Anda di halaman 1dari 7

PEMBAHASAN

Pada praktikum kali ini dilakukan percobaan mengenai pengaruh suhu terhadap reaksi
enzimatik. Tujuan dari praktikum ini adalah untuk mengetahui pengaruh perubahan suhu
terhadap kinerja enzim yang terkandung dalam saliva dengan menentukan aktivitas enzim
berdasarkan waktu penguraian pati menjadi glukosa pada temperatur dan interval waktu tertentu,
mulai dari suhu dingin, suhu ruang, dan suhu panas. Suhu yang digunakan pada suhu ruang
28,9°C – 29,0°C. Untuk suhu rendah di 0-2°C dan suhu panas di atas 70°C.

Berdasarkan teori dapat diketahui bahwa Setiap enzim mempunyai suhu optimum, yaitu
ketika enzim tersebut dapat bekerja dengan baik. Daerah atau kisaran suhu ketika kerja atau laju
reaksi enzim masih baik disebut daerah suhu optimum. Semakin jauh dari suhu optimum,
kerjaenzim semakin tidak baik. Suhu optimum untuk enzim-enzim yang terdapat dalamtubuh
adalah 36° C-40°C. Sehubungan dengan pengaruh suhu terhadap aktivitasenzim, maka semakin
meningkat suhu aktivitas enzim akan semakin meningkat.Pada pemanasan tinggi, enzim yang
merupakan suatu protein akan mengalamidenaturasi sehingga aktivitas kerjanya menjadi nol
(Sumardjo 2009). Laju reaksi enzim dapat dipengaruhi olehsuhu. Suhu yang berbeda dapat
mempercepat ataupun memperlambat laju reaksienzim (Sumardjo 2009)

Kurva kinerja enzim terhadap perubahan suhu

Aktivitas enzim pada suhu rendah tidak menunjukkan aktivitas yang signifikan. Enzim belum
tercerna pada suhu yang rendah, dikarenakan enzim mengalami inaktivasi di kondisi tersebut.
Absorbansi rendah yang ditunjukkan lewat hasil pengukuran melalui alat spektrofotometer
membuktikan bahwa banyak enzim yang belum terdegradasi oleh substrat. Pada suhu ruang,
aktivasi enzim terdegradasi cukup cepat. Absorbansi enzim di menit ke 5 hingga 20
menunjukkan hasil yang rendah. Hal ini dikarenakan rendahnya energi aktivasi yang tersedia.
Energi aktivasi pada enzim dibutuhkan guna menciptakan kondisi kompleks yang aktif, baik
enzim maupun molekul substratnya. Pada suhu tinggi, tingkat absorbansi enzim mencapai
optimum. Kenaikan temperatur menyebabkan aktivitas enzim meningkat. Temperature yang
semakin tinggi akan meningkatkan energi kinetik yang mempercepat gerak vibrasi, translasi dan
rotasi enzim dan substrat sehingga mampu menambah intensitas tumbukan antara substrat
dengan enzim. Tumbukan yang terjadi ini akan mempermudah pembentukan kompleks enzim-
substrat sehingga produk yang terbentuk semakin banyak. Pada temperature optimum, tumbukan
antara enzim dan substrat menjadi sangat efektif sehingga pembentukan kompleks enzim-
substrat makin mudah dan produk yang terbentuk meningkat. Namun, peningkatan temperature
juga mampu mengakibatkan enzim mengalami denaturasi dan substrat mengalami perubahan
konformasi sehingga sisi aktif substrat tidak dapat lagi atau mengalami hambatan dalam
memasuki sisi aktif enzim dan menyebabkan turunnya aktivitas enzim (Kosim & Surya, 2010).

Senyawa yang diamati pada praktikum ini adalan enzim amilase dan substratnya, larutan
substrat yang dipakai adalah amilum karena amilum dan amilase memiliki hubungan dalam
proses pencernaan amilase akan menghidrolisi amilum mejadi maltose. Enzim akan ditetesi KI-
I2 dan di masukan ke spektro untuk melihat absorbansi enzim tersebut dan akan di sesuaikan
dengan teori yang ada. Pada reaksi kerjanya ditandai dengan ketika di tetesi KI substrat dan
enzim yang berada di dalam tabung reaksi akan berubah menjadi biru.
Amilase merupakan enzim yang berfungsi mengkatalis reaksi hidrolisis pati dan glikogen
menjadi maltose, maltotriosa, isomaltosa dan glukosa. Amylase dapat dibagi atas tiga kelompok
yaitu alfa amylase disebut juga endoamilase karena enzim ini memutuskan ikatan glikosida pada
tengah atau dalam dari molekul pati atau glikogen. Sedangkan beta amylase disebut juga ekso
amylase karena memutuskan ikatan glikosida dan bagian ujung pati. (Winarno, 1986 57-58).

