Anda di halaman 1dari 34

11

2.1.1 Fungsi Pemerintahan Daerah

Fungsi pemerintahan daerah dapat diartikan sebagai perangkat daerah

menjalankan, mengatur dan menyelenggarakan jalannya pemerintahan. Fungsi

pemerintahan daerah menurut Undang-undang No. 32 tahun 2004 adalah sebagai

berikut:

1. Pemerintah daerah mengurus dan mengatur sendiri urusan pemerintahan


menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.
2. Menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang
menjadi urusan pemerintahan dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan
masyarakat, pelayanan umum dan daya saing daerah.
3. Pemerintah daerah dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan memiliki
hubungan pemerintahan pusat dengan pemerintahan daerah. Dimana hubungan
tersebut meliputi wewenang, keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber
daya alam dan sumber daya lainnya.

2.1.2 Asas Pemerintahan Daerah

Dalam urusan penyelenggaraan urusan pemerintahan, khususnya

pemerintahan daerah sangat berkaitan erat dengan beberapa asas dalam

pemerintahan suatu negara yaitu :

1. Asas desentralisasi adalah asas penyerahan wewenang pemerintahan oleh


pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan dalam
sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
2. Asas dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh
pemerintah kepada gubernur sebagai wakil pemerintah kepada instansi vertikal
wilayah tertentu.
3. Asas tugas pembantuan adalah penugasan dari pemerintah kepada daerah
dan/atau Desa dari pemerintah provinsi kepada pemerintah Kabupaten/Kota
dan/atau Desa, serta dari pemerintah Kabupaten/Kota kepada Desa untuk tugas
tertentu.

Berdasarkan beberapa asas di atas bahwa Dinas termasuk ke dalam asas

desentralisasi dimana terdapat penyerahan dari sebagian hak dari pemilik hak

kepada penerima sebagian hak, dengan obyek tertentu. Pemilik hak pemerintahan

adalah ditangan pemerintah, dan hak pemerintahan tersebut diberikan kepada


12

pemerintahan daerah dalam bentuk untuk mengatur urusan pemerintahan, dengan

tetap dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal ini dilakukan

untuk meringankan beban pekerjaan pemerintah pusat.

2.2 Administrasi Negara

2.2.1 Administrasi sebagai ilmu dan seni

Administrasi sebagai ilmu pengetahuan baru berkembang sejak akhir

abad lalu, tetapi administrasi sebagai suatu seni atau administrasi dalam praktek.

Timbul bersamaan sejalan dengan munculnya peradaban manusia. Sebagai ilmu

pengetahuan administrasi merupakan fenomena masyarakat yang baru, karena

baru timbul sebagai suatu cabang daripada ilmu-ilmu sosial, termasuk

perkembangannya di Indonesia. Pengembangan bidang administrasi dalam rangka

peningkatan kemampuan administratif, bukan saja diperuntukan dalam

lingkungan pemerintahan saja, tetapi juga bagi organisasi-organisasi swasta,

terutama dalam rangka pelaksanaan pembangunan nasional.

Administrasi sebagai suatu ilmu pengetahuan termasuk kelompok

pelaksana ilmu, karena kemanfaatannya hanya ada apabila prinsip-prinsip dan

dalil-dalinya diterapkan untuk meningkatkan mutu kehidupam bangsa dan negara.

Sedangkan administrasi dalam suatu praktek atau seni pada zaman sekarang ini

merupakan proses kegiatan yang perlu dikembangkan secara terus menerus, agar

administrasi sebagai suatu sarana untuk mencapai tujuan organisasi benar-benar

dapat memegang peranan yang diharapkan. Sebagian besar masyarakat Indonesia

memahami administrasi sebagai kegiatan yang berkaitan dengan keuangan dan


13

pekerjaan tata usaha, padahal pengertian administrasi jauh lebih luas dari

pengertian tersebut. Pengertian ini seakan-akan sudah menjadi stempel yang sulit

dihilangkan dari benak masyarakat Indonesia. Bila melihat sejarah administrasi di

Indonesia, pada zaman penjajahan Belanda bangsa Indonesia memang hanya

diberikan tugas-tugas ketatausahaan dari keseluruhan proses administrasi, inilah

awal mulanya mengapa masyarakat Indonesia memandang administrasi hanya

sebatas kegiatan tata usaha.

Sebelum dikupas lebih lanjut mengenai pengertian administrasi, marilah

kita tinjau definisi administrasi dari segi bahasa. Menurut Silalahi (2005: 2),

secara harfiah penggunaan istilah dan arti administrasi banyak dipengaruhi bahasa

Belanda yakni, “dari kata administratie” terbatas dalam arti stelselmatige

verkrijgingnen verwerking van gegeven yang di Indonesia disebut tata usaha yang

sebenarnya merupakan administrasi dalam arti sempit, sebab disamping itu masih

terdapat arti lain dari kata administratie yaitu bestuur (manajemen dari kegiatan-

kegiatan organisasi) dan beheer (manajemen dari sumber daya-sumber daya, baik

personil, finansial, materiil, gudang, dsb).” (Silalahi, 2005: 5).

Dari penjelasan di atas, maka dapat dilihat bahwa administrasi pada

dasarnya tidak hanya sebatas pada kegiatan ketatausahaan. Namun, adminstrasi

memiliki arti yang lebih luas dan lebih jelas pula. Menurut Silalahi administrasi

dibagi dalam dua pengertian, yaitu: “Administrasi dalam arti sempit merupakan

penyusunan dan pencatatan data dan informasi secara sistematis dengan maksud

untuk menyediakan keterangan serta memudahkan memperolehnya kembali

secara keseluruhan dan dalam hubungannya satu sama lain. Jadi administrasi
14

dalam arti sempit lebih tepat disebut tata usaha (clerical work, office work).

Sedangkan administrasi dalam arti luas bahwa sesungguhnya berhubungan dengan

kegiatan kerjasama yang dilakukan manusia atau sekelompok orang sehingga

tercapai tujuan yang diinginkan” (Silalahi, 2005: 5-7).

Berangkat dari definisi tersebut, selanjutnya Silalahi mendefinisikan

beberapa ciri pokok administrasi, yaitu:

1. Sekelompok orang, artinya kegiatan administrasi hanya mungkin terjadi


jika dilakukan oleh lebih dari satu orang.
2. Kerja sama, artinya kegiatan adminstrasi hanya mungkin terjadi jika
dua orang atau lebih bekerja sama.
3. Pembagian tugas, artinya kegiatan adminstrasi bukan sekedar kegiatan
kerja sama, melainkan kerja sama tersebut harus didasarkan pada
pembagian kerja yang jelas.
4. Kegiatan yang runtut dalam suatu proses, artinya kegiatan administrasi
berlangsung dalam tahapan-tahapan tertentu secara berkesinambungan.
5. Tujuan, artinya sesuatu yang diinginkan untuk dicapai melalui kegiatan
kerja sama.
(Silalahi, 2005: 10-11)

Sejalan dengan pemikiran Silalahi, penjelasan serupa juga datang dari

Prajudi Atmosudirdjo (Silalahi 2005: 5) yang berpendapat bahwa, “ Administrasi

dalam arti sempit yaitu proses ketatausahaan yang pada hakikatnya merupakan

pekerjaan pengendalian (the handling) informasi.

Administrasi menurut Herbert A. Simmon sebagaimana yang dikutip oleh

Inu Kencana, dkk (1999: 9) bahwa :“Administration can be defined as the

activities of group cooperating to accomplish common goal”. Jadi baginya

administrasi dapat dirumuskan sebagai kegiatan-kegiatan kelompok kerjasama

untuk mencapai tujuan-tujuan bersama.” (Kencana,dkk. 1997: 13).

Siagian (Silalahi 2005: 9) juga mengungkapkan bahwa: “Administrasi

adalah keseluruhan proses pelaksanaan dari keputusan-keputusan yang telah


15

diambil dan pelaksanaan itu pada umumnya dilakukan oleh dua orang manusia

atau lebih untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan

Ensiklopedia Indonesia (Silalahi 2005: 9) mengemukakan bahwa :

“Administrasi meliputi segala proses pelaksanaan kerjasama sekelompok manusia

untuk mencapai suatu tujuan yang telah ditentukan.

