderness/keempukan
8. Nyeri mungkin disebabkan oleh spasme otot berpindah tulang dari
tempatnya dan kerusakan struktur di daerah yang berdekatan.
9. Kehilangan sensasi (mati rasa, mungkin terjadi dari rusaknya
saraf/perdarahan)
10. Pergerakan abnormal
11. Shock hipovolemik hasil dari hilangnya darah
12. Krepitas
G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Laboratorium
Pada fraktur test laboratorium yang perlu diketahui : Hemoglobin,
hematokrit sering rendah akibat perdarahan, laju endap darah (LED)
meningkat bila kerusakan jaringan lunak sangat luas. Pada masa
penyembuhan Ca dan P mengikat di dalam darah.
2. Radiologi
Pada rontgen dapat dilihat gambaran fraktur (tempat fraktur, garis fraktur
(transversa, spiral atau kominutif) dan pergeseran lainnya dapat terbaca
jelas). Radiografi humerus AP dan lateral harus dilakukan. Sendi bahu
dan siku harus terlihat dalam foto. Radiografi humerus kontralateral
dapat membantu pada perencanaan preoperative. Kemungkinan fraktur
patologis harus diingat. CT-scan, bone-scan dan MRI jarang
diindikasikan, kecuali pada kasus dengan kemungkinan fraktur patologis.
Venogram/anterogram menggambarkan arus vascularisasi. CT scan
untuk mendeteksi struktur fraktur yang lebih kompleks.
H. PENATALAKSANAAN
1. Konservatif
Pada umumnya, pengobatan patah tulang shaft humerus dapat
ditangani secara tertutup karena toleransinya yang baik terhadap angulasi,
pemendekan serta rotasi fragmen patah tulang. Angulasi fragmen sampai
300 masih dapat ditoleransi, ditinjau dari segi fungsi dan kosmetik. Hanya
pada patah tulang terbuka dan non-union perlu reposisi terbuka diikuti
dengan fiksasi interna.
Dibutuhkan reduksi yang sempurna disamping imobilisasi; beban
pada lengan dengan cast biasanya cukup untuk menarik fragmen ke garis
tengah. Hanging cast dipakai dari bahu hingga pergelangan tangan dengan
siku fleksi 90° dan bagian lengan bawah digantung dengan sling disekitar
leher pasien. Cast (pembalut) dapat diganti setelah 2-3 minggu dengan
pembalut pendek (short cast) dari bahu hingga siku atau functional
polypropylene brace selama ± 6 minggu.
Pergelangan tangan dan jari-jari harus dilatih gerak sejak awal.
Latihan pendulum pada bahu dimulai dalam 1 minggu perawatan, tapi
abduksi aktif ditunda hingga fraktur mengalami union. Fraktur spiral
mengalami union sekitar 6 minggu, variasi lainnya sekitar 4-6 minggu.
Sekali mengalami union, hanya sling (gendongan) yang dibutuhkan hingga
fraktur mengalami konsolidasi.
Pengobatan non bedah kadang tidak memuaskan pasien karena pasien
harus dirawat lama. Itulah sebabnya pada patah tulang batang humerus
dilakukan operasi dan pemasangan fiksasi interna yang kokoh.
Berikut beberapa metode dan alat yang digunakan pada terapi
konservatif:
a. Hanging cast
Indikasi penggunaan meliputi pergeseran shaft tengah fraktur humerus
dengan pemendekan, terutama fraktur spiral dan oblik. Penggunaan
pada fraktur transversa dan oblik pendek menunjukkan kontraindikasi
relatif karena berpotensial terjadinya gangguan dan komplikasi pada
saat penyembuhan. Pasien harus mengangkat tangan atau setengah
diangkat sepanjang waktu dengan posisi cast tetap untuk efektivitas.
Seringkali diganti dengan fuctional brace 1-2 minggu pasca trauma.
Lebih dari 96% telah dilaporkan mengalami union.
b. Coaptation splint
Diberikan untuk efek reduksi pada fraktur tapi coaptation splint
memiliki stabilitas yang lebih besar dan mengalami gangguan lebih
kecil daripada hanging arm cast. Lengan bawah digantung dengan
collar dan cuff. Coaptation splint diindikasikan pada terapi akut
fraktur shaft humerus dengan pemendekan minimal dan untuk jenis
fraktur oblik pendek dan transversa yang dapat bergeser dengan
penggunaan hanging arm cast. Kerugian coaptation splint meliputi
iritasi aksilla, bulkiness dan berpotensial slippage. Splint seringkali
diganti dengan fuctional brace pada 1-2 minggu pasca trauma.
c. Thoracobranchial immobilization (velpeu dressing)
Biasanya digunakan pada pasien lebih tua dan anak-anak yang tidak
dapat ditoleransi dengan metode terapi lain dan lebih nyaman jadi
pilihan. Teknik ini diindikasikan untuk pergeseran fraktur yang
minimal atau fraktur yang tidak bergeser yang tidak membutuhkan
reduksi. Latihan pasif pendulum bahu dapat dilakukan dalam 1-2
minggu pasca trauma.
