Anda di halaman 1dari 6

Kerajaan Ternate & Tidore ~ Di Maluku terdapat dua kerajaan yang berpangaruh, yakni

Ternate dan Tidore. Kerajaan Ternate terdiri dari persekutuan lima daerah, yaitu Ternate, Obi,
Bacan, Seram, Ambon, (disebut Uli Lima) sebagai pimpinannya adalah Ternate. Adapun Tidore
terdiri dari sembilan satuan negara disebut Uli Siwa yang terdiri dari Makyan, Jailolo, dan daerah
antara Halmahera – Irian. Nah pada kesempata ini kita akan membahas lebih dalam mengenai
kehidupan politik, ekonomi, dan sosial-budaya dari Kerajaan Ternate dan Tidore. Semoga
bermanfaat. Check this out!!!

A. Kehidupan Politik

Di Maluku yang terletak di antara Sulawesi dan Irian terdapat dua kerajaan, yakni Ternate dan
Tidore. Kedua kerajaan ini terletak di sebelah barat pulau Halmahera di Maluku Utara. Kedua
kerajaan itu pusatnya masing-masing di Pulau Ternate dan Tidore, tetapi wilayah kekuasaannya
mencakup sejumlah pulau di kepulauan Maluku dan Irian. Kerajaan Ternate sebagai pemimpin
Uli Lima yaitu persekutuan lima bersaudara dengan wilayahnya mencakup Pulau- Pulau Ternate,
Obi, Bacan, Seram dan Ambon. Kerajaan Tidore sebagai pemimpin Uli Siwa, artinya persekutuan
Sembilan (persekutuan sembilan saudara) wilayahnya meliputi Pulau-Pulau Makyan, Jailolo, atau
Halmahera, dan pulau-pulau di daerah itu sampai dengan Irian Barat. Antara keduanya saling
terjadi persaingan dan persaingan makin tampak setelah datangnya bangsa Barat.

Bangsa Barat yang pertama kali datang di Maluku ialah Portugis (1512) yang kemudian
bersekutu dengan Kerajaan Ternate. Jejak ini diikuti oleh bangsa Spanyol yang berhasil mendarat
di Maluku 1521 dan mengadakan persekutuan dengan Kerajaan Tidore. Dua kekuatan telah
berhadapan, namun belum terjadi pecah perang. Untuk menyelesaikan persaingan antara
Portugis dan Spanyol, maka pada tahun 1529 diadakan Perjanjian Saragosa yang isinya bangsa
Spanyol harus meninggalkan Maluku dan memusatkan kekuasaannya di Filipina dan bangsa
Portugis tetap tinggal Maluku. Untuk memperkuat kedudukannya di Maluku, maka Portugis
mendirikan benteng Sao Paulo. Menurut Portugis, benteng ini dibangun untuk melindungi
Ternate dari serangan Tidore. Tindakan Portugis di Maluku makin merajalela yakni dengan cara
memonopoli dalam perdagangan, terlalu ikut campur tangan dalam urusan dalam negeri
Ternate, sehingga menimbulkan pertentangan. Salah seorang Sultan Ternate yang menentang
ialah Sultan Hairun (1550-1570). Untuk menyelesaikan pertentangan, diadakan perundingan
antara Ternate (Sultan Hairun) dengan Portugis (Gubernur Lopez de Mesquita) dan perdamaian
dapat dicapai pada tanggal 27 Februari 1570. Namun perundingan persahabatan itu hanyalah
tipuan belaka. Pada pagi harinya (28 Februari) Sultan Hairun mengadakan kunjungan ke benteng
Sao Paulo, tetapi ia disambut dengan suatu pembunuhan.

Atas kematian Sultan Hairun, rakyat Maluku bangkit menentang bangsa Portugis di bawah
pimpinan Sultan Baabullah (putra dan pengganti Sultan Hairun). Setelah dikepung selama 5
tahun, benteng Sao Paulo berhasil diduduki (1575). Orang-orang Portugis yang menyerah tidak
dibunuh tetapi harus meninggalkan Ternate dan pindah ke Ambon. Sultan Baabullah dapat
meluaskan daerah kekuasaannya di Maluku. Daerah kekuasaannya terbentang antara Sulawesi
dan Irian; ke arah timur sampai Irian, barat sampai pulau Buton, utara sampai Mindanao Selatan
(Filipina), dan selatan sampai dengan pulau Bima (Nusa Tenggara), sehingga ia mendapat
julukan "Tuan dari tujuh pulau dua pulau".

