Anda di halaman 1dari 721

PENGANTAR

NANOTEKNOLOGI

Editor:
Prof. Mikrajuddin Abdullah
Institut Teknologi Bandung

Bandung
2012
Daftar Isi

Bab 1 Pendahulua 1

Mikrajuddin Abdullah

Bab 2 Sistem Reverse Osmosis(RO) Menggunakan Membran Nano Filtrasi

untuk Pengolahan Air 21

Abdul Rajak

Bab 3 Memori berbasis Si/Ge/Si Quantum Dot MOSFET dengan High-k Material 39

Adha Sukma Aji

Bab 4 Partikel Nano untuk Sunscreen menggunakan TiO 2 55

Alvina Kusumadewi K

Bab 5 Nanorobotika untuk Sistem Deug Delivery yang Efisien 65

Donald Hary Pratama

Bab 6 Organic Light Emitting Diode 77

R. Dunden Gilang Muharam

Bab 7 Aplikasi Graphene Untuk Lithium Ion Battery 90

Fadli Rohman

Bab 8 Biosintesis Nanopartikel Perak Menggunakan Air Rebusan Daun

Bisbul (Diospyrosblancio) 103

Febri Berthalita Pujaningsih

Bab 9 Titik Kuantum 116

Fitria Rahayu

Bab 10 Divais Termoelektrik 132

Ganjar Kurniawan S

Bab 11 SnO 2 untuk Aplikasi Sensor Gas 142


Herlin Pujiarti

Bab 12 Karakterisasi Struktural dan Mekanis Lapisan Nanokomposit

dalam Nanoscale 155

Idham Pribadi Muchammad

Bab 13 Silikon Nanowire (SiNW) dan Aplikasinya 171

Irfan Firdaus S

Bab 14 Karbon Nanofiber 183

Iskandar

Bab 15 Nanoteknologi pada Pertanian 207

Khairiah

Bab 16 Aplikasi Partikel Nano-Silika Pada Material Kontruksi 226

Mega Nurhanisa

Bab 17 Indium Tin Oxide (ITO) untuk Aplikasi Solar Cell 238

Naily Ulya

Bab 18 Aplikasi Nanoteknologi untuk Pembuatan Nano Fiber Pada Bidang

Tekstil Menggunakan Alat Elektrospinning 247

Nety Fitrianingsih

Bab 19 Aplikasi Carbon Nanotube sebagai Drug Delivery System

untuk Terapi Kanker 255

Nila Prasetya Aryani

Bab 20 Detektor Gas Etilen pada Buah dengan Carbon Nanotube 264

Nuha

Bab 21 Hipertermia Magnetik: Terapi Kanker Menggunakan

Nanopartikel Magnetik 272

Riri Murniati

Bab 22 Nanocoating dan Pemanfaarannya 291

Tri Siswandi Syahputra


Bab 23 Nanokomposit Polimer untuk Aplikasi Plastik Biodegradable

(Ramah Lingkungan) 303

Yolla Sukma Handayani

Bab 24 Karakterisasi Nanomaterial Menggunakan SEM, TEM dan AFM 325

Abdul Muid

Bab 25 Blokade Coulomb (Coulomb Blockade) 355

Anggi Puspita Swardhani

Bab 26 Graphene 375

Anton Prasetyo

Bab 27 Karakterisasi Sifat Mekanik Nanokomposit Logam 407

Deny Hardiansyah

Bab 28 Aplikasi Nanokristal ZnO pada Solar Cell 436

Dicky Anggoro

Bab 29 Sintesis Nanomaterial 471

Ea Cahya Septia Mahen

Bab 30 Carbon Nanotube 502

Elfi Yuliza

Bab 31 Nanowire 538

Maria Ulfa

Bab 32 Resonant Tunneling Diode 571

Rahmat Awaludin Salam

Bab 33 Nanokomposit Polimer 593

Rahmat Firman

Bab 34 Efek Ukuran Pada Sifat Kimia Nano 623

Ratna Dewi Syarifah

Bab 35 Nanofluida 647

Shanty Merissa
Bab 36 Quantum Dots 671

Siti Ala’a

Bab 37 Sel Surya Quantum Dot 697

Dui Yanto Rahman


Kata Pengantar

Isi buku ini merupakan kumpulan tugas mahasiswa yang mengambil mata kuliah Fisika
Material dan Divais Nano di Program Magister Fisika Institut Teknologi Bandung. Para
mahsasiswa diminta membuat makalah review tentang nanoteknologi dengan bahasa yang
lebih mudah dipahami. Agar tulisan tersebut bermanfaat bagi pembaca dari spektrum yang
lebih luas, tulisan tersebut digabung menjadi satu draft monograf. Draft ini direncanakan
akan diterbitkan secara resmi dalam bentuk monograf setelah dilakukan sejumlah koreksi.

Para mahasiswa telah diminta untuk menghindari plagiarisme dalam membuat tulisan.
Walaupun demikian, masih ada sejumlah gambar yang belum memiliki referensi. Sebelum
diterbitkan secara resmi, gambar-gambar tersebut akan dilengkapi daftar rujukan sehingga
tidak ada lagi penggunaan karya penulis lain yang tanpa dilengkapi rujukan.

Sambil melakukan perbaikan, saya berinisiatif membagi tulisan ini kepada yang berminat.
Saya sangat berharap ada saran, kritik, atau apa saja yang penting untuk memperbaiki draft
ini. Juga, jika ada penerbit yang bersedia menerbitkannya, saya sangat berterima kasih.

Bandung, Desember 2012

Editor

Dr.Eng. Mikrajuddin Abdullah

Profesor bidang Fisika Nanomaterial

Institut Teknologi Bandung

Email: mikrajuddin@gmail.com

 
Bab 1
Pendahuluan
Oleh : Mikrajuddin Abdullah

Nanoteknologi adalah teknologi yang didasarkan pada rekayasa sifat-sifat


material yang berukuran nanometer. Namun nanoteknologi tidak melulu bermakna
pengecilan ukuran material atau piranti ke dalam skala nanometer. Misalkan material
ukuran besar yang dimilling (ditumbuk) hingga mencapai ukuran nanometer. Langkah
ini belumlah dikatakan nanoteknologi. Ketika ukuran material direduksi maka harus
ada sifat-sifat baru yang diekploitasi atau diciptakan, dan eksploitasi sifat baru itulah
yang digolongkan nanoteknologi.
Pembedaaan antara nanomaterial/nanopartikel dengan material/partikel
konvesional tidak hanya didasarkan pada ukuran di mana salah satu mempunyai
ukuran yang sangat kecil dan yang lain memiliki ukuran besar. Pengelompokan
tersebut juga didasarkan pada seberapa besar/jenis rekayasa atau manipulasi yang
dilakukan pada material/partikel tersebut untuk menghasilkan sifat atau fungsi baru.
Jadi, nanoteknologi juga harus menyangkut juga rekayasa sifat dalam ukuran tersebut.
Sebagai ilustrasi sederhana, misalkan emas. Andaikan ketika emas diubah
menjadi partikel dalam ukuran nanometer tidak mengubah sifat emas tersebut, atau
sifat emas berukuran nanometer persis sama dengan sifat emas ukuran besar, maka
nanopartikel emas tersebut tidak termasuk ranah nanoteknologi. Tetapi pengamatan
menunjukkan bahwa emas dalam skala nanometer memperlihatkan sifat-sifat baru
seperti menjadi sangat reaktif (dalam ukuran besar emas adalah logam inert/sulit
mengalami reaksi kimia), memiliki titik leleh yang turun drastis ketika ukurannya
makin kecil, memancarkan warna yang berbeda bergantung pada ukuran. Ini berarti
bahwa aplikasi emas dalam skala nanometer masuk dalam ranah nanoteknologi.
Nanoteknologi lebih banyak dibangun atas pendekatan bottom-up, yaitu
menyusun material mulai dari atom menjadi nanopartikel atau nanostruktur lainnya.
Dengan pendekatan ini maka jumlah atom, jenis atom, maupun cara penyusunan
atom-atom tersebut dapat dikontrol yang berimplikasi pada pengontrolan/rekayasa
sifat material yang dihasilkan. Dengan kata lain, kita dapat membuat material dengan
sifat yang benar-benar baru.
Pendekatan secara top-down tidak banyak menggenerasi sifat baru dari
material tersebut. Sifat baru material skala nanometer yang diproduksi dengan
pendekatan top-down biasanya akan dihasilklan setelah dilakukan proses tambahan,
misalnya doping nanomaterial yang dihasilkan dengan atom jenis lain, atau memberi
perlakuan fisis atau kimiawi tambahan.
Hingga saat ini para ilmuwan masih mempercayai bahwa material dalam skala
nanometer adalah material dengan dimensi di bawah 100 nm. Skala ini disepakati
karena sudah ada material yang memperlihatkan sifat-sifat baru ketika ukuranya
sekitar 100 nm. Namun, banyak juga material yang baru memperlihatkan sifat-sifat

1
yang baru kalau ukurannya lebih kecil lagi hingga di bawah 10 nm. Contohnya adalah
penurunan titik leleh logam dapat diamati ketika ukurannya di bawah 10 nm dan
penurunan yang signifikan diamati ketika ukurannya di bawah 5 nm. Logam emas
yang semula adalah material inert (sulit mengalami reaksi kimia) berubah menjadi
sangat reaktif ketika ukurannya di bawah 3 nm.
Nanoteknologi mulai dieksploitasi sejak masuk tahun 2000-an. Namun,
sebenarnya makhluk hidup telah memanfaatkan “nanoteknologi” ini sejak ribuan
tahun yang lalu. Misalnya tokek yang bisa menempel sangat kuat di dinding. Totek
dapat merayap di kaca dalam posisi terbalik (tubuh berada di bawah) yang
mengindikasikan betapa kuatnya tempelan kaki tokek pada kaca. Di kaki tokek
terdapat rambut-rambut yang sangat halus (Gambar 1.1). Rambut tersebut
mengandung atom-atom dengan jumlah per satuan luas sangat banyak. Ingat, makin
kecil ukuran material maka jumlah atom per satuan luas permukaan makin besar. Tiap
atom di kaki tokek melakukan gaya van der Waals dengan atom di dinding. Tiap atom
menghasilkan gaya tarik tertentu. Karena banyak sekali atom di rambut-rambut kaki
tokek maka banyak sekali atom yang melakukan gaya van der Walls dengan atom di
dinding sehingga dihasilkan gaya tarik yang sangat besar. Gambar 1.2 adalah
ilustrasi gaya van der Walls antara molekul dengan dinding.

Gambar 1.1 Kaki tokek mengandung rambat-rambut yang sangat halus.


Rambut yang sangat harus mengandung jumlah atom per luas permukaan yang sangat
besar. Tiap atom melakukan gaya tarik van der Walls dengan atom di dinding. Karena
banyak sekali atom pada rambut yang berikatan van der Walls maka gaya tarik yang
dihasilkan menjadi sangat besar (sumber gambar: http://thebeautybrains.com).

Dunia kosmetik juga telah memanfaatkan nanoteknologi walaupun dalam


bentuk teknologi yang sangat sederhana. Contohnya adalah penggunaan nanopartikel
dalam lotion, cream, atau sampo. Dalam lotion tabir surya (sunscreen) banyak
digunakan nanopartikel seng oksida (ZnO) atau titanium dioksida (TiO 2 ). Material
tersebut memiliki lebar pita energi yang sesuai dengan energi sinar ultraviolet. Ketika
cahaya matahari mengenai material tersebut maka sinar ultraviolet diserap oleh

2
material tersebut dan spektrum cahaya tampak (visibel) diloloskan. Penggunaan
material tersebut dalam lotion mencegah sinar ultraviolet mengenai kulit sehingga si
pemakai terhindar dari kerusakan kulit atau kanker kulit.

Gambar 1.2 Molekul (atas) menempel di substrat (bawah) karena adanya


gaya van der Waals antara atom pada molekul dengan atom pada substrat (sumber:
http://amadm.unileoben.ac.at)

Gambar 1.3 memperlihatkan spekturm absorpsi nanopartikel ZnO. Tampak


bahwa nanopartikel tersebut memiliki kemampuan penyerapan sangat tinggi pada
panjang gelombang kurang dari 370 nm (ultraviolet) dan hampir meloloskan semua
panjang gelombang di atas 370 nm (cahaya tampak). Sifat inilah yang dimanfaatkan
dalam lotion tabir surya.

Gambar 1.3 Spektrum absorbs nanopartikel ZnO (D. Sarkar, S. Tikku, V.


Thapar, R. S. Srinivasa, and K. C. Khilar, Colloids and Surfaces A: Physicochemical
and Engineering Aspects 381, 123–129 (2011))

3
Dengan mengatur ukuran partikel maka material tersebut dapat memiliki sifat
yang berbeda. Jika ukuran partikel sangat kecil (di bawah 10 nm) maka ZnO atau
TiO 2 bersifat transparan terhadap cahaya tampak sehingga cream yang dihasilkan
hanya menyerap ulytaviolet tetapi tidak mengganggu warna kulit. Warna kulit
pemakai cream tetap alami (apa adanya). Jika ukuran partikel lebih besar maka
partikel tersebut akan menghamburkan cahaya putih. Penggunaan partikel tersebut
dalam lotion akan memiliki fungsi ganda: menyerap ultraviolet dan membangkitkan
cahaya putih. Cream inilah yang berfungsi sebagai cream pemutih. Pemakai cream
tersebut akan menampilkan warna kulit yang lebih putih. Gambar 1.4 adalah contoh
cream pemutih sekaligus pelindung dari ultraviolet produksi Olay.

Gambar 1.4 Contoh cream pemutih sekaligus sebagai penyerap ultraviolet


produksi Olay (sumber gambar: http://ebay.com.au).

Aplikasi lain dari TiO 2 adalah pemanfaatan sifat fotokatalitik dari material
tersebut. Katalis adalah material yang membantu proses reaksi kimia. Dengan adanya
katalis maka zat yang semula tidak dapat bereaksi menjadi dapat bereaksi. Dengan
adanya katalis maka reaksi yang semula lambat bisa menjadi cepat. Katalis hanya
membantu terjadinya reaksi kimia atau membantu mempercepat reaksi kimia tanpa
ikut habis bereaksi. Setelah reaksi berlangsung maka katalis tetap ada dalam jumlah
yang sama dan siap untuk terlibat dalam reaksi selanjutnya. Jumlah katalis yang
digunakan dalam reaksi juga tidak banyak. Hal ini memang karena secara teori katalis
tidak pernah habis, berapa pun banyak zat yang bereaksi.
Beberapa katalis dapat langsung berfungsi ketika dicampurkan ke dalam zat
yang akan bereaksi. Namun sebagian katalis memerlukan kondisi atau lingkungan
khusus agar dapat berperan dalam reaksi kimia. Contohnya adalah fotokatalis.
Material ini hanya bisa menjadi katalis ketika dikenai cahaya. Jadi agar reaksi kimia
dapat berlangsung di bawah pengaruh katalis tersebut maka katalis harus terus-
menerus disinari cahaya. Contoh yang terkenal fotokatalis adalah TiO 2 .
Dari sudut pandang fisika, fenomena ini dapat dijelaskan dengan mudah.
Titanium dioksida adalah bahan semikonduktor dengan lebar celah pita energi sekitar
3,2 eV. Energi sebesar ini kira-kira sama dengan energi foton sinar ultraviolet. Praktis
material ini mendekati sifat isolator karena celah pita ini sangat lebar. Ketika dikenai

4
cahaya tampak, sifat material tersebut tidak berubah. Namun, jika disinari dengan
ultraviolet maka elektron yang berada di puncak pita valensi dapat menyerap foton
tersebut dan loncat ke pita konduksi. Akibatnya terciptalah pasangan elektron (di pita
konduksi) dan hole (di pita valensi). Jika ukuran partikel sangat kecil, misalnya dalam
orde nanometer, maka elektron dan hole yang dihasilkan dengan mudah mencapai
permukaan partikel karena jarak permukaan ke lokasi diciptakan pasangan elektron-
hole tersebut sangat kecil. Ketika bersentuhan dengan molekul-molekul yang ada di
sekitar permukaan partikel maka elektron dan hole dapat meloncat ke molekul-
molekul tersebut dan menghasilkan radikal di sekitar permukaan partikel. Dari sisi
kimiawi, radikal adalah atom atau molekul atau gugus yang sangat reaktif. Ketika
bertemu dengan molekul lain maka radikal tersebut dapat “menghancurkan” molekul
yang dijumpainya melaui reaksi kimia.
Sifat TiO 2 yang dapat menginduksi munculnya radikal sehingga menginisiasi
reaksi kimia dimanfaatkan dalam sejumlah bidang. Salah satunya adalah pembuatan
kaca yang dapat membersihkan dirinya sendiri (self cleaning). Prinsipnya cukup
sederhana. Permukaan kaca dilapisi dengan nanopartikel TiO 2 . Lapisan dibuat sangat
tipis. Karena nanopartikel TiO 2 transparan terhadap cahaya tampak maka pelapisan
tersebut tidak mengganggu kebeningan kaca. Misalkan kotoran atau debu menempel
di kaca. Biasanya kaca dibersihkan dengan cara mencuci kemudian melap. Kadang
mencuci dengan air tidak sanggup menghilangkan kotoran tersebut.

Gambar 1.5 Kaca yang dilapisi nanopartikel TiO 2 akan bersih dengan
sendirinya dari kotoran ketika dikenai air hujan karena terjadinya reaksi kimia pada
kotoran tersebut. Ini berkat sifat fotokatalitik yang dimiliki titanium TiO 2 .

Dengan adanya TiO 2 yang dicoating di kaca maka pembersihan dalam


berlangsung dengan sendirinya. Ketika cahaya matahari mengenai kaca maka
nanopartikel TiO 2 menjadi aktif, menghasilkan pasangan elektron dan hole dan pada
akhirnya menghasilkan radikal di sekelilingknya. Radikal tersebut menginduksi reaksi
kimia di sekitar kotoran sehingga melemahkan tempelan kotoran pada kaca. Ketika
turun hujan atau ketika kendaraan yang menggunakan kaca tersebut dihembus angin

5
saat dikendarai maka kotoran yang sudah terikat lemah akan lepas dengan mudah
(Gambar 1.5). Pada akhirnya kaca akan bersih dengan sendirinya (tidak perlu kita
bersihkan).
Dengan pelapisan semacam ini maka dapat dikatakan pula bahwa kotoran sulit
menempel di kaca. Setiap ada kotoran yang menempel maka kotoran tersebut akan
dibersihkan dengan sendirinya. Ini berakibat kaca akan selalu bersih dan halus.
Dengan kondisi kaca yang selalu bersih dan halus maka air yang jatuh di kaca dengan
segera mengalir tanpa membentuk titik-titik air. Kaca semacam ini akan kelihatan
selalu bening meskipun dalam kondisi hujan. Mobil-mobil mewah sekarang sudah
dilengkapi kaca semacam ini. Dalam kondisi hujan pun kaca tetap benintg meskipun
tidak menggunakan wiper.
Ada masalah serius yang dihadapi industri mikroelektronika sekarang ketika
ingin meningkatkan lebih jauh keadalan divasi yang dihasilkan. Dalam usaha
meningkatkan kapasitas penyimpanan maupun meningkatkan kecepatan proses maka
salah satu pilihan adalah mereduksi ukuran divais. Saat ini memang mikroprosessor
telah dibuat dengan ukuran kanal di bawah 100 nm. Dari sisi dimensi, perancangan
prosesor sudah memasuki dimensi nanometer. Prosesor Intel Prescott sudah
menggunakan kanal dengan ukuran 90 nm.
Jika ukuran komponen kecil maka kecepatan pemrosesan menjadi lebih cepat
dan jumlah komponen menjadi lebih banyak. Keduanya akan berimplikasi pada
makin besarnya konsumsi daya listrik untuk mengoperasikan prosessor tersebut.
Makin besar listrik yang diperlukan akan makin meningkatkan panas yang dibuang
prosessor. Prosessor akan menjadi lebih cepat panas.
Lebih lanjut, jika ukuran kanal makin kecil maka hambatan ohmik kanal akan
membesar. Teori menyatakan bahwa jika ukuran konduktor makin kecil (dalam orde
nanometer) maka kondukstivitas listriknya makin kecil. Konduktivitas yang makin
kecil berarti hambatan listrik yang makin besar. Jika hambatan makin besar maka
makin banyak panas yang akan dihasilkan dalam rangkaian tersebut.

Gambar 1.6 Mula-mula electron berada di sebelah kanan isolator (balok


hitam). (a) Elektron tidak dapat menembus bahan isolator, diindikasikan oleh fungsi
gelombang menjadi nol dalam bahan isolator. (b) Elektron dapat menembus bahan
isolator yang sangat tipis (proses penerobosan/tunneling), diindikasikan oleh fungsi
gelombang yang tidak nol di luar bahan isolator.

6
Ukuran yang makin kecil juga menyebabkan kekuatan material makin kecil.
Seperti telah dijelaskan, jika ukuran material masuk dalam orde nanometer maka titik
lelehnya makin rendah. Jadi pengecilan ukuran divais menghasilkan sejumlah efek
samping yang sama-sama menurunkan keandalan divais. Yang meningkat dari reduksi
ukuran tersebut hanyalah kecepatan perosesan serta kapasitas komponen yang dapat
dibuat. Tetapi implikasi lain yang tidak dikehendaki adalah daya listrik yang makin
besar, panas yang terlalu tinggi, divais secara mekanik menjadi lemah, sehingga
kerusakan divais akan makin cepat.
Reduksi ukuran memiliki batas yang sulit untuk dilanjutkan lagi. Ketika
ukuran divais makin kecil, misalnya saat membuat persambungan semikonduktor,
maka proses penerobosan (tunneling) akan makin bersar peluang untuk terjadi
(Gambar 1.6). Fenomena ini melahirkan arus kebocoran. Arus kebocoran yang besar
akan mengurangi keandalan alat.
Sebagai contoh, ketika membuat kapasitor maka antara dua elektroda
disisipkan isolator (bahan dielektrik, Gambar 1.7). Tidak boleh ada muatan listrik
yang melewati lapisan isolator tersebut agar muatan yang tersimpan dalam kapasitor
tidak hilang. Jika lapisan isolator memiliki ketebalan dalam orde nanometer, maka
fenomena terobosan electron dari elektroda negatif ke eletroda positi makin mudah
terjadi. Akibatnya, muatan tidak bisa bertahan lama di dalam kapasitor. Penerobosan
elektron dalam waktu yang tidak terlalu lama menyebabkan semua elektron pada
elektroda negatif pindah ke eletroda positif. Kapasitor yang semula penuh berisi
muatan menjadi kosong dalam waktu yang tidak terlalu lama.

Gambar 1.7 Struktur kapasitor

Diperkirakan pembuatan divais dengan mereduksi ukuran akan berhwnti tahun


2018 karena tidak mungkin lagi melakukan reduksi lebih lanjut. Di samping beberapa
masalah yang disebutkan di atas, teknologi pencetakan (etching) sudah tidak dapat
digunakan untuk membuat kanal-kanal yang lebih kecil lagi. Oleh karena itu, reduksi
lebih lanjut ukuran divais harus menggunakan cara yang benar-benar benda. Dan pada
akhirnya pada ahli harus membuat divais dengan prinsip kerja yang benar-benar
berbeda dengan prinsip kerja divais yang ada saat ini. Tumpuan harapan adalah
nanoteknologi. Dalam divais nanoteknologi, transistor tidak lagi berbentuk
persambungan semikonduksot pnp atau npn tetapi hanya satu nanopartikel yang
dihubungkan oleh kawat-kawat ukuran beberapa nanometer. Transistor ini dikenal

7
dengan single electron transistor (SET). Gambar 1.8 adalah perbedaan struktur
transistor konvensional dan SET.

Gambar 1.8 (a) Struktur transistor konvesional dan (b) struktur single
electron transistor

Kapasitor bukan lagi dua konduktor yang dibatasi lapisan isolator tetapi
berupa material dalam dimensi nanometer. Jumlah muatan yang disimpan bukan lagi
dalam orde mikrocolumb atau nanocoulumb, tetapi hanya beberapa elektron. Satu
elektron membawa muatan 1,6 x 10-19 C. Dapat dibayangkan betapa sedikit muatan
yang disimpan kapasitor berbasis material nano.
Peneliti IBM telah mengembangkan transistor dari CNT dengan kemampuan
yang jauh melampauai transitor yang berbasis silikon. Dibuktikan dalam laboratorium
bahwa transistor CNT dapat membawa arus listrik dua kali lebih benyak daripada
transistor terbaik yang ada di pasar.
Peneliti dari University of New South Wales berhasil membuat transistor
secara bottom-up dengan cara menyusun atom satu per satu menggunakan alat yang
bernama Scanning Tunneling Microscope (STM). Alat ini dapat mencabut atom dari
suatu posisi dan menempatkan di posisi yang lainya. Transisor yang mereka buat

8
merupakan transistor terkecil yang pernah dibuat hingga saat ini dan mungkin
menjadi transtor terkecil hingga beberapa dekade mendatang (Gambar 1.9).
Keberhasilan pengembangan transistor ini menjadi awal yang baik dalam
merealisasikan komputer super canggih yang bernama komputer kuantum. Komputer
kuantum adalah komputer yang memiliki cara kerja benar-benar berbeda dengan
komputer saat ini. Sistem pengolahan sinyal pada komputer saat ini masih
menggunakan fisika klasik. Sebaliknya, komputer kuantum akan menggunakan teori
fisika kuantum dalam pemrosesan sinyal dan diyakini lebih powerfull daripada
pengolahan sinyal pada komputer yang ada saat ini. Yang masih menjadi kendala
adalah transistor ini baru bisa bekerja jika suhu -391 fahrenheit. Sekarang para
peneliti melakukan kajian bagaimana agar transistor ini dapat bekerja pada suhu yang
lebih tinggi, yaitu di sekitar suhu kamar. Dengan suhu tersebut maha tidak diperlukan
peralatan penidngin tambahan agar computer yang dibuat dapat beroperasi.

Gambar 1.9 Transisotr terkecil yang dibuat dengan STM oleh peneliti dari
University of New South Wales. Satu atom fosfor ditempatkan di tengah-tengah dua
elektroda. Ketika diberikan tegangan kecil antara dua elektroda maka diamati kurva
srus tegangan yang menyerupai kurva Field Effect Transisort (FET) (sumber gambar:
http:// www.circuitstoday.com).

Hal yang juga penting untuk dikembangkan adalah piranti penyimpan energi
dalam jumlah besar namun ukurannya kecil (kerapatan energi yang disimpan sangat
tinggi). Salah satu piranti tersebut adalah kapasitor. Kapasitor yang dijual saat ini
masing menyimpan energi dalam jumlah yang kecil. Kebocoran muatan juga menjadi
masalah yang masih terus diselesaikan. Kebocoran muatan yang disimpan, meskipun
cukup kecil tetap mengurangi efektivitas penyimpanan. Kebocoran menyebabkan
divais tersebut tidak dapat digunakan untuk menyimpan energi dalam waktu yang
cukup lama karena dalam selang waktu yang lama muatan yang disimpan bisa habis.
Apa yang dikejar para peneliti adalah membuat kapasirot dengan kapasitas
penyimpanan sangat tinggi dengan kebocoran seminimal mungkin. Salah satu
jawaban pada permasalahan ini adalah pengembangan superkapasitor.
Penyimpan energi listrik yang dikenal saat ini adalah baterei dan kapasitor.
Baterei dapat menyimpan energi yang cukup banyak. Tetapi proses penyimpanan
energi dalam baterei sangat lama. Menyimpan eenrgi dalam baterei artinya mengisi

9
(charge) baterei tersebut. Dan kita semua tahu bahwa diperlukan waktu berjam-jam
untuk mengisi penuh baterei kecil sekalipun (baterei hp). Baterei hp yang baru dibeli
perlu diidi sekitar 6 jam. Sebaliknya kapasitor dapat diisi dalam waktu yang sangat
pendek. Untuk kapasitor kecil, waktu pengisian hanya dalam orde mikrodetik.
Namun, energi yang disimpan dalam kapasitor sangat kecil. Diperlukan kapasitor
yang luar biasa besar untuk menghasilkan eenrgi yang cukup untuk menjalankan
peralatan elektronik dalam beberapa jam.
Para ahli mencari piranti yangh menggabungkan kelebihan baterei
(menyimpan eenrgi dalam jumlah besar) dan kemapuan kapasitor (dapat diisi dalam
waktu yang sangat pendek). Jawaban dari masalah ini adalah superkapasitor.
Superkapasitor adalah kapasitor yang dapat menyimpan energi ratusan sampai ribuan
kali kemapuan kapasitor yang ada saat ini. Jadi yang dilakukan adalah desain
kaapsitor jenis baru dengan kapasitas penyimpanan yang tinggi. Bagaimana ide ini
dapat dilakukan.
Energi disimpan dalam kapasitor dalam bentuk muatan listrik. Makin besar
muatan listrik maka makin besar eenrgi yang disimpan. Jumlah muatan listri yang
disimpan sebanding dengan kapasitansi kapasitor. Dengan dmeikian, agar kapasitor
dapat menyimpan eenrgi dalam jumlah besar maka kapasitansi kapasitor harus besar.
Bagaimana memeprbesar kapasitansi kapasitor? Kita ingat rumus

C = κ ε 0 A/d

dengan κ adalah konstanta dielektrin isolator antar dua elektroda kaapsitor, ε 0 adalah
permitivitas ruang hampa, A luas penampang kapasitor, dan d adalah jarak antar
elektroda.
Untuk memperbesar kapasitansi maka jarak antar pelat kapasitor (tebal
isolator) harus sekecil mungkin. Tetapi ini ada batasnya. Jika isolator terlalu tipis
maka terjadi kebocoran electron dari pelat bermuatan negative ke pelat bermuatan
positif serhingga lama-kelamaan muatan dalam kapasitor hilang (saling menetralkan).
Cara lain adalah menaikkan konstanta dielektrik isolator antara dua pelat. Yang
menjadi problem lagi adalah ketika ketebalan isolator (dielektrik) tersebut diperkecil
dalam orde nanometer maka nilai constant dielektrik mengecil. Konstanta dielektrik
material berkurang jika ketebalan material makin kecil. Cara lain adalah memperbesar
luas penampang elektroda kapasitor. Ini berimplikasi pada pembesaran ukuran
kapasitor yang jelas tidak sesuai dengan keinginan membuat kapasitor dengan
kapasitansi besar tetapi ukuran tetap kecil.
Hal di atas dapat dijawab dengan nanoteknologi. Suatu permukaan bahan bisa
diperbesar tanpa mengubah dimensi (panjang, lebar, maupun tinggi) dengan membuat
permukaan bahan tersebut berpori. Makin kecil ukuran pori maka makin besar luas
permukaan bahan tersebut. Luas permukana di sini adalah luas permukaan tempat
electron bisa keluar. Jadi, kalau pori dibuat dalam ukuran nanometer maka luas
permukaan menjadi sangat besar dan bisa meningkat hingga ratusan atau ribuan kali
lebih besar daripada luas permukaan yang halus (tanpa pori).
Para ahli membuat superkapasitor dengan menggunakan elektroda yang
mengandung nanopori (Gambar 1.10). Peneliti dari Drexel University menggunakan
elektroda karbon dengan bentuk seperti bawang, di mana satu partikel disusun oleh

10
sejumlah atom karbon dalam pola konsentris, serupa dengan lapisan-lapisan pada
bawang. Diameter tiap partikel yang dibuat antara 6 – 7 nm. Tebal total kapasitor
yang dibuat sekitar 0,000001 meter (1 mikrometer).

Gambar 1.10 Contoh struktur superkapasitor yang memiliki elektroda berpori


(sumber gambar: http://eetimes.com)

Teknologi display yang ada saat ini memang sudah mencapai kemajuan luar
biasa. Kita bisa menonton televisi atau video pada display yang ukurannya sangat
besar dengan gambar yang sangat tajam menyerupai foto. Tetapi ada sisi lain yang
masih membatasi kepuasan orang. Ukuran display yang sangat besar membuat display
sangat kaku dan sulit dipindahkan. Walaupun display yang dibuat saat ini sudah
cukup tipis, seperti display LED terbaru, namun ukuran yang sangat besar
menyulitkan pemindahan. Hanya posisi tertentu di rumah yang mungkin bagi
penempatan display tersebut. Tidak semua bagian rumah cukup luas untuk
menempatkan display berukuran besar.
Bayangakan andaikata ada display yang bisa dilekuk-lekukkan atau bisa
digulung ketika tidak digunakan. Karena bisa digulung maka display tersebut akan
mudah dipindahkan tanpa merusak display. Saat tidak digunakan display tersebut
dapat digulung sehingga tidak memakan tempat. Ketika ruang tidak terlalu besar
maka display tersebut dapat dipasang dalam posisi melengkung. Untuk mewujudkan
display semacam ini maka satu-satunya harapan adalah nanoteknologi. Salah satu
harapan adalah Organic Light Emitting Diodes (or OLEDs) berbasis materal dalam
skala nanometer.
OLEDs adalah LED yang berbasis bahan organik (polimer). Display OLED
lebih murah dari display LED anorganik (seperti LED bebasis bahan semikonduktor
kristal). OLED terbuat dari lapisan polimer dengan ketebalan sekitar 100 nm. Salah
satu keunggulan OLED adalah film polimer dapat dibuat di semua bentuk material

11
dengan proses yang sangat sederhana serupa dengan proses pencetakan pada kertas
menggunakan printer ink-jet. Kelemahan OLED saat ini adalah umur pakai yang lebih
pendek dan lebih redup daripada LED anorganik. Saat ini OLED banyak digunakan
pada display kecil yang dilihat dari jarak dekat seperti telepon genggam maupun layar
laptop. Namun, perusahaan elektronik besar seperti Samsung dan LG
memngembangkan OLED untuk display ukuran besar (Gambar 1.11). Kelebihan lain
OLED yang tidak dimiliki display lain adalah dapat digulung karena merupakan
lapisan tipis polimer sehingga sangat fleksibel.

Gambar 1.11 Contoh OLED yang digunakan pada perlatan elektronik saat ini.
(atas) TV 155 inci yang terbuat dari OLED dan (bawah) display OLED yang dapat
digulung.

Peneliti dari Massachussect Institute of Technology (MIT) sedang


mengembangkan quantum dot-OLED. Quantum dot memancarkan cahaya di mana
panjang gelombangnya bergantung pada ukuranya. Dengan memanupulasi ukuran
maka hampir semua warna dapat dihasilkan oleg quantum dot dari bahan yang sama.
Jika ukuran diperkecil maka quantum dot akan memancarkan cahaya di daerah biru
dan jika ukurannya sangat besar cahaya yang dipancarkan berada di daerah merah.
Harapan untuk membuat display generasi baru adalah menggunakan carbon
nanotube (CNT). CNT adalah material yang sangat ringan dan sangat kuat di dunia.
CNT juga dapat dilipat dengan sudut lipatan yang sangat besar tetapi dapat kembali
ke kondisi semula. CNT dapat digunakan sebagai display karena sifat CNT yang

12
memancarkan pendaran warna yang berbeda ketika dimensinya berbeda. CNT dengan
diameter sangat kecil memancarkan pendaran biru. CNT dengan diameter lebih besar
memancarkan pendaran hijau dan diameter lebih besar lagi memancarkan pendaran
merah (Gambar 1.12). Tiga warna tersebut: biru, hijau, dan merah merupakan dasar
untuk memproduksi semua warna. Jadi display dibuat dengan menggunakan CNT
dengan tiga ukuran diameter, yang disusun secara teratur. Tiga ukuran CNT
membentuk satu pixel. Karena ukuran CNT hanya beberapa nanometer maka ukuran
pixel yang dihasilkan juga dalam orde nanometer. Dengan demikian, display dengan
resolusi yang sangat tinggi (kerapatan pixel sangat besar) dapat dihasilkan.

Gambar 1.12 Pendaran warna CNT bergantung pada diameternya (seumber


gambar: http://www.ece.rice.edu/~irlabs/aqw.htm)

Karena CNT merupakan material yang sangat kuat maka display yang dibuat
juga akan sangat kuat. CNT memiliki kekuatan sekitar 100 kali baja. Karena hanya
merupakan gulungan beberapa lapis atom karbon, sebagian besar ruang dalam CNT
adalah ruang kosong. Akibatnya CNT merupakan material yang sangat ringan.
Dengan sifat ini maka display yang dibuat dari CNT akan memiliki kekuatan yang
sangat tinggi tetapi sangat ringan. Perusaan Rosster dari Cyprus telah membuat
display CNT yang dikomersialkan.
Nanoteknologi juga diharapkan akan mempercepat transfer data dalam piranti
elektronik. Transfer data yang ada saat ini dilakukan melaui aliran pulsa listrik di
dalam jalur konduktor seperti kawat tembaga, emas, aluminium atau timah solder
yang digunakan untuk membuat persambungan antar komponen. Dengan
berkembanganya teknologi fiber optik terbukti bahwa transfer data menggunakan
gelombang cahaya jauh lebih cepat. Lebih cepat di sini bukan karena aliran pulsa
cahaya yang jauh lebih cepat daripada aliran pulsa listrik (aliran pulsa cahaya dan
pulsa listrik sama cepatnya), namun karena dengan cahaya, informasi yang dibawa
per satuan detik lebih banyak. Dengan menggunakan pulsa listrik maka ada batas
miminimum waktu untuk merepresentasikan satu data. Dengan gelombang cahaya
maka batas minimum waktu untuk merepresentasikan satu data jauh lebih pendek.

13
Dengan kata lain, jika menggunakan cahaya maka lebar satu data lebih kecil daripada
jika menggunakan gelombang listrik. Akibatnya untuk selang waktu yang sama,
jumlah data yang dibawa gelombang cahaya lebih banyak.
Teknologi fiber optik telah membuktikan ini. Satu fiber optik dapat
tersambung ke lebih banyak telepon daripada satu kabel tembaga yang digunakan
pada jalur telepon konvensional
Atas dasar pemikiran ini maka para ahli mencoba membangun piranti yang
dapat mentransfer data dengan kecepatan yang sama dengan aliran data pada fiber
optic. Kata kuncinya adalah data dalam piranti tidak lagi merambat dalam bentuk
pulsa listrik seperti yang ada sekarang, tetapi merambat dalam bentuk pulsa cahaya.
Untuk merealisasikan ide tersebut, maka komponen-komponen dalam divais harus
merupakan komponen optik. Jalan ke arah ini tampaknya akan terbuka. Salah satu
tanda keberhasilan adalah para ahli sanggup membuat laser dalam ukuran nanometer
maupun detector optik dalam ukuran nanometer dengan merekayasa nanopartikel.
Laser titik kuantum sebagai pemancar data dan detektor titik kuantum sebagai
penerima data tersebut.
Gambar 1.13 adalah ilusrrasi bagaimana data dipindahkan dari satu
komponen ke komponen lain melalui pulsa cahaya. Dalam komponen itu pun data
merambat dalam bentuk pulsa cahaya. Kalaupun ada rangkaian elektronik yang masih
diperlukan, jumlahnya tidak terlalu banyak dan tidak memiliki efek langsung pada
kecepatan transmisi data.

Gambar 1.13 Data dalam divais ditrasfer melalui pulsa cahaya

Makin lama, piranti elektonik yang digunakan membutuhkan media


penyimpnatan (memori) dengan kapasitas yang makin besar. Saat ini kita sudah
terbiasa dengan flash memori dalam ukuran puluhan gigabyte. Namun untuk aplikasi
masa depan di mana kapasitas penyimpanan akan lebih tinggi lagi, maka para ahli
harus memikirkan cara lain untuk membuat memori. Salah satu yang diyakini akan
menjawab pertanyaan tersebut adalah penggunaan nanodot magnetik. Nanodot adalah
kata lain dari nanipartikel. Satu nanopartikel menyimpan salah satu momen dari dua
momen magnetic. Satu momen magnetic mereprsentasikan satu bit data dan momen
lainnya merepsentasikan bit yang lainnya. Misalkan momen magnetic yang menhadap
ke atas merepresentasikan bit “0” dan yang menghadap ke bawah merepresentasikan
bit “1”.

14
Memori nanti merupakan sususan teratur dari nanodot magnetik tersebut
(Gambar 1.14). Jarak antar nanodot bisa sangat kecil sehingga kerapan nanodot
(kerapatan data) menjadi sangat tinggi. Nanti memori dengan kapasitas hingga
beberapa terabite akan dibuat (1 tera bite = 1000 gigabite). Namun, masih dibutuhkan
riset insentif untuk mewujudkan jenis memori ini sehingga memori tersebut
kompatibel dengan teknologi mikroleketronika yang berbasis silicon saat ini.

Gambar 1.14 Susunan nanodot magnetic yang membentuk memori. Satu


nanodot menyimpan satu data.

Di masa mendatang, pengontrolan kesehatan akan dilakukan selamat 365


setahun, 24 jam se sehari. Kondisi kesehatan pasiaen dapat diupdate tiap satu hari atau
bahkan tiap satu jam. Berbagai kemungkinan kelainan yang terjadi dalam tubuh,
seperti ketidakseimbangan kimiawi, adanya bakteri atau virus berbahaya yang masuk,
gula darah, asam urat, denyut jantung, dan sejumlah pneyakit lainnya dengan cepat
dapat dideteksi. Untuk maksud tersebut maka di tubuh harus dipasang sensor yang
sanggup mendeteksi semua kondisi tersebut. Karena satu sensor pada umumnya
hanya efektif untuk mendetekasi satu keadaan maka diperlukan puluhan atau bahkan
ratusan sensor yang harus dipasang di tubuh di mana tiap sensor mendeteksi tiap jenis
keadaan. Satu sensor hanya untuk mendeteksi gula darah, sensor lain untuk mendteksi
asam urat, dan sebagainya.
Bagaimana mungkin puluhan sensor dipasang ti tubuh manusia sementara
manusia sendiri tetap beraktivitas seperti biasa tanpa diganggu oleh sejumlah alat
yang terpasang di tubuh? Salah satu jawabnnya adalah sensor yang dipasang harus
dalam ukuran nanometer. Berapa banyak pun sensor yang dipasang, maka ukuran
total sensor tersebut tetap sangat kecil.
Sensor semacam ini memanfaatkan sifat nanopartikel yang memberikan
respons ketika dikenai zat tertentu. Tiap penyakit membawa sifat kimia yang berneda.

15
Ketika sifat tersebut mengenai nanopartikel tertentu maka nanopartikel tersebut
memberikan respons fisis. Salah satu resnpos yang mudah untuk ditangkap adalah
pendaran cahaya. Jadi perlu didesain material ukuran nanometer yang memancarkan
cahaya ketika dikenai suatu zat pembawa penyakit tertentu. Satu jenis partikel
dirancang sensitif terhadap penyakit tertentu dan memancarkan pendaran pada
panjang gelombang tertentu. Partikel lain didesain sensitif terhadap penyakit lain dan
memancarkan pendaran wakrna lainnya. Berdasarkan pendaran warna yang
dipancarkan (panjang gelombang) maka dapat diketahui penyakit apa yang mulai ada
dalam tubuh manusia sehingga dapat segera diobati sebelum penyakit tersebut
menyerang.
Pertanyaan, bagaimana memasang puluhan sensor nanopartikel tersebut dalam
tubuh? Profesor Heather Clark, dari Northeastern University mengusulkan
penggunaan sensor tattoo (Gambar 1.15). Tatto pada dasarnya adalah memasukkan
zat tertentu (semacam tinta) di bawah lapisan kulit. Clark mengusulkan pembuatan
semacam zat tattoo yang berisi sejumlah nanopartikel sensor. Cairan yang berisi
nanopartikel sensor di “tattoo” di bawah lapisan kulit. Partikel tersebut memendarkan
cahaya yang khas ketika dalam tubuh terjadi perubahan dari kondisi normalnya.
Cahaya yang dipendarkan ditangpak pada detektor yang ada di luar tubuh. Detektor
tersebut dapat disimpan di saku baju atau celata, atau dalam bentuk jam tangan yang
merekam kondisi tubuh berdasaran informasi yang dibaca sensor pada posisi tattoo.
Informasi yang diperoleh dapat ditampilkan di layar tiap saat, sehingga tiap saat
kondisi tubuh dapat dipantau.

Gambar 1.15 Suatu saat nanti sensor kesehatan tubuh ditempatkan dalam
bentuk tattoo. Bahan tattoo tersebut berupa titik kuantum (nanopartikel) yang
memancarkan cahaya tersentu ketika mendeteksi adanya masalah/penyakit dalam
tubuh.

Dalam alat display juga dilengkapi dengan instruksi-instruksi apa yang harus
dilakukan jika ada kondisi tertentu yang menyimpang dari normal. Misalkan orang

16
tersebut disarankan minum obat tertentu, atau menemui dokter, atau lainnya. Dengan
cdara demikian maka diharapkan bahwa jumlah orang yang bersangkutan kecil
kemungkinan untuk sakit karena kondisi badan sudah diketauhui sejak kondisi awal
penyakit tersebut muncul dan pengobatan di tahap paling awal dapat dikalukan.
Molekul sensor yang akan mendeksi kelainan dalam tubuh dicantelkan pada
permukaan nanopartikel (Gambar 1.16). Molekul tersebut akan memberikan respons
warna yang berbeda jika beinterksi dengan molekul tertentu dalam tumbuh yang
mengindikasikan penyakit. Lokasi “tattoo” kemudian disinari dengan cahaya tertentu
(misalnya cahaya biru) sehingga muncul warna-warna pendaran pada lokasi tattoo.
Jenis warna yang muncul member indikasi jenis penyakit apa yang ada dalam tubuh.
Foto diambil dengan kamera atau semacam telepon genggam canggih yang sekaligus
mengolah gambar yang diperoleh dan hasil olahan dimunculkan dalam bentuk data
kondisi kesehatan tubuh serta instruksi untuk melakukan diagnosis atau pengobatan.

Gambar 1.16 Molekul aktif dicantelkan di permukaan nanopartikel.


Nanopatikel yang dibungkus zat aktif ini yang digunakan sebagai bahan tattoo.

Sejumlah nanomaterial tidak hanya digunakan dalam lotion sebagai tabir


cahaya. Sebagian nanopaetikel yang dapat membunuh bakteri juga dicampurkan pada
lotion atau dimasukkan dalam semacam bedak gosok tubuh atau dalam sabun mandi.
Ketika digosokkan di permukaan tubuh maka material tersebut membunuh bakteri
yang ada di kulit.
Sebagian nanopartikel dikembangkan dengan menempelkan molekul tertentu
yang dapat mengenal bakteri atau virus dalam aliran darah. Ketika mertemu dengan
bakteri atau virus maka molekul pada permukaan nanopartikel mengikat bakteri atau
virus. Nanopartikel itu sendiri merupakan material yang dapat mendekomposisi
bakteri atau virus. Dengan demikian, ketika dalam darah ada bakteri, molekul pada
permukaan nanopartikel menempel pada bakteri dan nanopartikel membunuh bakteri
tersebut. Pada akhirnya darah manusia selalu bebas dari bakteri atau virus penyebab
menyakit.
Penelitian yang sedang dikembangkan oleh Institute of Bioengineering and
Nanotechnology and IBM difokuskan untuk menghancurkan bakteri yang banyak
dijumpai di tempat keramaian seperti sekolah, kantor, rumah sakit, dan lain-lain.
Contoh bakteri tersebut adalah Methicillin-resistant Staphylococcus Aureus (MRSA).

17
Data dari sejumlah laporan menunjukkan bahwa sekitar satu juta orang meninggal
tiap tahun akibat bakteri ini. Pernyataan menarik dari Doctor James Hedrick dari
Advanced Organic Materials Scientist di IBM, Almaden bahwa jumlah bakteri di
tekapak tangan manusia lebih besar daripada total populasi manusia. Jadi, apa yang
ada di tangan bisa menjadi sumber penyakit bagi tubuh. Tidak mungkin bakteri
tersebut dihilangkan seluruhnya dari tangan. Langkah prefentif yang dilakukan adalah
membunuh sebanyak maungkin bakteri penyebab penyakit yang ada di tangan. Dan
kalau bakteri tersebut terlanjur masuk ke dalam tubuh maka bakteri tersebut harus
bisa dihancurkan dalam tubuh.
Nanopartikel yang dibuat tersebut bersifat seperti magnet bagi bakteri.
Nanopartikel seolah ditarik ke arah bakteri dan tidak ditarik ke arah sel sehat. Ketika
menyentuh bakteri penariknya maka nanopartikel tersebut menghancurkan bakteri
bersangkutan (mendekomposisi material penyusun bakteri).
Nanomaterial dapat dibuat sangat ringan, sangat kuat, dan berumur sangat
panjang, melebihi material yang dikenal selama ini. Sifat yang ringan dan kekuatan
yang tinggi sanggat potensial untuk membuat alloy aluminium untuk digunakan
sebagai bahan pembuatan body pesawat. Penggunaan material seperti itu akan
mereduksi bobot pesawat hingga mendekati setengah bobot mula-mula. Bobot yang
ringan menyebabkan pengematan yang luar biasa konsumsi bahan bakar.

Gambar 1.17 Walaupun dengan lekukan seperti ini, CNT masih bisa kembali
lurus seperti semula (sumber: http://lce.hut.fi)

Keunggulan lain penggunaan nanokomposit sebagai pembuatan bodi pesawat


atau kendaraan lainnya adalah keselamatan saat terjadi kecelakaan. Jika terjadi
tabrakan maka bodi dari alloy aluminium langsung penyok (rusak) yang berimpilkasi
pada kerusakan fatal pada penumpang atau bagian yang ada di dalam
pesawat/kendaraan. Nanokomposit dapat dibuat sedemikin rupa sehingga bersifat
elastis. Jika terjadi benturan atau tabrakan maka mula-mula bodi mengalami
deformasi seperti plastik lalu kembali ke bentuk semula. Dengan sifat seperti ini maka
apa yang ada di dalam kabin/bodi tidak mengalami kerusakan yang berarti. Ini dapat
dianalogikan dengan benturan bola aluminium dan bola karet (bola basket) pada
dinding. Setelah benturan yang cukup keras maka bentuk bola aluminium langsung
penyok secara permanen. Tetapi bentuk bola karet hanya berubah sebentar saat
benturan dan kembali ke bentuk semula setelah benturan hilang.

18
Untuk membuat nanokomposit yang sangat kuat dan freksibel terhadap
benturan maka penggunkaan carbon nanotube merupakan pilihan yang utama.
Material ini sangat ringan dan lebih kuat daripada baja. Material ini pun tahan
terhadap bengkokan. Walaupun lekukan yang diberikan cukup besar di mana material
alin sudah patah, CNT masih kembali ke kondisi semula (Gambar 1.17).
Beberapa percobaan awal telah menunjukkan hasil yang diharapkan. Model
pesawat yang dibuat dengan nanokomposit memiliki performance dan keselamatan
yang lebih baik dibandingkan dengan peswaat yang dibuat dengan material alloy
aluminium.
Industri tekstil juga akan banyak memanfaatkan nanoteknologi untuk
mengembangkan tekstil masa depan. Tekstil jenis baru akan muncul di pasarakan
dengan berbagai kegunaan seperti tekstil yang bisa membersihkan dirinya sendiri (self
cleaning), tekstil tahan api, tekstil yang bisa melindungi dari ultraviolet, dan sejumlah
sifat luar biasa lainnya. Riset untuk mewujudkan tekstil semacam ini sedang gencar
dilakukan oleh universitas maupunperusahaan di seluruh dunia. Tektil baru tersebut
akan mengisi sejumlah bidang aplikasi seperti teknologi luar angkasa, otomotof,
konstruksi, olah raga, dan kesehatan. Nanopartikel perak mempunyai sifat
antibacterial dan nanopartikel palladium dan platina dapat mendekomposisi gas
beracun atau bahan kimia beracun. Beberapa tektil yang dapat memonitor kondisi
kesahatan pemakai juga mulai dikembangngkan.
Peraih medali emas olimpiade Michael Phelps menggunakan baju merah yang
memiliki sifat seperti kulit ikan hiu. Pakaian ini dirancang dengan memanfaatkan
teknologi, di mana di permukaan pakaian dibangkitkan lapisan plasma yang menolak
molekul air sehingga perenang dapat meluncur di air tanpa hambatan yang berarti.

Gambar 1.18 Mesin cuci super Samsung melepas ion perak untuk
membersihak kotoran hingga ke pori-pori kain yang paling dalam.

19
Mesin cuci super dari Samsung telah menggunakan nanoteknologi. Selama
proses pencucian, mesin cuci tersebut mengelektrolisis nanopartikel perak untuk
menghasilkan sekitar 400 miliar ion perak (Gambar 1.18). Ion perak tersebut measuk
ke dalam celah-celah kain yang memungkinkan dilakukan pembersihan hingga ke
bagian paling dalam dari kain dan dalam skala molekul sehingga terjadi pemersihan
yang luar biasa. Pada saat bersamaan, partikel perak yang nanti tersisa dalam pakaian
akan mebunuh bakteri yang menempel di pakaian. Dalam waktu sekitar 1 bulan,
partikel perak dapat membunuh hampir semua bakteri yang ada di pakaian.
Masih banyak aplikasi nanoteknologi dalam kehidupan manusia yang tidak
dapat disebutkan di sini. Sebagian aplikasi tersebut sudah dikomersialkan dan
sebagian besar lainnya masih dalam tahap pengembangan. Pada akhirnya, kehidupan
manusia dalam beberapa dekade mendatang akan bergantung total pada
nanoteknologi.

20
BAB 2
Sistem Reverse Osmosis(RO)
Menggunakan Membran Nano Filtrasi
Untuk Pengolahan Air
Oleh : Abdul Rajak

2.1 PERMASALAHAN KETERSEDIAAN


AIR BERSIH DI INDONESIA
Air adalah kebutuhan pokok makhluk hidup maupun industri, sehingga
keberadaannya mutlak harus ada. Ketersediaan air di muka bumi ini sangat melimpah,
tetapi tidak mudah untuk mendapatkan air bersih. Hal ini dikarenakan aktivitas manusia
yang seringkali tidak bertanggung jawab, seperti membuang limbah industri rumah
tangga yang saat ini mulai berkembang di selokan atau sungai, sehingga terjadi
pencemaran air dan penurunan kualitas air. Dengan adanya penurunan kualitas ini
menyebabkan air tidak memenuhi persyaratan baik fisik, kimia, maupun biologis untuk
dikonsumsi oleh makhluk hidup maupun industri.
Penyediaan air bersih untuk masyarakat mempunyai peranan yang sangat
penting dalam meningkatkan kesehatan lingkungan atau masyarakat, yakni mempunyai
peranan dalam menurunkan angka penderita penyakit, khususnya yang berhubungan
dengan air, dan berperan dalam meningkatkan standar atau taraf/kualitas hidup
masyarakat.
Sampai saat ini, penyediaan air bersih untuk masyarakat di Indonesia masih
dihadapkan pada beberapa permasalahan yang cukup kompleks dan sampai saat ini
belum dapat diatasi sepenuhnya. Salah satu masalah yang masih dihadapi sampai saat
ini yakni masih rendahnya tingkat pelayanan air bersih untuk masyarakat.
Beberapa permasalahan pokok yang masih dihadapi dalam penyediaan air
bersih di Indonesia antara lain adalah: masalah tingkat pelayanan air bersih yang masih
rendah, masalah kualitas air baku dan kuantitas yang sangat fluktuatif pada musim
hujan dan musim kemarau, serta masalah teknologi yang digunakan untuk proses
pengolahan kurang sesuai dengan kondisi air baku yang kualitasnya makin menurun.
Perusahaan pengolahan air di Indonesia seperti yang kita ketahui adalah PDAM
(perusahaan daerah air minum), banyak mengalami permasalahan baik internal maupun
eksternal. Dengan permasalahan yang dihadapi saat ini, PDAM tetap diharapkan untuk
memberikan pelayanan yang baik. Tetapi ironisnya di pihak lain yakni masalah
pengembangannya yang sangat lambat dan kelihatannya kurang dianggap penting.
Ditambah lagi dengan perkembangan jumlah penduduk yang sangat pesat dan laju
pembangunan di Indonesia telah mengakibatkan penurunan kualitas lingkungan
khususnya kualitas air permukaan atau air tanah. Hal ini terutama terjadi di kawasan
perkotaan yang jumlah penduduknya besar.
Permasalahan di atas menjadi tantangan berat bagi kita untuk mengatasinya,
seiring dengan perkembangan teknologi, para ilmuwan berlomba untuk
mengembangkan alat pengolahan air yang dapat secara efektif mengurangi semua kadar

21
yang berbahaya yang terdapat di air seperti bakteri, virus dan zat berbahaya lainnya.
Seperti saat ini telah ditemukan teknologi membran untuk pengolahan airdan limbah,
salah satunya nanofiltrasi (NF). Teknologi NF saat ini menjadi populer untuk
pengolahan air minum karena NF dapat mengontrol mikroorganisme pathogen kecil
seperti virus dengan sangat efektif danmengurangi kekeruhan air. Keuntungan
menggunakan teknologi membran antara lain energi yang dibutuhkan rendah, dapat
beroperasi secara batch maupun kontinyu, tidak ada penambahan produk buangan,
dapat digabungkan dengan proses pemisahan lainnya, mudah di scale-up, pemisahan
dapat dilakukan dalam kondisi yang mudah diciptakan.
Hal yang menjadi tantangan terberat jika menggunakan teknologi membran
adalah terbentuknya fouling (penyumbatan). Fouling ini menyebabkan penurunan
fluks dan mengurangi efektivitas membran dalam penyaringan. Salah satu metode
untuk mengurangi terbentuknya fouling adalah dengan aliran balik atau automatic
backwash. Selain itu pencucian membran juga efektif dalam membersihkan membran
dari fouling. Oleh karenanya, untuk mengatasi hal tersebutmembran nanofiltrasi
dikombinasikan dengan sistem osmosis balik (reverse osmosis) yang bertujuan untuk
mengurangi penyumbatan pada membran, sehingga membran yang digunakan dapat
tahan lama.

2.2 TINJAUAN TEORI TENTANG MEMBRAN


2.2.1 Sejarah Singkat dan Pengenalan Membran
Teknologi membran merupakan teknologi pengolahan air yang sedang
berkembang dewasa ini. Teknologi ini telah tumbuh dan berkembang secara dinamis
sejak pertama kali dikomersialkan oleh Sartorius-Werke di Jerman pada tahun 1927,
khususnya untuk membran mikrofiltrasi (Edward, 2009).
Istilah membran didefinisikan sebagai lapisan tipis, pembatas antara dua
fasayang bersifat semipermeabel. Teknologi membran banyak dikembangkan,
karenamempunyai beberapa keunggulan dibanding proses pemisahan yang lain.
Prinsip kerja membran adalah memisahkan zat terlarut dengan berat molekul
kecil dan memisahkan larutan cair yang mengandung zat organik dalam jumlah yang
kecil. Pada proses ini, membran akan permeable terhadap air tetapi tidak terhadap
garam dan senyawa dengan berat molekul besar. Akibatnya membran hanya dilalui
oleh pelarut, sedangkan zat terlarut berupa garam maupun zat organik akan ditolak.
umpan
residu

Larutan yang lolos


Gambar 2.1 : Prinsip dasar proses filtrasi (Johannes , 2001)

22
Beberapa keunggulan membran yakni pemisahan (separation) dapat berlangsung
secara kontinyu, energi yang digunakan umumnya rendah, proses membran dapat
dikombinasikandengan proses pemisahan yang lain, sifat-sifat dan variabel membran
dapatdisesuaikan, zat aditif yang digunakan tidak terlalu banyak, pemisahan larutan-
larutanyang peka terhadap suhu (misalnya larutan biologis dan organik), energinya
tergolonghemat dan bersih, serta relatif tidak menimbulkan limbah (Nunes, 2001).
Dengankeunggulannya tersebut teknologi membran digunakan dalam aplikasi yang
makinluas, misalnya desalinasi air laut dan air payau, pemisahan dan pemekatan air
limbahindustri (waste water treatment), penjernihan dan sterilisasi air minum,
pemisahangas, pemisahan darah untuk penderita ginjal, serta bioteknologi.
Dengan banyak keunggulan, penggunaan membran juga mempunyaiketerbatasan
yaitu terjadinya fouling(penyumbatan) atau polarisasi konsentrasi pada membran,
danjangka hidup membran yang relatif singkat (Suprihatin, 2007).
Di Indonesia, teknologi membran belum berkembang begitu pesat seperti di
negara maju karena membran belum banyak diproduksi di Indonesia. Industri yangakan
menggunakan teknologi ini harus mengimpor membran beserta modul dansistemnya
sehingga harganya relatif lebih mahal.

2.2.2 Klasifikasi Membran


Perkembangan teknologi dalam pengolahan air telah berkembang demikian
pesatnya, yang mana diharapkan dapat menjadi jawaban untuk sebagian dari
permasalahan yang ada dalam pengolahan air bersih. Salah satu teknologi yang
dikembangkan adalah teknologi penyaringan atau filtrasi dengan menggunakan
membran.Membran diklasifikasikan menjadi beberapa golongan sebagai berikut :
a. Jenis membran berdasarkan bahan dasar pembuatan
b. Jenis membran berdasarkan fungsi
c. Jenis membran berdasarkan morfologi
d. Jenis membran berdasarkan prinsip pemisahannya

a. Jenis membran berdasarkan bahan dasar pembuatan


Berdasarkan bahan dasar pembuatannya, membran dapat dibagi menjadi
duajenis, yaitu :
1) Membran Biologis
Merupakan membran yang sangat kompleks pada struktur dan
fungsinya.Banyak dijumpai dalam sel makhluk hidup yang terdiri atas
struktur dasar dari dualapisan lemak. Contoh : sel kulit, ginjal, jantung, dan
lain sebagainya (Wenten, 1996).
2) Membran Sintesis
Membran sintesis merupakan membran buatan yang sengaja dibuat
untukkepentingan tertentu. Membran sintesis dibedakan menjadi dua jenis,
yaitu: membranorganik dan membran anorganik. Membran organik adalah
membranyang bahan penyusun utamanya polimer dan makromolekul dengan
bahan bakusenyawa organik yang dibuat pada suhu rendah (suhu kamar).
Contoh : membranselulosa asetat, PAN, PA, dan lain sebagainya. Membran
anorganiktersusun dari senyawa anorganik Contoh : membran keramik
(seperti ZrO 2 dan γ-Al-2O 3 ), membran gelas (seperti SiO 2 ). (Mulder, 1996).

23
b. Jenis Membran Berdasarkan Fungsi
Berdasarkan fungsinya, membran terbagi menjadi empat jenis,
yaitu:membran mikrofiltrasi, ultrafiltrasi, nanofiltrasi, dan reverse osmosis (Nusa,
2009).Ciri-ciri khusus seperti ukuran pori, tekanan, dan fungsi masing-masing
membran ditunjukkan pada tabel 2.1 berikut :

Tabel 2.1 : Jenis membran berdasarkan fungsi


Jenis
No. Ukuran Pori Tekanan Fungsi
Membran
1. Mikrofiltrasi 0,05 – 10 µm < 2 bar Memisahkan
suspensi dan
kolid
2. Ultrafiltrasi 1 – 1000 nm 1 – 10 bar Memisahkan
makromolekul
3. Nanofiltrasi < 2 nm 5 – 25 bar Memisahkan
komponen
terlarut yang
mempunyai
berat molekul
rendah
4. Reverse < 2 nm Air payau : 15 – 25 bar Memisahkan
Osmosis Air laut : 40 – 80 bar komponen
terlarut dengan
berat molekul
rendah
Sumber : (Eka, 2012)

Sedangkan distribusi jenis partikel yang dapat dipisahkan sesuai dengan tingkatan
proses filtrasi ditunjukkan pada gambar berikut :

Air ion ion virus bakteri padatan


Monovalen multivalen tersuspensi
Mikrofiltrasi
Air ion ion virus bakteri padatan
Monovalen multivalen tersuspensi

Ultrafiltrasi
Air ion ion virus bakteri padatan
Monovalen multivalen tersuspensi
Nanofiltrasi

Air ion ion virus bakteri padatan


Monovalen multivalen tersuspensi
Reverse
Osmosis

Gambar 2.2: Distribusi ukuran partikel yang dapat dipisahkan sesuai dengan tingkatan
proses filtrasi (Wenten, 1996)

24
Selain ukuran pori, membran juga dikelompokkan berdasarkan besarnya
berat molekul partikel kotoran yang dapat dipisahkan oleh suatu membran disebut
batas berat molekul membran seperti yang diperlihatkan pada tabel 2 berikut :
Tabel 2: Ukuran diameter pori dan batas berat molekul yang dapat dipisahkan
oleh beberapa jenis membran.
Tipe Filtrasi Diameter Pori (nm) Berat Molekul
Tertangkap(Dalton)
Mikro Filtrasi 50 – 5000 ≥ 500.000
Ultra Filtrasi 5 – 50 1.000 – 500.000
Nano Filtrasi 0,6 – 5 100 – 1.000
Reverse Osmosis < 0,6 ≤ 100
(Sumber: Nusa, 2009)
Sesuai dengan nama dan tingkatan dari tipe filtrasi diharapkan akan
didapatkan air olahan dengan tingkat kualitas tertentu pula. Misalnya dengan
menggunakan proses penyaringan nano filtrasi (NF) dengan derajat penyaringan
0,001 – 0,01 micron, diharapkan sebagian besar dari padatan tersuspensi
(suspended material) akan tersaring. Dengan menggunakan proses penyaringan
osmosis balik (reverse osmosis, RO) dapat digunakan untuk mengolah air laut
menjadi air tawar. Pada makalah ini akan fokus membahas tipe penyaringan
reverse osmosis yang dikombinasikan dengan menggunakan penyaringan nano
filtrasi.

c. Jenis Membran Berdasarkan Morfologi


Berdasarkan morfologinya, membran dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu :
1) Membran simetri adalah membran yang mempunyai ukuran pori-pori
yanghomogen baik sisi dalam maupun sisi luarnya. Ketebalannya berkisar
antara 10-200μm. Berikut membran simetri disajikan dalam gambar 3 :

Gambar 3: Membran simetri (Mulder, 1996)

25
2) Membran asimetri adalah membran dengan ukuran pori-pori sisi luar lebih
rapatdengan ketebalan antara 0,1-0,5 μm, sedangkan ukuran pori sisi dalam
lebih renggang dengan ketebalan antara 50-200 μm. Membran asimetri
divisualkan pada gambar 4 dibawah ini.

Gambar 4: Membran asimetri (Mulder, 1996)

d. Jenis Membran Berdasarkan Prinsip Pemisahannya


Berdasarkan prinsip pemisahannya, membran terbagi menjadi tiga jenis, yaitu:
1) Membran berpori
Adalah membran dengan prinsip pemisahan berdasarkan pada ukuran
partikel zat,yang akan divisualkan pada gambar 5 :

Gambar 5 : Membran Berpori (Eka,2012)


2) Membran tak berpori
Adalah membran dengan prinsip pemisahan berdasarkan atas perbedaan
kelarutandan kemampuan berdifusi. Serta tingkat selektivitas
danpermeabilitasnyaditentukan dari sifat intrinsik bahan polimer membran.
Membran ini seringdigunakan untuk gas separation dan pervaporasi. Pada
gambar 6 akan disajikanvisual dari membran tak berpori.

Gambar 6: Membran tak berpori (Eka, 2012)

26
3) Membran cair
Adalah membran yang prinsip pemisahannya tidak ditentukan oleh membran
ataupun bahan pembentuk membran tersebut, tetapi oleh molekul pembawa
yangspesifik. Teknik pemisahan dengan membran cair merupakanmetode
pemisahan dengan selektivitas tinggi untuk pemisahan ion logammaupun
senyawa organik atau anorganik. (Eka, 2012)

2.2.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kinerja Membran


Pembuatan membran mempunyai spesifikasi khusus tergantung untuk apa
membran tersebut digunakan dan spesifikasi apa produk yang diharapkan. Beberapa
faktor yang mempengaruhi dalam penggunaan membran diantaranya sebagai berikut :
a. Ukuran molekul
Ukuran molekul membran sangat mempengaruhi kinerja membran. Pada
pembuatan mikrofiltrasi dan ultrafiltrasi mempunyai spesifikasi khusus. Sebagai
contoh untuk membran protein kedele yang dihidrolisis menggunakan ukuran
membrane 5000 MWCO, 10.000 MWCO dan 50.000 MWCO.
b. Bentuk Molekul
Bentuk dan konfigurasi macromolekul mempunyai efek pada kekuatan ion,
temperature dan interaksi antar komponen. Perbedaan bentuk ini khusus
padakondisi dibawah permukaan membrane. Hal ini dapat terlihat dalam
penggunaan membrane pada protein dan dextrin.
c. Bahan Membran
Perbedaan bahan membran akan berpengaruh pada hasil rejection dan distribusi
ukuran pori. Sebagai contoh membrane dari polysulfone dan membrane dari
selulosa asetat, kedua membran ini menunjukkan rendahnya deviasi antara kedua
membran dan ini mempunyai efek pada tekanan membran. Selain itu mempunyai
efek pada tingkat penyumbatan (fouling) pada membrane.
d. Karakteristik larutan
Pada umumnya berat molekul larutan garam dan gula mempunyai berat molekul
yang kecil dari ukuran pori membran. Karakteristik larutan ini mempunyai efek
pada permeability membran.
e. Parameter operasional
Jenis parameter yang digunakan pada operasional umumnya terdiri dari tekanan
membran, permukaan membran, temperature dan konsentrasi. Dan parameter
tambahan adalah : pH, ion strength dan polarisasi.

2.2.4 Karakterisasi Membran


Kriteria yang penting dalam menentukan kinerja membran dapat dilihat
dariparameter fluks (permeabilitas), rejeksi (permselektivitas), ketebalan, morfologi
dansifat mekanik membran (Eka, 2012). Lebih lanjut akandijelaskan secara singkat
dibawah ini.
a. Fluks
Kriteria penting dalam menentukan kinerja membran sebagai alat pemisahadalah
fluks dan rejeksi (Radiman dkk, 2002). Permeabilitas atau fluks yang
mengalirmelalui membran didefinisikan dengan jumlah volume permeat yang
melewatimembran per satuan luas permukaan per satuan waktu.
V
J= ..........(1)
A.t

27
dengan :
J = nilai fluks (Lm-2jam-1)
V = volume permeat /air olahan (Liter)
A = luas permukaan membran (m2)
t = waktu (jam)
Harga fluks menunjukkan kecepatan alir permeat saat melewati membran.
Hargafluks ini sangat tergantung pada jumlah dan ukuran pori-pori membran.

b. Rejeksi
Rejeksi membran adalah kemampuan suatu membran untuk menahan komponen
tertentu yang terdapat dalam larutan umpan.Rejeksi (R) ditunjukkan dengan
hargafraksi konsentrasi zat terlarut yang tertahan oleh membran. (Sapta, 2009)
Cp
R = �1 − � × 100% ...........(2)
Cf
Dengan :
R = koefisien rejeksi (%)
Cp = konsentrasi zat terlarut dalam permeat
Cf = konsentrasi zat terlarut dalam umpan.
Nilai rejeksi sangat bervariasi antara 100 % (di mana zat terlarut tertahan
olehmembran, sehingga diperoleh membran semipermeabel yang ideal), dan 0 %
(di manazat terlarut dan pelarut mengalir bebas melalui membran). Oleh
karenaitu, harga efisiensi rejeksi sangat ditentukan oleh ukuran pori-pori
membran. Harga koefisien rejeksi bisa juga kita katakan sebagai efisiensi dari
membran yang digunakan (Suprihatin, 2007) .

2.3 PENGOLAHAN AIR BERSIH


MENGGUNAKAN MEMBRAN NANO
FILTRASI PADA SISTEM REVERSE
OSMOSIS
2.3.1 Sistem Osmosis Balik (Reverse Osmosis, RO)
Apabila dua buah larutan dengan konsentarsi encer dan konsentrasi pekat
dipisahkan oleh membran semi-permeable, maka larutan dengan konsentrasi yang
encer akan terdifusi melalui membran tersebut masukke dalam larutan yang pekat
sampai sampai terjadi kesetimbangan konsentrasi. Fenomena tersebut dikenal sebagai
proses osmosis. Jika air tawar dan air asin dipisahkan dengan membran semi-
permeable, maka air tawar akan terdifusi ke dalam air asin melalui membran tersebut
sampai terjadi kesetimbangan. Pada proses osmosis balik, peristiwa yang terjadi
adalah sebaliknya, yakni pelarut mengalir/berpindah dari larutan yang
pekat/konsentrasi tinggi ke larutan yang konsentrasinya rendah. Akan tetapi proses
osmosis balik akan terjadi apabila diberi tekanan yang arahnya berlawanan dengan
tekanan osmosis seperti yang ditunjukkan pada gambar 7 berikut ini :

28
Gambar 7 : Skema proses Reverse Osmosis (RO). (Edward, 2009)

Keunggulan proses osmosis balik antara lain pengoperasiannya dilakukan pada


suhu kamar, tanpa instalasi pembangkit uap, mudah untuk memperbesar kapasitas,
serta pengoperasian alat relatif mudah. Teknologi ini sangat cocok untuk digunakan di
wilayah dimana tidak terdapat atau sedikit sekali sumber air tawar misalnya untuk
daerah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Sistem RO umumnya digunakan untukmemisahkan bahan-bahan dengan
berat molekulrendah atau garam-garam organik dari larutan. Teknologi RO
merupakan teknologidesalinasi yang ramah lingkungan dan tidakmemerlukan
lahan yang luas. Contoh penerapan ROdapat dilihat pada desalinasi air laut. Pada
prosesini, membran RO akan menahan komponen-komponen lain selain pelarut.
Atau dengan kata lain,membran ini bersifat permeabel terhadap air, tetapitidak untuk
garam dan senyawa yang memiliki beratmolekul yang lebih besar.
Proses RO dikenal juga sebagai proseshiperfiltrasi, sebab tekanan yang
dibutuhkan untukmelewatkan pelarut ke larutan yang konsentrasinya rendah lebih
tinggi daripada tekanan osmosisnya. Umumnya tekanan operasi yangdiperlukan
minimal tiga kali lipat dari tekananosmosis larutannya, yakni berkisar antara 10-
100 bardengan batasan fluks sebesar 0,05-1,4 L/m2jam(Khalik, 2000). Membran
ini memiliki suatu lapisantidak berpori yang tidak terdeteksi oleh SEM.Dengan
kata lain struktur model membran yangdigunakan bersifat dense skin layer.
Teknologi pengolahan air sistem osmosa balik (reverse osmosis) banyak
dipakai dibeberapa negara seperti Amerika, Jepang, Jerman dan Arab. Teknologi ini
banyak dipakai untuk memasok kebutuhan air tawar bagi kota-kota tepi pantai yang
langka sumber air tawarnya.
Keunggulan teknologi membran osmosa balik adalah kecepatannya dalam
memproduksi air, karena menggunakan tenaga pompa, sedangkan kelemahannya
adalah penyumbatan pada selaput membran oleh bakteri dan kerak kapur atau fosfat
yang umum terdapat dalam air payau. Untuk mengatasi kelemahan pada unit pengolah
air osmosa balik selalu dilengkapi dengan unit anti pengerakkan dan anti
penyumbatan oleh bakteri. Sistem membran reverse yang dipakai dapat berupa spiral
wound. Membran ini mampu menurunkan kadar garam hingga 95-98%. Air hasil
olahan sudah bebas dari bakteri dan dapat langsung diminum.
Dengan menggunakan kombinasi proses nanofiltrasi dan reverse osmosis untuk
mengolah air dapat dihasilkan air olahan siap minum dengan kualitas yang sangat
baik tanpa menggunakan bahan kimia untuk proses koagulasi-flokulasi dengan biaya
operasional yang relatif rendah.

29
2.3.2 MembranNanoFiltrasi
Nano berarti satu per milyar. Satu nanometer (1 nm) sama dengan 10-9m = 103
µm (mikron). Nanofiltration (NF) adalah filtrasi membran cross-flow. Dalam air yang
mengandung campuran beberapa jenis ion, ion monovalen cenderung menembus
(melewati) membran sedangkan jenis ion divalen atau multivalent sangat mungkin
akan dipisahkan pada antar muka (interface) membran.
Oleh karena beberapa jenis ion, yakni ion monovalen dapat masuk melalui
membran, perbedaan potensial kimia antara kedua larutan lebih kecil maka
memerlukan daya pendorong yang lebih rendah. Oleh karena itu, tekanan operasi
Nano Filtrasi (NF) hanya berkisar antara 7 – 40 bar. Membran NF umumnya dicirikan
oleh kemampuan untuk memisahkan jenis ion divalen, umumnya magnesium sulfat
(MgSO 4 ) atau kalsium klorida (CaCl 2 ). Oleh karena terdapat banyak variabilitas di
dalam aplikasi NF, retensi MgSO 4 umumnya berkisar antara 80% hingga 98%. Nano-
filtrasi umumnya dipilih untuk pemisahan apabila aplikasi reverse osmosis(RO) dan
ultrafiltrasi bukanlah pilihan yang tepat. Nanofiltration dapat digunakan untuk
aplikasi pemisahan mineral (demineralization), penghilangan warna, dan desalinasi.
Selain digunakan dalam pengolahan air, membran nano filtrasi juga dapat
dimanfaatkan untuk bidang lain, seperti yang ditunjukkan pada tabel 3 berikut :
Tabel 3 : Aplikasi nano membran filtrasi untuk kebutuhan industri
Industri Aplikasi
Makanan Demineralisasi air dadih
Demineralisasi larutan gula
Daur ulang nutrisi dalam proses
fermentasi
Pemisahan minyak bunga matahari
dari pelarut
Pemurnian asam organik
Tekstil Penghapusan pewarna yang berasal
dari air limbah
Kimia Pemisahan asam amino
Pemulihan larutan pemutih
Produksi NaOH
Pemulihan larutan kaustik pada
selulosa dan produksi viskosin
Industri logam, elektronik dan optik Pemisahan logam berat dari larutan
asam
Pengurangan logam sulfat dari air
limbah
Filtrasi nikel
Pemulihan ion Cu dari cairan ekstrak
Produksi air Penghilangan desinfektan dan
pestisida pada air
Pelepasan bahan organik alami
Pengolahan air payau
Pertanian Membasmi racun alga
Mengurangi selenium dari air drainase
(Sumber : Jeff Adams, 2007)
Proses filtrasi banyak dipakai di industri pada pengolahan air, baik air
proses,air utilitas, maupun air limbah. Air industri (khususnya air proses)
mempunyaispesifikasi yang tinggi karena nantinya dapat mempengaruhi produk yang
30
dihasilkan.Spesifikasi tersebut antara lain, rendah mineral, tidak beracun, dan bebas
darimikroba. Air dengan spesifikasi tersebut bisa diperoleh dengan
menggunakanmedium yang dapat memisahkan partikel-pertikel yang sangat kecil
ukurannya.Proses yang banyak dipilih adalah nanofiltrasi dan RO.
Proses nanofiltrasi dipilih karena mempunyai beberapa keuntungan, antaralain :
a. Biaya operasi murah
b. Energi yang diperlukan rendah
c. Perawatan mudah
d. Efisiensi ruang
e. Jika ada salah satu modul yang rusak, dapat diperbaiki secara parsial(tidak akan
mempengaruhi kerja secara keseluruhan )
f. Ramah lingkungan
g. Mampu memisahkan partikel sampai ukuran nanometer
Disamping kelebihan proses nanofiltrasi juga memiliki kekurangan antara lain :
a. Biaya investasi awal cukup tinggi
b. Lebih mudah mengalami fouling
c. Perhitungan terhadap variabel yang mempengaruhi performansi membran harus
cermat
d. Tidak bisa memisahkan partikel solute dengan ukuran lebih kecil dari 1nm

2.3.3 Membran Nano Filtrasi Modul Spiral Wound(Lilit Spiral)


Pada penelitian yang dilakukan membran nano filtrasi yang digunakan adalah
model spiral wound. Membran dengan modul spiral wound terdiridari dua lembar
membran datar, penjarak umpan danbahan berpori pengumpul permeat yang
digulungmembentuk silinder. Pada bagian tengah silinderterdapat pipa pengumpul
permeat yang berfungsiuntuk menampung aliran permeat danmengalirkannya
sebagai produk. Penjarak umpanmerupakan suatu ayakan yang berfungsi
untukmeningkatkan turbulensi aliran umpan padapermukaan membran. Dua
lembar membran danbahan berpori pengumpul permeat disatukan denganlem,
sedangkan penjarak umpan dibiarkan terbukaagar aliran umpan dapat masuk.
Larutan umpanmengalir aksial sepanjang modul dalam celah yangterbentuk antara
spacer dan membran. Skematikmodul lilit spiral dapat dilihat pada gambar 8.

Gambar 8: Desain modul spiral wound dari membran nano filtrasi (Thor, 2006)

31
Pada gambar di bawah ini ditunjukkan beberapa hasil scan dengan mikroskop
elektron (SEM) dari polimer yang digunakan dalam membran nano filtrasi :

Gambar 9: Hasil SEM polimer membran: a) permukaan, b) penampang melintang,


c) perbesaran penampang melintang(Johannes, 2001)

saluran konsentrasi larutan molekul dan partikel

pompa

umpan produk
membran penyaring
permeat
Gambar 10 : Ilustrasi penyaringan menggunakan membran
modul spiral wound. (Thor, 2006)

2.3.4 Prinsip Kerja Sistem Reverse Osmosis Menggunakan


Membran Nano Filtrasi

Reverse osmosis merupakan proses yang terjadi akibat perbedaan tekanan


untukmemisahkan solut berukuran lebih besar dari larutan dengan menggunakan
membransemipermeable. Proses ini dilakukan dengan cara mengalirkan larutan
sepanjangpermukaan membran dengan memanfaatkan beda tekanan. Filtrasi membran
alirancrossflow menggunakan laju alir yang besar untuk meningkatkan laju permeate
danmengurangi kemungkinan terjadinya fouling. Partikel solut yang terejeksi (misal
:garam terlarut) terpisah bersama dengan arus aliran yang keluar dan
tidakterakumulasi di permukaan membran (Norman dkk, 2008).
Sistem reverse osmosis merupakan proses yang menggunakan tekanan sebagai
gaya dorong (driving force) untuk melawan tekanan osmosis yang terjadi pada kedua
larutan yang memiliki beda konsentrasi. Sehingga secara logika tekanan yang
diberikan haruslah lebih besar dari tekanan osmosisnya agar arah aliran pelarut
menuju ke larutan yang konsentrasinya rendah. Secara umum prinsip kerja reverse
osmosis dapat dilihat pada gambar berikut :

32
Tekanan
osmostik
Air Air Air Air
bersih garam bersih garam

Membran Membran
semipermeabel semipermeabel

Tekanan yang diberikan untuk


melawan tekanan osmostik
Air Air
bersih garam

Membran
semipermeabel
Gambar 11 : Prinsip kerja reverse osmosis : a) dan b) proses osmosis secara alami,
c) osmosis balik dengan pemberian tekanan pada larutan pekat.
(Wenten, 1996)

Daya pengggerak (driving force) yang menyebabkan terjadinya aliran difusi air
tawar ke dalam air asin melalui membran semi-permeabletersebut dinamakan tekanan
osmosis. Besarnya tekanan osmosis tersebut tergantung dari karakteristik membran,
temperatur air, dan konsentarsi garam yang terlarut dalam air. Tekanan osmotik
normal air laut yang mengandung TDS 35.000 ppm dan suhu 25oC adalah kira-kira
26,7 kg/cm2, dan untuk air laut di daerah timur tengah atau laut Merah yang
mengandung TDS 42,000 ppm , dan suhu 30 oC, tekanan osmotik adalah 32,7 kg /m2.
Apabila pada suatu sistem osmosis tersebut, diberikan tekanan yang lebih besar dari
tekanan osmosisnya, maka aliran air tawar akan berbalik yakni dari dari air asin ke air
tawar melalui membran semi-permeable, sedangkan garamnya tetap tertinggal di
dalam larutan garammya sehingga menjadi lebih pekat. Proses tersebut dinamakan
osmosis balik (reverse osmosis).
Membran nano filtrasi pada sistem osmosis balik berfungsi untuk menyaring
semua partikel-partikel yang terdapat pada air, sehingga air yang bersih dapat
dialirkan ke suatu tempat penampungan air. Proses pemberian tekanan (driving force)
dilakukan selama selang waktu tertentu dan kemudian untuk beberapa saat, dibiarkan
sehingga terjadi kembali tekanan osmosis pada kedua larutan, hal ini bertujuan untuk
melepaskan kotoran-kotoran yang melekat pada membran. Untuk lebih jelasnya,
diagram alat osmosis balik diperlihatkan pada gambar berikut :

33
Gambar 12 : Skema alat reverse osmosis dengan satu buah
modul membran (Edward, 2009)

2.4 PENELITIAN YANG PERNAH DILAKUKAN


2.4.1 Bahan dan Alat yang Digunakan
Sebagai larutan umpan air payau sintetis digunakanserbuk natrium klorida
(NaCl) p.a yang dilarutkandalam akuades. Larutan NaCl dibuat padakonsentrasi
2.000, 2.250, 2.500, 2.750 dan 3.000mg/L. Percobaan dilakukan dengan
menggunakanseperangkat unit RO, beaker glass 2 L, gelas ukur50 mL, stopwatch dan
tabung penyimpanan sampel.Unit RO yang digunakan terdiri dari sebuah
modulmembran spiral wound, sebuah pompa, dua buahpressure gauge, sebuah
retentate throttle valve yangberfungsi untuk mengatur beda tekanan
dalammembran, speed control dan satu unit alat pengukurkonduktivitas tipe Orion
125 Aplus. Membran ROyang digunakan merk Filmtec USA model TW30-1812-100.
Bahan membran adalah Polyamide Thin-Film Composite dengan luas penampang
5,5 ft2.
Sampel air yang diuji :
• Air permukaan yang keruh, misalnya air sungai, air danau, air genangan hujan dll.
• Air tanah misalnya air sumur, mata air, air yang mengandung zat besi, mangan,
zat kapur, magnesium dll.
Adapun persyaratan air baku yang dapat diolah dengan membran adalah sebagai
berikut :
• Air baku adalah air tawar atau air payau (TDS maksimum 1000 mg/l).
• Air baku bukan air limbah.
• Air baku tidak tercemar oleh limbah industri atau limbah B3
Kapasitas alat yang dioperasikandalam pengolahan air :
• Air siap minum : 15 liter /menit = 25.000 liter per hari.
• Air bersih : 125 m3/hari.
(Sumber : Edward, 2009)

34
2.4.2 Teknis Analisis Data
Pada umpan air payau sintetis dilakukan analisaawal yaitu analisa Total
Dissolved Solid (TDS) yaitu padatan yang menyebabkan kekeruhan pada air yang
sifatnya terlarut dalam air.
Sebelum melakukanpercobaan utama, terlebih dahulu dilakukan forward
flushing dengan menggunakan akuades padamembran. Setelah forward flushing
selama 30menit, maka percobaan utama dapat dilakukan.Umpan larutan NaCl
dilewatkan melalui membran,dengan variasi konsentrasi 2.000, 2.250, 2.500,2.750
dan 3.000 mg/L dan variasi tekanan 0,5-7 bar.Fluks untuk masing-masing tekanan
diukur setiapsepuluh menit percobaan.
Penelitian dengan menggunakan membran ROtekanan rendah ini dilakukan
pada skalalaboratorium. Umpan larutan sintetis NaCl yangdigunakan dianggap
dapat mewakili karakteristik airpayau. Metode analisa data yang digunakan
padapenelitian ini adalah dengan metode curve fitting,yang meliputi grafik antara
tekanan terhadap flukspermeat dan faktor rejeksi membran.

2.4.3 Hasil Penelitian


Adapun beberapa data yang diperoleh dari penelitian sistem reverse
osmosismenggunakan membran nano filtrasi disajikan sebagai berikut :
a. Pengukuran TDS (Total Dissolved Solid) sebelum dan sesudah penyaringan
Tabel 4 : Hasil pengukuran TDS sebelum dan sesudah penyaringan
Parameter, units Nilai awal Nilai akhir Reduksi
Total karbon organik, (mg/L) 15 0,7 95 %
UV254 absorbance 0,52 0,012 97 %
Rata-rata potensial formasi 544 31 94%
TTHM
Rata-rata potensial formasi 405 6,7 98%
HAA5
(Sumber : Jeff Adams, 2007)
b. Pengukuran Fluks dan Tekanan
1) Hubungan tekanan dan fluks

Gambar 13 : Grafik hubungan antara tekanan dan fluks membran(Edward, 2009)

35
Grafik di atas menunjukkan adanya peningkatanfluks seiring dengan
peningkatan tekanan operasi.Pada umpan dengan konsentrasi NaCl 2.000
ppmdan tekanan operasi 0,5 bar diperoleh fluks sebesar4,78 L/m2jam.
Sedangkan pada konsentrasi yangsama dengan tekanan operasi 7 bar
diperoleh fluks44,08 L/m2jam. Fenomena yang sama juga ditemuioleh
Winduwati dkk (2000). Dengan menggunakanvariabel tekanan 40 sampai 120
psi dan konsentrasiNaCl 20 hingga 100 mg/L, didapatkan adanyakenaikan
fluks permeat akibat dari kenaikan tekananoperasi.

2) Hubungan tekanan terhadap rejeksi garam.

Gambar 14 : Grafik hubungan antara tekanan dan rejeksi garam.(Edward, 2009)

Grafik di atas menunjukkan pengaruh tekananumpan terhadap rejeksi


garam. Pada umpan dengankonsentrasi NaCl 2.000 ppm dan tekanan 0,5
bardiperoleh rejeksi NaCl sebesar 83%. Sedangkanpada umpan dengan
konsentrasi yang sama dantekanan 7 bar diperoleh rejeksi 92%. Pada
umpandengan 2.250 ppm hingga 3.000 ppm terjadipenurunan rejeksi
setelah tekanan 6,5 bar. Rejeksimaksimum rata-rata membran pada range
tekanan0,5 bar hingga 7 bar diperoleh pada larutan umpandengan konsentrasi
2.000 mg/L yaitu sebesar 90%.

36
3) Hubungan tekanan terhadap konsentrasi NaCl

Gambar 15 : Grafik hubungan antara tekanan dan konsentrasi NaCl. (Edward, 2009)
Grafik pada gambar 15 di atas memperlihatkan bahwa, semakin besar tekanan
yang diberikan pada osmosis balik, maka konsentrasi garam NaCl yang
terdapat pada air olahan akan semakin berkurang.

2.5 Kesimpulan dan Saran


2.5.1 Kesimpulan
1. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan terhadap sistem osmosis balik
dengan menggunakan membran nano filtrasi, diperoleh bahwa metode ini sangat
efektif dalam pengolahan air untuk jumlah yang sangat besar.
2. Penggunaan proses reverse osmosis menggunakan nano filtrasi dapat menghilangkan
senyawa polutan yang tidak bisa dihilangkan dengan proses konvensional misalnya,
zat organik, amoniak, deterjen, pestisida, dll.
3. Beberapa keunggulan RO dengan membran nano filtrasi :
• Mudah dalam pengoperasian
• Energi yang diperlukan rendah
• Efisiensi ruang
• Ramah lingkungan
• Membran tahan lama karena selalu dibersihkan melalui aliran balik
(backwash)pada sistem RO
4. Selain memiliki keunggulan, juga memiliki kelemahan antara lain :
• Biaya investasi awal cukup tinggi terutama untuk membran nano filtrasi
• Lebih mudah mengalami fouling(penyumbatan), sehingga perlu dilakukan
perawatan ekstra

2.5.2 Saran
Dengan membutuhkan dana dan kerjasama antar masyarakat dan pemerintah,
diharapkan sistem pengolahan air menggunakan osmosis balik dengan nano filtrasi
segera dikembangkan di Indonesia khususnya di daerah yang sulit mendapatkan air
bersih.

37
DAFTAR PUSTAKA

Cahya, Eka.,Pembuatan dan Karakterisasi Membran Nanofiltrasi untuk Pengolahan


Air.,Tesishal: 14 -21, Universitas Diponegoro (2012)

Edward,dkk.,Kinerja Membran Reverse Osmosis Terhadap Rejeksi Sintesis., Jurnal Sains dan
Teknologi ,8 (1), 1-5(2009)

Idaman, Nusa., (2009).Uji Kinerja Pengolahan Air Siap Minum dengan Proses Biofiltrasi,
Ultrafiltrasi dan Reverse Osmosis (RO) dengan Air Baku Air Sungai.,Jurnal pusat
teknologi lingkungan, BPPT teknologi Jakarta Pusat, 5 (2), 144-161 (2009)

Jeff Adams, et al.,Nanofiltration for Removal of Drinking Water Disinfection By-Product


Precursors. Artikel agen perlindungan lingkungan hidup Amerika Serikat hal: 2 (2007)

J. Radjenovic,dkk., Rejection of Pharmaceuticals in Nanofiltration and Reverse Osmosis


Membrane Drinking Water Treatment.,Jurnal Internasional Elsevier ,Water Research,
42, 3601-3610 (2008)

Khalik, Agus., Praptowidodo., Nanofiltration for Drinking Water Production From Deep
Well Water.,Jurnal Internasional Elsevier, Desalination, 132 , 287-292 (2000)

Martinus, Johannes., Properties of Nanofiltration Membranes; Model Development and


Industrial Application., Eindhoven , Technische Universiteit Eindhoven (2001)

Mulder, M.,Basics Principle of Membrane Technology. London, Kluwer Academic Publisher


(1996)

Norman L.N,dkk.,Advanced Membrane Technology and Applications. New Jersey.,John


Willey & Sons Inc (2008)

Nunes, P.S., Membrane Technology in the chemical industry. New York : JonWilley & Sons
Inc (2001)

Radiman., Perkembangan Sains dan Teknologi. ProsedingSeminar Kimia bersama UKM-IIB


ke-5, hal 15-22, Malaysia (2002)

Suprihatin., Penjernihan Nira Tebu Menggunakan Membran Ultrafiltasi dengan Sistem


Aliran Silang., Jurnal ilmu pertanian Indonesia, 12 (2), 93-99 (2007)

Thorsen, Thor., Nanofiltration in Drinking Water Treatment., Literature Review of Techneau


No. D5.3.4B (2006)

Wenten, I. G,. Ultrafiltration in Water Treatment and Its Evaluation as Pretreatment for
Reverse Osmosis System. Bandung, Dept. Of Chemical Engineering ITB (1996)

38
Bab 3
Memori Berbasis Si/Ge/Si
Quantum Dot MOSFET dengan
High-k Material
Oleh: Adha Sukma Aji

3.1 Memory Divais Saat Ini


Seiring kebutuhan akan teknologi informasi, kebutuhan akan divais elektronik
juga perlu dikembangkan. Salah satu cara perkembangan adalah menurunnya ukuran
divais hingga ukuran nanometer. Perkembangan dan kemajuan diatas diperoleh dari
kemampuan memanfaatkan komputer dan devais elektronik yang setiap tahunnya
mengalami peningkatan kinerja. Salah satu keuntungan pengecilan ukuran divais
diantara lain adalah penurunan waktu switching dan menghasilkan frekuensi clock
yang lebih tinggi. Prosesor komputer saat ini didalamnya terdapat jutaan hingga
milyaran transistor. Hal ini diperoleh karena transistor terkecil saat ini yang dapat
dibuat dalam skala laboraturium memiliki panjang gateoxide sebesar 1,4 nanometer
berkat meningkatnya kemampuan fabrikasi.
Pengecilan dari CMOS (Complementary Metal Oxide Semiconductor)
transistor yang digunakan pada prosesor menyebabkan lapisan silikon dioksida
digunakan sebagai gerbang dielektrik menjadi begitu tipis (1.4 nm) dan menyebabkan
arus kebocoran yang terlalu besar hingga melebihi 1 A/cm2 pada 1 V (Gambar 3.1).
Salah satu hambatan lainnya adalah sangat sulit membuat tunnel oxide yang hanya
memiliki ketebalan 1,2 nanometer. Diperlukan penggantian tunnel oxide yang
berbasis SiO 2 dengan tunnel oxide yang memiliki ketebalan nyata yang lebih besar
dan konstanta dielektrik (κ) yang lebih besar dari SiO 2 . Salah satu solusinya adalah
dengan menggunakan high-κ seperti hafnium dioksida (HfO 2 ), zirkonium dioksida
(ZrO 2 ), dan irdium oksida (Y 2 O 3 )(Robertson, 2004).
Media penyimpanan digital sekarang seperti flashdisk dan solid-state disk
biasanya berbasis Floating Gate MOSFET.Floating Gate MOSFET adalah transistor
efek medan yang strukturnya mirip seperti MOSFET konvensional, perbedaanya
adalah terdapat gerbang dibawah control gate. Cara kerjanya adalah dengan
menyimpan muatan pada gerbang untuk menyimpan data (Sze, 1985). Pada era digital
sekarang dibutuhkan media penyimpan data (flash memory) yang tidak hanya
berkapasitas besar, namun juga berkecepatan besar. Untuk mendapatkan memori
berkapasitas besar dibutuhkan Floating Gate MOSFET yang banyak didalam sebuah
chip, namun untuk mendapatkan memori berkecepatan besar tidak semudah
memperbanyak kapasitas. Sejak lima tahun yang lalu sudah banyak riset mengenai

39
memori menggunakan Si quantum dots untuk menggantikan memori konvensional.
Masalah yang dimiliki oleh memori jenis ini adalah hubungan antara waktu retensi
(retention time) dengan kecepatan penulisan (writing time) dan kecepatan
penghapusan (erasing time). Yang menjadi masalah dihubungan ini adalah waktu
retensi yang lebih lama harus dibayar dengan penurunan kecepatan operasi.
Devais memori berbasis Si/Ge/Si menghasilkan retensi waktu yang lebih lama
dan kecepatan operasi yang tinggi. Salah satu kendala dalam pengecilanFloating Gate
MOSFET dengan mode fabrikasi 22 nanometer dibutuhkan SiO 2 yang berfungsi
sebagai gate oxide setipis 1.4 nanometer yang sangat sulit direalisasikan. Oleh karena
itu penggunaan High-κ material sebagai pengganti gate oxide dibutuhkan untuk
memudahkan fabrikasi dan mengurangi arus kebocoran. Oleh karena itu, struktur ini
sangat ideal apabila diimplemetasikan didalam divais memori.

Gambar 3.1.Arus kebocoran dengan tegangan gerbang pada berbagai ketebalan


gerbang oksida SiO 2 , Lo et al.

3.2 Elektron Dalam Struktur Kuantum,


Arus Kebocoran, dan HIGH-κ MATERIAL
3.2.1 Struktur Quantum Dot
Struktur quantum dot adalah salah satu struktur kuantum yang diterapkan pada
semikonduktor. Struktur ini mempunyai banyak keuntungan yang dapat dimanfaatkan
didalam divais elektronik. Strukturquatum dot ini berdimensi nol yang berarti bahwa
struktur ini memiliki sifat pengurungan pada semua arah (Gambar 3.2). Muatan yang
tersimpan pada struktur quantum dot ini hampir tidak memiliki struktur kebebasan
pada sumbu x, y, dan z. Pengurungan ini terjadi karena struktur quantum dot
dikelilingi oleh potensial tak hingga pada ketiga sumbu. Potensial pada quantum dot
ini dapat ditulisakan sebagai berikut.

40
Gambar 3.2. Illustrasi pengurungan pada struktur quantum dot.

(2.1)
Terdapat perbedaan persamaan Schrodinger pada struktur quantum dot

(2.2)
solusi dari persamaan Schrodinger diatas menjadi

(2.3)

(2.4)

(2.5)

(2.6)
dengan

Dari persamaan-persamaan diatas diperoleh fungsi gelombang untuk bound


state-nya sebagai berikut

(2.7)
Energi terkuatisasi terdiri dari tiga bilangan kuantum, masing-masing untuk
sumbu x, y, dan z.

, (2.8)
rapat keadaan quantum dot dapat dituliskan seperti berikut

41
(2.9)

(2.10)
Dari persamaan (2.10) tersebut diketahui bahwa fungsi rapat keadaan quantum
dot berbentuk delta Dirac. Rapat keadaan tersebut bersifat diskrit, ditunjukan pada
Gambar 3, sehingga sangat cocok digunakan untuk devais yang memanfaatkan efek
pengurungan pada quantum dot. Devais memori adalah devais yang memanfaatkan
efek pengurungan ini dan memiliki prinsip dasar penyimpanan muatan. Devais
memori menggunkan quantum dot ini akan memanfaatkan karakteristik rapat keadaan
diskrit ini untuk menyimpan dan mengurung muatan pada dot.

Gambar 3.3. Plot rapat keadaan pada struktur quantum dot.

3.2.2 Arus Kebocoran


3.2.2.1 Sumber Arus Kebocoran
Pada Gambar 3.4 terpampang sumber-sumber arus kebocoran yang akan
timbul pada MOSFET.Sub-threshold Leakage Current saja yang akan dibahas karena
arus kebocoran ini merupakan penyumbang kebocoran terbesar pada devais memori.
Hal ini senada dengan yang dikerjakan oleh Fallah (2005) tentang sumber-sumber
arus kebocoran.Selanjutnya, Arus kebocoran yang disebabkan berpindahnya
pembuatan muatan yang berpindah menuju substrat silikon karena adanya pengaruh
dari gerbang metal disebut Gate-Induced Drain Leakage(I GIDL ). Arus kebocoran yang
sebabkan oleh adanya pembawa muatan yang berpindah menuju substrat silikon
karena perbedaan konsentrasi muatan disebut Junction Leakage (I REV ). Arus
kebocoran yang disebabkan perbedaan konsentrasi sehingga ada arus yang menerobos
dari gerbang melewati potensial penghalang menuju daerah deplesi, arus kebocoran
ini disebut Gate Direct Tunneling Leakage(I G ). Terakhir, arus kebocoran karena
adanya permbawa arus yang mengalir didaerah deplesi dari source ke drain dan
sebaliknya, arus kebocoran ini disebut Sub-threshold Leakage Current(I SUB ).

42
Gambar 3.4. Sumber dari arus kebocoran pada struktur floating gate MOSFET.

3.2.2.2 Sub-threshold Leakage Current


Karena adanya fenomena ini, devais akan membutuhkan daya lebih untuk
benar-benar dinyalakan dan akan ada arus kebocoran yang tidak diinginkan mengalir
di daerah deplesi dari source ke drain dan sebaliknya.Penyebab utama Sub-threshold
Leakage Current (selanjutnya akan disingkat menjadi “I SUB ”)adalah semakin kecilnya
threshold voltage (V T )pada devais yang diminitiarusasi. Karena semakin kecil nilai
V T , maka devais akan seolah-olah aktif karena adanya potensial bawaan (dipengurahi
oleh temperatur) dari devais Dampak dari adanya arus kebocoran ini dapat
menyebabkan adanya arus yang mengalir juga masuk dan keluar menerobos floating
gate sehingga muatan yang terdapat didalamnya dapat bertambah dan berkurang
sehingga apabila dibaca dapat menyebabkan data menjadi hilang atau bertambah dan
tidak sesuai dengan apa yang diinginkan.
Arus kebocoran dapat dihitung melalui persamaan berikut

(2.11)
dimana W dan L adalah adalah lebar dan tinggi dari transistor, μ adalah
mobilitas pembawa muatan, v th =kT/q adalah thermal voltage pada temperatur T, C sth
adalah nilai gabungan dari kapasitansi dari daerah deplesi dan kapasitansi dari
interface trap dari MOS devais, dan η adalah koefisien drain-induced barrier
lowering (DBIL). n adalah slope shape factor yang dapat dihitung dari persamaan
dibawah ini

(2.12)
dimana C ox adalah kapasitansi gerbang oksida dari devais MOS. Ketika V ds
semakin membesar atau nilai v th menuju nol, persamaan arus kebocoran I SUB menjadi

(2.13)

43
dengan

(2.14)
dan S menunjukan koefisien swing parameter dari kurva I-V karakteristik
devais MOS. Persamaan swing parameter telah diturunkan oleh Roy (2003) sebagai
berikut:

(2.15)

3.2.3 Material high-κ


Material high-κ telah digunakan sebagai tunnel oxide semenjak tahun 2007
ketika Intel mengeluarkan prosessor Core 2 Duo. Penggunaan teknologi material
high-κ pada prosesor Intel terbukti dapat mengurangi arus kebocoran, disipasi daya,
dan meningkatkan kinerja prosesor. Dalam hal ini, material high-κ akan
diimplementasikan ke devais memori berbasis quantum dot floating gate MOSFET.
Penggunaan material high-κ pada devais memori ini diharapkan dapat meningkatkan
kinerja prosesor dan mengurangi arus kebocoran.

3.2.3.1 Equivalent Oxide Thickness (EOT)


Dalam teknologi CMOS, terdapat tiga buah gabungan kapasitansi untuk
mendapatkan kapasitansi total dari CMOS. Pertama adalah kapasitansi oksida, kedua
adalah kapasitansi daerah deplesi, dan yang ketiga adalah kapasitansi yang dihasilkan
oleh pembawa muatan pada substrat MOS. Untuk mengganti komponen material dari
devais MOS diwajibkan untuk menjaga nilai kapasitansi agar devais dapat bekerja.
Penggantian tunnel oxideakan dibahas kali ini sehingga kapasitansi oksida gerbang
terobosan perlu dihitung kembali. EOTadalah nilai dari kapasitansi baru dari oxida
gerbang terobosan yang harus memiliki karakteristik yang sama dengan gerbang
oksida sebelumnya yang dibentuk oleh SiO 2 (Robertson, 2004).
Pertama, gabungan dari daerah deplesi, oksida gerbang, dan daerah floating
gate dianggap sebagai dua buah plat (daerah deplesi dan daerah floating gate) dengan
satu buah bahan dielektrik (oksida gerbang). Nilai kapasitansi dari dua buah plat
diberikan sebagai berikut

(2.16)
dengan A adalah luas penampang plat, ε 0 adalah permitivitas pada ruang
hampa, t adalah tebal dielektrik. K adalah konstanta dielektrik. Karena kapasitansi
berbanding terbalik dengan ketebalan dielektrik (oksida gerbang terobosan) maka
dibutuhkan material lain yang memiliki konstanta dielektrik yang lebih tinggi. EOT
yang terbentuk mempunyai nilai sebagai berikut.

(2.17)

44
dimana 3,9 adalah konstanta dielektrik dari SiO 2 , t high-K adalah tebal oksida yang
diharapkan, t ox adalah tebal oksida yang baru, K adalah nilai konstanta dielektrik dari
material high-κ.

3.2.3.2 Pemilihan high-k material


Material high-κ yang sesuai untuk menggantikan SiO 2 tunnel oxide
terpampang pada Tabel 1. Ada beberapa kriteria yang dibutuhkan agar material
tersebut dapat digunakan sebagai tunnel oxide pada divais memori.
 Memiliki konstanta dielektrik antara 10 sampai dengan 30 agar memiliki
nilai EOT yang mendekati,
 Memiliki conduction band offset diatas 1 eV agar dapat bertindak sebagai
insulator, dan
 Memiliki stabilitas apabila digabungkan dengan silikon agar dapat bekerja
dengan baik.

Tabel 1. Material high-κ yang memenuhi kriteria dan disimulasikan.


Material Konstanta Dielektrik Band Gap Vb Offset Cb Offset
SiO 2 3,9 9 4.4 3,2
HfO 2 25 5,8 3.4 1,4
ZrO 2 25,2 5,8 3.3 1,5
Y2O3 15 6 3.6 2,3

45
3.3 Simulasi Arus Kebocoran dan
Performa Memori
3.3.1 Simulasi Arus Kebocoran pada floating gate Si/Ge/Si quantum dot
MOSFET
Ada beberapa step untuk menghitung dan melakukan simulasi arus kebocoran
pada floating gate MOSFET. Pertama, threshold voltage akan dihitung. Dari
threshold voltage ini akan diketahui arus kebocoran yang akan terjadi pada MOSFET.
Threshold voltage adalah tegangan yang dibutuhkan agar ada arus yang
mengalir dari source ke drain melalui daerah inversi. Karena divais kita semakin
diperkecil, maka besar threshold voltage dari divais juga berubah sesuai dengan
persamaan dibawah ini

(3.1)
dengan V fb adalah potensial flat band, N a adalah densitas doping pada substrat silikon,
q adalah muatan elektron, ε si adalah permitivitas silikon, C ox adalah kapasitansi dari
gerbang oksida, dan ψ b adalah perbedaan dari tegangan Fermi dan tegangan intristik
dari substrat yang dijelaskan oleh persamaan berikut

(3.2)
dengan kedua persamaan diatas dan dari persamaan (2.54) dan (2.56) maka kita dapat
menetukan hubungan arus bocor dengan fungsi ketebalan oksida dan tempertatur
(Sze, 1985).

3.3.2 Simulasi Performa Memori floating gate Si/Ge/Si


quantum dot MOSFET
3.3.2.1 Simulasi probabilitas tunneling
Proses penulisan data adalah proses pengisian muatan pada quantum dot.
Sedangkan proses penghapusan data adalah proses penghilang muatan pada quantum
dot. Kecepatan dari penulisan dan penghapusan data dipengaruhi pula oleh proses
tunneling. Proses pengisian muatan adalah proses tunneling muatan (elektron/hole)
dari substrat silikon ke floating gate quantum dot menerobos tunnel oxide (oksida
gerbang) pada divais. Kedua proses ini akan menjadi penentu akan kecepatan dan
performa memori divais yang akan disimulasikan.
Metoda multistep potential intinya adalah membagi-bagi potensial penghalang
menjadi beberapa potensial kotak agar dapat dihitung dengan mudah. Karena
potensial kotak merupakan bentuk yang paling sederhana sehingga tidak diperlukan
model matematika yang terlalu rumit. Matriks transfer diaplikasikan pada N buah
partisi sehingga didapatkan amplitudo transmisi dan selanjutnya diperoleh

46
probabilitas tunneling-nya.Fungsi gelombang elektron yang datang pada potensial U j
dituliskan sebagai berikut

(3.3)
Quantum dot floating gate MOSFET adalah modifikasi dari MOSFET biasa,
oleh karena itu proses tunneling pada devais ini hampir sama dengan MOSFET biasa.
Elektron dari substrat yang terakumulasi pada keadaan inversi dengan energi tertentu
melakukan tunneling melewati potensial penghalang berupa dilektrik SiO 2 , dengan
tinggi potensial dari pita konduksi Si sebesar 3,15 eV. SiO 2 akan diganti dengan
material high-K yaitu HfO 2 , ZrO 2 , dan Y 2 O 3 dengan masing-masing tinggi potensial
1,4 eV; 1,5 eV; dan 2,3 eV.

Gambar 3.5. Illustrasi pendekatan multistep potential.

dengan

(3.4)
dengan memenuhi syarat kontinuitas dan syarat batas untuk setiap daerah,

(3.5)

(3.6)
kemudian, koefisien A j dan B j dapat dituliskan dengan matrix 2x2

(3.7)
dimana

47
(3.8)
dan

(3.9)

(3.10)

(3.11)

(3.12)
dimana

(3.13)
selanjutnya didefinisikan matriks transfer sebagai berikut,

(3.14)
dengan mengambil nilai A o = 1 dan B n+1 = 0 (tidak ada gelombang datang
elektron dari arah lain) maka didapatkan koefisien A n+1 adalah

(3.15)
dan akhirnya diperoleh probebilitias transmisi D(E)

(3.16)
Untuk mendapatkan hasil yang lebih baik, potensial trapesium tersebut harus
dibagi lagi menjadi lebih banyak bagian. Hal ini dikarenakan semakin banyak jumlah
partisi maka potensial yang didekati akan menyerupai potensial sebenarnya dan
menghasilkan probabilitas tunneling yang lebih halus.

3.3.2.2 Simulasi Kecepatan Operasi


Kecepatan penulisan dan penghapusan t dapat didefinisikan dengan persamaan
dibawah ini (Zhao et.al., 2006),

(3.17)
dengan q, J, dan L adalah muatan elektron, rapat arus tunneling, dan panjang
nanokristal.

48
Rapat arus terobosan dapat didefinisikan dengan persamaan dibawah ini.
Dimana nilai D(E) yang diperoleh adalah nilai yang dihasilkan dengna metode
multistep potensial.

