Anda di halaman 1dari 68

PENGANTAR PENULIS - TERJEMAH KITAB AL-WAJIZ FI USHUL

AL-FIQH (2 Habis)

Puji syukur hanya milik Allah, dzat penguasa alam semesta. Doa keselamatan selalu terlantun bagi
junjungan Nabi besar Muhammad SAW, keluarga dan para sahabatnya.

Para pakar hukum islam telah merumuskan sebuah ilmu yang tak ternilai harganya sepanjang sejarah
umat manusia, ilmu itu adalah ilmu ushul fiqh, sebuah ilmu dengan rumusan yang jelas dan sistematis
dari semua sudut pandang. Mereka mendedikasikan semua upaya untuk agama Islam melalui
pemahaman Al Quran dan Sunnah, juga hukum yang dicetuskan dari keduanya dan dari sumber-sumber
lain yang diakui.

Beberapa tahun sebelumnya, saya menulis beberapa coretan tentang ushul fiqh sebagai bahan mata
kuliah mahasiswa semester empat di Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Baghdad, kemudian saya
kumpulkan coretan-coretan tersebut dalam sebuah kitab yang saya beri nama: Al Wajiz fi Ushul al Fiqh.
Saya juga telah melakukan beberapa perbaikan yang saya anggap perlu dari cetakan sebelumnya,
menambah contoh dan hal-hal yang harus dikurangi dan disepadankan. Pepatah mengatakan: ‘tidaklah
seseorang menulis pada hari ini kecuali dia akan mendapati kekurangan dalam tulisannya keesokan
hari’, karena hal itu merupakan salah satu bukti terjelas dari kekurangan dan kelemahan manusia dan
hanya Allah satu-satunya dzat yang sempurna, tetapi banyak di antara manusia yang tidak
menghiraukan.

Penambahan-penambahan tersebut seperti penambahan beberapa contoh dari kaidah bahasa untuk
kaidah-kaidah ushul fiqh yang berhubungan dengan penjelasan nash, karena kaidah bahasa merupakan
tolak ukur akan benar salahnya pemahaman, penjelasan dan maksud dari sebuah teks berbahasa arab,
juga karena selama sebuah aturan tertulis dalam bahasa arab, maka sudah pasti alat yang digunakan
untuk memahaminya adalah kaidah bahasa arab.

Akhir kata, saya berharap agar upaya saya yang sedikit ini dapat memberikan kemudahan bagi para
pelajar dalam memahami ilmu usul fiqh sesuai kadar kebutuhan. Hanya kepada Allah saya meminta,
agar taufiq-Nya selalu menyertai saya dan orang yang mempelajari ushul fiqh dalam menjalankan
syariat dan menegakkan kalimat-Nya. Sesungguhnya Dia maha mendengar dan maha mengabulkan doa.

Baghdad, 9 Syawal 1396 H/22 Oktober 1976


Penulis :
HUKUM DAN MACAM-MACAMNYA - Terjemah Kitab Al-Wajiz
fi Ushul al-Fiqh (3 Habis)

DEFINISI DAN PEMBAGIAN HUKUM

Mengetahui hukum syara’ adalah puncak tujuan dari ilmu fiqh dan ushul fiqh. Ushul fiqh berperan
meletakkan kaidah dan metode pengantar hukum, sedangkan ilmu fiqh berperan melakukan pencetusan
hukum dan menerapkan kaidah dan metode yang telah diletakkan ushul fiqh.

Menurut ulama ushul fiqh, hukum adalah: khithob Allah yang berhubungan dengan perbuatan
mukallaf[1] berupa tuntutan (iqtidla’), pilihan (takhyir) atau ketetapan (positif/wadl’i).[2]

Yang dimaksud dengan khithob Allah adalah: firman Allah secara langsung yakni Al Quran, dan firman
Allah melalui perantara yang semuanya merujuk pada firman Allah yang langsung itu, yakni sunah,
ijma’, dan semua dalil yang diletakkan Allah untuk mengetahui hukum-Nya.

Sunah: sesuatu yang bersumber dari Rasulullah SAW yang termasuk dalam kategori hukum syara’. Sunah
merujuk pada firman Allah karena merupakan penjelas dari firman Allah itu. Sunah adalah wahyu Allah,
Allah berfirman, “Dan dia (Muhammad) tidak berbicara dari hawa nafsunya, perkataannya tidak lain
adalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (An-Najm: 3).

Ijma’ harus memiliki dalil dari Al Quran atau sunah. Dengan ini maka jelaslah bahwa ijma’ merujuk
pada firman Allah.

Demikian pula dalil-dalil syara’ yang lain, semuanya berperan menyingkap khithob Allah dan
mencetuskan hukum syara’, bukan meletakkan hukum.

Penjelasan:

Iqtidla’: Tuntutan, baik tuntutan untuk melakukan atau tuntutan untuk meninggalkan. Macam-macam
tuntutan itu baik berdasarkan keharusan (ilzam) atau memilih yang paling unggul (tarjih).

Takhyir: menyamakan antara melakukan atau meninggalkan, tidak mengunggulkan salah satunya dan
membolehkan keduanya untuk dilakukan oleh mukallaf.
Wadl’: menjadikan sesuatu sebagai sebab (sabab), syarat (syarth) atau penghalang (mani’) bagi sesuatu
yang lain.[3]

Maka ayat “Wahai orang-orang yang beriman, tepatilah janjimu” (Al-Maidah: 1) adalah hukum syara’,
karena merupakan khithab Allah yang berhubungan dengan salah satu perbuatan mukallaf, yakni
tuntutan untuk menepati janji.

Ayat “Dan janganlah kamu mendekati zina, karena zina adalah perbuatan keji dan seburuk-buruknya
jalan” (Al-Isra’: 32) adalah hukum syara’ karena merupakan khithab Allah yang berupa tuntutan untuk
meninggalkan perbuatan zina.

Ayat “Jika kamu sudah melakukan tahallul, maka berburulah…” (Al-Maidah: 2) adalah hukum syara’
karena merupakan khithab Allah yang berupa kebolehan berburu binatang setelah bertahallul dari
ihram.

Ayat “Jika shalat (jum’at) sudah dilaksanakan, maka menyebarlah kamu di muka bumi…” (Al-Jumu’ah:
10) adalah hukum syara’, karena merupakan khithab Allah yang berupa kebolehan melakukan aktifitas
setelah selesai melaksanakan shalat jum’at.

Ayat “Dan bagi Allah (wajib) atas manusia berhaji ke baitullah, yakni orang-orang yang mempu
menempuh perjalanan (ke baitullah)” (Ali Imran: 97) adalah hukum syara’ karena merupakan khithab
Allah yang berupa kewajiban haji bagi mukallaf.

Ayat “Pencuri laki-laki dan pencuri wanita, maka potonglah tangan keduanya sebagai balasan dari
perbuatannya” (Al-Maidah: 38) adalah hukum syara’ karena merupakan khitab Allah yang menjadikan
pencurian sebagai sebab dari wajibnya potong tangan bagi pencuri.

Ayat “Tegakkanlah shalat pada waktu tergelincirnya (duluk) matahari…” (Al-Isra’: 78) adalah hukum
syara’ karena merupakan khithab Allah yang menjadikan tergelincirnya matahari sebagai sebab
wajibnya shalat.[4]

Sabda Nabi SAW “Tiga perkara yang tidak dicatat: orang tidur sampai dia bangun, anak kecil sampai dia
mimpi basah, dan orang gila sampai dia sembuh” adalah hukum syara’ karena merupakan khithab Allah
yang menunjukkan bahwa tidur, belia, dan gila adalah penghalang seseorang dari pembebanan hukum
(taklif).

Dari definisi hukum menurut ulama ushul fiqh di atas, maka kita dapat mengetahui dua hal:

Petama, menurut ulama ushul fiqh, khithab Allah yang tidak berhubungan dengan perbuatan mukallaf
tidak bisa disebut hukum. Di antaranya khithab Allah yang berhubungan dengan dzat dan sifat-Nya,
seperti ayat, “Dan Allah maha mengetahui atas segala sesuatu”, khithab Allah yang berhubungan
dengan benda-benda ciptaan-Nya, seperti ayat, “Dan matahari, bulan dan bintang tunduk di bawah
perintah-Nya” (Al-A’raf: 54) dan ayat, “Tidakkah kami ciptakan bumi sebagai hamparan dan gunung
sebagai pasak?” (An-Naba’: 6), dan khithab Allah yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf tetapi
tidak berupa tuntutan, pilihan atau ketetapan, seperti kisah-kisah dalam Al Quran, misalnya ayat, “Alif
laam miim, bangsa romawi pasti akan dikalahkan. Di negeri yang terdekat, dan mereka akan menang
(lagi) setelah dikalahkan. Dalam beberapa tahun (lagi)…” (Ar-Rum: 1-2) juga seperti kabar-kabar
penciptaan, misalnya ayat, “Allah telah menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat.” (As-Shaffat:
96).

Kedua, menurut ulama ushul fiqh, yang dimaksud dengan hukum adalah khitab Allah atau nash-nash itu
sendiri. Sedangkan menurut ulama fiqh, hukum adalah akibat khithab itu, artinya sesuatu yang
terkandung dalam khithab. Maka menurut ulama ushul fiqh, ayat “Dan janganlah kamu mendekati zina”
adalah hukum, sedangkan menurut ulama fiqh yang disebut dengan hukum adalah akibat yang
terkandung dalam ayat itu, yakni haramnya zina.

Macam-macam Hukum Syara’

Menurut Ulama ushul fiqh, hukum syara’ ada dua macam:[5]

Pertama, Hukum Taklifi: yakni hukum yang mengandung tuntutan untuk melakukan, meninggalkan atau
memilih antara melakukan atau meninggalkan.

Hukum ini disebut dengan taklifi karena di dalamnya ada beban bagi manusia. Beban itu terlihat jelas
karena merupakan suatu tuntutan, baik tuntutan untuk mengerjakan atau meninggalkan, dan takhyir
(mubah) dimasukkan dalam hukum taklifi karena dimutlakkan dan digolongkan secara istilah, bukan
hakikatnya, atau bisa juga dikatakan bahwa maksudnya adalah: hukum takhyir/mubah hanya berlaku
bagi mukallaf, artinya kebolehan memilih antara mengerjakan dan meninggalkan hanya berlaku bagi
orang yang telah dibebani tuntutan, baik tuntutan untuk mengerjakan atau meninggalkan. Inilah alasan
mengapa takhyir/mubah dimasukkan dalam hukum taklifi, bukan berarti bahwa mubah itu adalah
sesuatu yang dibebankan kepada mukallaf.[6]

Kedua, hukum wadl’i: hukum yang menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat, atau penghalang bagi
sesuatu yang lain.

Hukum ini disebut dengan wadl’I karena merupakan perantara antara dua hal dengan hubungan sebab,
syarat, atau penghalang (mani’) yang telah ditetapkan syari’ (Allah). Artinya syari’ telah menetapkan
bahwa ini menjadi sebab bagi ini, ini menjadi syarat bagi ini atau ini menjadi penghalang bagi ini.
Untuk contoh-contoh hukum taklifi dan hukum wadl’I sudah dijelaskan sebelumnya.

Perbedaan Hukum Taklifi dan Hukum Wadl’i

a. Hukum taklifi menuntut seorang mukallaf untuk melakukan sesuatu, meninggalkan atau memilih
antara keduanya, sedangkan hukum wadl’I tidak menunjukkan suatu tuntutan, hukum wadl’I hanya
menjelaskan bahwa syari’ telah menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat, atau penghalang bagi
sesuatu yang lain, agar mukallaf mengetahui kapan ada dan tidaknya hukum syara’.
b. Dalam hukum taklifi, sesuatu yang dibebankan (mukallaf bih) adalah sesuatu yang mampu dikerjakan
atau ditinggalkan oleh mukallaf dan berada dalam kekuasaan dan kadar kemampuannya, karena tujuan
dari pembebanan hukum adalah ketaatan mukallaf terhadap hukum yang dibebankan itu. Maka sia-sia
saja jika sesuatu yang dibebankan itu berada di luar kadar kemampuannya, dan hal ini tidak mungkin
terjadi dalam ketentuan syari’. Dalam kaidah disebutkan bahwa, “Pembebanan hukum hanya berlaku
jika berada dalam kadar kemampuan mukallaf.”

Sedangkan dalam hukum wadl’I, sesuatu itu tidak harus selalu berada dalam kadar kemampuan
mukallaf, kadang ia di luar kadar kemampuan. Akan tetapi jika sesuatu itu ada, maka pasti ada
akibatnya.

Hukum wadl’I yang berada dalam kadar kemampuan mukallaf di antaranya adalah: pencurian, zina, dan
perbuatan dosa yang lain, syari’ telah menetapkannya sebagai sebab yang memiliki akibat. Pencurian
adalah sebab dan akibatnya adalah hukum potong tangan, zina adalah sebab dan akibatnya adalah
hukum cambuk atau rajam, dan sebagainya.

Demikian pula semua akad dan transaksi, semua itu merupakan sebab yang memiliki akibat syara’. Jual
beli adalah sebab berpindahnya kepemilikan, menikah adalah sebab halalnya hubungan suami-isteri dan
tetapnya hak-hak kedua belah pihak, menghadirkan saksi adalah syarat sahnya pernikahan dan wudlu
adalah syarat sahnya shalat, karena itulah nikah tidak sah tanpa saksi dan shalat tidak sah tanpa wudlu.
Membunuh pemberi harta waris adalah penghalang bagi ahli waris memperoleh harta warisan dan
membunuh pemberi wasiat adalah penghalang bagi penerima wasiat memperoleh apa yang
diwasiatkan.

Sedangkan hukum wadl’I yang berada di luar kadar kemampuan mukallaf di antaranya adalah:
datangnya bulan Ramadhan sebagai sebab wajibnya puasa, tergelincirnya matahari sebagai sebab
wajibnya shalat, kekerabatan sebagai sebab hubungan waris. Ketiga sebab itu di luar kadar kemampuan
mukallaf. Baligh adalah syarat berakhirnya kekuasaan wali dan cakap adalah syarat bolehnya
melakukan beberapa transaksi. Baligh dan cakap adalah syarat yang tidak bisa diusahakan oleh
mukallaf. Status bapak adalah penghalang diberlakukannya hukum qishash baginya jika dia membunuh
anaknya dengan sengaja, gila adalah penghalang diberlakukannya hukum bagi orang gila, dan status
penerima wasiat sebagai ahli waris adalah penghalang baginya menerima wasiat menurut sebagian
ulama fiqh. Ketiga penghalang itu di luar batas kemampuan mukallaf.

________________________________________

[1] Mukallaf: orang yang sudah baligh dan berakal. Disebut dengan mahkum ‘alaih (orang yang sudah
dibebani hukum). Hal ini akan dijelaskan kemudian. 

[2] Fawatih ar Rahamut (Abdul Ali Muhammad bin Nidhamuddin al Anshari) syarah dari Muslam ats
Tsubut (Muhibbullah bin Abdussyakur) Juz. 1 hal. 54 dan Irsyad al Fuhul (Imam as Syaukani) hal. 5.

[3] Yang sama dengan hal ini adalah menggolongkan sesuatu sebagai shahih, bathil, atau fasid. Hal ini
akan dijelaskan dalam bab selanjutnya.

[4] Duluk: bergesernya matahari ke tengah langit dan condong ke arah barat.

[5] Sebagian ulama ushul fiqh membagi hukum dalam tiga macam: 1) Hukum Iqtidla’i: hukum yang
mengandung tuntutan untuk mengerjakan atau meninggalkan. 2) Hukum Takhyiri: hukum yang
mengandung pilihan antara mengerjakan atau meninggalkan. 3) Hukum wadl’i: hukum yang menjadikan
sesuatu sebagai sebab, syarat atau penghalang bagi sesuatu yang lain (Al Amidi, Juz. 1, hal. 137).
Pembagian ini adalah pembagian yang paling cocok dengan definisi, akan tetapi kami memilih
pembagian yang sudah tersebar di kalangan sebagian besar ulama ushul fiqh yang membagi hukum
menjadi dua macam.

[6] Alu Taimiyah, Al Musawwadah fi ushul al fiqh, hal. 36.

HUKUM TAKLIFI - Terjemah Kitab Al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh


(4 Habis)

Mayoritas ulama ushul fiqh[1] membagi hukum taklifi menjadi lima macam:

1. Ijab: tuntutan yang harus dan memaksa dari syari’ pada mukallaf untuk mengerjakan sesuatu. Akibat
yang ditimbulkan oleh perbuatan mukallaf itu dinamakan wujub dan perbuatannya dinamakan wajib.

2. Nadb: tuntutan yang bukan paksaan dan keharusan dan hanya bersifat anjuran (tarjih) dari syari’
pada mukallaf untuk mengerjakan sesuatu. Akibat yang ditimbulkan oleh perbuatan mukallaf itu juga
dinamakan nadb sedangkan perbuatannya dinamakan mandub.

3. Tahrim: tuntutan yang harus dan memaksa dari syari’ pada mukallaf untuk meninggalkan sesuatu.
Akibat yang ditimbulkan oleh perbuatan mukallaf itu dinamakan hurmah dan perbuatannya dinamakan
haram atau muharram.

4. Karahah: tuntutan yang bukan paksaan dan keharusan dan hanya bersifat anjuran dari syari’ pada
mukallaf untuk meninggalkan sesuatu. Akibat yang ditimbulkan oleh perbuatan mukallaf itu juga
dinamakan karahah sedangkan perbuatannya dinamakan makruh.

5. Ibahah: pilihan dari syari’ pada mukallaf antara mengerjakan atau meninggalkan, tidak ada anjuran
untuk memillih salah satu keduanya. Akibat yang ditimbulkan oleh perbuatan mukallaf itu juga
dinamakan ibahah sedangkan perbuatannya dinamakan mubah.

Dari penjelasan di atas, jelaslah bahwa yang dituntut untuk dikerjakan itu ada dua macam, yakni wajib
dan mandub, yang dituntut untuk ditinggalkan ada dua macam pula, yakni muharram dan makruh, dan
yang merupakan pilihan antara mengerjakan atau meninggalkan ada satu macam, yakni mubah.
Selanjutnya kami akan menjelaskan masing-masing dari macam-macam hukum taklifi di atas.

___________________________________________

[1] Madzhab Hanafiyah membagi hukum taklifi menjadi tujuh macam: iftiradl, ijab, nadb, tahrim,
karahah tahrim, karahah janzih dan ibahah.

WAJIB DAN MACAM-MACAMNYA - Terjemah Kitab Al-Wajiz fi


Ushul al-Fiqh (5 Habis)

Wajib menurut syara’[1]: perbuatan yang harus dilakukan oleh mukallaf berdasarkan tuntutan syari’.
Konsekuensinya, yang meninggalkan mendapat celaan dan dosa, dan yang mengerjakan mendapat
pujian dan pahala.[2]

Kepastian atau keharusan melakukan itu dapat diketahui dari bentuk kata yang menunjukkan tuntutan
seperti bentuk kata amar yang menunjukkan wajib atau jika dalam kalimat itu disebutkan siksaan/dosa
bagi yang meninggalkan. Mengerjakan shalat, berbuat baik pada orang tua, menepati janji dan
sebagainya adalah perbuatan wajib yang diharuskan oleh syari’ untuk dikerjakan oleh mukallaf, dan dia
berdosa jika meninggalkan perbuatan itu.

Menurut jumhur ulama, wajib adalah fardhu, keduanya sama baik hukum maupun maknanya, yakni
berarti perbuatan yang harus dilakukan dan berakibat dosa bagi yang meninggalkan.[3]

Sedangkan Hanafiyah membedakan antara fardhu dan wajib dari segi dalil yang mendasari tetapnya
keharusan melakukan perbuatan. Jika dalil yang mendasari adalah dhanni maka dinamakan wajib,
seperti hadits ahad yang menetapkan wajibnya menyembelih binatang kurban. Tetapi jika dalil yang
mendasari adalah qath’i maka dinamakan fardhu, seperti nash Al Quran yang menetapkan wajibnya
shalat.

Hanafiyah melihat dalil yang mendasari tetapnya keharusan, karena itulah mereka membedakan antara
fardhu dan wajib. Sedangkan mayoritas ulama melihat keharusan perbuatannya, tidak melihat apakah
dalil yang mendasari adalah qath’I atau dhanni, karena itulah mereka tidak membedakan antara fardhu
dan wajib dan menjadikan keduanya layaknya dua nama yang bermakna satu.
Karena Hanafiyah membedakan antara fardhu dan wajib, maka menurut mereka kadar keharusan
melaksanakan fardhu berada di atas keharusan melaksanakan wajib, dosa meninggalkan fardhu lebih
besar dari pada dosa meninggalkan wajib, dan orang yang mengingkari fardhu dianggap kufur
sedangkan orang yang meninggalkan wajib tidak dianggap kufur.

Yang jelas perbedaan di atas hanya perbedaan penyebutan, bukan perbedaan pokok. Karena pada
dasarnya Hanafiyah dan jumhur ulama sepakat bahwa fardhu sama seperti wajib, sama-sama tuntutan
yang harus dikerjakan dan berakibat dosa dan siksa bagi yang meninggalkan.

Mereka juga sepakat bahwa dalil yang mendasari tuntutan yang bersifat harus itu bisa berupa dalil
qath’I dan bisa berupa dalil dhanni, hanya saja orang yang meninggalkan perbuatan yang dituntut
berdasarkan dalil qath’I dianggap kufur.

Jumhur ulama menyamakan fardhu dan wajib karena keduanya adalah keharusan dan berakibat dosa
bagi mukallaf yang meninggalkan, hal ini sudah cukup dijadikan alasan untuk menggolongkan fardhu
dan wajib sebagai satu entitas.

Sedangkan sudut pandang dalil, kadar keharusan, kadar dosa dan pengkufuran bagi yang mengingkari
fardhu adalah hal-hal di luar hakikat perbuatan yang harus dilakukan mukallaf yang disebut dengan
wajib itu, karena semua sepakat bahwa wajib adalah obyek khithab syari’ yang menunjukkan tuntutan
yang harus dan pasti.

Kesimpulannya, perbedaan tersebut hanya perbedaan penyebutan, hanya merujuk pada dalil spesifik
yang merupakan bahasan fiqh dan bukan kewenangan ushul fiqh, dan sebenarnya tidak ada perbedaan
pokok di antara para ahli fiqh.

Macam-macam Wajib

Wajib ada bermacam-macam dilihat dari berbagai segi; dari segi waktu pelaksanaan, kadar, tertentu
tidaknya, dan dari segi subyeknya.

1. Dilihat dari Waktu pelaksanaannya


Ada dua macam, wajib mutlak dan wajib muqoyyad.

Wajib mutlak: perbuatan yang harus dilaksanakan tanpa batas waktu tertentu. Seorang mukallaf boleh
melaksanakan perbuatan wajib itu kapanpun dia mau dan dia tidak memiliki tanggungan lagi setelah
melaksanakan kewajibannya. Dia tidak berdosa jika melaksanakan di akhir waktu, tetapi selayaknya dia
segera melaksanakannya sesegera mungkin sebab waktu adalah hal yang abstrak dan manusia tidak
mengetahui kapan kematian datang.

Wajib mutlak itu di antaranya: mengganti (qodlo’) puasa ramadhan bagi mukallaf yang tidak dapat
melaksanakannya karena berhalangan. Menurut sebagian ulama fiqh seperti Hanafiyah, ia bebas
menggantinya tanpa dibatasi tahun, tetapi ulama fiqh lain masih berbeda pendapat tentang ini.

Kafarat wajib bagi orang yang melanggar sumpah, dia wajib membayar kafarat segera setelah dia
melakukan pelanggaran atau dapat dilaksanakan setelahnya.

Demikian pula ibadah haji, orang yang mampu boleh melaksanakannya di tahun kapan pun dia mau,
karena ibadah haji adalah ibadah yang boleh tidak segera dilakukan (tarakhi).

Wajib muwayyad: perbuatan yang harus dilaksanakan dengan batas waktu tertentu yang telah
ditentukan syari’, seperti shalat lima waktu dan puasa ramadhan, keduanya tidak boleh dilaksanakan
sebelum atau setelah waktu yang telah ditentukan dan tidak boleh diakhirkan tanpa alasan yang
dibolehkan syara’.

Dengan demikian, keharusan pada wajib muqayyad terletak pada pelaksanaan dan waktu
pelaksanaannya, sedangkan keharusan pada wajib mutlak hanya terletak pada pelaksanaannya, bukan
pada waktu pelaksanaannya.

Ada’: Jika seorang mukallaf melaksanakan perbuatan wajib secara sempurna pada waktunya.

I’adah: jika seorang mukallaf melaksanakan perbuatan wajib pada waktunya tetapi tidak sempurna
kemudian disempurnakan lagi di waktu yang sama, penyempurnaan itulah yang dinamakan I’adah.

Qadla’: jika seorang mukallaf melaksanakan perbuatan wajib setelah waktunya lewat.[4]

2. Dilihat dari kadarnya

Ada dua macam: wajib muhaddad dan wajib ghairu muhaddad.

Wajib muhaddad: perbuatan wajib yang kadarnya telah ditentukan syari’, seperti zakat, harga
pembelian dan penjualan, diyat dan sebagainya.

Wajib muhaddad berkaitan dengan tanggungan, kadar perbuatan wajib itu tidak ditentukan oleh
putusan pengadilan atau kesepakatan karena sudah ditentukan oleh syari’, dan seorang mukallaf bisa
dikatakan telah melaksanakan perbuatan wajib itu jika dia melaksanakannya sesuai dengan kadar yang
telah ditentukan syari’.

Wajib ghairu muhaddad: perbuatan wajib yang kadarnya tidak ditentukan oleh syari’, seperti infaq di
jalan Allah (selain zakat). Infaq ini tidak ditentukan kadarnya oleh syari’, tetapi tergantung pada
tingkat kebutuhan orang yang membutuhkan dan kemampuan orang yang berinfaq. Maka jika seseorang
ditunjuk untuk menutupi kebutuhan seorang fakir, maka dia memiliki tanggungan wajib ghairu
muhaddad, dia wajib berinfaq sesuai kadar kebutuhan si fakir.

Tolong menolong dalam hal kebaikan juga termasuk wajib ghairu muhaddad, karena kadarnya
tergantung pada kebaikan yang harus dibantu oleh mukallaf agar bisa terwujud itu.

Wajib muhaddad adalah wajib yang tidak menjadi hutang dalam tanggungan mukallaf, karena sesuatu
yang menjadi tanggungan harus berupa sesuatu yang memiliki kadar. Karena itulah menurut sebagian
ulama seperti Hanafiyah, nafkah istri tidak menjadi tanggungan suami sebelum ada keputusan
pengadilan atau kesepakatan antara keduanya, karena tidak ada kadar tertentu atas nafkah sebelum
adanya kedua hal itu. Dengan demikian, suami tidak bisa dituntut membayar wajib nafkah dari masa
sebelumnya sejak dia tidak dapat _ember nafkah isteri berdasarkan keputusan hakim atau
kesepakatan. Tetapi ulama lain seperti Syafi’iyah berpendapat bahwa nafkah termasuk dalam wajib
muhaddad, kadarnya ditentukan berdasarkan keadaan suami, dengan demikian isteri dapat menuntut
nafkah yang tidak diberikan padanya dari masa sebelumnya sejak suami tidak dapat _ember nafkah,
berdasarkan keputusan hakim atau kesepakatan bersama. Pendapat ini juga dijadikan Undang-undang
Hukum Keluarga Iraq No. 88 Tahun 1959.[5]

3. Dilihat dari Tertentu Tidaknya Perbuatan yang Dituntut


Ada dua macam: wajib mu’ayyan dan wajib ghairu mu’ayyan.

Wajib mu’ayyan: perbuatan wajib yang sudah ditentukan dan tidak diberi pilihan lain oleh syari’,
seperti shalat, puasa dan mengembalikan barang ghashab bagi pelaku. Mukallaf tidak bisa lepas dari
tanggungan kecuali dia melaksankan perbuatan itu.

Wajib ghairu mu’ayyan: perbuatan wajib yang tidak ditentukan pada satu pilihan, tetapi mukallaf boleh
memilih salah satu dari beberapa pilihan yang telah ditetapkan oleh syari’.

Wajib ghairu mu’ayyan bisa berupa satu di antara dua pilihan dan mukallaf harus memilih satu di
antara keduanya, seperti dalam firman Allah tentang tawanan perang, “…Sehingga apabila kamu telah
mengalahkan mereka maka tawanlah mereka dan sesudah itu kamu boleh membebaskan mereka atau
menerima tebusan sampai perang berhenti…” (Muhammad: 4) Imam wajib memilih antara
membebaskan mereka atau menerima tebusan.