Pada abad ke-17, bangsa Belanda datang di Maluku dan segera terjadi persaingan antara
Belanda dan Portugis. Belanda akhirnya berhasil menduduki benteng Portugis di Ambon dan
dapat mengusir Portugis dari Maluku (1605). Belanda yang tanpa ada saingan kemudian juga
melakukan tindakan yang sewenang-wenang, yakni:
1. Melaksanakan sistem penyerahan wajib sebagian hasil bumi (rempahrempah)
kepada VOC (contingenten).
2. Adanya perintah penebangan/pemusnahan tanaman rempah-rempah jika harga
rempah-rempah di pasaran turun (hak ekstirpasi) dan penanaman kembali secara
serentak apabila harga rempah-rempah di pasaran naik/ meningkat.
3. Mengadakan pelayaran Hongi (patroli laut), yang diciptakan oleh Frederick de
Houtman (Gubernur pertama Ambon) yakni sistem perondaan yang dilakukan oleh
VOC dengan tujuan untuk mencegah timbulnya perdagangan gelap dan mengawasi
pelaksanaan monopoli perdagangan di seluruh Maluku.

Tindakan-tindakan penindasan tersebut di atas jelas membuat rakyat hidup tertekan dan
menderita, sebagai reaksinya rakyat Maluku bangkit mengangkat senjata melawan VOC. Pada
tahun 1635-1646 rakyat di kepulauan Hitu bangkit melawan VOC dibawah pimpinan Kakiali dan
Telukabesi. Pada tahun 1650 rakyat Ambon dipimpin oleh Saidi. Demikian juga di daerah lain,
seperti Seram, Haruku dan Saparua; namun semua perlawanan berhasil dipadamkan oleh VOC.

Sampai akhir abad ke-17 tidak ada lagi perlawanan besar; akan tetapi pada akhir abad ke-18
muncul lagi perlawanan besar yang mengguncangkan kekuasaan VOC di Maluku. Jika melawan
Portugis, Ternate memegang peranan penting, maka untuk melawan VOC, Tidore yang
memimpinnya. Pada tahun 1780 rakyat Tidore bangkit melawan VOC di bawah pimpinan Sultan
Nuku. Selanjutnya Sultan Nuku juga berhasil menyatukan Ternate dengan Tidore. Setelah Sultan
Nuku meninggal (1805), tidak ada lagi perlawaan yang kuat menentang VOC, maka mulailah VOC
memperkokoh kekuasaannya kembali di Maluku. Perlawanan yang lebih dahsyat di Maluku baru
muncul pada permulaan abad ke-19 di bawah pimpinan Pattimura.

Benteng Sao Paulo, Salah Satu Peninggalan Protugis di Masa Kerjaan Ternate dan Tidore 

B. Kehidupan Ekonomi

Kehidupan rakyat Maluku yang utama adalah pertanian dan perdagangan. Tanah di kepulauan
Maluku yang subur dan diliputi oleh hutan rimba, banyak memberikan hasil berupa cengkih dan
pala. Cengkih dan pala merupakan rempah-rempah yang sangat diperlukan untuk ramuan obat-
obatan dan bumbu masak, karena mengandung bahan pemanas. Oleh karena itu, rem-pah-
rempah banyak diperlukan di daerah dingin seperti di Eropa. Dengan hasil rempahrempah maka
aktivitas pertanian dan perdagangan rakyat Maluku maju dengan pesat.

C. Kehidupan Sosial-Budaya

Kedatangan Portugis di Maluku yang semula untuk berdagang dan mendapatkan rempah-
rempah, juga menyebarkan agama Katolik. Pada tahun 1534 missionaris Katolik, Fransiscus
Xaverius telah berhasil menyebarkan agama Katolik di Halmahera, Ternate, dan Ambon.