I. KOMPLIKASI
Komplikasi awal
1. Kerusakan arteri: pecahnya arteri karena trauma bisa di tandai dengan
tidak adanya nadi, CRT menurun, cianosis bagian distal, hematoma yang
lebar dan dingin pada ekstermitas
2. Kompartement syndrom
Merupakan komplikasi serius yang terjadi karena terjebaknya otot, tulang,
saraf, dan pembuluh darah dalam jaringan parut.
3. Fat embolism syndrom
Yang paling sering terjadi pada fraktur tulang panjang. Terjadi karena sel-
sel lemak yang dihasilkan bone marrow kuning masuk kealiran darah dan
menyebabkan tingkat oksigen dalam darah rendah yang ditandai dengan
gangguan pernafasan, takikardi, hipertensi, tachypnea, demam
4. Infeksi: jika sistem pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan.
5. Avaskuler nekrosis
Terjadi karena aliran darah ke tulang rusak atau terganggu yang bisa
menyebabkan nekrosis tulang
6. Shock: karena kehilangan banyak darah
1. Delayed union
Kegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai dengan waktu yang dibutuhkan
tulang untuk menyambung karena penurunan suplai darah ke tulang.
2. Nonunion
Merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi dan memproduksi
sambungan yang lengkap, kuat, dan stabil setelah 6-9 bulan. Ditandai
dengan pergerakan yang berlebih pada sisi fraktur yang membentuk sendi
palsu atau pseudoarthritis. Ini juga disebabkan karena aliran darah yang
kurang.
3. Malunion
Penyembuhan tulang yang ditandai dengan meningkatnya tingkat kekuatan
dan perubahan bentuk (deformitas). Malunion dilakukan dengan
pembedahan dan reimmobilisasi yang baik.
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
A. PENGKAJIAN
1. Identitas Klien
Lakukan pengkajian pada identitas klien dan isi identitasnya yang
meliputi: nama, jenis kelamin, suku bangsa, tanggal lahir, alamat, agama,
dan tanggal pengkajian serta siapa yang bertanggung jawab terhadap klien
2. Keluhan utama
Penderita biasanya mengeluh nyeri.
3. Riwayat kesehatan
a. Riwayat kesehatan dahulu
Pada klien fraktur pernah mengalami kejadian patah tulang apa pernah
mengalami tindakan operasi apa tidak.
b. Riwayat kesehatan sekarang
Pada umumnya penderita mengeluh nyeri pada daerah luka (pre/post
op).
c. Riwayat kesehatan keluarga
Didalam anggota keluara tidak / ada yang pernah mengalami penyakit
fraktur / penyakit menular.
4. Keadaan umum
Kesadaran: compos mentis, somnolen, apatis, sopor koma dan koma dan
apakah klien paham tentang penyakitnya.
5. Pengkajian Kebutuhan Dasar
a. Rasa nyaman/nyeri
Gejala : nyeri berat tiba-tiba pada saat cedera (mungkin terlokalisasi
pada area jaringan/kerusakan tulang, dapat berkurang pada
imobilisasi), tidak ada nyeri akibat kerusakan saraf.
Spasme/kram otot (setelah imobilisasi)
b. Nutrisi
Pada klien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi melebihi kebutuhan
sehari-harinya seperti kalsium, zat besi, protein, vit. C dan lainnya
untuk membantu proses penyembuhan tulang. Evaluasi terhadap pola
nutrisi klien bisa membantu menentukan penyebab masalah
muskuloskeletal dan mengantisipasi komplikasi dari nutrisi yang tidak
adekuat terutama kalsium atau protein dan terpapar sinar matahari
yang kurang merupakan faktor predisposisi masalah muskuloskeletal
terutama pada lansia. Selain itu juga obesitas juga menghambat
degenerasi dan mobilitas klien.
c. Kebersihan Perorangan
Klien fraktur pada umumnya sulit melakukan perawatan diri.