(3.18)
Dengan f(E) adalah frekuensi impact, ρ(E) adalah rapat keadaan elektron untuk 2
derajat kebebasan, F(E) adalah distribusi Fermi-Dirac orde ½, dan D(E) adalah
probabilitas tunneling.

(3.19)

(3.20)

49
3.4 Arus Kebocoran dan Performa Memori
Si/Ge/Si Quantum Dot MOSFET
3.4.1 Arus kebocoran sebagai fungsi dari tebal oksida.
Dari gambar dibawah diketahui apabila semakin kecil tebal oksida maka arus
kebocoran akan meningkat secara eksponensial.Arus kebocoran akan berkurang
dengan menggantinya dengan oksida high-κ. HfO 2 dan ZrO 2 memiliki arus kebocoran
yang hampir sama, karena memiliki konstanta dielektrik sebesar 25 dan 25,2. Y 2 O 3
memiliki arus kebocoran lebih kecil dibandingkan dengan kedua material sebelumnya
walaupun mempunyai konstanta dielektrik yang lebih kecil yaitu sebesar 15. Hal ini
disebabkan karena nilai kapasitansi pada daerah deplesi meningkat dan menyebabkan
nilai arus kebocoran menjadi lebih kecil.Hasil pada Gambar 6juga menunjukan
bahwa silikon dengan ketebalan dibawah 0,5 nanometer tidak akan berfungsi karena
kebocorannya melebihi limit yang ditunjukkan pada Gambar 1yaitu diatas 10-8
A/cm2.

Gambar 3.6. Arus kebocoran sebagai fungsi dari tebal oksida.

3.4.2 Arus kebocoran sebagai fungsi dari temperatur.


Pada Gambar 3.7 dapat disimpulkan bahwa pada temperatur yang sangat
tinggi, arus kebocoran akan semakin membesar. Arus kebocoran sebesar 10-5 A/cm2
dapat ada kemungkinan menyebabkan devais menjadi rusak. Hal ini disebabkan
karena bertambahnya tegangan threshold sehingga menyebabkan daerah dibawah
threshold menjadi membesar dan menyebabkan arus kebocorannya menjadi
membesar pula. Gambar 3.7 menunjukan arus kebocoran sebagai fungsi dari
temperatur dari rentang 0 oC sampai dengan 300 oC. Simulasi ini dilakukan dengan
EOT sebesar 1,2 nanometer.

50
Gambar 3.7. Arus kebocoran sebagai fungsi dari temperatur dari 0 oC sampai dengan 300
o
C.

Gambar 3.8 sengaja dibuat untuk melihat arus kebocoran pada keadaan nyata.
Komputer biasa beroperasi dengan suhu diatas 25 oC sampai dengan 100 oC. Biasanya
pada saat menyentuh temperatur 100 oC, komputer dianggap overheating. Pada
Gambar 8 menunjukan arus kebocoran sebagai fungsi dari temperatur dari rentang 25
o
C sampai dengan 100 oC. Dilihat pada inset Gambar 8terlihat arus kebocoran masih
dibawah 10-8 A/cm2 baik untuk SiO 2 dan oksida high-κ lainnya. Namun apabila divais
dipaksa bekerja lebih keras temperatur akan bertambah, sehingga ada kemungkinan
arus bocor pada SiO 2 akan melibihi limit.

Gambar 3.8. Arus kebocoran sebagai fungsi dari temperatur dari 25 oC sampai
dengan 100 oC.

51
3.4.3 Kecepatan Penulisan Floating Gate Si/Ge/Si
Quantum Dot MOSFET
Hasil simulasi yang diperoleh ditunjukan oleh Gambar 3.9 dengan hubungan
waktu operasi penulisan sebagai fungsi ketebelan oksida high-κ. Plot tersebut dimulai
dari ketebalan high-κ oksida 6 nanometer sampai dengan 8 nanometer yang memiliki
nilai EOT 0.9 nanometer sampai 1.2 nanometer. Kecepatan penulisan memori akan
berkurang, dikarenakan waktu yang diperlukan bertambah, seiring bertambahnya
tebal oksida. Dengan semakin tebalnya lapisan oksida, maka pembawa muatan hole
untuk penulisan akan lebih sulit menerobos potensial penghalang. Pada grafik tersebut
telihat bahwa waktu penulisan dengan HfO 2 dan ZrO 2 jauh lebih cepat dibandingkan
dengan Y 2 O 3 . Hal ini disebabkan karena HfO 2 dan ZrO 2 memiliki valence band offset
terhadap silikon yang lebih kecil dibandingkan Y 2 O 3 . Semakin tinggi potensial
penghalang menyebabkan pembawa muatan semakin sulit untuk menerobos oksida.
Valence band offset terhadap silikon akan berperan sebagai potensial penghalang.
HfO 2 , ZrO 2 , dan Y 2 O 3 memiliki valence band offset sebesar 3,4 eV, 3,3 eV, dan 3,6
eV yang dapat dilihat pada Tabel 1. Performa penulisan dapat dikatakan semakin
cepat apabila memiliki waktu operasi yang semakin kecil. Hasil simulasi ini
membandingkan kecepatan operasi antara tiga buah material high-κ sebagai oksida
yaitu HfO 2 , ZrO 2, dan Y 2 O 3 .

Gambar 3.9 Kecepatan penulisan sebagai fungsi dari tebal oksida.

52
3.4.4 Kecepatan Penghapusan Floating Gate Si/Ge/Si
Quantum Dot MOSFET
Gambar 3.10 menunjukan hasil simulasi kecepatan penghapusan sebagai
fungsi dari tebal oksida. Dari Gambar 3.10 dapat disimpulkan bahwa ZrO 2 dan HfO 2
memiliki kecepatan penulisan yang lebih cepat dibandingkan Y 2 O 3 .Plot tersebut
dimulai dari ketebalan high-κ oksida 6 nanometer sampai dengan 8 nanometer yang
memiliki nilai EOT 0.9 nanometer sampai 1.2 nanometer. Hal ini disimpulkan dari
waktu yang dibutuhkan untuk melakukan penghapusan yang paling kecil. ZrO 2 dan
HfO 2 memiliki kecepatan penghapusan yang besar karena memiliki potensial
penghalang paling kecil yaitu 1,5 eV dan 1,4 eV. Sedangkan Y 2 O 3 memiliki
kecepatan penghapusan yang lebih lambat memiliki potensial penghalang 2,3 eV.
Sama halnya dengan kecepatan penulisan, kecepatan penghapusan HfO 2
kecepatannya lebih besar dari ZrO 2 yang memiliki tinggi potensial lebih kecil. Hal ini
disebabkan karena plot hasil rapat arus probabilitas bergelombang, sehingga ada nilai
HfO 2 yang lebih besar dibandingkan ZrO 2 pada tingkat energi tertentu.

Gambar 3.10. Kecepatan penghapusan sebagai fungsi dari tebal oksida.

53
DAFTAR PUSTAKA
A.S. Aji and Y. Darma, AIP Conf. Proc. 1454, 195 (2012).
D. Zhao, Y. Zhu, R. Li, J.Liu, IEEE Trans. on Nanotech., vol. 5, No. 1, pp. 37-41,
2006.
D. Zhao, Y. Zhu, R. Li, J.Liu, IEEE Trans. on Nanotech., vol. 5, No. 1, pp. 37-41,
2006.
F. Fallah and M. Pedram, “Standby and Active Leakage Current Control and
Minimization in CMOS VLSI Circuits.” Special Low-Power LSI Issue of
IEICE Trans. on Fundamentals of Electronics, Communications and Computer
Sciences, Apr. 2005.
Housa, M., High-κ Gate Dielectrics, London: IOP Publishing, 2004.
J. D. Carperson, L. D. Bell, H. A. Atwater, J. Appl. Phys., 91., pp. 261-267, 2002.
J. Robertson, Eur. Phys. J. Appl. Phys. 28, 265–291, 2004
K. Roy and S, Mukhipadhyay. Proceedings of The IEEE, 91, No. 2, February 2003.
Mitin, V. V., Viatcheslav A.K., Michael A.S., Quantum Heterostructure:
Microelectronics and Optoelectronics, UK: Cambridge, 1999.
S. Chung and C.-T Li, “An Analytical threshold-voltage model of trench-isolated
MOS devices with nonuniformly doped substrates”, IEEE Trans. Electron
Devices, 39, March, 61-622.1992.
Schimd, G, Nanoparticle: From Theory to Application, Weinhem: WILEY-VCH
Verlag GmbH & Co. KgaA, 2010.
Sze, S.M., Kwok K. N., Physics of Semiconductor Devices 3rd edition, New Jersey:
John Willey and Sons, 2007.
Sze, S.M., Semiconductor Devices: Physics and Technology, New York: John Willey,
1985.
Y. Ando and T. Itoh, J. Appl. Phys. 61 (4), 15 February 1987.
Y. Darma, H Murakami and SMiyazaki,Jpn. J. Appl. Phys. 42.4129-4133.2003
Y. Darma, R. Takaoka, H. Murakami and S. Miyazaki,Nanotech. 14, no. 4, pp. 413-
415, 2003.
Y. Darma, T. Fattirahman, and R. Kurniadi, Solid States Sciences and Technology,16,
160-167.2008

54
Bab 4
Partikel Nano untuk Sunscreen
menggunakan TiO2
Oleh : Alvina Kusumadewi K

4.1 Pendahuluan
Aktivitas di bawah sinar matahari seringkali mengganggu kesehatan. Sinar
matahari yang terlalu terik dapat membuat kulit manusia terbakar dan menjadi lebih
gelap. Kebutuhan akan perlindungan dari sinar matahari semakin meningkat.
Dibutuhkan cara perlindungan yang praktis agar aktivitas yang dilakukan tidak
terganggu. Pada umumnya, beberapa orang menggunakan pakaian dengan lengan
panjang dan celana panjang agar kulitnya terlindungi dari sinar matahari tetapi dengan
berpakaian seperti itu seringkali mengganggu aktivitas karena suhu badan menjadi
lebih panas dan lebih mudah berkeringat. Beberapa orang memilih topi atau penutup
kepala untuk melindungi wajahnya dari sinar terik matahari agar tidak terbakar dan
menjadi lebih gelap. Tetapi cara seperti ini juga tidak praktis mengingat topi atau
penutup kepala harus dibawa kemanapun berada.
Salah satu solusi yang ditemukan oleh para peneliti adalah dengan
menggunakan cairan atau krim ( lotion ) yang dapat diaplikasikan secara langsung ke
kulit dan dapat bertahan dalam waktu yang cukup lama. Beberapa material yang
digunakan dalam kandungan krim diujicoba agar diperoleh krim dengan kandungan
material yang aman untuk tubuh dan dapat melindungi kulit dari sinar matahari.
Umumnya material-material yang digunakan dalam sunscreen adalah titanium
dioxide, TiO 2 , zinc oxide, ZnO, dan ferro oxide.

4.1.1 Sinar Ultraviolet


Sinar matahari terbagi dalam beberapa panjang gelombang. Sinar ultraviolet
merupakan sinar dari radiasi matahari dengan panjang gelombang yang pendek (skala
nano meter). Berdasarkan panjang gelombangnya, sinar ultraviolet dibagi menjadi 3
yaitu UVA dengan panjang gelombang 320-400 nm, UVB dengan panjang
gelombang 290-320 nm, dan UVC dengan panjang gelombang 100-290 nm.

55
Gambar 4.1. Beberapa Panjang Gelombang pada Sinar UV
( http://anath.hubpages.com/hub/Sun-protection )

Sinar UVC memiliki panjang gelombang yang paling pendek sehingga UVC
tidak menembus lapisan ozon. Akibatnya, panjang gelombang UVC tidak sampai ke
permukaan bumi dan tidak memberikan pengaruh pada kulit sedangkan UVB dan
UVA memiliki panjang gelombang yang lebih panjang sehingga dapat menembus
lapisan ozon. Sinar UVB dapat menembus lapisan kulit manusia sampai ke lapisan
epidermis sedangkan sinar UVA memiliki panjang gelombang paling panjang
sehingga dapat menembus lapisan kulit manusia hingga ke lapisan dermis.
Tembusnya sinar UV ini menyebabkan kerusakan kulit dan beberapa penyakit. Efek
dari tembusnya sinar UVB ke dalam kulit adalah kulit terbakar ( sel-sel kulit menjadi
mati ), keriput, dan penuaan kulit. Efek dari sinar UVA memiliki panjang gelombang
yang lebih panjang dan menembus kulit hingga bagian dermis sehingga sinar ini dapat
menyebabkan kerusakan DNA pada jaringan kulit dan menimbulkan penyakit kanker
kulit dan lupus.

56
Gambar 4.2. Sinar UV yang menembus kulit
(http://www.natural-organic-sunscreen.com/image-files/skin-uv.jpg)

4.1.2 Sunscreen
Agar kulit terhindar dari kerusakan akibat sinar UV, maka dibutuhkan
suatu produk untuk melindungi kulit. Salah satunya adalah sunscreen.
Sunscreen berbentuk cairan ( lotion ) yang dapat diaplikasikan secara langsung
ke kulit. Pada umumnya, sunscreen digunakan ketika melakukan aktivitas di
siang hari seperti berenang, mendaki gunung, ke pantai, dan kegiatan lain yang
dilakukan secara langsung di bawah sinar matahari. Dengan menggunakan
sunscreen, sinar UV dapat dipantulkan, dihamburkan, dan diserap sehingga
sinar UV tidak langsung menyentuh kulit. Untuk menperoleh sunscreen yang
dapat melindungi kulit dengan baik maka dibutuhkan beberapa kandungan
partikel di dalam sunscreen yang dapat menyerap, memantulkan, dan
menghamburkan sinar UV. Partikel yang bisa digunakan untuk sunscreen
adalah titanium dioxide, zinc oxide, dan ferro oxide. Pada laporan ini, partikel
yang akan ditinjau adalah titanium dioxide.

4.1.3 Sun Protection Factor


Sun Protection Factor merupakan besaran nilai faktor pelindung dari sinar
matahari yang terkandung dalam sunscreen. Angka yang ditunjukan pada SPF
menunjukan rentang waktu daya perlindungan sunscreen pada kulit agar tidak
terbakar sinar UV. Jika rentang waktu kulit tidak terbakar oleh matahari tanpa
penggunaan sunscreen adalah 4 menit untuk kulit berwarna terang dan SPF yag
digunakan adalah SPF 15 maka rentang waktu kulit tidak terbakar matahari menjadi 4
menit dikalikan dengan 15 atau rentang waktunya adalah 60 menit dan jika

57
menggunakan SPF 30 maka rentang waktu kulit tidak terbakar matahari menjadi 4
dikalikan dengan 30 atau 120 menit. Maka angka yag ditunjukkan pada SPF adalah
angka yang tertera pada SPF dikalikan rentang waktu kulit tidak terbakar matahari
tanpa sunscreen. Hal ini berlaku untuk seluruh angka yang tertera pada SPF dan
bergantung pada jenis kulit. Semakin gelap warna kulitnya maka rentang waktu kulit
tidak terbakar matahari tanpa menggunakan sunscreen akan lebih lama karena warna
kulit gelap memiliki kandungan pigmen melanin yang lebih banyak. Pigmen melanin
berfungsi sebagai pelindung agar sinar UV tidak mengenai lapisan di bawahnya.

Gambar 4.3. Sun Protection Factor untuk Berbagai Jenis Kulit


(www.fhm.com)

4.2 Partikel Nano


Partikel nano adalah partikel dengan ukuran nanometer. Pada umumnya suatu
partikel disebut partikel nano jika partikel tersebut memiliki dimensi kurang dari
seribu nanometer. Partikel nano memiliki sifat lebih reaktif dan memiliki sifat fisis
dimana ukuran partikel menentukan energi bandgap yang dimilikinya.

58
4.2.1 TiO 2
Elemen titanium pertama kali ditemukan oleh William Gregor pada tahun
1971 di Inggris ketika William Gregor mendapatkan pasir hitam di tempat
tetangganya. Setelah diteliti, William Gregor mengetahui bahwa elemen tersebut
adalah mineral yang kemudian dinamakan menachanite. Empat tahun kemudian
Martin H Klaproth menemukan kandungan elemin kimia baru di dalam elemen ini
dan dinamakan titanium.
Titanium dioxide sudah dimanfaatkan secara luas dalam berbagai jenis
nanomaterial baik nanoparticle, nanorods, nanowires, nanotubes, nanoporous pada
TiO 2 yang mengandung material lain. TiO 2 memiliki kemampuan fotokatalis dimana
dengan material ini suatu reaksi dapat terjadi dengan bantuan gelombang cahaya.
Kelebihan lainya adalah titanium dioxide memiliki permukaan yang dapat bereaksi
dengan molekul-molekul biologis. Titanium banyak digunakan dalam kehidupan
sehari-hari diantaranya adalah pasta gigi, cat tembok, dunia otomotif, produk
makanan, dan produk kecantikan. Salah satu aplikasi yang digunakan dalam dunia
kecantikan adalah krim pelindung dari sinar matahari ( sunscreen ).
TiO 2 merupakan partikel berukuran 20-50 nm yang terdiri dari titanium dan
oxide. Di alam titanium dioxide bisa ditemukan dalam 3 fasa, fasa anatase, rutile, atau
brookite dengan ukuran yang berbeda-beda. TiO 2 memiliki energi band-gap sekitar
3.2 eV untuk fasa anatase dan 3.0 eV untuk fasa rutilenya. Pada umumnya TiO 2 yang
digunakan pada sunscreen adalah TiO 2 pada fasa anatase tetapi fasa anatase lebih
fotoaktif dibandingkan fasa rutile. Hal ini menyebabkan rekombinasi elektron dan
hole menjadi lebih sedikit dan efisiensi absorpsi oksigen menjadi lebih tinggi
sehingga seharusnya fasa rutile menjadi pilihan pada TiO 2 untuk digunakan dalam
sunscreen. Dengan energi band-gap ini, sinar yang diserap oleh TiO 2 hanya sinar
dengan rentang panjang gelombang sinar UV saja sedangkan sinar dengan panjang
gelombang lain tidak diserap seperti cahaya tampak.
Kelebihan dari partikel titanium dioxide adalah partikel ini memiliki luas
permukaan yang lebih lebar dan dapat meresap dengan mudah ke dalam lapisan kulit,
lebih mudah bereaksi dengan oksigen, membuat kulit muka menjadi lebih putih
karena sinar UV yang mengenai TiO 2 berpendar, juga dapat menyerap sebanyak 70%
dari sinar UV yang menyentuh lapisan kulit.

Gambar 4.4. Material Titanium Dioxide ( www.koboproducts.com )

59
(a) (b)
Gambar 4.5. (a) Fasa Anatase dan (b) Fasa Rutile
( www.koboproducts.com)

4.2.2 Reaksi antara TiO 2 dan Sunscreen

Panjang gelombang di bawah panjang gelombang sinar UVA dan UVB


yang mengenai lapisan sunscreen di atas permukaan kulit akan membuat
elektron yang terdapat pada pita valensi akan tereksitasi ke pita konduksi.
Karena energi pada panjang gelombang UVA dan UVB lebih besar dari energi
band gap titanium dioxide. Sehingga energi dari sinar UV yang seharusnya
digunakan untuk merusak lapisan kulit jika tidak memakai sunscreen dialihkan
untuk proses eksitasi elektron pada titanium dioxide jika memakai sunscreen.
Hasil eksitasi berupa elektron di pita konduksi dan hole di pita valensi.
Kemudian elektron dan hole akan ditransfer di seluruh permukaaan volume
TiO 2 . Proses ini menyebabkan timbulnya reaksi reduksi dan oksidasi. Elektron
akan mereduksi oksigen di lingkungan dan menghasilkan super oxide dan hole
akan mengoksidasi molekul air sehingga menghasilkan molekul hidroksil yang
bersifat radikal bebas.
TiO 2 + UV  TiO 2 ( e- + h+ )
e- + O 2  O 2 -
h+ + OH-  OH
h+ + H 2 O  OH + H+
Daya perlindungan sunscreen bergantung pada banyaknya krim yang
diaplikasikan di kulit dan konsentrasi juga dispersi partikel TiO 2 di dalam krim.
Jika krim yang digunakan pada kulit sedikit maka jumlah partikel TiO 2 di
dalam krim juga akan sedikit sehingga jumlah sinar UV yang diserap dan
dihamburkan hanya sedikit. Jika konsentrasi partikel TiO 2 tinggi tetapi
dispersinya rendah maka akan terdapat banyak celah pada krim sehingga sinar
UV dapat tembus ke permukaan kulit. Untuk konsentrasi partikel TiO 2 rendah
tetapi dispersinya tinggi, konsentrasi sinar UV yang diserap oleh partikel tidak
terlalu tinggi. Dengan konsentrasi partikel TiO 2 tinggi dan dispersi tinggi, sinar
UV akan diserap dan dihamburkan dengan sangat baik sehingga kulit dapat

60
terlindungi dengan baik. Pengaplikasian sunscreen yang terlalu banyak tidak
dianjurkan karena keberadaan unsur kimia di lapisan kulit dalam kandungan
terlalu besar dapat membahayakan kulit dan permukaan kulit menjadi licin.

Gambar 4.6. Proses Reaksi Titanium Dioxide di Dalam Sunscreen

4.2.3 Pelapisan TiO 2

Karena reaksi antara hole dengan dengan molekul air di udara menghasilkan
radikal bebas pada panjang gelombang tertentu ( lebih dari 300nm ) sehingga partikel
radikal bebas tersebut merusak lapisan kulit, maka partikel TiO 2 pada sunscreen harus
dilapisi oleh material lain. Beberapa material yang digunakan untuk melapisi TiO 2
diantaranya adalah alumina Al 2 O 3, magnesium, silica, zirconium, dan zinc dengan
dimethicone. Pelapisan pada umumnya tersusun dari hidroksida dan oksida dari
material yang digunakan. Untuk kasus-kasus tertentu, titanium oksida dan titanium
hidroksida dapat muncul di permukaan lapisan. Material yang digunakan untuk
melapisi TiO 2 adalah material yang tidak merubah secara signifikan energi bandgap
yang dimiliki oleh TiO 2 .

61
Al2O3

Gambar 4.7. Pelapisan TiO 2 dengan Alumina


(www.koboproducts.com)
Karena pelapisan ini, reaktivitas dengan sinar UV akan berkurang dan partikel
radikal bebas yang ada terperangkap di dalam lapisan alumina atau silica dan akan
terbawa air ketika mandi atau membersihkan badan. Keuntungan lain dari pelapisan
TiO 2 ini adalah meningkatnya kemampuan dispersi, stabilitas dispersi, transparansi,
daya tahan, dan permukaan lapisan yang lebih halus (IARC). Pada umumnya untuk
fasa rutile, permukaan titanium dioxide dilapisi sebanyak 1-15% dan untuk fase
anatase dilapisi sebanyak 1-5%. Pelapisan dilakukan secara merata di seluruh
permukaan.

4.3 Kesimpulan
Sinar UV terbagi menjadi 3 jenis berdasarkan panjang gelombangnya, UVA,
UVB, dan UVC. Sinar UV yang membahayakan kulit adalah sinar UVB dan UVA.
Untuk melindungi kulit dari sinar UV yang membahayakan digunakan sunscreen
yang mengandung partikel nano. Partikel nano yang diteliti adalah titanium dioxide.
Titanium dioxide memiliki beberapa kelebihan yaitu memiliki energi band-gap yang
sesuai dengan energi UV sehingga gelombang cahaya tampak tidak diserap, membuat
warna kulit menjadi lebih terang, memiliki luas permukaan yang lebih lebar dan lebih
mudah menyerap ke dalam kulit, dan dapat menyerap sinar UV mencapai 70%. Sinar
UV dengan panjang gelombang tertentu dapat menyebabkan terbentuknya partikel
radikal bebas sehingga partikel titanium dioxide perlu dilapisi. Pelapisan titanium
dioxide menggunakan alumina atau silica sehingga partikel radikal bebas tidak
bereaksi dengan lapisan kulit.

62
DAFTAR PUSTAKA

Arora, H., Doty. Ye, Y., Boyle, J., Petras, K., Rabatic, B., Paunesku, T., Woloschak, G.
Titanium Dioxide Nanocomposites. Nanomaterials for the Life Sciences, 8 (2010)
http://www.wiley-vch.de/books/sample/3527321683_c01.pdf

Bunhu, T., Kindness, A., and Martincigh, B.S., Determination of Titanium Dioxide in
Commercial Sunscreens by Inductively Coupled Plasma–Optical Emission
Spectrometry. S. Afr. J. Chem., 64, 139–143 (2011)

Chapman, M.S. MD,. Sunscreens: The Importance of UVA Protection.


http://fp.arizona.edu/kkh/nats101gc/PDFs06/medscape.today.uva.pdf

Eastern Research Group. Final Report. State of the Science Literature. Review: Nano
Titanium Dioxide Environmental Matters. Scientific, Technical, Research,
Engineering and Modeling Support (STREAMS). U.S Environmental
Protection Agency Office of Research and Development. Washington, DC
20460. www.epa.gov/nanoscience/files/NanoPaper2.pdf

Graham, A., Kent, P. Titanium Dioxide and Zinc Oxide Nanoparticles in Sunscreen
Formulations: A Study of The Post Production Particle Size Distribution of
Particles in A Range of Commercial Emulsion Variants. Hamilton
Laboratories. Adelaide, South Australia.

http://anath.hubpages.com/hub/Sun-protection

How Sunscreen Block : The Absorption of UV Light.


http://nanosense.org/.../clearsunscreen/absorption/CS_Lesson3Teacher.pdf

Johannes, F.J., Poel, I., Osseweijer, P. Sunscreens with Titanium Dioxide (TiO2) Nano-
Particles: A Societal Experiment. Nanoethics, 4, 103-113 (2010)

Klaessig, F. TiO 2 : Production Methods and Characterization. California DTSC


Presentation, 8 March 2010. www.dtsc.ca.gov/.../upload/Klaessig-
_TiO2_Mfr_and_Char.pdf

Renner, G., Colipa. Nano-Titanium Dioxide in Sunscreen. Safety for Success


Dialogue, Brussels, 3 November 2009.

Shao, Yun., Bartholomey, Ed. Formulating Natural Sunscreens. Kobo.


www.koboproductsinc.com/Downloads/Formulating_natural_sunscreen-
March2009.pdf

Titanium Dioxide. http://monographs.iarc.fr/ENG/Monographs/vol93/mono93-


7.pdf

63
Therapeutic Goods Administration. A Review of The Scientific Literature on The
Safety of Nanoparticulate Titanium Dioxide or Zinc Oxide in Sunscreen. Australian
Government. Departement of Health and Ageing (2009)

www.fhm.com

64
Bab 6
Organic Light Emitting Diode
Oleh : R. Dunden Gilang Muharam

6.1 Organic Light Emitting Diode


Organic Light Emitting Diode (OLED) adalah suatu divais yang dapat
digunakan sebagai display ataupun lampu. Prinsip OLED berdasarkan proses
elektroluminesensi. Proses tersebut yaitu proses konversi dari energi listrik menjadi
radiasi elektromagnetik. Radiasi elektromagnetik yang diemisikan oleh OLED
biasanya dalam rentang cahaya tampak. Berdasarkan prinsip elektroluminisensi maka
OLED terdiri dari dua buah elektroda yang disusun beserta bahan emisif diantara
kedua elektroda tersebut. Gambar struktur OLED dapat dilihat pada Gambar 6.1

Gambar 6.1 OLED (a) Struktur (b) Jenis OLED bersarkan penggunaan
(Robles, Raquel Ovalle, Dissertation: Physical Process in OLED with Transparant
CNT Sheets as Electrode 2008)

OLED terdiri dari beberapa komponen yaitu :

1. Substrat
Substrat yang dapat digunakan pada OLED yaitu plastik, glass, plastik dengan
dilapisi ITO dan glass yang dilapisi ITO. Beberapa persyaratan substrat yang
dapat digunakan yaitu bahan tersebut harus transparan sehingga ketika radiasi

77
elektromagnetik yang keluar dari bahan emisif tidak terhalang ataupun
terhambur. Selain itu pula bahan tersebut harus memiliki indeks bias yang kecil.

2. Elektroda
Elektroda pada OLED terdiri dari dua bagian yaitu elektroda positif atau dikenal
dengan anoda dan elektroda negatif atau katoda. Anoda pada OLED terbuat dari
bahan Indium Thin Oxide (ITO), sedangkan katoda terbuat dari bahan metal tipis.
Biasanya kedua bahan elektroda transparan tetapi tergantung pada jenis OLED
yang dibuat.

3. Bahan Organik
OLED terdiri dari satu atau beberapa lapis bahan organik. Setiap lapis bahan
organik memiliki fungsi yang spesifik seperti untuk menginjeksi muatan positif
atau muatan negatif, kemudian muatan tersebut dihantarkan menuju layar emisif.
OLED berdasarkan bahan organik yang digunakan terbagi atas dua jenis yaitu
molekul organik dan polimer. Molekul organik memerlukan proses deposisi pada
suatu substrat sehingga diperoleh susunan kristal yang teratur. Diameter dari
molekul organik yaitu 5-10 nm. Sedangkan polimer memerlukan proses
pelapisan pada suatu substrat. Material tersebut berfungsi untuk meningkatkan
sifat emisifitas suatu bahan.

Gambar 6.2 Cara pelapisan molekul pada substrat


(Robles, Raquel Ovalle, Dissertation: Physical Process in OLED with Transparant
CNT Sheets as Electrode)

Penggunaan struktur berlapis dari bahan organik dapat meningkatkan


efisisensi dari OLED. Setiap lapisan pada bahan organik memiliki sifat yang
spesifik seperti memiliki mobilitas tinggi, laju flourosensi dan sifat emisi.
Keuntungan dari penggunaan beberapa lapis bahan organik nyata jika
dibandingkan dengan penggunaan hanya satu lapisan sebagai contoh kasus jika
hanya menggunakan satu lapisan yaitu lapisan tersebut hanya memiliki sifat

78
mobilitas yang baik tetapi sifat emisif yang buruk ataupun sebaliknya. Efisiensi
OLED dapat diukur dalam satuan lumen per watt.

6.2 Jenis OLED


OLED dapat dikategorikan menjadi 2 macam berdasarkan penggunaan matriksnya
yaitu :

1. Passive Matrix OLED (PMOLED)

PMOLED terdiri dari substrat, dua buah elektroda, dan lapisan organik.
Perbedaan mendasar dari PMOLED yaitu elektrodanya seperti benang yang
disusun secara tegak lurus antara anoda dan katoda. Perpotongan antara tiap
anoda dan katoda memiliki fungsi yang spesifik untuk mengatur arus listrik,
apakah arus tersebut harus dilewatkan atapun tidak pada perpotongan yang lain,
dengan kata lain lain setiap perpotongan berfungsi untuk mengatur pixel, sebagai
akibatnya akan terbentuk gambar. Aplikasi PMOLED hanya dapat digunakan
pada layar yang kecil, hal ini diakibatkan karena ketika layar dibuat lebih besar
maka akan mengganggu kestabilan arus yang melewati perpotongan tersebut.

Gambar 6.3 PMOLED dan aplikasinya


(http://macroelectronics.blogspot.com/2009/01/oleds-types-and-applications-
pmoled.html)

2. AMOLED

Active Matriks Organic Light Emitting Diode (AMOLED) tersusun atas substrat,
elektroda, lapisan aktif dan lapisan organik. Berbeda dengan PMOLED,
AMOLED memiliki lapisan elektroda yang penuh berupa lembaran. Kemudian
disisipkan dengan lapisan aktif maktriks. Lapisan matriks yang dapat digunakan
yaitu Thin Film Transistor (TFT). Fungsi dari TFT yaitu sebagai sirkuit untuk
mengatur arus pada setiap titik pada pertemuan elektron dan hole sehingga pixel

79
dapat terbentuk. AMOLED dapat diaplikasikan untuk layar yang besar ataupun
layar kecil. Berbeda dengan PMOLED, AMOLED memiliki lapisan matriks aktif
yang berfungsi untuk mengatur arus sehingga ketika layar dibuat menjadi besar
maka tidak akan menggangu kestabilan arus. Untuk aplikasi layar besar yaitu
monitor, TV, dll, sedangkan untuk layar kecil digunkan untuk PC tablet,
smartphone, dll.

Gambar 6.4 AMOLED dan aplikasinya


(Robles, Raquel Ovalle, Dissertation: Physical Process in OLED with Transparant
CNT Sheets as Electrode 2008)

Berdasarkan struktur bahan OLED dapat dikategorikan menjadi:

1. Top Emitting OLED


Top Emitting OLED paling sering digunakan dalam divais OLED karena cahaya
akan langsung diemisikan kearah vertikal atas melewati katoda. Substrat yang
digunakan dapat bersifat tranparan ataupun reflektif.

80
Gambar 6.5 Top Emitting OLED
(http://electronics.howstuffworks.com/oled4.htm)

2. Flexible atau Foldable OLED (FOLED)


FOLED terdiri dari bahan yang elastis sehingga divais ini dapat dilipat ataupun
digulung. Substrat yang dapat digunakan harus memiliki sifat elestis, biasanya
terbuat dari plastik atau campuran bahan polimer.

Gambar 6.6 FOLED


(http://pinktentacle.com/2007/05/flexible-full-color-organic-el-display/)

3. Transparan OLED (TOLED)


TOLED memiliki sifat transparan pada semua lapisan dan komponennya
(substrat, katoda, anoda dan lapisan organik). Hal ini mengakibatkan cahaya
dapat diemisikan ke vertikal atas dan bawah melewati katoda dan substrat.
TOLED dapat diaplikasikan pada AMOLED atapun PMOLED.

81
Gambar 6.7 TOLED
(http://electronics.howstuffworks.com/oled4.htm)

4. Stacked OLED (SOLED)


SOLED terdiri dari merah, hijau dan biru TOLED, setiap layar TOLED memiliki
fungsi untuk mengatur komposisi dan rasio pada setiap warnanya. Lapisan
TOLED merah berfungsi untuk mengatur komposisi dan rasio warna merah
begitu pula dengan lapisan TOLED hijau dan biru. Perpaduan dari ketiga warna
tersebut akan menentukan besar piksel dan kecerahan suatu tampilan.

Gambar 6.8 SOLED


(Robles, Raquel Ovalle, Dissertation: Physical Process in OLED with Transparant
CNT Sheets as Electrode)

82
5. White Emitting OLED (WOLED)
Untuk mengemisikan warna putih pada WOLED maka diperlukan campuran tiga
warna primer (merah, hijau, dan biru) serta warna pelengkap. Struktur WOLED
terdiri dari substrat, elektroda, lapisan organik (terdiri dari lapisan emisi merah,
hijau, dan biru) serta bahan fosfor.

Gambar 6.9 WOLED


(http://www.convertingquarterly.com/industry-news/articles/id/3977/flexible-oled-
achieves-30-lmw-efficiency-69-cm2-size.aspx)

6. Phosphor OLED (PHOLED)


PHOLED adalah divais OLED yang menggunakan bahan fosfor pada lapisan
organiknya. OLED hanya dapat mengkonversi 25% dari energi eksiton menjadi
radiasi elektromagnetik, sisanya yaitu 75% berupa panas. Sedangkan ketika
disisipkan lapisan fosfor maka OLED dapat mengkonversi energi eksiton hingga
menjadi lebih dari 90% radiasi elektromagnetik. Hal ini merupakan salah satu
cara untuk meningkatkan efisiensi OLED.

Gambar 6.10 PMOLED


(Robles, Raquel Ovalle, Dissertation: Physical Process in OLED with Transparant
CNT Sheets as Electrode)

83
Keuntungan penggunaan OLED

Dari grafik di bawah ini dapat dilihat perkembangan jenis-jenis lampu. Lampu
konvensional hanya dapat memancarkan radiasi 17 lm/W sedangkan lampu florosensi
dapat memancarkan lebih dari 80 lm/W. Sedangkan lampu OLED hanya dapat
memancarkan radiasi hanya 30 lm/W. Hal ini merupakan tantangan untuk
meningkatkan efisiensi lampu OLED sehingga OLED dapat digunakan untuk aplikasi
lampu.

Gambar 6.11 Perkembangan lampu


(Robles, Raquel Ovalle, Dissertation: Physical Process in OLED with Transparant
CNT Sheets as Electrode)

OLED sangat aplikatif untuk penggunaan display, hal ini dikarenakan OLED
dapat menghasilkan resolusi yang tinggi, kontras warna yang jernih, dapat dilihat dari
berbagai sudut (extremely wide viewing) serta konsumsi energi yang rendah. Salah
satu kelemahan LCD yaitu gambar akan buram ketika dilihat dari samping, gambar
akan mengalami distorsi jika tidak dilihat dari depan. Sedangkan OLED dapat
mengatasi keterbatasan tersebut

6.3 Mekanisme OLED


Mekanisme OLED didominasi oleh proses injeksi elektron dan hole, dimana elektron
dan hole diinjeksikan dari anoda dan katoda menuju lapisan emisif sehingga terbentuk
eksiton. Ada empat proses yang terjadi pada OLED yaitu :

84
a. Injeksi muatan (elektron dan hole)
Proses ini melibatkan injeksi muatan yaitu elektron dari anoda dan hole dari
katoda secara bersamaan

b. Transportasi muatan
Kedua muatan (elektron dan hole) pada masing-masing lapisan penginjeksi
kemudian di transportasikan menuju beberapa lapisan organik

c. Pembentukan eksiton
Ketika elektron dan hole bertemu pada lapisan emisif maka akan timbul
perbedaan tingkat energi pada elektron dan hole yaitu HOMO (Highest
Occupied Molecular Orbital) dan LUMO (Low Uncoccupied Molecular Orbital).
Perbedaan tingkat energi tersebut menyebabkan elektron berpindah dari tingkat
energi rendah menuju tingkat energi tinggi sehingga terbentuk eksiton

d. Rekombinasi muatan
Waktu peluruhan eksiton yaitu dalam skala nanosekon (10-9 sekon), akibat
peluruhan tersebut menyebabkan timbulnya spektrum elektromagnetik
(elektroluminesensi) pada lapisan emisif.

Gambar 6.12 Mekanisme OLED


(Robles, Raquel Ovalle, Dissertation: Physical Process in OLED with Transparant
CNT Sheets as Electrode 2008)

85
6.4 Fabrikasi OLED
Fabrikasi OLED memegang peran yang sangat penting. Efisiensi dan kinerja dari
OLED bergantung pada perlakuan saat fabrikasinya. Ada empat tahap proses pada
fabrikasi OLED yaitu

1. Preparasi Substrat
Ada empat macam substrat yang dapat digunakan yaitu glass, plastik, glass
dilapis dengan ITO dan plastik yang dilapis dengan ITO. Pada beberapa beberapa
kasus dapat pula CNT (Carbon Nano Tube) di masukkan pada keempat substrat
tersebut. Beberapa pertimbangan dipilih substrat yaitu substrat harus memiliki
permukaan yang halus agar pada saat layar emisif memancarkan spektrum
elektromagnetik tidak terhambur serta substrat tersebut harus memiliki
transparansi yang tinggi. Berikut ini akan dibahas tahapan preparasi substrat
yaitu

a. Substrat
Divais OLED dapat difabrikasi dengan substrat glass dan plastik. Substrat glass
memiliki kualitas tampilan yang bagus serta memiliki permukaan yang relatif
halus. Beberapa susbtrat glass dapat dilapisi dengan ITO, ketebalan dari lapisan
ITO yaitu 120 nm dengan resistivitas 5-15 Ω serta memiliki transparansi lebih
dari 80 %.

b. Photolithograpy substrat ITO


Untuk aplikasi divais beberapa susbstrat ITO dapat dibentuk polanya secara
teratur menggunakan proses photolithography. Fungsi dari proses tersebut adalah
membuat pola ITO serta untuk membersihkan sisa-sisa reaksi kimia pada
substrat. Untuk prosesnya yaitu substrat dilapisi dengan acid resist ultra violet
(S1813) dan dikeringkan pada suhu 100°C selama 10 menit. Setelah itu substrat
kemudian dibentuk polanya dengan lampu UV selama beberapa menit. Setelah
terbentuk pola yang teratur kemudian substrat ITO dibersihkan dengan
menggunakan hydrochloric acid selama 5 hingga 15 menit. Setelah itu dilakukan
pengecekan dengan menggunkan multimeter.

c. Pembersihan substrat
Kontaminasi pada layar divais dapat muncul jika substrat tidak dibersihkan
dengan baik, sebagai akibatnya efisiensi divais akan menurun. Untuk mencegah
hal tersebut maka perlu dilakukan pembersihan pada substrat dengan
menggunakan bath-sanication. Dengan pembersihan menggunkan bath-
sanication maka kontaminasi pada substrat dapat dihilangkan. Proses
pembersihan oleh bath-sanication memerlukan waktu 15 menit dengan pelarut
toluene, aseton, isopropil dan air destilasi. Setelah itu substrat di keringkan

d. Penyisipan Carbon Nano Tube


Setelah substrat di bersihkan, maka Carbon Nato Tube (CNT) dapat ditambahkan
pada subtrat. CNT ditambahkan pada substrat dengan melarutkan etanol
kemudian dikeringkan dengan suhu 100° C. Fungsi dari penambahan CNT yaitu
untuk mengurangi ketebalan serta kekasaran substrat dari 20 μm menjadi 80 nm.
Selain itu pula fungsi dari CNT dapat meningkatkan transparansi dari substrat.

86
2. Bahan Polimer
Hampir semua material molekul untuk fabrikasi OLED menggunakan bahan polimer.
Beberapa polimer tersebut yaitu:

Molekul

1. Alq3: Tris(8-hydroxyquinolinato) aluminum. Rumus kimia: (C 27 H18 AlN 3 O 3 ).


Molekul ini digunakan pada layar penginjeksi elektron dan layar emisif

2. α-NPD: N,N′-Di-[(1-naphthyl)-N,N′-diphenyl]-1,1’-biphenyl)-4,4’-diamine. Rumus


kimia: (C 44 H32 N 2 ). Molekul ini digunakan pada layar penginjeksi hole.

3. TPD: N,N′-Bis(3-methylphenyl)-N,N′-diphenylbenzidine. Rumus kimia: ( [-C 6 H4 -


4 -N(C 6 H 4 CH 3 )C 6 H 5 ] 2 ). Molekul ini digunakan pada layar transport hole

4. BCP: Bathocuproine or 2,9-Dimethyl-4,7-diphenyl-1,10-phenanthroline. Rumus


kimia: (C 26 H20 N 2 ). Molekul ini digunakan lapisan emisif.

Polimer Konjugat

1. MEH-PPV: poly[2-methoxy, 5-(2’-ethyl-hexyloxy)-p-phenylenevinylene]


2. BEH-PPV: poly(2,5-bis(2-ethylhexyloxy)-p- phenylene-vinylene
3. BEHM-PPV: poly[1,4-bis-2-ethylhexylmercapto]- phenylene-vinylene
4. BDMOM-PPV: poly[1,4-bis-3,7-dimethyloctylmercapto]-phenylenevinylene
5. BEHSO-PPV: poly [1,4-bis-(2-ethylhexyl-sulfoxide)]- phenylenevinylene
6. PFO: poly (9,9-di-n-dodecylfluorennyl-2,2-diyl)

Layar Penginjeksi Elektron dan Hole:

1. PEDOT:PSS : Poly(3,4-ethylenedioxythiophene)-poly(styrenesulfonate). Lapisan


ini digunakan sebagai penginjeksi hole.
2. LiF: Lithium Fluoride. Lapisan ini digunkan sebagai penginjeksi elektron.

3. Deposisi material
Ada beberapa cara untuk melapisi bahan (molekul, polimer dan logam) satunya
dengan metode thermal evaporation. Reaktor thermal evaporation terdiri dari
pemanas, chamber, selang untuk memvakumkan, perahu keramik untuk meletakkan
material yang akan dilapisi serta holder untuk meletakkan substrat yang akan dilapisi.
Prinsip dari metode ini adalah berdasarkan titik lebur material. Mula-mula material
diletakkan pada perahu keramik, kemudian chamber dibuat vakum agar pada saat

87
pelapisan tidak terjadi kontaminasi, setelah itu mulai dinaikkan suhunya hingga
mencapai titik lebur material. Setelah material melebur maka akan terjadi proses
evaporasi, ukuran partikel menjadi sangat kecil hingga mencapai skala nanometer.
Partikel tersebut kemudian dialirkan ke substrat sehingga secara otomatis partikel
tersebut akan melapisi substrat.

Glass

Tempat menyimpan holder

Detektor kristal

Holder

Partikel

Filamen
Vakum

Gambar 6.13 Mekanisme thermal evaporation


(http://www.betelco.com)

4. Pengukuran Divais
Setelah semua material dideposisi pada layar maka diperlukan pengukuran untuk
menguji sifat listrik divais serta untuk mengukur efisiensinya. Pengukuran dilakukan
dengan menggunakan spectracalorimeter PR-650 dan Keithly 236. Pengukuran
tersebut menampilkan data perbandingan antara arus dan tegangan (I-V), intensitas
luminisensi dan tegangan (L-V) serta efisiensi arus

88
DAFTAR PUSTAKA

A. Mikrajudin. Pengantar Nanosains. Bandung: ITB (2009)


B. Geffroy, P. le Roy, C. Prat. Review Organic Light Emitting Diode (OLED) Technology:
Materials, Devices and Display Technologies. J. Polym Int 55: 572-582 (2006)

D. Ammermann, A.Bohler, W.Kawalsky. Multilayer Organic Light Emitting Diode for


Flat Panel Displays. Annual report : Institut fur Hochfrequenztechnick (1995)
https://www.tu-braunschweig.de/Medien-DB/ihf/p048-058.pdf

H. Antoniadis. Overview of OLED Display Technology. Optosemiconductor


google: overview of OLED display technology

G. Blasse, B.C Grabmaier. Luminescent Materials. Springer-Verlag (1994)


.
Robles, R. Ovalle. Physical Process in OLED with Transparant CNT Sheets as
Electrodes. Dissertation: University of Texas (2008)

B. Geffroy, P. le Roy, C. Prat. Review Organic Light Emitting Diode (OLED) Technology:
Materials, Devices and Display Technologies. J. Polym Int 55: 572-582 (2006)

89
Bab 7
Aplikasi Graphene Untuk
Lithium Ion Battery
Oleh : Fadli Rohman

7.1 Lithium Ion Battery


Baterai adalah suatu sel elektrokimia yang mengubah dari energi kimia
menjadi energi listrik. Salah satu jenis baterai yang saat ini berkembang adalah baterai
Lithium Ion Battery atau baterai lithium ion. Lithium Ion Battery atau baterai lithium
ion merupakan salah satu jenis baterai sumber arus sekunder yang dapat diisi ulang.
Pada saat ini, LIBs menjadi baterai yang sangat dibutuhkan antara lain untuk
kebutuhan energi listrik pada telepon seluler (ponsel), iPod, mp3 player, iPhone dan
notebook. Selain tiu, saat ini LIBs sangat dibutuhkan khususnya untuk kendaraan
yang sumber energinya dari energi listrik (electric vehicles). Oleh karena itu, LIBs
dengan kapasitas energi yang sangat besar dan dengan pemakaian yang cukup lama.
Jenis baterai ini pertama kali pada tahun 1970 yang diperkenalkan oleh
peneliti dari Exxon yang bernama M. S. Whittingham yang melakukan penelitian
dengan judul “Electrical Energy Storage and Intercalation Chemistry”. Beliau
menjelaskan mengenai proses interkalasi pada baterai litium ion menggunakan
titanium (II) sulfide sebagai katoda dan logam litium sebagai anoda. Proses interkalasi
adalah proses perpindahan ion lithium dari anoda ke katoda dan sebaliknya pada
baterai lithium ion. Pada tahun 1980, logam lithium pada anoda diganti dengan
materail lain yaitu grafit. Hal ini dilakukan oleh Rachid Yazami dan kawan-kawan di
Grenoble Institute of Technology (INPG) dan French National Centre for Scientific
Research (CNRS) (Krysten Oates, 2010). Penggantian material dari logam lithium
menjadi grafit memberikan pengaruh pada performa LIBs serta memberikan efek
LIBs sehingga LIBs bisa diisi ulang (rechargeable batteries). Pada tahun 1981, Bell
Laboratories mengembangkan elektroda pada anoda berbasis grafit yang telah
dikembangkan sebelumnya. John Goodenough dan tim penelitiannya melakukan
penelitian dan mengembangkan pada katoda. Penelitian-penelitian ini terus
dikembangkan pada saat itu untuk meninjau beberapa parameter penting sebelum
LIBs itu sendiri dipasarkan. Parameter-parameter tersebut antara lain material pada
elektroda mudah didapat secara komersil, harga yang murah, aman dipakai, memiliki
kestabilan dan performa yang tinggi serta energi yang dihasilkan juga cukup tinggi.
Beberapa material yang dipakai untuk katoda antara lain LiNiO 2 , LiClO 4 , Li x CoO 2 ,
dan LiFePO 4 . Pada tahun 1991, LIBs mulai pertama dijual atau dikomersilkan di
pasaran oleh Sony Corporation.

90
7.1.1 Bagian Utama Pada Lithium Ion Battery
Lithium Ion Battery memiliki pada umumnya memiliki empat komponen
utama yaitu elektroda positif (anoda), elektroda negatif (katoda), elektrolit, dan
separator.
1. Elektroda negatif (Anoda)
Anoda merupakan elektroda yang berfungsi sebagai pengumpul ion lithium
serta merupakan material aktif. Parameter pengembangan dari material untuk
digunakan sebagai anoda ini antara lain kepadatan energi yang dihasilkan serta
siklus pemakaian atau cyclability. Material yang dapat dipakai sebagai anoda
harus memiliki karakteristik antara lain memiliki kapasitas energi yang besar,
memiliki profile kemampuan menyimpan dan melepas muatan/ion yang bagus,
memiliki tingkat siklus pemakaian yang lama, mudah untuk diproses/dibuat, aman
dalam pemakaian (tidak beracun), dan harganya murah. Salah satu material yang
dapat berperan sebagai anoda adalah material yang berbasis carbon seperti LiC 6
atau grafit. Pada material ini setiap layer disisipkan satu atom lithium. Jarak antar
layernya adalah 0,335 nanometer. Kepadatan energi secara teori yang dihasilkan
dari material ini adalah berkisar 372 A.h/kg. Selain grafit, material berbasis
karbon yang dapat digunakan untuk anoda yaitu soft carbon, graphene dan hard
carbon . Material lain yang dapat berperan sebagai anoda antara lain lithium
titanium oxide (LTO) dengan kepadatan energi yang dihasilkannya 175 A.h/kg.
Material ini aman dipakai serta memiliki tingkat siklus pemakaian yang cukup
lama. Pengembangan material pada anoda ini terus berlanjut seiring penelitian
mengenai sifat-sifat suatu material. Material masa depan untuk mengembangkan
anoda ini antara lain yaitu material yang berbasis silikon dan nanomaterial. Pada
anoda berbasis material silikon, secara teori memiliki kepadatan energi sebesar
4.200 A.h/kg. Material ini memiliki kapasitas yang besar dengan ukuran yang
kecil dan ringan. Namun, material ini memiliki tingkat kestabilan yang rendah.
Untuk mengatasi hal ini, para peneliti melakukan pembuatan material
nanokomposit berbasis silikon agar kestabilan itu bertambah. Pada tabel 1
memberikan contoh beberapa material yang pernah digunakan sebagai anoda
dengan kapasitas energinya.

Tabel 7.1. Beberapa material yang dipakai untuk anoda (Manjhunata, 2010)
Material Kapasitas (teori) (Ah/kg) Kapasitas (Ah/kg)
Li x V 2 O 2 75 40
Li x V 2 O 2 /Ppy 75 47
LiV 3 O 8 145 40-45
Li 2 Mn 4 O 9 156 110
Li 4 Mn 5 O 12 202 110
Polypyrrole (Ppy) 120 52,5

91
2. Elektroda positif (Katoda)
Katoda merupakan elektroda yang fungsinya sama seperti anoda yaitu
pengumpul ion serta material aktif. Namun perbedaannya adalah katoda
merupakan elektroda positif. Beberapa karakteristik yang harus dipenuhi
suatu material yang digunakan sebagai katoda antara lain material tersebut
terdiri dari ion yang mudah melakukan reaksi reduksi dan oksidasi,
memiliki konduktifitas yang tinggi seperti logam, memiliki kerapatan
energi yang tinggi, memiliki kapasitas energi yang tinggi, memiliki
kestabilan yang tinggi (tidak mudah berubah strukturnya atau terdegradasi
baik saat pemakaian maupun pengisian ulang), harganya murah dan ramah
lingkungan. Pada tahun 1980 material LiCoO 2 menjadi kandidat material
pertama yang digunakan sebagai katoda pad LIBs. Kerapatan energi yang
dimiliki LiCoO 2 sebesar 140 A.h/kg. Walaupun demikian material tersebut
memiliki kestabilan yang rendah dan harganya relative mahal. Sejalan
dengan peningkatan performa katoda, beberapa penelitian yang dilakukan
antara lain membuat katoda dari LiMO 2 (M = Co (Cobalt); Ni (Nikel) ; Mn
(Mangan); dan lainnya). LiMO 2 tersebut dibentuk dalam bentuk layer-layer
(seperti pada gambar). Adapula material yang digunakan sebagai katoda
dibentuk dalam bentuk spinel LiM 2 O 4 (M : Mn (Mangan)) ; serta olivine
LiMPO 4 (M : Fe) (Bo Xu, 2012). Tabel 7.2 menunjukkan beberapa jenis
material yang dapat digunakan untuk katoda dengan besar kapasitas
energinya yang dapat disimpan.

Gambar 7.1. Struktur Kristal layer LiMO 2 (biru : ion logam transisi ;
merah : ion lithium) (Bo Xu, 2012)

Gambar 7.2. Struktur kristal spinel LiM 2 O 4 (biru : ion logam transisi ;
merah : ion lithium) (Bo Xu, 2012).

92
Gambar 7.3. Struktur kristal olivin LiMPO 4 (biru : ion logam transisi ;
merah : ion lithium) (Bo Xu, 2012).

Tabel 7.2. Beberapa jenis material yang digunakan untuk katoda


(Manjhunata, 2010)
Material Kapasitas (teori) (Ah/kg) Kapasitas (Ah/kg)
LiCoO 2 140 112
LiMn 2 O 4 148 84,6
LiMn 2 O 4 /MWCNTs 148 117
LiMnO 2 - 62
γ-MnO 2 148 120
LiMnPO 4 170 75

3. Elektrolit
Elektrolit adalah bagian yang berfungsi sebagai penghantar ion lithium
dari anoda ke katoda atau sebaliknya. Karakteristik elektrolit yang penting
untuk diperhatikan antara lain konduktivitas, aman (tidak beracun) serta
harganya murah. Elektrolit ini terbagi dalam dua jenis yaitu elektrolit cair dan
elektrolit padat. Kedua jenis ini memiliki kelebihan serta kekurangannya.
Kelebihan dari elektrolit cair antara lain memiliki konduktivitas ionik yang
besar, harga yang murah, dan aman. Namun kekurangannya adalah memiliki
performa siklus pemakaian yang rendah (tidak tahan lama) yaitu hanya berkisar
25 kali siklus dan dapat mengurangi kerapatan energi. Beberapa material yang
dapat digunakan sebagai elektrolit cair antara lain LiNO 3 , LiClO ,Li 2 SO 4 ,
garam LiNO 3 , garam Li 2 SO 4 , LiPF6 . Elektrolit padat sendiri keuntungannya
yaitu memiliki konduktivitas yang besar serta dapat tahan lama dibandingkan
dengan elektrolit yang cair. Jenis elektrolit padat ini berupa keramik atau
polimer organik. Contoh material yang dipakai untuk elektrolit padat antara
lain yaitu (La,Li)TiO 3 .

93
4. Separator
Separator adalah suatu material berpori yang terletak di antara anoda
dan katoda berfungsi untuk menjegah agar tidak terjadi hubungan singkat
dan kontak antara katoda dan anoda. Beberapa hal yang penting untuk
memilih material agar diplih sebagai separator antara lain material tersebut
bersifat insulator, memiliki hambatan listrik yang kecil, kestabilan mekanik
(tidak mudah rusak), memiliki sifat hambatan kimiawi untuk tidak mudah
terdegradasi dengan elektrolit serta memiliki ketebalan lapisan yang
seragam atau sama di seluruh permukaan. Beberapa material yang dapat
digunakan sebagai separator antara lain polyolefins (PE dan PP),
Poly(vinylidene fluodire) (PVdF), PTFE (teflon), PVC, dan poly(ethylene
oxide).

7.1.2 Prinsip Kerja Lithium Ion Battery


Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa LIBs tersusun dari empat
komponen penting yaitu anoda, katoda, elektrolit serta separator. Pada proses
pemakaian listrik (discharging) elektron dari anoda mengalir ke katoda melalui
kabel konektor sedangkan lithium yang berada pada sistem (di dalam baterai)
lepas dari anoda karena kekurangan elektron untuk berpindah menuju katoda
melalui elektrolit. Pada proses pengisian (charging), elektron dari katoda
mengalir menuju anoda sedangkan ion lithium dalam sistem berpindah dari
katoda menuju anoda melalui elektrolit. Kedua proses ini dapat dilihat pada
gambar.

Arah gerak elektron


Sumber Tegangan DC

ANODA KATODA
ANODA KATODA

SEPARATOR ION LITHIUM ELEKTROLIT

ELEKTRODA

a.) Pemakaian (discharging) b.) Pengisian ulang (charging)


Gambar 7.4. Proses pemakaian dan pengisian ulang pada LIBs

94
Reaksi yang terjadi pada sistem LIBs tersebut merupakan reaksi reduksi dan
reaksi oksidasi. Reaksi reduksi adalah reaksi penambahan elektron oleh suatu molekul
atu atom sedang kan reaksi oksidasi adalah reaksi pelepasan elektron pada suatu
molekul atau atom. Sebagai contoh, misalkan kita memakai LiCoO 2 sebagai katoda,
LiC 6 sebagai anoda dan LiPF6 sebagai elektrolit pada LIBs. Maka reaksi yang terjadi
adalah :

charge/pengisian
Pada katoda : LiCoO 2 Li 1-x CoO 2 + x Li+ + x e –
discharge/pemakaian

charge/pengisian
Pada anoda : C 6 + x Li+ + x e - Li x C 6
discharge/pemakaian

7.2 Graphene
Pada tahun 1789 seorang ilmuan bernama Abraham Gottlob Werner
menamakan suatu material yang disebut dengan grafit. Grafit merupakan salah satu
jenis material yang tersusun dari atom karbon yang membentuk struktur 3 dimensi
(3D). Material ini dapat kita jumpai di isi pensil yang sering kita pakai untuk
menulis. Ketika kita menulis, maka grafit tersebut akan rapuh dan membuat suatu
tulisan. Jika butiran grafit itu kita tekan dan ambil dengan solatip maka akan ada suatu
jenis material lebih sederhana yang kita kemudian disebut dengan Graphene.
Graphene ini ternyata merupakan material penyusun grafit dengan membentuk seperti
tumpukan-tumpukan kertas yang membentuk sebuah buku dengan graphene
merupakan kertas dan grafit merupakan bukunya. Percobaan sederhana ini dilakukan
oleh dua orang ilmuan dari Manchester, Inggris yaitu Novoselov dan Andre Geim
pada tahun 2004.
Pada awalnya, graphene pertama kali dipelajari itu pada tahun 1947. Namun
saat itu hanya mempelajari hal-hal yang sebatas secara teori pada grafit oleh Phillip
Wallace. Pada tahun 1966 Hess W M dan kawan-kawannya mencoba untuk
membangun grafit grafit dari lembaran-lembaran. Pada tahun 1984 Gordon Walter
Semenoff, David P. Devincenzo dan Eugene J. Mele membeplajari secara teori
mengenai pembawa muatan tanpa massa pada graphene. Penamaan mengenai material
dengan nama “Graphene” baru dikenalkan pada tahun 1987 oleh ilmuan bernama S.
Mouras dan rekan kerjanya. Kemudian barulah pada tahun 2004 graphene benar-
benar ditemukan oleh Novoselov dan Andre Geim di Manchester, Inggris tempar
mereka bekerja. Dan atas penemuannya tersebut, keduanya diberikan penghargaan
Nobel pada tahun 2010. (http://www.graphene.manchester.ac.uk/story/timeline/)

7.2.1 Morfologi Graphene


Grapehene merupakan material yang tersusun dari atom karbon yang
membentuk dalam pola hexagonal seperti sarang lebah dengan susunannya berupa

95
lembaran dengan ketebalan sebesar satu atom karbon. Bentuk lembaran graphene ini
dapat dilihat pada gambar.

Gambar 7.5. Morfologi lembaran graphene yang memiliki ketebalan sebesar 1 atom
carbon (warna biru) (Castro Neto, 2009)

Lembaran graphene ini dapat membentuk 0 dimensi (0D) berupa Fullerenes


(seperti bola), 1 dimensi (1D) berupa carbon nanotube, 2 dimenasi (2D) berupa
lembaran graphene itu sendiri serta 3 dimensi (3D) berupa grafit. Jarak antar atom
karbon pada satu ikatan antar karbon pada graphene tersebut adalah 0,142 nanometer.
Sedangkan untuk membentuk suatu grafit, jarak antar lembaran graphene-nya adalah
0,335 nanometer.

a) b)

c)
Gambar 7.6. a) Grafit yang dibentuk oleh tumpukan lembaran graphene; b) carbon nanotube
yang dibentuk oleh lembaran graphene berbentuk silinder; dan c) graphene membentuk
berupa Fullerenes (C 60 ) seperti bola (Castro Neto, 2009).

96
7.2.2 Sifat Graphene
Ada beberapa sifat penting yang dimiliki graphene antara lain sifat kelistrikan,
sifat termal, sifat mekanik, sifat optik, serta sifat kimia. Semua sifat ini penting untuk
diketahui agar kita dapat memanfaatkan material graphene ini melalui sifat-sifatnya
tersebut.

7.2.2.1. Sifat elektronik graphene

Sifat elektronik pada graphene dapat ditinjau melalui bagaimana sifat dari
mobilitas pembawa muatannya, konduktivitas, band gap serta kurva dispersinya.
Graphene merupakan material semi logam yang memiliki konduktivitas serta
mobilitas elektron yang tinggi. Hal ini dikarenakan graphene memiliki band gap yang
nilainya nol sehingga mudah bagi elektron untuk bergerak. Band gap pada graphene
ini erat kaitannya dengan hubungan dispersi pada graphene itu sendiri. Pada pojok
zona Brillouin yang pertama pada kurva dispersi graphene, elektron pada pita
konduksi tepat bertemu dengan pita valensi. Sehingga band gapnya bernilai nol.

Gambar 7.7. Kurva dispersi graphene


(http://www.graphene.manchester.ac.uk/story/properties/)

7.2.2.2. Sifat mekanik graphene


Graphene merupakan material yang sangat kuat secara mekanik. Kekutannya
lebih besar dibandingkan intan dan 300 kali lebih kua dibandingkan steel. Kekuatan
pada graphene ini dapat diteliti dengan menggunakan Atomic Force Microscopy
dengan menekan graphene di bagian atas permukaannya kemudian menghitung
seberapa jauh dan kuat graphene tersebut ditekan dengan tanpa merusak graphene
tersebut. besarnya kekuatan regangan/tekana graphene ini sebesar 1 TPa(Terra
Pascal). Dengan sifat mekaniknya yang kuat ini, graphene banyak dimanfaatkan
khususnya untuk peralatan atau devais yang membutuhkan material yang sangat kuat
secara mekanik.

7.2.2.3. Sifat optik graphene


Graphene merupakan material yang memiliki kemampuan untuk menyerap 2,3
% cahaya yang mengenainya. Hal ini mengakibat masih dapat dilihat dengan mata
walaupun material ini merupakan material yang sangat tipis dengan ketebalannya
sebesar satu atom karbon. Namun, untuk melihatnya diperlukan penumbuhan
graphene di permukaan pada wafer silicon berupa silicon oxide. Cahaya ini akan

97
memberikan sinar pada permukaan tersbut dan permukaan graphene dapat terlihat
melalui pantulan dari cahaya tersebut.
7.2.2.4. Sifat termal graphene
Graphene memiliki konduktivitas termal yang sangat besar. Pengukuran ini
dilakukan pada temperatur kamar dan memberikan informasi bahwa konduktivitas
graphene lebih besar dibandingkan dengan material dengan struktur karbon yang lain
seperti carbon nanotube serta grafit. Besar konduktivitas termalnya berkisar > 5.000
W/m/K di mana jauh 5 kali lebih besar dibandingkan dengan grafit (1000 W/m/K).

7.2.3 Fabrikasi Graphene


Ada beberapa cara untuk membuat material graphene antara lain dengan
metode pengelupasan, metode drawing, penumbuham melalui dari silikon karbida
(SiC), serta penumbuhan dengan CVD pada logam. Pada metode pengelupasan,
pembuatan graphene berasal dari grafit melalui selotip. Grafit yang terkelupas dan
menempel pada selotip kemudian dikelupas dan kemudian ditempeli selotip
kembali.hal ini dilakukan terus menerus hingga kita mendaoatkan lapisan yang sangat
tipis yang hanya terdiri dari satu lapisan yang kita sebut graphene. Pada metode
drawing, kristal grafit dipasang diujung alat AFM (Atomic Force Microscope)
kemudian digoreskan pada suatu substrat. Lapisan tertipis yang menempel pada
substrat hasil dari goresan tersebut tak lain adalah graphene. Pada metode
penumbuhan dari silikon karbida, kita mengoleskan SiC sampai merata pada suatu
substrat kemudian kita panaskan pada tekanan yang sangat tinggi (Ultra High
Vacuum, 10-10 torr). Hal ini menyebabkan terjadinya sublimasi pada silikon sehingga
yang tersisa hanyalah karbon saja. Atom karbon ini kemudian membentuk suatu
material yang kita sebut dengan graphene. (Eko Widiatmoko, 2010)

7.2.4 Pemanfaatan Graphene Pada LIBs


Sebagai material yang memiliki sifat mobilitas elektron yang tinggi,
konduktivitas listrik dan termal yang tinggi serta kekuatan mekanik yang tinggi pula,
material ini sekarang mulai dikembangkan untuk kemudian diaplikasikan di LIBs.
Seperti penjelasan sebelumnya bahwa pada LIBs terdapat dua buah elektroda yaitu
anoda dan katoda. Graphene ini memiliki peran pada anoda untuk meningkatkan
beberapa parameter penting pada LIBs seperti yang dijelaskan sebelumnya yaitu
kapasitas energi listrik yang disimpan, kerapatan energi listriknya, kekuatan
mekaniknya, aman (tidak beracun), tahan lama serta pembuatannyamudah.
Peningkatan parameter menggunakan material graphene tersebut bukan hanya
dilakukan secara eksperimen namun ada pula peneliti yang melakukan perhitungan
melalui simulasi atau komputasi. Hailiang Wang dan tim penelitiannya membuat
suatu material hybrid untuk anoda pada LIBs yang terdapat graphene di dalamnya
yaitu nano partikel Mn 3 O 4 -Graphene Oxide. Pembuatan material anoda dari graphene
ini melalui dua tahapan. Tahap pertama mensintesis nanopartikel Mn 3 O 4 terlebih
dahulu kemudian menumbuhkannya di RGO (reduced graphene oxide) lihat Gambar
1.8. Hasil dari eksperimen ini cukup signifikan peningkatan kapasitas energi dengan
lama pemakaian dan kestabilan siklusnya yang bagus. Kerapatan energi yang
diperoleh mencapai ~900 Ah/kg. Material ini menjadi kandidat material untuk anoda

98
pada LIBs yang memiliki kapasitas energi yang tinggi, harganya murah, serta ramah
lingkungan (Hailiang Wang, 2010)

Gambar 7.8. Morfologi graphene yang sudah ditumbuhi Mn 3 O 4 (Hailiang


Wang, 2010)

Selain material hybrid Mn 3 O 4 -graphene, ada pula peneliti yang membuat


anoda dari material komposit Si-graphene (Xin Zhao, Cary M. Hayner, Mayfair C.
Kung, dan Harold H. Kung). Pada pembuatan material ini, tahap awal adalah
mensintesis graphene-oxide (GO) terlebih dahulu dari grafit dengan menggunakan
metode Hummers. GO yang dihasilkan kemudian dibentuk menjadi material lembaran
graphene di mana lembaran ini terdapat cacat berupa kekosongan atom karbon di
beberapa clusternya. Material lembaran graphene ini kemudian ditumbuhi silikon
membentuk material komposit Si-graphene. Strukturnya dapat dilihat pada gambar
1.9. Kapasitas yang dihasilkan dari material ini yaitu berkisar 3052 Ah/kg.

Gambar 7.9. Skema material komposit Si-Graphene. (Xin Zhao, 2011)

Ada pula penelitian yang membuat anoda yang terbuat dari silikon dan
graphene juga yang terdiri dari banyak lapisan graphene dan silikon seperti yang
dilihat pada gambar di bawah ini. Lapisan graphene dan silikon dibuat berlapis-lapis
(multilayer) dengan sisi terluar adalah tembaga sebagai elektroda pada anoda tersebut.

99
Gambar 7.10. Skema lapisan-lapisan silikon dan graphene penyusun anoda.
(Liwen Ji, 2012)

Dari keterangan di atas, dapat kita ketahui bahwa adanya material graphene ini
dapat meningkatkan kapasitas energi yang ada pada anoda di LIBs. Material tersebut
juga memberikan keuntungan yang lain yaitu tahan lama karena memiliki kekuatan
material yang besar, harga yang murah serta memiliki tingkat kestabilan yang tinggi.
Selain dengan eksperimen, penelitian mengenai analisa kapasitas graphene sebagai
anoda pada LIBs dapat pula ditinjau secara eksperimen. Metode yang dipakai untuk
analisa ini antara lain metode Density Functon Theory untuk menghitung energi yang
dihasilkan pada struktur material pada anoda tersebut. Software yang dapat dipakai
untuk perhitungan-perhitungan tersebut dapat memakai Gaussians03 Software serta
Esspresso Software.

100
DAFTAR PUSTAKA
Ritchie, Andrew and Howard, Wilmont, Recent developments and likely advances in lithium-
ion batteries, Journal of Power Sources, 162, 809-812 (2005).
Jin, B. and Jiang, Q., Lithium Batteries Research, Technology and Applications : LiFePO 4
Cathode Materials for Lithium-Ion Batteries, Nova Science Publisher : China, 1-30
(2009)
Xu, Bo, et. al. Rencent Progress in cathode materials research for advanced lithium ion
batteries, Journal of Materials Science and Engineering R, 73, 51-65 (2012).
Castro Neto, A. H. et.al, The electronic properties of graphene, Rev. Modern Physics ,Journal
of The American Physical Society, 81, 109-162 (2009).
Widiatmoko, Eko., Graphene : Sifat, Fabrikasi, dan Aplikasinya, Artikel Ilmiah, 2009.
(http://102fm-itb.org/uploads/Graphene.pdf)
Manjunatha, H; Suresh, G.S; Venkatesha, T.V, Electrode materials for aqueous rechargable
lithium batteries, Journal of Solid State Electrochem, 15, 431-445 (2011).
Wang, Hailiang et. al. Mn 3 O 4 -Graphene Hybrid as a High Capacity Anode Material for
Lithium Ion Batteries, Journal of American Chemical Society, 132, 13978-13980
(2010).
Li, Jiangang, et. al. Recent Advances in the LiFeO 2 -based Materials for Li-ion Batteries,
International Journal of Electrochemical Science, 6, 1550-1561 (2011).
Oates, Krysten, Lithium-ion Batteries : Commercialization History and Current Market,
Foresight Science and Technology, 1-6 (2010).
(http://batteries.foresightst.com/resources/Li-IonTechSummary.pdf)
Ji, Liwen, et. al., Graphene/Si multilayer structure anodes for advanced half and full lithium-
ion cells, Journal of Nano Energy, 1 , 164 – 171 (2012).
Whittingham, M. Stanley, Lithium Batteries and Cathode Materials, Chem. Rev., 104, 4271-
4301 (2004).
Arora, Pankaj and Zhang, Zhengming (John), Battery Separators, Chem. Rev., 104, 4419-
4462 (2004).
Zhao, Xin, et. al., In-Plane Vacancy-Enabled High-Power Si-Graphene Composite Electrode
for Lithium-Ion Batteries, Journal of Advanced Energy Materials, 1, 1079-1084
(2011).
http://www.graphene.manchester.ac.uk/story/timeline
http://www.graphene.manchester.ac.uk/story/properties/

101
102
Bab 8
Biosintesis Nanopartikel Perak
Menggunakan Air Rebusan
Daun Bisbul
(Diospyrosblancio)
Oleh : Febri Berthalita Pujaningsih

8.1 Nanopartikel
Ilmu dan rekayasa menciptakan material, struktur fungsional, maupun piranti
1
dalam skala nano (10 −9 ) disebut dengan nanoteknologi (Abdullah.M.,2009). Riset dan
studi di bidang nanoteknologi saat ini berkembang secara positif, karena memberikan
banyak kontribusi. Penemuan baru dalam bidang ini muncul hampir tiap minggu dan
aplikasi-aplikasi baru mulai tampak dalam berbagai bidang seperti bidang elektronik,
energi, kimia, kedokteran, kesehatan, lingkungan dan sebagainya. Menurut
Hasokawa, M., (2007) dan Ngarajan, A., (2006) dalam skripsi Bakir (2011),
nanopartikel adalah partikel yang ukurannya dalam interval 1-100nm dan tersusun
atas atom-atom yang berkisar dari 3-107. Nanopartikel dapat berupa logam, oksida
logam, semikonduktor, polimer, materi karbon, senyawa organik, dan biologi seperti
DNA, enzim, atau protein.
Nanopartikel logam mulia menarik perhatian karena aplikasinya dalam bidang
optik, elektronik, sensor biologis dan katalis (Moores, A., dan Goettmann, F.,
2012). Salah satu nanopartikel logam mulia adalah nanopartikel perak. Nanopartikel
perak dapat dibuat (sintesis) dengan metode top-down (fisika) dan bottom-up (kimia).
Metode top-down yaitu dengan memecah padatan logam perak menjadi perak
berukuran nanometer. Metode bottom-up dengan cara melarutkan garam perak
kedalam pelarut tertentu, kemudian agen pereduksi ditambahkan, dan penambahan
agen penstabil untuk mencegah aglomerasi nanopartikel perak jika dibutuhkan
(Tolaymat, T.M, et al. 2010). Metode-metode tersebut penuh dengan banyak
masalah, mencakup penggunaan pelarut beracun, limbah berbahaya, dan konsumsi
energi yang tinggi (Thakkar, K.N., et al. 2011). Biosintesis nanopartikel perak
adalah pilihan yang baik selain metode fisika dan kimia.
Kegunaan nanopartikel perak meliputi: pada tekstil dan pakaian akan menjadi
mudah dibersihkan dan dengan penambahan silver pada kaos kaki akan membuatnya

103
mempunyai pengaruh pada pengurangan bau kaki; cat tembok luar, perekat, pelapis
kertas, pelapis kain, juga kosmetik sebagai penahan sinar UV (http:// aa-
nanoteknologi.blogspot.com./2009). Penahan cahaya matahari; perak digunakan pada
plester untuk mencegah infeksi; agen antifungal (jamur) dan antibakteria.
(http://www.chem-is-try.org/artikel_kimia/kimia_lingkungan/nanopartikel-perak-
buatan-alam/ 21 September 2012)

8.2 Biosintesis
8.2.1 Biosintesis

Biosintesis adalah proses pembentukan metabolit (produk metabolisme) dari


molekul sederhana menjadi molekul komplek yang terjadi pada organisme hidup.
Modifikasi senyawa kimia secara biokimia didalam organisme itu sendiri yang
disebut dengan metabolisme (Neumannet all, 1985).

8.2.2 Biosintesis Nanopartikel Perak


Menurut Mohanpuria, P., Rana, N.K., dan Yadav., S.K. (2008) dalam skripsi
Bakir 2011, biosintesis nanopartikel logam memanfaatkan makhluk hidup sebagai
agen biologi pada proses sintesis nanopartikel. Prinsip sintesis nanopartikel logam
adalah dengan memanfaatkan tumbuhan ataupun mikroorganisme sebagai agen
pereduksi, seperti bakteri, khamir, dan jamur (Kanan, N. dan Subbalaxmi, S. 2011).
Tetapi biosistesis menggunakan mikroorganisme memiliki kelemahan seperti
pemeliharaan kultur yang sulit dan waktu sintesis lama. Biosintesis nanopartikel
menggunakan tumbuhan memberikan beberapa keuntungan, seperti ramah
lingkungan, komparibel untuk aplikasi farmasi dan biomedis, biaya relatif murah,
tidak memerlukan tekanan, energi, dan temperatur yang tinggi, serta tidak
memerlukan bahan kimia beracun (Elumalai, E.K., et al., 2011).
Biosintesis menggunakan tumbuhan dapat memanfaatkan bagian daun[28],
buah(Jain, D., et al, 2009), biji(Kumar, V., Yadav, S.C., 2010), air rebusan(Chandran,
S. Prathap., et al 2006; Shankar, S.S, Ahmad A., dan Sastry, M., 2003; Shankar, S.S.,
et al., 2004 , dan getah (Bar, H., et al., 2009). Proses biosintesis terbentuk melalui
reaksi reduksi oksidasi dari ion Ag (I) yang terkandung dalam tumbuhan dengan
senyawa tertentu seperti enzim yang terdapat pada jenis tumbuhan yang digunakan[18].
Pada biosintesis menggunakan daun bisbul, terpenoid dan flavonoid dari air
rebusanlah yang memfasilitasi terjadinya reaksi reduksi oksidasi kerena memiliki
surface active molecule stabilizing (Shankar, S.S., et al., 2004). Menurut Jha, et al.,
Citronellol, geraniol, keton, aldehid, amida, dan asam karboksilat adalah jenis
terpenoid yang digunakan. Berikut ini adalah daftar tumbuhan yang telah
dimanfaatkan untuk biosintesis nanopartikel perak

104
Tabel 8.1 Jenis-jenis tumbuhan yang telah digunakan untuk biosintesis
nanopartikel perak

No Tumbuhan Jenis Agen Biosintesis Referensi


1 Azadirachta indica Air rebusan daun (Shankar, S.S., et al., 2004)

2 Aloe vera Air rebusan daun (Chandran, S. Prathap., et


al., 2006)
3 Hibiscus rosa sinensis Gerusan daun (Philip, D., 2010)

4 Geranium Air rebusan daun (Shankar, S.S, Ahmad A.,


dan Sastry, M., 2003)
5 Jatropha curcas Lateks/ getah (Bar, H., et al., 2009)

6 Carica papaya Gerusan buah (Jain, D., et al, 2009)

7 Syzygium cumini Ekstrak daun dan biji (Kumar, V., dan Yadav,
S.C., 2010)
8 Datura metel Ekstrak daun (Kesharwani, J., et al.,
2009)
9 Boswellia ovalifoliolata Serbuk kulit kayu (Ankana, S., et al., 2010)

10 Oryza sativa Ekstrak rebusan daun (Leela, A., dan M.


Vivekananda., 2008)

8.2.3 Bisbul (Diospyros blancoi)


Bisbul adalah sejenis buah sekaligus tumbuhan dan berkerabat dengan
kesemek dan kayu hitam. Tanaman ini termasuk keluarga eboni (suku Ebenaceae),
dimana anggotanya memiliki kayu yang berwarna hitam atau kehitaman, sehingga
dikenal sebagai kayu arang atau arang-arang. Bisbul memiliki banyak nama karena
ada beberapa daerah yang menyebutkannya dengan nama yang berbeda, misalnya
buah mentega, buah lemak dalam bahasa Melayu karena merujuk pada daging
buahnya ketika masak, sembolo dalam bahasa Jawa, kamagong, tabang atau mabolo
dalam bahasa Tagalog yang merujuk pada kulit buahnya yang berbulu halus, marit
dalam bahasa Thai, dan velvet apple dalam bahasa Inggris. Bisbul berasal dari Filipina
dan ditemukan hidup liar di hutan-hutan primer dan sekunder dan juga dibudidayakan
di pekarangan. Tanaman ini telah menyebar di berbagai negeri tropis, termasuk
Indonesia(http:// id.wikipedia.org./wiki/bisbul diakses 21 September 2012).

105
Gambar 8.1 Bisbul (Diospyros blancoi)

(http:// id.wikipedia.org./wiki/bisbul diakses 21 September 2012)

8.3 Spektrofotometer UV-Vis


Spektrofotometer UV-Vis adalah analisis kuantitatif dan kualitatif dengan
pengukuran penyerapan atau transmittansi dalam spektroskopis yang didasarkan pada
interaksi antara materi cahaya (Visible) yang memiliki panjang gelombang tertentu.
Spektrofotometer merupakan gabungan dari alat optik dan elektronika serta sifat-sifat
kimia fisiknya. Dimana detektor dapat mengukur intensitas cahaya yang dipancarkan
secara tidak langsung cahaya yang diabsorbsi (http://
adnanhidayat32.blogspot.com./2012 diakses 21 September 2012) . Tiap media akan
menyerap cahaya pada panjang gelombang tertentu tergantung pada senyawa atau
warna yang terbentuk.Prinsip kerja dari alat ini relatif sederhana. Berkas sinar untuk
spektroskopi UV-Vis adalah lampu Tungsten. Cahaya yang dipancarkan sumber
radiasi adalah cahaya polikromatik. Cahaya polikromatik UV akan melewati
nomokromator yaitu suatu alat yang paling umum dipakai untuk menghasilkan berkas
radiasi dengan satu panjang gelombang. Monokromator radiasi UV adalah serupa
dengan celah (slit), lensa, cermin, dan perisai atau grating. Kemudian, setiap berkas
sinar monokromatis akan dipilah menjadi dua bagian dengan intensitas yang
sebanding dengan peralatan half mirror. Satu berkas sebagai sinar pembanding dan
satu berkas sebagai sinar sampel. Berkas sinar sampel dilewatkan melalui wadah yang
transparan (kuvet) yang berisi larutan senyawa dan berkas sinar pembanding
dilawatkan melalui wadah yang transparan (kuvet) tetapi hanya mengandung
pelarutnya saja(http:// en.wikipedia.org./wiki/Spektroskopi Daerah Sinar Tampak dan
Ultra Lembayung diaskses 21 September 2012).

Intensitas berkas pembanding, dimana tentunya tidak mengalami proses


penyerapan diukur dengan detektor dan ditentukan sebagai intensitas I 0 . Intensitas
berkas sampel ( dapat mengalami proses penyerapan) diukur dengan detektor dan
ditentukan sebagai intensitas I. Jika senyawa sampel tidak mengalami penyerapan
pada suatu panjang gelombang maka I=I 0 dan jika senyawa sampel mengalami

106
𝐼𝐼
penyerapan sinar maka I < I 0 . Penyerapan dipresentasikan sebagai transmitan 𝑇𝑇 =
𝐼𝐼0
𝐼𝐼
atau penyerapan 𝐴𝐴 = 𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙 0 . Jika tidak terjadi penyerapan maka T=1,0 (%T=100) dan
𝐼𝐼
A=0 (http:// en.wikipedia.org./wiki/Spektroskopi Daerah Sinar Tampak dan Ultra
Lembayung diaskses 21 September 2012).
Menurut Bakir, 2011 ,Nilai penyerapan dapat menunjukkan secara kualitatif
jumlah nanopartikel perak yang terbentuk dan nilai spektrum penyerapan maksimum
(nm) menunjukkan ukuran dari nanopartikel yang dihasilkan. Berikut tabel yang
menunjukkan panjang gelombang pada penyerapan maksimum menunjukkan ukuran
nanopartikel perak.

Tabel 8.2 Panjang gelombang pada penyerapan maksimum menunjukkan


ukuran nanopartikel perak (Solomon, S.D., et al., 2007)

Ukuran partikel (nm) Kisaran lamda (nm)


20 405
30 410
40 416
50 423
60 441
70 451
80 467
90 493
100 501
110 523

Gambar 8.2 Skematik Instrumen Spektrometer UV-Vis


(http:// en.wikipedia.org./wiki/Spektroskopi Daerah Sinar Tampak dan Ultra
Lembayung diaskses 21 September 2012)

107
Bagian-bagian Spektrofotometer UV-Vis
(http://pangestu-ayupangestu.blogspot.com/2011/12/spektrofotometer-uv-vis-
dan.html diakses 21 September 2012)

1. Sumber cahaya

Sumber cahaya pada spektrofotometer harus memiliki panacaran radiasi yang


stabil dan intensitasnya tinggi. Sumber cahaya pada spektrofotometer UV-Vis
ada dua macam :

a. Lampu Tungsten (Wolfram)


Lampu ini digunakan untuk mengukur sampel pada daerah tampak.
Bentuk lampu ini mirip dengan bola lampu pijar biasa. Memiliki panjang
gelombang antara 350-2200 nm. Spektrum radiasianya berupa garis
lengkung. Umumnya memiliki waktu 1000jam pemakaian.

b. Lampu Deuterium
Lampu ini dipakai pada panjang gelombang 190-380 nm. Spektrum
energi radiasinya lurus, dan digunakan untuk mengukur sampel yang
terletak pada daerah uv. Memiliki waktu 500 jam pemakaian.

2. Monokromator

Monokromator adalah alat yang akan memecah cahaya polikromatis menjadi


cahaya tunggal (monokromatis) dengan komponen panjang gelombang tertentu.
Bagian-bagian monokromator, yaitu :

a. Prisma
Prisma akan mendispersikan radiasi elektromagnetik sebesar mungkin
supaya di dapatkan resolusi yang baik dari radiasi polikromatis.

b. Grating (kisi difraksi)


Kisi difraksi digunakan untuk pendispersian sinar. Dispersi sinar akan
disebarkan merata, dengan pendispersi yang sama, hasil dispersi akan
lebih baik. Selain itu kisi difraksi dapat digunakan dalam seluruh
jangkauan spektrum.

c. Celah optis
Celah optis digunakan untuk mengarahkan sinar monokromatis yang
diharapkan dari sumber radiasi. Apabila celah berada pada posisi yang
tepat, maka radiasi akan dirotasikan melalui prisma, sehingga diperoleh
panjang gelombang yang diharapkan.

d. Filter
Filter berfungsi untuk menyerap warna komplementer sehingga
cahaya yang diteruskan merupakan cahaya berwarna yang sesuai dengan
panjang gelombang yang dipilih.

108
3. Kompartemen sampel

Kompartemen ini digunakan sebagai tempat diletakkannya kuvet. kuvet


merupakan wadah yang digunakan untuk menaruh sampel yang akan dianalisis.
Pada spektrofotometer double beam, terdapat dua tempat kuvet. Satu kuvet
digunakan sebagai tempat untuk menaruh sampel, sementara kuvet lain
digunakan untuk menaruh blanko. Sementara pada spektrofotometer single beam,
hanya terdapat satu kuvet.

4. Detektor

Detektor akan menangkap sinar yang diteruskan oleh larutan. Sinar kemudian
diubah menjadi sinyal listrik oleh amplifier dan dalam rekorder dan ditampilkan
dalam bentuk angka-angka pada reader (komputer).

5. Visual display

Merupakan sistem baca yang memperagakan besarnya isyarat listrik,


menyatakan dalam bentuk % Transmitan maupun Absorbansi.

8.4 Pembuatan Nanopartikel Perak


(Bakir,2011)
8.4.1 Bahan

Bahan yang digunakan dalam biosintesis nanopartikel perak meliputi daun


bisbul, AgNO 3, akuabides, aluminium foil, kertas saring whatman no.1.

8.4.2 Alat

Alat yang digunakan dalam biosintesis timbangan analitik, spektrofotometer


UV-Vis 1-5ml [BOECE], pipet tetes, erlenmeyer, labu ukur, pH specialized
indicator (kisaran PH 1-14), batang pengaduk magnetik, cawan petri.

109
8.4.3 Cara kerja

8.4.3.1 Dekontaminasi Material Organik dan Anorganik


pada Alat Gelas

Alat-alat gelas dicuci dengan menggunakan sabun dan disikat, kemudian


untuk menghilangkan material organik digunakan pencucian dengan larutan
NaOH-alkohol, yaitu berupa campuran etanol (95%) 1L dengan 120mL H 2 O
yang mengandung 120gr NaOH atau 105gr KOH. Selanjutnya dibilas dengan
akuades. Untuk dekontaminasi residu logam pada peralatan gelas, digunakan
larutan yang mengandung 2% NaOH dan 1% Na 2 EDTA. Peralatan gelas
direndam selama 2jam dalam larutan tersebut, kemudian dibilas beberapa kali
dengan akuades.

8.4.3.2 Pembuatan Larutan 1mM AgNO 3


Larutan AgNO 3 1mM dibuat dengan menimbang 0,085gr serbuk AgNO 3 ,
kemudian dilarutkan ke dalam akuades 500mL. Selanjutnya, larutan perak nitrat
dikocok dan dapat digunakan langsung.

8.4.3.3 Pembuatan Air Rebusan Daun Bisbul Segar


Daun bisbul (Diospyrosblancoi) dalam kondisi segar dipetik lalu dicuci
hingga bersih dengan akuades dan dikeringkan hingga air cucian tiris. Setelah itu,
daun dipotong-potong seragam 2cm x 2cm dan ditimbang seberat 10gr, lalu
direbus dengan 50mL akuades dalam erlenmeyer 500mL. Selanjutnya, rebusan
dibiarkan mendidih selama 5menit. Setelah mencapai suhu ruang, air rebusan
dituang dan disaring dengan menggunakan kertas whatman no.1. Air rebusan
tersebut selanjutnya dapat digunakan langsung untuk proses biosintesis.

8.4.3.4 Biosintesis Nanopartikel Perak


Ada dua macam proses biosistesis nanopartikel perak, yaitu.

8.4.3.4.1 Cara 1 (Sampel A)


2mL air rebusan daun bisul dicampurkan ke dalam 40ml AgNO 3 , kemudian
larutan campuran dibiarkan saja. Larutan ini dikarakterisasi berupa; foto,
spektrum UV-Vis, pH pada waktu menit ke-30, 1jam, 24jam, 1minggu, dan
2minggu.

8.4.3.4.2 Cara 2 (Sampel B)


2mL air rebusan daun bisul dicampurkan ke dalam 40ml AgNO 3 , kemudian
larutan campuran diaduk selama 2jam. Larutan ini dikarakterisasi dengan
spektrum UV-Vis pada waktu menit ke-30, 1jam, 24jam, 1minggu, dan 2minggu.
Selain itu, larutan campuran ini difoto dan diukur pHnya pada waktu ke-24jam,
1minggu, dan 2minggu [48].

110
8.4 Pengujian dan Karakterisasi
Untuk meyakinkan hasil biosintesis nanopartikel perak yang telah kita buat
maka diperlukan karakterisasi. Karakterisasi ini dilakukan dengan tujuan apakah hasil
biosintesis yang dibuat benar-benar dalam ukuran nanometer. Ada bermacan-macam
peralatan yang digunakan untuk mengkarakterisasi, antara lain spektrofotometer UV-
Vis, AFM (Atomic Force Microscope), SEM (Scanning Electron Microscope), TEM
(Transmisson Electron Microscope) dan XRD (X-ray diffaction).

8.4.1 Karakterisasi Biosintesis Nanopartikel Menggunakan


Air Rebusan Daun Bisbul (Sampel A)
Dari pembahasan skripsi Bakir, 2011 : Perubahan warna larutan dari bening
menjadi kekuningan hingga coklat dapat menjadi salah satu indikator terbentuknya
partikel. Perubahan warna larutan campuran AgNO 3 dengan air rebusan daun bisbul
dari jernih menjadi kuning muda setelah 30menit. Selanjutnya, larutan tersebut
berwarna coklat setelah 24jam. Hal ini terjadi karena proses reduksi ion perak,
sehingga terbentuk nanopartikel perak. Larutan AgNO 3 mempunyai puncak spektrum
penyerapan pada panjang gelombang 220nm. Air rebusan daun bisbul mempunyai
puncak penyerapan pada panjang gelombang 280-300nm.
Setelah larutan AgNO 3 dicampur dengan air rebusan daun bisbul, spektrum
UV-Vis yang diperoleh puncak spektrum penyerapan pada panjang gelombang 414-
418nm dalam pengamatan selama 2minggu. Hasil tersebut sesuai dengan hasil
penyerapan nanopartikel perak. Penyerapan semakin besar dengan pertambahan
waktu. Besar penyerapan berhubungan dengan jumlah nanopartikel yang terbentuk,
dan dapat dikatakan metode biosintesis menggunakan air rebusan daun bisbul
mempunyai orde menit. pH larutan selama proses reaksi yang terjadi cenderung
berada pada pH 4-5.

Gambar 8.3 Hasil foto : a. Larutan AgNO3; b. Air Rebusan daun bisbul; c-g dari
Sampel A fungsi waktu (Bakir, 2011)

111
Gambar 8.4 Spektrum UV-Vis dari AgNO3; b. Air Rebusan daun bisbul; c-g dari
Sampel A fungsi waktu (Bakir, 2011)

8.4.2 Karakteristik Pengaruh Pengadukkan pada Proses


Biosintesis Nanopartikel Perak (Sampel B)
Puncak penyerapan terletak pada panjang gelombang 414-419nm dalam
pengamatan selama 2minggu. Penyerapan semakin besar dengan pertambahan waktu.
Kedua sampel mengalami pola pergerseran λmax yang hampir sama dan berinpit
(Gambar 8.7.a). Sampel A mempunyai puncak penyerapan pada λ=414-418nm, dan
sampel B mempunyai puncak penyerapan pada λ=414-419nm, sehingga ukuran rata-
rata nanopartikel perak dalam kedua sampel berkisar 36-40nm. Pergeseran posisi
λmax berhubungan dengan ukuran nanopartikel yang disebabkan oleh dua
kemungkinan yaitu nanopartikel terus mengalami pertumbuhan dan terjadi agregasi
antar partikel. Pengaruh pengadukkan cenderung mempercepat reaksi antara AgNO3
dengan air rebusan daun bisbul, sehingga nilai penyerapan biosintesis nanopartikel
perak dengan cara pengadukan sedikir lebih tinggi daripada dibiarkan saja (Gambar
8.7.b). Gambar 8.7.c memberikan informasi tentang distribusi ukuran partikel FWHM
dari kedua sampel mengalami penurunan sampai hari pertama dan naik kembali
setelahnya. Hal ini menunjukkan lama waktu reaksi, distribusi ukuran nanopartikel
semakin besar. Hal itu juga terlihat dari puncak spektrum UV-Vis yang mulai tidak
simetris.

Gambar 8.5 Hasil foto : a. Larutan AgNO3; b. Air Rebusan daun bisbul; c-g dari
Sampel B fungsi waktu (pengadukkan) (Bakir, 2011)

112
Gambar 8.6 Spektrum UV-Vis dari AgNO3; b. Air Rebusan daun bisbul; c dari
Sampel 2 fungsi waktu (pengadukan) (Bakir, 2011)

Gambar 8.7 Pengaruh pengadukan terhadap proses biosintesis nanopartikel (Bakir, 2011)
a. Absorbansi vs waktu b. Lamda maksimum vs waktu c. FWHM vs waktu

113
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Mikrajudin. (2009). Pengantar Nanosains. Bandung: ITB.


Ankana, S., et al., Production Biogenic Silver Nanoparticle Using Boswellia ovalifoliolata.
Digest Journal of Nanomaterials and Biostructures, 5, 2, 369-3165 (2010)
Bakir, Pengembangan Biosintesis Nanopartikel Perak Menggunakan Air Rebusan Daun
Bisbul (Diospyros Balancoi) untuk Deteksi Ion Tembaga (II) dengan Metode
Kalorimetri, Depok: Skripsi Sarjana Fisika Departemen Fisika FMIPA UI, 2011.
Bar, H., et al., Green Synthesis of Silver Nanoparticle Using Latex of Jatropha curcas.
Colloids and Surfaces A: Physicochemical ang Engineering Aspects 339, 134-139
(2009).
Chandran, S. Prathap., et al., Synthesis of Gold Nanotriangles and Silver Nanoparticles Using
Aloe vera Plant Extract. Biotechnol. Prog., 22, 577-583 (2006)
Elumalai, E.K., et al., A Bird’s Eye View on Biogenic Silver Nanoparticles and Their
Applications, Der Chemica Sinica, 2(2), 88-97 (2011)
http:// aa-nanoteknologi.blogspot.com./2009 diakses 21 September 2012
http:// id.wikipedia.org./wiki/bisbul diakses 21 September 2012
http://pangestu-ayupangestu.blogspot.com/2011/12/spektrofotometer-uv-vis-dan.html diakses
21 September 2012
Jain, D., et al., Synthesis of Plant Mediated Silver Nanoparticles Using Papaya Fruit Extract
and Evalution of Their Anti Microbial Activities. Digest Journal of Nanomaterial and
Biostuctures, 4 (3), 557-563 (2009).
Kanan, N. Dan Subbalaxmi, S. (2011). Biogenesis of Nanoparticles – A Current Perspective.
Rev Adv Mater. Sci., 27, 99-114 (2011).
Kesharwani, J., et al., Phytofabrication of Silver Nanoparticles by Leaf Extract of Datura
metel, Hypothetical Mechanism Involved in Synthesis. Journal of bionanoscience, 3,
1-6 (2009).
Kumar, V., Yadav, S.C., dan Yadav. S.K., Syzygium cumini leaf and seed extract mediated
biosynthesis of silver nanoparticles and their characterization. Journal Chemistry
Technology and Biotechnology, 1-9 (2010).
Leela, A., dan M. Vivekananda., Tapping the Unexploited Plant Resources for the Synthesis
of Silver Nanoparticle, African Journal of Biotechnology 7(17), 3162-3165 (2008)
Moores, A., dan Goettmann, F., The Plasmon Band in Noble Metal Nanoparticles: an
Introdiction to Theory and Applications. New J. Chem., 30, 1121-1132 (2012)
Philip, D., Green Synthesis of Gold and Silver Nanoparticles Using Hibiscus rosa sinensis.
Physica E, 42, 1417-1424 (2010)
Shankar, S.S, Ahmad A., dan Sastry, M., Geranium Leaf Assisted Biosynthesis of Silver
Nanoparticles. Biotechnol. Prog., 19, 1627-1631 (2003).

114
Shankar, S.S., et al., Rapid Synthesis og Au, Ag, and Bimetallic Au Core-Ag Shell
Nanoparticles Using Neem (Azadirachia indica) Leaf Broth, Coloid Interface Science,
275, 496-502 (2004)..
Solomon, S.D., et al., Synthesis and Study of Silver Nanoparticles. Journal of Chemical
Education, 84(2), 322-325 (2007)
Thakkar, K.N., et al. Biological Synthesis of Metallic Nanoparticles. Nanomedicine:
Nanothechnology, Biology, and Medicine, 6, 257-262 (2011).
Tolaymat, T.M., An Evidence-Based Environmental Perspective of Manufactures Silver
Nanoparticles in Synthesis and Aplications: A Systematic Review and Critical
Apprasial of Peer Reviewed Scientific Paper. Sciences of the Total Enviroment, 408,
999-1006 (2010).
Wikipedia. 2010. Spektroskopi Daerah Sinar Tampak dan Ultra Lembayung (UV-Visible
Spectrocopy), 15 hlm. http:// en.wikipedia.org./wiki/Spektroskopi Daerah Sinar
Tampak dan Ultra Lembayung diaskses 21 September 2012.

115
Bab 9
TITIK KUANTUM
Oleh : Fitria Rahayu

9.1 PENDAHULUAN
Penelitian mengenai semikonduktor adalah penelitian yang terus berkembang dari
tahun ke tahun. Penelitian mengenai semikonduktor dilakukan untuk mencari hal baru
dari semikonduktor dan keuntungannya untuk industry semikonduktor. Dalam
perindustrian, semikonduktor merupakan lahan basah dan bertambah banyak dengan
sangat cepat melebihi pertumbuhan industri baja (Sze, 1981).
Dalam perindustrian, ukuran semikonduktor dibuat semakin kecil. Hal ini sesuai
dengan prediksi Hukum Moore yang menyatakan bahwa ukuran yang diperlukan untuk
menyimpan transistor dalam suatu chip, mengecil hingga setengahnya setiap 18 bulan
(Ratner, 2002). Hukum ini digambarkan dalam Gambar 9.1.

Gambar 9.1 Hukum Moore

(http://njtechreviews.com/2011/09/04/moores-law/)

116
Keinginan para peneliti untuk membuat divais elektronik yang lebih kecil
ditunjang dengan teknik fabrikasi yang memudahkan pekerjaan mereka, contohnya
dengan nanolitografi atau teknik self assembly. Teknik-teknik ini dapat menciptakan
semikonduktor dengan ukuran kurang dari 50 nm. Tersedianya teknik-teknik ini
memungkinkan terciptanya sebuah struktur dengan ukuran yang bisa diatur, contohnya
titik kuantum.
Tititk kuantum atau biasa disebut dengan quantum dot, pertama kali
diperkenalkan pada taun 1982 oleh para peneliti di Amerika Serikat, salah satunya
bernama Professor Louis Brus. Pada saat itu para peneliti terkejut dengan penemuan baru
mereka, bahwa secara eksperimental, band gap dari partikel semikonduktor merupakan
fungsi dari ukuran. Setelah penemuan itu, para peneliti kemudian terus berusaha untuk
membuat partikel dengan ukuran yang semakin kecil. Penelitian mengenai titik kuantum
ini kemudian berkembang secara progresif setiap tahunnya. Penemuan-penemuan baik
mengenai fenomena dalam titik kuantum, seperti penelitian yang dilakukan oleh Chen
pada 1994, Foxman pada 1993, Bednarek pada tahun 2002, dan Abu El-Seoud pada
2007, maupun pengaplikasiannya dalam divais menjadi tujuan utama bagi para peneliti
titik kuantum.

9.2 TEORI DASAR


Titik kuantum atau quantum dot adalah material semikonduktor berukuran nano.
Ukuran nano adalah ukuran yang tidak kasat mata, sehingga tidak bisa dilihat oleh mata
telanjang. Bila kita bayangkan perbandingan ukuran antrara sebuah bola sepak terhadap
ukuran bumi, hal ini sebanding dengan ukuran partikel 1 nanometer dibandingkan dengan
ukuran bola sepak tersebut. Dengan kata lain, ukuran nano adalah ukuran yang sangat-
sangat kecil. Dengan ukurannya yang sangat kecil, dikenal sebuah fenomena yang
disebut dengan efek pengurungan kuantum yang akan melokalikasi fungsi gelombang
dari elektron didalam titik kuantum.

9.2.1 Efek Pengurungan Kuantum

Struktur yang paling kita kenal di kehidupan sehari-hari yaitu material batangan,
atau biasa disebut material bulk. Pada material bulk ini, pergerakan elektron dapat terjadi
ke segala arah (dalam ketiga arah dimensi) atau dengan kata lain tingkat pengungkungan
pergerakan elektron tersebut adalah nol dimensi. Lain halnya pada struktur kuantum.
Telah dikenal tiga macam struktur kuantum, yaitu sumur kuantum, kawat kuantum, dan
titik kuantum. Ketiga struktur merupakan hasil dari efek pengurungan kuantum.
Pada sumur kuantum atau biasa dikenal dengan sebutan quantum well, tingkat
pergerakan elektron dikurung dalam satu dimensi, sehingga elektron hanya bisa bergerak
dalam dua dimensi, dapat diibaratkan seperti dalam sebuah bidang data. Pada kawat
kuantum atau quantum wire, tingkat pergerakan elektron dikurung dalam dua dimensi,

117
sehingga elektron hanya bisa bergerak dalam satu dimensi, dapat diibaratkan seperti
dalam sebuah kawat.
Pada titik kuantum, pergerakan elektron dikurung dalam ketiga dimensi, sehingga
pergerakan elektron adalah nol dimensi, dapat diibaratkan seperti sebuah titik, sehingga
disebut sebagai titik kuantum atau quantum dot. Ilustrasi pergerakan elektron dapat
dilihat pada Gambar 9.2. Pengurungan pergerakan elektron ini biasa disebut dengan
electron confinement.

(a) (b) (c)

Gambar 9.2 Model (a) sumur kuantum, (b) kawat kuantum, dan (c) titik kuantum.

Titik kuantum dibuat dengan melapisi material semikonduktor dengan material


lain yang memiliki energi gap yang lebih besar, contohnya isolator. Untuk kasus 1
dimensi, hal ini akan menyebabkan terbentuknya potensial penghalang seperti sumur
yang tak hingga, sehingga akan ada 3 daerah yang berbeda dengan nilai potensial sebagai
berikut:

0 untuk 0<x<L

V(x) = (1)

∞ untuk x < 0 dan x > L


Kita ketahui persamaan Schrodinger untuk elektron adalah
ℏ2 𝑑𝑑 2 𝜓𝜓(𝑥𝑥)
− + 𝑉𝑉 (𝑥𝑥 )𝜓𝜓(𝑥𝑥) = 𝐸𝐸𝐸𝐸(𝑥𝑥) (2)
2𝑚𝑚 𝑑𝑑𝑑𝑑 2

sehingga untuk x < 0 dan x > L,


𝜓𝜓1 (𝑥𝑥 ) = 0 (3)
𝜓𝜓3 (𝑥𝑥 ) = 0 (4)
118
dan untuk 0 < x < L, kita dapatkan
𝑑𝑑 2 𝜓𝜓(𝑥𝑥) 2𝑚𝑚𝑚𝑚
+ 𝜓𝜓(𝑥𝑥 ) = 0 (5)
𝑑𝑑𝑑𝑑 2 ℏ2

Solusi dari persamaan di atas ialah,


𝜓𝜓2 (𝑥𝑥 ) = 𝐴𝐴𝐴𝐴𝐴𝐴𝐴𝐴(𝑘𝑘𝑘𝑘 ) + 𝐵𝐵𝐵𝐵𝐵𝐵𝐵𝐵(𝑘𝑘𝑘𝑘) (6)
2𝑚𝑚𝑚𝑚
dengan 𝑘𝑘 2 = .
ℏ2

Kita ketahui syarat batas kontinuitas adalah


𝜓𝜓1 (𝑥𝑥 = 0) = 𝜓𝜓2 (𝑥𝑥 = 0) = 0
(7)
𝜓𝜓2 (𝑥𝑥 = 𝐿𝐿) = 𝜓𝜓3 (𝑥𝑥 = 𝐿𝐿) = 0
dengan normalisasi, kita dapatkan,
2 𝑛𝑛𝑛𝑛
𝜓𝜓2 (𝑥𝑥 ) = � 𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠 � 𝑥𝑥� (8)
𝐿𝐿 𝐿𝐿

dimana ψ 2 menunjukkan keadaan-keadaan yang mungkin ditempati elektron di dalam


titik kuantum yang memiliki lebar L.
Untuk kasus 3 dimesi, dimana titik kuantum yang ditinjau merupakan sebuah
kotak dengan Lx , L y , dan L z yang diketahui, persamaan Schrodinger yang kita gunakan
adalah
ℏ2
− 2𝑚𝑚 ∇2 𝜓𝜓(𝑥𝑥, 𝑦𝑦, 𝑧𝑧) + 𝑉𝑉(𝑥𝑥, 𝑦𝑦, 𝑧𝑧)𝜓𝜓(𝑥𝑥, 𝑦𝑦, 𝑧𝑧) = 𝐸𝐸(𝑥𝑥, 𝑦𝑦, 𝑧𝑧)𝜓𝜓(𝑥𝑥, 𝑦𝑦, 𝑧𝑧) (9)

Sehingga kita dapatkan fungsi keadaan bentuk 3 dimensinya adalah sebagai berikut:

8  nπx   n π y   n πz 
ψ n , n , n ( x, y , z ) = sin  1  sin  2  sin  3 
  (10)
Lx Ly Lz  Lx   Ly   Lz 
1 2 3

Dan nilai energi untuk setiap keadaan dalam titik kuantum tersebut dengan persamaan
berikut

 2π 2  n12 n22 n32 


E n ,n  + +  (11)
2m *  L2x L2y L2z 
,n =
1 2 3

dimana m* adalah masa efektif elektron, L x ,L y ,dan L z adalah panjang, lebar, dan tinggi
kubus, dan n 1 , n 2 , dan n 3 merupakan bilangan bulat.
Efek pengurungan kuantum menyebabkan titik kuantum memiliki karakteristik
yang unik, baik secara elektronik maupun optik, salah satunya adalah tingkat energinya

119
yang diskrit. Tingkat energi yang diskrit artinya elektron hanya dapat menempati tingkat-
tingkat energi tertentu. Hal ini digambarkan pada Gambar 9.3.

Rapat keadaan
E1
E2
E3
E4

Energi

Gambar 9.3 Rapat keadaan titik kuantum berbentuk diskrit.

9.2.2 Karakteristik

Penelitian mengenai titik kuantum banyak dilakukan karena dapat diaplikasikan


dalam banyak divais karena karakteristiknya yang unik.

9.2.2.1 Bandgap yang Bergantung Ukuran


Karakteristik unik yang pertama adalah bandgap yang dapat diatur. Suatu material
bulk memiliki bandgap yang pasti berbeda dengan material lainnya. Saat sebuah material
bulk dikecilkan ukurannya menjadi ukuran nano, akan terjadi pelebaran jarak antar tiap-
tiap tingkat energi, termasuk terjadi pelebaran bandgap. Bandgap dari material nano biasa
disebut dengan bandgap efektif dari material tersebut, seperti terlihat pada Gambar 1.4.
Perubahan bandgap bergantung dari ukuran dari quantum dot itu sendiri. Semakin besar
kuantum dot, bandgap efektif akan mengecil, sementara semakin kecil quantum dot akan
menyebabkan bandgap efektif melebar. Bandgap efektif yang terkecil akan tetap lebih
besar daripada bandgap dari material bulk-nya.
Untuk menghitung nilai energi didalam potensial kotaknya, kita gunakan
persamaan
𝑛𝑛 2 ℏ2 𝜋𝜋 2
𝐸𝐸𝑛𝑛 = 2𝑚𝑚𝑚𝑚 2 (12)

dengan n = 1, 2, 3, …., m adalah massa elektron, dan L adalah lebar sumur. Dengan
persamaan diatas, kita bisa dapatkan nilai E 1 , E 2 , E 3 , dan E 4 pada Gambar 3. Kuantisasi
energi ini memungkinkan peneliti untuk memvariasikan jumlah elektron dalam titik
kuantum dan mengukur energi yang diperlukan untuk menambahkan satu elektron.
Melebarnya bandgap dapat menjadi kerugian dalam beberapa aplikasi, namun
bandgap yang dapat diatur tetap menjadi keuntungan yang besar. Pengaturan bandgap
yang dipengaruhi oleh ukuran secara langsung memberikan kesempatan untuk kita agar

120
dapat mengatur besar energi dan panjang gelombang cahaya yang kita inginkan untuk
dapat diserap dan dipancarkan oleh material.

Gambar 9.4. Bandgap efektif untuk titik kuantum Silikon dengan ukuran 1 nm, 2 nm, dan 4 nm
(Yudhistira, 2011)

9.2.2.2 Sifat Flourescence


Rekombinasi elektron dan hole berkaitan dengan karakteristik unik yang kedua,
yaitu sifatnya yang fluorescence. Fluorescence adalah kemampuan material untuk
berpendar saat diberi masukan energi, misalnya sinar UV. Warna cahaya yang berpendar
bergantung ukuran dari titik kuantum itu sendiri, seperti digambarkan pada Gambar 9.5.
Hal ini dikarenakan pada titik kuantum, saat elektron berelaksasi dan berekombinasi
dengan hole di pita valensi, panjang gelombang dan energi yang terpancar akan sesuai
dengan lebar bandgapnya. Semakin besar ukuran titik kuantumnya, warna yang
dipancarkan akan memiliki panjang gelombang yang lebih tinggi. Sebaliknya, ukuran
yang lebih kecil akan memancarkan cahaya dengan panjang gelombang yang lebih kecil.

