Anda di halaman 1dari 8

TUGAS 1

PENGANTAR PENDIDIKAN
ALIRAN ESENSIALISME DAN PERENIALISME

Disusun oleh:

1. Desak Nyoman Niken Pratiwi (E1M019020)


2. Karmila Sari (E1M019038)
3. Nadiratul Khairah (E1M019056)
4. Saldila Nurlaili (E1M019078)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN KIMIA


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MATARAM
2020
1. ARTIKEL TENTANG GURU AGAMA MENERIAKI MURIDNYA
DENGAN SEBUTAN LONTE

 Pandangan Pendidikan Menurut Aliran Esensialisme

Menurut pandangan pendidikan aliran esensialisme,


Esensialisme percaya bahwa pendidikan harus didasarkan kepada
nilai-nilai kebudayaan yang telah ada sejak zaman awal peradaban
umat manusia, kebudayaan yang mereka wariskan kepada kita hingga
sekarang, telah teruji oleh zaman, kondisi dan sejarah kebudayaan,
demikian ialah esensial yang mampu pula mengembangkan masa
sekarang dan masa depan umat manusia. Dengan artian esensialisme
ingin kembali ke masa dimana nila-nilai kebudayaan itu masih tetap
terjaga, yang nilai itu tersimpul dalam ajaran para filosof, ahli
pengetahuan yang agung, yang ajaran dan nilai-nilai ilmu mereka
kekal.

Esensialisme, yang memiliki beberapa kesamaan dengan


perenialisme, berpendapat bahwa kultur kita telah memiliki suatu inti
pengetahuan umum yang harus diberikan di sekolah-sekolah kepada
para siswa dalam suatu cara sistematik dan berdisiplin. Tidak seperti
perenialisme, yang menekankan pada sejumlah kebenaran-kebenaran
eksternal, esensilisme menekankan pada apa yang mendukung
pengetahuan dan keterampilan yang diyakini penting yang harus
diketahui oleh para anggota masyarakat yang produktif. Beberapa
buku telah ditulis yang mengeluhkan penurunan kualitas pendidikan
sekolah secara serius di Amerika Serikat dan menuntut suatu
pendekatan esensialis pada pendidikan sekolah.

Nilai-nilai yang tertanam dalam warisan budaya atau sosial


adalah nilai-nilai kemanusiaan. Aliran ini menganggap bahwa nilai-
nilai budi pekerti yang baik itu terletak pada warisan-warisan budaya,
yang telah membuktikan kebaikan-kebaikannya bagi kehidupan
manusia. Dalam hal ini, aliran ini telah berupaya untuk
mengembangkan pemikiran kita sebagai manusia agar lebih
memeperhatikan nilai-nilai budaya yang telah diwariskan melalui
beberapa adat istiadat ataupun aturan yang berlaku di suatu daerah.
Akan tetapi, esensialisme lebih menitikberatkan pada nilai spiritual,
di mana pada budaya yang berkembang di masyarakat ini memiliki
beberapa nilai estetika, moral, religius dan kebenaran ilmu
pengetahuan.

 Peran Guru

Bagi kaum Esensialis, guru seharusnya berperan aktif dalam


pembelajaran. Ia sebagai penanggung jawab, pengatur ruangan,
penyalur (transmiser) pengetahuan yang baik, penentu materi,
metode, evaluasi dan bertanggung jawab terhadap seluruh wilayah
pembelajaran. Guru juga berperan sebagai mediator atau “jembatan”
antara dunia masyarakat atau orang dewasa dengan dunia anak,
dengan demikian inisiatif dalam pendidikan ditekankan pada guru,
bukan pada peserta didik. Untuk menciptakan siswa yang mempunyai
sikap dan perasaan solidaritas sosial dan ikut berperan dalam
mewujudkan kesejahteraan umum. Pewarisan nilai-nilai luhur agama
oleh sosok guru menjadi titik tekan tujuan pembelajaran
esensialisme, dan pembelajaran yang berisikan warisan budaya dan
sejarah dan di ikuti oleh keterampilan, sikap-sikap, dan nilai yang
tepat merupakan unsusr-unsur esensial dari sebuah kurikulum
pendidikan esensialisme.