Telah kita ketahui bahwa sebelumnya di Maluku telah berkembang agama Islam. Dengan
demikian kehidupan agama telah mewarnai kehidupan sosial masyarakat Maluku. Dalam
kehidupan budaya, rakyat Maluku diliputi aktivitas perekonomian, maka tidak banyak
menghasilkan budaya. Salah satu karya seni bangun yang terkenal ialah Istana Sultan Ternate
dan Masjid kuno di Ternate.

1. Kolano Syahjati alias Muhammad Naqil bin Jaffar Assidiq


2. Kolano Bosamawange
3. Kolano Syuhud alias Subu
4. Kolano Balibunga
5. Kolano Duko adoya
6. Kolano Kie Matiti
7. Kolano Seli
8. Kolano Matagena
9. 1334-1372: Kolano Nuruddin
10. 1372-1405: Kolano Hasan Syah
11. 1495-1512: Sultan Ciriliyati alias Djamaluddin
12. 1512-1526: Sultan Al Mansur
13. 1526-1535: Sultan Amiruddin Iskandar Zulkarnain
14. 1535-1569: Sultan Kiyai Mansur
15. 1569-1586: Sultan Iskandar Sani
16. 1586-1600: Sultan Gapi Baguna
17. 1600-1626: Sultan Mole Majimo alias Zainuddin
18. 1626-1631: Sultan Ngora Malamo alias Alauddin Syah; memindahkan pemerintahan dan
mendirikan Kadato (Istana) Biji Negara di Toloa
19. 1631-1642: Sultan Gorontalo alias Saiduddin
20. 1642-1653: Sultan Saidi
21. 1653-1657: Sultan Mole Maginyau alias Malikiddin
22. 1657-1674: Sultan Saifuddin alias Jou Kota; memindahkan pemerintahan dan mendirikan
Kadato (Istana) Salero di Limau Timore (Soasiu)
23. 1674-1705: Sultan Hamzah Fahruddin
24. 1705-1708: Sultan Abdul Fadhlil Mansur
25. 1708-1728: Sultan Hasanuddin Kaicil Garcia
26. 1728-1757: Sultan Amir Bifodlil Aziz Muhidin Malikul Manan
27. 1757-1779: Sultan Muhammad Mashud Jamaluddin
28. 1780-1783: Sultan Patra Alam
29. 1784-1797: Sultan Hairul Alam Kamaluddin Asgar
30. 1797-1805: Sultan Syaidul Jehad Amiruddin Syaifuddin Syah Muhammad El Mab’us Kaicil
Paparangan Jou Barakati Nuku
31. 1805-1810: Sultan Zainal Abidin
32. 1810-1821: Sultan Motahuddin Muhammad Tahir
33. 1821-1856: Sultan Achmadul Mansur Sirajuddin Syah; pembangunan Kadato (Istana) Kie
34. 1856-1892: Sultan Achmad Syaifuddin Alting
35. 1892-1894: Sultan Achmad Fatahuddin Alting
36. 1894-1906: Sultan Achmad Kawiyuddin Alting alias Shah Juan; setelah wafat, terjadi konflik
internal (Kadato Kie dihancurkan) hingga vakumnya kekuasaan
37. 1947-1967: Sultan Zainal Abidin Syah; diikuti vakumnya kekuasaan
38. 1999-2012: Sultan Djafar Syah; pembangunan kembali Kadato Kie
39. 2012-sekarang: Sultan Husain Syah

Kesultanan Tidore adalah kerajaan Islam yang berpusat di wilayah Kota Tidore, Maluku