λ emisi ≈ ukuran
Gambar 9.5 Panjang gelombang emisi titik kuantum yang bergantung ukuran

121
9.3 FABRIKASI
9.3.1 Sintesis Koloid
Salah satu cara pembuatan titik kuantum adalah dengan menggunakan metode
sintesis koloid. Dengan metoda ini, titik kuantum yang di hasilkan berkisar antara 2-10
nm. titik kuantum yang dihasilkan melalui metode ini biasanya merupakan alloy biner
seperti CdSe, InAs, dan InP. Metoda sintesis koloid merupakan metoda yang paling
sederhana dan tidak membutuhkan biaya yang tinggi, karenanya titik kuantum yang
dikomersialkan biasanya dibuat dengan metode ini. Selain itu, metode ini juga lebih
bebas racun dibandingkan metode sintesis yang lain. Walaupun begitu, pemilihan pelarut
yang tepat dan kontrol parameter lainnya, seperti waktu, temperatur dan konsentrasi
larutan sangat diperlukan.
Dalam metoda sintesis koloid, larutan campuran, misalnya cadmium dan
selenium, diinjeksikan ke dalam tabung dengan pelarut yang dipanaskan pada suhu
360oC. Selama pemanasan, partikel nano akan mulai terbentuk dan pembentukan akan
semakin cepat seiring waktu pemanasan. Dalam metoda ini, temperatur reaksi kimia
memegang peranan penting dalam dekomposisi pelarut dan pembentukan kristal nano.
Untuk mendapatkan titik kuantum dengan ukuran yang berbeda, divariasikan lama
pemanasan. Semakin lama waktu pemanasan, partikel yang terbentuk akan semakin
besar. Akibatnya, warna campuran akan berubah seiring waktu (Gambar 9.7). Dengan
metoda ini, partikel nano dengan ukuran 3 nm dapat terbentuk hanya dalam 2 menit.

Gambar 9.6 Peralatan untuk sintesis koloid titik kuantum


(http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0021979711014585)

122
Gambar 9.7 Titik kuantum hasil sintesis koloid.
(http://mitei.mit.edu/news/nanoscale-layers-promise-boost-solar-cell-efficiency)

9.3.2 Epitaksi
Fabrikasi titik kuantum dengan metoda epitaksi biasa juga disebut dengan self
assembled growth atau Stranski Krastanov growth. Pada Stranski Krastanov, substrat dan
material yang ditumbuhkan memiliki konstanta kisi yang berbeda, sehingga terjadi
transisi penumbuhan dari 2 dimensi menjadi 3 dimensi saat material yang dideposisikan
melebihi jumlah lapisan atom. Akibatnya, terbentuklah island berukuran nanometer.
Dengan Molecular Beam Epitaxy (MBE), lapisan kristal yang tipis dapat dibuat dengan
memanaskan elemen-elemen yang dipakai hingga terjadi evaporasi dan elemen-element
ini kemudian akan bereaksi di permukaan wafer.
Pembuatan titik kuantum dengan metoda ini lazim dilakukan. Walaupun begitu,
pembuatan titik kuantum dalam susunan yang teratur sulit dilakukan dengan metode ini.
Sementara optimasi lapisan titik kuantum dibutuhkan untuk meningkatkan efisiensi
struktur. Dalam metoda ini, faktor-faktor seperti energi permukaan, temperatur
permukaan, rasio fluks dan tingkat penumbuhan menentukan hasil penumbuhan titik
kuantum (Ban, 2008).
Untuk karakterisasi, Atomic Force Microscopy (AFM) digunakan untuk
mengetahui ukuran titik kuantum, rapat permukaan dan distribusi titik kuantum. AFM
adalah sebuah divais dengan resolusi skala nanometer, sehingga bisa digunakan untuk
observasi morfologi permukaan substrat berdasarkan gaya atom yang dihasilkan saat tip
AFM yang berdiameter 100 nm hampir menyentuh (jarak 1 nm) permukaan substrat. X-
Ray Diffraction (XRD) juga dilakukan untuk mengetahui komposisi dari lapisan hasil
penumbuhan.

123
Gambar 9.8 Hasil AFM dari titik kuantum InAs pada GaAs/GaAs 1-x Sb x dengan variasi Sb (a).
0%, (b). 7%, dan (c). 11% yang ditumbuhkan dengan MBE.
(Ban, 2008)

9.4 APLIKASI
Titik kuantum telah diaplikasikan pada berbagai macam divais, seperti Light
emitting device (LED), sel surya, divais memori, serta laser. Aplikasi titik kuantum pada
divais ditujukan untuk dapat meningkatkan performa dan meningkatkan efisiensi kerja
divais. Selain pada divais, titik kuantum juga diaplikasikan di bidang biologi.

9.4.1 Sel surya


Aplikasi titik kuantum pada divais sel surya juga sudah banyak diteliti karena
secara teori dapat meningkatkan efisiensi sel surya. Pada sel surya, energi foton yang
datang dari matahari dimanfaatkan untuk mengeksitasi elektron ke pita konduksi
sehingga menghasilkan hole di pita valensi, seperti digambarkan pada Gambar 9.9.

124
Gambar 9.9. Ilustrasi penyerapan foton dalam generasi pasangan elektron dan hole
Kedua pembawa muatan kemudian akan dialirkan dengan adanya beda potensial
untuk mencegah adanya rekombinasi. Pada sel surya konvensional, problem utama yang
dapat menurunkan efisiensi divais adalah energi panas yang terbuang, rekombinasi antara
hole dan elektron sehingga mengurangi jumlah pembawa muatan yang dapat dialirkan,
dan ketidakmampuan divais untuk menyerap lebih banyak bagian dari spektrum matahari
atau disebut spectrum losses dimana terjadi terbuangnya energi. Penggunaan titik
kuantum pada sel surya lebih banyak difokuskan untuk mencari solusi dari fenomena
terbuangnya energi. Ilustrasi mengenai terbuangnya energi digambarkan pada Gambar
9.10.

Elektron

Energi Terserap

E =Eg dan E>Eg


Pita
Valensi

Cahaya
datang
Eg

E < Eg Energi Terbuang

Pita
konduksi
Hole

Semikonduktor Semikonduktor
tipe P tipe N

Gambar 9.10 Fenomena kehilangan energi pada sel surya konvensional

Penelitian mengenai aplikasi titik kuantum untuk sel surya ada berbagai macam,
yaitu dengan menciptakan generasi elektron dan hole yang lebih dari satu untuk setiap
energi foton yang datang, dengan menggunakan titik kuantum koloid untuk mengatur
profil absorpsi dari divais, atau dengan menciptakan menciptakan pita tengah atau

125
intermediate bands yang dapat berfungsi sebagai batu loncatan untuk elektron pindah ke
pita konduksi dengan ilustrasi seperti pada Gambar 9.11. Penelitian mengenai aplikasi
titik kuantum pada sel surya yang telah dilakukan meliputi; menciptakan generasi multi
elektron dan hole (Nozik, 2005), menggunakan titik kuantum koloid secara eksperimental
telah berhasil mencapai efisiensi hingga 5,1% (Sargen, 2011), dan menciptakan pita
tengah, baik secara teori maupun perhitungan (Luque 2007, Jenks 2011, dan Rahayu
2011).

Pita
konduksi

Pita
tengah

Eg
Pita
valensi

Gambar 9.11 Skema pergerakan elektron dari pita valensi ke pita konduksi dengan adanya pita
tengah.

9.4.2 Transistor

. Titik kuantum juga diaplikasikan guna meningkatkan kapasitas divais memori.


Divais memori komputer kita terdiri dari banyak IC (integrated circuit). IC ini terbuat
dari bahan semikonduktor. Dengan titik kuantum kita bisa mendapatkan divais memori
berkapasitas yang tinggi dengan kecepatan penulisan yang tinggi.
Dengan titik kuantum, diperkenalkan sebuah jenis transistor bernama single
electron transistor (SET). SET merupakan jenis transistor dengan ukuran yang terkecil,
dibandingkan dengan transistor lainnya. Dengan ukurannya yang kecil, SET
memungkinkan kita untuk meningkatkan jumlah transistor dalam satu chip. Sehingga kita
dapat memiliki chip dengan kapasitas penyimpanan dan kecepatan proses yang lebih
tinggi. Selain itu, dengan SET divais menjadi lebih irit energi karena pergerakan elektron
adalah satu per satu, berbeda dengan transistor konvensional seperti bipolar junction
transistor, field effect transistor, dan MOSFET dimana elektron bergerak secara grup.
Penelitian mengenai SET telah banyak dikembangkan sejak dua decade terakhir
(Amakawa 1998, See 2006, dan Wang 2002).

126
(a) (b)

Gambar 9.12. a) Transistor yang pertama dibuat. b) Single Electron Transistor.


(Sze, 1981 dan http://www.uni-tuebingen.de/nano/Forschung/Bilder/set_1.jpg)

9.4.3 LED

Titik kuantum diaplikasikan pada LED untuk dapat memaksimalkan emisi cahaya
yang dipancarkan oleh LED. Pada LED, saat elektron dari pita konduksi jatuh ke pita
valensi untuk berekombinasi dengan hole, akan terpancar foton dengan panjang
gelombang dan energi tertentu, bergantung pada lebar bandgapnya, sesuai dengan
ilustrasi pada Gambar 1.13.

Elektron

Ec

hv
Eg

Ev

Hole
Gambar 9.13 Proses rekombinasi elektron dan hole sehingga terjadi emisi foton.

Karakteristik titik kuantum dimana bandgapnya dapat diubah dengan mengubah


ukuran sangat bermanfaat. Dengan memakai titik kuantum, LED yang dihasilkan akan
memiliki warna yang lebih terang dan tidak bias seperti pada Gambar 9.14. Hal ini
disebabkan karena rentang panjang gelombang dari warna yang dipancarkan kecil

127
sehingga resolusi warna menjadi lebih tinggi. Selain itu, dengan menggunakan titik
kuantum, warna yang ingin diemisikan bisa diubah-ubah hanya dengan mengatur ukuran
dari titik kuantumnya. Saat ingin memancarkan warna merah yang memiliki panjang
gelombang tinggi dan energi rendah, berarti kita atur bandgap material lebih kecil dengan
memperbesar ukuran titik kuantum, sementara jika ingin memancarkan warna biru yang
memiliki panjang gelombang rendah dan energi tinggi, kita buat titik kuantum dengan
ukuran yang lebih kecil. Pada tahun 2002, Makihara dkk telah berhasil membuat LED
menggunakan titik kuantum Silikon dengan lapisan isolator SiO 2 dengan ukuran 2 nm .

Gambar 9.14 LED dengan titik kuantum.


(http://cnx.org/content/m33801/latest/?collection=col10719/latest)

9.4.4 Aplikasi dalam Biologi

Karakteristik unik dari titik kuantum, yaitu sifat fluorescence, dapat diaplikasikan
juga dalam bidang biologi, yaitu untuk sel imaging atau imaging cells. Titik kuantum
yang berukuran nano dapat kita injeksikan ke dalam suatu sel, dan karena sifat
flouresensinya, titik kuantum akan dapat berpendar dengan terang, stabil, dan tajam di
dalam sel tersebut seperti pada Gambar 9.15. Hal ini memudahkan para peneliti untuk
mengikuti pergerakan sel dalam sebuah sistem dengan sistem labeling tanpa
mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan sel. Titik kuantum juga dapat digunakan
untuk pengobatan penyakit kanker. Titik kuantum diharapkan dapat dimanfaatkan untuk
mengobservasi interaksi sel protein saat terjadi transformasi sel. Untuk dapat Untuk
membuat titik kuantum dapat berkonjugasi dengan molekul, para peneliti melapisi titik
kuantum dengan material tambahan, contohnya streptavidin.

128
Gambar 9.15 Titik kuantum berpendar dalam sel tumbuhan Medicago Sativa.
(http://www.itqb.unl.pt/labs/biomolecular-diagnostic/research/quantum-dots)

Gambar 9.16 Label sel kanker payudara menggunakan titik kuantum konjugat.
(http://jnci.oxfordjournals.org/content/95/7/502.full)

9.5 KESIMPULAN
Titik kuantum merupakan material semikonduktor yang dibuat dalam ukuran
nano. Titik kuantum memiliki karakteristik yang unik yang disebabkan oleh ukurannya
yang sangat kecil. Pada titik kuantum, besar bandgap sangat bergantung pada ukuran.
Titik kuantum memiliki sifat flouresensi, yaitu dapat berpendar bila diberi masukan
energi. Titik kuantum dapat meningkatkan performa divais elektronik, seperti sel surya,
LED, dan divais memori, juga dapat diaplikasikan pada bidang lain, seperi untuk labeling
dalam bidang biologi.

129
DAFTAR PUSTAKA

Amakawa, S., dkk. Single-electron Circuit Simulation. IEICE Trans. Electron, E81-C, 21-29.
(1998)
Abu El-Seoud, A. K., El-Banna, M., and Hakim M. A. On modelling and characterization of
single electron transistor. Int J Electron, 94, 573–585. (2007)
Bednarek, S., Szafram, B., and Adamowski, J.. Many-electron artificial atoms. Phys. Rev. B,
59(20). (1999)

K.-Y. Ban, dkk. MBE Growth and Characterization of InAs Quantum Dots on Strained GaAs1-
xSbx Buffer Layer For Application in High Efficiency Solar Cells. Photovoltaic
Specialists Conference. (2008)
Chen, Guanlong. Resonant tunneling through quantum-dot arrays. Phys. Rev. B, 50, 8035-8038.
(1994)
Foxman, E.B., dkk. Effects of quantum levels on transport through a Coulomb island. Phys. Rev.
B, 47(15), 10020-10023. (1993)
Hanna, M.C. dkk. Quantum dot Solar Cells with Multiple Exciton Generation. Conference Paper
NREL. (2005)
Jenks, Steven dan R. Gilmore. Quantum dot solar cell: Materials that produce two intermediate
bands. J Renewable and Sustainable Energy,2, 013111. (2010)
Kastner, M. A.. Artificial Atom. Physics Today. (1993)
Luque, A. dan A. Marti. Increasing the efficiency of ideal solar cells by photon induced
trantitions at intermediate levels. Phys. Review Lett., 78(26). (1997)
Lin, Chung-Wei, dkk. Structural and Optical Properties of Silicon-Germanium Alloy
Nanoparticles. J Appl. Phys, 91(4), 2322-2325. (2002)
Rahayu, F. dan Y. Darma. Quantum Size Effect Simulation and Ge Composition on SiGe
Quantum Dot for Intermediate Band Solar Cell Applications. IEEE Conf. Proc., 321-325.
(2011)
Rahayu, F. dan Y. Darma. Simulation of High Generation Rate on SiGe Quantum Dot Based
Solar Cell. AIP Conf. Proc., 1454, 203-206. (2012)
Ratner, M. dan Ratner, D. Nanotechnology : A Gentle Introduction to the Next Big Idea. Prentice
Hall. (2002)

130
See, J., dkk. Theoretical investigation of negative differential conductance regime of silicon
nanocrystal single-electron devices. IEEE Transactions on Electron Devices, 53, 1268 –
1273. (2006)
Sze S. M.. Semiconductor Devices Physics and Technology 2nd edition. Wiley. (1981)
Tang, Jiang and Edward H. Sargent. Infrared Colloidal Quantum dots for Photovoltaics:
Fundamentals and Recent Progress. Adv. Mater, 23, 12–29. (2011)
Wang, T. H., Li, H. W., and Zhou, J. M.. Single-electron transistor with point contact channels.
Nanotechnology, 13, 221-225. (2002)
Yudhistira, Fitria Rahayu, and Yudi Darma. Simulation of Spontaneous Emission Power on
Silicon Based Quantum Dot with Variation of Light Source and Dot Size. ICICI 2011.
(2011)
http://www.uni-tuebingen.de/nano/Forschung/Bilder/set_1.jpg
http://cnx.org/content/m33801/latest/?collection=col10719/latest
http://www.itqb.unl.pt/labs/biomolecular-diagnostic/research/quantum-dots
http://njtechreviews.com/2011/09/04/moores-law/
http://mitei.mit.edu/news/nanoscale-layers-promise-boost-solar-cell-efficiency
http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0021979711014585

131
BAB 10
DIVAIS TERMOELEKTRIK
Oleh : Ganjar Kurniawan S

10.1. ENERGI PANAS DAN DIVAIS


TERMOELEKTRIK
Kebutuhan manusia akan energi akhir-akhir ini meningkat tajam, sedangkan di
sisi lain ketersediannya sangat terbatas. Ketergantungan terhadap sumber-sumber
energi yang tidak dapat diperbaharui (minyak bumi dan fosil) telah mendorong
eksploitasi besar-besaran terhadap sumber-sumber energi tersebut, akibatnya
cadangan ketersediaan energi dunia menjadi semakin menipis. Hal ini mendorong
para ilmuwan mencari sumber-sumber energi alternatif yang ramah lingkungan, guna
meminimalisasi bahkan menggantikan sumber energi yang tidak dapat diperbaharui
tersebut.

Zat sisa hasil pembakaran dari energi yang tidak dapat diperbaharui yang
umumnya berupa karbondioksida. Karbondioksida yang terakumulasi di permukaan
bumi menyebabkan radiasi yang berasal dari matahari yang seharusnya dipantulkan
oleh permukaan bumi ke luar angkasa, terperangkap di bumi dan mengalami
pemantulan internal secara berulang ulang, akibatnya temperatur dipermukaan bumi
menjadi meningkat. Gejala ini dinamakan efek rumah kaca yang mengakibatkan
pemanasan global

Beberapa dekade yang lalu hingga sekarang, setiap tahunnya temperatur bumi
meningkat secara signifikan, sebagai dampak dari pemanasan global. Hal ini
menyebabkan ketersediaan energi panas begitu sangat melimpah. Energi panas dapat
berasal dari aktifitas interior bumi dan juga dari matahari. Selain ituenergi panas
dapat diperoleh dari mesin-mesin industri, automobil, bahkan peralatan elektronik
sekalipun dalam bentuk limbah panas yang terbuang ke lingkungan. Bahkan tubuh
manusia pun merupakan sumber energi panas.

Salah satu jenis teknologi konversi energi yang menjadi perhatian adalah
termoelektrik, di mana panas diubah menjadi listrik secara langsung menggunakan
suatu material yang dikenal dengan material termoelektrik (Minnich, 2009). Material
ini bekerja berdasarkan efek termoelektrik. Material-material termoelektrik dapat
disusun menjadi suatu divais termoelektrik.

132
Gambar10.1. Energi listrik yang dihasilkan divais termoelektrikmelalui pemanasan
di salah satu sisinya digunakan untuk menyalakan sebuah lampu
(http://microlab.berkeley.edu/text/seminars/slides/AkramBoukai.pdf)

Divais termoelektrik merupakan divais yang dapat mengubah energi panas


(beda temperatur) menjadi energi listrik bahkan dapat terjadi sebaliknya. Proses
perubahan energi dari panas ke listrik dimanfaatkan sebagai pembangkit listrik
(termopower) sedangkan proses sebaliknya dapat dimanfaatkan sebagai pendingin
yang berpotensi menggantikan pendingin konvensional yang menggunakan fluida
yang dapat mencemari lingkungan (CFC). Adapun kelebihan yang dimiliki divais ini
dibandingkan dengan divais converter lainnya adalah ketahanan yang tinggi, long life,
pemeliharaan yang mudah, dapat diminiatur, tidak memancarkan emisi (O`Dwyer).
Meskipun divais ini dapat mengkonversi dari perbedaan panas menjadi beda potensial
(listrik), namun tidak serta merta dapat dimanfaatkan sebagai komponen pembangkit
listrik utama. Hal ini terkait dengan efisiensi konversi yang masih sangat rendah.
Sehingga pada praktiknya divais ini hanya digunakan sebagai divais pendukung untuk
efisensi energi. Pengembangan material termoelektrik merupakan salah satu upaya
untuk mengatasi krisis energi saat ini, hal inilah yang mendorong para ilmuwan untuk
terus mengembangkan divais ini.

Divais termoelektrik telah diaplikasikan secara luas baik digunakan sebagai


termopower atau sebagai refrigrator (pendingin). Aplikasi termoelektrik yang sering
kita jumpai adalah pemanfaatannya sebagai sensor temperatur yakni termocouple.
Selain itu divais ini dimanfaatkan pada mesin-mesin pabrik dengan cara mendaur
ulang energi panas yang terbuang dari mesin-mesin ketika beroperasi menjadi energi
listrik yang dapat digunakan kembali, sehingga biaya operasional dapat ditekan.
Disamping itu divais ini sering digunakan sebagai power generator pada sebuah
wahana luar angkasa misalnya voyager, dikarenakan memiliki ketahanan yang tinggi,
dan umur yang panjang.

133
10.2. PRINSIP DASAR TERMOELEKTRIK
Fenomena termoelektrik pertama kali ditemukan oleh seorang fisikawan
jerman bernama Thomas Johann Seebeck pada tahun 1821, ketika persambungan dua
material yang memiliki perbedaan konduktivitas (bimetal) dipanaskan pada rangkaian
tertutup maka sebuah jarum kompas yang berada di dekat rangkaian tersebut akan
mengalami penyimpangan. Eksperimen ini diilustrasikan seperti pada gambar 10.2

Gambar10.2 Penyimpangan jarum pada kompas diakibatkan oleh pemberian panas di


salah satu sisi persambungan (Salamat, 2011)

Hasil eksperimen menunjukan bahwa besarnya sudut simpangan sebanding


dengan panas yang diberikan. Awalnya fenomena ini ia namakan sebagai gejala
termomagnetik. Namun Hans C Orstead mengoreksi gejala ini menjadi termoelektrik,
setelah menemukan keterkaitan antara kelistrikan dan kemagnetan.
Fenomena termoelektrik pada material dapat dijelaskan melalui suatu
mekanisme fisis yaitu mekanisme aliran difusi muatan pembawa (elektron atau hole)
pada material ketika diberikan perbedaan temperatur. Ketika salah satu sisi dari
sebuah material dipanaskan sedangkan ujung lainnya dibiarkan maka pembawa
muatan (elektron bebas) yang berada di bagian yang bertemperatur tinggi,lebih
energetik dibandingkan dengan pembawa muatan yang berada di sisi lainnya.
Sehingga muatan pembawa yang berasal dari sisi bertemperatur tinggi akan berdifusi
ke bagian sisi yang bertemperatur yang lebih rendah. Perpindahan elektron ini
menyebabkan ketidakhomogenan muatan di kedua belah sisi material. Perbedaan
konsentrasi muatan pembawa ini menghasilkan medan listrik yang melawan arah
difusi. Semakin banyak muatan pembawa yang berpindah, medan listrik yang
ditimbulkan akan semakin besar sehingga pada akhirnya akan menghentikan difusi
elektron.
Proses difusi ini dapat ditunjukan seperti pada gambar 10. 3

134
Gambar10.3 Proses difusi aliran elektron akibat pemanasan di salah satu ujungnya.
Panah warna hitam menunjukan arah difusi pembawa muatan (elektron)

Suatu kondisi di mana aliran difusi muatan pembawa terhenti akibat kehadiran
medan listrik disebut keadaan kesetimbangan. Hal ini akan terjadi ketika medan listrik
sebanding dengan difusi sebagai akibat dari perbedaan temperatur. Sehingga pada
keadaan setimbang, potensial listrik akan terbentuk akibat dari adanya perbedaan
temperatur,maka apabila kita hubungkan kedua sisi material melalui suatu rangkaian
tertutup maka akan ada arus listrik yang mengalir didalamnya.

Hubungan antara perbedaan temperatur dengan beda potensial digambarkan


melalui hubungan sebagai berikut

Δ𝑉𝑉
𝑆𝑆 = (10.1)
Δ𝑇𝑇

Di mana S merupakan koefisien seebeck.


Untuk material logam nilai koefisien seebeck sangat kecil sekitar ~10
uV/K(Boukai). Hal ini menunjukan bahwa beda potensial yang dihasilkan akibat
perbedaan temperatur pada metal sangat kecil. Sedangkan untuk semikonduktor S~
200 uV/K (Boukai), karena pada material semikonduktor kontribusi aliran listrik
berasal dari oleh elektron dan hole.

135
Gambar10.4Proses aliran difusi elektron pada semikonduktor tipe n (Salamat,
2011)

Material termoelektrik dapat pula diaplikasikan sebagai pendingin


(refrigrator) atau penarik panas. Fenomena ini pertama kali ditemukan oleh Jean
Charles Peltier pada tahun 1834. Fenomena ini merupakan kebalikan dari efek
seebeck. Ketika arus listrik diberikan pada material termoelektrik, maka elektron
(pembawa muatan) akan bergerak berlawanan arah dengan arah arus listrik. Elektron
selaku pembawa energi termal akan terkonsentrasi di salah satu sisi material. Hal ini
akan menghasilkan perbedaan temperatur di antara kedua sisi material termoelektrik.
Gejala ini disebut efek peltier seperti yang ditunjukan pada gambar 10.5

Gambar10.5Efek peltier pada semikonduktor tipe N (Salamat, 2011)

136
10.3. KONSTRUKSI DIVAIS
TERMOELEKTRIK
Saat ini telah dikembangkan desain untuk divais termoelektrikyang tersusun
dari semikonduktor tipe n dan p. Sama halnya pada sebatang material, akibat adanya
perbedaan temperatur antara sisi atas dengan sisi bawah menyebabkan muatan
mayoritas (hole dan elektron) dari masing-masing semikonduktor berdifusi dari sisi
yang bertemperatur tinggi ke sisi yang bertemperatur rendah.

Gambar10.6Diavis termoelektrik yang terdiri dari semikonduktor tipe N dan


tipe P (Salamat, 2011)

Hal yang sama terjadi pada bahan semikonduktor termoelektrik untuk masing-
masing tipe, dapat disusun secara berturut-turut sehingga beda potensial yang
dihasilkan menjadi lebih besar

Gambar10.7Divais termoelektrik yang tersusun dari elemen termoelektriktipe


N dan tipe P secara berturut-turut (Salamat, 2012)

137
Susunan untuk masing-masing elemen divais termoelektrik seperti pada
gambar di atas akan menghasilkan tegangan yang besarnya bergantung dari
banyaknya jumlah elemen. Susunan ini menghasilkan tegangan seperti pada
persamaan (10.2)

𝑉𝑉 = 𝑁𝑁 (𝑆𝑆 ∆𝑇𝑇) (10.2)

10.4. EFISIENSI KONVERSI


Ukuran yang menentukan karakteristik performa suatu termoelektrik
dinyatakan dalam suatu parameter yang dinamakan figure merit(ZT). Parameter ini
berkaitan langsung dalam menentukan efisiensi termoelektrik dalam
mengkonversi.Jika ZT bernilai besar maka efisiensi suatu divais termoelektrik besar
pula. Parameter figure meritdapat ditunjukan melalui persamaan (10.3)

𝑆𝑆 2 𝜎𝜎 𝑇𝑇
𝑍𝑍𝑍𝑍 = (10.3)
𝜅𝜅
Di mana 𝜎𝜎 konduktivitas listrik, dan 𝜅𝜅 konduktivitas termal. 𝜅𝜅 konduktivitas
termal merupakan jumlah dari kontribusi konduktivitas termal elektronik (pembawa
muatan) dan konduktivitas termal kisi.

𝜅𝜅 = 𝜅𝜅𝑒𝑒 + 𝜅𝜅𝑙𝑙 (10.4)

Berdasarkan uraian sebelumnya dikatakan bahwa ZT memiliki korelasi dengan


efisiensi daya listrik yang dihasilkan. Hubungan antara ZT dengan efisiensi
ditunjukan melalui persamaan (10.6)

𝑃𝑃𝑜𝑜𝑜𝑜𝑜𝑜
𝜂𝜂 = (10.5)
𝑄𝑄𝐻𝐻̇

��1 + 𝑍𝑍𝑇𝑇� − 1�
𝜂𝜂 = 𝜂𝜂𝐶𝐶 (10.6)
�1 + 𝑍𝑍𝑇𝑇� + 𝑇𝑇𝐶𝐶�
𝑇𝑇𝐻𝐻

Dengan 𝑃𝑃𝑜𝑜𝑜𝑜𝑜𝑜 adalah daya yang dihasilkan,𝑄𝑄𝐻𝐻 aliran kalor dari reservoir panas
ke reservoir dingin,𝜂𝜂𝐶𝐶 merupakan efisiensi carnot, 𝑇𝑇𝐶𝐶 ⁄𝑇𝑇𝐻𝐻 adalah termperatur dingin /
panas sebuah reservoir kalor pada kedua sisi , 𝑇𝑇� merupakan temperatur rata-rata.

Berdasarkan persamaan (10.3) menunjukan secara matematis bahwa efisiensi


termoelektrik dapat ditingkatkan dengan cara meningkatkan koefisien seebeck,
konduktivitas listrik dan mereduksi konduktivitas termal, namun pada kenyataannya
𝑆𝑆, 𝜎𝜎, dan 𝜅𝜅 saling bergantungan. Misalnya jika kita hendak meningkatkan koefisien
seebeck suatu material dengan meningkatkan konsentrasi pembawa muatan, maka
konduktivitas termalnya pun meningkat. Sehingga upaya ini sama sekali tidak
berpengaruh terhadap peningkatan ZT.

138
Material ideal yang digunakan untuk termoelektrik adalah material yang
memiliki konduktivitas tinggi namun memiliki konduktivitas termal yang rendah.
Sayangnya material seperti ini tidak banyak tersedia di alam. Biasanya suatu material
yang memiliki konduktivitas listrik yang tinggi, juga memiliki konduktivitas panas
yang tinggi pula, begitupun sebaliknya. Suatu material yang memiliki karakteristik
termoelektrik terbaik dinamakan sebagai “phonon glass, electron crystal” karena
memiliki konduktivitas termal yang rendah seperti pada gelas, akan tetapi tetap dapat
mengalirkan listrik (Minnich dkk, 2009).

10.5. DIVAIS TERMOELEKTRIK


BERBASIS NANOMATERIAL
Berbagai upaya telah dilakukan untuk meningkatkan ZT material
termoelektrik. Secara umum terdapat dua upaya yang dapat dilakukan untuk
mendapatkan suatu material yang memiliki nilai ZT yang besar. Pertama adalah
menciptakan material baru yang memiliki karakteristik termoelektrik yang
diharapkan. Kedua adalah menciptakan material berstruktur nano. Dengan
menggunakan material yang sama namun berstruktur nano memiliki kemungkinan
untuk memodifikasi sifat termoelektrik dibandingkan dengan material bulk-nya.
(Minnich dkk, 2009).
Berbagai penelitian yang telah dilakukan selama 40 tahun terakhir
menghasilkan figure merit yang relatif stagnan yakni ZT ~ 1 dengan efisiensi sekitar
10 % dengan Bismuth Telluride (𝐵𝐵𝐵𝐵2 𝑇𝑇𝑇𝑇3 ) sebagai material utama (O`Dwer dkk).
Namun keberadaan material ini di alam sangat langka dan tidak dapat diintegrasikan
ke dalam chip silikon. Oleh para peneliti mencoba menggunakan material berbahan
dasar silikon dan germanium, meskipun ZT yang dihasilkan masih lebih rendah
dibandingkan dengan material yang berbahan dasar 𝐵𝐵𝐵𝐵, 𝑃𝑃𝑃𝑃 dan Te.
Sejak berkembangnya teknologi nano, hal ini membuka berbagai kemungkinan
yang bertujuan untuk meningkatkan parameter ZT.Banyak penelitian yang dilakukan,
bertujuan untuk meningkatkan parameter ZT dengan cara meningkatkan
karakteristikS (termopower),𝜎𝜎 (konduktivitas listrik) dan mereduksikarakteristik 𝜅𝜅
(konduktivitas termal) dengan cara memanipulasi struktur nano dari material
tersebut.Gambar 10.8 menunjukan bagaimana material dengan struktur nano memiliki
ZT yang lebih tinggi dibandingkan material bulk-nya.
Perbandingan ZT dari berbagai material dapat ditunjukan seperti pada gambar
10.8

139
Gambar10.8Perbandingan karakteristik ZT antara berbagai material berstruktur nano
dan bulk-nya (Minnich dkk, 2009)

Harman, dkk telah melaporkan bahwa ZT diperoleh hingga 1,6 menggunakan


PbSeTe berdasarkan super kisi kuantum dot. Sedangkan nilai ZT tertinggi diperoleh
secara eksperimen oleh venkatasubramanian, dkk dengan ZT ~ 2,4 menggunakan
bahan 𝐵𝐵𝐵𝐵2 𝑇𝑇𝑇𝑇3 /𝑆𝑆𝑆𝑆2 𝑇𝑇𝑇𝑇3 . Selain itu Hick dan Dresselhaus memprediksi ZT~ 6 dapat
diperoleh untuk kawat nano 𝐵𝐵𝐵𝐵2 𝑇𝑇𝑇𝑇3 (O`Dwyer dkk).Nilai ZT tertinggi diperoleh
untuk material berstruktur nano SiGe untuk tipe n.
Pada material kawat nano konduktivitas termal akan sebanding dengan
diameter kawat nano. Hal ini terjadi akibat adanya efek pengurungan kuantum
sehingga menyebabkan terlokalisasinya fungsi gelombang dari elektron dengan
berkurangnya diameter kawat nano. Sedangkan semakin kecilnya diameter kawat
nano menyebabkan transpor balistik pada elektron menjadi lebih dominan
dibandingkan transpor difusi. Transpor balistik terjadi ketika jalan bebas rata-rata
(mean free path) lebih panjang dibandingkan panjang kawat nano. Hal inilah yang
menyebabkan ZT memiliki nilai yang besar untuk material berstruktur nano
dibandingkan material bulknya.

140
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, M., Pengantar nanosains. Bandung : ITB (2009)

Boukai, A., Clean Energy: Thermoelectrics and Photovoltaics. Dapat diakses di


http://microlab.berkeley.edu/text/seminars/slides/AkramBoukai.pdf

Hoffmann, E. A., The thermoelectric efficiency of quantum dots in indium arsenide/indium


phosphide nanowires, Proquest Dissertations and theses. University of Oregon (2009)

Kim, R. S., Physics and Simulation of Nanoscale Electronic and Thermoelectric Devices,
Proquest dissertations and theses. Purdue University (2011)

Minnich, A.J., dkk., Bulk nanostructured thermoelectric materials: current research and future
prospects, Energy.environ.Sci. 2, 466 – 479 (2009)

O`Dwyer, M. F., Humphrey, T. E., Linke, H., Concept study for high efficiency nanowire
based thermoelectric. Dapat diakses dihttp://arxiv.org/ftp/cond-
mat/papers/0601/0601110.pdf

Salamat, S., Towards End to End Technology Modeling: Carbon Nanotube and
Thermoelectric Devices, Proquest dissertations and theses. Purdue University (2011)

http://en.wikipedia.org/wiki/Thermoelectric_effect

http://en.wikipedia.org/wiki/Thermoelectric_materials

141
Bab 11
SnO2 untuk Aplikasi Sensor
Gas
Oleh : Herlin Pujiarti

11.1 Material SnO2


Kemajuan teknologi terutama dibidang industri dan transportasi seringnya
diiringi dengan dampak negatif yang terjadi dilingkungan. Misalnya semakin
meningkatnya polusi udara atau gas berbahaya, yang berasal dari sisa hasil
pembakaran bahan bakar pada kendaraan bermotor dan sisa pembakaran dari proses
industri. Keberadaan gas berbahaya yang ada dilingkungan akan menjadi masalah
besar karena sebagian besar darinya tidak berwarna dan tidak berbau. Oleh karena itu,
banyak peneliti yang mengembangkan alat yang berfungsi mendeteksi keberadaan gas
tersebut yang berupa sensor gas.

Sampai saat ini penelitian yang berkaitan dengan sensor gas masih terus
dikembangkan dengan tujuan memaksimalkan fungsi kerja dari sensor, sedangkan
fungsi kerja sensor berkaitan dengan sensitivitas atau tingkat kepekaan sensor dalam
mendeteksi keberadaan gas. Pada umumnya, material sensitif yang digunakan untuk
sensor gas adalah dari bahan oksida logam. Terdapat beberapa bahan semikonduktor
oksida logam yang dapat digunakan sebagai elemen sensor gas, diantaranya TiO 2 ,
ZnO, CeO 2 , dan SnO 2 .

Tin dioxide atau timah dioksida (SnO 2 ) merupakan bahan semikonduktor


oksida logam tipe-n yang lebih banyak digunakan untuk mendeteksi berbagai jenis
gas yang ada dilingkungan, dibandingkan dengan bahan semikonduktor oksida
logam lainnya. Hal ini dikarenakan bahan SnO 2 mempunyai beberapa kelebihan,
antara lain memiliki sensitivitas tinggi, memiliki respon dan selektivitas yang
baik, ekonomis dan relatif mudah untuk preparasinya. Timah dioksida yang
digunakan sebagai sensor gas, bisa dalam bentuk lapisan tipis (thin film) maupun
lapisan tebal (thick film). Adapun beberapa jenis gas yang bisa dideteksi dengan baik
oleh SnO 2 adalah CO, NOx, H2 S, H2 , CH 4 dan CNG (Mishra, dkk, 2009).

Berdasarkan data kristalografi yang ada pada penelitian (Batzill, dkk, 2005),
struktur kristal Stannic Oxide (SnO 2 ) adalah tetragonal seperti tampak pada gambar
11.1. Simetri grup ruangnya P4/nmm, dan parameter kisi a = b = 3.8029 Å dan c =
4.8382 Å. Stannic Oxide dapat ditemukan dalam bentuk mineral cassiterite dan
memiliki struktur rutil yang sama dengan bahan oksida logam yang lainnya, seperti
TiO 2 , RuO 2 , GeO 2 , MnO 2 , VO 2 , IrO 2 , dan CrO 2 .

142
Gambar 11.1 Ball dan Stick Model SnO 2 (Batzill, dkk, 2005)
Pada sel satuan SnO 2 yang memiliki sistem kristal tetragonal, ion Sn4+
memiliki geometri oktahedral dan ion O2- memiliki geometri trigonal planar seperti
tampak pada gambar 11.2.

Gambar 11.2 Sel Satuan SnO 2 (Batzill, dkk, 2005)


SnO 2 adalah bahan semikonduktor dengan band gap 3.71 eV dan memiliki
konduktivitas rendah pada suhu kamar. Konduktivitas bahan semikonduktor oksida
logam dapat diubah dengan memberi perlakuan panas ataupun dengan
menambahkan dopan kedalam bahan tersebut (Mishra, dkk, 2009). Secara umum,
sifat fisis dan kimia material SnO 2 disajikan pada tabel 11.1.

Tabel 11.1 Sifat Fisis dan Kimia Material SnO 2 (Endut, 2009)

Sifat
Massa Molar 150.71 g/mol

Kerapatan 6.95 g/cm3

Warna Putih

Titik leleh 1630oC

Titik didih 1800-1900oC

Solubilitas Tidak larut dalan air, larut dalam asam dan


alkali
Struktur
Struktur Kristal Rutil

Geometri Oktahedral, trigonal planar

143
11.1.1 Sifat Listrik Material SnO 2
Berkaitan dengan sifat listrik yang dimiliki oleh SnO 2 , diketahui bahwa bahan
SnO 2 murni pada suhu kamar merupakan bahan semikonduktor dengan band gap 3.71
eV. Sifat kelistrikan SnO 2 dapat diperbaiki atau diubah salah satunya dengan
meningkatan suhu sintering (Mishra, dkk, 2009).

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh (Mishra, dkk, 2009) dalam
pembuatan film tipis SnO 2 dengan metode spray pirolisis, tampak terdapat perbedaan
pola difraksi dari SnO 2 yang disintering pada suhu 300 oC (a) dan 400 oC (b), seperti
pada gambar 11.3.

(a)

(b)

Gambar 11.3 Pola Difraksi SnO 2

Perbedaan pola difraksi yang terjadi, berkaitan dengan suhu sintering yang
dapat merubah atau mempengaruhi ukuran butir material yang dihasilkan. Dari pola
difraksi tersebut, tampak bahwa SnO 2 yang disintering pada suhu 400oC memiliki
intensitas yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan SnO 2 yang disintering pada
suhu 300oC, hal ini menunjukkan semakin tinggi suhu sintering, ukuran butir akan
membesar dan selanjtnya berakibat semakin tingginya nilai koduktivitas (Mishra, dkk,
2009).

Meningkatnya nilai konduktivitas ini dapat dijelaskan dengan ukuran butir


yang semakin besar menyebabkan semakin lemahnya ikatan inti dengan elektron di
kulit terluar dari bahan, sehingga elekton semakin mudah lepas dan mobilitasnya
meningkat atau dengan kata lain elekton semakin mudah melewati bandgap untuk
berpindah dari pita valensi ke pita konduksi.

144
11.1.2 Sifat Optik Material SnO 2
Sifat optik suatu material berkaitan dengan transmitansi dan absorpsi. Untuk
mengetahui parameter apa saja yang dapat mempengaruhi besarnya transmitansi dan
absorpsi dari bahan SnO 2 , Sandipan Ray membuat film tipis menggunakan metode
sol-gel. Lapisan tipis dibuat dengan memvariasi jumlah lapisan yang dideposisi serta
menambahkan Pd sebagai pengotor atau doping pada bahan SnO 2 .

Dari hasil tersebut, didapatkan Pola difraksi XRD film tipis SnO 2 untuk single
layer dan multilayer seperti pada gambar 11.4, yang masing masing lapisan pada
semua sampelnya di preparasi dengan kondisi yang sama.

Gambar 11.4 Pola XRD Film Tipis SnO2 (a) 1 lapisan, (b) 3 lapisan, (c) 6 lapisan,
(d) 8 lapisan, (e) 12 lapisan

Dari pola XRD tersebut, tampak bahwa kristal mulai terbentuk pada 6 lapisan.
Semakin banyak lapisan, intensitas semakin tinggi. Artinya ukuran butir semakin
besar dan kristalinitas film SnO 2 semakin baik. Hal ini diakibatkan oleh efek
komulasi dari suhu dan lama anniling untuk masing-masing deposisi tiap lapisan
(Ray, 2010).

Sifat optik material SnO 2 juga ditentukanoleh koefisien absorpsi. Koefisien


absorpsi dapat dihitung dengan persamaan Lambert’s

(11.1)

Dimana t adalah ketebalan film dan T adalah transmitansi film

145
Gambar 11.5 Citra SEM fil tipis SnO 2 (a) 3 layer, (b) 6 layer, (c) 12 layer, (d) 3 layer
SnO 2 di doping Pd, (e) 6 layer SnO2 di doping Pd, (f) 12 layer SnO2
di doping Pd (Ray, 2010)

Hasil uji SEM untuk SnO 2 dan SnO 2 di doping Pd, ditunjukkan pada gambar
11.5 Gambar (a) menunjukkan permukaan paling halus jika dibandingkan hasil yang
lain [5]. Untuk gambar (b) tidak jauh beda dengan (a). Gambar (c) tampak lebih kasar
dan menunjukkan peningkatan pertumbuhan butir. Citra SEM untuk SnO 2 di doping
Pd gambar (d), (e), dan (f) menunjukkan permukaan yang lebih kasar dan peningkatan
pertumbuhan butir.

Sifat optik SnO 2 di karakterisasi dengan UV-Vis-NIR Spectroscope. Transmisi


optik dari film SnO 2 multilayer yang di annil pada suhu 673 K tampak pada gambar
11.6.

146
Gambar 11.6 Transmisi Optik Film SnO2 Multilayer yang di annil pada Suhu 673 K
(Ray, 2010)

Transmisi rata-rata untuk film SnO 2 tanpa doping, adalah lebih dari 80% dari
range panjang gelombang 450-800 nm. Semakin banyak jumlah lapisan, penyerapan
semakin rendah. Ini disebabkan keberadaan ukuran butir kristal yang lebih besar dan
peningkatan penghamburan pada permukaan film yang semakin kasar (Ray, 2010).

Dengan penambahan Pd yang diberikan pada SnO 2 menyebabkan transparansi


dari film tipis menurun secara signifikan jika dibandingkan dengan SnO 2 yang tanpa
doping. Menurunnya transparansi dari fil menyebabkan transmisi dari SnO 2 di doping
Pd hanya berkisar pada 5% sampai 20% dari range panjang gelombang 450-800 nm.
Hasil analisis ini ditunjukkan pada gambar 11.7 (Ray, dkk, 2010)

Gambar 11.7 Transmisi optic dari film SnO2 di doping Pd multilayer yang di annil
pada suhu 673 K

147
11.2 Metode Sintesis Material SnO2
Material SnO 2 yang digunakan sebagai elemen sensor gas adalah dalam
bentuk film. Adapun beberapa metode yang dapat digunakan untuk sintesis film SnO 2
diantaranya: Chemical Bath Deposition (Maddu, dkk, 2009), Sputtering DC
(Mawarani, dkk, 2006), Spin Coating (Leite, dkk, 2006), Spray Pyrolisis
(Korotcenkov, dkk, 2001).

11.2.1 Metode Chemical Bath Deposition (CBD)


Salah satu metode kimia yang digunakan untuk penumbuhan film tipis adalah
metode Chemical Bath Deposition (CBD). Metode ini banyak digunakan dengan
berbagai kelebihan yang dimilikinya, diantaranya : metode penumbuhan yang relatif
mudah dilakukan, ekonomis, tidak memerlukan waktu lama, ketebalam film dapat
dikontrol, serta preparasi dapat dilakukan pada suhu yang relatif rendah.

Film tipis SnO 2 juga bisa dilakukan dengan metode CBD. Penumbuhan film
SnO 2 diawali dengan pendeposisian pada substrat yang berupa kaca preparat, dengan
cara mencelupkan substrat ke dalam larutan yang mengandung ion-ion logam dan
ion-ion hidroksida, sulfida atau selenida (Maddu, dkk, 2009).

Secara umum, proses yang dilakukan pada metode CBD ditampilkan pada
gambar 11.8, dimana substrat ditempelkan bpada gelas beker yang telah berisi ion
tertentu dan di stirrer sambil dipanaskan dengan suhu sekitar 70-90oC. Selanjutnya
untuk mendapatkan lapisan film yang lebih tebal, cukup dengan menambah waktu
deposisi.

Skema metode CBD ditunjukkan pada Gambar 11.8

Gambar 11.8 Metode Chemical Bath Deposition (Maddu, dkk, 2009)

148
11.2.2 Sputtering DC
Sputtering DC merupakan metode fisika yang dapat digunakan untuk
pembuatan lapisan tipis SnO 2 . (Mawarani, dkk, 2006) telah menggunakan metode
sputtering DC ini sebagai metode untuk mendapatkan film tipis SnO 2 . Tahapan yang
dilakukannya meliputi : tahapan preparasi sampel, penumbuhan lapisan tipis,
pendinginan pelapisan kontak perak. Lapisan tipis SnO 2 yang digunakan sebagai
sensor gas dibuat dari substrat kaca kwarsa (SiO 2 ) dengan dimensi 2 cm x 2 cm x 1
mm. Preparasi sampel dilakukan dengan pencucian menggunakan alkohol 99% sambil
digetarkan dengan ultrasonic cleaner selama 30 menit, selanjutnya dikeringkan
dengan pemanas (oven) bersuhu 150 oC selama 60 menit.

Pada proses penumbuhan lapisan tipis, substrat dipanaskan pada suhu 250 oC
agar target mudah tertanam pada substrat. Pendeposisian SnO 2 dilakukan dengan
metode Sputtering DC pada tegangan 2 kV, arus 5 mA, dan tekanan 5x105. Variasi
waktu deposisi : 0,5 jam, 1 jam, dan 2 jam. Target SnO 2 diletakkan pada katoda dan
substrat alumina dipasang pada anoda, tabung reaktor plasma dihampakan dengan
pompa rotari hingga mencapai tekanan tertentu dan substrat dipanaskan dengan
menggunakan sistem pemanas. Selanjutnya, Gas argon dialirkan ke dalam tabung
plasma tegangan tinggi DC diatur sedemikian rupa sehingga timbul plasma yang
terlihat pada jendela tabung reaktor plasma yang menandakan deposisi dimulai.
Secara skematik, prosesnya pada gambar 11.9 (Mawarani, dkk, 2006).

Gambar 11.9 Metode Sputtering DC

Tahapan selanjutnya adalah proses pendinginan. Masing-masing sampel


didinginkan dengan tiga waktu pendinginan yang berbeda. Waktu pendinginan setelah
deposisi ini diatur dengan melakukan tiga cara pengambilan sampel
- Langsung diambil (untuk pendinginan cepat)
- Diambil setelah 3 jam (untuk pendinginan sedang)
- Diambil setelah 15 jam(untuk pendinginan lambat

Proses pelapisan kontak perak bertujuan untuk mempermudah dalam


pengukuran. Pembuatan lapisan kontak perak ini dengan menggunakan sistem
Sputtering DC. Perbedaan dengan penumbuhan lapisan tipis diatas adalah penggunaan

149
alumunium foil untuk melindungi daerah yang tidak ingin dilapisi kontak perak
(daerah sensor). Lama pembuatan kontak perak adalah 15 menit. Lapisan kontak
perak dibuat 0,5 cm dari masing masing ujung sensor (Mawarani, dkk, 2006).

11.2.3 Metode Spin Coating


Metode spin coating merupakan salah satu metode yang digunakan untuk
menghasilkan film. Baik film tipis maupun film tebal. Prosesnya dimulai dari larutan
yang diteteskan pada substrat dengan ukuran tertentu, selanjutnya dilakukan
pemutaran dengan waktu tertentu hingga terbentuk lapisan. Lapisan pada substrat
selanjutnya dikeringkan. Untuk pembuatan multilayer, cukup dilakukan dengan
mengulangi proses sebelumnya. Secara skematis, tampak seperti gambar 11.10

Seperti yang dilakukan oleh (Leite, dkk, 2006) yang menggunakan metode
spin coating untuk mengontrol ketebalan dari film tipis nanopartikel SnO 2 ,
menggunakan bahan SnCl 2 .2H2 O dan ethanol. Selanjutnya dilakukan penambahan
NH4 OH yang berperan sebagai pengontrol PH. Substrat yang digunakan untuk
deposisi film adalah Silikon, dan proses deposisi dilakukan pada suhu kamar dengan
kecepatan putaran konstan.

Gambar 11.10 Metode Spin Coating

11.2.4 Metode Spray Pirolisis


Salah satu metode sintesis yang bisa digunakan untuk menghasilkan film
maupun bulk adalah spray pirolisis. Pada metode ini, fase aerosol terbentuk melalui
metode pneumatic. Alat eksperimennya terdiri dari kompresor, atomic spray, subsrat
holder, furnace, dan reactor. (Korotcenkov, dkk, 2001)

Proses yang terjadi selama sintesis adalah, mula – mula larutan prekussor yang
ada, akan menjadi droplet dengan bantuan Ultrasonic Nebulazer, karena pada alat
tersebut juga diberikan gas pembawa (gas inert), maka droplet yang sangat ringan
tersebut terbawa menuju reactor. Pada alat ini, juga terdapat furnace yang berfungsi
memanaskan larutan prekussor yang berupa droplet menjadi padatan bentuk bulk
maupun film, jika hasil ahir yang diharapkan berupa film, maka droplet tersebut
diangkap oleh holder subsrat, seperti yang ada pada gambar 11.11.

Pada proses pembuatan film tipis SnO 2 dari prekusor SnCl 4 .5H2 O, yang
dilakukan oleh (Korotcenkov, dkk, 2001), film dideposisikan pada substrat silicon dan
keramik. Temperatur operasi bervariasi dari 250 sampai 550oC, untuk ketebalan dari

150
film tipis dapat dikontrol dengan laser ellipsometri. Dari hasil yang diperoleh, dapat
diketahui bahwa ukuran kristal meningkat ketika konsentrasi prekusor meningkat.

Gambar 11.11 Metode Spray Pirolisis

11.3 Aplikasi material SnO2


11.3.1 Sebagai sensor Gas
Sensor adalah alat yang mampu menangkap fenomena fisika atau kimia
yang kemudian diubah menjadi sinyal elektrik baik berupa arus listrik ataupun
tegangan. Kemampuan sensor untuk merespon kehadiran gas berhubungan dengan
besar konsentrasi gas serta sensing material yang digunakan pada elemen sensor
(Mawarani, dkk, 2006).

Sensor gas terdiri dari elemen sensor, dasar sensor dan tudung sensor. Elemen
sensor terdiri dari bahan sensor dan bahan pemanas untuk memanaskan elemen. Elemen
sensor menggunakan bahan-bahan seperti timah (IV) oksida SnO2, wolfram (VI) oksida
WO3, dan lain-lain, tergantung pada gas yang hendak dideteksi, selengkapnya ada pada
gambar 11.12

Gambar 11.12 Sensor Gas

151
11.3.2 Mekanisme Kerja Material SnO 2 pada Sensor
Pada kondisi udara normal, permukaan bahan semikonduktor (SnO 2 )
diselimuti oleh lapisan oksigen teradsorbsi, konsentrasi atom-atom O 2 tersebut
selanjutnya akan menangkap elektron yang berasal dari daerah dekat (sekitar)
permukaan semikonduktor. Kehadiran molekul gas reduktor seperti gas CO akan
mengikat sejumlah atom oksigen yang teradsorbsi oleh permukaan butir kristal.
Selanjutnya, elektron dilepaskan kembali kepermukaan semikonduktor sehingga
konsentrasi elektron bebas bertambah serta panjang lapisan deplesi dan tinggi
penghalang antar butir (potential barrier) berkurang. Hal ini juga mengakibatkan
kenaikan konduktivitas untuk bahan semikonduktor tipe-n (Batzill, dkk, 2005).

Secara skematik, reaksi yang terjadi pada sensing material (SnO 2 ) dengan
kebeadaan gas disekitarnya, ditunjukkan pada gambar 11.13

Gambar 11.13 Interaksi Sensing Material (SnO 2 ) dengan Gas (Batzill, dkk, 2005)

11.3.3 Performa Sensor


Performa dari sensor SnO 2 berhubungan dengan ukuran partikel, dan
karakteristik komposit (jika didalamnya ditambah bahan lain). Performa sensor SnO 2
yang meliputi stabilitas, sensitivitas, selektivitas, dan waktu respon, dapat
dioptimalkan dengan mereduksi ukuran partikel SnO 2 sampai pada dimensi
nanometer. Selain itu, penambahan dopan atau pengotor dalam bentuk nanokomposit
juga berperan dalam meningkatkan performa sensor SnO 2 (Miller, dkk, 2006).

Pada gambar 11.14 ditunjukkan sensitivitas sensor SnO 2 sebagai fungsi dari
ukuran kristal SnO 2 . Sensitivitas pada dua jenis gas yang berbeda yaitu gas CO dan
H2 menunjukkan tren menurun yang sama yaitu semakin besar ukurang krisal, maka
sensitivias menurun. Hubungan ini terjadi karena, ketika ukuran butir semakin besar,
maka kontak antara sensing material dalam hal ini SnO 2 dengan gas semakin terbatas,
sehingga kemampuan material mendeteksi keberadaan gas disekitarnya (sensitivitas)
menjadi menurun.

152
Sensitivitas didefinisikan sebagai perbandingan resistansi sensor di udara
dengan resistansi sensor pada gas tertentu.

S = Ra / Rg

Gambar 11.14 Hubungan antara Sensitivitas dengan Ukuran Kristal (Miller,


dkk, 2006)

Performa sensor yang berkaitan dengan waktu respon, bergantung pada ukuran
kristal SnO 2 serta penambahan dopan. Sebagai contoh pada gambar 11.15 merupakan
hasil penelitian (Kennedy, dkk, 2003) yang mengembangkan teknik fabrikasi dengan
kontrol ukuran kristal SnO 2 tanpa mengubah ketebalan film. Dari hasil tersebut,
sensitivitas ethanol sebagai fungsi waktu masing-masing ukuran kristal SnO 2 NF10
untuk ukuran 10 nm, NF20 untuk ukuran 20 nm dan NF35 untuk ukuran 35 nm. Pada
grafik tersebut tampak waktu respon menurun seiring dengan penurunan ukuran
kristal SnO 2 , artinya waktu yang diperlukan sensor untuk merespon keberadaan
ethanol lebih cepat ketika ukuran kristal SnO 2 semakin kecil. Hal ini disebabkan
sensitivitas dari bahan SnO 2 semakin tinggi ketika ukuran kristalnya semakin kecil.

Gambar 11.15 Hubungan antara Sensitivitas dengan Waktu Respon (Miller,


dkk, 2006)

153
DAFTAR PUSTAKA

Batzill, M. dan Diebold, U., The Surface and Materials Science of Tin Oxide, Progress in
Surface Science. 79, 47–154 (2005)

Endut, N. A., Stanum dioxide (SnO 2 ) Doped Polyaniline (n-C 6 H5 NH 2 ) Thin Film as the
Materials for Liquefied Petroleum Gas (LPG) and Hydrogen (H 2 ) Gas Sensor,
Department of Chemical Engineering : Universiti Malaysia Pahang (2009)

Khalil, A., Purwaningsih, S. Y., Darminto, Pengaruh Doping Emas dan Perlakuan Anil pada
Sensitivitas Lapisan Tipis SnO 2 untuk Sensor Gas CO. Seminar Nasional
Pascasarjana IX – ITS, Surabaya (2009)

Korotcenkov, G., dkk., Pecualiarities of SnO 2 Thin Film Deposition by Spray Pyrolisis for
Gas Sensor Aplication, Sensor and Actuators B. 77, 244-252 (2001)

Leite, E. R., dkk., Controlled Thickness Deposition of Ultrathin Ceramic Films by Spin
Coating, J. American Ceramic Society. 89, 2016-2020 (2006)

Maddu, A., Hasiholan, R. T., Kurniati, M., Penumbuhan Film Nanokristalin SnO 2 dengan
Metode Chemical Bath Deposition (CBD), J. Nanosains dan Teknologi. Edisi Khusus,
96-99 (2009)

Mawarani, L. J., dkk. Karakterisasi Lapisan Tipis SnO 2 Sputtering DC sebagai Elemen
Sensor Gas CO, J. Sains Materi Indonesia. 8, 35-39 (2006)

Miller, T. A., dkk., Nanostructured Tin Dioxide Materials for Gas Sensor Applications.
Department of Mechanical Engineering : University of Michigan (2006)

Mishra, R. L., Mishra, S. K., Prakash S. G., Optical and Gas Sensing Characteristics of Tin
Oxide Nano-Crystalline Thin Film, J. of Ovonic Research. 5, 77-85 (2009)

Ray, S., Gupta, P. S., Singh, G., Electrical and Optical Properties of Sol-Gel Prepared Pd
Doped SnO 2 Thin Films: Effect of Multiple Layers and Its Use as Room Temperature
Methane Gas Sensor, J. of Ovonic Research. 6, 23-34 (2010)

154
Bab 12
Karakterisasi Struktural dan
Mekanis Lapisan
Nanokomposit dalam
Nanoscale
Oleh : Idham Pribadi Muchammad

12.1 Nanoscale
Secara umum, material nanoscale didefinisikan sebagai satu set zat-zat kimia
yang memiliki ukuran kurang dari 100 nanometer dan memiliki optis, magnetis, atau
bagian-bagian elektris unik. Material “ultrafine particulate” adalah contoh material
nanoscale yang dapat ditemukan di lingkungan. Salah satu contoh program penelitian
oleh NTP (National Toxicology Program) memfokuskan dalam pembuatan material
nanoscale baru atau untuk kepentingan proyek komersial (Gustafsson, G., 1992).
Program termasuk mempelajari dan mengevaluasi disposisi biologis dari
semikonduktor nanoscale crystalline fluorescent (quantum dots), ilmu toxikologi dari
material nanoscale berbasis karbon ( single- atau multi-walled nanotubes, fullerenes),
dan ilmu photogoxikologi yang mewakili partikel nanoscale metal oxide, biasanya
digunakan pada aturan industri dan produk-produk konsumen (seperti, titanium
dioxide).
Material nanoscale telah muncul di masyarakat sebagai produk industri dan
konsumsi serta sebagai formulasi baru penyaluran obat di tubuh. Pada hakikatnya,
Aplikasi-aplikasi komersial dan fasilitas-fasilitas yang dihasilkan untuk kemudahan
manusia mungkin dapat dibedakan secara “nanoscale” dibandingkan dengan “bulk”
material.

12.2 Nanokomposit
Komposit adalah suatu material yang terbentuk dari kombinasi dua atau lebih
material pembentuknya melalui campuran yang tidak homogen, dimana sifat mekanik
dari masing-masing material pembentuknya berbeda. Umumnya material komposit
terdiri dari dua bahan penyusun. Bahan tersebut yaitu bahan pengisi (filler) dan bahan
pengikat (matriks). Filler adalah bahan pengisi yang digunakan dalam pembuatan
komposit, biasanya berupa serat atau serbuk, seperti yang sering digunakan dalam

155
pembuatan komposit antara lain serat e-glass, boron, karbon, dan sebagainya. Bahan
pengisi haruslah kuat untuk menerima beban yang diterima material komposit.
Matriks dalam struktur komposit dapat berasal dari bahan polimer atau logam.
Umumnya matriks terbuat dari bahan-bahan lunak dan liat. Epoksi, poliester, dan
vinilester adalah bahan-bahan polimer yang sejak dahulu telah dipakai sebagai bahan
matriks (Bsiesy, A., 1995).
Nanokomposit adalah gabungan atau kombinasi dari satu atau lebih komponen
terpisah dan salah satu komponennya adalah material skala nanometer. Tujuan
pembuatan komposit adalah untuk menghasilkan sifat yang berbeda dari komponen-
komponen pembentuknya serta untuk menghasilkan sifat yang terbaik dari tiap
komponen suatu komposit. Dalam nanokomposit, nanopartikel seperti clay, logam,
CNT bertindak sebagai pengisi atau filler dalam sebuah matriks. Saat ini yang paling
banyak dipakai adalah polimer.Nanokomposit merupakan material yang dibuat
dengan menyisipkan nanopartikel (filler) dalam sebuah sampel material makroskopik
(matriks). Nanokomposit dihasilkan dari pencampuran dalam sejumlah fase yang
berbeda. Pencampuran ini dapat menghasilkan sifat baru yang tidak ditemui pada
masing-masing material asal. Nanokomposit memperlihatkan sifat-sifat baru yang
lebih unggul dibandingkan dengan material asal. Setelah menambahkan nanopartikel
ke dalam material matriks, nanokomposit yang dihasilkan dapat menunjukkan sifat-
sifat yang sangat berbeda dibandingkan dengan sifat material sebelumnya.Sebagai
contoh dengan menambahkan CNT pada suatu material maka konduktivitas listrik dan
konduktivitas termal material tersebut akan berubah.Penambahan nanopartikel jenis
lain dapat menghasilkan perubahan sifat optik, sifat dielektrik atau sifat mekanik,
seperti kekakuan (stiffness) dan kekuatan (strength).

Gambar 12.1 Contoh bahan-bahan nanokomposit (sumber:http://merl-ltd.com,2012)

Secara umum pembuatan nanokomposit dilakukan denganmendispersimaterial


berdimensi nanometer ke dalam matriks.Persentase berat (mass fraction) dari
nanomaterial umumnya sangat kecil sekitar 0,5% - 5%. Beberapa penelitian sedang
dilakukan untuk mencari kombinasi terbaik matriks dan filler agar diperoleh komposit
dengan sifat yang unggul.
Nanokomposit dapat dianggap sebagai struktur padat dengan dimensi berskala
nanometer yang berulang pada jarak antar-bentuk penyusun struktur yang berbeda.
Material-material dengan jenis seperti ini terdiri atas padatan inorganik yang tersusun
atas komponen organik. Selain itu, material nanokomposit dapat pula terdiri atas dua

156
atau lebih molekul inorganik/organik dalam beberapa bentuk kombinasi dengan
pembatas antara keduanya minimal satu molekul atau memiliki ciri berukuran nano.
Contoh nanokomposit yang ekstrim adalah media berporos, koloid, gel, dan
kopolimer.

Gambar 12.2 Contoh nanokomposit (sumber:http://spie.com,2012)

Ikatan antar partikel yang terjadi pada material nanokomposit memainkan


peranan penting pada peningkatan dan pembatasan sifat material. Partikel-partikel
yang berukuran nano tersebut memiliki luas permukaan interaksi yang tinggi.
Semakin banyak partikel yang berinteraksi, semakin kuat material tersebut. Inilah
yang menyebab1kan ikatan antar partikel semakin kuat, sehingga sifat mekanik
material bertambah. Namun, penambahan partikel-partikel nano tidak selamanya akan
meningkatkan sifat mekaniknya. Ada batas tertentu dimana saat dilakukan
penambahan material nano, kekuatan material justru semakin berkurang. Namun pada
umumnya, material nanokomposit menunjukkan perbedaan sifat mekanik, listrik,
optik, elektrokimia, katalis, dan struktur dibandingkan dengan material penyusunnya.

12.3 Polimer
Polimer berasal dari bahasa Yunani, poly dan mer (meros). Poly berarti
banyak, sedangkan mer (meros) berarti ikatan. Istilah polimer ini digunakan untuk
menggambarkan bentuk molekul berantai panjang yang terdiri atas unit-unit terkecil
yang berulang (mer) sebagai blok penyusunnya. Molekul-molekul tunggal penyusun
polimer dikenal dengan istilah monomer. Sebagai contoh, polimer polipropilena
adalah salah satu jenis bahan polimer dengan rantai linier sangat panjang yang
tersusun atas unit-unit terkecil (mer) yang berulang-ulang berasal dari monomer
molekul propilen.

157
Gambar 12.3Polymer nano composites (PNC) (sumber:
http://en.wikipedia.org/wiki/Polymer,2012)

Menurut asalnya, polimer dibedakan menjadi dua, yaitu polimer alam dan
polimer buatan. Contoh polimer alam seperti selulosa, karbohidrat, dan DNA,
sedangkan polimer buatan contohnya adalah ban kendaraan yang pertama diproduksi
oleh Charles Goodyear dari Amerika Serikat pada tahun 1839 (Burroughes, J. H.,
1990). Setelah itu berbagai modifikasi polimer pun mulai berkembang seperti pada
tahun 1846 yaitu adanya modifikasi selulosa dengan asam nitrat oleh Cristian
Frederick Schonbein, tahun 1907 ditemukannya Bakelite oleh Leo Baekeland, tahun
1930 di JermanditemukanPolystirena atau Polyfenol ethena dan pada tahun 1936
ditemukan Polyethylene di laboratorium ICI di Winnington, Chesire. Hingga saat ini
banyak produk industri yang begitu beragam berasal dari proses pabrikasi polimer.
Hal ini didukung adanya karakteristik polimer seperti: polimer yang memiliki densitas
rendah sehingga dapat menghasilkan suatu produk yang ringan, kemudian polimer
mudah diolah untuk berbagai macam produk pada suhu rendah dengan biaya murah,
ketahanan korosi yang tinggi, bersifat osilator yang baik terhadap panas dan listrik,
serta bersifat elastis dan plastis. Polimer yang sering digunakan dalam kehidupan
sehari-hari diantaranya adalah polyethylene (PE) yang banyak digunakan dalam
perabotan rumah tangga dan mainan anak-anak, polyvinylchloride (PVC) pada
kemasan pasta gigi dan pipa, phenol formaldehyde atau Bakelite yang digunakan
dalam alat listrik dan polyisoprene sebagai bahan baku pembuatan karet.

Gambar 12.4 Contoh lain polymer nano composites (PNC) (sumber:


http://en.wikipedia.org/wiki/Polymer,2012)

158
12.4 Nanokomposit Polimer
Polymer Nanocomposite (PNC) terdiri dari sebuah polimer atau kopolimer
memiliki nanopartikel atau nanofiller terdispersi dalam matrix polimer. Keduanya
memiliki bentuk berbeda (seperti: fiber, bola), tetapi minimal satu dimensi harus
dalam rentang 1 sampai 50 nm. PNC ini termasuk kategori sistem multifase yang
mengonsumsi sekitar 95% produksi plastik (Oliver, W. C., 1992). Sistem ini
memerlukan kontrol pencampuran, stabilisasi dispersi yang baik, orientasi fase
dispersi, dan strategi-strategi pencampuran.

Gambar 12.5Polimer yang menyerupai bambu (sumber: Bhushan B,2003)

Transisi dari micro- ke nano-partikel mendorong kearah perubahan sifat


fisisnya maupun sifat kimianya. Dua faktor utama dalam hal ini adalah peningkatan
rasio antara luas penampang dan volume, dan ukuran partikel. Peningkatan rasio
antara luas dan volume yang berarti partikel semakin kecil, mendorong ke arah
dominasi peningkatan tingkah laku atom-atom pada area luas penampang partikel
terlebih lagi pada interior partikelnya. Hal ini berpengaruh pada sifat partikel-partikel
ketika mereka bereaksi dengan partikel-partikel lain. Karena area permukaan nano
partikel yang lebih tinggi, interaksi dengan partikel-partikel yang lain diantara
campuran, semakin meningkatkan kekuatan, panas, daya tahan, dan faktor-faktor
lainnya yang mengubah campuran.

Salah satu contoh nanopolimer yaitu silikon nanosphere yang memiliki


karakteristik, yakni memiliki 40 – 100 nm dan lebih keras dari silikon, kekerasannya
diantara sapphire dan berlian.

Gambar 12.6Nanoporous silicon (PS) films (sumber: http://Elmat.com, 2012)

Metode pencampuran yang digunakan untuk mendapatkan suatu


nanokomposit dapat dilakukan dengan menggunakan metode mixing, melt-blending,
dan in situ polimerization.

159
a. Metode mixing merupakan metode pencampuran dimana salah satu bahannya
berupa larutan. Pada proses ini setelah bahan tercampur maka dipanaskan pada
temperatur tertentu. Pemanasan ini dilakukan dengan tujuan untuk menghilangkan
pelarut sehingga didapatkan nanokomposit dalam bentuk padatan.
b. Melt-blending merupakan metode fabrikasi yang sering dan baik digunakan untuk
mendapatkan material nanokomposit khususnya dengan menggunakan matriks
polimer termoplastik. Pada saat proses pencampuran berlangsung bahan pengisi
(filler) akan dicampurkan dengan lelehan matriks, jadi sebelumnya matriks yang
berupa padatan tersebut telah mendapatkan perlakuan terlebih dahulu yaitu dengan
dilelehkan pada temperatur tertentu.
c. In situ polymerization merupakan metode fabrikasi yang paling efisien untuk
peningkatan kekuatan secara signifikan. Pada umumnya, bahan pengisi (filler)
tersebut bisa ditambahkan ke dalam matriks melalui proses polimerisasi di bawah
temperatur tertentu, karena proses pencampuran ini merupakan metode
pencampuran dimana salah satu bahannya masih berupa monomer.

12.4.1 PPV dan MEH-PPV


Poly (p-phenylene vinylene) (PPV, atau polyphenylene vinylene) adalah
polimer konduksi. PPV merupakan satu-satunya polimer yang sejauh ini sukses
diproses kedalam sebuah film dari kristal yang memiliki orde tinggi. PPV dan
turunannya merupakan polimer konduksi. Mereka merupakan polimer-polimer
konduksi yang telah berhasil diproses pada film dengan tingkat kekristalan tinggi.
PPV dapat disintesis dalam puritas baik dan berat molekular tinggi secara mudah.
Meskipun tidak larut di dalam air, PPV dapat dimanipulasi dalam larutan encer. Band
gap optis kecil dan fluorescence kuning terangnya menjadikan PPV salah satu
kandidat dalam aplikasi-aplikasi elektronis seperti light-emitting diodes (LED) dan
devais fotovoltaik.

Gambar 12.7 PPV (sumber: http://en.wikipedia.org/wiki/Poly(p-phenylene_vinylene, 2012)

Meskipun demikian, PPV dapat dengan mudah didoping menjadi material


bersifat konduktif secara elektris. Sifat fisis dan elektris dapat diubah oleh bagian-
bagian sisi fungsionil inclusion. Sejak terobosan pertama pada tahun 1989, turunan
PPV dalam jumlah besar disintesis dan digunakan untuk aplikasi LED (Bhushan, B.,
2003). Meskipun penguat dalam keadaan solid state telah didemonstrasikan dalam
sebuah LED organik, poly[2-methoxy-5-(2’-ethylhexyloxy)-p-phenylene vinylene]
(MEH-PPV) sudah membuktikan menjadi sebuah film menjanjikan karena memiliki
efisiensi fluorescence tinggi dalam larutan. PPV juga digunakan sebagai sebuah
material pemdonor elektron dalam solar sel organik. Meskipun devais PPV

160
memilikiabsorpsi cahaya yang kurang baik, PPV dan turunan PPV (khususnya MEH-
PPV) sering digunakan pada penelitian solar sel.

12.5 Silikon (100) dan Silikon Berpori


Orientasi silikon (100) didefinisikan oleh index Miller dengan sisi (100).
Silikon berpori (porous silicon / p-Si)adalah sebuah bentuk elemen silikonyang
memiliki lubang-lubang dalam mikrostrukturnya. Rasio luas permukaan terhadap
volume yakni sekitar 500 m2/cm3.

Salah satu cara untuk membuat pori pada silikon yaitu dengan meggunakan
sebuah sel anodisasi. Salah satusel anodisasi yakni elektrolit hidrogen florida (HF).
Proses anodisasi menghasilkan lapisan porositas homogen. Lapisan silikon berpori
dapat diperoleh dengan cara anodisasi silikos tipis berorientasi type P +- dalam sebuah
elektrolit yang terdiri dari campuran C 2 H5 OH/HF/H 2 O dengan rasio 2:2:1 (Hughes,
G., 2005). Rapat arus yang dapat digunakan yaitu sebesar 100 mA cm-2 selama 220 s.
Kemudian, lapisan permukaan ditumbuk dengan plasma SF6 . Lapisan di pra-oksidasi
pada suhu 300 0C selama 1 jam dalam O 2 yang diikuti sebuah langkah oksidasi pada
suhu 900 oC selama 1 jam. Hasil akhir lapisan silikon berpori memiliki ketebalan kira-
kira sebesar 7-10 μm. Setelah proses pembuatan silikon berpori selesai, polimer dan
kopolimer yang diinginkan dapat dipenetrasi pada lapisan silikon berpori.

Gambar 12.8Silikon (100) (sumber: http://chem.qmul, 2012)

Lapisan silikon berpori ditekan sepanjang goresan sedikit demi sedikit dengan
menggunakan penekuk intan pada bagian belakang lapisan. Hal tersebut dilakukan
untuk membuat celah pada silikon(100) yang belum dipenetrasi dan polimer atau
silikon berpori nanokomposit. Tujuannya untuk mengevaluasi kekerasan dari lapisan
silikon berpori.

Gambar 12.9Silikon berpori (sumber: http://Yunwang.com, 2012)

161
Penekuk intan tersebut memonitor dan mencatat hubungan antara beban dan
perpindahan. Pengindentitas memiliki resolusi gaya sekitar 1 nN dan resolusi
perpindahansekitar 0,2 nm. Modulus elastis dan kekerasan dihitung dari kurva beban
yang diperoleh pengindetitas nano ( penekuk berlian berukuran nano). Pengindetitas
kekerasan dari lapisan silikon diartikan sebagai beban pengindentitas maksimal dibagi
dengan luas area yang diamati pengindentitas, dan dapat diekspresikan sebagai
berikut:
𝑃𝑃𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚
𝐻𝐻 = (1)
𝐴𝐴

Dimana P max adalah beban puncak dan A luas area yang diamati. Kemudian,
modulus elastis diindentifikasi dengan perhitungan regresi linear. Modulus elastis ini
dapat dijabarkan dengan persamaan:

1 1−𝑣𝑣 2 1−𝑣𝑣𝑖𝑖
= + (2)
𝐸𝐸𝑟𝑟 𝐸𝐸 𝐸𝐸𝑖𝑖

Dimana E r adalah modulus elastis gabungan dari sampel dan penekuk berlian.
Kemudian secara berturut-turut, E dan E i , serta v dan v i adalah modulus elastis dan
rasio Poisson dari sampel dan penekuk berlian. Nilai untuk modulus elastis dan rasio
Poisson penekuk berlian yaitu 1141 Gpa dan 0,07.

Adapaun tes goresan nano oleh penekuk berlian dilakukan dibagian lapisan
ujung dari permukaan dengan menggunakan Atomic Force Microscope (AFM)
Veeco. Penekuk berlian memiliki radius bagian ujung sebesar 50 nm dan sudut 600.
Setiap sampel harus dibuat sebanyak empat goresan nano. Terlebih lagi, setiap
goresan nano berada pada kisaran 20 sampai 41 μN. Setelah tes goresan nano ini
selesai dilakukan, hasilnya dapat segera diperoleh dalam berupa grafik.

12.6 Sifat Fisis dan Mekanis Lapisan


Silikon Berpori
12.6.1 Mikrostruktur
Saluran lubang berukurannano mungkin tidak dapat diamati secara jelas
karena karakteristik lapisan yang tidak rata. Dikarenakan struktur bambu memiliki
serat yang panjang dengan ukuran bervariasi, maka hanya sebuah proses anodisasi
satu langkah yang dapat diaplikasikan. Proses anodisasi satu tahap biasanya
diterapkan pada struktur lapisan poros acak dengan perbedaan ukuran pori sepanjang
bagian melintang dan membujur. Hal ini disebabkan aspek rasio tinggi dan ukuran
pori sama. Proses anodisasi dua tahap menghasilkan pori acak sangat banyak, seperti
logam nano (Braun, D., 1991). Polimer-polimer yang diberikan pada pori dapat
berkerja sebagai serat panjang dan lebut, serta dapat menguatkan sekeliling silikon
yang sangat mudah rapuh untuk membentuk nanokomposit yang baik.

162
Gambar 12.10Penampang melintang AFM nanostruktur dalam bentuk 2D (kiri) dan 3D
(kanan) pada (a) lapisan silikon berpori, (b) lapisan diisi dengan PPV, (c) lapisan diisi dengan
MEHPPV (sumber: Bhushan B,2003)

12.6.2 Kekerasan dan Modulus Elastis


Silikon (100) yang belum diisi polimer menunjukkan kedalaman
pengindentitas terkecil dan kemiringan kurva tertinggi. Hasil tersebut diikuti oleh
Silikon berpori (PS), MEHPPV- dan PPV yang diisi pada silikon berpori (PS). Puncak
kurva pengindetisasi turun drastis untuk lapisan silikon berpori diisi dengan PPV.
Silikon berpori yang diisi dengan PPV menunjukan perubahan jumlah yang signifikan
dari deformasi awal pada lapisan yakni 43 nm. Hampir tidak ada deformasi pada
puncak kurva pengindentitas selama waktu mengalami kekonstanan. Baik silikon
berpori yang diisi PPV maupun MEHPPV menunjukan hampir memiliki kontak
kedalaman residual yang sama yakni sekitar 205 nm. Sekitar 6,4 kali lebih besar dari
lapisan silikon berpori yang tidak diisi apapun. Terlebih lagi, 13,3 kali lebih besar dari
silikon (100) tanpa diisi apapun yang memiliki nilai 2,4 nm. Hal ini mengindikasikan
bahwa pori berukuran nano yang diisi PPV dan MEHPPV dapat secara signifikan
meningkatkan plastisitas dari silikon berpori nano.

163
Gambar 12.11 Kurva beban vs perpindahan pengindentitas intan nano (sumber: Bhushan
B,2003)

Silikon (100) memiliki nilai modulus elastis tertinggi yakni 142,5 GPa dan
kekuatan bahan sebesar 12,1 GPa. Nilai dari modulus elastis dan kekuatan silikon
(100) yang tidak diisi polimer apapun sesuai dengan teori yang sudah ada. Modulus
elastisitas dan kekuatan PPV dan MEHPPV turun drastis sebagai perbandingan
dengan dengan silikon (100). Modulus elastisitas dan kekuatan PPV dan MEHPPV
masih cukup tinggi untuk menahan beban mekanik tertentu tanpa kesalahan yang
mengakibatkan kecacatan. Lapisan silikon berpori yang diisi oleh MEHPPV memiliki
kekuatan dan duktilitas lebih besar dari Lapisan silikon berpori yang diisi oleh PPV.
Hal ini mengakibatkan material memilki daya tahan terhadap kerapuhan yang tinggi.
Kombinasi yang baik antara kekuatan dan duktilitas memiliki keuntungan yang sangat
besar pada devais pabrik LED teknologi baru.

Gambar 12.12 Nilaikekuatan dan modulus elastis sebagai fungsi kedalaman kontak
pengindentisasi untuk (a) silikon (100), (b) lapisan silikon berpori, (c) lapisan yang diisi PPV dan (d)
lapisan yang diisi MEHPPV (sumber: Bhushan B,2003)

164
12.6.3 Daya Tahan Terhadap Kerapuhan
Daerah deformasi plastis dengan keretakan kecil yang mengelilingi penekuk
mikro menandakan suatu kejadian penyebaran ujung keretakan. Ujung keretakan
dapat dengan cepat menumpul pada daerah deformasi plastis di sekitar ujung
keretakan. Pensubstitusian nilai modulus elastis, kekuatan pengindetisasi nano dan
nilai beban tertinggi yang diberikan pengindetifikasi nano, dapat diketahui nila daya
tahan terhadap kerapuhan (KIC ) berdasarkan persamaan berikut:
1
𝐸𝐸 2 𝑃𝑃
𝐾𝐾𝐼𝐼𝐼𝐼 = 𝛼𝛼 � � � 3� (3)
𝐻𝐻
𝐶𝐶 2

Panjang celah (C) diukur dengan menggunakan sebuah mikroskop optik


Nomarski (α = 0.016).

Gambar 12.13Pengindentisasi mikroskop optik Vickers dibuat pada beban normal 2 N


selama 15 s, (a) silikon (100), (b) lapisan silikon berpori, (c) lapisan diisi PPV, (d) lapisan diisi
MEHPPV (sumber: Bhushan B,2003)

Gambar 12.14 Jalur propagasi keretakan selama penekanan mikroidentitas (sumber: Bhushan
B,2003)

165
Silikon (100) yang tanpa diisi polimer membentuk propagasi lurus ke depan.
Retakan silikon berpori yang diisi dengan polimer menyebar ke arah lainnya
sepanjang dinding pori silikon nano tertipis. Polimer berukuan nano cukup untuk
menyerap energi deformasi. Mereka dapat membuat daerah sekitar titik
pengindentifikasi tumpul. Lapisan silikon berpori yang diisi oleh PPV hanya 1,6 kali
lebih besar daripada lapisan silikon tanpa polimer. Lapisan silikon yang diisi
MEHPPV memiliki nilai kekerasan 2 kali lebih besar dari lapisan silikon berpori biasa
dan 7,2 kali lebih besar dari silikon (100) tanpa polimer apapun.

Gambar 12.15 Variasi kedalaman goresan nano dengan beban normal yang berbeda-beda
(sumber: Bhushan B,2003)

12.6.4 Daya Tahan Terhadap Goresan Nano


Sebelum tes goresan nano, ujung intan dikalibrasi untuk memastikan lekukan
dan kecekungan yang dihasilkan serta ukuran dan kedalaman sesuai dengan rentang
yang diharapkan. Untuk memahami ketahanan deformasi silikon berpori yang diisi
polimer-polimer yang berbeda, tes goresan nano menggunakan sebuah AFM Veeco
dengan ujung penditeksi intan yang memiliki radius sekitar 50 nm. Untuk silikon
(100) dan lapisan silikon berpori uang tidak terisi polimer apapun, kedalaman goresan
nano meningkat seiring dengan meningkatnya beban normal. Pada saat 34 μN untuk
PPV- dan MEHPPV- yang diisi pada lapisan silikon berpori tidak menunjukan
hubungan normal dengan beban normal yang diaplikasikan. Hal ini mungkin dapat
diakibatkan oleh mikrostruktur silikon yang beraneka ragam yang menghasilkan
penemuan deformasi tidak rata pada daerah polimer (diindikasikan oleh panah
berwarna merah). Lapisan silikon berpori yang diisi MEHPPV memiliki kedalaman
goresan nano menengah bila dibandingkan dengan lapisan silikon berpori yang diisi
PPV dan lapisan silikon berpori tanpa diisi polimer. Untuk nanokomposit yang diisi
PPV dan MEHPPV, peningkatan beban normal tidak menghasilkan perubahan
signifikan pada kedalaman goresan nano.

166
Gambar 12.16 Beban normal vs kedalaman goresan (sumber: Bhushan B,2003)

12.7 Aplikasi
12.7.1 Luminesensi
Luminesensi adalah emisi cahaya oleh substansi dan tidak dihasilkan dari
panas. Jadi, luminesensi berbentuk sebuahradiasi dingin (tidak dihasilkan dari panas).
Hal tersebut dapat disebabkan oleh reksi kimia, energi listrik, gerakan subatomik atau
gaya pada sebuah kristal. Luminesensi dapat berpijar dengan warna yang berbeda-
beda tergantung pada substrat yang digunakan. Menurut sejarah, radioaktivitas
dipikirkan sebagai sebuah bentuk radioluminesensi, meskipun saat ini
dipertimbangkan hal yang terpisah sejak radiasi elektromagnetik terlibat sangat
banyak. Istilah ‘luminesensi’ diperkenalkan pada tahun 1888 oleh Eilhard
Wiedemann. Lempeng jam, jarum jam, dan instrumentasi-instrumentasi navigasi
sering dilapis dengan material luminesen dalam sebuah proses yang diketahui sebagai
‘luminising’.

Gambar 12.17OLED (Organic Light-Emitting Diode) (sumber: http://oledworks.com, 2012)

12.7.2 Elektroluminesensi
Elektroluminesensi (EL) adalah sebuah fenomena optis dan fenomena elektris
pada sebuah material yang memancarkan cahaya karena respon dari arus listrik atau
kuat medan listrik. Hal ini merupakan bentuk langka berupa emisi cahaya benda
hitam dari panas (pijar), dari reaksi kimia (kimaluminesensi), suara

167
(sonoluminesensi), atau aksi mekanis lain (mekaluminesensi). Elektroluminesensi
adalah hasil rekombinasi radiaktif elektron-elektron dan lubang-lubang dalam sebuah
material, biasanya sebuah semikonduktor. Elektron-elektron tereksitasi mengeluarkan
energi mereka sebagai foton. Tepat sebelum recombinasi, elektron-elektron dan
lubang-lubang dipisahkan oleh material doping sehingga berbentuk sebuah p-n
junction (pada devais elektroluminesen semikonduktor seperti LED) atau melalui
eksitasi sebagai dampak percepatan elektron-elektron berenergi tinggi oleh sebuah
kuat medan listrik (demikian halnya fosfor pada layar elektroluminesen).

Gambar 12.18Full-colour flat-panel displays (sumber: http://globalmarket.com, 2012)

168
DAFTAR PUSTAKA

Bhushan, B., Li X., Nanomechanical characterisation of solid surfaces and thin films,Int.
Mater. Rev. 48, 125–64 (2003)

Braun, D., Heeger, A. J., Visible light emission from semiconducting polymer diodes,Appl.
Phys. Lett. 58198, 2–4 (1991)

Bsiesy, A., Nicolau, Y. F., Ermolieff, A., Muller, F., Gaspard, F., Electroluminescence from
n+-type porous silicon contacted with layer-by-layer deposited polyaniline Thin Solid
Films, 2554, 3–8 (1995)

Burroughes, J. H., Bradley, D. D. C., Brown, A. R., Marks, R. N., Mackay, K., Friend, R.H.,
Burn, P. L., Holmes, A. B.,Light-emitting diodes based on conjugated polymers
Nature,3475, 39–41 (1990)

Gustafsson, G., Cao, Y., Treacy, G.M., Klavetter, F., Colaneri, N.,Heeger, A. J., Flexible
light-emitting diodes made from soluble conducting polymers Nature, 35747, 7–9
(1992)

Hughes, G., Bryce, M. R., Electron-transporting materials for organic electroluminescent and
electrophosphorescent devices,J. Mater. Chem. 15, 94–107 (2005)

Oliver,W. C., Pharr, G. M., An improved technique for determining hardness and elastic
modulus using load and displacement sensing indentation experiments,J. Mater. Res.
715, 64–83 (1992)

http://chem.qmul, diakses pada tanggal 23 Oktober 2012

http://Elmat.com, diakses pada tanggal 22 Oktober 2012

http://en.wikipedia.org/wiki/Polymer, diakses pada tanggal 23 Oktober 2012

http://en.wikipedia.org/wiki/Poly(p-phenylene_vinylene), diakses pada tanggal 23 Oktober


2012

http://globalmarket.com, diakses pada tanggal 22 Oktober 2012

169
http://merl-ltd.com, diakses pada tanggal 22 Oktober 2012

http://oledworks.com, diakses pada tanggal 22 Oktober 2012

http://spie.com, diakses pada tanggal 22 Oktober 2012

http://Yunwang.com, diakses pada tanggal 23 Oktober 2012

170
Bab 13
Silikon Nanowire (SiNW) dan
Aplikasinya
Oleh : Irfan Firdaus S

13.1 Apa itu Silikon Nanowire ?


13.1. 1. Nanowire
Sebelum lebih jauh kita berkenalan dengan “Nanowire” atau bila dalam
bahasa indonesia kita bisa mengartikan “kabel dalam ukuran nano”, kita perlu
mengetahui terlebih dahulu sebenarnya apa yang dimaksud dengan “nano”. Nano
merupakan orde ukuan panjang dimana skala panjangnya satu per satu milyar meter.
Untuk ukuran nano lebih jelas terlihat pada diagram gambar dibawah

Gambar 13.1 Skala nanometer [10]

Dapat disimpulkan Nanowire merupakan suatu perangkat atau divais yang


memiliki cakupan orde sekitar wilayah orde nanometer. Pada wilayah sekecil ini efek
dari Mekanika kuantum bekerja. Jadi sering kali Nanowire juga disebut Quantum
Wire. Terdapat ke miripan antara nanorod dan nano wire, keduanya bisa dibedakan
dengan karakterisrik perbandingan ukurannya.

171
Tabel 13.1 Perbedaan Nanowire dan nanorod [6]

Material (Rasio) Dimensi


Panjang/Lebar
Nanowire > 20 1D
Nano Rods < 20 Masih seperti 2 D

Dari tabel diatas Nanorod bentuknya masih seperti silinder, sedangkan nanowire
seperti kabel sesungguhnya, sehingga bisa kita tafsirkan memiliki saatu bidang atau
satu dimensi.

Telah disebutkan bahwa divais nanowire sangat dipengaruhi oleh prinsip


mekanika kuantum. Salah satunya adalah memiliki karakteristik rapat keadaan
terhadap energi yang cukup unik sebagai akibat dari efek pengurungan kuantum yang
terjadi [6]

Gambar 13.2 Efek pengurungan kuantum

Pada gambar diatas Nanowire memiliki kesamaan pada material yang pengurungan 1
dimensi. Perbedaan rapat keadaan dari material Bulk ini merupakan keutamaaan yang
bisa dimanfaatkan sebagai divais. Baik secara optik maupin secara listrik.

172
13.1.2 Silikon Nanowire
Silikon
Silikon (Si) pada tabel periodik menempati Unsur dengan Golongan VI A dengan
Periode 3. Karakteristik tersebut menyatakan Unsur ini memiliki 4 elekteron Valensi pada
kulit terluar n=3 atau dengan indeks kulit terluarnya 3s2p2. Untuk fasa silikon dengan struktur
kristalin (c-Si) memiliki struktur intan, dimana 1 atomnya berikatan kovalen dengan 4 atom
silikon lainnya serta membentuk sudut 109,50 dan menghasilkan struktur tetrahedron.
Material c-Si memiliki konstanta kisi a=5,431 Å dan jarak atom terdekat 2,35 Å seperti
diilustrasikan pada gambar 1.

Gambar 13.3 Struktur kristal silikon[7]

Bila dibandingkan dengan material konduktor dan material isolator


karakteristik pita terlarang yang dimiliki silikon terletak diantara kedua sifat tersebut
tidak terlau jauh seperti isolator juga tidak bertumpang tindih antara pita valensi
dengan pita konduksi sperti material konduktor. Dari karakteristik tersebut material
Silikon termasuk pada golongan Material Semikonduktor

Dengan sifat sifat material silikon diatas serta kelompahan nya dialam cukup
tinggi, riset mengenai material ini terus ditekuni sehingga dihasilkan material
skalanano seperti Silikon Nanowire. Dimana bahan penusun dari kabel ini adalah
silikon

Gambar 13.4 penampang SiNW [5]

173
SiNW dan Karekteristiknya
Sifat SiNW berbeda dengan sifat dari Silikon buk . Bandgap dari SiNW bisa
diatur sesuai dengan diameter dari nanowire itu sendiri [9]

a) Karekterisasi Listrik
Balistik effect
Terdapat Karakteristik listrik unik pada nanowire, fenomena tersebut dinamakan
transport balistik, hal ini sebagi konsekuensi daripanjang jalur bebas rata-rata lebih
besar dari panjang nanowire. Ketika jalur bebas rata-rata lebih besar maka tdak terjadi
scattering elektron yang mengakibatkan konduktivitas yang tinggi. Selain itu
konduktivitas sangat dipengaruhi oleh efek dari ujung nanowire [9].
Selain itu untuk sifat konduktivitas karena dipengaruhi fenomena kuantum
dari nanowire ini dipengaruhi kuantisasi energi. Energi dari elektron pada nanowire
bersifat diskrit.

b) Karakteristik Optik
Hasil dari karakterisasi spektrum Uv-vis menunjukan:

Gambar 13.5 Karakteristik Uv-Vis SiNW [5]

Dari hasil Uv-Vis diatas dan dibawah dapat di tarik kesimpulan bahwa SiNW
bila dibandingkan dengan film biasa memiliki transparansi yang cukup tinggi, serta
untuk panjang gelombag tertntu memuliki absorbansi yang melebihi film tipis silikon
biasa. Secara optik SiNW memiliki sifat yang lebih unggul bila dibandingkan
material bulk.

174
Gambar 13.5 Karakteristik Uv-Vis SiNW dibandingkan lapisan tipis dengan berbagai
ukuran [5]

Selain itu panjang dari SiNW berpengaruh pada sifat optik dari Nanowire itu
sendiri. Pda gambar 13.5 terlihat semakin bertambah panjangnya SiNW semakin
tinggi pula absorbansinya. Begitupun dengan spektrum absorbansinya, sudah mulai
terjadi absorbansi pada spektrum frekuensi yang rendah.

13.2 Sintesis Silikon Nanowire


Proses fabrikasi dari nanowire dibagi menjadi 2 bagian besar. Ada cara Top
Down dan Bottom Up. Biasanya cara Top Down lebih ke pengikisan dan diwakili
secara fisik, sedangkan Bottom Up lebih kepada menumbuhkan material secara
kimiawi.

13.2.2 Sintesis proses fisik


Laser abelation dan Litoghraphy
Diagram proses litografi bisa dilihat pada skema dibawah

175
Gambar 13.6 Proses Laser Ablation

Awalanya merupakan Material Bulk kemudian permukaannya diberi lapisan bisa


dengan memasukannya pada larutan resist. Kemudian dibuat pola dengan menambahkan
unsur-unsur tertentu sebagai pemandu terjadinya Nanowire. Langkah terkahir diberikan
suntukan laser pada material bulk tadi proses ini sering disebut prioses peng”etsa”an,
sehingga yang terkikis adalah zat yang di lapisi lapisan resist dari lser itu,, dan daerah
dibawah zat pemandu tidak terkikis.

13.2.3 Sintesis proses kimia


a) Chemical Vapour Deposition (CVD)
Berbeda dengan proses Top Down yang berasal dari material bulk untuk proses
bottom up berawal dari penyusnan partikel yang kecil. Contoh daripi proses ini adalah
CVD. Dengan memanfaatkan reaks kima pada saat gas , mka akan didapat senyawa yang
diinginkan dan tumbuh pada suatu substrat material. Bahan baku dari proses ini adalah dari
gas yang direaksikan.
Hal yang penting pada proses ini adalah adanya katalis. Sebelum substrat dimasukan
kepada ruangan vakum tempat terjadinya reaksi gas, substrat seblmnya harus ditumbuhkan
pulau pulau logam katalis. Pulau pulau inilah yang ananti akan membantu terjadinya
pembentukan dari nanowire tersebut.

Gambar 13.6 Chamber PECVD [8]

176
Gambar 13.7 Mekanisme terjadinya SiNW pada CVD [8]

Pembentukan pulau-pulau logam katalis ini bisanya dilakukan oleh evaporator atau
dengan perangkat sputtering.

b) Vapour Liquid Solid (VLS)


Mekanisme proses dari VLS mirip dengan CVD akan tetapi disini tidak
ditekankan reaksi dari fasa gasnya, tapi pendistribusian uap pada substrat yang telah
di lapisi lapisan katalis.

Gambar 13.8 Mekanisme terjadinya SiNW dengan proses VLS [3]

Lapisan katalis akan membentk pulau pulau dengan diamter tertentu apabila di
panaskan atau di annealing. Diameter pulau-pulau sangat bergantung dari parameter-
parameter anneling seperti tebalnya lapisan logam, waktu anneling, temperatur,
tekanan dan paarmeter-parameter fisis lainnya.

177
13.3 Aplikasi Silikon Nanowire untuk Sel
Surya
Telah banyak dibuat aplikasi dari SiNW, terutama untuk bidang
naonoelektronik. Seperti Divis transistor, sensor meskipun masih dalam skala riset.
Salah satu aplikasi lain dari SiNW bisa dijadikan bahan dasar dari Sel Surya,
meskipun efisiensi yang dihasilkan belum setinggi yang dibentuk oleh silikon amorf
maupun silikon kristal

Gambar 13.9 SiNW untuk aplikasi Sel surya [3]

Terdapat fenomena menarik utnuk aplikasi nanowire pada sel surya. Bentuk dari nanowire itu
sendiri secara geometri ternyata bisa menimbulkan efek dari ‘light trapping” pengurungan
cahaya seperti ditunjukan pada gambar dibawah :

Gambar 13.20 light trapping pada sel surya SiNW [2]

178
Secara sederhana susunan (array) dari nanowire memiliki nilai absorbsi yang
tinggi karena seolah-olah cahaya masuk dan sulit untuk di refleksi secara langsung
karena membentur susunan (array) dari morfologi nanowire. Ketika sinar yang
terefleksinya kecil maka sebagian besar energi dari sinar matahari terserap oleh
material semikonduktor SiNW untuk menggenerasi elektron.

Gambar 13.21 (a) susunan sel surya SiNW (b) Multple junction Axial (c) Multiple
Junction Radial (d) p-n Junction axial dengan proses terbentuknya daerah deplesi
(e)p-n junction sttruktur radial [1]
Sebuah divais semikonduktor tentunya tersusun dari konfigurasi bahan-bahan
yang telah dicampur dengan dopan, pendeknya suatu divais bisa terdiri dari
semikonduktor tipe-p atau semikonduktor tipe-n. Pada gambar 13.21 diatas tampak
perbedaan konvigurasi penyusunan lapisan dari tipe tipe semikonduktor. Pada bagian
(b) dan (d) ada lapisan yang disusun berdasarkan tumpukan biasa yang selanjutnya
disebut struktur axial dan pada bagian (e) dan (c) lapisan lapisan semikonduktor
ditumpuk secara silinder yang selanjutnya disebut dengan striktur radial. Pada
gambar tersebut diperlihatkan juda zona-zona deplesi oleh masing masing konfigurasi
struktur. Selain konfigurasi p-n bisa juga dibuat konfigurasi multiple junction seperti
ditunjukan gambar bagian a, dan b dimana struktur terdiri dari tiga lapisan yang
memiliki karakteristik yang berbeda.
Pada sekitar tahun 2010 Ke Sun dkk melakukan penelitian sejauh mana
perbedaan konfigurasi penyusun Nanowire tersebut terhadap performansi dari sel
surya berikut adalah datanya

179
(a)

(b)
Gambar 13.22 Hasil kurva I-V (a) susunan radial (b) susunan axial [2]

Dari kurva I-V tersebut terlihat arus photogenerate dapat dihasilkan oleh kedua divais.
Terlihat pula lonjakan arus ketika diberikan cahaya untuk struktur radial lebih besar
dibandingkan dengan struktur axial
Berikutmya adalah hasil dari pengukuran I-V untuk nanowire yang disususn banyak
(arrray)

180
Gambar 13.23 Hasil kurva I-V (a) susunan array radial (b) susunan array axial [4]
Peningkatan arus terangnya signifikaan bila dibanding kurva I-V sebelumnya
ini membuktikan adanya proses light trapping pada saat Nano wire disusun banyak. Untuk
hasil radial masih lebih tinggi dengan penyusunan secara axial.

181
DAFTAR PUSTAKA
A. I. Hochbaum and P. Yang, “Semiconductor nanowires for energy conversion,” Chem.
Rev., vol. 110, pp. 527–546, 2009.

B. Tian, X. Zheng, T. J. Kempa, Y. Fang, N. Yu, G. Yu, J. Huang, and C. M. Lieber,


“Coaxial silicon nanowires as solar cells and nanoelectronic power sources,” Nature,
449, pp. 885–889, 2007.

Dupuis, A.C. The Catalyst in the CCVD of Carbon Nanotubes-a Review, Progress in
Material Science, 50: 926-961. 64 (2005).

E. C. Garnett and P. Yang, “Silicon nanowire radial p-n junction solar cells,” J. Amer. Chem.
Soc., 130, pp. 9224–9225, 2008.

L. Hu and G. Chen,. Analysis of optical absorption in silicon nanowire arrays for


photovoltaic applications,” Nano Lett., 7, pp. 3249–3252(2007)

Shao, M.W., Ma, D.D.D., dan Lee, S.T. Silicon Nanowires Synthesis, Properties, and
Applications, Eur. J. Inorg. Chem., 2010,pp. 4264-4278. (2007)
Sze, S.M, Semiconductor Devices: Physics and Technology (2nd Edition). Singapore : John
Willey and Son. (1985)

Usman, I. Penumbuhan Lapisan Tipis Silikon Amorf Terhidrogenasi dengan Teknik HWC-
VHF-PECVD dan Aplikasinya pada Divais Sel Surya, Doctoral Thesis, (2006)

Wanekaya, A.K., Chen, W., Myung, N.V., dan Mulchandani, A.Nanowire-Based


Electrochemical Biosensors, Electroanalysis, 18 (6), 533-550. (2006)

http://nanoscience.massey.ac.nz/ (17/10 /2012)

182
Bab 14
Karbon Nanofiber
Oleh : Iskandar

14.1 Material skala Nano dan Partikel Nano


Nanomaterial adalah salah satu bidang yang menjadi kajian sains/ilmu bahan
(materials science) yang didasarkan pada pendekatan berbasis nanoteknologi. Studi ini
mempelajari berbagai material dalam hal morfologinya pada skala nano (skala ukuran
10-9), dan terutama material yang memiliki sifat khusus yang berkaitan
dari dimensi nano (sifat-sifat unik yang dimilikinya). Skala nano biasanya didefinisikan
lebih kecil dari sepersepuluh dari satu mikrometer dalam setidaknya satu
dimensi, meskipun istilah ini kadang-kadang juga digunakan untuk bahan yang lebih
kecil dari satu mikrometer.

Gambar 14.1 Trend teknologi Material Nano


(http://www.stanford.edu/group/cui_group/ dan
http://www.sciencedaily.com/releases/2008/05/080528105931.htm)
Suatu aspek yang penting dari nanoteknologi adalah perbandingan yang jauh
lebih antara luas permukaan terhadap volumnya, yang memungkinkan terjadinya efek
mekanis kuantum yang baru. Salah satu contoh adalah "efek ukuran kuantum" di
mana sifat elektronik material yang diubah dengan memperkecil dalam hal ukuran
partikel. Efek ini tidak ikut berperan dengan perubahan dari dimensi makro ke dimensi
mikro. Sejumlah sifat fisik tertentu juga berubah dengan adanya perubahan
dari sistem makroskopik. Sifat mekanik yang khas dari Nanomaterial merupakan subjek
penelitian yang ada dalam bidang nanomekanika.
Nanopartikel atau kristal nano yang terbuat dari logam, semikonduktor, atau
oksida-oksida merupakan material-material yang dibuat untuk kepentingan tertentu
karena sifat-sifatnya seperti sifat mekanik, listrik, magnetik, optik, kimia dan lainnya.
Nanopartikel yang telah digunakan sebagai material kuantum dot dan sebagai katalis
kimia seperti material nano-berbasis katalis.

183
Nanopartikel telah menarik perhatian dunia ilmiah yang besar karena partikel-
partikel ini secara efektif menjadi jembatan antara material ukuran besar (bulk
materials) dan struktur atom atau stuktur molekulnya. Material ukuran besar harus
memiliki sifat fisik yang konstan terlepas dari ukurannya, tetapi pada skala nano-hal
ini sering tidak terjadi. Ukuran tergantung sifat diamati seperti pembatasan
kuantum dalam partikel semikonduktor, permukaan plasmon resonansi di
beberapa partikel logam dan superparamagnetis dalam bahan magnetik.

Gambar 14.2 Bentuk skala partikel Nano


(http://www.malvern.com/labeng/industry/nanoparticles.htm)

Nanopartikel menunjukkan sejumlah sifat khusus relatif terhadap material


biasa. Misalnya, pelengkungan tembaga (kawat, pita, dan lain-lain) terjadi dengan
gerakan atom tembaga / secara kelompok pada skala sekitar 50 nm. Nanopartikel
tembaga lebih kecil dari 50 nm dianggap bahan super keras yang tidak menunjukkan
kelenturan yang sama dan deformasi seperti tembaga. Perubahan sifat ini tidak selalu
diinginkan. Bahan Ferroelektrik lebih kecil dari 10 nm dapat berubah arah gaya
magnet dengan menggunakan energi termal temperatur ruangan, sehingga ini
membuatnya tidak cocok untuk penyimpanan memori. Suspensi nanopartikel
dimungkinkan karena interaksi antara permukaan partikel dengan pelarut cukup kuat
untuk mengatasi perbedaan densitas, yang biasanya menghasilkan material baik dalam
hal tenggelam atau mengambang dalam cairan. Nanopartikel sering memiliki sifat
visual yang tak terduga karena cukup kecil untuk membatasi elektronnya dan
menghasilkan efek kuantum. Misalnya nanopartikel emas yang tampak merah tua
sampai hitam dalam larutan.

Luas permukaan biasanya sangat tinggi terhadap perbadingan


volume nanopartikel yang memberikan gaya pendorong yang luar biasa untuk proses
difusi, terutama pada suhu yang tinggi. Efek Permukaan nanopartikel juga
mengurangi suhu leleh yang ada.

14.2 Karbon Nanofiber (CNFs)


14.2.1 Definisi Karbon Nanofiber

184
Istilah. “Nanofiber” merupakan suatu istilah yang berkaitan dengan
penggambaran objek yang berskala nanometer (1/1000 000 000 m) dengan dua
dimensi eksternal dalam skala nano. Sebuah silinder berskala nano merupakan sebuah
nanofiber padat, sebuah nanotube adalah nanofiber berbentuk lubang/silinder, dan
sebuah “nanowire” merupakan sebuah nanofiber yang bersifat konduktif secara
kelistrikan.

Gambar 14.3. Bentuk mikroskopik nanofiber


(http://www4.ncsu.edu/~lasomber/project-advancing-microelectrode-
technology.html)

Karbon nanofiber terdiri dari gulungan berbentuk serat yang terbuat dari
lembaran-lembaran grafit yang sangat kecil yang tersusun dalam konfigurasi spesifik
dan terpisah dengan jarak sepanjang 0,335 – 0,342 nm.
CNFs ditumbuhkan dengan proses dekomposisi dari karbon yang mengandung
gas-gas seperti hidrokarbon yang terdapat pada permukaan logam atau permukaan
logam campuran yang bertindak sebagai katalis terhadap formasi lembaran. Selama
reaksi, karbon-yang mengandung molekul-molekul gas diadsorbsi pada permukaan
katalis dan secara berturut terdekomposisi. selanjutnya, atom karbon menyebar
melalui partikel katalis dan membentuk endapan pada satu atau
lebih permukaan lain dan membentuk lembaran berturut-turut sehingga
terdekomposit pada satu sama lain membentuk karbon nanofiber. Gambar 14.4
dibawah ini menampilan hasil mikroskop elektron dari karbon nanofiber.

Gambar 14.4 Bentuk Serat Karbon Nanofiber (Gupta and O.N. Srivastava, 2001: 857-862)

14.2.2 Jenis-jenis CNFs


185
Karbon nanofiber (CNFs), vapor grown carbon fibers (VGCFs), atau vapor
grown carbon nanofibers (VGCNFs) merupakan material berstruktur nano bentuk
silinder dengan lapisan-lapisan graphene yang tersusun berbentuk kerucut, bentuk
mangkuk (cup), atau plat/lempeng (plate). Karbon nanofiber dengan dengan pelapisan
graphene membentuk silinder sempurna disebut sebagai karbon nanotube.

Gambar 14.5 Berbagi bentuk susunan karbon nanofiber


(http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0378775306005829)

Sejak penemuan karbon nanofiber pada tahun 1991 oleh Ijima, karbon
nanotube berdinding tunggal (SWNT atau CNT) telah membangkitkan ketertarikan
dalam berbagai bidang sains dan ilmu rekayasa oleh karena kombinasi yang luar biasa
antara sifat fisis dan kimianya. Kombinasi sifat mekanis, termal dan listrik yang
sempurna dan porositas membuat CNT sebagai material ideal untuk aplikasi membran
dan penguatan bahan polimer. Modulus Young untuk CNT lebih besar dari 1 TPa dan
kekuatan gaya tariknya sekitar 63 GPa dan kepadatan yang rendah berkisar antara 0,8
hingga 1,3 gm/cm3 yang cukup tinggi dibandingkan sifat mekanik serat karbon biasa
yang digunakan dalam penguatan bahan komposit konvensional dan diameter sekitar
1-2 nm dan panjangnya 1,32 x 106 nm. Berikut ini sifat-sifat karbon nanofiber dan
nanotube dapat dilihat padat tabel 14.1

Tabel 14.1 Sifat-sifat karbon nanofiber dan karbon nanotube

Sifat-sifat SWNT CNT


Modulus gaya tarik 1000 600
(GPa)
Kekuatan gaya tarik 63 2.3-3.5
(GPa)
Kerapatan (gm/cm3) 0.8- 1.3 1.9-2.1
Diameter (nm) 1-2 100
Panjang (nm) 1.32× 106 1000

Secara ringkat berikut ini sifat-sifat lainnya dari karbon nanofiber


 Rata-rata rasio yang tinggi antara – panjang dan luas permukaannya.

186
 konduktif secara kelistrikan
 Konduktif secara termal

14.2.3 Sintesis Karbon Nanofiber (CNFs)


Karbon nanofiber dan nanotube telah mulai disintesis sejak tahun 1960.
Terdapat berbagai metode yang digunakan dalam membuat karbon nanofiber.
Berikut ini dijelaskan teknik-teknik yang biasa digunakan dalam pembuatannya
(synthesis).

14.2.3.1 Chemical Vapor Deposition (CVD)

Chemical vapor deposition (CVD) atau deposisi melalui penguapan secara


kimia adalah suatu proses kimia yang digunakan untuk memproduksi material
dengan kemurnian dan kemampuan yang tinggi. Proses ini sering digunakan dalam
industri semikonduktor untuk memproduksi lapisan tipis (thin film). Dalam suatu
proses CVD yang biasanya dilakukan, substrat (berupa lempeng yang akan dilapisi)
dikenai oleh suatu material yang akan melapisi, dimana bereaksi dan atau
terdekomposisi pada permukaan subsrat untuk menghasilkan deposit material yang
diinginkan. Seringkali, material pengotor lainnya juga dihasilkan dalam proses
tersebut, dimana kemudian dihilangkan oleh aliran gas yang mengalir dalam tabung
pembentukan CVD (chamber).

Secara sederhana, berikut ini gambaran sederhana bagaimana prinsip kerja


atau reaksi kimia yang dihasilkan untuk dekomposisi secara kimia :
AB → A + B

Dengan contoh yang lebih spesifik adalah proses elektrolisa air menghasilkan
gas hidrogen dan oksigen:
2 H2 O(I) → 2 H2 + O 2

Dari contoh tersebut dapat dilihat bahwa pada dasarnya proses yang mendasari
CVD adalah pemisahan berbagai elemen atau bahan kimia menjadi elemen terpisah
lainnya. Chemical vapor deposition (CVD) dihasilkan dari reaksi kimia gas-gas
prekursor pada suatu substrat yang dipanaskan untuk menghasilkan suatu deposit
(material) dengan kepadatan tinggi.

