Komunikasi Terapeutik Pada Lansia
Komunikasi Terapeutik Pada Lansia
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. LatarBelakang
Komunikasi adalah elemen dasar dari interaksi manusia yang memungkinkan
seseorang untuk menetapkan, mempertahankan dan meningkatkan kontrak dengan orang lain
karena komunikasi dilakukan oleh seseorang, setiap hari orang seringkali salah berpikir
bahwa komunikasi adalah sesuatu yang mudah. Namun sebenarnya adalah proses yang
kompleks yang melibatkan tingkah laku dan hubungan serta memungkinkan individu
berasosiasi dengan orang lain dan dengan lingkungan sekitarnya. Hal itu merupakan peristiwa
yang terus berlangsung secara dinamis yang maknanya dipacu dan ditransmisikan. Untuk
memperbaiki interpretasi pasien terhadap pesan, perawat harus tidak terburu-buru dan
mengurangi kebisingan dan distraksi. Kalimat yang jelas dan mudah dimengerti dipakai
untuk menyampaikan pesan karena arti suatu kata sering kali telah lupa atau ada kesulitan
dalam mengorganisasi dan mengekspresikan pikiran. Instruksi yang berurutan dan sederhana
dapat dipakai untuk mengingatkan pasien dan sering sangat membantu. (Bruner & Suddart,
2001 : 188).
Komunikasi adalah proses interpersonal yang melibatkan perubahan verbal dan non
verbal dari informasi dan ide. Komunikasi mengacu tidak hanya pada isi tetapi juga pada
perasaan dan emosi dimana individu menyampaikan hubungan ( Potter-Perry, 301 ).
Komunikasi pada lansia membutuhkan perhatian khusus. Perawat harus waspada terhadap
perubahan fisik, psikologi, emosi, dan sosial yang memperngaruhi pola komunikasi.
Perubahan yang berhubungan dengan umur dalam sistem auditoris dapat mengakibatkan
kerusakan pada pendengaran. Perubahan pada telinga bagian dalam dan telinga mengalangi
proses pendengaran pada lansia sehingga tidak toleran teradap suara. Berdasarkan hal – hal
tersebut kami menulis makalah ini yang berjudul “ komunikasi terapiutik pada lansia “.
1.2. Rumusan Masalah
1. Apa definisi komunikasi terapeutik ?
2. Apa manfaat komunikasi terapeutik ?
3. Bagaimana karakteristik lansia ?
4. Bagaimana cara pendekatan perawatan lansia dalam konteks komunikasi ?
5. Bagaimana teknik komunikasi pada lansia ?
6. Apa saja hambatan berkomunikasi dengan lansia ?
7. Bagaimana teknik perawatan lansia pada reaksi penolakan ?
8. Apa saja hal-hal yang perlu diperhatikan saat berinteraksi dengan lansia ?
1.3. Tujuan
1. Untuk mengetahui definisi komunikasi terapeutik ?
2. Untuk mengetahui manfaat komunikasi terapeutik ?
3. Untuk mengetahui karakteristik lansia ?
4. Untuk mengetahui cara pendekatan perawatan lansia dalam konteks komunikasi ?
5. Untuk mengetahui teknik komunikasi pada lansia ?
6. Untuk mengetahui hambatan berkomunikasi dengan lansia ?
7. Untuk mengetahui teknik perawatan lansia pada reaksi penolakan ?
8. Untuk mengetahui hal-hal yang perlu diperhatikan saat berinteraksi dengan lansia ?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Komunikasi Terapiutik
Indrawati (2003) mengemukakan bahwa komunikasi terapeutik adalah komunikasi
yang direncanakan secara sadar, bertujuan dan kegiatannya dipusatkan untuk kesembuhan
pasien.
Komunikasi terapeutik adalah hubungan kerja sama yang ditandai dengan tukar
menukar perilaku, perasaan, fikiran dan pengalaman dalam membina hubungan intim
terapeutik (Stuart dan Sundeen).
Komunikasi dengan lansia harus memperhatikan faktor fisik, psikologi, (lingkungan
dalam situasi individu harus mengaplikasikan ketrampilan komunikasi yang tepat. disamping
itu juga memerlukan pemikiran penuh serta memperhatikan waktu yang tepat.
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Dari pemaparan diatas, dapat kami tarik kesimpulan :
1. Komunikasi terapeutik adalah hubungan kerja sama yang ditandai dengan tukar menukar
perilaku, perasaan, fikiran dan pengalaman dalam membina hubungan intim terapeutik
(Stuart dan Sundeen).
2. Manfaat komunikasi terapeutik adalah untuk mendorong dan menganjurkan kerja sama
antara perawat dan pasien melalui hubungan perawat dan pasien
3. Berdasarkan usianya, organisasi kesehatan dunia (WHO) mengelompokan usia lanjut
menjadi empat macam meliputi:usia pertengahan, usia lanjut, usia lanjut usia dan usia tua.
4. Pendekatan perawatan lansia dalam konteks komunikasi ada pendekatan fisik, psikologis,
social, dan spiritual
5. Teknik komunikasi pada lansia terdiri dari : teknik asertif, responsif, focus, supportif ,
klarifikasi, sabar dan ikhlas.
6. Hambatan berkomunkasi dengan lansia : agresif, non-asertif.
7. Teknik perawatan lansia pada reaksi penolakan : kenali segera reaksi penolakan klien,
orientasikan klien lansia pada pelaksanan perawatan diri sendiri, libatkan keluarga atau pihak
keluarga terdekat dengan tepat.
8. Hal-hal yang perlu diperhatikan saat berinteraksi pada lansia: menunjukkan rasa hormat
hindari menggunakan istilah yang merendahkan pasien, pertahankan kontak mata dengan
pasien dan lainnya
KOMUNIKASI TERAPUETIK PADA LANSIA
December 12, 2012
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Komunikasi pada lansia tidaklah begitu sulit dibutuhkan teknik-teknik tersendiri untuk
melakukan komunikasi pada lansia banyak hal-hal yang harus diperhatikan diantaranya :
1. Teknik komunikasi dengan penggunaan bahasa yang baik.
2. Tehknik untuk wawancara.
3. Kendala dan hambatan dalam komunikasi.
4. Mood dan privasi
5. Aspek-aspek yang harus diperhatikan.
B. Rekomendasi
Berdasarkan urian diatas, penulis menganjurkan beberapa rekomendasi sebagai bahan
pertimbangan bagi dosen
a) Untuk dosen
Untuk pihak dosen penulis menyarankan agar dosen mampu melakukan bimbingan kepada
mahasiswa-mahasiswi tentang teknik komunikasi pada lansia.
Komunikasi Terapeutik Pada Lansia
Keperawatan adalah “Suatu bentuk pelayanan kesehatan kepada masyarakat yang didasarkan pada
ilmu dan kiat keperawatan, berbentuk pelayanan bio-psiko-sosio-kultural dan spiritual yang
didasarkan pada pencapaian kebutuhan dasar manusia”. Asuhan keperawatan yang diberikan
kepada klien bersifat komprehensif, yang ditujukan kepada individu, kelompok, keluarga, dan
masyarakat, baik dalam keadaan sehat atau sakit yang mencakup seluruh proses kehidupan
manusia.
Gerontologi berasal dari kata geros yang berarti lanjut usia dan logos berarti ilmu. Jadi gerontologi
adalah ilmu yang mempelajari tentang lanjut usia dengan segala permasalahannya. Sedangkan
gerontik adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan lanjut usia dengan segala
permasalahannya, baik dalam keadaan sehat maupun sakit.
Komunikasi dalam keperawatan gerontik adalah komunikasi yang diaplikasikan dalam praktik asuhan
keperawatan lansia. Komunikasi dengan lansia adalah suatu proses penyampaian pesan/gagasan
dari perawat atau pemberi asuhan kepada lansia dan diperoleh tanggapan dari lansia, sehingga
diperoleh kesepakatan bersama tentang isi pesan komunikasi. Tercapainya komunikasi berupa pesan
yang disampaikan oleh komunikator (perawat) sama dengan pesan yang diterima oleh komunikan
(lansia).
Komunikasi yang efektif dapat menimbulkan pengertian, kesenangan, pengaruh pada sikap,
hubungan yang makin baik, dan tindakan. Sementara ada yang berpendapat bahwa komunikasi
adalah pertukaran pikiran atau keterangan dalam rangka menciptakan rasa saling mengerti dan
saling percaya demi terwujudnya hubungan yang baik antara seseorang dengan orang lain.
Komunikasi adalah pertukaran fakta, gagasan, opini emosi antara dua orang atau lebih.
Ciri hubungan atau komunikasi terapeutik adalah berpusat pada klien lansia; menghargai klien lansia
sebagai individu yang unik dan bebas; meningkatkan kemampuan klien lansia untuk berpartisipasi
dengan aktif dalam mengambil keputusan mengenai pengobatan dan perawatannya; menghargai
keluarga, kebudayaan, kepercayaan, nilai-nilai hidup dan asasi dari klien lansia; menghargai privasi
dan kerahasiaan hubungan pemberi asuhan atau perawat dengan klien lansia; dan saling percaya,
menghargai dan saling menerima.
Hubungan membantu ini akan menjadi lebih efektif apabila ada rasa saling percaya dan saling
menerima antara perawat atau pemberi asuhan dan klien lansia. Selain itu perawat sebagai pemberi
asuhan dan harus menunjukkan rasa peduli pada kliennya (lansia) dan mau membatunya.
Seorang perawat atau pemberi asuhan yang mendengarkan klien lansia tidak saja memakai
telinganya tetapi seluruh eksistensi dirinya. Perawat atau pemberi asuhan memfokuskan seluruh
perhatiannya tidak hanya pada apa yang disampaikan lansia, tetapi bagaimana lansia itu
menyampaikannya. Melalui sikap tubuh dari perawat atau pemberi asuhan, lansia dapat merasakan
apakah perawat atau pemberi asuhan siap dan berminat untuk mendengarnya.
1. Kesiapan mendengar
Perawat atau pemberi asuhan harus dapat menunjukkan kesiapan mendengarkan klien lansia.
Kesiapan ini ditunjukkan dengan:
a) Duduk tegak, rileks, dan menghadap lansia secara muka dengan muka. Posisi ini menunjukkan “
Saya siap dan mau mendengarkan”.
b) Mempertahankan kontak mata. Sebaiknya mata perawat sejajar dengan mata klien lansia,
tempat duduk perawat tidak lebih tinggi dari tempat duduk lansia. Kontak mata harus spontan dan
wajar.
c) Tubuh perawat sedikit membungkuk atau sikap menghormat ke arah lansia. Biasanya secara
spontan tubuh seseorang langsung bergerak sedikit mendekat pada lansia yang sedang bicara bila ia
ingin mendengarkan dengan baik apa yang disampaikannya.
d) Mempertahankan sikap tubuh yang terbuka. Hindari duduk dengan kedua kaki atau tangan
bersilang, karena semacam menunjukkan sikap defensive. Posisi tubuh perawat harus
menunjukkanbahwa dirinya bersedia menerima dan membantu, seperti pintu yang terbuka yang
mengundang orang untuk masuk tanpa mengetuk.
e) Mempertahankan posisi tubuh yang rileks. Memang sulit untuk mempertahankan posisi tubuh
yang rileks penuh karena mendengarkan dengan seluruh “dirinya” perawat sudah mengeluarkan
banyak tenaga. Akan tetapi, suara tegang dapat dicegah dengan memberi sedikit waktu sebelum
perawat memberi tanggapannya, member waktu untuk berdiam sejenak dan menggunakan isyarat
yang tepat dan membantu.
Hubungan terapeutik memiliki tahapan yang meliputi tahap pra-interaksi, pengenalan, tahap kerja
dan terminal.
a) Tahap I ( pra-interaksi)
Pada tahap ini perawat sudah memiliki beberapa informasi tentang klien lansia, seperti nama,
alamat, umur, jenis kelamin, riwayat kesehatan, dan lain-lain. Pertemuan pertama dengan lansia
dapat membuat cemas perawat yang belum mempunyai pengalaman. Ada baiknya apabila perawat
menyadari perasaan ini.
b) Tahap II (pengenalan)
Perawat dan klien lansia saling mengenal dan mencoba menumbuhkan rasa percaya satu sama lain.
Pada tahap pertemuan ini perawat mengusahakan untuk membuat klien lansia merasa nyaman
dengan beberapa interaksi sosial seperti membicarakan tentang cuaca. Ada kemungkinan perawat
melihat sikap penolakan dari lansia. Hal ini mungkin karena lansia belum siap untuk mengungkapkan
dan menghadapi masalahnya, ada rasa malu untuk mengakui bahwa lansia memerlukan bantuan,
tidak siap mengubah pola tingkah laku yang menyebabkan masalah kesehatannya, dan lain
sebagainya.
Kadang-kadang klien lansia juga ingin menguji ketulusan perawat yang membantunya. Di sini
perawat perlu menunjukkan sikap ketulusan dan kepedulian. Sebenarnya sikap perawat sangat
menentukan apakah hubungannya dengan klien lansia terapeutis atau tidak.
Tahap pengenalan ini mempunyai tujuan menumbuhkan rasa percaya klien lansia kepada perawat :
a. Lansia dapat mellihat perawat sebagai seorang professional yang mampu membantunya.
b. Lansia dapat melihat perawat sebagai individu yang jujur, terbuka, dan peduli lansia.
c. Lansia percaya bahwa perawat akan menghargai kerahasiaan hubungan mereka, nilai,
keyakinan, sosio-kulutralnya.
Pada tahap ini perawat dank lien lansia menemukan, menghargai dan menerima keunikannya
masing-masing. Rasa peduli dan empati juga akan timbul. Perawat membantu klien lansia melihat
secara mendalam perasaannya agar lansia dapat memperoleh “insight” tentang masalahnya.
Dengan memeriksa secara mendalam tentang perasaannya, komunikasi dapat diperlancar apabila
perawat menunjukkan:
1. Empati
Perawat akan mampu berempati dengan klien lansia bila mereka “merasakan” apa yang dialami
lansia. Semua teknik komunikasi yang dipakai akan terjadi kaku, tidak spontan dan
tidak genume, tetapi “ sharing” tentang kesulitan klien lansia akan membuat perawat menjadi
spontan dan tulus meresponnya dan sikap ini dapat dirasakan oleh lansia.
2. Menghargai
Perawat perlu memiliki keyakinan tentang martabat setiap manusia, bahwa manusia pada dasarnya
adalah baik,ia adalah ciptaan Tuhan, dan cenderung menjadi manusia patut dihargai dan dicintai
tanpa memperhatikan perbuatannya melainkan dirinya. Keyakinan ini akan membantu perawat
menerima, mencintai dan menghargai lansia tanpa syarat.
3. Genuiness
b. Bersikap spontan
c. Tidak defensif, menerima, dan menanggapi kritikan dari lansia tanpa membalas atau mencari
alasan untuk membernarkan diri.
d. Konsisten dengan ekspresi wajah, nada suara, dan sikap tubuh sesuai dengan apa yang
dirasakannya.
4. Konkret/ specific
Perawat perlu terampil dalam member pertanyaan terbuka. Melalui pertanyaan terbuka, perawat
dapat membantu lansia yang cenderung berbicara secara umum menjadi lebih konkret dan spesifik.
5. Konfrontasi
Konfirmasi bila perlu dipakai dengan hati-hati dan penuh pengertoan. Konfrontasi akan lebih mudah
diterima lansia bila ia merasa bahwa ia dihargai dan diterima oleh perawat. Dengan konfrontasi,
perawat menunjukkan kepada lansia ketidakcocokkan antara pikiran, kata-kata atau perbuatannya.
Ketidakcocokan ini akan menghambat pemeriksaaan dan penyadaran diri. Penyangkalan terhadap
perasaan dapat membuat lansia tidak mampu mengatur tingkah lakunya.
d) Tahap IV (terminal)
Tahap ini dapat disertai bermacam-macam perasaan. Mungkin lansia merasa kehilangan sesuatu,
measa bimbang tentang kemampuannya tanpa bantuan dari perawat, merasa ditinggalkan, dan lain
sebagainya. Pada tahap ini, perawat perlu mengungkapkan kesediannya membantu bila diperlukan
agar klien lansia merasa aman.
kesan pertama ketika perawat mau mendengarkan keluhan klien dengan seksama adalah perawat
akan memperhatikan klien. Dengan demikian, kepercayaan klien terhadap kapasitas dan
kemampuan perawat akan terjaga. Mendengar keluhan klien dengan penuh perhatian akan
menciptakan kondisi keterlibatan emosional yang maksimal dalam situasi hubungan interpersonal
antara klien dan perawat.
Klien yang didengarkan dalam pembicaraan merasa akan dihargai apabila perawat menganggap apa
yang dikatakan oleh klien merupakan hal yang sangat penting sehingga menunculkan kesa “anda
bernilai untuk saya dan saya tertarik pada anda”. Perangkat lain yang tidak kalah pentingnya dalam
pencapaian keterlibatan maksimal dalam proses mendengarkan adalah dengan menunjukkan
merespons klien dengan kode nonverbal melalui kontak mata, menganggukkan kepala, senyum saat
yang benar dan merespons dengan kode verbal yang minimal, misalnya “Oooooo……., mmhumm,
ya…,”. Berikut adalah beberapa sikap untuk menunjukkan cara mendengarkan penuh perhatian.
2. Mendengarkan dengan penuh perhatian merupakan upaya untuk ,mengerti seluruh pesan
verbal dan nonverbal yang sedang dikomunikasikan.
3. Keterampilan mendengarkan dengan penuh perhatian adalah dengan memandang klien ketika
sedang bicara.
5. Sikap tubuh yang menunjukkan perhatian dengan tidak menyilangkan kaki atau tangan.
7. Anggukkan kepala jika klien membicarakan hal penting atau memerlukan umpan balik.
8. Condongkan tubuh kearah lawan bicara, bila perlu duduk atau minimal sejajar dengan klien.
9. Meninggalkan emosi dan perasaan kita dengan cara menyisihkan perhatian, ketakutan, atau
masalah yang sedang kita hadapi.
10. Mendengarkan dan memperhatikan intonasi kata yamg diucapkan dan menggambarkan sesuatu
yang berlebihan.
11. Memperhatikan dan mendengarkan apa-apa yang tidak terucap oleh klien yang
menggambarkan sesuatu yang sulit dan menyakitkan klien.
Menunjukkan Penerimaan
Menerima tidak berarti menyetujui,. Menerima pasti menyetujui, sedangkan menyetujui belum
tentu menerima. Perilaku apa yamg dilakukan klien dan keluhan apa saja yang disampaikan klien
merupakan masukan yang berharga bagi perawat, walaupun kadang apa yang diucapkan tidak sesuai
dengan penyakit yang diderita atau tanda gejala masalah yang dihadapi klien. Perawat tidak perlu
menampakkan penolakan maupun keraguan tehadap apa yang disampaikan klien yang membuat
klien merasa tidak bebas dalam mengutarakannya. Unsure yang harus dihindari dalam menunjukkan
penerimaan adalah mengubah pikiran klien. Sebaiknya tidak ada unsur menilai, berdebat, apalagi
mengkritik. Apa yang disampaika klien merupakan suatu berharga bagi perawat. Bila perlu perawat
selalu mendukung klien dalam mengutarakan keluhannya dengan menunjukkan perilaku
ketertarikan.
Menurut Nurjannah, I (2001), penerimaan adalah mendukung dan menerima informasi dengan
tingkah laku yang menunjukkan ketertarikan dan tidak menilai. Dengan sikapn tersebut perawat
mampu menempatkan diri pada situasi klien, perawat mengerti perasaan yang dihadapi klien.
Perawat sebaiknya menghindarkan ekspresi wajah dan gerakan tubuh yang menunjukkan tidak
setuju, seperti mengerutkan kening atau menggelengkan kepala seakan tidak percaya. Begitu juga
dengan kata-kata “ah masak”, “apa benar”, “yang benar saja”, atau kata-kata lain yang menimbulkan
kesan keraguan atau ketidakpercayaan. Berikut ini menunjukkan sikap perawat yang menunjukkan
penerimaan.
Tujuan perawat bertanya dengan pertanyaan terbuka (broad opening) adalah untuk mendapatkan
informasi yang spesifik mengenai kondisi riil dari klien dengan menggali penyebab klien mencari
pertolongan atau penyebab klien datang ke tempat pelayanan kesehatan.
Petanyaan terbuka memberikan peluang maupun kesempatan klien untuk menyusun dan
mengorganisir pikirannya dalam mengungkapkan keluhannya sesuai dengan apa yang dirasakan.
Dalam pertanyaan terbuka, kesan klien dijadikan sebagai subjek dan bukan objek, artinya yang
mendominasi interaksi justru dari klien dan bukan sebaliknya. Mari kita bandingkan kedua
pertanyaan ini:
a. “ ada apa di rumah sehingga ibu membawa anak ibu ke UGD?”
Pada pertanyaan poin (a) akan kita dapatkan lebih dari satu kalimat atau satu kata, karena
pertanyaan itu sifatnya [ertanyaan terbuka yang memberikan peluang kepada ibu untuk
menceritakan kejadian-kejadian yang dialami oleh anaknya selama di rumah. Beda dengan
pertanmyaan (b) yang mempersempit gerak dan imajinasi ibu dalam mengungkapkan apa yang
dialami anaknya sewaktu dirumah. Mungkin ibu akan menjawab dengan jawaban ya atau tidak saja
(yes and no question) tanpa mampu mengembangkan tanda dan gejala yang ada pada anaknya.
Kesannyab perawat yang mendominasi interaksi dan jawaban yang dihasilkan kemungkinan banyak
yang bias karena tampak sekali perawat mendikte klien.
Untuk pertanyaan dengan jawaban yes and no question perawat dituntut untuk mampu mendalami
topik yang akan dibicarakan, itupun hasinya akan samar karena dalam pengkajian keperawatan yang
paling baik adalah pengkajian focus untuk mendapatkan masalah utama. Perawat harus menghindari
pertanyaan yang bersifat Innapproppriate Quantity Question maupun Innapproppriate Quality
Question. Ciri-ciri Innapproppriate Quantity Question adalah sebagai berikut.
Pertanyaan yang melebar melebar menjadikan klien enggan menanggapi, dan itu berisiko terhadap
hubungan perawat-klien. Harus disadari oleh perawat bahwa data yang digali adalah data yang
berhubungan dengan keluhann klien saja (data primer), sedangkan data pendamping (data
sekunder) bisa disapatkan dengan cara lain, yaitu study documenter, observasi, maupun
pemeriksaan fisik. Contonya: “bapak sakit apa?, kapan sakitnya? Di mana sakitnya?, diantar oleh
siapa?, pakai kendaraan apa?, dan sebagainya. Sedangkan ciri-ciri pertanyaan Innapproppriate
Quality Question adalah sebagai berikut.
Contoh:
K: “aku ini sakit, kalau tak sakit man mungkin ke rumah sakit?”
Pertanyaan tersebut menambah rasa kecemasan klien karena perawat hanya memperhatikan
kecemasan yang dialami akibat masalah yang dihadapinya.
Mengulang Ucapan Klien dengan Menggunakan Kata-kata Sendiri
Perawat harus berhati-hati ketika menggunakan metode ini, karena pengertian bisa rancu jika
pengucapan ulang mempunyai arti yang berbeda. Untuk itu perlu adanya klarifikasi, validasi,
maupun pengulangan kata yang disampaikan sesuai dengan maksud dan tujuan. Apabila tidak ada
klarifikasi maupun validasi kata/pesan kemungkinan pesan yang disampaikan menjadi bias karena
banyaknya noice disekelilingnya. Menurut Boyd & Nihart dalam nurjannah,I (2001), teknik ini
menjadi tidak terapeutik bila perawat kurang melakukan validasi terhadap interpretasi pesan,
menilai, dan meyakinkan serta bertahan.
Contoh:
Klarifikasi
Klarifkasi identik dengan validasi yaitu menanyakan kepada klien terhadap apa yang belum
dimengerti agar pesan yang disampaikan menjadi lebih jelas. Menurut Nurjannah, I (2001), klarifikasi
dilakukan apabila pesan yang disampaikan oleh klien belum jelas bagi perawat dan perawat
mencoba memahami situasi yang digambarkan klien. Namun demikian, agar pesan dapat sampai
dengan benar, perawat perlu memberikan contoh yang konkret dan mudah dimengerti oleh klien
dengan memperhatikan pokok pembicaraan. Demonstrasi terhadap apa yang telah dijelaskan
merupakan bentuk klarifikasi terhadap apa yang telah diucapkan.
Contoh:
- “apa yang anda katakana tadi adalah anda tidak dapat mengikuti apa yang saya ucapkan.
Memfokuskan
Metode ini dilakukan dengan tujuan membatasi bahan pembicaraan sehingga lebih spesifik dan
dimengerti. Materi yang akan disampaikan ataupubn yang akan didiskusikan mengerucut pada salah
satu masalah saja, yang penting adalah konsisten, dan kontinu atau berkesinambungan, serta tidak
menyimpang dari topik pembicaraan dan tujuan komunikasi. Menurut Cangara, H (2004)
prinsip continuity dan consistency dalam proses interaksi mengandung arti bahwa pesan yang
disampaikan bersifat konsisten dan berkesinambungan dan tidak menyimpang dari topik dan tujuan
komunikasi yang telah ditetapkan. Dalam talk show yang diadakan oleh salah satu stasiun televise,
memperlihatkan bagaimana seorang Prof. Yusril Ihsa Mahendra yang marah besar ketika
pembicaraan sedang serius, tetapi mahasiswa mengkritik kebiasaannya yang suka merokok dan
beliau marah besar karenapertanyaan atau pernyataannya melenceng dari topik.
Suara yang terdapat disekeliling kita sering menjadi penyebab pembicaraan tidak terfokus karena
terjadi pemutusan terhadap alur pembicaraan. Perawat tidak seharusnya memutus pembicaraan
klien ketika menyampaikan masalah yang penting, kecuali pembicaraan berlanjut tanpa informasi
yang baru. Kalau menyimpang perlu ada konsep kembali ke laptop seperti apa yang dilakukan Tukul
Arwana di televise. Contoh: “ hal ini nampaknya penting, nanti kita bicarakan lebih dalam lagi.”
Perawat perlu memberiakn umpan balik kepada klien dengan menyatakan hasil pengamatannya
sehingga dapat diketahui apakah pesan diterima dengan benar. Penyampaian hasil pengamatan
perawat sering membuat klien berkomunikasi lebih jelas tanpa harus bertambah memfokuskan atau
mengklarifikasi pesan.
Contoh:
Ini berarti dalam menyampaikan hasil observasi tidak serta merta menyampaikan hasil yang didapat
saat melakukan observasi. Menyampaikan hasil observasi diharapkan agar klien menyadari atas
perilaku yang merusak maupun perilaku yang tidak produktif sehingga menyampaikan hasil
observasi tidak bertujuan untuk memberikan penilaian, tetapi semata-mata mengharapkan agar
perilaku yang diperbuat itu disadari sebagai perilaku yang tidak menguntungkan dalam
kelangsungan proses penyembuhan penyakit dengan memperhatikan perasaan dan konsep dirinya.
Menawarkan Informasi
Tambahan informasi ini memungkinkan penghayatan yang lebih baik bagi klien terhadap
keadaannya. Memberikan tambahan informasi merupakan pendidikan kesehatan bagi klien. Selain
itu, tindakan ini akan menambah ras percaya klien terhadap perawat, Karena perawat terkesan
menguasai masalah yang dihadapi klien. Sebaliknya, jika perawat menahan informasi saat klien
membutuhkan, akan membuat klien tidak percaya kepada perawat. Untuk itu perawat harus mampu
menguasai ilmi pengetahuan yang memadai tentang masalah yang dihadapi kliebn sebagai bekal
dalam memberikan pelayanan keperawatan. Apabila ada informasi yang ditutupi oleh dokter,
perawat perlu mengklarifikasi alasannya. Perawat tidak boleh memberikan nasihat kepada klien
ketika memberikan informasi, tetapi memfasilitasi klien untuk membuat keputusan.
Diam
Diam yang dilakukan perawat terhadap klien adalah bertujuan untuk menunggu respons klien untuk
mengungkapkan perasaannya. Teknik komunikasi yang dilakukan perawat dengan tidak bicara
apapun (diam) merupakan teknik komunikasi yang memberikan kesempatan kepadan klien untuk
mengorganisir dan menyusun pikiran atau ide sebelum diungkapkan kepada perawat. Hal ini
memungkinkan klien mengekspresikan ide dan pikirannya dengan detail dan sistematis.
Perilaku mendiamkan tidak dibenarkan dalam konteks komunikasi terapeutik. Perawat mendiamkan
klien disebabkan perawat jengkel dengan klien yang terlalu mengkritik, crewet, rewel, dan tidak
kooperatif. Dalam konteks komunikasi, diam yang dilakukan oleh seorang mengandung banyak arti
dan persepsi. Menurut Nurjannah, I (2001), diam diartikan dan dipersepsikan antara lain sebgai
berikut.
4. Bosan.
Meringkas
Meringkas adalah pengulangan ide utama yang telah dikomunikasikan secara singkat dalam rangka
meningkatkan pemahaman. Meringkas berarti mengidentifikasi poin-poin penting selama diskusi
ataupun pembiacaraan sehingga didalamnya sekaligus terjadi proses klarifikasi atas ide dalam
pkirannya. Meringkas bisa diartikan sebagai proses abstraksisasi di mana terdapat kesimpulan atas
diskusi maupun pembicaraan yang telah dilakukan sehingga ada kesamaan ide dalam pikiran.
Meringkas pembicaraan membantu perawat mengulang aspek penting dalam interaksinya sehingga
dapat melanjutkan pembicaraan dengan topic yang berkaitan. Contoh: “Selama beberapa jam, Anda
dan saya telah membicarakan….”
Memberikan penguatan
Penguatan (reinforcement) positif atas hal-hal yang mampu dilakukan klien dengan baik dan benar
merupakan bentuk pemberian penghargaan. Upaya yang dilakukan dalam pemberian penguatan
positif bertujuan untuk meningkatkan motivasi kepada klien untuk berbuat yang lebih baik. Jadi bisa
dikatakan bahwa penguatan positif merupakan motif atau bentuk dorongan kepada klien dengan
cara membanggakan diri klien agar mampu memacu semangat dalam penerimaan diri untuk berbuat
dan berperilaku yang lebih baik lagi. Demikian juga dengan memberi salam pada klien dengan
menyebutkan namanya, menunjukkan kesadaran tentang perubahan yang terjadi pada diri klien,
menghargai klien sebagai manusia seutuhnya yang mempunyai hak dan tanggung jawab atas dirinya
sendiri sebagai individu merupakan bentuk dari pemberian penguatan positif yang mampu
menggugah semangat klien.
Penghargaan dalam pelayanan keperawatan tidak berbentuk materi, akan tetapi berbentuk
dorongan psikologis atau inmaterial untuk memacu lebih baik lagi. Penghargaan tersebut jangan
sampai menjadi beban bagi klien, dalam arti kata jangan sampai klien berusaha keras dan melakukan
segalanya demi mendapatkan pujian atau persetujuan atas perbuatannya. Selain itu, tidak juga
dimaksudkan untuk menyatakan bahwa ini “bagus” dan yang sebaliknya “buruk”. Perlu mengatakan
“Apabila klien mencapai sesuatu yang nyata, maka perawat dapat mengatakan demikian”.
Contoh :
- “Saya hari ini tampak senang sekali melihat Ibu sudah mulai latihan gerak.”
Dalam ajaran Islam, memberi salam dan penghargaan menggambarkan akhlak terpuji karena berarti
mendoakn orang lain memperoleh rahmat dari Allah SWT. Salam menunjukkan perawat peduli
terhadap orang lain dengan bersikap ramah dan akrab.
Menawarkan Diri
Klien mungkin belum siap untuk berkomunikasi secara verbal dengan orang lain atau klien tidak
mampu untuk membuat dirinya dimengerti. Menawarkan diri merupakan kegiatan untuk
memberikan respons agar seseorang menyadari perilakunya yang meugikan baik dirinya sendiri
maupun orang lain tanpa ada rasa bermusuhan. Seringkali perawat hanya menawarkan
kehadirannya, rasa tertarik, teknik komunikasi ini harus dilakukan tanpa pamrih.
Berikan kesempatan pada klien untuk berinisiatif dalam memilih topik pembicaraan. Biarkan klien
yang merasa ragu-ragu dan tidak pasti tentang peranannya dalam interaksi ini. Perawat dapat
menstimulasinya untuk mengambil inisiatif dan merasakan bahwa ia diharapkan untuk membuka
pembicaraan.
Contoh :
Teknik ini menganjurkan klien untuk mengarahkan hampir seluruh pembicaraan yang
mengindikasikan bahwa klien sedang mengikuti apa yang sedang dibicarakan dan tertarik dengan
apa yang akan dibicarakan selanjutnya. Perawat lebih berusaha untuk mnafsirkan daripada
mengarahkan diskusi/pembicaraan.
Contoh :
Menempatkan Kejadian secara Teratur akan Menolong Perawat dan Klien untuk Melihatnya dalam
suatu Perspektif
Kelanjutan dari suatu kejadian secara teratur akan menolong perawat dan klien untuk ,elihatnya
dalam suatu perspektif. Kelanjutan dari suatu kejadian secara teratur akan menolong perawat dan
klien untuk melihat kejadian berikutnya sebagai akibat kejadian yang pertama. Perawat akan dapat
menentukan pola kesukaran interpersonal dan memberikan data tentang pengalaman yang
memuaskan dan berarti bagi klien dalam memenuhi kebutuhannya.
Contoh:
Contoh :
Refleksi
Refleksi menganjurkan klien untuk mengemukakan dan menerima ide serta perasaannya sebagai
bagian dari dirinya sendiri. Apabila klien bertanya apa yang harus ia pikirkan, kerjakan, atau rasakan,
maka perawat dapat menjawab: “Bagaimana menurutmu?” atau “Bagaimana perasaanmu?”.
Dengan mengembalikan pikiran dan perasaannya itu kepada dirinya sendiri, klien akan berusaha
untuk menilai apa yang sedang ia pikirkan, justru dia sendiri yang menilai dan bukan orang lain.
Menurut Stuart & Sundeen (1995), teknik refleksi digunakan untuk mengembalikan ide, perasaan
dan pertanyaan kepada klien. Sedangkan, menurut Schultz & Videbeck (1998), refleksi merupakan
tindakan mengembalikan pikiran dan perasaan klien. Terkadang klien belum mampu memutuskan
apa yang telah ada dalam pikirannya, tetapi pikiran dan perasaan itu mengganggu sehingga klien
tidak mampu mengambil keputusan. Hal itu terjadi karena kebimbangan atau keraguan dalam diri
klien. Keraguan tersebut menimbulkan sifat ambivalensi sehingga perlu dukungan orang lain dalam
mengambil keputusan.
Teknik refleksi yang dilakukan perawat bukan untuk menilai pikiran dan perasaan klien, akan tetapi
perawat mengembalikan lagi pikiran dan perasaan yang merupakan bagian dari dirinya sendiri
sehingga klien mencoba untuk menilai lagi pikiran dan perasaan yang telah ada sebagai uapaya
untuk mengevaluasi dan menimbang-nimbang keputusan yang akan diambil. Dengan demikian
perawat mengindikasikan bahwa pendapat dan pikiran klien adalah berharga dan klien mempunyai
hak untuk mampu melakukan hal tersebut sehingga ia pun berpikir bahwa dirinya adalah manusia
yang mempunyai kapasitas dan kemampuan sebagai individu yang terintegrasi dan bukan sebagai
bagian dari orang lain.
Contoh :
K : “Suami saya sudah lama tidak datang mengunjungi saya bahkan tidak menelepon saya, kalau
dia datang saya tidak ingin berbicara dengannya.”
Bagaimana sikap penyampaian pesan dalam berkomunikasi dengan lansia. Kemampuan komunikasi
pada lansia dapat mengalami penurunan, akibat penurunan fungsi berbagai sistem organ, seperti
penglihatan, pendengaran, wicara, persepsi dan lain-lain. Semua ini menyebabkan penurunan
kemampuan lansia untuk menangkap pesan atau informasi. Penurunan kemampuan melakukan
komunikasi berlangsung bertahap dan bergantung pada seberapa jauh gangguan indera dan
gangguan otak yang dialami lansia.
Gangguan penglihatan pada lansia dapat terjadi baik karena kerusakan organ misalnya kornea, lensa
mata, kekeruhan lensa mata (katarak), atau kerusakan saraf penghantar impuls menuju otak. Semua
ini mengakibatkan penurunan visus hingga dapat menyebabkan kebutaan, baik parsial maupun total.
Oleh karena itu, komunikasi yang dilakukan perawat atau pemberi asuhan harus mengoptimalkan
fungsi pendengaran dan sentuhan karena fungsi penglihatan sedapat mungkin harus diganti oleh
informasi yang dapat ditransfer melalui indera yang lain. Ketika melakukan orientasi tempat tidur,
ruan tamu, ruang makan, ruang perawatan, ruang rekreasi, kamar mandi , dan lain-lain, klien lansia
harus mendapatkan keterangan yang memvisualisasi kondisi tempat tersebut secara lisan.
Misalnya,menerangkan letak meja dan kursi makan, menerangkan berapa langkah posisi tempat
tidur dari pintu, letak kamar amndi dan sebagainya.
Berikut penggunaan teknik komunikasi yang perlu diperhatikan selama berkomunikasi dengan lansia
yang mengalami gangguan penglihatan :
a. Perawat atau pemberi asuhan sedapat mungkin mengambil posisi yang dapat dilihat oleh klien
lansia bila ia mengalami buta parsial atau memberi tahu secara verbal keberadaan/kehadirannya.
b. Perawat atau pemberi asuhan menyebutkan identitasnya dan menyebutkan nama serta
perannya.
c. Perawat atau pemberi asuhan berbicara dengan menggunakan nadan suara normal karena
kondisi lansia tidak memungkinkannya menerima pesan non-verbal secara visual.
d. Nada suara perawat atau pemberi asuhan memegang peranan besar dan bermakna bagi lansia.
e. Jelaskan alasan perawat dan pemberi asuhan menyentuh sebelum melakukan sentuhan pada
lansia.
f. Ketika perawat dan pemberi asuhan akan meninggalkan ruangan atau hendak memutus
komunikasi atau pembicaraan, informasikan kepada lansia.
h. Orientasikan lansia pada lingkungannya bila lansia dipindahkan ke lingkungan yang asing
baginya.
Gangguan pendengaran pada lansia dapat terjadi berupa penurunan pendengaran hingga tuli (tuli
lansia). Bentuk ketulian yang selama ini dikenal ialah :
a. Tuli perspektif yaitu tuli yang terjadi akibat kerusakan sistem saraf
b. Tuli konduktif yaitu tuli yang terjadi akibat kerusakan struktur penghantar rangsang suara.
Pada kien lansia dengan gangguan pendengaran, media komunikasi yang paling sering digunakan
adalah media visual. Klien lansia menangkap pesan bukan berupa suara yang dikeluarkan
perawat/orang lain, tetapi dengan mempelajari gerak bibir lawan bicaranya. Kondisi visual menjadi
sangat penting bagi klien lansia ini sehingga dalam melakukan komunikasi, upayakan agar sikap dan
gerakan perawat dapat ditangkap oleh indera visualnya.
Berikut penggunaan komunikasi yang dapat digunakan klien lansia dengan gangguan pendengaran :
a. Orientasikan kehadiran perawat dnegan menyentuh lansia tau memposisikan diri didepannya.
b. Usahakan mengg8unakan bahsa yang sederhana dan berbicara dengan perlahan untuk
memudahkan lansia membaca gerak bibir perawat.
c. Usahakan berbicara dengan posisi tepat di depan lansia dan pertahankan sikap tubuh serta
mimik wajah yang lazim.
d. Jangan melakukan pembicaraan ketika perawat sedang mengunyah sesuatu (mis: menguyah
permen).
e. Gunakan bahasa pantomim bila memungkinkan denan gerakan sederhana dan perlahan.
f. Gunakan bahasa isyarat atau bahasa jari bila diperlukan dan perawat mampu melakukan.
g. Apabila ada sesuatu yang sulit untuk dikomunikasikan, sampaikan pesan dalam bentuk tulisan
atau gambar.
Pada saat berkomunikasi dengan lansia yang mengalami gangguan wicara, hal-hal yang perlu
diperhatikan :
a. Perawat atau pemberi asuhan memperhatikan mimik dan gerak bibir lansia.
b. Usahakan memperjelas hal yang disampaikan dengan mengulang kembali kata-kata yang
diucapkan lansia.
e. Memperhatikan setiap detail informasi sehingga pesan dapat diterima dengan baik.
g. Bila memungkinkan, hadirkan orang yang biasa berkomunikasi lisan dengan lansia untuk
menjadi mediator komunikasi.
Ketidaksadaran mengakibatkan fungís sensorik dan motorik lansia mengalami penururnan sehingga
sering kali stimulus dari luar tidak dapat diterima dan lansia tidak dapat merespon kembali stimulus
tersebut. Keadaan tidak sadar dapat terjadi akibat gangguan organik pada otak, trauma otak yang
berat, syok, pingsan, kondisi tidur, kondisi anastesi, gangguan berat yang terkait dengan penyakit
tertentu (koma diabetikum).
Seringkali timbal pertanyaan tentang perlu atau tidaknya perawat atau pemberi asuhan
berkomunikasi dengan lansia yang mengalami gangguan kesadaran ini. Bagaimanapun, secara etis
penghargaan dan penghormatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan mengharuskan penerapan
komunikasi pada lansia yang tidak sadar.
Pada saat berkomunikasi dengan lansia yang mengalami gangguan kesadaran, hal-hal yang perlu
diperhatikan, antara lain :
Perawat atau pemberi asuhan harus berhati-hati ketika melakukan pembicaraan verbal dekat
dengan lansia karena ada keyakinan bahwa organ pendengaran merupakan organ terakhir yang
mengalami penurunan kemampuan menerima rangsangan pada individu yang tidak sadar. Individu
yang tidak sadar seringkali dapat mendengar suara dari lingkungannya walaupun ia tidak mampu
meresponnya kembali.
Perawat atau pemberi asuhan harus mengambil asumís bahwa lansia dapat mendengar
pembicaraan kita. Usahakan mengucapkan kata dengan menggunakan nada normal dan
memperhatikan materi ucapan yang kita sampaikan di dekat lansia.
Perawat atau pemberi asuhan harus memberi ungkapan verbal sebelum menyentuh lansia.
Sentuhan diyakini dapat menjadi salah satu bentuk komunikasi yang sangat efektif pada lansia
dengan penurunan kesadaran.
Upayakan mempertahankan lingkungan setenang mungkin untuk membantu lansia berfokus pada
komunikasi yang dilakukan.
Lansia yang mengalami penurunan daya ingat atau demencia atau kepikunan mengalami kesulitan
untuk mengerti apa yang dikatakan orang lain. Hal ini sangat mengecewakan dan membingungkan
lansia maupun pemberi asuhan. Perawat atau pemberi asuhan perlu :
j. Kehilangan inisiatif
2. Menyiapkan mental. Perawat atau pemberi asuhan sebelum berkomunikasi dan memberi
asuhan keperawatan dan pelayanan sosial kepada lansia terlebih dahulu sudah harus siap mental ,
yaitu :
b. Mengingat bahawa lansia yang mengalami penurunan daya ingat mungkin menderita demensia
Mengenali perasaan frustasi, sedih, marah, dan depresi. Tentukan orang yang dapat dipercaya untuk
membicarakan apa yang Anda rasakan
c. Hindari kesendirian :
· Menjalin komunikasi dengan orang yang dianggap masih produktif dalam berpikir
Penyakit demensia Alzheimer membutuhkan penanganan yang ”menyeluruh” dan melibatkan
lingkungannya. Lingkungan tersebut meliputi kerabat dan sahabat yang terdiri dati seluruh anggota
keluarga, orang dekat atau teman yang peduli dan menaruh minat dalam lansia.
1. Makan
i. Perhatikan pasien bila tidak dapat membedakan rasa panas atau dingin
k. Beri tahu tahap-tahap makan ( mulai dari memegang sendok sampai memasukkan makanan ke
mulut)
2. Mandi
c. Pasang pengaman/pegangan
e. Pakai spon
f. Jaga privasinya
c. Pilih pakaian yang mudah dipakai (hindari menggunakan kancing), lebih baik yang
menggunakan karet
4. Eliminasi
b. Buat jadwal teratur ke toilet (mis: 3 jam sekali, sesudah makan, sebelum makan)
c. Perhatikan tanda yang menunjukkan adanya keinginan ke toilet (mis: mondar-mandir atau
menarik-narik retsluiting)
g. Tandai pintu toilet dengan tulisan yang menyolok dengan huruf besar atau gambar/simbol
Lansia demensia Alzheimer mudah bingung terhadap suara atau warna yang berlainan, dan bila
berada dalam lingkungan yang menakutkan timbul perasaan yang berlebihan. Semua ini dapat
membuat marah dan mencemaskan untuk menciptakan pearsaan aman dan senang bagi lansia,
perawat harus :
1. Berfokus pada pencegahan
b. Pasang kunci pada lemari tempat alat-alat berbahaya (pisau, alat pembersih)
d. Ciptakan suasana sederhana. Keluarkan semua perabotan/mebel yang tidak perlu serta Segala
macam yang mengacaukan pikiran termasuk perhiasan
f. Keluarkan barang-barang yang dapat menyebabkan kebingungan (mis: krim cukur berdekatan
dengan pasta gigi)
h. Singkirkan benda-benda kecil yang dapat ditelan dan simpan semua alat-alat yang tajam
j. Sediakanpenerangan yang cukup. Pakai lampu yang tidak mudah jatuh. Pasang lampu malam
ditempat tidur, di gang, dan di kamar mandi.
k. Pastikan ada penerangan yang cukup dan hindarti bayang-bayang sehingga dapat
mengakibatkan persepsi yang salah dari lansia
l. Amankan dapur. Pindahkan kenop oven bila kompor tidak dipakai. Simpan alat-alat dapur
dengan aman
m. Ciptakan kamar tidur yang aman. Sediakan bangku untuk duduk. Pastikan alat pengatur suhu
pada alat pemanas air telah diturunkan untuk menghindari kebakaran. Lantai harus selalu kering dan
gunakan keset antiselip agar tidak tergelincir . keluarkan kunci dari pintu kamar mandi
b. Siapkan foto terbaru lansia tersebut agar dapat membantu polisi bila lansia hilang
Lansia yang mengalami penurunan daya ingat atau kehilangan memori, memperlihatkan tingkah laku
yang sulit. Untuk menjamin keamanannya dan memberinya martabat, perawat atau pemberi asuhan
harus bersikap :
a. Hindari sikap mengharapkan lansia ingat karena adanya penurunan daya ingat membuat lansia
tidak akan dapat mengingat banyak hal. Bahkan lansia akan bingung bila kita mengajukan
pertanyaan ”Apakah bapak tidak ingat?”
b. Bila lansia menjadi gelisah mereka menunjukkan perilaku yang sulit. Alihkan perhatiannya
dengan kegiatan yang lain, misalnya mengajaknya minum teh bersama bila lansia mondar-mandir
atau berjalan terus mengitari rumah
c. Ciptakan kegiatan dan komunikasi yang sederhana. Kegiatan hendaknya dibuat menjadi lebih
sederhana dan bertahap. Pasien demensia mampu memusatkan pikiran dan menyelesaikan
kegiatannya secara bertahap
d. Ciptakan rutinitas dengan menetapkan aktivitas yang tetap dilakukan setiap hari termasuk
bangun pagi, makan, dan berbagai kegiatan lain sehinga dapat membantu mengurangi kegelisahan
dan mengembangkan perasaan gembira bagi penderita demensia Alzheimer
e. Beri penentraman hati dan pujian yang akan meningkatkan harga diri dan memperkuat
perilakunya
g. Libatkan dalam kegiatan sosial yang dapat menjamin pasien demensia kontak langsung dengan
orang lain
1. Dimensi responsive
a. keikhlasan (kesejatian)
b. menghormati dan menghargai orang lain termasuk lansia dan keluarganya
c. empati
d. konkret (member penjelasan dengan terminologi yang spesifik dan tidak abstrak).
2. Dimensi tindakan
Dimensi ini termasuk didalamnya konfrontasi, kesegeraan dalam memberikan bantuan kepada lanjut
usia, pembukaan dan bermain peran. Dimensi ini harus diimplementasikan dalam konteks
kehangatan, penerimaan dan pengertian dalam bentuk dimensi responsive.
Bab 3
Penutup
3.1 Simpulan
Kemampuan menerapkan teknik komunikasi terapeutik memerlukan latihan dan kepekaan serta
ketajaman perasaan, karena komunikasi terjadi tidak dalam kemampuan tetapi dalam dimensi nilai,
waktu, dan ruang yang turut memengaruhi keberhasilan komunikasi yang terlihat melalui dampak
terapeutiknya bagi klien dan juga kepuasan bagi perawat. Komunikasi juga akan memberikan
dampak terapeutik bila dalam penggunaannya diperhatikan sikap dan teknik komunikasi terapeutik.
Hal lain yang cukup penting diperhatikan adalah dimensi hubungan. Dimensi ini merupakan faktor
penunjang yang sangat berpengaruh dalam mengembangkan kemampuan berhubungan terapeutik.
Saran
Lansia perlu diberi kesempatan untuk bersosialisasi atau berkumpul dengan orang lain. Selain untuk
mempertahankan keterampilan berkomunikasi juga untuk menunda kepikunan. Dengan demikian,
mereka juga dapat merasakan kegembiraan bersama orang lain dan merasakan peredaan stress.
Beberapa kegiatan yang dapat diikuti oleh lansia adalah arisan, kegiatan rohani, pemeriksaan di
posyandu, melayat, menjenguk teman sakit, menghadiri undangan, atau senam lansia bersama.
Perawat atau pemberi asuhan harus mampu melakukan teknik komunikasi secara baik dan efektif.
Komunikasi yang dijalin harus bersifat terapeutik.