Utara, Indonesia sekarang. Pada masa kejayaannya (sekitar abad ke-16 sampai abad ke-18),
kerajaan ini menguasai sebagian besar Pulau Halmahera selatan, Pulau Buru, Pulau Seram, dan
banyak pulau-pulau di pesisir Papua barat.
Pada tahun 1521, Sultan Mansur dari Tidore menerima Spanyol sebagai sekutu untuk mengimbangi
kekuatan Kesultanan Ternatesaingannya yang bersekutu dengan Portugal. Setelah mundurnya
Spanyol dari wilayah tersebut pada tahun 1663 karena protes dari pihak Portugal sebagai
pelanggaran terhadap Perjanjian Tordesillas 1494, Tidore menjadi salah satu kerajaan paling
merdeka di wilayah Maluku. Terutama di bawah kepemimpinan Sultan Saifuddin (memerintah 1657-
1689), Tidore berhasil menolak pengusaan VOC terhadap wilayahnya dan tetap menjadi daerah
merdeka hingga akhir abad ke-18.
Awal Perkembangan Kerajaan Tidore[sunting | sunting sumber]
Kerajaan Tidore terletak di sebelah selatan Ternate. Menurut silsilah raja-raja Ternate dan Tidore,
Raja Tidore pertama adalah Muhammad Naqil yang naik tahta pada tahun 1081. Baru pada akhir
abad ke-14, agama Islam dijadikan agama resmi Kerajaan Tidore oleh Raja Tidore ke-11, Sultan
Djamaluddin, yang bersedia masuk Islam berkat dakwah Syekh Mansur dari Arab[2].

Aspek Kehidupan[sunting | sunting sumber]


Aspek Kehidupan Politik dan Kebudayaan[sunting | sunting sumber]
Kesultanan Tidore mencapai puncak kejayaan pada masa pemerintahan Sultan Nuku (1780-1805 M).
Sultan Nuku dapat menyatukan Ternate dan Tidore untuk bersama-sama melawan Belanda yang
dibantu Inggris. Belanda kalah serta terusir dari Tidore dan Ternate. Sementara itu, Inggris tidak
mendapat apa-apa kecuali hubungan dagang biasa. Sultan Nuku memang cerdik, berani, ulet, dan
waspada. Sejak saat itu, Tidore dan Ternate tidak diganggu, baik
oleh Portugal, Spanyol, Belanda maupun Inggrissehingga kemakmuran rakyatnya terus meningkat.
Wilayah kekuasaan Tidore cukup luas, meliputi Pulau Seram, sebagian Halmahera, Raja Ampat, dan
sebagian Papua. Pengganti Sultan Nuku adalah adiknya, Sultan Zainal Abidin. Ia juga giat
menentang Belanda yang berniat menjajah kembali Kepulauan Maluku.
Aspek Kehidupan Ekonomi dan Sosial[sunting | sunting sumber]
Sebagai kerajaan yang bercorak Islam, masyarakat Tidore dalam kehidupan sehari-harinya banyak
menggunakan hukum Islam. Hal itu dapat dilihat pada saat Sultan Nuku dari Tidore dengan De
Mesquita dari Portugal melakukan perdamaian dengan mengangkat sumpah di bawah kitab suci Al-
Qur’an.
Kesultanan Tidore terkenal dengan rempah-rempahnya, seperti di daerah Maluku. Sebagai penghasil
rempah-rempah, Tidore banyak didatangi oleh Bangsa-bangsa Eropa. Bangsa Eropa yang datang
ke Maluku, antara lain bangsa Portugis, Spanyol, dan Belanda.
A. Kehidupan Politik

a. Kerajaan Aceh didirikan Sultan Ali Mughayat Syah pada tahun 1530 setelah melepaskan diri
dari kekuasaan Kerajaan Pidie.
Dilantik sebagai sultan tahun 1507
Menaklukkan pedir, samudra pasai dan daya bahkan portugis tahun 1524 - 1530

b. Tahun 1564 Kerajaan Aceh di bawah pimpinan Sultan Alaudin al-Kahar (1537-1568). Sultan
Alaudin al-Kahar menyerang kerajaan Johor dan berhasil menangkap Sultan Johor, namun
kerajaan Johor tetap berdiri dan menentang Aceh.
Pada masa kerajaan Aceh dipimpin oleh Alaudin Riayat Syah datang pasukan Belanda
yang dipimpin oleh Cornelis de Houtman untuk meminta ijin berdagang di Aceh.
Menjalin hubungan dengan ottoman turki

c. Sultan Ali Riayat dengan panggilan Sultan Muda, ia berkuasa dari tahun 1569-1607. Pada masa
inilah, Portugis melakukan penyerangan karena ingin melakukan monopoli perdagangan di
Aceh, tapi usaha ini tidak berhasil.
Menyerang portugis

d. Sultan Iskandar Muda dari tahun 1607-1636, kerajaan Aceh mengalami kejayaan dalam
perdagangan. Banyak terjadi penaklukan di wilayah yang berdekatan dengan Aceh seperti Deli
(1612), Bintan (1614), Kampar, Pariaman, Minangkabau, Perak, Pahang dan Kedah (1615-1619).