Aspek termodinamik dan kinetik mengendalikan proses pembentukan


prekursor dan dekomposisi. Pengendalian aspek termodinamika dan kinetika yakni
melalui temperatur, tekanan, dan konsentrasi yang menghasilkan dapat deposit yang
diinginkan.
Halida logam (gas) → logam (padat) + hasil sampingan (gas) Deposisi Logam
Halida logam (gas) + oksigen/karbon/nitrogen/boron(gas) → keramik(padat) +
hasil sampingan (gas) Deposisi Keramik
Gambar 14.6 dibawah ini merupakan skema proses reaksi CVD yang umum dikenal.

187
Gambar 14.6 Reaksi Proses CVD
(http://www.ultramet.com/chemical_vapor_deposition.html)

Keuntungan dengan proses CVD antara lain :


 dapat digunakan terhadap beragam jenis logam dan keramik
 dapat digunakan untuk coating (pelapisan) untuk bahan yang bebas bergerak
 memproduksi bentuk bahan kompleks yang murni- atau hampir murni
 proses ini memiliki kemampuan untuk melakukan pembersihan sendiri
(self-cleaning)-untuk bahan deposit yang memiliki kemurnian sangat tinggi
(kemurnian >99.995%)
 dapat menyesuaikan secara homogen dalam pembetukan permukaan substrat
 memiliki hampir secara teoritis kerapatan yang didepositkan
 memiliki ketebalan dan morfologi yang dapat dikontrol
 membentuk logam campuran
 melapisi bagian dalam dengan perbandingan yang tinggi antara panjang terhadap
diameter
 dapat secara sekaligus melapisi berbagai elemen-elemen yang banyak
 dapat melapisi serbuk

Karbon nanofiber dan nanotube merupakan filamen/serat-serat grafit dengan


diameter yang berkisar dari 0,4 hingga 500 nm dan panjangnya dalam rentang
beberapa mikrometer hingga milimeter. Karbon nanofiber dan nanotube
ditumbuhkan melalui proses difusi karbon (melalui dekomposisi katalitik dari
karbon yang mengandung gas atau karbon yang diuapkan dari pelepasan lingkaran
atau ablasi laser) melalui sebuah katalis logam dan presipitasi (hasil penguapan)
sebagai filamen gafit. Tiga jenis yang berbeda dari filamen nanofiber telah
diidentifikasi berdasarkansudut dari lapisan grafen (graphene) terhadap sudut
filamen, yang diantaranya bentuk tumpukan (stacked), bentuk cangkir (cup-
stacked), dan bentuk bulat panjang (nanotubular) seperti yang ditunjukkan pada
gambar 14.7.

188
Gambar 14.7 Bentuk Nanotube dan Nanofiber (Rodriguez, et al, 1993)

Dapat dilihat bahwa bentuk gafit tegak lurus terhadap sumbu fiber dalam
bentuk tumpukan (stacked), lempeng graphene berada pada sebuah sudut terhadap
sumbu fiber dalam bentuk cangkir (herringbone), dan dinding graphene bentuk
panjang bulat (tubular) paralel terhadap sumbu fiber dalam nanotube.

Bentuk nanofiber tumpukan dan cangkir (stacked and herringbone) cenderung


diteliti hanya untuk aplikasi penyimpanan energi seperti contohnya sebagai
elektroda-elektroda untuk baterai litium atau sel bahan bakar (fuel cells) karena
hanya ion-ion atau molekul yang kecil dapat masuk melalui permukaannya dan
turun antara lapisan graphene.

14.2.3.1.1 Mekanisme penumbuhan karbon nanotube dan karbon nanofiber

Secara umum, karbon nanotube dan karbon nanofiber ditumbuhkan dengan


metode CVD yang bersifat katalis yang memerlukan partikel nano katalis (biasanya
Fe, Co, atau Ni), sumber utama karbon (seperti hidrokarbon atau CO), dan kalor
(pemanasan). Diamater dari serat karbon nanofiber yang dihasilkan seringkali
berkaitan dengan dimensi fisis dari katalis-katalis logam tersebut. Kemampuan yang
khas dari proses transisi logam ini untuk membentuk karbon grafitik dipikirkan
berkaitan dengan sebuah kombinasi dari faktor-faktor yang termasuk aktivitas
katalisnya untuk proses dekomposisi dari campuran karbon volatil dan proses difusi
karbon sepanjang partikel logam.

Karena adanya proses dekomposisi eksotermal hidrokarbon, diyakini bahwa


kemiringan (gradient) temperatur yang ada berseberangan dengan partikel katalis.
Oleh karena kemampuan karbon untuk dilarutkan dalam suatu logam merupakan
kebergantungan temperatur yang diberikan, hasil kondensasi dari yang berlebihan
dari karbon akan terjadi pada daerah yang lebih dingin di bagian belakang partikel,
189
sehingga memungkinkan filamen padat (serat karbon nanofiber) untuk tumbuh
dengan diameter yang sama dengan luasnya partikel katalis.

Gambar 14.8 Penumbuhan karbon nanotube dan nanofiber melibatkan dekomposisi


katalitik dari bahan sumber karbon (hidrokarbon atau CO), difusi
karbon, dan hasil kondensasinya sebagai serat karbon nanofiber. Pada
gambar (a), karbon berdifusi melalui padatan katalis logam “M”
seperti yang diusulkan oleh model Baker. Pada gambar (b), karbon
berdifusi di seluruh permukaan katalis logam dan membentuk struktur
bulat (tubular) dari keliling lingkaran katalis yang diusulkan oleh
model Oberlin. Pada gambar (c), lapisan-lapisan grafen bersudut
diendapkan dari sebuah partikel katalis untuk membentuk suatu
nanofiber seperti yang diusulkan oleh Rodriguez dan Terrones
(H. Terrones, T. Hayashi, M. Munoz-Navia, M. Terrones, Y.A. Kim,
N. Grobert, R. Kamalakaran, J. Dorantes-Davilla, R. Escudero, M. S.
Dresselhaus, and M. Endo, 1991)

14.2.3.1.2 Penumbuhan Nanofiber

Mari kita fokus pembahasan kita pada katalis yang digunakan untuk
penumbuhan nanofiber dan mengapa nanofiber terbentuk. Kemampuan untuk
mengontrol dan membentuk struktur nanofiber (bentuk tumpukan atau herringbone)
telah diperlihatkan oleh Rodriguez. Konsep umum yang digunakan disini adalah
pembuatan sebuah partikel katalis sehingga dekomposisi bahan utama karbon
terbentuk pada permukaan yang ada, dimana pengendapan karbon (dalam bentuk
lapisan grafen) terbentuk pada permukaan yang lain seperti yang ditunjukkan pada
gambar 8c. Lapisan-lapisan grafit diendapkan paralel terhadap permukaan partikel
katalis, dan oleh karena itu sudut antara bidang dan sumbu serat (fiber) ditentukan
oleh bentuk dari partikel katalis, seperti yang diusulkan oleh Boellard. Di bawah
kondisi normal dari komposisi gas, temperatur, dan komposisi katalis, partikel
katalis mengalami penyusunan ulang permukaan untuk membentuk bentuk
geometris unik yang mengendalikan susunan dari nanofiber. Contohnya, struktur
herringbone didapatkan tumbuh dari partikel Fe-Cu (7:3) dalam sebuah campuran
gas C 2 H 4 -H2 (4:1) pada suhu 600°C, sedangkan struktur tumpukan (stacked)
terbentuk dari katalis berbasis Fe dalam sebuah campuran gas CO-H2 (4:1) pada
suhu 600°C. susunan struktur herringbone lebih duluan terbentuk ketika partikel

190
katalis adalah sebuah logam campuran (alloy), meskipun Pd juga telah digunakan
dibahwa kondisi penumbuhan normal untuk menghasilkan struktur yang mirip.
Nolan telah menyarankan bahwa hidrogen memainkan peran yang penting
dalam susunan nanofiber. Ini karena kehadiran hidrogen yang banyak dapat
menghilangkan sejumlah besar ikatan-ikatan pada sisi lempeng grafit bentuk
tumpukan, sedangkan tanpa pemutusan hidrogen, bentuk yang lebih stabil dari serat
karbon akan menutup kulit grafen bentuk bulat dimana tidak ada ikatan-ikatan kecil
(dangling bond). Pada plasma CVD, serat-serat karbon yang dibentuk lebih sering
nanofiber dibandingkan nanotube. Ini diduga oleh karena sejumlah besar atom
hidrogen dibentuk dalam fase gas karena dekomposisi plasma dari gas hidrokarbon
atau penggunaan hidrogen sebagai gas cair (dilution gas). Delzeit dkk, menunjukkan
bahwa dengan mengontrol jumlah relatif hidrogen dalam fase gas melalui
pemodifikasian parameter-parameter plasma, yang satu dapat mengubah struktur
dari nanotube menjadi nanofiber herringbone, dengan kandungan hidrogen yang
tinggi mendahulukan pembentukan sebelumnya.

14.2.3.1.3 Konfigurasi dan Pertimbangan Chemical Vapor Deposition (CVD)

Tanur horizontal merupakan konfigurasi paling populer untuk produksi karbon


nanofiber dan nanotube. Dalam bentuk yang paling sederhana, ini adalah sebuah
tabung kuarsa yang dipanaskan dimana substrat/katalis ditempatkan. Gas-gas
reaktan mengalir sepanjang substrat/katalis yang berada pada sebuah wadah (holder)
keramik yang dapat diubah-ubah posisinya di tengah tabung kuarsa. (lihat gambar
9). Tanur horizontal sangat berguna karena tidak ada (atau cukup kecil) gradien
temperatur pada daerah yang dipanaskan (heated zone). Dalam kebanyakan kasus,
panjang dari nanotube/nanofiber dapat dikontrol secara sederhana selama waktu
deposisi.

Pada saat sampel pertama dimasukkan ke dalam tabung (chamber), tabung


kuarsa pertama kali digelontor/diguyur dengan suatu “gas pembawa” (carrier gas).
Gas-gas pembawa yang sering digunakan adalah argon, hidrogen, dan nitrogen.
Argon merupakan gas yang paling sering digunakan karena kemampuannya dalam
menghilangkan udara, sehingga dengan mudah membentuk sebuah keadaan
atmosfer lembam (inert atmosphere) dalam tabung. Tanur kemudian dipanaskan
hingga keadaan temperatur penumbuhan dalam atmosfer lembam. Hidrogen sering
ditambahhkan pada aliran gas untuk mereduksi partikel katalis (contohnya oksida-
oksida) selama pemanasan. Bahkan bila tabung dikosongkan dengan sebuah pompa,
sangatlah penting untuk mempertahankan aliran maju dari gas-gas reduktor/gas inert
selama pemanasan karena memungkinkan sehingga nanotube yang tidak diinginkan
dapat tumbuh dari pemecahan yang bersifat katalis (contohnya, dari aliran dari
belakang). Pada saat temperatur penumbuhan telah tercapai, bahan baku karbon
dimunculkan. Seperti yang dibahas dalam bagian mekanisme penumbuhan,
pemilihan bahan baku karbon dan bahan tambahan (additive) berdasarkan pada
apakah nanofiber, multiwall nanotubes, atau nanotube berdinding tunggal yang
diinginkan. Reaksi seringkali berlangsung pada temperatur dibawah 1000°C untuk
mereduksi susunan deposit karbon yang tidak diinginkan seperti karbon amorf.
Karbon amorf terdepositkan dari dekomposisi termal (pyrolysis) dari gas-gas sumber
karbon, sedangkan karbon nanotube/nanofiber ditumbuhkan dari dekomposisi katalis
dari gas-gas sumber karbon.

191
Gambar 14.9 Jenis tabung (chamber) yang digunakan untuk CVD katalis
pembuatan nanofiber dan nanotube. pengaturan paling umum yang
digunakan adalah tanur horizontal (a). Untuk produksi dalam jumlah
banyak, tanur vertikal (b) dipergunakan. (c) reaktor berfluida dan (d)
sistem CVD yang ditambahkan basis plasma sepanjang tabung
vakum. (Kenneth B.K. Teo, Singh, C., Chhowalla, M, 2003)

14.2.3.2 Elektrospinning

Teknologi elektrospinning adalah salah satu bidang nanoteknologi yang


berkembang pesat dan elektrospinning digunakan untuk memproduksi serat nano
(nanofiber) dan partikel nano (nanoparticle) dari bahan organik, anorganik dan
komposit. Secara sederhana proses elektrospining dirancang dengan menggunakan
arus listrik tegangan tinggi dan kemudian larutan di-charging dengan tegangan
tinggi tersebut. Kemudian apabila daya dorong mekanik dan listrik mampu
mengalahkan gaya tegangan permukaan maka terbentuk polimer jet. Polimer jet ini
bergerak kearah kolektor. Dalam perjalan menuju kolektor terjadi pengurangan
diameter jet dan pada saat sampai pada kolektor polimer sudah hampir kering dan
diameter serat sudah dalam ukuran nano. Pada gambar 14.10 ditunjukkan salah satu
contoh proses elektrospinning skala laboratorium yang biasa digunakan.

192
Gambar 14.10 Proses elektrospinning skala laboratorium bertekanan konstan
(http://www.centropede.com/UKSB2006/ePoster/background.html)

Elektrospinning menggunakan suatu muatan listrik untuk membentuk serat


halus (biasanya dalam skala mikro dan nano) dari suatu cairan/larutan.
Elektrospinning memiliki karakteristik dengan adanya proses penyemprotan elektron
(electrospraying). Prosesnya tidak memerlukan penggunaan pengentalan/pembekuan
secara kimia (coagulation) atau temperatur yang tinggi utnuk menghasilkan serat
padat dari larutan. Hal ini lah yang membuat proses tersebut secara khusus sesuai
dengan pembuatan nanofiber menggunakan molekul yang banyak dan kompleks.

14.2.3.2.1 Prinsip Kerja Elektrospinning

Ketika sebuah tegangan yang cukup tinggi dikenakan pada suatu tetesan
cairan, cairan tersebut menjadi bermuatan, dan tolakan elektrostatik melawan
tegangan permukaan dan tetesan cairan tersebut terhambur, pada sebuah titik kritis
dari aliran cairan meletup dari permukaan. Titik dari letupan ini dikenal sebagai
kerucut Taylor (Taylor cone). Jika gaya tarik-menarik molekul dari cairan cukup
tinggi, aliran hamburan tidak terjadi dan suatu pancaran gas bermuatan terbentuk.
Berikut ini gambar 14.11 menunjukkan Suatu meniskus dari alkohol polivinyl dalam
larutan air.

Gambar 14.11 Suatu meniskus dari alkohol polivinyl dalam larutan air
menunjukkan sebuah serat dari sebuah kerucut Taylor.
(http://en.wikipedia.org/wiki/electrospinning.htm)

193
Dalam proses elektrospinning sebuah tegangan yang tinggi digunakan untuk
menghasilkan pancaran gas bermuatan secara listrik dari larutan polimer, dimana
membentuk suatu serat polimer. Satu elektroda ditempatkan ke dalam larutan yang
berputar dan yang satunya melekat pada kolektor. Medan listrik diarahkan ke ujung
sebuah tabung kapiler yang mengandung larutan polimer yang tertahan oleh
tegangan permukaannya. Ini menginduksi sebuah muatan pada permukaan cairan.

Gambar 14.12 Diagram penyusunan serat oleh elektrospinning


Sumber : The New Zealand Institute for Plant and Food Research Ltd

Tolakan timbal-balik ini menyebabkan sebuah gaya yang searah melawan


tegangan permukaannya. Karena intensitas dari medan listrik meningkat, permukaan
cairan berbentuk setengah bola berada pada ujung tabung kapiler diperpanjang untuk
membentuk sebuah bentuk kerucut yang dikenal sebagai kerucut Taylor.

Dengan adanya peningkatan medan listrik, suatu nilai kritis dicapai ketika
gaya tolakan elektrostatik mengatasi tegangan permukaan dan suatu pancaran gas
bermuatan disemburkan dari ujung kerucut Taylor. Pancaran larutan polimer yang
dilepaskan mengalami sebuah proses pancaran dimana pelarutnya berevaporasi,
meninggalkan sebuah serat polimer bermuatan, yang mana pembentukannya secara
acak pada suatu lapisan logam kolektor yang di-ground-kan. Dalam hal ini pencairan
pancaran larutan yang dilepaskan membentuk ketika pancaran tersebut melewati
udara dan mengumpul pada bagian lapisan logam yang diground-kan.

14.2.3.2.2 Skema Peralatan Elektrospinning

Larutan polimer dimuat dalam sebuah tabung gelas, yang biasanya menggunakan
sebuah pipa yang dihubungkan dengan alat semprot/alat penyuntikan (syringe).
Sebuah pompa pengukur dipasang pada karet penghisap alat semprot yang
menghasilkan sebuah tekanan konstan dan mengalirkan cairan sepanjang pipa. Gaya
pembawa (driving force) dihasilkan oleh suatu sumber tegangan tinggi sepanjang
suatu kawat yang dicelupkan pada cairan. Sumber tegangan tinggi dapat
menghasilkan hingga 30 kV, dan pengaturan tersebut dapat bekerja pada polaritas
positif maupun negatif. Dengan menambah aliran cairan dan besarnya medan listrik
dalam mengontrol rata-rata putaran.

194
Berikut ini sebuah contoh peralatan eksperimental dalam proses
elektrospinning ditunjukkan pada gambar 14.13.

Gambar 14.13 Skema peralatan elektrospinning


(http://en.wikipedia.org/wiki/electrospinning.htm)

Berikut ini tentang parameter-parameter yang disarankan dalam


mempengaruhi proses elektrospinning:
Parameter Sistem
• Berat molekul, distribusi berat molekul dan sifat dari polimer (bercabang, linier,
dan sebagainya).
• Sifat-sifat larutan (viskositas, konduktivitas dan tegangan permukaan)
Parameter Proses
• Potensial listrik, rata-rata aliran dan konsentrasi
• Jarak antara pipa kapiler dan lapisan kolektor.
• Parameter-parameter lain di sekitarnya (temperatur, kelembaban udara dan
kecepatan udara dalam tabung
• Gerakan dari layar target

Suatu karakteristik yang penting dari elektrospinning adalah kemampuannya


untuk membuat serat dengan diameter dalam orde nanometer hingga beberapa
mikron. Oleh karena itu, serat-serat ini memiliki luas permukaan yang besar per
satuan massa.

195
Gambar 14.14 Susunan dari sebuah struktur nanofiber yang diproses secara
elektrospinning. (G.M. Kim, G.H. Michler, P. Potschke, 2005)

14.2.4 Karakterisasi Nanofiber


Karakterisasi yang paling umum digunakan dalam mengkarakterisasi adalah
teknik SEM (Scanning Electron Microscopy). Perangkat peralatan SEM adalah
salah satu jenis mikroskop elektron yang menggunakan berkas elektron untuk
menggambarkan profil atau morfologi permukaan material.

Gambar 14.15 Bentuk peralatan karakterisasi SEM


(http://serc.carleton.edu/images/research_education/
geochemsheets/techniques/UWSEM.jpg)

Mikroskop elektron menggunakan sebuah sinar fokus elektron berenergi


tinggi untuk menghasilkan berbagai sinyal pada permukaan sampel padat. Sinyal
yang berasal dari interaksi elektron dan sampel memberikan informasi mengenai
permukaan morfologi (tekstur), komposisi kimia, dan struktur kristal dan orientasi
bahan yang membentuk sampel. Dalam sebagian besar aplikasi, data yang

196
dikumpulkan melalui area tertentu dari permukaan sampel, dan gambar 2-dimensi
yang dihasilkan menampilkan variasi spasial dalam material.

Pemindaian mulai kira-kira dari 1 cm sampai 5 mikron dengan lebar yang


dapat dicitrakan dalam modus pemindaian menggunakan teknik sederhana SEM
(perbesaran mulai dari 20X menjadi sekitar 30.000 X, resolusi ruang dari 50 sampai
100 nm). SEM juga mampu melakukan analisis lokasi titik yang dipilih pada sampel,
pendekatan ini sangat berguna dalam kualitatif atau semi-kuantitatif menentukan
komposisi kimia (menggunakan EDS), struktur kristal, dan orientasi kristal
(menggunakan EBSD). Desain dan fungsi dari SEM sangat mirip dengan EPMA,
dan tumpang tindih (overlap) yang cukup besar dalam kemampuan yang ada antara
dua instrumen. Pada gambar 14.16 ditunjukkan prinsip kerja peralatan scanning
electron microscopy (SEM).

Gambar 14.16 Prinsip kerja scanning electron microscopy


(http://www.purdue.edu/rem/rs/sem.htm)

Elektron yang dipercepat dalam perangkat peralatan SEM membawa


sejumlah besar energi kinetik, dan energi ini hilang sebagai beberapa sinyal yang
dihasilkan oleh interaksi antara elektron dan sampel ketika berkas elektron
mengenai permukaan sampel padat. Sinyal-sinyal ini termasuk elektron
sekunder (yang menghasilkan
gambar SEM), elektron backscattered (BSE), difraksi elektron backscattered (EBSD
yang digunakan untuk menentukan struktur kristal
dan orientasi dari mineral), foton (karakteristik sinar-X yang digunakan untuk
analisis unsur dan kontinum sinar-X), cahaya tampak (pemendaran sinar katoda -
CL), dan kalor. Elektron sekunder dan elektron backscattered biasanya digunakan
untuk sampel pencitraan: elektron sekunder yang paling berharga

197
untuk menunjukkan morfologi dan topografi pada sampel dan
elektron backscattered yang paling penting untuk menggambarkan ketelitian dalam
komposisi dalam sampel multiphase (yaitu untuk diskriminasi fase cepat). Sinar-
X yang dihasilkan oleh tabrakan tak elastik dari elektron datang dengan elektron
dalam orbital diskrit (model kulit) atom dalam sampel. Sebagai elektron yang
dibangkitkan untuk menurunkan keadaan energi, ini menghasilkan sinar-
X yang dari panjang gelombang tetap (yang terkait dengan perbedaan tingkat
energi elektron dalam kulit yang berbeda untuk unsur tertentu). Dengan
demikian, karakteristik sinar-X yang diproduksi untuk setiap elemen dalam mineral
oleh berkas elektron. Analisis SEM analisis dianggap sebagai analisis "non-
destruktif", yaitu, sinar-x yang dihasilkan
oleh interaksi elektron tidak mengakibatkan
hilangnya volume sampel, sehingga memungkinkan untuk menganalisis bahan yang
sama berulang-ulang.

Gambar 14.17 Gambaran skematik elektron dalam Peralatan SEM


http://serc.carleton.edu/images/research_education/geochemsheets/techniques/SE
M_schematic.JPG.jpg)

Komponen penting pada set peralatan SEM, diantaranya:


 Penembak elektron (electron gun)
 Lensa elektron
 Pemegang sampel
 Detektor sinyal
 Layar tampilan / perangkat data keluaran (komputer)
 Peralatan lain yang dipersyaratkan:
 Sumber tegangan (Power Supply)
 Sistem vakum
 Sistem pendingin
 Alas bebas getaran (Vibration-free floor)
 Ruang bebas sekitar bebas medan magnetik dan medan listrik.

198
SEM selalunya memiliki paling tidak satu detektor (biasanya sebuah detektor
elektron sekunder), dan kebanyakan memiliki detektor-detektor tambahan.
Kemampuan spesifik dari suatu instrumen tertentu secara kritis bergantung pada
detektor-detektor yang dimilikinya. Contoh pengambilan gambar dengan
menggunakan SEM dapat dilihat pada gambar 14.18.

Gambar 14.18 Foto SEM (Rutledge, et al., 2006)

14.3 Sel Bahan Bakar (Fuel Cell)


Sel bahan bakar (fuel cell) adalah sebuah alat elektrokimia yang mirip
dengan baterai, tetapi berbeda karena ini dirancang untuk dapat diisi terus
reaktannya yang terkonsumsi; dimana alat ini memproduksi listrik dari penyediaan
bahan bakar hidrogen dan oksigen dari luar. Hal ini berbeda dengan energi internal
dari baterai. Sebagai tambahan, elektroda dalam baterai bereaksi dan berganti pada
saat baterai diisi atau dibuang energinya, sedangkan elektrode sel bahan bakar
bersifat katalitik dan relatif stabil. Salah satu contoh fuel cell seperti ditunjukkan
pada gambar 14.19.

Gambar 14.19 Salah satu jenis fuel cell (http://www.fuelcellstore.com)

Konsumsi dunia terhadap energi listrik kian meningkat seiring pesatnya


teknologi elektronika. Alternatif yang menarik datang dari fuel cell, yang diharapkan

199
dapat menghasilkan energi listrik dengan efisiensi tinggi dan gangguan lingkungan
yang minimal.

Fuel cell menggunakan reaksi kimia, lebih baik daripada mesin pembakaran,
untuk memproduksi energi listrik Istilah fuel cell sering dikhususkan untuk
hidrogen-oksigen fuel cell. Prosesnya merupakan kebalikan dari elektrolisis. Pada
elektrolisis, arus listrik digunakan untuk menguraikan air menjadi hidogen dan
oksigen. Dengan membalik proses ini, hidrogen dan oksigen direaksikan dalam fuel
cell untuk memproduksi air dan arus listrik.

Konversi energi fuel cell biasanya lebih effisien daripada jenis pengubah
energi lainnya. Efiensi konversi energi dapat dicapai hingga 60-80%. Keuntungan
lain fuel cell adalah mampu menyuplai energi listrik dalam waktu yang cukup lama.
Tidak seperti baterai yang hanya mampu mengandung material bahan bakar yang
terbatas, fuel cell dapat secara kontinu diisi bahan bakar (hidrogen) dan oksigen dari
sumber luar. Fuel cell merupakan sumber energi ramah lingkungan karena tidak
menimbulkan polutan dan sungguh-sungguh dapat digunakan terus-menerus jika ada
suplai hidogen yang berasal dari sumber daya alam yang dapat diperbarui.
Keuntungan fuel cell yaitu, efisiensi tinggi dapat mencapai 80%, tidak bising dan gas
buang yang bersih bagi lingkungan. Kendala yang masih membatasi penggunaan
fuel cell adalah :
a) Apabila digunakan bahan bakar hidrogen, maka dibutuhkan tanki pengaman
yang berdinding tebal dan memiliki katup pengaman. Selain itu diperlukan
kompresor untuk memasukan ke dalam tanki.
b) Apabila yang dibawa adalah hidrogen cair, maka akan timbul kesulitan karena
harus dipertahankan pada temperatur -253,15oC pada tekanan 105Pa.
c) Apabila digunakan metanol sebagai pengganti hidrogen, maka dibutuhkan
reformer. Tetapi efisiensi menjadi menurun.
d) Temperatur yang cukup tinggi saat pengoperasian antara 60o-120oC

Teknologi baru menggunakan prinsip mirip fuel cell untuk menghasilkan


energi listrik menggunakan sumber alami, yaitu biofuel cell. Biofuel cell adalah alat
untuk mengkonversi energi kimia menjadi energi listrik dengan bantuan biokatalis
dari enzim atau mikroorganisme. Berikut ini sedikit ulasan mengenai beberapa jenis
sel bahan bakar.

Fuel cell adalah alat yang mampu menghasilkan listrik arus searah. Alat ini
terdiri dari dua buah elektroda, yaitu anoda dan katoda yang dipisahkan oleh sebuah
membran polimer yang berfungsi sebagai elektrolit. Membran ini sangat tipis,
ketebalannya hanya beberapa mikrometer saja. Hidrogen dialirkan ke dalam fuel cell
yaitu ke bagian anoda, sedang oksigen atau udara dialirkan ke bagian katoda, dengan
adanya membran, maka gas hidrogen tidak akan bercampur dengan oksigen.
Membran dilapisi oleh platina tipis yang berfungsi sebagai katalisator yang mampu
memecah atom hidrogen menjadi elektron dan proton. Proton mengalir melalui
membran, sedang elektron tidak dapat menembus membran, sehingga elektron akan
menumpuk pada anoda, sedang pada katoda terjadi penumpukan ion bermuatan
positif. Apabila anoda dan katoda dihubungkan dengan sebuah penghantar listrik,

200
maka akan terjadi pengaliran elektron dari anoda ke katoda, sehingga terdapat arus
listrik. Elektron yang mengalir ke katoda akan bereaksi dengan proton dan oksigen
pada sisi katoda dan membentuk air.

Reaksi kimia yang terjadi pada fuel cell


Anoda : 2H2 4H+ + 4e-
Katoda : 4e- + 4H+ + O 2 2H2 O
Jenis fuel cell ditentukan oleh material yang digunakan sebagai elektrolit
yang mampu menghantar proton. Pada saat ini ada 6 jenis fuel cell yaitu:
o Alkaline (AFC)
o Proton exchange membrane, juga disebut Proton Electrolyt Membrane(PEM)
o Phosphoric Acid(PAFC)
o Molten carbonate(MCFC)
o Solid oxide(SOFC)
o Direct methanol fuel cells (DMFC)
o Regenerative fuel cells

14.4 Sel Bahan Bakar Hidrogen (Hydrogen


Fuel Cell)
Salah satu jenis sel bahan yang ada dan memiliki kemampuan yang cukup
baik dalam menghasilkan sumber listrik adalah sel bahan bakar hidrogen. Sel bahan
bakar ini menggunakan gas hidrogen sebagai bahan bakarnya dan langsung
mengkonversinya menjadi listrik. Pada gambar 14.20 ditunjukkan salah satu contoh
sel bahan bakar hidrogen.

Gambar 14.20 Salah satu contoh sel bahan bakar hidrogen


(http://www.fuelcellstore.com)

Komponen-komponen yang ada dari Fuel Cell, sebagai berikut:


 Fuel Bahan Bakar
Gas-gas (H2, CH4) atau bentuk cair (Metanol, H 2 O, udara)
 Elektroda
Berupa Platina dilapisi karbon, Platina dilapisi karbon nanofiber
 Larutan elektrolit

201
KOH, asam fosfor, cairan karbonat (Li 2 CO 3 / Na 2 CO 3 ) dan itrium terstabililasi
oleh zirkondioksida (YSZ)

Gambar 14.21. Bentuk karbon nanofiber yang digunakan pada lapisan


elektroda fuel cell
(http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0013468611017695

Salah satu alternatif pilihan bahan bakar yang paling menjanjikan untuk masa
depan dan untuk penggunaan kendaraan komersional adalah sel bahan bakar (fuel
cell) untuk pasokan listrik. Sebuah sel bahan bakar hidrogen (yang paling umum)
terdiri dari sistem dengan dua bagian utama,
1) Gas hidrogen, sebagai sumber bahan bakar
2) Sebuah sel bahan bakar, yang mengkombinasi gas hidrogen dengan oksigen
(biasanya dari lingkungan/atmosfer) untuk menghasilkan listrik dan air.

Hidrogen (H2 ) adalah salah satu bahan yang paling banyak tersedia di alam.
Air (H2 O) tersusun oleh 2 unsur hidrogen dan 1 unsur oksigen. Hidrogen dapat
diperoleh dengan mengelektrolisis air, dengan membakar gas alam, dan banyak dari
sumber-sumber lain.

Sel bahan bakar, bagaimanapun juga, merupaka tetap teknologi yang


perkembangannya sangat pesat dan belum menjadi aspek utama dalam berbagai
aplikasi teknologi. Pertimbangannya adalah teknologi sel bahan bakar masih mahal
untuk dihasilkan, namun memiliki berbagai keunggulan yang sangat besar dalam
berbagai pemanfaatannya. Hal ini yang membuat banyak perusahaan-perusahaan
teknologi terus meneliti dan mengembangkan teknologi ini untuk bahan bakar masa
depan.

Sel bahan bakar biasanya terbuat dari sebuah sistem pertukaran proton
(proton exchange), atau berupa katalis, yang memisahkan elektron dari bahan bakar
(dalam hal ini adalah hidrogen) untuk menghasilkan aliran elektron yang
menghasilkan tenaga listrik. Secara sederhana sebuah sel bahan bakar memiliki
prinsip kerja berikut ini:

202
Gambar 14.22 Cara kerja membran pertukaran proton dalam
Sel Bahan Bakar Hidrogen (en.wikipedia.org)

Sel pertukaran proton (seperti yang ditunjukkan pada gambar 14.22) adalah
jenis yang sifatnya umum yang paling umum dari sel bahan digunakan untuk
aplikasi otomotif, akan tetapi masih banyak jenis yang lainnya. Secara fakta,
hidrogen bukanlah satu-satunya yang digunakan dalam sel bahan bakar, hidrogen
hanyalah salah satu contoh yang umum. Gas metan, zink dan bahkan bahan bakar
karbon (minyak bumi)

Dengan meningkatkan kemampuan sel bahan bakar hidrogen maka dapat


dihasilkan energi listrik yang cukup tinggi yang dapat diaplikasikan untuk teknologi
masa depan.

14.5 Aplikasi Fuel Cell


Meningkatnya penguasaan ruang, waktu, dan materi menuntut semakin
besarnya sumber energi yang diperlukan. Misalkan alat transportasi seperti mobil
atau bus, alat komunikasi seperti laptop, handphone dan televisi, peralatan rumah
tangga, sampai eskalator atau lift di gedung bertingkat. Semua benda tadi
memerlukan energi. Tanpa pasokan energi, segala jenis teknologi tersebut tidak akan
berfungsi.

Teknologi konvensional menggunakan minyak bumi sebagai sumber energi


dipandang kurang efisien serta menimbulkan polusi udara. Pembakaran minyak
bumi menghasilkan karbon monoksida (CO) dan karbondioksida (CO 2 ) yang

203
berbahaya. Sebagai solusi, baru-baru ini telah dikembangkan teknologi fuel cell yang
terus mengalami riset dan pengembangan di beberapa negara maju. Teknologi fuel
cell ini dipandang lebih efisien, tidak menimbulkan polusi seperti halnya
pembangkit energi tenaga minyak bumi. Beberapa contoh aplikasi yang
menggunakan teknologi hydogen fuel cell ditunjukkan pada gambar 14.23.

Gambar 14.23 Berbagai aplikasi yang memanfaatkan Hidrogen Fuel Cell


(http://www.oe.ttu.edu.tw/seminar/fuelcelandnanotechnology/OpenslidesforTatung
Univ.pdf)

Beberapa negara maju seperti Jepang, Amerika Serikat, Jerman, Inggris, dan
Prancis sudah mulai menerapkan teknologi fuel cell pada pembangkit energi di
gedung-gedung bertingkat dan rumah tangga, bus, mobil, atau alat-alat elektronik
seperti PDA dan handphone dalam bentuk prototipe. Bahkan, beberapa pihak sudah
mengomersialkan teknologi ini seperti yang dilakukan pabrikan Toyota dan
Mercedes benz.
Dana yang dibutuhkan dalam mengembangkan dan mewujudkan teknologi
energi yang ramah lingkungan membutuhkan investasi yang sangat besar. Baru-baru
ini pemerintah Cina bekerja sama dengan UNDP (United Nations Development
Program) dan GEF (Global Environment Fund) memesan enam unit bus tenaga fuel
cell sebagai bentuk kepedulian pemerintah Cina dalam meminimalkan polusi udara.
Total investasi yang dikeluarkan sekira 33 juta dolar AS. Bus ini akan mengalami uji
coba, layaknya di negara-negara maju yang telah mencoba prototipe bus fuel cell
selama lima tahun.

Dimasa mendatang teknologi hydrogen fuel cell diharapkan dapat digunakan


sebagai alternatif sumber energi yang dapat menggantikan bahan bakar fosil.
Teknologi ini juga dapat mengurangi tingkat pencemaran lingkungan ke atmosfer
Bumi yang dapat berimplikasi pada efek pemanasan global.

204
DAFTAR PUSTAKA
Clarke, A. R., 2002. Microscopy techniques for materials science. CRC Press (electronic
resource)

Delzeit, L., McAninch, I., Cruden, B.A., Hash, D., Chen B., Han J., and Meyyappan, M., J.
App. Phys. 91, 6027 (2002)

Eder, A., Hammel, E., Schmitt, T., Tang, X., Trampert, M., Mauthner, K., Carbon nanofiber
composites a commercial nano-application, Symposium on Chemical Safety and
Nanomaterials, Electrovac AG, Aufeldgasse 37-39, A-3400 Klosterneuburg

Egerton, R. F., 2005. Physical principles of electron microscopy : an introduction to TEM,


SEM, and AEM. New York: Springer.

Goldstein, J., 2003. Scanning electron microscopy and x-ray microanalysis. Kluwer
Adacemic/Plenum Pulbishers.

Gupta, B.K., dan Srivastava, O.N., 2001. “Further studies on microstructural


characterization and hydrogenation behavior of graphitic nanostructures,”
International Journal of Hydrogen Energy, 26, 857-862.

G.M. Kim, G.H. Michler, P. Potschke, Polymer, 46, 7346 (2005). Copyright (2005) Elsevier.

Hakimelahi, H., 2011. Development and Characterization of Functional Nanofiber Network


(FNN) Materials, The University of Toledo, United States.

Jeremy Ramsden, 2009. Essential of Nanotechnology, Jeremy Ramsden and Ventus


Publishing ApS, United States.

Jianbo, Xu, 2010. Synthesis and Characterization of Carbon Supported Nano-catalysts for
Direct Oxidation Fuel Cells. A Dissertation Submitted to The Hong Kong
University of Science and Technology in Partial Fulfillment of the Requirement for
the Degree of Doctor of Philosophy in the Department of Mechanical Engineering,
Hongkong.

Kenneth B.K. Teo, Singh, C., Chhowalla, M., 2003. Catalytic Synthesis Carbon Nanotube
and Nanofiber. Volume X, Encyclopedia of Nanoscience and Nanoscience.

Nolan, P. E., Lynch, D.C., and Cutler, A.H. J. Physics Chemistry. B 102, 4165 (1998)

Oberlin, A. Endo, M., and Koyama, T., J. Crystal Growth. 32, 335. 1976 R.T.K. Baker.
Carbon. 27, 315 (1989)

Reimer, L., 1998. Scanning Electron Microscopy : physics of image formation and
microanalysis. New York: Springer, 527 p.

205
Rodriguez, et al., 1993. A review of catalytically grown carbon nanofibers, in Journal of
Materials Research, Vol. 8, Iss. 12, pp. 3233-3250.

Rutledge, et al., 2006. Self assembly and correlated properties of electrospun carbon
nanofibers, Diamond & Related Materials Journal, Elsevier 15 (2006) 1070–1074

Terrones H., Hayashi, T., Munoz-Navia, M., Terrones, M., Kim, Y.A., Grobert, N.,
Kamalakaran, R., Dorantes-Davilla, J., Escudero, R., Dresselhaus, M. S., and Endo
M., Chemical Physics Letter, 343, 241 (2001)

Tracz, E., Scholz, R., and Borowiecki, T., Applied Catalist. 66, 133 (1990)

Xu, J.B., Zhao, T.S., Liang, Z.X., Zhu, L.D., “Facile Preparation of AuPt Alloy
Nanoparticles from Organometallic Complex Precursor” Chemistry of Materials 20,
1688-1690 (2008)

http://www.che.vt.edu/Wilkes/electrospinning/electrspinning.html, diakses tanggal 28/11/12


http://en.wikipedia.org/wiki/Electrospinning.html, diakses tanggal 28/11/12.
http://mahasiswanegarawan.wordpress.com/2007/08/18/sel-bahan-bakar-fuel-cell-sebuah-
energi-alternatif-berkelanjutan-dan-ramah-lingkungan/, diakses tanggal 28/11/12.
http://greenbigtruck.com/, diakses tanggal 28/11/12
http://www.ultramet.com/chemical_vapor_deposition.html), diakses tanggal 28/11/12.
http://www.fuelcelltoday.com/FuelCellToday/EducationCentre/Edu
cationCentreExternal/EduCentreDisplay/0,1741,History,00.html diakses tanggal
28/11/12

206
Bab 15
Nanoteknologi pada Pertanian
Oleh : Khairiah

15.1. Apa itu nano


Teknologi canggih yang mulai populer di beberapa tahun terakhir ini benar-benar
merupakan teknologi si mungil. Mungil karena melibatkan rekayasa partikel-partikel
berukuran super kecil. Istilah nano berasal dari kata Nanos (Bahasa Yunani) yang berarti
10-9 (satu per satu milyar). 1 nanometer (nm) sama dengan 10-9 meter. (Arumaarifu,
2010). Nano merupakan teknologi yang melibatkan atom dan molekul dengan ukuran
lebih kecil dari 1000 nanometer. Itu berarti ukurannya bisa mencapai 100.000 kali lebih
kecil dari diameter sehelai rambut manusia. Super kecil, super mungil, Tetapi ini bukan
berarti manfaatnya juga mungil, Si mungil ini justru memiliki potensi sangat besar dalam
memberikan jawaban dan penyelesaian berbagai masalah kompleks di dunia. Mulai dari
dunia kesehatan, masalah pangan, masalah lingkungan, masalah ekonomi, dunia
komunikasi, industri, elektronika, manufaktur, informatika, transportasi, dan banyak lagi.
Teknologi ini bisa mempengaruhi semua aspek kehidupan manusia. Seperti ungkapan
Kecil-kecil Cabe Rawit, sesuatu yang berukuran mikro justru dapat memberi dampak
makro. Kenapa bisa begitu? Karena semua benda yang kita gunakan dalam kehidupan
sehari-hari tersusun dari atom-atom berukuran nano. Bahkan makhluk hidup, termasuk
manusia, juga tersusun dari atom.
Karakteristik dari semua benda sangat bergantung pada susunan atom-atomnya.
Atom-atom yang terdapat dalam batubara sama persis dengan atom-atom sejenis yang
terdapat dalam berlian (diamond) yang indah, yang berbeda adalah susunan strukturnya
saja. Atom-atom dalam partikel pasir sangat mirip dengan atom-atom dalam chip
komputer yang canggih. Bahkan atom-atom penyusun air, udara, dan partikel debu
sebenarnya sama dengan atom-atom dalam sebuah kentang! Sedikit saja susunan struktur
atomnya diubah, karakteristik suatu benda bisa berubah drastis. Inilah konsep utama
dalam nanoteknologi. Suatu saat nanti, batubara dan grafit dapat kita susun ulang atom-
atomnya sehingga menjadi berlian yang berkilau indah! (Arumaarifu, 2010)

207
Gambar 15.1 Atom atom berlian (Arumaarifu, 2010)

15.2. Nano di Alam


Nano juga terdapat dialam seperti halnya, laba-laba menggunakan struktur dengan
ukuran nano. Dibawah rambutnya yang tebal, pada kaki laba-laba, adalah serat dengan
ukuran nano. Setiap seratnya tertutup banyak rambut. Ketika rambut-rambut ini
menempel pada sebuah permukaan, dapat menahan 170 kali berat badannya. Lain halnya
dengan burung toucan, pada bagian luar paruh burung toucan tertutup oleh keratin
berukuran nano. Pada bagian dalam paruhnya tersusun atas busa padat yang berbentuk
dari serat tulang berukuran nano.

Begitu juga pada kunang-kunang dan kupu, cahaya yang dihasilkan oleh kunang-

(a) (b)

(a) (b)

Gambar 15.2 (a) laba-laba (b) burung toucan (Arumaarifu, 2010)

208
Begitu juga kunang-kunang, cahaya yang dihasilkan oleh kunang-kunang juga
termasuk nanosains. Peristiwa ini disebut bioluminisens. Cahaya yang dihasilkan
disebabkan oleh adanya electron yang dihasilkan oleh enzim dari kunang-kunang. Ketika
electron menuju stabil mereka menghasilkan cahaya. Pada gambar (d) warna dari sayap
kupu-kupu dihasilkan dari hamburan cahaya. Pada sayap kupu-kupu disusun oleh
material berstruktur nano. Cahaya sayapnya, sehingga tercipta interferensi, cahaya
(seperti minyak di dalam air). Karenanya dihasilkan pelangi ketika cahaya mengenai
sayap kupu-kupu

(a) (b)

Gambar 15.3. (a) kupu-kupu (b) kunang-kunang (Arumaarifu, 2010)

15.3. Nanosains dan nanoteknologi


Nanoteknologi adalah istilah untuk rentang teknologi, teknik dan proses yang
menyangkut manipulasi, menyusun dan mengkontrol materi pada tingkat molekul
(kelompok atom), sistem-sistem yang memiliki sedikitnya satu dimensi fisik dalam
rentang 1-100 nanometer. Nanoteknologi merupakan revolusi teknologi baru dan kunci
kendali ekonomi selama abad ke 21. memberikan manfaat sosial yang signifikan
termasuk diagnosa medis, sumber energi yang lebih efisien, bahan murah, produk
elektronika dan air bersih.
Standardisasi nanoteknologi meliputi barang dan proses berskala nano serta
penggunaan sifat-sifat material berskala nano. Standardisasi internasional akan berperan
penting dalam menjamin bahwa nanoteknologi yang sangat potensial terealisasi dan
terintergrasi dengan aman. Peran standar akan membantu menciptakan transisi yang
lancar dari hasil-hasil penelitian di laboratorium hingga produk yang beredar di pasar.
Negara-negara maju sedang berpacu untuk menguasai nanoteknologi, terutama Amerika
yang telah melakukan investasi yang sangat tinggi dalam penelitian nanoteknologi.
Sementara negara–negara di kawasan Asia tidak ketinggalan, terutama Jepang, Korea,

209
China, bahkan Malaysia. Organisasi internasional seperti ISO, IEC dan ASTM telah
merumuskan beberapa standar nanoteknologi.
Produk berskala nano sudah mulai membanjiri pasar dunia termasuk Indonesia.
Oleh karena itu Indonesia perlu segera mengantisipasi perkembangan nanoteknologi yang
berkembang sangat pesat. Untuk itu perlu dilakukan kajian untuk menentukan standar apa
yang harus segera dibuat menjadi SNI agar produk-produk impor yang masuk Indonesia
terjamin mengikuti standar. Begitu pula bagi industri dalam negeri dapat memanfaatkan
SNI untuk memproduksi produk-produk berskala nano yang mampu bersaing secara
internasional. (Hans, E.S., 2009)
Nanosains adalah ilmu yang mempelajari tentang sifat-sifat bahan/ objek dan
fenomena alam yang terjadi dalam ukuran di bawah 100 nanometer. Keuntungan riset di
bidang nanomaterial adalah sebagai berikut
1. Mendesain material sesuai keinginan dan kebutuhan
2. Tidak terjadi pemborosan material yang tidak perlu
3. Efisien dan optimal dalam pemanfaatan material
4. Sifat-sifat dan performance material dapat ditingkatkan semaksimal mungkin

15.4. Masalah pertanian di Indonesia


Akhir- akhir ini banyak kita lihat sawah- sawah yang kering dan hanya dibiarkan
begitu saja. hal itu sudah sangat menunjukkan kualitas pertanian di negara ini semakin
menurun. jika hal tersebut dibiarkan tidak menutup kemungkinan pertanian
diIndonesia ini akan semakin mengalami kemunduran. melihat kualitas pertanian
di Indonesia yang seperti ini, memang sangat dibutuhkan teknologi yang dapat membantu
dan mempermudah pertanian. Teknologi itu nantinya diharapkan mampu menjadikan
pertanian di Negara ini kembali pada kualitas yang baik dan dapat mengembangkan
sumber daya manusia. Pertanian di Indonesia sedang berada di persimpangan jalan.
Sebagai penunjang kehidupan berjuta-juta masyarakat Indonesia, sektor pertanian
memerlukan pertumbuhan ekonomi yang kukuh dan pesat. (Herlan, B.2011)

Sektor ini juga perlu menjadi salah satu komponen utama dalam program dan
strategi pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan. Di masa lampau, pertanian
Indonesia telah mencapai hasil yang baik dan memberikan kontribusi penting dalam
pertumbuhan ekonomi Indonesia, termasuk menciptakan lapangan pekerjaan dan
pengurangan kemiskinan secara drastis. Hal ini dicapai dengan memusatkan perhatian
pada bahan-bahan pokok seperti beras, jagung, gula, dan kacang kedelai. Akan tetapi,
dengan adanya penurunan tajam dalam hasil produktifitas panen dari hampir seluruh jenis
bahan pokok, ditambah mayoritas petani yang bekerja di sawah kurang dari setengah
hektar, aktifitas pertanian kehilangan potensi untuk menciptakan tambahan lapangan
pekerjaan dan peningkatan penghasilan. Walapun telah ada pergeseran menuju bentuk
pertanian dengan nilai tambah yang tinggi, pengaruh diversifikasi tetap terbatas hanya
pada daerah dan komoditas tertentu di dalam setiap sub-sektor. Pengalaman negara
tetangga menekankan pentingnya dukungan dalam proses pergeseran tersebut. Sebagai
contoh, di pertengahan tahun 1980-an sewaktu Indonesia mencapai swasembada beras,
41% dari semua lahan pertanian ditanami padi, sementara saat ini hanya 38%; suatu
perubahan yang tidak terlalu besar dalam periode 15 tahun. (Fenin, A. 2008)

210
Badan Litbang pertanian telah melakukan beberapa penelitian dan dapat
disimpulkan bahwa teknologi nano sangat dipercaya untuk mendapatkan hasil pertanian
yang memuaskan. Teknologi Nano awalnya hanya digunakan pada kosmetika, tetapi
karena penelitian yang dilakukan oleh badan Litbang pertanian, teknologi ini juga dapat
digunakan dalam bidang pertanian. Teknologi Nano dapat mengembangkan unsur hara
dalam tanah yang berukuran nano dan dapat juga digunakan untuk
pengendalian hama dan penykit tanaman. Teknologi yang bekerja pada dimensi 10
pangkat minus 9 ini dapat mengembangkan pertanian masa depan. Dan kenyataannya
memang pada zaman sekarang ini diperlukan adanya teknologi yang mampu
mengembangkan mutu pertanian di Indonesia agar mendapatkan hasil pertanian yang
baik dan memuaskan. karena sumber kehidupan manusia juga bergantung pada kualitas
pertanian. (Fenin, A. 2008)

Gambar 15.4 Masalah-masalah pertanian (Herlan, B.2011)

15.4.1.Pupuk
Fungsi pupuk adalah sebagai salah satu sumber zat hara buatan yang diperlukan
untuk mengatasi kekurangan nutrisi terutama unsur-unsur nitrogen , fosfor, dan kalium.
Sedangkan unsur sulfur, kalsium, magnesium, besi, tembaga, seng, dan boron merupakan
unsure-unsur yang dibutuhkan dalam jumlah sedikit (mikronutrien). Berdasarkan asal
atau kejadiannya, pupuk dapat digolongkan sebagai berikut :

211
Diagram 15.1 Klasifikasi pupuk (Sediyarso, M ,(1998)

a. Pupuk Organik
Pupuk organik adalah semua sisa bahan tanaman, pupuk hijau, dan kotoran hewan
yang mempunyai kandungan unsure hara rendah. Pupuk organic tersedia setelah zat
tersebut mengalami proses pembusukan oleh mikro organisme. Selain pupuk anorganik,
pupuk organic juga harus dberikan pada tanaman. Macam-macam pupuk organic adalah
sebagi berikut: (Rochman, N.2007)
1. Kompos
Pupuk kompos adalah pupuk yang dibuat dengan cara membusukkan sisa-sisa
tanaman. Pupuk jenis ini berfungsi sebagai pemberi unsure-unsur hara yang
berguna untuk perbaikan struktur tanah.
2. Pupuk Hijau
Pupuk hijau adalah bagian tumbuhan hijau yang mati dan tertimbun dalam tanah.
Pupuk organic jenis ini mempunyai perimbangan C/N rendah, sehingga dapat terurai
dan cepat tersedia bagi tanaman. Pupuk hijau sebagai sumber nitrogen cukup baik di
daerah tropis, yaitu sebagai pupuk organic sebagi penambah unsure mikro dan
perbaikan struktur tanah.
3. Pupuk kandang
Pupuk kandang adalah pupuk yang berasal dari kotoran hewan. Kandungan hara
dalam puouk kandang rata-rata sekitar 55% N, 25% P 2 O 5 , dan 5% K2 O (tergantung
dari jenis hewan dan bahan makanannya). Makin lama pupuk kandang mengalamai
proses pembusukan, makin rendah perimbangan C/N-nya. (Rochman, N.2007)
b. Pupuk Anorganik
Pupuk anorganik atau pupuk buatan (dari senyawa anorganik) adlah puuk yang
sengaja dibuat oleh manusia dalam pabrik dan mengandung unsure hara tertentu dalam

212
kadar tinggi. Pupuk anorganik digunakan untuk mengatasi kekurangan mineral murni dari
alam yang diperlukan tumbuhan untuk hidup secara wajar. Puuk anorganik dapat
menghasilkan bulir hijau dan yang dibutuhkan dalam proses fotosintesis. (Mohlis, J.,
2006). Berdasarkan kandungan unsure-unsurnya, pupuk anorganik digolongkan sebagai
berikut :
1. Pupuk Tunggal
Pupuk tunggal yaitu pupuk yang mengandung hanya satu jenis unsure hara
sebagai penambah kesuburan. Contoh pupuk tunggal yaitu pupuk N, P, dan K.
a. Pupuk Nitrogen
Fungsi nitrogen (N) bagi tumbuhan adalah:
- Mempercepat pertumbuhan tanaman, menambah tinggi tanaman, dan
merangsang pertunasan.
- Memperbaiki kualitas, terutama kandungan proteinnya.
- Menyediakan bahan makanan bagi mikroba (jasad renik)
Nitrogen diserap dalam tanah berbentuk ion nitrat atau ammonium. Kemudian,
didalam tumbuhan bereaksi dengan karbon membentuk asam amino, selanjutnya berubah
menjadi protein. Nitrogen termasuk unsure yang paling banyak dibutuhkan oleh tanaman
karena 16-18% protein terdiri dari nitrogen. Pupuk yang paling banyak mengandung
unsure nitrogen adalah pupuk urea. (Mohlis, J., 2006)
Macam-macam pupuk nitrogen seperti pupuk urea(CO(NH 2 ) 2 ) yang mengandung 47%
nitrogen (paling tinggi dibandingkan dengan pupuk nitrogen jeni lain). Urea sangat
mudah larut dalam air dan juga mudah diubah menjadi ion nitrat (NO 3 -) yang mudah
diserap oleh tumbuh-tumbuhan. Cara pembuatan urea :
2NH3(g) +CO 2(g) CO(NH2 ) 2(s) +H2O (l)
Pupuk ZA (Zwavel Ammonium) atau ammonium sulfat ((NH4 ) 2 SO 4 ) yang
mengandung 21% nitrogen. Pupuk ammonium klorida (salmiak) atau NH 4 Cl,
mengandung 20% nitrogen. Pupuk ASN (ammonium Sulfat Nitrat) atau
[(NH4 ) 3 (SO 4 )(NO 3 )], mengandung 23-26% nitrogen. Pupuk natrium nitrat atau sodium
nitrat (NaNO 3 ), mengandung 15% nitrogen. (Rochman, N.2007)
b. Pupuk Fosforus
Fosforus (P) bagi tanaman berperan dalam proses:
- Respirasi dan fotosintesis
- Penyusunan asam nukleat
- Pembentukan bibit tanaman dan penghasil buah.
- Perangsang perkembangan akar, sehingga tanaman akan lebih tahan
terhadap kekeringan,
- Mempercepat masa panen sehingga dapat mengurangi resiko
keterlambatan waktu panen. (Sediyarso, M ,1998)
Unsur fosfor diperlukan diperlukan dalam jumlah lebih sedikit daripada unsure
nitrogen. Fosfor diserap oleh tanaman dalam bentuk apatit kalsium fosfat, FePO 4 , dan
AlPO 4 .
Macam-macam pupuk fosfor sebagai berikut :
- Pupuk superfosfat (Ca(H 2 PO 4 ) 2 ) yang sangat mudah larut dalam air
sehingga mudah diserap oleh akar tanaman. Contoh: Engkel superfosfat (ES) yang
mengandung sekitar 15% P 2 O 5 , Double superfosfat (DS) yang mengandung sekitar

213
30% P 2 O 5 , dan Tripel Superfosfat (TSP) yang mengandung sekitar 45%P 2 O 5.
- Pupuk FMP (Fused Magnesium Phosphate) atau Mg 3 (PO 4 ) 2 yang baik
digunakan pada tanah yang banyak mengandung besi dan aluminium.
- Pupuk aluminium fosfat (AlPO 4 )
- Pupuk besi (III) fosfat (FePO 4 ) (Sediyarso, M ,1998)
c. Pupuk Kalium
Fungsi kalium bagi tanaman adalah
- Mempengaruhi susunan dan mengedarkan karbohidrat di dalam tanaman.
- Mempercepat metabolisme unsure nitrogen,
- Mencegah bunga dan buah agar tidak mudah gugur.
Macam-macam pupuk kalium sebagai berikut:
- Pupuk kalium klorida atau potassium klorida (KCl). Ada 2 macam pupuk
KCl yang beredar di pasaran, yaitu KCl 80 (mengandung 50% K 2 O) dan
KCl 90 (mengandung 53% K2 O).
- Pupuk ZK (Zwavel Kalium) atau kalium sulfat (K2 SO 4 ) yang baik
digunakan pada tanaman yang tidak tahan te rhadap konsentrasi ion
klorida tinggi. Ada 2 macam pupuk ZK yang beredar di pasaran, yaitu
ZK 90 (mengandung 50% K2 O) dan ZK 96 (mengandung 53% K2 O).
(Rochman, N.2007)

2. Pupuk Majemuk
Pupuk majemuk yaitu pupuk yang mengandung lebih dari satu unsure hara yang
digunakan untuk menambah kesuburan tanah. Contoh pupuk majemuk yaitu NP, NK, dan
NPK. Pupuk majemuk yang paling banyak digunakan adalah pupuk NPK yang
mengandung senyawa ammonium nitrat (NH4 NO 3 ), ammonium dihidrogen fosfat
(NH4 H2 PO 4 ), dan kalium klorida (KCL). Kadar unsure hara N, P, dan K dalam pupuk
majemuk dinyatakan dengan komposisi angka tertentu. Misalnya pupuk NPK 10-20-15
berarti bahwa dalam pupuk itu terdapat 10% nitrogen, 20% fosfor (sebagai P 2 O5 )dan
15% kalium (sebagai K 2 O). (Mohlis, J., 2006)
Penggunaan pupuk majemuk harus disesuaikan dengan kebutuhan dari jenis
tanaman yang akan dipupuk karena setiap jenis tanaman memerlukan perbandingan N, P,
dan K tertentu. Di Indonesia beredar beberapa jenis pupuk majemuk dengan komposisi N,
P, dan K yang beragam.
Nilai suatu pupuk ditentukan oleh hal-hal berikut :
a. Kadar unsur, makin tinggi kadar unsur, akin tinggi nilai pupuk.
b. Higroskopisitas, pupuk buatan mulai menarik air pada kelembaban 51-99%. Pupuk
yang mudah menarik air, misalnya urea mengalami masalah pada penympanan, sifat
higroskopis secara langsung tidak mempengaruhi nilai pupuk sebagai penambah
kesuburan tanah.
c. Kelarutan, mempengaruhi mudah tidaknya unsure-unsur yang terkandung diambil
oleh tanaman.
d. Cara kerja, bekerjanya pupuk adalah waktu yang diperlukan hingga pupuk tersebut
dapat dihisap oleh tanaman dan memperlihatkan pengaruhnya. Bekerjanya pupuk sangat
mempengaruhi waktu dan cara penggunaan pupuk.

214
e. Keasaman, beberapa jenis pupuk dapat dipakai untuk meningkatkan,
mempetahankan, atau mengurai keasaman tanah. (Rochman, N.2007)
Pengaruh negatif penggunaan pupuk
a. Pengaruh negatif pupuk urea
- Tanah akan bersifat agak asam
- Penggunaan urea berlebihan dalam kurun waktu yang berdekatan akan
mengurangi proses tumbuhnya kecambah dari suatu bibit dan mengurangi daya
serap akar. (Sediyarso, M ,1998)
b. Pengaruh negatif pupuk superfosfat
- Jika kelebihan superfosfat, tanah akan kelebihan asam. Hal ini dikarenakan
superfosfat dapat meningkatkan konsentrasi hydrogen dalam tanah.
- Dapat bersifat racun bagi tanaman jika diberikan pada tanaman yang tumbuh pada
tanah yang mengandung banyak unsure aluminium. Hal ini dikarenakan
superfosfat dapat mempercepat pembentukan racun aluminium, atau toxic
aluminium.
c. Pengaruh negatif pupuk ammonium sulfat
- Dapat bersifat racun bagi tanah jika diberikan pada tanah tanpa disertai kapur.
Tanpa adanya batuan kapur, ammonium sulfat akan bebas bereaksi dengan besi,
aluminium, dan mangan membentuk racun besi, aluminium, dan mangan.
- Kelebihan pupuk ammonium sulfat mengakibatkan tanah besifat asam. Dengan
demikian, pupuk ini harus diberikan pada tanah yang bersifat basa.

15.5. Nanoteknologi menawarkan solusi


masalah pertanian di Indonesia
Nanoteknologi merupakan bidang yang sangat multidisiplin, mulai dari fisika
terapan, ilmu material, sains koloid dan antarmuka, fisika alat, kimia supramolekul,
mesin pengganda-diri dan robotika, teknik kimia, teknik mesin, rekayasa biologi,
teknologi pangan dan tekno elektro. Nanoteknologi dideskripsikan sebagai ilmu
mengenai sistem serta peralatan berproporsi nanometer. Satu nanometer sama dengan
seperjuta milimeter. Karena ukurannya yang teramat kecil, tren dalam nanoteknologi
condong ke pengembangan sistem dari bawah ke atas (bukan atas ke bawah). Maksudnya
para ilmuwan dan teknisi tidak menggunakan materi berukuran besar lalu memotongnya
kecil-kecil, tapi menggunakan atom serta molekul sebagai materi blok pembuatan yang
fundamental. Nanoteknologi ini, sudah di aplikasikan dalam bidang teknologi pertanian
misalnya dalam Nano-modifikasi benih dan pupuk / pestisida, teknik pengemasan
makanan, energy ramah lingkungan dan teknik jaringan, Nanoteknologi dapat membantu
untuk mereproduksi atau untuk memperbaiki kerusakan jaringan “Tissue engineering”
yang menggunakan proliferasi sel secara artifisial distimulasi dengan menggunakan
nanomaterial berbasis perancah yang sesuai dan faktor pertumbuhan. Teknik jaringan
akan menggantikan pengobatan konvensional saat ini seperti transplantasi organ atau
implan buatan. (Joseph, T dan M. Morrison. 2006).
Dengan adanya nano teknologi dalam pertanian akan dapat meningkatkan
produktivitas pertanian, kualitas produk, penerimaan konsumen dan efisiensi penggunaan

215
sumber daya. Akibatnya, ini akan membantu mengurangi biaya pertanian, meningkatkan
nilai produksi dan meningkatkan pendapatan pertanian. Ini juga akan menyebabkan
konservasi dan meningkatkan kualitas sumber daya alam dalam sistem produksi
pertanian. Selain itu nano teknologi juga diaplikasikan di berbagai bidang seperti kimia
dan lingkungan, kedokteran (nanoteknologi biomedis, nanobiotechnology, dan
nanomedicine, Informasi dan komunikasi (nanoRam), konstruksi, tekstil, optic dll.
Kecanggihan teknologi ini bukan berarti meniadakan dampak negatif. Salah satu
hal yang ditakuti para ilmuan adalah kemampuan self replicant, sebagai contoh dibuat
produk untuk membasmi virus pada tubuh manusia contohnya kanker namun bila
antivirus ini tidak terkontrol untuk sifat self replicant maka dapat membahayakan tubuh
manusia yang memakainya. Serta hal negative lain yang mungkin terjadi, contohnya
pembuatan bom yang dirancang sedemikian rupa dengan ukuran superkecil dengan
kemampuan daya ledak yang besar. Diperlukan kesetimbangan intelektual dan moral
dalam mengaplikasikan teknologi ini. (Joseph, T dan M. Morrison. 2006).

15.5.1.Nanoteknologi Mulai Menyentuh Bidang Pertanian


Mengagumkan, bahwa perkembangan nanoteknologi mulai berkembang pesat dan
menyentuh seluruh ranah perkembangan teknologi. Tidak hanya dalam bidang
nanoteknologi biomedis, nanobioteknologi, nanomedicine, nanochemist, nano materials
bahkan saat ini nanoteknologi mulai dikembangkan dalam bidang pertanian. Seperti yang
kita ketahui, akhir-akhir ini terjadi gejolak global mengenai ketimpangan ketahanan
pangan yang semakin meningkat kosentrasinya baik itu di Indonesia maupau di luar
negeri. (Ikatan Nano Indonesia. 2009)

Nampaknya permasalahan mengenai ketahanan pangan yang diakibatkan oleh


perubahan iklim semakin riskan dan mengkhawatirkan. Dari segala aspek pertanian
mencoba melakukan rekayasa untuk mengadaptasikan tanaman terhadap iklim ekstrim,
mulai dari upaya pertanian pertanian green house sampai pertanian bawah tanah (tanpa
sinar matahari) ternyata tidak terlalu ampuh untuk mengadaptasikan fisiologi tanaman
terhadap iklim lingkungan yang tak menentu. Hingga pada akhirnya muncul kolaborasi
antara nanobioteknologi dengan nano material yang mempelajari struktur tanaman hingga
partikel terkecil penyusun sel tumbuhan. Akhir- akhir ini banyak kita lihat sawah- sawah
yang kering dan hanya dibiarkan begitu saja. hal itu sudah sangat menunjukkan kualitas
pertanian di negara ini semakin menurun. jika hal tersebut dibiarkan tidak menutup
kemungkinan pertanian diIndonesia ini akan semakin mengalami kemunduran. melihat
kualitas pertanian di Indonesia yang seperti ini, memang sangat dibutuhkan teknologi
yang dapat membantu dan mempermudah pertanian. Teknologi itu nantinya diharapkan
mampu menjadikan pertanian di Negara ini kembali pada kualitas yang baik dan dapat
mengembangkan sumber daya manusia. (Joseph, T dan M. Morrison. 2006).
Teknologi nano saat ini tengah gencar didiskusikan dan dikembangkan. Badan
Litbang pertanian juga telah melakukan beberapa penelitian dan sanggup menyekolahkan
para peneliti yang berminat mendalami teknologi nano . Dari beberapa hal yang telah
dilakukan oleh badan Litbang ini, kita dapat menyimpulkan bahwa teknologi nano sangat
dipercaya untuk mendapatkan hasil pertanian yang memuaskan. Teknologi Nano
awalnya hanya digunakan pada kosmetika, tetapi karena penelitian yang dilakukan oleh

216
badan Litbang pertanian, teknologi ini juga dapat digunakan dalam bidang pertanian.
Teknologi Nano dapat mengembangkan unsur hara dalam tanah yang berukuran nano
dan dapat juga digunakan untuk pengendalian hama dan penykit tanaman. Teknologi
yang bekerja pada dimensi 10 pangkat minus 9 ini dapat mengembangkan pertanian masa
depan. Dan kenyataannya memang pada zaman sekarang ini diperlukan adanya teknologi
yang mampu mengembangkan mutu pertanian di Indonesia agar mendapatkan hasil
pertanian yang baik dan memuaskan. karena sumber kehidupan manusia juga bergantung
pada kualitas pertanian. Sebaiknya pemerintah lebih memperhatikan pertanian di Negara
ini yang semakin memprihatinkan, karena saat ini sudah jelas terlihat pemerintah sangat
acuh terhadap pertanian di Indonesia. (Ikatan Nano Indonesia. 2009)
Teknologi yang berkembangpun harus mendapat dukungan dari pemerintah agar
teknologi bisa dimanfaatkan secara optimal. karena pertanian sangat bergantung pada
perkembangan teknologi, jadi pemerintah wajib memperhatikan perkembangan teknologi
juga agar kualitas pertanian di negara ini bias lebih baik dan mendapatkan hasil yang
memuaskan. Kolaborasi dari nanobioteknologi dan nano material mengkaji tentang
susunan genetika tanaman serta rekayasa jaringan untuk menghasilkan varietas tanaman
yang kebal terhadap perubahan iklim. Dari informasi genetik yang diperoleh,
nanobioteknologi mengupayakan untuk menginsersi DNA unggul (DNA yang
mempunyai sifat tahan terhadap perubahan klim) untuk ditanamkan (transplantasi) pada
modus DNA sel tanaman yang akan dijadikan induk. Dalam kajian yang lebih luas,
ternyata nanoteknologi dalam pertanian juga menangani ranah perunutan penyakit
tanaman dan intensifikasi pemupukan. Perunutan penyakit tanaman dilakukan dengan
teknik penyisipan partikel berukuran nano (sebagai pelacak) ke dalam tubuh tanaman dan
dibiarkan menyebar ke seluruh jaringan untuk mendeteksi lokasi sumber penyakit berada.
Setelah sumber penyakit ditemukan, maka pengobatan akan lebih efektif dan efisien.
(Ikatan Nano Indonesia. (2009)

15.5.2. Pupuk Nano Menawarkan Efisiensi dan Penghematan


Teknologi nano bisa membawa manfaat besar dan mendalam pada sistem
pemupukan dan perlindungan tanaman dengan kepraktisan, ketepatan, efisiensi dan
penghematan, makalah diskusi IFPRI mengungkapkan berdasarkan berbagai hasil
penelitian di mancanegara. Diutarakan, efisiensi penggunaan nitrogen pada sistem
konvensional fertilizer saat ini rendah, kehilangan mencapai sekitar 50-70%. Pupuk nano
memiliki peluang untuk mengurangi secara sangat berarti dampak terhadap energi,
ekonomi dan lingkungan dengan cara mengurangi kehilangan nitrogen oleh perembesan,
emisi dan pergabungan jangka panjang dengan mikroorganisme tanah. Kelemahan ini
bisa diatasi dengan sistem pelepasan pupuk menggunakan teknologi nano. Sistem
pelepasan hara pada teknologi nano memanfaatkan bagian-bagian tanaman berskala nano
yang porous yang bisa mengurangi kehilangan nitrogen. Pupuk yang dienkapsulasi dalam
partikel nano akan meningkatkan penyerapan hara. Pada generasi lanjut pupuk nano,
pelepasan pupuk bisa dipicu dengan kondisi lingkungan atau dengan pelepasan pada
waktunya. Pelepasan pupuk dengan lambat dan terkendali berpotensi menambah efisiensi
penyerapan hara.
Pupuk nano yang menggunakan bahan alami untuk pelapisan dan perekatan
granula pupuk yang bisa larut memberi keuntungan karena biaya pembuatannya lebih

217
rendah dibanding pupuk yang bergantung pada bahan pelapis hasil manufaktur. Pupuk
yang dilepas dengan lambat dan terkendali bisa pula memperbaiki tanah dengan cara
mengurangi efek racun yang terkait dengan aplikasi pupuk secara berlebihan. Pada
teknologi nano yang sedang dikembangkan sekarang, zeolit telah dipergunakan sebagai
pemeran mekanisme pelepasan pupuk. (Joseph, T dan M. Morrison. 2006).
Perkembangan teknologi nano dewasa ini sudah sangat maju, termasuk dalam
bidang pemupukan tanaman. Dengan teknologi nano dihasilkan pupuk-pupuk berukuran
nano (nano fertilizer) baik dalam bentuk tepung (nano powder) maupun cair. Penggunaan
pupuk nano yang berukuran super kecil (1 nm = 10-9 m) memiliki keunggulan lebih
reaktif, langsung mencapai sararan atau target karena ukurannya yang halus, serta hanya
dibutuhkan dalam jumlah kecil. Sehingga hasil pertanian optimal dapat dicapai dengan
hanya mengaplikasikan sejumlah kecil pupuk nano. Dengan demikian, penggunan pupuk
akan sangat efisien, efektif dan dapat menurunkan biaya produksi. Dengan keunggulan-
keunggulan tersebut maka pupuk nano diharapkan dapat menjadi terobosan teknologi
peningkatan produksi pertanian. Pada dasarnya, prinsip penemuan teknologi nano ini
adalah untuk memaksimalkan output (produktivitas tanaman) dengan meminimumkan
input pupuk, pestisida, insektisida, dll) melalui monitoring kondisi tanah seperti
perakaran tanah (rizosfir) dan mengaplikasikannya langsung ke target. Sehingga
teknologi ini mampu mengefisienkan penggunaan pupuk, menurunkan penggunaan
pestisida dan menghasilkan produk-produk industri bio-nano. Salah satu contoh bahan
alami yang dapat digunakan untuk teknologi nano ini salah satunya adalah zeolit yang
dapat ditumpangi unsur hara seperti Ca, N, P dan K didalam struktur molekulnya
sehingga dengan cara ini diharapkan unsur hara yang dibutuhkan tanaman akan dilepas
sesuai kebutuhan tanaman (slow/controlled release fertilizer). Selain itu melapisi pupuk
(fertilizer encapsules) dengan bahan-bahan alami dalam skala nano juga merupakan salah
satu alternatife “slow release” pupuk. (Joseph, T dan M. Morrison. 2006).
Disamping penggunaan bahan-bahan alami, penggunaan bahan sintetis yang
dikombinasikan dengan bahan alami untuk melapis (coating) pupuk juga merupakan
suatu alternatif dalam teknologi nano. Bahan-bahan alami lainnya seperti rock phosphate
(batuan fosfat) dan bahan organic kemungkinan juga dapat dijadikan sebagai bahan
pupuk nano. Batuan fosfat alam ini merupakan salah satu sumber pupuk P yang masih
terbatas penggunaanya. Walaupun Indonesia memiliki deposit rock phosphate tetapi
kebutuhan pupuk P masih bergantung pada impor bahan P sehingga harga pupuk P
menjadi sangat mahal bagi petani. Kauwenbergh (2001) menyatakan batuan fosfat alam
secara global terdiri dari deposit fosfat alam sedimen (80-90%) dan igneous fosfat (10-
20%). Batuan fosfat alam memilki keragaman yang tinggi baik dalam komposisi kimia
maupun bentuk fisiknya. Aplikasi langsung rock phosphate sebagai pupuk P masih
sangat terbatas dan menjadi kendala.
Dengan teknologi nano, yang menjadikan batuan ini sebagai bahan pupuk
berukuran nano apakah dalam bentuk tepung atau cair sehingga kandungan hara P dan
hara lainnya dapat dengan mudah dimanfaatkan tanaman. Aplikasi bahan organik seperti
pupuk kandang, jerami, sisa pangkasan dan pupuk organik dalam sistem produksi
pertanian sangat dianjurkan. Namun demikian, rendahnya tingkat dekomposisi bahan
organik menyebabkan petani enggan menggunakannya dalam sistem pertanian. Apalagi
dengan target produksi yang tinggi sehingga tidak cukup waktu untuk penguraian bahan-
bahan organik alami tersebut. Sudah umum diketahui, bahan organik sangat bermanfaat

218
bagi tanaman dan tanah dalam penyediaan unsur hara, perbaikan sifat fisik tanah,
peningkatan aktivitas biologi tanah serta mengandung bahanbahan kimia alami seperti
enzim, asam-asam organik (Setyorini et al, 2006) dan lainnya yang tidak dapat diperoleh
dari bahan pupuk sintetis. (Joseph, T dan M. Morrison. 2006)
Dengan teknologi nano memungkinkan pemanfaatan bahan organik ini lebih
efisien dan tepat sasaran. Berdasarkan uraian di atas, terlihat bahwa teknologi nano ini
akan sangat bermanfaat dalam membantu mempercepat pertumbuhan produksi pangan di
Indonesia dan negara-negara berkembang lainnya. Dengan penggunaan sejumlah kecil
atau beberapa tetes pupuk nano bila berbentuk cairan dilaporkan dapat meningkatkan
produksi pangan dibandingkan dengan teknologi pertanian saat ini. Dalam beberapa
tulisan ilmiah popular di bidang pertanian, teknologi nano adalah sebuah revolusi kedua
di bidang pertanian setelah revolusi hijau (GR technology) yang mempelopori
peningkatan produktifitas bahan pangan 4 terutama padi dengan pemupukan, perbaikan
sistim pengairan, pengembangan varitasvaritas produksi tinggi serta penggunaan
pestisida/insektisida untuk pengendalian hama dan penyakit tanaman. Pembuatan pupuk
nano ada dua jenis yaitu pupuk cair dan pupuk powder. Pembuatan pupuk cair dengan
metode kimia (bottom up) sedangkan pupuk powder dengan metode fisika (top down).
(Abdullah, M.2004)

Gambar 15.5 Metode pembuatann nano (Abdullah, M.2004)

15.5.3 Pupuk nano cair

15.5.3.1 Pupuk Bio Active Bravo Nature


Pupuk yang menggunakan teknologi nano yang bermanfaat untuk meningkatkan
penyerapan hara, perlindungan tanaman, serta meningkatkan hasil produktifitas tanaman
dengan efisiensi dan penghematan sumberdaya lahan. Mengandung komposisi unsur
hara makro mikro, serta zat pengatur tumbuh yang diformulasi dan diproduksi sesuai

219
untuk kebutuhan semua jenis tanaman. Kita ketahui bahwa efisiensi penggunaan nitrogen
pada sistem konvensional fertilizer saat ini rendah, kehilangan mencapai sekitar 50-70%.
Pupuk nanoteknologi memiliki peluang sangat besar terhadap dampak energi, ekonomi
dan lingkungan dengan cara mengurangi kehilangan nitrogen oleh perembesan, emisi dan
pengabungan jangka panjang dengan mikroorganisme tanah. Kelemahan ini bisa diatasi
dengan sistem pelepasan pupuk menggunakan nanoteknologi. Pupuk organik cair
Nanoteknologi Bravo nature bekerja dengan sistem pelepasan hara, memanfaatkan bagian
- bagian tanaman dan enkapsulasi dalam partikel nano. Pelepasan pupuk dengan lambat
dan terkendali berpotensi menambah efisiensi penyerapan hara.

Gambar 15.6 Pupuk nano cair (Joseph, T dan M. Morrison. (2006)

Manfaat dan Keunggulan:


a. Menghemat biaya produksi serta meningkatkan produktifitas.
b. Merangsang pertumbuhan akar, batang, daun, bunga dan buah.
c. Mengandung unsur hara makro, mikro dan protein tinggi sebagai hasil senyawa
d. Organik bahan alami nabati dan hewani yang mengandung sel sel hidup aktif.
e. Meningkatkan daya tahan tanaman terhadap serangan hama penyakit sekaligus
menekan populasi hama dan penyakit tanaman.
f. Mencegah kelayuan dan kerontokan daun dan buah.
g. Mempercepat panen
h. Aman digunakan karena sangat bersahabat dengan lingkungan dan tidak
membunuh musuh alami
i. Dapat digunakan bersaman dengan cairan jenis lain(insektisida)
j. Dapat diaplikasikan pada semua jenis tanaman.

15.5.3.2 Pupuk nano powder


a. Pemilihan bahan dasar pupuk nano
Pemilihan bahan dasar yang mempunyai potensi untuk dikembangkan menjadi
bahan pupuk berteknologi nano berdasarkan hasil eksplorasi dan inventarisasi berbagai
bahan ameliorant pertanian yang mudah tersedia, melimpah dan dapat dipergunakan
secara luas. Salah satu bahan batuan alami yang diteliti adalah batuan fosfat alam (P-
alam). Bahan P-alam yang dipilih adalah yang memiliki kandungan P tertinggi. Tahap

220
selanjutnya adalah menghaluskan bahan fosfat alam hingga mencapai berbagai ukuran
yang halus mulai beberapa micron (10-hingga nano (10-9) bahan kedua adalah bahan
organik. Bahan organik yang dipergunakan adalah pukan ayam, pukan sapi dan Tithonia
yang sudah matang. Bahan organik tersebut dieksrak dengan pengenceran 1:5, 1:10 dan
1:25 dengan air bebas mineral. Ketiga sumber bahan organik tersebut di uji kandungan
hara makro, mikro, kandungan senyawa alami, enzim, ZPT dan lainnya. Sebelum di
perlakukan untuk pupuk nano, bahan organik dasar dekomposisi dahulu hingga menjadi
kompos atau telah mendekati akhir proses dekomposisi. Perlakuan ini dimaksudkan agar
seluruh komponen kompos seperti enzim, ZPT dan asam-asam organik terbentuk.

b. Pemilihan metoda pembuatan pupuk berteknologi nano.


Berdasarkan informasi yang diperoleh dari desk work berupa training tentang
metoda dan prosedur pembuatan nano maka dilakukan inventarisasi metoda yang
memungkinkan untuk diterapkan (aplicable) Selanjutnya dalam tahapan ini bahan dasar
pupuk (batuan fosfat alam dan bahan organik) akan dijadikan bahan berukuran nano
dengan beberapa metoda seperti ekstraksi ataupun secara fisik dihaluskan sampai
mencapai ukuran mikron hingga nano. Berdasarkan hasil konsultasi dengan beberapa
peneliti LIPI yang telah memulai penelitian nano teknologi diketahui bahwa bentuk fisik
dari bahan pupuk yang beragam juga akan membutuhkan metoda yang berbeda untuk
merubahnya kedalam bentuk material berukuran nano. Beberapa metoda diantaranya
adalah secara fisik menghaluskan sampaian nano (nano powder), ataupun diekstraksi
dengan senyawa kimia tertentu misalnya: monocase vinyl alcohol, sodium fatty alcohol
ether sulfate (AES) (yang umumnya digunakan untuk bahan alami) serta ethyl acetate
solution, sodium benzene sulfonate (SBS) untuk bahan 'Sintetis. Dalam kegiatan ini telah
dipilih metoda penghalusan (top down).

c. Formulasi pupuk nano.


Formulasi pupuk dilakukan dengan membuat beberapa variasi pupuk nano dari
bahan batuan alami, bahan organik maupun campuran keduanya. Formula disusun
berdasarkan komposisi dan fungsi. Komposisi dari hasil analisis sedangkan fungsi
didasarkan pada kelompok fungsional terhadap metabolisms tanaman.

d. Pemilihan formula pupuk nano terbaik.


Tahapan ini dilaksanakan setelah tahapan 4 selesai, kemudian dipilih formula
pupuk terbaik dari beberapa formulasi pupuk yang telah dibuat. Formula pupuk yang
dipilih adalah berdasarkan hasil deteksi ukuran, kandungan hara, dan bentuk fisik pupuk
yang mudah diaplikasikan. Setelah diperoleh beberapa formula pupuk nano yang mantap
dan terbaik Bahan yang dipergunakan dalam pelaksanaan kegiatan penelitian ini
diantaranya adalah ATK, penunjang komputer, bahan kimia (misal HCI, asam sulfat,
asam nitrat, NaOH, asam Askorbin), berbagai jenis P-alam, zeolit dan bahan organik.
Sedangkan peralatan yang dipergunakan meliputi peralatan laboratorium untuk analisa
kimia, peralatan analisa enzim, ZPT, asam-asam organik, serta peralatan untuk membuat
pupuk nano dan peralatan untuk karakterisasi sifat material berukuran micron hingga
nano

221
Gambar 15.7 Pembuatan pupuk nano powder (Herlan, B.2011)

e. Bahan organik (pukan ayam, pukan sapi dan Tithonia)


Bahan komponen pupuk organik yang digunakan untuk mencampur pupuk fosfat
berukuran nano adalah pukan ayam, pukan sapi dan Tithonia. Kandungan hara dan sifat
kimia bahan-bahan tersebut. Pukan ayam dan pukan sapi karena mengandung unsur hara
makro dan mikro cukup tinggi. Pukan ayam mengandung N, P dan K jauh lebih tinggi
dibandingkan dengan pukan sapi. Demikian Kandungan unsur mikro seperti Fe, Mn, Cu
dan Zn yang terdapat dalam pukan ayam tinggi dibandingkan dengan pukan sapi.
Tithonia terlhat memiliki kandungan unsu hara K yang paling tinggi dibandingkan
dengan kedua pukan yang dianalisis. 3 bahan-bahan organik tersebut dikomposkan
sampai matang sebelum digunakan pembuatan pupuk nano. Untuk dicampurkan kedalam
bahan pupuk fosfat berukuran nano maka bahan-bahan organik tersebut di ekstrak di
dalam air bebas mineral dengan perbandingan bahan organik: air OM adalah 1 :5, 1:10
dan 1 :25 Pupuk fosfat a lam dibuat dalam bentuk granul/butiran agak besar berukuran
±10 nanometer untuk meningkatkan sifat slow release dari pupuk. (Mohlis, J., 2006)
f. Fosfat
Penggunaan pupuk fosfat alam untuk pertanian sampai saat ini masih sangat
diperlukan oleh petani. Pupuk fosfat alam mengandung fosfor (P) yang merupakan salah
satu dari tiga unsur makro atau esensial selain Nitrogen dan Kalium, yang dibutuhkan
untuk pertumbuhan tanaman. Unsur tersebut tersedia di alam berupa batuan fosfat, yang
biasanya digunakan dalam pertanian sebagai pupuk buatan. Unsur P diperlukan dalam
pertumbuhan tanaman, kekurangan unsur hara makro ini mengakibatkan mengurangi
kemampuan tanaman untuk mengabsorbsi unsur hara lainnya. Menurut Buckman &
Brandy (1982) unsur P dalam tanaman antara lain digunakan untuk pembelahan sel,
pembentukan lemak, pembungaan, pembuahan, perkembangan akar, memperkuat batang,
kekebalan terhadap penyakit dan lain sebagainya. Dengan banyaknya manfaat dari unsur
P ini, maka pupuk fosfat alam merupakan produk yang banyak digunakan oleh petani.
Mengingat pentingnya kandungan fosfor (P) dalam pupuk yang dibutuhkan untuk
pertumbuhan tanaman, diharapkan masyarakat mengetahui keunggulan dari pupuk fosfat
alam dan cara pembuatannya. (Herlan, B.2011)

222
Manfaat Pupuk Fosfat bagi Tanaman
Peran pupuk fosfat bagi tanaman adalah sebagai respirasi dan fotosintesis,
penyusunan asam nukleat, pembentukan bibit tanaman dan penghasil buah, perangsang
perkembangan akar sehingga tanaman akan lebih tahan terhadap kekeringan
danmempercepat masa panen sehingga dapat mengurangi resiko keterlambatan waktu
panen. Pupuk fosfat juga memacu pertumbuhan akar dan pembentukan sistem perakaran
yang baik sehingga tanaman dapat mengambil unsur hara lebih banyak dan pertumbuhan
tanaman menjadi sehat serta kuat. Menggiatkan pertumbuhan jaringan tanaman yang
membentuk titik tumbuh tanaman. Memacu pembentukan bunga dan masaknya buah/biji,
sehingga mempercepat masa panen. Memperbesar persentase terbentuknya bunga
menjadi buah dan biji. Menambah daya tahan tanaman terhadap serangan hama dan
penyakit. Unsur fosfor diperlukan diperlukan dalam jumlah lebih sedikit daripada unsur
nitrogen. Fosfor diserap oleh tanaman dalam bentuk apatit kalsium fosfat, FePO 4 , dan
AlPO 4 . Apabila tanaman kekurangan unsur hara fosfor, tanaman tersebut akan tumbuh
kerdil. Pada tanaman muda, daun akan berwarna hijau tua keunguan, kadang-kadang
tampak pula warna hijau kekuning-kuningan karena kekurangan Fosfor cenderung
menghambat penyerapan unsur hara Nitrogen. Warna kekuningan ini akan lebih dulu
dijumpai pada daun tua karena sifat Fosfor yang mobil dalam tanah, sehingga dalam
keadaan kekurangan, unsur hara Fosfor dengan cepat ditranslokasikan ke bagian tanaman
yang lebih muda. Pada tanaman buah-buahan pucuk daun akan berwarna browns atau
ungu. Pembentukan bunga/buah/biji terhambat sehingga panen terlambat. Selain itu
persentase bunga yang menjadi buah menurun karena penyerbukan yang tidak sempurna.
(Herlan, B.2011)

Keunggulan Pupuk Fosfat dalam Bidang Pertanian


Pupuk fosfat adalah kunci untuk kehidupandalam bidang pertanian dan
peranannya bagi tanaman adalah sebagai berikut: (Mohlis, J., 2006)
- Pemecahan karbohidrat untuk energi, penyimpanan perearannya keseluruh tanaman
dalam bentuk ADP & ATP.
- Pembelahan sel melalui peranan nukleoprotein yang ada dalam inti sel
- Meneruskan sifat-sifat kebakaan dari generasi ke generasi melalui peranan DNA
- Menentukan pertumbuhan akar, mempercepat kematangan, & produksi buah serta
biji.

223
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, M., (2004), Pengantar Nanosains, FMIPA, ITB Bandung

Abdullah,M., Yudistira., Nirmin dan Khairurrijal.,(2008), Sintesis Nanomaterial. Jurnal


Nanosains & Nanoteknologi. 1 : 33-57

Army, U., (2006)., General Chemsitry., Fort Sam Houston, Texas

Arumaarifu, (2010), what is nano, http://arumaarifu.wordpress.com/2011 /08/06/what is


nanoparticle/ (diakses pada tanggal 6 Agustus 2011, 20:17)

Fenin, A. (2008). Nanotechnology in Agricultural Development in the ACP Region.


Nanoteknologi , Chalcogenide Letters 6: 34-40

Hans, E.S., (2009), Nanoscience, Fak. Mathematik und Physik Institut für
Theoretische und Angewandte Physik, Germany

Harry, L, Tuller., (2008).,Nanostructured Materials., Massachusetts Institute of


Technology., Delft, The Netherlands

Herlan, B.(2011). Badan Litbang Pertanian Menuju Nano Teknologi: Semakin Kecil,
Semakin Dahsyat. http://pascapanen.litbang.deptan.go.id/index.php/id/berita/121
Ikatan Nano Indonesia. (2009). Terobosan Aplikasi Teknologi Mikro-Nano Material alam
Bidang Industri, Pertanian, dan Lingkungan. HIBAH SIMPOSIUM NASIONAL
HIMPUNAN PROFESI IKATAN NANO INDONESIA (IZI). Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi, Depdiknas. www.kimiawan.org/docs/hibah/proposal_izi.doc
(accessed 28 November 2012)
Joseph, T dan M. Morrison. (2006). Nanotechnology in Agriculture and Food. A Nanoforum
report. European Nanotechnology Gateway, Chalcogenide Letters 4:13-17

224
Mohlis, J., (2006), http://www.chem_is_try.org (accessed 28 November 2012)

Perla B, B., (2007)., Nanomaterials: Design and Simulation., College Station,


Texas, USA.

Rochman, N.2007. Opini : Prospek Nanoteknologi di Tanah


Air.www.kimiawan.org/docs/hibah/proposal_izi.doc (accessed 28 November 2012)
Seventieth, T., (2004)., Nano and Microstructural Design Advanced Materials.,
University of Washington, USA

Sediyarso, M ,(1998), P-Alam sebagai Pupuk P untuk Budidaya Pertanian.


www.kimiawan.org/docs/hibah/proposal_izi.doc (accessed 28 November 2012)

225
Bab 16
Aplikasi Partikel Nano-Silika
Pada Material Kontruksi
Oleh : Mega Nurhanisa

16.1 Pengertian Silika dan Nano-Silika


Silika atau dikenal dengan silikon dioksida (SiO 2 ) merupakan senyawa yang
banyak ditemui dalam dalam kehidupan sehari-hari. Silika merupakan salah satu
bahan galian yang disebut pasir kuarsa, terdiri atas kristal-kristal silika (SiO 2 ) dan
mengandung senyawa pengotor yang terbawa selama proses pengendapan. Pasir
kuarsa juga dikenal dengan nama pasir putih merupakan hasil pelapukan batuan yang
mengandung mineral utama seperti kuarsa dan feldsfar. Pasir kuarsa mempunyai
komposisi gabungan dari SiO 2 , Al 2 O 3 , CaO, Fe 2 O 3 , TiO 2 , CaO, MgO, dan K2 O,
berwarna putih bening atau warna lain bergantung pada senyawa pengotornya.
Gambar 16.1 (a) dan (b) merupakan salah satu contoh gambar batu kuarsa dan pasir
kuarsa atau pasir silika, berturut-turut.

(a) (b)
Gambar 16.1 (a) Batu Kuarsa (elevenmillion.blogspot.com, 2012), (b) Pasir kuarsa
atau pasir silika (m.koiexpress.net, 2012).

Silika biasa diperoleh melalui proses penambangan yang dimulai dari


menambang pasir kuarsa sebagai bahan baku. Pasir kuarsa tersebut kemudian
dilakukan proses pencucian untuk membuang pengotor yang kemudian dipisahkan
dan dikeringkan kembali sehingga diperoleh pasir dengan kadar silika yang lebih
besar bergantung dengan keadaan kuarsa dari tempat penambangan. Pasir inilah yang
kemudian dikenal dengan pasir silika atau silika dengan kadar tertentu.
Silika biasanya dimanfaatkan untuk berbagai keperluan dengan berbagai
ukuran tergantung aplikasi yang dibutuhkan. Beberapa contoh pemanfaatan silika di

226
bidang industri antara lain dalam pembuatan ban, karet, gelas, semen, beton, keramik,
tekstil, kertas, kosmetik, elektronik, cat, film, pasta gigi, dan lain-lain.
Saat ini dengan perkembangan teknologi mulai banyak aplikasi penggunaan
silika dalam bidang industri. Hal tersebut semakin meningkat terutama dalam
penggunaan silika pada ukuran partikel yang kecil sampai skala mikron atau bahkan
nano-silika (Widodo, 2011). Nano-silika merupakan material silika yang ukuran
partikelnya berskala nanometer atau 10-9 meter.
Salah satu pemanfaatan nano-silika yang saat ini sedang dikembangkan adalah
sebagai bahan material konstruksi bangunan. Konstruksi bangunan akan menjadi dua
kali lebih kokoh, tahan gempa, dan kedap air laut menggunakan bahan konstruksi
nano-silika sebagai bahan tambahannya.
Dewasa ini, beton mutu tinggi masih merupakan bahan yang banyak
digunakan dalam dunia konstruksi, dan kondisi ini masih akan berlanjut sampai batas
waktu yang belum diketahui selama bahan pengganti lainnya belum ditemukan.
Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, maka dalam teknologi
beton juga banyak mengalami perubahan akibat ditemukannya bahan-bahan
pembentuk baru seperti fly ash dan silica fume serta nanosilika sebagai mineral
admixture yang paling baru, yang semuanya ditujukan untuk meningkatkan kuat tekan
beton serta memperoleh sifat-sifat khusus lainnya sesuai tujuan penggunaannya
(Bimantoro, D. A., 2008).
Nano-silika harganya hanya 30 persen lebih mahal daripada semen, namun
kualitasnya mencapai dua kali lipat. Produksi nano-silika dalam negeri menjadi
alternatif untuk menggantikan mikrosilika yang saat ini masih diimpor dan dengan
harga relatif jauh lebih mahal.

16.2 Pengertian Beton


Beton merupakan salah satu bahan konstruksi yang umum digunakan untuk
bangunan gedung, jembatan, jalan dan lain-lain. Beton merupakan satu kesatuan yang
homogen. Beton diperoleh dengan cara mencapur bahan halus (pasir), bahan kasar
(kerikil), atau bahan-bahan lain dan air, dengan semen portland atau semen hidrolik
yang lain, terkadang dengan bahan tambahan (additif) yang bersifat kimiawi atau
fisikal pada perbandingan tertentu, sampai menjadi satu kesatuan yang homogen.
Setelah didiamkan dalam suhu tertentu, campuran tersebut akan mengeras seperti
batuan. Pengerasan tersebut terjadi karena adanya peristiwa reaksi kimia antaran
semen dengan air.

Gambar 16.2 Beton yang sudah dikeraskan (www.ilmusipil.com, 2012)

227
Beton yang sudah mengeras (Gambar 16.2) biasanya terdapat rongga-rongga
antara butiran besar yang diisi oleh batuan kecil, dan pori-pori antara batuan kecil
diisi oleh semen dan air (pasta semen). Pasta semen berfungsi sebagai perekat atau
pengikat dalam proses pengerasan, sehingga butiran-butiran kasar dan halus saling
terikat dengan kuat, maka terbentuklah satu kesatuan yang padat dan tahan lama.

16.3Proses Pembuatan Partikel Nano-Silika


Untuk mengubah ukuran pasir silika menjadi nano-silika, umumnya dapat
digunakan metode milling dengan ball mill. Metode tersebut bertujuan
menghancurkan atau menghaluskan ukuran pasir silika yang berukuran besar menjadi
ukuran yang lebih kecil dan halus, silika dengan ukuran yang halus inilah yang
nantinya banyak digunakan dalam industri.
Penggilingan (milling) termasuk cara yang paling awal untuk membuat
partikel kecil dari partikel yang berukuran besar. Pada partikel besar diberikan
tekanan sehingga partikel tersebut pecah menjadi partikel yang lebih kecil. Untuk
mengefektifkan penggilingan, tekanan dikonsentrasikan pada lokasi retakan (crack)
yang telah ada sehingga retakan itu merambat dan memecah material dengan mudah.
Tetapi begitu ukuran partikel mengecil, material memperlihatkan peningkatan sifat
plastisitas sehingga makin sulit dipecah lebih lanjut. Pada sejumlah material, ada
batas terkecil ukuran partikel sehingga penggilingan lebih lanjut tidak lagi mengubah
ukuran partikel (Khairurrijal dan Abdullah, M., 2009).
Ball mill adalah material yang digunakan untuk penggilingan dan
pencampuran klinker dan gypsum sehingga akan diperoleh produk mill dengan
kehalusan yang diinginkan atau yang disebut dengan semen. Ini merupakan alat yang
efisien untuk menggiling bermacam material menjadi bubuk halus. Terdapat dua
proses penggilingan, yaitu proses penggilingan secara kering dan proses penggilingan
secara basah. Secara luas ala ini digunakan untuk pengolahan semen, produk silikat,
bahan bangunan, bahan tahan api, pupuk kimia, logam hitam yang tidak mengantung
besi, gelas, keramik, dan lain-lain.
Pada proses tersebut, ball mill yang digunakan adalah tipe ball mill yang
terbuat dari material baja yang berbentuk bola seperti yang ditunjukkan oleh Gambar
16.3. Adapun prinsip kerja dari ball mill tersebut adalah menghancurkan material
bahan baku semen karena terjadinya tumbukan dan gesekan antara bola-bola baja
(ball mill) dengan material.

Gambar 16.3 Ball mill (Umardani, Y. dan Bukhori, M., 2007)

228
Mesin grinding mill ini memiliki tipe horisontal, berbentuk tabung, dan dua
tempat penyimpanan. Bagian luar mesin berjalan sepanjang roda gigi. Material masuk
secara spiral dan merata dalam tempat penyimpanan pertama. Dalam tempat
penampungan ini ada ladder scaleboard atau ripple scaleboard, dan bola-bola baja
(ball mill) dengan berbagai macam spesifikasi yang dipasang pada scaleboard.

Tempat masukan
produk awal

Tempat
keluaran
produk hasil

Gambar 16.4 Alat Grinding Mill (www.mine-engineer.com, 2012)

Seiring dengan perputaran tubuh barel yang kemudian menghasilkan gaya


sentrifugal, ball mill akan terbawa pada ketinggian tertentu dan jatuh untuk membuat
material tergiling. Setelah proses penggilingan dalam tempat penyimpanan pertama,
material akan masuk dalam tempat penampungan kedua untuk kembali digiling
dengan ball mill dan scaleboard. Akhirnya, bubuk akan dibawa ke papan
penampungan produk akhir dan proses kerja sepenuhnya selesai. Secara sederhana
skema grinding mill ditunjukkan oleh Gambar 16.4. Kondisi ukuran partikel bahan
baku yang diperkecil akan membuat produk memiliki sifat berbeda yang dapat
meningkatkan kualitas.

16.4 Eksperimen Partikel Nano-Silika pada


Material Konstruksi

16.4.1 Sifat Material dan Campuran


Adapun material dan campuran yang digunakan dalam eksperimen ini adalah
sebagai berikut (Khanzadi, M., dkk, 2010) :

a. Semen
Semen yang digunakan adalah semen Portland (Ordinary Portland
Cement/ OPC). Sifat dan karakteristiknya ditunjukkan oleh Tabel 16.1.

229
Tabel 16.1 Sifat fisik dan kimia semen (Khanzadi, M., dkk, 2010).
Senyawa Komposisi (%)
SiO 2 21,38
Al 2 O 3 4,45
Fe 2 O 3 3,51
CaO 63,06
MgO 3,20
SO 3 1,80
C3S 52,5
C2S 21,5
C3A 6,4
C 4 AF 10,7
Fines (cm2/g) 3298
Vicat test (min) Init. 200
Final 260
Standard cube test (Mpa) 3 178
at 3, 7, and 28 days 7 354
28 461

b. Bahan-bahan lain
Pada eksperimen ini digunakan pasir dengan kerapatan jenis 2550 kg/m3
dan kerikil dengan ukuran partikel 12,5 mm dan kerapatan jenisnya 2630 kg/m3.
Kedua jenis bahan tersebut merupakan tipe pasir dan kerikil yang biasa
ditemukan di sepanjang sungai.
c. Superplasticizer
Superplasticizer merupakan bahan tambah (admixture). Bahan tambah,
additive dan admixture adalah bahan selain semen, agregat dan air yang
ditambahkan pada adukan beton, sebelum atau selama pengadukan beton untuk
mengubah sifat beton sesuai dengan keinginan perencana. Superplasticizer yang
digunakan pada eksperimen ini adalah Glenium 51p yang merupakan salah satu
polikarboxilat.
d. Air
Air yang digunakan dalam ekseprimen ini memiliki PH sebesar 7,5.
e. Nano-silika
Nano-silika yang digunakan dalam eksperimen ini adalah tipe yang dapat
larut dalam air dengan 15% suspensi. Spesifikasi kimianya ditunjukkan oleh Tabel
16.2.

230
Tabel 16.2 Spesifikasi Kimia Nano-silika yang Digunakan (Khanzadi, M., dkk, 2010)
Diameter Partikel (nm) Rapat jenis (g/cm3) Persentase kemurnian
5 1,1 99,9

Perbandingan air dan bahan pengikat (jumlah semen dan nano partikel) yang
digunakan untuk semua campuran adalah 0,45. Perbandingan campuran beton per
meter kubik ditunjukkan oleh Tabel 16.3. OPC merupakan beton sederhana dan
NANO merupakan campuran berisi nano-silika.

Tabel 16.3 Perbandingan Campuran (Khanzadi, M., dkk, 2010)


Nama Semen Air Pasir Kerikil Nano-silika Superplasticizer
campuran (m3) (m3) (m3) (m3) (m3) (m3)
OPC 350 187 1068 735 - -
NANO 345 148 1053 724 5,25 3,92

16.4.2 Pembuatan Spesimen


Pertama, bahan kasar dengan permukaan yang kering ditempatkan dalam
mixer. Bahan pengikat dan bahan halus ditambahkan dan dicampurkan selama 1
menit, kemudian ditambahkan 75% air yang akan digunakan dan dicampur selama 2,5
menit, sedangkan 25% air sisanya ditambahkan sebelum campuran ditambah dengan
superplasticizer dan nano-silika yang dicampur selama 1,5 menit. Akhirnya,
campuran beton dituangkan ke dalam cetakan. Setelah dituangkan, sebuah vibrator
eksternal digunakan untuk memudahkan proses pemadatan serta mengurangi jumlah
gelembung udara. Spesimen dibiarkan dalam cetakan selama 24 jam dan diletakan
pada temperatur ±23º C (Khanzadi, M., dkk, 2010).

16.4.3 Metode pengujian


a. Uji Daya Tekanan (Compressive Strength Test)

(a) (b)
Gambar 16.5 (a) Cetakan Kubus yang digunakan dalam pengujian daya tekanan
beton (www.indiamart.com, 2012), (b) Cetakan silinder yang digunakan dalam
pengujian daya rentang beton (www.gubbienterprises.com, 2012)

231
Pengujian daya tekanan beton ini dilakukan berdasarkan BS 1881-bagian 108
untuk membuat pengujian kubus dari beton segar. Metode ini sama dengan BS EN
12390-bagian 3 yang lebih awal digunakan. Kubus yang digunakan dalam pengujian
ini berukuran 100x100x100 milimeter seperti yang ditunjukkan oleh Gambar 16.5
(a). Selanjutnya setelah beton mengeras, spesimen diuji daya tekanannya dengan
mesin penguji seperti pada Gambar 16.6 (a).

b. Uji Daya Rentang (Tensile Strength Test)


Pengujian Daya Rentang beton ini berdasarkan BS 1881-bagian 110 untuk
membuat pengujian silinder dari beton segar. Pengujian ini dapat menggunakan BS
EN 12390-bagian 6 untuk menguji daya rentang dari spesimen. Silinder yang
digunakan dalam pengujian ini berukuran 100 x 200 milimeter seperti yang
ditunjukkan oleh Gambar 16.5 (b). Selanjutnya setelah beton segar mengeras,
spesimen diuji daya rentangnya dengan menggunakan mesin penguji seperti yang
terlihat pada Gambar 16.6 (b).

(a) (b)
Gambar 16.6 (a) Mesin untuk menguji daya tekanan beton
(rubyleeyee.blogspot.com, 2012), (b) Mesin untuk menguji daya rentang beton
(qskiru.blogspot.com, 2012)

b. Uji Penyerapan Air (Water Absorption Test)


Pengujian penyerapan air dilakukan berdasarkan BS EN 12390-bagian 8
untuk menguji penyerapan air pada beton yang telah keras. Proses pengujiannya
secara singkat sebagai berikut, spesimen yang telah mengeras kemudian dicelupkan
ke dalam air dengan skala setelah 30, 60 menit, 1, 2, 3, dan 7 hari untuk memeriksa
kenaikan berat dan untuk menghitung persentase penyerapan air. Pada pengujian ini,
penyerapan air hanya dapat terjadi pada pori-pori yang dikosongkan selama
pengeringan dan diisi dengan air selama masa pencelupan.

c. Uji Kapilaritas Penyerapan Air (Capillarity of Water Absorption Test)


Pengujian kapilaritas penyerapan air dilakukan berdasarkan TC 14-CPC,
RILEM CPC 11.2 untuk menguji kapilaritas penyerapan air pada beton yang telah
keras. Proses pengujiannya secara singkat sebagai berikut, spesimen yang telah
mengeras dicelupkan ke dalam air tidak lebih dari 5 milimeter. Pada pengujian ini,
kedalaman aliran tak terarah dari spesimen diukur dan menghasilkan kedalaman
kapilaritas.

232
d. Menentukan Koefisien Distribusi Ion Klorida
Pada pengujian ini spesimen berbentuk kubus dicelupkan ke dalam cairan ion
klorida. Kemudian spesimen dikeringkan selama 24 jam. Setelah itu, untuk
menyiapkan beberapa sampel beton dalam bentuk bubuk (sampel bubuk) untuk
pengujian, kelima permukaan spesimen berbentuk kubus dikikis dengan kedalaman
0-5, 5-10, 10-15, 15-20 dan 20-30 milimeter dan sampel bubuk beton pun diperoleh
dari kelima permukaan untuk masing-masing kedalaman. Sampel bubuk beton
tersebut digunakan pada pengujian rapat jenis konsentrasi ion klorida yang larut
dalam air. Untuk menentukan ion klorida yang terdapat pada masing-masing
kedalaman digunakan pendekatan ASTM C 1218 yang menunjukkan rapat jenis ion
klorida yang larut dalam air yang digunakan.

16.4.4 Hasil Pengujian dan Diskusi


a. Daya Tekanan dan Daya Rentang (Compressive and Tensile Strength)
Grafik daya tekanan dan daya rentang beton ditunjukkan oleh Gambar 16.7
(a) dan 16.7 (b). Dari gambar tersebut terlihat bahwa, ketika partikel nano-silika
ditambahkan dalam jumlah yang cukup maka daya tekanan dan daya rentang beton
dapat meningkat. Hasil ini merupakan peningkatan kekuatan yang drastis dari bahan
perekat semen jika dikaitkan dengan efek pengisian oleh partikel nano-silika.
Rongga (pori-pori) yang kosong di antara partikel semen akan diisi oleh nano-silika
sehingga berfungsi sebagai bahan penguat beton dan meningkatkan daya tahan
(durability).

(a) (b)
Gambar 16.7 (a) Grafik Daya Tekanan, (b) Grafik Daya Rentang.
(Khanzadi, M., dkk, 2010)

b. Penyerapan Air (Water Absorption)

Hasil penyerapan air dan kapilaritas absorbsi ditunjukkan oleh Gambar 16.8
(a) dan Gambar 16.8 (b). Penambahan partikel nano-silika akan lebih baik bagi daya
tahan penyerapan air pada beton, dibandingkan dengan beton sederhana.

233
Adapun mekanisme efek partikel nano-silika pada penyerapan air dan
kapilaritas daya tahan penyerapan air dari sebuah beton dapat ditunjukkan sebagai
berikut, partikel nano-silika dianggap seragam dan terpisah satu sama lain dengan
jarak yang dapat ditentukan, produk hidrat tersebar dan membungkus partikel nano
seperti inti. Partikel nano-silika bereaksi dengan kristal Kalsium Hidroksida
(Ca(OH) 2 ) sebagai material pozollanic. Hal ini membuat batuan semen lebih
seragam dan padat. Selain itu, abrasi dan kapilaritas daya tahan penyerapan air dapat
meningkat.

(a) (b)
Gambar 16.8 (a) Grafik Persentase Absorbsi, (b) Grafik Koefisien Kapilaritas.
(Khanzadi, M., dkk, 2010)

Material pozzolanic terdiri dari silikat reaktif atau alumino-silikat.


Partikelnya cukup halus untuk memberikan daerah permukaan yang cukup reaktif
terhadap reaksi kimia zat padat. Partikelnya bereaksi dengan alkalis dan Ca(OH) 2
dari semen untuk menghasilkan senyawa semen (kalsium silikat hidrat (C-S-H) gel,
kalsium alumino silikat, dan lain-lain).

c. Koefisien Distribusi Ion Klorida


Tabel 16.4 Koefisien Difusi Ion Klorida (Khanzadi, M., dkk, 2010)
Campuran OPC NANO
D (mm2/tahun) 159,87 157,9
Perhitungan Cs 4,99 4,19
R2 0,976 0,942
D : Koefisien distribusi ion klorida
Cs : Kandungan Klorida di permukaan
R2 : Koefisien kolerasi garis regresi

Koefisien distribusi ion klorida, perhitungan kandungan di permukaan, dan


koefisien kolerasi garis regresi dapat ditunjukkan oleh Tabel 16.4. Dengan
menambahkan partikel nano-silika, produk hidrasi meningkat dan kristal berkurang,

234
serta efek pengisian dari butiran-butiran halus dan struktur perekat semen dengan
konsentrasi yang tinggi karena pembatasan pori-pori. Oleh karena itu, sedikit ruang
kosong yang tersedia sebagai hasil penyerapan beton terhadap air berkurang, dengan
demikian koefisien distribusi ion klorida juga berkurang.

d. Scanning Electron Microscope (SEM)


Hasil Scanning Electron Microscope (SEM) dari beton sederhana dan beton
dengan campuran nano-silika hasil dari eksperimen ditunjukkan oleh Gambar 16.9.
SEM menunjukkan bahwa mikrostruktur beton nano-silika lebih padat dan seragam
dibandingkan beton sederhana, karena adanya reaksi pozollanic dan fungsi pengisi
pada partikel silika.

(a) (b)
Gambar 16.9 (a) Hasil SEM beton OPC dan (b) Hasil SEM beton Nano-silika.
(Khanzadi, M., dkk, 2010)

16.5 Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang dapat diambil dari eksperimen ini antara lain:
a. Daya tekanan dan daya rentang dari beton meningkat dengan menambahkan
partikel nano-silika, khususnya pada usia awal. Bagaimanapun, kekuatan beton di
awal akan sedikit berkurang dengan menambahkan mikro-silika, tetapi meningkat
pada usia akhir. Hasil ini menunjukkan bahwa aktivitas pozollanic dari nano-silika
lebih besar daripada mikro-silika.
b. Partikel nano-silika menghabiskan kalsium hidroksida, mengurangi ukuran kristal
pada zona hubungan dan mengubah kristal lemah kalsium hidroksida menjadi
kristal kalsium silikat hidrat (C-S-H) dan memperbaiki zona hubungan dan struktur
perekat semen.
c. Uji penyerapan air, kapilaritas penyerapan dan koefisien distribusi ion klorida
menunjukan bahwa beton nano-silika memiliki daya tahan terhadap penyerapan
yang lebih baik daripada beton sederhana. Hal ini disebabkan mikrostruktur beton
nano-silika lebih seragam dan padat daripada beton sederhana seperti yang
ditunjukkan oleh uji SEM.