Selanjutnya pengertian administrasi juga dikemukakan oleh Akadun

(2009: 18) bahwa :“Administrasi dapat dipahami secara sempit maupun luas.

Secara sempit merupakan pekerjaan-pekerjaan klerikal atau ketatausahaan.

Sedangkan secara luas adalah proses kerjasama antara dua orang atau lebih untuk

mencapai tujuan keorganisasian. Bahkan administrasi juga dapat diartikan sebagai

pendayagunaan atau pengelolaan sumber daya untuk mencapai tujuan

keorganisasian.

Dari berbagai pendapat para ahli di atas, maka menurut peneliti dapat

diketahui bahwa administrasi merupakan kegiatan kerja sama terencana yang

dilakukan oleh sekelompok orang dengan adanya pembagian kerja yang jelas dan

berlangsung secara berkesinambungan demi tercapainya suatu tujuan yang telah

ditetapkan atas dasar efektif, efisien, dan rasional. Administrasi merupakan

sebuah ilmu yang terus berkembang. Dalam perkembangannya, administrasi

terbagi menjadi tiga disiplin ilmu, yakni: administrasi publik/ negara, administrasi

niaga/ bisnis, dan administrasi internasional. Selanjutnya akan dijelaskan

pengertian administrasi negara.

Berikut ini adalah beberapa pengertian Administrasi Negara yang

dikemukakan oleh beberapa ahli. Menurut Atmosoedirdjo (Kencana 1999: 9):


16

“Ilmu administrasi negara adalah ilmu pengetahuan (cabang ilmu adminstrasi)

yang secara khas melakukan studi (kajian) terhadap fungsi intern dan ekstern dari

struktur-struktur dan proses-proses yang terdapat di dalam bagian yang penting

dari sistem dan aparatur negara” Atmosoedirdjo, John M. Pfifner dan Robert V.

Presthus (Kencana 1999: 9), menerangkan Administrasi Negara sebagai berikut:

1. Administrasi publik meliputi implementasi kebijaksanaan pemerintah


yang telah ditetapkan oleh badan-badan perwakilan politik. 
2. Administrasi publik dapat didefinisikan koordinasi usaha-usaha
perorangan dan kelompok untuk melaksanakan kebijaksanaan
pemerintah. Hal ini terutama meliputi pekerjaan sehari-hari.
3. Secara global administrasi publik adalah suatu proses yang
bersangkutan dengan pelaksanaan kebijaksanaan-kebijaksanaan
pemerintah, pengarahan kecakapan dan teknik-teknik yang tidak
terhingga jumlahnya, memberikan arah dan maksud terhadap usaha
sejumlah orang. (Kencana, 1999: 24).

Definisi lain dikemukakan Lembaga Administarsi Negara Republik

Indonesia (Akadun 2009: 37) bahwa :“Adminstrasi sebagai kegiatan kerjasama

dan upaya (organisasi dan manajemen) yang bersifat sistematis, rasional dan

manusiawi yang dilakukan sekelompok orang untuk tujuan bersama”.

Harbani Pasolong mengutip pendapat Felix A. Nigro dan L. Loyd G. Nigro

(1970 : 21) yang mendefinisikan administrasi negara sebagai:

1. Suatu kerjasama kelompok dalam lingkungan pemerintah.    


2. Meliputi tiga cabang pemerintah: eksekutif, legislatif, dan serta
hubungan diantara mereka.    
3. Mempunyai peranan penting dalam perumusan kebijakan pemerintah,
dan karenanya merupakan sebagian dari proses politik.  
4. Sangat erat berkaitan dengan berbagai macam kelompok swasta dan
perorangan dalam menyajikan pelayanan kepada masyarakat. 
5. Dalam beberapa hal berbeda pada penempatan pengertian dengan
administrasi perseorangan. (Pasolong, 2008 : 8)
17

Adapun administrasi negara menurut Dwight Waldo, “Administrasi publik

adalah manajemen dan organisasi daripada manusia-manusia dan peralatannya

guna mencapai tujuan pemerintah.” (Kencana, 1999: 24).

Dari definisi para ahli diatas, maka menurut peneliti dapat terlihat bahwa

fokus ilmu administrasi negara adalah bagaimana pemerintah dan stakeholders

bekerjasama melakukan tugas-tugasnya untuk mencapai tujuan yang telah

ditentukan sebelumnya untuk pelayanan masyarakat.

2.2.2 Organisasi

Disiplin administrasi akan terpusat pada penelaahan tentang organisasi,

sebab fenomena kerjasama sebagai telaahan ilmu administrasi hanyalah fenomena

kerjasama yang berhubungan atau berlangsung secara organisasional dan teori

administrasi yang merupakan suatu teori yang mendasarkan pada perilaku

kerjasama manusia di dalam kelomok-kelompok kerja pada akhirnya hanya ada

dalam lingkungan organisasi yang disebut perilaku organisasi.

Max Weber (Silalahi 2005: 124) mengemukakan bahwa: “Organisasi

merupakan suatu kumpulan tata aturan, yang bisa membedakan suatu organisasi

dengan kumpulan-kumpulan kemasyarakatan lain. Tata aturan ini menentukan

proses interaksi diantara orang-orang yang melakukan kerjasama sehingga

interaksi tersebut tidak muncul begitu saja”.

Dwight Waldo (Silalahi 2005: 124) mengemukakan bahwa: “Organisasi

adalah struktur hubungan-hubungan diantara orang-orang berdasarkan wewenang

dan bersifat tetap dalam suatu sistem administrasi”.


18

Siagian (Silalahi 2005: 124) mengemukakan bahwa: “Organisasi adalah

setiap bentuk persekutuan antara dua orang atau lebih yang bekerjasama untuk

mencapai sesuatu tujuan bersama dan terikat secara formal dalam suatu ikatan

hierarki dimana selalu terdapat hubungan antara seseorang atau sekelompok orang

yang disebut pimpinan dan seorang atau sekelompok orang yang disebut

bawahan”.

Berdasarkan pengertian tersebut maka menurut penulis bahwa organisasi

merupakan kolektivitas sekelompok orang yang melakukan interasi berdasarkan

hubungan kerja yang berdasarkan pembagian kerja dan otoritas yang tersusun

secara hirarkis dalam suatu struktur untuk mencapai suatu tujuan.

2.2.3 Tujuan Organisasi

Tujuan organisasi pada hakikatnya merupakan integrasi dari berbagai

tujuan baik yang sifatnya komplementer yaitu tujuan individu atau anggota

organisasi maupun yang sifatnya substantif, yaitu tujuan organsiasi secara

keseluruhan.

Dimensi tujuan organisasi menurut Silalahi (2005: 128) sebagai berikut :

1. Tercapainya tujuan organisasi secara efektif dan efisien. Keefektifav addalah


yang berhubungan dengan organisasi baik secara eksplitis maupun implitis.
Efisiensi adalah berhubungan dengan rasio output dengan input atau
keuntungan dengan biaya. Adakalanya tujuan dapat dicapai dengan efektif,
tetapi tidak efisien, artinya tujuan dapat dicapai tetapi terjadi pemborosan
tenaga, bahan, waktu, biaya, sebaliknya tujuan tersebut bisa dicapai secara
efisien tetapi tidak efektif.
2. Tercapainya kepuasan dari anggota organisasi. Dalam proses pencapaian
tujuan organsisasi, setiap orang atau anggota yang bekerja atau terlihat dalam
aktivita organisasi harus diberikan kepuasan, sehingga mereka merasa sebagai
anggota, dan hal ini akan mendorong orang tersebut untuk bekerja dalam
kondisi dan motivasi yang produktif.
19

2.2.4 Manajemen

Dalam kehidupan sehari-hari kita sering mengenal istilah manajemen,

bahkan bukan hanya mendengar bahkan mengetahui secara pasti apa itu

manjemen. Manajemen merupakan faktor penting dalam setiap pencapaian tujuan

kelompok. Setiap aktivitas yang kita lakukan bisa dikatakan makna dari

pelaksanaan manajemen, kita mungkin tidak pernah menyadari bahwa yang

sedang kita lakukan penuh dengan pertimbangan-pertimbangan walaupun

terstruktur, tetapi sudah tentu apa yang kita lakukan ada tujuan yang ingin dicapai.