Juga bisa berupa satu di antara tiga pilihan seperti dalam kafarat sumpah. Pelanggar sumpah harus
memilih satu di antara tiga kafarat yang sudah ditentukan, yakni _ember makan sepuluh orang miskin,
_ember mereka pakaian, atau membebaskan budak. Tetapi tiga pilihan tersebut berlaku bagi orang
yang tidak mampu berpuasa tiga hari berturut-turut, jika dia mampu berpuasa, maka wajibnya menjadi
wajib mu’ayyan, yakni hanya melakukan puasa tersebut.

Wajib ghairu mu’ayyan kadang juga disebut dengan wajib mukhayyar, karena di dalamnya terdapat
pilihan bagi mukallaf.[6]

4. Dilihat dari Subyeknya


Ada dua macam: wajib (fardhu) ‘ain dan wajib (fardhu) kifayah.

Wajib ‘ain: perbuatan wajib yang tuntutannya ditujukan pada setiap orang mukallaf, dalam artian
syari’ mengharuskan perbuatan itu dilakukan oleh setiap orang mukallaf, tidak cukup hanya
dilaksanakan oleh seorang atau sebagian mukallaf saja, dan mukallaf masih memiliki tanggungan
selama dia tidak melaksanakan perbuatan itu, sebab tujuan syari’ tidak akan tercapai kecuali jika
semua mukallaf melaksanakan. Dengan demikian, orang yang meninggalkan mendapat dosa disertai
siksa.

Titik tekan dari wajib ‘ain terletak pada perbuatan dan pelaku. Yang termasuk dalam wajib ‘ain
adalah: shalat, puasa, menepati janji dan memberikan hak kepada setiap orang yang berhak.

Wajib kifayah atau wajib kifa’i: perbuatan wajib yang tuntutannya hanya ditujukan pada sebagian
mukallaf, tidak semuanya. Sebab tujuan syari’ adalah agar perbuatan wajib itu dilaksanakan oleh
sebagian mukallaf.[7] Jika sebagian mukallaf telah melaksanakan, maka gugur kewajiban yang lain.[8]
Sebab perbuatan yang dilaksanakan oleh sebagian telah cukup mewakili yang lain, dengan demikian
yang tidak melaksanakan juga dianggap melaksanakan, tetapi jika tidak ada seorang pun yang
melaksanakan maka semua orang yang mampu berdosa.

Wajib kifayah menuntut dilaksanakannya perbuatan, tidak menuntut mukallaf tertentu. Berbeda
dengan wajib ‘ain yang menuntut setiap orang mukallaf melaksanakan. Yang termasuk dalam wajib
kifayah adalah: jihad, mengambil putusan hukum, mengeluarkan fatwa, memperdalam ilmu agama,
menjadi saksi, amar ma’ruf, nahi munkar, menyediakan barang, lapangan pekerjaan dan ilmu
pengetahuan yang dibutuhkan masyarakat, menyediakan bahan makanan dan kebutuhan masyarakat
yang lain, karena pada umumnya wajib kifayah berkaitan dengan kemaslahatan bersama.

Semua orang mukallaf berdosa jika di antara mereka tidak ada yang melaksanakan wajib kifayah.
Mukallaf yang mampu harus melaksankan dan yang tidak mampu harus mendorong yang mampu untuk
melaksanakan. Karena itulah, jika wajib kifayah tidak dilaksanakan maka dosa ditanggung oleh semua
mukallaf, baik yang mampu maupun yang tidak. Yang mampu karena tidak melaksanakan dan yang
tidak mampu karena tidak mendorong yang mampu untuk melaksanakan. Imam Syafi’I pernah berujar,
“Seandainya semua orang mukallaf meninggalkan wajib kifayah, maka kemungkinan tidak ada seorang
mukallaf pun yang mampu, dapat terhindar dari dosa.”[9]

Berdasarkan deskripsi di atas, maka bagi masyarakat wajib melakukan kontrol terhadap dan mendorong
agar pemerintah memenuhi kewajiban yang berkaitan dengan wajib kifayah atau menyediakan sarana
agar wajib kifayah dapat dilaksanakan, karena pemerintah adalah representasi masyarakat dalam
mewujudkan kemaslahatan bersama dan merupakan lembaga yang mampu memenuhi hal-hal yang
berhubungan dengan wajib kifayah. Jika pemerintah tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, maka
semuanya berdosa karena mereka masaing-masing memiliki peran yang mampu dilakukan; masyakat
berdosa karena tidak dapat mendorong pemerintah untuk memenuhi sarana yang dapat menunjang
wajib kifayah sedangkan pemerintah berdosa karena tidak memenuhi, padahal pemerintah memiliki
kemampuan untuk itu.

Wajib kifayah terkadang dapat berubah menjadi wajib ‘ain seperti masalah jihad: jika tujuan jihad
tidak tercapai, maka jihad menjadi wajib ‘ain bagi setiap mukallaf yang mampu untuk berperang di
setiap medan perang.

Demikian pula jika seorang mukallaf melihat perbuatan tercela dan tidak ada mukallaf lain yang
mengetahui selain dirinya, maka wajib ‘ain baginya untuk berbuat sesuatu sesuai kemampuannya.

Seperti juga seorang dokter di sebuah desa, jika tidak ada dokter lain selain dirinya di desa itu, maka
wajib ‘ain baginya untuk mengobati orang sakit, dan sebagainya.

__________________________________________

[1] (catatan dari penerjemah; perbedaan antara menurut syara’ dan menurut istilah: jika ditulis
menurut syara’, berarti definisi itu disarikan dari nash Al Quran atau Sunah dan jika ditulis menurut
istilah, berarti definisi itu berdasarkan rumusan ulama).

[2] Ibnu Hazm, Al Ihkam, Juz. 3 hal. 321.

[3] Al Musawwadah fi Ushul al Fiqh, hal. 5. Ibnu ‘Aqil al Hanbali meriwayatkan dari Imam Ahmad,
“Fardhu ditetapkan berdasarkan Al Quran dan wajib ditetapkan berdasarkan Sunah.” Berdasarkan
riwayat ini, madzhab Hanabilah juga membedakan antara fardhu dengan wajib seperti halnya
Hanafiyah, hanya saja perbedaan yang diutarakan masing-masing berbeda.

[4] Al Hulli, Tanqih al Ushul ila ‘ilmi al Ushul dan Syaikh Muhammad Abdurrahman al Mahlawi, Tashil al
Wushul ila ‘ilmi al Ushul, hal. 276.

[5] Paragraf keempat dari materi 24: nafkah isteri selama masa suami tidak dapat memenuhi dianggap
sebagai hutang yang harus ditanggung suami, kecuali karena si isteri nusyuz.

[6] Fawatih al Ruhmut syarh muslam al Tsubut, juz. 1, hal. 66.

[7] Taisir at Tahrir, Juz. 2 Hal. 363-364.

[8] Al Musawwadah, Hal. 31.

[9] Imam Syafi’i, Ar Risalah, hal. 366.

MANDUB - Terjemah Kitab Al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh (6 Habis)

Nadb: ajakan pada sesuatu yang penting. Mandub: orang yang diajak. Seperti dalam sebuah syair:

“Saat dia mengajaknya menemui wanita-wanita pengganti, mereka tidak bertanya lagi pada saudaranya
itu, itu adalah bukti bahwa perkataannya benar.”

Menurut istilah, mandub adalah: perbuatan yang dituntut oleh syari’ untuk dikerjakan, tanpa paksaan
dan bukan merupakan keharusan, yang melaksanakan mendapat pujian dan pahala dan yang
meninggalkan tidak dicela dan tidak disiksa[1], tetapi dalam beberapa perkara mandub, mukallaf
mendapat kerugian dan celaan.
Yang menunjukkan bahwa suatu perbuatan dihukumi mandub adalah bentuk kata thalab (amar), jika
terdapat indikasi yang menunjukkan bahwa kata thalab itu tidak menunjukkan wajib, tetapi
menunjukkan anjuran/ajakan, baik indikasinya berada di dalam atau di luar nash.

Ayat, “Hai orang-orang yang beriman, jika kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu tertentu,
maka tulislah…” (Al Baqarah: 282), sekalipun di dalamnya terdapat kata thalab, tetapi tidak
menunjukkan wajib, berdasarkan indikasi dalam ayat setelahnya, yakni “Tetapi jika kamu
mempercayakan pada yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya
(hutangnya)” (Al Baqarah: 283). Nash ini menunjukkan bahwa tuntutan untuk mencatat hutang adalah
anjuran, bukan keharusan. Nash ini termasuk dalam kategori irsyad (bimbingan) pada manusia agar
mereka dapat melidungi haknya dari kesia-kesiaan. Jika mereka tidak melaksanakan bimbingan itu,
maka kemungkinan mereka akan terjerumus dalam kesia-siaan.

Ayat, “Maka buatlah perjanjian dengan mereka (budak-budakmu), jika kamu mengetahui ada kebaikan
pada mereka…” (An Nur: 33) tidak menunjukkan wajibnya mengadakan perjanjian, berdasarkan indikasi
berupa kaidah, “Inna al malik hurrun fi at tasharruf fi mulkihi” (Pemilik bebas melakukan transaksi
terhadap barang miliknya).

Hadits Nabi SAW, “Hai para pemuda, siapa di antara kamu yang mampu menikah (al ba’ah),
menikahlah!”[2], tidak menunjukkan wajibnya menikah bagi mukallaf, karena ada indikasi berupa
riwayat mutawatir dari Nabi SAW bahwa menikah tidak wajib bagi mukallaf, sekalipun dia memiliki
kemampuan.

Mandub juga disebut dengan sunnah, nafilah, mustahab, tathawwu’, ihsan, dan fadhilah. Semua kata
itu bersinonim arti dengan mandub, yakni anjuran untuk mengerjakan sesuatu.[3]

Mandub mempunyai beberapa tingkatan:

Tingkatan yang paling tinggi adalah perbuatan yang ditekuni oleh Nabi dan jarang sekali beliau
tinggalkan, seperti shalat dua raka’at sebelum shalat subuh dan menikah bagi mukallaf yang mampu
dalam kesederhanaan. Perbuatan ini disebut dengan sunnah mu’akkad, yang meninggalkan dicela
tetapi tidak berdosa. Termasuk dalam sunnah mu’akkad adalah adzan yang merupakan syi’ar Islam
yang berhubungan dengan kemaslahatan agama secara umum, oleh karena itu tidak boleh menganggap
remeh adzan, jika dalam sebuah desa tidak ada yang adzan maka mereka harus dipaksa melakukannya.

Tingkatan di bawahnya adalah sunnah ghairu mu’akkad, yakni perbuatan yang tidak selalu dilaksanakan
oleh Nabi SAW seperti shalat empat raka’at sebelum dhuhur dan shadaqah tathawwu’ bagi yang mampu
di saat tidak ada orang yang bershadaqah dan dalam keadaan mendesak dan sangat membutuhkan.

Tingkatan di bawahnya lagi adalah fadhilah, disebut juga dengan adab atau sunah zawaid, contohnya:
mengikuti sifat dan kebiasaan Nabi SAW sebagai manusia biasa seperti tata cara makan, minum, dan
tidur. Mengikuti Nabi SAW seperti dalam hal-hal tersebut adalah mustahab dan menunjukkan
hubungannya dengan Nabi, sedangkan yang meninggalkan tidak mendapat celaan atau kerugian karena
hal-hal itu bukanlah perkara agama dan peribadatan, hanya kebiasaan.

Dua hal yang perlu diperhatikan:


Pertama, secara keseluruhan mandub adalah muqaddimah wajib (permulaan wajib). Karena dengan
mengerjakan perbuatan mandub/sunnah, mukallaf dapat ingat dan mudah mengerjakan perbuatan
wajib dan jika mukallaf dapat selalu menjalankan mandub maka dia dapat dengan mudah menetapi
perbuatan wajib. Dalam hal ini, Imam Syathibi mengatakan, “Jika dilihat secara menyeluruh, mandub
dapat menjadi pelayan, permulaan atau pengingat pada perbuatan wajib, baik dalam perbuatan itu ada
dua hukum (mandub dan wajib seperti shalat) atau tidak.”[4]

Kedua, sekalipun secara parsial mandub bukanlah keharusan, namun secara umum mandub adalah
keharusan. Artinya: mukallaf tidak boleh meninggalkan perbuatan mandub sekaligus karena hal itu
tidak patut dan dia harus diberi arahan dan teguran. Karena itulah, Nabi SAW pernah memerintahkan
untuk membakar rumah orang yang selalu meninggalkan shalat jama’ah.

Dengan demikian, adzan, shalat jama’ah, shadaqah tathawwu’, dan shalat sunah fajar adalah mandub
jika dilihat secara parsial, dan wajib jika dilihat secara universal dan tidak boleh ditinggalkan
sekaligus.

Demikian pula dengan menikah, masyarakat tidak boleh meninggalkannya sekaligus, karena dengan
tidak menikah mereka akan musnah. Menikah adalah mandub jika dilihat secara parsial dan wajib jika
dilihat secara universal. Oleh karena itu, mandub seperti halnya fardhu kiyafah. “Meninggalkan semua
perbuatan mandub dapat melemahkan agama jika dilakukan secara terus menerus, tetapi jika hanya
kadang-kadang, maka hal itu tidak berpengaruh.[5]

____________________________________

[1] Al Musawwadah, Hal. 576 dan Ibnu Hazm, Al Ihkam, Juz. 1 hal. 40 dan Juz. 3 Hal. 321.

[2] Al ba’ah: kemampuan memenuhi kewajiban nikah. 

[3] Dinamakan mandub: karena syari’ mengajak mukallaf untuk melakukannya, mustahab: karena syari’
menyukai perbuatan itu, nafilah/nafl: karena merupakan tambahan fardhu dan menambah pahala,
tathawwu’: karena mukallaf melakukannya dengan sukarela, fadhilah: karena melaksanakannya lebih
baik dari pada meninggalkannya. Ibnu ‘Abidin, Rad al Muhtar: Juz. 1, Hal. 91-seterusnya. 

[4] Imam Syathibi, Al Muwafaqat: Juz. 1 Hal. 151.

[5] Imam Syathibi, Al Muwafaqat: Juz. 1, Hal. 133.

HARAM - Terjemah Kitab Al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh (7 Habis)


Haram adalah perbuatan yang harus ditinggalkan mukallaf berdasarkan tuntutan syari’. Yang
meninggalkan perbuatan itu mendapat pahala dan disebut taat, sedangkan yang melakukannya
mendapat dosa dan telah berbuat maksiat.[1] Dalil yang mendasari keharaman itu bisa berupa dalil
qath’i seperti dalil haramnya zina, atau berupa dalil dhanni seperti hal-hal yang dilarang berdasarkan
sunnah ahad.

Menurut Hanafiyah, haram harus didasarkan pada dalil qath’I, jika didasarkan pada dalil dhanni maka
disebut dengan makruh tanzih.

Tahrim dapat diketahui dari nash yang menggunakan kata tahrim seperti kata haramah dalam ayat,
“Hurrimat ‘alaikum ummahatukum” (Diharamkan bagimu [menikahi] ibu-ibumu) (An-Nisa’: 32) atau
kata halal yang didahului oleh huruf nafi seperti sabda Nabi SAW, “La yahillu maalumri’in muslimin illa
bithibin min nafsihi” (Tidak halal makan harta seorang muslim kecuali atas kerelaannya).[2]

Atau dapat diketahui dari bentuk kata nahi (larangan) disertai dengan indikasi yang menunjukkan
keharusan seperti ayat, “…maka jauhilah berhala-berhala yang najis itu dan jauhilah perkataan dusta.”
(Al Hajj: 30) dan ayat, “…sesungguhnya khamar, judi, berkorban untuk berhala, mengundi nasib dengan
berhala adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan setan, maka jauhilah perbuatan-perbuatan
itu…” (Al Maidah: 90). Atau bentuk kata nahi yang disertai ancaman siksa jika melakukannya, seperti
ayat, “Dan orang-orang yang menuduh (berbuat zina) wanita-wanita yang baik dan mereka tidak
mendatangkan empat saksi maka cambuklah mereka delapan puluh kali.” (An Nur: 4) dan ayat,
“Sesungguhnya orang yang memakan harta anak yatim secara dhalim, maka sesungguhnya mereka telah
memasukkan api neraka dalam perut mereka dan mereka akan dimasukkan dalam neraka sa’ir.”

Macam-macam Haram:

Dari hasil penelitian hukum syara’, diketahui bahwa syari’ hanya mengharamkan sesuatu yang
mengandung kerusakan (mafsadah) yang murni atau lumrah menurut masyarakat. Kerusakan itu
terkadang berasal dari sesuatu yang diharamkan itu sendiri dan hal ini disebut dengan muharram
lidzatihi atau muharram li’ainihi, dan terkadang berasal dari hal lain yang dihubungkan dengan sesuatu
yang diharamkan itu dan hal ini disebut dengan muharram lighairihi.

Muharram lidzatihi: sesuatu yang sejak awal sudah diharamkan oleh syari’ karena mengandung bahaya
dan kerusakan substansial yang tidak terpisahkan, seperti zina, menikahi mahram, makan dan jual beli
bangkai, mencuri, membunuh tanpa hak, dan sebagainya.
Hukum muharram lidzatihi: tidak disyariatkan sama sekali, tidak boleh dilakukan oleh mukallaf dan
berakibat dosa dan siksa jika tetap dilakukan, tidak mempunyai akibat hukum dan tidak dapat menjadi
sebab syara’ dari sesuatu yang diakibatkan dan jika berada dalam akad maka akadnya batal.

Lebih jelasnya, makan bangkai dilarang, mencuri tidak dapat menjadi sebab kepemilikan, zina tidak
dapat menjadi sebab nasab dan waris, jika terjadi jual beli bangkai maka akadnya batal dan tidak
berakibat hukum apapun layaknya pada jual beli yang sah, dan jika akad nikah dilakukan dengan salah
satu mahramnya dan dia mengetahui hal itu, maka akadnya batal dan tidak berakibat hukum apapun
layaknya pada akad nikah yang sah: seperti ketetapan nasab, waris, hak suami-isteri dan berhubungan
badan, bahkan hubungan badan yang dilakukan dianggap sebagai zina.

Akan tetapi, dharurah (keadaan terdesak) terkadang membolehkan muharram lidzatihi. Hal ini karena
sebab diharamkannya muharram lidzatihi adalah untuk menjaga lima perkara pokok, yakni: menjaga
agama, nyawa, akal, kehormatan dan harta. Oleh karena itu, makan bangkai dibolehkan dalam keadaan
sekarat dan boleh minum khamr agar tidak mati, karena menjaga nyawa adalah perkara pokok
sekalipun untuk mewujudkannya harus dengan menghalalkan sesuatu yang haram.

Muharram lighairihi: sesuatu yang pada awalnya disyariatkan karena tidak mengandung bahaya dan
kerusakan serta jelas manfaatnya, tetapi kemudian ada hal lain yang menyebabkan sesuatu itu haram
dilakukan: seperti shalat di tanah hasil ghasab, jual beli saat penggilan shalat jumat, nikah yang
bertujuan untuk menghalalkan wanita yang ditalak tiga untuk dinikahi lagi oleh mantan suaminya
(nikah muhallil), menikahi wanita yang sudah dilamar orang lain, talak bid’i (talak yang dijatuhkan
dengan tidak mengikuti ketentuan al Quran atau sunah), jual beli tempo atau kredit yang bertujuan
riba, dan hal-hal lain yang haram sebab sesuatu di luar substansi perkara. Sebab kaharaman bukan
berasal dari substansi perkara, karena perkara itu sendiri tidak mengandung bahaya dan kerusakan,
tetapi kemudian ada hal lain yang mengandung bahaya dan kerusakan yang dihubungkan dengan
perkara itu sehingga menjadi haram.

Lebih jelasnya, shalat pada mulanya disyariatkan dan wajib dilakukan, tetapi karena dilakukan di
tempat haram yakni tanah hasil ghasab, maka shalat di tanah itu juga haram.

Jual beli pada mulanya boleh, tetapi karena dilakukan saat panggilan shalat jumat maka jual belinya
dilarang karena dapat menghalanginya melaksanakan kewajiban shalat jumat, 

Nikah pada mulanya mubah atau mandub, tetapi karena wanita yang akan dinikahi sudah dilamar orang
lain, maka nikahnya dilarang, karena hal itu berarti melanggar hak orang lain dan dapat menimbulkan
permusuhan.

Nikah dengan tujuan menghalalkan wanita yang ditalak tiga, dilarang karena mengandung mafsadah,
yakni mempermainkan sebab syara’ dan menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya.

Hukum muharram lighairihi adalah sebagaimana analisis kami di atas. Yakni disyariatkan jika dilihat
dari substansi dan awal munculnya dan tidak disyariatkan jika dilihat dari perkara haram yang
dihubungkan dengannya.
Sebagian ahli fiqh mengunggulkan ‘yang disyariatkan pada awalnya’ daripada ‘perkara haram yang
dihubungkan dengannya’. Menurut mereka, muharram lighairihi dapat menjadi sebab syara’ dan
mempunyai akibat hukum sekalipun dilarang jika dilihat dari perkara haram yang dihubungkan
dengannya. Konsekuensinya, jika dihubungkan dengan perkara haram maka yang melakukan mendapat
dosa, tetapi jika dihubungkan dengan perkara itu sendiri maka dia tidak berdosa.

Dengan demikian, shalat di tanah hasil ghasab dihukumi sah, mendapat pahala dan dianggap telah
memenuhi kewajiban shalat, tetapi dia juga berdosa karena melakukannya di tanah ghasab. Juga sah
jual beli pada saat panggilan shalat jumat, tapi juga berdosa karena melakukannya pada waktu yang
dilarang.

Sebaliknya, ada sebagian ahli fiqh lain yang mengunggulkan ‘keharaman yang dihubungkan dengan
perkara’ daripada ‘yang disyariatkan pada awalnya’. Menurut mereka perbuatan yang dilakukan batal,
tidak mempunyai akibat hukum dan yang melakukan mendapat dosa, karena menurut mereka
keharaman tetap berlangsung sekalipun yang dihubungkan adalah perkara yang sejak awal sudah
disyariatkan.

Dengan demikian menurut mereka shalat di tanah hasil ghasab dihukumi batal, begitu pula nikahnya
muhallil, thalak bid’i dan sebagainya.[3]

___________________________________

[1] Ibnu Hazm, Al Ihkam: Juz. 3 Hal. 321. 

[2] Penyebutan muslim pada hadits ini tidak bermaksud bahwa harta seorang kafir dzimmi (bukan
muslim) halal dimakan tanpa seizinnya. Karena pada hakikatnya, haramnya makan dan mengambil
harta tanpa seizin pemiliknya berlaku sama bagi kafir dzimmi dan muslim. Dalam sebuah kaidah, “Yang
boleh bagi kita, boleh bagi kafir dzimmi dan yang tidak boleh, tidak boleh bagi kafir dzimmi.” Ali ra
pernah mengatakan, “Tujuan mengapa digolongkan dengan dzimmi adalah agar darah dan harta
mereka sama dengan kita.” Lihat Al Kasani, Bada’i’ as Shana’i’: Juz. 6, Hal. 111, Sunan ad Darqathni:
Juz. 2, Hal. 350 dan Syarh as Sair al kabir: Juz. 3, Hal. 250.

[3] insyaallah akan dijelaskan lebih lanjut tentang hal ini dalam bab sah dan batal dan bab Nahi.

MAKRUH - Terjemah Kitab Al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh (8 Habis)


Makruh: perbuatan yang lebih utama ditinggalkan daripada dilakukan,[1] atau perbuatan yang dituntut
syari’ untuk ditinggalkan mukallaf, tanpa paksaan dan bukan merupakan keharusan. Yang menunjukkan
makruh: pertama, bentuk kata (sighat) yang dengan sendirinya menunjukkan makna karahah. Kedua,
bentuk kata nahi (larangan) yang disertai indikasi yang memalingkan makna tahrim ke makna karahah.

Contoh yang pertama: hadits Nabi SAW, “Sesungguhnya Allah memakruhkan kamu berpraduga dan
berprasangka, banyak bertanya dan boros.” Dan hadits lain, “Perkara halal yang paling dibenci Allah
adalah thalak.”

Contoh yang kedua, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-
hal yang jika diterangkan kepadamu niscaya menyusahkan kamu” (Al-Maidah: 101), indikasi yang
memalingkan makna tahrim ke makna karahah terdapat pada kalimat selanjutnya dalam ayat yang
sama, “…dan jika kamu menanyakan di waktu Al Qur’an itu sedang diturunkan, niscaya akan
diterangkan kepadamu. Allah memaafkan kamu tentang hal-hal itu. Allah maha pengampun lagi maha
penyayang. 

Hukum makruh: pelakunya hanya mendapat celaan, bukan dosa, dan yang meninggalkan mendapat
pahala jika dilakukan karena Allah.

Penjelasan makruh di atas adalah menurut pendapat dan istilah jumhur ulama, menurut mereka
makruh hanya satu macam, yakni apa yang sudah kami jelaskan.

Sedangkan menurut Hanafiyah, makruh ada dua macam:

Pertama, makruh tahrim: perbuatan yang dituntut paksa oleh syari’ untuk ditinggalkan mukallaf
berdasarkan dalil dhanni, bukan berdasarkan dalil qath’i. Seperti melamar perempuan yang masih
dalam lamaran orang lain dan jual beli barang yang masih dalam transaksi orang lain. Dalil kedua hal
itu adalah hadits ahad yang merupakan dalil dhanni.

Menurut Hanafiyah, makruh tahrim setingkat dengan wajib.

Hukum makruh tahrim adalah sama dengan hukum muharram menurut jumhur, artinya pelakunya
mendapat dosa tetapi tidak dianggap kafir, karena dalil yang mendasari adalah dalil dhanni.

Kedua, makruh tanzih: perbuatan yang dituntut syari’ untuk ditinggalkan mukallaf, tetapi bukan
keharusan. Seperti makan daging kuda dalam peperangan demi memenuhi kebutuhan dan wudlu’
dengan air dalam bejana yang sudah diminum burung pemangsa.
Hukum makruh tanzih: pelakunya tidak berdosa dan tidak mendapat siksa, tetapi hanya dianggap
meninggalkan yang utama (khilaf al-aula) dan meninggalkan yang lebih baik.

Perbedaan ini adalah perbedaan antara Hanafiyah dan jumhur sebagaimana dalam masalah fardhu dan
wajib. Hanafiyah melihat pada dalil yang mendasari tuntutan yang bersifat harus dan memaksa untuk
meninggalkan suatu perbuatan, jika berupa dalil qath’i maka dinamakan muharram, jika berupa dalil
dhanni maka dinamakan makruh tahrim dan jika tuntutannya tidak bersifat harus maka dinamakan
makruh tanzih.

Sedangkan jumhur ulama tidak melihat pada ke-qath’i-an atau ke-dhanni-an dalil, mereka hanya
melihat sifat tuntutan, jika bersifat harus maka dinamakan muharram, baik dalil yang mendasari
adalah dalil qath’I atau dhanni. Sedangkan jika tuntutan bersifat tidak memaksa maka dinamakan
makruh. Makruh menurut jumhur ini setingkat dengan makruh tanzih menurut Hanafiyah.

MUBAH - Terjemah Kitab Al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh (9 Habis)

Mubah: perbuatan yang diperbolehkan syari’ untuk memilih antara melakukan atau tidak melakukan
dan tidak berakibat pahala atau dosa, disebut juga dengan halal.[1]

Ada beberapa hal yang menunjukkan bahwa suatu perbuatan diperbolehkan, diantaranya:

1. Nash yang di dalamnya terdapat kata ‘halal’, seperti ayat, “Pada hari ini dihalalkan bagimu yang
baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu
halal pula bagi mereka…” (Al Maidah: 5).

2. Nash yang di dalamnya terdapat kata yang bermakna ‘tidak berdosa’, seperti:

a. Kata ‘la itsma’, seperti ayat, “…Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa, sedang ia tidak
menginginkannya dan tidak melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya…” (Al Baqarah: 173).

b. Kata ‘la junaha’, seperti ayat, “Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan
sindiran atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu…” (Al Baqarah:
235).
c. Kata ‘laisa haraj’, seperti ayat, “Tidak ada dosa bagi orang buta, tidak pula bagi orang pincang,
tidak pula bagi orang sakit, dan tidak pula bagi dirimu sendiri, untuk makan di rumahmu sendiri atau di
rumah bapak-bapakmu…” (An Nur: 61).

3. Kalimat yang mengandung kata amar dan disertai indikasi yang memalingkan makna wajib ke makna
ibahah. Seperti ayat, “…Dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, maka berburulah…” (Al
Maidah: 2), artinya: jika kamu telah bertahallul, maka kamu boleh berburu.

4. Istishab pada hal-hal yang pada asalnya dibolehkan, berdasarkan kaidah yang menyatakan bahwa
hukum asal segala sesuatu adalah boleh. Hal ini insya Allah akan dijelaskan tersendiri secara rinci pada
pembahasan istishhab yang merupakan salah satu dalil hukum.

Dengan demikian, maka hukum asal dari perbuatan seperti akad dan transaksi dan hal-hal seperti
tanah, binatang dan tanaman adalah boleh berdasarkan istishab, selama tidak ada dalil yang
menunjukkan hukumnya secara jelas.

Hukum mubah: tidak berakibat pahala atau dosa. Tetapi terkadang mendapat pahala jika dilakukan
dengan niat atau maksud tertentu, seperti orang yang melakukan olahraga badan dengan niat
memperkuat badan agar lebih kuat memerangi musuh.

Harus diperhatikan bahwa mubah yang kami jelaskan di atas adalah dilihat secara parsial, karena jika
dilhat secara universal maka bisa menjadi diperintahkan atau dilarang. Kebolehan (ibahah) hanya
tertentu pada sebagian dan kadar waktu tertentu, tidak semuanya dan tidak selamanya.

Misalnya makan hukumnya mubah, mukallaf boleh memilih bermacam-macam makanan, makan apapun
dan kapanpun sesukanya, tetapi jika dilihat secara keseluruhan maka mukallaf dituntut untuk makan,
karena makanan merupakan penopang bagi kelangsungan hidup, sedangkan menjaga jiwa adalah suatu
keharusan.

Menikmati makanan dan minuman yang enak dan pakaian yang bagus hukumnya boleh jika dilihat
secara parsial dan dalam kadar waktu tertentu, mukallaf boleh menikmati atau meninggalkan
kenikmatan itu secara parsial, dia juga tidak berdosa jika tidak melakukannya dalam kadar waktu
tertentu sekalipun dia memiliki kemampuan. Akan tetapi jika dia meninggalkannya secara keseluruhan,
maka dia telah menyalahi kesunahan, dalam hadits disebutkan bahwa Nabi SAW bersabda,
“Sesungguhnya Allah senang melihat hamba-Nya menikmati karunia-Nya.” Dalam hadits lain, “Jika
Allah melapangkan (rizki-Nya) kepadamu, maka lapangkanlah untukmu.” Dengan demikian, maka
meninggalkan hal-hal yang baik secara keseluruhan adalah makruh, melakukannya secara keseluruhan
adalah sunah dan di tengah-tengah keduanya, yakni terkadang meninggalkan dan terkadang
melaksanakan adalah mubah.

Hiburan seperti piknik di taman, permainan dan mendengarkan hal-hal yang boleh dan sebagainya
adalah boleh jika dilihat secara parsial, artinya mukallaf boleh melakukannya kadang-kadang. Akan
tetapi jika dia melakukannya terus-menerus dan menghabiskan waktunya untuk hiburan, maka dia
menyalahi kebiasaan yang baik dan dihukumi makruh. Hukum makruh ini hanya terjadi jika dia
melakukannya terus menerus dan menghabiskan waktunya untuk hiburan, tetapi jika dia melakukannya
pada waktu tertentu saja, maka tidak dihukumi makruh.
Bersetubuh/bersenggama antara suami-isteri hukumnya mubah, tetapi jika suami-isteri tidak
melakukannya secara keseluruhan dan terus-menerus maka hukumnya haram, karena mendatangkan
bahaya bagi isteri dan mengabaikan tujuan pernikahan. Oleh karena itu, hukum mubahnya
bersenggama adalah dilihat secara parsial, tidak dilihat secara universal.

____________________________________

[1] As-Syaukani, hal. 6, As-Syathibi, hal. 40.

‘AZIMAH DAN RUKHSHOH - Terjemah Kitab Al-Wajiz fi Ushul


al-Fiqh (10 Habis)

‘Azimah dan rukhshoh termasuk dalam pembagian hukum taklifi. Hal ini karena ‘azimah adalah sebutan
bagi perbuatan yang dituntut atau dibolehkan oleh syari’ secara umum dan rukhshoh adalah sebutan
bagi perbuatan yang dibolehkan oleh syari’ di saat mendesak sebagai keringanan bagi mukallaf dan agar
dia tidak merasa berat. Sedangkan tuntutan dan pembolehan adalah bagian dari hukum taklifi.

Sebagian ulama berpendapat bahwa ‘azimah dan rukhshoh termasuk dalam pembagian hukum wadl’i.
Karena ‘azimah pada dasarnya adalah syari’ membuat kondisi biasa para mukallaf sebagai sebab bagi
eksistensi dan konsistensi hukum asal. Sedangkan rukhshah pada dasarnya adalah syari’ membuat
keadaan yang baru muncul di luar kebiasaan sebagai sebab adanya dispensasi bagi mukallaf, dan sabab
adalah bagian dari hukum wadl’i.

Tetapi yang lebih kuat dan yang kami ambil adalah pendapat ulama golongan pertama; yakni ‘azimah
dan rukhshah adalah bagian dari hukum taklifi.

Secara etimologi, ‘azimah adalah: keinginan yang kuat. Termasuk dalam arti ini adalah firman Allah,
“…maka ia (Adam) lupa (akan perintah itu), dan tidak Kami dapati padanya keinginan yang kuat.”
(Thaha: 115). Maksudnya: Nabi Adam tidak berkeinginan kuat melupakan perintah Tuhannya.

Sedangkan secara terminologi adalah sebagaimana yang telah kami sebutkan di atas.
Sebagian ulama memberikan definisi bahwa ‘azimah adalah istilah untuk menyebut hukum asal yang
tidak berhubungan dengan hal-hal yang datang kemudian.[1] Maksudnya adalah: ‘azimah mencakup
hukum-hukum syariah yang berlaku bagi mukallaf pada umumnya, terlepas dari hubungannya dengan
halangan-halangan yang baru muncul kemudian. ‘azimah adalah hukum-hukum asal yang disyariatkan
pertama kali sebagai hukum umum bagi mukallaf dalam kondisi biasa, bukan dalam kondisi darurat
atau berhalangan seperti dalam perkara shalat (qashar) dan ibadah lainnya. Bentuk ‘azimah ini terbagi
dalam beberapa macam hukum taklifi; dalam wujub, nadb, karahah, dan ibahah, dan menurut para ahli
hukum, ‘azimah tidak mencakup perkara tersebut kecuali jika ada rukhshah.

Rukhshah secara etimologi adalah kemudahan dan keringanan. Sedangkan secara terminologi adalah
sebagaimana yang telah kami sebutkan di atas.

Sebagian ulama memberikan definisi: “rukhshah adalah kelonggaran bagi mukallaf dalam melaksanakan
pekerjaannya karena uzdur (berhalangan) atau tidak mampu dengan disertai sebab-sebab yang
membolehkan.”[2] Atau, “Rukhshah adalah perbuatan yang disyariatkan Allah karena udzur yang
membolehkan, andaikan udzur itu tidak ada maka hukum tetap tidak membolehkan.[3]

Maksudnya adalah sebagaimana yang telah kami jelaskan sebelumnya, yakni rukhshah adalah hukum-
hukum yang disyariatkan Allah bagi mukallaf yang didasarkan pada udzur-udzur tertentu. Andaikan
udzur-udzur itu tidak ada maka hukum tetap sebagaimana asalnya. Rukhshah adalah pengecualian dari
hukum asal yang umum, dan sebab pengecualian itu didasarkan pada dlarurah dan udzur sebagai solusi
atas kesulitan yang dialami mukallaf. Pada umumnya, rukhshah dapat mengubah status hukum asal dari
sebuah keharusan menjadi sebuah kebolehan, dan terkadang menjadi sunah atau wajib.

Macam-macam Rukhshah

Pertama, membolehkan sesuatu yang diharamkan karena darurat. Seperti dibolehkannya mengucapkan
kata-kata kufur saat dipaksa mengucapkannya dengan ancaman bunuh, namun hatinya tetap beriman.
Allah berfirman, “Kecuali orang yang dipaksa sedangkan hatinya tenang dengan iman.” (An-Nahl: 106).
Contoh lain: dibolehkannya makan bangkai dan minum minuman keras dikarenakan kondisi darurat
untuk mempertahankan hidup. Syari’ membolehkan makan bangkai dalam kondisi benar-benar
kelaparan dan ditakutkan akan menyebabkan kematian, juga minum minuman keras dalam keadaan
benar-benar dingin dan ditakutkan menyebabkan kematian. Juga seperti dibolehkannya merusak harta
orang lain dalam keadaan dipaksa di bawah ancaman bunuh atau penghilangan anggota badan.

Kedua, membolehkan meninggalkan perkara wajib. Seperti dibolehkannya tidak berpuasa ramadhan
bagi musafir dan orang sakit sebagai solusi atas kesulitan yang mereka alami. Juga seperti
dibolehkannya meninggalkan amar bil ma’ruf wa nahy ‘anil munkar dalam wilayah yang penguasanya
dhalim dan akan membunuh siapapun yang menyerunya.

Ketiga, membolehkan beberapa akad yang dibutuhkan oleh manusia, yang dalam kaidah umum tidak
ada. Seperti jual beli model salam. Syari’ membolehkan akad salam yang termasuk dalam jual beli
ma’dum (jual beli yang barangnya tidak ada di hadapan penjual-pembeli ketika akad). Sekalipun jual
beli ma’dum adalah jual beli yang batal, tetapi syari’ membolehkan akad salam sebagi pengecualian
dari kaidah umum dalam jual beli, sebagai keringanan dan kemudahan bagi mukallaf. Juga seperti akad
istishna’. Syari’ membolehkannya untuk kebutuhan manusia sekalipun akad istishna’ termasuk dalam
jual beli ma’dum, karena jika dilarang maka manusia akan mengalami kesulitan dan kesempitan.
Hukum Rukhshah

Hukum asal rukhshah: ibahah (membolehkan), yakni mengubah hukum asal dari ‘harus’ menjadi ‘boleh
memilih’ antara mengerjakan atau meninggalkan. Karena dasar pijakan rukhshah adalah udzur dan
untuk menghilangkan kesulitan mukallaf. Tujuan tersebut hanya akan tercapai jika perbuatan yang
dilarang dibolehkan untuk dikerjakan dan perbuatan yang diperintahkan dibolehkan untuk ditinggalkan.
Contohnya adalah bolehnya tidak berpuasa ramadhan bagi musafir dan orang sakit, keduanya boleh
meninggalkan kewajiban puasa ramadhan dengan mengamalkan rukhshah, atau tetap melaksanakan
puasa dengan mengamalkan ‘azimah jika hal tersebut tidak membahayakan. Inilah yang disebut dengan
rukhshah tarfiyah (dispensasi untuk meringankan) menurut istilah ulama Hanafiyah. Karena hukum asal
tetap ada dan bisa berlaku, hanya saja mukallaf boleh mengambil rukhshah sebagai keringanan dan
kemudahan.

Terkadang mengamalkan ‘azimah lebih utama daripada mengamalkan rukhshah, hal ini seperti terlihat
dalam kasus bolehnya mengucapkan kata-kata kufur secara lisan tetapi tidak dalam hati ketika dipaksa
mengucapkannya di bawah ancaman bunuh atau penghilangan anggota badan, akan tetapi yang lebih
utama adalah mengamalkan ‘azimah. Karena hal itu menunjukkan kesungguhan dalam beragama,
keteguhan memegang kebenaran, menghinakan orang-orang kafir dan melemahkan jiwa mereka serta
menguatkan apa arti menjadi seorang mukmin. Hal ini seperti terlihat dalam peristiwa kelompok
Musailamah al-Kadzab yang menculik dua orang sahabat, mereka membawanya, lalu Musailamah
bertanya kepada salah satu dari keduanya, “Menurutmu, siapa Muhammad?”, dia menjawab, “Dia
Rasulullah”, “Bagaimana denganku?”, “Engkau juga Rasulullah.” Musailamah membiarkannya dan tidak
menyakitinya. Lalu dia bertanya kepada yang satunya lagi dengan pertanyaan yang sama, dia kemudian
menjawab, “Dia Rasulullah.” “Bagaimana denganku?”, “Saya tidak tahu.” Musailamah mengulangi
pertanyaan yang sama sampai tiga kali, tetapi dia tetap menjawab tidak tahu, Musalimah lalu
membunuhnya. Ketika kabar tersebut sampai pada Rasulullah, beliau berkata, “Sahabat yang pertama,
dia telah mengambil rukhshah yang telah diberikan Allah kepadanya, sedangkan yang kedua, dia telah
memegang teguh kebenaran dan dia akan mendapat kenikmatan.”

Ammar bin Yasir juga pernah mengatakan kalimat kufur, mengatakan berpaling dari Rasulullah SAW dan
memuji tuhan-tuhan kaum musyrikin saat diancam siksa yang berat. Maka ketika Ammar memberitahu
apa yang terjadi padanya kepada Rasulullah, beliau lalu bertanya pada Ammar, “Bagimana dengan
hatimu?”, “Hatiku tetap memegang teguh keimanan.” Lalu Rasulullah menanggapi, “Jika mereka
berbuat demikian lagi, maka katakanlah hal yang sama.”

Hadits tersebut menunjukkan bolehnya mengucapkan kata-kata kufur dalam keadaan darurat atau
dipaksa, sedangkan hadits yang pertama menunjukkan bahwa mengamalkan ‘azimah adalah lebih
utama.

Juga seperti mengamalkan ‘azimah dalam menjalanakan amr bil ma’ruf wa nahy ‘an al-munkar
sekalipun dapat membuatnya terbunuh, hal tersebut lebih utama berdasarkan pada hadits Nabi SAW,
“Pemimpin para syuhada adalah Hamzah bin Abdul Muthallib serta orang yang terbunuh karena berkata
benar di hadapan pemimpin lalim.”

Maka beramar makruf dan nahi munkar pada pemimpin dhalim yang berpotensi menggunakan kekerasan
adalah lebih utama daripada membiarkannya, karena Nabi SAW memosisikan hal tersebut sebagai bukti
tingginya derajat ke-syahid-an Hamzah bin Abdul Muthalib yang.
Yang menjadi perhatian di sini adalah bahwa meninggalkan amar makruf dan nahi munkar di saat
keadaan darurat --seperti kepada pemimpin dhalim yang akan membunuh setiap orang yang beramar
makruf dan nahi munkar kepadanya-- adalah rukhshah, tetapi melaksanakan ‘azimah adalah lebih
utama. Hanya saja hukum ini berlaku parsial, tidak universal. Artinya, hukum ini khusus berlaku untuk
sebagian umat saja, tidak seluruhnya. Tidak boleh semua umat melakukan amar makruf dan nahi
munkar kepada pemimpin tersebut karena dikhawatirkan kelalimannya. Karena melaksanakan amar
makruf dan nahi munkar adalah fardhu kifayah, maka sebagian umat wajib melaksanakannya, sekalipun
hal tersebut dapat mengantarkan pada kematian. Hukum jihad adalah fardhu kifayah, sebagian umat
harus menegakkannya sekalipun dapat menyebabkan kehilangan anggota badan dan kematian. Dalam
hal ini, amar makruf dan nahi munkar merupakan satu dari bermacam bentuk jihad, maka umat tidak
boleh meninggalkannya sama sekali, sekalipun resikonya adalah terbunuhnya sebagian umat.

Terkadang melaksanakan rukhshah adalah wajib. Seperti makan bangkai di saat darurat, jika dia tidak
makan bangkai tersebut maka dia akan mati karena kelaparan. Jika demikian, maka dia berdosa karena
menyebabkan kematian dirinya. Allah SWT berfirman, “…dan janganlah kamu membunuh dirimu
sendiri…” (An-Nisa: 29), “Dan janganlah kamu (Al-Baqarah: 195).

Alasannya adalah: bangkai dan semacamnya adalah haram seperti halnya minuman keras, sebab
keharamannya adalah karena dapat merusak jiwa dan akal. Akan tetapi jika hal itu menjadi jalan bagi
terselamatkannya jiwa dan dapat menjauhkannya dari kematian maka memakan bangkai adalah wajib,
karena menghilangkan jiwa bukanlah hak seorang manusia, tetapi merupakan hak penciptanya: Allah
SWT yang telah menitipkannya di dalam diri manusia. Seorang yang dititipi tidak berhak
mentransaksikan barang yang dititipkan kecuali atas seizin pemiliknya. Hal ini termasuk rukhshah yang
wajib dilaksanakan. Ulama Hanafiyah menamakan hal tersebut dengan rukhshah isqath (dispensasi yang
menggugurkan), karena dalam hal ini, hukum asal gugur dan hanya menyisakan satu hukum, yakni
melaksanakan rukhshah. 

________________________________

[1] At-Talwih, Juz. 2, hal. 127.

[2] Al-Mustasyfa, Juz. 1 hal. 98, Al-Amidi, Juz. 1, hal. 188.

[3] At-Talwih, Juz. 2 hal. 127, Al-Amidi Juz. 1 hal. 188.

HUKUM WADL'I: SABAB - Terjemah Kitab Al-Wajiz fi Ushul al-


Fiqh (11 Habis)
Secara etimologi: sesuatu yang dapat mengantarkan pada sebuah tujuan.

Secara terminologi: sesuatu yang oleh syara’ dijadikan penanda atas suatu hukum syariah, sekiranya
jika ada sesuatu itu maka hukum ada dan jika sesuatu itu tidak ada maka hukum juga tidak ada.[1]

Dengan demikian, secara etimologi sabab bisa diartikan: setiap hal yang keberadaannya dijadikan syari’
sebagai tanda adanya hukum, dan ketidakberadaannya sebagai tanda tidak adanya hukum. Seperti zina
mewajibkan adanya had, gila mewajibkan adanya pengampuan, ghasab mewajibkan pengembalian
barang yang dighasab jika barangnya masih utuh, atau mewajibkan membayar harganya jika barangnya
sudah rusak.

Jika zina, gila, dan ghasab tidak ada maka tidak ada pula had, pengampuan, dan mengembalikan atau
membayar harga barang.

Macam-macam Sabab

Dilihat dari apakah sabab itu adalah perbuatan atau bukan perbuatan mukallaf, terbagi dua macam:

Pertama, sabab yang bukan perbuatan mukallaf dan di luar kemampuannya. Hanya saja jika sabab ini
ada, maka hukum juga ada. Karena syari’ telah menghubungkan hukum itu dengan ada atau tidak
adanya sabab. Sabab ini menjadi tanda keberadaan dan kejelasan hukum. Seperti tergelincirnya
matahari menjadi sebab wajibnya shalat, masuk bulan Ramadhan sebagai sebab wajibnya puasa,
keterpaksaan sebagai sebab dibolehkannya makan bangkai, dan gila serta usia belia sebagai sebab
diwajibkannya pengampuan.

Kedua, sabab yang merupakan perbuatan mukallaf dan dalam kemampuannya. Seperti bepergian
sebagai sebab dibolehkannya tidak berpuasa Ramadhan, membunuh dengan sengaja tanpa hak sebagai
sebab adanya Qishash, bermacam-macam akad dan transaksi sebagai sebab bagi turunan-turunannya:
seperti jual-beli sebagai sebab berpindahnya kepemilikan dan pemanfaatan barang.

Sabab macam yang kedua ini bisa dilihat dari dua sisi:
Pertama, perbuatannya merupakan perbuatan mukallaf, maka masuk dalam kategori hukum taklifi dan
berlaku sebagaimana hukum taklifi: dituntut untuk mengerjakan, dituntut untuk meninggalkan atau
boleh memilih antara keduanya.

Kedua, kedudukannya yang oleh syari’ dijadikan tanda ada tidaknya hukum lain, maka termasuk dalam
kategori hukum wadl’i.[2]

Contoh: menikah menjadi wajib jika dikhawatirkan terjerumus dalam perzinahan sedangkan dia mampu
secara materi, padahal wajib adalah bagian dari hukum taklifi. Menikah juga menjadi sebab dari semua
akibat syar’i yang timbul karena adanya pernikahan, seperti kewajiban mahar, nafkah dan hak
mewarisi, padahal sebab adalah bagian dari hukum wadl’i.

Membunuh dengan sengaja tanpa hak adalah haram yang merupakan hukum taklifi dan menjadi sebab
wajibnya qishash yang merupakan hukum wadl’i.

Jual beli adalah mubah yang merupakan hukum taklifi dan menjadi sebab bertukarnya kepemilikan
antara penjual dan pembeli yang merupakan hukum wadl’i.

Dilihat dari akibat yang ditimbulkannya, sabab terbagi menjadi dua macam: Pertama, sebab dari
adanya hukum taklifi. Seperti bepergian menjadi sebab adanya kebolehan berbuka dan memiliki harta
yang mencapai nishab menjadi sebab adanya kewajiban zakat.

Kedua, sebab dari adanya hukum yang merupakan akibat dari perbuatan mukallaf. Seperti jual beli
menjadi sebab beralihnya kepemilikan barang kepada pembeli, wakaf menjadi sebab hilangnya
kepemilikan waqif atas barang yang diwakafkan, menikah menjadi sebab halalnya hubungan suami-
isteri, dan talak menjadi sebab hilangnya kehalalan tersebut.

Hubungan Sebab dan Akibat

Akibat muncul menurut dan karena adanya sebab. Menurut syara’, akibat ada jika ada hukum yang
ditimbulkannya. Kekerabatan misalnya, adalah sebab adanya hak mewarisi, syaratnya: muwarris
(pewaris) sudah meninggal dan ahli waris masih hidup secara hakiki atau hukmi. Penghalangnya
(mani’): membunuh dengan sengaja tanpa hak atau perbedaan agama. Jika sebab ada, syarat-syaratnya
terpenuhi, dan tidak ada satu pun penghalang, maka muncullah akibatnya, yakni hak mewarisi. Akan
tetapi jika syarat tidak terpenuhi atau ada penghalang maka sebab itu tidak menimbulkan akibat apa
pun.

Akibat yang muncul karena adanya sebab syara’ tersebut adalah ketetapan syari’ dan tidak ada
kaitannya dengan ada atau tidak adanya persetujuan mukallaf. Syari’ yang menjadikan sebab
memunculkan akibat, baik mukallaf menginginkannya atau tidak dan dia setuju atau tidak. Anak
misalnya, dia menjadi ahli waris ayahnya, karena status sebagai anak adalah sebab mewarisi
berdasarkan hukum dan ketetapan syari’, sekalipun muwarris tidak menghendaki atau ahli waris
menolak haknya. Atau pada saat menikah mengadakan kesepakatan untuk tidak membayar mahar dan
tidak menafkahi isteri atau sepakat tidak ada hak saling mewarisi antara keduanya, maka kesepakatan
itu sia-sia dan tidak berarti apa pun, karena syari’ telah menetapkan akibat-akibat yang muncul dengan
adanya akad nikah, dengan demikian mahar wajib dibayarkan pada isteri, suami wajib menafkahi isteri
dan berlaku hak saling mewarisi antara keduanya.

Demikian pula sebab-sebab yang lain, dapat memunculkan akibat-akibat yang telah ditetapkan oleh
syara’ sekalipun mukallaf tidak menghendakinya.

Sebab dan ‘Illat

Sesuatu yang oleh syari’ dijadikan sebagai tanda dari ada-tidaknya hukum, adakalanya mempunyai
hubungan yang jelas dengan hukum itu, dengan kata lain hubungan keduanya masuk akal, dan
adakalanya hubungan keduanya samar dan tidak masuk akal. Menurut sebagian ulama ushul
(ushulliyyun), yang pertama disebut dengan ‘illat sekaligus sabab, sedangkan yang kedua hanya bisa
disebut sabab, bukan ‘illat.

Contoh dari yang pertama: bepergian membolehkan seseorang tidak berpuasa, memabukkan
menjadikan minuman keras haram, status sebagai anak kecil membuatnya harus berada dalam
pengampuan walinya. Hubungan sebab-musabab masalah-masalah di atas masuk akal. Bepergian:
membuat seseorang kesulitan sehingga dia mendapat rukhshah. Memabukkan: dapat merusak akal
sehingga minuman keras diharamkan untuk menjaga akal dari kerusakan. Anak kecil: dia belum bisa
bertransaksi yang menguntungkan dirinya, maka dia harus berada dalam pengampuan walinya untuk
menjaga kebaikannya dan menolak bahaya yang mungkin menimpanya.

Bepergian, memabukkan, dan anak kecil adalah sabab sekaligus‘illat atas hukum-hukum yang
ditimbulkannya.

Contoh dari yang kedua: masuk bulan Ramadhan mewajibkan puasa. Akal tidak dapat menjangkau
hubungan antara sebab (masuk bulan Ramadhan) dan hukum (kewajiban berpuasa). Demikian pula
terbenamnya matahari yang mewajibkan seseorang melaksanakan shalat maghrib, akal tidak dapat
menjangkau apa hubungan sebab (terbenamnya matahari) dengan hukum (wajib shalat maghrib).

Oleh karena itu, masuk bulan Ramadhan dan terbenamnya matahari hanya bisa disebut sabab, tidak
bisa disebut ‘illat. Setiap ‘illat adalah sabab, tetapi tidak semua sabab adalah ‘illat. 

Sedangkan ulama ushul yang lain membatasi ‘illat hanya pada hal-hal yang memiliki hubungan logis dan
sabab hanya pada hal-hal yang tidak memiliki hubungan logis. Dengan kata lain, ‘illat bukan sabab,
begitu pula sebaliknya.

Sebenarnya perbedaan dua kelompok ulama ushul tersebut terletak di permukaan. Kelompok yang
mengatakan bahwa ‘illat juga bisa dikatakan sabab, mereka menggabungkan keduanya dengan sebutan
sabab karena keduanya sama-sama sebagai tanda ada-tidaknya hukum, dan mereka memisahkan
keduanya karena melihat segi hubungan antara keduanya dan hukum yang ditimbulkan, sehingga yang
tidak mempunyai hubungan logis tidak mereka sebut dengan ‘illat, sekalipun keduanya masih
mengandung nama sabab.

_______________________________________
[1] Al-Mustasyfa, Al-Ghazali, Juz. 1 Hal. 93-94, Al-Amidi, Juz. 1, Hal. 11 dan seterusnya.

[2] Asy-Syathibi, Juz. 1 Hal. 188.

SYARAT - Terjemah Kitab Al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh (12


Habis)

Secara etimologi: tanda yang tetap.

Secara terminologi: sesuatu yang menjadi tolak ukur adanya sesuatu yang lain dan letaknya di luar
hakikat sesuatu itu. Jika syarat ada, belum tentu sesuatu ada. Akan tetapi jika syarat itu tidak ada
maka sesuatu itu pasti tidak ada.[1]

Yang dimaksud dengan adanya sesuatu adalah adanya secara syar’i yang disusul dengan akibat-akibat
syar’inya. Seperti wudhu’ sebagai syarat sahnya shalat dan hadirnya dua saksi sebagai syarat sahnya
akad nikah.

Wudhu’ adalah syarat adanya shalat secara syar’i yang diikuti dengan akibat-akibatnya, yakni shalat
menjadi sah, mendapat pahala, dan terlepas dari kewajiban shalat. Akan tetapi wudhu’ tidak termasuk
bagian dari hakikat shalat dan terkadang wudhu’ dilakukan tetapi tidak untuk melakukan shalat.

Hadirnya dua orang saksi dalam akad nikah adalah syarat adanya pernikahan secara syar’i, kemudian
diikuti hukum dan akibat-akibat yang ditimbulkan oleh akad nikah itu. Akan tetapi hadirnya dua orang
saksi itu bukan bagian dari hakikat dan esensi akad nikah, karena terkadang dua saksi ada tetapi akad
nikah tidak dilaksanakan.

Syarat dan Rukun

Persamaan antara syarat dan rukun adalah bahwa syarat dan rukun itu, menurut syara’, menjadi
landasan adanya sesuatu. Sedangkan perbedaannya adalah bahwa syarat terletak di luar hakikat dan
esensi sesuatu. Contohnya adalah wudlu’, wudlu’ adalah syarat sahnya shalat dan shalat seseorang
tidak akan dianggap jika syaratnya tidak terpenuhi, hanya saja wudlu’ merupakan sesuatu hal yang
tempatnya di luar hakikat pelaksanaan shalat itu. Sedangkan rukun adalah bagian dari hakikat dan
esensi sesuatu itu. Contohnya adalah ruku’ dalam shalat, ruku’ merupakan rukun shalat karena ia
merupakan bagian dari hakikat shalat itu, karena menurut syara’, shalat tidak akan sah bila tidak ada
ruku'. 

Contoh lainnya adalah masalah ijab dan qabul dalam akad nikah. Keduanya adalah rukun nikah karena
merupakan hakikat dari nikah itu. Sedangkan hadirnya dua orang saksi dalam akad nikah adalah syarat
nikah karena tidak termasuk hakikat dari nikah itu.

Syarat dan Sabab

Syarat dan sabab mempunyai persamaan, yakni keduanya berkaitan dengan ‘sesuatu’ yang lain,
‘sesuatu’ itu tidak akan ada tanpa adanya syarat atau sabab, akan tetapi syarat atau sabab itu bukan
bagian dari hakikat ‘sesuatu’ itu.

Perbedaannya adalah: sabab pasti menimbulkan akibat (musabbab), kecuali jika ada penghalang
(mani’), sedangkan syarat tidak selalu menimbulkan akibat (masyruth ‘alaih).

Macam-macam Syarat

Jika dilihat menurut hubungan sabab-musabbab, syarat ada dua macam, yakni syarat bagi sabab dan
syarat bagi musabbab.

Syarat bagi sabab: yakni syarat yang menjadi penyempurna sabab, menguatkan arti kausalitas, dan
menjadikan sabab sampai pada musabbab. Contoh: a) suatu tindak pembunuhan bisa menjadi sabab
hukum qishash bagi yang melakukannya jika tindakan itu memenuhi syarat, yakni dilakukan dengan
sengaja. b) pencurian bisa menjadi sabab hukum had bagi pelakunya jika harta yang dicuri memenuhi
syarat, yakni harus berupa harta yang tersimpan dan dipelihara. c) nishab yang menjadi salah satu
sabab wajibnya zakat harus memenuhi syarat, yakni harus mencapai satu tahun. d) akad nikah yang
menjadi sabab lahirnya hak dan kewajiban jikah harus memenuhi syarat, yakni harus ada saksi, dan
sebagainya.

Syarat bagi musabbab, contoh: dalam masalah waris, hak waris (musabbab), yang disebabkan oleh
adanya hubungan kekerabatan, ikatan suami istri atau ‘ushubah, harus memenuhi syarat-syarat
tertentu antara lain: muwarrits (pewaris/yang mewariskan) sudah mati baik secara hakiki (benar-benar
mati) atau secara hukum (tidak diketahui kabar dan keberadaannya)

Jika dilihat dari asal-muasal syarat, syarat ada dua macam, yakni syarat ja’li dan syarat syar’i. 

Syarat syar’i: yaitu syarat yang berasal dari syari’, artinya bahwa sesuatu bisa terwujud jika memenuhi
syarat yang ditetapkan syari’. Contoh: agar anak kecil bisa mengelola hartanya sendiri maka dia harus
memenuhi syarat yang ditetapkan syari’, yakni mencapai umur kecakapan. Syarat lain yang ditetapkan
syari’ adalah beberapa syarat yang ada dalam akad, transaksi bisnis, ibadah dan jinayah (perkara
pidana).
Syarat ja’li: yakni syarat yang dibuat atas kemauan mukallaf, seperti ketika mereka menyepakati
adanya syarat tertentu ketika berakad dan bertransaksi bisnis, atau syarat sepihak seperti syarat yang
ditetapkan oleh waqif ketika wakaf.

Syarat ja’li ada dua macam:

Pertama, syarat yang menjadi gantungan akad, artinya ada tidaknya akad tergantung pada ada
tidaknya syarat. Oleh karena itu, syarat seperti ini termasuk dalam kategori syarat bagi sabab. Contoh:
melakukan kafalah dengan syarat jika si penghutang tidak mampu membayar hutangnya. Contoh lain
adalah ta’liq talak, seperti perkataan suami kepada isterinya: jika kamu mencuri, maka kamu tertalak. 

Syarat ja’li yang pertama ini disebut dengan syarat mu’alliq dan akad yang ada tidaknya tergantung
ada tidaknya syarat disebut dengan ‘aqd mu’allaq.

Tidak semua akad dan transaksi bisa digantungkan pada syarat tertentu. Dalam hal ini ada tiga macam:
a) akad dan transaksi yang tidak bisa digantungkan, seperti akad yang menyebabkan berpindahnya
kepemilikan, baik kepemilikan terhadap barang maupun manfaat/jasa, dengan atau tanpa barter.
Contoh lain adalah akad nikah dan khulu’.[2] b) akad dan transaksi yang bisa digantungkan tetapi hanya
pada syarat tertentu saja yang sesuai/sepadan, seperti mau menanggung harga (memberikan garansi)
barang dengan syarat yang menanggung mempunyai hak atas barang tersebut. c) akad dan transaksi
yang bisa digantungkan pada syarat apapun, sekalipun syarat itu tidak sesuai, seperti dalam wakalah
dan wasiat.

Kedua, syarat yang berbarengan dengan akad. Contoh: a) nikah dengan syarat suami tidak
meninggalkan istrinya ke luar kota, atau dengan syarat pihak isteri memiliki hak talak. b) jual beli
dengan syarat pembeli menanggung harga (tidak menerima garansi) barang, atau dengan syarat penjual
harus tinggal di tempat penjualan selama setahun.

Ulama Fiqh berbeda pendapat mengenai boleh tidaknya syarat yang berbarengan dengan akad. Mereka
terbagi dalam tiga kelompok: ulama yang ketat, ulama yang longgar dan ulama yang moderat antara
keduanya.

Ulama kelompok pertama tidak memberikan kewenangan apapun bagi mukallaf untuk membuat
persyaratan. Menurut mereka hukum asal akad dan syarat adalah tahrim, kecuali ada nas yang
menunjukkan kebolehannya. Ulama yang termasuh kelompok ini adalah Dhahiriyah dan pengikutnya.

Ulama kelompok kedua memberikan kewenangan mutlak bagi mukallaf untuk membuat persyaratan.
Mukallaf berkuasa sepenuhnya dalam hal akad dan syarat. Menurut mereka hukum asal syarat dan akad
adalah ibahah, kecuali jika ada nas yang menunjukkan keharamannya. Ulama yang termasuk dalam
kelompok ini adalah Hanabilah dan para penganut madzhab, ulama madzhab Hanabilah yang paling
ekstrim dalam hal ini adalah Ibnu Taimiyah.

Penjelasan lebih luas mengenai dalil dan perdebatan antara kedua kelompok di atas bukan tempatnya
jika dijelaskan di sini, hanya saja menurut kami yang lebih mendekati kebenaran adalah pendapat
kelompok kedua.[3]
___________________________________

[1] Al-Mahlawi: Hal. 256.

[2] Menurut kami, syarat mu’alliq atau syarat ta’liqi dalam akad yang menyebabkan berpindahnya
kepemilikan diperbolehkan jika memang terdapat kebutuhan, kemaslahatan atau keharusan untuk
melakukannya. Lihat I’lam al-Muthi’in, Ibn Al-Qayyim, Juz 3 Hal. 288. Dalam kitab tersebut terdapat
kalimat yang mendukung pendapat kami. Lihat Nail al-Authar, Juz 6 Hal. 100.

[3] Lihat Fatawa, Ibnu Taimiyah, Juz 3 Hal. 332 dan seterusnya. Lihat pula Nadhariyyah al-‘aqd, Ibnu
Taimiyah Hal. 14 dan seterusnya. Madzhab Hanafiyah membagi syarat menjadi tiga macam: a) syarat
shahih: yakni syarat yang sesuai atau menguatkan tujuan akad, syarat yang diperbolehkan syara’ atau
syarat yang berlaku menurut kebiasaan umum. b) syarat fasid: yakni syarat yang berat sebelah,
menguntungkan salah satu pihak atau pihak luar dan juga tidak termasuk salah satu dari tiga macam
syarat shahih di atas. c) syarat batil: yakni syarat yang sia-sia, tidak termasuk dalam syarat shahih
maupun syarat fasid. Contohnya: seseorang menjual rumahnya tetapi dengan syarat rumah tersebut
tidak boleh dihuni. Syarat fasid merusak akad, syarat batil itu tidak dianggap, akan tetapi akad yang
dilakukan tetap sah.

MANI' - Terjemah Kitab Al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh (13 Habis)

Mani’ adalah sesuatu yang oleh syari’ diposisikan sebagai pencegah/penghalang, jika mani’ ada maka
hukum menjadi tidak ada dan sabab menjadi hilang atau batal. Mani’ ada dua macam: mani’ al-hukm
dan mani’ al-sabab (penghalang adanya sebab).[1]

Pertama, mani’ al-hukm: yakni sesuatu yang menjadi pencegah adanya hukum, akan tetapi sebab dari
adanya hukum itu ada dan tidak terhalang.

Mani’ membuat suatu hukum terhalangi untuk diterapkan sepenuhnya, karena mani’ tersebut
menyimpan makna yang kabur dan menyimpan hikmah hukum, artinya tujuan hukum tidak bisa diraba.
Contohnya: “status sebagai ayah” menjadi penghalang seseorang dihukum qishash sekalipun dia telah
membunuh anak kandungnya secara sengaja dan sadar, dia hanya dikenakan hukum yang lebih rendah
dari qishash, yakni diyat. Hikmah dari hukum qishash adalah mencegah dan menghalangi tindak
pembunuhan, sedangkan sifat seorang ayah yang penyayang, welas asih, dan simpatik terhadap
anaknya secara tidak langsung telah menghalangi seorang ayah untuk membunuh anaknya, oleh karena
itu jika dia tetap dijatuhi hukuman qishash karena membunuh anaknya maka hal itu bertentangan
dengan tujuan dan hikmah diberlakukannya qishash. Seseorang tidak akan membunuh anak kandungnya
sendiri dengan sengaja dan sadar kecuali pada keadaan tertentu yang bisa menjadi alasan tidak
diberlakukannya qishash, oleh karena itu hal ini menjadi pengecualian.[2] Ayah adalah sebab adanya
kehidupan anak, oleh karena itu anak tidak bisa menjadi sebab matinya ayahnya.[3]
Kedua: mani’ al-sabab: sesuatu yang mempengaruhi sabab; membuat sabab tidak berlaku dan
menghalangi sabab untuk sampai pada musabbab karena mani’ tersebut mengandung pengertian yang
bertentangan dengan hikmah sabab, contoh: hutang yang mengurangi kadar nishab harta pada masalah
zakat. Nishab adalah sabab wajibnya zakat, karena orang yang memiliki harta dan sudah mencapai
nishab dianggap sebagai orang yang berkecukupan/kaya dan mampu menolong orang lain yang
membutuhkan. Akan tetapi adanya hutang meniadakan makna ‘berkecukupan/kaya’ yang menjadi
sabab wajib zakat, karena orang yang memiliki harta yang mencapai nishab zakat, tetapi dia memiliki
hutang, maka pada hakikatnya harta itu bukan miliknya, dia tidak dianggap berkecukupan/kaya. Makna
nishab menjadi hilang sehingga tidak bisa menjadi sabab wajibnya zakat, dengan demikian nishab tidak
menjadi sabab yang sampai pada musabbab-nya, yakni kewajiban zakat.

Contoh lain adalah: ahli waris membunuh pewarisnya. Sekalipun dia adalah ahli warisnya (karena
kekerabatan atau lainnya), dia terhalang menjadi ahli waris karena telah membunuh pewarisnya,
sehingga sabab (menjadi ahli waris) tidak sampai pada musabbab-nya (mendapat harta waris), hal ini
karena mani’ (membunuh) mengandung pengertian yang bertentangan dengan asas kewarisan: bahwa
ahli waris adalah pengganti dari pewarisnya, dan antara ahli waris dan pewaris ada ikatan perbantuan
dan perwakilan yang abadi, pengertian ini menjadi hilang jika terjadi pidana pembunuhan.

Contoh lainnya adalah perbedaan agama dan negara, keduanya adalah penghalang (mani’) sabab
(kewarisan).[4]

Mani’ jika dilihat dari fungsinya sebagai penghalang, maka tidak termasuk dalam khitab pembebanan
hukum terhadap mukallaf. Syari’ tidak bermaksud mengadakan atau meniadakan mani’, syari’ hanya
menjelaskan bahwa jika ada mani’ maka suatu hukum bisa terhalang dan batal, begitupula sabab.
Sehingga dalam kasus zakat di atas, syari’ tidak menuntut pemilik harta membayar hutang agar
hartanya mencapai satu nishab dan wajib membayar zakat, demikian pula dia tidak dilarang berhutang
sehingga kewajiban zakatnya gugur.

Mukallaf tidak boleh sengaja membuat mani’ agar terhindar dari hukum syar’i karena termasuk dalam
hail (mencari-cari alasan untuk menghindari hukum), syari’at Islam telah melarang hail dan pelaku hail
berdosa. Misalnya: seseorang menghibahkan sebagian harta kepada isterinya agar pada saat haul
hartanya tidak mencapai nishab zakat, kemudian setelah haul dia meminta isterinya untuk
mengembalikannya agar terhindar dari kewajiban zakat.[5]

______________________________________

[1] Al-Amidi, Juz 1 Hal. 185.

[2] Pendapat ini adalah menurut jumhur, hujjahnya adalah sabda Nabi SAW, “Seorang ayah tidak bisa
dibunuh sebab anaknya.”

[3] Alasan ini bertentangan dengan alasan sebelumnya, karena sabab matinya seseorang adalah dengan
membunuhnya, oleh karena itu yang diambil adalah alasan sebelumnya.

[4] Sebagaimana ahli waris membunuh pewarisnya. Menurut sebagian ulama, perbedaan agama dan
negara termasuk dalam mani’ li al-sabab, sedangkan ulama lain mengatakan bahwa perbedaan tersebut
adalah mani’ li al-hukm, akan tetapi menurut kami lebih utama jika perbedaan tersebut menjadi mani’
li al-sabab, bukan mani’ li al-hukm.
[5] Al-Syathibi, Juz 1 Hal. 289.

SAH DAN BATAL - Terjemah Kitab Al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh


(14 Habis)

Pengertian Sah dan Batal


Jika perbuatan mukallaf memenuhi syarat dan rukunnya maka syari’ menghukuminya sah, sebaliknya
jika tidak terpenuhi maka syari’ menghukuminya tidak sah atau batal.

Sah memiliki arti bahwa perbuatan itu berkonsekuensi syar’i, jika perbuatan itu berupa ibadah maka
mukallaf tidak mempunyai tanggungan lagi setelah melakukannya. Contoh: melakukan shalat sesuai
rukun dan syaratnya (maka dia terbebas dari kewajiban shalat itu, tetapi hanya satu shalat itu saja dan
pada waktu itu saja). Jika perbuatan itu berupa mu’amalah seperti jual beli, ijarah, dan perkawinan
maka konsekuensi yang timbul dari perbuatan tersebut menjadi tetap secara syar’i.

Batal memiliki arti tidak ada konsekuensi hukum yang timbul akibat perbuatan itu, karena konsekuensi
hukum hanya terjadi jika telah memenuhi rukun (dan syarat). Jika perbuatan itu berupa ibadah maka
mukallaf belum terbebas dari tanggungan sekalipun telah melaksanakannya, begitu pula jika perbuatan
itu berupa mu’amalah maka tidak ada konsekuensi hukumnya.[1]

Sah dan Batal Termasuk dalam Pembagian Hukum Wadl’i

Mengenai hal ini, ulama Ushul berbeda pendapat. Sebagian berpendapat bahwa sah dan batal termasuk
dalam pembagian hukum taklifi. Mereka beralasan bahwa “sah” merujuk pada pembolehan (ibahah)
syari’ pada mukallaf untuk memanfaatkan sesuatu, sedangkan “batal” merujuk pada larangan (hurmah)
mengambil manfaat. Contohnya dalam jual beli, jika jual belinya sah maka pembeli boleh
memanfaatkan barang yang dibeli, begitu pula sebaliknya jika jual belinya batal.

Alasan di atas ditolak oleh sebagian ulama, karena sebenarnya di dalam jual beli ada syarat khiyar bagi
penjual, sah dalam jual beli adalah sah karena ijma’, dan pemanfaatan barang pembelian hukumnya
bukan mubah.[2]

Ulama ushul yang lain berpendapat bahwa sah dan batal termasuk dalam pembagian hukum wadl’i.
Karena syari’ menghukumi ‘sah’ jika perbuatan itu memenuhi rukun dan syarat, dan menghukumi
‘batal’ jika perbuatan itu tidak memenuhi rukun dan syaratnya.[3]

Kami lebih memilih pendapat yang kedua, karena sah dan batal tidak berkaitan dengan mengerjakan,
meninggalkan, atau memilih antara keduanya, akan tetapi berkaitan dengan label yang diberikan syari’
atas suatu perbuatan. Label ‘sah’ diberikan pada perbuatan yang memenuhi syarat dan rukunnya
berikut segala konsekuensi yang ditimbulkan kemudian, sedangkan label ‘batal’ diberikan pada
perbuatan yang tidak memenuhi syarat dan rukunnya berikut segala konsekuensinya. Semua pengertian
di atas masuk dalam khithab wadl’i karena termasuk dalam makna sebab, dan sebab termasuk dalam
hukum wadl’i.

Batal (buthlan) dan Rusak (fasad)

Jumhur ulama menganggap batal dan rusak adalah satu makna. Dengan demikian, setiap ibadah, akad
atau transaksi yang terlewat salah satu rukun atau syaratnya disebut “batal” atau “rusak” dan tidak
memiliki konsekuensi apapun.

Jual beli yang dilakukan oleh orang gila dihukumi batal (bathil) karena terdapat cacat pada rukunnya
yakni “orang yang berakad”, dan jual beli barang yang tidak ada dan jual beli bangkai juga batal
karena terdapat cacat pada rukunnya yakni “barang yang diperjualbelikan”.

Selain disebut “batal”, jual beli yang dilakukan orang gila dan jual beli bangkai tersebut juga bisa
disebut “rusak” (fasid), begitu pula jual beli barang yang tidak ditentukan harganya dan jual beli kredit
yang tidak ditentukan harganya.

Tetap disebut batal atau rusak sekalipun cacat/kekurangan hanya terdapat pada sebagian syarat-syarat
atau sifat/ciri jual beli, bukan pada rukunnya. Sedangkan madzhab Hanafiyah membedakan hal
tersebut dengan rincian seperti contoh berikut:

a. IBADAH: jika salah satu rukunnya kurang, seperti sholat tanpa ruku’, atau salah satu syaratnya
terlewat seperti shalat tanpa wudlu, maka keduanya disebut “bathil” dan “fasid” dan tidak ada
konsekuensi syara’nya. Menurut mereka, bathil dan fasid dalam ibadah adalah satu makna. 

b. MUAMALAT: muamalat adalah perjanjian dan transaksi, jika salah satu rukunnya tidak ada maka
disebut “bathil” dan tidak ada konsekuensi syar’i-nya, seperti jual beli yang dilakukan oleh orang gila,
jual beli bangkai, atau pernikahan dengan orang yang haram dinikahi (mahram) dalam keadaan
mengetahui keharaman tersebut. Jika rukun-rukunnya terpenuhi sementara sebagian syaratnya atau
sifatnya yang di luar rukun tidak terpenuhi maka dinamakan ‘bathil’, sebagian konsekuensinya bisa
terjadi apabila transaksi/akad sudah terjadi, seperti konsekuensi yang ada pada jual beli yang harganya
tidak ditentukan, atau ditentukan tetapi tidak dibayar tunai (kredit) sampai waktu yang tidak
diketahui, atau ada syarat yang rusak, atau menikah tanpa saksi. Maka konsekuensi yang terjadi dalam
kasus jual beli di atas adalah hak kepemilikan barang berpindah pada pembeli jika barang sudah dalam
penguasaannya dan dengan seijin penjual. Dalam kasus nikah tanpa saksi maka konsekuensinya adalah
kewajiban mahar apabila sudah terjadi dukhul (hubungan suami-isteri), sang wanita wajib menjalani
iddah setelah perceraian, dan nasab anak mengikuti kedua orang tuanya demi menjaga haknya.

Dengan uraian contoh di atas, maka jelaslah bahwa transaksi/akad yang fasid tidak memiliki
konsekuensi syara’ dengan sendirinya, konsekuensi itu terjadi akibat terlanjur terjadi akad.
Keterlanjuran inilah yang menjadi pertimbangan syari’ karena ketidakjelasan yang terjadi akibat akad
yang rusak.

Jadi menurut Hanafiyah, suatu akad disebut bathil apabila terdapat cela/kekurangan pada rukun akad,
yakni sighat (bentuk) akad, dua orang yang melakukan akad, dan tempat akad. Selanjutnya suatu akad
disebut fasid apabila cela/kekurangan terdapat pada sifat-sifat akad, bukan pada rukunnya. Rukun-
rukunnya terpenuhi tetapi kemudian terdapat cela pada sifat akad seperti harga barang yang tidak
ditentukan dan sebagainya. Kesimpulannya, fasid menurut Hanafiyah adalah karena kekurangan sesuatu
yang disyari’atkan pada asalnya (rukunnya), bukan sifat yang menyelimutinya, sedangkan bathil adalah
karena kekurangan sesuatu yang tidak disyariatkan baik asal maupun sifatnya.[4]

Pangkal Perbedaan antara Jumhur dan Hanafiyah Terletak pada Dua Hal:

Pertama, apakah larangan syari’ pada suatu akad (karena adanya cela) memiliki arti bahwa akad itu
tidak dianggap dalam hukum dunia tetapi berakibat dosa di akhirat bagi yang melakukannya, atau akad
itu masih dianggap dalam hukum dunia sekaligus berakibat dosa di akhirat?

Kedua, apakah larangan pada suatu akad yang disebabkan cela/cacat pada asalnya itu sama seperti
larangan yang disebabkan cacat pada sifatnya dan bukan pada rukunnya? Dengan arti bahwa larangan
antara keduanya sama saja dan tidak mengakibatkan konsekuensi apapun? Atau ada perbedaannya?

Mengenai hal pertama, jumhur ulama mengatakan bahwa larangan syari’ pada suatu akad berarti akad
itu tidak dianggap jika sudah terjadi, tidak menimbulkan konsekuensi syariat apapun, dan pelakunya
mendapat dosa di akhirat.

Mengenai hal kedua, mereka mengatakan bahwa larangan antara keduanya sama saja, baik larangan
akibat cela yang berkaitan dengan asal atau rukun akad maupun yang berkaitan dengan sifatnya,
keduanya sama-sama tidak dianggap ada dan tidak memiliki konsekuensi apapun.

Berbeda dengan Hanafiyah, tentang hal pertama mereka mengatakan bahwa larangan tersebut tetap
berakibat dosa tetapi tidak selamanya akad dianggap batal.

Tentang hal kedua mereka berpendapat bahwa jika larangan itu disebabkan cela yang berkaitan dengan
rukun akad maka artinya akad itu batal dan tidak dianggap jika sudah terjadi, seperti jual beli bangkai
dan jual beli yang dilakukan oleh orang gila. Akan tetapi jika larangan itu berkaitan dengan sifat akad
maka artinya akad itu fasid, tidak batal, dan masih ada sebagian konsekuensinya.[5]

_________________________________

[1] Untuk catatan, kata “Sah” juga mencakup perbuatan yang dijanjikan pahala di akhirat nanti,
sedangkan kata “Batal” mencakup juga perbuatan yang mengakibatkan dosa di akhirat kelak, baik
perbuatan itu berupa ibadah maupun muamalah. Apakah mukallaf mendapatkan pahala atau tidak
tergantung pada maksud dan niatnya dalam melakukan perbuatan itu. Jika niatnya karena mematuhi
perintah syari’ maka dia mendapatkan pahala, begitupula jika dia harus memilih antara melakukan
atau meninggalkan suatu perbuatan, jika dia memilih sesuai pilihan syari’ maka dia juga mendapatkan
pahala : Al-Syathibi, Juz 1 Hal 291-299.
[2] Al-Amidi, Juz 1 Hal. 186-187.

[3] Al-Talwih, Juz 2, Hal. 123.

[4] Taisir al-Tahrir, Juz 2 Hal. 391 dst, Al-Amidi, Juz 1 Hal. 187. Lihat juga Kasysyaf al-Qana’, Juz. 2
Hal 5 dst, Syarh al-Kabir, Al-Dardir, Juz 3 Hal. 60. Badai’ al-Shana’i’ Al-Kasani Juz 5 hal 299 dst.
Hasiyah al-Bujairimi Juz 2 Hal 222 dst. Al-Kanz Juz 4 Hal. 60-61 Muqaddimat Ibn Rusyd Juz 2 Hal 213
dst.

[5] Lihat Al-Mustasyfa, Al-Ghazali Juz 1 Hal 60-61 dan Juz 2 Hal 9 dst.

HAKIM - Terjemah Kitab Al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh (15 Habis)

Dalam bab sebelumnya kami mendefinisikan hukum sebagai khithob Allah yang berhubungan dengan
perbuatan mukallaf berupa tuntutan (thalab/iqtidla’), pilihan (takhyir) atau ketetapan (positif/wadl’i).

Definisi ini menunjukkan bahwa sumber hukum dalam syariat Islam adalah Allah SWT semata.

Dari definisi ini, maka hakim (yang menetapkan hukum) tidak lain hanya Allah SWT, tiada hukum
kecuali yang Dia tetapkan dan tiada syari’at kecuali yang Dia syariatkan. Dalil Al-Qur’an menunjukkan
hal ini dan telah menjadi ijma’ di kalangan muslim. Dalam Al-Qur’an Allah SWT berfirman,
“Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah” (Al-An’am: 57, Yusuf: 40, 67). “Ketahuilah (bahwa) hukum
itu kepunyaan Allah” (Al-An’am: 62).

Atas dasar inilah, hukum selain yang diturunkan Allah adalah kufur, karena tidak ada
satupun/seorangpun selain Allah yang memiliki wewenang menetapkan hukum. Allah berfirman, “Dan
barangsiapa tidak menghukumi (sesuatu) dengan hukum yang diturunkan Allah maka mereka adalah
orang-orang kafir.” Tugas para Rasul hanyalah menyampaikan hukum Allah dan tugas para mujtahid
hanya memperkenalkan dan menyingkap hukum itu melalui banyak metode dan kaidah yang diletakkan
oleh ilmu Ushul Fiqh.

Ijma’ sudah bulat bahwa hakim itu adalah Allah, akan tetapi ulama berbeda pendapat tentang satu hal,
atau menurut kami dua hal, yakni:

Pertama, apakah hukum Allah itu tidak bisa diketahui kecuali dengan perantara para rasul-Nya atau
mungkinkah bagi akal mengetahui dengan sendirinya dan atas dasar apa?

Kedua, jika akal bisa mengetahui hukum Allah tanpa melalui perantara para rasul maka apakah
pencapaian pengetahuan itu dapat menjadi dasar pembebanan hukum (taklif) serta segala
konsekuensinya seperti dosa dan siksa di akhirat serta pujian dan celaan di dunia?

Ulama berbeda pendapat mengenai dua masalah tersebut, berikut kami rangkum pendapat mereka lalu
kami akan menjelaskan mana yang paling rajih (kuat/mendekati kebenaran).[1]

Kelompok pertama, yakni Madzhab Mu’tazilah dan sebagian madzhab Ja’fariyah. Rangkuman
pendapatnya: setiap perbuatan itu mengandung nilai kebaikan dan keburukan esensial (dzati), akal bisa
dengan sendirinya mengetahui nilai kebaikan dan keburukan pada sebagian besar perbuatan dengan
melihat sifat-sifatnya dan akibat baik atau buruknya, yakni manfaat (maslahah) dan kerugian
(mudlarat) yang ditimbulkannya.

Jika pengetahuan ini (baik dan buruk) tidak datang melalui para rasul dan risalahnya, maka nilai baik-
buruknya perbuatan adalah perkara akal, bukan syara’, dengan kata lain penetapannya bukan
berdasarkan syara’, karena Allah menetapkan hukum itu sesuai dengan tingkat nalar akal mengenai
nilai baik dan buruknya perbuatan. Apa yang baik menurut akal maka baik pula menurut Allah dan
manusia dituntut untuk mengerjakannya, jika dia melakukan maka dia mendapat pujian dan pahala,
begitu juga sebaliknya jika dia meninggalkan maka mendapat cela dan siksa. Apa yang buruk menurut
akal maka buruk menurut Allah dan manusia dituntut meninggalkannya, jika dia meninggalkan maka dia
mendapat pujian dan pahala, begitu pula sebaliknya.

Menurut kelompok ini, syari’at selalu sesuai dengan nalar akal tentang nilai baik dan buruk. Jika
menurut akal baik, maka syari’at pasti menetapkan harus untuk dilakukan, tidak mungkin menetapkan
harus ditinggalkan, begitupula jika menurut akal suatu perbuatan itu buruk. Apabila akal tidak mampu
menjangkau nilai baik-buruknya seperti dalam beberapa perkara ibadah dan tata-caranya, maka
perintah atau larangan dari syari’ itulah yang menyingkap nilai kebaikan atau keburukannya.

Berdasarkan hal tersebut, mereka mengatakan bahwa manusia sudah dibebani hukum (mukallaf)
sebelum diutusnya rasul dan sebelum dakwah sampai padanya. Dia harus melakukan perbuatan yang
menurut akal baik dan meninggalkan perbuatan yang menurut akal buruk, karena itu adalah hukum
Allah. Dengan adanya pembebanan hukum tersebut maka timbul tanggungjawab dan hisab serta
konsekuensi pahala dan dosa.

Kelompok kedua, yakni Asy’ariyah pengikut Abu Hasan Ali bin Isma’il al-Asy’ari dan ulama fiqh yang
sependapat. Ini adalah pendapat mayoritas ulama ushul.

Ringkasan pendapatnya: akal tidak bisa dengan sendirinya mengetahui hukum Allah, tetapi harus
melalui perantara para rasul dan risalahnya. Tidak ada yang namanya kebaikan esensial pada suatu
perbuatan yang mengharuskan Allah memerintah karena kebaikan itu, begitu juga tidak ada keburukan
esensial dalam suatu perbuatan yang mengharuskan Allah melarang karena keburukan itu. Kehendak
Allah adalah mutlak, tidak dibatasi sesuatupun. Perbuatan baik adalah sesuatu yang ada dengan adanya
perintah syari’ untuk melakukannya, dan perbuatan buruk adalah sesuatu yang ada dengan adanya
perintah syari’ untuk meninggalkannya. Nilai kebaikan dan keburukan suatu perbuatan tidak ada
sebelum adanya perintah atau larangan syari’. Perbuatan itu menjadi baik jika syari’
memerintahkannya bukan karena esensi perbuatan itu, dan perbuatan itu menjadi buruk jika syari’
melarangnya bukan karena esensi perbuatan itu. Dengan demikian baik-buruknya suatu perbuatan itu
tergantung pada perintah atau larangan syari’ bukan karena nilai kebaikan dan keburukan esensialnya.

Berdasarkan hal tersebut maka menurut mereka tidak ada hukum Allah yang dibebankan kepada
hambanya sebelum diutusnya para rasul. Jika rasul belum datang menyampaikan hukum Allah maka
mereka tidak dibebani hukum, tidak ada kewajiban dan larangan bagi mereka. Karena tidak ada hukum
maka tidak ada pembebanan hukum (taklif) dan karena tidak ada pembebanan hukum maka tidak ada
hisab, pujian dan pahala serta celaan dan dosa.

Kelompok ketiga, yakni kelompok Abu Mansur Muhammad bin Muhammad al-Maturidi, sebagian
muhaqqiq (mujtahid) Hanafiyah dan ulama ushul serta sebagian kelompok Ja’fariyah dan lain-lain.
Ringkasan pendapatnya: perbuatan-perbuatan itu memiliki nilai baik dan buruk yang sebagian besarnya
bisa diketahui oleh akal berdasarkan sifat-sifat yang ada padanya serta maslahah dan mafsadah yang
ditimbulkannya. Akan tetapi adanya nilai kebaikan yang bisa dijangkau akal itu tidak mengharuskan
syari’ memerintahkannya, dan nilai keburukan pada perbuatan tidak mengharuskan syari’ melarangnya,
karena akal bilamana sudah mendalam maka dia terbatas dan bilamana sudah meluas maka dia kurang.

Maka kesimpulan yang bisa ditarik adalah: nilai kebaikan suatu perbuatan yang bisa dijangkau oleh akal
menjadikan perbuatan itu layak diperintahkan oleh syari’ dan nilai keburukan suatu perbuatan yang
bisa dijangkau akal menjadikan perbuatan itu layak dilarang oleh syari’, tidak bisa dikatakan bahwa
nilai baik-buruk itu mengharuskan hukum Allah memerintah atau melarangnya.

Berdasarkan hal di atas mereka berpendapat bahwa hukum Allah tidak bisa dijangkau tanpa perantara
rasul dan risalahnya. Allah tidak memberi ketetapan pada perbuatan manusia sebelum diutusnya para
rasul dan risalah mereka. Jika tidak ada hukum maka tidak ada pembebanan hukum dan jika tidak ada
pembebanan hukum maka tidak ada pahala maupun dosa.

Pendapat yang Terpilih


Pendapat kelompok ketiga adalah pendapat yang paling kuat dan hal ini diperkuat oleh dalil al-Kitab
dan akal. Banyak ayat Al-Qur’an yang menunjukkan bahwa Allah hanya memerintahkan perbuatan yang
baik dan hanya melarang perbuatan yang buruk. Nilai baik-buruk suatu perbuatan sudah ada dalam
perbuatan sebelum datangnya perintah dan larangan, antara lain, “Sesungguhnya Allah menyuruh
(kamu) berlaku adil dan berbuat baik, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari
perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan” (An-Nahl: 90). “(Allah) memerintahkan mereka berbuat
kebaikan dan mencegah kemungkaran dan menghalalkan bagi mereka yang baik-baik dan
mengharamkan atas mereka yang buruk-buruk” (Al-A’raf: 157). Yang diperintahkan syari’ seperti
berbuat adil dan berbuat baik, yang dilarang seperti berbuat keji, mungkar dan bermusuhan, hal-hal
baik yang dihalalkan serta hal-hal buruk yang diharamkan, semua sifat baik dan buruk tersebut sudah
ada dalam perbuatan sebelum datangnya hukum syara’ dan hal ini menunjukkan bahwa suatu
perbuatan itu memiliki esensi baik dan buruk.

Akal dengan segera dapat mengetahui baik dan buruknya suatu perbuatan. Keadilan dan kejujuran
adalah baik, kelaliman dan kebohongan termasuk buruk. Meskipun demikian hukum Allah tidak bisa
diketahui kecuali melalui perantara rasul-Nya. Jika rasul tidak menyampaikan hukum Allah kepada
manusia, maka perbuatan manusia tidak ada yang dihukumi wajib atau haram, berdasarkan dalil
firman-Nya, “Dan kami tidak akan memberi siksaan sampai kami mengutus seorang utusan (rasul)” (Al-
Isra’: 15). Tidak ada siksa sebelum rasul diutus dan sampainya dakwah. Tidak ada siksa maka tidak ada
taklif dan jika tidak ada taklif maka tidak ada hukum Allah pada perbuatan manusia, yakni hukum Allah
dalam bentuk perintah dan kebolehan memilih antara melakukan atau meninggalkan.

Begitu indahnya pernyataan Imam Syaukani ketika dia mengatakan, “Mengingkari kemandirian akal
yang dapat menilai apakah suatu perbuatan itu baik atau buruk adalah bertentangan dan
bohong...,tidak dapat diterima jika akal mengetahui bahwa perbuatan baik itu berkaitan dengan
pahala dan perbuatan buruk itu berkaitan dengan dosa. Puncak pengetahuan yang bisa diketahui akal
adalah pelaku perbuatan baik itu mendapatkan pujian dan pelaku perbuatan buruk itu mendapat
celaan, hal ini tidak pasti berhubungan dengan pahala dan dosa.”[2]

Buah dari Perbedaan


Dengan adanya perbedaan pendapat tersebut, maka timbul beberapa konsekuensi sebagai berikut:

Pertama, menurut kelompok Mu’tazilah, pada umunya orang yang tidak mendengar dakwah Islam dan
risalah rasul harus dihisab dan mempertanggungjawabkan perbuatannya, karena tuntutannya adalah:
melakukan perbuatan yang baik dan meninggalkan perbuatan yang buruk menurut akal, itulah hukum
Allah.

Sedangkan menurut kelompok Asy’ariyah, Maturidiyah dan yang sependapat: orang yang tidak pernah
mendengar dakwah maka mereka tidak dihisab serta tidak mendapat pahala dan dosa.

Kedua, setelah turunnya syari’at Islam, ulama sepakat bahwa hukum Allah dapat diketahui dengan
perantara Al-Kitab atau Sunah Nabi SAW, keduanya sudah disampaikan oleh Rasulullah SAW.

Jika suatu masalah tidak ada hukum syariatnya, maka para ulama memilih pendapat kelompok
pertama, yakni: logika nilai baik dan buruk. Akal menjadi sumber hukum, artinya: masalah yang tidak
ada hukumnya dihukumi wajib jika akal menilainya baik dan dihukumi haram jika akal menilainya
buruk, karena landasan hukum Allah adalah sifat/nilai baik dan buruk pada suatu perbuatan. Jika suatu
masalah tidak ada hukumnya, maka artinya syari’ memperbolehkan kita kembali kepada akal
berlandaskan nilai baik dan buruk dan ada dalam masalah itu. Menurut pendapat kelompok kedua dan
ketiga (Asy’ariyah dan Maturidiyah), akal tidak menjadi sumber hukum dan hukum diambil dari sumber-
sumber fiqh tetap, bukan akal.

____________________________________

[1] Tentang pembahasan ini, lihat: Mirqah al-Wushul dan Hasyiyah al-Izmiriy Juz 1 hal. 276 dst, Muslam
al-Tsubut dan syarahnya fawatih al-Rahamut Juz 1 Hal. 25 dst, Al-Mustasyfa-nya Al-Ghazali Juz 1 hal
55. Irsyad al-Fuhul-nya Al-Syaukani Hal. 6 dst, Al-Taudlih dan syarahnya Al-Talwih Juz 1 Hal 172 dst.
Tentang ushul-nya Al-Ja’fariyah lihat: kitab Al-Qawanin-nya Abu al-Qasim al-Jailani, Al-Fushul fi al-
Ushul-nya Syaikh Muhammad Husain bin Muhammad Rahim, Taqrirat al-Na’ini Juz 2 Hal. 34 dst, dan Al-
Araik-nya Syaikh Mahdi hal. 130 dst.

[2] Al-Syaukani Hal. 8.

MAHKUM FIH - Terjemah Kitab Al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh


(serial)

Mahkum fih adalah sesuatu yang berkaitan dengan khithab syari’. Jika khithab syari’ itu berupa hukum
taklifi, maka yang disebut mahkum fih adalah perbuatan mukallaf. Jika khithab syari’ berupa hukum
wadl’i, maka yang disebut mahkum fih bisa berupa perbuatan mukallaf seperti akad dan jarimah
(pidana), atau bukan berupa perbuatan tapi kembali pada perbuatan itu, seperti masuk bulan
ramadhan yang menjadi sebab wajibnya puasa, sedangkan puasa adalah perbuatan mukallaf. Mahkum
fih juga disebut dengan mahlum bih, tapi sebutan pertama lebih banyak dipakai.[1]

Firman Allah, “...dan tunaikanlah zakat...” ijab yang terdapat dalam khithab ini berkaitan dengan
perbuatan mukallaf yakni ‘menunaikan zakat’ yang dihukumi wajib.
Firman Allah, “Dan janganlah mendekati zina...” (Al-Isro’: 32) tahrim yang ada pada khithab ini
berkaitan dengan perbuatan mukallaf yakni ‘zina’ yang dihukumi haram.

Firman Allah, “...apabila kamu menjalankan suatu urusan dengan hutang piutang sampai waktu
tertentu maka hendaklah kamu mencatatnya...” (Al-Baqarah: 282). Nadb yang ada pada khithab ini
berkaitan dengan perbuatan mukallaf yakni ‘mencatat hutang’ yang dihukumi nadb/sunah.

Friman Allah: “...dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu infakkan darinya...” (Al-
Baqarah: 267). Karahah yang ada pada khithab ini berkaitan dengan perbuatan mukallaf yakni
‘menginfakkan sesuatu yang buruk’ yang dihukumi makruh.

Firman Allah, “Apabila shalat telah ditunaikan, maka menyebarlah kamu di muka bumi...” (Al-Jumu’ah:
10). Ibahah yang ada pada khithab ini berkaitan dengan perbuatan mukallaf yakni ‘menyebar di muka
bumi’ yang dihukumi mubah.

Ulama Ushul Fiqh telah membahas perbuatan mukallaf yang berkaitan dengan taklif (pembebanan
hukum) dari dua sisi, pertama: dari syarat sahnya taklif, kedua: dari sisi yang menjadi sandaran
perbuatan-perbuatan itu. Kami akan membahas keduanya dengan pembahasan yang tajam.

[1] Taisir al-Tahrir Juz 2 Hal. 328.

Syarat Sah Taklif


Ahmad Afandi

Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi agar taklif dianggap sah: 

Pertama, mukallaf harus mengetahui taklif sepenuhnya sehingga dia menyadari maksud dan


tindakannya sebagaimana yang di-taklif-kan. Taklif tidak berlaku jika tidak diketahui. Oleh karena itu,
semua taklif dalam Al-Qur’an yang mujmal (umum), seperti shalat dan zakat, telah dirinci oleh
Rasulullah SAW sehingga ke-ijmal-annya terhapus, hal ini karena Rasul mempunyai mandat untuk
menjelaskan hukum-hukum dalam Al-Qur’an. Allah berfirman, “Dan kami turunkan kepadamu Al-
Qur’an untuk kamu terangkan pada manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka... ” (An-Nahl:
44). 
Yang dimaksud dengan ‘mengetahui’ adalah mukallaf mengetahui atau ‘bisa mengetahui’ perbuatan
dalam taklif itu sehingga dia mampu, dengan sendirinya atau melalui perantara, mengerti apa yang di-
taklif-kan dengan bertanya pada ahlinya. Indikasi untuk ‘bisa’ mengetahui: mukallaf berada di negara
Islam, karena hukum Islam sudah lumrah di dalam negara Islam, kelumrahan adalah indikasi
‘mengetahui’. Ulama Fiqh mengatakan, “ ‘mengetahui’ diharuskan bagi orang yang berada di negara
Islam.” 

Ketentuan, “mengaku tidak tahu hukum di negara Islam adalah tidak dibenarkan” menguatkan hal
tersebut di atas. Berbeda jika dia berada di daar al-harb (selain negara Islam), dia tidak mempunyai
keharusan untuk mengetahui hukum syariah, karena hukum syariah tidak menjadi hal lumrah di daar
al-harb. Oleh karena itu, jika di sana ada orang yang masuk Islam lalu tidak tahu kewajiban shalat,
maka dia tidak wajib menggantinya (qadlaa’) ketika suatu saat dia mengetahui kewajiban tersebut.
Begitu pula jika dia tidak mengetahui haramnya minum khamr, dia tidak dapat diberi sanksi bila nanti
kembali ke daar al-islam. 

Prinsip dalam hukum positif sama dengan prinsip dalam syariat Islam, undang-undang dianggap telah
diketahui oleh mukallaf jika sudah disebarkan melalui penyebarluasan undang-undang seperti melalui
surat kabar resmi. 

Kedua, perbuatan yang di-taklif-kan itu dalam jangkauan kemampuan mukallaf.(1) Maksudnya,


perbuatan itu bisa dilakukan atau tidak dilakukan oleh mukallaf. Karena tujuan taklif adalah ketaatan
(patuh). Jika perbuatan itu di luar kadar kemampuan mukallaf, maka ketaatan tidak tercapai
dan taklifmenjadi sia-sia, Syari’ tidak mungkin melakukan hal tersebut. Konsekuensi hukum dari
adanya syarat ini adalah: 

1. Tidak ada taklif pada hal yang mustahil. Baik mustahil lidzatihi (sebab hal itu sendiri memang
mustahil dilakukan) seperti menggabungkan dua hal yang bertentangan, atau mustahil lighairihi (sebab
sesuatu yang lain sehingga membuat hal itu mustahil dilakukan), yakni hal yang tidak mungkin terjadi
menurut kebiasaan, meskipun masih masuk akal, seperti terbang tanpa alat bantu, karena hukum alam
tidak memungkinkan hal tersebut terjadi. Maka taklif pada hal yang mustahil adalah  taklif di luar
kemampuan yang tidak akan dilakukan oleh syari’. 

2. Tidak ada taklif di luar kehendak manusia. Seperti taklif agar dia mengharuskan orang lain untuk
melakukan suatu hal. Hal tersebut di luar kemauan dan kemampuan manusia, yang dia mampu
hanyalah mengingatkan orang lain berbuat kebaikan atau melakukan suatu hal. 

Hal-hal lain yang di luar kemampuan manusia misalnya: taklif pada hal-hal afektif yang berhubungan
dengan emosi dan perasaan, manusia tidak dapat mencegahnya. Mengenai hal ini, Nabi SAW bersabda
ketika pembagian giliran atas isteri-isterinya, “Ya Allah, pembagian giliran ini di luar kemampuanku,
maka janganlah Kau menghukumku atas sesuatu yang Kau miliki sedangkan aku tidak.” Yaitu mengenai
perasaan dam kasih sayang yang kadarnya tidak sama kepada masing-masing isterinya. 

Hadits Nabi SAW, “Jangan marah”. Yang dimaksud bukanlah larangan tentang marah ketika keadaan
memaksa seseorang untuk marah, akan tetapi larangan marah yang tidak terkendali dan terburu-buru
berkata dan berbuat hal yang tidak dibolehkan. Karena pada keadaan seperti itu, dia harus diam dan
menahan diri sampai gejolak amarahnya mereda. Manusia harus berusaha mengindari akibat yang
ditimbulkan jika dia sedang marah, karena dia tidak mampu menghilangkan amarah. Hal ini masih
dalam jangkaun kemampuan manusia, untuk menghindari hal-hal buruk yang mungkin terjadi akibat
marah. 
Kesimpulannya, urusan hati, meskipun berada di luar taklif, seperti cinta seseorang yang tidak sama
kepada isteri-isterinya, kasih sayang ayah yang kadarnya tidak sama kepada anak-anaknya, hanya
mengharuskannya untuk berbuat adil pada anak-anaknya atau isteri-isterinya dan memberikan hak
kepada yang berhak. Seorang ayah tidak boleh melebihkan pemberian kepada salah satu dari anak-
anaknya yang lebih dia sayangi, karena akan menimbulkan kecemburuan bagi yang lain dan
menimbulkan permusuhan di antara mereka, oleh karena itu hal tersebut dilarang. 

Sedangkan urusan hati yang berkaitan dengan iman atau semacamnya seperti mencintai Allah dan
Rasul, wajib bagi mukallaf dan merupakan keharusan baginya melakukan hal-hal yang bisa
mengantarkan pada cinta Allah dan Rasul. Hal tersebut harus tercapai dan tidak boleh melakukan
sebaliknya, yakni membenci Allah dan Rasul, apabila tidak tercapai atau melakukan sebaliknya maka
hal itu menjadi tanda tidak adanya iman, karena iman tidak mungkin terpisahkan dari cinta kepada
Allah dan Rasul. 

Kesulitan yang ada dalam suatu perbuatan yang di-taklif 

Seperti yang disebutkan di atas, perbuatan yang di-taklif harus berada dalam kadar
kemampuanmukallaf, lalu apakah perbuatan itu juga harus tidak sulit dilakukan? Kenyataannya, semua
perbuatan tidak bisa lepas dari kesulitan, kesulitan adalah sesuatu yang lazim dalam taklif. Jika
kesulitan itu masih dalam batas kemampuan manusia maka tidak masalah dan tidak menjadi
penghalang berlakunyataklif, akan tetapi jika kesulitan itu di luar kewajaran, tidak bisa dilakukan
manusia dan hanya menyebabkan bertambahnya kesulitan, masalah dan penderitaan, maka hukumnya
menjadi sebagai berikut: 

Pertama, kesulitan di luar kewajaran yang terjadi akibat kondisi tertentu pada mukallaf. Seperti
berpuasa dalam perjalanan dan ketika sakit, dipaksa mengucapkan kata-kata kufur, dan amar makruf
nahi munkar yang berakibat hilangnya nyawa. Dalam kondisi-kondisi seperti itu, syari’ memberikan
keringanan dengan membolehkannya meninggalkan perbuatan wajib dan melakukan perbuatan yang
dilarang untuk menghindari masyaqqah (kesulitan) dan menghilangkan penderitaan. 

Dengan hal ini, dalam keadaan tertentu syari’ menjadikan sebagian kesulitan-kesulitan di luar


kewajaran ini sebagai mandub, dalam kasus mengucapkan kata-kata kufur karena dipaksa maka dia
boleh mengucapkan kata-kata kufur sebagai bentuk keringanan (rukhshoh). Mandub (yang dianjurkan):
tetap sabar atas siksaan yang diterima dan tidak mengucapkan kalimat kufur, sekalipun harus mati.
Dalam kasus penegak amar makruf nahi munkar, dia boleh diam dan tidak melawan para
penguasadhalim sebagai rukhshoh karena khawatir akan siksaan mereka. Mandub: tetap
menegakkan amar makruf nahi munkar karena sudah kewajiban, sekalipun dapat mengantarkannya
pada kematian, karena kesabaran dalam menghadapi hal itu berarti memuliakan agama, menguatkan
para pemeluknya dan melemahkan mental orang-orang yang berbuat lalim dan sesat. 

Kedua, kesulitan di luar kewajaran tetapi mau tidak mau harus tetap dilakukan karena fardlu kifayah,
seperti jihad. Jihad adalah fardlu kifayah, sekalipun di dalamnya harus ada pertumpahan darah,
menghilangkan nyawa, melemahkan tubuh dan mengakibatkan letih dan lelah. Karena mau tidak
mau,jihad harus dilakukan demi melindungi negara dari musuh. Taklif jenis ini pada hakikatnya
termasukfardlu kifayah, bukan fardlu ‘ain. Contoh jihad: amar makruf nahi munkar. Amar makruf nahi
munkartermasuk dari salah satu macam jihad yang wajib dilakukan oleh umat, karena
merupakan fardlu kifayah, meskipun mengakibatkan kesulitan besar di luar kewajaran. Hukum amar
makruf yang mengakibatkan kesulitan bagi penegaknya adalah mandub dalam lingkup parsial, yakni
bagi tiap-tiap individu umat, sedangkan dalam lingkup keseluruhan maka hukumnya wajib, yakni bagi
seluruh umat pada umumnya. Sekalipun bisa menyebabkan bahaya yang menyulitkan, jihad tetap harus
ada karenafardlu kifayah. 

Ketiga, kesulitan di luar kewajaran yang tidak mudah dilakukan karena sifat dari perbuatan itu,
sebabmukallaf mewajibkan atas dirinya sendiri perbuatan yang tidak diperintahkan oleh syari’. 

Perbuatan yang seperti ini termasuk perbuatan yang tidak dibolehkan. Diceritakan bahwa Nabi SAW
melihat seseorang berdiri di bawah terik matahari, lalu beliau bertanya tentang dia, sahabat
menjawab, “Wahai Rasulallah, dia bernadzar untuk berdiri di terik matahari, tidak duduk, tidak
berteduh, tidak berbicara, sambil puasa." Nabi lalu bersabda, “Suruh dia berbicara, duduk dan
menyelesaikan puasanya.”(2)

Ketika ada sahabat yang ingin selalu shalat malam, ada yang ingin berpuasa seumur hidup tanpa putus,
dan ada yang ingin menyendiri dan tidak menikah, maka Nabi SAW bersabda pada mereka, “Demi
Allah, aku yang paling takut dan paling takwa kepada Allah di antara kamu, tetapi aku terkadang
puasa terkadang tidak, aku terkadang shalat malam dan terkadang tidur dan aku juga menikah, maka
barangsiapa membenci sunahku, dia tidak termasuk dalam golonganku.”(3)

Hikmah dari semua ini adalah: menyiksa diri sendiri dan membawanya pada kesulitan tanpa didasari
kebaikan dan tujuan yang disyariatkan adalah sia-sia. Tidak ada kebaikan (maslahah) dalam menyiksa
diri, maslahah-nya justru melindungi dan menjaga tubuh, sehingga dengan itu seorang mukallaf bisa
menegakkan amal shalih. Akan tetapi jika ada alasan kemaslahatan serta tujuan dan
maksud syara’yang mengharuskannya terlibat dalam kesulitan maka mukallah dibolehkan,
disunnahkan, atau diwajibkan untuk melaksanakannya. 

Atas dasar ini, maka kita harus meneladani perjalanan hidup para salafussalih, bagaimana mereka
menjalani hidup serba sulit dengan pakaian dan makanan yang tidak memadai seperti Umar bin
Khathab, Ali bin Abi Thalib, Umar bin Abdul Aziz dan yang lainnya, mereka hidup sederhana serba
kekurangan, mereka adalah pemimpin dan panutan umat, maka mereka patut dipuji karena tujuan
mereka adalah kebaikan dan atas dasar tujuan syara’. 

Demikian juga orang yang mengutamakan orang lain di atas dirinya sendiri, dia patut dipuji sekalipun
dengan itu dia mengalami kesulitan dan kesusahan hidup, karena dalam pengutamaan itu berarti dia
telah membantu orang yang membutuhkan dan mendahulukan kepentingan orang lain atas kepentingan
pribadi. Patut dipuji juga orang yang berusaha menjauhi pintu kelaliman dan tidak membantu orang
lain berbuat dzalim, sekalipun dengan itu dia mendapat kesempitan rejeki dan kesulitan hidup. 

Kesulitan dan kesusahan hidup dalam beberapa kondisi di atas patut dipuji bukan karena ‘kesulitan’
itu, tetapi karena kesulitan itu datang demi tujuan yang disyariatkan dan maksud yang mulia. Selain
dalam kondisi di atas, maka orang yang menyebabkan hidupnya susah dan sengsara tidak patut dipuji. 

__________________________
(1) Al-Amidi, Juz. 1 Hal. 187, Irsyad al-Fuhul, Al-Syaukani, Hal. 8. 
(2) H.R. Bukhari, Lihat Riyadl al-Shalihin, Nawai, hal. 92. 
(3) Riyadl al-Shalihin, hal. 86.

Hal-hal yang Berkaitan dengan Mahkum Fih


Ahmad Afandi

Perbuatan mukallaf yang berkaitan dengan hukum syara‘ mempunyai tujuan untuk maslahah


‘amah(kebaikan umat) atau maslahah khashah (kebaikan pribadi). Jika tujuannya adalah kebaikan
umat secara keseluruhan maka perbuatan mukallaf itu adalah haq Allah (hak Allah), akan tetapi jika
tujuannya adalah kebaikan pribadi maka perbuatan itu adalah haq al-‘abd (hak hamba). Suatu
perbuatan adakalanya dinilai sebagai hak Allah dan adakalanya dinilai sebagai hak hamba. Adakalanya
hak Allah itu lebih diunggulkan atau sebaliknya. Di bawah ini kami akan membahas mengenai hak Allah
dan hak hamba secara tajam. 

Hak Allah 

Hak Allah adalah hak publik, karena berkaitan dengan kebaikan dan manfaat secara umum. Atas dasar
itu maka hak yang seperti ini dinisbatkan kepada Tuhan seluruh umat manusia karena sangat penting
dan besar manfaatnya. Hak ini tidak boleh dihilangkan dan tidak seorangpun yang berhak mengusik
atau menghindarinya, hak ini sudah seperti aturan umum bagi pemangku undang-undang. 

Dari sebuah penelitian ditemukan bahwa hak-hak yang murni hak Allah adalah sebagai berikut: (1)

Pertama, ibadah mahdlah (murni), seperti iman, shalat, zakat, puasa, haji, jihad dan sebagainya. Iman
dan yang didasarkan atas keimanan dimaksudkan untuk mewujudkan sesuatu yang penting, yakni
agama. Agama sangat penting bagi masyarakat sebagi penegak dan aturan. Sedangkan semua ibadah
disyariatkan untuk kebaikan yang manfaatnya kembali pada umat secara umum. 

Kedua, ibadah yang mengandung pemberian/pembebanan seperti sedekah jariyah.


Sedekah jariyahadalah ibadah karena bisa mendekatkan diri kepada Allah melalui sedekah kepada
orang fakir. Makna pembebanan/pemberian itu sendiri diambil dari adanya kewajiban bagi mukallaf
yang disebabkan orang lain sebagaimana kewajiban memberi makan pada orang fakir. Berbeda
dengan ibadah mahdlah, karena kewajiban pada ibadah mahdlah tidak muncul akibat orang lain. 

Ketiga, pajak bumi atas tanah-tanah milik muslim. Ulama ushul menyebutnya dengan pemberian yang
mengandung ibadah. Disebut dengan pemberian/pembebanan: karena berupa pajak bumi. Dengan
membayar pajak maka tanah itu tetap menjadi hak pemilik sepenuhnya. Disebut dengan ibadah: karena
pajak yang dibayarkan itu adalah zakat tanaman yang dihasilkan dari tanah itu dan berubah menjadi
permasalahan zakat, ini lah yang dimaksud dengan kebaikan umat. 
Keempat, pajak bumi di luar hak milik muslim. Maksudnya adalah tanah yang dibiarkan dimiliki oleh
pemilik asalnya yang bukan muslim setelah penaklukan dan pembebasan yang dilakukan umat muslim.
Tanah itu wajib diambil pajaknya. Sebagaimana kasus tanah di Iraq dan Syam (Syiria). Ketika itu Umar
bin Khathab membiarkan tanah itu dimiliki oleh pemilik aslinya dan menerapkan keharusan pajak
setelah mengadakan musyawarah dan adanya kesepakatan. Hal ini dilakukan Umar untuk kemaslahatan
umum Negara Islam. 