235
DAFTAR PUSTAKA
Bimantoro, D. A., Pemanfaatan Nanosilika Sebagai Beton Kuat Tekan Tinggi (Tanpa
Additive), Skripsi, Jurusan Teknik Sipil Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Institut
Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya, (2008).

elevenmillion.blogspot.com/2009/09/batu-kuarsa-batu-quartz.html?m=l (Diakses pada


tanggal 3 November 2012)

Jalal, M., Durability Enhancement Of Concrete By Incorporating Titanium Dioxide


Nanopowder Into Binder, Journal of American Science 8, 289-294 (2012).

Khairurrijal dan Abdullah, M., Membangun Kemampuan Riset Nanomaterial di Indonesia,


Bandung: Rezeki Putera, (2009).

Khanzadi, M., dkk., Influence of Nano-Silica Particles on Mechanical Properties and


Permeability of Concrete, Proceeding in Second International Conference on
Sustainable Construction Materials and Technologies, Italy, (2010).

m.koiexpress.net/product/85/310/Silica-Sand-Pasir-Silika-Hi-Grade/?o=default (Diakses pada


tanggal 3 November 2012)

qskiru.blogspot.com/2010/11/strength-of-concrete.html?m=l (Diakses pada tanggal 1


Desember 2012)

rubyleeyee.blogspot.com/2009/03/scib-concrete-manufacturing-sdn-bhd.html?m=l. (Diakses
pada tanggal 1 Desember 2012)

Umardani, Y. dan Bukhori, M., Karakterisasi Material Ball Mill Pada Proses Pembuatan
Semen Dengan Metoda Pengujian Kekerasan, Mikrografi Dan Keausan, Jurnal Rotasi
9, 32-35 (2007).

United Kingdom Accredittation Service, Testing Hardened Concrete - Guidance on


Accreditation to BS EN 12390, Edition 2, (2004).

Widodo, Sintesis dan Karakterisasi Nanosilika Berbasis Pasir Bancar Dengan Metode Alkali
Fusion Menggunakan Kalium Hidroksida (KOH), Skripsi, Jurusan Fisika Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Teknologi Sepuluh Nopember,
Surabaya, (2011).

www.gubbienterprises.com/concrete-testing-equipment.html (Diakses pada tanggal 8


November 2012)

236
www.ilmusipil.com/pengertian-beton-adalah (Diakses tanggal 6 November 2012)

www.indiamart.com/veekayindustries/concrete-testing-equipments.html (Diakses pada


tanggal 8 November 2012)

www.mine-engineer.com/mining/ballmill.htm (Diakses pada tanggal 2 November 2012 )

237
Bab 17
Indium Tin Oxide (ITO) untuk
Aplikasi Solar Cell
Oleh : Naily Ulya

17.1 Indium Tin Oxide (ITO)


Saat ini hampir seluruh kegiatan yang dilakukan oleh manusia, didukung oleh
adanya energi. Sebagian besar energi yang digunakan tersebut berasal dari bahan
bakar fosil. Padahal bahan bakar fosil merupakan bahan bakar yang tidak dapat
diperbarui dan suatu saat nanti akan habis. Selain itu bahan bakar fosil memiliki
beberapa kelemahan, diantaranya produksi bahan bakar fosil membutuhkan biaya
yang cukup mahal dan bahan bakar fosil menghasilkan emisi yang tidak ramah
lingkungan.
Mengacu pada hal diatas dibutuhkan suatu terobosan baru untuk menghasilkan
energi yang ramah lingkungan, tidak bergantung pada bahan bakar fosil, melimpah di
alam dan hemat biaya produksi. Salah satu alat yang dapat digunakan untuk
menghasilkan energi adalah solar cell, yang dapat mengkonversi energi matahari
menjadi energi listrik. Untuk menghasilkan sel surya yang efektif dibutuhkan material
yang dapat meningkatkan kinerja solar cell itu sendiri. Material yang dibutuhkan
adalah material yang memiliki transmitansi yang tinggi dan resistivitas listrik yang
rendah. Kandidat kuat material yang memiliki kedua karakteristik tersebut adalah
Indium Tin Oxide (ITO).
Indium Tin Oxide atau Tin doped Indium Oxide adalah material yang berasal
dari campuran Indium (III) Oxide (In 2 O 3 ) dan tin (IV) Oxide (SnO 2 ), umumnya
dengan rasio berat 90% In 2 O 3 dan 10% SnO 2 . Dalam bentuk serbuk, ITO berwarna
kuning kehijauan, namun dalam bentuk thin film ITO transparan dan tidak berwarna
(Wikipedia, 2012).

Gambar 17.1. Strukur ITO yang dikarakterisasi melalui SEM pada variasi suhu
(a) 300 oC (c) 500 oC (e) 800 oC (Ederth, J., dkk., 2003)

238
Indium Tin Oxide merupakan bahan semikonduktor. Semikonduktor adalah
elemen atau senyawa dari elemen-elemen yang berada di dekat batas metal/insulator
pada tabel periodik (Gambar 2). Pada tabel tersebut, material semikonduktor berada
pada kotak berwarna putih dan menjadi batas antara material insulator dan metal.

Gambar 17.2. Tabel Periodik yang menunjukkan Metal dan Insulator


(Eite, J. dan Spencer A.G., 2004)

Umumnya Si adalah bahan semikonduktor yang digunakan dalam


mikroelektronik. Selain itu juga terdapat senyawa semikonduktor yang dibentuk dari
elemen-elemen yang melalui batas metal/ insulator, seperti GaAs atau InSb. Material-
material ini tidak transparan pada daerah visible. Namun terdapat beberapa
semikonduktor oksida yang transparan pada daerah visible (sebagai contoh oksida dari
Indium, Tin atau Zinc). Indium Oxide adalah yang paling sering digunakan dalam
aplikasi industri.
Pada dasarnya, Indium Oxide bukanlah material konduktor yang sangat baik.
Hal ini karena Indium Oxide memiliki kekurangan elektron. Normalnya, elektron
ditambahkan melalui doping dengan elemen yang hampir sama namun memiliki
kelebihan elektron. Jadi untuk menambah kekurangan elektron yang terjadi pada
Indium Oxide, ditambahkan doping Tin. Pada konsentrasi yang rendah, struktur Tin
sesuai dengan struktur Indium Oxide dan Tin menambahkan elektron yang dibutuhkan
oleh Indium Oxide (Gambar 3). Dalam hal ini, jumlah Tin yang ditambahkan
memiliki batas tertentu karena Tin tidak hanya menambah elektron, namun juga
mengurangi mobilitas elektron ini. Level optimum doping adalah sekitar 5-10% Tin.
Tin yang didopingkan kepada Indium Oxide inilah yang diketahui sebagai Indium Tin
Oxide atau ITO.
Terdapat batas kecepatan dimana elektron tersebut dapat merespon medan
listrik dan medan magnet. Kerapatan elektron pada ITO tidak setinggi kerapatan
elektron pada metal. Batas respon ITO berada pada daerah infra-red (padahal batas
respon metal adalah pada daerah visible). Konsekuensinya adalah bahwa ITO
transparan pada daerah visible namun menjadi konduktif (dan oleh karena itu menjadi
reflektif dan absorsif) pada daerah infra-red dan UV (Eite, J. dan Spencer A.G., 2004).

239
Gambar 17.3. Tin memiliki kelebihan 1 elektron daripada Indium, ketika Indium
Oxide didoping dengan Tin, elektron ekstra ini menjadi bebas dan membuat Indium
Tin Oxide menjadi konduktif (Eite, J. dan Spencer A.G., 2004)

Indium Tin Oxide merupakan bahan semikonduktor tipe-n yang memiliki band
gap yang lebar (Eg = 3.7 eV) yang menyerap radiasi UV dan memantulkan cahaya
dari daerah Infra-Red, dan diantara kedua spektrum itu, ITO mempunyai transparansi
pada daerah visible dan daerah di dekat spektrum Infra-Red (Keshmiri, S.H.,
Roknabadi, M.R., Ashok, S., 2002).

Gambar 17.4. Transmitansi ITO thin film pada substrat PET dengan variasi ketebalan
ITO (Ali, M.K.M., dkk., 2010)

Banyak aplikasi yang membutuhkan ITO dalam bentuk film. ITO film
memiliki 2 karakteristik utama, yaitu memiliki transmitansi yang tinggi dan
resistivitas listrik yang rendah. ITO memiliki transmitansi cahaya sekitar 90% dan
memiliki resistivitas listrik sekitar 10-2 Ω cm. Namun resistivitas listrik tersebut
menjadi jauh lebih rendah jika partikel ITO dalam ukuran nanometer diukur secara
individual, yaitu sekitar 2x10-4 Ω cm (Ederth, J., dkk., 2003). Konduktivitas listrik
yang tinggi inilah yang menyebabkan ITO memiliki reflektivitas tinggi pada daerah
infra-red (Mohamed, S.H., dkk., 2009).

240
Gambar 17.5. Perbandingan Resistivitas In 2 O 3 , SnO 2 , ZnO (Minami, T., 2000)

Karena sifat konduktivitas listrik yang baik pada suhu ruang dan transparansi
yang tinggi pada daerah visible, ITO film secara luas digunakan sebagai elektroda
transparan pada aplikasi alat-alat elektronik dan opto-elektronik, diantaranya alat
pemanas, sensor, flat panel displays dan solar cell (Lee, S., dkk., 2009). Selain itu,
ITO juga dapat diaplikasikan pada jendela isolasi termal dan prevention of radiative
cooling karena karakteristik reflektivitasnya yang tinggi pada daerah infra-red
(Mohamed, S.H., dkk., 2009).

ITO film dapat disintesis melalui berbagai metode, diantaranya dengan metode
spray-hydrolysis technique (Keshmiri, S.H., Roknabadi, M.R., Ashok, S., 2002), DC-
Magnetron Sputtering (Ali, M.K.M., dkk, 2011), Electron Beam Evaporation
Technique (Mohamed, S.H., dkk, 2009), dan lain sebagainya.

17.2 Transparent Conducting Oxide (TCO)


Transparent Conducting Oxide (TCO) adalah material konduktif dengan
perbandingan penyerapan cahaya yang rendah pada daerah visible. TCO biasanya
dipreparasi melalui teknologi thin film dan digunakan pada divais opto-eletrical
(Stadler, A., 2012).
Laporan pertama tentang Transparent Conducting Oxide (TCO) dipublikasikan
pada tahun 1907, ketika Badeker melaporkan bahwa thin film metal Cd yang
dideposisi dalam glow discharge chamber dapat dioksidasi menjadi transparan dan di
sisi lain secara kelistrikan bersifat konduktif. Sejak saat itu, nilai komersil dari
material ini diakui dan daftar dari material TCO yang berpotensi dikembangkan,
diantaranya Al-doped ZnO, GdInO x , SnO 2 , F-doped In 2 O 3 dan masih banyak lagi.
Sejak tahu 1960an, material yang digunakan sebagai TCO untuk aplikasi divais
optoelektronik adalah Indium Tin Oxide. Saat ini dan kemungkinan hingga yang akan
datang, material ini menawarkan performa terbaik dalam hal konduktivitas dan

241
transmitansi, ditambah lagi stabilitas lingkungan, reprodusibilitas dan morfologi
permukaan yang sangat baik.
Walaupun stabilitas kimia dan interfacial properties sangat diperlukan pada
TCO, namun karakteristik utama yang dibutuhkan untuk TCO adalah konduktivitas
listrik dan transparansi pada daerah visible yang tinggi (Andreas Klein, dkk. 2010).
TCO merupakan bagian yang sangat diperlukan dalam teknologi yang memerlukan
area kontak listrik yang besar dan akses optik pada spektrum cahaya tampak.
Kombinasi transmitansi yang tinggi dan konduktivitas listrik yang baik dapat dicapai
dengan memilih material oksida yang memiliki band gap lebar. Material oksida yang
paling banyak digunakan adalah semikonduktor tipe-n yang mempunyai band gap
lebar, yaitu >3 eV (Lewis, B.G. dan Paine, D.C., 2000).
Transparent Conducting Oxide (TCO) mempunyai bermacam-macam aplikasi,
yaitu sebagai elektroda transparan pada flat-panel displays, light emitting diodes
(LED), solar cell, dll (Klein, A., dkk., 2010). Kemampuannya untuk memantulkan
infra-red dimanfaatkan untuk membuat jendela penghemat energi. Selain itu,
Transparent Conducting Oxide dibutuhkan sebagai elektroda permukaan pada semua
jenis solar cell (Gordon, R.G., 2000).

Gambar 17.6. Transparent Conducting Oxide pada Solar Cell (Wikipedia, 2012)

17.3 Solar Cell


17.3.1 Sel Surya (Solar Cell)
Sel surya atau sel fotovoltaik merupakan sebuah alat konversi energi yang
dapat mengubah bentuk energi surya/ matahari menjadi energi listrik. Karena sumber
cahaya adalah matahari, sel fotovoltaik juga sering disebut sebagai solar cells. Kata
photovoltaic berasal dari “photo” yang berarti cahaya dan “voltaic” yang berarti
berhubungan dengan produksi listrik. (Nitya, S. IGN. dan Kusuma. W. IGB., 2005)
Oleh karena itu, proses fotovoltaik adalah memproduksi listrik secara langsung dari
cahaya matahari. Fotovoltaik sering juga disebut sebagai PV. Dinamakan fotovoltaik
oleh fisikawan bernama Volta setelah satuan pengukuran volt ditetapkan. Istilah ini
digunakan di Negara Inggris sejak 1849.

242
Saat ini prinsip kerja solar cell secara umum adalah sama, yaitu bedasarkan
efek fotovoltaik. Secara umum, efek fotovoltaik berarti pembangkitan beda potensial
pada junction (sambungan) dari dua material yang berbeda respon terhadap radiasi
visible atau radiasi lainnya.
Sel surya terdiri dari banyak lapisan. Lapisan-lapisan tersebut memiliki
fungsinya masing-masing. Lapisan utama dari sel surya adalah lapisan fotovoltaik.
Lapisan lainnya adalah lapisan pelengkap yang membantu kinerja fotovoltaik.
Lapisan-lapisan tersebut memiliki fungsi antara lain sebagai lapisan konduktif yang
menyambungkan sel surya dengan rangkaian listrik, lapisan pelindung yang
melindungi permukaan dari benda-benda keras, dan lain sebagainya.
Fotovoltaik terdiri dari lapisan semikonduktor tipe-p yaitu bahan
semikonduktor yang didalamnya terdapat hole sebagai pembawa muatan
mayoritasnya dan lapisan semikonduktor tipe-n yang memiliki elektron sebagai
pembawa muatan mayoritasnya. Keduanya didapatkan dari hasil pendopingan
semikonduktor yang sama dengan bahan doping yang berbeda. Kedua lapisan ini
merupakan lapisan pembentuk fotovoltaik (Jowan, M., 2008).
Cahaya matahari terdiri atas foton atau partikel energi surya, dimana foton
inilah yang dikonversi menjadi energi listrik. Foton-foton mengandung energi yang
bervariasi menurut panjang gelombangnya. Foton yang membentur elektron di dalam
sel surya, menyerahkan sebagian atau seluruh energinya kepada elektron. Dengan
adanya tambahan energi ini maka elektron mampu lepas dari posisi normalnya
terhadap atom sehingga menjadi arus dalam suatu sirkuit listrik (Nitya, S. IGN. dan
Kusuma. W. IGB., 2005).

17.3.2 Prinsip Kerja Sel Surya


Sel surya disusun dengan menggabungkan semikonduktor tipe-p dan tipe-n.
Semikonduktor tipe-p merupakan semikonduktor yang bersifat positif karena
kekurangan elektron, sedangkan semikonduktor tipe-n merupakan semikonduktor
yang bersifat negatif karena memiliki kelebihan elektron. Jika semikonduktor tipe-n
dan tipe-p berada dalam kontak (disatukan), maka akan terbentuk sambungan
(junction) diantara kedua semikonduktor tersebut. Ketika semikonduktor tersebut
terkena radiasi matahari (berupa foton), akan terjadi perpindahan elektron dari
semikonduktor tipe-n menuju semikonduktor tipe-p sehingga terbentuklah hole pada
semikonduktor tipe-n. Hal ini menyebabkan terciptanya polarisasi dimana elektron
bergerak menuju semikonduktor tipe-p dan hole bergerak menuju semikonduktor tipe-
n. Dengan menyambungkan kedua jenis semikonduktor (tipe-p dan tipe-n) melalui
suatu penghantar luar maka terjadi beda potensial diantara keduanya dan mengalirkan
arus searah. Hal ini dapat dilihat pada gambar 7 dibawah ini (Ch, Syafaruddin., 2010).

243
Gambar 17.7. Prinsip Kerja Sel Surya (Ch, Syafaruddin., 2010)

244
DAFTAR PUSTAKA
Ali, M.K.M., dkk., Deposited Indium Tin Oxide (ITO) Thin Films by DC- Magnetron
Sputtering on Polyethylene Terephthalate Substrate (PET), Romanian Journal of
Physics. 56, 730-741 (2011).

Ch, Syafaruddin., Perbandingan untuk Kerja antara Panel Sel Surya Berpenjejak dengan
Panel Sel Surya Diam, Teknologi Elektro. 9, 6-11 (2010).

Ederth, J., dkk., Indium Tin Oxide Films Made from Nanoparticles: Models for the Optical
and Electrical Properties, Thin Solid Films. 445, 199–206 (2003).

Eite, J. dan Spencer, A.G., Indium Tin Oxide for Transparent EMC Shielding and Anti-static
Applications. Presented at EMCUK, Newbury, UK (2004).

Gordon, R.G., Criteria for Choosing Transparent Conductors, MRS BULLETIN. Hal 52-57
(2000).

Jowan, M., Eksperimen Karakteristik Sel Surya Berbasis PC. Skripsi. Depok : Universitas
Indonesia (2008).

Keshmiri, S.H., Roknabadi, M.R., Ashok, S., A Novel Technique for Increasing Electron
Mobility of Indium-Tin Oxide Transparent Conducting Films, Thin solid films. 413,
167–170 (2002).

Klein, A., dkk., Transparent Conducting Oxides for Photovoltaics: Manipulation of Fermi
Level, Work Function and Energy Band Alignment, Materials. 3, 4892-4914 (2010).

Lee, S., dkk., Indium-Tin-Oxide-Based Transparent Conducting Layers for Highly Efficient
Photovoltaic Devices, Journal of Physical Chemistry C. 113, 7443–7447 (2009).

Lewis, B.G. dan Paine, D.C., Applications and Processing of Transparent Conducting
Oxides, MRS BULLETIN. Hal 22-27 (2000).

Minami, T., New n-Type Transparent Conducting Oxides, MRS BULLETIN. Hal 38-44
(2000).

Mohamed, S.H., dkk., Properties of Indium Tin Oxide Thin Films Deposited on Polymer
Substrates, Acta Physica Polonica A. 115, 704-708 (2009).

245
Nitya, S. IGN. dan Kusuma. W. IGB., Kajian Energi Surya untuk Pembangkit Tenaga Listrik,
Teknologi elektro. 4 , 29-33 (2005).

Stadler, A., Transparent Conducting Oxides—An Up-To-Date Overview, Materials. 5, 661-


683 (2012).

Wikipedia. 2012. Indium Tin Oxide. http://en.wikipedia.org/wiki/Indium_tin_oxide (diakses


pada tanggal 17 September 2012).

Wikipedia. 2012. Transparent Conducting Film.


http://en.wikipedia.org/wiki/Transparent_conducting_film (diakses pada tanggal 17
September 2012).

246
Bab 18
Aplikasi Nanoteknologi untuk
Pembuatan Nano Fiber Pada
Bidang Tekstil Menggunakan
Alat Elektrospinning
Oleh : Nety Fitrianingsih

18.1 Pengertian Nanoteknologi dan


Perkembangannya dalam Bidang Industri
Konsep nanoteknologi telah dimulai dari empat puluh tahun yang lalu. Menurut NNI
(National Nanotechnology Initiative), nanoteknologi didefinisikan sebagai penggunaaan
struktur dengan dimensi paling kecil yaitu satu dimensi dalam ukuran nanometer untuk
membentuk material tersebut. Perlengkapan atau sistem secara langsung dapat meningkatkan
kegunaan dari skala nano. Produk yang dihasilkan dari nanoteknologi diharapkan memiliki
biaya produksi yang murah, memiliki ketelitian yang tinggi, memiliki struktur bahan yang
dapat dikontrol.
Nanoteknologi telah mengubah cara pandang terhadap kemajuan teknologi karena setiap
material nya disusun dalam level atom atau molekul.Sehingga, didapatkan suatu bahan yang
memiliki sifat khas yang lebih unggul dari pada material yang sudah ada. Partikel nano ini
biasanya digunakan secara komersil dengan ukuran berkisar antara 1 sampai dengan 100 nm.
Keunikan dan kegunaan yang baru dari material berukuran nano ini memiliki daya tarik tidak
hanya bagi ilmuwan tetapi juga bagi pengusaha, sehingga nanoteknologi sangat berpotensi
besar dalam bidang ekonomi (Wong et al,2006).

247
Nanoteknologi
pada Tekstil

Penyelesaian
NanoFibers
peningkatan
dan Yarns
Pabrik

a) Perkembangan dari single dan


nano multi serat berdinding,
seperti Carbon Nanotube (CNT) a) Kegunaan nanoteknologi
fiber komposit. dapat juga ditingkatkan dari
segi fungsionalitas pada kain
b) Produksi dari nano fibers kapas.
(Seratnano) menggunakan proses
elektrospinning. b) Berbagai jenis penyelesaian
secara kimia dan pelapisan
c) Peningkatan kualitas fibers dapat dikembangkan.
dan Yarns dari segi mekanik,
kimia, dan pengunaan secara
fungsional.

Gambar 18.1. Nanoteknologi pada fiber dan industri tekstil(Kumar Vikram et al,2006)
Disini, kita dapat menyimpulkan bahwabahan baru dan kemajuan terbaru yang dibuat
pada nanoteknologi, serta aplikasinya untuk tekstil kapas dan fiber. Dari hasil review,
dapatdikelompokkan menjadi(a)Aplikasi nanoteknologi dalam serat dan produksi
benang,(b)Aplikasi dalam penyempurnaan kain. (Lihat Gambar 1).
Hal ini menunjukkan bahwa kain yang terbuat dari serat kapas (alam)dan dari serat
buatan (sintesis) memiliki keunggulan dan kelemahan masing – masing. Misalnya, kain katun
memberikan sifat nyaman, mudah diserap, dan lembut. Namun, bahan ini memiliki
keterbatasan seperti kekuatan daya tahan, dalam ketahanan lipatan, resistansi terhadap
kotoran, dan ketahanan terhadap api. Berbeda dengan hal tersebut, kain yang terbuat dari
serat sintesis pada umumnya sangat kuat, tahan lipatan dan tahan terhadap kotoran, tetapi
tidak memiliki sifat kenyamanan dari kain katun. Hal ini menunjukkan bahwa kemajuan
nanoteknologi membawa kemungkinan dalam mengembangkan kapas yang berbasis kain dan
mampu mendapatkan keuntungan dari kapas dan serat buatan tersebut.
Karena kemajuanyangsangat pesat dalam pembuatan serat/gulungan, dalam
perkembangannya pada bidang tekstil nanoteknologi dapat diaplikasikan dalam ruang

248
lingkup yang lebih luas lagi. Dalam hal ini, beberapa aplikasi nanoteknologi dalam bidang
pengelolaan tekstil terdiri dari :
• Fungsional ujungkain yangbersifat resisten terhadap kerut, karat dan statik.
• Perlindungan terhadap serangan kimia dan biologis.
• Spinning dari nanofiber/yarn yang bersifat fungsional.
• Perkembangan dari nanokomposit untuk hasil/performa luar biasa.
• Tekstil yang cerdas dan medis untuk menyokong pengendalian iklim pada
garmen dalam aplikasi militer.
• Aplikasi dalam proses manufaktur tekstil kain terfungsionalisasi untuk tujuan
perlindungan UV dan deodorisasi.
Perkembangan nanoteknologi dalam bidang industri tekstil dirasakan cukup pesat,
jika dilihat dari produk yang telah beredar dipasaran dunia. Misalnya pakaian yang memiliki
performa lebih lebih tinggi dan,dapat menahan panas yang ekstrim (high insulation thermal
protective clothing), tekstil dengan sifat permukaan yang antikotor (self cleaning texxtile),
tekstil antimikroba yang dapat digunakan dalam dunia medis dan lain – lain (Tatang W dan
Rismayani.S.,2008).

18.2 Nanoteknologi pada Pembuatan


Nanofiber
Nama serat nano atau nanofiber diambil dari ukuran diameternya yang sepermilyar
meter atau seperseribu micron. Dalam industri tekstil, kehalusan serat diukur berdasarkan
diameter serat, artinya serat yang makin halus diameternya makin kecil atau sebaliknya.
Diameter serat sangat bervariasi dari mulai yang paling besar sampai dengan yang paling
kecil sehingga dikenal beberapa istilah diantaranya monofilament, denies, desitex,
mikrofiber, dan serat nano (nanofiber). Pemahaman mengenai nanoscale adalah sekitar seribu
kali lebih kecil dari mikro atau sekitar 1/80.000 garis tengah helai rambut manusia. Gambar
18.2 memperlihatkan perbandingan antara rambut manusia dengan serat nano (nanofiber)
(Zubaidi,2008).

Gambar 18.2. Perbandingan antara rambut manusia dengan jaringan nanofiber


(Zubaidi, 2008).

249
Pada awalnya, pembuatan serat nano (nanofiber) dapat dilakukan dengan beberapa
metode seperti teknik pemintalan serat multikomponen, melt blowing, dan electrospinning.

18.3 Proses Elektrospinning


Elektrospun adalah alat yang digunakan untuk membuat serat nano. Dengan
menggunakan alat ini, kita dapat membuat serat nano dengan diameter antara 2 nm sampai
dengan 50 nm. Pembuatan serat nano menggunakan metode elektrospinning yang
ditunjukkan oleh Gambar 18.3.

(a)

(b)
Gambar 18.3. (a)Electrospun dan (b)Skema sistem kerja electrospinning
(Zubaidi, 2008)

250
Elektrospinning merupakan teknik yang cukup sederhana dengan cara memberikan
tegangan tinggi pada larutan polimer namun mampu menghasilkan serat nano dengan rentang
ukuran paling kecil yaitu 0,04 – 2 mikron (Tatang W danRismayani.S.,2008).
Pertama – tama, kita masukkan larutan polimer yang telah disiapkan pada tabung
semprot (syrine) dengan kecepatan penyemprotan tertentu yang dapat kita atur melalui
pompa secara konstan (matering pump). Kemudian larutan yang terdapat didalam tabung
semprot tersebut dilewatkan melalui sebuah nozzle lubang spinnered(Jet) dengan ujung kecil
dan ditarik dengan medan listrik tegangan arus searah (Direct Current/DC) yang berkekuatan
tinggi sekitar 30kVA seperti ditunjukkan pada gambar 3(b). Setelah itu, larutan yang terdapat
pada ujung nozzle tersebut ditarik oleh medan listrik yang berbentuk droplet/jet hal ini
disebabkan karena pengaruh tegangan permukaan. Selanjutnya, serat yang terbentuk akan
terkumpul pada kolektor. Kolektor ini dapat berbentuk bidang datar atau bidang silinder yang
dapat berputar secara konstan. Alat ini terdapat di Balai Besar Tekstil, Bandung (Zubaidi,
2008).
Jarak antara nozzle dengan kolektro akan berpengaruh terhadap pembentukan
(deposisi) serat dan penguapan pelarut polimer. Jika jaraknya terlalu pendek maka akan
menyebabkan pembentukan manik – manik (beads) pada serat nano yang dihasilkan. Disisi
lain, laju alir larutan polimer yang terlampau tinggi dapat menyebabkan diameter serat serta
pori yang terbentuk akan bertambah besar. Kondisi kelembaban pada proses elektrospinning
juga dapat berpengaruh terhadap proses pengeringan permukaan serat yang dihasilkan.
Kondisi larutan polimer yang harus diperhatikan antara lain konsentrasi larutan polimer yang
berhubungan dengan kekentalan (viskositas) dan tegangan permukaan larutan polimer. Jika
konsentrasi larutan terlalu encer hal ini mengakibatkan larutan lebih cepat menetes,
sedangkan jika konsentrasi larutan terlalu pekat dapat menyebabkan serat menjadi sukar
terbentuk (Tatang W dan Rismayani.S.,2008)
Gambar 18.3 menunjukkan prinsip kerja elektrospinning menghasilkan kain
nonwoven yang terdiri dari serat berukuran nano. Cara pembuatan serat nano melalui bahan
polimer yang dilarutkan sesuai dengan pelarutnya. Berikut ini dapat dilihat beberapa contoh
polimer dan pelarut yang dapat digunakan.
Tabel 18.1. Polimer dan Pelarut Polimer yang digunakan untuk Elektrospinning
(Zubaidi, 2008)

No Polimer Pelarut
1 Nilon 6, Nilon 66 Asam Formiat
2 Poliakrilonitril Dimetil Formaldehida
3 PET Asam Trifloro asetat/ Dimeti Klorida
4 PVA Air
5 Polystiren DMF / Toluena
6 Nilon-6-co-poliamida Asam Formiat
7 Polibenzimidazol Dimetl Asetanda
8 Poliramida Asam Sulfat
9 Poliimida Fenol

251
18.4 Penelitian yang Berkaitan dengan
Elektrospinning
Ada beberapa macam penelitian yang berkaitan dengan elektrospinning diantaranya
yaitu :

a. Serat nano Multikomponen


Menurut penelitian yang telah dilakukan, serat nano yang terbuat dari polyampholite
(N-carboxymetylchitosan) sebagai bahan pembuatan polielektrolit yang digunakan
sebagai anti mikroorganisme. Dalam hal ini, diperoleh serat dengan diameter 50 nm
sampai dengan 260 nm (Leslie Y.Yeodan James R.Friend., 2006). Sedangkan, dalam
pembuatan nanoelastomer seratnano dapat dibuat dari Stirena-Butaena-Stirena(SBS)
yang menghasilkan bahan nonwoven yang elastis dan berbentuk kristal yang kurang
bersifat birefrigent, dengan diameter berkisar antara 100nm(www.umassd.edu, 2012).

b. Fibroin
Fibroin merupakan benang yang terbuat dari ulat sutera dan telah digunakan sebagai
bahan tekstil yang berkualitas, dan dalam bidang kedokteran dapat juga dimanfaatkan
sebagai benang bedah yang nondegradable serta sifatnya elastis dan lembut. Menurut
penelitian yang telah dilakukan, fibroin (bagian utama serat sutera) dapat dihasilkan
dengan elektrospinning. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh So Hyun Kim et al.
mendapati bahwa serat nano berhasil dibuat dari fibroin sutera dengan menggunakan
alat elektrospinning dengan pelarut yang digunakan adalah asam formiat. Diameter
yang diperoleh sebesar 80 nm dengan sebaran antara 30 nm sampai dengan 120 nm.
Porositas dari nonwoven yang dihasilkan sebesar 76,1% yang berarti sangat baik. Hal
ini menunjukkan bahwa telah berhasil ditemukan bahan berongga yang bersifat
nondegradable, bicompatible, yang elastis dan lembut (Reinstein Z., 2006).

c. Hidrofilik dan Hidrogel


Serat nano juga dapat dibuat dari bahan yang mempunyai sifat hidrofilik tinggi
maupun hidrogel. Polimer hidrofilik yang bersifat mudah menyerap air sehingga
dapat dengan mudah larut dalam larutan. Sedangkan, polimer hidrogel yang
mengandung banyak ikatan silang dapat mengikat banyak air tanpa terjadi kelarutan.
Nonwoven yang berukuran nano terbuat dari protein dan mempunyai sifat hidrogel
dapat digunakan sebagai perekat yang berguna untuk menggantikan penggunaan
benang jahit setelah dilakukan operasi mata (Zubaidi, 2008).

18.5 Alat Identifikasi Nanofiber


Pengamatan morfologi pada serat nano dapat dilakukan dengan menggunakan AFM
(Atomic Force Microscope).

252
Gambar 18.4. Skema Alat Atomic Force Microscope
(http://roilbilad.files.wordpress.com, 2010)

18.6 Aplikasi Nanofiber


Serat nano (nanofiber) dan elektrospinning adalah material dan teknologi yang sangat
penting sekali untuk menunjang kemajuan nanoteknologi dari berbagai bidang,salah satu nya
adalah bidang olahraga.Perusahaan In Mat di New Jersey telah mengembangkan lapisan
tanah liat dengan ketebalan 1nm. Ketika material tersebut digunakan untuk melapisi bagian
dalam bola tenis, maka akan dapat menahan udara didalam bola jauh lebih efektif dari karet
biasa, sehingga umur bola dapat bertahan lama. Hal lain yang berkaitan dengan bidang
olahraga adalah penggunaan Nanotex pada sebuah pabrik tekstil di Greensboro, North
Carolina yang mengembangkan pakaian aktif yang dapat menghamburkan dan mengeringkan
keringat. Produk yang dibuat adalah kaos kaki, T-Shirt, dan pakaian dalam yang dapat
menyerap bau badan.

18.7 Kesimpulan
Dari hasil review ini dapat diketahui sejauh mana kemampuan nanofiber dan
elektrospinning untuk dapat dimanfaatkan sebagai bahan dimasa mendatang. Sehingga, dapat
disimpulkan bahwa pembuatan nanofiber dengan menggunakan alat elektrospinning sangat
dipengaruhi oleh beberapa variabel antara lain jarak antara nozzle dengan kolektor, kemudian
laju alir larutan polimer, konsentrasi dan konduktivitas larutan polimer. Disisi lain, kondisi
lingkungan saat pembuatan nanofiber berlangsung juga harus diperhatikan. Nanofiber dan
elektrospinning mempunyai pengaruh yang besar dalam menunjang nanoteknologi dan dapat
dimanfaatkan dalam berbagai disiplin bidang ilmu antara lain kedokteran, olahraga, dan
sebagai nya.

253
DAFTAR PUSTAKA
Reinstein Z., Textile Stain Repellency and Self Cleaning. Advanced Material
Engineering.(2006).

Roilbilad.files.wordpress.com/2010/11/skema-ilustratif-afm.jpg (diakses pada tanggal 25


november 2012.Pukul 01.00wib)

Singh, K. V., Rouge, B., Sawhney, P. S., et al., Applications and Future of Nanotechnology
in Textiles. Proceedings of Beltwide Cotton Conferences, San Antonio, Texas, (2,497-
2,503) (2006).

Umassd.edu/engineering/textiles/dyeablePP/index.html (diakses pada tanggal 25 november


2012.Pukul 01.00wib).

Wahyudi, T.,Rismayani, S., Aplikasi Nanoteknologi pada Bidang Tekstil, Bandung: Balai
Besar Tekstil. Arena Tekstil 23-2, (52-109) (2008).

Y.W.H,Wong;C.W.M.Yuen, M.Y.S.Leung,.dkk. Selected Applications of Nanotechnology in


Textile. AUTEX Research Journal, 6, 1-8 (2006).

Yeo L.Y., Friend J.R, Electrospinning Carbon Nanotube Polymer Composite Nanofiber.
Journal of Experimental Nanoscience, 1-2(177-209) (2006).

Zubaidi, Nanofiber dan Elektrospinning serta Pemanfaatannya dalam Pembuatan Tekstil


Masa Depan., Bandung : Balai Besar Tekstil, Arena Tekstil 23(1-51) (2008).

254
BAB 19
Aplikasinya Carbon Nanotube
sebagai Drug Delivery System
untuk Terapi Kanker
Oleh : Nila Prasetya Aryani

19.1. Kanker Dan Pengobatannya


Kanker merupakan penyakit yang disebabkan oleh pertumbuhan sel – sel
jaringan tubuh yang tidak normal. Sel – sel tersebut akan membelah secara terus
menerus tak terkendali. Pada keadaan normal, sel akan membelah jika ada sel yang
mati. Akan tetapi, pada penderita kanker, sel kanker akan membelah dengan
sendirinya walaupun tubuh tidak membutuhkannya. Akibatnya, sel-sel tersebut akan
menumpuk dan akan menyerang jaringan didekatnya. Selain itu, sel – sel tersebut
akan menyebar melalui jaringan ikat dan aliran darah sehingga mengganggu kerja
organ tubuh yang ditempatinya.
Kanker bisa menyerang semua organ tubuh baik di luar maupun di dalam
tubuh. Apabila kanker tersebut menyerang bagian luar tubuh, akan mudah diobati.
Akan tetapi, jika sel kanker menyerang organ di dalam tubuh, maka akan sulit diobati.
Hal ini dikarenakan tidak ada gejala yang dirasakan penderita kanker. Jika timbul
gejala, penyakit tersebut sudah dalam stadium lanjut sehingga akan sulit diobati. Ada
beberapa jenis kanker yang berbahaya, diantaranya :
a) Kanker Serviks
Kanker serviks dikenal juga sebagai kanker leher rahim. Kanker serviks
disebabkan oleh papilloma virus onkogenik. Penyebab kanker serviks diantaranya
adalah tidak menjaga kebersihan organ vital, berhubungan seksual di usia terlalu
muda, dan penyakit menular seksual.

Gambar 19.1. Kanker Serviks (http://trendhidupsehat.com/article/102110/obat-


kanker-rahim.html)

255
b) Leukemia
Leukimia disebut juga kanker darah. Leukemia menyerang sistem darah yaitu
menyerang sumsum tulang belakang dan jaringan limfoid yang umumnya terjadi
pada sel darah putih. Penyebab kanker darah adalah radiasi material berbahaya
dan faktor leukomogenik.
c) Kanker payudara
Kanker ini merupakan pembunuh wanita nomer satu di dunia. Kanker payudara
menyerang jaringan payudara dan umumnya terjadi pada wanita.

Gambar 19.2. Tahap-tahap kanker payudara


(http://trendhidupsehat.com/article/102705/obat-kanker-payudara.html)

d) Kanker paru-paru
Merokok adalah penyebab utama kanker paru-paru. Sekitar 90% kasus kanker
paru-paru yang terjadi pada laki-laki dan 70% kasus yang terjadi pada wanita.
Hanya sebagian kecil kanker paru-paru yang disebabkan oleh zat yang terhirup
seperti polusi dan gas-gas berbahaya lainnya. Gejala kanker paru-paru
diantaranya adalah batuk berdahak yang terus menerus, dahak berdarah, napas
sesak, sakit kepala, kelelahan kronis, pembengkakan di wajah/leher.

Selain yang sudah dijelaskan di atas, masih banyak lagi jenis kanker yang
menyerang tubuh manusia.

Berbagai cara dilakukan oleh dokter dan peneliti untuk mengobati penyakit
kanker baik yang alami maupun yang menggunakan teknologi. Pengobatan kanker
yang populer diantaranya adalah radioterapi, operasi untuk mengambil sel kanker dari
tubuh, dan yang paling diminati adalah kemoterapi. Berikut ini penjelasan lebih detail
tentang jenis-jenis pengobatan kanker :

a) Radioterapi
Pengobatan dengan cara ini dilakukan sebelum atau sesudah operasi. Tujuannya
adalah untuk mengecilkan tumor dan membersihkan sel kanker. Radioterapi
dilakukan dengan cara penyinaran pada jaringan tubuh yang terkena sel kanker.
Hal ini juga bertujuan untuk menghancurkan jaringan-jaringan tubuh yang sudah
terkena kanker. Efek dari radioterapi adalah mual, muntah, penurunan jumlah sel
darah putih, infeksi/peradangan, reaksi pada kulit seperti terbakar sinar matahari,

256
rasa lelah, sakit pada mulut dan tenggorokan, diare, dan dapat menyebabkan
kebotakan.

Gambar 19.3. Perangkat radioterapi clinic dengan meja tidur pasien


(http://id.wikipedia.org/wiki/Radioterapi)

b) Operasi
Pembedahan/operasi merupakan teknik pengobatan kanker yang paling tua.
Pembedahan dilakukan untuk menentukan stadium dan juga untuk mengangkat
sel kanker. Beberapa pasien kanker menganggap pengobatan dengan cara ini
merupakan pengobatan yang paling menakutkan. Oleh sebab itu, pengobatan
dengan cara operasi sudah tidak popular lagi di kalangan penderita kanker. Pasien
kanker lebih memilih pengobatan tanpa operasi.

c) Kemoterapi
Kemoterapi merupakan pengobatan kanker yang melibatkan penggunaan zat-zat
kimia untuk membunuh dan meracuni sel-sel kanker yang ada di dalam tubuh.
Kemoterapi telah digunakan sebagai standard protocol pengobatan kanker sejak
tahun 1950.
Pada pengobatan kanker, kemoterapi dapat diaplikasikan dengan 3 cara, yaitu :
a. Terapi utama (primer)
Merupakan kemoterapi yang memang bertujuan untuk memberantas dan
membunuh sel-sel kankernya.

b. Terapi ajuvan (tambahan)


Kemoterapi yang diaplikasikan sebagai terapi ajuvan hanya digunakan untuk
memastikan sel kanker sudah bersih dan tidak kembali. Biasanya terapi ini
dilakukan pada pasien yang baru menjalani operasi pengangkatan sel kanker
maupun menjalani radioterapi.
c. Terapi paliatif
Terapi ini hanya bersifat mengendalikan pertumbuhan sel kanker, bukan untuk
menyembuhkan atau memberantasnya. Terapi ini biasanya dilakukan untuk
pasien yang sudah stadium lanjut dimana sel kanker sudah menyebar ke organ-
organ lain di dalam tubuh.

Kemoterapi memang merupakan teknik pengobatan kanker yang paling diminati.


Akan tetapi, kemoterapi memiliki beberapa efek samping. Jon Barron, seorang pakar
teknologi dari Havard dam MIT, dalam artikelnya yang berjudul ‘Chemoterapy, An

257
Interesting Choice’, menuliskan bahwa kerugian utama kemoterapi adalah bahwa
zat-zat kimia yang masuk ke dalam tubuh tidak hanya membunuh sel-sel kanker
yang sedang membelah diri, tetapi semua sel yang membelah diri. Sel-sel sehat yang
sedang membelah diri tidak luput dari serangan zat-zat kimia tersebut. Sebagai
contoh, terdapat probabilitas yang tinggi bahwa sel-sel imun tubuh yang cepat
membelah diri juga akan mati.hal ini tentu akan sangat merugikan, karena tubuh kita
tidak mampu memerangi penyakit lain yang timbul sebagai akibat dari perawatan.

Merujuk pada penjelasan di atas, maka diperlukan adanya drug delivery yang
bisa mengantarkan obat kanker tanpa merusak sel kanker. Untuk merealisasikan hal
tersebut, diperlukan adanya material yang mampu masuk ke dalam tubuh dan
mengantar obat hanya pada sel kanker. Carbon Nanotube (CNT) merupakan salah
satu material yang paling potensial untuk digunakan sebagai drug delivery cargos.

19.2. Carbon Nanotube (CNT)


Carbon Nanotube (CNT) merupakan struktur graphit yang digulung sehingga
menyerupai tabung. Struktur CNT pertama kali ditemukan oleh Sumio Iijima dari
NEC laboratories pada tahun 1991. Berdasarkan jumlah sheel yang dibentuknya,
CNT dibagi menjadi dua jenis, yaitu Single Walled Carbon Nanotube (SWCNT) dan
Multi Walled Carbon Nanotube (MWCNT).
Single Walled Carbon Nanotube (SWCNT) merupakan carbon nanotube yang
hanya memiliki satu lapisan grafen sedangkan Multi Walled Carbon Nanotube
(MWCNT) merupakan carbon nanotube yang memiliki dua atau lebih lapisan-lapisan
grafen. Berikut ini adalah penjelasan lebih lanjut mengenai Single Walled Carbon
Nanotube (SWCNT) dan Multi Walled Carbon Nanotube (MWCNT).

19.2.1. Single Walled Carbon Nanotube (SWCNT)

258
Gambar 19.4. Struktur Molekul (a) C60 (b) SWCNT (www.hielscher.com/CNT)

SWCNT merupakan CNT yang hanya terdiri dari satu sheel (cangkang) saja.
Akan tetapi, SWCNT sangat tahan terhadap kerusakan akibat gaya fisis yang
mengenainya.

19.2.2. Multi Walled Carbon Nanotube (MWCNT)

Gambar 19.5. MWCNT


(http://wisnutech.blogspot.com)

MWCNT merupakan CNT yang terdiri dari lapisan-lapisan cangkang.


Penumbuhan CNT jauh lebih mudah daripada penumbuhan SWCNT.

CNT mempunyai beberapa sifat penting yang membuat CNT tersebut mampu
dijadikan sebagai drug delivery, antara lain:
a. CNT dapat menembus nuclei sel.
b. CNT dapat menembus membrane sel. Hal ini sangat penting, karena ketika drug
delivery dimasukkan ke dalam tubuh, material pembawa harus bisa menembus
membrane sel yang ada di dalam tubuh supaya bisa mencapai sel kanker.
c. Ukuran CNT yang berskala nano membuat sel-sel lain di dalam tubuh tidak
menyadari CNT sebagai ‘pendatang’.
d. CNT memiliki volume yang besar sehingga obat-obat kanker bisa disisipkan ke
dalamnya.

19.3. CNT sebagai drug delivery system


CNT memiliki beberapa kekurangan jika material tersebut diaplikasikan untuk
drug delivery system, diantaranya adalah :
a. Untuk menjadi drug delivery yang bisa masuk ke dalam tubuh, material yang
digunakan harus mempunyai solubilitas yang sama dengan tubuh. Hal ini
dikarenakan sebagian besar dari tubuh manusia adalah air. CNT memiliki
solubilitas yang rendah sehingga kita harus meningkatkan solubilitas
CNT supaya material tersebut bisa diaplikasikan sebagai drug delivery.
b. Untuk saling berikatan, rantai-rantai karbon pada CNT mengalami gaya Van Der
Waal secara alamiah. Gaya Van Der Waal tersebut menyebabkan CNT akan
mengikat satu sama lain jika bertemu CNT lainnya. Hal ini akan sangat

259
merugikan jika CNT diaplikasikan sebagai drug delivery. Oleh karena itu, kita
harus mengurangi gaya Van Der Waal tersebut.

Untuk mengatasi masalah di atas, Foldvari et al. telah menemukan empat


metode yang dapat dilakukan :
a. Surfactant-assisted dispersion
b. Solvent Dispersion
c. Functionalization Sidewalls
d. Biomolecular Dispersion
Diantara keempat metode tersebut, functionalization merupakan metode yang
paling baik untuk mengatasi masalah CNT sebagai drug delivery.

19.4. Functionalization CNT


Prinsip dari functionalization adalah membuat ikatan carbon pada CNT
berikatan dengan material lain. Jika ikatan tersebut merupakan ikatan kovalen, maka
disebut covalent functionalization, sebaliknya jika ikatan tersebut merupakan ikatan
non-kovalen maka disebut non-covalent functionalization.
Functionalization berfungsi untuk meningkatkan solubilitas CNT dan
mengurangi ikatan alami diantara mereka. Setelah dilakukan proses functionalization,
masih banyak proses yang harus dilakukan untuk membuat CNT menjadi drug
delivery yang siap diaplikasikan ke dalam tubuh manusia.
Berikut adalah contoh proses ikatan antara N-succimidyl-1-pyrenebutanoic
dengan permukaan SWCNT yang membentuk non-covalent functionalization.

Gambar 19.6. non-covalent functionalization


(Pasrotin, G., 2008)

Tabel 19.1. Tipe functionalization (Pasrotin, G., 2008)


CNT Functionalization Agen Aplikasi
therapeutic
SWCNT 1-pyrenebutanoic acid, Protein (ferritin Terapi
succimidyl ester dan kanker
streptavidin)
Amphiphilic (PEG)-copolimer Doxorubicin Terapi
kanker
Non-covalent
Co-polimer pluronic F127 Doxorubicin Terapi
functionalization
kanker
SWCNT-ox SWCNTs-CONH-C 6 H 12 NH3 + siRNA Terapi
kanker
MWCNT Co-polimer pluronic F127 Doxorubicin Terapi
kanker

260
SWCNT-ox EDC+Biotin/Streptavidin+ Streptavidin Terapi
kanker
Covalent MWCNT- EDC+NHS Gonadotropin Terapi
functionalization ox kanker
MWCNT 1,3-dipolar cycloaddition dari Methotrexate Terapi
azomethine ylides (MTX) kanker

Dari tabel di atas, terlihat bahwa :


a. Untuk ‘mengantar’ protein (ferritin dan streptavidin) ke dalam tubuh, diperlukan
SWCNT yang berikatan dengan 1-pyrenebutanoic acid, succinimidyl ester secara
non-kovalen (non-covalent functionalization)
b. Untuk ‘mengantar’ Doxorubicin (DOX) ke dalam tubuh, diperlukan SWCNT
yang berikatan dengan amphiphilic (PEG)-based copolymer atau co-polymer
pluronic F127 secara non-kovalen (non-covalent functionalization)
c. Untuk ‘mengantar’ prodrug Pt ke dalam tubuh, diperlukan SWCNT yang
berikatan dengan PEG-platinum(IV) constract secara non-kovalen (non-covalent
functionalization)
d. Untuk ‘mengantar’ streptavidin ke dalam tubuh, diperlukan SWCNT yang
berikatan dengan EDC+Biotin secara kovalen (covalent functionalization)
e. Untuk ‘mengantar’ Methotrexate ke dalam tubuh, diperlukan SWCNT yang
berikatan dengan 1,3-dipolar cicloaddition of azomethine ylides secara non-
kovalen (covalent functionalization)

Functionalization merupakan tahao awal yang dilakukan agar CNT dapat


dimanfaatkan sebagai drug delivery. Masih banyak tahapan-tahapan yang harus
dilakukan. Berikut ini adalah skema tahapan-tahapan yang harus dilakukan agar CNT
dapat dimanfaatkan sebagai drug delivery.

Konjugasi Menutup
functionalization Pengisian obat silika dg silika

CNT CNT-COOH CNT-COOH pemanasan


Yang diisi dengan
obat

261
Gambar 19.7. Tahap-tahap yang dilakukan untuk membuat CNT sebagai drug delivery
(http://youtube.com/functionalization-of-singlewalledCNT)

19.5. Kesimpulan
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa CNT dapat digunakan
sebagai drug delivery cargos untuk mengantarkan obat kanker hanya pada sel kanker,
tidak merusak sel yang sehat. Untuk membuat CNT stabil di dalam tubuh, maka
diperlukan perlakuan functionalization yaitu usaha untuk mengurangi ikatan Van Der
Waal dan meningkatkan solubilitas CNT.

DAFTAR PUSTAKA
Pasrotin, G., Crucials Functionalization of Carbon Nanotube for Improved Drug Delivery : a
Valuable Option?, Springer Science 26, 746-763 (2008)

Sinha, N., Carbon Nanotubes for Biomedical Applications. IEEE 4, 180-191 (2005)

Zhang, W., Zhang, Z., Zhang, Y., The Application of Carbon Nanotube in Targer Drug
Delivery System for Cancer Therapies, Nanoscale Research Letter (2011)
(http://www.nanoscalereslett.com/content/6/1/555)

262
http://trendhidupsehat.com/article/102110/obat-kanker-rahim.html (diakses tanggal 3
Desember 2012)

http://trendhidupsehat.com/article/102705/obat-kanker-payudara.html (diakses tanggal 3


Desember 2012)

http://id.wikipedia.org/wiki/Radioterapi (diakses tanggal 22 November 2012)

http://www.hielscher.com/CNT (diakses tanggal 23 November 2012)

http://wisnutech.blogspot.com (diakses tanggal 23 November 2012)

http://youtube.com/functionalization-of-singlewalledCNT (diakses tanggal 24 November


2012)

263
Bab 20
Detektor Gas Etilen pada Buah
dengan Carbon Nanotube
Oleh : Nuha

20.1 PENDAHULUAN
Etilene (C 2 H4 ) adalah hormone terkecil pada tumbuhan. Etilen memiliki
peranan penting dalam proses pertumbuhan dan perkembangan tumbuhan. Fungsi
dan peran Etilen diantaranya adalah sebagai penginisiasi kematangan buah,
membantu dalam perkembangan kecambah dan bunga, dan juga bertanggung jawab
dalam proses pembusukan bunga dan buah. Proses kematangan buah merupakan hasil
dari Etilen yang berikatan dengan reseptor ETR1. Jika kita ingin menentukan waktu
panen, kita dapat mengamati prosesnya, yaitu dengan mendeteksi emisi gas Etilen
yang dihasilkan dari buah tersebut.
Berbagai metode telah dikembangkan untuk mendeteksi gas Etilen. Secara
traditional, konsentrasi gas Etilen dapat dideteksi dengan menggunakan gas
kromatografi dan photo-acoustic spektrokopi. Tetapi kedua metode tersebut memiliki
kekurangan, yaitu sistem operasional yang tidak prkatis dan pengukuran yang
dilakukan tidak real-time, dan juga membutuhkan peralatan yang harganya mahal.
Metode lainnya yang telah dikembang diantaranya metode elektrokimia, sensor
magneto elastis, photoluminescence quenching, amperometrik, dan metode chemo-
resistive. Beberapa metode tersebut membutuhkan biaya yang tinggi, tidak praktis,
dan kurang senstitif terhadap gas Etilen. Pada makalah ini, akan diulas kembali
mengenai perkembangan modifikasi metode chemo-resistive dengan penambahan
SWNT.

20.2 CARBON NANOTUBE


Carbon Nanotube (CNT) merupakan struktur graphit (hibridisasi–sp2) yang
terdiri dari rantai karbon dengan dimensi dalam satuan nanometer. Pada tahun 1970,
Morinobu Endo, peneliti dari Jepang, menemukan filamen karbon berukuran 7
nanometer. Saat itu, penemuan Morinobu belum menarik kalangan peneliti lainnya.
Pada tahun 1991, Sumio Iijima berhasil menemukan struktur dan sifat-sifat karbon
nanotube.

Karbon nanotube yang ditemukan Profesor Iijima merupakan suatu rantaian


atom karbon yang terikat di antara satu sama lain secara heksagonal berbentuk
silinder tak pejal yang mempunyai diameter 1-2 nanometer. Panjang silindernya tidak
dalam skala nano melainkan dalam skala mikrometer sampai sentimeter.

264
Berdasarkan jumlah dindingnya, CNT dibagi menjadi dua yaitu single-walled
carbon nanotube (SWNT) dan multi-walled carbon nanotube (MWNT). Gambar 20.1
dan 20.2 merupakan struktur dari SWNT dan MWNT.

Gambar 20.1 SWNT (http://www.chem-is-try.org/artikel_kimia/katalis-di-


dalam-tabung-karbon-nano)

Gambar 20.1. MWNT (http://wisnutech.blogspot.com)

SWNT merupakan platform yang ideal untuk sensor kimia (Ding, 2012).
SWNT memiliki kisi konjugasi hibridisasi-sp2, konduktivitas yang tinggi, dan nilai
perbandingan yang cukup besar antara diameter dan panjang. Karakter ini sangat
menguntungkan. Bentuk kisi seperti ini memungkinkan efesiensi transpot elektron.
Tingginya konduktivitas mempengaruhi tingkat senstivitas terhadap perubahan
lingkungan disekitarnya. Perbandingan yang cukup besar antara diameter dan
panjang dan konduktivitas yang tinggi merupakan alasan SWNT dapat digunakan
sebagai sensor.

265
20.3 METODE MENDETEKSI GAS ETILEN
Proses pematangan buah merupakan hasil ikatan antara Etilen dengan reseptor
ETR1. Konsentrasi Etilen di dalam buah dapat dijadikan sebagai indikator penentuan
waktu panen dari buah tersebut. Gambar 20.3 menunjukan proses pematangan buah
pisang. Pisang yang belum matang ditunjukan oleh nomor satu sedangkan nomor
tujuh menunjukan pisang yang sudah matang.

Gambar 20.2. Proses pematangan buah pisang


(http://smalltownrevelations.wordpress.com/2011/03/17/the-trouble-with-bananas)

Secara tradisional, konsentrasi gas Etilen dideteksi dengan gas kromatografi


menggunakan gas kromatografi dan photo-acoustic spektrokopi. Metode lainnya
yang telah dikembang diantaranya metode elektrokimia, sensor magneto elastis,
photoluminescence quenching, amperometrik, dan metode chemo-resistive. Pada
tahun 1998, F. I. Rodgriguez dan kawan-kawan, menggunakan copper (I) complex or
CuI untuk mendeteksi gas Etilen. Rodgriguez dan kawan-kawan terinspirasi dari alam,
CuI secara alami ditemukan sebagai kofaktor yang penting dari reseptor ETR1,
sedangkan saat proses pematangan buah reseptor ETR1 berikatan dengan gas etilen.
Jadi, saat mendeteksi gas etilen, CuI digunakan dengan mendeteksi keberadaan
reseptor ETR1.Tetapi sistem sensor ini masih sulit mendeteksi keberadaan gas etilen,
karena ukuran etilen yang sangat kecil dan kurang polarnya etilen (Esser, 2012).

Pada tahun 2010, Timothy Swager dan kawan-kawan berhasil


mengembangkan fluorescence sensor menggunakan Cu1 (Esser, 2010). Tetapi sistem
sensor ini hanya mampu mendeteksi konsentrasi Etilen dalam jumlah yang sangat
tinggi yaitu sekitar 1000 ppm. Konsentrasi di bawah 1000 ppm tidak dapat dideteksi,
sedangkan konsentrasi gas Etilen yang dihasilkan saat proses pematangan buah hanya
sekitar 0,5-50 ppm (Esser, 2012). Pada tahun 2012, Timothy menambahkan SWNT
pada sistem sensor yang dikembangkan dua tahun sebelumnya. Gambar 4 merupakan
skema sistem sensor chemo-resistive yang dikembangkan Timothy dan kawan-kawan
pada tahun 2012.

266
Gambar 20.3. Skema skema sistem sensor chemo-resistive untuk mendeteksi
gas Etilen ( Esser, 2012)

Secara sederhana prinsip kerja dari sistem sensor ini adalah sebagai berikut :
1. Sebelum Etilen datang, Cu1 berinteraksi dengan SWNT,
2. Saat Etilen datang, Cu1 berikatan dengan molekul Etilen membentuk Cu–
ethylene kompleks 2, yang menyebabkan perubahan resitansi,
3. Perubahan resistansi ini yang dideteksi oleh SWNT.

Semakin banyak etilen yang berikatan dengan Cu1 menggambarkan semakin


tinggi konsentrasi Etilen yang diemisikan oleh buah. Kehadiran SWNT dalam sistem
sensor ini, meningkatkan tingkat sensitifitas dari sistem tersebut, dikarenakan SWNT
dapat mendeteksi perubahan resistansi yang kecil.

Parameter dari suatu sistem sensor kimia yang baik adalah tingginya tingkat
sensitifitas dan selektifitasnya. Untuk mengetahui tingkat sensitifitas dari sistem
sensor ini, dilakukan pengukuran kepada beberapa jenis buah yang berbeda. Jenis
buah yang digunakan diantaranya pisang, apel, pir, dan jeruk. Sedangkan untuk
mengetahui tingkat selektifitas terhadap Etilen, dilakukan pengukuran tanggapan dari
Cu1-SWNT dan SWNT murni terhadap beberapa zat lainnya yang berperan dalam
proses metabolism pada buah. Beberapa zat lainnya diantaranya adalah acetonitrile,
tetrahydrofuran, acetaldehyde, air, etil asetat, etanol, n-Hexane dan klorofrom.
Konsentrasi dari zat–zat tersebut antara 75 sampai 200 ppm, sedangkan konsentrasi
gas Etilen hanya 50 ppm.

20.4 HASIL DAN DISKUSI


Gambar 20.5 menunjukan respon devais Cu1-SWNT terhadap gas etilen (20
ppm), pisang, alpukat, apel,pir dan jeruk. Respon devais Cu1-SWNT terhadap gas
etilen dengan konsentrasi 20 ppm bernilai 1. Sedangkan respon tertinggi ditunjukan
oleh buah pisang. Respon yang tinggi menandakan bahwa konsentrasi gas etilen yang
diemisikan semakin tinggi. Dengan kata lain, buah pisang mengemisikan gas etilen
paling banyak, sedangkan jeruk mengemisikan gas etilen paling sedikit.

267
Gambar 20.4. Grafik respon devais Cu1-SWNT terhadap gas etilen (20 ppm),
pisang, alpukat, apel,pir dan jeruk (Ding, 2012)

Tinggi rendahnya konsentrasi gas etilen yang diemisikan dapat menjadi


indikator cepat lambatnya pematangan dan pembusukan buah. Berdasarkan tinggi
rendahnya konsentrasi gas etilen dan karbon dioksida (CO 2 ) yang diemisikan, buah
dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu klimetrik, jenis buah yang memproduksi
CO 2 and C 2 H4 dalam jumlah banyak saat proses pematangan; dan non-klimetrik,
jenis buah yang memproduksi CO 2 and C 2 H4 dalam jumlah sedikit saat proses
pematangan.

Gambar 20.6 menunjukan emisi gas etilen dari beberapa buah selama 25 hari
pengamatan. Pada minggu pertama terjadi peningkatan konsentrasi gas etilen pada
buah alpukat, pir dan jeruk. Setelah minggu kedua terjadi penurunan, ini dikarenakan
buah tersebut mulai mengalami proses pembusukan. Dari Gambar 20.6 dapat dilihat
bahwa pisang, alpukat, apel dan pir termasuk jenis buah klimetrik sedangkan jeruk
termasuk jenis buah non-klimetrik. Karena jeruk termasuk jenis buah non-klimetrik,
maka emisi gas etilen cenderung konstan dan nilai responnya di bawah satu. Nilai
respon di bawah satu ini menunjukkan bahwa emisi gas etilennya dibawah 20 ppm.

Dalam pengujian ini, dilakukan juga perbandingan terhadap jenis buah yang
sama tapi tempat penyimpanan yang berbeda. Jenis buah yang dipilih adalah apel.
Apel 1 adalah apel yang disimpan di dalam lemari es sedangkan apel 2 adalah apel
yang disimpan pada temperatur ruang. Dari gambar 20.6 dapat dilihat bahwa emisi
gas etilen apel 2 lebih cepat turun, artinya proses pembusukan semakin cepat.

268
Gambar 20.5. Emisi gas etilen pada beberapa buah selama 25 hari (Esser,
2012)

Gambar 20.7 menunjukkan respon Cu1-SWNT dan SWNT murni terhadap


beberapa zat. Hal ini dilakukan untuk mengetahui tingkat selektifitas Cu1-SWNT
terhadap gas etilen dan zat lainnya. Dari gambar 20.7 dapat dilihat bahwa respon Cu1-
SWNT terhadap gas etilen paling tinggi. Sedangkan respon SWNT murni terhadap
keseluruhan sangat kecil. Ini menunjukan bahwa SWNT tidak bereaksi dengan zat
tersebut, SWNT hanya mendeteksi perubahan resistansi akibat Cu1 yang berikatan
dengan molekul etilen.

Gambar 20.6. Perbandingan respon Cu1-SWNT dan SWNT murni terhadap


beberapa zat (Esser, 2012)

269
20.5 KESIMPULAN
Dari hasil pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa sistem sensor
berbasis Cu1-SWNT untuk mendeteksi gas etilen telah berhasil dikembangkan. Dari
hasil pengujian yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa sistem sensor berbasis Cu1-
SWNT memiliki tingkat sensitifitas dan selektifitas yang tinggi. Sistem sensor ini
juga dapat mendeteksi gas etilen sampai di bawah 20 ppm.

270
DAFTAR PUSTAKA
Ding, M., Star, A. Selecting Fruits with Carbon Nanotube. Angew. Chem. Int. Ed. 2012, 51,
7637 – 7638. (2012)

Esser, B., Schnorr, J. M., Swager, T. M. Detection of Ethylene Gas by Fluorescence Turn-On
of a Conjugated Polymer. Angew. Chem. Ed. Int. 2010, 49, 8872-8875. (2010).

Esser, B., Schnorr, J. M., Swager, T. M. Selective Detection of Ethylene Gas Using Carbon
Nanotube-based Devices: Utility in Determination of Fruit Ripeness. Angew. Chem.
Int. Ed. 2012, 51, 5752 – 5756. (2012).

271
Bab 21
Hipertermia Magnetik:
Terapi Kanker Menggunakan
Nanopartikel Magnetik
Oleh : Riri Murniati

21.1 Pendahuluan
Nanosains dan nanoteknologi merupakan ranah ilmu yang dewasa ini
berkembang sangat pesat dan aplikasinya digunakan dalam berbagai bidang.
Ukuran partikel yang sangat kecil namun dengan efisiensi yang lebih tinggi
merupakan alasan ilmu ini menarik untuk dikembangkan. Isu–isu
nanoteknologi telah menyebar luas di masyarakat Indonesia, khususnya di
kalangan akademika. Perkembangan tentang nanoteknologi di Indonesia
berlangsung secara terus–menerus terlihat dari makin banyak riset maupun
karya ilmiah yang dibuat mahasiswa atau dosen yang berkaitan dengan
nanoteknologi.
Nanoteknologi dapat diaplikasikan pada dua jenis subyek mayor, yaitu
Life Science dan Technology. Aplikasi dalam Life Sciencemerupakan aplikasi
nanoteknologi dalam bidang medis maupun biologi yang bersifat selalu
mengalami perkembangan, seiring halnya dengan perkembangan kontinyu
nanoteknologi di Indonesia. Life Science juga merupakan ilmu sains yang
esensial, sangat dibutuhkan oleh masyarakat, bagi Indonesia subyek Life
Science lebih dibutuhkan dan lebih sering dicari dibanding Technology. Yang
dimaksud dengan Technology disini adalah aplikasi nanoteknologi yang
ditekankan pada karya cipta gadgets canggih. Nanoteknologi pada dasarnya
ada tiga macam, yaitu: nano-proses, nano-material dan nano-karakterisasi.
Untuk kasus nanomaterial, memiliki berbagai macam jenis, yang akan diulas
disini adalah mengenai jenis nanopertikel magnetik atau Magnetic Nano-
Particles (MNPs).
Terapi pengobatan kanker selama ini baik kemoterapi, radioterapi
maupun pembedahan masih belum memperoleh hasil yang memuaskan
sehingga diperlukan terapi pengobatan alternatif yang lebih efektif dan tidak
memberikan efek samping yang signifikan. Secara keilmuan, maka hampir

272
semua konsep pengobatan alternatif yang baik, didasarkan atas 3 macam
terapi yang dirangkaikan sebagai berikut: Pertama adalah terapi untuk
melindungi sel yang sehat dari serangan sel kanker. Ini dilakukan dengan
memberi nutrisi yang berlimpah pada sel yang sehat dengan cara mengubah
diet (memilih jenis makanan) dan meningkatkan alkaline dan menurunkan
keasaman tubuh. Umumnya penderita diubah cara makannya menjadi
vegetarian atau hampir vegetarian dengan beberapa pengecualian. Terapi
yang terkenal dalam konsep ini adalah Gerson Therapy dan Budwig Protocol,
Cellect Budwig atau beberapa terapi lainnya.
Terapi kedua adalah terapi untuk membunuh sel kanker dan
menghentikan penyebarannya. Banyak cara yang tersedia untuk
melakukannya, misalkan dengan membuat badan menjadi alkaline seperti di
atas agar kanker tidak dapat hidup, yang dilakukan dengan cara
menambahkan sejumlah supplement tertentu untuk menaikkan alkalinitas
badan dengan cepat. Cara lain adalah dengan menaikkan temperatur badan
pasien agar sel kanker mati (Hyperthermia Therapy), memaksimalkan oxygen
di dalam badan (Ozon Therapy atau Peroxide Therapy), Magnetic Field
Therapy, Electromedicine Therapy, Intravenus Vit-C dan beberapa cara
lainnya yang efektif membunuh sel kanker atau merubahnya menjadi sel
normal. Ada beberapa klinik yang menggunakan teknik “low-dose” chemo
yang menggunakan cairan kemo khusus, dengan kadar kurang dari 10% dari
yang umum dipakai, namun diberikan dengan cara yang berbeda (diberikan
sejalan dengan terapi hipertermia magnetik). Terapi Ketiga adalah untuk
meningkatkan daya kekebalan tubuh agar pada jangka waktu yang lama atau
secara permanen tidak akan terjadi remisi kanker (kanker muncul kembali).
Ini dilakukan dengan cara Homeophaty therapy, detoxification, nutritional
theraphy, Enzyme therapy, psychological therapy, spiritual support dan
lainnya.
Seluruh jenis terapi ini adalah sangat natural dan tidak memiliki efek
samping. Dapat juga kita lihat bahwa pendekatan cara pengobatan alternatif
ini sangat berbeda dengan cara konvensionaldimana kanker yang sebenarnya
hanya puncak dari symptom yang ada, dihilangkan dengan cara memotong
(operasi), meracun (dengan obat dan kemo) dan membakar (dengan kemo dan
radiasi). Ini sering disebut sebagai cara “cut-poison-burn”. Cara ini terbukti
sangat rendah tingkat kesuksesannya dan memberi kualitas hidup yang
rendah bagi penderita. Sangat disayangkan bahwa sebagian besar para
penderita yang mencoba pengobatan alternatif adalah mereka yang telah
melalui pengobatan konvensional dan tidak berhasil. Kondisi penderita
biasanya memang sudah sangat parah, terutama oleh kemoterapi, radiasi dan
operasi, dimana tingkat kekebalan tubuh mereka sudah mendekati nol dan
organ-organ tubuh mereka sudah sebahagian menjadi cacat permanen akibat
cara pengobatan ini.
Pada kondisi ini biasanya cara pengobatan alternatifakan juga
mendapat kesulitan untuk mengobati pasien. Secara umum, tingkat
kesembuhan mereka dengan pengobatan alternatif adalah kurang dari 50%
saja dengan kemungkinan remisi yang masih dapat terjadi. Ini sangat
disayangkan karena bila langsung menggunakan alternatif, tingkat

273
kesembuhannya akan berlipat ganda. Sebagai contoh, penyembuhan dengan
Gerson Therapy misalkan, membutuhkan 6-12 bulan hanya untuk
mengeluarkan cairan kemo yang mengendap dalam sel penderita yang telah
dirawat berbulan bulan atau bertahun dengan cara kemo. Ini akan
memperlambat waktu penyembuhan, sedangkan penderita tidak memiliki
waktu banyak untuk mengejar kesembuhannya.
Terapi penyembuhan penyakit yang paling banyak mendapat kecaman
yaitu Kemoterapi. Terapi ini sangat membutuhkan biaya yang mahal, sangat
membuat pasien menderita dan yang paling tidak masuk akal adalah bahwa
tingkat kesembuhannya hanya di bawah 5%. Kemoterapi secara harafiah
berarti usaha penyembuhan dengan menggunakan bahan kimia. Hal yang
sangat menarik adalah bahwa seluruh jenis bahan kimia ini adalah merupakan
bahan yang tergolong karsinogenik, atau dapat menimbulkan kanker. Fakta
ini merupakan bentuk kontroversi terbesar dari penggunaan kemoterapi untuk
penyembuhan kanker. Ia disebutkan dapat membunuh sel kanker dan
sebaliknya dapat menimbulkan kanker. Di dalam realitanya sangat sering
terjadi kasus dimana seseorang dinyatakan bebas dari kanker, namun
beberapa tahun kemudian ini mengidap kanker lagi. Ada dua kemungkinan
yang terjadi disini yaitu bahwa kanker pertamanya memang belum sembuh
atau ia mendapatkan kanker baru, hasil dari dampak zat kemo yang
digunakan.
Pengobatan dengan kemo membuat pasien sangat menderita
dikarenakan cairan kemo akan membunuh sel-sel tanpa pandang bulu, baik
itu sel kanker maupun bukan. Sebagai contoh kecil, sel kulit kepala juga
menjadi mati dan rambut menjadi rontok. Penggunaan kemoterapi dilakukan
dengan mengesampingkan kemampuan daya tahan tubuh untuk mengobati
dan memerangi penyakit yang ada. Sebaliknya daya tahan tubuh atau
kekebalan penderita akan ikut ambruk pada saat pengobatan tadi. Karena
itulah para pasien ini diisolasi selama proses kemo agar terhindar dari
kemungkinan infeksi maupun tertular penyakit, karena pada saat ini ia tidak
memiliki daya kekebalan tubuh. Pasien akan merasakan kesakitan dan panas
seperti terbakar, rambut yang rontok, nafsu makan yang hilang, nyeri akibat
kulit dan kuku yang mengelupas, sakit perut, mual, pusing hebat dan badan
terasa tidak bertenaga. Akibat sampingan lain adalah perdarahan, steril dalam
hal reproduksi, dan impoten untuk lelaki. Ini adalah sebahagian dampak
sampingan akibat kemo yang umumnya bisa kembali normal dengan
perawatan. Yang lebih serius adalah efek samping berupa kerusakan
permanen pada ginjal, hati, pendengaran dan kerusakan jantung. Hal ini
umumnya tidak dapat dikembalikan pada kondisi normal.
Para ilmuwan di Georgia Institute of Technology dan Ovarian Cancer
Institute telah mengembangkan sebuah cara baru yang potensial untuk
mengobati kanker dengan menggunakan nanopartikel magnetik. Nanopartikel
magnetik ini dikembangkan dengan tujuan menghilangkan sel-sel kanker dari
dalam tubuh. Metode ini telah diujikan pada seekor tikus pada tahun 2008,
dan kini telah dilakukan pengujian dengan menggunakan sampel dari
penderita kanker. Ide metode ini datang dari Ken Scarberry yang awalnya
meyakini bahwa ada sarana yang dapat digunakan untuk menghilangkan virus

274
dan sel yang terinfeksi secara viral. Kemudian ia melihat bagaimana metode
ini bisa bekerja pada sel-sel kanker. Hasilnya menunjukkan bahwa dengan
memberikan sel-sel kanker dari tikus yang diberi sinar fluorescent green tag
dan nanopartikel magnetik berwarna merah, mereka mampu menerapkan
magnet untuk memindahkan sel-sel kanker ke daerah perut. Oleh karena itu,
terapi alternatif yang dibutuhkan untuk menjawab persoalan ini adalah terapi
hipertermia magnetik.

21.2 Nanopartikel Magnetik


Nanopartikel magnetik merupakan suatu jenis nanopartikel yang
dapat digerakkan menggunakan medan magnet. Beberapa partikel yang
mengandung unsur magnetik diantaranya besi, nikel dan kobalt serta
campuran kimiawi unsur-unsur tersebut, dimana nanopartikel ini berukuran
lebih kecil diameternya dibandingkan dari 1 mikrometer (biasanya 5–500
nanometers). Nanopartikel magnetik telah banyak menjadi fokus riset baru-
baru ini disebabkan sifatnya yang menarik serta penggunaannya sangat
potensial sebagai katalisis yang mencakup: katalis berbasis nanomaterial,
biomedicine, MRI (Magnetic Resonance Imaging), MPI (Magnetic Particle
Imaging), data storage, enviromental remediation, nanofluids, dan optical
filters.

Gambar 21.1Mikropartikel (kiri) dan nanopartikel (kanan) (Tombácz, 2007)

Nanopartikel magnetik banyak digunakan di bidang industri seperti


tinta magnetik untuk perbankan, media pencatat magnetik, juga di bidang
biomedikal seperti media kontras Magnetic Resonance Imaging), bahan
diagnosa dan terapi kanker. Penggunaan partikel magnetik di bidang
biomedikal biasanya menuntut sifat superparamagnetik dan terdispersi atau
membentuk koloid stabil dalam air berlingkungan pH netral dan garam
fisiologis. Kestabilan partikel magnetik di dalam air bergantung pada
beberapa faktor diantaranya ukuran, muatan dan sifat kimiawinya. Semakin
kecil ukuran partikel, pengaruh gaya gravitasi semakin dapat diabaikan.
Sedangkan peningkatan muatan dan kimiawinya memungkinkan adanya gaya
tolak menolak antar partikel sehingga partikel dapat stabil terdispersi dalam
air. Demikian pula sifat superparamagnetik akan dapat dicapai bila ukuran
partikel magnet makin kecil sehingga mengakibatkan makin kecil pula

275
interaksi antar partikel. Untuk tujuan itu pembuatan partikel berskala
nanometer dan pelapisan partikel magnetik dengan polimer organik
merupakan cara yang efektif dan telah mulai banyak dikaji.
Nanopartikel magnetik yang umum dipakai dalam terapi ini adalah
nanopartikel oksida besi yang merupakan material yang juga digunakan
dalam aplikasi MRI. Keistimewaan nanopartikel ini dikarenakan
kemampuannya yang biokompatibel dan stabil terhadap tanggapan
oksidasiSaat ini, oksida besi dalam bentuk senyawa Fe 3 O 4 (magnetite) atau γ-
Fe 2 O 3 (maghemite) merupakan partikel yang paling umum digunakan dalam
bidang biomedikal. Berikut adalah contoh hasil karakterisasi Magnetite dan
Maghemite menggunakan difraksi sinar-X.

In
te
ns
ita

Sudut

Gambar 21.2Hasil XRD Magnetite dan Maghemite(Tombácz, 2007)

Tuntutan lain dalam bidang biomedikal terutama untuk penggunaan


secara in vivo adalah sifat biokompatibilitas dan toksisitas, yang dipengaruhi
oleh sifat dasar partikel magnetik dan bahan pelapisnya.Bahan magnetik lain
seperti kobal (Co) dan nikel (Ni) meskipun kemagnetannya lebih tinggi, tidak
umum digunakan karena bersifat racun (toxic). Di sisi lain, poliester seperti
polilaktat (PLA), poliglikolat (PGA), dan kopolimernya karena bersifat
biodegrable, biokompatibel dan toksisitasnya rendah telah banyak digunakan
dalam bidang biomedikal lain seperti sistem penyampaian obat (Drug
Delivery System, DDS) dan benang bedah operasi.
Fe 3 O 4 merupakan suatu material magnetik yang memiliki properti
superparamagnetik ketika ukuran partikelnya berada dalam skala nano.
Material ini rendah racun (low toxicity), serta biokompatible. Namun, partikel
Fe 3 O 4 memiliki kecenderungan teragregasi akibat besarnya dipol-dipol
magnetik antar partikelnya. Sehingga untuk menanggulanginya dibutuhkan
suatu selubung yang membungkus partikel Fe 3 O 4 . Selubung ini bisa terdiri

276
dari metal, ataupun senyawa polimer. Selubung yang sering dipakai adalah
dekstran sehingga nanopartikel ini sering disebut dextran-iron oxide.
Material ini bisa digunakan sebagai contrast agent pada MRI yaitu
untuk meningkatkan citra dari sel-sel kanker. Material untuk contrast agent
ini saat ini sudah ada, diantaranya gadolinium, namun gadolinium ini, yang
memiliki properti paramagnetik, memiliki kelemahan ketika harus
mencitrakan sel kanker yang berukuran kecil. Sedangkan Fe 3 O 4 mampu
untuk meningkatkan citra, sehingga sel-sel kanker berukuran kecil mampu
dicitrakan. Selain sebagai contrast agent, material ini juga bisa diaplikasikan
untuk hipertermia. Hipertermia konvensional saat ini sering disebut
kemoterapi. Kemoterapi sangat berbahaya dikarenakan mampu menimbulkan
radiasi, kemoterapi juga memiliki selektivitas yang rendah, sehingga sel-sel
yang sehat dapat terkena radiasinya. Hipertermia yang memakai Fe 3 O 4
disebut magnetik hipertermia, memiliki selektivitas lebih baik, tidak
menimbulkan radiasi, sehingga lebih aman digunakan dalam tubuh.
Nanopartikel magnetik yang tersusun dari Fe 3 O 4 ini saat digunakan
dalam pembacaan scan MRI, dengan penambahan nanopartikel magnetik
akan berguna untuk memperjelas pembacaan scan yang dilakukan. Pada
kasus drug delivery, penambahan MNPs (Magnetic Nanoparticles) akan
sangat berguna dalam manghantarkan obat agar langsung menuju bagian yang
sakit, lebih efisien dan cepat. Nanopartikel yang masuk dalam tubuh akan
menggiring obat langsung ke daerah yang diinginkan. Prinsip untuk terapi
hipertemia juga demikian, terapi berlangsung dengan memasukkan MNPs
yang nantinya dipandu jalannya menuju jaringan atau organ yang sakit.

Gambar 21.3 Cairan nanopartikel magnetik(Tombácz, 2007)

Salah satu pengembangan aplikasi nanopartikel magnetik adalah


dalam proses diagnostik secara in-vitro,dimana nanopartikel magnetik
difungsikan sebagai agen dalam proses separasi unit biologi dengan jumlah
unit biologi yang masih sangat sedikit atau dengan kata lain memberikan
peluang proses diagnosa dini. Dalam proses diagnostik in-vitro ini,
nanopartikel magnetik yang bertindak sebagai agen separasi magnetik akan
dikonjugasikan dengan bahan organik (enzym, protein maupun target DNA)

277
sehingga dapat dikenali oleh dan berinteraksi dengan unit biologi penyebab
masalah kesehatan, memisahkan unit biologi yang dimaksud dan selanjutnya
unit biologi tersebut yang telah berinteraksi dan tergabung dengan sistem
nanopartikel magnetik akan dapat diidentifikasi.
Proses identifikasi hasil separasi dapat dilakukan baik berbasis
fenomena radioaktivitas bila digunakan nanopartikel magnetik bertanda
maupun berbasis fenomena magnetik untuk nanopartikel magnetik yang tidak
memiliki tanda. Juga telah dilakukan penelitian dan pengembangan material
barupada nanopartikel magnetik untuk aplikasi diagnosa/deteksi dini
permasalahan kanker dengan diagnostik kanker serviks sebagai studi kasus.
Pada tahun 2011 telah dilakukan studi penandaan nanopartikel magnetik yang
mana telah didapatkan parameter optimal penyiapan nanopartikel magnetik
bertanda serta informasi karakteristik nanopartikel magnetik bertanda yang
diperoleh meliputi fasa, morfologi serta sifat magnetiknya. Dari beberapa
tahapan proses sintesis yang terdiri dari tahap awal bahan prekursor, tahap
pembuatan oksida besi, tahap pembentukan koloid nanopartikel magnetik
(ferrofluid) dan tahap fungsionalisasi dengan bahan organik, diperoleh bahwa
tahapan penandaan optimal dapat dilakukan pada tahapan ferrofluid.
Ferrofluid bertanda dengan sifat optimal diperoleh untuk ferrofluid dengan
modifier permukaan bersifat ionik.
Pada tahun 2012 akan dilakukan kegiatan pembuatan koloid
nanopartikel magnetik bertanda yang permukaannya dikonjugasi bahan
organik sesuai target yang akan diseparasi. Sebagai contoh kasus bahan
organik yang akan dikonjugasikan adalah antibody yang sesuai dengan
antigen virus humanpapilloma penyebab kanker serviks. Proses pembentukan
koloid bertanda, karakteristik dan kestabilan konjugasi baik secara fisis
maupun kimiawi akan dipelajari secara sistematis. Pada akhirnya diharapkan
diperoleh bahan dan informasi karakteristik koloid nanopartikel magnetik
bertanda yang permukaannnya telah terkonjugasi dengan antibody yang siap
untuk diujicobakan dalam proses separasi dan identifikasi target virus.

21.3 Sifat Kemagnetan Nanopartikel


Mengenai kehilangan energi dalam bahan magnet, ada dua efek yang
berbeda perlu dipertimbangkan namun kedua efek ini meningkat sehingga
energi yang hilang diubah menjadi panas:
i. Kerugian magnetik melalui pemindahan dinding domain (partikel multi-
domain) yang disebut kerugian Néel

278
Gambar 21.4Néel Loses, relaksasi menghasilkan panas dengan arah
magnetisasi berputar dalam inti (Miaskowski, 2011)

ii. Kehilangan energi akibat rotasi mekanik dari partikel, bertindak melawan
gaya gesekan dari medium cair (kerugian Brownian).

Gambar 21.5 Brownian Loses, rotasi mekanik dari dalam partikel


menghasilkan panas, seluruh partikel berputar dalam
cairan(Miaskowski, 2011)

Suatu ciri umum dari kebanyakan bahan magnet adalah dengan


adanya memperlihatkan suatu histeresis magnetik ketika ia diperlakukan pada
suatu medan magnet yang mengubah arah dari waktu ke waktu. Area loop
histeresis ini dibatasi dari lingkungan sebagai energi panas dan ini merupakan
energi yang digunakan dalam hipertermia magnetik. Daya yang dihilangkan
oleh suatu material magnetis yang diletakkan ke suatu medan magnet tertentu
sering disebut "Tingkat Penyerapan spesifik" (Specific Absorption Rate,
SAR) di dalam komunitas hipertermia magnetis dinyatakan dalam W/g
nanopartikel. SAR dari sebuah material kemudian secara sederhana
dinyatakan sebagai: SAR= Af, dimana A adalah luas area loop histeresis dan
f adalah frekwensi tertentu dari medan magnet. A dinyatakan dalam satuan
J/g dan disebut juga "kerugian spesifik" dari material . A tergantung pada
semua sifat material magnetik yang kompleks. Pada kasus nanopartikel
magnetik, A tergantung pada anisotropi magnetokristalin (K), volume (V),
temperatur (T), frekwensi medan magnet (f), amplitudo (H max ), dan pada
konsentrasi volumik nanopartikel.
Ukuran nanopartikel mempunyai suatu pengaruh besar pada domain
magnetiknya. Nanopartikel ukuran kecil terdiri atas domain tunggal. Yang
lebih besar terdiri atas beberapa domain yang memperkecil energi
magnetostatik. Pada ukuran sedang, mereka memperlihatkan suatu struktur
magnetik yang indah disebut pusaran air (Vorteks). Suatu pendekatan kasar

279
untuk menentukan ukuran tersebut dimana suatu nanopartikel magnetik
bukanlah single-domain lagi adalah ketika ukurannya di atas dimensi dinding
domain yang khas di dalam material magnetik, yang terbentang dari satu
hingga sepuluh nanometers. Sifat alami struktur domain mempunyai suatu
pengaruh pada histeresis dari nanopartikel magnetik dan sebagai konsekwensi
dari sifat hipertermianya.

Mekanisme Dasar terkait pembalikan magnetisasi dari nanopartikel


single-domain magnetik
Tujuan dari ini adalah untuk menyajikan mekanisme dasar yang harus
diperhitungkan untuk menguraikan pembalikan dari nanopartikel domain
tunggal yang diasumsikan bahwa nanopartikel memperlihatkan suatu uniaxial
anisotropy.
1. Pembalikan oleh Gerak Brownian
Di dalam aplikasi hipertermia, nanopartikel adalah dalam bentuk suatu
cairan, berupa darah. Selama pengukuran hipertermia in vitro disebarkan
merata dalam suatu cairan dan membentuk suatu ferrofluid. Mereka bergerak
dan berputar secara acak di dalam cairan, suatu peristiwa yang disebut Gerak
Browinan. Ketika suatu medan magnet diletakkan disana, nanopartikel
magnetik berputar dan semakin tersusun berbaris sesuai dengan arah medan
magnet terkait dengan tenaga putaran yang dihasilkan oleh interaksi medan
magnet dengan magnetisasinya. Ini sangat mirip dengan suatu kompas.
Waktu yang dibutuhkan suatu nanopartikel magnetik untuk searah dengan
suatu medan magnet eksternal yang cukup kecil disebut waktu relaksasi
Brown:
3𝜂𝜂𝜂𝜂
𝜏𝜏𝐵𝐵 = (21.1)
𝑘𝑘 𝐵𝐵 𝑇𝑇

dimana η adalah koefisien viskositas. Penundaan antara perputaran medan


magnet dan perputaran magnetisasi menunjukkan ke arah suatu histeresis.

2. Pembalikan oleh Aktivasi panas


Magnetisasi dari nanopartikel dapat secara spontan merubah orientasi
di bawah pengaruh energi panas, suatu peristiwa yang disebut
superparamagnetisme. Magnetisasi berosilasi antara dua posisi setimbangnya.
Waktu khusus antara dua perubahan orientasi dinyatakan sebagai waktu
relaksasi Néel,
𝐾𝐾𝐾𝐾
𝜏𝜏𝑁𝑁 = 𝜏𝜏𝑂𝑂 𝑒𝑒 𝑘𝑘 𝐵𝐵 𝑇𝑇 (21.2)

dimana 𝜏𝜏𝑂𝑂 adalah suatu waktu usaha semula dengan suatu nilai sekitar 10-9
hingga 10-10 detik.

280
3. Pembalikan oleh penekanan penghalang anisotropis oleh suatu medan
magnet
Magnetisasi nanopartikel juga dibalikkan ketika suatu medan magnet
diterapkan cukup besar untuk menekan energi penghalang antara kedua
posisi keseimbangan, suatu peristiwa yang dikenal sebagai Model pembalikan
magnetisasi Stoner–Wohlfarth.

Kombinasi Ketiga Mekanisme


Pada umumnya, mekanisme relaksasi yang cepat lebih dominan,
sebuah waktu relaksasi efektif dinyatakan sebagai
𝜏𝜏 𝑁𝑁 𝜏𝜏 𝐵𝐵
𝜏𝜏𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒 = 𝜏𝜏 (21.3)
𝑁𝑁 +𝜏𝜏 𝐵𝐵

Di dalam kasus yang paling umum, pembalikan magnetisasi


merupakan suatu kombinasi ketiga mekanisme yang diuraikan di atas.
Sebagai contoh, mari kita bayangkan suatu nanopartikel domain tunggal
berada dalam suatu cairan pada suhu-kamar dan suatu medan magnet tiba-tiba
diterapkan dengan suatu arah berlawanan dengan arah magnetisasi
nanopartikel. Nanopartikel pada waktu yang sama akan i) berputar dalam
cairan ii) penghalang antara kedua posisi keseimbangan magnetisasi akan
berkurang iii) ketika energi penghalang menjadi sesuai energi panas,
magnetisasi akan berganti ( jika nanopartikel belum sejajar dengan medan
magnet berkaitan dengan perputaran fisiknya). Tidak ada ungkapan analitis
sederhana yang menggambarkan pembalikan ini dan sifat loop histeresis
dalam kasus yang sangat umum ini tetapi simulasi numerik dan ungkapan
analitis dapat digunakan dalam beberapa kasus.

Model yang digunakan untuk nanopartikel single-domain


1. Teori Tanggapan yang linier
Teori Tanggapan linier hanya berlaku ketika tanggapan material
magnetis adalah linier dengan medan magnet yang diterapkan dan dapat
ditulis dalam bentuk:

𝑀𝑀 = 𝜒𝜒𝜒𝜒 (21.4)

dimana 𝜒𝜒 adalah suseptibilitas kompleks dari material. Ini berlaku ketika


medan magnet yang diterapkan jauh lebih kecil dibanding medan magnet
yang diperlukan untuk memuncakkan magnetisasi dari nanopartikel. Hal ini
bisa mempertimbangkan kedua pembalikan oleh aktivasi panas dan
pembalikan oleh Gerak Brownian.
Teori Tanggapan yang linier menggunakan suatu waktu relaksasi
rata-rata τ, yang ditunjukan oleh:

281
1 1 1
= 𝜏𝜏 + 𝜏𝜏 (21.5)
𝜏𝜏 𝐵𝐵 𝑁𝑁

Sedangkan pergeseran komponen fasa dari suseptibilitas kompleks


ditunjukkan oleh:

𝜇𝜇 𝑜𝑜 𝑀𝑀𝑆𝑆2 𝑉𝑉 2𝜋𝜋𝜋𝜋𝜋𝜋
𝜒𝜒" = (21.6)
3𝑘𝑘 𝐵𝐵 𝑇𝑇 1+(2𝜋𝜋𝜋𝜋𝜋𝜋 )2

Loop histeresis adalah berupa suatu elips dengan suatu area yang
ditunjukkan oleh:

𝐴𝐴 = 𝜋𝜋𝜇𝜇𝑂𝑂 𝐻𝐻 2 𝜒𝜒" (21.7)

2. Model Stoner–Wohlfarth dan area maksimum


Model Stoner–Wohlfarth memungkinkan untuk mengkalkulasi loop
histeresis dari nanopartikel magnetik pada T=0 dengan asumsi bahwa
nanopartikel ditetapkan dalam medan magnet (Gerak Brownian diabaikan)
dan tidak bergantung secara magnetis. Yang paling menarik adalah untuk
memprediksikan area histeresis yang maksimum untuk nanopartikel yang
tidak bergantung dengan sifat yang diberikan. Tentu saja penambahan dari
Gerak Brownian atau energi panas hanya menunjukkan ke arah suatu
pengurangan area loop histeresis. Model Stoner–Wohlfarth memprediksikan
bahwa medan pada T=0 dari suatu pencampuran nanopartikel dengan aksis
terorientasi secara acak ditunjukkan oleh:

𝐾𝐾
𝐻𝐻𝐶𝐶 (0) = (21.8)
𝑀𝑀 𝑆𝑆

Luas area histeresis secara aproksimasi:

𝐴𝐴 = 2𝜇𝜇𝑂𝑂 𝑀𝑀𝑆𝑆 𝐻𝐻𝐶𝐶 (0) (21.9)

Berikut adalah contoh kurva histeresis pada frekuensi tinggi dalam


medan bolak balik, garis tebal menunjukkan model kurva Stoner-Wohlfarth.

282
Gambar 21.6 Respon nanopartikel pada frekuensi tinggi medan AC dan
beberapa nilai Hac, kurva magnetisasi pada kasus tidak
berotasi (Mamiya,2011)

3. Perluasan Model Stoner–Wohlfarth


Perluasan model Stoner–Wohlfarth telah dilakukan untuk melihat
pengaruh temperatur dan frekuensi dalam loop histeresis. Perluasan ini hanya
berlaku jika efek temperatur maupun frekuensi sangat kecil yaitu jika
𝑓𝑓 ≫ 1/𝜏𝜏𝑁𝑁 .
Simulasi numerik menunjukkan bahwa pada kasus ini medan untuk
nanopartikel yang terorientasi secara acak dinyatakan:

3
4
𝑘𝑘 𝐵𝐵 𝑇𝑇 1
𝐻𝐻𝑎𝑎𝑎𝑎 = 2𝐻𝐻𝐶𝐶 (0) �0.479 − 0.81 � 𝑙𝑙𝑙𝑙 � �� � (21.10)
2𝐾𝐾𝐾𝐾 𝑓𝑓𝜏𝜏 𝑜𝑜

Berikut adalah hasil penelitian oleh Hiroaki Mamiya dan


Balachandran Jeyadeca pada tahun 2011 yang melihat efek hipertermik dari
struktur disipatif nanopartikel magnetik dalam medan magnet bolak balik
yang besar. Simbol yang kosong dan penuh menunjukkan nilai nanopartikel
yang mampu berotasi dan yang tidak.Anak panah menunjukkan puncak
maksimum pada kedua kasus nanopartikel yang bisa berotasi dan yang tidak
bisa berotasi, sedangkan garis putus-putus menunjukkan separuh dari medan
yang bukan isotropis.

283
Gambar 21.7Pengaruh Hac pada efisiensi disipasi panas(Mamiya,2011)

Gambar 21.8 Pengaruh frekuensi pada efisiensi disipasi panas dengan nilai
Hac rendah dan sedang (Mamiya,2011)

Mekanisme Dasar pada magnetisasi nanopartikel multi-domain


magnetik

284
Di dalam nanopartikel multi-domain, bahan dasar untuk menjelaskan
pembalikan magnetisasi adalah pengintian dari domain baru dan propagasi
dari dinding domain. Kedua mekanisme ini sangat dipengaruhi oleh
kerusakan struktural di permukaan atau di dalam nanopartikel dan
menyulitkan beberapa prediksi kuantitatif dari bentuk loop histeresis dan area
dari parameter intrinsik nanopartikel magnetik.

Model yang digunakan untuk nanopartikel multi-domain


Pada medan magnetik yang rendah, loop histeresis diharapkan untuk
menjadi loop Rayleigh. Dalam hal ini, area histeresis adalah,

4
𝐴𝐴 = 𝜂𝜂𝐻𝐻 3 (21.11)
3

di mana η merupakan tetapan Rayleigh.

21.4 Hipertermia Magnetik


Hipertermia adalah salah satu protokol klinis yang banyak digunakan
sebagai terapi untuk pengobatan kanker. Ini telah menunjukkan efek sinergis
yang bagus ketika dikombinasikan dengan radioterapi, serta meningkatkan
efek dengan obat sitoksik yang banyak. Hipertermia magnetik menggunakan
kombinasi medan magnet dan nanopartikel magnetik sebagai agen
pemanasan. Tujuan dari pendekatan ini adalah untuk memanaskan secara
khusus dan eksklusif pada daerah tumor dengan menggunakan nanopartikel
magnetik eksternal dalam area medan magnet tanpa merusak jaringan sehat di
sekitarnya.
Asal mula hipertermia kembali pada ribuan tahun kepada ketika
orang-orang Mesir kuno menggunakan terapi pemanasan untuk membantu
penanganan tumor. Terapi pemanasan juga digunakan di benua Eropa setelah
zaman Renaissance untuk membantu menyusutkan tumor. Dari tahun ke
tahun, para ilmuwan telah mengamati kemampuan panas nampak untuk
menyehatkan tubuh. Para ilmuwan dan dokter-dokter seperti Dr. James Haim
Bicher telah menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk meneliti dan
mengumpulkan bukti-bukti untuk mendukung keefektivitasan hipertermia. Di
tahun 2010, Universitas Duke yang bergengsi menyelenggarakan uji klinis
sebagai bagian dari program penyebarluasan hipertermia. Uji klinis ini
difokuskan pada kombinasi terapi hipertermia dengan terapi kanker lainnya
untuk menghasilkan hasil-hasil yang lebih efektif. Hasil-hasil tersebut dan
percobaan-percobaan lainnya menunjukkan terapi hipertermia sebagai suatu
perawatan kanker yang menjanjikan di masa depan.

285
Hipertermia magnetik juga disebut termoterapi yang merupakan
sebutan untuk suatu eksperimen pengobatan kanker, walaupun juga telah pula
diterapkan sebagai suatu pengobatan dari penyakit lainnya seperti infeksi
bakteri. Terapi ini didasarkan pada fakta bahwa ketika nanopartikel magnetik
diperlakukan ke suatu medan magnet tertentu, akan menghasilkan panas.
Sebagai konsekwensi, jika nanopartikel magnetik ditaruh di dalam suatu
tumor dan tubuh pasien ditempatkan pada suatu medan magnet tertentu
dengan frekwensi dan amplitudo yang dipilih dengan baik, temperatur tumor
akan naik. Metoda perawatan ini telah masuk tahap II percobaan pada
manusia hanya di Eropa, tetapi riset dilakukan oleh beberapa laboratorium di
seluruh dunia untuk menguji dan mengembangkan teknik ini lebih lanjut.
Berdasarkan gambar 21.9 terlihat bahwa pada bagian kiri jarum
kompas magnetik diarahkan dalam arah medan magnet bumi, dimana kompas
diarahkan paralel terhadap medan magnet H. Orientasi longitudinal terjadi
saat energi zeeman dipertimbangkan, kemudian energi magnetik mengenai sel
kanker yang terlihat dari gambar sebelah kanan, akan timbul panas dan
terbentuk sebuah struktur mantap tanpa kesetimbangan dalam medan
magnetik AC yang besar, juga terlihat bahwa sumbu panjang diarahkan tegak
lurus terhadap medan magnet H. Nanopartikel ferromagnetik tanpa radiasi
dengan medan magnet frekuensi tinggi yang lebih rendah intensitasnya
daripada medan magnetik tidak isotropis, dimana nanopartikel lurus dalam
bidang tegak lurus medan magnetik.

Energi
Panas
Magnetik

Sel kanker
Gambar 21.9 Ilustrasi skematik sebuah struktur pengarahan dari nanopartikel
magnetik pada perawatan kanker hipertermia dibandingkan
dengan kasus umum dari magnet biasa (Tombácz, 2007)

Nanopartikel bisa berisi obat di dalamnya dan memungkinkan untuk


mengirim paket-paketnya ke tempat lain yang kita inginkan dan tidak
mengirim ke tempat yang tidak kita butuhkan. Ini juga mampu
mengidentifikasi antara sel normal dan sel kanker, secara khusus akan
membunuh sel kanker sementara sel yang sehat tetap aman. Targetan metoda
ini adalah memanaskan secara khusus pada daerah tumor lokal dengan
kehilangan magnetik oleh nanopartikel magnetik dalam sebuah medan
magnetik eksternal tertentu, serta mampu melakukannya tanpa merusak
lapisan yang normal di sekelilingnya. Hipertermia adalah sebuah terapi

286
alternatif kanker yang dirancang untuk membunuh sel-sel tumor seperti
kanker dengan memanaskan sel-sel tumor pada suhu yang lebih tinggi dari
suhu tubuh orang sehat. Karena karakteristik-karakteristik yang tidak lazim
pada tumor dan sel-sel kanker, mereka cenderung menjadi lebih mudah
dihancurkan ketika dipanaskan dibandingkan dengan sel-sel biasa. Pekerjaan
para onkologis dan para peneliti seperti Dr. James Haim Bicher telah
menghasilkan perawatan kanker yang menjanjikan ini, yang sering kali
digunakan bersama perawatan-perawatan kanker dengan keberhasilan yang
besar.

Medan H

Cairan magnetik

Gambar 21.10 Ide dari hipertermia magnetik(kiri), memasukkan cairan


magnetik ke kanker (kanan)(Miaskowski, 2011)
Berdasarkan dari gambar 21.10 berikut dapat dilihat bahwa
hipertermia cairan magnetik dapat dibagi dalam tiga langkah yaitu
memasukkan cairan magnetik ke kanker, menerapkan medan magnetik
eksternal bolak-bak dalam ratusan kHz dan kemudian sel kanker akan
dihancurkan. Hipertermia dapat membuat penanganan penyakit kanker lebih
mudah untuk obat-obatan anti kanker maupun radiasi untuk membunuh sel-
sel kanker, sehingga hipertermia seringkali dikombinasikan dengan terapi-
terapi tersebut. Hasil akhir dari kombinasi hipertermia dan terapi-terapi
lainnya secara umum lebih efektif dibanding ketika terapi tersebut digunakan
tanpa hipertermia. Hipertermia dapat secara lokal untuk membunuh tumor
kecil, untuk seluruh daerah tubuh dalam kasus dimana terdapat tumor yang
lebih besar, bahkan dalam suatu keseluruhan tubuh untuk sel-sel kanker yang
telah menyebar.

287
Gambar 21.11 Cairan magnetik (biru) bergerak acak membunuh sel kanker
(coklat)(http://www.gatech.edu/newsroom/release.html?nid=50231)

Cairan magnetik akan bergerak dan berotasi secara acak, suatu


fenomena yang disebut pergerakan Brownian. Energi gerak akan berubah
menjadi energi panas jika tubuh pasien yang telah disuntikkan cairan
nanopartikel magnetik diletakkan dalam medan magnetik bolak balik dengan
pengaturan amplitudo dan frekuensi yang baik, kemudian temperatur kanker
akan meningkat dan akan lebih mudah untuk membunuh sel kanker tersebut.
Hipertermia dapat digunakan untuk menangani bermacam-macam
penyakit kanker, seperti di mulut rahim, payudara, paru-paru atau hati.
Meskipun suhu dan metoda pelaksanaan yang tepat bervariasi dan tergantung
pada jenis penyakit kanker yang ditangani, dalam banyak kesempatan, suhu
yang tidak lebih dari 108oF atau 42oC terbukti efektif. Walaupun beberapa
orang cenderung untuk melakukan terapi hipertermia ketika terapi-terapi
kanker yang lebih konvensional terbukti tidak efektif, hipertermia saat ini
digunakan bersama terapi-terapi lainnya, bahkan di awal penanganan
penyakit kanker. Terutama ketika hipertermia dikombinasikan dengan terapi-
terapi lainnya, hal ini telah terbukti efektif dalam penyusutan atau
penghancuran sel-sel kanker, membantu para pasien meraih pemulihan
kesehatan. Tambahan pula karena panas membantu memperlancar aliran
darah, hipertermia dapat membantu meningkatkan efektivitas kemoterapi dan
pengobatan-pengobatan lainnya dalam aliran darah.
Dibandingkan dengan banyak terapi kanker yang bersifat
konvensional, terapi hypertermia memiliki resiko atau efek samping sangat
sedikit. Dalam beberapa hal, pasien tersebut mungkin mengalami iritasi kulit,
ketidaknyamanan, kulit melepuh ataupun mungkin terbakar di sebagian kecil
kulit. Bahkan dalam kasus terapi hyperthermia untuk keseluruhan tubuh,
sepanjang suhu tubuh dipertahankan di bawah 111 derajat Fahrenheit,
sebagian jaringan tubuh tidak akan mengalami efek samping apapun.
Bagaimanapun, kadang-kadang efek samping seperti rasa mual, muntah-
muntah ataupun diare dapat diakibatkan oleh suhu tubuh yang meningkat.
Dalam kasus terapi hyperthermia pada keseluruhan tubuh, efek samping
serius seperti detak jantung berhenti sangat jarang terjadi.

288
Termometer

Insulasi termal
Generator AC
Dispersi cairan
magnetik

Kawat induksi
Gambar 21.12 Representasi skematik dari peralatan eksperimen pada
laboratorium(Tombácz, 2007)

Teknik nanopartikel magnetik ini dirancang untuk menyaring cairan


peritoneal atau darah dan menghilangkan sel-sel kanker yang mengambang
bebas, dimana diharapkan teknik ini akan mampu memperpanjang umur
dengan mencegah terus penyebaran metastasis kanker. Dalam beberapa
pengujian, terlihat bahwa teknik mereka dapat diterapkan pada sel-sel kanker
dari sampel pasien manusia seperti halnya yang telah dilakukan sebelumnya
pada seekor tikus. Penelitian selanjutnya adalah untuk menguji seberapa baik
teknik nanopartikel magnetik ini dapat meningkatkan penyelamatan hidup
tikus percobaan. Jika itu berjalan lancar, mereka akan mengujinya dengan
manusia.
Hipertermia magnetik biasanya digunakan sebagai terapi tambahan
dengan pengobatan standar (radioterapi, misalnya), dan beberapa studi awal
telah menunjukkan bahwa kombinasi radiasi dan hipertermia menunjukkan
hasil yang meningkat mengenai regresi tumoral. Ada banyak teknik untuk
hipertermia melibatkan laser, radiasi pengion, dan oven microwave sebagai
alat untuk memanaskan jaringan tubuh (ganas). Meskipun teknik ini mampu
meningkatkan suhu intraseluler hingga kematian sel, mereka mungkin
memiliki efek samping yang tidak diinginkan seperti ionisasi materi genetik
(radiasi) atau kurangnya selectiveness (microwave) yang mempengaruhi
jaringan sehat di sekitarnya.
Berdasarkan pada keberhasilan dalam menyelesaikan tantangan ini
biokimia dan fisiologis, kanker-spesifik protokol hipertermia dapat
dikembangkan. Pada 2010, uji coba hipertermia magnetik berbasis pada
penggunaan nanopartikel magnetik telah lulus tahap praklinis dan menerima
persetujuan sebagai terapi klinis baru bernama termoterapi. Termoterapi
adalah penggunaan panas untuk meringankan penyakit, yang mencakup
pemanasan dengan cahaya (sinar inframerah) atau alat pemanas konduktif
seperti: bantalan pemanas, botol air panas, krim atau lotion pemanas, terapi
mandi, mandi parafin, dan sauna.

289
DAFTAR PUSTAKA
Armijo, L.M., et al., Iron Oxide Nanocrystals for Magnetic Hyperthermia
Applications. Nanomaterials 2, 134-146(2012).

Berkovsky, B. M., et al., Magnetic Fluids : EngineeringApplication, Oxford


University Press: Oxford, 1993.

Charles, S.W., Popplewellj, Properties and Applications of Magnetic


Liquids,Hand book of magnetic materials 2,153 (1986).

Falk M H, Issels R D, Hyperthermia in oncology, Int. J. Hyperther.17, 15 (2001).

Hergt, R., et al., Magnetic Particle Hyperthermia: Nanoparticle Magnetism, J.


Phys. Condens. Matter 18, S2919–S2934(2006).

J. Carrey, B. Mehdaoui, M. Respaud, Appl. Phys. 109,083921 (2011).

Lacroix, R., et al.,Appl. Phys. 105,023911 (2009)http://arxiv.org/abs/0810.4109

Mamiya, H., Balachandran, Hyperthermic Effects of Dissipative Structures of


Magnetic Nanoparticles in Large Alternating Magnetic Fields, Scientific
reportDOI 10.1038, 1-157 (2011).

Miaskowski, A., Andrzej K.,Magnetic Fluid Hyperthermia for Cancer Therapy,


Electrical Review ISSN 0033-2097 R. 87, NR 12b,125-127 (2011).

Robins H I,et al., Phase I Clinical Trial of Melphalan and 41.8 ◦C Whole-Body
Hyperthermia in Cancer Patients, J. Clin. Oncol. 15,158(1997).

Tombácz, Etelka, et al.,Magneticparticlesinnanomedicine, Croatica Chemica Acta


80, 503-515 (2007).

290
Bab 22
Nanocoating dan
Pemanfaarannya
Oleh : Tri Siswandi Syahputra

22.1 Pengertian Pelapis (Coating)


Coating adalah pelapisan yang diberikan pada permukaan suatu benda (baik
logam dan nonlogam) dan biasanya juga disebut sebagai substrat. Dalam berbagai
fungsi coating digunakann untuk meningkatkan nilai kualitas sifat permukaan
substrat. Dengan coating, permukaan suatu material dilapisi dengan material yang
lain, dengan tujuan “memperbaiki” sifat dasar-materialnya seperti dalam penampilan,
adhesi, anti basah, ketahanan korosi, ketahanan panas, dan ketahan gores, dan lain-
lain. Dalam kasus lain, khususnya dalam proses pencetakan fabrikasi semikonduktor,
penggunaan coating merupakan bagian terpenting dari produksi semikonduktor itu
sendiri.
Nanocoating adalah pelapisan (coating) yang dihasilkan dari beberapa
campuran komponen material pada skala nano yang bertujuan untuk mendapatkan
suatu sifat baru yang diinginkan. Saat ini, Coating berstruktur nano mempunyai
potensi besar untuk digunakan diberbagai aplikasi kehidupan. karena sifat
karakteristiknya yang unggul yang biasanya tidak ditemukan di coating konvensional
lainnya.
Berdasarkan bahan penyusunan, coating terbagi menjadi dua bagian yaitu
Organic Coating dan anorganik coating. Organic coating (pelapis organik) adalah
sebuah pelapis yang memiliki molekul atau senyawa dengan rantai karbon. Karbon
yang terikat secara kovalen dengan atom lain dalam senyawa organik. Semua senyawa
organik mengandung karbon-hidrogen atom atau ikatan C-H.seperti Zinc epoxy, zinc
rich phenoxy dan sebagainya. Sedangkan Anorganic Coating (pelapis tidak organik)
adalah Sebuah molekul atau senyawa yang berasal dari bukan rantai karbon namun,
beberapa senyawa yang mengandung atom karbon juga dianggap sebagai anorganik
ketika senyawa tersebut kekurangan karbon dan atom hidrogen atau ketika atom
karbon tersebut secara ion terikat oleh atom lain yg lebih kompleks. Contoh campuran
anorganik adalah karbon dioksida, karbon monoksida, karbonat dan sianida. Rantai
karbon seperti berlian, grafit, dan nanotube juga dikategorikan sebagai bahan
anorganik.
Organic coating juga merupakan pelapisan dengan menggunakan material
berbasis silikat (misalnya - zinc atau logam berbasis keramik (lapisan keras dari
kromium, TiN,Si 3 N 4 , alumina dll). CO 2 adalah juga termaksud anorganik karena
tidak memiliki atom H yang terikat secara kovalen dengan sebuah atom C (sifat dari
sebuah senyawa organik).

291
22.2 Fungsi Coating
Istilah ini menggambarkan fungsi lain selain sifat klasik dari coating (berupa
tampilan dan perlindungan) yang timbul dari tambahan fungsi atau elemen tertentu.
Fungsi ini tergantung pada aplikasi yang sebenarnya dari substrat yang akan dilapisi.
Berikut ini fungsi pelapisan (nanocoating):
• Self-cleaning (pembersih otomatis)
• Antifouling (anti pembusukan/pentumbatan)
• Anti-graffiti (Mudah dibersihkan)
• Membuat permukaan halus
• Anti bakteri
• Anti high termal (tahan panas dan bakar)

Keunggulan nanocoating :
• Memiliki Daya Tahan yang baik
• Mudah diproduksi
• Penggunaannya mudah dan sangat efektif
• Dapat sesuikan dengan bentuk permukaan
• Ramah lingkungan

22.3 Berbagai Kegunaan Pelapisan


(coating)

22.3.1 Pelapisan Anti Karat

Pelapisan organik diterapkan ke substrat logam untuk menghindari efek dari


korosi. Kinerja lapisan anti korosi ini bergantung pada beberapa parameter, diantaranya
sifat adhesi dengan logam, ketebalan, permeabilitas, dan sifat lain yang berbeda dari
pelapisannya. Dalam konteks ini, mempersiapkan permukaan yang akan dilapis sangat
penting dalam rangka memberikan daya rekat yang baik.
Permeabilitas adalah difusi dan kelarutan pelapisanan dengan berbagai jenis gas, cairan,
dan uap. Hal ini sangat penting untuk menentukan tingkat perlindungan yang akan
memberikan lapisan pada substrat. Lapisan yang ideal ini akan memiliki kelarutan
rendah dan difusi yang rendah.

pelapisan bahan organik memberikan perlindungan korosi

a) Sacrificial
Penggunaan sacrificial anoda seperti seng untuk melindungi besi dan baja telah lama
berdiri dan terkenal dalam praktek industri. Lapisan seng pada baja galvanis
terdegradasi bila terkena lingkungan yang tidak baik, suhu dan keasaman dan lapisan
ini melindungi permukaan di bawahnya. Dengan menggunakan pendekatan yang
sama, baik anorganik dan organik berbasis resin, coating dengan kandungan zink
yang banyak telah dikembangkan untuk melindungi berbagai substrat logam.

292
Gambar 22.1 Proses Sacrificial (irzaidan.files.wordpress.com/2012)

b) Efek pembatas (barrier effect)


Pelapisan polimer digunakan pada logam substrat untuk memberikan
hambatan terhadap proses korosif. Lapisan ini tidak murni dalam kondisi kedap,
Selain itu, cacat atau kerusakan pada lapisan coating dapat mempengaruhi proses
korosif mencapai permukaan logam, sehingga korosi lokal dapat terjadi.
Pigmen memiliki bentuk pipih seperti piring (misalnya, oksida besi,
aluminium dan serpihan mika) diperkenalkan sebagai pelapisan polimer, hal ini
tidak hanya meningkatkan panjang jalur difusi untuk korosif tetapi juga dapat
mengurangi korosi. Orientasi pigmen di lapisan harus sejajar dengan permukaan,
dan itu harus sangat sesuai dengan matrix resin untuk memberikan efek penghalang
korosi yang baik.
Layered clay platelets seperti montmorillonite juga dapat diperkenalkan ke
dalam sistem resin organik untuk meningkatkan efek penghalang terhadap molekul
oksigen dan air, sehingga meningkatkan kinerja anti korosi.

c) Inhibition (penghalangan)
Primer (molekular biology) yang mengandung logam fosfat, silikat, titanat atau
senyawa molibdat termaksud sebagai senyawa yang dapat digunakan sebagai
penghalang korosi melindungi logam dari korosi. Pigmen ini membentuk lapisan
oksida sebagai pelindung pada substrat logam, dan sering juga membentuk
kompleks antikorosi dengan bahan pengikat.

22.3.2 Pelapis Tahan Thermal Tinggi dan Tahan Bakar


Pelapisan tahan panas yang tinggi diperlukan untuk berbagai substrat logam,
seperti pada peralatan masak antilengket, pada mesin industri, pada genteng rumah
dll.
Fluorin atau produk berbahan dasar silikon juga digunakan untuk produk tahan
panas dan tahan bakar. Tetapi tidak cocok untuk aplikasi pada suhu tinggi karena akan
terdegradasi di atas suhu ~ 300 º C dan akan menghasilkan racun yang berbahaya bagi
kesehatan. Silikon yang mengandung polimer memberikan ketahanan panas yang
lebih baik karena energi tinggi yang diperlukan untuk membelah ikatan silikon
dibandingkan dengan ikatan karbon dalam molekul yang sama.

293
Belakangan ini telah dikembangkan silikon berbasis coating yang dapat tahan
terhadap temperatur diatas 10000C. Turunan Silicon seperti silicone resins
(siloxanes) atau inorganic silicates secara umum digunakan dalam
aplikasi ini. Namun, kopolimer atau campuran silikon dengan akrilat, epoxy atau
urethanes sangat sering digunakan untuk menghemat biaya. Perkembangan terbaru
telah telah
dibuat dari cara-cara inovatif untuk merancang pelapis penahan panas, misalnya,
titanium ester dalam kombinasi dengan serpihan aluminium yang dapat
menahan panas sampai dengan 4000C
Senyawa fosfor berfungsi dengan membentuk lapisan pelindung sebagai
penghalang permukaan glossy graphites juga digunakan sebagai penghambat api, ini
mengandung senyawa kimia, termasuk asam, yang terjebak antara lapisan karbon.
Setelah terkena suhu yang lebih tinggi, pengelupasan kulit grafit berlangsung dan ini
membuat lapisan isolasi ke substrat.

Gambar 22.2 Gambar Hasil SEM pelapisan anti panas yang


diperoleh dari pelapisan bahan organik
(rzaidan.files.wordpress.com)

22.3.3 Pelapisan Anti Gores

Pelapis pada umumnya sangat rentan dengan goresan dan abrasi. Dalam
berbagai produk konsumen lebih memilih untuk mempertahankan penampilan suatu
bahan yang dilapisi dari pada yang tidak dilapisi dan untuk alasan ini pelapis yang
digunakan pada mobil harus memiliki ketahanan gores yang baik dan memiliki
ketahanan abrasi.
Ketahanan gores dapat diperoleh dengan memasukkan lebih banyak batasan
penghubung di lapisan pengikat, tetapi sangat terkait lapisan yang sangat keras
memiliki ketahanan yang berdampak buruk akibat kurang fleksibel. Sebuah linked
cross film akan menunjukkan kinerja yang lebih baik berkaitan dengan sifat-sifat
lainnya seperti antifingerprint dan impact resistance tapi akan memiliki ketahanan
abrasi. Dengan demikian, kombinasi yang benar dari kekerasan dan fleksibilitas
sangat diperlukan.
Industri coating saat ini telah mengembangkan pelapis anti gores dengan
menggabungkan nanopartikel SiO2 ke dalam matriks organik yang
dapat bermigrasi ke permukaan. Dengan cara ini, ketahan gores
dapat ditingkatkan karena adanya pengayaan dari nanopartikel kedekat
permukaan pelapis.

294
22.3.4 Pelapisan dengan sistem pembersihan alami

Penelitian terbaru dalam pelapisan pembersihan sendiri terinspirasi oleh proses


pembersihan alami. seperti namanya, memiliki suatu sifat khusus dan sekarang
disebut efek Lotus(efek teratai). Artinya, pelapis ini memiliki kemampuan permukaan
untuk membersihkan dirinya sendiri dan sistem yang terjadi berlangsung secara alami
atau biologis.

Gambar22.3. efek teratai (lottus) (aguspur.wordpress.com)

Gambar 22.4. Sistem di alam yang menggunakan pembersihan alami


(aguspur.wordpress.com)

295
Gambar 22.5. (a) gambaran mikroskopik dari daun teratai. (b) Skema yang
menggambarkan hubungan antara kekasaran permukaan dan proses
pembersihan sendiri. (aguspur.wordpress.com)
Pada tahun 1997, Barthelott dan rekan-rekannya membuktikan bahwa sifat
pembersihan diri dari daun teratai terjadi karena faktor morfologi dari permukaan
daun dan proses hidrofobisitas pada daun teratai. Ini adalah morfologi khusus untuk
mencegah kotoran bersatu dengan permukaan daun, sedangkan hidrofobisitas yang
tinggi membuat daun menolak air. Akibatnya, tetesan air bergulir ke permukaan daun,
dan membawa kotoran.
Setelah Penemuan awal oleh Barthelott ini, banyak kelompok peneliti yang
telah berusaha untuk meniru kegiatan ini untuk mengembangkan proses pembersihan
diri sendiri atau lotus-efek coating.

Photocatalytic nanotitanium dioxide (TiO 2 )


Kemungkinan aplikasi paling luas dianggap berasal dari nanoteknologi dalam
industri konstruksi. Sudah ada sejumlah besar bangunan di seluruh dunia yang telah
menggunakan aplikasi itu. Titanium dioksida jenis hidrofilik karena memiliki energi
permukaan yang tinggi, maka air tidak membentuk tetes pada permukaan dilapisi
dengan itu.
Mekanisme pembersih sendiri Photocatalytic Nanotitanium Dioxide (Tio 2 )

• Fotokatalis TiO2 menyerap radiasi UV dari sinar matahari / lampu neon


• Menghasilkan pasangan elektron dan lubang
• Elektron dari pita valensi titanium dioksida menjadi bereaksi ketika diterangi oleh
cahaya
• Kelebihan energi dari elektron mendorong elektron lompat ke pita konduksi
titanium dioksida sehingga menciptakan elektron negatif (e-) dan hole positif (h
+) berpasangan.
• positif-hole TiO2 terpisah molekul air untuk membentuk gas hidrogen dan
hidroksil radikal. elektron Negatif bereaksi dengan molekul oksigen untuk
membentuk super oksida anion. (Keduanya dikenal sebagai foto-produced
radikal)
• Foto-produksi radikal ini merupakan pengoksidasi kuat dan dapat menyebabkan
kerusakan dari kontaminan organik atau potongan microbials pada permukaan
partikel.
Ketika foto partikel katalitik TiO 2 yang diterangi dengan sumber sinar UV
(misalnya, sinar matahari), elektron terlihat untuk didorong dari pita valensi,Valenci
band(VB) ke pita konduksi,condukting band (CB) dari partikel. Hal ini menciptakan
sebuah area muatan positif (h +) lubang, di VB dan elektron bebas di CB. Muatan ini
dapat bergabung kembali atau bermigrasi ke permukaan, sedangkan lubang dapat
bereaksi dengan molekul air atau hidroksil teradsorpsi di permukaan dan
menghasilkan radikal yang berbeda seperti radikal hidroksil (OH •) dan radikal
hydroperoxy (HO 2 ). Sebaliknya, elektron bergabung dengan oksigen dan
menghasilkan super radikal oksida. foto-produced radikal ini adalah bentuk
pengoksidasi kuat dan dapat menyebabkan kerusakan kontamina organik atau
potongan microbials pada permukaan partikel. Efek menguntungkan lainnya dari
TiO 2 adalah perilaku Super hidrofilik.. Hal ini memungkinkan kontaminan dapat

296
dengan mudah hanyut dengan aliran air atau hujan jika lapisan diterapkan pada
permukaan luar.

Gambar 22.6. proses photocatalisis(irzaidan.files.wordpress.com/2012/ppt)

Gambar 22.7 Proses Titanium dioksida mengurangi polusi dan membersihkan udara
(irzaidan.files.wordpress.com/2012/ppt)

22.3.5 Pelapisan Bahan Anti Bakteri


Mikroorganisme, bakteri, jamur, dan virus merupakan ancaman potensial
untuk gaya hidup higienis modern kita. Mikrooganisme itu dapat menyebabkan :
1. Perubahan warna terhadap pelapisan,
2. Resiko terhadap kesehatan dan kebersihan,
Biofilm adalah kumpulan sel mikroorganisme, seperti bakteri yang menempel
pada lapisan bahan. tentu hal ini dapat menganggu dari kualitas bahan itu sendiri.
Sekarang ini, dalam teknologi nano, lebih dikembangkan pada bagaimana
pengembangan pelapisan antibakteri / biofilm dalam berbagai kehidupan tanpa
membunuhnya Berbagai macam biocides organik dan anorganik yang tersedia secara
komersial dipasar. Sebagai contoh, biocide yang mengandung ion metal berat akan
menolak perkembangan enzym metabolisme bakteri . contoh bahan anti bakteri ini
adalah berikut ini ditunjukkan berbagai mekanisme biosidal dan biostatic tertiary
alkyl amines and organic acids. Sedangkan Inorganic biocides

297
termaksud silver, zinc oxide (ZnO), copper oxide (CuO), TiO2, dan
selenium

Gambar 22.8. Skema dari susunan biofilm oleh mikroorganisme


(irzaidan.files.wordpress.com)
Nitrat oksida (NO)- melepaskan sol-gel sebagai lapisan antibakteri potensial
untuk perangkat alat kesehatan atau medis. Infeksi bakteri karena perangkat medis
implan merupakan komplikasi yang berpotensi serius terhadap kesehatan. Lapisan ini
dimaksudkan untuk aplikasi perangkat biomedis untuk mencegah perangkat medis
terkena infeksi yang disebabkan oleh bakteri pada biofilm.

Gambar 22.9 Peralatan medis yang rentan terhadap mikroorganisme


(irzaidan.files.wordpress.com)

22.3.6 Pelapisan Untuk Anti Pembusukan oleh Bakteri


Mikroorganisme dalam dinding kapal laut menyebabkan inkonsistensi dalam
lapisan permukaan kapal dan menciptakan gesekan dengan air. Gesekan ini
mengurangi kecepatan kapal dan menambah bobot. Kedua faktor ini mengakibatkan
meningkatkan konsumsi bahan bakar dan menambah biaya pemeliharaan kapal.
Lapisan antifouling yang ideal akan mencegah pertumbuhan mikroorganisme serta
mempertahankan kinerja kapal dalam jangka panjang dengan peraturan lingkungan
yang ketat

298
.
Gambar 22.10 Mikroorganisme yang mengganggu kapal (irzaidan.files.wordpress.com)
Fouling umumnya banyak berada di perairan pesisir di mana kapal atau perahu
berlabuh atau perjalanan dengan kecepatan yang lambat. Berdasarkan jenis
organisme laut yang ada, fouling dibagi 2 jenis utama, yaitu fouling mikro dan fouling
makro oleh hewan laut (teritip, cacing tabung) dan tanaman (ganggang).
Ada dua jenis lapisan antifouling bawah air. Pelapisan kimia menggunakan
biocides, atau toxin kimia yang dilepaskan ke dalam air laut dan mencegah organisme
laut melekat ke permukaan kapal. toxin menciptakan sebuah hambatan yang
mencegah pertumbuhan mikroorganisme. Di masa lalu pelapisan ini biasanya disebut
oksida tembaga. Beberapa bahan kimia yang bersifat beracun meliputi; oksida
cuprous, merkuri, tembaga, arsen dan tributiltin oksida (TBT). Setiap kombinasi dari
bahan kimia ini memberikan efek berbahaya bagi lingkungan perairan.
Tipe lain dari lapisan antifouling bawah air adalah ablatif, pembersih manual
sistem pelapisan. Sistem ablative mencegah mikroorganisme laut melekat ke
pelapisan permukaan kapal. Permukaan pelapisan awal terus berada dalam air laut.
Belakangan ini, produk antifoil telah mengembangkan teknologi mikro-
encapsulation. Polimer dengan energi permukaan rendah menolak adhesi akibat
organisme laut. Sejauh ini teknologi ini cukup baik jika digunakan pada kapal dengan
kelajuan tinggi seperti kapal ferri.

Gambr 22.11 Skema dari keadaan kritis antifouling biofilm (irzaidan.files.wordpress.com)

22.4 Teknik Pelapisan (Coating)

Berbagai teknik pelapisan yang ada dapat dijelaskan pada gambar berikut ini:
a. Pelapisan dengan cara penyemprotan (spraying)
Pada teknik ini, pelapis coating disemprotkan kepermukaan dengan alat
semprot yang memiki kecepatan tertentu. Pelapis yang akan disemprot harus
dibersihkan dan dikeringkan terlebih dahulu sehingga hasil yang diharapkan akan
maksimal.

299
Gambar 22.12 Teknik penyemprotan (rowantechnologi.com)

Gambar 22.13. hasil pelapisan dengan cara penyemprotan (rowantechnologi.com)

b. Teknik Pelapisan dengan pencelupan (dip coating)


Pada teknik penyelupan, bahan pelapis berada disuatu wadah dengan suhu
tertentu. Bahan yang akan dilapisi dicelupkan dan setelah itu ditiriskan.

Gambar 22.14. Teknik pencelupan (rowantechnologi.com)

300
Gambar 22.15. Hasil pelapisan dengan cara pencelupan (rowantechnologi.com)

c. Atomic layer deposition(ALD)


Adalah suatu cara pelapisan suatu material dengan menggunakan atomic layar,
merupakan sebuah cara untuk melapisi beberapa komponen semikonduktor.

Gambar 22.16. Atomic layer deposition (rowantechnologi.com)

Gambar 22.17 Hasil pelapisan dengan cara ALD (rowantechnologi.com)

301
DAFTAR PUSTAKA
Mathiazhagan A., dan Joseph, R., Nanotechnology, A New Prospective in Organic Coating –
Review. International Journal of Chemical Engineering and Applications, Vol. 2 , No. 4 ,
2011

Gilbert Gedeon, P.E., 1995. Coating Application and Inspection Stony Point, NY 10980
Kurniawati, A., 2008. Evaluasi pelapisan. Jakarta: Fakultas Teknik UI.
http://aguspur.wordpress.com/2008/10/09/manfaat-nanoteknologi/ diakses tgl 4/12/2012
http://www.infometrik.com/2009/08/pelapisan-logam-bagian-1/ diakses tanggal 4/11/2012
http://www.sciencedaily.com/releases/2012/02/120215155316.htm diakses tanggal 4/11/2012
http://www.durasealcoatings.com/ diakses tangak 4/11/2012
http://irzaidan.files.wordpress.com/2012/02/ch-11-nanocoating-presentation.ppt/ diakses
tanggal 4/11/2012.
www.rowantechnologi.com.diakses tanggal 06/12/2002

302
Bab 23
Nanokomposit Polimer untuk
Aplikasi Plastik Biodegradable
(Ramah Lingkungan)
Oleh : Yolla Sukma Handayani

23.1 Pendahuluan
Plastik merupakan material yang banyak digunakan dalam berbagai sektor. Seperti
yang kita jumpai setiap hari banyak produk yang menggunakan plastik sebagai kemasan,
bahan dasar elektronika dan lain-lain. Hampir seratus juta ton plastik konvensional yang
terbuat dari beberapa jenis polimer, seperti : polietilen tereftalat (PET), polivinil klorida
(PVC), polietilen (PE), polipropilen(PP), polistirena (PS), polikarbonat (PC), dan melamin
diproduksi setiap tahunnya.
Material plastik banyak digunakan karena mempunyai sifat unggul, seperti ringan
tetapi kuat, transparan, tahan air, serta harganya relatif murah dan terjangkau oleh semua
kalangan masyarakat. Namun demikian, plastik memiliki sifat tidak mudah hancur, baik oleh
cuaca hujan dan panas matahari maupun mikroba yang hidup dalam tanah. Ketidakmampuan
mikroorganisme untuk menguraikan material ini menimbulkan masalah sampah nonorganik,
yang jika tidak ditangani dengan baik akan menimbulkan masalah yang sangat serius
terhadap lingkungan. Disamping itu, sumber minyak bumi yang digunakan sebagai bahan
dasar polimer sintetik semakin lama semakin berkurang, sehingga timbul pemikiran untuk
mengembangkan material polimer yang memanfaatkan bahan-bahan alam yang dapat
diperbaharui (renewable resources).
Saat ini telah dikembangkan plastik yang ramah lingkungan (biodegradable) karena
mudah terurai di dalam tanah. Plastik tersebut dibuat dari material yang berasal dari senyawa
organik yang diproduksi bakteri, tidak seperti plastik konvensional yang dibuat dari minyak
bumi. Material tersebut disebut polyhydroxybutyrate (PHB). PHB sudah banyak digunakan
pada berbagai produk kemasan hingga peralatan medis dan telah dikormesialkan sejak tahun
1980-an. Namun, penggunaannya masih terbatas karena sifatnya yang rapuh dan tidak dapat
ditentukan masa urainya. Kemudian, para ilmuwan di Universitas Comell, New York,
melakukan rekayasa material agar plastik PHB lebih kuat dan cepat terurai [Adipedia.com,
2011]. Kuncinya terletak pada partikel lempung (clay) berdiameter beberapa nanometer.
Partikel-partikel berukuran sangat kecil ini ditambahkan pada polimer agar membantu proses
kristalisasi yang memperkuat plastik.
Jenis plastik biodegradable yang sudah dikembangkan antara lain, poli hidroksi
alkanoat (PHA), poli e-kaprolakton (PCL), poli butilen suksinat (PBS), dan poli asam laktat
(PLA) [Berkesch, S., 2005]. PLA merupakan modifikasi asam laktat hasil perubahan zat
tepung kentang atau jagung oleh mikroorganisme, dan poliaspartat sintetis yang dapat
terdegradasi. Bahan dasar plastik berasal dari selulosa bakteri, kitin, kitosan, atau tepung

303
yang terkandung dalam tumbuhan, serta beberapa material plastik atau polimer lain yang
terdapat di dalam sel tumbuhan dan hewan.
Plastik biodegradable berbahan dasar tepung dapat didegradasi bakteri pseudomonas
dan bacillusdengan cara memutus rantai polimer menjadi monomer-monomernya. Senyawa-
senyawa hasil degradasi polimer selain menghasilkan karbon dioksida dan air, juga
menghasilkan senyawa organik lain yaitu asam organik dan aldehid yang tidak berbahaya
bagi lingkungan [IBAW Publication, 2005]. Plastik berbahan dasar tepung aman bagi
lingkungan. Sebagai perbandingan, plastik konvensional membutuhkan waktu kurang lebih
500 s.d. 1000 tahun agar dapat terdekomposisi di alam, sementara plastik biodegradable
dapat terdekomposisi 100 hingga 1000 kali lebih cepat. Hasil degradasi plastik ini dapat
digunakan sebagai makanan hewan ternak atau sebagai pupuk kompos. Plastik biodegradable
yang terbakar tidak menghasilkan senyawa kimia berbahaya. Kualitas tanah akan meningkat
dengan adanya plastik biodegradable, karena hasil penguraian mikroorganisme
meningkatkan unsur hara dalam tanah.
Oleh karena itu, pengembangan plastik biodegradable ini sangat pesat karena
banyaknya keunggulan yang dimiliki oleh material ini.

23.2 Polimer
Polimer adalah bahan yang molekulnya memiliki unit ulang (repeat unit) dari sebuah
atau sekelompok atom yang dikenal sebagai mer [Fitrilawati, F., 2007]. Mer berbeda dengan
monomer. Monomer adalah molekul-molekul tunggal penyusun polimer. Polimer berasal dari
bahasa Yunani, poly dan mer (meros). Poly berarti banyak, sedangkan mer (meros) berarti
ikatan. Sifat-sifat polimer berbeda dari monomer-monomer yang menyusunnya.Sebagai
contoh, polimer polipeptida adalah salah satu jenis bahan polimer dengan rantai linier sangat
panjang yang tersusun atas unit-unit terkecil (mer) yang berulang-ulang berasal dari
monomer molekul asam amino. Mekanisme polimerisasi asam amino menjadi polipeptida
ditunjukkan pada Gambar 23.1.

Gambar 23.1. Mekanisme polimerisasi asam amino menjadi polipeptida.

23.2.1 Klasifikasi polimer


Polimer dapat diklasifikasikan berdasarkan asal polimer, mekanisme polimerisasi, dan
berdasarkan aplikasinya [Fitrilawati, F., 2007].

304
A. Klasifikasi berdasarkan asal polimer

Berdasarkan asalnya, polimer dibedakan atas polimer organik sintetik, biopolimer,


dan polimer anorganik. Maksud klasifikasi polimer berdasarkan asal ini adalah bagaimana
polimer tersebut diperoleh, apakah dibuat dari monomer atau diekstrak dalam bentuk yang
sudah berupa polimer.

a. Polimer organik sintetik


Polimer organik sintetik adalah polimer yang rantai utamanya terdiri dari atom
karbon. Beberapa contoh polimer organik sintetik dapat dilihat pada Tabel 23.1 di bawah ini.

Tabel 23.1. Contoh polimer organik sintetik

No Polimer Struktur Aplikasi


1. Polietena Kantung, kabel plastik

2. Polipropilena Tali, karung, botol plastik

3. PVC Pipa paralon, pelapis lantai


(Polivinil
klorida)

4. Polivinil Bak air


alcohol

5. Teflon Wajan atau panci anti


lengket

6. Nilon Tekstil

7. Polibutadiena Ban motor

8. Poliester Ban mobil

305
9. Melamin Piring dan gelas melamin

10. Epoksi resin Penyalut cat (cat epoksi)

b. Biopolimer atau polimer alam


Biopolimer adalah polimer yang terdapat di alam dan berasal dari makhluk hidup,
tidak dibuat dari monomer melalui proses polimerisasi. Beberapa contoh biopolimer dapat
dilihat pada Tabel23.2 di bawah ini.

Tabel 23.2. Contoh biopolimer

No Polimer Monomer Contoh


1. Selulosa Glukosa Sayur, Kayu, Kapas
2. Pati/amilum Glukosa Biji-bijian, akar umbi
3. Protein Asam amino Susu, daging, telur, wol, sutera
4. Asam nukleat Nukleotida Molekul DNA dan RNA (sel)
5. Karet alam Isoprena Getah pohon karet

c. Polimer anorganik
Polimer kelompok ini memiliki unsur anorganik pada rantai utamanya atau rantai
cabang. Contoh: poliorganosiloksan yang dikenal juga sebagai polimer silikon (silicone
polymers, sillicones) seperti yang ditunjukkan Gambar 23.2.

Gambar 23.2. Struktur silikon

B. Klasifikasi berdasarkan mekanisme polimerisasi

Berdasarkan mekanisme polimerisasinya, polimer dibedakan atas polimer kondensasi


dan polimer adisi [Fitrilawati, F., 2007].

a. Polimer kondensasi
Polimer kondensasi adalah polimer yang terbentuk melalui reaksi kondensasi.
Kondensasi merupakan reaksi penggabungan gugus-gugus fungsi antara kedua monomernya.
Artinya, polimerisasi kondensasi adalah reaksi pembentukan polimer dari monomer-
monomer yang mempunyai gugus fungsional dan reaksi polimerisasi yang menghasilkan

306
molekul kecil berupa air, alkohol, dan yang lainnya.Misalnya, senyawa polipeptida atau
protein dan polisakarida merupakan senyawa biomolekul yang dibentuk oleh reaksi
polimerisasi kondensasi. Berikut beberapa contoh pembentukan polimerisasi kondensasi
ditunjukkan oleh Gambar 23.3.

(a)

(b)

Gambar 23.3. Pembentukan(a) nilon dari asam 6-aminoheksanoat


(HOOCCH2 (CH 2 ) 3 CH2 NH2 )dan (b) poliester dari etilena glikol (polialkohol) dengan dimetil
tereftalat (senyawa ester).

b. Polimer adisi
Polimer adisi adalah polimer yang terbentuk melalui reaksi adisi. Reaksi adisi adalah
reaksi pemecahan ikatan rangkap menjadi ikatan tunggal. Jadi, polimerisasi adisi adalah
reaksi pembentukan polimer dari monomer-monomer yang berikatan rangkap (ikatan tak
jenuh). Pada reaksi ini monomer membuka ikatan rangkapnya lalu berikatan dengan
monomer lain sehingga menghasilkan polimer yang berikatan tunggal (ikatan jenuh). Artinya,
monomer pembentuk polimer adisi adalah senyawa yang ikatan karbon berikatan rangkap
seperti alkena, sterina, dan haloalkena. Polimer adisi ini biasanya identik dengan plastik,
karena hampir semua plastik dibuat dengan polimerisasi adisi. Misalnya polietena,
polipropena, polivinil klorida, teflon dan poliisoprena.Berikut beberapa contoh
pembentukannya ditunjukkan pada Gambar 23.4.

(a)

(b)

Gambar 23.4. Pembentukan(a) polietena (polietilena) dari etena (etilena)dan (b) teflon dari
tetrafluoro etena.

307
C. Klasifikasi berdasarkan aplikasi

Berdasarkan pemanfaatan dalam berbagai aplikasi, polimer dapat dibedakan atas


plastik, elastomer, dan fiber. Kelompok plastik dicirikan dengan sifat plastisitas, kelompok
elastomer dicirikan dengan sifat elastisitas, sedangkan kelompok fiber dicirikan dengan
kemampuan bahan polimer dibentuk menjadi serat (fiber).

a. Plastik
Plastik dapat dibuat menjadi berbagai bentuk, biasanya melalui proses pemanasan
atau menggunakan tekanan. Plastik selanjutnya dibedakan sebagai termoset dan termoplastik.
Polimer termoset jika dipanaskan diatas temperatur kritis akan menjadi keras (permanen) dan
tidak akan menjadi lunak (soften) kembali.
Termoset merupakan polimer cross linked yang tidak memiliki suhu melting dan tidak
memiliki sifat mencair jika dipanaskan sehingga tidak dapat dicetak. Contoh polimer
termoset adalah resin fenol (phenolic resins), resin amino (amino resins), dan resin epoksi
(epoxy resins).
Termoplastik umumnya merupakan polimer linear yang mempunyai suhu melting
yang rendah, dapat mencair dan dicetak. Polimer termoplastik akan menjadi lunak jika
dipanaskan diatas Tg (suhu transisi gelas). Polimer dapat dibentuk pada temperatur tersebut
dan ketika didinginkan bentuknya akan tetap. Contoh polimer termoplastik adalah polietilen,
polikarbonat, polipropilen, dan lain-lain.

b. Elastomer
Elastomer adalah bahan yang menyerupai karet. Bahan ini memiliki elastisitas yang
tinggi. Polimer ini akan berubah bentuk jika ditarik atau ditekan, namun bentuknya akan
kembali seperti semula jika tarikan atau tekanan tersebut dilepaskan. Contohnya antara lain
karet alam, karet sintetik, dan lainnya.

c. Fiber
Fiber memiliki kekuatan (strength) dan modulus yang tinggi, dapat ditarik (stretch
ability), memiliki stabilitas termal, dapat dipintal (spinnability), dan memiliki sifat yang
berguna untuk aplikasi misalnya untuk tekstil, tali, kabel, dan sebagainya. Ada fiber yang
termasuk kelompok serat alam (natural fibers) seperti sutera (silk), wol, dan katun dan ada
yang temasuk serat buatan (synthetic fibers) seperti nilon, rayon, dan sebagainya.

23.2.2 Arsitektur molekul polimer


Arsitektur molekul berkaitan dengan bentuk molekul polimer. Pada Gambar 23.5
diperlihatkan contoh polimer dengan berbagai bentuk seperti linear, cabang, crosslinked,
ladderdan sebagainya. Arsitektur molekul penting untuk berbagai sifat. Rantaibercabang
pendek cenderung memperkecil kristalinitas. Rantai bercabang panjangmemiliki pengaruh
pada sifat reologi (rheological properties). Polimer ladder memilikikekuatan yang tinggi dan
stabilitas termal yang baik. Polimer crosslinked/networkbersifat termoset sehingga tidak
meleleh (melting). Proses kopolimerisasi (copolymerization) memungkinkan pembuatan
polimer dengan sifat-sifat yang diinginkan.

308
Gambar 23.5. Bentuk arsitektur polimer (a) linear, (b) bercabang, (c) crosslinked, dan
(d) network(berjejaring) [Anadão, P., 2012]

23.2.3 Sintesis polimer


Proses pembuatan polimer dari monomer dikenal sebagai polimerisasi.

A. Proses polimerisasi
Proses polimerisasi dibagi dalam kelompok polimerisasi kondensasi dan polimerisasi
adisi.

a. Polimerisasi adisi
Pada proses polimerisasi ini tidak ada produk samping yang dihasilkan. Jumlah atom
pada monomer sama dengan pada unit ulang (mer). Contoh polimerisasi kondensasi
ditunjukkan oleh Gambar 23.4 pada bagian 23.2.1.

b. Polimerisasi kondensasi
Pada proses polimerisasi ini ada produk samping yang dihasilkan. Jumlah atom yang
terdapat pada unit ulang (mer) lebih kecil dibandingkan dengan jumlah atom pada monomer.
Contoh polimerisasi kondensasi ditunjukkan oleh Gambar 23.3 pada bagian 23.2.1.

B. Mekanisme polimerisasi

Mekanisme polimerisasi dibagi atas step reaction or step growth polymerization dan
chain reaction or chain growth polymerization.

a. Step reaction orstep growth polymerization


Polimer terbentuk melalui reaksi monomer secara bertahap. Umumnya polimerisasi
kondensasi termasuk dalam kategori ini. Pada polimerisasi ini diperlukan monomer
multifungsional untuk menghasilkan polimer dengan berat molekul tinggi. Polimer yang
dihasilkan dengan mekanisme ini memiliki derajat polimerisasi (DP) yang relatif rendah.
Contoh polimer yang dibentuk dengan mekanisme ini ditunjukkan pada Gambar 23.6.

309
(a)

(b)

Gambar 23.6. Pembentukan (a)polieter dan (b)poliimid melalui reaksi step reaction

Poliimid banyak digunakan dalam komposit yang memiliki kekuatan yang tinggi dan
lapisan yang memiliki stabilitas termal dan merupakan bahan adhesive.
Ciri-ciri penting dalam mekanisme step reaction or step growth polymerization.
1. Reaksi-reaksi monomer berlangsung pada tahap awal dan pertambahan berat molekul
berlangsung secara lambat.
2. Pertumbuhan rantai polimer disebabkan oleh reaksi antara monomer, oligomer, dan
polimer.
3. Tidak ada tahap terminasi yang jelas, rantai ujung (the end group) bersifat reaktif
sepanjang proses polimerisasi.
4. Mekanisme reaksi sepanjang proses polimerisasi berlangsung sama.

b. Chain reaction or chain growth polymerization


Polimer terbentuk melalui reaksi monomer pada ujung rantai yang berpropagasi.
Polimerisasi adisi termasuk dalam kelompok ini. Polimer yang dihasilkan dengan mekanisme
ini dapat mencapai DP yang tinggi. Monomernya umumnya memiliki ikatan rangkap. Ikatan
rangkap pada atom karbon akan siap berpropagasi apabila diaktifkan oleh inisiator.
Tahapan polimerisasi adisi terdiri dari tahapan inisiasi, propagasi, dan terminasiyang
dapat dibedakan dengan jelas. Tahapan inisiasi adalah tahapan pembentukan pusat aktif.
Dalam proses ini diperlukan suatu inisiator untuk memulai reaksi dengan membentuk radikal
bebas. Pada tahap ini inisiator yang mengandung radikal akan bereaksi dengan monomer
sehingga terbentuk radikal monomer yang berikatan dengan inisiator. Pada tahap propagasi
terjadi pertumbuhan rantai dari monomer monomer akan berpropagasi pada ujung rantai yang
aktif dan proses ini akan berlangsung hingga monomer habis bereaksi atau terjadinya
terminasi yang menghentikan proses tersebut. Tahap terminasi adalah berhentinya
pertumbuhan rantai akibat adanya proses netralisasi (reaksi antara radikal dengan radikal)
atau perpindahan pusat aktif. Contoh reaksi chain growth yang menghasilkan rantai polimer
polistiren diperlihatkan pada Gambar 23.7.

310
Gambar 23.7. Pembentukan polistiren melalui reaksi chain growth.

Ciri-ciri penting mekanisme chain reaction or chain growth polymerization.


1. Pertambahan panjang rantai disebabkan oleh pertambahan monomer pada ujung reaktif
pada rantai polimer yang tumbuh.
2. Monomer bereaksi secara perlahan sehingga tersedia selama proses polimerisasi
berlangsung.
3. Terdapat dua mekanisme yang jelas selama proses polimerisasi yaitu inisiasi dan
propagasi.
4. Umumnya memiliki tahapan terminasi.

23.2.4 Karakterisasi polimer


A. Densitas dan solubilitas polimer

Densitas dan solubilitas (kelarutan) polimer dapat diuji secara bersamaan dengan
memasukkan butiran polimer ke dalam tabung yang bersifat pelarut. Keadaan sampel yang
mngapung atau tenggelam menentukan densitas, sedangkan keadaan sampel yang
mengembang atau larut menentukan solubilitas. Pelarutan polimer terjadi dalam dua tahap,
mula-mula pelarut berdifusi melewati matriks polimer membentuk massa menggembung
yang disebut gel, kemudian gel tersebut pecah dan molekul-molekulnya terdispersi kedalam
pelarut. Beberapa jenis polimer dapat larut dengan cepat dalam pelarut tertentu, dan beberapa
polimer yang lainnya memebutuhkan periode pemanasan dengan suhu mendekati titik lebur
untuk pelarutannya.

B. Berat Molekul
Pada polimer dipergunakan istilah berat molekul rata-rata karena umumnya molekul
pada polimer memiliki ukuran yang tidak sama dan massa molekul yang berbeda. hal ini
dikenal sebagai polidispersitas (polydisperse). Berat molekul polimer bergantung pada
metode pengukurannya.

311
Pada motode yang bergantung pada analisis gugus ujung atau sifat-sifat koligatif
dikenal berat molekul rata-rata jumlah (number average relative molecular mass). Pada
motode ini bilangan atau jumlah molekul dari setiap berat dalam sampel yang bersangkutan
dihitung. Berat molekul rata-rata jumlah adalah berat sampel per mol :

𝑤𝑤 ∑∞
𝑖𝑖=1 𝑀𝑀𝑖𝑖 𝑁𝑁𝑖𝑖
����
𝑀𝑀𝑛𝑛 = ∞ = (1)
∑𝑖𝑖=1 𝑁𝑁𝑖𝑖 ∑∞ 𝑖𝑖=1 𝑁𝑁𝑖𝑖

Dengan Ni adalah jumlah rantai dan Mi adlaah massa dari rantai yang bersangkutan. Teknik
menentukan ����
𝑀𝑀𝑛𝑛 adalah osmometry.
Hamburan cahaya dan ultrasentrifugasi dipergunakan untuk menentukan berat
molekul yang berdasarkan pada massa dan polarisabilitas spesies polimer. Metode ini
menjumlahkan fraksi berat masing-masing spesies dikalikan berat molekulnya. Nilai yang
diperoleh disebut berat molekul rata-rata berat (weight average molecular mass) dinyatakan
sebagai

∑∞
𝑖𝑖=1 𝑤𝑤𝑖𝑖 𝑀𝑀𝑖𝑖 ∑∞
𝑖𝑖=1 𝑁𝑁𝑖𝑖 𝑀𝑀𝑖𝑖2
����
𝑀𝑀𝑤𝑤 = = ∞ (2)
∑∞ 𝑖𝑖=1 𝑤𝑤𝑖𝑖 ∑𝑖𝑖=1 𝑁𝑁𝑖𝑖 𝑀𝑀𝑖𝑖

Nilai ����
𝑀𝑀𝑤𝑤 lebih dipengaruhi oleh molekul-molekul yang besar.
Dalam pengukuran berat molekul yang berdasarkan sifat koligatif, setiap molekul
mempunyai kontribusi yang sama berapapun beratnya, sedangkan pada metoda yang
menggunakan hamburan cahaya, molekul-molekul yang lebih besar mempunyai kontribusi
yang lebih karena menghambur cahaya secara lebih efektif. Karena alasan tersebut berat
molekul rata-rata berat ����
𝑀𝑀𝑤𝑤 selalu lebih besar daripada berat molekul rata-rata jumlah ����
𝑀𝑀𝑛𝑛 ,
kecuali jika semua molekul memiliki besar yang sama maka ����𝑀𝑀𝑤𝑤 = ����
𝑀𝑀𝑛𝑛 .
Sifat fisis polimer ditentukan oleh berat molekulnya. Agar memiliki sifat mekanik
yang baik, polimer harus memiliki berat molekul yang cukup. Besar berat molekul yang
diperlukan tergantung pada interaksi inter dan intra-molekul.

C. Sifat termal

Untuk menentukan sifat termoplastik dan termoset, polimer dipanaskan sampai


meleleh dan didinginkan, lalu diamati perubahan yang terjadi. Ketika sampel dipanaskan,
dengan menggunakan pinset, polimer yang meleleh ditarik untuk melihat apakah terbentuk
fiber. Untuk melihat sifat adhesif, setelah didinginkan polimer yang menempel pada pinset
ditarik, diamati apakah mudah dilepaskan. Untuk melihat apakah polimer mudah terbakar,
maka sampel polimer dibakar dengan lampu bunsen. Suhu transisi gelas dan suhu melting
dapat ditentukan dengan menggunakan teknik Differential Scanning Calorymetry (DSC).
Suhu dekomposisi dapat ditentukan dengan metoda Thermal Gravimetry Analysis (TGA).

D. Penentuan struktur

Struktur molekul dapat ditentukan dengan Nuclear Magnetic Resonance (NMR) dan
spektroskopi inframerah (IR). Spektroskopi FT-IR merupakan metoda yang digunakan untuk
menganalisa gugus fungsi yang terdapat pada bahan polimer. Spektroskopi FT-IR bekerja
berdasarkan interaksi radiasi inframerah dan materi, berupa absorpsi pada frekuensi dan
panjang gelombang tertentu yang berhubungan dengan energi transisi antara keadaan-
keadaan energi vibrasi-rotasi dari molekul.

312
E. Sifat optik

Secara kualitatif, dapat diamati apakah polimer terlihat transparan atau buram
(opaque). Sifat optik linear bahan dinyatakan dengan konstanta n (indeks bias) dan α
(koefisien absorpsi) yang didefinisikan sebagai :

[ ( )]
n = 1 + Re χ (1)
1
2
(3)

α=
k0
n
( )
Im χ (1)
(4)

Konstanta optik linear tersebut dapat ditentukan dengan teknik reflektometri yaitu
berdasarkan hasil pengukuran pasangan spektrum transmisi dan refleksi.

23.3 Polimer Nanokomposit


Komposit adalah kombinasi dua atau lebih material melalui campuran yang tidak
homogen, dimana sifat mekanik dari masing-masing material pembentuknya berbeda.
Umumnya material komposit terdiri dari dua bahan penyusun. Bahan tersebut yaitu bahan
pengisi (filler) dan bahan pengikat (matriks). Filler adalah bahan pengisi yang digunakan
dalam pembuatan komposit, biasanya berupa serat atau serbuk, seperti yang sering digunakan
dalam pembuatan komposit antara lain serat e-glass, boron, karbon, dan sebagainya. Bahan
pengisi haruslah kuat untuk menerima beban yang diterima material komposit. Matriks dalam
struktur komposit dapat berasal dari bahan polimer atau logam. Umumnya matriks terbuat
dari bahan-bahan lunak dan liat. Epoksi, poliester, dan vinilester adalah bahan-bahan polimer
yang sejak dahulu telah dipakai sebagai bahan matriks.

Gambar 23.8. Filler nanokomposit.

Nanokomposit adalah gabungan atau kombinasi dari dua atau lebih komponen
terpisah dan salah satu komponennya adalah material skala nanometer. Dalam
nanokompositfiller dapat berupa clay, logam, CNT[Duncan, T. V., 2011]yang akan bertindak
sebagai pengisi dalam sebuah matriks. Nanokomposit merupakan material yang dibuat

313
dengan menyisipkan nanopartikel (filler) dalam sebuah sampel material makroskopik
(matriks). Tujuan pembuatan komposit adalah untuk menghasilkan sifat yang berbeda dari
komponen-komponen pembentuknya serta untuk menghasilkan sifat yang terbaik dari tiap
komponen suatu komposit. Penambahan nanopartikel dapat menghasilkan perubahan sifat
optik, sifat dielektrik atau sifat mekanik, seperti kekakuan (stiffness) dan kekuatan (strength).
Polimer nanokomposit adalah kombinasi dari dua material atau lebih, dimana polimer
sebagai matriks diisi dengan filler yang berukuran nanometer. Filler nanokomposit dapat
berupa clay, carbon nanotubes, silica nanoparticles, starch nanoparticle, nanofiber, dan lain-
lain (Gambar 23.8). Polimer nanokomposit telah banyak digunakan dalam berbagai aplikasi
seperti pada otomotif, kemasan produk, dan lain-lain. Karena sifat polimer nanokomposit
dapat dimodifikasi, maka material ini dapat digunakan untuk aplikasi plastik ramah
lingkungan.

23.3.1 Metode sintesis nanokomposit polimer


Ada tiga metode yang digunakan secara luas dalam sintesis nanokomposit polimer,
yaitu polimerisasi in-situ, metode interkalasi dalam larutan, dan metode proses pada fasa
leleh [Barleany, 2011].

A. Metode polimerisasi in-situ

Polimerisasi in-situ merupakan metoda yang pertama ditemukan untuk sintesa


nanokomposit polimer/clay menggunakan poliamid-6 oleh S. Fujiwara dan Sakamoto
[Barleany, 2011].Pada metoda ini organoclay dilarutkan terlebih dahulu dalam pelarut
monomer. Monomer kemudian berpindah ke silikat, sehingga polimerisasi dapat terjadi di
antara lapisan silikat. Reaksi polimerisasi ini dapat terjadi dengan proses pemanasan, radiasi,
atau menggunakan inisiator.

B. Metode interkalasi dalam larutan

Pada prinsipnya metoda ini hampir sama dengan metode polimerisasi in-situ. Mula-
mula organoclaydilarutkan dengan pelarut seperti toluen atau n,n D03-3 dimetil formamid.
Polimer yang telah dilarutkan kemudian ditambahkan ke dalam larutan organoclay sehingga
polimer dapat terinterkelasi di antara lapisan silikat. Tahap terakhir adalah menghilangkan
pelarut dengan evaporasi, biasanya dalam kondisi vakum. Keuntungan proses ini adalah
interkelasi nanokomposit dapat dilakukan pada polimer nonpolar atau yang mempunyai
polaritas rendah. Kekurangan dari metoda ini adalah penggunaan pelarut yang sukar
diaplikasikan di dunia industri karena pelarut yang dibutuhkan jumlahnya cukup besar dan
membutuhkan biaya tinggi.

C. Metode proses pada fasa leleh (melt processing)

Pada metoda ini, pencampuran organoclay dilakukan secara langsung ke dalam


polimer pada kondisi leleh dan diharapkan terjadi interkalasi yang maksimum antara polimer
dan organoclay. Sejak ditemukannya metoda ini oleh Giannelis, hal ini merupakan penemuan
yang penting untuk dunia industri dimana memungkinkan terjadinya pencampuran antara
polimer dan organoclay tanpa menggunakan pelarut[Barleany, 2011].

314
23.3.2 Nanokomposit polimer/clay
Nanokomposit polimer/clayadalah kelas barukompositdenganmatriks
polimerdimanafaseterdispersiadalahsilikatyang dibentuk olehpartikelyang
-9
memilikidimensidalamsatuannanometer(10 m) [Anadão, 2012].
Bentonit atau clay adalah istilah yang digunakan untuk sejenis lempung yang
mengandung mineral montmorillonite. Struktur montmorillonite adalah Mx(Al4-
xMgx)Si8O20(OH)4. Montmorillonite terdiri dari tiga unit lapisan, yaitu dua unit lapisan
tetrahedral (mengandung ion silika) mengapit satu lapisan oktahedral (mengandung ion besi
dan magnesium). Struktur utama montmorillonite selalu bermuatan negatif walaupun pada
lapisan oktahedral ada kelebihan muatan positif yang akan dikompensasi oleh kekurangan
muatan positif pada lapisan tetrahedral [Duncan, T. V., 2011]. Struktur kristal
montmorillonite ditunjukkan pada Gambar 23.9.

Gambar 23.9. Struktur kristal montmorillonite [Duncan, T. V., 2011].

Ketebalan setiap lapisan montmorillonite sekitar 0,96 nm, tiap dimensi permukaan
pada umumnya 300-600 nm, sedangkan d-spacing 1,2 – 1,5 nm [Barleany, 2011]. Polimer –
clay biasanya merupakan bahan penggabungan antara polimer dan bahan komposit sebagai
penguat (reinforcement), seperti silika, zeolit, dan lain-lain. Reinforcement yang digunakan

315
biasanya juga sebagai pengisi (filler) pada matriks polimer. Antara polimer dan
montmorillonite mempunyai sifat yang berbeda. Untuk mempersatukan kedua bahan
dibutuhkan zat pemersatu yang biasa disebut compatibilizer.
Compatibilizer yang biasa digunakan adalah zat yang identik dengan matriks polimer
serta dapat mengikat filler itu sendiri. Bahan compatibilizer yang sering digunakan dalam
pembuatan nanokomposit polimer adalah PP-g-MA. Compatibilizer memegang peranan
penting dalam proses compounding. Pada sistem konvensional, sebagai penguat polimer
digunakan filler dengan ukuran mikron. Biasanya filler dalam ukuran mikro tidak dapat
menghasilkan produk yang baik, karena pendispersiannya yang tidak merata di dalam matriks
polimer. Polimer nanokomposit merupakan alternatif yang lebih menjanjikan dibandingkan
sistem konvensional. Pola pendispersian filler di dalam matriks polimer terdiri dari tiga tipe,
ditunjukkan pada Gambar 23.10.

Gambar 23.10. Perbedaan morfologi pendispersian filler pada matriks polimer, (a)
mikrokomposit (b) dan (c) nanokomposit [Duncan, T. V., 2011]

Jika polimer tidak dapat memenuhi ruang (interkalasi) di antara lapisan silikat, maka
komposit yang dihasilkan adalah (a) mikrokomposit. Mikrokomposit ini memiliki sifat yang
sama dengan komposit konvensional. Dua tipe komposit yang lain (b,c) adalah
nanokomposit. Jika salah satu atau beberapa rantai polimer masuk (menyisip) diantara lapisan
silikat maka terbentuk struktur interkalasi. Nanokomposit yang dihasilkan mempunyai
struktur multi layer, yaitu alternasi polimer dan lapisan silika. Struktur eksfoliasi atau
delaminasi terbentuk jika lapisan silikat seluruhnya terdispersi di dalam matriks polimer.
Konfigurasi dimana nanokomposit tersebar di dalam matriks polimer menghasilkan
perubahan yang signifikan dalam sifat gas barrier, heat deflection temperature, dimensi, dan
ketahanan api karena terjadi interaksi yang maksimum antara polimer dan clay (Barleany,
dkk, 2011).

23.4 Plastik Biodegradable


Plastikbiodegradableadalah plastikyang dapatdiuraikan olehmikroorganisme(bakteri
atau jamur) ke dalamairdioksida, karbon(CO 2 ) dan beberapabahanbio dalam waktu yang

316
lebih pendek dibandingkan dengan plastik konvensional. Pada dasarnya plastik
biodegradable dapat dibuat dari bioplastik, yang komponennyaberasal
daribahanbakuterbarukan atau dari plastik konvensional berbasis minyak bumiyang
mengandungaditifbiodegradableyang memungkinkanmereka untukmeningkatkansifat
biodegradasinya.

23.4.1 Jenis plastik biodegradable


Komposit nanopartikel poliester alifatik memainkan peranan penting dalam
pengembangan material biodegradable. Oleh karena itu pengembangan nanokompositnya
dapat digunakan untuk aplikasi plastik biodegradable. Salah satu contohnya adalah PLA
(Polylactic Acid).

A. PLA (Polylacticacid)
Diantarapoliesteralifatik, PLAdianggapsebagai materialbiodegradableyang
palingmenjanjikan, bukan hanyakarena memilikisifat biodegradasi yangbaik,
kekuatanmekanik yang tinggi, tetapi jugakarena dapat diperolehdari sumber daya alam yang
terbarukan. Jikamenyisipkannanopartikel yang berbedake dalam matriksPLA
makasifatbahanini akan meningkat secara signifikan, sehingga dapat digunakan
dalampenerapanlebih lanjut, salah satunya sebagai bahan dasar pembuatan plastik
biodegradable.
Dengan demikian, mudah untukmemahami mengapabegitu banyak penelitiantelah
difokuskan padamaterial ini. Dalam beberapa tahun terakhir ini, grup peneliti Ray [Yang, Ke-
Ke, et. al., 2007]menyiapkanserangkaiannanokomposit PLA/layered silicatemenggunakan
teknikmelt extrusion, mereka memodifikasimentmorillnite, mika, dantitanat. Selain itu,
merekamenyelidikistrukturdan sifatdarinanokomposit secara sistematik, termasukmorfologi,
perilakukristalisasi, sifat mekanik, suhu panasdistorsi, sifatgaspenghalang, perilakurheologi,
dan sifat biodegradasi. Mereka menemukanbahwa sebagian besarsifatmengalami peningkatan
yang berarti.
MMT(Modified Montmorillonite) adalahclayyang paling
umumdigunakandalamsistemPLA. Peningkatansifat mekaniknyaluar biasa, dan
terdapathubungan yangbesar antaraisiMMTdengan sifatakhir darikomposit. PLACNnadalah
singkatannanokomposit PLA/claydimana nmenunjukkanpersentaseclay.
Jenislayered silicateyang digunakan merupakan faktoryang mempengaruhisifat-
sifatmaterial. Terdapat beberapa jenislayered silicateyang bekerja di dalam nanokomposit
PLA, seperti Montmorillonite [Na1/3(Al5/3Mg1/3)Si4O10(OH)2] dan Synthetic Fluorine
Mica [NaMg2.5Si4O10F2]. Gambar 23.11menggambarkanmorfologidispersidari
nanopartikel. Terlihat dengan jelasbahwatingkatdispersimemberikanefek pada berbagai
layered silicate. Konsekuensinya, sifat-sifatbahan, sepertibiodegradabilitasdan
perilakukristalisasi, bervariasi padalayered silicateyang berbeda.

317
Gambar 23.11. Hasil TEM pada berbagai nanokomposit PLA/OMLS. Bagian gelap
mencirikan cross section dari lapisan OMLS dan bagian terang mencirikan matriks
[Yang, Ke-Ke, et. al., 2007]

Mengacu pada fenomena ini, Raymeneliti sifat biodegradasi


(biodegradabilitas)nanokomposit PLA yang berisi berbagai jenis layered silicate. Penulis
menemukan bahwa biodegradabilitas dari neat PLA meningkat secara signifikan setelah
penggabungan dengan claydan bergantung sepenuhnya padasifat murni layered silicate dan
surfaktan yang digunakan untuk modifikasi layered silicate, sehingga biodegradabilitas dari
polylactide bisa dikendalikan melalui pemilihanorganically modified layered silicate yang
sesuai. Gambar 23.12menunjukkan gambar sampel PLA dan berbagai nanokomposit
PLA/OMLS yang terdegradasi terhadap waktu.

Gambar 23.12. Proses biodegradasi neat PLA dan berbagai nanokomposit PLA/OMLS yang
terdekomposisi terhadap waktu. Ukuran awal sampel kristal adalah 3 x 10 x 0.1 cm3
[Yang, Ke-Ke, et. al., 2007]

Penulis menyimpulkan terdapat dua faktor yang mempengaruhi peningkatan yang


signifikan terhadap biodegradabilitas komposit PLA/SBE4 dan sistem nanokomposit lainnya.
Pertama adalah adanya gugus hidroksil terminal silikat. Dalam kasus nanokomposit
PLA/SBE4, intercelated layered silicatetersebar merata dalam matriks PLA dan kelompok-

318
kelompok hidroksil mulai mengalami hidrolisis heterogen setelah menyerap kelembaban dari
kompos. Faktor lain yang mengontrol biodegradabilitas dari nanokompositPLA adalah
keadaan dispersi intercalatedOMLSdalam matriks PLA. Ketika intercalatedOMLS
terdistribusi secara baik dalam matriks, maka kontak matriks dengan tepi dan permukaanclay
akan maksimum, hal ini akan meningkatkan laju degradasi, yang dapat diamati dalam kasus
sistem PLA/SBE4.
Perilaku kristalisasi nanokomposit PLA/clayjuga menunjukkan perbedaan yang jelas
bila dibandingkandenganneat PLA. Kelompok Raymenggambarkan perilaku
kristalisasidanmorfologi purePLAdan nanokomposit PLA/C18MMT secara rinci. Kedua
spherulitesdari neat PLA dan nanokomposit menunjukkan negatifbire-fringence, tetapi
keterarutan spherulites lebih tinggi dalamkasuspure PLA(Gambar 23.13). Keseluruhan
tingkat kristalisasi neatPLA meningkatsetelah nanokomposit dipreparasi dengan C18-MMT,
tetapi tidak berpengaruhpada laju pertumbuhan linearspherulitespurePLA.Perilaku ini
menunjukkan bahwa partikel dispersi MMT bertindak sebagai agen nukleasi untuk
kristalisasi PLAdi dalam nanokomposit.

Gambar 23.13. Optical micrograph dari neat PLA (a-c) dan PLACN4 (a-c) pada temperatur
kristalisasi (Tc) dari (a,a’) 120oC, (b,b’) 130oC, dan (c,c’) 140oC [Yang, Ke-Ke, et. al., 2007]

B. PHB (Poli hidroksi butirat)


PHB adalah poliester yang diproduksi sebagai cadangan makanan oleh
mikroorganisme seperti Alcaligenes (Ralstonia) eutrophus, Bacillus megaterium dan lain-
lain. PHB memiliki titik leleh yang tinggi yaitu sekitar 180oC, tetapi karena kristalinitas yang

319
tinggi menyebabkan sifat mekanik dari PHB kurang baik. Biaya produksi PHB masih mahal
jika dibandingkan dengan plastik konvensional karena membutuhkan energi produksi yang
besar.

C. PCL (Poli e-kaprolakton)


PCL adalah polimer hasil sintesis kimia menggunakan bahan baku minyak bumi. PCL
mempunyai sifat biodegrabilitas yang tinggi karena dapat dihidrolisis oleh enzin lipase dan
esterase yang tersebar luas pada tanaman, hewan, dan mikroorganisme. PCL memiliki titik
leleh yang rendah yaitu sekitar 60oC.

D. PBS (Poli butilen suksinat)


PBS memiliki sifat ketahanan hidrolisa kimiawi yang rendah, sehingga tidak dapat
diaplikasikan untuk bidang aplikasi lingkungan lembab. Kopolimerisasi PBS dengan poli
karbonat menghasilkan produk poliester karbonat yang memiliki sifat biodegrabilitas,
ketahanan hidrolisa kimiawi dan titik leleh yang tinggi. Kemampuan enzim lipase dalam
menghidrolisa PBS relatif rendah dibandingkan dengan kemampuannya menghidrolisa PCL.
PBS memiliki titik leleh setara dengan plastik konvensional polietilen, yaitu sekitar 113oC.

23.4.2 Karakterisasi Plastik Biodegradable


A. Sifat mekanis

Sifat mekanis merupakan sifat terpenting darisemua jenis material plastik karena
semua kondisipemakaian serta penggunaan dari plastik melibatkanbeban mekanis.

a. Kekuatan tarik (Tensile strength)


Uji tarik banyak dilakukan untuk melengkapiinformasi rancangan dasar kekuatan
suatu bahan dansebagai data pendukung bagi spesifikasi bahan. Padauji tarik, benda uji diberi
beban gaya tarik sesumbuyang bertambah besar secara kontinyu. Bersamaandengan itu
dilakukan pengamatan mengenaiperpanjangan yang dialami benda uji. Tegangandiperoleh
dengan cara membagi beban dengan luaspenampang lintang benda uji.
P
σ= (5)
AO
Regangan linier rata-rata diperoleh dengan caramembagi perpanjangan panjang ukur
(gage length)benda uji dengan panjang awal.
∆L L − Lo
e= = (6)
L Lo

b. Kekerasan (Hardness)
Uji pengukuran kekerasan terdiri dari tiga jenis yang tergantung dari cara melakukan
pengujian. Ketiga jenis tersebut adalah (1) kekerasan goresan (scratch hardness), (2)
kekerasan lekukan (indentation hardness), dan (3) kekerasan pantulan (rebound) atau
kekerasan dinamik (dynamichardness). Kekerasan Rockwell (HR) dipakai untuk menentukan
kekerasan polimer adalah sebagai dengan menggunakan bola sebagai penekan, beban mula-

320
mula Po diberikan untuk mendapat kedalaman mula, selanjutnya beban P untuk waktu
tertentu, dan setelah dikembalikan ke beban mula diukur kedalaman deformasi plastisnya (h)
yang disubstitusikan dalam persamaan berikut.
HR = 130 − 500h (7)

Dalam ASTM kekerasan α-Rockwell ditetapkan dengan beban dimana deformasi


elastik diperhitungkan, seperti pada persamaan berikut.

α − HR = 150 − 500h (8)

c. Ketahanan Kejut (Impact Charpy)


Sifat impak dari material dihubungkan langsung dengan ketangguhan dari material.
Ketangguhan (toughness) didefinisikan sebagai kemampuan dari polimer menyerap energi
yang diberikan. Semakin tinggi energi impak dari material maka ketangguhan juga semakin
tinggi. Ketahanan impak adalah kemampuan dari material untuk menahan kerusakan pada
beban kejut atau kemampuan untuk menahan perpatahan pada tegangan yang diberikan pada
kecapatan tinggi.

B. Sifat Biodegradabilitas
Pengujian sifat biodegradabilitas bahan plastik dapat dilakukan menggunakan enzim,
mikroorganisme dan uji penguburan. Lembaga standarisasi internasional (ISO) telah
mengeluarkan metode standar pengujian sifat biodegradabilitas bahan plastik sebagai berikut.
ISO 14851 : penentuan biodegradabilitas aerobik final dari bahan plastik dalam media cair -
metode pengukuran kebutuhan oksigen dalam respirometer tertutup.
ISO 14852 : penentuan biodegradabilitas aerobik final dari bahan plastik dalam media cair -
metode analisa karbondioksisa yang dihasilkan.
ISO 14855 : penentuan biodegradabilitas aerobik final dan disintegrasi dari bahan plastik
dalam kondisi komposting terkendali – metode analisa karbondioksida yang dihasilkan.

23.4.3 Keunggulan Plastik Biodegradable


Bahan biodegradablemulaidapatditerimadi banyak negara. Bahanini diharapkan dapat
membantupelestarian lingkungandalam mengurangimasalahlimbah. Seperti
plastikkonvensional, plastikbiodegradable punharus memilikistrukturdan kualitas
fungsionalyang sama.Gambar 23.14 menunjukkan contoh plastik biodegradable untuk
kemasan.

321
Gambar 23.14.Contoh plastik biodegradableuntuk kemasan.

Keunggulan yang dimiliki oleh plastik biodegradable, diantaranya ialah sebagai berikut.
a. Berbahan baku bahan-bahan yang dapat diperbaharui (renewable)
Plastik biodegradable merupakan plastik yang berbahan baku bahan-bahan yang
dapat diperbaharui (renewable), yaitu dari senyawa-senyawa yang terdapat dalam
tanaman misalnya selulosa, kolagen, kasein, protein atau lipid yang terdapat dalam
hewan. Hal ini menjadi sebuah keunggulan bagiplastik biodegradable karena tidak akan
pernah kekurangan bahan baku selama masih terdapat sinar matahari, air, dan tanah.
Sifat bahan baku plastik biodegradable tersebut dapat menjadi langkah untuk
mengurangi ketergantungan terhadap plastik konvensional yang berbahan dasar
petroleum, gas alam, atau batu bara. Siklus plastik biodegradableyang menunjukkan
bahwa plastik biodegradable bersifat dapat diperbaharui ditunjukkan oleh Gambar 23.15.

Gambar 23.15. Siklus plastik biodegradable[IBAW publication, 2005].

b. Ramah lingkungan
Makna biodegradable adalah mampu terurai menjadi komponen-komponen yang
tidak menimbulkan polusi terhadap lingkungan. Berdasarkan definisi tersebut dapat
dikatakan bahwa plastik biodegradable mempunyai sifat ramah lingkungan. Proses
penguraian plastik biodegradable dilakukan oleh aktivitas enzim yang dihasilkan oleh

322
mikroorganisme. Hal tersebut menjadi sebuah keunggulan dari pemanfaatan plastik
biodegradable jika dibandingkan dengan pemanfaatan plastik konvensional yang dapat
merusak lingkungan.

c. Waktu degradasi pendek


Plastik biodegradable dapat terurai di alam dalam jangka waktu yang jauh lebih
cepat dibandingkan plastik konvensional. Jika plastik konvensional membutuhkan waktu
sampai ribuan tahun untuk terurai, plastik biodegradable bisa terurai dalam jangka waktu
7 minggu sampai 2 tahun bergantung pada material yang digunakan.

Penggunaan plastik biodegradable diharapkan dapat membantu menyelamatkan bumi


dari bahaya sampah plastik serta dapat mengurangi penggunaan minyak bumi sebagai bahan
baku yang persediaannya semakin lama semakin berkurang.

323
DAFTAR PUSTAKA
Anadão, P., Polymer/Clay Nanocomposites: Concepts, Researches, Applications and Trends
for The Future,http://dx.doi.org/10.57772/50407, diakses pada tanggal 22 November
2012

A., Richard, et. al., Biodegradable Polymers for the Environment,Science297, 803-807 (2002)

Barleany, D. R., Hartono, R., dan Santoso, Pengaruh Komposisi Montmorillonite pada
Pembuatan Polipropilen-Nanokomposit terhadap Kekuatan Tarik dan
Kekerasannya,Prosiding Seminar Nasional Teknik Kimia Kejuangan ISSN 1693-4393
(2011)

Berkesch, S., Biodegradable Polymers: A Rebirth of plastic. Michigan State University


(2005)

Cowie and Valeria, Polymers: Chemistry and Physics of Modern Materials, Third Edition.
USA: CRC Press (2008)

Duncan, T. V., Application of Nanotechnology in Food Packaging and Food Safety : Barrier
Materials, Antimicrobials, and Sensors,Journal of Colloid and Interface Science (2011)

Farrin, J.,Biodegradable Plastics from Natural Resources, Rochester Institute of Technology.

Fitrilawati, F., Polimer,Diktat Kuliah Polimer,Universitas Padjadjaran Bandung (2007)

Highlights in Bioplastics, IBAW (International Biodegradable Polymers Association &


Working Groups) Publication,Berlin (2005)

Hourston, D. J., Degradation of Plastics and Polymers, Department of Materials,


Loughborough University, UK (2010)

Hussain, F., et. al., Review article: Polymer-matrix Nanocomposites, Processing,


Manufacturing, and Application: An Overview,Journal of Composite Materials40,1511-
1575(2006)

Rahman, dkk.,Inovasi Pengembangan Hidrolisat Pati Bonggol Pisang sebagai Sumber


Utama Pembuatan Plastik Biodegradable Poly-β-Hidroksialkanoat,Institut Pertanian
Bogor (2010)

Subiyanto, B., Suryanegara, L., Yano, H.,Peranan Bio-nano Komposit dalam Industri di
Masa Depan, LIPI Cibinong.

Yang, Ke-Ke, et. al., Progress in Nanocomposites of Biodegradable Polymer,J. Ind. Eng.
Chem. 13, 485-500 (2007)

324
Bab 24
Karakterisasi Nanomaterial
Menggunakan SEM, TEM dan AFM
Oleh: Abdul Muid

24.1 Pendahuluan
Mata manusia dapat melihat dengan baik benda berukuran 0,1 mm pada jarak 25 cm misalnya,
serbuk besi. Untuk melihat benda yang lebih kecil seperti bakteri, dibutuhkan alat yang disebut dengan
mikroskop. Mikroskop optik memiliki perbesaran sampai 2000 kali dan mampu melihat benda
berukuran mikrometer. Dalam bidang tertentu seperti fisika material, kimia, geologi dan biologi,
pengetahuan secara rinci tentang sifat-sifat fisika, komposisi kimia dan struktur material pada skala
nano menjadi penting. Untuk itu dibutuhkan alat yang dapat digunakan untuk melihat benda yang
berdimensi nanometer.

Mikroskop Mikroskop
optik elektron
Pembawa informasi Sinar cahaya elektron
400 -800 nm 0,0037 nm
Panjang gelombang
(cahaya tampak) (100kV)
Medium udara vakum
Lensa kaca listrikmagnet
Sudut apertur < 60 derajat < 1 derajat
Melihat gambar langsung monitor
Resolusi 200 nm < 1 nm
Perbesaran 5 – 2.000 x 35 – 1.000.000 x
Pengaturan fokus mekanik elektrik

Tabel 24.1 Perbedaan mikroskop optik dengan


mikroskop elektron

Ketika ditemukan fenomena menarik tentang elektron dan medan listrikmagnet maka ilmuwan
membuat mikroskop elektron. Elektron dapat memiliki karakteristik baik sebagai partikel maupun

325
gelombang. Sama seperti cahaya tampak yang dapat diperlakukan sebagai sebuah berkas foton atau
gelombang elektromagnetik.

Muatan negatif dari elektron memungkinkan elektron untuk :

1. Dibelokkan oleh medan magnet atau medan elektrostatik. Ini adalah dasar bagaimana lensa dan
kumparan dalam mikroskop elektron bekerja.
2. Dipercepat di bawah kolom dengan beda potensial tinggi. Massa yang kecil dari elektron
memerlukan:
a. Kondisi vakum tinggi untuk meniadakan defleksi elektron dengan partikel-partikel udara.
b. Sampel sangat tipis (<100 nm) untuk memastikan transmisi berkas elektron.

Semakin kecil panjang gelombang yang digunakan maka semakin tinggi resolusi mikroskop.
Panjang gelombang De Broglie elektron adalah λ = h / p dimana h adalah konstanta Planck dan p
adalah momentum, dimana p = m.v dengan m adalah massa elektron dan v kecepatannya. Jika elektron
dipercepat dengan potensial V maka akan memiliki energi kinetik sebesar ½ m v2 = eV. Maka
momentum elektron dapat ditulis sebagai p = . Dengan demikian panjang gelombang de
Broglie elektron adalah dengan eV tegangan percepatan. Sebagai illustrasi hubungan
antara energi kinetik dengan panjang gelombang digambarkan pada gambar 24.1. Sedangkan pada tabel
24.2 memuat daftar contoh penggunaan tegangan percepatan dan panjang gelombangyang dihasilkan.
λ (Angstrom)

Energi kinetik elektron (keV)

Gambar 24.1 Kurva hubungan antara energi kinetik


elektron dengan panjang gelombangnya.
(David Muller, 2008)

326
Tegangan
λ (A)
Percepatan
1V 12,264
100 V 1,2263
1 keV 0,38763
10 keV 0,12204
100 keV 0,037013
200 keV 0,025078
300 keV 0,019687
1 MeV 0.0087189

Tabel 24.2 Contoh tegangan yang digunakan dan


panjang gelombang yang dihasilkan.

Setelah kita melakukan sintesis nanomaterial, pada umumnya dilanjutkan dengan karakterisasi
untuk memastikan apakah ukuran material sudah dalam orde nanometer atau belum. Ada banyak
metode dan alat yang digunakan untuk karakterisasi nanomaterial, bergantung pada informasi apa yang
dibutuhkkan. Beberapa jenis mikroskop elektron seperti Scanning Electron Microscope (SEM) dan
Tranmission Electron Microscope (TEM) sering digunakan untuk karakterisasi fisik. Dari SEM dan
TEM dapat diperoleh informasi tentang ukuran, bentuk, tekstur dan struktur dari sampel. Terdapat
beberapa jenis mikroskop elektron dengan cara kerja yang berbeda pula.

24.2 Scanning Electron Microscopy (SEM)


Pada tahun 1942 tiga orang ilmuwan Amerika yaitu Dr. Vladimir Kosma Zworykin, Dr. James
Hillier, dan Dr. Snijder, membangun sebuah mikroskop elektron metode pemindaian (scanning) yang
dikenal dengan SEM dengan resolusi hingga 50 nm atau perbesaran 8.000 kali. SEM modern sekarang
ini mempunyai resolusi hingga 1 nm atau pembesaran 400.000 kali.

Gambar 24.2 Salah Satu Contoh Peralatan SEM


(Bob Hafner, 2007)

327
24.2.1 Komponen SEM
Komponen SEM terdiri dari kolom mikroskop, ruang sampel, sistem vakum, instrumen
pengontrol, komputer dan monitor seperti pada gambar 24.2. Skema SEM pada gambar 24.3 terlihat
komplek namun dapat dijelaskan dengan lebih sederhana terdiri dari:
1. Sumber berkas elektron (senapan elektron) yang dipercepat kebawah kolom.
2. Lensa kondenser dan objektif yang berfungsi untuk mengontrol diameter berkas elektron sehingga
terfokus pada sampel.
3. Celah sempit, yaitu lubang berukuran mikro dimana berkas elektron melewatinya. Lubang ini
mempengaruhi sifat berkas elektron yang lewat.
4. Pengontrol posisi sampel pada sumbu x,y,dan z serta posisi rotasi dan kemiringan.
5. Interaksi sampel yang menghasilkan beberapa jenis sinyal yang dapat di deteksi dan di proses
menjadi gambar.
6. Kolom vakum tingkat tinggi untuk menjaga sampel agar tidak terkontaminasi dengan partikel udara.

Gambar 24.3 Skema komponen SEM


(David Muller, 2008)

24.2.1.1 Senapan Elektron


Senapan elektron terdiri dari filamen, sumber tegangan tinggi, pemanas filamen (power supply),
elektroda (anoda) dan silindr seperti pada gambar 24.3. Fungsi dari senapan elektron adalah
menghasilkan berkas elektron yang stabil. Bahan filamen yang biasa digunakan sebagai senapan
elektron adalah Tungsten dan Lanthanumhexaboride (LaB6). Filamen pada senapan elektron terbuat
dari logam yang ujungnya dibuat runcing memiliki jari-jari kurang dari 100 nm. Power supply
digunakan untuk memanaskan filamen sehingga elentron dari bahan elemen keluar. Ketika ujung-ujung
filamen diberi beda tegangan hasilnya adalah medan listrik yang terkonsentrasi di ujung filamen, yang

328
memfasilitasi emisi elektron. Perbedaan potensial antara ujung filamen dan anoda disebut tegangan
percepatan (kV). Tegangan percepatan ini menyebabkan elektron tertarik ke arah anoda. Semakin
tinggi tegangan percepatan, elektron berjalan semakin cepat menuruni kolom vakum dan memiliki
daya penetrasi yang lebih besar.

Power supply

Resistor
Filamen bias

Silinder
Sumber
tegangan
Berkas tinggi
elektron

Anoda
Anoda

Gambar 24.4 Illustrasi proses produksi dan percepatan


berkas elektron.

24.2.1.2 Lensa Elektromagnetik


Sebuah lensa elektromagnetik terdiri dari koil tembaga dililit pada batang besi. Arus melalui
kumparan menciptakan medan magnet dalam lubang yang digunakan untuk memfokuskan berkas
elektron. Ketika elektron melewati lensa elektromagnetik, elektron tersebut mendapat dua vektor gaya
pada suatu momentum tertentu: gaya (Hz) sejajar dengan inti (sumbu Z) dari lensa, dan gaya (HR)
sejajar dengan jari-jari lensa. Kedua gaya ini memberikan dua perlakuan yang berbeda pada elektron
yaitu memelintir berkas sehingga menjadi spiral dan memfokuskan berkas elektron ketika elektron
melalui lensa. Sebuah elektron melalui lensa sejajar dengan sumbu Z akan mendapat gaya (Hz)
menyebabkan ia spiral melalui lensa. Ini menyebabkan elektron mendapat gaya (HR) yang
menyebabkan berkas elektron akan dikompresi ke arah sumbu Z. Medan magnet homogen sedemikian
rupa sehingga lemah di tengah dan menjadi kuat di dekat lubang. Elektron yang melewati lensa dekat
dengan pusat kurang kuat dibelokkan daripada yang jauh dari sumbu lensa.Lensa elektromagnetik
digunakan untuk mengatur berkas elektron yang keluar dari senapan dan untuk memfokuskan berkas
elektron. Lensa kondensor berfungsi sebagai perbesaran sedangkan lensa objektif untuk memfokuskan
berkas elektron pada sampel. Ukuran sumber yang relatif kecil maka diperlukan perbesaran untuk
menghasilkan ukuran probe lebih kecil dibandingkan dengan sumber elektron lainnya. Untuk

329
memudahkan pemahaman mekanisme lensa elektromagnetik dalam memfokuskan cahaya, dapat
dianalogikan dengan lensa optik seperti pada gambar 24.5.
Pada gambar A, sinar yang berasal dari suatu titik datang pada objek ke satu bidang menjadi
bidang gambar. Lensa optik memiliki titik fokus tetap dan objek berada dalam fokus pada bidang
gambar. Pada gambar B, lensa dengan kekuatan dan fokus berbeda (direpresentasikan sebagai
ketebalan lensa). Dengan mengatur fokus (mengubah ketinggian sepanjang sumbu optik) menghasilkan
gambar yang berbeda pada bidang gambar dengan perubahan perbesaran. Pada gambar C, lensa
elektromagnetik. Dengan mengubah kekuatan (mengubah arus) diperoleh perubahan perbesaran seperti
lensa B.

Benda

Lensa

Gambar

A B C

Gambar 24.5 Illustrasi analogi lensa elektromagnetik


memfokuskan berkas elektron.

Beberapa hal yang perlu diperhatikan tentang SEM:


1. Diameter sumber dari berkas elektron yang keluar dari senapan.
2. Besarnya perbesaran adalah p / q (lihat gambar 24.5)
3. SEM mempunyai lensa elektromagnetik yang dapat kita variasi kekuatannya dengan mengubah
arus yang melaluinya.
4. SEM memiliki lebih dari satu lensa elektromagnetik. Dalam situasi ini bidang gambar lensa
pertama menjadi obyek bagi bidang kedua. Total perbesaran adalah perkalian dari perbesaran lensa
satu dengan lensa dua.

24.2.2.3 Kolom Vakum


Sistem vakum yang bagus harus diterapkan pada mikroskop untuk mencapai tingkat vakum yang
dibutuhkan. Vakum di senapan pada kolom dijaga pada tekanan 10-10 sampai 10-11 Torr, vakum
dalam ruang sampel dalam kisaran 10-5 sampai 10-6 Torr (1 Torr = 133 Pa = 1,33 mbar). Tabel di
bawah ini memberikan gambaran tingkatan vakum dalam mikroskop elektron.

330
Jarak antar Jalan bebas Waktu ke
Vakum Atom/cm3
atom rata-rata monolayer
1 Atm (760 Torr) 1019 5x10-9 meter 10-7 meter 1-9 detik
10-2 Torr 1014 2x10-7 meter 10-2 meter 10-4 detik
10-7 Torr 109 1x10-5 meter 103 meter 10 detik
-10 0 -4 6
10 Torr 10 1x10 meter 10 meter 104 detik

Tabel 24.3 Tingkatan vakum dalam mikroskop elektron.

24.2.2 Prinsip Kerja SEM


Pada tahap awal, sampel yang akan dianalisa dengan SEM harus disiapkan dengan hati-hati dan
dijaga agar tidak menyusut atau berubah bentuk. Sampel biologi biasanya dikeringkan dan dilapisi
sehingga tidak layu atau mengerut. Karena SEM bekerja menangkap elektron maka sampel harus
bersifat pemantul elektron dan dapat menghasilkan elektron sekunder ketika ditembak berkas elektron.
Untuk sampel yang tidak konduktif (bukan logam) lebih dulu dilapisi logam tipis dengan teknik
evaporasi atau sputtering agar diperoleh gambar profil permukaan yang jelas.
Setelah udara dipompa keluar, chamber menjadi vakum, kemudian senapan elektron mengirim
berkas elektron berenergi tinggi. Berkas elektron turun melewati sederet lensa elektromagnetik yang
memfokuskan elektron menjadi titik terbaik. Ketika berkas elektron mengenai sampel, akibatnya
elektron dipantulkan kembali dan ada elektron keluar dari sampel (elektron sekunder) dan ditangkap
oleh detektor dan dikirim ke amplifier. Gambar pada monitor merupakan representasi dari elektron
yang terpancar dari sampel. Sampel ditembak pada tiap bagian, satu demi satu sampai semua bagian
telah terdeteksi. Terdapat seperangkat koil geser yang menggerakkan berkas elektron ke depan dan ke
belakang menyapu permukaan sampel. Area yang memantulkan banyak elektron akan terlihat putih
sedangkan yang tidak reflektif terlihat hitam. Selain itu juga dapat menentukan lokasi berkas elektron
yang berintensitas tertinggi. Dari pemindaian tersebut informasi tentang profil permukaan sampel
seperti seberapa landai dan kemana arah kemiringan diperoleh dan diolah menjadi gambar oleh
software pengolah gambar pada komputer.

pengaturan Scan
perbesaran generator

Amp monitor
detektor

Gambar 24.6 Skema prinsip kerja SEM

331
Terdapat hubungan antara pola pada sampel dan pola yang digunakan untuk menghasilkan
gambar di monitor. Resolusi yang kita kehendaki mempengaruhi jumlah pixel serta jumlah baris
daerah yang dipindai. Pengolahan membutuhkan intensitas sinyal yang datang dari sampel dan
mengubahnya ke nilai pixel grayscale yang sesuai dengan daerah yang terpindai. Gambar pada monitor
adalah pola dua dimensi grayscale.

Gambar 24.7 Contoh foto SEM dari sampel silica


(http://www.edax.com)

Dengan berkas terfokus pada permukaan sampel, yang kita perlukan untuk mengubah
perbesaran adalah dengan mengubah ukuran area terpindai pada sampel. Pembesaran akan meningkat
jika kita mengurangi ukuran area terpindai pada sampel.
Pengetahuan dasar bagi operator SEM adalah tentang:
1. Optik elektron.
2. Interaksi antar berkas elektron dengan sample.
3. Jenis-jenis sinyal dan karakter detektor.
4. Kualitas sinyal dan hubungannya dengan kemampuan dapat dilihat. Pemrosesan sinyal.

24.2.3 Kontrol Parameter


Informasi dasar tentang poin-poin di atas sangat berguna pada saat kita menentukan parameter
utama yang terkait dengan berkas elektron pada permukaan sampel. Parameter-parameter yang dapat
kita kontrol sebagai operator dan menentukan modus utama dari pencitraan dalam SEM adalah:
1. Tegangan percepatan berkas elektron (kV); tegangan dimana elektron dipercepat ke bawah dalam
kolom vakum.
2. Sudut konvergensi; sudut setengah bentuk corong/kerucut dari pengumpulan elektron pada sampel.
3. Arus probe; arus yang menimpa pada sampel dan menghasilkan berbagai macam sinyal.
4. Diameter probe atau ukuran titik; diameter akhir berkas elektron pada permukaan sampel.

24.2.3.1 Tegangan Percepatan (kV)

Tegangan percepatan dapat divariasikan oleh operator dari <1 kV sampai 30 kV. Meningkatkan
tegangan percepatan akan menyebabkan :

332
1. Penurunan penyimpangan lensa. Hasilnya adalah diameter probe lebih kecil dan resolusi akan lebih
baik.
2. Meningkatkan arus probe pada sampel. Sebuah arus probe minimal dibutuhkan untuk mendapatkan
gambar dengan kontras yang baik dan sinyal tinggi.
3. Meningkatkan potensi rusaknya sampel yang tidak konduktif dan sensitif pada berkas elektron.
4. Menaikkan berkas penetrasi ke dalamsampel dan kemudian mengaburkan permukaan. Gambar di
bawah: film karbon di atas grid tembaga. Kiri: 20 keV; Kanan: 2 keV. Film karbon hampir tak
terlihat di tegangan percepatan lebih tinggi.

9.2.3.2 Arus Emisi


Arus emisi dapat divariasi untuk sudut berbeda pada SEM. Meningkatkan arus emisi akan
menyebabkan:
1. Meningkatkan arus probe pada sampel.
2. Meningkatkan potensi rusaknya sampel yang tidak konduktif dan sensitive pada berkas elektron.

9.2.3.3 Diameter Probe


Diameter probe atau ukuran titik dapat divariasi dengan mengubah arus ke lensa kondensor.
Seperti terlihat pada diagram di atas berkas elektron digambar dengan warna hijau. Penurunan diameter
probe akan menyebabkan:
1. Memungkinkan mendapatkan resolusi yang lebih besar. Resolusi untuk sampel kecil memerlukan
diameter probe dengan dimensi yang sama.
2. Penurunan penyimpangan lensa karena berhubungan dengan pengaturan lensa.
3. Penurunan arus probe.

24.2.4 Interaksi Elektron dengan Sampel.


Berkas elektron dapat berinteraksi dengan muatan listrik dari inti atom sampel maupun
elektronnya. Interaksi ini menghasilkan banyak jenis sinyal yaitu; elektron backscattered, elektron
sekunder, sinar-X, elektron Auger dan cathadoluminescence.

Berkas elektron

Cathadoluminescence
Sinar-X
elektron
backscattered
Elektron Auger
Elektron sekunder

Sampel

Gambar 24.8 Illustrasi interaksi berkas elektron dengan sampel


menghasilkan beberapa jenis sinyal

333
9.2.4.1 Tumbukan tidak elastis
Terjadi ketika berkas elektron berinteraksi dengan medan listrik dari elektron atom sampel.
Hasilnya adalah transfer energi ke atom sampel dan pengusiran potensial dari sebuah elektron sebagai
elektron sekunder (SE). Elektron sekunder (SE) menurut definisi kurang dari 50 eV. Jika kekosongan
karena penciptaan sebuah elektron sekunder diisi dari tingkat orbital yang lebih tinggi, transisi energi
itu akan menghasilkan karakteristik sinar-X.

9.2.4.2 Tumbukan elastis


Terjadi jika berkas elektron berinteraksi dengan medan listrik dari inti atom sampel, ini akan
mengubah arah berkas elektron tanpa mengubah secara signifikan energi dari berkas elektron (<1eV).
Jika hamburan secara elastis berkas elektron didefleksikan kebelakang sampel, elektron disebut
backscattered elektron (BSE). BSE mempunyai jangkauan energi 50 eV sampai dekat energi
hamburan. Namun, sebagian besar elektron backscattered mempertahankan setidaknya 50% dari energi
hamburan.
Hilangnya energi berkas elektron di dalam sampel diwujudkan kebanyakan dalam bentuk
timbulnya panas pada titik teradiasi. Material polimer dan sampel biologi yang umumnya tidak tahan
panas akan lebih mudah rusak oleh berkas elektron karena material tersebut memiliki konduktifitas
panas yang rendah.
Berikut ini adalah strategi yang dapat digunakan untuk menghindari kerusakan.
1. Mengurangi intensitas berkas elektron.
2. Waktu penyinaran yang singkat, meskipun ini mengurangi kehalusan gambar.
3. Luas pemindaian gambar dengan perbesaran kecil.
4. Mengontrol tebal logam pelapis pada permukaan sampel karena akan mempengaruhi kecerahan
gambar.

24.2.5 Menyiapkan Sampel pada SEM


Agar diperoleh foto SEM yang baik, diperlukan persiapan pada sampel. Prinsip penyiapan
sampel untuk SEM adalah sebagai berikut :
1. Melakukan fiksasi: bertujuan untuk mematikan sel tanpa mengubah struktur sel yang akan diamati.
Fiksasi dapat dilakukan dengan menggunakan senyawa glutaraldehida atau osmium tetroksida.
2. Pelapisan/pewarnaan: bertujuan untuk memperbesar kontras antara preparat yang akan diamati
dengan lingkungan sekitarnya. Pelapisan/pewarnaan dapat menggunakan logam berat seperti
uranium dan timbal.
Secara ringkas hubungan antara komponen SEM dan parameter yang diinginkan diperlihatkan
pada tabel 24.4 di bawah.

334
Kekuatan Lensa Tegangan Ukuran aperture
Kondenser Jarak Kerja
Percepatan objektif
Semakin Semakin Semakin Semakin Semakin Semakin Semakin Semakin
kuat lemah tinggi rendah pendek panjang kecil besar
Semakin Semakin Semakin Semakin Semakin Semakin Semakin
Ukuran titik
kecil lebar kecil lebar kecil lebar kecil
Ketajaman lebih kurang lebih kurang lebih kurang lebih kurang
Resolusi lebih kurang lebih kurang lebih kurang lebih kurang
Arus probe kurang lebih Pengaruhnya kecil Pengaruhnya kecil Kurang lebih
Sinyal elektron
kurang lebih Pengaruhnya kecil Pengaruhnya kecil kurang lebih
sekunder
Sinyal sinar-X kurang lebih lebih kurang lebih kurang kurang lebih
Merusak kurang lebih lebih kurang Pengaruhnya kecil Kurang lebih

Tabel 24.4 Hubungan antara komponen SEM dengan parameter


yang akan dihasilkan SEM.

24.3 Tranmission Electron Microscopy (TEM)


TEM adalah mikroskop elektron yang bekerja dengan cara mendeteksi berkas elektron yang
menembus sampel dan menggambarkan ke layar. Berbeda dengan SEM yang hanya memindai
permukaan sampel, TEM mampu menganalisa semua bagian sampel dan merekam pola difraksi struktur
sampel. Pola difraksi berisi informasi tentang susunan atom kristal. TEM memiliki resolusi yang sangat
tinggi sampai 0,1 nm. Salah satu contoh peralatan TEM diperlihatkan pada gambar 24.11 di bawah ini.

Gambar 24.11 Contoh peralatan TEM


(http://tranmissionelectronmicroscope.org)

335
TEM ditemukan oleh Max Knoll, Ernst Ruska pada tahun 1931. TEM dapat memperbesar
sampel hingga 1.000 kali dan TEM modern saat ini memiliki kemampuan untuk memperbesar yang
lebih dari itu. Hal Ini memungkinkan manusia untuk melihat partikel berukuran nanometer dan
karenanya dapat merumuskan hipotesis lebih akurat. TEM menggunakan elektron energi tinggi yang
melewati sampel dan membentuk gambar pada layar sehingga dapat dianalisa mikrostruktur dari
material dengan skala atom. Karena panjang gelombang elektron kecil, mikroskop ini memiliki resolusi
lebih tinggi.
Penemuan TEM merevolusi studi berbagai bidang ilmu termasuk kimia dan biologi. Dengan
mikroskop ini memungkinkan para ilmuwan untuk mempelajari struktur atom, yang memungkinkan
mereka untuk mendapatkan ukuran, bentuk dan reaktivitas dari atom yang sangat akurat. Sesuatu yang
mereka hanya menduga-duga sebelumnya. Dalam biologi, mikroskop ini telah membantu para ilmuwan
melihat lebih dekat pada sampel yang diambil dari pasien seperti darah, urin, untuk memberikan
diagnosis yang sangat akurat. Dalam penelitian kanker, TEM telah memainkan peran yang sangat
penting, memungkinkan para dokter untuk memahami penyakit secara detail. TEM juga digunakan
untuk menemukan mikroorganisme lain untuk membuat vaksinasi yang berbeda untuk manusia dan
hewan.
Resolusi yang sangat tinggi dari TEM mampu menggambarkan kisi kristal dari material sebagai
pola interferensi antara berkas elektron yang ditransmisikan dan didifraksikan. Hal ini memungkinkan
kita untuk mengamati garis planar cacat kisi, ikatan atom, antarmuka atom, dan lain-lain dengan
resolusi skala atom. Daerah gelap-terang pada gambar dikombinasikan dengan difraksi elektron akan
dapat memberikan informasi tentang morfologi, fase kristal dan cacat pada material. TEM modern
dilengkapi dengan lensa pencitraan khusus yang memungkinkan untuk struktur nanomaterial. TEM
juga mampu membentuk probe elektron terfokus, sekecil 20 Å, yang dapat memberikan informasi
komposisi dari sampel sama seperti analisis menggunakan difraksi sinar-X. di mana untuk analisis
komposisi ini TEM memiliki resolusi jauh lebih tinggi, dalam orde nanometer dan sampel sangat tipis.

24.3.1 Komponen TEM

Komponen utama yang dimiliki oleh TEM adalah :


1. Filamen (elektron gun), berfungsi untuk menghasilkan berkas elektron yang dipercepat ke kolom.
2. Serangkaian kumparan elektromagnetik yang memastikan bahwa sinar elektron simetris dan
terfokus saat melewati bawah kolom.
3. Serangkaian lensa elektromagnetik yang bertindak untuk menerangi sampel dan memperbesar
sampel pada layar fluorescent / kamera.
4. Serangkaian lubang/aperture (skala mikron lubang di film logam) yang dilewati berkas dan yang
memberi efek pada sifat berkas elektron.
5. Pemegang sampel yang memastikan posisi sampel berada dalam jalur sinar elektron. Pemegang
sampel ini dapat dikontrol untuk posisi sampel dan orientasi (x, y, z atau ketinggian, kemiringan dan
rotasi).
6. Layar atau monitor yang mengubah sinyal elektron ke bentuk yang dapat dilihat manusia.
7. Sistem pada tingkat vakum yang tinggi untuk menjaga sampel dari kontaminasi partikel udara.
Gambar 24.12 memperlihatkan bagian dalam contoh sebuah TEM. Komponen TEM sepertinya
rumit tetapi memiliki komponen utama seperti pada gambar.

336
Kabel tegngan tinggi
(100-200kV)
Filamen

Elektroda percepatan

Kumparan /lensa
elektromagnetik

Dudukan sampel
Aperture objektif

Gambar 24.12 Komponen utama TEM


(David Muller, 2008)

24.3.2 Prinsip Kerja TEM


Pada dasarnya seperti namanya, mikroskop elektron tranmisi atau TEM menggunakan berkas
elektron energi tinggi yang melewati spesimen dan membentuk gambar pada layar. Elektron
difokuskan dengan lensa elektromagnetik dan gambar diamati pada layar fluorescent atau di layar
monitor. Elektron yang dipercepat dengan potensial tinggi (beberapa ratus kV) akan memberikan
panjang gelombang yang jauh lebih kecil daripada cahaya. Sebagai contoh jika tegangan percepatan
200kV, elektron memiliki panjang gelombang 0.025Å.
Pada TEM ini, karena energi kinetik elektron sangat tinggi sehingga panjang gelombangnya
pendek maka sebagian elektron mampu menembus sampel. Prinsip kerja ini mirip seperti alat rontgen
yang mampu menembus daging manusia sedangkan bagian tulang memantulkan kembali sinar-X.
TEM memindai obyek menggunakan pola pemindaian dimana obyek tersebut dipindai dari satu sisi ke
sisi lainnya (raster) yang menghasilkan lajur-lajur titik (dots) yang membentuk gambar seperti yang
dihasilkan oleh CRT pada televisi / monitor. Selain energi kinetik elektron yang tinggi, sampel yang
tipis menyebabkan berkas elektron menembus bagian lunak dari sampel. Berkas elektron tidak dapat
menembus bagian keras dari sampel sehingga berkas elektron yang tertangkap oleh layar merupakan
bayangan dari partikel.

337
Filamen

Lensa condenser 1

Lensa condenser 2

Sampel

Lensa proyektor

Layar berpendar

Gambar 24.13 Skema prinsip kerja TEM

Pada mikroskop elektron misalnya TEM, resolusi yang dicapai tergantung pada tegangan
percepatan yang diterapkan. Tegangan percepatan lebih tinggi menghasilkan resolusi yang lebih baik
selain juga faktor desain dari lensa objektif (pemfokus). Lensa objektif memiliki koefisien
penyimpangan bola. Semakin kecil gap lensa makin kecil koefisien penyimpangan bola dan semakin
baik resolusinya. Namun, gap lensa yang lebih kecil akan mengurangi kontras.

Gambar 24.14 Illustrasi sampel ditembak berkas elektron di atas grid


(Bob Hafner, 2008)

338
24.3.2.1 Modus Pencitraan
Hamburan maju elastis terjadi dalam sampel yang menghasilkan distribusi tidak seragam yang
muncul dari elektron yang merupakan mekanisme dasar terjadinya kontras. Dalam modus pencitraan,
hamburan difokuskan oleh lensa objektif ke bidang gambar pertama yang kemudian bertindak sebagai
bidang objek untuk lensa pembesar. Pembesaran dapat dihitung dengan cara yang sama seperti yang
kita lakukan untuk sistem pencahayaan dalam mode berkas konvergen. Sinar yang berasal dari suatu
titik yang diberikan dalam bidang sampel datang ke titik fokus pada bidang gambar. Gambar yang
berdekatan menunjukkan sinar yang datang dari dua titik yang berbeda dari sampel sebagai gelap dan
terang.
Sebuah apertur objektif terletak dalam jalur berkas tepat di bawah lensa objektif. Aperture
objektif ini penting karena beberapa alasan. Aperture akan:
• memungkinkan untuk seleksi sinyal.
• memberikan kontras dalam gambar (tegangan percepatan rendah juga akan meningkatkan kontras).
• penurunan penyimpangan lensa objektif, bentuk dan warna, yang akan menurunkan resolusi gambar.
• mempengaruhi kedalaman medan dalam gambar . Aperture yang lebih kecil memberikan kedalaman
medan yang lebih baik.

Aperture objektif secara optimal dipilih untuk membatasi baik aberasi sferis dan cacat difraksi.
Namun, rentang energi elektron meninggalkan sampel bisa signifikan (15-25 eV). Dengan demikian,
aperture objektif yang lebih kecil mungkin diperlukan untuk mengurangi efek aberasi chromatic.
Membuat sampel yang tipis juga akan membantu.

Gambar 24.15 Dua mode dalam analisis denngan TEM


(Bob Hafner, 2008)

339
Dalam mode difraksi, sinar yang berasal dari sampel yang sejajar satu sama lain datang untuk
difokuskan di belakang bidang fokus lensa objektif. Gambar di atas menunjukkan sinar-sinar sejajar
dengan warna yang berbeda: biru tua, biru muda, dan merah. Pola difraksi yang terjadi di belakang
bidang fokus lensa objektif muncul hanya sebagai konsekuensi dari pembentukan citra di bidang
gambar lensa tersebut. Ketika kita memasuki modus difraksi pada TEM, kita menyesuaikan kekuatan
lensa menengah sehingga fokus bidang objektif belakang menjadi bidang objeknya. Kita pindah
apertur objektif dan masukkan aperture lain lebih ke bawah kolom - aperture area difraksi (SAD),
untuk memilih sebagian dari sampel dari mana pola difraksi muncul. Aperture SAD bertindak sebagai
aperture virtual.

24.3.3 Menyiapkan Sampel Pada TEM


Agar diperoleh gambar yang bagus pada foto TEM, diperlukan perlakuan khusus pada sampel
sebelum karakterisasi. Prinsip kerja TEM sangat berbeda dari mikroskop cahaya, oleh karena itu untuk
melihat sampel juga harus disiapkan berbeda Persiapan sampel untuk TEM umumnya memerlukan
lebih banyak waktu dan pengalaman daripada kebanyakan teknik karakterisasi lainnya. Karena berkas
elektron yang melewati sampel dapat dipengaruhi karena kepadatan partikel, sampel harus setipis
mungkin. Sebuah sampel TEM harus memiliki ketebalan sekitar 1000 Å atau kurang. Sampel harus
diletakkan di atas grid berdiameter 3mm dengan ketebalan kurang dari 100 mikron. Pengeringan juga
harus dilakukan untuk menghapus semua air yang ada pada sampel, karena hal ini juga bisa
mempengaruhi hasil.
Salah satu prinsip penyiapan sampel adalah melakukan penyayatan. Pembuatan sayatan
bertujuan untuk memotong ketebalan sampel hingga setipis mungkin agar mudah diamati di bawah
mikroskop. Tentu hal ini sulit dilakukan tanpa alat yang canggih. Pada umumnya preparat dilapisi
dengan monomer resin melalui proses pemanasan, kemudian dilanjutkan dengan pemotongan
menggunakan mikrotom. Umumnya mata pisau mikrotom terbuat dari berlian, karena berlian tersusun
dari atom karbon yang padat. Hasilnya, sayatan yang terbentuk lebih rapi. Sayatan yang telah terbentuk
diletakkan di atas cincin berpetak (grid) biasanya terbuat dari tembaga atau karbon untuk diamati. Alat
untuk mengiris sampel (microtome) harganya sangat mahal. Untuk mensiasatinya biasanya dilakukan
dengan cara melarutkan sampel sehingga permukaannya terkelupas.

Gambar 24.16 Contoh grid dari tembaga


(http://wikipedia.org)

24.3.4 Interaksi antara Berkas Elektron dan Sampel


Berkas elektron berinteraksi dengan sampel dapat berupa:

340
• maju atau mundur.
• koheren atau tidak koheren.
• elastis atau tidak elastis.

Berkas elektron pada interaksi koheren menjaga fase sedangkan pada interasi tidak koheren
terjadi perubahan fase. Berkas elektron yang mengalami interaksi elastis dengan atom sampel
menunjukkan kehilangan energi sedangkan yang mengalami interaksi tidak elastis tidak kehilangan
energi. Pemancaran elastis adalah komponen yang dominan dari keseluruhan pemancaran yang terjadi
di TEM. Ini juga merupakan prinsip kontras dalam gambar TEM dan distribusi intensitas pola difraksi.
Interaksi tidak elastik merupakan dasar untuk berbagai sinyal seperti , sinar-X, EELS, elektron
sekunder, cathadoluminescence). Interaksi tidak elastis memiliki sudut hamburan rendah (θ), biasanya
kurang dari satu derajat. Pemancaran tidak elastis yang melewati apertur objektif menciptakan kabut
latar belakang dan tidak memberikan kontribusi secara optimal pada fokus gambar. Hal ini disebabkan
karena kehilangan energi dan chromatic penyimpangan meningkat dalam lensa objektif. Hamburan
elastis dapat dipahami dari pandangan elektron sebagai partikel (hamburan dari atom yang terisolasi)
atau gelombang (hamburan dari sampel secara keseluruhan).

Berkas elektron

Hamburan
elektron tdk
koheren elastis
Elektron sekunder

Hamburan
Hamburan elektron tdk
elektron koheren tkd
koheren tdk elastis
elastis
Hamburan
elektron tdk
Sinar langsung koheren

Gambar 24.16 Illustrasi interaksi elktron dengan sampel


menghasilkan beberapa jenis sinyal

Dari pandangan elektron sebagai partikel, berkas elektron dapat berinteraksi dengan elektron
atau inti atom sampel melalui gaya Coulomb. Interaksi elektron dengan elektron dihasilkan pada θ yang
relatif rendah terutama fungsi dari tegangan percepatan. Kebanyakan interaksi lebih pada tegangan
percepatan rendah. Interaksi elektron dengan inti θ yang lebih tinggi menghasilkan inkoheren (disebut
hamburan Rutherford). Di atas sekitar 5 derajat, semua hamburan elastis dapat dianggap Rutherford
inkoheren.
Probabilitas diperoleh interaksi jenis ini dilakukan dengan meningkatkan:
• nomor atom unsur yang lebih tinggi.
341
• tegangan percepatan rendah.
• ketebalan sampel lebih besar, dan
• θ rendah.
Dari pandangan elektron sebagai gelombang: gelombang elektron dapat berinteraksi dengan
banyak atom bersama-sama dalam sampel kristal sehingga hamburan bersifat koheren kolektif
(difraksi). Setiap atom dalam sampel bertindak sebagai sumber muka gelombang bola sekunder. Muka
gelombang baru yang koheren dan karena itu akan mengganggu dimana memperkuat satu sama lain
dalam arah sudut tertentu dan melemahkan yang lain. Titik-titik pada muka gelombang berada dalam
fase yang sama akan memperkuat. Hal ini akan menimbulkan bagian pusat yang kuat (terang) dari pola
difraksi. Gangguan antara muka gelombang yang dipisahkan oleh satu panjang gelombang memberikan
dua pola yang terpisah di kedua sisi dari pita spektrum yang disebut pusat pertama. Difraksi dikontrol
oleh sudut kejadian dari berkas elektron ke bidang atom dalam sampel dan jarak dari bidang-bidang.
Difraksi terjadi ketika hukum Bragg terpenuhi.

Hukum Bragg :

2d sinθ = nλ
dimana:
• λ adalah panjang gelombang sinar datang;
• d adalah jarak antara bidang atom, dan
• θ adalah sudut berkas datang dengan bidang atom.
Pada gambar 24.17 di bawah, jarak sinar yang di bawah perjalanannya adalah 6-7-8. Jika
panjang lintasan tambahan adalah beberapa panjang gelombang (nλ), dua berkas pada 3 dan 10 akan
menginterferensi konstruktif untuk menghasilkan pola difraksi. Jarak 6-7 = d sinθ, jarak 6-7-8 = 2d sinθ.
Dengan demikian, difraksi akan terjadi ketika nλ = 2d sinθ.

Gambar 24.17 Difraksi pada atom sampel


(Bob Hafner, 2008)

24.3.5 Menentukan Ukuran Partikel


Untuk menentukan ukuran partikel dari sampel yang dianalisa dapat dilakukan dengan
sederhana. Pada foto SEM dan TEM selalu memiliki bar skala dan tertulis ukuran panjang bar skala
tersebut. Bar skala tersebut menjadi standar pembanding untuk menentukan ukuran partikel dan profil

342
lain yang akan dianalisa. Jika pada sebuah foto TEM tertulis bar skala 5μm artinya panjang bar skala
tersebut mewakili panjang ukuran partikel sebenarnya. Misalkan panjang bar skala tersebut diukur
dengan penggaris adalah 1 cm maka setiap 1 cm pada gambar sama dengan 5μm pada ukuran
sebenarnya. Jika diameter partikel pada foto kita ukur dengan penggaris dan panjangnya adalah 0,2 cm
maka diameter partikel sebenarnya adalah (0,2 cm/1cm) x 5μm = 1 μm. Gambar partikel pada foto
TEM sangat kecil dan sulit dilihat mata manusia secara langsung. Untuk mengukur diameter partikel
dapat kita siasati dengan memperbesar gambar menggunakan program paint pada computer seperti
pada gambar 24.18.

Gambar 24.18 Contoh foto SEM yang diperbesar.


(Mikrajuddin, 2009)

24.4 Atomic Force Microscope (AFM)


AFM merupakan salah satu alat untuk pencitraan, pengukuran, dan memanipulasi materi pada
skala nano. Pada AFM, alat dapat bekerja karena adanya gaya antar atom partikel. Komponen utama
dari AFM adalah sebuah tip yang ditempelkan pada ujung cantilever. Dengan AFM kita dapat
mempelajari karakter permukaan material berskala nanometer dengan resolusi sangat tinggi mulai dari
1μm. sampai kurang dari 100 pm. Informasi ini dikumpulkan dari tekstur permukaan dengan probe
mekanik berupa tip yang digerakkan mengitari permukaan sampel. Elemen piezoelektrik yang
memfasilitasi gerakan kecil tapi akurat dan tepat memungkinkan pemindaian yang sangat tepat. Foto
AFM dapat berupa gambar 3 dimensi dengan resolusi setara atomik. Dengan variasi beberapa teknik,
potensial listrik juga dapat dipindai menggunakan cantilever. Untuk versi baru yang lebih maju, arus

343
bahkan dapat melewati tip untuk menyelidiki konduktivitas listrik atau transportasi elektron dari
permukaan. Berbeda dengan SEM dan TEM, alat ini tidak memerlukan perlakukan pendahuluan pada
sampel, elektron energi tinggi dan sistem vakum.
AFM ditemukan pada tahun 1985 oleh Gerd Binnig dan Heinrich Rohrer. Sebelumnya, pada
tahun 1980 Binnig dan Gerber menemukan Scanning Tunneling Microscope (STM) di IBM Research –
Zurich. Mereka menerima hadiah Nobel untuk Fisika pada tahun 1986. AFM secara komersial pertama
diperkenalkan pada tahun 1989. AFM asli terdiri dari pecahan berlian yang melekat pada strip foil
emas. AFM dikembangkan untuk mengatasi kelemahan dasar mikroskop atom jenis lain yang hanya
dapat melakukan gambar permukaan tertentu. AFM memiliki kelebihan dimana dapat mencitrakan
hampir semua jenis permukaan, termasuk polimer, keramik, komposit, kaca, dan sampel biologis.

Gambar 24.19. Contoh alat AFM


(www.wikipedia.org)

Jika dibandingkan dengan mikroskop jenis lain, AFM memiliki beberapa kelebihan:
• AFM dibandingkan SEM:
Dibandingkan dengan SEM, AFM menyediakan pengukuran topografi dengan kontras luar biasa
tinggi dan fitur permukaan yang langsung (tidak diperlukan lapisan).
• AFM dibandingkan TEM:
Dibandingkan dengan TEM, gambar AFM tiga dimensi diperoleh tanpa persiapan sampel yang
mahal dan menghasilkan informasi yang jauh lebih lengkap dibandingkan dengan profil dua dimensi.
• AFM dibandingkan Mikroskop Optik:
Dibandingkan dengan Mikroskop Optik, AFM memberikan perbesaran yang jauh lebih besar
dan berbagai jenis sampel dapat dianalisa.

24.4.1 Prinsip Kerja AFM

Pada AFM terdapat cantilever yang panjangnya 100μm - 200μm dengan tip yang tajam pada ujungnya. Tip ini
biasanya panjangnya beberapa mikron dan diameternya sering kurang dari 100Angstrom. Ketika tip tersebut
dekat dengan sample, medan gaya tolak-menolak atau tarik-menarik antara tip dan sample akan menghasilkan

344
defleksi pada cantilever. Defleksi ini dicatat dan diproses menggunakan perangkat lunak pencitraan. Gambar
yang dihasilkan adalah representasi topografis dari sampel yang dicitrakan. Jika ingin mengetahui informasi
lebih banyak tentang sampel (tidak hanya sebuah topografi permukaan) terdapat mode pencitraan lain yang
digunakan untuk berbagai jenis analisis. Hardware yang berbeda atau teknik pemindaian lain diperlukan untuk
memperoleh data yang diperlukan untuk analisis. AFM juga dapat mengukur beberapa sifat karakteristik dari
sampel yang mikroskop jenis lain tidak dapat melakukannya.

Gambar 24.20 Tip dan sampel yang berdekatan


terjadi interaksi antar atom.
(www.wikipedia.org)

Sebagian besar AFM menggunakan sinar laser sebagai sistem defleksi. Teknik ini
diperkenalkan oleh Meyer dan Amer, di mana laser ditembakkan ke punggung cantilever kemudian
dipantulkan ke detektor yang sensitif terhadap perubahan posisi. Tip dan cantilever yang
microfabricated dibuat dari Si atau Si3N4.
Salah satu teknik pemindaian pada AFM diperlihatkan pada gambar dibawah. Untuk mendeteksi
perpindahan kantilever, laser dipantulkan dari belakang kantilever dan dikumpulkan dalam dioda.
Dioda ini dibagi menjadi empat bagian, seperti terlihat pada gambar. Ketika laser berpindah secara
vertikal di sepanjang bagian atas posisi (BA) dan bawah (DC), menghsilkan topografi, sedangkan jika
ini gerakan kiri horisontal (BD) dan kanan (AC), itu menghasilkan gaya lateral.

345
Gambar 24.21 Contoh teknik pemindaian pada AFM
(Arantxa, 2008)
24.4.2 Komponen AFM
24.4.2.1 Piezocrystals
Piezocrystals adalah bahan keramik yang mengembang atau kontraksi jika diberi tegangan
listrik dan sebaliknya, dia akan menghasilkan potensial listrik jika mendapat tekanan mekanis. Dengan
cara ini, gerakan dalam arah x, y dan z dapat dilakukan.