Organisasi merupakan suatu alat pencapaian tujuan secara berkelompok

melalui manajemen yang terprogram dan terstruktur. Manajemen organisasi

merupakan penggabungan berbagai konsep manajemen dari setiap individu yang

dipimpin oleh seorang ketua/ pimpinan. Dalam hal ini pimpinan sebagai manajer

harus mampu melaksanakan pengkoordinasian manajemen individu yang

terintegrasi ke dalam satu konsep manajemen organisasi demi tercapainya tujuan

kelompok/organisasi.

Manajemen merupakan kegiatan pencapaian tujuan yang dilaksanakan

oleh individu atau kelompok melalui penggunaan sumber daya yang tersedia

dengan memadukannya dengan cara yang efisien dan efektif.

Thoha (Silalahi 2005: 136) mengemukakan bahwa: “Manajemen sebagai

aktivitas menggerakan segenap orang dan mengarahkan semua fasilitas yang

dipunyai oleh sekelompok orang yang bekerja sama untuk mencapai tujuan

tertentu”.
20

Rosenzweig (Silalahi 2005: 136) mengemukakan bahwa: “Manajemen

meliputi koordinasi antara manusia dan sumber-sumber bahan mentah untuk

mencapai suatu tujuan”.

Siagian (Silalahi 2005: 137) mengemukakan bahwa :“Manjemen dapat

diartikan sebagai kemampuan atau keterampilan untuk memperoleh suatu hasil

dalam rangka pencapaian tujuan melalui kegiatan-kegiatan orang lain”.

Berdasarkan definisi tersebut di atas maka Silalahi (2005: 138)

mengemukakan beberapa pengertian mengenai manajemen, sebagai berikut:

1. Manajemen sebagai proses, yaitu rangkaian kegiatan untuk mencapai suatu


tujuan tertentu dan mendayagunakan sumber-sumber daya yang seoptimal
(efektif dan efisien) mungkin.
2. Manajemen sebagai suatu fungsi, yaitu rangkaian kegiatan atas dasar
fungsi-fungsi tertentu yang saling berkaitan yang dapat dilaksanakan
bersamaan, sendiri-sendiri atau saling mendahului atau menunggu
selesainnya kegiatan fungsi lainnya untuk mencapai tujuan organisasi.
3. Manajemen sebagai koletivitas orang-orang, yaitu pejabat yang
bertanggungjawab terhadap terlaksananya aktivitas manjemen dalam
pencapaian tujuan sesuai dengan bidang atau unit yang dipimpinnya. Jadi
menunjukan jabatan kepemimpinan dalam organisasi, seperti manajer, sub
manajer, supervisor atau apa yang sering disebut dengan apa yang sebagai
manajemen puncak, manejemen tengah dan manajemen bawah.
4. Manajemen sebagai suatu sistem, yaitu merupakan suatu kerangka kerja
yang terdiri dari berbagai bidang atau unit atau komponen yang satu sama
lain saling berkaitan, bergantung dan terorganisasikan dam satu kesatuan
untuk mencapai tujuan.
5. Manajemen sebagai ilmu, yaitu sebgai ilmu yang bersifat interdisipliner
dalam hal konsep-konsep, teori-teori metode-metode dan analisisnya
menggunakan bantuan dari berbagai ilmu sosial, seperti : ekonomi,
sosiologi, matematik, dan statisti. Sebagai ilmu, manjemen juga
merupakan disiplin akademik.
6. Manajemen sebagai seni, yaitu merupakan keterampilan dalam
mendayagunakan sarana dan prasaran dan menggerakkan mengarahkan
orang-orang dalam kegiatan manajerial.
7. Manajemen sebagai suatu profesi, yaitu merupakan bidang pekerjaan yang
esoterik dasar spesialisasi keahlian tertentu, seperti halnya dalam bidang
kedokteran, bidang hukum.
21

Dari definisi-definisi tersebut di atas, maka menurut peneliti bahwa pada

dasarnya manjemen merupakan suatu kegiatan dari sekelompok orang yang

memiliki kemampuan dan keterampilan serta memanfaatkan berbagai sumber

daya yang ada dalam memperoleh suatu hasil untuk mencapai tujuan dengan atau

menilai kegiatan orang lain.

2.2.5 Fungsi-Fungsi Manajemen

Sebagaimana dijelaskan dalam pengertian di atas, manajemen merupakan

suatu kemampuan atau keterampilan dalam memperoleh suatu hasil untuk

mencapai tujuan dengan oleh menilai kegiatan orang lain. Kegiatan tersebut

meliputi perencanaan, pengorganisasian, pengawasan, penganggaran evaluasi dan

lain sebagainya. Hubungan antara berbagai proses tersebut di atas terintegrasi

dalam satu kesatuan yang dinamakan fungsi-fungsi manajemen. Jadi fungsi-fungsi

manajemen ini tidak ada batasan melainkan disesuaikan dengan sudut pandang

dan kebutuhan masing-masing kelompok/organisasi.

Terry (Silalahi 2007: 165) mengemukakan bahwa fungsi manajemen terdiri

dari:

1. Planing (perencanaan)
Yaitu menetapkan apa yang harus dilaksanakan oleh anggota organisasi
untuk menyelesaikan pekerjaan. Pada fase ini perlu ditetapkan oleh
manajer bila dan bagaimana pekerjaan harus dilaksanakan.
2. Organizing (pengorganisasian)
Yaitu mendistribusikan atau mengalokasikan tugas-tugas kepada
anggota kelompok atau bawahan, mendelegasikan kekuasaan dan
menetapkan hubungan kerja antara anggota kelompok atau bawahan.
3. Actuating (penggerakan)
Yaitu menggerakan kelompok secara efisien dan efektif kearah
pencapain tujuan. Dalam menggerakan berbagai sarana kegiatan
manajer yang menyebabkan organisasi bergerak.
4. Controling (pengawasan)
22

Yaitu mengadakan pengawasan atau pengendalian kepada organisasi


yang sedang berjalan agar jalannya organisasi benar-benar sesuai
dengan rencana yang telah ditetapkan baik arahnya maupun caranya.

Dari keempat fungsi manajemen tersebut terdapat keterkaitan antara satu

dengan yang lainnya dan dilaksanakan secara sistemastis. Kesalahan yang

ditimbulkan dari pelaksanaan salah satu fungsi manajemen akan berpengaruh

kepada yang lainnya, dan akhirnya tujuan organisasi tidak akan tercapai.

Selain itu para ahli mengungkapkan perbedaan pendapat tentang fungsi-fungsi

manajemen yang dikutip oleh Siagian (1989: 105-106), yaitu:

1. Hendri Fayol: Planing, Organizing, Comanding, Coordinating,


Controling.
2. Luther M.Gilick: Planing, Organizing, Staffing, Directing,
Coordinating, Reporting, Budgeting.
3. Harlod Koonts dan Cyriil O Donnel: Planing, Organizing, Staffing,
Directing, Controling.
4. John F Tree: Planing, Organizing, Motivating, Controling.

Dari pendapat para ahli tersebut dapat dilihat perbedaan fungsi-fungsi

manajemen, perbedaan fungi-fungsi tersebut tidaklah prinsipil hanya bersifat

situasional dan terminologis dalam sudut pandang yang berbeda, namun pada

dasarnya mereka sependapat bahwa setiap fungsi manajemen untuk pencapaian

tujuan secara maksimal.

2.2.6 Manajemen Sumber Daya Manusia

Manusia merupakan salah satu komponen utama dalam hal pencapaian

tujuan organisasi, dimana manusia ini sebagai alat penggerak jalannya suatu

organisasi. Sudut pandang bahwa manusia sebagai faktor penentu keberhasilan

organisasi telah menempatkan status dan harkat kemanusiaan setara dengan alat

organisasi yang lain, seperti uang, material, metode, mesin , market dll dan
23

dengan ini perspektif manusia sebagai asset menempatkan pegawai lebih berharga

dibandingkan dengan alat produksi.

Moses (Teguh 2009: 13) bahwa: “MSDM merupakan pengembangan dan

pemanfaatan pegawai dalam rangka tercapainya tujuan dan sasaran individu,

organisasi, dan masyarakat, bangsa dan internasional yang efektif”.

Handoko (Ambar teguh 2009:13) bahwa: “MSDM merupakan suatu

perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan pengawasan kegiatan-kegiatan

pengadaan, pengembangan, pemberian kompensasi, pengintegrasian,

pemeliharaan, dan pelepasan sumber daya manusia agar tercapai berbagai tujuan

individu organisasi dan masyarakat.