d. Cairan
Perdarahan dapat terjadi pada klien fraktur sehingga dapat
menyebabkan resiko terjadi kekurangan cairan.
e. Aktivitas dan Latihan
Kehilangan fungsi pada bagian yang terkena dimana Aktifitas dan
latihan mengalami perubahan/gangguan akibat adanya luka sehingga
perlu dibantu.
f. Eliminasi
Untuk kasus fraktur tidak ada gangguan pada pola eliminasi, tapi
walaupun begitu perlu juga dikaji frekuensi, konsistensi, warna serta
bau feces pada pola eliminasi alvi. Sedangkan pada pola eliminasi urin
dikaji frekuensi, kepekatannya, warna, bau, dan jumlah. Pada kedua
pola ini juga dikaji ada kesulitan atau tidak.
g. Tidur dan Istirahat
Semua klien fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan gerak, sehingga
hal ini dapat mengganggu pola dan kebutuhan tidur klien. Selain itu
juga, pengkajian dilaksanakan pada lamanya tidur, suasana
lingkungan, kebiasaan tidur, dan kesulitan tidur serta penggunaan obat
tidur
h. Neurosensory
Biasanya klien mengeluh nyeri yang disebabkan oleh adanya
kerusakan jaringan lunak dan hilangnya darah serta cairan seluler ke
dalam jaringan.
Gejala : Kesemutan, Deformitas, krepitasi, pemendekan, kelemahan.
i. Keamanan
Tanda dan gejala : laserasi kulit, perdarahan, perubahan warna,
pembengkakan local
j. Seksualitas
Dampak pada klien fraktur yaitu, klien tidak bisa melakukan
hubungan seksual karena harus menjalani rawat inap dan keterbatasan
gerak serta rasa nyeri yang dialami klien. Selain itu juga, perlu dikaji
status perkawinannya termasuk jumlah anak, lama perkawinannya.
k. Keseimbangan dan Peningkatan Hubungan Resiko serta Interaksi
Sosial
Psikologis : gelisah, sedih, terkadang merasa kurang sempurna.
Sosiologis : komunikasi lancar/tidak lancar, komunikasi
verbsl/nonverbal dengan orang terdekat/keluarga, spiritual tak/dibantu
dalam beribadah.
B. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri akut yang berhubungan dengan pergerakan fragmen tulang,
kompresi saraf, cedera neuromuscular, trauma jaringan, dan reflex
spasme otot sekunder.
2. Hambatan mobilitas fisik yang berhubungan dengan diskontinuitas
jaringan tulang, nyeri sekunder akibat pergerakan fragmen tulang.
3. Risiko tinggi infeksi yang berhubungan dengan adanya port de entrée
luka operasi pada lengan atas.
4. Deficit perawatan diri berhubungan dengan kelemahan neuromuscular
dan penurunan kekuatan lengan atas.
5. Ansietas berhubungan dengan krisis situasional, akan menjalani operasi,
status ekonomi, dan perubahan fungsi peran.
3. Dx: Risiko tinggi infeksi yang berhubungan dengan adanya port de entrée
luka operasi pada lengan atas.
Tujuan: infeksi tidak terjadi selama perawatan.
Kriteria hasil: klien mengenal factor risiko, mengenal tindakan
pencegahan/mengurangi factor risiko infeksi, dan
menunjukan/mendemonstrasikan teknik-teknik untuk meningkatkan
lingkungan yang aman.
Intervensi:
1) Kaji dan monitor luka operasi setiap hari.
Rasional :mendeteksi secara dini gejala-gejala inflamasi yang mungkin
timbul secara sekunder akibat adanya luka pasca operasi.
2) Lakukan perawatan luka secara steril.
Rasional: teknik perawatan luka secara steril dapat mengurangi
kontaminasi kuman.
3) Pantau/batasi kunjungan.
Rasional :mengurangi risiko kontak infeksi dari orang lain.
4) Bantu perawatan diri dan keterbatasan aktivitas sesuai toleransi. Bantu
program latihan.
Rasional: menunjukan kemampuan secara umum, kekuatan otot, dan
merangsang pengembalian system imun.
5) Berikan antibiotic sesuai indikasi.
Rasional: satu atau beberapa agens diberikan yang bergantung pada
sifat pathogen dan infeksi yang terjadi.
Adi Mahartha Gde Rastu, Dkk. 2013. Manajemen Fraktur Pada Trauma
Muskuloskeletal. Fakultas Kedokteran Universitas
Udayana.http://download.portalgaruda.org/article.php?
article=14484&val=970diakses senin 28-12-2-15 (12:20)