Anda di halaman 1dari 25

Thermo Reactive Diffusion Process (no.

1)

Thermo Reactive Diffusion Process (TD atau TRD) adalah proses


pelapisan material untuk meningkatkan sifat mekanik seperti ketahanan aus
dengan menggunakan temperatur tinggi, yaitu membentuk lapisan logam karbida,
nitrida, atau karbonitrida yang keras pada permukaan logam yang mengandung
karbon. TRD melibatkan beberapa tahapan yaitu siklus sebelum pemanasan, sesi
pelapisan, pembersihan ultra sonik, perlakuan panas, dan pemolesan setelah
pelapisan [1]. Prinsip kerjanya yaitu karbon dan nitrogen yang ada di substrat
logam akan berdifusi menjadi lapisan yang diendapkan di permukaan dengan
elemen pembentuk senyawa karbida atau nitrida seperti vanadium, niobium,
tantalum, kromium, molybdenum, atau tungsten [2].
Pelapisan dilakukan dalam sebuah wadah yang berisi molten borax
sebagai larutan garam dan senyawa pembentuk karbida yang akan berdifusi dan
berikatan dengan karbon pada logam target dan membentuk lapisan karbida logam
pada permukaan logam target [1]. Karbon yang ada di dalam baja juga ikut
berdifusi ke arah larutan garam yang mengandung elemen pembentuk karbida,
sehingga nanti keduanya akan bereaksi pada permukaan logam yang
menyebabkan lapisan karbida terbentuk pada permukaan logam.
TRD menggunakan temperatur tinggi. Yaitu untuk logam baja paduan
rendah, baja karburisasi, atau baja perkakas yang akan dilapisi dengan proses
TRD akan dipanaskan hingga temperatur austenisasi 500-700°C sebelum
dimasukkan ke dalam bath larutan garam untuk mengurangi distorsi yang
mungkin sudah ada dalam baja. Salt bath yang digunakan bersuhu 850-1050°C.
Setelah dicelupkan dalam larutan garam selama 0.5 – 10 jam akan terbentuk
lapisan karbida dengan tebal 5-15 μm, logam akan didinginkan dengan media
udara, oli, atau garam untuk mendapatkan kekerasan yang maksimal, lalu
dilakukan tempering pada suhu 200-540°C untuk menghilangkan tegangan sisa
akibat proses pendinginan [2]
Hasil dari TRD adalah lapisan yang tebal yang memiliki ikatan logam
yang kuat antara lapisan dan logam, logam karbida sebagai lapisan memiliki
kekerasan mikro yang tinggi yaitu nilai Vickers di atas 3000 VHN dan ketahanan
yang baik terhadap berbagai tipe keausan dan abrasi yang sering muncul pada
proses pembentukan logam [3]. Metode TRD merupakan metode yang lebih
unggul dibandingkan Chemical Vapor Deposition maupun Physical Vapor
Deposition karena hasilnya yang lebih baik dan biaya yang dikeluarkan lebih
rendah [4]. Hasil yang baik ini didapatkan karena pada TRD ikatan yang terjadi
antara karbon dan elemen pembentuk karbida merupakan hasil dari diffusion
bonding, dimana bonding terjadi hingga tingkat atomik.
Referensi
[1] Anonim. TD/TRD Coatings - Thermoreactive Diffusion. TD Coatings |
TRD Coatings | Thermoreactive Diffusion Coatings | Thermal Diffusion
Coatings | TRD Coatings | Thermo-Reactive Diffusion | TDkote Tri Cp.
Accessed October 12, 2017. http://www.richterprecision.com/td-trd-
coatings.html.
[2] Arai, Tohru. ASM Handbook. Vol. 4. Heat Treating. Materials Park, OH:
ASM International, 1984.
[3] Glaser, Horst M. Tool Dynamics · The Thermal Diffusion (TD) Process.
Accessed October 12, 2017. http://www.tool-
dynamics.com/literature/papers/001.php.
[4] T, Arai. The Thermo-Reactive Deposition and Diffusion Process for
Coating Steels to Improve Wear Resistance. Thermochemical Surface
Engineering of Steels: Improving Materials Performance 12 (2015): 703-
735. Accessed October 13, 2017. doi:10.1533/9780857096524.5.703.

Prinsip dan Perbedaan Carburizing, Nitriding, Carbonitriding,


dan Nitrocarburizing (no. 2)
Pengerasan permukaan adalah sebuah metode yang digunakan untuk
memperbaiki sifat material,[1]namun hanya pada permukaannya saja.Jadi,pada
bagian dalam material tetap memiliki sifat yang sama seperti sebelumnya.
Contohnya adalah Surface Hardening (Termokimia) yang dilakukan dengan cara
mengubah komposisi kimianya Antara lain : Carburizing, Nitriding,
Carbonitriding dan Nitrocarbuzing.
• Carburizing
Carburizing adalah Cara pengerasan baja dengan cara penambahan kadar
karbon dipermukaan,sehingga pada bagian permukaan baja lebih keras dari
permukaan dalamnya[2].Biasanya baja yang akan dikarburizing adalah baja
karbon rendah.( 0.08-0.2%C ) yang memiliki keuletan yang tinggi dan mudah di
machinig,namun kekerasannya rendah sehingga tidak tahan aus.Dengan
karburizing,terjadi peningkatan kadar karbon,sehingga kekerasannya meningkat.
Kadar karbon yang di hasilkan sebesar 0.7-1.2% pada temperature 870-950 °C
dengan waktu 30-480 menit dan ketebalan lapisan yang terbentuk 0.2-.03 mm
sehingga menghasilkan Kekerasan permukaan :Antara 55-65 HRC
• Nitriding
Nitriding Adalah sebuah proses difusi Nitrogen ke permukaan sebuah
baja.Nitrogen membentuk nitride dengan unsur-unsur Al, Cr, Mo, V, Ni. Bagian
yang akan dikeraskan dipanaskan,dan di tempering sebelum di nitriding. Pada
Proses Nitriding biasanya digunakan untuk Baja paduan dengan kadar karbon
rendah,yang mengandung unsure-unsur Al, Cr, Mo, V, Ni. [3,4]Keuntungan dari
proses nitriding yakni Permukaan lebih keras dan tahan aus, ketahanan tempering
dan kekerasan pada temperature tinggi,kekuatan fatiguenya tinggi, meningkatkan
ketahanan korosi untuk baja yang bukan stainless steel, kestabilan dimensinya
tinggi.Proses Nitridasi dilakuakan pada Temperatur 500 - 600 °C(dibawah A1)
dengan waktu 460-1140 menit dan menghasilkan ketebalan 0.1-0.6 mm sehingga
menghasilkan kekerasan permukaan yang didapat :sampai 1000 VHN
Mekanisme : NH3 ↔ N +3H