Tulus (Teguh 2009: 13) bahwa: “MSDM merupakan merupakan suatu

perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan pengawasan atas pengadaan,

pengembangan, pemberian kompensasi, pengintegrasian, pemeliharaan, dan

pemusatan hubungan tenaga kerja dengan maksud untuk membantu mencapai

berbagai tujuan individu, organisasi dan masyarakat.

Berdasarkan pengertian tersebut di atas, maka menurut peneliti bahwa

MSDM merupakan cara memenej manusia dalam bekerja agar sesuai dengan

aturan yang telah ditetapkan sebelumnya untuk mencapai tujuan organisasi.

2.3 Kaitan Administrasi Negara dengan Manajemen Konflik dan

Produktivitas Kerja Pegawai

Istilah administrasi berasal dari bahasa Latin yaitu “administrare” yang

berarti dalam bahasa Indonesianya membantu, melayani, atau memenuhi. Adapun


24

administrasi negara menurut Dwight Waldo, “Administrasi publik adalah

manajemen dan organisasi daripada manusia-manusia dan peralatannya guna

mencapai tujuan pemerintah.” (Kencana, 1999: 24).

Menurut Soetopo (2010: 285) bahwa “Manajemen konflik merupakan

analisis konflik, deskripsi fenomena konflik yang terjadi serta strategi untuk

pemecahan konflik tersebut”.

Laeham dan Wexly (Sedarmayanti 2009: 65) mengemukakan bahwa :

“Performance appraisals are crucial to the effectivity management of an


organization’s human resources is acritical variable effecting an
organization’s productivity (Produktivitas individu dapat dinilai dan apa
yang dilakukan oleh individu tersebut dalam kerjanya. Dengan kata lain,
produktivitas individu adalah bagaimana seseorang melaksanakan
pekerjaannya atau unjuk kerja (job performance).
Berdasarkan pengertian tersebut di atas bahwa manajemen konflik

merupakan salah satu alat pencapaian tujuan daripada proses administrasi negara

dimana administrasi negara dalam mencapai tujuan tersebut membutuhkan suatu

alat atau sumber daya yang salah satunya adalah manusia. Manusia merupakan

motor penggerak organisasi, organisasi tidak akan mampu hidup tanpa adanya

manusia. Manusia sebagai makhluk yang sangat kompleks atas beberapa

kebutuhannya mewajibkan semua aspek dalam organisasi mampu memahami

setiap manusia yang ada dalam organisasi tersebut. Perbedaan kebutuhan pada

setiap individu merupakan salah satu pemicu timbulnya konflik, hal ini sesuai

dengan pendapat Soetopo (2010: 267) bahwa: “Konflik adalah suatu pertentangan

atau ketidaksesuaian kepentingan, tujuan, dan kebutuhan dalam situasi formal,

sosial, dan psikologis sehingga menjadi antagonis, ambivalen dan emosional”.

Untuk itu manajemen konflik yang baik sangat diperlukan untuk menyelesaikan
25

perselisihan antara perbedaam kebutuhan antar pegawai dalam suatu organisasi

yang berimbas pada tercapainya tujuan administrasi negara.

Mengacu pada penjelasan tersebut di atas peneliti beranggapan dengan

adanya manjemen konflik yang baik maka akan menciptakan kenyamanan kerja

serta terpenuhinya kebutuhan melalui solusi-solusi yang tercipta dengan adanya

strategi manejmin konflik yang pada akhirnya akan meningkatkan produktivitas

kerja pegawai pada organisasi.

2.4 Manajemen Konflik

2.4.1 Pengertian Manajemen Konflik

Manusia bukan hanya konsumen produk yang menghasilkan organisasi-

organsiasi , tetapi manusia merupakan komponen utama suatu organsisasi yang

memproses input menjadi output yang keberhasilannya sangat dipengaruhi oleh

kepribadian serta kebutuhan indivudual manusia yang heterogen. Dengan adanya

perbedaan kepribadian serta kebutuan pribadi tiap induvidu memungkinkan akan

terjadi konflik didalam organisasi tersebut. Hal ini sesuai dengan pendapat

Soetopo (2010: 274) jenis- jenis konflik dlihat dari segi kebutuhan indiviualisme

yaitu:

1. Konflik kebutuhan individu dengan peranan dalam organisasi


2. Konflik individu denga individu lain
3. Konflik peranan dengan peranan

Berdasarkan pemahamann tersebut di atas dapat dipahami bahwa setiap

individu memiliki kebutuhan yang harus dipenuhi, sehingga sering berbenturan

dengan peranan yang harus dilaksanakan dalam organisasi atau berbenturan


26

dengan kebutuhan individu lain yang berbeda dengannya sehingga akan

menimbulkan konflik.

Menurut Soetopo (2010: 267) bahwa: “Konflik adalah suatu pertentangan

atau ketidaksesuaian kepentingan, tujuan, dan kebutuhan dalam situasi formal,

sosial, dan psikologis sehingga menjadi antagonis, ambivalen dan emosional”.

Menurut Hartono (google.konflik.com, accesed on 6-12-2011) bahwa: “

Konflik adalah setiap ketegangan yang dialami oleh seseorang apabila ia

berpandangan bahwa kebutuhan hidup atau keinginanya dihambat atau

dikecewakan”.

Menurut Stonner (Wahyudi 1996: 17) bahwa: “Konflik organisasi

mencakup ketidakpastian soal alokasi sumber daya yang langka atau perselisihan

soal tujuan, status, nilai, persepsi, atau kepribadian”.

Menurut Kartini Kartono (2004: 245) konflik terbagi atas beberapa

pengertian diantaranya:

1. Konflik dalam pengertian yang negatif, yaitu konflik dikaitkan dengan


sifat-sifat animalistik, kebuasan, kekerasan, barbarisme,
destruksi/pengrusakan, penghancuran, irrasionalisme, tanpa kontrol
emosional, huru hara, pemogokan, perang dan seterusnya.
2. Konflik dalam pengertian yang positif, yaitu konflik dihubungkan
dengan peristiwa, petualangan, hal-hal baru, inovasi,
pembersihan,pemurnian, pembaharuan, penerangan batin, kreasi,
perkembangan, rasionalitas yang dialektis, mawas diri, perubahan dan
seterusnya.
3. Konflik dalam pengertian netral, yaitu konflik diartikan sebagai akibat
biassa dari keanekaragaman individu manusia dengan sifat-sifat yang
berbeda, dan tujuan hidup yang tidak sama pula.
27

Berdasarkan beberapa pengertian tersebut di atas, menurut peneliti bahwa

konflik itu meruapakan suatu keadaan di mana apa yang terjadi tidak sesuai

dengan apa yang diharapkan.

Menurut Soetopo (2010: 285) bahwa “Manajemen konflik merupakan

analisis konflik, deskripsi fenomena konflik yang terjadi serta strategi untuk

pemecahan konflik tersebut”.

Ross (Haris, 2000: 23) bahwa:

Manajmen konflik merupakan langkah-langkah yang diambil para pelaku


atau pihak ketiga dalam rangka mengarahkan perselisihan kearah hasil
tertentu yang mungkin atau tidak menghasilkan suatu akhir berupa
penyelesaian konflik dan mungkin atau tidak mengghasilkan ketenangan,
hal positif, kreatif, bermufakat dan agresif.

Menurut Wijono (1993: 23) bahwa manajemen konflik dalam lingkup

organisasi merupakan :

Manajemen konflik adalah suatu situasi di mana dua atau banyak orang
saling tidak setuju terhadap suatu permasalahan yang menyangkut
kepentingan organisasi dan/atau dengan timbulnya perasaan permusuhan
satu dengan yang lainnya.

Berdasarkan pendapat beberapa ahli tersebut di atas, maka peneliti

memberikan definisi mengenai manajemen konflik adalah analisis daripada suatu

konflik untuk mendapatkan strategi dalam hal pemecahan masalah. Pengertian

tersebut sejalan dengan cara pandang manajemen modern yang memandang

konflik sebagi hal yang wajar dan alami. Bahkan perlu diwujudkan agar dapat

dikelola dengan baik. Untuk itulah perlu adanya strategi manajemen konflik

sebagai suatu tataran manajemen baru yang dapat mendinamisasikan organisasi

terutama pencapaian produktivitas kerja pegawai. Dalam suatu organisasi

bagaimanapun juga konflik pasti terjadi baik yang berskala besar maupun berskala
28

kecil. Oleh karena itu, konflik-konflik tersebut perlu dikelola denga manjemen

konflik yang baik agar memudahkan dalam pencapaian tujuan organisasi.

2.4.2 Strategi Manajemen Konflik

Strategi manajemen konflik diterapkan untuk menjadikan konflik dan

pemecahannya sebagai pendinamisan dan pengoptimalisasian pencapaian tujuan

organisasi.

Soetopo (2010: 276), strategi manajemen konflik sebagai berikut:

1. Jika menggunakan strategi menang-kalah, cara yang ditempuh antara lain:

a. Menghilangkan pergolakan dengan menggunakan pertimbangan


b. Satu pihak
c. Diadakan resolusi dengan keputusan pihak luar
d. Persetujuan melalui wasit
2. Menghindari konflik dengan mengurangi interdepedensi :
a. Satu pihak menarik diri untuk bertindak lebih lanjut
b. Menjadi kesamaan-kesamaan jika terjadoi konflik interest
c. Memisahkan pihak-pihak yang berkonflik
3. Mengusahakan kesepakatan melalui pemecahan masalah secara kreatif :
a. Secara umum, cara ini dilakukan dengan cara menentukan masalah
pokoknya, mengidentifikasi alternatif, mengevaluasi alternatif,
menentukan alternatif terbaik dan kemudian implementasi alternatif.

Tahapan proses terjadinya konflik Smith ( Soetopo 2010: 275) antara lain :
1. Tahap antisipasi, yaitu merassakan munculnya gejala perubahan yang
mencurigakan.
2. Tahap menyadari, yaitu perbedaan mulai diekspresikan dalam bentuk
suasana yang tidak mengenakan.
3. Tahap pembicaraan, yaitu pendapat-pendapat berbeda mulai muncul.
4. Tahap perdebatan terbuka, yaitu pendapat-pendapat terbuka mulai
dipertajam dalam lebih terumuskan dengan baik dan kentara.
5. Tahap konflik terbuka, yaitu masing-masing pihak berusaha memaksakan
pendirian kepada pihak lain.
.
Prinsip pelaksanaan Manajemen konflik Soetopo (2010: 282) yaitu:
1. Perlakukanlah secara wajar dan alamiah
Konflik yang timbul dalam suatu organisasi adalah sesuatu yang wajar dan
alamiah , konflik kini menjadi sesutu yang tak terpisahkan dari organisasi,
tidak perlu dihindari tetapi justru harus dihadapi seorang pimpinan melalui
29

manjemen konflik. Oleh karena itu pelaksanaan manajemen konflik perlu


dilakukan secara wajar dan alamiah sebagaimana pelaksanaan manajemen
bidang lainnya.
2. Pandanglah sebagai dinamisator organisasi
Konflik merupakan dinamisator suatu organisasi. Pandanglah organisasi
tanpa konflik berarti diam, statis dan tida mencapai tujuan yang
diharapkan. Namun demikian konflik yang ada harus ditata sedemikin
rupa agar dinamika yang terjadi benar-benar dapat menjadi sesuatu yang
posotif untuk menghasilkan perubahan sekaligus mendukung
perkembangan dan pencapaian tujuanorganisasi.
3. Media pengujian kepemimpinan
Kepemimpinan tidak hanya diuji ketika membawa anggota mencapai
tujuan berdasarkan rutinitas tugas formal belaka. Kepemimpinan yang
bersangkutan akan lebih diuji ketika menghadapi konflik. Melalui
manajemen konflik , dirinya akan memiliki kepemimpinan yang mampu
diandalkan untuk membawa roda organisasi secara dinamis, positif dalam
mencapai tujuan dimasa yang akan datang.
4. Fleksibilitas strategi
Strategi manajemen konflik yang digunakan oleh para pemimpin haruslah
bersifat fleksibel. Artinya pemilihan penggunaan strategi sangat
bergantung pada jenis atau materi konflik dan sumber penyebabnya,
sumber daya yang dimiliki da mendukung, kultur masyarakat dan iklim
organisasi, antisipasi dampak konflik serta intensitas dan keluasan konflik.

Kriteria keberhasilan manajemen konflik menurut Soetopo (2010: 285)

yaitu:

1. Kemampuan membuat perencanaan analisis konflik


Perencanaan analisis konflik yang baik harus menunjukan adanya
deskripdi fenomena konflik yang terjadi, identifikasi konflik yang meliputi
latar belakang atau sumber penyebab terjadinya konflik, faktor yang
mempengaruhi konflik dan akibat yang akan terjadi bila konflik diatasi
atau dibiarkan. Penggiraang konflik ke dalam jenis yang mana, intensitas
dan cakupan keluasannya, rumusan konflik yang sesungguhnya secara
tegas dan jelas.
2. Kemampuan melakukan evaluasi konflik
Evaluasi terhadap suatu konflik dikatak berhasil jika pemimpin/manajer
mampu menentukan kualitas suatu konflik yang terjadi di dalam organisasi
yang dipimpinnya, dengan ukuran yang dapat dipakai antara lain rendah
tingginya intensitas timbulnya suatu konflik, luas tidaknya cakupan suatu
konflik, penentuas besar kecilnya suatu konflik, dab penentuan
penyelesaian konflik berdasarkan prioritas.
3. Kemampuan memilih strategi manjemen konflik
30

Keberhasilan pemimpin dalam memilih strategi manjemen konflik yang


tepat sagat ditentukan oleh kemampuan, keberanian, pengalaman, usaha
dan doa, kematangan dirinya serta situasi dan kondisi yang ada. Selain itu
kepedulian pemimpin terhadap prinsip-prinsip yang harus dilaksanakan
dalam manejmen konflik juga sangat menentukan keberhasilan dalam
langkah ini.
2.4.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi manjemen konflik
Faktor utama yang mempengaruhi manjemen konflik menurut Haris

(2000: 23) adalah sebagai berikut:

1. Teori hubungan Masyarakat


Mengangap bahwa konflik disebabkan oleh polarisasi yang terus terjadi,
ketidakpercayaan, dam permusuhan diantara kelompok yang berbeda
didalam suatu masyarakat.
Sasarannya meningkatkan komunikasi dan saling pengertian antara
kelompok yang mengalami konflik serta mengusahakan tolerasi agar
masyarakat lebih saling menerima akan keragaman yang ada.
2. Teori kebutuhan manusia
Menganggap bahwa konflik yang berakar disebabkan oleh ebutuha dasar
manusia yang tidak terpenuhi atau dihalangi. Hal yang sering menjadi inti
pembicaraan adalah kemanan, pengakuan, partisipasi dan otonomi.
Sasarannya mengidentifikasi dan mengupayakan bersama kebutuhan
mereka yang tidakterpenuhi serta menghasilkan pilihan-pilihan untuk
memenuhi kebutuha itu.
3. Teori negosiasi prinsip
Konflik disebabkan olehposisi yang tidak selaras serta perbedaan
padangan tentang konflik oleh pihak yang mengalami konflik.
Sasarannya membantu pihak berkonflik untuk memisahkan perasaan
pribadi dengan berbagai massalah dan isu dan memampukan mereka untuk
melakukan negosiasi berdasarkan kepentingan mereka daripada posisi
tertentu yang sudah tetap. Kemudian melancarkan proses kesepakatan
kedua belah pihak atau semua pihak.
4. Teori identitas
Berasumsi bahwa konflik disebabkan oleh identitas yang terancam, yang
sering berakar pada hilangnya sesuatu atau penderitaan dimasa lalu yang
tidak terselesaikan.
Sasarannya melalui fasilitas loka karya dan dialog antara pihak yang
mengalami konflik, sehingga dapat engidentifikasi ancaman diantara pihak
tersebut dan membangun empati dan rekonsiliasi.
5. Teori kesalahpahaman antar budaya
Berasumsi bahwa konflik disebabkan oleh ketidak cicikan dalam cara-cara
berkomunikasi diantara berbagai budaya yang berbeda.
31

Sasarannya menambah pengetahuan kepada pihak yang berkonflik


mengenai budaya pihak lain danmeningkatkan keefektifan komunikasi
antar budaya.
6. Teori transformasi konflik
Berasumsi bahwa konfil didasarkan pada ketidaksetaraan dan
ketidakadilan yang muncul sebagai masalah sosial dan ekonimi.
Sasarannya mengubah sturktur dan kerangka kerja yang menyebabkan
ketidaksetaraan dan ketidakadilan termasuk kesenjangan ekonomi,
meningkatkan jalinan hubungan dan sikap jangka panjang antar pihak
yang berkonflik, mengembangkan proses dan istem untuk
mempromosikan pemberdayan, rekonsiliasi dan pengakuan.

Model penyelesaian konflik Soetopo (2010: 278) sebagai berikut :

1. Kebekerjasamaan (cooperativness), yaitu seberapa besar tingkat


kerjasama antara pihak-pihak yang terkait dengan pemyelesaian konflik.
2. Kegigihan (assertivenesis), yaitu bagaimana kegigihan antara pihak-pihak
yang terlibat dalam konflik.
3. Kompetisi atau pemaksaan yaitu, adanya pihak yang menggunakan
wewenang untuk memaksa satu pihak lain untuk menerima apa yang
diputuskan pihak yang berwenang.
4. Penghindaran diri, yaitu Penghindaran diri sendiri atas konflik yang
sedang terjadi.
5. Kompromi, yaitu adanya tawar menawar antara kedua belah pihak dalam
menyelesaikan suatu konflik atau memunculkan pihak ketiga.
6. Kolaborasi atau pemecahan masalah, yaitu pihak-pihak yang berkonflik
berusaha untuk menemukan solusi terbaik atas konflik yangdimilikinya.
7. Penyesuaian diri, yaitu penyesuaian yang dilakukan antara pihak-pihak
konflik agar hubungan mereka tetap terbina dengan baik.
Berdasarkan uraian tersebut diatas, peneliti mempunyai gambaran apabila

suatu pegawai dapat mengindari faktor-faktor penyebab timbulnya konfil serta

dapat mempergunakan manajemen konflik dengan baik, maka dapat dipastikan

organisasi akan dapat berkembang secara dinamis ketika Sumber Daya Manusia

mampu bekerja dengan perasaan nyaman serta dapat menimati pekerjaan sesuai

tugas pokok dan fungsi yang telah di tetapkan sebelumnya sehingga dengan

tercapainya hal tersebut akan mampu meningkatkan produktivitas kerja pegawai.


32

2.5 Produktivitas kerja pegawai

Pada dasarnya hasil yang dicapai dalam mewujudkan volume dan beban

kerja dari organisai yang bersangkutan disebut produktivitas. Produktivitan

dikatakan tinggi jika pelaksanaan volume dan beban kerjanya mampu

mewujudkan tujuannya yang hendak dicapai sebaliknya produktivitas dikatakan

rendah jika pelaksanaan volume dan beban kerja ternyata tidak mendukung dan

tidak terarah pada pencapaia tujuan. Untuk mencapai produktivitas kerja

diperlukan sejumlah personil yang memiliki kemampuan dan kesungguhan dalam

bekerja.

Pergeseran pengertian produktivitas kerja pegawai pada pengertian yang

lebih berdimensi manusiawi ini mengacu pada arti filosofi, sebagaiman yang

dikemukakan Whitemore (Sedarmayanti 2009: 58) mengemukakan bahwa :

Produktivitas kerja memiliki dua dimensi, yakni efektivitas dan efisiensi.


Dimensi pertama berkaitan dengan pencapaian unjuk kerja yang maksimal,
dalam arti pencapaian target yang berkaitan dengan kualitas, kuantitas dan
waktu. Sedangkan dimensi kedua berkaitan dengan upaya membandingkan
masukan dengan realisasi penggunaannya atau bagaimana pekerjaan
tersebut dilaksanakan.

Produktivitas kerja sebagai hasil dari berbagai faktor dalam suatu

organisasi lebih banyak bersangkut paut dengan aspek manusia dalam organiasi

itu sendiri. Hal ini dikarenakan manusia sebagai pelaku utama penentu tinggi

rendahnya produktivits kerja yang dicapai dalam suatu organisasi. Untuk itu

sangat diperlukan pegawai yang memiliki kompetensi dan ability (kemampuan)

yang tinggi sehingga produktivitas kerja dapat meningkat yang berujung pada

peningkatan kualitas dan kuantitas hasil yang dicapai dalam tujuan organisasi.
33

Siagian (2012: 161) mengemukakan bahwa: “Produktivitas kerja pada

dasarnya berarti perolehan hasil (output) yang yang maksimal dengan

menggunakan masukan (input) yang minimal. Masukan menjadi hasil setelah

melalui proses tertentu. Agar bekerja secara produktif, proses yang terjadi harus

efektif dan produktif. Dengan kata lain produktivitas merupakan hasil perkalian

antara efektifitas dan efisiensi.

Berdasarkan pendapat tersebut di atas, maka peneliti berpendapat

prodiktivitas itu sebenarnya menyangkut aspek yang luas, yaitu modal (termasuk

lahan), biaya, tenaga kerja, energi, alat dan teknologi secara umum sebagai

penunjang dalam mewujudkan produktivitas kerja pegawai. Dengan demikian

pegawai dikatakan produktif apabila ia mampu menghasilkan keluaran lebih

banyak dari pekerjaan untuk satuan waktu yang sama.

2.5.1 Faktor-faktor yang mempengaruhi produktivitas kerja pegawai

Banyak faktor yang mempengaruhi produktivitas kerja, baik hubungan

tenaga kerja, strategi manajemen konflik yang digunakan maupun kemauan

pegawai dalam bekerja dan bekerjasama serta motivasi diri dari para pegawai

tersebut. Menurut balai pengembangan daerah (Sedarmayanti 2001: 7) ada enam

faktor utama yang mempengaruhi produktivitas, sebagai berikut :

1. Sikap kerja, seperti kesediaan untuk bekerja secara bergiliran (shift work),
dapat menerima tambahan tugas dan bekerja dalam satu tim.
2. Tingkat keterampilan, yang ditentukan oleh pendidikan, latihan manjemen
dan supervise serta keterampilan dalam teknik industri.
3. Hubungan antara tenaga kerja dan pimpinan organisasi, yang tercermin dalam
usaha bersama antra pimpinan organisasi dan tenaga kerja untuk
meningkatkan produktivitas melalui lingkaran pengawasan mutu (quality
control circles) dan panitia melalui kerja unggul.
34

4. Manajemen produktivitas yaitu, manajemen yang efisien mengenai sumber


dan sistem kerja untuk mencapai peningkatan produktivitas.
5. Efisiensi tenaga kerja, seperti perancangan tenaga kerja dan tambahan tugas.
6. Kewirausahaan yang tercermin dalampengambilan resiko, kreativitas dalam
berusaha, dan berada pada jalur yang benar dalam berusaha.
Sejalan dengan pendapat di atas Siagian (2012: 161) mengemukakan faktor

penentu produktivitas kerja, sebagai berikut :

1. Latar belakang hidup para pelaksana termasuk usia, jenis kelamin, status
menikah atau tidak, jumlah tanggungan dan masa kerja.
2. Kemampuan baik dalam arti fisik maupun mental intelektual.
3. Tipe kepribadian yang bersangkutan.
4. Persepsi tentang kehidupan organisasional.
5. Sistem dan peringkat nilai yang dianut.
6. Motivasi berkarya.
7. Penugasan oleh organisasi yang tepat dalam arti sesuai dengan kemampuan,
keterampilan, bakat, minat dan pengalaman tenaga yang bersangkutan.
Selanjutnya faktor-faktor penentu produktivitas kerja pegawai menurut

Ambar teguh (2009: 249) sebagai berikut:

a. Pengetahuan
b. Keterampilan
c. Kompetensi
d. Sikap
2.5.2 Dimensi Produktivitas Kerja Pegawai
Sedarmayanti (2001: 58) mengemukakan beberapa dimensi mengenai

produktivitas diantaranya :

1. Dimensi efektivitas, berkaitan dengan pencapaian unjuk kerja yang maksimal,


dalam arti pencapaian target yang berkaitan dengan kualitas, kuantitas dan
waktu.
2. Dimensi efesiensi, berkaitan dengan upaya membandingkan masukan dengan
realisasi penggunaan atau bagaimana pekerjaan tersebut dilaksanakan.
3. Dimensi hasil, berkaitan dengan kualitas dan kuantitas yang dihasilkan.
Dimensi efektivitas merupakan suatu ukuran yang memberikan gambaran

seberapa jauh target akan dicapai. Pengertian efektivitas ini lebih berorientasi
35

kepada keluaran sedangangkan masalah penggunaan masukan kurang menjadi

perhatian utama. Apabila efektivitas dikaitkan dengan efisiensi, maka walaupun

terjadi peningkatan efektivitas belum tentu efisiensi meningkat. Oleh karena itu,

indikator-indikator yang dapat digunakan untuk mengetahui efektivitas antara lain

dalam hal, pencapaian tujuan, pelaksanaan tugas, pemecahan masalah dll.

Dimensi efesiensi merupakan suatu ukuran dalam membandingkan

penggunaan masukan yang direncanakan dengan penggunaan masukan yang

sebenarnya terlaksana. Apabila masukan yang sebenarnya digunakan semakin

besar penghematannya maka tingkat efisiensi semakin tinggi, tetapi semakin kecil

masukan yang dapat dihemat, semakin rendah tingkat efisiensi. Pengertian

efisiensi disini lebih berorientasi kepada masukan sedangkan massalah keluaran

kurang menjadi perhatian utama. Indikator-indikator yang dapat digunakan untuk

mengukur efisiensi antara lain ketersediaan Sumber Daya , perencanaan kegiatan,

anggaran dll.

Dimensi hasil merupakan keluaran dan proses pelaksanaan suatu kegiatan

baik kualitas maupun kuantitas. Kualitas merupakan suatu ukuran yang

menyatakan seberapa jauh telah dipenuhi berbagai persyaratan, spesifikasi dan

harapan. Konsep ini hanya dapat berorientasi kepada masukan, keluaran atau

keduanya. Disamping itu kualitas juga berkaitan dengan proses produksi yang

berpengaruh pada kualitas hasil secara keseluruhan. Indikatornya atara lain

pencapaian kualitas hasil sesuai dengan harapan.


36

2.5.3 Ciri-Ciri Individu/Pegawai yang Produktif


Menurut Timpe (Sedarmayanti 2009: 80-81) sebagai berikut :
1. Cerdas dan dapat belajar dengan cepat.
2. Kompeten secara profesional/teknis selalu memperdalam pengetahuan dalam
bidangnya.
3. Kreatif dan inovatif, memperlihatkan kecerdikan dan keanekaragaman.
4. Memahami pekerjaan.
5. Belajar dengan cerdik, menggunakan logika, mengorganisasikan pekerjaan
secara efisien, tidak mudah macet dalam pekerjaan, selalu mempertahankan
kinerja rancangan, mutu, kehandalan, pemeliharaan keamanan, mudah dibuat,
produktivitas, biaya dan jadwal.
6. Selalu memberi perbaikan, tetapi tahu kapan harus berhenti menyempurnakan.
7. Dianggap bernilai oleh pengawasnya.
8. Memiliki catatan prestasi yang berhasil.
9. Selalu meningkatkan diri.

2.6 Kajian Penelitian Terdahulu

Tabel 2.1
Kajian Terdahulu

HASIL
NO JUDUL
PENELITIAN
1. Pengaruh penempatan pegawai terhadap Frekuensi:
produktivitas kerja pegawai pada Badan -Penempatan
Kesatuan Bangsa, Perlindungan Masyarakat pegawai 48,53 %
dan Penanggulangan Bencana kabupaten -Produktivitas kerja
Sumedang. 47,67 %
Disusun : Dedi Supriadi -Korelasi 0,47
E.0835221293 Pengaruh 22,09 %
Skripsi tahun 2012

2. Pengaruh lingkungan kerja pegawai terhadap Frekuensi :


produktivitas kerja pegawai di Dinas - Lingkungan kerja :
Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten 67,80 %
Sumedang. - Produktivitas
kerja :73,06 %
Disusun : Dedi Sudrajat Korelasi 0,377
E.0935221444
Skripsi tahun 2013
37

3. Pengaruh Manajemen Konflik terhadap Frekuensi :


prestasi kerja pegawai UPTD TK SD dan PNF -Manajemen konflik :
Kec.Conggeang . 86,72 %
-Prestasi Kerja :
Disusun : Epan Praditya 86,48 %
E.0835221300 Besarnya korelasi
0,313
Skripsi tahun 2012 Besarnya pengaruh :
9,7 %

2.7 Kerangka Pemikiran Dan Hipotesis

2.7.1 Kerangka Pemikiran

Kerangka pemikiran merupakan model konseptual tentang bagaimana teori

berhubungan dengan berbagai faktor yang telah diidentivikasi sebagai masalah

yang penting (Sugiyono, 2006: 65). Berkaitan dengan judul yang diungkapkan,

peneliti mengambil beberapa teori yang relevan agar setiap variabel penelitian

disesuaikan atas dasar teori-teori yang dikemukakan oleh para ahli.

2.7.2 Manajemen Konflik

Manusia bukan hanya konsumen produk yang menghasilkan organisasi-

organsiasi, tetapi manusia merupakan komponen utama suatu organsisasi yang

memproses masukan (input) menjadi keluaran (output) yang keberhasilannya

sangat dipengaruhi oleh kepribadian serta kebutuhan indivudual manusia yang

heterogen. Dengan adanya perbedaan kepribadian serta kebutuhan pribadi tiap

induvidu memungkinkan akan terjadi konflik di dalam organisasi tersebut.

Menurut Soetopo (2010: 285) bahwa: “Manajemen konflik merupakan

analisis konflik, deskripsi fenomena konflik yang terjadi serta strategi untuk

pemecahan konflik tersebut”.


38

Ross (Haris, 2000: 23) bahwa:

Manajemen konflik merupakan langkah-langkah yang diambil para pelaku


atau pihak ketiga dalam rangka mengarahkan perselisihan ke arah hasil
tertentu yang mungkin atau tidak menghasilkan suatu akhir berupa
penyelesaian konflik dan mungkin atau tidak mengghasilkan ketenangan,
hal positif, kreatif, bermufakat dan agresif.

Menurut Wijono (1993: 23) bahwa manajemen konflik dalam lingkup

organisasi merupakan:

Manajemen konflik adalah suatu situasi dimana dua tau banyak orang
saling tidak setuju terhadap suatu permasalahan yang menyangkut
kepentingan organisasi dan/atau dengan timbulnya perasaan permusuhan
satu dengan yang lainnya.

Berdasarkan pendapat beberapa ahli tersebut diatas, maka peneliti

memberikan definisi mengenai manajemen konflik adalah analisis daripada suatu

konflik untuk mendapatkan strategi dalam hal pemecahan masalah.

Model penyelesaian konflik Soetopo (2010: 278) sebagai berikut:

1. Kebekerjasamaan (cooperativness), yaitu seberapa besar tingkat


kerjasama antara pihak-pihak yang terkait dengan pemyelesaian konflik.
2. Kegigihan (assertivenesis), yaitu bagaimana kegigihan antara pihak-pihak
yang terlibat dalam konflik.
3. Kompetisi atau pemaksaan yaitu, adanya pihak yang menggunakan
wewenang untuk memaksa satu pihak lain untuk menerima apa yang
diputuskan pihak yang berwenang.
4. Penghindaran diri, yaitu Penghindaran diri sendiri atas konflik yang
sedang terjadi.
5. Kompromi, yaitu adanya tawar menawar antara kedua belah pihak dalam
menyelesaikan suatu konflik atau memunculkan pihak ketiga.
6. Kolaborasi atau pemecahan masalah, yaitu pihak-pihak yang berkonflik
berusaha untuk menemukan solusi terbaik atas konflik yang dimilikinya.
7. Penyesuaian diri, yaitu penyesuaian yang dilakukan antara pihak-pihak
konflik agar hubungan mereka tetap terbina dengan baik.
Berdasarkan uraian tersebut diatas, peneliti mempunyai gambaran apabila

suatu pegawai dapat mengindari faktor-faktor penyebab timbulnya konfil serta


39

dapat mempergunakan manajemen konflik dengan baik, maka dapat dipastikan

organisasi akan dapat berkembang secara dinamis ketika Sumber Daya Manusia

mampu bekerja dengan perasaan nyaman serta dapat menimati pekerjaan sesuai

tugas pokok dan fungsi yang telah di tetapkan sebelumnya sehingga dengan

tercapainya hal tersebut akan mampu meningkatkan produktivitas kerja pegawai.