Dalam artikel di atas, guru yang meneriaki murid


perempuannya dengan sebutan “lonte” sangat bertentangan dengan
pandangan aliran esensialisme. Sebab esensialisme memandang
pendidikan sebagai suatu media penyalur nilai budaya hasil warisan
nenek moyang yang dikembangkan melalui pendidikan di sekolah.
Akan tetapi, guru agama yang seharusnya bertindak sebagai mediator
dalam pembelajaran serta pengembangan nilai spiritual yang terdapat
pada diri siswa justru meneriaki muridnya sendiri dengan ucapan
yang bersifat tidak manusiawi di depan umum. Hal ini menyebabkan
muridnya menjadi depresi, dan mengurung dirinya di kamar karena
malu diejek dengan sebutan itu oleh teman-temannya. Selain itu, ia
juga memutuskan untuk berhenti sekolah. Peristiwa ini jelas sangat
berlawanan dengan profesinya sebagai seorang guru agama yang
seharusnya mendidik muridnya agar berperilaku dengan baik, sesuai
dengan nilai moral dan agama. Mengajarkan muridnya tentang
kaidah atau norma-norma agama untuk mengembangkan nilai
religiusnya, maka hal ini tidak sesuai dengan perannya sebagai
mediator.

 Kurikulum

Kurikulum (isi pendidikan) direncanakan dan diorganisasi oleh


orang dewasa atau guru sebagai wakil masyarakat, society centered.
Kurikulum society-centered menyatakan bahwa peranan sosial
maupun interaksi sosial harus merupakan penentu utama dalam
kurikulum. Kurikulum esensialis menekankan pengajaran fakta-fakta
kurikulum itu kurang memiliki kesabaran dengan pendekatan-
pendekatan tidak langsung dan introspektif yang diangkat oleh kaum
Progresivisme. Beberapa orang esensialis bahkan memandang seni
dan ilmu sastra sebagai embel-embel dan merasa bahwa pelajaran
IPA dan teknik serta kejuruan yang sukar adalah hal-hal yang benar
penting diperlukan siswa agar dapat memberi kontribusi pada
masyarakat.
Kurikulum Esensialisme seperti halnya Perenialisme, yaitu
kurikulum yang berpusat pada mata pelajaran (subject matter
centered). Di sekolah dasar penekanannya pada kemampuan dasar
membaca, menulis dan berhitung. Di sekolah menengah diperluas
dengan perluasan pada matematika, sains, humaniora, bahasa dan
sastra. Penguasaan terhadap materi kurikulum tersebut merupakan
dasar yang esensial bagi “general education” (filsafat, matematika,
IPA, sejarah, bahasa, seni dan sastra) yang diperlukan dalam hidup.
Belajar dengan tepat berkaitan dengan disiplin tersebut akan mampu
mengembangkan pikiran (kemampuan nalar) siswa dan sekaligus
membuatnya sadar akan dunia fisik sekitarnya. Menguasai fakta dan
konsep dasar yang esensial merupakan suatu keharusan.

2. ARTIKEL TENTANG MENGAMALKAN ASWAJA SEKALIGUS


MENJALANKAN TRADISI DAN BUDAYA
 pandangan pendidikan yang berhubungan dengan aliran
Perenialisme

Berdasarkan pengertiannya, aliran Perenialisme adalah sebuah


sudut pandang dalam filsafat agama yang meyakini bahwa setiap
agama di Dunia memiliki suatu kebenaran yang tunggal dan
universal, yang merupakan dasar bagi semua pengetahuan dan dokrin
religious. Tentang pendidikan kaum perenialisme memandang
education as cultur regression, yaitu pendidikan sebagai jalan
kembali, atau proses mengembalikan keadaaan manusia sekarang
seperti dalam masa lampau yang dianggap sebagai kebudayaan ideal.
Tugas pendidikan adalah memberikan pengetahuan tentang nilai-nilai
kebenaran yang pasti, absolut, dan abadi yang terdapat dalam
kebudayaan masa lampau yang dipandang sebagai kebudayaan ideal
tersebut. Sejalan dengan haldiats, penganut perenialisme percaya
bahwa prinsip-prinsip pendidikan juga bersifat universal dan abadi.