24.4.2.2 Probe
Probe dalam hal ini berupa kantilever micromachined dengan tip yang tajam di ujungnya yang
akan beinteraksi dengan permukaan sampel. Setiap probe memiliki bentuk dan spesifikasi yang
berbeda. Kantilever berbentuk V adalah yang paling populer, tetapi ada juga yang berbentuk persegi
panjang. Memberikan resistensi mekanik rendah pada defleksi vertikal, dan resistensi yang tinggi
terhadap torsi lateral. Ukuran kantilever biasanya berkisar dari panjang 100-200 pM, lebar 10-40 pM
dan tebal 0,3-2μm. Kantilever biasanya terbuat dari silikon (Si) atau silikon nitrida (Si3N4). Ini
dicirikan oleh konstanta gaya dan frekuensi resonansi, yang harus dipilih sesuai dengan sampel yang
akan diteliti. Selain sistem deteksi optik dan elektronik untuk pengelolaan prosedur pemindaian dan
akuisisi data yang diperlukan.
Komponen pendukung dari AFM antra lain :
• Probe Head : kepala probe yang dapat digerakkan ke sumbu XY; kepala yang berbeda memiliki
kemampuan scan bebeda dengan laser dan fotodioda.
• XY Translation Stage: bergerak dalam arah XY oleh sekrup penggerak sumbu XY yang dapat
dikontrol dengan perangkat lunak.
• Position Sensitive Photo Detector (PSPD): Mendeteksi defleksi laser, yang kemudian diubah
menjadi peta topografi.
• Laser Beam Steering Screws: mengontrol posisi laser pada belakang kantilever.
• Laser Intensity and Position Indicator; Lampu mewakili posisi laser dan intensitas pada foto
detertor.
• Sampel Stage: pemegang sampel dan tabung scanner piezoelektrik berada di bawah.

346
Gambar 24.22 Komponen dari AFM
(Galloway Group, 2004)
24.4.3 Interaksi antar Atom
Ujung tip yang sangat runcing dapat dipandang sebagai kumpulan atom seperti diilustrasikan
pada gambar 24.23. Demikian juga partikel sampel yang dekat dengan tip merupakan kumpulan atom.
Jika tip berdekatan dengan permukaan sampel, maka akan timbul interaksi antar atom berupa gaya
atom. Gaya yang paling sering dikaitkan dengan AFM merupakan gaya antar atom yang disebut gaya
van der Waals. Gaya atom disebabkan karena adanya potensial interaksi antar atom.

Gambar 24.23 Illustrasi interaksi antar atom


(www.mansic.eu/documents)

Hubungan antara potensial interaksi antar atom dengan jarak antar atom dituliskan dengan
persamaan 24.1 yang dikenal dengan persamaan Lennard – Jones.

U (r ) = Uo[−2( ror ) + ( ror ) ] ………………………. (24.1)


6 12

Dimana Uo adalah potensial pada saat gaya sama dengan nol dan ro adalah jarak seimbang
(gaya sama dengan nol) antar atom. r adalah jarak antar atom tip dengan atom sampel. Jika jarak antar
atom semakin dekat (kurang dari ro) maka potensial interaksi akan menghasilkan gaya tolak.
Sebaliknya jika jarak antar atom besar akan menghasilkan gaya tarik. Hubungan antara potensial
interaksi antar atom terhadap jarak tip dengan sampel dijelaskan melalui kurva potensial Lennard –
Jones di bawah ini.

347
U(r)

ro r

Uo

Gambar 24.24 Kurva potensial Lennard-Jones

Di daerah kontak, cantilever ada di kurang dari beberapa angstrom (10-10m) dari permukaan
sampel, dan gaya antar atom cantilever dan sampel adalah tolak-menolak. Di daerah non-kontak,
cantilever ada pada jarak puluhan hingga ratusan angstrom dari permukaan sampel, dan gaya antar
atom antara cantilever dan sampel adalah tarik-menarik.
Pada sisi kanan kurva, atom-atom dipisahkan oleh jarak besar. Atom secara bertahap dibawa
bersama-sama, mereka pertama-tama menarik dengan lemah satu sama lain. Tarikan ini meningkat
sampai atom begitu dekat bersama-sama kemudian mereka mulai saling tolak-menolak secara
elektrostatis. Tolakan elektrostatik ini semakin melemahkan gaya tarik-menarik karena jarak terus
menurun. Grafik setelahnya, gaya menuju ke nol ketika jarak mencapai beberapa angstrom. Berapapun
jarak yang lebih dekat dari ini, gaya van der Waals menjadi positif (tolak-menolak). Jarak ini tidak
akan berubah, karenanya setiap upaya untuk memaksa sampel dan tip lebih dekat akan mengakibatkan
deformasi atau kerusakan pada sampel atau tip.
Ada dua gaya lain yang timbul selama memindai, yaitu: gaya kapiler yang disebabkan oleh tip
yaitu gaya yang disebabkan oleh cantilever itu sendiri, yang seperti disebabkan oleh gaya kompresi
pegas. AFM bergantung pada gaya antara tip dan sampel. Mengetahui besarnya gaya menjadi penting
untuk pencitraan yang tepat. Gaya tidak diukur langsung, tetapi dihitung dengan mengukur defleksi
cantilever, dan mengetahui gaya cantilever. Dari hukum Hook memberikan : F = k. z Dimana F adalah
gaya antar atom, k adalah kekakuan cantilever dan z adalah simpangan cantilever.

24.4.4 Mekanisme Pengukuran


24.4.4.1 Modus kontak

Mekanisme pertama adalah tipe kontak yang secara luas banyak digunakan Pada AFM modus
kontak, tip dengan lembut membuat kontak fisik dengan permukaan sampel. Pada tipe ini tip menyapu
ke seluruh permukaan sampel, kemudian tip tersebut dibelokkan ketika bergerak di atas permukaan
yang berlekuk. Besarnya defleksi z yang terjadi pada cantilever sebanding dengan gaya yang bekerja
pada tip, melalui hukum Hook, F = - k. z, di mana k adalah konstanta pegas dari cantilever. Dalam

348
modus gaya konstan, tip terus diatur untuk mempertahankan defleksi konstan di atas permukaan.
Dalam modus ketinggian konstan ketinggian tip adalah tetap, sedangkan dalam modus gaya konstan
defleksi cantilever adalah tetap dan gerakan pemindai pada arah z direkam. Tuas kontak yang paling
banyak digunakan memiliki konstanta pegas <1N / m.
Dengan menggunakan modus kontak, AFM dapat menghasilkan gambar dengan resolusi tingkat
atom. Untuk pencitraan dengan modus kontak, AFM perlu untuk memiliki cantilever yang lembut
sehingga mudah dibelokkan oleh gaya yang sangat kecil dan memiliki frekuensi resonansi yang cukup
tinggi untuk tidak menjadi rentan terhadap ketidakstabilan getaran. Tip dari bahan silikon Nitrida biasa
digunakan untuk modus kontak.
Untuk menghindari masalah yang disebabkan oleh gaya kapiler yang dihasilkan dari cairan yang
mengkontaminasi lapisan yang biasanya muncul pada permukaan udara, sampel dapat yang dianalisa
direndam dalam cairan. Prosedur ini terutama bermanfaat untuk sampel biologi.

24.4.4.2 Modus tidak kontak

Modus tidak kontak mengacu pada penggunaan cantilever yang berosilasi. Sebuah cantilever
kaku berosilasi dalam daerah yang terdapat gaya tarik, yang berarti bahwa tip cukup dekat dengan
sampel, tetapi tidak menyentuh (maka disebut, "tidak kontak"). Gaya antara tip dan sampel yang cukup
dekat, dalam orde pN (10 -12 N). Pada pengukuran dengan AFM gaya antara tip dan sampel dibuat
tetap melalui piezoelektrik selama memindai. Karena gaya dibuat tetap maka laser akan cantilever akan
memantulkan laser dengan sudut yang tetap. Jika terjadi defleksi pada cantilever yang disebabkan
permukaan sampel berubah menyebabkan sudut pantul laser berubah. Tegangan yang dibutuhkan
untuk mengembalikan sudut pantul laser tepat ke detektor merupakan informasi tentang tekstur
permukaan sampel.
Penggunaan modus tidak kontak memungkinkan pemindaian tanpa mempengaruhi bentuk
sampel dan tip. Dalam kebanyakan kasus, untuk modus ini cantilever yang dipilihan adalah yang
memiliki konstanta pegas yang tinggi yaitu 20-100N/m sehingga tidak menempel pada permukaan
sampel pada amplitudo kecil. Biasanya tip yang digunakan untuk modus ini adalah bahan silikon.

24.4.4.3 Modus menekan (Tapping)

Gaya yang diukur pada AFM dapat diklasifikasikan ke dalam gaya jangkauan panjang dan
jangkauan pendek. Gaya jangkauan panjang mendominasi ketika kita memindai pada jarak yang besar
dari permukaan. Gaya tersebut dapat berupa gaya Van der Waals, gaya kapiler (karena air sering
muncul di sekitar lapisan). Ketika pemindaian dengan kontak dengan permukaan, gaya jangkauan
pendek sangat penting, khususnya dalam gaya mekanika kuantum (prinsip larangan Pauli).
Dalam AFM modus menekan cantilever berosilasi dekat dengan frekuensi resonansi nya.
Sebuah loop umpan balik elektronik memastikan bahwa amplitudo osilasi tetap konstan, sehingga
interaksi tip dengan sampel dipertahankan konstan selama pemindaian. Gaya yang bekerja antara
sampel dan ujung tidak hanya akan menyebabkan perubahan dalam amplitudo osilasi, tetapi juga
perubahan dalam frekuensi resonansi dan fase kantilever. Amplitudo digunakan untuk umpan balik dan
penyesuaian vertikal dari piezoscanner dicatat sebagai ketinggian gambar. Secara bersamaan
perubahan fase ditampilkan pada gambar fase (topografi).
Keuntungan dari mode menekan adalah meminimalisasi sebagian besar gaya geser permanen
dan mengurangi kerusakan permukaan sampel dan bahkan dengan probe yang kaku. Perbedaan
komponen dari sampel dimana sifat adesif berbeda dan sifat mekanik akan menunjukkan beda fase dan
memungkinkan analisis pada komposisi material. Untuk beda fase yang bagus gaya tip yang luas lebih
menguntungkan, sementara meminimalkan gaya ini akan mengurangi daerah kontak dan menghasilkan
pencitraan dengan resolusi tinggi. Jadi dalam aplikasinya perlu memilih parameter yang tepat dan

349
yang cocok dengan tujuan. Probe bahan silikon banyak digunakan terutama untuk aplikasi modus
menekan.
AFM bisa bekerja dalam lingkungan yang berbeda: udara, cair dan vakum. Dalam modus
kontak, tip menyentuh permukaan sampel, memungkinkan manipulasi sampel. Kerugiannya adalah
bahwa tip mungkin terkontaminasi oleh sampel. Sebaliknya hal itu tidak terjadi pada modus tidak
kontak, di mana ujung tetap pada jarak di atas sampel. Dalam modus menekan tip menyentuh
permukaan secara berkala oleh karena itu manipulasi sampel serta kontaminasi tip mungkin saja
terjadi.
Masing-masing modus operasi AFM memiliki keuntungan dan kekurangan.
• AFM modus kontak.
Keuntungan:
- Kecepatan memindai tinggi.
- Kemampuan resolusi tingkat atom.
- Mudah dalam pemindaian sampel yang kasar dengan perubahan topografi vertikal yang
ekstrim.
Kekurangan:
- Gaya lateral dapat mendistorsi gambar.
- Gaya kapiler dari lapisan cairan yang dapat menyebabkan gaya besar pada interaksi tip dengan.
- Kombinasi gaya ini mengurangi resolusi spasial dan dapat menyebabkan kerusakan pada sampel
lembut.
• AFM modus tidak kontak.
Keuntungan:
- Gaya yang lemah yang diberikan pada permukaan sampel sehingga tidak ada kerusakan
disebabkan untuk sampel yang lembut.
Kekurangan:
- Resolusi lateral lebih rendah, dibatasi oleh pemisahan tip dengan sampel.
- Kecepatan memindai lambat untuk menghindari kontak dengan lapisan cairan.
- Biasanya hanya berlaku dalam sampel yang sangat hidrofobik dengan lapisan cairan minimal.
AFM modus menekan.
Keuntungan:
- Resolusi lateral tinggi (1 nm sampai 5 nm).
- Gaya lemah dan lebih sedikitmenimbulkan kerusakan sampel lembut di udara.
- Hampir tidak ada gaya-gaya lateral.
Kerugian:
- Lebih lambat kecepatan memindai dalam modus kontak.

Gambar 24.25 Teknik memindai pada AFM

350
(www.unl.edu/CMRAcfem)

24.4.5 Gambar pada AFM


Meskipun proses pemindaian sederhana dan dilakukan dengan perhatian total, tidak semua
gambar merupakan representasi akurat dari topografi sebenarnya dari sampel. Ada parameter yang
dapat berubah dalam setiap scan dan gaya lain di luar gaya antar atom yang dapat mengubah gambar
atau sampel.
Perangkat lunak pengolahan citra ProScan yang disediakan AFM digunakan untuk memproses
dan menganalisa gambar yang dapat membuat lebih mudah untuk mengenali suatu gambar yang keliru.
Pengolahan memungkinkan untuk modifikasi gambar dalam rangka untuk menghapus artefak tanpa
memodifikasi fitur permukaan. Dalam analisis, pengukuran kuantitatif dapat diambil dari penampang
atau daerah permukaan. Permukaan statistik seperti pengukuran jarak, pengukuran puncak ke lembah
dan kekasaran permukaan adalah beberapa pengukuran yang diperoleh secara umum. Akuisisi data
Proscan mengontrol AFM dan mengumpulkan data lalu diubah ke gambar.

Gambar 24.26 Akuisisi Data Proscan dan


Perangkat Lunak Pemrosesan Gambar
(Galloway Group, 2004)

Sekarang kita akan membahas perbedaan antara gambar yang baik dengan gambar yang buruk.
Ketika kita mengatakan gambar baik berarti tidak hanya kualitas gambar tetapi juga dapat mengenali
fitur yang benar-benar hadir dan beberapa artefak dari scan. Gambar buruk adalah yang memiliki
resolusi rendah atau yang berisi fitur tidak terbaca akan tetapi pada gambar ini masih dapat
memberitahu kita tentang sampel. Jika foto menunjukkan banyak partikel pada permukaan atau
formasi tidak teratur, maka dapat diasumsikan bahwa proses yang digunakan untuk memproduksi
sampel ini tidak layak.
Gambar di bawah ini menunjukkan contoh-contoh foto AFM yang diambil dengan modus yang
berbeda-beda. Sampel dari berbagai bahan, seperti semikonduktor, material biologi atau film polimer.

351
Gambar 24.27 Foto tiga dimensi AFM modud kontak dari
sampel Pd yang ditumbuhkan pada 6H-SiC
(www.mansic.eu/documents)

Gambar 24.28 Foto tiga dimensi AFM modud tidak kontak dari
sampel Pd yang ditumbuhkan pada 6H-SiC
(www.mansic.eu/documents)

Gambar 24.29 Foto AFM modus tapping dari sampel


biologi (nucleosomal DNA)
(www.mansic.eu/documents)

352
24.4.6 Aplikasi AFM
Aplikasi untuk AFM sangat luas dan banyak jumlahnya sejak diciptakan pada tahun 1986 dan
sekarang teknik ini masuk dalam berbagai bidang nanosains dan nanoteknologi. Fitur luar biasa dari
AFM yakni kemampuan untuk memeriksa sampel tidak hanya dalam vakum tetapi juga pada kondisi
suhu atau bahkan dalam cairan. Salah satu keuntungan dari AFM adalah dapat mnganalisa sampel
tanpa kontak dengan permukaan, dan oleh karena itu sangat cocok untuk sampel biologi.
AFM mampu mengukur dalam skala nanometer gambar permukaan terisolasi dengan sedikit
persiapan sampel serta mengukur dalam gambar tiga dimensi dari permukaan dan mempelajari
topografinya.
Beberapa aplikasi yang mungkin dari AFM adalah:
- Analisis kekasaran substrat.
- Formasi langkah di dalam deposisi film tipis.
- Pembentukan pin-hole atau cacat lainnya dalam penumbuhan oksida.
- Analisis ukuran butir.
- Modus fase sangat sensitif untuk variasi dalam sifat material, termasuk kekakuan permukaan,
elastisitas dan adhesi.
- Membandingkan kurva gaya antara tip dengan sampel dari beberapa bahan untuk mempelajari rasio
Modulus Young (grafit sebagai acuan untuk mengukur lekukan).
- Mendapatkan informasi tentang apa yang terjadi di bawah lekukan pada beban sangat kecil.
- Dengan analisis AFM dengan perubahan suhu kita dapat mempelajari perubahan dalam struktur.

353
DAFTAR PUSTAKA
M. Abdullah dan Khairurrijal, Karakterisasi Nanomaterial: Teori, Penerapan dan Pengolahan Data, Rezeki
Putera, Bandung ( 2010)
M. Abdullah dan Khairurrijal, Jurnal Nanosains dan Nanoteknologi, Volume 2, Nomor 1, halaman 3 (2009)
Muller, David, Introduction to Electron Microscopy, Cosnel University (2008)
Hafner, Bob, Scanning Electron Microscopy Primer, Charactizzation Facility, University of Minnesota (2007)
Hafner, Bob, Transmission Electron Microscopy Primer, Charactizzation Facility, University of Minnesota
(2008)
Galloway, Atomic force Microscopy: A Guide to Understanding and Using The AFM (2004)
Vilalta, Arantxa and Katrin Gloystein, Principles of Atomic Force Microscopy (AFM), Aristotle University,
Thessaloniki, Greece (2008)
http://www.transmissionelectronmicroscopy.org
http://www.mansic.eu/documents
http://www.unl.edu/CMRAcfem
http://www.wikipedia.org
(http://www.edax.com)

354
Bab 25
Blokade Coulomb (Coulomb
Blockade)
Oleh: Anggi Puspita Swardhani

25.1 Pengertian Blokade Coulomb


(Coulomb Blockade)
Berdasarkan pada persamaan Schrodinger pada kasus sumur potensial
tak berhingga, terdapat kuantisasi energi elektron pada kuantum dot dan
panjaranya disebut dengan tingkat energi elektron. Elektron hanya dapat
menempati tingkat energi tertentu pada kuantum dot. Saat elektron akan
menempati kuantum dot maka elektron harus mempunyai energi minimal yang
sama dengan tingkat energi dasar pada kuantum dot. Jika energi elektron
tersebut besarnya lebih kecil dari tingkat energi dasar pada kuantum dot maka
elektron tidak akan bisa menempati tingkat energi manapun pada kuantum dot.
Saat elektron telah berhasil menempati tingkat energi dasar pada kuantum dot,
elektron selanjutnya harus mempunyai energi yang lebih tinggi dari elektron
pertama agar dapat menempati tingkat energi selanjutnya pada kuantum dot.
Energi ini diakibatkan oleh adanya gaya tolakan Coulomb dari elektron yang
pertama kali berhasil menempati tingkat energi tertentu pada kuantum dot.
Efek tolakan ini disebut dengan efek blokade Coulomb (Coulomb Blockade).
Terjadinya penumpukan elektron pada suatu kuantum dot akan menyebabkan
elektron selanjutnya tidak dapat masuk menempati tingkat energi selanjutnya
sehingga memblok jalannya elektron yang akan berpindah menembus barrier
potensial
Pada awalnya efek blokade Coulom ini diamati pada system konduktor.
Dengan adanya elektron yang berpindah pada konduktor, menyebabkan
terjadinya perubahan potensial elektrostatis pada system. Dalam system yang
besar perubahan potensial elektrostatis ini hanya dianggap suatu gangguan
kecil (noise) sehingga tidak memberikan pengaruh yang besar. Namun pada
system yang kecil, perubahan potensial elektrostatis ini akan memberikan
perubahan yang signifikan terhadap sistem.
Peristiwa blokade Coulomb ini sering dimanfaatkan dalam divais
elektron tunggal (single electron devices). Divais elektron tunggal berbeda
dengan divais-divais lain yang bekerja secara konvensional karena melibatkan
perpindahan elektron yang dapat diamati dengan pemahaman mekanika

355
kuantum. salah satu contoh dari divais elektron tunggal yaitu Single Electron
Transistor (SETs). SETs adalah merupaka suatu divais yang memanfaatkan
efek blokade Coulomb dalam cara kerjanya. Pada divais ini hanya dilakukan
penambahan satu elektron pada gerbang elektroda untuk merubah sistem dari
terisolasi menjadi terkonduksi. Sementara MOSFET pada umumnya
membutuhkan 1000-10.000 elektron.

25.2 Perpindahan Elektron pada


Peristiwa Blokade Coulomb
Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa peristiwa blokade Coulomb
ini dapat dilihat pada divais elektron tunggal dimana dalam divais ini terdiri
atas suatu daerah dimana pada daerah tersebut elektron yang terlokalisasi dan
terkurung oleh suatu persimpangan terowongan (tunnel junction) dengan suatu
penghalang (barrier) yang disebut dengan island.
Energi yang terlibat dalam perpindahan elektron yang melalui divais
elektron tunggal adalah energi bebas Helmholtz, F yang didefinisikan sebagai
selisih antara total energi E yang disimpan dalam divais dan kerja W yang
dibutuhkan oleh divais. Total energi yang disimpan termasuk semua
komponen yang harus dipertimbangkan pada saat pengisian island oleh sebuah
elektron.

(25.1)
(25.2)

Dimana komponen E akan dijelas sebagai berikut

25.2.1 Energi Interaksi antar Elektron, E c


Model klasik untuk untuk memahami interaksi antar elektron ini
didasarkan pada pengisian energi elektrostatis kapasitif. Interaksi antar elektron
ini muncil berdasarkan fakta bahwa untuk setiap penambahan muatan dq yang
yang dipindahkan ke konduktor, harus ada kerja yang dilakukan pada medan
yang ada pada konduktor. Penjelasan tentang fenomena blokade Coulomb
sering melibatkan kapasitansi dari sistem. Pada sistem yang besar, sistem
mempunyai nilai kapasitansi yang cukup besar. Pada sistem elektrostatis
besarnya energi interaksi antar elektron ini adalah

(25.3)

356
Dimana e adalah elektron dan C adalah nilai kapasitansi pada kuantum dot.

25.2.2 Energi Fermi, ΔE f


Sistem yang terdiri atas sejumlah island yang sangat kecil dan berjumlah
banyak tidak cukup jika hanya dijelaskan dengan pendekatan klasik seperti di
atas. Sistem tersebut menunjukkan adanya energi interaksi antar elektron yang
kedua yaitu perubahan energi Fermi ketika sistem terisi oleh sebuah elektron
tunggal.

25.2.3 Energi Pengurungan Kuantum, E N

Dengan menurunkan ukuran island tingkat energi dari elektron akan


meningkat secara tidak langsung sesuai dengan kuadrat ukuran kuantum dot.
Dengan mengambil sumur potensial tak hingga sebagai model sederhana untuk
kuantum dot, dan setelah dihitung dengan penggunakan solusidari persamaan
Scrhodinger untuk sumur potensial tak hingga maka akan kita dapatkan bahwa

(25.4)
dengan ħ = h/2π dan kita substitusi ke persamaan (4) maka akan kita peroleh

(25.5)

25.2.4 Kerja yang Dihasilkan oleh Sumber Potensial, W


Untuk mengevaluasi ketersediaan energi pada terowongan, maka kerja
yang dilakukan pada sistem oleh power supply harus dimasukan, karena secara
termodinamika island merupakan sistem yang terbuka. Kerja yang dilakukan
oleh sumber potensial didefinisikan sebagai integral daya terhadap waktu.
(25.6)

25.3 Kondisi Terjadinya Blokade Coulomb


Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa dalam sistem yang besar
nilai kapasitansi akan bernilai besar pula dan besarnya energi elektrostatis
dinyatakan dalam persamaan (25.1). Sementara pada sistem yang kecil, sistem
mempunyai kapasitansi yang kecil pula. Hal ini membuat energi elektrostatis

357
dapat dibandingkan dengan energi termal pada temperatur rendah. Pada
temperatur ruang, kapasitansi sistem dapat diperoleh dengan menyamakan
energi termal dengan energi elektrostatisnya.
Karena pentingnya energi elektrostatis pada sistem yang kecil, elektron
akan dapat berpindah memasuki sistem jika elektron tersebut dapat melewati
penghalang (barrier). Penghalan ini dapat ditembus oleh elektron jika elektron
mempunyai energi yang cukup untuk mengimbangi energi tolakan Coulomb
dari elektron yang lain. Energi tolakan ini menyebabkan munculnya energi
penghalang pada sistem dan sering disebut dengan Coulomb Gap.
Formulasi blokade Coulomb ini akan berlaku jika elektron benar-benar
terlokalisai di dalam island. Selain itu adanya penghalang terowongan jelas
menjadi syarat yang mutlak jika kita membicarakan tentang elektron yang
terlokalisasi dan terisolasi dalam suatu island.
Energi kinetik termal dari elektron harus lebih kecil dari energi tolakan
Coulomb dimana akan menurunkan arus yang mengarah kepada terjadinya
blokade.
(25.7)
Dengan mempertimbangkan persamaan (25.7), terdapat satu syarat
dalam mengamati efek blokade coulomb. Syarat yang harus dipenuhi ini
berdasarkan pada bagaimana mekanika kuantum menggambarkan fluktuasi
energi dari elektron dalam kuantum dot. Ketidakpastian energi dapat
didefinisikan sebagai

(25.8)
Waktu elektron dalam memasuki kuantum dot adalah

(25.9)
Dengan menggunakan prinsip ketidakpastian Heissenberg

(25.10)

Maka diperoleh besarnya hambatan terobosan (tunneling resistance)


(25.11)

Gambar 25.1. Rangkaian yang menunjukkan efek blokade Coulomb

358
Gambar 25.1 menunjukkan skema rangkaian yang didalamnya terjadi
efek blokade Coulomb pada kuantum dot. Pada gambar di atas, kuantum dot
atau island dikelilingi oleh persimpangan terowongan (tunnel junction) dimana
memiliki kapasitansi C 1 dan C2 dan hambatan terobosan R t . Saat elektron
mengalir, elektron menembus dari satu persimpangan terowongan ke
persimpangan terowongan yang lain. Muatan di dalam C 1 dan C 2 adalah

Q1 = C1V1
Q2 = C2V2 (25.12)

Muatan di dalam kuantum dot didefinisikan sebagai


Q = Q2 − Q1 = −ne
(25.13)
n = n2 − n1
Sementara tegangan V a merupakan penjumlahan tegangan di terowongan 1
dan 2
(25.14)

(25.15)

Sementara dari persamaan (25.13) kita dapatkan bahwa

(25.16)

Substitusi persamaan (25.16) ke persamaan (25.15) akan diperoleh

V1 =
1
[C2Va + ne] (25.17)
C
V2 = [C1Va − ne]
1
(25.18)
C

Dengan C adalah kapasitansi pada island C = C 1 + C 2 , sehingga energi


elektrostatis sistem adalah
(25.19)

Dengan menggunakan persamaan (25.19) di atas maka akan kita dapatkan


persamaan energy elektrostatis sistem adalah

Es =
1
2C
[
C1C2Va + (ne )
2 2
] (25.20)

359
Kerja yang dilakukan terhadap sistem dapat ditulis

Ws = ∫ dtI (t )Va = Va ∆Q (25.21)

Dimana ΔQ adalah total muatan yang dihasilkan dari perpindahan elektron.


Penerobosan elektron melalui persimpangan yang ke 2 menghasilkan
perubahan muatan dan jumlah muatan yang terdapat pada island

(25.22)
Keadaan ini menyebabkan adanya perubahan potensial pada persimpangan
yang pertama dan total muatan yaitu
C1
V1 = V1 − e
'

C (25.23)
C
∆Q = −e 1 (25.24)
C
dengan menggunakan hubungan pada persamaan (25.21) dan persamaan
(25.24) maka akan kita dapatkan
C1
Ws (n2 ) = −n2 eVa (25.25)
C
C
Ws (n1 ) = −n1eVa 2 (25.26)
C
Sementara total energy sistem kita nyatakan dalam

(25.27)

Perubahan energi yang terjadi pada persimpangan pertama dan kedua sebagai
konsekuensi dari adanya perpindahan elektron adalah
(25.28)
(25.29)

Akan kita dapatkan

± e e 
∆E1 =  −  (ne − Va C2 ) 
C 2  (25.30)
± e e 
∆E2 =  − ± (ne − Va C1 ) 
C 2  (25.31)

Transisi akan terjadi jika keadaan

(25.32)

360
terpenuhi. Keadaan di atas akan menghasilkan dua persamaan sebagai berikut,
e
−  (ne − Va C2 ) > 0 (25.33)
2
e (25.34)
− ± (ne − Va C1 ) > 0
2

pada keadaan dasar (n=0), elektron akan dapat mengalir melalui terowongan 1
dan 2 jika,
(25.35)

dengan C o = C 1 = C 2 . untuk n = 1, 2, 3,… Tegangan threshold yang harus


dipenuhi agar elektron dapat mengalir

3e 5e 7e (25.36)
| Va |> , ,
2Co 2Co 2Co

perubahan arus yang dihasilkan dari perpindahan elektron adalah,


∆V e (25.37)
∆I = =
Rt1 2 Rt1Co

Gambar 25.2. Tangga Coulomb yang menunjukkan adanya efek blokade Coulomb

25.4 Single Electron Transistor (SETs)

361
Single Electron Transistor (SETs) merupakan suatu perangkat
elektronik yang berhasil dikembangkan dengan memanfaatkan fenomena efek
blokade Coulomb. Berbeda dengan transistor pada umumnya, pada SETs
hanya dengan menambahkan satu elektron ke gerbang elektroda maka sistem
akan berubah dari terisolasi menjadi terkonduksi. Sementara pada transistor
umumnya seperti MOSFET, dibutuhkan 1.000-10.000 elektron untuk merubah
keadaan dari terisolasi menjadi terkonduksi. Adanya efek blokade Coulomb
pada SETs ini memungkinkan terjadi pengaturan elektron dalam jumlah kecil
dan memberikan adanya alternative lain dalam prinsip kerja divais yang
berskala nanometer. Sementara itu dengan adanya pengurangan jumlah
elektron yang dialirkan untuk merubah keadaan dari terisolasi menjadi
terkonduksi, akan dapat mengurangi daya disipasi pada rangkaian dan
meningkatkan kinerja dari rangkaian.
Terdapat beberapa perbedaan antara rangkaian kuantum dot dengan
rangkaian SETs. Pada SETs terdapat kapasitansi tambahan dan tegangan
sumber. Kapasitansi dan sumber tegangan tambahan ini berasal dari gbang
tambahan pada rangkaian SETs. Gerbang tambahan ini memberikan hasil yang
berbeda pada perhitungan efek blokade Coulomb.
Untuk mengamati bagaimana efek blokade Coulomb terjadi pada
rangkaian SETs kita gunakan gambar 3 sebagai acuan, disitu terlihat adanya
gerbang tambahan yang terdiri atas kapasitansi tambahan dan tegangan sumber.
ro
2
1
gn
a
e
c
uIs
td
DiV
lJ
T
C
S

Gambar 25.3. Rangkaian SETs

Kita asumsikan tidak adanya kuantisasi energi pada kuantum dot


untuk mempermudah perhitungan. Kuantum dot dihubungkan oleh gerbang
kapasitansi dan gerbang tegangan. besarnya muatan di persimpangan
terowongan 1, 2 dan pada gerbang adalah

(25.38)

362
Muatan total pada kuantum dot adalah

(25.39)

Q p adalah muatan total yang terinduksi pada sistem. Dari hubungan pada
persamaan (25.38) dan (25.39), besarnya tegangan pada terowongan 1 dan 2
adalah

(25.40)

dimana,
(25.41)

C eq dapat kita aproksimasi dengan hubungan,

(25.42)

C eq dapat juga dihitung melalui pendekatan dengan persamaan,


(25.43)
Sebenarnya, hubungan pada persamaan (25.43) adalah kapasitansi dari
persamaan kapasitor bola konduktor yang memiliki jari-jari R. namun, hal ini
memungkinkan digunakan untuk mengaproksimasi persamaan kapasitansi dari
suatu kotak kuantum semikonduktor. Pada sistem berskala nanometer, bentuk
bola hamper sama dengan bentuk kotak persegi. Sehingga persamaan (25.43)
dapat digunakan dalam sistem kuantum dot semikoduktor dengan lebar a (R =
0,5a). Energy elektrostis sistem adalah,

(25.44)

sementara peristwa penerobosan melalui persimpangan terowongan 2 tersebut


menyebabkan adanya perubahan potensial pada terowongan,

(25.45)

muatan total yang dihasilkan dari penerobosan yang melalui persimpangan 2


adalah,

(25.46)
kerja yang dilakukan untuk memindahkan elektron ke persimpangan 2 adalah,

363
(25.47)

mirip dengan kasus perpindahan elektron ke teorwongan 2, kerja untuk


memindahkan elektron ke persimpangan 1 adalah,

(25.48)

Energy total sistem adalah

(25.49)

Perubahan energy yang terjadi pada persimpangan 1 dan 2 adalah,

(25.50)

Nsehingga kita dapatkan,

(25.51)

(25.52)
Transisi akan terjadi jika,
(25.53)
persamaan yang menunjukan diagram kestabilan dari SETs adalah,

(25.54)
(25.55)

(25.56)
(25.57)

Dengan menyelesaikan persamaan (25.54) sampai (25.57), kita akan


mendapatkan daerah dari efek blokade Coulomb pada SETs

364
Va

Gambar 25.4. “Coulomb Diamonds”. Daerah yang diberi arsir berwana gelap
merupakan daerah dimana elektron tidak dapat berpindah atau
tidak ada perpindahan elektron.

Jika tegangan gerbang dinaikkan dan tegangan panjar dibiarkan konstan


di bawah blokade Coulomb, V a < e/C2,yang setara dengan memotong daerah
melalui daerah yang stabil pada plot kestabilan, sejajar dengan sumbu-x maka
arus akan berosilasi dengan perioda e/C g . Osilasi ini disebut dengan osilasi
Coulomb.

Gambar 25.5. Osilasi Coulomb

25.4.1 Permasalahan dalam Teknologi Si


Konvensional
Dengan mengurangi panjang gerbang, sementara jarak source-drain
dapat menimbulkan "punch-through" antara source dan drain, maka ketika
sumber tegangan drain-V SD menjadi begitu besar menyebabkan daerah deplesi
di sekitar sumber dan drain menjadi sangat dekat. Untuk menghindari
kerusakan transistor karena "punch-through", daerah saluran (channel) antara
sumber dan drain harus dibuat lebih tinggi yaitu dengan cara mengurangi
panjang saluran. Batas minimum untuk ketebalan gerbang-bisa 1 nm. Di bawah

365
batas ini, peristiwa penerobosan ecara langsung dari pintu gerbang ke dalam
substrat menjadi terlalu besar untuk operasi transistor yang semestinya.
Selanjutnya, dengan mengurangi dimensi divaist, fluktuasi dopant dalam
saluran elektron akan menyebabkan pergeseran statistik dalam V Th tegangan
ambang. Masalah tambahan dalam ukuran MOS dalam bentuk fitur dengan
skala minimum di bawah sekitar 30 nm terletak pada peningkatan
"subthreshold current". Efek ini juga terlihat pada divais MOS dan
menyebabkan masalah dalam mengintegrasikan sejumlah besar perangkat
sementara tujuannya untuk menjaga konsumsi daya agar tetap rendah.
Saat ini, beberapa pilihan teknologi sedang diselidiki dalam rangka
untuk mengatasi masalah yang timbul dari penggunaan dimensi pada divais
skala di bawah 10 nm. Terutama, divais elektron tunggal perangkat seperti
SETs yang diyakini dapat menggantikan MOSFET pada umumnya dalam skala
nano. Namun, satu syarat utama yang harus dipenuhi untuk mengintegrasikan
perangkat-elektron tunggal ke dalam teknologi standar adalah perangkat harus
bisa bekerja pada suhu kamar, yang mengharuskan bahwa dimensi geometris
dari divais adalah sekitar 10 nm.

25.4.2 Sistem Kerja SETs


Hal yang paling utama dalam cara kerja SETs adalah bahwa muatan
bergerak melewati terowongan ke island dalam unit yang terkuantisasi. Untuk
setiap elektron yang melompat ke dalam island, maka energinya harus sama
dengan energy Coulombnya atau e2/2C. ketika gerbang dan tegangan panjar
sama dengan nol, elektron tidak mempunyai energy yang cukup untuk masuk
menempati island dan arus tidak dapat mengalir. Saat tegangan panjar antara
source dan drain dinaikan, lalu elektron akan dapat bergerak melewati
terowongan menuju island dan energy sistem dapat mencapai energy Coulomb.
Peristiwa inilah yang disebut dengan blokade Coulomb, dan tegangan kritis
yang harus dimiliki oleh sebuah elektron yang akan bergerak menuju island
adalah sebesar e/C, atau disebut dengan gap Coulomb.
Tinjau suatu rangkaian kuantum dot dengan tegangan panjar kita
pertahankan di bawah tegangan gap Coulombnya, jika tegangan gerbangnya
kita naikkan, energy awal sistem (dengan kondisi belum ada elektron yang
menempati island) dinaikkan, sementara energy dari sistem yang kelebihan
satu elektron pada island akan berkurang. Tegangan gerbang ini berhubungan
dengan titik kemiringan maksimum pada tangga Coulomb, kedua konfigurasi
ini sama dengan energy terendah pada sistem. Hal ini dapat membuat blokade
Coulomb terangkat dan memperbolehkan eketron menerobos masuk dan keluar
island.
Blokade Coulomb dinaikkan saat kapasitansi gerbang terisi dengan
setengah dari elektron. Island sangat rentan terkena pengotor yang ada di
sekitarnya. Untuk mencegah terkontaminasinya blokade Coulomb oleh muatan
atau ion-ion yang ada disekeliling insulator, yang berarti bahwa muatan di

366
dalamnya harus harus dapat terkuantisasi dalam unit e, namun elektroda logam
terhubung dengan penyedia elektron dalam jumlah yang sedikit. Muatan di
dalam gerbangkapasitor menandakan sebuah perpindahan elektron relatif
terhadap ion positif dari latarnya.
Jika kita kemudian meningkatkan tegangan gerbang sehingga gerbang
kapasitor menjadi terisi dengan dengan elektron –e, island hanya merupakan
satu konfigurasi yang stabil yang terpisah dari tingkat energy terendah dan
terpisahkan oleh energy Coulombnya. Blokade Coulomb diatur lagi, namun
island sekarang mengandung sebuah elektron tunggal berlebih.

Gambar 25.6. Hasil SEM dari Al/Ni/Al SETs

25.4.3 Kelebihan SETs


Properti yang paling menonjol dari set adalah kemungkinan untuk beralih
perangkat dari keadaan terisolasi ke keadaan terkonduksi hanya dengan
menambahkan satu elektron ke gerbang elektroda, sedangkan MOSFET biasa pada
umumnya membutuhkan sekitar 1000-10.000 elektron. Oleh karena itu, umumnya
diasumsikan bahwa perangkat elektron tunggal memiliki potensi untuk bekerja jauh
lebih cepat daripada MOSFET konvensional. Selain itu SETs mengkonsumsi daya
lebih sedikit untuk beroperasi. Masalah utama saat ini adalah bahwa transistor tidak
dapat dikemas sangat erat karena panas yang mereka hasilkan. Karena disipasi dapat
sangat ditekan dalam perangkat baru, namun mungkin perangkat ini sangat cocok
untuk dikembangkan sebagai aplikasi perangkat elektron tunggal.
Untuk mengintegrasikan SET ke IC, harus mampu bekerja pada suhu kamar.
Untuk mengamati efek blokade Coulomb, diperlukan suhu beberapa ratus mili Kelvin
untuk mempertahankan energi termal dari elektron agar tetap di bawah energi
Coulomb dari perangkat. Perangkat paling awal yang dibuat memiliki energi
Coulomb beberapa ratus microelectronvolts karena mereka dibuat menggunakan
berkas elektron-konvensional litografi, serta ukuran dan kapasitansi dari island relatif
besar. Untuk transistor SETs untuk dapat bekerja pada suhu kamar kapasitansi pulau
harus kurang dari 10-17 F dan oleh karena itu ukurannya harus lebih kecil dari 10 nm.

367
25.5 Aplikasi SETs
25.5.1 Electrometry
Salah satu penggunaan langsung SETs dalam bentuk perangkat ideal
adalah untuk electrometry dengan tingkat kepresisian yang tinggi. Dalam jenis
aplikasi ini SET memiliki dua elektroda gerbang, dan tegangan panjar yang
besarnya dibuat dekat dengan tegangan blokade Coulomb untuk meningkatkan
sensitivitas arus perubahan dalam gerbang tegangan.
Tegangan pada gerbang pertama pada awaknya dipasang pada suatu titik
dimana variasinya akan mencapai nilai maksimumnya. Dengan menambahkan
tegangan gerbang disekitar titik ini, perangkat dapat mengukur muatan dari
sebuah divais seperti pada sistem kapasitor yang terhubung dengan gerbang
elektroda kedua. Fraksi dari pemngukuran muatan ini terbagi oleh gerbang
kapasitor kedua dan variasi muatan dari 1/4e cukup untuk menrubah arus oleh
setengah maksimum arus yang dapat mengalir melalui transistor pada
tegangan blokade Coulomb. Variasi dari arus dapat lebih besar dari 10 milyar
elektron per detik, yang berarti bahwa perangkat ini dapat mencapai tingkat
sensitivitas yang jauh lebih tinggi berkali lipat dari instrument lainnya
terhadap hasil pengukuran,
Kemajuan terbaru dalam teknologi sirkuit terpadu telah menyebabkan
penurunan dalam ukuran perangkat elektronik ke dalam skala nanometer.
Metal-oksida-semikonduktor transistor efek medan (MOSFET) dengan
panjang gerbang beberapa puluh nanometer kini telah dibuat, meningkatkan
kemungkinan peningkatan besar dalam jumlah transistor pada sebuah chip.
Namun, jika ukuran fitur minimum berkurang di bawah 10 nm, efek kuantum
mekanik seperti tunneling secara signifikan mempengaruhi kinerja perangkat.
Scaling-down perangkat juga menyebabkan penurunan jumlah elektron yang
tersedia untuk operasi beralih digital. Akhirnya, hanya beberapa elektron
mungkin tersedia untuk switching dan fluktuasi statistik dalam jumlah rata-
rata elektron akan mencegah definisi dari keadaan digital yang cukup jelas.
Blokade Coulomb atau efek pengisian elektron tunggal, yang memungkinkan
untuk kontrol yang tepat terhadap sejumlah kecil elektron, menyediakan
prinsip operasi alternatif untuk perangkat dengan skala nanometer. Selain itu,
pengurangan jumlah elektron dalam peralihan transisi sangat mengurangi
disipasi rangkaian listrik, akhirnya dapat meningkatkan kemungkinan lebih
tinggi sirkuit terintegrasi.

368
Gambar 25.7. Elektrometry

25.5.2 Memori Elektron Tunggal


Sel-sel memori tunggal dapat menggunakan blokade Coulomb dalam
SET untuk menjebak sejumlah kecil elektron pada sebuah kapasitor
penyimpanan. Atau, mungkin memori analog dengan FLASH dengan node
penyimpanan dikurangi dalam skala nanometer. Dalam kasus selanjutnya efek
blokade Coulomb juga dapat terjadi tetapi tidak memegang peranan penting
untuk operasi di dalam perangkat. Dalam hal ini akan dibahas 2 jenis memori.
Konduktansi sangat rendah dalam gap Coulomb pada SETs dapat
digunakan untuk menjebak muatan pada kapasitor penyimpanan. Jenis memori
sering menggunakan MTJ (Magnetic Tunnel Junction), dimana gap
konduktansi sub-Coulomb dapat lebih rendah, hal ini dimaksudkan untuk
mengontrol muatan yang tersimpan. Operasi dari memori dapat dipahami
dengan mengacu pada Gambar. 25. 7 (a). Bila baris-kata tegangan V W rendah,
tegangan di MTJ berada dalam gap Coulomb ± V C dan MTJ tidak terkonduksi.
Dengan meningkatkan tegangan baris-kata dan tegangan Vc MTJ melebihi
muatan yang ditransfer ke kapasitor C M , dimana muatan sampai pada tegangan
V W = V M -V C . Jika V M berkurang, MTJ tegangan turun di bawah V C dan C M
tidak kosong. V M tetap konstan sampai V W dikurangi sampai tegangan MTJ
jatuh ke-V C dan kapasitor penyimpanan dapat dikosongkan.

369
Gambar 25.8. Memori Blokade Coulomb Coulomb menggunakan MTJ untuk menangkap
eletron pada penyimpanan node.

25.5.3 Logika Elektron Tunggal


Karena sebelumnya telah dikembangkan, kemungkinan digunakannya
perangkat ini untuk kepentingan sistem logika dapat diidentifikasi. SETs untuk
merubah tingkat tegangan atau diperlakukan sama seperti MOSFET untuk
merubah level tegangan atau mungkin digunakan di dalam sirkuit dimana ada
atau tidak adanya elektron didefinisikan dengan angka biner ‘1’ dan ‘0’ bit
pada titik yang spesifik di dalam sirkuit. Pertama kita mempertimbangkan SET
analog mengimolikasikan bahwa perangkat ini dapay digunakan untuk
mengganti tipe-p dan tipe-n dari MOSFET dalam rangkaian CMOS. Sifat
osilasi dari transkonduktansi dalam SET menyiratkan bahwa hal itu dapat
digunakan untuk mengganti kedua tipe-p dan tipe-n MOSFET dalam sebuah
sirkuit CMOS. MOSFET tipe-n dapat diganti dengan SETs di mana gerbang
bias pada suatu titik sebelum osilasi konduktansi dimulai. Demikian pula, SETs
bias hanya melewati puncak osilasi konduktansi yang analog dengan MOSFET
tipe-p.
Dua input gerbang NAND menggunakan SOI SETs telah dibuktikan.
Namun, sirkuit yang dibatasi oleh sedikitnya 'fan out-', margin kebisingan dan
sensitivitas 'offset charge'. Logika-elektron tunggal juga dapat menggunakan
ada atau tidak adanya sejumlah kecil elektron pada titik tertentu dalam
rangkaian untuk menentukan '1 'dan '0' bit. Berbagai sirkuit telah diusulkan
dalam teori, didasarkan pada transmisi-garis rangkaian tipe-SET atau
dihubungkan oleh island pada rangkaian SETs.

370
(a) (b)

Gambar 25.8. (a) Gambar Atomic Force Microscope antara elektroda platinum
dan ruang yang berukuran 500 nm (b) bagian putih adalah bagian yang
konduktansinya bernilai nol dari sebuah nanotube. Bagian yang berwarna putih
berbentuk diamond adalah diamond Coulomb.

25.5.4 SETs Carbon Nanotubes


Carbon nanotubes adalah molekul-molekul yang terdiri atas carbos
secara khusus yang mempunyai bentuk silinder dengan diameter hanya
beberapa nanometer. Dan panjangnya hanya beberapa micron. Tabung dapat
berasal dari semikonduktor atau logam, konduktivitas bergantung pada
diameternya dan struktur molekulnya. Diode, FET, dan transistor elektron
tunggal sudah dapat dibuat dari carbon nanotubes.
Sebuah transistor elektron tunggal telah dibuat dengan menempatkan
logam nanotube antara dua elektroda logam. Dalam hal ini, nanotube adalah
island pada SETs dan kontak resistensi pada elektroda sebagai bentuk dari
persimpangan terowongan transistor. Ini semacam SETs harus diukur pada
suhu rendah karena pengisian energi lebih kecil dari fluktuasi termal pada suhu
kamar. Suhu kamar dalam pengoperasian SET nanotube telah dicapai dengan
membuat dua gesper dalam logam nanotub. Gesper tabung memiliki banyak
cara yang sama dengan sedotan ketika dibengkokkan terlalu jauh. Gesper
bertindak sebagai terowongan hambatan untuk mengangkut elektron dan
bagian dari nanotube antara dua gesper sebagaiisland dari transistor elektron
tunggal. Kapasitansi total akan dicapai dalam kasus ini adalah sekitar 1 aF.

25.5.5 Nanowires
Kawat nano semikonduktor kimia disintesis sebagai blok bangunan
untuk pendekatan bottom-up untuk pembuatan perangkat nano dan sensor.
Kunci propertis dari sistem ini adalah fleksibilitas materi yang unik dalam hal
dimensi geometris dan komposisi. Nanowires telah dikembangkan dari

371
beberapa bahan semikonduktor termasuk struktur dengan variabel doping dan
komposisinya. Kawat nano telah digunakan untuk membuat transistor elektron
tunggal pada suhu rendah.
Gambar di bawah ini merupakan transistor dari nanowires InP dengan
ukuran panjang yang berbeda. Keduanya menunjukkan adanya bentuk puncak
yang berhubungan dengan osilasi blokade Coulomb. Hal ini sangat jelas
menunjukkan adanya pengaturan elektron tungaal terhadap muatan listrik dan
propertis transport pada nanowire. Puncak Coulomb mempunyai ukuran
distribusi yang tidak biasa, dan V g bervariasi. Penafsiran ini didukung oleh
pengukuran yang ditunjukkan pada gambar, dimana konduktansi diferensial dI
/ dVsd perangkat C diplot pada skala abu-abu sebagai fungsi dari (Vg, VSD).
Dalam plot ini, blokade Coulomb terjadi di dalam daerah gelap dengan bentuk
berlian karakteristik. Dalam beberapa kasus, seperti untuk Vg antara -40 dan -
90 mV, berlian Coulomb jelas terpisah satu sama lain dan memiliki semua tepi
yang sepenuhnya dapat didefinisikan. Ini adalah karakteristik dari perpindahan
Coulomb-terblokade melalui sebuah pulau elektronik tunggal. Di daerah
lainnya-Vg, bagaimanapun, berlian tumpang tindih satu sama lain, seperti yang
kita harapkan untuk sebuah nanowire mengandung lebih dari satu
(kemungkinan besar dua) pulau. Berbagai aplikasi kawat nano pada suhu
kamar bahkan mulai dikenal seperti single-nanowire transistor efek medan
(FETs), dioda, dan gerbang logika menggabungkan kedua tipe-n dan tipe-p
kawat nano. Baru-baru ini, nanowire heterostruktur telah beroperasi sebagai
dioda terowongan resonansi pada 4.2K.

Gambar 25.9. Skala abu-abu merupakan plot diferensial konduktansi dI / dVsd


terhadap (Vg, VSD). dI / dVsd meningkat dari gelap ke abu-abu. Pengukuran
mengacu pada perangkat dengan panjang nanowire sama dengan .65 pM, dan diambil
di 0,35 K dengan teknik terkunci pada eksitasi bias AC dari 20 mV. Inset: hasil
pemindaian mikrograf elektron dari perangkat C.

372
GAmbar 25.10. Konduktansi G terhadap tegangan back-gate Vg diukur pada at 0.35 K
dengan panjar DC V 520 mV. Kedua traces mengacu pada perangkat dengan panjang
sd
yang berbeda.

.
25.6 Kesimpulan
Dengan semua sifat-sifat menarik dari perangkat elektron tunggal, laju
perkembangnan teknologi yang berbasis pada efek blokade Coulomb dapat
dilanjutkan. Belum jelas apakah berbasis elektronik pada molekul individu dan
elektron tunggal efek akan menggantikan sirkuit konvensional didasarkan pada
penurunan skala ukuran versi transistor efek medan. Namun jika kita lihat
beberapa perkembangan teknologi berskala nano akhir-akhir ini apat kita
simpulkan jika laju miniaturisasi terus berlanjut, sifat kuantum dari elektron
akan menjadi penting dalam menentukan desain perangkat elektronik sebelum
akhir dekade berikutnya.

373
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Mikrajudin. 2009. Pengantar Nanosains. Bandung: ITB.

L. J. Geerligs, V. F. Anderegg, C. A. van der Jeugd, J. Romijn, dan J. E. Mooij,


Europhysics Letters, 10(1):79-85, September 1989.

T. A. Fulton and G. J. Dolan, Physical Review Letters, 59(1):109-112, Juli 1987.

L Zhuang, L Guo and S Y Chou 1998 Silicon single-electron quantum-dot transistor


switch operating at room temperature Appl. Phys. Lett. 72 1205

Z.A.K. Durrani, A.C. Irvine, H. Ahmed, K. Nakazato, Appl.Phys. Lett. 74 (1999)


1293.

Christoph Wasshuber , About Single-Electron Devices and Circuits, Technischen


Universität Wien, PhD Dissertation, Januari 1997

S. De Franceschia and J. A. van Dam, E. P. A. M. Bakkers and L. F. Feiner, L.


Gurevich and L. P. Kouwenhoven, Applied physics letters, volume 83, number 2 14 july
2003, DOI: 10.1063/1.1590426

Hiroshi Mizuta, Heinz-Olaf M¨ uller, Kazuhito Tsukagoshi,David Williams1,


Zahid Durrani, Andrew Irvine, Gareth Evans, Shuhei Amakawa, Kazuo Nakazato and
Haroon Ahmed., IOPScience. Nanoscale Coulomb blockade memory and logic devices.
2001 Nanotechnology 12 155

D.V. Averin and K.K Likharev Mesoscopic Phenomena in Solids, edited by B.L.
Altshuler, P.A. Lee, and R.A. Webb (Elsevier, Amsterdam, 1991)

374
Bab 26
Graphene
Oleh: Anton Prasetyo

Material berbahan karbon telah sejak lama dikenal dan digunakan oleh
manusia semisal arang, grafit, minyak bumi ataupun intan. Penemuan
penemuan material jenis baru dengan bahan baku karbon ini secara langsung
maupun tidak, telah mempengaruhi peradaban manusia. Sebagai contoh
bagaimana penemuan polimer berbahan dasar karbon telah mampu menggeser
penggunaan logam ataupun keramik pada abad 18-an hingga kini sehingga kita
saksikan banyak sekali alat alat yang dulu menggunakan logam sekarang
menggunakan bahan polimer. Selain itu karbon juga dikenal sebagai unsur
yang menyusun sebagian besar dari makhluk hidup dan juga keberadaannya
juga sangat melimpah. Oleh karenanya penelitian penelitian tentang material
berbahan dasar karbon menjadi sangat marak, baik di masa lampau, masa kini
maupun di masa yang akan datang.
Unsur karbon dikenal sebagai unsur yang memiliki sifat sifat yang
istimewa diantaranya adalah karbon dapat membentuk alotrop (unsur penyusun
sama tapi mempunyai bentuk geometri yang berbeda sehingga sifatnya juga
berbeda). Hal ini karena kemampuan karbon untuk berhibridisasi sp, sp2 dan
sp3 [1]. Bentuk bentuk alotrop dari karbon yang sudah dikenal luas diantaranya
adalah karbon amorf, grafit dan intan, di mana keduanya mempunyai unsur
penyusun yang sama tetapi mempunyai sifat yang berbeda yaitu intan
mempunyai tingkat kekerasan yang sangat tinggi dibandingkan dengan grafit.
Hal ini karena unsur unsur penyusun dari intan lebih padat dibandingkan
dengan grafit. Alotrop alotrop lainnya yang ditemukan adalah fullerene, karbon
nano tube (CNT) dan pada tahun 2004 ditemukan alotrop baru yaitu graphene.
Alotrop alotrop yang ditemukan akhir akhir ini dikenal sebagai material maju
yang berpeluang sebagai material masa depan [1].
Fullerene dikenal sebagai alotrop karbon yang tersusun atas atom
karbon dengan jumlah 60 atau 70 dan berbentuk kulit bola sepak [1,2]. Material
ini pertama kali ditemukan pada tahun 1985 di Universitas Rice, Houston oleh
Richard Smalley, Robert Curl dan Henry Kroto yang atas penemuannya maka
pada tahun 1996 dianugerahi hadiah nobel. Alotrop lainnya adalah Carbon
Nano Tube (CNT) yang ditemukan pada tahun 1991. Carbon Nano Tube adalah
sebuah material yang tersusun atas carbon yang membentuk tabung panjang,
sehingga CNT juga dapat dianggap sebagai fullerene yang diperpanjang [1].
Dan pada tahun 2004 peneliti dari Universitas Manchester yaitu Andrei Geim
dan Konstantin Novoselov menemukan bentuk alotrop karbon lainnya yaitu

375
graphene, suatu bentuk alotrop carbon 2 dimensi yang diketahui mempunyai
peluang aplikasi yang luas karena keunggulan sifat sifat dari material tersebut
dan atas penemuannya tersebut maka pada tahun 2010, dua orang tersebut
dianugerahi hadiah nobel dengan tema “for groundbreaking experiments
regarding the two-dimensional material graphene”.

(a) (b)

(c)

Gambar 26.1 Beberapa struktur alotrop karbon : (a) Intan [3], (b)
Fullerene [4], (c) Carbon Nanotube [5]

26.1 Pendahuluan
Graphene adalah material karbon dalam bentuk monolayer datar atom
dalam bentuk 2 dimensi (2D) seperti sarang lebah dan bentuk ini adalah bentuk
dasar/bentuk asal usul (mother) dari semua bentuk alotrop grafit lainnya[6].
Kata Graphene sendiri berasal dari kombinasi dari kata grafit dan akhiran-ena
oleh Hanns-Peter Boehm, yang menggambarkan dan menamakan material
single-layer foil karbon dan dikemukakan pada tahun 1962. [7]. Akhir akhir ini
material ini menjadi material yang menarik sekali karena dari berbagai
penelitian baik secara teori maupun teoritis dan mempunyai peluang digunakan

376
sebagai material maju. Di bawah ini gambar struktur dari graphene dan gambar
yang menjelaskan bahwa graphene merupakan cikal dasar dari berbagai bentuk
alotrop material karbon lainnya :

Gambar. 26.2 Struktur Material Graphene [8]

Gambar 26.3 Graphene Sebagai Material Penyusun Bentuk Alotrop


Karbon Lainnya [6]

Jenis ikatan yang terdapat pada graphene adalah jenis ikatan dengan
hibridisasi sp2 seperti jenis ikatan yang dimiliki oleh benzene, dengan panjang
ikatan diperkirakan 0,142 nm [8]. Pada gambar (26.3) : (a) menggambarkan
bagaimana graphene apabila digulung menjadi sebuah bola maka akan menjadi
material fullerene; (b) apabila graphene digulung menjadi semacan tube maka
menjadi material carbon nanotube (CNT); (c) dan apabila graphene disusun
menjadi berlapis lapis maka akan membentuk material graphite.

377
Graphene pertama kali berhasil disintesis oleh Andrei Gim dan
Konstantin Novoselov pada tahun 2004 di Universitas Manchester, Inggris, dan
keberhasilan mensintesis senyawa grapahene yang merupakan senyawa 2
dimensi telah mematahkan asumsi yang berlaku dan bertahan sejak puluhan
tahun lalu di mana Landau dan Pierl menyatakan bahwa kristal 2 dimensi tidak
stabil secara termodinamika dan tidak mungkin ada dan argumen ini diperkuat
oleh Mermin (1969) melalui eksperimental yang hasilnya menyatakan bahwa
semakin tipis lapis dari sebuah kristal maka temperatur lelehnya akan semakin
turun dan lapis tipis tersebut menjadi tidak stabil (mudah mengalami
dekomposisi)[6]. Asumsi ini dipatahkan dengan ditemukan material 2 dimensi
yaitu graphene dan penemuan ini tidak berhenti sampai pada keberhasilan
sintesis dari material tersebut, karena diketahui bahwa material tersebut
mempunyai sifat sifat yang istimewa. Dan dengan penemuan tersebut maka
dengan segeralah penelitian penelitian tentang sifat sifat graphene baik secara
teoritis maupun eksperimental dilakukan secara massif oleh peneliti. Scopus
mencatat dari tahun 2005 sampai dengan awal desember 2011 tidak kurang dari
14.000 penelitian tentang graphene atau ada lebih dari 2500 penelitian tentang
graphene pertahunnya. Jumlah ini adalah jumlah yang sangat besar untuk satu
topik penelitian.

Gambar. 26.4. Penemu Material Graphene : Andrei Geim dan


Konstantin Novoselov [9]

Sifat sifat graphene yang istimewa dapat dijelaskan secara singkat


bahwa energi elektron graphene adalah linear yang tergantung pada vektor
gelombang di daerah dekat titik persimpangan zona Brillouin. Pembawa
muatan meniru/perilakunya seperti partikel yang dapat diterangkan secara
memuaskan dengan persamaan Dirac daripada menggunakan persamaan
Schroedinger. Di samping itu graphene, menunjukkan sifat yang luar biasa
pada sifat elektronik; sifat optik; sifat magnetik; sifat termal; dan sifat

378
mekanik. Di mana graphene memnpunyai nilai Young modulus yang tinggi
yaitu: 1100 Gpa dengan kekuatan frakturnya 125 Gpa; sifat konduktivitas
termalnya : 5000Wm-1K-1; mobilitas pembawa muatannya: 200000 cm2.V-1.s-1;
mempunyai luas permukaan spesifik 2630 m2.g-1; mempunyai stabilitas kimia
yang tinggi; mempunyai sifat transmitansi optik tinggi; mempunyai efek
kuantum Hall pada suhu kamar dan juga a tuneable band gap, bipolar
supercurrent, chiral tunneling of relativistic particles, Absence of Anderson
Location[10,11]. Sifat sifat unik dari graphene akan diterangkan lebih detail
pada pembahasan sifat graphene.
Sifat sifat graphene yang istimewa telah membuka peluang pemanfaatan
graphene dalam berbagai bidang yang diantaranya : dalam bidang elektronika
graphene dapat digunakan sebagai field effect transistor (FET), sensor dan
superkapasitor, electrode tranparant, sebagai pengganti ITO (Indium Tin
Oksida) dan lain lain [10,11]. Contoh contoh aplikasi dari graphene juga akan
dijelaskan dalam sub bab tersendiri.

26.2 Sintesis Graphene


Sintesis graphene pertama kali dilakukan oleh Andrei Gim dan
Konstantin Novoselov pada tahun 2004 dengan menggunakan metode
micromechanical cleavage from graphit (penggelupasan lapisan graphit) [11].
Dan dengan berkembanganya penelitian tentang sintesis maka para ahli
mencoba beberapa metode untuk menghasilkan material graphit, yang
diantaranya : epitaxial on silicon carbide, CVD, cara reaksi kimia dan lain lain.
Dalam topic ini akan dibahas beberapa metode sintesis graphene.

a. Micromechanical Cleavage From Highly Ordered Pyrolyitc


Graphite (HOPG)
Metode ini merupakan metode yang pertama kali berhasil menemukan
material graphene, yang dilakukan oleh Andrei Gim dan Konstantin Novoselov
pada tahun 2004. Secara sederhana metode ini dapat diterangkan sebagai
berikut : pengelupasan sebuah lapisan dari kristal Highly Ordered Pyroliytic
Graphite (HOPG)[11,12]. HOPG sendiri adalah kristal grafit yang mempunyai
keteraturan yang sangat tinggi, yang susunan kristalnya dapat digambarkan
seperti di bawah ini :

379
Gambar. 26.5. Struktur Kristal Highly Ordered Pyroliytic Graphite
(HOPG) [13]

Pengelupasan dilakukan dengan menggunakan scotch tape dan kemudian


ditransfer ke substrat silikon. Pengelupasan ini tergantung pada teknik scotch
tape untuk memutuskan ikatan van der walls pada ikatan antar lapis grafit [11] .
Secara sederhana metode ini dilakukan dengan pengelupasan lapisan grafit
dengan scoth tape secara berulang ulang, yang pada akhirnya akan didapatkan
lapisan tipis dari grafit (yang apabila monolayer maka disebut graphene), yang
selanjutnya lapis tipis tersebut ditransfer pada lapis silikon . Metode ini cocok
untuk digunakan pada penelitian penelitian dasar tentang graphene tetapi tidak
cocok untuk memproduksi graphene dalam skala industri[11].

b. Epitaxial Growth on Silicon Carbide (SiC)


Pada metode ini menggunakan bahan kristal silika karbida (SiC).
Substrat kristal tunggal SiC substrat atau butiran polikristalin SiC komersial
dipanaskan di vakum pada suhu tinggi pada kisaran 1200-1600 ° C. Dasar dari
teknik ini adalah perbedaan laju sublimasi dari silikon dan grafit, di mana
silikon lebih mudah mengalami sublimasi, sehingga silikon akan tersublimasi
dan karbon akan akan tertinggal di permukaan, yang selanjutnya akan
mengalami penataan ulang dan membentuk graphene, dan teknik ini cocok
untuk mendapatkan graphene dengan area yang lebih luas. [10,14].

c. Chemical Vapour Deposition (CVD)


Metode CVD adalah salah satu teknik deposisi, yang saat ini dipandang
sebagai teknik yang cocok untuk membuat graphene dalam skala yang luas
karena kesederhanaan metode dan murah. Sehingga dengan teknik ini
membuka peluang untuk memproduksi graphene dalam skala yang lebih luas.
Dalam teknik ini terjadi dekomposisi hidrokarbon seperti metana, etilena,
asetilena dan benzene pada lapis logam semisal Ni, Cu, Co atau Ru. Proses ini
terjadi pada suhu tinggi yaitu sekitar 800 oC – 1000 oC yang akan menjadi lapis
graphene.[10,11,12,15].
Logam logam semisal Ni, Cu, Co atau Ru dalam proses ini berfungsi
sebagai katalis. Dan salah satu isu besar dalam dalam penggunaan katalis

380
tersebut adalah memerlukan suhu tinggi yaitu 900 oC – 1000 oC dalam proses
reaksinya. Hal ini karena sintesis pada suhu yang lebih rendah diperlukan
untuk berbagai aplikasi elektronik [16]. Oleh karenanya salah satu arah dari
penelitian tentang graphene ini adalah mengganti katalis tersebut dengan
katalis logam lain yang mempunyai temperatur proses yang lebih rendah. Salah
satunya seperti yang dilakukan Hyosub An, et all (2011) yang menggunakan
katalis Fe dalam menumbuhkan graphene [16].
Berikut ini adalah metode yang digunakan Hyosub An tatkala
mensintesis graphene dengan metode CVD dengan katalis Fe : Fe foil (tebal
100 mm-tebal kemurnian, 99,5%) sebagai substrat pertumbuhan. Sampel
dengan berbagai ukuran mulai dari 1 1 cm sampai 3 3 cm disiapkan. Sampel
dibersihkan secara ultrasonik dalam aseton, metanol dan air deionisasi. Sampel
kemudian ditaruh dalam ruang CVD. Ruang tersebut diberi tekanan antara 1-3
mTorr. Kemudian hidrogen (kemurnian 99,999%0 diencerkan dalam Ar
(kemurnian 99,999%) diinjeksikan ke dalam reaktor untuk mencegah oksidasi
Fe. Dalam percobaan ini, sampel dipanaskan dengan kecepatan 1 C / s. Sampel
sebelumnya dipanaskan pada 600 - 800 C dalam gas Ar dan H2. Kemudian C 2
H 2 (dengan kemurnian 99,96% ) dialirkan. Tekanan pada proses penumbuhan
adalah 350 - 450 mTorr. Dia memvariasikan waktu pertumbuhan dalam
rentang waktu 5 - 30 menit dan laju alir C 2 H 2 dalam rentang 5 - 50 sccm. Ini
dilakukan untuk mengetahui karakteristik lapisan graphene dalam kondisi
sintesis berbeda. Karakterisasi graphene yang diperoleh dengan menggunakan
mikroskop optik, scanning electron microscopy (SEM), mikroskop elektron
transmisi (TEM), dan spektroskopi Raman.
Penelitian penelitian tentang pengembangan teknik CVD ini sekarang
ini banyak dilakukan karena teknik ini menjanjikan sebuah teknik yang murah
dan dapat diterapkan dalam skala industri.

d. Pemanasan Nanointan (Nanodiamond)


Seperti kita ketahui bahwa intan adalah salah satu bentuk dari alotrop
lainnya selain, graphene atau grafit, sehingga mempunyai peluang untuk
digunakan sebagai bahan baku dari grafit. Cara kerja dari metode ini adalah
dengan cara pemanasan nanointan pada pada suasana inert atau atmosfer
tereduksi. Pemanasan material nanointan menggunakan suhu tinggi yang
diantaranya pernah mencoba pada rentang suhu 1650 oC sampai dengan 2200
o
C [12].

e. Metode Solvotermal
Metode solvotermal adalah salah satu metode yang biasanya digunakan
untuk mensintesis metal, semi konduktor, keramik ataupun polimer. Dalam
proses ini biasanya melibatkan pelarut tertentun dan dalam kondisi dan tekanan
tertentu (biasanya pada kondisi 1 Atm hingga 10.000 Atm) dan juga pada
temperature tertentu pula, yang biasanya pada temperature 100 oC hingga 1000
o
C [17].

381
Li Q, et al (2011) telah berhasil mensintensis graphene nanosheet (GS)
dengan metode solvotermal ini, yang prosedur kerjanya secara singkat adalah
sebagai berikut : Campuran homogen C 4 Cl 6 sebanyak 3 ml dan PEG-600
(polietylen glikol) sebanyak 10 ml dipindahkan ke dalam autoclave stainless
steel yang mempunyai kapasitas 20 mL dan juga ditambahkan 6 g Na.
Kemudian autoclave ditutup, dengan temperatur perlakuan pada 300 °C selama
10 jam, kemudian didinginkan dengan cara biasa (dibiarkan) sampai suhu
kamar. Kemudian produk dicuci dengan etanol, asam klorida, air distilasi.
Kemudian produk tersebut dikeringkan dalam vakum pada suhu 60 °C selama
10 jam. Selanjutnya 0,01 g produk dilarutkan ke dalam 100 mL etanol dan
dilakukan ultrasonifikasi (diberikan gelombang ultrasonic) selama 90 menit
kemudian disentrifugasi selama 5 menit pada 2000 rpm. Sampel supernatan
dalam etanol dibawa keluar untuk karakterisasi yang diharapkan bahwa sampel
tersebut adalah graphene nanosheet (GS) yang dihasilkan [18].

Disamping metode di atas masih ada beberapa metode lagi yang


dikembangkan oleh banyak peneliti, misalnya : Metode pengelupasan pada
suhu tinggi pada graphene oksida dan metode evaporasi grafit dengan
kehadiran gas hydrogen atau plasma enhanced vapour chemical deposition
(PEVCD) [12]. Dan masih ada metode lainnya, yang semuanya bertujuan untuk
mendapatkan material graphene dengan kualitas yang baik, mudah untuk
mendapatkan dalam skala yang masal dan juga dengan biaya murah, sehingga
memungkinkan graphene dapat diterapkan dalam banyak bidang kehidupan.

26.3 Sifat Sifat Graphene


Berdasarkan kajian baik secara eksperimental maupun teoritis, ternyata
graphene mempunyai sifat sifat yang istimewa, sehingga material ini
mempunyai peluang yang sangat besar sebagai material masa depan.
Perbandingan beberapa sifat dari beberapa alotrop material karbon dapat dilihat
sebagaimana tabel di bawah ini.

Tabel. 26.1 Perbandingan Sifat Beberapa Alotrop Material Karbon [15]


Dimensi 0-D 1-D 2-D 3-D
Alotrop Fullerene CNT Graphene Intan
Hibridisasi SP2 SP2 SP2 SP3
Densitas 1.72 1.2 – 2.0 2.26 3.515
Panjang 1.4 (C=C) 1.44 (C=C) 1.42 (C=C) 1.54 (C-C)
Ikatan 1.46 (C-C)
Sifat Semikonduktor Metal/Semikon Zerogap Insulator
Elektronik E = 1.9 eV duktor Semikondukto
g
E g = 0.3 – 1.1 r

382
eV

Dari tabel di atas, kita dapat membandingkan sifat sifat dari berbagai macam
alotrop material karbon, dan yang menarik adalah sifat elektronik dari graphene
yang zero gap energy. Beberapa sifat dan keunggulan dari graphene akan
dibahas di bawah ini;

a. Sifat Elektronik Graphene


Susunan atom graphene merupakan susunan heksagonal dua dimensi
dari atom karbon dengan hubungan dispersi kuasi-linier, yang mempunyai
massa pembawa efektif yang sangat rendah. Oleh karenanya, graphene
memiliki mobilitas electron diprediksi pada suhu kamar pada tingkatan 10 6
cm2 /Vs dan secara eksperimental dapat diketahui bahwa mobilitas elektronnya
adalah 15.000 cm2/Vs. Mobilitas elektron yang tinggi dari material ini
membuka kemungkinan sebagai ballistic transport pada skala submikron [15].
Sifat graphene di atas dapat dijelaskan energi elektron graphene adalah linear
yang tergantung pada vektor gelombang di daerah dekat titik persimpangan
zona Brillouin . Pada pojok-pojok zona Brillouin pertama, energi elektron pada
pita konduksi tepat bertemu dengan pita valensi membentuk kerucut. Pada
tempat ini, yang dinamakan titik Dirac, nilai energi berbanding lurus dengan
momentum, sehingga massa efektif elektron adalah nol. Dengan masa efektif
yang nol maka graphene mempunyai mobilitas yang tinggi. Sedangkan dari
hasil pengukuran nilai konduktivitas dan mobilitas pembawa muatan dari
graphene didapatkan nilai di bawah nilai teoretis. Hal ini disebabkan karena
dalam eksperimen, graphene diletakkan atau ditumbuhkan pada suatu substrat.
Keberadaan substrat menambah fonon yang bisamenghamburkan elektron
graphene sehingga mobilitasnya berkurang [16].
Elektron graphene berperilaku seperti partikel tak bermassa relativistik,
dan sifat inilah yang akan berpengaruh pada sebagian besar sifat elektronik.
Salah satu konsekuensi dari sifat ini adalah seperti relasi dispersi padai half
integer quantum Hall Effect dan tidak adanya lokalisasi elektron akan sangat
penting dalam pemanfaatan sebagai field effect transistor (FET). Di samping
itu pengukuran resistivitas listrik vs tegangan gate menunjukkan perilaku
ambipolar intrinsik dari graphene [15].
Di samping itu graphene mempunyai sifat elektronik dan konduktivitas
termal yang superior mengakibatkan material ini mempunyai peluang
digunakan sebagai bahan baku material elektronik masa depan.

b. Sifat Mekanik Graphene


Graphene mempunyai kekuatan mekanik yang luar biasa di mana
diprediksi graphene memnpunyai nilai modulus Young yang tinggi yaitu: 1100
GPa dengan kekuatan frakturnya 125 Gpa [8]. Nilai parameter ini adalah kuat

383
sekali. Apabila kita bandingkan dengan sutera yang merupakan polimer terkuat
yang mempunyai modulus young sebesar 22.000 MPa, maka nilai graphene
masih jauh di atas kekuatan dari sutera. Atau kita bandingkan dengan logam
titanium yang mempunyai kekuatan tarik sebesar 330 MPa (setelah lewat ini
maka akan patah), atau kita bandingkan dengan kekuatan alotrop karbon
lainnya misalkan intan (yang dikenal sebagai material terkeras sehingga banyak
digunakan sebagai mata bor) ataupun karbon nanotube (CNT) maka kekuatan
graphene jauh di atasnya, sehingga graphene merupakan material terkuat yang
pernah ada saat ini. Dengan potensi ini maka graphene juga berpeluang
dimanfaatkan sebagai material structural (pemanfaatan kekuatan mekaniknya).

c. Sifat Optik Graphene


Sifat intrinsik lainnya yang dimiliki oleh graphene adalah mempunya
transparansi tinggi. Satu lapis dari graphene menyerap hanya 2,3% dari cahaya
yang masuk. Kombinasi berbagai sifat misalnya nilai konduktivitas tinggi, sifat
elektronik yang unik dan penyerapan cahaya rendah membuat bahan ini
sebagaicalon yang ideal bahan film konduktif transparan. Sehingga hal ini
sangat menarik perhatian dari peneliti untuk menggunakan sifat unik graphene
untuk aplikasi teknologi di luar aplikasi FET graphene. Dan karena sifat
tersebut maka graphene juga berpeluang sebagai material pengganti Indium Tin
Oksida (ITO) [15]. Dan dalam bahasan aplikasi dari graphene akan dibahas
berbagai aplikasi yang telah atau sedang dikembangkan tentang pemanfaatan
graphene sebagai material konduktif transparan.

d. Sifat Permukaan Graphene


Luas permukaan dari graphene diprediksi sekitar 2600 m2/g, sedangkan
dari pengukuran dengan metode BET didapatkan hasil bahwa material
graphene mempunyai luas permukaan spesifik pada rentang 270 – 1550 m2/g.
Dan dengan luas permukaan yang besar dan juga bentuk dua dimensi maka
graphene mempunyai kemampuan menyerap yang sangat baik, sehingga
berpeluang digunakan sebagai material penyimpan, misalnya hydrogen ataupun
sebagai material sensor [12].

e. Sifat Magnet Graphene


Penelitian tentang sifat magnet dari partikel nanographite telah menarik
banyak peneliti. Enoki dkk, menyatakan bahwa kondisi tepi lapis material
graphene material yang mengalami peristiwa adsorpsi atau interkalasi
memainkan peran penting dalam menentukan sifat-sifat magnetik dari partikel-
partikel nanographite. Sifat magnetik dari graphene yang disiapkan dengan
metode exfoliation of graphite oxide (pengelupasan oksida grafit), konversi
nanointan, penguapan reduksi kimia grafit telah dipelajari oleh banyak pihak
dan seluruh sampel menunjukkan sifat histerisis magnet pada temperatur ruang

384
Sifat magnetik dari graphene yang telah diteliti menunjukkan bahwa interaksi
feromagnetik yang juga diiringi dengan interaksi antiferromagnetik di semua
graphene uji yang fenomenanya mirip dengan kondisi frustrated or phase-
separated systems [12].
Di samping sifat sifat di atas masih ada lagi beberapa sifat unik dari
graphene, misalnya kestabilan terhadap termal ataupun mempunyai kestabilan
kimia yang baik, sehingga tidak lama lagi kita akan memasuki era material
graphene.

26.4 Karakterisasi Graphene


Langkah berikutnya setelah kegiatan sintesis material adalah proses
karakterisasi yang pada tahap ini bertujuan untuk mengetahui apakah material
yang disintesis sudah sesuai dengan tujuan, dan juga mengetahui sifat sifat dari
material yang dihasilkan, baik sifat kimia maupun sifat fisika. Beberapa teknik
yang biasa digunakan dalam karakterisasi graphene diantaranya adalah SEM,
AFM, STM dan Spektroskopi Raman. Prinsip kerja dari beberapa teknik
karakterisasi telah diterangkan dalam bab lain dari diktat ini, sehingga
penjelasan tentang teknik ini hanya secara singkat saja kecuali akan
diterangkan lebih detil tentang teknik Spektroskopi Raman.Tentang teknik
karakterisasi tersebut kan diterangkan di bawah ini.

a. Scanning Electron Microscopy (SEM)


Karakterisasi menggunakan SEM bertujuan untuk mengetahui morfologi
permukaan dari graphene yang dihasilkan. Contoh hasil analisa permukaan
graphene hasil sintesis dengan metode CVD yang dikatalisi logam FE adalah
seperti di bawah ini :

Gambar. 26.6 Hasil Karakterisasi SEM Pada Material Graphene Yang


Dihasilkan [17]

385
Dari hasil karakterisasi SEM didapatkan morfologi permukaan dari
graphene yang menyerupai serpihan serpihan besar. Dan kemampuan SEM
yang hanya dapat menyediakan data tersebut menyebabkan SEM jarang
digunakan pada karakterisasi yang menginginkan gambar objek yang lebih
detail.

b. Atomic Force Microscopy (AFM)


Karakterisasi dengan metode AFM merupakan salah satu teknik yang
efektif dalam mengkarakterisasi morfologi permukaan dari graphene.
Ketebalan dari graphene yang sangat tipis dapat dengan mudah dikarakterisasi
dengan metode ini dan juga dengan metode AFM dapat juga menduga berapa
lapis dari material graphene. Di bawah ini contoh dari karakterisasi graphene
dengan AFM.

(a) (b)

Gambar 26.7. (a). Gambar AFM Graphene Pada Substrat SiO 2 /Si (b).
Tebal Graphene Hasil Pengukuran Pada Gambar a
[11]

Dengan AFM maka kita akan dapat mengetahui tebal dari graphene
yang dihasilkan, sebagaimana gambar 26.7 (b) yang merupakan perhitungan
tebal graphene yang didasarkan pada gambar AFM yang didapatkan. Dengan
AFM kita juga bisa mendapatkan gambar tiga dimensi seperti pada gambar
dibawah ini:

386
Gambar 26.8 Gambar AFM Graphene 3 Dimensi [19]

Dengan gambar tiga dimensi maka kita dapat menghitung tebal dari
graphene yang dihasilkan pada sumbu x, y dan z.

c. Transmission Electron Microscopy (TEM)


Kemampuan TEM yang mampu memotret objek objek pada ukuaran
nano telah membuat metode ini sangat diperlukan dalam penelitian penelitian
sintesis material nano tidak terkecuali material graphene. Dalam penelitian
graphene TEM tidak hanya sifat morfologi permukaan saja yang didapat tetapi
juga mampu menghitung jumlah lapis dari graphene yang dihasilkan, Hal ini
didasarkan bahwa tepi lapis/film graphene dalam keadaan terlipat, sehingga
memungkinkan melihat penampang tepi lapis/film. Observasi tepi inilah yang
memungkinkan bisa menghitung jumlah lapis dari graphene [11]. Gambar di
bawah ini, TEM mampu memperlihatkan jumlah lapis graphene yang
diperoleh.

387
Gambar 26.9 Gambar High Magnification TEM Dari Graphene [11]

Dari gambar TEM di atas dapat diketahui beberapa lapis dari graphene yang
dihasilkan. Pada gambar sebelah kiri dapat diketahui bahwa graphene yang
terbentuk adalah lima lapis, sedangkan pada sebelah kanan adalah dua lapis
dengan ketebalan sekitar 0.34 nm. Kelebihan dari TEM dibandingkan dengan
metode mikroskop lainnya adalah kemampuan melihat objek sampai pada
ukuran nano, sehingga TEM banyak digunakan untuk karakterisasi material
nano yang dihasilkan. Sedangkan pada gambar 26.10, TEM mampu mengukur
ketipisan dari material yang dihasilkan, di mana pada gambar sebelah kiri
didapatkan ketipisan sekitar 15 nm dan gambar sebelah kanan adalah 29 nm.

(a) (b)

Gambar 26.10 Gambar TEM Lapisan Material Graphene. [17]

Di samping itu dengan TEM kita juga bisa melihat struktur Kristal
graphene secara jelas, sebagaimana pada gambar di bawah ini:

388
Gambar 26.11. Struktur Graphene Dari Analisis TEM [20]

Dari hasil analisis tersebut maka TEM mempunyai kemampuan untuk


menghitung berapa lapis dari graphene dan juga mampu menggambarkan
bentuk Kristal dari graphene seperti pada Gambar 26.11 di mana bentuk
molekul dari graphena adalah heksagonal, oleh karenanya dalam publikasi
publikasi ilmiah yang terkait dengan sintesis graphene, teknik ini hampir selalu
ada untuk mengkarakterisasi dari material yang dihasilkan, di samping teknik
teknik yang lain.

d. Scanning Tunneling Microscopy (STM)


Di samping TEM, teknik ini juga menjanjikan hasil morfologi yang
bagus untuk mengkarakterisasi dari graphene yang diperoleh dari sintesi.
Kemampuan STM dalam menggambarkan permukaan graphene dapat dilihat
seperti pada gambar di bawah ini :

389
Gambar 26.12 Gambar Graphene Dari STM Beresolusi Tinggi [12]

Dari gambar diatas dapat dilihat dengan jelas bagaimana struktur Kristal
graphene yang diperoleh yaitu bentuk heksagonal. Gambar lain dari pemotretan
graphene dengan STM adalah :

Gambar 26.12 Gambar STM Graphene Pada 6H – SiC [14]

Hasil analisis STM mempunyai kemiripan hasil dari teknik TEM, yaitu mampu
menggambarkan molekul heksagonal dari graphene, hal ini tentunya dapat
memperkaya data data.

e. Spektroskopi Raman
Untuk membuktikan apakah material yang disintesis betul ataukah tidak
itu: graphene maka teknik spektroskopi raman harus digunakan, karena dengan
teknik ini bisa membuktikan hal tersebut. Teknik Spektroskopi Raman sangat
intensif digunakan dalam fisika dan kimia untuk mengkaji vibrasi, rotasi, dan
sejumlah modus yang menghasilkan frekuensi rendah dalam material.

390
Frekuansi frekuensi tersebut merupakan sifat khas suatu ikatan kimia.
Kemampuan teknik spektroskopi Raman dalam mengidentifikasi sangat
spesifik sebuah material dan juga mampu digabung dengan teknik analisis lain
telah membuka peluang pemanfaatan teknik ini untuk bidang yang luas seperti
monitoring reaksi berjalan dan lain lain [1,21,22]
Dalam spektrum spektroskopi raman, keberadaan graphene akan identik
dengan spektrum pada panjang gelombang 1350 cm -1 (mempunyai intesitas
yang rendah), 1580 cm -1 dan 2700 cm -1. Jika ada spektra pada panjang
gelombang tersebut maka dapat dipastikan keberadaan dari graphene. Contoh
karakterisasi material graphene adalah seperti pada gambar di bawah ini:

Gambar 26.13 Spektrum Raman Dari Graphene Satu Lapis Yang


Disintesis Dengan Metode Micromechanical Cleavage.
[12].

Dari spektrum di atas dapat diketahui bahwa material graphene akan


sangat spesifik pada tiga daerah panjang gelombang. Tiga panjang gelombang
itu menandakan bahwa ada tiga modus yang aktif pada material graphene. Dan
tiga panjang gelombang ini, nantinya akan menjadi pertanda keberadaan dari
material graphene. Apabila dilakukan perbandingan spektrum raman
spektroskopi antara grafit dengan graphene maka seperti di bawah ini ;.

391
Gambar. 26.14 Perbandingan Spektrum Spektroskopi Raman Antara
Grafit Dengan Graphena [11]

Dari gambar di atas maka terdapat perbedaan spectrum grafit dengan


graphene yaitu pada panjang gelombang 1500 cm -1, di mana spektrum
graphene mempunyai intensitas yang lebih pendek dibandingkan dengan
spektrum grafit. Dan pada panjang gelombang sekitar 2700 cm -1 di mana
spektrum grafit lebih bergeser ke kana dan lebih lebar. Spektrum khas dari
graphene ada pada panjang gelombang 1500 cm -1 yang dikenal sebagai G-band
sedangkan panjang gelombang pada 2700 cm -1 yang dikenal dengan 2 D band
akan menggambarkan jumlah layer pada graphene.
Teknik spektroskopi raman bisa digunakan untuk membandingkan
kualitas dari graphene yang dihasilkan pada metode yang berbeda. Gambar di
bawah ini spectrum graphene dari hasil sintesis dengan metode CVD dengan
sumber hidrokarbon yang berbeda yaitu dengan metana dan etilena

(a) (b)

Gambar 26.15 Spektrum Graphene Dari Hasil Sintesis Dengan CVD (a) Dari
Metana; (b) Dari Etilena [10]

392
Dari hasil spectrum di atas maka dapat dibandingkan kualitas graphene yang
dihasilkan dengan membandinghan spectrum pada panjang gelombang 1500
cm -1 sedangkan jumlah lapis yang dihasilkan dapat dilihat pada panjang
gelombang 2700 cm -1, yang terlihat jumlah lapis graphene dengan sumber
hidrokarbon metana lebih banyak (dilihat dari puncak pada daerah 2700 cm -1
lebih tinggi dan lebih luas sementara puncak pada daerah 1500 cm -1 lebih
rendah. Lebih jelasnya perbedaan spectrum Raman pada jumlah lapis
graphene dapat dilihat seperti pada gambar di bawah ini ;

Gambar 26.16 Spektrum Raman Beberapa Lapus Dari Material Graphene [11]

Dari gambar di atas dapat dilihat bahwa terjadi perubahan lebar pada
spektrum raman yang dihasilkan di mana semakin banyak lapis maka lebar
puncak menjadi semakin lebar. Di samping itu spektroskopi raman juga
mengidentifikasi pengotor/doping yang terdapat dalam material graphene.
Gambar di bawah ini adalah gambar spectrum raman pada nanocomposite
Graphene – La 2 Ti 2 O 7 (G-LTO) [23]

Gambar 26.17 Spektrum Raman Pristine Grafit, EG, EG – LTO dan G-LTO[22]

Gambar di atas menunjukkan spectrum Raman dan pristine grafit, Expanded


Graphite (EG), Komposit EG – LTO dan komposit Graphene – LTO (G –
LTO). Pada spektrum raman G-LTO maka dapat dilihat bahwa terjadi

393
perubahan intensitas dan lebar puncak khas dari graphene, yang hal ini
disebabkan karena adanya campuran dari LTO.

f. X-Ray Diffraction (XRD)


Salah satu perkembangan penelitian graphene adalah dengan
memodifikasi struktur graphene dengan men doping graphene dengan berbagai
material lainnya, misalnya logam. Hal ini bertujuan untuk memperbaiki sifat
dan juga menemukan sifat baru yang nanti akan membuka peluang bagi
pemanfaatan graphene yang lebih luas. Oleh karenanya apabila graphene di
doping atau dicampur (dibuat komposit) dengan oksida oksida logam, maka
salah satu teknik analisa yang digunakan adalah XRD. Di bawah ini contok
difraksi dari material komposit graphene – oksida besi yang bertujuan untuk
mendapatkan sifat magnet pada komposit tersebut [24].

Gambar 26.18 Difraksi XRD (a). Oksida Grafit (b). Oksida


Graphene/Fe 3 O 4 (c). Oksida Graphene/Fe 3 O 4
Nanokomposit [23]

Dari hasil XRD dapat diketahui bahwa puncak 2θ = 10.2o identik


dengan graphite oksida sedangkan puncak puncak lainnya adalah identik
dengan Fe 3 O 4 dan pada hasil analisa ini tidak muncul puncak milik graphene.
Di bawah ini difraksi XRD dari material komposit graphene – ZnO [25] :

394
Gambar 26.19 Difraksi XRD Material ZnO; Graphene – ZnO dan
Graphene [25]

Dari hasil analisa XRD dapat diketahui bahwa graphene mempunyai


difraksi lemah pada daerah 2θ : 44.5 o sedangkan ZnO mempunyai difraksi
pada 2θ : 31.6o, 34.4o, 36.1o, 47.3o , 56.3o, 62.6o dan 67.6o [23]. Sedangkan
pada difraksi nanokomposit graphene – ZnO puncak puncak tersebut masih
muncul walaupun lebar lebar puncak sudah tidak sama yang dimungkinkan
karena adanya campuran sehingga pola difraksi berubah. Dari contoh di atas
maka dapat disimpulkan bahwa teknik XRD akan berguna sekali tatkala yang
disintesis adalah material komposit graphene dengan oksida oksida logam.

g. Metode BET
Graphene lapis tunggal diprediksi mempunyai luas permukaan sebesar
2600 m2/g. Untuk mengetahui luas permukaan tersebut maka salah satu metode
yang efektif digunakan adalah dengan metode BET [11]. Metode ini
dikembangkan oleh Stephen Brunauer, Paul Hugh Emmet dan Edward Teller,
sehingga disingkatlah dengan dengan nama metode BET. Metode ini
memberikan informasi tentang luas permukaan zat padat, dengan demikian
metode ini dapat digunakan untuk memprediksi ukuran rata rata dari partikel
padat. Untuk material berpori, luas permukaan spesifik ditentukan oleh
porositas zat padat, dengan demikian metode ini dapat juga digunakan untuk
menentukan porositas sebuah material [1].
Dari pengukuran dengan metode BET didapatkan hasil bahwa material
graphene mempunyai luas permukaan spesifik pada rentang 270 – 1550 m2/g.
Apabila sebuah penelitian ingin mengeksploitasi sifat luas permukaan dari
graphene maka metode BET cukup bagus menyajikan data dari luas permukaan
spesifik dari graphene.
Di samping metode karakterisasi di atas, masih ada beberapa metode
lagi untuk mengetahui sifat sifat dari graphene yang disintesis. Semua uji
tersebut digunakan sesuai dengan rumusan dan tujuan dari penelitian masing

395
masing, dan semua uji sifatnya adalah saling mendukung sehingga dapat
diperoleh gambaran hasil graphene yang utuh.

26.5 Aplikasi Graphene


Dengan sifat sifat yang superior maka graphene mempunyai peluang
untuk diaplikasikan dalam banyak bidang, semisal : nanoelektronik,
makroelektronik, dan lain lain. Dalam sub bab ini akan dibahas beberapa dari
peluang aplikasi graphene dalam kehidupan sehari hari :

a. Film Konduktif Transparan


Seperti diketahui bahwa graphene adalah mempunya transparansi tinggi
di mana satu lapis dari graphene menyerap hanya 2,3% dari cahaya yang
masuk dan dengan kombinasi seperti konduktivitas tinggi dan penyerapan
cahaya rendah membuat bahan ini calon yang ideal sebagai film konduktif
transparan. Material ini berpeluang untuk menggantikan Indium Tin Oxide
(ITO) sebagai bahan material konduktor transparan. Hal ini karena ITO
mempunyai karakteristik yang kurang bagus karena rapuh dan daya rekat yang
lemah dengan plastik [1]. Sedangkan graphene mempunyai kekuatan mekanik
yang kuat dan juga memiliki kompabilitas yang bagus dengan polimer sehingga
berpeluang menggantikan material ITO.
Untuk skala yang lebih luas sintesis graphene dengan teknik chemical
vapour deposition dapat dengan mudah ditransfer ke permukaan substrat yang
berbeda pada skala besar. Arco, et.al (2009) telah mengembangkan teknik
transfer yang memungkinkan transfer dengan efisiensi 100% pada skala besar
Pada teknik digunakan lapis tipis poly-metilmetakrilat (PMMA) di mana akan
didepositkan graphene hasil sintesis dengan substrat Si/SiO2/Ni. Penghilangan
substrat logam dimana graphene disintesis akan menghasilkan lapis PMMA /
graphene, yang kemudian ditransfer secara langsung ke substrat transparan
seperti kaca dan polyethylene terephthalate (PET). Metode ini dapat diandalkan
dan cocok untuk industri semikonduktor [15]. Hasil graphene yang dihasilkan
pada berbagai substrat seperti pada gambar di bawah ini:

396
Gambar 26.20 Sintesis Graphene Sebagai Material Konduktif
Transparan Pada Substrat Si/SiO 2 dan PET [15]

Dari gambar di atas dapat dilihat bahwa graphene mempunyai tingkat


kebeningan dan fleksibilitas yang tinggi sehingga berpeluang menggantikan
ITO. Keberadaan ITO saat ini sangat penting karena aplikasinya yang luas
dalam dunia industri elektronika semisal industry LCD mememerlukan
material kondukrif transparan dan selama ini disupply oleh material ITO akan
tetapi harga material ini menjadi yang biasanya adalah ITO.. Di samping
graphene juga bisa digunakan untuk bahan penyusun dari OLED (organic
lighting emitting diode). OLEDs terdiri dari luminescent struktur organik aktif
yang terjepit di antara dua elektroda, dan salah satu material harus transparan.
Secara tradisional, indium timah oksida (ITO) digunakan sebagai material
transparannya. Akan tetapi keberadaan indium yang jarang, semakin mahal dan
tidak bisa diolah menyebabkan banyak pihak mencari material pengganti [26,
27].
Generasi perangkat optoelektronik masa depan memerlukan material
elektroda konduktif transparan yang ringan, fleksibel, murah, ramah
lingkungan dan kompatibel untuk produksi masal. Dan graphene,merupakan
material yang menjanjikan, karena sifat unik listrik dan optik. Baru-baru ini,
Junbo Wu dkk., peneliti daru Stanford University, berhasil menunjukkan
penerapan graphene di OLEDs untuk pertama kalinya di dunia [27].
Meskipun material graphene menunjukkan sebuah kemungkinan dan
keuntungan sebagai material konduktif transparan, akan tetapi kelayakan
produksi massal adalah penting untuk aplikasi tersebut. Novoselov mencatat
bahwa tidak ada teknologi industri dapat mengandalkan teknik
micromechaninal cleavage untuk menghasilkan graphene dalam jumlah yang
besar oleh karena itu diperlukan penelitian fundamental tentang sintesis
graphene ini.[26]

b. Graphene Sebagai Produsen dan Penyimpan Energi


Dengan adanya isu terus menipisnya sumber energy manusia yanitu
minyak bumi telah membuat banyak pihak untuk berpikir mencari sumber
energy alternative dan juga teknologi yang ramah terhadap energi. Dan juga

397
menjadi persoalan adalah perangkat yang berhubungan dengan energi
mempunyai masalah kinerja yang buruk dan merusak lingkungan. Dengan
kondisi seperti ini maka diperlukan sebuah teknologi yang efisien dalam energy
dan juga ramah terhadap lingkungan [28].
Upaya upaya telah dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut yang
salah satunya adalah dengan teknik elektrokimia. Dan penemuan graphene
pada tahun 2004 telah memberikan harapan yang luas pada berbagai pihak
terutama kalangan ilmuwan. Hal ini karena sifat sifat superior yang dimiliki
oleh graphene. Graphene merupakan salah satu kandidat material yang ideal
dalam implementasi aplikasi elektrokimia yang disebabkan karena sifat
konduktivitas listrik yang besar, luas permukaan yang luas, kemampuan unik
dalam mentransfer elektron heterogen dan mempunyai kecepatan yang bagus
dalam membawa muatan. Sifat ini memberikan peluang dalam pemakainan
yang luas pada bidang elektro-katalitik dan juga biaya produksi yang
rendah[28].

• Superkapasitor
Superkapasitor adalah alat yang pasif dan statis yang berfungsi sebagai
perangkat penyimpan energi listrik, yang biasanya digunakan dalam banyak
bidangi seperti alat elektronik yang portabel ( misal :ponsel), memory back-up
system, dan mobil hibrida., di mana sifat isi ulang energinya yang cepat akan
menjadi sifat yang berharga berharga. Super-kapasitor memiliki kemampuan
daya yang tinggi, fast charge propagation and charge-discharge processes
(dalam hitungan detik), mempunyai umur yang panjang (biasanya lebih dari
dari 100.000 siklus), membutuhkan perawatan yang renda. Superkapasitor
memiliki densitas energi yang lebih besar bila dibandingkan dengan kapasitor
konvensional, meskipun memiliki densitas energi yang lebih rendah
dibandingkan dengan baterai dan sel bahan bakar [28].
Graphene mempunyai peluang digunakan sebagai kapasitor karena
graphene memiliki keunggulan berupa perbandingan luas permukaan terhadap
massa yang besar, sehingga menghasilkan nilai kapasitansi per satuan massa
mencapai 205 F/gram dan rapat energi 28,5 Wh/kg. dan apabila dihubungkan
dengan kecepatan mengalirkan muatan listrik, kapasitor graphene mencapai
nilai rapat daya 10 kW/kg [16]. Sehingga graphene berpeluang dijadikan alat
pengganti baterai atau alat alat penyimpan energy sejenis.
Cara kerja superkapasitors dala menyimpan energi ada dua cara yaitu:
dari lapisan double kapasitansi elektrokimia yang dihasilkan dari akumulasi
muatan elektrostatik murni pada elektroda dan pseudocapacitance . hal ini
disebabkan oleh proses cepat dan dan bersifat reversibel permukaan redoks
(surface redox). Keuntungan utama dari supercapacitors dibandingkan dengan
dengan baterai adalah material ini mempunyai kapasitas tinggi, kemampuan
charge/discaharge yang cepat pada densitas energi yang tinggi dan siklus
hidup yang panjang. Namun, kelemahan utama dari generasi superkapasitor

398
saat ini adalah densitas energi yang relatif rendah. Dan masalah peningkatan
densitas energi dari supercapasitors telah menjadi topik yang menantang dan
menjadi hambatan bagi komersialisasi dari material superkapasitor. Dan salah
satu solusinya adalah dengan memanfaatkan bahan elektroda yang mempunyai
kapasitansi spesifik lebih tinggi dalam elektrolit organik yang digabungkan
dengan pengurangan jumlah pengikat yang tidak aktif [29].
Material karbon mempunyai luas permukaan yang tinggi dan dianggap
sebagai bahan elektroda sangat baik untuk superkapasitors. Hal ini karena
karbon memiliki kombinasi sifat yang menarik yang diantaranya adalah tidak
beracun, mempunyai luas permukaan yang tinggi, konduktivitas listrik yang
baik, stabil secara kimia dan termal serta harga yang relatif rendah. Berbagai
bahan karbon seperti karbon aktif, karbon nanofiber, grafit, Karbon nanotube,
dan karbon aerogel, telah diselidiki pemanfaatannya. Karbon aktif merupakan
material yang paling banyak digunakan karena luas permukaan yang sangat
tinggi yang bisa mencapai 3000 m2/g, dengan harga yang murah, mempunyai
kapasitansi tinggi dan siklus hidup yang panjang. Namun, karbon aktif
mempunyai konduktivitas listrik rendah dan resistensi yang tinggi terhadap
transpor ion. Hal ini karena karbon aktif mempunyai struktur pori yang
kompleks, sehingga superkapasitor dari karbon aktif menghasilkan kapasitansi
spesifik yang kecil sehingga pemanfaatannya menjadi terbatas[29].
Salah satu alotrop karbon lainnya yaitu graphene mempunyai peluang
sebagai solusi permasalahan dari karbon aktif. Graphene adalah lembaran satu
lapis dari material karbon. Dan lembaran lembaran ini dapat disusun
bertumpuk tumpuk. Lembaran graphene tunggal dan beberapa-lapis graphene
memiliki sifat yang luar biasa seperti luas permukaan yang tinggi, kekakuan
unggul, kekuatan, konduktivitas termal dan listrik, transportasi sifat elektronik,
kimia dan kestabilan termal, dll, sebagaimana dijelaskan di awal sehingga
material ini memenuhi persyaratan sebagai material maju tidak hanya sebagai
elektroda tetapi juga sebagai bahan penyimpan energy. Namun, berbeda
dengan material karbon lainnya yang juga mempunyai luas permukaan yang
tinggi, graphene memiliki luas permukaan efektif terdiri dari lapisan datar
terbuka, permukaan tidak terdiri dari pori-pori yang kompleks. Oleh karena itu,
kemampuan transport ion nya jauh lebih tinggi daripada karbon aktif.
Penemuan ini telah membuat pengembangan superkapasitor dari bahan
graphene menjadi sedemikian menarik yang didukung dengan kombinasi sifat
yang superior yang diantaranya menpunyai densitas daya tinggi dan densitas
energy yang tinggi telah membuka bagi aplikasi aplikasi lainnya seperti
polimer nanokomposit, perangkat LCD , sensor, transistor, actuator yang
fleksibel [29].
Beberapa penelitian tentang pemanfaatan graphene sebagai
superkapasitor telah dipublikasikan beberarapa pihak yang diantaranya adalah
Vivekchand et al dimana graphene yang diperoleh dari pengelupasan termal
(exfoliated thermally) mempunyai kapasitansi spesifik 117 F/g. Wang et al.dan
Stoller et al. melaporkan kapasitansi spesifik 205 F/g (tidak termasuk pengikat
tidak aktif 10%) pada 100 mA/g dan 135 F/g (termasuk pengikat aktif 3%)

399
pada 10 mA/g pada material oksida graphene yang direduksi dengan hidrazin
hidrat selama 72 dan 24 jam. Chen et al, melaporkan nilai kapasitansi 164 F/g
dengan kecepatan scan 10 mV/s pada material elektroforesis graphene
nanosheet yang diendapkan pada busa nikel. Semua hasil penelitian ini telah
memperlihatkan prospek graphene sebagai superkapasitor [29].

• Graphene Sebagai Baterai/Li-ion Storage.


Saat ini kita mengenal bacteria isi ulang yang berbasis pada material
Lithium (Li). Dan pada beberapa laporan penelitian telah dilaporkan tentang
peluang penggunaan graphene sebagai elektroda pada baterai tersebut
mempunyai sifat yang istimewa. Seperti halnya superkapasitors, bahwa
permintaan baterai Li-Ion dari tahun ke tahun selalu meningkat dan juga
permintaan akan kemampuan menyimpan energi yang lebih lama dan juga
siklus hidup yang meningkat, itu semua berkaitan dengan perkembangan dunia
industri elektronika dan telekomunikasi yang berkembang sedemikian cepat.
misalnya telepon selular, komputer tablet ataupun mobil listrik. Baterai Li-ion
adalah baterai dapat menyimpan energi listrik dalam jangka waktu yang
panjang, dan salah satu faktor yang mempengaruhi sifatnya adalah kualitas
bahan elektroda (anoda/katoda), di samping faktor lainnya. Dan salah satu
usaha untuk memperbaiki performa dari baterai, maka salah satu jalannya
adalah memperbaiki kualitas dari elektroda yang digunakan[29]
Dan material yang berpeluang untuk menggantikan grafit sebagai
elektroda adalah graphene, di mana material ini memiliki beberapa sifat yang
bagus. Banyak penelitian yang telah meneliti kemungkinan ini dan didapatkan
hasil bahwa elektroda berbasis graphene untuk memiliki kapasitas lebih tinggi
daripada bahan elektroda lainnya (termasuk grafit). Satu satu laporan
menyatakan bawa tepi bidang dua dimensi graphene adsorpsi dan difusi Li-ion
membantu Li-ion yang berakibat pada pengurangan waktu pengisian dan
meningkatkan output daya dari baterai [29].

• Miscellaneous Energy Storage Sevices (solar power)


Salah satu pengembangan dari pemanfaatan graphene adalah sebagai
komponen perangkat divais sel surya, di mana energi matahari dirubah menjadi
energi listrik. Baru baru ini Chang et al. mengembangkan sebuah sel baru
fotoelektrokimia (PEC) yang tersusun atas nanokomposit dari graphene/poli
(3-oktil-tiofena)(POT). Sel ini digunakan sebagai sel photovoltaic yang akan
merubah energi matahari menjadi energy listrik. Komposit ini diyakini sebagai
platform/model bagi pengembangan teknologi sel surya dan fotodetektor di
masa masa mendatang. Chang et al. juga menunjukkan bahwa doping graphene
dalam film POT akan secara signifikan meningkatkan kinerja dari sel foto
elektrokimia. Selain itu, resistensi transfer elektron dari nanokomposit
graphene/POT menurun secara signifikan. Komposit ini telah menunjukkan
bahwa graphene dapat berfungsi sebagai platform/model yang menjanjikan

400
untuk konversi energi surya di masa depan. Dari penelitian juga telah dicatat
bahwa kinerja dari sel fotoeletrokimia tergantung pada jumlah dan morfologi
dari graphene. Efisiensi tertinggi diperoleh pada kandungan graphene sebanyak
5% berat dalam nanokomposit.

• Graphene Sebagai Sel Pembangkit Energi


Selain peluang yang sangat besar dari graphene sebagai material
penyimpan energi. Graphene juga memberikan dampak yang luar biasa dalam
fabrikasi dan aplikasi perangkat pembangkit energi. Dengan permasalahan
iklim dunia dan menipisnya sumber sumber energy yang tak terbarukan maka
pencarian sumber pengganti menjadi sebuah topik besar bagi semua kalangan.
Salah satu alternative untuk mengatasi masalah itu adalah pada pengembangan
fuel cell dan salah satu jalan pengembangannya adalah dengan mencari
elektroda yang bagus. Graphene telah menarik minat banyak pihak sebagai
bahan elektroda pada fuel cell karena memiliki luas permukaan yang besar,
mempunyai konduktivitas listrik yang unik dan biaya produksi yang rendah.

c. Graphene Sebagai Penyimpan Hidrogen


Hidrogen juga merupakan salah satu sumber energi masa depan dan
penelitian tentang pemanfaatan hydrogen sebagai sumber energy juga sangat
marak. Hal ini juga tidak terlepas karena semakin menipisnya sumber sumber
energy yang tak terbarukan. Di samping pengembangan sel bahan bakar
dengan sumbernya hydrogen, maka salah satu tantangan yang harus
diselesaikan adalah metode dari penyimpanan hydrogen. Graphene mempunyai
peluang sebagai material penyimpan hydrogen, hal ini karena graphene
mempunyai luas permukaaan yang besar yaitu 2600 m2/g. Graphene
mempunyai kemampuan mengikat molekul H 2 dengan mekanisme kemisorpsi.
Dari berbagai penelitian didapatkan hasil bahwa graphene dapat menyimpan
hidrogen sekitar 5 wt % dalam jangka waktu yang lama.

d. Graphene Sebagai Sensor Kimia dan Fisika


Sistem untuk mendeteksi biomolekul sederhana telah menjadi semakin
penting dalam bidang ilmu ilmu alam. Metode yang banyak dipakai adalah
dengan deteksi optic yang digunakan dalam sistem biosensor konvensional.
Meskipun sistem deteksi optik mempunyai kesensitifan yang tinggi tapi metode
ini memerlukan biaya yang mahal dan juga teknik instrumentasi yang
kompleks. Sistem deteksi biomolekul dengan menggunakan nanomaterials
seperti silikon nanowiress dan karbon nanotube karbon telah menjadi satu
bahasan yang intensif dalam satu dekade ini yang berusaha dikembangkan
menjadi biochip. Di antara teknik-teknik biosensing yang ada maka teknik
yang menggunakan karbon nanotube menjadi salah satu kandidat yang paling
menjanjikan. Hal ini karena aspek rasio tinggi dan sifat listrik yang baik.

401
Beberapa biosensor berbasis pada teknologi karbon nanotube telah dilaporkan
banyak pihak yang diantaranya adalah sensor bisphenol oleh Sánchez-Acevedo
et al, (20026.), Sensor kanker prostat oleh Kim et al, (2009) dan Okuno et al, (
(2007) dan banyak lagi. Dalam salah satu usaha untuk memperbaiki performa
dari sensor yang dihasilkan adalah dengan mengontrol diameter karbon
nanotube karbon hal ini karena sifat listrik dari karbon nanotube karbon sangat
tergantung pada diameter. Dan masalah ini masih belum bisa ditangani dengan
baik [30]
Material yang bisa memecahkan persoalan yang dimiliki oleh karbon
nanotube diatas adalah graphene. Material Graphene tergolong sebagai
semikonduktor zero gap di mana pita konduksi dan pita valensi terhubung pada
titik K-. Oleh karena itu, karakteristik transport elektron graphene
menunjukkan perilaku khas ambipolar dengan konduktivitas minimum yang
tinggi. Graphene lapis tunggal memiliki kecepatan mobilitas electron yang
sangat tinggi (> 20.000 cm2/Vs pada suhu kamar) dengan konsentrasi pembawa
besar (~ 1012 cm-2); dan juga graphene merupakan materi yang sangat stabil.
Sehingga graphene diharapkan memiliki aplikasi yang potensial sebagai
material masa depan “High Speed Logic device”. Beberapa sensor kimia dan
biologi berbasis graphene telah banyak dilaporkan dalam beberapa tahun
terakhir. Contohnya adalah sensor menggunakan oksida graphene atau
graphene telah dikembangkan untuk mendeteksi glukosa, sensor pH dan lain
lain.
Salah satu usaha untuk memperbaiki sifat dari sebuah material adalah
dengan melakukan pendoping an dengan unsur/material lain. Dengan doping
maka kita akan dapat memodifikasi bahan intrinsik, sifat elektronik,
memanipulasi sifat kimia permukaan, dan menghasilkan perubahan lokal. Pada
material karbon, pendoping an akan meningkatkan densitas pembawa muatan
bebas dan akan meningkatkan konduktivitas listrik atau termal. Banyak
penelitian yang telah dilakukan untuk men doping material graphene dengan
material lain dan menurut kajian teoritis dengan mendoping dengan unsure
logam maka akan terjadi pergeseran tingkan energi Fermi dari tipe-P ke tipe –
N. Dan salah satu unsur yang terbaik digunakan untuk pendopingan adalah
nitrogen, karena memiliki ukuran atom yang sebanding dengan karbon dan
mempunyai lima elektron valensi yang dapat berikatan dengan kuat dengan
atom karbon. Dalam penelitian terdahulu, pendoping-an dengan nitrogen pada
karbon nanotube (CNT) telah berhasil memodifikasi sifat listrik atau
strukturalnya. Wang Ying et. al (2010) telah melaporkan graphene yang di
doping dengan atom nitrogen dan digunakan sebagai biosensor. Dari
penelitiannya didapatkan hasil bahwa graphene yang didoping dengan nitrogen
mempunyai aktivitas elektrokatalitik yang baik dalam mereduksi asam
peroksida dan juga mempunyai kesensitifan dan selektifitas yang tinggi untuk
senyawa glukosa [31].

