Anda di halaman 1dari 10

Asy-Syaja’ah (Keberanian)

Ditinjau dari segi bahasa, disebutkan dalam Qamus Mu’jamul Wasith dan Al-Lughatul
‘Arabiyyah Al-Mu’ashirah, pengertian syaja’ah diantaranya adalah:

ِ ْ‫الجأ‬
‫ش‬ ِ ْ‫ب ِع ْن َد اليَأ‬
َ َ‫ َربَاطَة‬، ‫س‬ ِ ، ً‫أَ ْظ َه َر قُ َّوةً َو ُج ْرأَة‬
ِ ‫ش َّدةَ القَ ْل‬
“Nampaknya quwwah (kekuatan) dan jur’ah (keberanian, kegagahan, ketekunan); kekuatan hati
dalam menghadapi keputusasaan; tenang, sabar, menguasai diri.”

َ ‫ ومجابهة‬، ‫ق ّوة معنويّة تم ِّكن اإلنسان من مقاومة ال ِم َحن‬


‫ وتدفعه إلى العمل بحزم‬, ‫الخطر أو األلم‬

“Kekuatan jiwa yang mengokohkan seorang manusia dalam melawan al-mihan (cobaan,
bencana, musibah, kesengsaraan, kemalangan); serta menghadapi al-khathar (bahaya, resiko,
kesulitan) atau kepedihan; juga menggerakkan/mendorong diri kepada suatu amal disertai tekad
yang kuat.”

‫ب في البأْس‬
ِ ‫ش ّدةُ القَ ْل‬
ِ
“Kekuatan hati dalam menghadapi ketakutan/kengerian terhadap sesuatu.” [1]

Adapun yang dimaksud dengan syaja’ah dalam pembahasan ini adalah keberanian, kekuatan
tekad, ketekunan, ketenangan, dan kesabaran seorang muslim, terlebih lagi seorang aktivis
dakwah, dalam menetapi kebenaran dan amal shalih yang diridhoi Allah Ta’ala meskipun harus
berhadapan dengan cobaan, musibah, kesengsaraan, bahaya, resiko, dan kepedihan.

Syaja’ah dan Istiqamah

Maka hakikatnya, syaja’ah (keberanian) adalah salah satu pembuktian dari sikap istiqomah yang
diperintahkan oleh Allah Ta’ala dan rasul-Nya kepada setiap hamba-hamba-Nya.

Allah Ta’ala berfirman,

‫صير‬ َ ‫ستَقِ ْم َك َما أُ ِم ْرتَ َو َمنْ ت‬


ِ َ‫َاب َم َع َك َواَل تَ ْط َغ ْوا إِنَّهُ بِ َما تَ ْع َملُونَ ب‬ ْ ‫فَا‬

“Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga)
kepada orang yang telah taubat beserta kamu dan janganlah kamu melampaui batas.
Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS. Huud, 11: 112)

Dari Abu Amr, -ada juga yang mengatakan- Abu ‘Amrah, Sufyan bin Abdillah Ats-Tsaqofi
radhiallahu anhu dia berkata,

ْ ‫ قُ ْل آ َم ْنتُ بِاهللِ ثُ َّم ا‬: ‫ قَا َل‬. ‫سأ َ ُل َع ْنهُ أَ َحداً َغ ْي َر َك‬
‫ستَقِ ْم‬ ْ َ‫سالَ ِم قَ ْوالً الَ أ‬
ْ ‫س ْو َل هللاِ قُ ْل لِي فِي ْا ِإل‬
ُ ‫ يَا َر‬: ُ‫قُ ْلت‬
“Saya bertanya (kepada Rasulullah), ‘Wahai Rasulullah katakan kepada saya tentang Islam
sebuah perkataan yang tidak saya tanyakan kepada seorangpun selainmu’. Beliau menjawab,
‘Katakanlah, saya beriman kepada Allah, kemudian beristiqomah-lah’”. (HR. Muslim)

Contoh nyata syaja’ah ditunjukkan oleh orang-orang beriman sebagaimana diceritakan di dalam
surat Al-Buruuj yang dimasukkan ke dalam parit dan dibakar oleh as-habul ukhdud hanya karena
mereka menyatakan keimanannya. Begitu pula Asiah, istri Firaun dan Masyitah, pelayan Firaun,
kedua-duanya harus menebus keimanan mereka kepada Allah dengan nyawa mereka. Asiah di
tiang penyiksaannya dan Masyitah di kuali panas mendidih beserta seluruh keluarganya karena
mereka berdua tak sudi menuhankan Fir’aun.