Apabila dikaitkan dengan Aswaja, ASWAJA (Ahlussunah


Wal Jama’ah) merupakan sistem keyakinan, metode pemikiran dan
tata nilai dalam pandangan agama. Dari pengertian kedua
pemahaman tersebut dijelaskan bahwa aliran Perenialisme mengarah
pada nilai-nilai dan norma-norma yang bersumber dari pengetahuan
mistis ataupun ajaran agama yang bersifat mutlak. Dan ASWAJA
sendiri menjadikan aliran Perenialisme sebagai landasan
pengembangan tutur serta prilaku dalam dunia pendidikan. Dari
penjabaran yang terdapat dalam artikel terkait “menjalankan
ASWAJA sekaligus menjalankan tradisi dan budaya“ dijelaskan
bahwa ajaran ASWAJA ialah ajaran yang tidak hanya dipahami
melalui sisi pandang tradisi dan budaya saja tetapi sekaligus juga
dipahami dalam konteks Agama yang mengarah pada bidang yang
lebih luas misalnya seperti pengantisipasian berkembangnya
pengaruh radikal dilingkungan lembaga pendidikan.

 Peran Guru

Peran guru pada aliran ini ialah sebagai pemberi informasi untuk
proses perkembangan peserta didiknya dalam mengembangkan
potensinya dibidang budaya dan tradisi termasuk agama di lingkup
instansi pendidikan. Umumnya pengembangan peranan guru
berdasarkan aliran perenialisme ini berdasarkan kebenaran yang
tunggal dan universal, yang merupakan dasar bagi semua
pengetahuan dan dokrin religious. Sehingga dalam proses pendidikan
yang dimaksud dalam artikel terkait tentang pengamalan Aswaja ini,
lebih mengedepankan guru sebagai sumber informasi atau sebagai
narasumber. Oleh karena itu, pengamalan aswaja ini merupakan
prinsip yang telah sesuai dengan nilai-nilai yang terdapat pada aliran
perenialisme.

 Kurikulum

Beberapa tokoh idealisme memandang bahwa kurikulum itu


hendaklah berpangkal pada landasan ideal dan organisasi yang kuat.
Bersumber atas pandangan ini, kegiatan-kegiatan pendidikan
dilakukan. Pandangan yang dipaparkan oleh Herman Harrell Horne
menulis dalam bukunya yang berjudul This New Education
mengatakan bahwa hendaknya kurikulum itu bersendikan atas
fundamental tunggal, yaitu watak manusia yang ideal dan ciri-ciri
masyarakat yang ideal. Kegiatan dalam pendidikan perlu disesuaikan
dan ditujukan kepada yang serba baik tersebut. Atas dasar ketentuan
ini berarti bahwa kegiatan atau keaktifan anak didik tidak terkekang,
asalkan sejalan dengan fundamen-fundamen itu.

Kurikulum pendidikan bersifat subject centered berpusat pada


materi pelajaran. Materi pelajaran haris bersifat uniform, universal
dan abadi, selain itu materi pelajaran terutama harus terarah kepada
pembentukan rasionalitas manusia, sebab demikianlah hakikat
manusia. Mata pelajaran yang mempunyai status tertinggi adalah
mata pelajaran yang mempunyai “rational content” yang lebih besar.
DAFTAR PUSTAKA

https://www.nu.or.id/post/read/108893/mengamalkan-aswaja-sekaligus-
menjalankan-tradisi-dan-budaya

https://www.suara.com/news/2020/01/18/084656/dikatai-lonte-sama-guru-
agama-siswi-smk-anambas-stress-berhenti-sekolah

Anda mungkin juga menyukai