2.7.3 Produktivitas Kerja Pegawai

Pergeseran pengertian produktivitas kerja pegawai pada pengertian yang

lebih berdimensi manusiawi ini mengacu pada arti filosofi, sebagaiman yang

dikemukakan Whitemore (Sedarmayanti 2009: 58) bahwa:

Produktivitas kerja memiliki dua dimensi, yakni efektivitas dan efisiensi.


Dimensi pertama berkaitan dengan pencapaian unjuk kerja yang maksimal,
dalam arti pencapaian target yang berkaitan dengan kualitas, kuantitas dan
waktu. Sedangkan dimensi kedua berkaitan dengan upaya membandingkan
masukan dengan realisasi penggunaannya atau bagaimana pekerjaan
tersebut dilaksanakan.

Produktivitas kerja sebagai hasil dari berbagai faktor dalam suatu

organisasi lebih banyak bersangkut paut dengan aspek manusia dalam organiasi

itu sendiri. Hal ini dikarenakan manusia sebagai pelaku utama penentu tinggi

rendahnya produktivits kerja yang dicapai dalam suatu organisasi. Untuk itu

sangat diperluka pegawai yang memiliki kompetensi dan ability (kemampuan)

yang tinggi sehingga produktivitas kerja dapat meningkat yang berujung pada

peningkatan kualitas dan kuantitas hasil yang dicapai dalam tujuan organisasi.

Siagian (2012: 161) mengemukakan bahwa: “Produktivitas kerja pada

dasarnya berarti perolehan hasil (output) yang yang maksimal dengan

menggunakan masukan (input) yang minimal. Masukan menjadi hasil setelah

melalui proses tertentu. Agar bekerja secara produktif, proses yang terjadi harus
40

efektif dan produktif. Dengan kata lain produktivitas merupakan hasil perkalian

antara efektifitas dan efesiensi.

Berdasarkan pendapat tersebut di atas, maka peneliti berpendapat

prodiktivitas itu sebenarnya menyangkut aspek yang luas, yaitu modal (termasuk

lahan), biaya, tenaga kerja, energi, alat dan teknologi secara umum sebagai

penunjang dalam mewujudkan produktivitas kerja pegawai. Dengan demikian

pegawai dikatakan produktif apabila ia mampu menghasilkan keluaran lebih

banyak dari pekerjaan untuk satuan waktu yang sama.

Ciri-Ciri Individu/Pegawai yang produktif menurut Dale Timpe


(Sedarmayanti 2009: 80-81) sebagai berikut :

1. Cerdas dan dapat belajar dengan cepat.


2. Kompeten secara profesional/teknis selalu memperdalam pengetahuan dalam
bidangnya.
3. Kreatif dan inovatif, memperlihatkan kecerdikan dan keanekaragaman.
4. Memahami pekerjaan.
5. Belajar dengan cerdik, menggunakan logika, mengorganisasikan pekerjaan
secara efisien, tidak mudah macet dalam pekerjaan, selalu mempertahankan
kinerja rancangan, mutu, kehandalan, pemeliharaan keamanan, mudah dibuat,
produktivitas, biaya dan jadwal.
6. Selalu memberi perbaikan, tetapi tahu kapan harus berhenti menyempurnakan.
7. Dianggap bernilai oleh pengawasnya.
8. Memiliki catatan prestasi yang berhasil.
9. Selalu meningkatkan diri.

Soetopo (2010: 270) berpendapat mengenai hubungan atau pengaruh

konflik terhadap produktivitas kerja pegawai, bahwa: “Pada level konflik rendah

produktivitas kerja juga rendah, pada level konflik sedang produktivitas kerja

mencapai titik optimun yang tinggi sementara pada level konflik tinggi

produktivitas kerja menjadi rendah”. Berdasarkan pengertian tersebut maka

prodtivitas kerja pegawai akan memuncak apabila level konflik dalam organisasi
41

berada pada tingkat sedang dengan syarat konflik itu dapat dikelola dengan baik.

Oleh sebab itu, konflik harus dapat dikendalikan dan mengarahkan konflik pada

level yang menguntungkan organisasi. Karena organisasi dengan level konflik

rendah akan bersifat stagnansi dan tidak ada peningkatan sebaliknya apabila

konflik terlalu tinggi organisasi akan susah untu dikendalikan, untuk itu

diperlukan level konflik yang sedang serta manajemen konflik yang baik untuk

menciptakan produktivitas kerja pegawai dan organisasi yang dinamis.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, peneliti mencoba merumuskan kerangka

pemikiran untuk memudahkan pembahasan sesuai dengan tabel 2.2 yaitu sebagai

berikut:

Tabel 2.2
Kerangka Pemikiran
MANAJEMEN PRODUKTIVITAS KERJA PEGAWAI (Y)
KONFLIK (X)

Soetopo (2010: 278) Sedarmayanti (2001: 58)

1.Kebekerjasamaan 1. Dimensi efektivitas, berkaitan dengan


(cooperativness) pencapaian unjuk kerja yang maksimal,
dalam arti pencapaian target yang
2.Kegigihan berkaitan dengan kualitas, kuantitas
(assertivenesis) dan waktu.
rxy rxy
3.Kompetisi atau
pemaksaan 2. Dimensi efesiensi, berkaitan dengan
4.Penghindaran diri upaya membandingkan masukan
ε xy dengan realisasi penggunaan atau
5.Kompromi bagaimana pekerjaan tersebut
dilaksanakan.
6 Kolaborasi atau
pemecahan masalah
2.7.4 Hipotesis Penelitian 3. Dimensi hasil, berkaitan dengan
7.Penyesuaian diri
kualitas dan kuantitas yang dihasilkan.
42

2.7.4 Hipotesis Penelitian

merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian,

dimana rumusan masalah telah dinyatakan dalam bentuk kalimat pertanyaan.

(Sugiyono 2006: 70).

Hipotesis yang diajukan peneliti adalah sebagai berikut :

1. Manajemen konflik Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa Kabupaten

Sumedang Kurang baik.

2. Produktivitas kerja pegawai Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa

Kabupaten Sumedang masih rendah.

3. Terdapat hubungan antara manajemen konflik dan produktivitas kerja

pegawai di Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa Kabupaten Sumedang

4. Terdapat pengaruh manajemen konflik terhadap produktivitas kerja pegawai

Kantor Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa Kabupaten Sumedang.

Berdasarkan hipotesis tersebut diatas, hipotesis statistik yang diajukan peneliti

adalah sebagai berikut:

1. Hipotesis I

H0 : ≥ 75%

Artinya manajemen konflik di Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa

Kabupaten Sumedang baik, lebih dari atau sama dengan 75% dari kriteria

ideal.

Ha : < 75%

Artinya manajemen konflik di Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa

Kabupaten Sumedang kurang baik, kurang dari 75% dari kriteria ideal.
43

2. Hipotesis II

H0 : ρ ≥ 75%

Artinya produktivitas kerja pegawai Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan

Desa Kabupaten Sumedang baik lebih dari atau sama dengan 65% dari

kriteria ideal.

Ha : ρ < 75%

Artinya produktivitas kerja pegawai Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan

Desa Kabupaten Sumedang masih rendah, kurang dari 65% dari kriteria

ideal.

3. Hipotesis III

H0 : ρ = 0

Artinya tidak terdapat hubungan yang signifikan antara manajemen

konflik dan produktivias kerja pegawai di Dinas Pemberdayaan

Masyarakat dan Desa Kabupaten Sumedang.

Ha : ρ ≠ 0

Artinya terdapat hubungan yang signifikan antara manajemen konflik dan

produktivias kerja pegawai di Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa

Kabupaten Sumedang

4. Hipotesis IV

H0: ρ = 0

Artinya tidak terdapat pengaruh yang signifikan antara manajemen konflik

dan produktivias kerja pegawai di Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan

Desa Kabupaten Sumedang.


44

Ha: ρ ≠ 0

Artinya terdapat pengaruh yang signifikan antara manajemen konflik dan

produktivias kerja pegawai di Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa

Kabupaten Sumedang.

Anda mungkin juga menyukai