Syaja’ah Mengokohkan Izzah

Antonim dari as-syaja’ah adalah al-jubn (pengecut). Sikap seperti itu adalah sikap tercela
sebagaimana ditegaskan di dalam hadits,

‫سلَّ َم يَقُو ُل ش َُّر َما فِي‬


َ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو‬
َ ِ ‫سو َل هَّللا‬ َ ‫س ِم ْعتُ أَبَا ُه َر ْي َرةَ يَقُو ُل‬
ُ ‫س ِم ْعتُ َر‬ َ ‫عَنْ َع ْب ِد ا ْل َع ِزي ِز ْب ِن َم ْر َوانَ قَا َل‬
‫َر ُج ٍل ش ٌُّح هَالِ ٌع َو ُجبْنٌ َخالِ ٌع‬

Dari Abdul ‘Aziz bin Marwan, ia berkata; saya mendengar Abu Hurairah berkata; saya
mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Seburuk-buruk sifat yang ada
pada seseorang adalah sifat pelit yang sangat pelit dan sifat pengecut yang sangat pengecut”
(HR. Abu Dawud)[2]

Sifat pengecut yang berbahaya terutama adalah pengecut dalam berkomitmen terhadap
kebenaran, karena takut celaan manusia; takut kehilangan harta dunia; atau takut terhadap
berbagai resiko perjuangan. Jika ini yang terjadi, maka bersiaplah menerima kehinaan!

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫ “بَ ْل اِنَّ ُك ْم‬:‫س ْو َل هللاِ؟ قَا َل‬


ُ ‫ص َعتِ َها” اَ َو ِمنْ قِلَّ ٍة بِنَا يَ ْو َمئِ ٍذ يَا َر‬ ْ َ‫ش ُك أَنْ تَدَاعَى َعلَ ْي ُكم األُ َم ُم َك َما تَدَاعَى األَ َكلَةُ إِلَى ق‬ ِ ‫يُ ْو‬
‫“ح ُّب ال ُد ْنيَا‬ ُ :‫س ْو َل هّللا ِ ؟ قَا َل‬ َ ‫ َولَ ِكنَّ ُك ْم ُغثَا ٌء َك ُغثَا ِء ال‬، َ‫َي ْو َمئِ ٍذ َكثِ ْي ُر ْون‬
ُ ‫ َو َما ا ْل َوهْنُ يَا َر‬:‫ َوقَ ْد نَ َز َل ِب ُك ُم ا ْل َوهْنُ ” قِ ْي َل‬،‫س ْي ِل‬
ِ ‫َو َك َرا ِهيَةُ ا ْل َم ْو‬
‫ت‬

“Kamu akan diperebutkan oleh bangsa-bangsa lain sebagaimana orang-orang berebut melahap
isi mangkok.” Para sahabat bertanya: “Apakah saat itu jumlah kami sedikit ya Rasulullah?”
Beliau menjawab: “Tidak, bahkan saat itu jumlah kalian banyak sekali tetapi seperti buih air
bah dan kalian ditimpa penyakit wahn.” Mereka bertanya lagi: “Apakah penyakit wahn itu ya
Rasulullah?” Beliau menjawab: “Terlalu cinta dunia dan takut kepada mati” (HR. Abu Daud).

Tercabutnya sifat syaja’ah dalam diri umat ini akan menyebabkan mereka kehilangan izzah
(wibawa, kehormatan, dan kemuliaan). Maka mereka harus selalu berani bersikap dan
menghindari sifat imma’ah (ikut-ikutan), apalagi jika didasari rasa takut di dalam menegakkan
kebenaran.
ْ‫ظلَ ُموا ظَلَ ْمنَا َولَ ِكن‬
َ ْ‫سنَّا َوإِن‬َ ‫اس أَ ْح‬
ُ َّ‫سنَ الن‬َ ‫ « الَ تَ ُكونُوا إِ َّم َعةً تَقُولُونَ إِنْ أَ ْح‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ِ ‫سو ُل هَّللا‬
ُ ‫قَا َل َر‬
َ َ‫سنُوا َوإِنْ أ‬
‫سا ُءوا فَالَ تَ ْظلِ ُموا‬ ِ ‫اس أَنْ ت ُْح‬
ُ َّ‫سنَ الن‬ َ ‫س ُك ْم إِنْ أَ ْح‬
َ ُ‫» َوطِّنُوا أَ ْنف‬.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kamu menjadi orang yang ikut-
ikutan, yang berkata: ‘Bila orang melakukan kebaikan maka aku pun melakukannya. Namun
bila orang melakukan keburukan maka aku pun ikut melakukannya juga.’ Akan tetapi
tempatkanlah diri kalian! Jika orang melakukan kebaikan maka kamu pun melakukannya.
Namun jika orang melakukan keburukan maka (tinggalkan sikap buruk mereka) jangan kamu
berbuat zalim.” (HR. Tirmidzi).

Maka peganglah kebenaran itu dengan penuh keberanian.

َ‫َواَل تَ ِهنُوا َواَل ت َْح َزنُوا َوأَ ْنتُ ُم اأْل َ ْعلَ ْونَ إِنْ ُك ْنتُ ْم ُمؤْ ِمنِين‬

“Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah
orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman.” (QS. Ali
Imran: 139)

Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam mengajarkan kepada kita do’a untuk berlindung dari sifat
pengecut dan lemah,

‫ال‬ ِّ ‫ َوقَ ْه ِر‬، ‫ح ال َّد ْي ِن‬


ِ ‫الر َج‬ َ َ‫ َوف‬، ‫ َوا ْل ُج ْب ِن‬، ‫ َوا ْلبُ ْخ ِل‬، ‫س ِل‬
ِ ‫ض‬ ِ ‫ َوا ْل َحز‬، ‫اللَّ ُه َّم أَعُو ُذ بِ َك ِمنَ ا ْل َه ِّم‬
َ ‫ َوا ْل َك‬، ‫ َوا ْل َع ْج ِز‬، ‫َن‬

“Ya Allah aku memohon perlindungan dari kegelisahan, kesedihan, dari kelemahan dan
kemalasan, dari sifat bakhil dan pengecut, dari beban hutang dan penindasan oleh orang-
orang” (HR. At Tirmidzi).

Da’aimus Syaja’ah (Benteng-benteng Keberanian)

Pertama, al-imanu bil ghaib (Iman kepada yang ghaib).

Yakni yakin terhadap pertolongan Allah Ta’ala,

ُ ‫ب لَ ُك ْم َوإِنْ يَ ْخ ُذ ْل ُك ْم فَ َمنْ َذا الَّ ِذي يَ ْن‬


َ‫ص ُر ُك ْم ِمنْ بَ ْع ِد ِه َو َعلَى هَّللا ِ فَ ْليَتَ َو َّك ِل ا ْل ُمؤْ ِمنُون‬ َ ِ‫ص ْر ُك ُم هَّللا ُ فَاَل َغال‬
ُ ‫إِنْ يَ ْن‬

“Jika Allah menolong kamu, maka tak adalah orang yang dapat mengalahkan kamu; jika Allah
membiarkan kamu (tidak memberi pertolongan), maka siapakah gerangan yang dapat menolong
kamu (selain) dari Allah sesudah itu? Karena itu hendaklah kepada Allah saja orang-orang
mu’min bertawakkal.” (QS. Ali Imran, 3: 160)

Yakin pula terhadap segala ketentuan Allah Ta’ala,

ْ ‫س َك بِ َخ ْي ٍر فَ ُه َو َعلَى ُك ِّل ش‬
‫َي ٍء قَ ِدي ٌر‬ ِ ‫ض ٍّر فَاَل َك‬
َ ‫اشفَ لَهُ إِاَّل ُه َو َوإِنْ َي ْم‬
ْ ‫س‬ ُ ِ‫س َك هَّللا ُ ب‬
ْ ‫س‬
َ ‫َوإِنْ َي ْم‬
“Dan jika Allah menimpakan sesuatu kemudharatan kepadamu, maka tidak ada yang
menghilangkannya melainkan Dia sendiri. Dan jika Dia mendatangkan kebaikan kepadamu,
maka Dia Maha Kuasa atas tiap-tiap sesuatu.” (QS. Al-An’am, 6: 17)

ِ َ‫ب ِمنْ قَ ْب ِل أَنْ نَ ْب َرأَهَا إِنَّ َذلِ َك َعلَى هَّللا ِ ي‬


‫سي ٌر‬ ِ ُ‫ض َواَل فِي أَ ْنف‬
ٍ ‫س ُك ْم إِاَّل فِي ِكتَا‬ ِ ‫صيبَ ٍة فِي اأْل َ ْر‬
ِ ‫اب ِمنْ ُم‬
َ ‫ص‬َ َ‫َما أ‬

“Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri
melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya.
Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (QS. Al-Hadid, 57: 22)

Keyakinan seperti ini menanamkan keberanian dalam diri seorang muslim. Keberanian karena
iman dan bertawakkal kepada-Nya. Sebagaimana pengalaman nyata seorang aktivis dakwah
tatkala di atas kepalanya ditodongkan pistol. Lalu sang algojo berkata, “Mana Tuhanmu, apakah
ia bisa menyelamatkan kamu kalau pelatuk pistol ini kugerakkan? Dan hancurlah batok
kepalamu berkeping-keping.” Aktivis dakwah itu menjawab, “Bila Tuhanku tidak mengizinkan
pistol itu meledak maka aku tidak akan mati. Atau kalaupun pistol itu meledak namun Tuhanku
tidak menetapkan aku mati maka aku pun tidak akan mati.” Jawaban ini sebagai jawaban atas
keyakinan pada Yang Ghaib, yakni Allah Ta’ala.

Kedua, al-mujahadatu ‘alal khauf (menaklukkan rasa takut).

Rasa takut pada dasarnya adalah sesuatu yang manusiawi (thabi’i). Seperti takut terbakar,
tenggelam, terjatuh di mangsa binatang buas dan lain sebagainya. Namun rasa takut semacam itu
harus berada di bawah khauf syar’i yakni takut kepada Allah Ta’ala. Sehingga setiap kader
dakwah sepatutnya menaklukkan rasa takut thabi’i-nya dengan mengkedepankan rasa takut
kepada Rabbbul Izzati. Dengan begitu mereka akan ringan dalam mengarungi perjuangan
dakwah, tidak maju mundur lantaran ketakutan-ketakutan yang ada pada dirinya. Mereka
menyadari bahwa sikap mujahadah—upaya perlawanan terhadap rasa takut—adalah bagian dari
pembuktian kesungguhan dalam taat dan keimanan.

Renungkanlah firman Allah Ta’ala berikut ini,

َ ‫سى أَنْ ت ُِحبُّوا‬


ُ ‫ش ْيئًا َو ُه َو ش ٌَّر لَ ُك ْم َوهَّللا‬ َ ‫ش ْيئًا َو ُه َو َخ ْي ٌر لَ ُك ْم َو َع‬ َ ‫سى أَنْ تَ ْك َرهُوا‬
َ ‫ب َعلَ ْي ُك ُم ا ْلقِتَا ُل َو ُه َو ُك ْرهٌ لَ ُك ْم َو َع‬
َ ِ‫ُكت‬
َ ْ َ َ
َ‫يَ ْعل ُم َوأنتُ ْم اَل تَ ْعل ُمون‬

“Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci.
Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu
menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak
mengetahui.” (QS. Al-Baqarah, 2: 216)

َ‫صابِ ُروا َو َرابِطُوا َواتَّقُوا هَّللا َ لَ َعلَّ ُك ْم تُ ْفلِ ُحون‬ ْ ‫َيا أَ ُّي َها الَّ ِذينَ آ َمنُوا‬
َ ‫اصبِ ُروا َو‬

“Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah
bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah, supaya kamu
beruntung.” (QS. Ali Imran, 3: 200)
Ketiga, kesadaran terhadap pentingnya tauritsul khairiyyah (pewarisan kebaikan).

Jika menginginkan generasi penerus kita menjadi generasi pemberani,  maka wariskanlah sifat
berani itu kepada mereka dengan cara memberikan keteladanan. Abul Ala Al Maududi
menegaskan bahwa untuk mewariskan keturunan dan generasi yang lebih baik maka jangan
lakukan sifat-sifat rendahan. Karena itu akan menjadi contoh bagi mereka. Ingatlah, kebaikan
akan mewariskan kebaikan dan keburukan akan mewarisi keburukan pula.

Keempat, as-shabru ‘ala at-tha’ah (bersabar dalam ketaatan).

Kokohnya syaja’ah ditopang oleh kesabaran. Tanpa kesabaran, syaja’ah hanya akan menjadi
luapan emosi semata. Harus disadari, manakala syaja’ah ditegakkan, maka di hadapan kita pasti
akan segera muncul tantangan, ujian, dan cobaan. Oleh karena itu mantapkanlah kesabaran kita:
dalam berjuang, dalam menghadapi ujian dan godaan, dalam beribadah dan bergaul di tengah-
tengah umat.

Sungguh, tantangan kita belumlah seberapa dibanding generasi terdahulu yang bersabar dalam
agamanya. Hadits dari Khabab, ia berkata:

‫ع هَّللا َ تَبَا َر َك‬ُ ‫سو َل هَّللا ِ ا ْد‬ُ ‫سدًا بُ ْر َدةً لَهُ فَقُ ْلنَا يَا َر‬ ِّ ‫سلَّ َم َو ُه َو فِي ِظ ِّل ا ْل َك ْعبَ ِة ُمتَ َو‬َ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو‬
َ ِ ‫سو َل هَّللا‬ ُ ‫أَتَ ْينَا َر‬
‫اح َم َّر لَ ْونُهُ أَ ْو تَ َغيَّ َر فَقَا َل لَقَ ْد َكانَ َمنْ َكانَ قَ ْبلَ ُك ْم يُ ْحفَ ُر لَهُ ُح ْف َرةٌ َويُ َجا ُء بِا ْل ِم ْنشَا ِر‬ ْ َ‫ص ْرهُ قَا َل ف‬ ِ ‫ستَ ْن‬
ْ ‫َوتَ َعالَى لَنَا َوا‬
ُ‫ص ِرفُه‬ ْ ‫ب َما َي‬ ٍ ‫ص‬ َ ‫َاط ا ْل َح ِدي ِد َما دُونَ َع ْظ ٍم ِمنْ لَ ْح ٍم أَ ْو َع‬ ِ ‫شطُ ِبأ َ ْمش‬ َ ‫ص ِرفُهُ عَنْ ِدينِ ِه َويُ ْم‬ْ َ‫ق َما ي‬ َ ُ‫س ِه فَي‬
ُّ ‫ش‬ ِ ‫ض ُع َعلَى َر ْأ‬ َ ‫فَيُو‬
َ ‫ض َر َم ْوتَ اَل يَ ْخشَى إِاَّل هَّللا‬ ْ ‫ص ْن َعا َء إِلَى َح‬ َ َ‫ب َما بَيْن‬ ُ ‫سي َر ال َّرا ِك‬ َ َ
ِ َ‫عَنْ ِدينِ ِه َولَيُتِ َّمنَّ هَّللا ُ تَبَا َر َك َوتَ َعالَى َهذا اأْل ْم َر َحتَّى ي‬
َ
َ‫ْب َعلَى غنَ ِم ِه َولَ ِكنَّ ُك ْم تَ ْع َجلُون‬ ِّ ‫تَ َعالَى َو‬
َ ‫الذئ‬

“Kami mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika beliau berada di dekat
ka’bah dengan selimut musim dinginnya, kami bertanya, ‘Wahai Rasulullah, berdo’alah kepada
Allah untuk kami dan mintalah tolong padanya!’ Khabab berkata, ‘Maka wajah Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam berubah merah. Beliau lalu bersabda: ‘Sungguh telah berlalu pada
orang-orang sebelum kalian seorang yang digalikan lubang untuknya, lalu diletakkan gergaji di
atas kepalanya hingga membelahnya, namun hal itu tidak merubah keyakinannya. Ada yang
disisir dengan sisir besi panas hingga terkoyak dagingnya, namun itu tidak mengubah dari
agamanya. Dan sungguh, benar-benar Allah Tabaaraka Wa Ta’ala akan menyempunakan
urusan (agama) ini hingga ada seorang pengendara berjalan dari Shan’a menuju Hadarmaut
dalam keadaan tidak takut kepada siapa pun kecuali kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, atau
kawatir kambingnya akan dimakan serigala. Akan tetapi kalian terburu-buru.” (HR. Ahmad)

Kelima, keyakinan terhadap al-ajru minallah (pahala dari Allah Ta’ala).

Mengharap pahala dan keridhoan Allah Ta’ala membuat seorang muslim menjadi pemberani,
dan terus memompa semangat dan komitmennya dalam beramal dan berjuang.

ِ ‫ستَقَا ُموا تَتَنَ َّز ُل َعلَ ْي ِه ُم ا ْل َمالئِ َكةُ أَال ت ََخافُوا َوال ت َْح َزنُوا َوأَ ْب‬
‫ش ُروا بِا ْل َجنَّ ِة الَّتِي ُك ْنتُ ْم‬ ْ ‫إِنَّ الَّ ِذينَ قَالُوا َربُّنَا هَّللا ُ ثُ َّم ا‬
َ‫تُو َعدُون‬
“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: ‘Tuhan kami ialah Allah’ kemudian mereka
meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan
mengatakan): ‘Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih; dan
bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu’”. (QS.
Al-Fushilat, 41: 30)

Hal ini tergambar dalam hadits yang diriwayatkan Al-Hakim dalam Mustadraknya (no. 2421)
dari hadits Basyir bin al-Khashashiyyah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: “Aku pernah
mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam  untuk berbai’at masuk Islam. Maka beliau
mensyaratkan kepadaku,

َ‫ضانَ َوتُ َؤدِّي ال َّز َكاةَ َوت َُح َّج ا ْلبَيْت‬ ُ َ‫ َوت‬، ‫س‬
َ ‫ص ْو ُم َر َم‬ َ ‫صلِّي ا ْل َخ ْم‬
َ ُ‫س ْولُهُ َوت‬ُ ‫ش َه ُد أَنْ اَّل إِلَهَ إِاَّل هللاُ َوأَنَّ ُم َح َّمدًا َع ْب ُدهُ َو َر‬
ْ َ‫ت‬
ِ‫سبِ ْي ِل هللا‬
َ ‫َوت َُجا ِه ُد فِي‬

‘Engkau bersaksi  tiada tuhan (yang berhak disembah) selain Allah dan Muhammad adalah
hamba dan utusan-Nya, engkau shalat lima waktu, berpuasa Ramadhan, mengeluarkan zakat,
berhaji ke Baitullah, dan berjihad di jalan Allah.’

Dia melanjutkan, “Aku berkata: ‘Wahai Rasulullah, ada dua yang aku tidak mampu; Yaitu zakat
karena aku tidak memiliki sesuatu kecuali sepuluh dzaud (sepuluh ekor unta) yang merupakan
titipan dan kendaraan bagi keluargaku. Sedangkan jihad, orang-orang yakin bahwa yang lari
(ketika perang) maka akan mendapat kemurkaan dari Allah, sedangkan aku takut jika ikut
perang lalu aku takut mati dan ingin (menyelamatkan) diriku.”

Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menggenggam tangannya lalu menggerak-


gerakkannya. Lalu bersabda,

‫ص َدقَةَ َواَل ِج َها َد فَبِ َم تَد ُْخ ُل ا ْل َجنَّةَ ؟‬


َ ‫اَل‬

‘Tidak shadaqah dan tidak jihad? Dengan apa engkau masuk surga?’

Basyir berkata, ‘Lalu aku berkata kepada Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, aku
berbaiat kepadamu, maka baitlah aku atas semua itu.’” (Imam al-Hakim berkata: Hadits shahih.
Al-Dzahabi menyepakatinya).

Perwujudan Sikap As-Syaja’ah

Perwujudan sikap asy syaja’ah dalam kehidupan ini amatlah banyak terlebih dalam konteks
perjuangan dakwah. Implementasinya bisa bermacam-macam. Di antaranya:

Pertama, quwwatul ihtimal (memiliki daya tahan yang besar).

Seseorang dapat dikatakan benar-benar memiliki sifat berani jika ia memiliki daya tahan yang
besar dalam menghadapi kesulitan, penderitaan, bahaya, dan mungkin saja penyiksaan, karena ia
berada di jalan Allah Ta’ala.
Kisah perjuangan para nabi dan para sahabatnya di Makkah menggambarkan hal ini.
Perhatikanlah bagaimana mereka terus bertahan dalam suasana tekanan yang luar biasa dari
kaum Quraisy. Hingga sebagian mereka gugur syahid—seperti Sumayyah dan Yasir,
sebagiannya lagi mengalami penyiksaan—seperti Bilal dan Amr bin Yasir, dan sebagian dari
mereka harus rela berhijrah meninggalkan tanah airnya menuju Habasyah demi mempertahankan
iman dan mengembangkan dakwah.

Kedua, as-sharahah fil haq (berterus terang dalam menyampaikan kebenaran)

Abu Dzar radhiyallahu anhu pernah diberi beberapa wejangan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa
salaam, diantara isi wejangannya adalah,

َّ ‫قُ ِل ا ْل َح‬
‫ق َوإِنْ َكانَ ُم ًّرا‬

“Katakan kebenaran, sekalipun itu pahit” (HR. Imam Baihaqi dalam Syu’abul Iman, No. 4737)

Keterus terangan dalam menyampaikan kebenaran adalah indikasi keberanian. Bahkan berkata
benar di hadapan penguasa yang zhalim disebut oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
sebagai jihad yang paling afdhal (utama), dan orang yang dibunuh karenanya disebut sebagai
syuhada.

ُ‫ َو َر ُج ٌل قَا َل إِلَى إِ َم ٍام َجائِ ٍر فَأ َ َم َرهُ َونَ َهاهُ فَقَتَلَه‬، ‫ب‬
ِ ِ‫ش َهدَا ِء َح ْم َزةُ بْنُ َع ْب ِد ا ْل ُمطَّل‬
ُّ ‫سيِّ ُد ال‬
َ

“Penghulu para syuhada adalah Hamzah bin Abdul Muthallib dan orang yang berdiri di
hadapan  penguasa zhalim lalu ia menyuruhnya (berbuat ma’ruf) dan melarangnya (berbuat
munkar), lalu pemimpin itu membunuhnya.” (Hadits Shahih dalam Mustadrak ‘ala shahihain,
Imam Al Hakim no. 4884).

Dalam hadits yang lain ditegaskan,

ٍ َ‫س ْلط‬
‫ان َجائِ ٍر‬ ُ ‫ق ِع ْن َد‬ َ ‫أَ ْف‬
ٍّ ‫ض ُل ا ْل ِج َها ِد َكلِ َمةُ َح‬

“Jihad yang paling  afdhal adalah berkata benar di hadapan pemimpin zhalim.” (HR. Abu
Dawud no. 4344, Ibnu Majah no. 4011).

Tidak sedikit kita melihat orang yang berdusta atau diam karena khawatir akan resiko-resikonya.
Sikap ini dipilih untuk mencari jalan selamat. Atau memang ia seorang pengecut dan penakut.
Padahal sangat mungkin penguasa itu akan mendapatkan hidayah bila ada yang menyampaikan
kebenaran tanpa rasa takut kepadanya.

Ustadz Umar Tilmisani pernah menyampaikan surat terbuka kepada presiden Republik Mesir
yang disebarluaskan oleh harian asy-Sya’b al-Qahiriyah, tertanggal 14/3/1986, ia berkata:
“Wahai paduka Presiden, yang paling penting bagi kami sebagai kaum Muslimin di Mesir
adalah menjadi bangsa yang aman, tentram dan tenang di bawah naungan syariat Allah Azza
wa Jalla. Karena kemaslahatan umat ini hanya akan tercapai bila aturan Allah direalisasikan di
tengah mereka. Saya kira tidak terlalu berlebihan bila saya katakan bahwa sesungguhnya
penerapan syariat Allah Ta’ala di bumi Mesir akan menjadi pintu kemenangan bagi seluruh
wilayahnya. Dan pada saat itulah sang pengadil dan terdakwa akan merasakan ketenangan,
demikian pula yang akan dinikmati oleh penguasa dan rakyatnya.”

Suatu hari dalam acara dialog yang disiarkan secara terbuka, Presiden Anwar Sadat menuduh
Jamaah Ikhwan dengan fitnah sektarian, dan melontarkan berbagai tuduhan dusta. Mendengar
tuduhan tersebut, Ustadz Umar Tilmisani lalu berdiri mengcounter berbagai tuduhan Sadat
dengan ucapannya, “Adalah hal yang lumrah bila ada yang berlaku zalim pada diriku adalah
mengadukan pelakunya kepadamu, karena engkau adalah rujukan tertinggi—setelah  Allah—
bagi orang-orang yang mengadu ketika dianiaya. Kini saya mendapatkan kezaliman itu darimu
dan membuatku tidak memiliki cara apa pun selain mengadukanmu kepada Allah Ta’ala.”

Saat mendengar ucapan ustadz Tilmisani, Anwar Sadat pun gemetar ketakutan. Ia lalu memohon
maaf kepadanya. Namun dengan tegas dan tetap tenang beliau menjawab: “Sesungguhnya saya
tidak mengadukanmu kepada pihak yang zalim, tapi kepada Dzat Yang Maha Adil dan
mengetahui segala yang saya ucapkan!”[3]

Ketiga, kitmanu as–sirri (memegang rahasia)

Kerahasiaan—terlebih lagi dalam konteks perjuangan—adalah sesuatu yang berat dan beresiko
tinggi. Terbongkarnya rahasia dapat berakibat fatal. Oleh karena itu kesiapan memegang rahasia
menjadi indikasi syaja’ah seorang muslim pejuang.

Di kalangan sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri yang dipercaya memegang
rahasia tidaklah banyak. Diantaranya adalah Huzaifah ibnul Yaman radhiyallahu ‘anhu, seorang
sahabat Nabi yang dikenal dengan sebutan Shahibus Sirri (pemegang rahasia).

Hudzaifah Ibnul Yaman sangat cermat dan teguh memegang segala rahasia mengenai orang-
orang munafik selama hidupnya, sampai kepada seorang khalifah sekali pun. Bahkan Khalifah
Umar bin Khathtab, jika ada orang Muslim yang meninggal, dia bertanya, “Apakah Hudzaifah
turut menyalatkan jenazah orang itu?” Jika mereka menjawab, “Ada,” Umar turut
menyalatkannya.

Suatu ketika, Khalifah Umar pernah bertanya kepada Hudzaifah dengan cerdik, “Adakah di
antara pegawai-pegawaiku orang munafik?”

“Ada seorang,” jawab Hudzaifah.

“Tolong tunjukkan kepadaku siapa?” kata Umar.

Hudzaifah menjawab, “Maaf Khalifah, saya dilarang Rasulullah mengatakannya.”[4]

Keempat, al ‘itirafu bil khatha’i (mengakui kesalahan).


Mengakui kesalahan adalah ciri pribadi yang berani. Sebaliknya, sikap tidak mau mengakui
kesalahan, mencari kambing hitam atau bersikap “lempar batu, sembunyi tangan”, adalah ciri
pribadi yang pengecut.

Mengakui kesalahan memang tidaklah mudah. Kadang ada rasa malu, takut dikucilkan, atau
cemas akan pandangan sinis orang lain karena kesalahan yang diperbuat. Padahal mengakui
kesalahan diri sendiri sangat menguntungkan. Sebab ia bisa melihat kesalahan diri dan segera
memperbaikinya.

Allah Ta’ala memberikan contoh pelajaran dari sikap Nabi Adam ‘alaihis salam ketika
melakukan kesalahan, ia tidak limpahkan kesalahan itu pada setan yang menggodanya. Akan
tetapi ia akui kesalahan dirinya sehingga terbukalah pintu ampunan untuknya.

“Keduanya berkata: “Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika
Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami
termasuk orang-orang yang merugi”. (Q.S. Al ‘Araf, 7: 23).

Kelima, al-inshafu min ad dzati (bersikap obyektif pada diri sendiri).

Ada orang yang cenderung bersikap over estimasi terhadap dirinya, menganggap dirinya baik,
hebat, mumpuni dan tidak memiliki kelemahan serta kekurangan. Sebaliknya ada yang bersikap
under estimasi terhadap dirinya yakni menganggap dirinya bodoh, tidak mampu berbuat apa-apa
dan tidak memiliki kelebihan apapun. Kedua sikap tersebut jelas tidak proporsional dan tidak
obyektif.

Orang yang berani akan bersikap obyektif terhadap dirinya yang memiliki sisi baik dan buruk;
kelebihan dan kekurangan. Sikap seperti ini akan membuka kesempatan pada orang lain untuk
ikut berperan serta. Malah ia akan sangat berhajat pada keberadaan orang lain karena ia tahu
betul bahwa ia tidak bisa berbuat apa-apa tanpa partisipasi orang lain. Di samping itu ia pun
tidak meremehkan kemampuan dirinya. Sehingga ia bisa berbuat lebih banyak dan berkontribusi
secara optimal dengan potensi yang dimilikinya.

Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu saat diangkat menjadi khalifah, ia berpidato di hadapan khalayak
rakyatnya: “Wahai manusia, aku dipilih sebagai pemimpin kalian, dan aku bukanlah yang terbaik
di antara kalian. Jika aku berbuat baik, ikutilah aku. Jika berbuat buruk, luruskanlah aku. …..”[5]

Keenam, milku an nafsi ‘inda  al ghadhabi (menguasai diri di saat marah)

Seseorang dikatakan berani bila ia tetap mampu bermujahadah li nafsi, melawan nafsu dan
amarah. Kemudian ia tetap dapat mengendalikan diri dan menahan tangannya padahal ia punya
kemampuan dan peluang untuk melampiaskan amarahnya. Orang yang bisa melakukan itu
dipandang sebagai orang kuat karena kemampuannya menahan amarah.

Amarah dapat menggelincirkan manusia pada sikap serampangan. Ia akan kehilangan kontrol
diri. Bisa jadi ia lupa diri akan sikapnya yang keliru. Malah ia tak akan pernah menemukan
solusi jitu akan masalahnya. Oleh karena itu Islam memerintahkan untuk bisa mengendalikan
diri dari amarah. Sampai-sampai Rasulullah SAW. mengajarkan untuk tidak marah berulang-
ulang. Bila masih muncul perasaan itu maka rubahlah posisi dirinya. Bila juga masih berkobar-
kobar maka pergilah dan ambillah wudhu. Karena rasa marah dari setan. Setan diciptakan dari
api. Dan api bisa mati disiram dengan air.

Keberanian adalah kelaziman dalam dakwah dan menjadi sikap yang melekat dalam diri sang
kader. Ia adalah identitas pengemban amanah umat untuk bisa menunaikan tugas berat yang
diusungnya. Ingat-ingatlah senandung para senior dakwah yang menggumankan:

‘Di dalam hatiku selalu terdengar suara Nabi yang memerintahkan, ‘Berjihadlah, berjuanglah
dan lelahkanlah dirimu’. Dan berseru, ‘Menanglah, kalahkanlah musuh dan berlatihlah jadilah
kamu selamanya orang merdeka yang pantang menyerah. Hai pemberani lakukanlah karena
kita punya hari esok dan harapan’.

Wallahu a’lam bishshawwab.

Anda mungkin juga menyukai