Enzim α-amilase merupakan enzim yang ditemukan dalam air liur manusia, jus pancreas,
ASI, serum, dan jaringan tertentu seperti hati. Fungsi α-amilase saliva sebagai pengubah pati
dalam makanan menjadi gula (Maureen,2000). Enzim ini juga disekresikan oleh pancreas
dimana fungsinya untuk membantu pemecahan molekul makanan oleh tubuh untuk disimpan dan
digunakan (Rosenblum et al.,1998).

Pada praktikum ini digunakan pH dapar ±6,5 dapar tersebut berfunsi untuk melarutkan
kotoran yang masih terikat dalam endapan enzim dan mencegah enzim dari denaturasi dan
kehilangan fungsi biologisnya. Larutan dapar dapat mempertahankan kondisi enzim agar tidak
terjadi perubahan pH yang dapat membuat enzim yang mengalami inaktivasi.

Penambahan NaCl 0.9% berperan untuk mengaktifkan atau sebagai activator dari enzim
amylase salivarius. Selain itu, larutan ini juga berfungsi sebagai larutan isotonis yang dapat
menciptakan kondisi fisiologis yang sesuai dengan kondisi mulut sehingga enzim alfa amilase
dapat bekerja maksimal. Penambaham NaCL bertujuan sebagai pengaktif kerja enzim dan pati
atau amilum dimana pati ini merupakan substart yang akan bereaksi dengan iodium membentuk
kompleks biru.

Larutan KI digunakan sebagai indikator perubahan warna dari larutan uji. Jika amilosa
pati terdapat dalam larutan, maka akan menghasilkan warna biru-hitam.

Saliva yang merupakan enzim amilase akan menghidrolisis pati menjadi dekstrin kemudian
maltosa (disakarida) dan terhidrolisis lagi menjadi 2 molekul glukosa secara enzimatis,
penambahan HCl 0,05 N pada larutan ini berfungsi untuk menciptakan suasana asam karena
pada larutan tersebut akan ditambahkan KI-KIO3 yang berfungsi sebagai indikator warna, KI-
KIO3 pada suasana asam akan melepaskan iod dan akan memberikan warna pada larutan, dan
suasana yang terlalu asam atau alkalis menyebabkan denaturasi protein dan hilangnya secata
total aktivitas enzim. Pada pengukuran persentase substrat yang dicerna digunakan alat
spektofotometri dengan larutan blanko, yang digunakan sebagai larutan standart.

Semua metode spektrofotometri berdasarkan pada serapan sinar oleh senyawa yang ditentukan,
sinar yang digunakan adalah sinar yang semonokromatis mungkin. Spektrofotometer UV-Vis
(Ultra Violet-Visible) adalah salah satu dari sekian banyak instrumen yang biasa digunakan
dalam menganalisa suatu senyawa kimia. Spektrofotometri UV-vis adalah pengukuran serapan
cahaya di daerah ultraviolet (200 – 350 nm) dan sinar tampak (350 – 800 nm) oleh suatu
senyawa. Serapan cahaya UV atau cahaya tampak mengakibatkan transisi elektronik, yaitu
promosi elektron-elektron dari orbital keadaan dasar yang berenergi rendah ke orbital keadaan
tereksitasi berenergi lebih tinggi.Dimana detector dapat mengukur intensitas cahaya yang
dipancarkan secara tidak langsung cahaya yang diabsorbsi. Tiap media akan menyerap cahaya
pada panjang gelombang tertentu tergantung pada senyawa atau warna yang terbentuk

Spektrofotometri merupakan suatu metoda analisa yang didasarkan pada pengukuran


serapan sinar monokromatis oleh suatu lajur larutan berwarna pada panjang gelombamg spesifik
dengan menggunakan monokromator prisma atau kisi difraksi dengan detektor fototube.
Spektrofotometer adalah alat untuk mengukur transmitan atau absorban suatu sampel sebagai
fungsi panjang gelombang.

Dasar Spektrofotometri UV-Vis adalah serapan cahaya. Bila cahaya jatuh pada senyawa,
maka sebagian dari cahaya diserap oleh molekul-molekul sesuai dengan struktur dari molekul
senyawa tersebut. Serapan cahaya oleh molekul dalam daerah spektrum UV-Vis tergantung pada
struktur elektronik dari molekul. Spektra UV-Vis dari senyawa-senyawa organik berkaitan erat
dengan transisi-transisi diantara tingkatan-tingkatan tenaga elektronik. Oleh sebab itu, serapan
radiasi UV-Vis sering dikenal sebagai spektroskopi elektronik.

Suatu senyawa dapat dianalisis dengan spektrofotometer UV-Vis jika mempunyai kromofor pada
strukturnya, seperti:

1. katan rangkap terkonjugasi: Dua ikatan rangkap terkonjugasi memberikan suatu


kromofor, seperti dalam butadien akan mengabsorbsi pada 217nm. Panjang gelombang
serapan maksimum(lmax) dan koefisien ekstingsi molar (e) akan bertambah dengan
bertambahnya jumlah ikatan rangkap terkonjugasi.
2. Senyawa aromatik: cincin aromatik mengabsorbsi dalam daerah radiasi UV. Misal : benzen
menunjukkan serapan pada panjang gelombang sekitar 255nm, begitu juga asam asetil
salisilat.
3. Gugus karbonil: pada gugus karbonil aldehida dan keton dapat dieksitasi baik dengan
peralihan n→p* atau p→p*.
4. Auksokrom: gugus auksokrom mempunyai pasangan elektron bebas, yang disebabkan oleh
terjadinya mesomeri kromofor. Yang termasuk dalam gugus auksokrom ini adalah
substituen seperti –OH, -NH2, -NHR, dan –NR2. Gugus ini akan memperlebar sistem
kromofor dan menggeser absorbs maksimum (lmax) ke arah l yang lebih panjang
5. Gugus aromatik: adalah yang mempunyai transisi elektron n→p, seperti nitrat (313 nm),
karbonat (217 nm), nitrit (360 dan 280 nm), azida (230 nm) dan tritiokarbonat (500 nm).

Bagian-bagian spektrofotometer terdiri dari sumber spektrum tampak yang kontinyu,


monokromator, sel pengabsorbsi untuk larutan sampel atau blanko dan suatu alat untuk
mengukur perbedaan absorbsi antara sampel dan blanko ataupun pembanding. Berikut alur
prinsip kerja dari suatu spektrofotometer:

Prinsip kerja alat ini berdasarkan hukum Lambert Beer, bila cahaya monokromatik (Io)
melalui suatu media (larutan), maka sebagian cahaya tersebut diserap (Ia), sebagian dipantulkan
(Ir), dan sebagian lagi dipancarkan (It). Transmitan adalah perbandingan intensitas cahaya yang
ditransmisikan ketika melewati sampel (It) dengan intensitas cahaya mula-mula sebelum
melewati sampel (Io).

Persyaratan hukum Lambert Beer, antara lain:

1. Radiasi yang digunakan harus monokromatik,


2. Energi radiasi yang diabsorpsi oleh sampel tidak menimbulkan reaksi kimia,
3. Sampel (larutan) yang mengabsorbsi harus homogen,
4. Tidak terjadi fluoresensi atau phosporesensi, dan indeks refraksi tidak berpengaruh
terhadap konsentrasi, jadi larutan tidak pekat (harus encer).

Larutan amilosa merupakan larutan yang tidak berwarna. Syarat senyawa yang dapat diukur
serapannya dengan alat spektrofotometer UV-Vis adalah senyawa organik yang dapat
memberikan serapan yaitu senyawa yang memiliki gugus kromofor. Gugus kromofor adalah
gugus fungsional tidak jenuh yang memberikan serapan pada daerah ultraviolet atau cahaya
tampak. Amilosa tidak mempunya serapan pada rentang panjang gelombang UV-Vis, oleh
karena itu pada proses pengukuran sampel direaksikan dengan pereaksi yang dapat memberikan
spektrum serapan berwarna. Pereaksi yang digunakan adalah iodium yang terdiri dari campuran
iodium dan kalium iodida. Pereaksi iodium dengan amilosa dapat memberi serapan berwarna
biru. Semakin biru warna larutan yang didapat maka diperkirakan konsentrasi yang terdapat
dalam analit juga semakin besar. Pemilihan panjang gelombang maksimum amilosa dilakukan
agar dapat mengetahui daerah amilosa bekerja memberi serapan warna yang dapat diabsorbsi
oleh alat spektrofotometer UV-Vis, sehingga dapat dihasilkan nilai berupa absorbansi.

Pada praktikum kali ini didapatkan hasil data absorbansi dari banyaknya substrat yang
berikatan dengan enzim (reaksi enzimatik) atau banyaknya substrat yang dikatalis oleh enzim.
Dari data absorbansi dapat dihitung persentase substrat yang di katalis dengan rumus 100-

ATt
x 100.
ATo

Menurut teori, seiring bertambahnya waktu absorbansi yang dihasilkan semakin kecil
sehingga persentase substrat yang dikatalis semakin banyak. Pada suhu tinggi, didapatkan data
absorbansi pada menit ke 0 yaitu 0,691. Data absorbansi yang tinggi ini dikarenakan pada menit
ke 0 belum terdapat enzim yang dicampurkan pada larutan sehingga substrat yang di dalam
larutan belum dikatalis. Pada tiap perbedaan waktu 5 menit data absorbansi yang didapat
semakin turun namun pada menit ke 10 data absorbansinya naik, pada menit ke 15 data
absorbansi kembali turun dan pada menit ke 20 data absorbansinya naik, sehingga data
absorbansi pada menit ke 10 dan 20 di reject. Dari data yang diperoleh, hal ini menunjukkan
bahwa enzim telah mengkatalis substart. Pada suhu ruang dan suhu tinggi di dapatkan pula data
absorbansi yang sama yaitu seiring bertambahnya waktu data absorbansi yang didapat semakin
kecil. Namun pada suhu rendah, data absorbansinya lebih besar dibandingkan dengan data
absorbansi pada suhu ruang, hal ini dikarenakan pada suhu rendah enzim yang mengkatalis
substrat bekerja dengan lambat. Sehingga % substrat yang dikatalis lebih kecil. Sedangkan data
absorbansi pada suhu tinggi, seiring bertambahnya waktu semakin kecil namun pada menit ke 20
mengalami kenaikan sehingga data pada menit ke 20 di reject. Meskipun seiring bertambahnya
waktu semakin kecil absorbansinya, namun jika dibandingkan dengan data absorbansi pada suhu
ruang dan suhu dingin data absorbansi pada suhu tinggi jauh lebih besar. Hal ini karena enzim
tidak bekerja dengan optimum bahkan mengalami denaturasi. Dan juga % substrat yang dikatalis
lebih kecil dibandingkan dengan % substrat yang dikatalis pada suhu ruang dan suhu dingin.

Suhu optimum enzim α-amilase adalah 60ºC, kenaikan suhu menyebabkan aktivitas enzim
meningkat sampai mencapai suhu optimum. Setelah mencapai kondisi optimum terlihat bahwa
aktivitas enzim menurun. Terjadinya penurunan aktivitas ini diperkirakan karena pada suhu
tinggi struktur tertier enzim yang terdiri dari ikatan bukan kovalen atau elektrostatik, ikatan
hidrogen, ikatan disulfida dan ikatan hidrofobik bila menyerap energi tinggi akan terjadi
pemutusan dan mengakibatkan terjadinya pembukaan struktur tertier dan kuartener yang
menyebabkan konformasi enzim berubah dan menyebabkan aktivitasnya menurun (Sebayang,
2005).

Hasil pada praktikum kelompok kami yaitu kelompok 7, melakukan percobaan pada suhu
rendah yakni pada suhu 0-2oC. Didapatkan data absorbansi yang tinggi pada menit ke 0
dikarenakan belum adanya subsrat yang telah dikatalis oleh enzim. Selanjutnya pada menit ke 5
hingga menit ke 10 data absorbansi mengalami penurunan, Namun pada menit ke 15 dan 20
mengalami penurunan maka harus di reject. Hal itu menunjukkan bahwa substrat yang dikatalis
semakin sedikit. Kenaikan data absorbansi ini menunjukkan bahwa enzim tidak dapat bekerja
dengan baik pada pada suhu yang rendah. Sama halnya dengan data kelompok lain pada suhu
rendah bahwa didapatkan data absorbansi yang naik turun. Hal itu menunjukkan kembali bahwa
enzim yang bekerja pada suhu rendah tidak dapat bekerja secara baik maupun konstan. Energy
kinetic yang bekerja pun tidak beraturan.

Dari data-data yang diperoleh pun sangat memungkinkan tidak murni sebagaimana
semestinya sesuai dengan langkah kerja yang telah dibuat. Kesalahan-kesalahan tersebut dapat
berasal dari kerja praktikan dalam membuat sediaan. Yaitu, mungkin saja saat pengambilan
larutan enzim yang telah tercampur dengan substrat lalu dimasukkan kedalam tabung reaksi
sebanyak 1 ml tidak kuanti dan adapun kesalahan lain adalah mungkin larutan mengalami
kontaminasi dengan zat lain saat ppembuatan sediaan.

Anda mungkin juga menyukai