m. Gejala kemunduran Kerajaan Aceh muncul saat Sultan Iskandar Muda digantikan oleh Sultan
Iskandar Thani (Sultan Iskandar Sani) yang memerintah tahun 1637-1642. Iskandar Sani adalah
menantu Iskandar Muda. Tak seperti mertuanya, ia lebih mementingkan pembangunan dalam
negeri daripada ekspansi luar negeri. Dalam masa pemerintahannnya yang singkat, empat
tahun, Aceh berada dalam keadaan damai dan sejahtera, hukum syariat Islam ditegakkan, dan
hubungan dengan kerajaan-kerajaan bawahan dilakukan tanpa tekanan politik ataupun militer.
Pada masa Iskandar Sani ini, ilmu pengetahuan tentang Islam juga berkembang pesat. Kemajuan
ini didukung oleh kehadiran Nuruddin ar-Raniri, seorang pemimpin tarekat dari Gujarat, India.
Nuruddin menjalin hubungan yang erat dengan Sultan Iskandar Sani. Maka dari itu, ia kemudian
diangkat menjadi mufti (penasehat) Sultan.

d. Seusai Iskandar Sani, yang memerintah Aceh berikutnya adalah empat orang sultanah (sultan
perempuan) berturut-turut. Sultanah yang pertama adalah Safiatuddin Tajul Alam (1641- 1675),
janda Iskandar Sani. Kemudian berturut-turut adalah Sri Ratu Naqiyatuddin Nurul Alam, Inayat
Syah, dan Kamalat Syah. Pada masa Sultanah Kamalat Syah ini turun fatwa dari Mekah yang
melarang Aceh dipimpin oleh kaum wanita. Pada 1699 pemerintahan Aceh pun dipegang oleh
kaum pria kembali.

e. Pada tahun 1816, sultan Aceh yang bernama Saiful Alam bertikai dengan Jawharul Alam
Aminuddin. Kesempatan ini dipergunakan oleh Gubernur Jenderal asal Inggris, Thomas Stanford
Raffles yang ingin menguasai Aceh yang belum pernah ditundukkan oleh Belanda. Ketika itu
pemerintahan Hindia Belanda yang menguasai Indonesia tengah digantikan oleh pemerintahan
Inggris. Pada tanggal 22 April 1818, Raffles yang ketika itu berkedudukan di Bengkulu,
mengadakan perjanjian dagang dengan Aminuddin. Berkat bantuan pasukan Inggris akhirnya
Aminuddin menjadi sultan Aceh pada tahun 1816, menggantikan Sultan Saiful Alam.

Pada tahun 1824, pihak Inggris dan Belanda mengadakan perjanjian di London, Inggris. Traktat
London ini berisikan bahwa Inggris dan Belanda tak boleh mengadakan praktik kolonialisme di
Aceh. Namun, pada 1871, berdasarkan keputusan Traktat Sumatera, Belanda kemudian berhak
memperluas wilayah jajahannya ke Aceh.
Dua tahun kemudian, tahun 1873, Belanda menyerbu Kerajaan Aceh. Alasan Belanda adalah
karena Aceh selalu melindungi para pembajak laut. Sejak saat itu, Aceh terus terlibat
peperangan dengan Belanda. Lahirlah pahlawan-pahlawan tangguh dari Aceh, pria-wanita, di
antaranya Teuku Umar, Cut Nyak Dien, Panglima Polim.

Perang Aceh ini baru berhenti pada tahun 1912 setelah Belanda mengetahui taktik perang
orang-orang Aceh. Runtuhlah Kerajaan Aceh, yang dikenal sebagai Serambi Mekah, yang telah
berdiri selama tiga abad lebih. Kemenangan Belanda ini berkat bantuan Dr. Snouck Horgronje,
yang sebelumnya menyamar sebagai seorang muslim di Aceh. Pada tahun 1945 Aceh menjadi
bagian dari Republik Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai