Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH SURVEILANS

“ HEPATITIS B ”

OLEH KELOMPOK 7 :

REGITA CAHYANI (J1A118161)

WA ODE MERISA SINTIA SAIFUL (J1A118149)

MUH. JASMIN (J1A118147)

SITI RAHMAH (J1A118153)

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS HALU OLEO

KENDARI

2020
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih dan Maha Penyanyang. Kami
panjatkan puji syukur kehadirat-Nya yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, serta inayah-Nya
kepada kami sehingga kami bisa menyelesaikan makalah ilmiah tentang “Surveilans Penyakit
Hepatitis B”.

Makalah ini kami susun dengan maksimal dan mendapat bantuan dari berbagai pihak
sehingga bisa memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami menyampaikan terima kasih
kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.

Terlepas dari segala hal tersebut, Kami sadar sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan
baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karenanya kami dengan lapang dada
menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ini.

Akhir kata kami berharap semoga makalah “Surveilans Penyakit Hepatitis B” ini bisa
memberikan manfaat maupun inspirasi untuk pembaca.

Kendari, Maret 2020

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................................. ii
DAFTAR ISI............................................................................................................................ iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.................................................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah............................................................................................................. 2
C. Tujuan ............................................................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN
A. Definisi Hepatitis B .......................................................................................................... 3
B. Gambaran Epidemiologi Hepatitis B................................................................................ 4
C. Gejala dan Tanda .............................................................................................................. 6
D. Etiologi Hepatitis B ........................................................................................................ 10
E. Penularan Hepatitis B ..................................................................................................... 10
F. Pengobatan Dan Pencegahan .......................................................................................... 14
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan ..................................................................................................................... 19
B. Saran ............................................................................................................................... 21
DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Penyakit Hepatitis B merupakan peradangan atau infeksi pada sel-sel hati yang disebabkan
oleh virus Hepatitis B. Peradangan hati dapat menyebabkan kerusakan sel-sel, jaringan, dan
bahkan semua bagian organ hati. Hepatitis dapat terjadi karena virus yang menyerang selsel
hati atau penyakit lain yang menyebabkan komplikasi pada hati. Penularan virus hepatitis B
melalui darah atau cairan tubuh yang mengandung virus Hepatitis B (Misnadiarly, 2010; Radji,
2015) (Susansti et al., 2017).

Menurut WHO, virus hepatitis telah menyebabkan 1,34 juta kematian pada tahun 2015,
dan angka ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan infeksi tuberkulosis dan HIV. Secara
global pada tahun 2015, diperkirakan terdapat 257 juta orang hidup dengan infeksi virus
Hepatitis B kronik, dan 71 juta orang dengan infeksi virus Hepatitis C kronik (WHO, 2017)
(Susansti et al., 2017).

Indonesia merupakan negara dengan endemisitas tinggi Hepatitis B, terbesar kedua di


ASIA Tenggara setelah Myanmar. Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar, diperkirakan
terdapat 28 juta penduduk Indonesia terinfeksi virus Hepatitis B dan C. Sekitar 50% dari kasus
tersebut berpotensi untuk menjadi kronis dan 10% berpotensi menuju fibrosis hati yang dapat
menyebabkan kanker hati (Kementerian Kesehatan RI, 2014) (Susansti et al., 2017).

Virus Hepatitis B disebabkan oleh paparan produk darah yang terinfeksi virus, aktivitas
seksual atau transmisi perinatal. Di Asia, 8%-10% populasi terinfeksi virus Hepatitis B, dan
50% kasus baru disebabkan oleh penularan virus dari ibu ke bayi. Tidak memburuknya
peradangan organ hati terjadi pada sebagian besar wanita selama kehamilan dan enzim hati
yang normal. Akan tetapi, kasus hepar hepatic/kegagalan hati fulminan pada ibu hamil dengan
HBsAg positif telah dilaporkan dan dapat menimbulkan mortalitas tinggi pada ibu dan bayi.
Kehamilan pada pasien dengan infeksi virus Hepatitis B kronis dihubungkan dengan penularan
dari ibu ke bayi dan dapat meningkatkan komplikasi ibu dan janin. Penularan virus Hepatitis

1
B dari ibu ke bayi dapat dicegah dengan skrining/deteksi virus Hepatitis B pada ibu hamil dan
vaksinasi hepatitis B pada bayi. Jika penularan virus hepatitis B dapat dicegah, berarti
mencegah terjadinya kanker hati secara primer. (Kumar, et al., 2012; Borgia, et al., 2012).
(Susansti et al., 2017)

B. Rumusan Masalah

1. Apakah Definisi Dari Hepatitis B ?


2. Bagaimana Gambaran Epidemiologi Dari Hepatitis B ?
3. Bagaimanakah Gejala Dan Tanda Dari Hepatitis B ?
4. Bagaimanakah Etiologi Hepatitis B ?
5. Bagaimanakah Penularan Hepatitis B
6. Bagaimanakah Pengobatan Dan Pencegahan Hepatitis B ?

C. Tujuan

1. Untuk Mengetahui Definisi Dari Hepatitis B


2. Untuk Mengetahui Gambaran Epidemiologi Dari Hepatitis B
3. Untuk Mengetahui Gejala Dan Tanda Dari Hepatitis B
4. Untuk Mengetahui Etiologi Hepatitis B
5. Untuk Mengetahui Penularan Hepatitis B
6. Untuk Mengetahui Pengobatan Dan Pencegahan Hepatitis B

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi Hepatitis B

Penyakit Hepatitis B merupakan peradangan atau infeksi pada sel-sel hati yang
disebabkan oleh virus Hepatitis B. Peradangan hati dapat menyebabkan kerusakan sel-sel,
jaringan, dan bahkan semua bagian organ hati. Hepatitis dapat terjadi karena virus yang
menyerang sel-sel hati atau penyakit lain yang menyebabkan komplikasi pada hati. Penularan
virus hepatitis B melalui darah atau cairan tubuh yang mengandung virus Hepatitis B
(Misnadiarly, 2010; Radji, 2015). (Susansti et al., 2017)

Hepatitis B adalah suatu penyakit hati yang disebabkan oleh virus hepatitis B, suatu
anggota famili hepadnavirus yang dapat menyebabkan peradangan hati akut atau menahun
yang dapat berlanjut menjadi sirosis hati atau kanker hati. Infeksi virus hepatitis B suatu
infeksi sistemik yang menimbulkan peradangan dan nekrosis sel hati yang mengakibatkan
terjadinya serangkaian kelainan klinik, biokimiawi, imunoserologik, dan morfologik.
Penyakit Hepatitis merupakan masalah kesehatan masyarakat di negara berkembang di dunia,
termasuk di Indonesia. (Alamudi et al., 2018)

Infeksi virus hepatitis B (VHB) masih merupakan masalah yang besar di Indonesia
karena prevalensi yang tinggi dan komplikasinya. Di daerah dengan endemic tinggi, infeksi
VHB biasanya terjadi melalui infeksi perinatal atau pada awal masa kanak-kanak. VHB
sendiri biasanya tidak sitopatik. Infeksi kronik VHB merupakan suatu proses dinamis dengan
terjadi interaksi antara virus, hepatosit dan sistem imun manusia. Perjalanan penyakit hepatitis
B kronik dengan HBeAg, HBV DNA positif di wilayah Asia-Pasifik masih belum banyak
diteliti, namun reaktivasi hepatitis dan progresivitas penyakit memang dapat terjadi. Telah
ditemukan di bidang biologi molekuler bahwa untuk pathogenesis VHB ada peran covalently
closed circular DNA (cccDNA) dalam terjadinya infeksi kronik VHB yang menetap
(Wahyudi, 2017).

3
Hepatitis B biasanya ditularkan dari orang ke orang melalui darah (penerima produk
darah, pasien hemodialisa, pekerja kesehatan atau terpapar darah). Virus hepatiitis B
ditemukan di cairan tubuh yang memiliki konsentrasi virus hepatitis B yang tinggi seperti
semen, sekret servikovaginal, saliva, dan cairan tubuh lainnya sehingga cara transmisi
hepatitis B yaitu transmisi seksual. Cara transmisi lainnya melalui penetrasi jaringan
(perkutan) atau permukosa yaitu alat-alat yang tercemar virus hepatitis B seperti sisir, pisau
cukur, alat makan, sikat gigi, tato, akupuntur, tindik, alat kedokteran, dan lain-lain. Cara
transmisi lainnya yaitu transmisi maternal-neonatal, maternal-infant, akan tetapi tidak ada
bukti penyebaran fekal-oral (Wahyudi, 2017).

B. Gambaran Epidemiologi Hepatitis B


Sektor kesehatan Indonesia saat ini sedang berada dalam situasi transisi epidemiologi
(epidemiologi transition) yang harus menanggung beban berlebih (triple burden). Meskipun
banyak penyakit menular (commmunicable disease) seperti penyakit cacar dan frambusia
yang sudah bisa ditangani, namun masih banyak penyakit menular lain yang belum bisa
dituntaskan. Jumlah kasus penyakit menular di Indonesia masih dalam kategori tinggi.
Penyakit menular merupakan penyakit yang ditularkan melalui berbagai media. Penyakit jenis
ini merupakan masalah kesehatan yang besar hampir di semua negara berkembang karena
angka kesakitan dan kematiannya yang relatif tinggi dalam waktu yang relatif singkat. Salah
satu diantara banyaknya penyakit menular yang perlu ditangani adalah penyakit Hepatitis B
(Misna et al., 2018).

Hepatitis adalah peradangan atau infeksi pada sel-sel hati. Penyebab hepatitis yang
paling sering adalah virus yang dapat menyebabkan pembengkakan dan pelunakan hati.
Hepatitis B merupakan suatu penyakit yang berbahaya, karena seseorang yang menderita
penyakit ini lebih banyak tidak menunjukkan gejala yang khas, sehingga penderita akan
mengalami keterlambatan diagnosis. Hepatitis adalah suatu proses peradangan difus pada
jaringan yang dapat disebabkan oleh infeksi virus dan oleh reaksi toksik terhadap obat-obatan
serta bahan-bahan kimia. Penyakit ini menyerang semua umur, gender dan ras di seluruh
dunia.Hepatitis B dapat menyerang dengan atau tanpa gejala hepatitis. Sekitar 5% penduduk
dunia mengidap Hepatitis B tanpa gejala (Misna et al., 2018).

4
Epidemiologi Hepatitis B yaitu Infeksi VHB ( Virus Hepatitis B) merupakan penyebab
utama hepatitis akut, hepatitis kronis, sirosis, dan kanker hati di dunia. Infeksi ini endemis di
daerah Timur Jauh, sebagian besar kepulaan Pasifik, banyak negara di Afrika, sebagian Timur
Tengah, dan di lembah Amazon. Center for Disease Control and Prevention (CDC)
memperkirakan bahwa sejumlah 200.000 hingga 300.000 orang (terutama dewasa muda)
terinfeksi oleh VHB setiap tahunnya. Hanya 25% dari mereka yang mengalami ikterus, 10.000
kasus memerlukan perawatan di rumah sakit, dan sekitar 1-2% meninggal karena penyakit
fulminan (Price & Wilson, 2012) (Laksana et al., 2017).

Prevalensi global karier kronik bervariasi antar 0.1 hingga lebih dari 20%, dan sekitar
15 – 40% penderita yang terinfeksi kronik bisa berlanjut menjadi sirosis, kanker hati, atau
karsinoma hepatoseluler (HCC), dan 15 - 25% kasus meninggal. Prevalensi HBV kronik
bervariasi di berbagai area geografis dan populasi yang berbeda, dengan prevalensi nasional
berkisar antara 0.1 – 35%, dimana endemisitas dinilai dari kadar antigen permukaan hepatitis
B (HBsAg). Area dimana HBV sangat endemis termasuk di Asia, Afrika sub-Sahara, sebagian
daerah timur tengah, dan Eropa bagian tengah dan timur. Regio dengan prevalensi tertinggi
HBV kronik yang memiliki tingkat HCC, dimana HCC menjadi salah satu dari 3 penyebab
kematian utama di daerah tersebut, adalah Asia Pasifik (Annisa, 2019).

Endemisitas HBV di Indonesia termasuk antara sedang – tinggi berdasarkan perbedaan


geografisnya, yaitu berkisar antara 2.5% hingga 10%, dengan risiko tertinggi ada pada pasien
hemodialisa dan petugas kesehatan. Sedangkan pada populasi sehat diperkirakan angka ini
mencapai 20.3% dengan proporsi luar Jawa lebih tinggi daripada di Jawa (Perhimpunan
Peneliti Hati Indonesia, 2012). Indonesia memiliki endemisitas kedua terbesar setelah
Myanmar di negara South East Asian Region (SEAR). Berdasarkan data Riset Kesehatan
Dasar (Riskesdas), diperkirakan 28 juta penduduk Indonesia terinfeksi hepatitis B dan C,
dimana 14 juta memiliki potensi kronis, dan 1,4 juta berpotensi menjadi kanker hati.
Berdasarkan data Riskesdas 2013, angka kejadian semakin meningkat pada penduduk berusia
di atas usia 15 tahun, dengan jenis yang menginfeksi terbanyak penduduk Indonesia adalah
hepatitis B (21,8%), dan hepatitis A (19,3%) (Annisa, 2019).

5
C. Gejala dan Tanda
Hepatitis virus akut adalah infeksi sistemik yang dominan menyerang hati. Hampir
semua kasus hepatitis virus akut disebabkan oleh salah satu dari lima jenis virus yaitu: virus
hepatitis A (HAV), virus hepatitis B (HBV), virus hepatitis C (HCV), virus hepatitis D (HDV)
dan virus hepatitis E (HEV). Jenis virus lain yang ditularkan pascatransfusi seperti virus
hepatitis G dan virus TT telah dapat diidentifikasi akan tetapi tidak menyebabkan hepatitis.
Semua jenis hepatitis virus yang menyerang manusia merupakan virus RNA kecuali virus
hepatitis B, yang merupakan virus DNA. Walaupun virus-virus tersebut berbeda dalam sifat
molecular dan antigen, akan tetapi semua jenis virus tersebut memperlihatkan kesamaan
dalam gejala klinis dan perjalanan penyakitnya. Gambaran klinis hepatitis virus sangat
bervariasi mulai dari asimtomatik sampai yang sangat berat yaitu hepatitis fulminan yang
dapat menimbulkan kematian. Selain itu, gejala juga bisa bervariasi dari infeksi persisten
subklinis sampai penyakit hati kronik progresif cepat dengan sirosis hepatis dan karsinoma
hepatoseluler yang umum ditemukan pada tipe virus yang ditransmisi melalui darah (HBV,
HCV, dan HDV) (Permana et al., 2019).

Gejala hepatitis B amat bervariasi dari tanpa gejala sampai gejala yang berat seperti
muntah darah dan koma. Pada hepatitis akut gejala amat ringan dan apabila ada gejala, maka
gejala itu seperti gejala influenza. Gejala itu berupa demam ringan, mual, lemas, hilang nafsu
makan, mata jadi kuning, kencing berwarna gelap, diare dan nyeri otot. Pada sebagian kecil
gejala dapat menjadi berat dan terjadi fulminan hepatitis yang mengakibatkan kematian.
Infeksi hepatitis B yang didapatkan pada masa perinatal dan balita biasanya asimtomatik dan
dapat menjadi kronik pada 90% kasus. Sekitar 30% infeksi hepatitis B yang terjadi pada orang
dewasa akan menimbulkan ikterus dan pada 0,1-0,5% dapat berkembang menjadi fulminan.
Pada orang dewasa 95% kasus akan sembuh dengan sempurna yang ditandai dengan
menghilangnya HBsAg dan timbul anti HBs (Wahyudi, 2017).

Infeksi kronik ditandai oleh persistensi HBsAg dan anti HBc dan serum HBV DNA
dapat terdeteksi lebih dari 6 bulan dengan menggunakan pemeriksaan non PCR. Pada hepatitis
kronik B ada 3 fase yaitu fase imunotoleran, fase replikatif, dan fase integrasi. Pada fase
imunotoleran akan didapatkan HBsAg serta HBeAg di dalam serum serta titer HBV DNA nya
tinggi akan tetapi ALT normal. Pada fase ini gejala bisa timbul dan terjadi peningkatan

6
aminotransferase yang nantinya akan diikuti dengan terdapatnya anti-HBe (serokonversi).
Pada fase non replikatif akan ditemukan HBV DNA yang rendah dan anti-HBe positif. Fase
non replikatif ini sering pula disebut dengan keadaan pengidap tidak aktif dan dapat pula
terjadi pada keadaan ini resolusi hepatitis B sehingga HBsAg tidak terdeteksi lagi. Pada
beberapa pasien dapat pula ditemukan serokonversi HBeAg yang diakibatkan oleh karena
mutasi dari virus. Pada kelompok pasien ini mungkin pula akan ditemukan peningkatan kadar
HBV DNA yang disertai pula peninggian ALT (Wahyudi, 2017).

Apabila seorang terinfeksi hepatitis B pada usia yang lebih lanjut biasanya gejala
peradangannya singkat dan gejala penyakit tidak berat. Pada fase nonreplikatif masih dapat
ditemukan replikasi virus hepatitis B akan tetapi sangat sedikit sekali karena ditekan oleh
respons imun penderita. Sebagian pasien dengan antigen negative dapat menjadi aktif kembali
akan tetapi dengan e antigen tetap negatif. Jadi karena itu terdapat 2 jenis hepatitis kronik B
yaitu hepatitis B kronik dengan HBeAg positif dan hepatitis B kronik dengan HBeAg
negative. Pasien yang mengalami infeksi perinatal dapat pula menjadi hepatitis kronik dengan
HBeAg yang positif disertai dengan peningkatan ALT akan tetapi sesudah waktu yang cukup
lama (10-20/tahun) (Wahyudi, 2017).

Serokonvesi HBeAg biasanya akan diikuti membaiknya keadaan biokimiawi dan


histology. Serokonveri e antigen menjadi e antibody dapat terjadi pada 50-70% pasien yang
mengalami peninggian ALT dalam waktu 5-10 tahun setelah terdiagnosis. Biasanya hal ini
akan terjadi pada orang dengan usia yang lebih lanjut, dan perempuan dan ALT nya tinggi
(Wahyudi, 2017).

Pada umumnya apabila terjadi serokonversi, maka gejala hepatitisnya juga menjadi tidak
aktif walaupun pada sebagian kecil masih ada gangguan biokimiawi dan aktivitas histology
serta peningkatan kadar HBV DNA. Infeksi HBsAg inaktif ditandai oleh HBsAg-positif, anti
HBe dan tidak terdeteksinya HBV DNA serta ALT normal. Meskipun demikian kadang-
kadang masih didapatkan sedikit tanda peradangan pada pemeriksaan patologi anatomic.
Apabila serokonversi terjadi sesudah waktunya cukup lama dapat pula ditemukan gejala
kelainan pada sediaan patologi anatomic (Wahyudi, 2017).

Berdasarkan analisis SWOT dalam buku Pedoman Pengendalian Hepatitis Virus,


dinyatakan bahwa kelemahan Indonesia adalah sistem surveilans hepatitis belum berjalan

7
dengan baik, kualitas sumber daya manusia masih kurang, serta sarana untuk diagnosis di
laboratorium Puskesmas masih kurang. Puskesmas Tanjung Api-Api sebagai pusat kesehatan
masyarakat di Desa Muara Sungsang sebaiknya perlu meningkatkan upaya surveilans untuk
penyakit Hepatitis B, karena tidak semua penderita menunjukkan gejala pada saat terinfeksi.
Telah adanya sarana laboratorium yang memadai dan adanya SDM analis di Puskesmas
Tanjung Api-api akan sangat membantu proses surveilans ini (Permana et al., 2019).

Hepatitis B menular melalui paparan darah dan infeksi kronik hepatitis B dan hepatitis
C tidak menimbulkan gejala spesifik, sehingga bisa melakukan aktivitas donor darah. Oleh
karena itu, skrining pada darah donor diperlukan untuk menyediakan darah yang aman.
Teknik enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) merupakan skrining yang sering
digunakan untuk skrining darah donor. Secara umum infeksi hepatitis B didiagnosis oleh
terdeteksinya HBsAg (hepatitits B suface antigen) pada darah donor (Wulandari &
Mulyantari, 2016).

Hepatitis B adalah penyakit yang disebabkan oleh virus hepatitis B yang telah
diidentifikasi dengan mikroskop elektron sebagai partikel berukuran 42 nm (partikel Dane).
Infeksi virus ini pada manusia bisa mempunyai gejala (simptomatik), namun juga bisa tidak
bergejala (asimptomatik). Penderita yang terinfeksi virus hepatitis B asimptomatik terdeteksi
pada saat pemeriksaan darah donor sukarela maupun donor darah pengganti di unit-unit
transfusi darah. Prevalensi penderita yang tidak mempunyai gejala (diketahui dengan
ditemukannya Hepatitis B surface Antigen [HBsAg]) bervariasi antar populasi, prevalensi dari
serendah 0,1% diantara donor darah sukarela di Inggris dan Amerika Serikat tapi bisa setinggi
15% di negara lain (Oktavia et al., 2017).

Diagnosis hepatitis B ditegakkan dengan pemeriksaan biokimia dan serologic dan apabila
diperlukan dengan pemeriksaan histopatologik. Pada hepatitis B akut akan ditemukan
peningkatan ALT yang lebih besar dibandingkan dengan peningkatan AST dengan kadar ALT
nya 20-50 kali normal. Ditemukan pula IgM anti HBc di dalam darah selain HBsAg, HBeAg
dan HBV DNA (Wahyudi, 2017).

Pada hepatitis kronik peninggian ALT adalah sekitar 10-20 Batas Atas Nilai Normal
(BANN) dengan ratio de Ritis (ALT/AST) sekitar 1 atau lebih. Disamping itu IgM anti-HBc
juga negative. Diagnosis hepatitis B kronik dipastikan dengan pemeriksaan patologi anatomik,

8
disamping mungkin pula dengan pemeriksaan fibrotest. Pencitraan dengan USG atau CT scan
dapat membantu bila proses sudah lanjut (Wahyudi, 2017).

Pada hepatitis B akut simptomatik pola serologisnya, HbsAg mulai timbul pada akhir
masa inkubasi kira-kira 2-5 minggu sebelum ada gejala klinik dan titernya akan meningkat
setelah tampak gejala klinis dan menetap selama 1-5 bulan. Selanjutnya titer HBsAg akan
menurun dan hilang dengan berkurangnya gejala-gejala klinik. Menetapnya HBsAg sesudah
6 bulan menandakan proses akan menjadi kronis. Anti-HBs baru timbul pada stadium
konvalesensi yaitu beberapa saat setelah menghilangnya HBsAg, sehingga terdapat masa
jendela (window period) yaitu masa menghilangnya HBsAg sampai mulai timbulnya antiHBs.
Anti-HBs akan menetap lama, 90% akan menetap lebih dari 5 tahun sehingga dapat
menentukan stadium penyembuhan dan imunitas penderita. Pada masa jendela, Anti-HBC
merupakan pertanda yang penting dari hepatitis B akut. Anti-HBC mula-mula terdiri dari IgM
dan sedikit IgG. IgM akan menurun dan menghilang dalam 6-12 bulan sesudah sembuh,
sedangkan IgG akan menetap lama dan dapat dideteksi dalam 5 tahun setelah sembuh
(Wahyudi, 2017).

HBeAg timbul bersama-sama atau segera sesudah HBsAg. Ditemukannya HBeAg


menunjukkan jumlah virus yang banyak. Jangka waktu HBeAg positif lebih singkat daripada
HBsAg. Bila HBeAg masih ada lebih dari 10 minggu sesudah timbulnya gejala klinik,
menunjukkan penyakit berkembang menjadi kronis. Serokonversi dari HBeAg menjadi anti-
HBe merupakan prognosis yang baik yang akan diikuti dengan penyembuhan penyakitnya
(Wahyudi, 2017).

Pada infeksi hepatitis B asimtomatik, pemeriksaan serologis menunjukkan kadar


HBsAg dan HbeAg yang rendah untuk waktu singkat, bahkan seringkali HBsAg tidak
terdeteksi. Menghilangnya HBsAg segera diikuti dengan timbulnya anti-HBs dengan titer
yang tinggi dan lama dipertahakan. Anti-HBc dan anti-Hbe juga timbul tetapi tidak setinggi
titer anti-HBs. Lima sampai sepulu persen yang menderita hepatitis B akut akan berlanjut
menjadi hepatitis B kronis. Pada tipe ini HBsAg timbul pada akhir masa inkubasi dengan titer
yang tinggi yang akan menetap dan dipertahankan lama dan dapat sampai puluhan tahun atau
seumur hidup. Anti-HBs tidak akan timbul pada pengidap HBsAg, tetapi sebaliknya antiHBc

9
yang terdiri dari IgM dan IgG anti-HBc akan dapat dideteksi dan menetap selama lebih dari 2
tahun (Wahyudi, 2017).

D. Etiologi Hepatitis B
Virus hepatitis B adalah virus DNA berselubung ganda berukuran 42 nm memiliki lapisan
permukaan dan bagian inti dengan masa inkubasi sekitar 60 sampai 90 hari. Terdapat 3 jenis
partikel virus yaitu :

(1) Sferis dengan diameter 17 – 25 nm dan terdiri dari komponen selubung saja dan jumlahnya
lebih banyak dari partikel lain.

(2) Tubular atau filamen, dengan diameter 22 – 220 nm dan terdiri dari komponen selubung.
(3) Partikel virion lengkap atau partikel Dane terdiri dari genom HBV dan berselubung,
diameter 42 nm.

Protein yang dibuat oleh virus ini bersifat antigenik serta memberi gambaran tentang
keadaan penyakit (pertanda serologi khas) adalah :

(1) Surface antigen atau HBsAg yang berasal dari selubung, yang positif kira-kira 2 minggu
sebelum terjadinya gejala klinis.

(2) Core antigen atau HBcAg yang merupakan nukleokapsid virus hepatitis B.

(3) E antigen atau HBeAg yang berhubungan erat dengan jumlah partikel virus yang
merupakan antigen spesifik untuk hepatitis B (Wahyudi, 2017).

E. Penularan Hepatitis B
Virus hepatitis B masuk ke dalam tubuh secara parenteral. Dari peredaran darah,
partikel Dane masuk ke dalam hati dan terjadi replikasi virus. Selanjutnya sel-sel hati akan
memproduksi dan mensekresi partikel Dane utuh, partikel HBsAg bentuk bulat dan tubuler,
dan HBeAg yang tidak ikut membentuk partikel virus. VHB merangsang respon imun tubuh,
yaitu respon imun non-spesifik dan respon imun spesifik. VHB merangsang pertama kali
respon imun non-spesifik ini (innate immune response) karena dapat terangsang dalam

10
waktu pendek, dalam beberapa menit sampai beberapa jam. Proses eliminasi nonspesifik ini
terjadi tanpa restriksi HLA, yaitu dengan memanfaatkan sel-sel NK dan NK-T (Wahyudi,
2017).

Untuk prosese eradikasi VHB lebih lanjut diperlukan respon imun spesifik yaitu
dengan mengaktivasi limfosit T dan sel limfosit B. Aktivasi sel T CD8+ terjadi setelah
kontak reseptor T tersebut dengan kompleks peptida VHB-MHC kelas I yang ada pada
permukaan dinding sel hati dan pada permukaan dinding APC (Antigen Precenting Cell) dan
dibantu dengan rangsangan sel T CD4+ yang sebelumnya sudah mengalami kontak dengan
kompleks peptida VHB-MHC kelas II pada dinding APC. Peptida VHB yang ditampilkan
pada permukaan dinding sel hati dan menjadi antigen sasaran respon imun adalah peptida
kapsid, yaitu HBcAg atau HBeAg. Sel T CD8+ selanjutnya akan mengeliminasi virus yang
ada dalam neksrosis sel hati yang akan menyebabkan meningkatnya ALT atau mekanisme
sitolitik. Disamping itu dapat juga terrjadi eliminasi virus intrasel tanpa kerusakan sel hati
yang terinfeksi melalui aktivitas Interferon Gamma dan TNF alfa (Tissue Necroting Factor)
yang dihasilkan oleh sel T CD8+ (mekanisme nonsitolitik) (Wahyudi, 2017).

Aktivitas sel limfosit B dengan bantuan sel CD4+ akan menyebabkan produksi
antibodi antara lain anti-HBs, anti-HBc, dan anti HBe. Fungsi anti-HBs adalah netralisasi
partikel VHB bebas akan mencegah masuknya virus ke dalam sel. Dengan demikian anti-
HBs akan mencegah penyebaran virus dari sel ke sel. Infeksi kronik VHB bukan disebabkan
gangguan produksi anti-HBs. Buktinya pada pasien Hepatitis B Kronik ternyata dapat
ditemukan adanya anti-HBs yang tidak bisa dideteksi dengan metode pemeriksaan biasa
karena anti-HBs bersembunyi dalam kompleks dengan HBsAg. Bila proses eliminasi virus
berlangsung efisien maka infeksi VHB dapat diakhiri, sedangkan bila proses tersebut kurang
efisien maka terjadi infeksi VHB yang menetap. Proses eliminasi VHB oleh respon imun
yang tidak efisien dapat disebabkan oleh faktor viral maupun faktor pejamu (Wahyudi,
2017).

Setelah terinfeksi VHB, penanda virologis pertama yang terdeteksi dalam serum
adalah HBsAg. HBsAg dalam sirkulasi mendahului peningkatan aktivitas aminotransferase
serum dan gejala-gejala klinis dan tetap terdeteksi selama keseluruhan fase ikterus atau
simtomatis dari hepatitis B akut atau sesudahnya. Pada kasus yang khas HBsAg tidak

11
terdeteksi dalam 1 hingga 2 bulan setelah timbulnya ikterus dan jarang menetap lebih dari 6
bulan. Setelah HBsAg hilang, antibodi terhadap HBsAg (Anti-HBs) terdeteksi dalam serum
dan tetap terdeteksi sampai waktu yang tidak terbatas sesudahnya (Wahyudi, 2017).

Karena HBcAg terpencil dalam mantel HBsAg, maka HBcAg tidak terdeteksi secara
rutin dalam serum pasien dengan infeksi VHB. Di lain pihak, antibodi terhadap HBcAg
(anti-HBC) dengan cepat terdeteksi dalam serum, dimulai dalam 1 hingga 2 minggu pertama
setelah timbulnya HBsAg dan mendahului terdeteksinya kadar anti-HBs dalam beberapa
bulan. Karena terdapat variasi dalam waktu timbulnya anti-HBs setelah infeksi, kadang
terdapat suatu tenggang waktu beberapa minggu atau lebih yang memisahkan hilangnya
HBsAg dan timbulnya anti-HBs. Selama “periode jendela” (window period) ini, anti-HBc
dapat menjadi bukti serologi pada infeksi VHB yang sedang berlangsung, dan darah yang
mengandung anti-HBc tanpa adanya HBsAg dan anti-HBs telah terlibat pada perkembangan
hepatitis B akibat transfuse (Wahyudi, 2017).

Perbedaan antara infeksi VHB yang sekarang dengan yang terjadi di masa lalu dapat
diketahui melalui penentuan kelas imunoglobulin dari anti-HBc. AntiHBC dari kelas IgM
(IgM anti-HBc) terdeteksi selama 6 bulan pertama setelah infeksi akut. Oleh karena itu,
pasien yang menderita hepatitis B akut yang baru terjadi, termasuk mereka yang terdeteksi
anti-HBc dalam periode jendela memilik IgM anti-HBc dalam serumnya. Pada pasien yang
menderita VHB kronik, antiHBc terutama dari kelas IgG yang terdapat dalam serum.
Umumnya orang yang telah sembuh dari hepatitis B, anti-HBs dan anti-HBc nya menetap
untuk waktu yang tidak terbatas (Wahyudi, 2017).

HBV disebarkan secara utama melalui perkutaneus atau pajanan mukosa terhadap
darah ataupun cairan tubuh seperti saliva, menstrual, vaginal, dan seminal yang terinfeksi.
Transmisi seksual hepatitis B dapat timbul terutama pada homoseksual yang tidak
tervaksinasi, heteroseksual dengan pasangan multipel, ataupun kontak dengan pekerja seks
komersil. Selain seksual, transmisi dapat terjadi secara vertikal in utero, yang umumnya
terjadi akibat perdarahan antepartum dan robekan plasenta, ataupun melalui transmisi
perinatal oleh ibu yang seropositif dengan viremia HBV dan menularkannya kepada bayinya
saat atau sesaat setelah melahirkan. Selain vertikal, perlu diperhatikan transmisi horizontal

12
yang bisa terjadi dalam satu rumah tangga, intrafamiliar, dan khususnya dari anak ke anak
(Annisa, 2019).

Transmisi virus juga bisa terjadi melalui inokulasi tanpa disengaja melalui darah atau
cairan saat prosedur medis, prosedur bedah, dan dental, ataupun terkena objek
terkontaminasi seperti silet. Hal ini juga termasuk penggunaan jarum dan syringe yang tidak
steril, penyalahgunaan obat perkutan dan intravena, tato, tindik tubuh, dan akupuntur.2,11
Hal ini yang menyebabkan pekerja medis, baik dokter, dokter gigi, perawat, bidan, dan
termasuk siswa yang belajar di bidang medis memiliki risiko untuk terkena pajanan HBV.
Umumnya infeksi HBV pada petugas kesehatan tanpa riwayat pajanan terjadi akibat kontak
dengan darah atau cairan tubuh dengan permukaan mukosa atau gesekan kutaneus secara
langsung maupun tidak langsung (Annisa, 2019).

Menurut WHO, 5,9% petugas kesehatan dunia tiap tahunnya terpapar dengan infeksi
HBV melalui darah, sejalan dengan angka 66.000 petugas kesehatan penderita HBV. Sekitar
70% petugas di daerah endemis dilaporkan pernah mengalami cedera jarum suntik, namun
pelaporannya hanya 10 – 30%. Pada penelitian yang dilakukan terhadap 471 petugas
kesehatan pada satu rumah sakit di India, sekitar 49,6% divaksinasi, 46,1% tidak vaksinasi,
dan 4,3% vaksinasi tidak lengkap. Dari total 230 orang yang divaksinasi, 166 orang
dilakukan pemeriksaan anti-HBs, dimana 30% diantaranya memiliki titer anti-HBs
<10mIU/mL.12 Hal ini menunjukkan bisa terjadi tidak responsifnya imunitas tubuh dalam
membentuk antibodi, dan pada petugas kesehatan hal ini sangat berisiko (Annisa, 2019).

Transmisi HBV dari dan kepada petugas kesehatan. Di masa lalu risiko mendapatkan
infeksi HBV saat melakukan prosedur rentan pajanan sangat tinggi sehingga dalam beberapa
dekade (meskipun di daerah dengan prevalensi rendah) mayoritas petugas kesehatan
menunjukkan marker infeksi lama atau infeksi berlangsung HBV. Petugas tersebut menjadi
terinfeksi akibat kerja, dan berpotensi lagi menularkan kepada pasiennya. Sejak tahun 1970
telah banyak dilaporkan transmisi HBV melalui petugas kesehatan dengan viremia tinggi
kepada pasien, umumnya saat operasi (Annisa, 2019).

13
F. Pengobatan Dan Pencegahan
Occupational Safety and Health Administration (OSHA) memandatkan vaksin
hepatitis B agar tersedia bagi petugas kesehatan yang rentan terhadap infeksi HBV.
Panduan ini dibuat agar seluruh pegawai yang memiliki pajanan kerja untuk diberikan
vaksin, dan dilakukan evaluasi paska pajanan serta follow-up bagi yang sempat terpajan.
Centers for Disease Control and Prevention (CDC) merekomendasikan seluruh petugas
kesehatan yang berisiko agar diperiksa dan semua yang rentan harus menerima vaksin.
Pemeriksaan seperti ini umumnya bisa mendeteksi petugas yang terinfeksi kronis (Annisa,
2019).

Pemerintah perlu melakukan penyebaran informasi mengenai penyakit Hepatitis.


Institusi pendidikan kesehatan dan kedokteran juga perlu membantu upaya pemerintah
dengan mengintegrasikan upaya penyebaran informasi mengenai penyakit Hepatitis
dengan kegiatan di institusi pendidikan masing-masing. Upaya pengabdian kepada
masyarakat selanjutnya yang dapat dilakukan adalah dengan pemeriksaan HbsAg dan Anti
HBS di laboratorium rumah sakit kepada warga yang terinfeksi virus Hepatitis B dan
diminta kontrol secara rutin untuk melihat perkembangan kesehatan mereka (Permana et
al., 2019).

a. Evaluasi untuk terapi


Evaluasi awal pasien dengan infeksi VHB meliputi anamnesis dan pemeriksaan fisik,
dengan penekanan khusus pada faktor-faktor risiko terjadinya infeksi gabungan,
penggunaan alcohol, riwayat keluar ga dengan infeksi VHB, dan kanker hati.
Pemeriksaan laboratorium harus mencakup pemeriksaan fungsi hati, pemeriksaan
darah lengkap. Tes replikasi VHB seperti HBsAg HBeAg/anti-HBe dan HBV DNA.
b. Pemantauan
Apabila seseorang mengalami infeksi HBV, tidak selalu perlu diterapi akan tetapi
cukup dilakukan saja pemantauan untuk menilai apakah perlu dilakukan intervensi
dengan antiviral sewaktu. Pemantauan dilakukan apabila pada pasien didapatkan
keadaan :
1. Hepatitis B kronik dengan HBeAg +, HBV DNA > 10 copies/mL, dan ALT normal.
Pada pasien ini dilakukan tes SGPT setiap 3-6 bulan. Jika kadar SGPT naik > 1-2

14
kali Batas Atas Nilai Normal (BANN), maka ALT diperiksa setiap 1-3 bulan. Jika
dalam tindak lanjut SGPT naik menjadi > 2 kali BANN selama 3-6 bulan disertai
HBeAg (+) dan HBV DNA > 10 copies/mL, dapat dipertimbangkan untuk biopsy
hati sebagai pertimbangan untuk memberikan terapi antiviral.
2. Pada infeksi HBsAg inaktif (HBeAg, dan HBV DNA) dilakukan pemeriksaan ALT
setiap 6-12 bulan. Jika ALT naik menadji > 1-2 kali BANN, periksa serum HBV
DNA dan bila dapat dipastikan bukan disebabkan oleh hal yang lain maka dapat
dipertimbangkan terapi antiviral.
c. Terapi
1. Interferon α (IFN- α)
Pada pasien HBeAg + dengan SGPT yang lebih besart 3x dari BANN, respons
angka keberhasilan terapi interferon adalah sekitar 30-40% dibandingkan 10-20%
pada kontrol. Pemberian interferon 4,5 mu atau 5 mu seminggu 3x selama 4-6 bulan
dapat efektif. Apabila pengobatan diberikan selama 12 bulan makan angka
serokonversi HBeAg akan lebih meningkat.
Pemberian monoterapi dengan pegylated IFN- α-2a menghasilkan angka
keberhasilan serokonversi HBeAg lebih tinggi dibanding IFN- α2a konvensional.
Pada pasien dengan kadar SGPT pra-terapi yang lebih rendah (1,3-3x ULM) angka
serokonversi HBeAg lebih rendah tetapi dapat diperbaiki dengan pemberian
kortikosteroid sebelum terapi interferon. Namun demikian efek samping yang hebat
pernah dilaporkan akibat penggunaan cara ini. Bila serokonversi HBeAg ke anti
HBe tercapai, maka akan menetap pada lebih dari 80% kasus.
Pasien hepatitis B kronik aktif dengan HBeAg negatif, anti HBe positif, HBV
DNA positif juga memberikan respons selama terapi interferon, tetapi biasanya
terjadi relaps pada akhir terapi. Pengobatan ulangan dengan IFN- α menunjukkan
angka keberhasilan respons 20-40% baik pada HBeAg positif maupun negative.
Pada penelitian jangka panjang ditemukan bahwa serokonversi HBeAg, baik
yang diinduksi oleh terapi interferon atau secara spontan, bermanfaat untuk
kelangsungan hidup, kejadian gagal hati dan mencegah HCC.
Pengobatan interferon biasanya berhubungan dengan efek samping seperti
flulike symptoms, neutropenia, trombositopenia, yang biasanya masih dapat

15
ditoleransi, namun kadang-kadang perlu dilakukan modifikasi dosis. Terapi
interferon yang menginduksi hepatitis flare dapat menyebabkan dekompensasi
pada pasieen dengan sirosis dan dapat berbahaya bagi pasien dengan dekompensasi
hati. Lama terapi interferon standar adalah 4-6 bulan sedangkan pegilated interferon
adalah 12 bulan (Wahyudi, 2017).
2. Lamivudine
Lamivudine efektif untuk supresi HBV DNA, normalisasi SGPT dan
perbaikan secara histologist baik pada HBeAg positif dan HBeAg negatif/HBV
DNA positif. Pada pasien dengan HBeAg (+) yang diterapi selama satu tahun
dengan lamivudine (100 mg per hari) menghasilkan serokonversi HBeAg dengan
perbandingan kadar SGPT sebelum terapi : 64% (vs. 14% sebelum terapi) pada
pasien dengan SGPT dengan 5x BANN, 26% (vs. 5% sebelum terapi) pada pasein
dengan SGPT 2-5x BANN, dan hanya 5% (vs. 2% sebelum terapi) pada pasien
dengan SGPT <2x BANN.
Terapi antivirus jangka panjang meningkatkan proporsi menghilangnya HBV
DNA dan serokonversi HBeAg. Pada pasien dengan SGPT sebelum terapi 2x
BANN, angka keberhasilan serokonversi HBeAg adalah 65% setelah 3 tahun, dan
77% setelah 5 tahun. Pada saat serokonversi HBeAg ke anti-HBe tercapai, hal
tersebut bertahan pada 30-80% kasus akan tetapi dapat lebih rendah jika
pengobatan post-serokonversi berlangsung kurang dari 4 bulan.
3. Pegylated interferon α-2a
Pegylated interferon α-2a adlah interferon α2a yang dipegilasi. Berbeda
dengan interferon alfa pegilasi generasi terdahulu (pegylated interferon α-2a),
kemajuan penting dalam teknologi pegilasi telah berhasil mengembangkan
pegylated interferon α-2a dengan molekul polyethylene glycol (PEG) generasi baru
yang bercabang, berberat molekul lebih besar (40KD) serta ikatan antara protein
dan PEG yang kuat dan stabil (ikatan Amida). Implikasinya adalah Interferon alfa
berada dalam sirkulasid arah lebih lama, konsentrasi obat dalam plasma tetap
bertahan sepanjang interval dosis (satu minggu penuh) dan besarnya variasi dalam
serum sangat kecil sehingga menghasilkan profil tolerabilitas yang lebih baik
dibandingkan interferon α konvensional (Wahyudi, 2017).

16
Pencegahan umum hepatitis B berupa uji tapis donor darah dengan uji
diagnosis yang sensitif, sterilisasi instrumen secara adekuat-akurat. Alat dialisis
digunakan secara individual, dan untuk pasien dengan HVB disediakan mesin
tersendiri. Jarum disposable dibuang ke tempat khusus yang tidak tembus jarum.
Pencegahan untuk tenaga medis yaitu senantiasa menggunakan sarung tangan.
Dilakukan penyuluhan agar para penyalah guna obat tidak memakai jarum secara
bergantian, perilaku seksual yang aman. Mencegah kontak mikrolesi, menghindari
pemakaian alat yang dapat menularkan HVB (sikat gigi, sisir), dan berhati-hati
dalam menangani luka terbuka. Melakukan skrining ibu hamil pada awal dan pada
trimester ketiga kehamilan, terutama ibu yang berisiko tinggi terinfeksi HVB. Ibu
hamil dengan HVB (+) ditangani terpadu. Segera setelah lahir, bayi diimunisasi
aktif dan pasif terhada HVB. Melakukan skrining pada populasi risiko tinggi
tertular HVB (lahir di daerah hiperendemis, homoseksual, heteroseksual, pasangan
seks berganti-ganti, tenaga medis, pasien dialisis, keluarga dari pasien HVB kronis,
dan yang berkontak seksual dengan pasien HVB) (Wahyudi, 2017).

Imunisasi untuk HVB dapat aktif dan pasif. Untuk imunisasi pasif
digunakan hepatitis B immuneglobulin (HBIg), dapat memberikan proteksi secara
cepat untuk jangka waktu terbatas yaitu 3-6 bulan. Pada orang dewasa HBIg
diberikan dalam waktu 48 jam setelah terpapar VHB. Imunisasi aktif diberikan
terutama kepada bayi baru lahir dalam waktu 12 jam pertama. Vaksinasi juga
diberikan pada semua bayi dan anak, remaja, yang belum pernah imunisasi (catch
up immunization), individu yang berisiko terpapar VHB berdasarkan profesi kerja
yang bersangkutan, orang dewasa yang berisiko tertular VHB, tenaga medis dan
staf lembaga cacat mental, pasien hemodialisis (imunisasi diberikan sebelum terapi
dialisis dimulai), pasien yang membutuhkan transfusi atau produk darah secara
rutin, pada penyalahgunaan obat, pada homoseksual dan biseksual, pekerja seks
komersial, orang yang terjangkit penyakit akibat seks (STD), heteroseksual dengan
pasangan berganti-ganti, kontak serumah dan kontak seksual dengan pengidap
HVB, populasi dari daerah dengan isiden tinggi VHB, calon transplantasi hati.

17
Untuk mencapai tingkat serokonversi yang tinggi dan konsentrasi anti-HBs
protektif (10 mIU/ml), imunisasi diberikan 3 kali dengan jadwal 0,1,6 bulan
(Wahyudi, 2017).

18
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Penyakit Hepatitis B merupakan peradangan atau infeksi pada sel-sel hati yang
disebabkan oleh virus Hepatitis B. Peradangan hati dapat menyebabkan kerusakan sel-
sel, jaringan, dan bahkan semua bagian organ hati. Hepatitis dapat terjadi karena virus
yang menyerang sel-sel hati atau penyakit lain yang menyebabkan komplikasi pada
hati. (Misnadiarly, 2010; Radji, 2015). (Susansti et al., 2017)
2. Sektor kesehatan Indonesia saat ini sedang berada dalam situasi transisi epidemiologi
(epidemiologi transition) yang harus menanggung beban berlebih (triple burden).
Meskipun banyak penyakit menular (commmunicable disease) seperti penyakit cacar
dan frambusia yang sudah bisa ditangani, namun masih banyak penyakit menular lain
yang belum bisa dituntaskan. Jumlah kasus penyakit menular di Indonesia masih
dalam kategori tinggi. Penyakit menular merupakan penyakit yang ditularkan melalui
berbagai media. Penyakit jenis ini merupakan masalah kesehatan yang besar hampir
di semua negara berkembang karena angka kesakitan dan kematiannya yang relatif
tinggi dalam waktu yang relatif singkat. Salah satu diantara banyaknya penyakit
menular yang perlu ditangani adalah penyakit Hepatitis B (Misna et al., 2018).
3. Hepatitis virus akut adalah infeksi sistemik yang dominan menyerang hati. Hampir
semua kasus hepatitis virus akut disebabkan oleh salah satu dari lima jenis virus yaitu:
virus hepatitis A (HAV), virus hepatitis B (HBV), virus hepatitis C (HCV), virus
hepatitis D (HDV) dan virus hepatitis E (HEV). Jenis virus lain yang ditularkan
pascatransfusi seperti virus hepatitis G dan virus TT telah dapat diidentifikasi akan
tetapi tidak menyebabkan hepatitis. Semua jenis hepatitis virus yang menyerang
manusia merupakan virus RNA kecuali virus hepatitis B, yang merupakan virus DNA.
Apabila seorang terinfeksi hepatitis B pada usia yang lebih lanjut biasanya gejala
peradangannya singkat dan gejala penyakit tidak berat. Pada fase nonreplikatif masih

19
dapat ditemukan replikasi virus hepatitis B akan tetapi sangat sedikit sekali karena
ditekan oleh respons imun penderita. Sebagian pasien dengan antigen negative dapat
menjadi aktif kembali akan tetapi dengan e antigen tetap negatif. Jadi karena itu
terdapat 2 jenis hepatitis kronik B yaitu hepatitis B kronik dengan HBeAg positif dan
hepatitis B kronik dengan HBeAg negative. Pasien yang mengalami infeksi perinatal
dapat pula menjadi hepatitis kronik dengan HBeAg yang positif disertai dengan
peningkatan ALT akan tetapi sesudah waktu yang cukup lama (10-20/tahun)
(Wahyudi, 2017).
4. Virus hepatitis B adalah virus DNA berselubung ganda berukuran 42 nm memiliki
lapisan permukaan dan bagian inti dengan masa inkubasi sekitar 60 sampai 90 hari.
Terdapat 3 jenis partikel virus yaitu :

(1) Sferis dengan diameter 17 – 25 nm dan terdiri dari komponen selubung saja dan
jumlahnya lebih banyak dari partikel lain.

(2) Tubular atau filamen, dengan diameter 22 – 220 nm dan terdiri dari komponen
selubung.

(3) Partikel virion lengkap atau partikel Dane terdiri dari genom HBV dan
berselubung, diameter 42 nm.

5. Virus hepatitis B masuk ke dalam tubuh secara parenteral. Dari peredaran darah,
partikel Dane masuk ke dalam hati dan terjadi replikasi virus. Selanjutnya sel-sel hati
akan memproduksi dan mensekresi partikel Dane utuh, partikel HBsAg bentuk bulat
dan tubuler, dan HBeAg yang tidak ikut membentuk partikel virus. VHB merangsang
respon imun tubuh, yaitu respon imun non-spesifik dan respon imun spesifik. VHB
merangsang pertama kali respon imun non-spesifik ini (innate immune response)
karena dapat terangsang dalam waktu pendek, dalam beberapa menit sampai beberapa
jam. Proses eliminasi nonspesifik ini terjadi tanpa restriksi HLA, yaitu dengan
memanfaatkan sel-sel NK dan NK-T (Wahyudi, 2017).
6. Occupational Safety and Health Administration (OSHA) memandatkan vaksin
hepatitis B agar tersedia bagi petugas kesehatan yang rentan terhadap infeksi HBV.
Panduan ini dibuat agar seluruh pegawai yang memiliki pajanan kerja untuk diberikan
vaksin, dan dilakukan evaluasi paska pajanan serta follow-up bagi yang sempat

20
terpajan. Centers for Disease Control and Prevention (CDC) merekomendasikan
seluruh petugas kesehatan yang berisiko agar diperiksa dan semua yang rentan harus
menerima vaksin. Pemeriksaan seperti ini umumnya bisa mendeteksi petugas yang
terinfeksi kronis (Annisa, 2019).

B. Saran
Menyadari bahwa penulis masih jauh dari kata sempurna, kedepannya penulis
akan leboh focus dan details dalam menjelaskan tentang makalah diatas dengan sumbe –
sumber yang lebih banyak yang tentunya dapat di pertanggungjawbkan.

21
DAFTAR PUSTAKA

Alamudi, M. Y., Hadi, M. I., & Lina, M. F. . (2018). HbsAg SCREENING IN TEENAGERS IN
SURABAYA BY USING RAPID TEST SKRINING. Jurnal Kesehatan Masyarakat, 1(3),
30.

Annisa. (2019). Virus Hepatitis B di Indonesia dan Risiko Penularan Terhadap Mahasiswa
Kedokteran. Anatomica Medical Journal Fakultas Kedokteran Umsu, 2(2), 66–72.

Laksana, P. P., Sudirman, & Nurafni. (2017). FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN


DENGAN PENYAKIT HEPATITIS B PADA PENDONOR DARAH DI UTD PMI PROFINSI
SUL-TENG. 46(8), 769.

Misna, R., Zein, U., & Suroyo, B. (2018). Faktor Risiko Hepatitis B Pada Pasien di RSUD. Dr.
Pirngadi Medan. Jurnal Kesehatan Global, 1(1), 37. https://doi.org/10.33085/jkg.v1i1.3908

Oktavia, D., Yaswir, R., & Harminarti, N. (2017). Frekuensi Hepatitis B dan Hepatitis C Positif
pada Darah Donor di Unit Transfusi Darah Cabang Padang pada Tahun 2012. Jurnal
Kesehatan Andalas, 6(1), 147–151.

Permana, A., Lindri, S. Y., & Purwoko, M. (2019). Penyuluhan Kesehatan Dan Skrining HBsAg
Sebagai Upaya Pengendalian Hepatitis. JPPM (Jurnal Pengabdian Dan Pemberdayaan
Masyarakat), 3(1), 19. https://doi.org/10.30595/jppm.v3i1.3021

Susansti, Sernita, & Firdayanti. (2017). DETEKSI PENYAKIT HEPATITIS-B PADA IBU HAMIL
DI PUSKESMAS ABELI KOTA KENDARI. 4(1)(1), 572–575.

Wahyudi, H. (2017). HEPATITIS. Convention Center Di Kota Tegal, 6.

Wulandari, P. M., & Mulyantari, N. K. (2016). GAMBARAN HASIL SKRINING HEPATITIS


B DAN HEPATITIS C PADA DARAH DONOR DI UNIT DONOR DARAH PMI
PROVINSI BALI. E. Jurnal Medika, 5(7), 7–10.
http://garuda.ristekdikti.go.id/documents/detail/1357649, diakses 25 februari 2020, jam
10:27

Anda mungkin juga menyukai