• Carbonitriding
Carbonitriding adalah Suatu proses penambahan karbon dan nitrogen
secara simultan ke permukaan baja.Permukaan ini dipanaskan sampai ke
temperature Austenit pada kondisi ruangan yang terdiri dari campuran gas metana
atau propane dengan Amonia(NH3). Proses ini merupakan campuran antara
karburisasi dengan nitriding. Proses ini Sesuai untuk Sebagian besar baja karbon
rendah,kadang-kadang baja karbon medium.Proses Carbonitriding dilakukan pada
temprature 700 - 800 °C [5] dengan waktu 60-120 menit yang akan menghasilkan
ketebalan 0.07-0.5 mm serta Kekerasan permukaan yang dihasilkan:55-65 HRC.
• Nitrocarburizing
Nitrocarburizing adalah Proses termokimia temperature rendah yang
mendifusikan Karbon dan Nitrogen ke dalam permukaan baja dengan temperatur
dibawah A1,temperature transformasi.[4] Proses ini memiliki keuntungan
mengeraskan bahan yang tidak prehardened , suhu relatif rendah dari proses yang
meminimalkan distorsi,, dapat diterapkan untuk bahan yang sama seperti yang
nitriding, serta bahan murni dan tidak dicampur, untuk memperbaiki sifat tahan
aus/gesek.Temperatur yang digunakan 482 - 593 °C. (900°F-1100°F) dengan
waktu 15-300 Menit dan menghasilkan ketebalan permukaan 0.1-0.2 mm

REFERENSI
[1] Kulkarni K 2015 Surface Hardening of Steels Why is Surface Hardening
Required ? TEQIP Work. Microstucture Eng. trough Heat Treat. 1–23
[2] Ahmad J K 2015 Carburizing of steel Int. J. Mater. Sci. Appl. 4 11–4
[3] Pye D 2003 1 - An Introduction to Nitriding Pract. Nitriding Ferritic
Nitrocarburizing 1–13
[4] Mittemeijer E J 2013 Fundamentals of Nitriding and Nitrocarburizing
ASM Handbook, Vol. Steel Heat Treat. Fundam. Process. 4A 619–46
[5] metlab. (http://www.metlabheattreat.com/carbonitriding.html) diakses pada
tanggal 10 Oktober 2017 pukul 23:54

Lampiran
Gambar 1. Proses Nitriding Gambar 2. Proses Carbonnitriding

Gambar 3. Proses Carburizing Gambar 4. Proses Nitrocarburizing

Perbandingan Gas Nitriding, Plasma Nitrding dan Salt Bath


Nitriding (no. 3)
Nitridasi adalah proses difusi atom nitrogen pada permukaan material. Nitrogen
sangat berlimpah di muka bumi. Namun, di alam bebas nitrogen bergerak dalam
bentuk molekul dua atom, inert, dan ukurannya terlalu besar untuk dapat
menembus permukaan logam. Oleh karena itu, nitridasi berfokus pada nitrogen
baru. Sekali atom-atom nitrogen telah menembus permukaan, proses tersebut
terus berlanjut selama temperaturnya cukup tinggi, dan ada nitrogen baru yang
terus tersuplai pada permukaan. Dengan kata lain, difusi pada dasarnya sama pada
semua nitridasi, perbedaannya hanya terdapat pada suplai nitrogennya.[1]
Terdapat tiga teknik yang dilakukan pada proses nitriding:
• Gas Nitriding, menggunakan NH3
• Plasma/Ion Nitriding, molekul N2 dibagi menjadi ion pada medan
elektromagnetik
• Salt Bath Nitriding, sumber nitrogen adalah garam cair[1]

Gas Nitriding merupakan proses menggunakan dekomposisi ammonia sehingga


nitrogen terpisah dari molekul NH3 dan membawanya ke permukaan logam.
Prosesnya dilakukan pada kisaran suhu 500 – 590oC agar terjadi pelarutan
ammonia dan baja tidak mengalami perubahan fasa. Nitrogen dapat menembus
permukaan logam saat sudah masuk ke bentuk atomnya.[2]
Keuntungan menggunakan metode ini adalah karena tidak berbahaya bagi
permukaan sampel, memberikan permukaan akhir kualitas yang baik,
memungkinkan untuk mencapai lapisan yang lebih dalam, memungkinkan untuk
melakukan nitridasi terpusat, dan tidak membutuhkan energi pendinginan
sehingga dapat meminimalisir deformasi.[2]
Kerugian dari proses nitriding dengan menggunakan gas adalah prosesnya sulit
untuk dikontrol, sedikitnya potensial yang ada, butuh energi dan konsumsi gas
yang tinggi, terdapat batasan pada aplikasi. Reaksi gas nitrogen dengan oksigen
juga harus dikurangi agar mengurangi kemungkinan ledakan.[3]
Plasma nitriding menggunakan perangkat berupa oven khusus. Di dalam oven
tersebut dialirkan nitrogen bertekanan rendah yang menghasilkan perbedaan
potensial antara spesimen dan dinding oven. Perbedaan potensial tersebut
mengionisasi gas pada tekanan rendah, menghasilkan plasma. Gas tersebut
dipercepat ke arah material karena adanya medan listrik negatif. Disosiasi
merupakan reaksi penting yang terjadi pada plasma oleh molekul tumbukan
dengan elektron energetik.[2]
Keuntungan dari plasma nitriding adalah prosesnya yang simpel, energi yang
dibutuhkan sedikit, tidak menimbulkan gas beracun, terdapat potensial yang
tinggi, dan lebih ekonomis[3]. Kerugiannya adalah dibutuhkan investasi yang besar
untuk pengadaan alat, persyaratan perawatan alat yang banyak, dibutuhkan
operator yang ahli, dan penggunaan aplikasinya terbatas.[2]
Salt Bath nitriding merupakan garam cair yang mengandung sianida dan sianat.
Proses ini sebenarnya merupakan proses nitrocarburizing karena lingkungan
garam cairnya mengandung karbon dan nitrogen. Keduanya berdifusi secara
bersamaan ke permukaan baja.[2]
Keuntungan dari proses salt bath nitriding adalah siklus prosesnya singkat, bulk
treatment, dan simple. Sementara kerugian yang didapatkan adalah prosesnya
yang kotor, menghasilkan limbah beracun, hanya bisa digunakan pada material
baja, konsumsi energi yang tinggi, tidak terbentuk potensial, dan investasi
peralatan yang mahal.[3].
Referensi
1. http://www.nitrexheattreat.com/english/technologies_extra.htm
2. https://matenggroup.wordpress.com/nitriding-process/
3. http://web.ald-vt.de/cms/vakuum-technologie/technologien/vacuum-heat-
treatment/aspn-active-screen-plasma-nitriding/

MEKANISME DAN PRINSIP DARI POST WELD HEAT TREATMENT


(PWHT) (No. 4)

Post Weld Heat Treatment (PWHT) adalah proses pemanasan kembali


daerah las dengan segera setelah pengelasan selesai dilakukan dengan tujuan
untuk melunakkan daerah kena pengaruh panas las, meningkatkan
ketangguhan daerah las dan menghilangkan tegangan sisa pada saat
pengelasan dan juga dilakukan penahanan pada temperatur tersebut pada
waktu tertentu kemudian laju pendinginan yang terkontrol.[1][2] PWHT
dilakukan dengan proses tempering pada temperatur 550 dan 650 ° C
dengan holding time 30 menit.[1]
Pada saat dilakukan pengelasan, suatu material (Terutama Carbon
Steel/Tool Steel) akan mengalami perubahan struktur mikro karena
terjadinya proses pemanasan dan pendinginan.[2] Perubahan struktur yang
menjadi tidak homogen inilah yang menyebabkan terjadinya tegangan sisa
pada material pasca pengelasan.[2] Dampak dari tegangan sisa ini material
akan menjadi lebih keras akan tetapi ketangguhannya kecil. Ini tentu sifat
yang tidak diharapkan. Oleh sebab itu, material harus dikembalikan ke sifat
semula dengan cara pemanasan dengan suhu dan tempo waktu (holding
time) tertentu.

Mekanisme Post Weld Heat Treatment (PWHT) ini terdiri dari 2 jenis,
yaitu:

1) Post Heating: Melakukan proses perlakuan panas setelah welding


sehingga mungkin untuk mendifusikan hidrogen dari area welding
sekaligus mencegah HIC (Hydrogen Induced Cracking). Material
dipanaskan kembali ke temperatur tertentu tergantung dari jenis dan
ketebalan materialnya.[1]
2) Stress Relieving: Setelah proses welding, memungkinkan adanya
residual stress yang besar di material yang dapat meningkatkan
potensi terjadinya stress corrosion dan HIC. PWHT melalui
mekanisme Stress Relieving, digunakan untuk menghilangkan
residual stress. Proses ini termasuk memanaskan material ke
temperatur tertentu lalu mendinginkannya kembali.[1]

Pengaruh perlakuan PWHT terhadap sifat mekanis


• Menurunkan tegangan tarik/tensile strength.[2]
• Meningkatkat ductility.[2]
• Menurunkan hardness level.[2]
• Pengaruh terhadap creep properties.[2]
• Memperbaiki tingkat keluaran hydrogen yang berdifusi (Hydrogen
Diffusion) dari logam las (Weld Metal) .[2]
• Melunakkan area Heat Affected Zone (HAZ) dan meningkatkan
ketangguhan.[2]
• Meningkatkan kestabilan dimensi selama proses machining.[2]
• Meningkatkan ductility.[2]
• Meningkatkan ketahanan terhadap stress corrosion cracking.[2]
• Menurunkan dampak terhadap pengerjaan dingin (Cold Work) .[2]
REFERENSI
[1] Hestiawan, H., & Suryono, A. F. (2014). Pengaruh P Reheat Dan P Ost W
Eldin G Heat Treatm En T Terhadap Sifat Mekanik Sambungan Las Smaw
Pada Baja Amutit K-460. Jurnal Mekanikal, 5(1), 422–426.

[2] http://achmadarifin.com/welding/post-weld-heat-treatment-pwht-pada-
proses-pengelasan
Diakses pada tanggal 12 Oktober 2017. Pukul 07.22.

Pengaruh Sub-Zero Treatment terhadap Sifat Mekanik beserta Aplikasinya


(no. 5)
Dalam sebuah proses pengerasan baja, baja dilakukan proses annealing hingga
suhu austenisasi dan kemudian dilakukan proses quenching sehingga akan
didapatkan fasa martensite. Fasa ini adalah fasa yang sangat keras dengag tingkat
brittle yang tinggi sehingga akan mudah mengalami crack.
Sub-zero treatment adalah suatu perlakuan dimana sebuah material didinginkan
dibawah temperatur ruangan. Alasan utama dari perlakuan ini adalah untuk
menghilangkan sisa austenite dan meningkatkan ketahanan aus atau untuk
menstabilkan sebuah material. Austenite merupakan fasa yang stabil pada suhu
tinggi, ketika fasa ini dilakukan pendinginan secara cepat maka akan terbentuk
fasa martensite yang merupakan fasa yang memiliki kekerasan tinggi namun juga
memiliki sifat sangat getas. Saat perubahan fasa ke martensite akibat pendinginan
cepat, maka akan terdapat austenite sisa pada fasa tersebut. Austenite sisa ini
dapat dihilangkan dengan melakukan proses tempering. Akan tetapi akan lebih
efisien apabila logam tersebut didinginkan ke suhu antara-70ºC sampai -120ºC
dengan menggunakan nitrogen cair1.
Sub zero treatment dipengaruhi oleh faktor yaitu paduan logam, dan variabel
dalam proses seperti waktu, temperatur, jumlah repetisi dan proses tempering.
Proses dari sub zero treatment terbagi dalam 3 kategori besar yaitu shrink fitting,
cold treatment, dan cryotreatment 2 . Aplikasi dan efek dari sub zero treatment
dengan proses cryotreatment dapat dilihat pada gambar 1.
a) Shrink fitting akan mereduksi ukuran diameter poros baja sehingga dapat
dirakit dengan komponen lainnya
b) Cold treatment melengkapi transformasi fasa austenite ke martensite
selama proses pengerasan baja dengan melakukan quench dan tempering
c) Cryotreatment dengan nitrogen cair membuat kondisi nukleasi karbida
menjadi halus dengan kandungan paduan yang lebih tinggi

1BOC. (n.d.). sub-zero treatments. Retrieved October 12, 2017, from


https://www.boconline.co.uk/internet.lg.lg.gbr/en/images/Principles of
Sub-Zero Treatments410_114393.pdf?v=1.0

2Linde Gas. (2006). Sub-zero Treatment of Steels: Technology / Processes /


Equipment, 1–19.
Referensi:
1. bodycote. (n.d.). sub-zero treating. Retrieved October 12, 2017, from
http://www.bodycote.com/en/site-services/technical-glossary/sub-
zero_treating.aspx
2. Steel, L. T. (2010). EFFECT OF SUB-ZERO TREATMENT ON
MECHANICAL PROPERTIES OF VANADIS 6 PM LEDEBURITIC
TOOL STEEL, 1–6. Retrieved from
metal2012.tanger.cz/files/proceedings/metal_10/lists/papers/270.pdf

Lampiran:
Gambar 1

Ion Implantation sebagai Metode Surface Modification (no. 6)

Ion implantation adalah suatu metode surface modification yang dapat


berguna untuk memperpanjang umur pakai suatu material. Perpanjangan umur
pakai material tersebut terjadi karena proses ion implantation dapat mengubah
sifat mekanik, sifat elektrik, sifat optik, dan sifat kimia dari suatu permukaan
material [1] menjadi sesuai yang diinginkan tanpa mengubah sifat dari inti
material tersebut. Umumnya ion implantation dapat digunakan dalam dua metode
yaitu ion beam implantation dan plasma implantation.
Metode ini menarik perhatian secara ekonomis karena dapat digunakan di
berbagai jenis material seperti logam dan paduannya, material semikonduktor,
kemarik, insulation, bahkan polimer. Selain itu beberapa sifat permukaan yang
dapat dimodifikasi dengan metode ini adalah kekerasan, ketahanan fatik,
ketangguhan, sifat adhesi, ketahanan aus dan gesekan, ketahanan korosi dan
oksidasi, sidat magnetic dan lain sebagainya.
Prinsip dari metode ini adalah pembentukan lapisan pada permukaan
material oleh ion yang terionisasi dari atom-atom atau molekul dari material lain.
Perbedaan dari ion beam implantation dan plasma source ion implantation adalah
proses mendapatkan ion pelapisnya. Pada ion beam implantation, ion didapat dari
sumber plasma, lalu dideposisi ke permukaan material ketika mencapai energy
tertentu. Aliran dari ion biasanya sangat kecil (masih dalam satuan microampere)
dan area pelapisannya cenderung kecil. Untuk pelapisan material yang berukuran
besar dan bentuknya tidak beraturan diperlukan proses beam rastering tambahan.
Pada proses plasma source ion implantation material yang ingin dilapisi
direndam kedalam plasma yang memiliki Debye length lebih kecil daripada
material tersebut. Lalu dialirkan listrik sehingga bagian permukaan benda yang
ingin dilapisi menjadi negatif dan menarik ion-ion positif. Ion-ion positif inilah
yang menjadi lapisan pada permukaan material. [2] Kedua proses ini harus
berlansung dalam tekanan yang rendah karena dibutuhkan ruang vakum agar
partikel atau ion-ion dapat bertumbukan dengan permukan benda dan membuat
lapisan.
Sekarang telah banyak pengembangan dalam metode ini, khususnya
pengembangan alat untuk mengimplantasi ion pada permukaan material. Alat-alat
ini dibutuhkan agar mengoptimalkan proses implantasi ion seperti titanium,
tantalum, chromium, dan lain-lain dengan cara meningkatkan aliran listrik
menjadi high-current ion implanters. [3]

Referensi :
[1] Jagielski, J., et al. “Methodology of Ion Beams Deposition.” Surface
modification of materials by ion implantations for industrial and medical
applications: final report of a co-Ordinated research project, IAEA, 2000.

[2] Chen, Francis F., et al. Plasma Processing and Processing Science.
National Academies Press, 1995.
[3] Torp, Bo, et al. “Ion implanters for surface modification of
metals.” Surface and Coatings Technology, vol. 84, no. 1-3, 1996, pp. 557–562.,
doi:10.1016/s0257-8972(95)02732-7.

Pengaruh Perbedaan Media Quenching Oli, Air, Udara, dan Salt Bath (no 7)

Quenching adalah salah satu tahap terpenting dalam perlakuan panas,


karena proses ini lah yang menentukan sifat akhir dari material. Konsep
quenching relatif sederhana, yaitu dengan memanaskan logam lalu
mendinginkannya secara cepat untuk membuatnya keras. Namun saat
mempertimbangkan aspek kimia, proses quenching cukup kompleks, sehingga
perlu mempertimbangkan dengan baik akan menggunakan media quenching apa
untuk mencapai sifat yang diinginkan secara optimum.(1)
Media quenching yang sering digunakan adalah oli, air, udara, dan salt
bath. Setiap media quenching memiliki ketajaman (severity) berbeda. Dimana
ketajaman yang dimaksud adalah sebarapa cepat panas dapat keluar dari logam
yang di-quench. Ketajaman yang berbeda dari setiap media quenching ini juga
berkaitan dengan perbedaan kecepatan pendinginan benda kerjanya. Selain dari
media quenching-nya, kecepatan pendinginan juga dipengaruhi ukuran dan
komposisi. Semakin besar ukuran, waktu yang dibutuhkan untuk pendinginan
juga meningkat. Lalu komposisi menentukan jenis quench yang akan digunakan,
dimana untuk shallow-hardened-low-alloy dan baja karbon membutuhkan
quenching dengan media quench lebih tajam dibanding deep-hardened alloys
steels yang mengandung nikel, mangan, atau elemen paduan lain dalam jumlah
besar. Pemilihan media quenching juga harus dapat meminimalisir hasil
quenching dari cracking, warping, dan soft spot.(2)
Air memiliki pendinginan yang cepat sebagai media quenching dan dapat
digunakan untuk beberapa baja, namun tidak menghasilkan produk yang baik
untuk tool steel atau baja paduan tertentu. Air menyerap gas-gas pada atmosfer
dalam jumlah besar, sehingga saat di-quench, gas ini memiliki kecendurungan
untuk membentuk gelembung di permukaan logam. Gelembung-gelembung ini
cenderung mengumpul dan dapat menyebabkan retak atau warping.(2)
Oli juga sering digunakan sebagai media quenching, karena ketajamannya
yang cukup tinggi namun risiko cracking dan warpingnya lebih minim.(1)
Kecepatan pendinginan oli relatif lebih rendah dari air, dan relatif lebih cepat
dibandingkan udara. Namun quenching menggunakan oli, memiliki bahaya
kebakaran.
Udara sebagai media pendinginan biasanya digunakan untuk baja paduan
tinggi yang biasanya memiliki kemampukerasan tinggi, karena kecepatan
pendinginan udara paling lambat dibanding air, oli, dan salt bath. Setiap benda
kerja yang didinginkan di udara harus ditempatkan pada rak yang tepat sehingga
udara dapat menjangkau setiap bagian benda kerja. Compressed air digunakan
untuk memusatkan pendinginan pada area tertentu di benda kerja. Udara yang
digunakan harus bebas dari kelembaban untuk mencegah keretakan.(2)
Salt bath adalah lelehan garam, dimana quenching dalam media ini
memiliki risiko distorsi atau retak yang lebih minim. Setiap campuran garam
tertentu memiliki titik didih dan rentang kerja yang berbeda, sehingga fleksibel
dalam aplikasinya(1), sehingga membuatnya ideal sebagai media quenching(3).
Selain itu lelehan garam tidak menimbulkan risiko kebakaran, lebih efisien, dan
lebih ekonomis(1,3). Saat benda kerja di-quench dalam lelehan garam, tidak
terdapat udara yang kontak, sehingga scaling, oksidasi, dan dekarburisasi bisa
dihindari. Selain itu, karena terjadi kontak langsung antara benda kerja dengan
lelehan garam, maka perpindahan panas terjadi lewat mekanisme konduksi yang
empat hingga enam kali lebih cepat dibanding radiasi dan konveksi seperti pada
media-media quenching sebelumnya.(4) Laju perpindahan panas menggunakan
lelehan garam juga lebih seragam sehingga memungkinkan benda kerja yang
memiliki geometri kompleks untuk di-quench dengan distorsi yang minim.(5)
Referensi:

(1) Paulo. (2017). Different media for quenching metal explained | Paulo.
[online] Available at: https://www.paulo.com/different-media-quenching-
metal-explained/ [Accessed 12 Oct. 2017].
(2) “Integrated Publishing, Inc.” Integrated Publishing - Your source for
military specifications and educational publications,
www.tpub.com/steelworker1/12.htm
(3) “Heatbath® Corporation / Park Metallurgical.” Salt Bath Quenching |
Metal Finishing & Heat Treating Products | Heatbath / Park
Metallurgical, heatbath.com/2012/06/salt-bath-quenching/
(4) Mehrkam, Q. D. (1967). An Introduction to Salt Bath Heat Treating.
Tooling and Production, (June-July).
(5) “Salt Bath Processes.” Heat Treatments, www.heat-
treatments.co.uk/services/salt-bath-processes.

Prinsip Perbedaan Salt Bath Furnace dan Fluidized Bed (no. 8)


Salt Bath Furnace dan Fluidized Bed termasuk dalam metode yang
digunakan dalam proses karburisasi. Karburisasi merupakan proses perlakuan
permukaan yang bertujuan untuk meningkatkan kekerasan pada permukaan suatu
material umumnya logam. Peningkatan kekerasan pada permukaan dapat dicapai
salah satunya dengan memberikan unsur yang memberikan peningkatan
kekerasan, seperti misalnya penambahan karbon melalui arang atau karbon
monoksida (CO) ke dalam baja atau besi. Peningkatan kekerasan permukaan
dapat diperoleh dengan cara quenching dan karburisasi. Metode quench
memberikan laju pendinginan yang cepat pada baja yang telah diaustenisasikan,
sehingga memungkinkan perubahan fasa austenite menjadi fasa martensite pada
permukaan baja tersebut, dan meningkatkan kekerasan permukaan baja,
sedangkan pada intinya tetap memiliki fasa ferrite dan pearlite. Metode
karburisasi memberikan peningkatan kekerasan pada baja dengan menambahkan
unsur yang memberikan peningkatan kekerasan, dan umumnya unsur yang
digunakan adalah karbon.
Terdapat 3 jenis mekanisme karburisasi; gas carburizing, liquid
carburizing, dan solid carburizing. Gas carburizing biasanya dilakukan pada suhu
di atas 925oC, dan dilakukan dalam sealed quench furnace dimana gas karburisasi
yang mengadung karbon diberikan. Gas karburisasi tersebut akan bereaksi dengan
baja, dan terbentuk atom – atom karbon yang berasal dari gas karburisasi yang
[1]
kemudian berdifusi ke dalam permukaan baja . Gas carburizing juga disebut
[2]
dengan fluidized bed . Liquid carburizing menggunakan garam leleh (molten
salt) sebagai media dalam liquid carburizing bath. Umumnya, liquid carburizing
bath mengandung sianida (CN) yang disebut sebagai salt bath, sebagai zat untuk
memasukkan karbon dan nitrogen ke dalam baja / besi. Selain untuk karburisasi,
salt bath juga dapat diaplikasikan untuk carbonitriding, nitriding, dan ferritic
[3]
nitrocarburizing . Solid carburizing merupakan proses dimana karbon
monoksida (CO) yang berbentuk padatan terurai pada permukaan logam menjadi
karbon dioksida (CO2) dan karbon nascent. Karbon nascent kemudian diserap ke
dalam baja, dan CO2 bereaksi dengan material berkarbonasi yang ada pada
senyawa solid carburizing menghasilkan karbon monoksida (CO) [4].
Referensi
[1] http://www.metaltech.co.uk/processes-carburizing.php
[2] J. Dossett, G.E. Totten, ASM Handbook 4A Steel Heat Treating Fundamentals
and Processes (2013)
[3] http://www.asminternational.org/web/hts/home/-
/journal_content/56/10192/16267812/Book-ARTICLE
[4] http://www.asminternational.org/web/hts/heat-treating-progress-magazine-
archives/-/journal_content/56/10192/ASMHBA0001164/PUBLICATION

(no. 9) Syarat dan Mekanisme Precipitation Hardening

Precipitation hardening merupakan proses meningkatkan kekerasan dan


kekuatan material dengan cara perlakuan panas, hasilnya akan terbentuk presipitat
yang tersebar secara seragam. Prosesnya dengan cara penuaan(aging) yang
sebelumnya telah mengalami proses pelarutan(solution treatment) dan
quenching[1]. Akan tetapi tidak semua material dapat dikeraskan, berikut beberapa
syarat untuk precipitation hardening;

• merupakan logam paduan


• kelarutan komponen satu dengan yang lainnya harus maksimal dan
batas kelarutannya menurun drastis seiring dengan turunnya
temperature [2]

Precipitation hardening melalui beberapa tahapan, dimulai dari solution heat


treatment, quenching dan precipitation hardening (Gambar 1)

1. Solution Heat Treatment


Tujuan dari solution treatment ini untuk menghomogenkan strukturnya.
Paduan dipanaskan sampai temperature tertentu (To) sampai membentuk
fasa tunggal (fasa α). Kemudian melakukan holding time, waktu yang
dibutuhkan untuk holding time tergantung pada paduannya (2-3jam).
2. Quenching
Paduan yang telah homogen kemudian di dinginkan secara cepat (rapid
cooling) sehingga atom-atom yang berada didalamnya tidak sempat
berdifusi keluar. Tujuannya agar atom-atom tersebut tidak membentuk
fasa-fasa lain yang tidak diinginkan. Hasilnya quenching akan terbentuk
struktur larutan padat yang lewat jenuh.
3. Precipitation Heat Treatment
Memanaskan kembali paduan yang telah diquenching. Atom-atom yang
semula diam mulai bergerak kembali karena proses pemanasan yang
dilakukan dan berdifusi membentuk presipitat fasa kedua. Kehadiran
presipitat tersebut akan memberikan efek penguatan dan menghambat
gerakan dislokasi. Precipitation terbagi atas beberapa macam,
diantaranya;
a. Natural Aging
Paduan tidak mengalami pemanasan namun hanya dibiarkan
dalam temperature kamar, namun waktu yang dibutuhkan cukup
lama dan efek penguatannya tidak begitu besar. Presipitat didalam
matriks masih dalam keadaan acak.
b. Artificial Aging
Paduan dipanaskan sampai temperature tertentu sekitar 190oC.
Hasilnya presipitat akan tersebar merata dan membentuk
kelompok-kelompok, pada tahap ini dapat dihasilkan efek
penguatan yang optimum.
c. Over Aging
Proses ini dilakukan dalam temperature yang sangat tinggi.
Namun over aging dapat menurunkan kekuatan yang telah dicapai
sebelumnya, oleh karena itu kondisi over aging merupakan
kondisi yang tidak diinginkan[3].
Contoh dari mekanisme precipitation hardening dapat dilihat pada paduan
alumunium-copper. Proses penguatan dapat dipercepat dengan penambahan
temperature ideal. Namun ketika sudah melewati temperature maksimumnya, nilai
kekerasan akan menurun saat melewati aging maksimumnya. Pada proses
precipitasi terjadi distorsi struktur kristal di sekeliling partikel yang akan
menghambat deformasi plastis[4].

Pada diagram fasa AlCu,(Gambar 2) fasa α merupakan larutan padat


substitusi tembaga dalam alumunium. Sedangkan θ merupakan senyawa
intermetalik CuAl2 dengan komposisi 96%Al dan 4%Cu. Selama tahap
pengerasan awal, atom Cu berkumpul ersama pada posisi yang tak terhitung
jumlahnya dalam fasa α. Seiring bertambahnya waktu, ukuran partikel Cu juga
bertambah dan menimbulkan presipitat. Kemudian melewati dua fase transisi θ”
dan θ’ sebelum membentuk fasa setimbangnya (θ). Efek penguatan dan
pengerasan dapat dilihat pada Gambar 4, dimana (a) merupakan super saturated
solid solution, (b) fasa transisi presipitat θ” dan (c) merupakan fasa equilibrium θ
dalam matriks α

Seperti yang dapat dilihat pada gambar 3, kekuatan maksimum tepat pada
terbentuknya fasa θ”. Sedangkan kondisi overaging adalah hasil dari pertumbuhan
partikel lanjutan dan perkembangan fasa θ’ dan θ[5].
Gambar 1. Proses Precipitation Hardening | Gambar 2. Diagram Fasa Al Cu

Gambar 3. Pengaruh penambahan temperature terhadap kekerasan

Gambar 4. Mekanisme Precipitation Hardening

Referensi :

[1]https://dokumen.tips/documents/presipitation-hardening.html

[2] https://www.coursehero.com/file/p5t0hhdg/Diagram-CCT-menunjukkan-
transformasi-baja-ketika-dilakukan-pendinginan-yang/

[3] Supendi. 2009. Metalurgi Unjani


https://www.scribd.com/document/99643384/Presipitation-Hardening-Adalah 9
Oktober 2017

[4] Material Teknik, Universitas Darma Persada Jakarta. http://ft.unsada.ac.id/wp-


content/uploads/2010/02/bab7b-mt.pdf 9 Oktober 2017

[5] Callister, William D. 2011.Materials Science and Engineering:an


Introduction. 8th edition. USA: John Wiley & Sons, Inc.

Prinsip dan Perbedaan Martempering dan Austempering terhadap Struktur


dan Sifat Mekanik Baja (no. 10)
Masalah utama dalam pendinginan cepat adalah terjadinya distorsi dan
quench crack. Masalah ini timbul karena distribusi temperatur yang tidak merata
dalam logam saat melewati temperatur martensite start dan finish serta karena laju
pendinginan yang terlalu cepat.[1] Austempering dan Martempering merupakan
perlakuan panas untuk mengeraskan logam yang meminimalisir distorsi,
quenching crack dan tegangan residu tersebut.[2]
Austempering adalah proses quenching logam dalam media quench dan
ditahan temperaturnya di bawah temperature pembentukan pearlite dan di atas
temperature martensite start. Pada baja, logam dipanaskan hingga rentang
temperatur austenisasi sekitar 790oC-915oC, lalu diquench untuk mencegah
terbentuknya ferrite atau pearlite dan ditahan suhunya di rentang 240oC-400oC
hingga transformasi pembentukan bainit selesai.[3] Hasil yang diperoleh pada
proses ini adalah terbentuk produk 100% Bainite dengan peningkatan pada
keuletan, ketahanan impak, kekuatan dan ketangguhan pada level kekerasan di
atas 40 HRC dan juga mengurangi distorsi.[1,2] Baja austempering tidak
memerlukan operasi tempering lagi [4]
Martempering adalah proses quenching umumnya menggunakan media
quench hot salt bath dari temperatur austenisasi hingga mendekati temperatur
martensite start kemudian ditahan temperaturnya sedikit di atas temeperatur
martensite start dalam kurun waktu tertentu sehingga terjadi persamaan
temperatur antara permukaan dan inti logam baja lalu didinginkan kembali
biasanya dengan udara dengan laju pendinginan sedang melewati temperatur
maretensite start hingga membentuk fasa martensit yang uniform setelah melewati
martensite finish.[1] Mikrostruktur setelah proses martempering ini adalah
martensite untempered yang brittle.[2] Berbeda dengan austempering, baja yang
diberi perlakuan martempering masih memerlukan proses tempering setelahnya
untuk meningkatkan keuletan dan ketangguhannya.[4]
Baja paduan umumnya lebih sesuai dilakukan austempering daripada baja
karbon seperti baja 5150, 6150, 50B60, dan 51B60.[3] Martempering juga
membutuhkan baja yang memiliki hardenability yang tinggi atau dengan kata lain
nose diagram CCT lebih bergeser ke kanan dan memungkinkan inti logam untuk
mendingin lebih cepat dan meminimalisir gradient temperatur antara permukaan
dan inti yang terlalu besar. Hal ini menyebabkan proses austempering maupun
martempering tidak sesuai untuk baja karbon kecuali logam tersebut sangat
tipis.[1] Akan tetapi salt bath untuk austempering umumnya memiliki temperature
lebih tinggi daripada yang digunakan untuk martempering sehingga baja yang
digunakan untuk austempering harus memiliki hardenability yang lebih tinggi
daripada untuk martempering.[4]

Referensi:
[1] Verhoeven, John D.. 2007. Steel Metallurgy for the Non-Metallurgist.
Materials Park: A S M International. Accessed October 11, 2017. ProQuest Ebook
Central.
[3] Bonami, Gregory J., ed. 2010. Heat Treatment: Theory, Techniques and
Applications. Hauppauge: Nova Science Publishers, Inc.. Accessed October 11,
2017. ProQuest Ebook Central.
[3] Dossett, Jon L., and Boyer, Howard E.. 2006. Practical Heat Treating.
Materials Park: A S M International. Accessed October 11, 2017. ProQuest Ebook
Central.
[4] Campbell, F. C.. 2008. Elements of Metallurgy and Engineering Alloys.
Materials Park: A S M International. Accessed October 11, 2017. ProQuest Ebook
Central.

Tema: Pengertian dan Fungsi Active Screen Plasma Nitriding (no. 11)

Active Screen Plasma Nitriding (ASPN) adalah salah satu bentuk rekayasa
permukaan untuk meningkatkan kekerasan pada baja dengan melapisi permukaan
baja menggunakan nitrogen[1]. Sebelum ditemukan ASPN, rekayasa permukaan
baja menggunakan nitrogen dilakukan dengan teknologi DC plasma nitriding
yang menggunakan katodik berpotensial tinggi, sehingga, plasma terbentuk
langsung di permukaan material sebagai tempat senyawa nitrogen berada dan
untuk memanaskan material baja yang akan dikeraskan. Hal ini menyebabkan
terjadinya beberapa kelemahan dari metode DC plasma nitriding, diantaranya
kerusakan yang disebabkan oleh komponen sebagai akibat efek katoda berongga,
dan kesulitan dalam menjaga suhu ruang khususnya pada beban komponen kerja.
Untuk mengatasi kelemahan diatas, maka diciptakanlah sebuah teknologi
baru yang disebut dengan Active Screen Plasma Nitriding (ASPN). Keseluruhan
beban kerja saat proses dikelilingi oleh layar logam besar dimana terpasang
katoda bertegangan tinggi. Pengerasan permukaan oleh Active Screen Plasma
Nitriding (ASPN) dicapai dengan pembentukan lapisan senyawa nitrida di
permukaan dan zona difusi nitrogen yang terletak dibawahnya[2]. Untuk material
baja, suhu dan waktu nitridasi, kedalaman nitridasi, dan kekerasan permukaannya
hanya dapat dipengaruhi oleh perpindahan massa nitrogen yang efektif dari
atmosfer plasma ke permukaan baja.
Pada percobaan, ditunjukkan bahwa mikrostruktur optik dari baja yang di
nitridasi dengan DC dan AS, semua strukturnya identik, yaitu pada lapisan
senyawa tipis di permukaan dan lapisan difusi nitrogen dibawahnya, tidak ada
perbedaan signifikan dalam struktur mikro dan ketebalan lapisan difusi antara
spesimen nitrida DC dan AS. Morfologi pada permukaan nitridasi dengan
menggunakan DC dan AC terlihat berbeda pada saat dilihat dengan menggunakan
SEM, terlihat bahwa permukaan DC berbentuk nodular sedangkan pada AS
berbentuk heksagonal. Kekerasan pada baja setelah dilakukan nitridasi dapat
mencapai 1000 HV dari sebelumnya hanya sebesar 320 HV.[3]

Referensi:
[1] Active Screen Plasma Nitriding – an Overview
<http://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1179/174329409X439032>
diakses pada hari Senin, 9 Oktober 2017 pukul 23:05
[2] Naishu Zhu, Shining Ma, Xiaofeng Sun, Nitrogen-Doped Carbon Fiber
Paper by Active Screen Plasma Nitriding and Its Microwave Heating
Properties, 2016

[3] C. Zhao, C.X Li, H.Dong, T. Bell, Study on the active screen plasma
nitriding and its nitriding mechanism, Surface and Coating Technology;
2006; 2320-2325

LAMPIRAN
Gambar mikrostruktur (a) DC plasma nitriding dan (b) AS plasma nitriding.

PRINSIP, METODE, DAN APLIKASI BORONIZING (no. 12)


Boronizing atau disebut juga dengan boriding adalah suatu proses
pengerasan permukaan melalui proses termokimia yang diaplikasikan pada
material ferrous, non-ferrous, dan cermet.[1] Pada prinsipnya, boronizing
merupakan difusi atom boron ke dalam kisi material induk dan senyawa boron
yang berinterstisi akan terbentuk pada permukaan materialnya.[1] Permukaan dari
boride tersebut dapat membentuk satu atau dua fasa lapisan boride.[1] Apbila
terbentuk dua fasa, maka fasanya adalah FeB dan Fe2B. Sedangkan, jika terbentuk
satu fasa maka yang terbentuk adalah FeB. [1]
Pada prosesnya, pertama-tama material yang akan dikeraskan harus
dipanaskan terlebih dahulu dengan menggunakan furnace pada temperatur 800 -
1050oC (pada grey cast iron dan hard metal temperaturnya tidak melebihi 850 –
880oC, karena pada temperatur di atasnya grey cast iron dan hard metal akan
mengalami deformasi) selama ± 15 menit – 30 jam, namun biasanya efektif pada
1 – 8 jam. Atom boron dimasukan ke dalam kisi suatu material ferrous, non-
ferrous, maupun cermet tepatnya pada bagian permukaan atau bagian yang ingin
dikeraskan melalui energi panas untuk membentuk boride. Misalnya, ketika besi
telah mengalami boronizing, besi boride (Fe2B) nya akan terbentuk. Ketebalan
rata-rata dari lapisan boride pada material besi adalah 5 µm dan sudah dapat
digunakan untuk mencegah keausan abrasif. Sedangkan, untuk material high-alloy
steels, ketebalan dari lapisan boride nya adalah 15 – 20 µm. Diketahui bahwa
proses boronizing ini bergantung kepada reaksi kimia maupun elektrokimia dari
boron yang dimasukkan ke permukaan material maupun material induknya.
Cairan seyawa boronizing yang digunakan adalah elektrolit ataupun senyawa
yang sedang melalui proses perendaman. Boronizing ini dilakukan pada furnace
untuk proses pengerasannya. Material yang dapat dijadikan sebagai sumber dari
boron yang nantinya akan diinjeksikan ke dalam material yaitu amorphous boron,
ferro-boron dan boron carbide. Amorphous boron memiliki harga yang sangat
mahal, ferro-boron dapat dibuat, dan boron carbide memiliki kualitas yang cukup
baik dengan harga yang relatif lebih murah sehingga boron carbide lebih sering
digunakan. Cara menginjeksikan boron carbide tersebut adalah dengan
melarutkannya ke dalam elektrolit ataupun senyawa yang sedang melalui proses
perendaman. Material yang akan dikeraskan ditempatkan di dalam furnace, lalu
boron akan berdifusi ke dalamnya dan membentuk lapisan besi boride (FeB dan
Fe2B). Pada permukaan terluarnya akan terbentuk lapisan FeB dan pada bagian
dalamnya akan terbentuk fasa Fe2B. Kekerasan yang dihasilkan nantinya berkisar
18000 – 21000 HV pada area boride dalam material besi. Lapisan boride
merupakan lapirsan yang sangat keras, kekerasannya dapat mencapai lebih dari
1500 HV. Selain itu, lapisan ini memiliki resistansi yang tinggi. Material yang
cocok untuk dilakukan proses boronizing yaitu cast iron, sintered powder metal,
sintered steel, cobalt, nikel, dan lain-lain. [1][2][3]
Secara umum, aplikasi proses boronizing ini dapat digunakan pada
beberapa sektor, di antaranya adalah :
• Sektor Industri
▪ Oil & gas
▪ Peralatan pertanian
▪ Otomotif
• Sektor Parts
▪ Stamping – dies dan tooling
▪ Extrusion and injection mould – barrels dan die components

Contohnya, pada forging dies. Berdasarkan pengujian H. Kishimoto[4],


forging dies ini diberikan proses boronizing untuk memperkeras materialnya
dimana forging dies itu sendiri terdiri dari 0.4% C, 5% Cr, 1% Mo, dan 1% V.
Kemudian, material tersebut dilakukan proses boronizing selama 3 jam pada
temperatur 900oC. Hasil yang didapatkan adalah rata-rata service life nya
meningkat menjadi 6 kali lipat dan sekurang-kurangnya 2 – 3 kali lipat dari
maksimum 10 kali lipat.
Referensi

[1] Fichtl, W. (1981). Boronizing and its practical applications. Materials and
Design, 2(6), 276–286. https://doi.org/10.1016/0261-3069(81)90034-0

[2] Chatterjee-Fischer, R. Powder Metal-lurgy (2) 96-99, (1977).


[3] Dautzenberg, N. Das Borieren von Sinterstählen, Vorträg
anlaβ1.5.Europ.Symposium “Pulvermetallurgie” (PM-78 SEMP), Stockholm, 4. –
8.6.78.
[4] Kishimoto, H. Private Communication
Pembuatan Logam Karbida dengan Rotary Contact Diffusion (no. 13)

Rotary Contact Diffusion adalah suatu tungku melingkar yang


memanaskan panas, yang berputar selama perlakuan panas dan dirancang dalam
keadaan vakum. Sampel yang diangkut melalui tungku dengan jalur melingkar
saat dipanaskan. Rotary tube umumnya membakar bahan bakar bubuk, padat, gas
atau cair ke dalam bagian kerjanya, dan kemudian sampel dialirkan gas panas.
Rotary Contact Diffusion menggunakan jet cairan berkecepatan tinggi untuk
mengarahkan molekul gas sisa di pompa ke bagian bawah pompa dan
mengeluarkan zat melalui pompa mekanis.[1][2]
Tungku ini berbentuk drum logam yang dilapisi dengan material
refraktori yang dipasang pada sebuah sudut. Bagian luar pompa difusi didinginkan
dengan menggunakan aliran udara atau saluran air. Rotary Contact Diffusion
dirancang untuk memanaskan material untuk pemrosesan fisiokimia, dan
diklasifikasikan berdasarkan metode pertukaran panasnya(aliran gas paralel atau
yang berlawanan) dan metode pemindahan energinya (langsung, tidak langsung
atau gabungan).[1][2]
Pengaplikasian logam karbida diperlukan untuk memperkeras permukaan
suatu material. Pengerasan permukaan dapat dilakukan dengan carburizing dan
nitridizing. Proses yang dilakukan dalam pengerasan permukaan biasanya
menghasilkan kekerasan yang berbeda di setiap permukaannya. Dengan adanya
metode Rotary Contact Diffusion , maka hasil pengerasan permukaan akan lebih
merata dan tersebar akibat mekanisme ganda antara rotary dan diffusion yang
dilakukan dalam metode ini.

Referensi
[1] Lehner, D., Lindner, H., & Glatter, O. (2000). Determination of the
Translational and Rotational Diffusion Coefficients of Rodlike Particles
Using Depolarized Dynamic Light Scattering. Langmuir, 16(4), 1689-
1695. doi:10.1021/la9910273
[2] Linn High Therm. (2017, August 30). Retrieved October 12, 2017, from
https://www.linn-high-therm.de/

Anda mungkin juga menyukai