Kelima, sanksi penuh (kamilah) yang tidak bermakna lain keculai sanksi saja. Dalam hal ini
adalah had(hudud), yakni sanksi tertentu yang disyariatkan untuk kebaikan umat. Had dikategorikan
sebagai hak Allah. Seperti had zina, had minum minuman keras, had mencuri, dan hak perampok. Had
atau sanksi-sanksi pidana tersebut disyariatkan demi kemaslahatan umum. Oleh karena itu, tidak ada
seorangpun yang berhak untuk menggugurkannya. Contoh kasusnya adalah ketika seorang perempuan
dari Bani Makhzum mencuri, lalu Usamah bin Zaid berusaha meminta pengampunan dari Rasul SAW,
Rasul lalu murka kemudian bersabda di hadapan khalayak, “Sungguh umat sebelum kamu binasa karena
ketika ada orang terpandang di antara mereka mencuri, mereka tidak menghukumnya. Akan tetapi
ketika orang biasa mencuri, mereka menghukumnya. Demi Allah, seandainya Fatimah binti Muhammad
mencuri maka pasti aku potong tangannya.”(2)

Keenam, sanksi terbatas (qashirah). Seperti haramnya pembunuh memperoleh hak waris dari orang
yang dibunuhnya. Disebut terbatas karena dalam sanksi tersebut tidak ada siksaan badan. Contoh lain
seperti penundaan kemerdekaan budak yang berbuat pidana. Disebut terbatas karena setelah
melakukan pidana, dia tidak memiliki ketetapan kepemilikan baru sebagai tuannya sebagai sanksi
kepadanya. 

Ketujuh, sanksi yang mengandung ibadah, yakni kafarat. Seperti kafarat melanggar janji, kafarat


membatalkan puasa dengan sengaja di bulan Ramadhan, dan kafarat qath’ al-khatha’ (membunuh
karena salah). Semua kafarat itu adalah sanksi merupakan balasan atas pelanggaran yang
dilakukan.Kafarat itu mengandung ibadah karena dibayarkan dalam bentuk ibadah, yakni berupa
puasa, sedekah, atau membebaskan budak. 

Kedelapan, hak yang ada dengan sendirinya. Artinya pelaksanaannya tidak berkaitan dengan
tanggungan mukallaf, sebagai bentuk ketaatan kepada Allah. Hak ini wajib dengan sendirinya sebagai
bentuk ketaatan kepada Allah. Seperti zakat seperlima harta rampasan perang, hasil tambang dan
harta karun. 

Hak Hamba 

Hak hamba seutuhnya. Yakni hak yang mempunyai tujuan untuk kebaikan individu. Contoh: semua hak-
hak yang berkaitan dengan harta pribadi seperti asuransi, membayar hutang, membayar diyat dan hal
lain yang serupa. Mukallaf diberikan keleluasaan antara menunaikan atau tidak menunaikan, antara
melakukan atau meninggalkan. Karena manusia mempunyai kebebasan hak untuk melakukan apa saja
pada hartanya. 

Hak Allah dan Hak Hamba Sekaligus, Tetapi Hak Allah Lebih Unggul 

Contoh: had menuduh zina (qadzaf). Qadzaf adalah jarimah (pidana) yang merusak nama baik


seseorang dan menyebarkan hal negatif di dalam masyarakat. Menerapkan sanksi pada bentuk jarimah
ini adalah maslahah umat, karena sanksi ini dapat menjadi peringatan bagi para pelaku jarimah,
perlindungan nama baik, dan menghilangkan hal negatif dalam masyarakat. Dengan pengertian ini
maka sanksijarimah termasuk dalam hak Allah. 

Di sisi lain, dalam sanksi ini terdapat maslahah khashah bagi tertuduh zina. Karena dengan sanksi ini
martabat dan kesuciannya terpulihkan dan kekeliruan yang terjadi terluruskan. Sisi ini lah sanksi
tersebut digolongkan sebagai hak hamba, hanya saja hak Allah lebih didahulukan. Oleh karena itu,
tertuduh zina tidak bisa menggugurkan had (sanksi/hukuman) yang diterima penuduh, karena hak Allah
tidak bisa digugurkan dengan alasan hak hamba, sekalipun tidak murni hak Allah. Seperti dalam
masalahiddah. Iddah tidak bisa digugurkan oleh suami karena ada hak Allah di dalamnya sekalipun juga
ada hak suami.(3)

Hak Allah dan Hak Hamba Sekaligus, Tetapi Hak Hamba Lebih Unggul 

Contoh: qishash karena membunuh dengan sengaja. Qishash bertujuan untuk menjamin hidup manusia,


menjaga keamanan, dan menyebarkan ketenangan. Semua ini adalah kebaikan umat dan digolongkan
sebagai hak Allah. 

Di sisi lain, qishash juga bertujuan untuk hak individu, yakni mengobati hati para kerabat korban serta
menghilangkan rasa amarah dan dendam mereka terhadap pembunuh. Atas dasar ini maka qishash juga
digolongkan sebagai hak individu. Apa yang dirasakan oleh korban dan keluarganya lebih kuat dan nyata
daripada yang dirasakan oleh masyarakat, dengan demikian hak individu (hamba) lebih unggul dalam
masalah qishash. Keluarga korban boleh memaafkan pembunuh dan cukup mengambil gantinya saja
(diyat), sehingga jika hukuman qishash dijatuhkan atas pembunuh, maka keluarga korban boleh
memaafkannya sehingga hukumannya berubah menjadi diyat. 

Karena dalam masalah qishsash ada hak Allah, maka ketika pembunuh terbebas dari hukuman mati
disebabkan maaf dari keluarga korban, maka negara harus memberlakukan hukuman ta’zir atas
pembunuh.(4)

Jalan yang ditempuh syariat dalam masalah pidana pembunuhan berbeda dengan hukum positif.
Undang-undang menjadikan hukuman qishash murni hak publik. Konsekuensinya, pencabutan tuntutan
menjadi hak penguasa. Keluarga korban tidak berhak memberikan maaf kepada pelaku tindak pidana,
pengampunan atau pemberian maaf diwakilkan kepada waliyu al-amr (penguasa). 

Dalam masalah pidana zina, jalan yang ditempuh syariat juga berbeda dengan hukum positif. Menurut
undang-undang, zina bukan tindak pidana (jarimah), kecuali jika ada unsur paksaan (pemerkosaan),
tidak berdaya, atau jika pelaku memiliki hubungan kerabat dengan pasangan zinanya. Sedangkan zina
sendiri bukan merupakan jarimah kecuali ada unsur lain di dalamnya. Seperti zina yang dilakukan oleh
perempuan yang sudah bersuami, undang-undang menganggapnya sebagai jarimah karena melanggar
hak suami, sehingga sanksi yang diberikan digolongkan sebagai hak individu, yakni hak suami. Dengan
demikian, tuntutan tidak bisa dicabut kecuali atas permintaan suaminya. Dia bisa menunda tuntutan,
dan jika hukuman tetap dijatuhkan kepada isterinya, dia bisa menunda pelaksanaan hukuman itu.(5)

Sedangkan syariat Islam menempuh jalan lain. Syariat Islam menjadikan hukuman zina murni hak Allah,
yakni hak publik, tidak ada hak individu sama sekali. Oleh karena itu tidak seorang pun yang bisa
menggugurkannya. Mencabut tuntutan harus benar-benar mewakili pendapat publik, bahkan setiap
anggota masyarakat harus menegakkan tuntutan terhadap jarimah itu, karena termasuk dalam
kepentingan hisbah (pengawasan umat Islam, yakni memerintahkan kebaikan apabila ada yang
meninggalkan dan melarang kemungkaran apabila ada yang melakukan). 

__________________________
(1) Al-Talwih ‘ala al-Taudlih, Juz. 2 Hal. 151. 
(2) Qadzaf:menuduh perempuan atau laki-laki berzina. Seperti mengatakan, “Hei pezina” pada seorang
perempuan. 
(3) Sebagian ulama lainnya mengatakan bahwa yang lebih unggul dalam masalah qadzaf adalah hak
hamba. Pendapat yang kami sebutkan di atas adalah pendapat yang kami pilih. 
(4) Mengenai sanksi ta‘zir ini, Malikiyah berpendapat : jika kerabat korban memaafkan pembunuh,
maka Imam/penguasa harus menghukumnya dengan 100 kali cambukan dan penjara selama setahun.
“Tabshirah al-Ahkam”, Ibnu Farhun al-Maliki, Juz. 2, hal. 259. 
(5) Lihat Pasal 232-236 dan 240 undang-undang pidana Baghdad masa lalu. Jalan yang sama juga
terdapat dalam undang-undang pidana Iraq yang baru No. 111 Tahun 1969

Mahkum Alaih
Ahmad Afandi

Mahkum ‘alaih adalah orang yang terikat melakukan khithab syari’. Ulama ushul menyebutnya dengan


“mukallaf”.(1)

Agar taklif-nya sah menurut syara’, seseorang harus memenuhi beberapa syarat: mampu --baik mampu
secara mandiri atau dengan perantara—memahami khithab taklif yang ditujukan padanya. Yang
dimaksud dengan mampu adalah mampu melaksanakan, karena tujuan taklif sendiri adalah ketaatan
dan pelaksanaan. Orang yang tidak mampu memahami maka dia tidak mungkin melaksanakan.

Kemampuan untuk memahami adalah dengan menggunakan akal, dan makna khithab syari’ adalah
sesuatu yang mungkin dipahami dan dimengerti. Karena akal adalah urusan batin yang tidak bisa
dijangkau indera, tidak terbatas, dan berbeda-beda kadarnya pada tiap manusia, maka syari’
memberikan ukuran baligh (cukup umur/dewasa) yang bisa diukur secara jelas karena orang yang
baligh sudah dianggap berakal, syari’ menempatkan taklif di saat manusia sudah mencapai
usia baligh dan berakal. Taklif tidak diberlakukan sebelum manusia mencapai usia baligh sebagai
bentuk keringanan. 

Dalilnya adalah sabda Nabi SAW, “Tiga perkara yang diampuni: yang dilakukan manusia ketika tidur
sampai dia bangun, anak-anak sampai dia mimpi basah, dan orang gila sampai dia sembuh.” Dalam
riwayat lain, “Sampai akalnya kembali.”(2) Jika seseorang sudah mengalami mimpi basah serta
perkataan dan perbuatannya diakui dan dianggap oleh orang banyak sehingga menunjukkan bahwa
dirinya berakal sehat, maka taklif dibebankan kepadanya karena sudah memenuhi persyaratan taklif:
yakni baligh dan berakal. Dengan demikian, yang disebut mukallaf adalah orang yang baligh dan
berakal,(3) tidak hanya baligh saja atau berakal saja. 

Orang gila dan anak-anak yang sudah mumayyiz (bisa membedakan antara yang baik dan buruk) atau
belum mumayyiz tidak dikenai taklif. Pendapat jumhur ulama mengenai harta orang gila dan anak-
anak yang wajib diambil zakatnya dan pendapat jumhur fuqaha mengenai kewajiban menafkahi
kerabat, isteri dan semau yang menjadi tanggungannya bukanlah sebuah taklif atas anal-anak dan
orang gila, akan tetapi taklif atas wali untuk menunaikan kewajiban atas harta benda keduanya.
(4) Adanya kewajiban-kewajiban yang harus ditunaikan ini disebabkan keduanya memiliki ahliyah al-
wujub. Mengenai penjelasan ahliyah akan dijelaskan pada bab berikutnya. 

Kritik atas Syarat Taklif 

Kami mengatakan di atas bahwa syarat taklif adalah mampu memahami khithab


syari‘ dan khithabharus berupa hal yang mungkin untuk dipahami. Beberapa keberatan dan kritik atas
syarat ini antara lain: 

Kritik pertama: taklif atas orang yang tidak bisa memahami khithab ada dalam syariat Islam. Firman
Allah, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat dalam keadaan mabuk, sehingga kamu
mengerti apa yang kamu katakana.” (An-Nisa: 43) ayat ini menunjukkan bahwa: jika kamu mabuk,
maka jangan shalat. Orang mabuk dalam keadaannya yang tidak sadar di-taklif dengan menahan
shalatnya, padahal dalam keadaan seperti itu dia tidak memahami khithab, jadi bagaimana mungkin
‘mampu memahami taklif’ adalah syarat taklif? 

Jawaban atas kritik: khithab dalam ayat itu tidak diwajibkan kepada orang-orang mabuk yang sedang
tidak sadarkan diri, akan tetapi diwajibkan kepada kaum muslimin pada saat mereka sadar agar jangan
minum khamr ketika mendekati waktu shalat, sehingga ketika shalat mereka tidak dalam keadaan
mabuk dan memungkinkan untuk menunaikan shalat sebagaimana seharusnya.(5)

Harus dijelaskan pula bahwa ayat di atas turun sebelum pengharaman khamr dengan firman Allah, “Hai
orang-orang yang beriman, sesungguhnya khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib
dengan panah adalah termasuk perbuatan setan, maka jauhilah semua itu agar kamu beruntung.” (Al-
Maidah: 90). 

Kritik kedua: syariat Islam bersifat umum untuk semua umat manusia. Firman Allah, “Katakanlah, hai
manusia, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepada kalian semua.” (Al-A’raf: 158). Firman-Nya,
“Dan kami tidak mengutusmu melainkan kepada umat manusia seluruhnya, sebagai pembawa berita
gembira dan pemberi peringatan.” (Saba’: 28). Dan sabda Nabi SAW, “Nabi sebelumku diutus kepada
kaumnya saja, akan tetapi aku diutus kepada seluruh umat manusia.” Dengan demikian, masyarakat
non Arab yang tidak mengerti Bahasa Arab sebagai bahasa al-Qur’an tidak dapat
memahami khithabsyari’. Bagaimana mungkin khithab berbahasa Arab ditujukan kepada orang yang
tidaj mengerti bahasa Arab dan mereka semua dikenai taklif? Bukankah ini bertentangan dengan
syarat taklif mampu memahami khithab? 

Jawaban: mampu memahami khithab adalah syarat yang harus ada agar taklif menjadi sah. Orang yang
tidak memahami bahasa Arab tidak mungkin di-taklif oleh syari’ kecuali dia meampu
memahamikhithab syari’, bisa dengan belajar bahasa al-Qur’an, membaca terjemahan nash-nash yang
sudah dialihbahasakan ke dalam bahasanya, atau dengan mempelajari bahasa umat muslim lainnya
selain bahasa Arab dan mengajarkan ajaran dan hukum Islam dengan bahasanya sendiri. 

Cara yang disebutkan terakhir adalah cara yang paling utama. Bagi umat muslim,
wajib kifayahhukumnya mempelajari bahasa bangsa lain di dunia selain bahasa Arab, menyebarkan
dakwah Islam kepada mereka dan menyampaikan hukum Islam dalam bahasa mereka. Jika umat muslim
tidak ada yang melakukan hal ini, maka semua umat muslim berdosa sebagaimana hukum  fardlu
kifayah. Dalil yang mewajibkan hal ini antara lain: 

1. Firman Allah: “Jadilah kalian umat yang menyeru pada kebaikan dan menegakkan amar makruf nahi
munkar, dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” Ayat ini mengandung perintah untuk
menyampaikan hukum Islam kepada golongan dari umat muslim. Dakwah tidak mungkin berjalan lancar
jika menggunakan selain bahasa mereka. 

2. Rasulullah SAW pernah mengirim surat kepada Kusro (Raja Persia), Kaisar (Byzantium), Najasyi (Raja
Habsyah), Mukaukis (Gubernur di Romawi) dan sebagainya, menyeru mereka masuk Islam. Rasulullah
menulis surat-surat itu dengan menggunakan bahasa yang dimengerti oleh penerimanya. 

3. Dalam khutbah haji wada’, Rasulullah bersabda, “Perhatikanlah! Apakah aku sudah menyampaikan
ayat Allah kepada kalian? Ya Allah saksikanlah, wajib bagi orang yang hadir di sini menyampaikan
kepada yang tidak hadir, karena mungkin orang yang kalian sampaikan lebih memahami hal ini
daripada yang mendengarkan saat ini.” Maksud dari ‘yang hadir’ adalah orang-orang yang memeluk
Islam periode awal dan memahami dasar dan hukum Islam. Maksud dari ‘yang tidak hadir’ adalah
orang-orang yang tidak memahami dan juga orang yang memahami bahasa Arab tapi dakwah Islam
belum sampai pada mereka. 

Atas dasar inilah maka apabila masih ada orang yang tidak mengerti Bahasa Arab sehingga tidak bisa
memahami bahasa al-Qur’an, tidak ada terjemahan teks-teks syariah ke dalam bahasanya, dan tidak
ada penyampaian penjelasan dari umat muslim tentang taklif dengan bahasa yang bisa dimengerti oleh
orang itu, maka dia bukan mukallaf (orang yang dibebani taklif) menurut syariat Islam. Firman Allah,
“Allah tidak membebani seseorang kecuali atas dasar kemampuannya…” (Al-Baqarah: 286). 

Kritik ketiga: ada beberapa teks dalam al-Qur’an yang tidak mungkin bisa dipahami, yakni huruf al-
muqaththa’ah (huruf-huruf terpisah) pada awal sebagian surat al-Qur’an. Jadi, bagaimana bisa
dikatakan bahwa tidak ada satupun dalam al-Qur’an dan Sunnah yang tidak bisa dipahami? 

Jawaban: huruf-huruf di awal sebagian surat al-Qur’an bukanlah khithab taklif. Oleh karena itu,
perintah taklif tidak bisa didasarkan pada huruf-huruf itu. Di sisi lain, huruf-huruf itu mengandung
makna yang jelas, yakni makna yang ditunjukkannya menurut batas tertentu. Huruf-huruf itu
diletakkan di awal sebagai hujjah atas para penentang Islam dengan i’jaz al-Qur’an yang terwujud
dalam huruf-huruf itu. 

_____________________
(1) Taisir al-Tahrir, Juz. 2, Hal. 395. 
(2) Al-Amidi, Juz. 1 Hal. 216. ‘Irsyad al-Fuhul’ Al-Syaukani, hal. 11. 
(3) Baligh bisa diketahui dengan kemunculan tanda-tandanya. Jika tanda-tandanya tidak muncul juga,
maka diukur berdasarkan umur menurut hitungan kebiasaan, yakni 15 tahun untuk masing-masing laki-
laki dan perempuan. Ini adalah pendapat mayoritas ulama fiqh. 
(4) Al-Amidi, Juz. 1 Hal. 217. Al-Mustasyfa, Al-Ghazali, Juz. 1 Hal. 54. 
(5) Taisir al-Tahrir, Juz. 2 Hal. 401-403. Fawatih al-Rahumut bisyarh Muslam al-Tsubut, Juz. 1 Hal. 145-
146. Irsyad al-Fuhul hal. 10.

Ahliyah (Kepantasan) dan 'awarid (Penghalang Kepantasan)


Ahmad Afandi

Pada bab sebelumnya kami sudah menyebutkan bahwa syarat sah taklif adalah mukallaf pantas dengan
hal yang di-taklif-kan padanya. Seseorang bisa disematkan ‘kepantasan’ apabila sudah baligh dan
berakal. Ulama ushul fiqh membahas ahliyah dan ‘awarid (penghalang kepantasan) dalam cakupan yang
lebih luas. Dalam bab ini kami akan membahas ahliyah terlebih dahulu, kemudian penghalang-
penghalang (‘awarid) ahliyah.

Pengertian Ahliyah 

Secara bahasa ahliyah berarti ‘kepantasan’ (shalahiyah). Ada ungkapan, “Si Fulan ahli (ahl) dalam
bidang ini. Si Fulan bisa dikatakan ahli jika dia memang pantas melakukan bidang itu. 

Dalam istilah ulama ushul, ahliyah dibagi menjadi dua macam: 

(1) ahliyah al-wujub 

(2) ahliyah al-ada‘. 

Ahliyah al-Wujub 

Ahliyah al-wujub adalah kepantasan seseorang atas ketetapan hak yang disyariatkan kepadanya.
(1) Artinya, kelayakannya atas penetapan hak-hak yang menimbulkan kewajiban-kewajiban atas hak-
hak itu. Ahliyah al-wujub adalah berupa dzimmah, dengan kata lain bahwa kepantasan ditetapkan atas
dasar tetapnya dzimmah kepada seseorang. 

Menurut bahasa, dzimmah adalah perjanjian (‘ahd). Firman Allah, “Mereka tidak memelihara


hubungan kerabat terhadap orang-orang mukmin dan tidak pula mengindahkan perjanjian…” Orang-
orang non muslim yang bermukim di negara Islam secara permanen berdasarkan perjanjian dibuat
dengan umat muslim disebut dengan ahl al-dzimmah atau ahl al-‘ahd (orang yang telah mengadakan
perjanjian dengan umat muslim). 

Menurut istilah, dzimmah adalah istilah syara’ yang membuat seseorang pantas/layak atas ketetapan


yang dia lakukan dan ketetapan yang melekat padanya.(2) Atas dasar pengetian istilah
ini, dzimmahmelekat pada diri tiap manusia, karena tidak ada seorang pun yang lahir ke dunia yang
tidak memilikidzimmah, sehingga ahliyah al-wujub melekat pada tiap orang.(3)

Berdasarkan penjelasan ini, maka bisa dikatakan bahwa dasar penetapan ahliyah al-wujub pada
manusia adalah ‘hidup’. Selama dia hidup, manusia menerima dzimmah sebagai dasar ahliyah al-
wujub. Berdasarkan hak ini maka janin juga mempunyai ahliyah –sekalipun tidak penuh-- karena dia
hidup. Karena hidup adalah dasar tetapnya ahliyah, maka ahliyah selalu melekat seseorang sampai dia
mati.(4)

Pengertian Ahliyah al-wujub menurut istilah ulama ushul dikenal oleh ahli hukum sebagai syakhshiyyah


qanuniyah (kepribadian hukum) yang melekat pada setiap orang, artinya kelayakan seseorang
menerima hak dan kewajiban.(5) Pengertian ahli hukum tentang syakhshiyyah qanuniyah sama dengan
pengertian ulama ushul tentang ahliyah al-wujub. 

Ahliyah al-Ada’ 

Ahliyah al-ada’ adalah kepantasan seseorang untuk melaksanakan (ada’) apa yang dituntut.
Denganahliyah al-ada’, perkataan dan perbuatannya serta akibat yang ditimbulkannya diperhitungkan
olehsyara’. Jika dia melakukan suatu perbuatan, perbuatannya diperhitungkan oleh syara’. Jika dia
melakukan ibadah, ibadahnya dihitung oleh syara’ dan menggugurkan kewajibannya. Jika dia
melakukan tindak pidana, dia bisa dikenai hukuman sepenuhnya, baik menyangkut anggota badan
maupun hartanya.(6) Prinsip dasar ahliyah al-ada’ adalah: tamyiz (dapat membedakan baik dan
buruk). 

Ahliyah Sempurna/Penuh (kamilah) dan Ahliyah Tidak Sempurna (naqishah) 

Masing-masing ahliyah (wujub dan ada’) ada yang sempurna dan ada yang tidak sempurna. Dilihat dari
fase kehidupan manusia mulai dari lahir, berakal sempurna, hingga mati. Fase kehidupan manusia
adalah sebagai berikut: 

Pertama: masa janin 


Kedua: masa menuju tamyiz 
Ketiga: masa tamyiz sampai menjadi baligh 
Keempat: masa setelah baligh 

Selanjutnya kami akan menjelaskan masing-masing fase dalam kehidupan manusia ini. 

Fase Pertama: Janin 

Janin dalam kandungan ibu terkadang dianggap sebagai bagian dari ibunya dan ada tidaknya tergantung
pada ibunya. Dengan alasan ini maka ditetapkan bahwa janin tidak memiliki dzimmah sehingga tidak
ada ahliyah al-wujub bagi janin. 
Di sisi lain terkadang janin dianggap sebagai seorang yang hidup mandiri terpisah dari ibunya, karena
setelah lahir dia akan menjadi manusia seutuhnya. Dengan alasan ini maka ditetapkan bahwa bahwa
janin memiliki dzimmah sehingga memiliki ahliyah al-wujub pula. 

Dari kedua penjelasan di atas, bias disimpulkan bahwa janin tidak memiliki dzimmah yang sempurna
dan tidak pula terlepas sama sekali dari dzimmmah. Dzimmah yang tidak sempurna ini mempunyai
konsekuensi tetapnya sebagian hak saja. Oleh karena itu janin disebut memiliki ahliyah al-wujub yang
tidak sempurna, sehingga dia menerima hak tetapi tidak mempunyai kewajiban. Dia memperoleh hak
yang tidak mengharuskan adanya syarat qabul (tanda terima, bagian dari ijab) seperti hak waris,
wasiat, dan wakaf. Sedangkan hak yang mengharuskan syarat qabul seperti hibah, dia tidak berhak
menerimanya, sekalipun itu murni untuk kepentingan janin, karena dia tidak mempunyai perkataan,
wali, atau pelaksana yang bisa mewakilinya dalam qabul.(7) Janin tidak menanggung kewajiban apapun
karena ahliyah-nya tidak sempurna. Yang wajib dipertimbangkan di sini adalah bahwa syarat
tetapnyaahliyah al-wujub atas janin adalah janin itu harus dilahirkan dalam keadaan hidup. 

Tentang ahliyah al-ada’, janin tidak memilikinya sama sekali, sebab janin tidak mungkin melakukan
transaksi apapun karena hal janin memang tidak mampu sama sekali. Alasan lain adalah karena ahliyah
al-ada’ berlaku ketika seseorang sudah tamyiz dan berakal, sedangkan janin tidak mengindikasikan
pada hal itu sama sekali. 

Fase Kedua: Lahir sampai Tamyiz(8)

Saat janin lahir dalam keadaan hidup, maka dzimmah sempurna langsung melekat padanya, begitu
pulaahliyah al-wujub sempurna dan hak serta kewajiban. Secara garis besar, hak dan kewajiban itu
layak ditetapkan kepadanya, sebagaimana orang yang sudah baligh layak
mendapatkan dzimmah sempurna dan ketetapan ahliyah. Akan tetapi, jika melekatnya hak manusia
tidak bertujuan untuk hak itu sendiri, tetapi untuk hukumnya: yakni ada’, maka setiap hak yang
mungkin dilaksanakan oleh anak-anak maka hak itu melekat padanya, sebaliknya jika tidak mungkin
dilaksanakan maka hak itu tidak melekat padanya. Rinciannya adalah sebagai berikut: 

Pertama, hak individu/hamba: di antaranya hak-hak yang berkaitan dengan harta benda seperti
asuransi, upah buruh, nafkah isteri dan kerabat dan sebagainya. Semua itu melekat pada anak-anak,
karena tujuan dari hak itu adalah harta. Pelaksanaannya bisa diwakilkan, wali anak-anak itu bisa
menggantikan perannya. Hak hamba lainnya adalah: hukuman qishash. Hukuman qishash tidak bisa
dikenakan pada anak-anak, dia tidak layak menerima hukuman qishash, karena perbuatannya tidak
dianggap sempurna dan tidak bisa dianggap murni tindak kriminal sehingga tidak bisa menjadi sebab
hukuman qishash. Pelaksanaan hak seperti ini juga tidak bisa diwakilkan, sehingga wali tidak bisa
mewakili anak tersebut dalam menerima hukuman. Berbeda halnya dengan masalah diyat yang harus
diwakilkan untuk menghindari penipuan, karena anak-anak sangat rentan penipuan. Tujuan tetapnya
diyat adalah harta dan pelaksanaannya bisa diwakilkan. 

Kedua, hak Allah. Antara lain iman yang menjadi pondasi ibadah dan ibadah-ibadah murni (mahdlah),
baik yang murni perbuatan seperti shalat, murni harta benda seperti zakat, atau mencakup keduanya
seperti haji. Semua ibadah itu tidak wajib bagi anak-anak meskipun dia pantas akan  dzimmah yang
menjadi sebab penetapan hak-hak tersebut. Alasannya adalah karena keharusan dalam hak-hak itu
adalah pelaksanaan (ada’) dari orang yang berwenang atas hak-hak itu, secara sadar tanpa paksaan,
sehingga akibat yang ditimbulkan serta balasan atas pelaksanaan itu dapat terjadi.(9) Hak Allah yang
lain seperti sanksi hudud tidak bisa diterapkan pada anak-anak, sebagaimana hukuman qishash yang
tergolong sebagai hak hamba. Alasannya adalah karena anak-anak tidak bisa dimintai
pertanggungjawabannya dan tidak ada kemungkinan untuk diwakili.(10)
Dalam fase ini, anak-anak tidak memiliki ahliyah al-ada’ sama sekali karena tidak tamyiz. Seperti yang
kami katakana di atas, tamyiz (dapat memedakan baik dan buruk) dengan akal adalah dasar
tetapnyaahliyah al-ada’. Oleh karena itu anak-anak tidak dituntut untuk melaksanakan apapun dengan
dirinya sendiri. Adapun hak-hak yang melekat akibat ahliyah al-wujub dan bisa diwakilkan maka
dilaksanakan oleh walinya. 

Karena ahliyah al-ada’ tidak melekat pada kecil, maka perkataan dan perbuatannya tidak
berdampaksyar’i. Akad dan transaksi verbalnya batal dan tidak dianggap. Hal ini seperti yang
tercantum dalam undang-undang perdata Iraq dan Mesir.(11)

Fase Ketiga: Masa Tamyiz sampai Baligh 

Fase ini dimulai dari anak kecil berusia tujuh tahun sampai baligh. Dalam fase ini, dia
mendapat ahliyah al-wujub yang sempurna. Karena jika anak kecil yang belum mumayyiz saja sudah
mendapatkan ahliyah al-wujub, maka dia lebih pantas mendapatkannya karena sudah mumayyiz. Dia
memiliki hak dan kewajiban seperti contoh yang sudah kami jelaskan dalam fase kedua: fase lahir
sampai tamyiz. 

Dalam fase ini, ahliyah al-ada‘ sudah menjadi ketetapan bagi anak kecil, sekalipun ahliyah al-ada‘ yang
tidak sempurna karena akalnya yang belum sempurna. Konsekuensinya, ada‘ (pelaksanaan hak atau
kewajiban) yang dilakukannya sah, tidak terkecuali iman dan semua ibadah badaniyah (ibadah yang
melibatkan anggota tubuh), karena ada manfaat murni bagi anak kecil yang terkandung dalam ibadah
itu. 

Mengenai perbuatannya yang berkaitan dengan harta benda, maka dirinci dalam beberapa contoh
berikut: 

1. Perbuatan yang keuntungannya murni untuk anak kecil itu. Seperti menerima hibah, sedekah dan
wasiat. Transaksi yang dilakukannya sah tanpa harus menunggu izin wali atau wakil. Pengesahan
transaksi yang dilakukan langsung oleh anak kecil adalah mungkin terjadi karena dia
memiliki ahliyahyang terbatas serta ada maslahat yang jelas baginya. Di sini kami memilih untuk
melindungi kemaslahatannya selama hal itu memungkinkan. 

2. Perbuatan yang kerugiannya murni atas anak kecil itu, yakni yang menyebabkan hilangnya sesuatu
dari kepemilikan anak kecil itu tanpa pemberitahuan, seperti hibah, wakaf dan semacamnya.
Transaksi-transaksi itu tidak sah dilakukan oleh anak kecil dan tidak dianggap sama sekali. Walinya atau
orang yang diberi wasiat tidak mempunyai hak untuk mengesahkannya, karena mereka berdua tidak
memiliki hak anak kecil itu secara langsung. Prinsip kewalian adalah: mengawasi dan melindungi anak
kecil, sesuatu yang merugikannya secara langsung atau memberikannya izin untuk kerugiannya tidak
masuk dalam kategori melindungi. 

3. Perbuatan yang diragukan apakah menguntungkan atau merugikan, tergantung bagaimana hal itu
dilakukan, seperti jual beli, ijarah, dan semua transaksi yang menyangkut harta benda.(12) Semua
transaksi itu bisa menguntungkan atau merugikan. Jika yang melakukan adalah anak kecil itu secara
langsung, maka transaksi itu sah karena dia dianggap menikmati ahliyah al-ada‘-nya. Berbeda halnya
jika dia harus menunggu izin walinya sehingga ahliyah al-ada‘-nya menjadi tidak sempurna. Jika
walinya sudah memberikannya izin, maka ahliyah al-ada‘-nya menjadi sempurna dan transaksinya
dianggap telah dilakukan oleh orang yang memiliki ahliyah al-ada‘ sempurna. 
Hukum-hukum yang telah kami sebutkan berkaitan dengan perbuatan anak kecil yang sah dan yang
tidak sah, sudah menjadi ketetapan dalam undang-undang perdata Iraq(13) dan Mesir, yakni mengenai
perbuatan yang jelas keuntungan dan kerugiannya. Mengenai perbuatan atau transaksi yang belum jelas
keuntungan atau kerugiannya, maka undang-undang membatalkannya demi kebaikan anak kecil itu.
Hak menahan pembatalan masih ada jika walinya memberikannya izin atau anak kecil yang sudah
mencapai umur cakap memberikan izin pada walinya.(14)

Anak Kecil yang Diberi Izin 

Wali boleh memberikan izin kepada anak kecil dalam urusan perdagangan saat dia dirasa mampu
melakukannya. Jika sudah dizinkan, maka transaksi perdagangan yang dilakukannya sah, begitupula
semua transaksi dagang dan semua hal di dalamnya. Izin transaksi yang sudah diberikan menjadi ‘surat
jalan’ yang berlaku seterusnya. Hal ini juga menjadi ketentuan dalam undang-undang perdata Iraq dan
perdata Mesir.(15)

Fase Keempat: Masa Setelah Baligh 

Ketika seseorang sudah baligh dan berakal maka dia memiliki ahliyah al-ada‘ sempurna, pantas


menerima khithab, bisa dibebani seluruh taklif syar’i, dan semua akad serta transaksi yang
dilakukannya sah tanpa harus menunggu izin seseorang, selama dia tidak dungu, mengenai kedunguan
kami akan menjelaskannya nanti. 

___________________________
(1) Syarh al-Manar, Ibnu Malik dan Hasyiah al-Rahawi, hal. 976. 
(2) Al-Taudlih, Juz. 1 Hal. 161. 
(3) Ushul al-Bazwadi, Juz 2 Hal. 1357, dan syarahnya hal. 938. 
(4) Sebagian ulama fiqh mengatakan bahwa dzimmah manusia masih melekat bahkan setelah dia mati,
contohnya akan kami jelaskan setelah ini. 
(5) Al-Madkhal li al-Qanun al-Khash, Dr. Badrawi, hal. 58 
(6) Syarh Muraqaat al-Ushul, Juz. 2, Hal. 434. Dan Ushul al-Fiqh Syaikh Abd al-Wahab Khalaf, Hal.
150. 
(7) Pendapat jumhur ulama fiqh: janin tidak mempunyai wali atau pelaksana. Hanya orang terpercaya
yang boleh menjaga harta si janin. Di Mesir, hukum yang berlaku adalah: janin memiliki pelaksana yang
mempunyai hak sebagaimana pelaksana bagi anak kecil. Hal ini tercantum dalam undang-undang
penguasaan atas harta No. 119 tahun 1952 sebagai berikut: 

Pasal 28: seorang ayah boleh menjadi pelaksana yang terpilih bagi anaknya yang belum sempurna, atau
bagi janin yang dikandung isterinya. 

Pasal 29: apabila tidak ada pelaksana terpilih bagi anak kecil yang belum sempurna dan anak dalam
kandungan, maka pelaksananya adalah pengadilan... 

(8) Menurut ulama, usia tamyiz adalah tujuh tahun, hal ini untuk kepastian hukum. Ulama fiqh masa
awal tidak menentukan usia tertentu untuk ukuran tamyiz, akan tetapi ulama fiqh kontemporer
melakukannya. Kemungkinan dasar yang digunakan adalah hadits tentang perintah shalat pada anak
kecil, “Suruh mereka (mengerjakan shalat) pada usia tujuh tahun, dan pukullah (jika meninggalkan
shalat) pada usia sepuluh tahun.” Undang-undang Iraq dan Mesir juga menentukan bahwa usia tamyiz
adalah tujuh tahun. 
(9) Al-Talwih ‘ala al-Taudlih, Juz. 2 Hal. 163. Mengenai kewajiban zakat bagi anak-anak, ulama fiqh
berbeda pendapat. Ulama yang mewajibkan zakat bagi anak-anak beranggapan bahwa zakat adalah hak
orang fakir atas harta orang kaya, baik dia masih anak kecil atau sudah baligh. Sedangkan ulama yang
tidak mewajibkan beranggapan bahwa zakat adalah ibadah sebagaimana shalat dan puasa, sedangkan
syarat wajib ibadah adalah baligh, dan ibadah mempunyai konsekuensi hukum yang tidak bisa diperoleh
oleh anak kecil. Lihat Bidayah al-Mujtahid, Juz. 1 Hal. 220. 

(10) Kasyf al-Asrar, Juz. 4 Hal. 1362. 

(11) Pasal 96 No. 40 Tahun 1951: “Perbuatan anak kecil yang belum mumayyiz batal sekalipun walinya
memberikan izin." Pasal 110 No. 131 Tahun 1948: “Anak kecil yang belum mumayyiz tidak memiliki
hak membelanjakan hartanya dan transaksi-transaksi yang dilakukannya batal.” 

(12) Catatan: yang menjadi pertimbangan dalam menilai transaksi yang diragukan kemanfaatan atau
kerugiannya adalah jenis dan ciri khas transaksi itu, tidak perlu melihat apakah transaksi yang
dilakukan langsung oleh anak kecil itu substansinya bermanfaat atau tidak. Seandainya anak kecil itu
membeli sesuatu di atas harga asalnya maka transaksi yang dia lakukan harus menunggu izin wali, jual
beli yang merugikannya itu tidak dianggap karena jual beli mempunyai ciri khas ‘diragukan
kemanfaatan atau kerugiannya’. 

(13) Lihat pasal 97 UU Perdata Iraq. 


(14) Lihat Pasal 111 Undang-undang perdata Mesir. 
(15) Lihat Pasal 91-101 Undang-undang perdata Iraq dan Pasal 54, 55, 56 dan 112 Undang-undang Kota
Mesir.

'awarid al-Ahliyah (Penghalang-penghalang Kepantasan)


Ahmad Afandi

Dari bab sebelumnya, kita mengetahui bahwa ahliyah al-wujub yang tidak sempurna melekat pada
seseorang pada fase janin, kemudian menjadi sempurna setelah kelahiran, dan seterusnya ahliyah al-
wujub melekat padanya sampai dia mati. 

Sedangkan ahliyah al-ada’ tidak melekat pada seseorang pada fase janin dan fase anak kecil yang
belummumayyiz, kemudian ahliyah al-ada’ yang tidak sempurna melekat pada anak kecil yang
sudahmumayyiz, baru kemudian ahliyah al-ada’ yang sempurna melekat padanya setelah dia baligh dan
berakal. Dasar ahliyah al-ada’ adalah akal. Jika akalnya tidak sempurna maka ahliyah al-ada’-nya tidak
sempurna, jika akalnya sempurna maka ahliyah al-ada’-nya juga sempurna. Akal yang tidak sempurna
adalah akalnya anak kecil yang sudah mumayyiz dan sepantarannya, sedangkan akal yang sempurna
adalah akal orang yang sudah baligh yang tidak gila dan dungu.(2)
Meskipun demikian, terkadang hal-hal tertentu terjadi setelah ahliyah-nya sempurna, sesuatu yang
menggugurkan atau mengurangi ahliyah-nya dan sesuatu yang dapat merubah hukum yang berlaku
padanya, hal-hal ini lah yang disebut dengan ’awarid al-ahliyah (penghalang-penghalang kepantasan).
(2)

Macam-macam penghalang 
Penghalang ahliyah ada dua macam: 

1. Penghalang samawi (kehendak langit, di luar kemampuan manusia) 

2. Penghalang muktasabah (dapat diusahakan, dalam kemampuan manusia) 

Penghalang samawi adalah penghalang yang berasal dari Allah dan di luar kemampuan manusia, karena
itu lah dinisbatkan ke langit (samaa‘). Seperti gila, dungu/idiot, sakit, dan mati. 

Sedangkan penghalang muktasabah adalah penghalang yang masih dalam jangkauan kemampuan


manusia. Hal ini ada dua macam; pertama, penghalang yang berasal dari diri manusia sendiri seperti
bodoh, mabuk, dan main-main. Kedua, penghalang yang datang dari orang lain, yakni pemaksaan
(ikrah). 

Selanjutnya kami akan membahas sebagian penghalang-penghalang samawi dan muktasabah. 

_________________________
(1) Al-Taudlih, Juz 2 Hal. 164. 
(2) Disebut dengan ‘awarid karena merupakan kondisi tidak lazim yang terjadi pada manusia dan dapat
menggugurkan ahliyah.

Pertama: Gila (Penghalang Samawiyah)


Ahmad Afandi

Menurut sebagian ulama ushul, gila adalah menyusutnya akal sehat sehingga menghalangi seseorang
berbuat dan berkata sesuai logika, kecuali hanya dalam keadaan tertentu yang jarang.(1)

Gila ada dua macam: asli dan baru. Gila asli adalah dari baligh sudah gila. Sedangkan gila baru
adalahbaligh-nya sehat kemudian menjadi gila. Kedua macam gila ini masing-masing ada yang
sementara dan ada yang terus-menerus.
Kedua macam gila ini tidak berpengaruh pada keberlakuan ahliyah al-wujub karena dasar
ketetapanahliyah al-wujub adalah dzimmah. Gila tidak bisa menggugurkan dzimmah karena dasar
ketetapandzimmah adalah kehidupan manusia. Akan tetapi gila bisa mempengaruhi ahliyah al-
ada’ bahkan menggugurkannya, karena dasar ketetapan ahliyah al-ada’ adalah akal dan tamyiz. Gila
merusak akal dan menghilangkan tamyiz. Oleh karena itu orang gila sama hukumnya dengan anak kecil
yang belummumayyiz dalam perkataan dan perbuatannya. 

Dalam masalah ibadah, jika gilanya terus-menerus(2) maka kewajibannya gugur. Semua kewajibannya
terhalangi oleh hilangnya kemampuan untuk melaksanakan (ada’) di saat dia gila dan kesulitan
menggantinya (qadla’) ketika sudah sembuh. Maka jika pelaksanaan memang tidak bisa dilakukan baik
secara kenyataan (tahqiq) atau anggapan (taqdir) akibat kesulitan, maka kewajibannya terhapus,
sebab penetapan kewajiban tidak ada artinya jika tidak ada pelaksanaan. Akan tetapi jika gilanya tidak
terus-menerus maka pelaksanaan (ada’) kewajiban masih tetap, sekalipun hal itu tidak mungkin
dilakukan ketika dia gila, dia wajib menggantinya (qadla’) ketika sudah sembuh jika hal itu tidak dirasa
berat.Ada’ masih ada secara anggapan (taqdir) sehingga kewajiban masih berlaku.(3)

Pembekuan atas Orang Gila dan Kapan Pembekuan Itu Dicabut 

Gila adalah salah satu penyebab pembekuan (al-man’). Menurut syara’, pembekuan adalah pencegahan
atas transaksi verbal (qouliy), tetapi tidak atas transaksi fi’liy (perbuatan), artinya transaksi itu tidak
pernah terjadi dan tidak berkonsekuensi. Orang gila dibekukan akadnya sekalipun hal itu murni
menguntungkan baginya, sebagaimana halnya anak kecil yang belum mumayyiz, karena akal
dan tamyizadalah ukuran agar perkataan menjadi sah dan dianggap. Tanpa kedua hal itu maka mustahil
kesahan terjadi meskipun ada izin wali, karena perkataan itu dihukumi batal dan izin wali tidak bisa
menjadikan yang batal menjadi sah.(4)

Orang gila terbekukan dengan sendirinya (lidzatihi). Artinya saat gila menjangkit seseorang maka
statusnya langsung dibekukan tanpa harus menunggu dia melakukan sesuatu, perkataannya tidak
dianggap sejak dia mulai gila. Akan tetapi jika gilanya terputus-putus, dalam artian terkadang dia gila
dan terkadang dia sehat, maka transaksi yang dia lakukan ketika sehat sama dengan transaksi orang
berakal pada umumnya. 

Undang-undang perdata Iraq juga tidak jauh berbeda dengan ketentuan Fiqh Islam. Dalam undang-
undang tersebut ditegaskan bahwa orang gila sama hukumnya dengan anak kecil yang belum mumayyiz,
terbekukan dengan sendirinya, dan perbuatan yang dilakukannya saat dia sehat dianggap sah seperti
halnya orang yang berakal, jika gilanya tidak terus-menerus.(5)

Sedangkan undang-undang perdata Mesir sedikit berbeda dengan ketentuan dalam Fiqh Islam. Undang-
undang tersebut mengatur bahwa orang gila tidak mempunyai ahliyah sebagaimana anak kecil yang
belum mumayyiz, akan tetapi dia tidak dibekukan kecuali setelah adanya putusan pengadilan dan
pencabutan pembekuannya juga dengan putusan pengadilan. Perbuatan orang gila sah hukumnya
sebelum diberlakukannya keputusan pembekuan dari pengadilan, kecuali jika kegilaannya sudah
diketahui umum atau orang yang diajak bertransaksi mengetahui kegilaannya. Jika pembekuan dari
pengadilan sudah diberlakukan maka perbuatan yang dilakukannya batal secara mutlak, baik hal itu
dilakukannya ketika sehat –jika gilanya terputus-putus/kadang gila kadang tidak— atau ketika gila,
bahkan ketika dia benar-benar telah sembuh dari gila selama tidak ada putusan pengadilan mengenai
pencabutannya.(6)

Bersambung...
________________
(1) Al-Taudlih, Juz. 2 Hal. 168. 
(2) Gila terus-menerus yang tak terbatas waktu berlakau berbeda tergantung ibadahnya. Dalam ibadah
puasa Ramadhan misalnya, bisa disebut gila terus-menerus jika berlangsung satu bulan penuh, jika
tidak maka tidak bisa dikatan terus-menerus. 
(3) Hal ini berlaku jika gila yang tidak terus-menerus itu baru, jika gilanya asli maka kewajiban  ada‘-
nya gugur menurut sebagian ulama ushul seperti Abu Yusuf, sedangkan menurut ulama  ushul yang lain
seperti Imam Ahmad hal itu tidak menggugurkan kewajiban ada‘. Al-Talwih 'ala al-Taudlih, Juz. 2, Hal.
167. 
(4) Syarh Muraqat al-Ushul, Juz. 2 Hal. 439. 
(5) Pasal 94: anak kecil, orang gila, dan orang yang dungu terbebukan dengan sendirinya. Pasal 108:
orang gila yang terus-menerus sama hukumnya dengan anak kecil yang belum mumayyiz, jika gilanya
tidak terus-menerus, maka perbuatan yang dilakukannya sewaktu sehat sama dengan orang yang
berakal. 
(6) Pasal 45 Undang-undang perdata Mesir: orang yang tidak tamyiz karena masih di bawah umur,
dungu, atau gila tidak mempunyai hak secara langsung sebagai warga kota. Pasal 113: orang gila,
dungu, sering lupa, kurang akal pembekuannya diserahkan kepada pengadilan dan juga pencabutan
pembekuannya. 

Pasal 114 – pertama, transaksi yang dilakukan oleh orang gila dan dungu batal apabila transaksi itu
dilakukan setelah pemberlakuan putusan pembekuan. 

Kedua, jika transaksi dilakukan sebelum pemberlakuan putusan pembekuan, maka transaksinya tidak
batal kecuali pada waktu melakukan akad kegilaannya sudah diketahui umum atau orang yang diajak
bertransaksi mengetahui kegilaannya.

Cacat Pikir, Lupa, Tidur/Pingsan (Penghalang Samawi)


Ahmad Afandi

Kedua, Cacat Pikir (Idiot/Dungu) 

Dungu adalah cacat pikiran, membuat orang kurang dalam pemahaman, tidak teratur dalam berbicara,
dan tidak sanggup dalam melakukan pertimbangan.(1) Hilangnya pemahaman dan tamyiz pada orang
dungu ada dua macam: pertama, dungu yang tidak bisa memahami (idrak) dan membedakan (tamyiz)
sama sekali, orang ini seperti orang gila sehingga dia tidak memiliki ahliyah al-ada’ tapi masih
memilikiahliyah al-wujub, hukumnya seperti hukum yang berlaku pada orang gila. Kedua, dungu yang
masih bisa memahami dan membedakan hanya saja tidak seperti orang berakal pada umumnya. Orang
ini adalah orang yang baligh tetapi dihukumi seperti anak kecil yang mumayyiz, maka yang melekat
padanya adalah ahliyah al-ada’ yang tidak sempurna. Dia memiliki ahliyah al-wujub yang sempurna,
tidak wajib melaksanakan ibadah, akan tetapi jika dia melakukannya maka ibadahnya sah. Dia tidak
memiliki kepantasan menerima sanksi. Dia wajib melaksanakan hak hamba yang bermuara pada harta
dan sah mengelolanya dalam pengawasan wali, seperti dalam masalah asuransi. Transaksi yang
dilakukannya sah dan berlaku jika murni menguntungkan baginya, jika murni berbahaya dan
merugikannya maka transaksinya batal, dan jika tidak pasti apakah menguntungkan atau merugikan
maka transaksinya ditangguhkan atas seizin wali.

Orang dungu ini terbekukan dengan sendirinya, dari sudut pandang ini maka orang dungu sama dengan
orang gila. 

Orang Dungu dalam Undang-undang Perdata 

Dalam undang-undang Perdata Iraq, putusan pengadilan tidak menjadi syarat pembekuan atas orang
dungu/idiot, dia terbekukan dengan sendirinya. Ketentuan ini sama dengan ketentuan dalam fiqh
Islam, yakni menyamakannya dengan anak kecil yang belum mumayyiz, hanya saja dalam undang-
undang ini tidak ada klasifikasi dungu,(2) berbeda dengan pendapat ulama fiqh yang mengklasifikasi
dungu menjadi dua macam seperti yang sudah kami jelaskan. 

Sedangkan dalam undang-undang perdata Mesir, orang idiot sama dengan orang gila tanpa ada
klasifikasi dungu. Hukum pembekuannya juga disamakan dengan orang gila, hanya saja keberlakuan
hukum pembekuan atas orang dungu diserahkan pada pengadilan khusus. Transaksi yang dilakukannya
batal sekalipun pembekuannya belum diberlakukan, yakni apabila gilanya sudah diketahui umum atau
partner transaksinya mengetahui kegilaannya. Transaksi yang dilakukannya tetap batal selama putusan
pembekuan belum dicabut oleh pengadilan.(3)

Ada beberapa pasal dalam UU Mesir yang berbeda dengan ketentuan fiqh Islam. Hanya saja orang cacat
pikir masih dianggap sama dengan orang gila, tetapi kesamaannya tidak dalam semua aspek. 

Ketiga: Lupa 

Keadaan yang menghalangi manusia untuk ingat apa yang di-taklif-kan kepadanya. Lupa tidak bisa
menghapus ahliyah al-wujub atau ahliyah al-ada, karena akalnya masih sempurna dan memiliki
kemampuan.(4) Lupa juga tidak menjadi penghalang atas hak hamba, karena hak hamba adalah
keistimewaan yang diberikan untuk kebutuhan, bukan untuk menguji mereka. Lupa tidak
menghilangkan keistimewaan tersebut, oleh karena itu apabila seseorang merusak harta orang lain
karena lupa maka dia wajib menanggungnya.(5) Berbeda dengan hak Allah, lupa bisa dianggap
penghalang atas hal yang berkaitan dengan penetapan dosa. Tidak ada dosa bagi orang lupa, Rasulullah
SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah memaafkan umatku yang salah, lupa, dan terpaksa.” Dalam
hukum duniawi, lupa terkadang bias menjadi alasan pembenar dan tidak membatalkan ibadah, seperti
orang berpuasa yang makan karena lupa. 

Keempat: Tidur dan Pingsan 

Tidur dan pingsan bisa menghilangkan ahliyah al-ada’, tetapi tidak ahliyah al-wujub.(6) Selama
seseorang tidur atau pingsan, dia tidak dibebani ahliyah al-ada’, karena dasar penetapan ahliyah al-
ada’ adalah tamyiz berakal, sedangkan orang yang tidur dan pingsan tidak memiliki sifat tamyiz. Oleh
karena itu, perkataannya tidak bisa dianggap sama sekali dan dia tidak bisa dikenai hukuman badan
atas perbuatan yang dia lakukan. Bahkan apabila dia menghampiri seseorang kemudian membunuhnya,
dia tidak bisa dikenai hukuman badan karena tidak ada niat membunuh, sifat tamyiz, dan kesadaran
penuh ketika melakukannya. Dia hanya dikenai sanksi harta, yakni wajib membayar  diyat. Seperti
halnya dia wajib menanggung harta orang lain yang dirusakkannya. Alasan penetapan wajibnya
tanggungan akibat perbuatannya menghilangkan nyawa dan harta orang lain adalah karena
perbuatannya kasat mata dan syara’ melindungi nyawa dan harta, dan ‘udzr (alasan penghalang) tidak
bisa menghapus perlindungan syara’. 

Dalam masalah ibadah, orang yang tidur dan pingsan tidak wajib melaksanakannya (ada’). Tidur dan
pingsan menyebabkan khithab mengulur ada’ sampai dia bangun (bagi yang tidur) dan sadar (bagi yang
pingsan), karena dalam dua keadaan itu seseorang tidak dapat memahami dan menunaikan ada’. 

Kewajiban ibadah tidak gugur sepenuhnya, karena ada’ masih sangat mungkin dilakukan ketika sudah
bangun dan sadar, atau karena mengganti ada’ –yakni qadla’—masih sangat mungkin dilakukan.
Ketidakmampuan untuk melaksanakan (ada’) dalam dua keadaan itu tidak bisa menggugurkan asal
kewajiban selama qadla’ masih mungkin dilakukan tanpa kesulitan. Alasan lain adalah karena tidur
pada umumnya tidak berlangsung lama sehingga tidak akan ada kesulitan untuk mengganti ibadah yang
terlewatkan, dengan demikian kewajibannya tidak hilang. Demikian halnya pada orang yang tidak
sadarkan diri, kecuali jika pingsannya berlangsung terus-menerus, jika demikian maka kewajibannya
gugur karena kenyataannya (haqiqah) ada’ terhapus akibat tidak sadarkan diri, dan diperkirakan
(taqdiir) dia kesulitan mengganti (qadla’) setelah sadar. Jika ada’ tidak ada maka kewajiban gugur,
karena tidak ada manfaat mempertahankannya.(7)

_____________________
(1) Syarh Al-Kanz, Juz. 5 Hal. 101. 
(2) Pasal 49 dan Pasal 107 UU Perdata Iraq: orang cacat pikir sama hukumnya dengan anak kecil yang
belum mumayyiz. 
(3) Pasal 45, 113, dan 114 UU Perdata Mesir. 
(4) Syarh Muraqat al-Wushul, Juz. 2 Hal. 440. 
(5) Ushul, Al-Bazdawi dan syarh-nya, Juz 4 Hal. 1396. 
(6) Kasy al-Asrar, Juz. 4 hal. 1400. 
(7) Kasyf al-Asrar, Juz. 4, Hal. 1398 dan 1400.

Sakit dan Mati (Penghalang Samawi)


Ahmad Afandi
Yang dimaksud sakit di sini bukan gila dan bukan pula pingsan. Sakit tidak bisa menggugurkan  ahliyah
al-wujub dan ahliyah al-ada’. Orang sakit memiliki ahliyah sempurna dan semua konsekuensinya, dia
berhak menerima dan menunaikan hak. Hanya saja sakit bisa mempengaruhi beberapa hukum yang
berkaitan dengan masih tetapnya ahliyah sempurna bagi orang yang sakit. Di antaranya: sebagian
transaksi yang dilakukannya tidak berlaku/sah. Penjelasan: perpindahan hak milik harta dari pewaris
kepada ahli waris terjadi jika pewaris mati, berdasarkan hukum Islam. Kasus lain yang mempunyai
ketetapan akibat kematian: keterikatan antara kreditor (pihak yang mempunyai piutang/da’in) dan
debitor (pihak yang mempunyai hutang/madin) yang mati dalam hak atas hutang. Jika sakit itu menjadi
sebab kematian maka keterikatan hak ahli waris dan kreditor terjadi sejak sakit menjangkit, karena
hukum didasarkan pada awal sebab.(1)

Untuk melindungi hak ahli waris dan kreditor, maka ditetapkan pembekuan atas orang sakit sekiranya
perlindungan hak itu terealisasi, yakni kira-kira 2/3 harta bagi ahli waris dan semua harta jika hak
kreditor mencakup semua harta peninggalan, jika tidak mencakup semua maka hanya sesuai dengan
hutang saja.(2)

Ketetapan pembekuan berlaku pada awal dia sakit yang berujung kematian, karena ‘illat pembekuan
adalah: sakit yang mematikan. Jika berujung kematian, maka sakitnya mulai dari awal mengharuskan
hartanya harus dilindungi. Akan tetapi jika tidak diketahui apakah sakit yang dideritanya berujung pada
kematian atau tidak maka tidak ada pembekuan, karena pembekuan tidak boleh berdasarkan keragu-
raguan, dengan demikian pembekuan sebelum dia mati tidak ada pengaruhnya. Transaksi orang yang
sakit mard al-maut hukumnya sah.(3) Ahli waris dan kreditor tidak memiliki hak protes atas transaksi
yang dilakukannya ketika masih hidup. Hak protes ini bisa dilakukan setelah orang itu mati, jika
transaksi yang dia lakukan sebelum kematiannya membahayakan hak mereka, seperti dalam kasus
hibah dan jual beli yang memihak.(4)

Perkawinan Orang Sakit 

Perkawinan yang dilakukan oleh orang yang sakit mardl al-maut sah menurut jumhur ulama, karena dia
memiliki ahliyah. Ada hak saling mewarisi antara suami-isteri, dan menurut sebagian ulama seperti
Imam Ahmad dan Madzhab Dhahiriyah, wajib ada mahar musamma (mahar yang disepakati oleh kedua
belah pihak dalam akad). Akan tetapi menurut ulama lain seperti Syafi’i, wajib ada mahar mitsl (mahar
yang sepadan dengan ukuran pada umumnya di daerahnya) demi menjaga hak ahli waris dan kreditor,
hal ini terjadi apabila mahar musamma lebih dari 1/3 dan tidak diperbolehkan oleh ahli waris dan
kreditor. 

Menurut Imam Auza’i: nikahnya sah tapi tidak ada hak saling mewarisi antara suami-isteri. 

Menurut Imam Malik: nikahnya fasid (rusak) dan tidak ada hak saling mewarisi. Akan tetapi sebagian
pengikut Madzhab Malikiyah, fasid hukumnya menikahi wanita ahl al-dzimmah (perempuan non muslim
yang memiliki perjanjian/perlindungan dari pemerintah Islam), karena khawatir dia masuk Islam dan
menjadi salah satu ahli waris sehingga membahayakan ahli waris lainnya. 

Menurut Imam Malik, perempuan yang dinikahi orang sakit itu tidak mendapatkan apa-apa jika bercerai
sebelum dukhul (hubungan suami-isteri), jika terjadi setelah dukhul maka perempuan itu mendapatkan
mahar mitsl dari sepertiga harta. Argumentasi Imam Malik: dalam pernikahan itu ada kecurigaan bahwa
dia bermaksud membahayakan hak ahli waris dengan memasukkan perempuan yang dinikahinya
menjadi salah satu ahli waris.(5)
Pendapat yang kami pilih adalah perkawinannya sah, terjadi hak saling mewarisi antara suami-isteri,
wajib mahar musamma jika lebih sedikit dari mahar mitsl, jika mahar musamma lebih dari
mahar mitsldan mengusik hak ahli waris dan kreditor maka menunggu keputusan mereka. 

Pendapat yang mengatakan perkawinannya fasid adalah pendapat yang lemah, karena perkawinan


adalah kebutuhan naluriah manusia. Tidak ada pembekuan atau larangan atas orang sakit untuk
memenuhi kebutuhan naluriahnya, seperti halnya nikah dengan mahar mitsl. Apabila diketahui bahwa
tujuannya menikah adalah untuk membahayakan ahli waris, maka pendapat yang paling sesuai adalah
tidak ada hak saling mewarisi antara suami-isteri sebagai penolak atas niat buruknya. 

Talak Orang Sakit 

Apabila orang yang sakit maradl al-maut menjatuhkan talak pada isterinya yang sudah di-
dukhul dengan talak ba’in (talak tiga) dan isterinya tidak rela, maka menurut ulama fiqh talaknya
tetap jatuh, tetapi mereka berbeda pendapat mengenai kewarisannya. 

Jumhur ulama: dia tetap menerima waris, sebagai penolak atas maksud buruk suami yang ingin
menghilangkan hak waris dengan menceraikannya. 

Menurut Imam Syafi’i dan ahl al-dhahir (ulama yang memandang masalah lahiriyah tanpa memandang
masalah hati/batiniyah): tidak menerima waris, karena talak ba’in menggugurkan hak waris, maksud
hati tidak bisa dijadikan alas an, karena hukum dibangun berdasarkan yang tampak, masalah yang tidak
tampak adalah urusan Allah. 

Jumhur memang berpendapat bahwa isteri yang ditalak ba’in menerima waris, akan tetapi mereka
berbeda pendapat tentang batas waktu ketetapan hak waris isteri. Menurut Hanafiyah, hak waris itu
ada selama dalam masa iddah-nya. Menurut Hanabilah, hak waris tetap ada sekalipun masa ‘iddah
sudah lewat, selama dia (isteri yang dicerai) tidak menikah lagi. Menurut Imam Malik, hak waris tetap
ada sekalipun masa ‘iddah sudah lewat dan dia sudah menikah lagi. Sedangan menurut Ja’fariyah, hak
warisnya berlaku selama satu tahun sejak diceraikan, selama dia tidak menikah lagi. 

Jika talak ba’in terjadi sebelum dukhul maka menurut Imam Malik dia tetap mempunyai hak waris,
sedangkan menurut Hanafiyah dan Hanabilah tidak, Ja’fariyah memilih sama dengan Hanabilah
sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Al-Thusi dalam Kitabnya Al-Khilaf.(6)

Talak Orang Sakit dalam Undang-Undang Perdata Iraq 

Undang-undang No. 188 Tahun 1959 tentang Hukum Keluarga Iraq menetapkan bahwa perempuan yang
ditalak suaminya yang sedang sakit mardl al-maut tetap menerima waris. Undang-undang ini
memberikan hukum yang tidak biasa, yakni talaknya orang yang sakit mardl al-maut tidak jatuh.
(7) Ketentuan ini berbeda dengan ketentuan yang selama ini dikenal dalam fiqh Islam bahwa talaknya
jatuh selama talak itu diucapkannya sendiri, perempuan bisa dijatuhi talak, dan kepantasan (ahliyah)
menjatuhkan talak tidak dibedakan menurut sehat atau sakitnya. Tidak ada seorang fuqaha’ pun yang
mengatakan talaknya tidak jatuh, mereka hanya berbeda pendapat mengenai hak waris isteri yang
ditalak suaminya yang sakit mardl al-maut dengan talak ba’in sebagaimana yang kami jelaskan dan
ringkaskan dalam masalah ini. 
Sedangkan Undang-undang Mesir menetapkan bahwa isteri yang ditalak ba’in oleh suaminya yang
sakitmardl al-maut sama hukumnya dengan isteri yang ditalak tanpa kerelaan. Jika berujung pada
kematian, maka isterinya memiliki hak waris selama dia dalam masa iddah.(8) Undang-undang ini sama
dengan pendapat Hanafiyah. 

Keenam: Mati 

Mati adalah penghalang samawi yang terakhir. Dengan datangnya kematian, semua kemampuan


seseorang hilang sehingga ahliyah al-ada’-nya juga hilang. Semua taklif syara’ padanya gugur, karena
tujuan taklif adalah ada’, sedangkan ada’ adalah dengan kemampuan yang dimiliki, dengan kematian
seseorang tidak mempunyai kemampuan lagi. 

Oleh karena itu, sebagian ulama seperti Hanafiyah berpendapat: dalam hukum duniawi, zakat orang
yang mati gugur. Zakatnya tidak wajib dibayarkan dari harta waris jika dia belum membayarnya pada
masa hidupnya. Karena tujuan hak Allah adalah perbuatan mukallaf, sedangkan perbuatan itu gugur
dengan kematiannya. 

Menurut ulama lain seperti Syafi’i : zakat tidak gugur akibat kematian. Karena tujuan zakat adalah
harta, bukan perbuatan mukallaf. Membayar zakat dari harta waris juga memungkinkan, jadi ada’
tetap wajib. 

Mengenai ahliyah al-wujub, seperti yang sudah kami jelaskan, ketetapannya adalah


berdasarkandzimmah. Fuqaha’ sepakat bahwa dzimmah rusak akibat kematian. Mengenai
apakah dzimmahseseorang langsung rusak sesaat setelah dia mati, fuqaha’ berbeda pendapat: 

Pendapat pertama: dzimmah langsung rusak sesaat setelah kematian. Karena asas dzimmah adalah


melekatnya nyawa, maka setelah nyawanya hilang dengan kematian maka dzimmah-nya juga hilang,
begitupula ahliyah al-wujub-nya, baik ahliyah yang sempurna ata yang tidak sempurna. 

Mengenai hutangnya, jika dia tidak meninggalkan harta maka hutangnya gugur, akan tetapi jika dia
meninggalkan harta maka hutangnya tidak gugur karena masih mengikatnya, oleh karena itu hutangnya
wajib dibayarkan, ini adalah pendapat sebagian ulama Hanabilah. 

Pendapat kedua: dzimmah tidak rusak, tapi hanya melemah atau berkurang saja. Karena dzimmah-nya
melemah maka secara keseluruhan dia masih memiliki ahliyah al-wujub. Akan tetapi dzimmah yang
melemah akibat kematian ini tidak mampu menanggung hutang yang harus ditunaikan kecuali ada
sesuatu yang menguatkannya, yakni harta peninggalan si mati atau orang yang menanggung hutang
(kafil) si mati saat dia hidup. Tanpa adanya penguat maka kewajiban membayar hutang menjadi
hilang. 

Konsekuensi pendapat ini adalah: orang yang mati dalam keadaan bangkrut tidak boleh ditanggung
hutangnya (kafalah). Dalam masalah ini, gugurnya kewajiban hutang ditunjukkan dengan tidak adanya
tuntutan pembayaran. Dengan ini, hutang didefinisikan sebagai hal yang bersifat syar’i yang jejaknya
ditandai dengan adanya tuntutan. Tuntutan gugur akibat kematian sehingga hutang juga ikut gugur. 
Kafalah adalah masalah lain, tidak sah dilakukan pada orang mati yang bangkrut.
Karena kafalahdisyariatkan untuk mempertanggungjawaban tuntutan atas si mati, bukan mengambil
alih hutang, hal ini ditunjukkan dengan tidak hilangnya hutang atas si mati setelah kafalah. Oleh
karena tuntutan hutang atas si mati gugur akibat kematian, maka pertanggungjawaban tuntutan tidak
sah, dengan demikian tidak mungkin makna kafalah yang merupakan istilah untuk
penanggungan dzimmah diterapkan padadzimmah dalam penuntutan, sehingga kafalah tidak
dibolehkan. 

Apabila hutang si mati belum dibayarkan sedangkan harta peninggalannya tidak ada maka dzimmah-nya
rusak dan luntur, karena dzimmah ada untuk kepentingan membayar hak dan likuidasi harta
peninggalan. Kepentingan pembayaran dihitung sesuai kadarnya. Jika kepentingan pembayaran sudah
hilang maka dzimmah harus dianggap hilang seluruhnya. 

Pendapat ketiga: dzimmah-nya si mati masih tetap, tidak hilang. Hutang tetap mengikatnya dan wajib
dibayarkan dari harta peninggalannya. 

Konsekuensi pendapat ini adalah: orang yang mati dalam keadaan bangkrut boleh ditanggung (kafalah)
hutangnya. Hutang tidak gugur sekalipun tidak ada seorang pun yang maju sebagai penanggung
hutangnya. Argumentasinya : sedekah/derma untuk orang mati dengan membayarkan hutangnya adalah
sah. Hak pembayaran hutang kepada kreditor menjadi milik penderma. Kedudukan hak ini lebih tinggi
daripada hak penuntutan yang menandakan tetapnya hutang. Selain itu, sah menanggung hutang orang
bangkrut yang masih hidup yang tidak bisa membayar hutangnya, oleh karena itu sah pula menanggung
hutang orang bangkrut yang sudah mati. Hal ini dikuatkan oleh Nabi SAW yang membolehkan kafalah
hutang seseorang yang sudah mati. 

Jika hutang si mati normal sedangkan harta peninggalannya tidak ada, maka dzimmah-nya rusak
danahliyah al-wujub-nya tidak bisa diotak-atik lagi. 

____________________
(1) Syarh al-Manar, Hal. 691-692. 
(2) Syarh al-Manar, Hal. 692. Syarh Muraqat al-wushul, Juz. 2 Hal. 446. Orang sakit tidak dibekukan
atas hartanya jika itu menyangkut kebutuhan dlaruriyah dan hajiyah-nya, seperti nafkah kesehariannya
dan obat penyakitnya. 
(3) Mardl al-maut: adalah sakit yang menyebabkan seseorang tidak mampu melaksanakan urusannya di
luar rumah, dna biasanya berujung pada kematian. 
(4) Syarh Murawat al-Wushul, Juz. 2 Hal. 446-447, dan Al-Talwih ‘ala al-Taudlih, Juz. 2 Hal. 17. 
(5) Al-Um, Imam Syafi’i, Juz. 3, Hal. 31-32. Al-Mughni, Ibn Qudamah, Juz. 1 Hal. 326. Al-Mudawwanah
al-Kubro, Imam Malik, Juz 1, Hal. 133, dan Al-Mahalli, Juz 1, Hal. 25-26. 
(6) Al-Khilaf, Al-Thusi, Juz. 2, Hal. 456. Al-Um, Al-Syafi’i, Juz. 5, Hal. 329-332. Al-Hidayah dan Fath
al-Qadir, Juz. 3, Hal. 150-153. Al-Mughni, Juz. 3, Hal. 329-332. Al-Qawa’id, Ibn Rahb, Hal. 230. Al-
Mudawwanah al-Kubra, Juz. 2, Hal. 132. 
(7) Pasal 35: talaknya orang-orang yang telah terbukti…sakit mardl al-maut…jika berujung pada
kematian dan isterinya berhak menerima waris. 
(8) Pasal 11 dalam Undang-undang Mesir No. 77 Tahun 1943 tentang Mawaris menganggap isteri yang
ditalak ba’in oleh suaminya yang sakit mardl al-maut sama hukumnya dengan isteri yang dicerai tanpa
kerelaannya, kemudian yang menjatuhkan talak mati dan dia dalam masa iddah.
Penghalang Muktasabah
Ahmad Afandi

Pertama: Bodoh/ Tidak Tahu 

Bodoh tidak bisa menghapus ahliyah. Hanya saja dalam keadaan tertentu bisa menjadi penghalang
(‘udzr). Masalah ketidaktahuan adakalanya terjadi di Negara Islam dan di Negara non-Islam atau Negara
konflik (daar al-harb).

Bodoh di Negara Islam 

Kaidah yang berlaku: bodoh di Negara Islam tidak dianggap sebagai penghalang. ‘Tahu’ diwajibkan di
Negara Islam. Ketidaktahuan seorang muslim akan hukum yang sudah umum dan jelas tidak bisa
menjadi alasan, sehingga tidak ada keringanan (rukhshah) bagi orang seperti ini. Hukum-hukum yang
dimaksud adalah hukum yang berdasarkan pada al-Kitab, Sunnah mutawatir atau masyhur, atau ijma’,
seperti kewajiban shalat dan puasa, keharaman khamr, zina, membunuh tanpa hak, menyerobot harta
orang lain dan sebagainya. Tidak terkecuali bagi orang kafir dzimmi, dia tidak bisa beralasan tidak tahu
hukum Islam seperti qishash, had zina dan had mencuri karena dia tinggal di Negara Islam, dan ‘tahu’
di Negara Islam adalah kewajiban untuk semua. Oleh karena itu jika dia masuk Islam tapi
minum khamrmaka dia harus mendapatkan hukuman, karena keharaman minum khamr telah umum
berlaku dan diketahui di Negara Islam sehingga ‘tidak tahu’ tidak bisa menjadi alasan penghalang. 

Contoh lain adalah orang yang tidak tahu bahwa ijtihad yang dilakukannya menyalahi hukum yang jelas
dari al-Kitab dan Sunnah masyhurah. Ijtihad pertama: berpendapat bahwa menyembelih hewan tanpa
menyebut nama Allah dengan sengaja adalah halal, dianalogikan (qiyas) dengan orang yang lupa tidak
menyebut nama Allah. Ijtihad seperti ini bertentangan dengan firman Allah, “Dan janganlah kamu
makan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya.” (Al-An’am: 121).
Ijtihad kedua: halal menikahi perempuan yang telah ditalak ba’in yang telah menikah dengan pria lain
sekalipun belum melakukan wathi’ (hubungan suami-isteri), hal ini bertentangan dengan Sunnah
masyhurah.(1)

Hanya saja apabila ijtihad-nya shahih dan tidak menyalahi al-Kitab, Sunnah masyhurah, dan ijma’,


maka ketidaktahuannya bisa menjadi alasan (‘udzr) baginya. Contoh: salah satu wali dari korban
memaafkan si pembunuh dari hukuman qishash.(2) Contoh lain: nikah tanpa saksi, cukup dengan
pengumuman/perayaan saja.(3)
Yang perlu dicatat: jika pemimpin (waliy al-amr) memilih salah satu pendapat ijtihadi (yang dihasilkan
melalui ijtihad) kemudian memerintahkan kepada penduduk untuk mengikutinya lalu
menyebarluaskannya, maka pendapat ijtihadi yang dia pilih itu sama dengan hukum yang ketetapannya
berlaku umum. Oleh karena itu, tidak boleh seorang pun yang beralasan tidak mengetahuinya,
pendapatijtihadi lain yang bertentangan tidak lagi dianggap. 

Demikian juga ada beberapa peristiwa yang bisa dimaafkan karena pelakunya tidak mengetahui yang
sebenarnya. Contoh: seseorang tidak tahu bahwa dia menikahi perempuan yang haram dinikahi sebab
persusuan (radla’ah). Atau seseorang minum air perasan anggur tapi tidak mengetahui bahwa air
perasan itu sudah difermentasi. Orang dalam dua kasus ini tidak bisa dikenai jarimah dan sanksi. 

Contoh lain: (dalam masalah syuf’ah/perkongsian) ketidaktahuan syafi’ (orang yang mempunyai


haksyuf’ah) atas penjualan bagian hak kepemilikan rumah yang dilakukan partner-nya, bisa menjadi
alasan bagi syafi’ untuk mendapatkan kembali hak syuf’ah, jika akhirnya dia mengetahui adanya
penjualan. 

Contoh lain: (dalam masalah wakalah) ketidaktahuan wakil bahwa dia sudah dipecat oleh muwakkil,
hal itu dapat dimaklumi dan transaksi yang dilakukan wakil tetap menjadi hak muwakkil sebelum wakil
tahu akan pemecatannya sebagai wakil.(4)

Kaidah dalam Hukum Positif 

Kaidah yang ada dalam hukum positif: selama hukum-hukum disebarluaskan melalui cara-cara yang
berlaku seperti melalui surat kabar resmi, maka semua penduduk diwajibkan untuk mengetahuinya,
ketidaktahuan tidak bisa dijadikan alasan. Oleh karena itu, kaidah yang berlaku adalah: “ Tidak bisa
diterima, orang yang beralasan tidak mengetahui hukum.” Kaidah ini berlaku dalam hukum positif,
baik perdata maupun pidana. Tidak ada yang bertentangan dengan kaidah ini, kecuali beberapa
pengecualian saja, di antaranya: ketentuan dalam undang-undang pidana Mesir bahwa perbuatan
pejabat publik yang melanggar undang-undang tidak mengakibatkannya dijatuhi hukuman, selama
perbuatannya termasuk dalam deskripsi jabatannya, pejabat itu mendapatkan legitimasi atas
perbuatannya.(5)

Hampir semua ahli hukum pidana sepakat bahwa: tidak mengetahui undang-undang bisa menjadi alasan
apabila secara jasmani mustahil untuk mengetahui undang-undang, misalnya andaikan undang-undang
disahkan pada saat blokade perang di salah satu daerah. Sedangkan apabila tidak mengetahui akan
suatu kejadian, maka hal itu bisa menjadi pembelaan atas dakwaan pertanggungjawaban pidana bagi
pelaku pidana --sebagaimana kaidah—seperti orang yang menggunakan dokumen palsu, padahal dia
yakin bahwa dokumen itu asli.(6)

Bodoh di Negara Non Islam (daar al-harb) 

Kaidahnya: mengetahui hukum tidak wajib di dalam Negara non Islam. Karena daar al-harb bukan
Negara yang mengenal hukum syariah, akan tetapi negara yang tidak mengenalnya. Oleh karena itu,
jika ada orang yang masuk Islam di Negara tersebut lalu dia tidak mengetahui kewajiban ibadah seperti
shalat dan semacamnya, maka dia tidak wajib melaksanakannya, dia juga tidak wajib menggantinya
(qadla’) ketika sudah tahu. Demikian pula jika dia minum khamr tanpa mengetahui keharamannya,
maka dia tidak berdosa dan tidak mendapat sanksi, karena adanya tanggungjawab dan
ketetapan taklifterjadi jika khithab sudah sampai kepadanya secara hakiki, atau
secara taqdir (anggapan) bahwa hukum syariah telah tersebar luas di tempat tinggalnya,
sedangkan daar al-harb bukan Negara yang demikian.(7)

Kedua: Salah/Keliru 

Yang dimaksud dengan ‘salah’ (khatha’) adalah antonim dari ‘benar’ (shawab), dan tidak disengaja.
Termasuk dalam arti ini adalah sabda Nabi SAW, “Sesungguhnya Allah mengampuni umatku yang salah,
lupa, dan terpaksa.” makna ini lah yang dimaksud pembahasan penghalang-penghalang kepantasan.
Kemungkinan definisinya: perkataan atau perbuatan manusia yang diucapkan atau dilakukan tanpa dia
kehendaki. Salah tidak dapat menghilangkan ahliyah, karena pada saat salah dia masih memiliki akal.
Hanya saja ‘salah’ bisa menjadi alasan gugurnya hak-hak Allah, seperti salahnya seorang mufti, salah
dalam ijtihad, atau salah dalam memilih perkara syubhat tentang keputusan hukuman yang menjadi
hak Allah, seperti masalah hudud dalam had zina. 

Mengenai hak hamba, jika hak itu berupa hukuman seperti qishash maka hukuman itu tidak wajib
karena perbuatan pidana dilakukan dalam keadaan salah. Qishash adalah hukuman maksimal sehingga
tidak dapat dijatuhkan kepada orang yang berbuat salah karena perbuatannya ditolerir. Orang yang
membunuh karena salah diwajibkan diyat sebagai pengganti posisi pembunuh (yang seharusnya
dijatuhiqishash). Diyat sebaiknya dibayarkan dalam jangka waktu tiga tahun, karena ‘salah’ yang
merupakan perantara, mengharuskan adanya keringanan. Diyat logisnya dimasukkan dalam kategori
perantara karena tidak mengharuskan adanya ganti harta. 

Jika hak hamba berkaitan dengan harta benda seperti merusak harta orang lain karena salah, maka dia
wajib dlaman (menanggung harta), salah tidak bisa menjadi alasan menghapus dlaman,
karena dlamanadalah pengganti harta akibat perbuatan merusak, oleh karena itu posisi harta harus
dilindungi. Merusak harta karena salah tidak bisa menjadi alasan untuk meniadakan perlindungan
terhadap harta. 

Dalam masalah muamalat: salah tidak bisa menjadi alasan untuk menghalangi terjadinya akad dan
menghilangkan konsekuensi akad, ini adalah pendapat sebagian ulama madzhab Hanafiyah, bahkan
seandainya dia manjatuhkan talak karena salah maka talaknya tetap jatuh. Jual beli yang dilakukan
karena salah juga sah, sebab dalam jual beli itu ada ikhtiyar (kehendak sendiri, tanpa paksaan), akan
tetapi jual beli menjadi fasid jika tidak ada kerelaan.(8)

Menurut jumhur ulama seperti Syafi’iyah, Ja’fariyah dan lainnya: orang yang menjatuhkan talak karena
salah maka talaknya tidak jatuh, semua transaksi verbalnya tidak mempunyai konsekuensi hukum.
(9) Alasan jumhur: perkataan bisa dianggap apabila bermaksud mengatakannya, orang yang berkata
salah tidak bermaksud mengatakan demikian, oleh karena itu perkataannya yang salah tidak dianggap.
Dengan demikian, perkataan orang tidur dan pingsan tidak berlaku karena mereka tidak bermaksud
mengatakannya, demikian pula dengan orang yang keliru. Yang jelas bahwa perkataan bisa dianggap
apabila orang yang mengatakan (mutakallim) memang bermaksud mengatakan demikian. Jika tidak ada
maksud dalam sebuah perkataan maka perkataannya dianggap main-main dan tidak mempunyai
pengaruh. Hal ini diperkuat dengan hadits, “Diampuni dari umatku keliru, lupa, dan terpaksa.”(10)

Hanafiyah menolak pendapat jumhur. Menurut mereka, ‘maksud’ dari orang yang keliru mengucapkan
talak adalah persoalan yang tidak jelas sehingga tidak bisa dijadikan landasan, oleh karena itu baligh-
berakal menjadi ukuran ada atau tidak adanya ‘maksud’. ‘Sebab yang tampak’ mengganti posisinya
‘sebab yang tidak tampak’ yang sulit dijadikan pijakan. Jika kekeliruan yang dibuatnya tampak jelas,
maka posisinya tidak bisa digeser, oleh karena itu baligh-berakal tidak bisa mengganti posisinya
‘maksud’ dan ‘kerelaan’-nya orang tidur dan orang pingsan, karena sudah jelas bahwa tidak ada
maksud dan kerelaan atas perkataan yang keluar dari kedua orang tersebut.(11)

Menurut kami, yang paling benar adalah pendapat jumhur ulama. Sudah sepantasnya jika semua
perkataan yang keluar dari orang yang keliru tidak dianggap, baik itu talak atau transaksi verbal
apapun, selama kelirunya tidak terus-menerus. 

Bersambung...

_____________________
(1) Isteri yang ditalak tiga tidak halal bagi yang mentalaknya (suami pertama) kecuali jika dia sudah
menikah dengan laki-laki lain (suami kedua) dan sudah dukhul, kemudian cerai baik sebab talak atau
yang lain. Jika iddah-nya sudah selesai setelah cerai dengan suami kedua, maka ketika itu dia halal
dinikahi oleh suami pertama dengan akad nikah baru. Syarat halal (tahlil) adalah suami kedua sudah
menggaulinya (wathi’ atau dukhul), ini adalah ketetapan dari Sunnah masyhurah dan telah disepakati
oleh ulama fiqh (ijma’), kecuali pendapat yang dikutip dari Sa’id bin al-Musayyib yang berbeda dengan
ketetapan di atas. Pendapat yang mengatakan bahwa akad dari suami kedua saja tanpa dukhul sudah
memenuhi syarat halalnya suami pertama untuk menikahinya lagi adalah pendapat yang tidak sah. Oleh
karena itu, orang yang tidak tahu bahwa pendapat yang diikutinya menyalahi hukum yang benar tidak
bisa menjadi alasan pembenar, sebagaimana yang sudah kami jelaskan. 

(2) Jika salah satu wali dari korban pembunuhan memaafkan pembunuh dari hukuman qishash,
kemudian wali yang lain menghendaki qishash dengan menganggap bahwa hak qishash dimiliki oleh dua
orang wali itu, maka tidak ada hukuman qishash karena hal itu masuk dalam ijtihad mereka. Syarh
Muraqat al-wushul, Juz. 2, Hal. 452. 

(3) Saksi adalah syarat sah perkawinan, berdasarkan hadits, “Tidak ada nikah tanpa saksi.” Jika
seseorang menikah tanpa saksi, tapi cukup dengan pengumuman/perayaan pernikahan maka
ketidatahuannya diperbolehkan dan perkawinannya sah, berdasarkan atsar (hadits marfu’):
“Umumkanlah (rayakanlah) perkawinan sekalipun dengan rebana.” Yang perlu dicatat: Imam al-Thusi
dari madzhab Ja’fariyah berpendapat, “Untukdapat dikatan sah, perkawinan tidak membutuhkan
saksi, menurut Syi’ah.” Lihat Al-Khilaf, Al-Thusi, Juz. 2, Hal. 363. 

(4) Syarh Murawat al-Wushul, Kuz. 2, Hal. 452. 


(5) Pasal 63 Undang-Undang Pidana Mesir No. 58 Tahun 1937. 
(6) Penjelasan Undang-Undang Pidana Iraq –Bagian Umum—Dr. Mustafa Kemal, Hal. 195-196. 
(6) Al-Talwih, hal. 184-185. 
(7) Syarh Muraqat al-Wushul, Juz. 2, Hal. 460. 
(8) Minhaj al-Shalihin, 
(9) I’lam al-Muwaqqi’in, Ibn Qayyim, Juz. 3 Hal, 55, dan Juz. 4, Hal. 72. Al-Taudlih, Juz. 2, Hal. 195. 
(10) Subul al-Salam, Juz. 3, Hal. 238. 
(11) Al-Talwih, Juz. 2, Hal. 195.

Anda mungkin juga menyukai