402
e. Material Hibrid Graphene – DNA
Dalam beberapa dekade terakhir, nanoteknologi dan bioteknologi telah
berubah menjadi topik hangat yang penting dari penelitian interdisipliner yang
salah satunya teknologi penggabungan berbagai komponen bahan molekul,
anorganik, dan biologi dengan menggunakanteknik-teknik modern. Di antara
berbagai biomolekul yang diteliti, DNA menerima perhatian khusus karena
merupakan mempunyai fungsi yang signifikan terhadap makhluk hidup. DNA
telah banyak diteliti dan aplikasinya salah satunya adalah penggabungan DNA
dengan bahan bahan lainnya khususnya nanopartikel [32].
Beberapa dekade terakhir penelitian nanomaterials berbasis karbon
nanomaterials seperti karbon nanotubes (CNT), fullerene,dan graphene telah
banyak diteliti orang. Dan graphene telah banyak membuat peneliti terpesona
karena menyediakan area deteksi yang besar, biokompatibilitas, dan sifat
elektronik yang unik dan juga biaya sintesis yang murah. Oleh karena itu,
apabila DNA dan graphene digabung menjadi material hibrid maka akan
memberikan sebuah peluang bagi pemanfaatan bagi bidang bidang lain seperti
biosensor sensitif atau biochip. Ide tentang material hibrid graphene- DNA
adalah sebuah ide yang baru dan memberikan peluang bagi pengembangan
ilmu pengetahuan karena berusaha menggabungkan sifat unik dari graphene
dan juga DNA [32]. Di bawah ini beberapa kemungkian model sintesis material
hybrid graphene – DNA ;

Gambar 26.21 Pendekatan yang berbeda Dalam Sintesis Material Hibrid


graphene-DNA [32]

403
f. Graphene Sebagai Microactuator
Microactuators, adalah material yang mampu mengkonversi energi
listrik menjadi energi mekanik. Aplikasi dari material ini telah menarik
perhatian banyak pihak yang diantaranya digunakan sebagai material
biomimetik, seperti serangga, gerakan seperti otot, robot terbang dan lain lain.
Berbagai bahan anorganik seperti keramik piezoelektrik telah diteliti sebagai
actuators. Akan tetapi mempunyai kekurangan pada suhu operasi yang tinggi
dan batasan tegangan telah membatasi untuk aplikasi yang lebih luas. Di sisi
lain, mikroaktuator berbahan polimer seperti elastomer dielektrik, polimer
terkonjugasi, dan polimer gel memiliki keunggulan, seperti fleksibilitas, ringan,
dan transparan. Akan tetapi mempunyai kekurangan yaitu : respons yang
lambat, siklus hidup yang pendek, dan efisiensi nya rendah. Dan yang lebih
penting lagi, ada kesulitan dalam metode fabrikasi mereka. Dengan sifat sifat
unik graphene maka material ini juga mempunyai peluang digunakan sebagai
microaktuator. Zhou, S.E, et all. (2011) telah mencoba mengembangakan
graphene sebagai material microaktuator dan mendapatkan hasil yang bagus
[33].

g. Graphene Flash Memory


Graphene memiliki potensi sebagai flash memory yang kinerjanya jauh
lebih besar daripada flash memory saat ini. Kemampuan ini dapatkan dengan
memanfaatkan sifat intrinsik yang luar biasa dari graphene, seperti densitas
elektro yang tinggi dan mempunyai dimensi yang rendah Pada penelitian
didapatkan hasil bahwa oksida graphene, mempunyai kemampuan yang efektif
dalam menyimpan muatan dalan CT (charge trap) devices. Dalam bentuk
alami semimetal, graphene dapat bertindak sebagai gerbang mengambang di
FG divais. Hong, J.A, et all (2011) telah melakukan penelitian tentang
kemungkinan graphene sebagai flash memory [34].
.

DAFTAR PUSTAKA
[1] Abdullah Mikrajuddin, 2009, Pengantar Nanosains Penerbit ITB, Bandung
[2] Holister Paul, Roman Christina, dan Harpet Tim, 2003, Fullerenes, Cientifica
[3] http://nature.ca/discover/treasures/min/tr3/diawn_e.cfm
[4] http://www.answers.com/topic/fullerene
5] http://homepage.mac.com/jhgowen/research/nanotube_page/nanotubes.html
[6] Geim, A dan Novoselov, K. 2007, The Rise of Graphene, Nature Material Vol 6
March 2007.

404
[7] ] http://en.wikipedia.org/wiki/Graphene
[8] Boris Torres www.engineer.tamuk.edu/ departments/ ieen/ faculty/ drlpeel/
Courses/ Meen3344 /
[9] http://www.funenclave.com
[10] Matte, H.S.S.S.R, Subrahmanyam, K.S, Rao, CNR, 2011, Synthetic Aspects and
Selected Properties of Graphene, Nanomater. Nanotechnol, 2011, vol
1, no 1, 3 – 13.
[11] Dong Liang- Xu, dan Chen Qiang, 2010, Properties, Synthesis, and
Characterization of Graphene, Front. Mater. Sci. China, 4(1): 45–51
[12] Rao N.R, K. Subrahmanyam K.S, Matte, H.S.S.R dan Govindaraj A, Graphene:
Synthesis, Functionalization and Properties, Graphene And Its
Fascinating Attributes ©World Scientific Publishing Co. Pte. Ltd.
http;//www.worldscibook.com/physics/7989.html.
[13] http://www.specs.de/cms/front_content.php?idart=523
[14] Ni Z.H, et.al, 2008, Raman Spectroscopy of Epitaxial Graphene on a SiC
Substrate, Physical Review B 77, 115416
[15] De Arco Lewis Gomes, Zhang Yi dan Zhou Chongwu , 2011, Large Scale
Graphene by Chemical Vapor Deposition: Synthesis, Characterization
and Applications, in Graphene – Synthesis, Characterization,
Properties And Application Edited by Jian Ru Gong , Intechweb.org
ISBN 978-953-307-292-0
[16] Eko Widiatmoko, Sifat, Fabrikasi dan Aplikasinya, di http://102fm-
itb.org/uploads/Graphene.pdf
[17] An Hyosub, Lee Won Jun, Jung Jongwang, 2011, Graphene synthesis on Fe foil
using thermal CVD, Current Applied Physics 11 (2011) S81- S85
[18] Gersten Bonnie, Solvothermal Synthesis of Nanoparticles di
http://www.sigmaaldrich.com/technical-
documents/articles/chemfiles/solvothermal-synthesis.html.
[19] Li Qianwen, Wang Liangbiao, Zhu Yongchun, Qian Ytai, 2011, Solvothermal
synthesis of graphene sheets at 300 °C, Materials Letters 65 (2011)
2410–2412.
[20] Qia,J.L, W.T. Zheng, W.T, Zheng X.H, Wang X, dan Tian, H.W, 2011,
Relatively Low Temperature Synthesis of Graphene by Radio
Frequency Plasma Enhanced Chemical Vapor Deposition, Applied
Surface Science 257 (2011) 6531–6534
[21] West, A.R, 1992, Solid State Chemistry and Its Application, John Wiley and
Sons, P : 71
[22] Lyon, l. Andrew, et.al, 1998, Raman Spektroskopi, Analytical Chemistry, 70
341R -361R.

405
[23] Wua Chun Hui, et.al, 2011, Synthesis and photocatalytic properties of the
graphene–La 2 Ti 2 O 7 nanocomposites, Chemical Engineering Journal
178 (2011) 468– 474
[24] Shena Xiaoping, , Wua Jili, Baia Song, Zhou Hu, 2011 One-pot Solvothermal
syntheses and Magnetic Properties of Graphene-Based Magnetic
Nanocomposites, Journal of Alloys and Compounds 506 (2010) 136–
140
[25] Lu Ting, et.al, 2011, Microwave-assisted synthesis of graphene–ZnO
Nanocomposite for Electrochemical Supercapacitors, Journal of
Alloys and Compounds 509 (2011) 5488–5492
[26] http://www.nanowerk.com/spotlight/spotid=5453.php
[27] http://www.grapheneworld.org/
[28] Dale A.C. Brownson, Dimitrios K. Kampouris, Craig E. Banks, Review An
overview of graphene in energy production and storage applications,
Journal of Power Sources 196 (2011) 4873–4885
[29] Inhwan Do dan Lawrence T. Drzal, Nanosized Thin Graphene (NTG)
Application for Energy Generation and Storage Devices –
Supercapacitors
http://www.xgsciences.com/docs/Energy%20Application%20Overvie
w.pdf.
[30] Ohno Yasuhide, Maehashi Kenzo, dan Matsumoto Kazuhike, 2010, Short
communication Chemical and Biological Sensing Applications Based
on Graphene Field-Effect Transistors, Biosensors and Bioelectronics
26 (2010) 1727–1730.
[31] Wang Ying, et.al, 2010, Nitrogen – Doped Graphene and Its Application in
Electrochemical Biosensing, ACS Nano vol 4 no 4 p. 1790 - 1798
[32] Thathan Premkumara, Kurt E. Geckelera, 2011, Review Graphene–DNA hybrid
materials: Assembly, applications, and prospects, Progress in Polymer
Science xxx (2011) xxx– xxx
[33] Zhou, S.E, et all, 2011, Grapehene Based Bimorp Microactuator, Nanoletters,
2011, 11, 977 – 981
[34] Hong, J.A, et al, 2011, Graphene Flash Memory, ACS Nano vol XXX no XXX

406
Bab 27
Karakterisasi Sifat Mekanik
Nanokomposit Logam
Oleh: Deny Hardiansyah

27.1 NANO KOMPOSIT [1],[5]


Nano sains dan nano teknologi adalah ilmu yang mempelajari control dari ukuran suatu
material dalam tataran atomic, molekuler dan makro molekuler dengan skala panjang sekitar 1
sampai 100 nano meter. Ilmu ini mencakup desain, karakterisasi , produksi, dan aplikasi dari
struktur, devais dan system dengan mengontrol ukuran serta bentuknya. Braun dalam tulisannya
menyatakan dari tahun 1980 studi tentang nano sangat berkembang pesat sampai sekarang. Dari
semua yang dikerjakan, mengkarakterisasi serta memodelkan sifat mekanik dari bahan nano
komposit sangat penting sekali untuk dibahas.
Menurut Prof. Mikrajuddin pada salah satu buku nya menyatakan bahwa nanokomposit
adalah suatu bahan yang merupakan kombinasi dari satu atau lebih komponen yang salah
satunya berskala nanometer. Dikenal dua istilah dalam pembuatan material nanokomposit ini,
ada yang disebut sebagai matrik dan ada yang disebut sebagai filler. Dapat dinyatakan bahwa
material nanokomposit adalah suatu material yang dibuat dengan mendispersikan material matrik
dengan satu atau lebih filler berukuran nano untuk meningkatkan performanya.Bidang material
nanokomposit sangat diminati saat ini dikarenakan kegunaannya yang sangat luas.
Material yang dapat digunakan sebagai matrik diantaranya adalah :
1. Polimer, contohnya adalah : epoxy, nylon, dan polyepoxide.
2. Keramik, contohnya adalah : kaca, porselen, dan alumina.
3. Logam, contohnya adalah : Besi, titanium dan magnesium.

Sedangkan filler yang berupa nanopartikel secara umum mempunyai dimensi (contohnya
diameter dan ketebalan) lebih kecil dari 100 nano. Berdasarkan geometrinya, nanomaterial terdiri
dari :
1. Partikel nano : bentuk nano dari material biasanya berupa partikel bola padat,dimana
mempunyai geometri 3 dimensi.
2. Nano tube : geometri tiga dimensi dimana dua dimensi dalam ukuran nano dan dimensi
ketiga lebih besar, menghasilkan struktur elongasi yang disebut nano tube atau nanorods
3. Nano layer : partikel yang terkarakterisasi hanya 1 dimensi berukuran nano dan dua
dimensi yang lainnya lebih besar. Partikel ini tergambarkan sebagai lapisan dengan
ketebalan beberapa nanometer sampai ratusan nano meter.

407
Untuk lebih manggambarkan bagaimana bentuk dari nanomaterial tersebut
diatasperhatikan gambar 1

1nm

Nano layer

Nano tubes

<100nm

>100nm
<100nm

3D nanoparticle

Gambar 27.1. Jenis-jenis nanomaterial berdasarkan geometrinya

Dalam pembuatan material nano komposit ini, prosentase banyaknya filler terhadap
volume keseluruhan adalah sekitar 0,5-5% saja. Hal ini disebabkan terlalu banyaknya filler yang
digunakan dapat menurunkan kembali sifat unggul yang dimiliki oleh material nano komposit
tersebut. Karena diharapkan sifat material filler tidak lebih dominan terhadap sifat dari matrik itu
sendiri.
Adapun keunggulan dari material nanokomposit ini sehingga banyak dipelajari adalah :
1. Sifat mekanik
2. Permeabilitas
3. Stabilitas termal
4. Daya tahan terhadap api
5. Konduktivitas listrik

408
6. Transparansi optik,dll
Telah banyak diketahui bahwa nanokomposit lebih baik dari segi sifat mekaniknya
terhadap material komposit tradisional. Pendispersian dari nano material ternyata dapat
meningkatkan sifat mekanik suatu bahan secara signifikan. Telah banyak sekali hasil penelitian
yang menggambarkan hal tersebut sampai pengaplikasiannya dalam berbagai bidang ilmu
terapan.
Di dalam nanokomposit, terdapat beberapa orientasi filler yang dapat dilihat berdasarkan
gambar dibawah ini

a. Aligned b. Aligned
b

c. Randomly oriented d. Particulat


fb
Gambar 27.2. Jenis-jenis orientasi filler dalam matrik

Model mekanika popular yang dapat memprediksi besar modulus young suatu nano
komposit diantaranya adalah :

 Voigt upper bound and Reuss lower bound (V-R model)


Asumsikan aligned fiber mempunyai regangan seragam pada arah orientasi fiber, Voigt
merumuskan untuk mendapatkan besarnya modulus elastic dalam arah fiber yaitu :

𝐸𝐸𝐿𝐿 = 𝜙𝜙𝐸𝐸𝑓𝑓 + (1 − 𝜙𝜙)𝐸𝐸𝑖𝑖 ………………………………..(1)


Sedangkan Reuss merumuskan modulus young dalam arah tranversal fiber yaitu :
1 𝜙𝜙 (1−𝜙𝜙)
= + ………………………………..(2)
𝐸𝐸𝐿𝐿 𝐸𝐸𝑓𝑓 𝐸𝐸𝑖𝑖

409
Dimana :

𝛷𝛷 = fraksi volume

𝐸𝐸𝐿𝐿 = modulus elastic longitudinal

𝐸𝐸𝑇𝑇 = modulus elastic transversal


𝐸𝐸𝑖𝑖 =modulus elastic matrik

𝐸𝐸𝑓𝑓 = modulus elastic filler

 Halpin-Tsai model (H-T model)


Halpin Tsai untuk model aligned fiber juga telah membuat perumusan untuk
memprediksi besarnya modulus elastik dari bahan nanokomposit yang telah dibuat. Adapun
perumusan tersebut adalah :
𝑙𝑙
1+2( )𝜙𝜙𝜇𝜇 𝐿𝐿
𝐸𝐸𝐿𝐿 = 𝑑𝑑
𝐸𝐸𝑚𝑚 ………………………………..(3)
1−𝜙𝜙𝜇𝜇 𝐿𝐿

1+2𝜙𝜙𝜇𝜇 𝑇𝑇
𝐸𝐸𝑇𝑇 = 𝐸𝐸𝑚𝑚 ………………………………..(4)
1−𝜙𝜙 𝜇𝜇 𝑇𝑇

𝐸𝐸𝑓𝑓− 𝐸𝐸𝑚𝑚
𝜇𝜇𝐿𝐿 = 𝑙𝑙 ………………………………..(5)
𝐸𝐸𝑓𝑓− 2( )𝐸𝐸𝑚𝑚
𝑑𝑑

𝐸𝐸𝑓𝑓 − 𝐸𝐸𝑚𝑚
𝜇𝜇 𝑇𝑇 = 𝐸𝐸
𝑓𝑓− 2𝐸𝐸𝑚𝑚 ………………………………..(6)

Dimana :

𝛷𝛷 = fraksi volume

𝐸𝐸𝐿𝐿 = modulus elastic longitudinal


𝐸𝐸𝑇𝑇 = modulus elastic transversal

𝐸𝐸𝑖𝑖 =modulus elastic matrik


𝐸𝐸𝑓𝑓 = modulus elastic filler

d= diameter nanopartikel
l= panjang nanopartikel
selain model-model tersebut diatas, terdapat pula model lainnya yang dapat memprediksi
besarnya modulus elastic suatu bahan nanokomposit,yaitu :

 Hashin and Shtrikman upper and lower bounds (H-S model)


 Hui-Shia model (H-S model)

410
 Wang-Pyrz model (W-P model)
 Cox model (Shear lag model)

27.2 KARAKTERISASI
NANOKOMPOSIT[7]
Dalam mengkarakterisasi sifat mekanik suatu bahan nanokomposit yang telah disintesis,
ada beberapa cara bergantung sifat mekanik apa yang diuji. Diantara beberapa jenis uji sifat
mekanik yaitu :
1. Tensile and flexural tests (kebanyakan dilakukan dengan mesin instron),
2. Impact tests (dilakukan dengan mesin tes pendulum)
3. Micro-compression tests
4. Nanoindentation test
pada pembahasan kali ini, akan lebih dijelaskan bagaimana cara mengkarakterisasi menggunakan
Tensile and flexural tests
Untukmengetahuisifat-sifatsuatubahan khususnya
nanokomposit,tentukitaharusmengadakanpengujianterhadapbahantersebut.
Sifatmekanikbahanadalah:hubunganantararesponsataudeformasibahan terhadapbebanyangbekerja.
Adaempatjenisujicobayangbiasadilakukan,yaituujitarik(tensiletest),ujitekan(compressiontest),uji
torsi(torsiontest),danujigeser(sheartest).Dalamtulisaninikitaakanmembahastentangujitarikdan sifat-
sifatmekanik logamyang didapatkan dariinterpretasi hasil ujitarik.
Sifatmekanikbahanadalah:hubunganantararesponsataudeformasibahan terhadapbebanyangbekerja.
Sebelum kita bahas mengenai jenis uji sifat menanik bahan, marilah kita memepelajari
terlebih dahulu konsep benda elastic, benda plastic, tegangan dan regangan.
Pegas dan karet adalah contoh benda elastic. Sifat elastik adalah kemampuan suatu benda
untuk kembali ke bentuk awalnya segera setelah gaya luar yang diberikan kepada benda itu
diilangkan. Benda lain, contohnya tanah liat tidak akan kembali kebentuk semulanya disebut
benda plastis. Besarnya gaya yang diberikan harus sama dan mempunyai arah kerja berlawanan
sehingga dapat menghasilkan deformasi atau perubahan bentuk benda.
Berdasarkan orientasi arah dan letak kerja gaya, tegangan dibagi menjadi tiga jenis, yaitu:
1. Tegangan tarik adalah perubahan bentuk yang terjadi jika kedua gaya yang sama besar
dan berlawanan arah diberikan pada masng-masing bidang ujung benda dengan arah
menjauhi benda.

411
F

L L0

ΔL0/2

F
Gambar 27.3. Tegangan tarik
2. Tegangan Mampat(Mampatan) adalah perubahan bentuk yang terjadi jika kedua gaya
yang sama besar dan berlawanan arah diberikan pada masing-masing bidang ujung benda
dengan arah menuju titik pusat benda

ΔL0/2

L0
L

Gambar 27.4. Tegangan mampat

3. Geseran adalah perubahan bentuk yang terjadi jika dua buah gaya yang sama besar dan
berlawanan arah diberikan pada masing-masing sisi benda,sehingga benda mengalami
pergeseran delta L

412
F

Gambar 27.5. Tegangan geser


Adapun perumusan secara umum untuk tegangan adalah :
𝐹𝐹
𝑃𝑃 = ………………………………..(7)
𝐴𝐴

Satuan dari tegangan adalah Nm-2 atau pascal,sedangkan dimensinya adalah ML-1T-2
Saat kita memberikan tegangan pada suatu benda elastic,akan menyebabkan benda
tersebut mengalami perubahan panjang,oleh sebab itu didefinisikan konsep regangan. Regangan
adalah hasil bagi antara antara pertambahan panjang dengan panjang awalnya
∆𝐿𝐿
𝑒𝑒 = ………………………………..(8)
𝐿𝐿
Karena merupakan perbandingan dari dua besaran yang memiliki satuan yang sama
sehingga regangan tidak memiliki satuan atau tidak berdimensi. Secara umum untuk suatu bahan
elastic, perbandingan antara tegangan dan regangan untuk suatu bahan yang disebut modulus
elstik akan sebanding jika berada pada daerah elastic dan menjadi pembeda dengan daerah
plastic. Hal ini disebabkan suatu benda elastic akan berubah sifatnya jika diberikan gaya atau
tegangan yang terlalu besar. Pada saat ini terjadi, tegangan yang diberikan dapat memutus atau
mengalahkan besar gaya ikatan antar atom pada benda tersebut.berikut ini akan dijelaskan
mengenai uji tarik dan variable sifat mekanik yang dapat digambarkan oleh hasil uji tarik
tersebut.

27.3 UJI TARIK [7]


Ujitarikmungkinadalah carapengujianbahan yangpalingmendasar dan mudah untuk
dilakukan. Pengujian inisangatsederhana, tidak mahal dan sudah mengalami standarisasi di
seluruh dunia. Dengan menarik suatu bahan melalui standarisasi tertentu kita akan segera
mengetahui bagaimana bahan tersebutbereaksiterhadap tenagatarikan dan mengetahui

413
sejauhmanamaterialitubertambahpanjang. Adapun alat yang digunakan untuk uji tarik ini dapat
dilihat pada gambar dibawah ini

Gambar 27.6. Alat uji tarik [7]


Bahan yang diuji tarik, secara detail tiga dimensi digambarkan berikut ini

Gambar 27.7.perubahan panjang secara 3 dimensi dari uji tarik[7]


Jikateganganpadasumbuz maka pada arah sumbu z terjadi perpanjangan, pada arah sumbu
x perpendekan dan pada sumbu y perpendekan
juga.Perbandinganantararegangantegaklurusterhadapreganganaksialdisebutrasiopoisson,ν.Bahanis
otropik , νbiasanya=1/4. Sedangkan
414

………………………………..(9)
metaldancampurannya,ν=0.25s/d0.35.Modulusgeserdanmoduluselastikdihubungkandenganmemak
airasio poissonsbb:

𝐸𝐸 = 2𝐺𝐺(1 + 𝑣𝑣)

Banyakhalyangdapatkitapelajari khususnya mengenai sifat-sifat mekanik bahan,


darihasilujitarik.Bilakitaterusmenariksuatubahan(dalamhalini adalah suatu bahan nanokomposit
logam)sampaiputus,kitaakanmendapatkanprofiltarikanyanglengkapyangberupakurvaseperti
digambarkan pada

spesimen Tegangan tarik maksimum

Titik luluh

Titik putus

Deformasi lokal

putus

Gambar 27.8. Spesimen yang dikenai uji tarik (kiri) dan hasil grafik gaya tarik terhadap
pertambahan panjang dari uji tarik (kanan) [7]

Biasanya yang menjadi tujuan utama studi jenis uji ini adalah untuk mengetaui tegangan
tarik maksimum (ultimate tensile strength) suatu bahan.
Dapat dilihat pada gambar grafik diatas, saat awal penarikan kurva menghasilkan suatu
daerah yang mengindikasikan hubungan linear antara pertambahan panjang seiring dengan
bertambahnya gaya tarik yang diberikan terhadap bahan tersebut. Pada daerah ini disebut
sebagai daerah bekerjanya hokum Hooke. Dapat dirumuskan modulus elastic bahan dari
keberlakuan hokum hooke ini dengan rumus :
𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡 𝐹𝐹�
𝐸𝐸 = = ∆𝐿𝐿 𝐴𝐴 ………………………………..(10)
𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟 �𝐿𝐿
0

Dari rumus diatas, karena besarnya luasan tempat gaya bekerja serta panjang awal
besarnya konstan maka dapat disimpulkan nilai modulus elatik adalah perbandingan antara
perubahan gaya dan perubahan panjang di kalikan dengan konstanta.

415
Dalam melakukan uji tarik, digunakan standarisasi bentuk dan ukuran specimen yang
digunakan. Sebagai contoh pada gambar kiri diatas yang merupakan standari sasi JIS Z2201.
Specimen ini scara lebih jelas ditampilkan pada gambar berikut

Strain gage

Gambar 27.9. Bentuk specimen standarisasi JIS Z2201 (kiri) dan specimen yang dipasang
hambatan (kanan) [7]
Dengan spesifikasi D= 4mm, L=50mm, P=60 mm, R<15mm.
Perubahanpanjangdarispesimendideteksilewatpengukurregangan(straingage)yangditempelkanpada
spesimensepertidiilustrasikanpadaGbr.4.Bilapengukurreganganinimengalamiperubahanpanjangdan
penampang, terjadiperubahan nilaihambatan listrikyang dibaca oleh detektordankemudian
dikonversi menjadiperubahan regangan.
Sekarang marilah kita bahas lebih lanjut secara detail profil hasil uji tarik pada gambar
dibawah ini

416
Gambar 27.10. Profil grafik hasil uji tarik secara detail [7]

Profil uji tarik diperlihatkan pada grafik diatas dimulai dari titik O sampai D. adapun
penjelasan lebih detail yaitu :

1. Batas elasticσ E ( elastic limit)


Titik ini diperlihatkan pada gambar pada titik A. Saat sebuah bahan ditarik
sampai titik A, kemudian tarikan dihilangkan maka keadaan bahan tersebut akan
kembali kepada keadaan semula atau lebih tepatnya hamper kembali kepada keadaan
semula yaitu pada titik. Dari titik O sampai A ini merupakan keadaan dimana hokum
Hooke masih berlaku. Saat beban ditarik melewati titik A, hokum hooke sudah tidak
berlaku lagi dan terjadi perubahan secara permanen dari bentuk benda. Konvensi batas
regangan permanen masih disebut perubahan elastic yaitu kurang dari 0,03%, adapula
referensi yang menyatakan nilai 0,005%. Tidak ada standarisasi nilai ini, bergantun pada
jenis bahan yang digunakan.

2. Batas proporsional σp(proportionallimit)


Merupakan suatu titik yang menggambarkan hokum hooke masih bias ditolerir. Dalam
kebanyakan prakek uji nilai batas proporsional ini sama dengan nilai batas elastic karena
sebenarnya tidak ada standar yang pasti dari nilai ini.

3. Deformasi plastis (plastic deformation)


Menyatakan perubahan bentuk benda secara permanen tidak kembali ke bentuk semula.pada gambar,
batas ini diperlihatkan bila bahan telah melewati bbatas proporsional serta mencapai daerah landing. Pada tinjauan
mikro deformasi plastismengakibatkanputusnyaikatan atom denganatomtetangganyadan
membentukikatanyangbarudenganatomyang lainnya.Jikabebandi lepaskan,atominitidak
kembalikeikatanawalnya.

4. Teganganluluhatas σ uy (upper yield stress)


Disebut juga tegangan maksimum sebelum keadaan dari bahan memasuki fase
landing yang merupakan peralihan deformasi elastic ke plastis

5. Tegangan luluh bawah σ ly (lower yield stress)


Merupakan tegangan rata-rata daerah landing sebelum benar-benar memasuki
fase daerah deformasi plastis. Biasanya bila hanya disebutkan tegangan luluh (yield
stress), maka yang dimaksud adalah nilaitegangan ini.

6. Reganganluluh ε y (yield strain)


Adalah regangan permanen saatbahan akan memasuki fase deformasiplastis. Titik
ini diperoleh dari penarikan garis yang sejajar dengan garis keberlakuan hokum hooke
sampai memotong sumbu regangan.

7. Regangan elastis εe(elastic strain)


Adalah regangan yang diakibatkan perubahan elastis bahan.Pada saatbeban
dilepaskan regangan ini akan kembali ke posisi semula. Arti semula ini bukan kembali

417
kepada keadaan awal, tetapi keadaan setelah terjadi deformasi plastis.

8. Regangan plastisε p (plastic strain)


Merupakan regangan yang diakibatkan perubahan plastis. Pada saat beban
dilepaskan regangan ini tetap tinggal sebagaiperubahan permanen bahan. Artinya
bentuk benda tidak akan kembali lagi kepada keadaan semula.

9. Regangantotal(total strain)
Merupakan gabungan regangan plastis dan regangan elastis, ε T=ε e +ε p .Pada titik
B, regangan yang dimaksudadalah regangan total. Ketika beban dilepaskan, posisi
regangan ada pada titik E dan besar regangan yang tinggal (OE) adalah regangan plastis.

10. Tegangan tarikmaksimumTTM (UTS, ultimate tensile strength)


Ditunjukkandengan titik C (σβ), merupakan besar tegangan maksimum yang
didapatkan dalamujitarik. Nilai inilah yang biasanya dicari untuk membedakan sifat
mkanik suatu bahan.

11. Kekuatan patah (breaking strength)


Ditunjukkan dengantitik D, merupakan besartegangandimana bahanyang
diujiputusatau patah. Dengan kata lain bahan yang digunakan sudah rusak.

12. Istilah lain

Selanjutnya akan kita bahas beberapa istilah lain yang penting seputar interpretasi
hasil ujitarik. Diantaranya adalah :

a. Kelenturan (ductility)
Merupakan sifatmekanik bahanyangmenunjukkanderajatdeformasiplastis
yang terjadisebelumsuatu bahan putus pada uji tarik. Bahan disebut lentur
(ductile) bila regangan plastis yang terjadi sebelumputus lebih dari 5%, bila
kurang dariitu suatu bahan disebut getas(brittle).
Mengukurderajatdeformasiplastispadasaatpatah.Bahanyangmengalami sedikit atau
tidak sama sekalideformasiplastisdisebut rapuh.

Rapuh
Ulet
σ

ε
418
Gambar 27.11.Perbedaan grafik bahan rapuh dan getas

Keuletanbisadirumuskansebagaipersenperpanjanganataupersen
penguranganluas

%EL=(lF–lO)x100lF=panjangpatah
………..(11)

lOlO=panjangawal

…………..(12)
%AR=A–AFx100%EL=%perpanjangan
A0
A0=luaspenampang mula-mula

AF=luaspenampangpada

saat patah

b. Derajat kelentingan (resilience)


Derajat kelentingan didefinisikan sebagai kapasitas suatu bahan menyerap
energi dalam fase perubahan
elastis.SeringdisebutdenganModulusKelentingan(ModulusofResilience),dengansat
uanstrainenergy
perunitvolume(Joule/m3atauPa).DalamGbr.1,moduluskelentinganditunjukkanolehl
uasdaerahyang diarsir.

c. Derajat ketangguhan(toughness)
Kapasitas suatu bahan menyerapenergi dalam fase plastis sampai bahan
tersebut putus. Sering disebut
denganModulusKetangguhan(modulusoftoughness).DalamGbr.5,modulusketangg
uhansamadengan luas daerah dibawah kurva
OABCD.Satuanketangguhanadalahsatuanresilience, bahan ulet adalah bahan
tangguh sedangkan bahan getas adalah bahan yang tidak tangguh.

d. Pengerasanregang (strain hardening)


Sifat kebanyakan logam yang ditandai dengan naiknya nilai tegangan
berbanding regangan setelah memasuki fase plastis.

e. Tegangan sejati, regangan sejati(true stress, true strain)


Dalambeberapakasusdefinisitegangandanregangansepertiyangtelahdibahas

419
diatastidakdapatdipakai. Untuk itu dipakai definisi tegangan dan regangan sejati,
yaitu tegangan dan regangan berdasarkan luas penampang bahan secara real time.
Detail definisi tegangan dan regangan sejati ini dapat dilihat pada Gbr.7.

f. Resilience
Adalahkapasitasmaterialuntuk menyerap energi ketika mengalami
deformasielastisdanketikabebandilepaskan,energiinijugadilepaskan.
Modulusresilience,Ur:adalahenergiregangpersatuanvolumeyang
diperlukansehinggamaterialmendapattegangandarikondisitidak berbeban
ketitikluluh. σ

σy

εY ε

Gambar 27.12. Menentukan 𝜀𝜀𝑦𝑦

𝜎𝜎𝑦𝑦 2
𝑈𝑈𝑟𝑟 = 1/2𝜎𝜎𝑦𝑦 𝜀𝜀𝑦𝑦 = ………..(13)
2𝐸𝐸

Materialyangmempunyaisifatresilienceadalahmaterialyangmempunyai
teganganluluhtinggi(σy)danmoduluselastisitasrendah.Contoh:alloyuntuk pegas.

g. Tegangan sejati, regangan sejati(true stress, true strain)


Dalambeberapakasusdefinisitegangandanregangansepertiyangtelahdibahas
diatasatau disebut juga tegangan dan regangan teknik tidakdapatdipakai. Untuk
itu dipakai definisi tegangan dan regangan sejati, yaitu tegangan dan regangan
berdasarkan luas penampang bahan secara real time.

420
A0

L0

dL

L0 ΔL0

Gambar 27.13.bahan setelah diberikan tegangan tarik

Regangan sejati didefinisikan sebagai pertambahan panjang dL dibagi


panjang bahan L
𝐿𝐿 +∆𝐿𝐿 𝑑𝑑𝑑𝑑 𝐴𝐴𝐴𝐴
𝜀𝜀𝑇𝑇 = ∫𝐿𝐿 0 = ln �1 + � = ln⁡
(1 + 𝜀𝜀) ………..(14)
0 𝐿𝐿 𝐿𝐿0

Sedangkan tegangan sejati adalah


𝐹𝐹
𝜎𝜎𝑇𝑇 = = 𝜎𝜎(1 + 𝜀𝜀) ………..(15)
𝐴𝐴

Beberapa sifat logam


LOGAM KEKUATAN KEKUATAN
KEULETAN.%EL LULUH(PSi(MPa) TARIK (PSi (MPa)
(in : 2 INCHI)

EMAS - 19.000 (130) 45


ALUMINIUM 400(28) 10.000(69) 45
TEMBAGA 10.000 (69) 29.000(200) 45

BESI 19.000(130) 38.000(262) 45


NIKEL20.000 (138)70.000 (480) 40
TITANIUM35.000 (240)48.000 (330) 30
MOLIBDENUM 82.000 (565)95.000 (655) 35

Untukbeberapalogamdanpaduan contohnya

421

………..(16)
nonokomposit,tegangansebenarnyapada kurva σ-
εpadadaerahmulaiterjadinyadeformasi
plastiskekondisiterjadinyanecking(pengecilan penampang) dirumuskan :
𝜎𝜎𝜎𝜎 = 𝐾𝐾𝐾𝐾𝑇𝑇 𝑛𝑛

K,n=KONSTAN
n <1

Harga n Dan KUntukberbagaipaduan

BAHAN K

n Psi Mpa

• Baja karbon rendah 0,26 77.000 530


(Dianil)
• Bajacampuran 0,15 93.000 640
(Tipe4340, Dianil)
• Stainlesssteel 0,45 185.000 1275
(Tipe304,Dianil)
• Alumunium(Dianil) 0,20 26.000 180
• Alumuniumpaduan 0,16 100.000 690
(Tipe2024, Perluasan
Panas)
• Tembaga(Dianil) 0,54 46.000 315
• Perunggu 0,49 130.000 895
(70-Cu-30ZnDianil)

h. Kekerasan(hardness)
Mengukurketahananmaterialterhadapdeformasiplastis
yangterlokalisasi(lengkungan kecilataugoresan) pada suatu bagian pada bahan.

Macam- macam uji kekerasan :

• Ujikekerasanrockwell

• Ujikekerasanbrinell

• Ujikekerasanvicker

• Ujikekerasankwoop

422
Sekarang marilah kita bahas salah satu uji kekuatan diatas

 Ujikekerasanrockwell
Dari metode ini, digunakankombinasivariasiindenterdan
bebanuntukbahanmetaldancampuranmulaidaribahanlunaksampaikeras.
Indenter : - bola baja keras ukuran 1/16 , 1/8 ,
1/4,1/2inci(1,588;3,175;6,350; 12,70 mm)
Nomorkekerasanyang menjadi indicator
ditentukanolehperbedaankedalaman
penetrsiindenter,dengancaramemberibebanminordiikutibebanmajoryang
lebihbesar.
Berdasarkanbesarbebanminordanmajor,ujikekerasanrockwelldibedak
an atas2:

• rockwell, biasanya digunakan untuk bahan keras tiga dimensi

Uji ini menggunakan beban minor sebesar 10 kg dan beban major


berkisar antara 60, 100 sampai 150 kg

• Ujikekerasanrockwellsuperficial, digunakan untuk bahan tipis


Uji ini menggunakan beban minor 3 kg dan beban major berkisar antara
15 kg, 30 sampai 45 kg

Selain ujitarik, terdapat jenis uji yang lain yang tidak dibahas pada tulisan ini. Adapun
bentuk alat uji tersebut dapat dilihat dibawah ini

1. Uji kekerasan

2. Uji Mulur

423
3. Uji Kelelahan

27.4 NANOKOMPOSIT LOGAM [2],[3],6]


Nano partikel dapat meningkatkan sifat mekanik suatu bahan logam yang
dijadikan sebagai matrik walaupun dengan volume filler yang sangat rendah sekitar 1-
5%, peningkatan yang diharapkan dapat diperoleh dengan baik. Telah diteliti bahwa
untuk beberapa nanokomposit, dengan fraksi volume filler yang sama, kekuatan bahan
meningkat seiring dengan ukuran nanopartikel yang semakin kecil.
Secara umum, kekuatan dari beberapa nanokomposit meningkat seiring dengan
meningkatnya fraksi volume. Fungsi ini mungkin tidak liner. Mungkin saja muncul nilai
kritis fraksi volume dimana pada saat tersebut kekuatan dari nanokomposit akan
menurun, hal ini dimungkinkan karena pada saat tersebut sifat filler lebih mendominasi
terhadap sifat matrik. Interaksi dari nano partikel sebagai filler dengan matrik adalah
kuncidari peningkatan sifat mekanik suatu bahan.
Faktor-faktor yang mempengaruhi sifat mekanik bahan yaitu :

424
1. Fraksi volume filler
2. Derajat disperse
Berikutnya kita perkenalkan geometri filler dengan suatu konstanta disebut
dengan konstanta geometri γ dimana dirumuskan dengan
𝐴𝐴
𝛾𝛾 =
𝑉𝑉
Dimana A adalah luas permukaan efektif dan V adalah volume filler. Adapun
besarnya nilai konstanta ini untuk beberapa bentuk nanopartikel dapat dilihat pada
gambar dibawah ini
Nama Bentuk γ Parameter
Silinder 2(2/t +1/a )~4/t t diameter cross
t<<a section, a panjang
Kubus 2(1/a +1/b +1/c) a,b,c sisi kubus

Bola pejal 6/t t diameter

Untuk semua geometri dari filler, saat dimensinya semakin kecil, nilai dari γ akan
semakin besar. Ini berarti, semakin kecilnya filler yang digunakan, hasil yang akan lebih
baik akan diperoleh.
Hall-petch menghubungkan tegangan dari logam dengan rata-rata diameter d
sebagai
𝜎𝜎𝑦𝑦 = 𝜎𝜎0 + 𝑘𝑘𝑑𝑑 −1/2
Dari perumusan diatas dapat disimpulkan, tegangan akan naik saat ukuran
semakin mengecil. Secara umum nanokomposit terbagi menjadi beberapa jenis
berdasarkan jenis matrik dan filler yang digunakan,untuk lebih jelasnya perhatikan
gambar dibawah ini.

425
Gambar 27.14. Jenis-jenis nanokomposit[3]

Nanokomposit logam dapat disintesis menggunakan cara insitu maupun eksitu.


Insitu adalah cara mensistesis suatu nanokomposit dimana nanopartikel dibuat didalam
proses pencampuran antara nanopartikel dengan matrik sedangkan eksitu adalah cara
mensintesis nanokomposit dengan terlebih dahulu membuat nanopartikel kemudian
setelah nanopartikel sudah diperoleh baru dicampurkan dengan matrik. Secara lebih
detail, jenis-jenis dari metoda sintesis ini dapat dilihat pada bagan dibawah ini

Gambar 27.15. Jenis-jenis proses sintesis nanokomposit logam[3]

in situ IntermatrixSynthesis (IMS)banyak sekali dibicarakan dikarenakan dalam


proses pembuatannya bahan-bahan kimia yang turut serta dalam proses sintesis dapat
direduksi dengan baik sehingga dapat menghasilkan limbah produksi yang ramah
lingkungan.Adapun beberapa aplikasi yang dapat diperoleh dari nanokomposit logam ini
adalah :
1. Biocide
Seperti yang terlihat pada gambar dibawah ini,limbah air yang sangat
kotor dapat disaring menggunakan nanokomposit sehingga dapat menjadi
426
bersih kembali. Hal ini sangat bermanfaat sekali diwaktu seperti sekarang
dimana dikota-kota besar sulit memperoleh sumber air yang bersih

Gambar 27.16. Proses pemurnian air [3]

2. Otomotif
3. Penerbangan
4. Katalis,dan lain-lain

Sebelumnya material komposit menggunakan filler dalam skala mikro untuk


meningkatkan hardness, tensile strenght,ductility,density,thermal,electrical conductivity
dan wear ressistance. Saat menggunakan filler dalam skala nano,terjadi peningkatan sifat
mekanik bahan.
Komposit logam yang berisi nanopartikel atau karbon nanotube mempunyai
kelebihan dibandingkan dengan komposit polimer dari segi kestabilan temperature,
kekuatan besar, modulus elastic yang tinggi, hambatan yang baik, dan peningkatan
konduktivitas listrik.nanokomposit alumunium telah diprediksi dapat melampaui reduksi
berat yang dapat dilakukan oleh komposit polimer berbasis fiber untuk aplikasi
penerbangan.
Sintesis nanokomposit logam yang telah dibuat contohnya adalah Al-B 4 C, Mg-
SiC, Al-CNT, Cu-CNT dan Ti-SiC, menggunakan powder metallurgy sedangkan Al-SiC,
Mg-SiC, Al-Al 2 O 3 , Al- CNT, Mg-Y 2 O 3 , Al-Diamond, dan Zn-SiC, menggunakan proses
solidification. Proses sintesis yang dapat dilakukan untuk memperoleh nanokomposit
logam adalah :
1. powder metallurgy,
2. deformation processing,
3. vapor phase processing,
4. solidification processing,divided by :
a. rapid solidification,
b. mixing of nanosize reinforcements in the liquid followed by solidification
and
c. infiltration of liquid into a preform of reinforcement followed by
solidification.

427
Sebagai tambahan, penambahan hanya sekitar 10 persen dari partikel
Al 2 O 3 berukuran 50nm pada matrik alumunium dapat meningkatkan kekuatan sampai 515
Mpa. Ini 15 kali lebih kuat dari alumunium tanpa komposit, 6kali lebih kuat dari
alumunium dengan 46 persen Al 2 O 3 ukuran 29mikro dan 1,5 kali lebih kuat
daripadaAISI 304 stainless steel.

27.5 STRUKTUR KRISTAL UNTUK


MENENTUKAN FRAKSI VOLUME
MAKSIMAL FILLER [4]
Struktur kristal sederhana berisi bahasan tentang struktur kristal kubik dan struktur
kristal nonkubik. Struktur kristal kubik, berisi tentang: kristal kubik sederhana (sc), kristal
kubik pusat muka (fcc), dan kristal kubik pusat badan (bcc). Sedangkan sruktur kristal
sederhana nonkubik akan membahas tentang contoh-contoh struktur kristal, yaitu struktur
sodium chloride, struktur cesium chloride, struktur hexagonal close packed, struktur intan
serta struktur kubus sulfida seng.
1. Struktur kubus sederhana / sc (simple cubic)
Kristal kubus (cubic) yang mempunyai struktur kristal paling sederhana, yaitu:

Gambar 27.17. kedudukan atom-atom dalm Kristal SC[4]

Untuk kubus sederhana (sc), besar dan bentuk sel konvensional tepat sama dengan sel
primitifnya.
𝑎𝑎
����⃗1 = 𝑎𝑎𝑥𝑥⃗
𝑎𝑎2 = 𝑎𝑎𝑦𝑦⃗
����⃗
����⃗
𝑎𝑎3 = 𝑎𝑎𝑧𝑧⃗
Oleh karena harga panjang sisi kubus (a) atau jarak antara dua titik kisi yang berdekatan
maka besarnya :|����⃗
𝑎𝑎1 | = |����⃗
𝑎𝑎2 | = |𝑎𝑎
����⃗3 |
1. Jumlah sel primitif sama dengan jumlah sel konvensional
2. Jumlah titik kisinya = 8 x (1/8) = 1 buah
Ciri struktur kubus sederhana, yaitu hanya memiliki atom pada titik-titik sudut
kubus. Sistem kubus sederhana ini termasuk kisi primitif. Atom-atom dalam struktur

428
kubus sederhana ini bersinggungan disepanjang sisi kubus. Struktur jenis ini kurang rapat
dan tiap atomnya hanya memiliki enam atom tetangga terdekat.
Setiap atom dalam kristal kubus sederhana memiliki enam atom tetangga terdekat,
yaitu empat atom dalam bidangnya sendiri dan satu atom ada diatas dan satu lagi
dibawahnya. Banyaknya atom tetangga terdekat dalam suatu kristal lazim disebut
bilangan koordinasi, dan diberi simbol CN (Coordination Number). Oleh karena itu,
bilangan koordinasi struktur kristal sederhana (sc) adalah 6 atau CN=6.
2. Struktur kubus pusat muka/fcc (face centered cubic)

Gambar 27.18. kedudukan atom-atom dalm Kristal FCC [4]

Sel primitif tidak sama (lebih kecil) dari sel konvensional. Jumlah titik kis pada :
1. Sel primitif = 8 x (1/8) buah = 1 buah
2. Sel konvensional = (8x1/8) + (6x1/2) = 4 buah
Untuk bentuk fcc ini vektor-vektor translasi primitifnya dapat dinyatakan dalam :
1
����⃗1 = 𝑎𝑎(𝑥𝑥⃗ + 𝑦𝑦⃗)
𝑎𝑎
2
1
����⃗
𝑎𝑎2 = 𝑎𝑎(𝑧𝑧⃗ + 𝑦𝑦⃗)
2
1
𝑎𝑎3 = 𝑎𝑎(𝑥𝑥⃗ + 𝑧𝑧⃗)
����⃗
2
Dengan sudut antara sumbu-sumbu primitif.(𝑎𝑎 ����⃗,
1 ����⃗,
𝑎𝑎2 𝑎𝑎����⃗3 ) = 600
Struktur kristal unit sel, kristal fcc setiap kisinya ditenpati oleh sebuah atom dan
satu atom lagi pada pusat masing-masing bidang muka kristal.

429
Gambar 27.19. (a) model bola-bola atom (b) kedudukan atom-atom kisi SC
(c) hubungan antara r dan a [4]

Pada kristal kubus dengan struktur fcc maka atom pusat muka kristal
bersinggungan dengan keempat atom sudut pada bidang yang bersangkutan (gambar
4.5.a), sedangkan antara atom-atom sudutnya tidak bersinggungan dan masih mempunyai
jarak.
Hal itu berarti bahwa atom-atom hanya bersinggungan di sepanjang garis diagonal
bidang muka kristal(gambar 4.5.c). Pada kristal fcc terdapat delapan atom, masing-
masing menempati pusat tiap bidang muka kristal. Tetangga dekat dari atom sudut ini
adalah empat atom pusat muka yang berada pada bidang atom itu sendiri, empat atom
pusat muka diatasnya dan empat atom pusat dibawahnya. Jadi, atom ini mempunyai 12
atom tetangga terdekat atau bilangan koordinasinya (CN=12).
Berdasarkan gambar 4.5.b, nampak bahwa atom-atom bersinggungan di
sepanjang diagonal bidang muka kristal (AC). Panjang diagonal AC=4r. Hubungan antara
r (jari-jari atom) dengan a (sisi kubus) adalah,
𝐴𝐴𝐴𝐴 = �𝐴𝐴𝐴𝐴2 + 𝐵𝐵𝐵𝐵 2 = 𝑎𝑎√2
4𝑟𝑟 = 𝑎𝑎√2
1
𝑟𝑟 = 𝑎𝑎√2
4
𝑎𝑎 = 2√2𝑟𝑟
Pada struktur fcc terdapat 8 atom sudut dan enam atom pusat, pada pusat bidang
kubus. Oleh karena itu, jumlah atom yang mengisi unit sel adalah:

430
1 1
8 � � + 6 � � = 4𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎
8 2
1
Apabila jari-jari atom untuk sruktur fcc = r = 𝑎𝑎√2, dan volume unit selnya
4
adalah a3 maka volume atom
4 1
= 4 � � 𝜋𝜋𝑟𝑟 3 = ( )√2𝜋𝜋𝑎𝑎3
3 6
Maka, perbandingan antara volume atom yang mengisi setiap unit selnya,
terhadap volume unit sel disebut rapat kemasan atau disingkat pf.
𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣 √2𝜋𝜋𝑎𝑎3
𝑝𝑝𝑝𝑝 = = = 0,74
𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣 6𝑎𝑎3
Rapat kemasan untuk struktur kubus fcc adalah 0,74 artinya 74% dari unit sel
dengan atom.
No. Unsur A(Ǻ) No. Unsur A(Ǻ) No. Unsur A(Ǻ)
1 Ar 5,26 9 Ir 3,84 17 Pt 3,92
2 Ag 4,09 10 Kr 5,72 18 Pu 4,64
3 Al 4,05 11 La 5,30 19 Rh 3,80
4 Au 4,08 12 Ne 4,43 20 Sc 4,54
5 Ca 5,58 13 Ni 3,52 21 Sr 6,08
6 Ce 5,16 14 Pb 4,95 22 Th 5,08
7 Co 3,55 15 Pd 3,89 23 Xe 6,20
8 Cu 3,61 16 Pr 5,16 24 Yb 5,49

3. Struktur kubus pusat badan/ bcc (body centered cubic)

Gambar 27.10. kedudukan atom-atom dalm Kristal bcc [4]

431
Sel primitif tidak sama (lebih kecil) dari sel konvensional. Jumlah titik kisi pada:
1
1. Sel primitif = 8 � � 𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏ℎ = 1 𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏ℎ
8
1
2. Sel konvensional = 8 � � + 1 = 2 𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏ℎ
8

Untuk bentuk bcc ini vektor-vektor translasi primitifnya dapat dinyatakan dalam:
1
𝑎𝑎1 = 𝑎𝑎(𝑥𝑥⃗ + 𝑦𝑦⃗ − 𝑧𝑧⃗)
����⃗
2
1
����⃗
𝑎𝑎1 = 𝑎𝑎(−𝑥𝑥⃗ + 𝑦𝑦⃗ + 𝑧𝑧⃗)
2
1
����⃗
𝑎𝑎1 = 𝑎𝑎(𝑥𝑥⃗ − 𝑦𝑦⃗ + 𝑧𝑧⃗)
2
Dengan sudut antara sumbu-sumbu primitif (𝑎𝑎 ����⃗,
1 ����⃗,
𝑎𝑎2 𝑎𝑎����⃗3 ) = 1080 28′
Pada struktur pusat ruang (bcc) ini, satu atom berada di pusat kubus dan delapan
atom pada sudut. Satu atom yang berada di pusat tersebut bersinggungan dengan
kedelapan atom yang di sudut. Namun, antara kedelapan atom sudut itu tidak
bersinggungan/bersentuhan lama sekali. Hal ini dapat diartikan bahwa, atom-atom dalam
kristal bcc bersinggungan sepanjang garis diagonal ruang.

Gambar 27.11 (a) model bola-bola atom (b) kedudukan atom-atom kisi bcc
(c) hubungan antara diagonal ruang dan jari-jari [4]
Dari gambar 11 dapat terlihat bahwa,

𝐴𝐴𝐴𝐴 = �𝐴𝐴𝐴𝐴2 + 𝐵𝐵𝐵𝐵 2 = 𝑎𝑎√3


4𝑟𝑟 = 𝑎𝑎√3

432
1
𝑟𝑟 = 𝑎𝑎√3
4
4𝑟𝑟
𝑎𝑎 =
√3
Dengan r adalah jari-jari atom dan a adalah panjang sisi kubus
Pada struktur bcc tetangga terdekat dari atom sudut adalah atom pusat kubus,
termasuk kubus unit sel disekitarnya. Sedangkan di sekeliling atom sudut terdapat tujuh
unit sel terdekat lainnya. Hal ini berarti atom sudut memiliki delapan tetangga terdekat.
Delapan atom tersebut adalah satu atom di pusat unit selnya dan tujuh atom pusat dari
unit sel yang mengitarinya. Jadi, untuk struktur bcc memiliki bilangan koordinasi CN=8.
Untuk menentukan rapat kemasan (pf) dari bcc adalah:
Pada struktur bcc terdapat 8 atom sudut dan 1 atom yang seluruhnya merupakan
bagian unit sel. Oleh karena itu, banyaknya atom dalam struktur bcc adalah:
8x(1/8)+1=2 atom.
𝑎𝑎
, 𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗 − 𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗 = 𝑟𝑟 = ( )√3apabila volume unit sel=a3.
4
4 √3
Maka, volume atom adalah: 2 � � 𝜋𝜋( 4 )3 𝑎𝑎3
3

Maka, rapat kemasan (pf) dari kristal kubus bcc adalah:

√3𝜋𝜋𝑎𝑎 3
𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣
𝑝𝑝𝑝𝑝 = = 83 = 0,68
𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣𝑣 𝑎𝑎
Rapat kemasan untuk struktur kubus bcc adalah 0,68 artinya 68% dari unit sel
dengan atom.

No. Unsur a(Ǻ) No. Unsur a(Ǻ)


1 Ra 5,02 8 Na 4,23
2 Cr 2,88 9 Nb 3,30
3 Cs 6,05 10 Rb 5,59
4 Fe 2,87 11 Ta 3,31
5 K 5,23 12 Ti 3,88
6 Li 3,49 13 V 3,02
7 Mo 3,15 14 W 3,16

No. Nama SC FCC BCC

433
Volume sel
1
konvensional
Titik kisi tiap
2 1 4 2
sel
Volume sel
3 1/4 1/2
primitif
Titik kisi tiap
4 4/ 2/
unit volume 1/
Jumlah atom
5 tetangga 6 12 8
terdekat
Jarak atom
6 tetangga A
terdekat
Jumlah atom
7 tetangga 12 6 6
terdekat kedua
Jarak atom
8 tetangga a a
terdekat kedua
Fraksi
9
packing

DAFTAR PUSTAKA
1. Abdullah, M (2009).”Pengantar Nanosains”. Penerbit ITB
2. Ajayan,P.M. (2003). “Nanocomposite Science and Technology”. WILEY-VCH Verlag
GmbH Co. KGaA
3. Alonso,A et al. (2009).”Environmentally-Safe Polymer-Metal Nanocomposites with Most
Favorable Distribution of Catalytically Active and Biocide
Nanoparticles”.Nanocomposites Journal.http://www.google.com/
4. Charles, Kittel. (1996). “Introduction To Solid State Physics”.John Willey and Sons
:Canada
5. Hu, Hurang et al. (2010). “Characterizing and Modeling Mechanical Properties of
Nanocomposites-Review and Evaluation”.Journal of Minerals and Materials
Characterization Enginering. http://www.jmmce.org/

434
6. Rohatgi,P.K.Schultz,B. (2007). “Lightweight Metal Matrix Nanocomposites-Streching
The Boundaries of Metals”.Nanocomposites Journal. http://www.sigmaaldrich.com/
7. Sastranegara, A. (2009). “Sifat Mekanik Bahan”.Artikel Uji Mekanik
Material.http://www.google.com

435
Bab 28
Aplikasi Nanokristal ZnO
pada Solar Cell
Oleh: Dicky Anggoro

28.1 Pendahuluan

Saat ini, pengembangan teknologi untuk mencari sumber daya


pengganti penghasil energi listrik terus dikembangkan. Pengembangan ini
dilakukan, mengingat sumber daya penghasil listrik berbasiskan minyak
bumi dan batu bara yang digunakan saat ini semakin mendekati batas
ketersediaan yang akan habis dalam beberapa puluh tahun mendatang, jika
tidak dilakukan teknologi pengantinya. Di samping itu, perkembangan akan
kepedulian terhadap lingkungan hidup semakin hidup, dimana minyak
bumi dan batu bara merupakan bahan yang tidak ramah lingkungan dengan
menghasilkan sampingan gas CO 2 .
Beberapa teknologi yang berkembang sebagai sumber penghasil
listrik pengganti adalah pembangkit listrik tenaga angin, gelombang laut,
panas bumi, bio-massa, dan tenaga surya (solar sel). Adapun, dari semua
itu, solar sel merupakan sumber daya yang paling menjanjikan, karena
ketersediaan energi matahari yang sangat besar jumlahnya, namun belum
banyak dimanfaatkan. Teknologi ini dimulai dengan ditemukannya
kemampuan menghasilkan tegangan (fotovoltaik) dari bahan semi-
konduktor silikon (murni). Dari solar sel silikon, perkembangan solar sel
berkembangan dengan cukup pesat dan sampai saat ini, solar sel dengan
bahan dasar silikon dapat mencapai efisiensi di atas 30%, dan digunakan
untuk berbagai aplikasi termasuk untuk satelit, ataupun pembangkit listrik
skala besar (85% dari penjualan global).
Adapun, dibalik efisiensinya yang cukup besar, terdapat kekurangan
besar dari solar sel silikon. Kekurangan nya adalah keterbatasan bahan
silikon di alam, teknologi pengolahan bahan yang sulit, serta pabrikasi solar
sel yang mahal. Dari kelemahan ini , berkembang ide untuk mencari bahan
fotovoltaik yang murah dan tersedia dalam jumlah besar di alam. Dimulai
dengan menggunakan bahan semi konduktor yang merupakan campuran

436
(compound semiconductor). Lalu karena alasan keterbatasan sumber
tersebut di alam, mulai berkembang teknologi berbasiskan bahan organik,
termasuk di dalamnya adalah dye-sensitized, dan organic polymer thin film.
Salah satu keuntungan dari kedua jenis solar sel terakhir tersebut adalah
ketersediaannya yang banyak di alam, serta pabrikasinya yang murah, yaitu
dengan menggunakan proses film tipis. Pabrikasi dengan teknik film tipis
ini terus berkembang untuk mendapatkan efisiensi yang besar, karena saat
ini efisiensi yang dihasilkan relatif rendah (rata-rata <10%).
Pada dasarnya, prinsip kerja solar sel adalah perubahan energi
cahaya menjadi energi listrik. Tegangan dihasilkan dari absorbsi cahaya
oleh bahan, yang menghasilkan pasangan electron-hole. Electron dan hole
ini akan terpisah dengan adanya medan internal di dalam bahan. Kemudian,
pada kedua ujung bahan diberikan dua buah elektroda untuk mengekstrak
muatan electron dan hole. Kebanyakan solar sel konvensional yang
menggunakan prinsip kerja ini menggunakan bahan kristal bulk sebagai
bahan aktif penyerap cahayanya. Keterbatasan dari bahan ini adalah
mobilitas pembawa muatan yang terdapat dalam bahan bulk ini. Dari sini
muncul ide untuk menggunakan bahan dengan pengotor, yaitu type-p dan
type-n untuk meningkatkan mobilitas pembawa muatan. Lalu pada
akhirnya, berkembang solar sel dengan bahan nanokristal. Tujuan
penggunaan nanokristal ini adalah :
• Meningkatkan performa dari solar sel konvensional
• Menghasilkan divais dengan biaya produksi yang murah
• Menghasilkan efisiensi yang besar, melebihi efisiensi teoritis untuk solar
sel p-n junction

Nanokristal adalah material kristalin, dengan ukuran partikelnya


diantara 2-10 nm. Adapun kelebihan nanokristal ini adalah sifatnya yang
berubah dengan ukuran partikelnya. Pertama, sifat elektroniknya band gap
partikel akan berubah seiring dengan perubahan diameter partikel terlihat
pada Gambar 28.1. Semakin besar ukuran partikel, maka band gap akan
semakin kecil, sehingga berpengaruh ke sifat optik, yaitu absorbsi dan
luminesensi akan bergeser ke panjang gelombang besar.

437
a B

Gambar 28.1. a. absorbsi dan b. luminesensi nanokristal

Dalam tugas mata kuliah nano material ini, akan dibahas bagaimana
aplikasi solar sel dengan menggunakan bahan nanokristal sebagai bahan
aktifnya. Bagaimana cara pembuatan, sifat bahan, maupun proses fisis yang
terjadi di dalam nanokristal solar sel. Adapun bahan yang akan dibahas
secara lebih detail adalah bahan dye-sensitized nanokristal ZnO. ZnO
memiliki kelebihan yaitu band gap yang lebar dengan mobilitas yang besar.
Bahan ini dapat dengan mudah dikotori dengan bahan p, ataupun bahan n.
Bahan ZnO pun relatif mudah dibuat untuk menjadi divais dengan berbagai
macam cara pabrikasi-nya.

438
28.2 TINJAUAN PUSTAKA
28.2.1 Bahan Kristal

Bahan kristal adalah bahan padat yang tersusun oleh deretan atom-
atom yang teratur letaknya dan berulang (periodik), sedangkan zat padat
yang tidak memiliki keteraturan posisi atom disebut bahan amorf atau
bukan-kristal[5]. Gambar 2.1.a. menunjukkan atom-atom kristal yang
berada pada posis teratur, sedangkan pada Gambar 2.1.b. menunjukkan
atom-atom amorf yang berada pada posisi yang tidak teratur.

Gambar 28.2. Struktur bahan.


Struktur kristal. b. Struktur amorf

Ukuran kristal ditentukan pada proses pertumbuhan kristal saat


sintesis berlangsung. Jika ukuran kristal dalam orde mikrometer, maka
kristal digolongkan kristal mikro (microcrystalline) dan bila ukuran kristal
dalam orde nanometer, maka bahan tersebut digolongkan sebagai kristal
nano (nanocrystalline).
Karakteristik bahan kristal ditentukan oleh ikatan atomik dalam
kristal, orientasi bidang kristal, jarak antar bidang kristal dan sistem kristal.

439
28.2.2 Ikatan Atomik dalam Kristal
Ikatan atomik dalam kristal adalah ikatan akibat gaya tarik
menarik atom-atom penyusun kristal. Gaya tarik menarik atom pada kristal
mengakibatkan atom berada pada posisi tertentu di dalam kristal.
Gaya ikat antar atom atau lazimnya disebut ikatan terdiri dari
beberapa macam, yaitu: ikatan ionik, ikatan kovalen, ikatan logam, ikatan
van der Waals dan ikatan hidrogen. Berikut ini akan dijelaskan tentang
pengertian masing masing ikatan pada kristal:
a. Ikatan ionik adalah ikatan yang terbentuk karena adanya gaya tarik-
menarik elektrostatik (gaya coulomb) antara ion positif dan ion negatif.
Terbentuknya ion-ion tersebut disebabkan oleh terjadinya transfer elektron
antar atom pembentuk ikatan.

b. Ikatan kovalen atau sering disebut ikatan valensi atau homopolar adalah
ikatan yang dibangun oleh sepasang elektron dari dua atom yang berikatan.
Setiap atom menyumbang satu buah elektron untuk membentuk satu ikatan
kovalen.

c. Ikatan logam adalah ikatan yang terdapat pada atom suatu logam dimana
sejumlah elektron dimiliki bersama oleh sejumlah ion logam. Ciri-ciri
ikatan logam yaitu konduktivitas listrik dan termal yang tinggi dan banyak
mengandung elektron bebas yang dapat bergerak diseluruh kristal.
Elektron valensi yang dimiliki oleh setiap atom logam, akan menjadi
elektron bebas bila atom-atom tersebut membentuk kristal.

d. Ikatan van der Waals adalah ikatan yang terjadi antara molekul-molekul
non polar pada sesama atom gas mulia.

e. Ikatan hidrogen adalah ikatan antar molekul yang sangat polar dan
mengandung aton hidrogen.

28.2.3Orientasi Bidang kristal

440
Orientasi bidang kristal merupakan arah bidang vektor kristal yang
menggunakan simbol h, k dan l . Simbol h, k dan l dikemukakan oleh
Miller sehingga simbol ini dikenal dengan indeks Miller[7]. Untuk nilai h,
k dan l ditulis dalam bentuk integer misal [ h k l ] = [1 1 1].
Beberapa ketentuan untuk mengetahui arah orietasi bidang kristal
adalah sebagai berikut[6]:
- Bidang kristal yang sejajar mempunyai nilai [ h k l ] yang sama

- Bidang kristal yang sejajar dengan arah sumbu x, y dan z


mempunyai nilai nol

- Bidang yang memotong arah sumbu x, y dan z bernial 1

Gambar 3.a memperlihatkan bidang diagonal pada kubus memotong


 
arah sumbu x dan y sehingga h dan k bernilai 1, sedangkan pada arah
 
sumbu z bidang diagonal sejajar dengan sumbu z sehingga l bernilai nol.
Dalam indeks Miller arah bidang diagonal pada Gambar 3.a. dapat ditulis
dengan [110]. Untuk Gambar 3.b. bidang segitiga dalam kubus memotong
ketiga sumbu koordinat sehingga indeks Miller bernilai [111].

Gambar 28.3. Orientasi bidang kristal.


a.Orientasi bidang [110]. b. Orientasi bidang [111]

Apabila yang dikatehui hanya sudut difraksi ( 2θ ) dari suatu kristal


maka untuk mengetahui oreintasi kristal digunakan persamaan Laue[8].

441
Gambar 28.4. Skema difraksi dari hamburan sinar pada arah sumbu y

Gambar 3. menunjukkan sinar datang pertama dan sinar datang


kedua menumbuk atom dengan sudut datang φ 2 . Sinar datang akan
terhambur dengan sudut hambur ψ 2 . Selisih perjalanan sinar pertama dan
sinar kedua dapat ditulis dengan persamaan:

δ 2 = AQ − BP (2.1)

karena AQ = cosψ 2 . b

BP = cos φ 2 . BS

maka persamaan (2.1) dapat ditulis:

δ 2 = b(cosψ 2 − cos φ 2) (2.2)

Sinar datang yang memiliki sinar hambur lebih dari satu, maka perlu
dicantumkan nilai integer dari panjang gelombang yang diperoleh:

442
b(cosψ 2 − cos φ 2) = kλ (2.3)

dengan k adalah nilai integer dari kelipatan panjang gelombang.

Gambar 28.5. Skema tiga sinar difraksi dari satu sinar datang[8]
.

Gambar 5 menunjukkan bahwa saat terjadi difraksi pada atom, sinar


datang terhambur menjadi tiga sinar difraksi.
Jika hamburan sinar difraksi pada arah sumbu x, y dan z dengan
jarak antar bidang adalah a, b dan c maka persamaan (2.3) dapat diturunkan
menjadi:

a(cosψ 1 − cos φ1) = hλ untuk arah x

b(cosψ 2 − cos φ 2) = kλ untuk arah y (2.4)

c(cosψ 3 − cos φ 3) = lλ untuk arah z

Ketiga persamaan di atas merupakan persamaan untuk jumlah


hamburan pada sumbu x, y dan z, sedangkan posisi h, k dan l akan
membentuk satu kesatuan pola tiga dimensi dari sinar hamburan dalam satu
fasa. Sehingga dengan pola h, k dan l orientasi kristal dapat diketahui.

443
28.2.4 Jarak antar Bidang Kristal
Jarak antar bidang kristal merupakan jarak atom antar permukaan
kristal yang saling berdekatan. Jarak antar bidang kristal dari indeks Miller
ditulis dengan simbol d hkl . Untuk menentukan nilai d hkl suatu kristal
digunakan persamaan d hkl yang sesuai dengan struktur kristal tersebut.
Gambar 6. menggambarkan jarak antara bidang kristal yang saling tegak
lurus. Perhitungan untuk jarak antara bidang kristal bidang kristal adalah
sebagai berikut:

Gambar 28.6. Jarak antar bidang d hkl

Pada Gambar 6. dapat dihitung d hkl dengan menarik garis


normal dari pusat koordinat menuju bidang kristal. Sudut garis normal
dengan sumbu x adalah α , dengan sumbu y adalah β dan dengan sumbu z
adalah γ . Dalam matematis persamaan untuk menentukan d hkl pada
Gambar 6 adalah:

d hkl = x cosα = y cos β = z cos γ (2.5)

444
berdasarkan rumus trigonometri, hubungan antara cos α , cos β dan
cos γ adalah:

cos 2 α + cos 2 β + cos 2 γ = 1 (2.6)

dengan mensubtitusi persamaan (2.5) ke dalam persamaan (2.6)


diperoleh:

2 2 2
 d hkl   d hkl   d hkl 
  +   +   =1 (2.7)
 x   y   z 

sehingga :

1
d hkl = 1/ 2
(2.8)
 1 1 1 
 2 + 2 + 2 
x y z 

na
h=
x
nb
Jika
k=
y
nc
l=
z

dimana n adalah faktor yang digunakan untuk mereduksi indeks


integer yang lebih kecil, maka persamaan (2.8) menjadi:

445
n
d hkl = (2.9)
h 2 2 2 1 / 2
 k l 
+ +
 a2 b2 c2 
 

Untuk struktur kubus panjang kisi-kisinya sama yaitu a, faktor


reduksi integer bernilai 1 (n=1), diperoleh jarak antar bidang terdekatnya
adalah:

a
d hkl = (2.10)
(h 2
+k +l
2
)
2 1/ 2

sedangkan untuk struktur tetragonal (balok), yaitu panjang dua buah


kisinnya sama dan salah satu panjang kisisnya berbeda (a=b ≠ c) maka
jarak antar bidang terdekatnya adalah:

1
d hkl = 1/ 2 (2.11)
 h2 + k 2 l 2 
 + 
 a c

Ikatan kristal dan orientasi kristal akan membentuk sistem


kristal suatu bahan.

28.2.5 Sistem Kristal


Pola dasar atau pola geometri dari kristal dapat diilustrasikan dalam
bentuk yang sederhana yang disebut kisi[5]. Kisi merupakan posisi dimana
atom-atom penyusun kristal berada. Susunan kisi yang periodik akan
membentuk sistem kristal (struktur kristal) dalam bentuk tiga dimensi.
Tabel.1 memuat tujuh sistem kristal, kisi bravais, nilai a, b, c dan α , β dan
γ . Sedangkan Gambar 2.6 merupakan visualisasi struktur kristal yang
sesuai dengan nilai a, b, c dan α , β dan γ pada Tabel.1.

446
Tabel.1. Tujuh sistem kristal dan empat belas kisi Bravais dalam
tiga dimensi.

No. Sistem kristal Kisi Bravais Sumbu kristal dan sudut


kristal pada konvensional sel

1. Triklinik Simple Triklinik (p) a≠b≠c


α ≠β ≠γ

2. Monoklinik Simple Monoklinik(p) a≠b≠c

Base-centered (i) α = γ = 90 0 ≠ β

3. Orthorhombik Simple Orthorhombik (p) a≠b≠c

Base-centered (i) α = β = γ = 90 0

Face-centered (f)

Body-centered (c)

4. Tetragonal Simple Tetragonal (p) a=b≠c

Body-centered (c) α = β = γ = 90 0

5. Cubic Simple cubic (sc) a=b=c

Face-centered cubic (f) α = β = γ = 90 0

Body-centered cubic (c)

6. Trigonal Simple Trigonal (p) a=b=c


α = β = γ 〈120 0 , ≠ 90 0

7. Hexagonal Simple Hexagonal (p) a=b≠c


α = β = 90 0 ; γ = 120 0

447
Gambar 28.7. Empat belas kisi bravais

Pada kisi simple (p) dan SC simple cubic atom-atom hanya berada
pada titik pojok kubus, sehingga kubus tersebut disebut sel primitif (p).
Pada kisi body centre (BC) ada satu atom yang berada ditengah-tengah
kubus. Pada kisi base centre (i) atau body centered cubic (BCC) atom-atom
terdapat pada titik pojok kubus dan pada titik pusat kubus. Pada kisi face
centered cubic (FCC) atom-atom terdapat pada kedelapan pojok kubus dan
pada keenam titik pusat pemukaan kubus.

28.3 Zinc Oxide

Zinc Oxide (ZnO) atau dikenal juga dengan nama lain zinc white
memiliki massa molekul 81,48 gr/mol, energi gap sebesar 3,37 eV dan
melting point 19750C. Selain itu ZnO juga mempunyai karakteristik yang
dapat memotong sinar UV pada ukuran partikel dibawah 100 nm dan dapat
berluminisensi pada panjang gelombang 400-500 nm. Karakteristik ZnO

448
dengan melting point yang tinggi menunjukkan bahwa ZnO bersifat sebagai
material yang tahan panas. Energi gap ZnO yang rendah (kurang dari 6
eV) menunjukkan ZnO dapat digolongkan sebagai bahan semikonduktor.
Karakteristik ZnO sangat dipengaruhi oleh besar kecil ukuran
partikel ZnO yang diperoleh. Namun pada dasarnya karakteristik partikel
ZnO dipengaruhi oleh ikatan antar atom dalam kristal, orientasi bidang
kristal dan struktur dari kristalnya.
Berdasarkan atom pembentuk ZnO, jelaslah bahwa ZnO disusun
oleh atom logam zinc (Zn2+) dan atom oxigen (O2-). Berdasarkan jenis-jenis
ikatan yang terdapat pada bagian 2.1.1, dapat diketahui bahwa pada kristal
ZnO terdapat ikatan campuran antara ikatan ionik dan kovalen.
Dari data JCPDS 36-1451 diperoleh bahwa kristal ZnO memiliki
kecendrungan orientasi kristal pada daerah (2 θ ) = 36o dengan
kecenderungan orientasi kristal berada pada [ h k l ] = [101].
Untuk memahami lebih jelas tentang ikatan, orientasi bidang dan
struktur kristal ZnO yang terbentuk dapat dilihat pada Gambar7.

a b c

Gambar 28.7. Struktur kristal ZnO. a.Struktur ZnO heksagonal.


b.Struktur ZnO dilihat dari atas. c. Struktur ZnO dilahati dati samping

Gambar 7.a. memperlihatkan ikatan ionik dan kovalen antara Zn2+


(atom berwarna biru) dengan O2- (atom berwarna merah). Terjadinya ikatan
ion dan kovalen menimbulkan bentuk struktur heksagonal dari kristal
ZnO.Pada Gambar 7.b dapat dilihat bidang kristal ZnO berbentuk segi

449
enam dengan jarak antar atomnya sama dan pada Gambar 7.c bidang kristal
ZnO berbentuk persegi panjang. Sehingga dari Gambar 7 dapat
disimpulkan bahwa struktur kristal terbentuk dari ikatan atom-atom
penyusun kristal dan oreintasi bidang kristal.

28.3.1 Metode Sintesis Partikel ZnO


Untuk menghasilkan partikel ZnO dengan ukuran kristal maupun
ukuran partikel berdiameter nanometer, telah dilakukan beberapa metode
pensintesisan, antara lain:

28.3.2 Metode Solid State

Metode solid state adalah metode yang menggunakan bahan padatan


tanpa menggunakan pelarut. Proses pencampuran bahan dilakukan dengan
penggerusan dan pemanasan.
Sintesis ZnO dengan metode solid state yang dilakukan oleh DU
Yu-Lei dkk menggunakan prekursor yang digunakan ZnSO 4 .7H 2 O dan
Na 2 CO 3 dengan perbandingan molar 1:1. Kedua prekursor dicampurkan
dan digerus (grinding) selama 1/2 jam, kemudian dipanaskan selama 1 jam
(temperatur pemanasan berkisar antara 300oC – 5000C), selanjutnya
dilakukan pencucian pada campuran dengan air destilasi sebanyak 3 kali
dan 1 kali dengan Et-OH. Perlakuan terakhir untuk memperoleh ZnO
berbentuk powder, campuran yang berupa padatan dipanaskan pada
temperatur 800C. Ukuran kristal ZnO yang dihasilkan dari metode solid
state ini berkisar 10 nm – 38 nm.
Kelemahan metode solid state adalah material yang dihasilkan
berkemungkinan terkontaminasi oleh material penggerus (material
grinding), sehingga akan mempengaruhi efek dari material yang dihasilkan.

450
28.3.3 Metode Sol-Gel

Metode sol gel merupakan metode yang mereaksikan bahan-bahan


kimia dalam fasa larutan. Pencampuran bahan dalam fasa larutan bertujuan
agar partikel yang dihasilkan memiliki komposisi kimia yang homogen.
Dalam metode sol gel akan terjadi reaksi hidrolisis yang menyebabkan
perubahan fasa dari cair - sol menjadi gel.
Reaksi hidrolisis pada metode sol gel terjadi saat penambahan air
pada proses sintesis, muatan positif pada pusat atom metal dan muatan
negatif pada molekul air akan terpisah, sehingga masing-masing ion
tersebut saling berikatan.
Bagan alir reaksi sol gel adalah sebagai berikut:

Hydrolisis: M (OR’) + H 2 O M(OH) 4 +4R’OH

Kondensasi: M’(OH) 4 + M’(OH) 4 (OH) 3 M O M(OH)+H 2 O[16].

dimana metal alkoxide dengan simbol M(OR’) n . M adalah metal, O


adalah oksiegen dan R’ adalah organik group..

Pembuatan ZnO dengan metode sol gel salah satunya dilakukan oleh
Lidia Armelao dkk. Armelao mensintesis ZnO yang ditanamkan dalam
silica. Prekursor yang digunakan adalah Zn(CH 3 COOH) 2 .2H 2 O dengan
pelarut ethyl-alcohol dihydrate (C2 H 5 OH). Agar terjadi deionisasi, air dan
acetid acid ditambahkan pada larutan Zn(CH 3 COOH) 2 .2H 2 O dan C 2 H 5 OH,
dengan perbandingan ethyl-alcohol dihydrate dan zinc asetate dihydrate
85:1, air dengan zinc asetate dihydrate 11:1, acetid acid dan zinc asetate
dihydrate 0,01:1. Larutan prekursor dipanaskan pada temperatur 65oC
selama 2 jam, setelah itu dilakukan annealing pada temperatur 300oC–
600oC. Ukuran kristal yang dihasilkan adalah 5 – 13 nm. Ukuran dari
kristal yang dihasilkan lebih kecil dibandingkan dengan metode solid state
dan partikel yang dihasilkan homogen secara kimia.

451
28.3.4 Metode Spanel Anderson

Metode Spanel Anderson merupakan metode sol gel yang


dimodifikasi oleh Spanel dan Anderson. Perbedaan terdapat pada lama
waktu sintesis yaitu adanya waktu pendiaman larutan yang bertujuan agar
terjadinya penumbuhan kristal. Prekursor yang digunakan adalah zinc
acetate dihydrate yang dilarutkan dalam ethanol. Larutan prekursor diaduk
dan dipanaskan dengan temperatur 80oC selama 180 menit. Sebagian
larutan menguap dan sisanya dilarutkan kembali dengan LiOH. Larutan sisa
penguapan dimasukkan kedalam ultrasonic bath yang bertujuan agar
terjadinya reaksi hidrolisis pada larutan.
Penumbuhan kristal ZnO yang berukuran nanometer dengan metode
Spanel Anderson membutuhkan waktu yang cukup lama yaitu 5 hari
dengan ukuran kristal yan dihasilkan adalah 3-6 nm.

28.3.5 Metode Spray Pyrolysis

Spray pyrolysis merupakan metode yang digunakan untuk


memproduksi material khusus yang menggabungkan fase cair dan gas
dengan proses aerosol. Partikel yang disintesis dengan spray pyrolysis
mengalami proses atomisasi pada larutan precursor menjadi droplet.
Droplet tersebut kemudian dialirkan melewati furnance (tempat terjadinya
proses epavorasi pelarut droplet) yang merubah droplet tersebut menjadi
partikel.
Spray pyrolysis memiliki beberapa keuntungan yaitu, partikel yang
diproduksi bentuknya bola, distribusi diameter partikel seragam dan dapat
dikontrol ukurannya dari mikro ke submikro, kemurnian produk tinggi, dan
prosesnya kontinu. Keuntungan ini nyata karena precursor garam
tercampur dalam larutan pada level molekular. Setelah mengalami proses
atomisasi, semua proses formasi partikel tergabung di dalam droplet. Setiap
droplet memiliki komposisi yang sama. Partikel komposit dan
multikomponen lebih mudah untuk disintesis dengan cara mengontrol
reaksi kimia larutan precursor. Aplikasi proses spray pyrolysis pada
industri sangat menjanjikan karena perlengkapan yang digunakan sederhana
dengan waktu proses yang pendek dalam orde detik. Sebagai bahan
perbandingan, penggunaan cara konvensional dengan menggunakan metoda
fase padat atau cair membutuhkan pengulangan proses yang sama. Seperti

452
proses perhitungan dan penggilingan untuk menghasilkan ukuran partikel
yang diinginkan. Selain itu, operasi tersebut berdampak masuknya kotoran
kedalam partikel .
Partikel yang digunakan dalam penelitian ini adalah ZnO. ZnO
dipilih karena penggunaannya yang luas hampir disemua bidang industri
elekronika.
Penggunaan spray pyrolysis dalam mensintesis partikel difokuskan
pada prediksi dan kontrol dalam menghasilkan morfologi partikel. Banyak
peneliti yang memberikan solusi numerik dalam proses konversi droplet ke
partikel. Marshall dan Colleagues meneliti efek epavorasi bahan pelarut
pada morfologi partikel yang telah kering dengan menggunakan persamaan
difusi untuk transfer massa pada padatan yang terlarut kedalam droplet.
Persamaan difusi yang diterangkan dalam makalahnya Marshall terlalu
rumit untuk diselesaikan secara analitik karena pergerakan batas yang
disebabkan oleh shrinkage droplet. Kesulitan pada penghitungan yang
berbelit-belit pada masalah pergerakan batas telah disederhanakan oleh van
der Lijn dengan cara mengemukakan hubungan matematika untuk
memperbaiki batas terluar. Teknik ini menjadikan hubungan secara analitik
untuk solusi penghitungan distribusi konsentrasi didalam droplet lebih
sederhana.
Sifat fisika kohesi dan adhesi merupakan salah satu faktor penting
dalam pembentukan film tipis didalam alat spray pyrolysis, selain sifat
diatas temperatur yang diberikan pada substrat / film pun juga
menjadi faktor penting lainnya, terlihat pada Gambar 8 dibawah ini

Gambar 28.8. Evolusi dari droplet didalam alat spray pyrolysis

453
Pada Gambar 8 terlihat evolusi droplet yang terbentuk didalam
reaktor spray pyrolysis, deposisi ZnO pada film tipis dapat terbentuk bila
droplet masih pada keadaan basah atau bisa dikatakan droplet belum
terbentuk sempurna, keadan droplet basah atau kering terbentuk pada posisi
tertentu, terlihat pada Gambar 5, penumbuhan film tipis yang seragam dan
tidak seragam.

Gambar 28.9. Hasil penumbuhan film tipis, seragam atas, tidak


seragam bawah

Metoda fabrikasi partikel nanostruktur dengan menggunakan spray


drying dan spray pyrolysis memiliki banyak kesamaan, mulai dari
peralatan, parameter yang digunakan maupun hasil yang diinginkan.
Perbedaan mendasar dari kedua proses tersebut terletak pada reaksi yang
terjadi saat proses pemanasan
Metoda spray drying dan spray pyrolysis adalah teknologi
terbaik untuk menghasilkan partikel serbuk. Untuk mereduksi ukuran
partikel menjadi ukuran partikel berskala nanometer, ada 2 dasar tahapan
yang diperlukan yaitu:
a) Reduksi ukuran awal spray

Hal tersebut dapat dilakukan dengan menghasilkan ukuran


droplet yang lebih kecil, dengan cara mengatur frekuensi dari
piezoelektrik didalam ultrasonik nebulizer.

b) Larutan konsentrasi rendah

454
Ketika droplet berisi bahan terlarut akan membentuk padatan setelah
dipanaskan. Makin kecil konsentrasi larutan maka semakin sedikit jumlah
partikel terlarut dalam droplet yang menyebabkan makin kecil ukuran
partikel nanostruktur yang dihasilkan.

Konsep dasar metoda Spray Drying dan Spray Pyrolysis adalah


memanaskan sebuah droplet sehingga pelarut akan menguap dan partikel
nanostruktur dapat terbentuk. Metoda spray pyrolysis dapat digunakan
untuk mempabrikasi metal, metal oxides dan partikel nanokomposit bubuk
karena metoda tersebut mampu menghasilkan partikel dengan komposisi
dan morfologi partikel yang terkontrol, kristalinitas yang bagus, dan ukuran
yang seragam. Pengontrolan ukuran partikel sangat dipengaruhi oleh
kemampuan ultrasonic dalam produksi ukuran droplet.
Proses yang terjadi pada metoda spray drying adalah pertama
larutan dirubah diatomisasi menjadi dalam bentuk droplet dengan diameter
d p , sedangkan didalam droplet terdapat material berukuran nanometer
(sol) dengan diameter d d . Sedangkan pada metode spray pyrolysis didalam
droplet tidak terdapat partikel nanostruktur tetapi terdapat zat-zat terlarut
yang akan bereaksi dengan zat yang lain. Bentuk droplet dengan diameter
antara 1-100 μm dihasilkan alat pengatomisasi seperti ultrasonic nebulizer.

Gambar 28.10. Skema lengkap sistem dan alat spry pyrolysis

455
Terlihat pada Gambar 10, skema reaktor lengkap sistem dan alat
spry pyrolysis lalu droplet dialirkan kedalam tabung reaktor dengan
bantuan gas pembawa untuk dikeringkan sehingga air terdispersi didalam
droplet akan menguap didalam reaktor, saat air dalam droplet menguap
akan tersisa material dengan struktur berukuran nanometer yang memiliki
ukuran sub-mikrometer berbentuk bola bulat. Proses pembentukan droplet
dapat dilihat pada Gambar 11.

Gambar 28.11. Proses pembantukan droplet pada Spray Drying dan


Spray Pyrolysis

28.3.5 Metode Pechini

Metode Pechini adalah salah satu metode larutan. Prekursor yang


digunakan berupa larutan metal alcoxide dengan pelarut berupa asam. Agar
tidak terjadi pengumpalan (chelating agent) digunakan ethylene-glycol
456
sebagai. Lima dkk menggunakan Metode Pechini untuk mebuat material
luminisensi ZnO yang didoping dengan Eu3+. Gambar 2.8. merupakan
bagan alir sintesis ZnO yang dilakukan oleh Lima dkk. Prekursor yang
digunakan adalah larutan zinc asetate dihydrate dan pelarut acetid acid
dengan perbandingan mol 1:1,2. Prekursor dan pelarut diaduk dan
dipanaskan dengan temperatur 1300C hingga terbentuk resin. Saat
pengadukan larutan ditambahkan ethylene-glycol (EG) agar terjadi proses
polimerisasi, sehingga atom-atom Zn dan O akan menempel pada rantai
polimer. Resin yang dihasilkan dipanaskan pada temperatur 900oC,
sehingga terbentuk ZnO powder dengan ukuran partikel 500 nm[4].

Proses sintesis ZnO dengan Metode Pechini sangat sederhana bila


dibandingkan dengan metode-metode lain. Tabel.2. memuat beberapa
keuntungan menggunakan Metode Pechini.

Tabel 28.2. Perbandingan metode sintesis ZnO dan hasil yang


diperoleh.

Metode
No Temperatur Lama
Sintesis Ukuran Hasil
proses

1 Solid State 300oC- 500oC 1 jam Kristal 10 – Material yang


38 nm dihasilkan tidak
homogen

2 Sol Gel 300oC - 600oC 2 jam partikel 10 – Material yang


(Armealo. dkk) 100 nm dihasilkan homogen

3 Spannel & 800oC 2 jam – Cluster 3 Ukuran dapat


Anderson 5 hari nm. bervariasi hingga
bulk dengan ukuran
Bulk 1 – 5 kristal nanosize.
mm
Membutuhkan
waktu sintesis yang
lama.

4 Spray pyrolysis 861oK 45,3 Partikel Material yang


detik 100-200 nm dihasilkan
homogen,bentuk

457
dan ukuran partikel
yang dihasilkan
bervariasi ( padat
dan berpori).

5 Pechini 900oC _ Partikel 50 - Hasil homogen,


200 nm partikel seragam,
alat yang digunakan
sederhana

28.4 Karakterisasi Partikel ZnO dengan


Difraksi Sinar-x
X-ray adalah radiasi elektromagnetik dengan panjang gelombang
1,54 Å. Panjang gelombang tersebut sama dengan ukuran atom pada kristal.
Setiap struktur kristal mempunyai pola difraksi x-ray yang berbeda. Dari
pola difraksi yang dihasilkan dapat ditentukan struktur kristal dan ukuran
kristal dari ZnO.

Gambar 28.12. Skema mekanisme difraksi sinar-x

458
Gambar 12. memperlihatkan mekanisme difraksi sinar-x. Sinar
kedua yang datang pada atom harus melewati perjalanan lebih panjang dari
sinar yang pertama sebesar: AB+BC. Hukum Bragg menyatakan bahwa
apabila dua buah sinar menjalar dengan sejajar, maka pertambahan jarak
lintasan yang dilewati merupakan kelipatan panjang gelombang (λ) dari
kedua sinar tersebut :
nλ = AB +BC (2.11)

Dengan menggunakan persamaan trigonometri, diperoleh persamaan


untuk Gambar13. diatas yaitu:
AB = d sin


karena AB = BC

sehingga n = 2AB
(2.13)

atau n = 2 d sin


dengan:

. n = orde dalam integer

λ = panjang gelombang sinar X

θ = sudut yang dibentuk sinar datang dan permukaan kristal

. d = jarak antar atom

Dari hasil karakterisasi sinar-x kita dapat menetukan FWHM (full


width at half maximum) yang berguna dalam penentuan ukuran diameter
suatu kristal.

459
Gambar 28.13. Skema penentuan nilai FWHM.

Dari Gambar 2.10. nilai FWHM pada grafik XRD dapat ditentukan
dengan menggunakan persamaan:

B=
1
(2θ 2 − 2θ 2 ) = θ 2 − θ1
2

Sedangkan untuk menetukan ukuran kristal ZnO digunakan


persamaan Scherrer:

λ
t=K (2.16)
B cos θ

Dimana t adalah ukuran kristal (nm), K adalah konstanta faktor


geometri kristal (pada kristal kubik nilainya adalah 0.94), λ adalah panjang
gelombang sinar-X yang digunakan yaitu 1.54 Ǻ = 0.154 nm , θ ialah sudut
refleksi Bragg dan B adalah nilai FWHM dalam satuan radian.

460
28.4.1 Karakterisasi Partikel ZnO dengan FE-SEM

FE-SEM merupakan alat yang digunakan untuk mengukur dan


memberi Gambaran sktruktur material dengan skala submikrometer hingga
nanometer. Sistem kerja dari alat ini sama dengan mikroskop optis, namun
FE-SEM menggunakan penembak elektron medan emisi sebagai sumber
cahaya dengan energi 1-30 KeV difokuskan pada titik kecil yang kurang
dari 10 nm.

Gambar 28.14. Prinsip kerja FE-SEM

Gambar 14. menunjukkan skema prinsip kerja dari FE-SEM.


Pertama elektron dihasilkan oleh field emission source dalam ruang vacum.
Sinar dilewatkan sepanjang electromagneticlenses, difokuskan di atas
speciment. Akibat dari penembakan elektron pada speciment, terjadi emisi
elektron dengan intensitas tertentu. Sebuah detektor menangkap elektron
kedua dengan intensitas tertentu dan divisualisasikan pada monitor. Dari
hasil visulisasi dari monitor dapat diketahui bentuk partikel dari speciment.
Pada FE-SEM gambar dibentuk dan ditampilkan oleh sinar elektron
yang difokuskan dengan tajam pada permukaan spesimen. Sinar elektron
tersebut memindai (scanning) spesimen dalam sebuah deretan garis-garis
dan bingkai yang dinamakan raster, sama halnya seperti televisi pada
umumnya. Pergerakan raster dilakukan oleh gulungan kawat (coil) kecil
461
yang berarus. Gambar bagan dari sebuah mikroskop elektron ditunjukan
pada Gambar 14. Spesimen dibombardir dengan elektron-elektron melalui
area yang sangat kecil. Beberapa hal mungkin terjadi pada elektron-
elektron ini. Bisa saja elektron-elektron tersebut direfleksikan spesimen
secara elastik. Bisa saja diabsorbsi oleh spesimen dan memberikan
kenaikan energi pada elektron sekundernya. Bisa saja diabsorbsi oleh
spesimen dan memberikan kenaikan pada emisi cahaya tampak. Dan bisa
saja menghasilkan kenaikan arus listrik pada spesimen. Semua efek tersebut
yang akhirnya dapat menghasilkan gambar spesimen.

28.5 DIVAIS SEL SURYA

28.5.1 Tinjauan Umum Tentang Sel Surya

Energi radiasi matahari merupakan sumber energi alternatif yang


jumlahnya tidak terbatas, terutama untuk negara-negara tropis seperti
Indonesia. Radiasi matahari berasal dari reaksi fusi nuklir pada matahari.
Sekitar 4 × 10 26 J det energi diemisikan sebagai radiasi elektromagnetik
dalam daerah spektral antara 0,2µm − 3µm , dengan intensitas radiasi dalam
ruang bebas pada jarak rata-rata bumi dari matahari sebesar 1353W m 2 .
Cahaya matahari selanjutnya diabsorpsi dan dihamburkan oleh atmosfer
sebelum mencapai permukaan bumi. Gambar 13 memperlihatkan spektrum
radiasi matahari pada beberapa kondisi yang berbeda (Szlufcik dkk., 1997).
Massa udara (Air Mass, AM) didefinisikan sebagai derajat atenuasi yang
diukur berdasarkan bagian jarak relatif atmosfer terhadap bagian jarak
minimum saat matahari tepat berada di atas zenith. Massa udara ini terdiri
atas AM0 saat spektrum cahaya matahari yang sampai di permukaan bumi
tanpa terhalang oleh atmosfer, AM1 saat matahari berada tepat pada zenith
dan AM1,5 saat matahari berada 450 di atas horizon

462
.

Gambar 28.15. Spektrum radiasi matahari pada beberapa kondisi


yang berbeda (Szlufcik dkk., 1997)

Di samping sumber energi yang telah ada, radiasi matahari dapat


dijadikan sebagai sumber energi alternatif paling besar. Oleh karena itu,
pengembangan energi alternatif berbasis tenaga matahari akan sangat
menjanjikan. Salah satu cara pemanfaatan energi radiasi matahari tersebut
dilakukan berdasarkan sistem konversi fotovoltaik melalui suatu piranti
optoelektronik yang disebut sel surya (Solar Cell). Sel surya merupakan
salah satu sumber energi alternatif dan dapat mengkonversi secara langsung
energi matahari menjadi energi listrik. Keuntungan penggunaan sel surya
pada konversi fotovoltaik diantaranya (Wolf, 1991):

1) Mengkonversi langsung energi radiasi matahari menjadi energi listrik.


2) Ramah lingkungan, tanpa emisi saat dioperasikan, dan tidak memerlukan
bahan bakar.
3) Dapat digunakan di mana-mana dan dapat diintegrasikan pada bangunan
ataupun konstruksi yang lain.
4) Berbentuk modular sehingga jumlah sel surya yang dipakai dapat
disesuaikan dengan kebutuhan.

Penelitian tentang efek fotovoltaik pertama kali dilakukan oleh


Becquerel pada tahun 1839, dimana Becquerel mendeteksi adanya tegangan
foto ketika sinar matahari mengenai elektroda pada larutan elektrolit.
Kemudian pada tahun 1954, para peneliti dari Bell Laboratories melakukan
pengembangan efek fotovoltaik menjadi sel surya dengan menggunakan
material silikon kristal terdifusi. Efisiensi konversi sel surya yang diperoleh
463
saat itu sekitar 4,5% (Szlufcik dkk, 1997). Sejak saat itu, sel surya mulai
menarik perhatian banyak peneliti karena sel surya diperkirakan dapat
menjadi kandidat sumber pembangkit listrik di masa datang. Berbagai
material kemudian diteliti untuk mendapatkan jenis material yang dapat
menghasilkan sel surya dengan efisiensi konversi yang tinggi. Analisis
teoritik yang berdasarkan celah pita energi menginformasikan bahwa
beberapa jenis material diperkirakan mampu menghasilkan sel surya
dengan efisiensi konversi lebih dari 30%, seperti diperlihatkan pada
Gambar I.2 (Sze, 1981). Berbagai kemajuan terus dicapai seiring dengan
efisiensi konversinya yang juga terus mengalami peningkatan sehingga sel
surya mulai menyentuh kehidupan manusia dan mulai dimanfaatkan
sebagai sumber energi listrik di berbagai perumahan sejak tahun 1990
(Kazmerski, 2006).

Gambar 28.16. Efisiensi konversi sel surya ideal yang dapat


dihasilkan oleh beberapa jenis material (Sze, 1981).

Jika cahaya matahari yang mengandung energi foton menyinari sel


surya, energi foton tersebut akan diabsorbsi oleh material sel surya
464
sehingga elektron-elektron yang berada pada pita valensi akan tereksitasi ke
tingkat energi yang lebih tinggi dan meninggalkan hole. Proses
pembentukan pasangan pembawa muatan tersebut (elektron-hole) lebih
dikenal dengan generasi pembawa muatan. Pergerakan pembawa-pembawa
muatan tersebut selanjutnya akan menghasilkan arus listrik. Ilustrasi proses
konversi fotovoltaik dalam sel surya silikon kristal seperti diperlihatkan
pada gambar I.3.

Gambar 28.17. Ilustrasi proses konversi fotovoltaik dalam sel surya


berbasis c-Si (Takahashi dan Konagai, 1986)

28.5.2 Struktur Dasar Sel Surya

Struktur sel surya dasarnya terdiri dari suatu hubungan (junction)


antar dua bahan semikonduktor, misalnya antara semikonduktor tipe-p dan
bahan semikonduktor tipe-n. Selain kedua bahan tersebut, sel surya
dilengkapi pula dengan kontak-kontak serta lapisan pelindung lainnya.
Bahan sel surya sendiri terdiri dari kaca pelindung dan material
adhesive transparan yang melindungi bahan sel surya dari keadaan
lingkungan, material anti refleksi untuk menyerap lebih banyak cahaya dan
mengurangi jumlah cahaya yang dipantulkan, semikonduktor tipe-p dan
tipe-n (terbuat dari campuran Silikon) untuk menghasilkan medan listrik,
kontak logam awal dan kontak logam akhir (logam tipis) untuk mengirim
elektron ke perabot listrik.

465
Gambar 28.18. struktur solar sel nanokristal dan b. TEM
nanokristal

Cahaya (foton) yang jatuh pada permukaan sel surya akan diserap
dan dikonversikan menjadi energi listrik terlihat pada gambar 14. Tetapi
tidak semua energi foton yang diserap dikonversikan menjadi energi listrik.
Hanya foton yang mempunyai energi foton cukup (hυ > E g ) untuk
mengatasi celah energi sebesar 1,1 eV yang dapat dikonversikan.

Gambar 28.19. Skema aliran electron dan hole pada solar cell

Dari Gambar 14 terlihat bahwa nano krrstal ZnO di gunakan sebagai


lapisan aktif lapisan yang mengabsorpsi cahaya matahari, juga terlihat
pada Gambar 15 skema pergerakan dari electron dan hole yang. Hole akan
bergerak kearah ITO dan electron bergerak kearah metal sesuai dengan
kaidah rekombinasi yang tertahan bajan tipe – p dan tipe – n. Semakin
tinggi intensitas cahaya dengan energi foton (hυ > E g ) maka semakin

466
banyak jumlah foton yang diterima sel surya, sehingga jumlah pasangan
elektron dan hole yang dibangkitkan semakin besar. Karena pengaruh
medan listrik (ε ) maka pembawa muatan bebas (elektron dan hole) yang
terdapat di daerah lapisan deplesi akan mendapat gaya listrik sebesar:

F = qε (2.1)
dimana q adalah muatan elektron atau hole.

28.5.2 Peningkatan Efisiensi Pada solar cell

Penggunaan nano Kristal pada solar cell merupakan salah satu usaha
para peneliti untuk meningkatkan efisiensi solar cell pada saat menyerap cahaya
matahari. Namun dilakukan pula perlakuan variasi morfologi pada partikel ZnO
yaitu dengan melakukan agregat ukuran yang beragam seperti terlihat pada
gambar 16.

Gambar 28.20. Hasil karakterisasi SEM dengan variasi morfologi ukuran partikel

467
Dari hasil sintesis menggunakan metoda spray pyrolysis seperti
terlihat pada Gambar 16. Lalu dilakukan karakterisasi absorpsi Gambar 17, terlihat
bahwa partikel ZnO yang diperoleh dengan beragam ukuran memiliki absorspsi
lebih tinggi dibandingkan dengan partikel yang seragam (monodiperse).

Gambar 28.21. Hasil karakterisasi absorspsi dengan variasi agregasi ukuran


partikel, dan tingkat eksitasi yang terjadi pada partikel

hasil serupa terlihat dari pengukuran arus dan efisiensi partikel ZnO pada Gambar
18, untuk agregat partikel yang polydisperse menghasilkan arus yang lebih tinggi
dibandingkan dengan monodysperse, serta menghasilkan efisiensi yang tinggi pula
untuk partikel dengan agregasi polydisperse. Hal tersebut terjadi dikarenakan
tingkat efisiensi yang bertambah pada kulit2 atom sehingga menyebabkan
tingginya hoping electron.

468
Gambar 28.22. Hasil pengukuran arus dan efisiensii divais partikel ZnO

469
DAFTAR PUSTAKA

• M. Abdullah. 2008. Buku Pengantar Nanosain:. Bab 1 Pendahuluan. Pdf.


(26/3/2008).

• D. Yu-lei 2002. Structural Characteristics and Photoluminisence of Zinc


Oxide Nanocrsital. Vol 19. No 3(2002) 372. Chin. Phys. Lett.

• S. Shukla 2003. Syntesis, Fuctional and Surface Treatment of


Nanoparticles. Edited by M.I. Baraton. Calivornia: American Sciented
Publisher.

• L. Aemelao 2001. Sol-Gel Synthesis and Cracterisation of ZnO Based


nanosystems. J.Thin .Solid. Film.39, pp 90-96.

• L. Spanel 1990. Semiconductor Clusters in the Sol Gel Proces: Quatized,


Aggregation, Gelation and Cristal Growth in Concentrated ZnO Colloids.
J. Am. Chem. Soc 1991, 113, 2826- 2833.

• O. Milosevic 1997. Syntesis and Deposition of ZnO Base Particle by


Aerosol Spray Pyrolisis. J.Thin.Solid. Film. 296. 44- 48.

• M Boucharef1, C Di Bin1, M S Boumaza, M Colas, H J Snaith B Ratier and J


Boucl´ Solid-state dye-sensitized solar cells based on ZnO nanocrystals
Nanotechnology 21 (2010) 205203 (12pp) doi:10.1088/0957-
4484/21/20/205203

470
BAB 29
Sintesis Nanomaterial
Oleh: Ea Cahya Septia Mahen

29.1. Pendahuluan
Pada sepuluh tahun terakhir ini, nanosains dan nanotekhnologi
telah berkembang secara signifikan, dan pengaruh nanosains dan nano
tekhnologi pada segala bidang telah diakui di seluruh dunia. Nanosains
merupakan salah satu bahasan cabang ilmu pengetahuan tentang
penelitian dan pengembangan yang berkembang dengan pesat di
seluruh dunia beberapa tahun terakhir ini. Hal ini akan berpotensial
pada refolusi bagaimana material dan device diproduksi. Hal ini
tentunya akan memberikan kontibusi yang tinggi untuk kemudahan dan
pemanpataannya bagi kebutuhan kehidupan manusia.
Nano berasal dari kata yunani “νάνος” yang berarti orang kerdil.
Dalam ilmu pengetahuan nano berarti ukuran satuan 10-9. Nanomaterial
berarti material yang berukuran mendekati 10-9 m atau kurang dari 100 nm.
Berikut digambarkan hubungan antar berbagai ukuran untuk
mempermudahkan kita memahami nano material.

Gambar 29.1 hubungan antar berbagai ukuran

471
Nanomaterial memainkan peranan pendukung yang penting
untuk aplikasi nanosains dan nanotekhnologi dalam bidang pembuatan,
seperti informasi dan tekhnik, sumber energi, lingkungan, kesehatan
dan treetmen medis.
Nano material mengundang ketertarikan banyak orang pada
akhir-akhir ini karena keunggulanya dalam sifat mekanik, elektrik,
optic dan magnetic yang luar biasa. Secara umum efek nano sruktur
dapat dibedakan menjadi :
a. Efek ukuran, terutama efek ukuran quantum, dimana struktur
elektronik bulk normal digantikan dengan rangkaian level
elektronik diskrit. Efek ukuran ini pada umumnya
menggambarkan sifat fisis partikel.
b. Efek permukaan, ini sangat penting karena meningkatkan
permukaan spesipik pada system partikel. Efek permukaan
ini memainkan peranan penting dalam proses kimia. Efek
permukaan ini dapat ditemukan dengan mengukur property
termodinamik, seperti tekanan udara, konduktifitas termal,
panas jenis, titik leleh dan sebagainya.
Beberapa aplikasasi nanomaterial telah dilaporkan dalam
beberapa jurnal atau literature, diantaranaya dalam bidang elektronik,
aplikasi magnetik, penyimpan energi, aplikasi medis, katalis, dan lain
sebagainya.
Persoalan pokok pada ranah nanomaterial adalah:
a. kemampuan untuk mengontrol skala (ukuran) sistem,
b. kemampuan untuk memperoleh komposisi yang
diperluakan, bukan hanya komposisi rat-rata, tapi
detailnya juga seperti defect, konsentrasi, dsb,
c. kemampuan untuk mengontrol dimensi modulasi,
d. selama proses pembentukan nanomaterial, kemampuan
untuk mengontrol luas interaksi antara building block
seperti arsitektur material itu sendiri.
Material nanostruktur dapat didefinisikan sebagai material
dengan ukuran Kristal kurang dari 100 nm yang dapat diprosuksi
dengan proses bottom-up atau top-down. Pendekatan bottom up
dimulai dari atom, ion atau molekul sebagai “building block” dan
diasembli pada ukuran skala nano, sedangkan metode top down untuk
mensintesis nanomaterial dimulai dengan material berukuran besar dan
struktur nano diperoleh dengan cara dekomposisi sruktur.
Nano material dapat disintesis pada berbagai fasa; padat, cair,
dan gas. Proses sintesisnya juga dapat melalui proses fisis (fisika) atau
kimia. Pada proses fisika yang terjadi adalah pengubahan bentuk bulk

472
menjadi ukuran nano, contonya adalah dengan proses penggilingan,
electron beam lithografi (EBL), DAN LAIN-LAIN sedangkan pada
proses kimia yang terjadi adalah keterlibatan reaksi kimia dalam proses
pembentukan nanomaterial, contohnya adalah dengan mereaksikan
asam dan basa yang sesuai.
Berikut skema pembetukan nano partikel :

Gambar 29.2 Skema pembantukan partikel nano melalui


pendekatan Top-Down dan Bottom-Up

473
29.2. Metode Sintesis
Nanomaterial
Akhir-akhir ini dikembangkan beberapa mede untuk mensintesis
(membuat) nano partikel, baik itu dengan pendekatan Bottom Up ,
maupun Top Down, dalam fasa padat, cair, maupun gas, dan juga
melalui reaksi kimia maupun fisika. Dalam Bab ini akan dijelaskan
beberapa metode sintesis nanopartikel sederhana.

29.2.1. Penggilingan Mekanis


Penggilingan merupakan salah satu metode top down dalam
mensintesis nanomaterial yang telah dikenal banyak orang, dimana
material disiapkan bukan dari kluster-kluster, melainkan dengan
dekomposisi struktur berbutir kasar sebagai hasil dari deformasi plastik
kasar. Metode ini merupakan metode popular dalam sinesis
nanomaterial karena lebih sederhana, memerlukan peralatan yang lebih
murah (pada skala laboratorium) dan dapat diaplikasikan dalam sintesis
material kelas apa pun.cKeuntungan utamanya adalah kemungkinan
sintesis nanomaterial dalam skala besar.

Gambar 29.3 perbandingan material sebelum dan sesudah


digiling
Selanjutnya problem serius yang dapat terjadi pada penggilingan
adalah:
1. Terkontaminasi oleh media peggilingan dan atau atmosfer.
2. Kebutuhan (untuk banyak aplikasi) untuk menggabungkan
produk powder tanpa mengasarkan mikro struktur nano
kristal.
3. Ada batasan terkecil ukuran partikel sehinggal penggilingan
tidak bisa mengubah ukuran partikel, karena semakin kecil
material akan memperlihatkan peningkatan plastisitas yang

474
tinggi.
Mesin Penggilingan adalah tipe mesin yang menggunakan SPEX
(high energy shaker), ball planit, atau alat giling. Energy diteruskan ke
powder dari bola baja, yang bergantung pada kecepatan putaran (atau
getaran), ukuran dan banyaknya bola yang digunakan, rasio jumlah
bola terhadap massa powder, waktu penggilingan, dan udara di sekitar
tempat penggilingan. Nanopartikel diproduksi dengan aksi pengikisan
selama proses penggilingan.
Untuk menghasilkan retakan pada material yang akan
dideformasi, diperlukan tekanan minimal yang diberikan penggiling
(ball milling) yang dirumuskan sebagai berikut:

𝛾𝛾𝛾𝛾
𝜎𝜎𝐹𝐹 = �
𝑐𝑐
Dengan 𝜎𝜎𝐹𝐹 adalah tekanan yang diberikan oleh ball milling
ketika retakan diteruskan untuk memecah partikel, 𝛾𝛾 adalah energy
permukaan material, E adalah modulus young dan c adalah panjang
retakan.

Gambar 29.4 skema penggilingan oleh Ball Milling


Salah satu contoh pengilingan mekanis adalah ball milling yang
dikembangkan pada awalnya sebagai metode pembentukan powder
untuk memproduksi dispersi campuran kuat dan halus, dengan
distribusi yang merata. Sesudah itu, metode ini digunakan sebagai

475
metode nonequilibrium yang sangat kuat yang dapat mensintesis
berbagai macam material dengan struktur stabil.

Gambar 29.5 mesin penggilingan


Untuk memecah partikel dengan menggunakan metode
penggilingan dikenal indeks kerja Bond (W i ) yang menentukan energi
yang diperlukan untuk memecah partikel
W i = 10 (d f-1/2 - d i -1/2)
Dengan d i adalah diameter partikel yang akan dipecah dan d f
adalah diameter akhir partikel yang diharapkan. .

29.2.2 Elektron Beam Lithografi


Electron beam lithography (EBL) bersandar pada material atau
“resists” yang secara kimia berubah ketika mereka diarahkan pada
beam electron. Perubahan kimia membuat material dilarutkan (Soluble)
dalam pelarut dimana sebelumnya material tidak dapat
dilarutkan.(resist positif). Mereka menjadi tidak dapat dilarutkan
(insoluble) dalam pelarut ketika awalnya material dapat dilarutkan
(resist negative). Penggunaan optic elektron memanfaatkan lensa
elektrostatik dan magnetic, beam elektron energi tinggi dapat
difokuskan pada spot sekitar ~5 nm, yang dapat dirastered di sekitar
permukaan, dengan demikian “penulisan” bagian soluble dan insoluble
dapat larut menjadi resist dengan resolusi beberapa nanometer. Resist
beam elektron pertama, material organic polymetyl methacrylate
(PMMA) telah ditemukan pada tahun 1968 dan menjadi resist positif
ketika deigunakan dengan larutan methyl isobutyl ketone (MIBK).

476
Gambar 2.2.1 menunjukan bagaimana EBL dapat digunakan
untuk membuat nanostruktur logam pada permukaaan dengan
menggunakan resist positif dan negatif. Dimulai dengan substrat
kosong, misalnya Si, lapisan tipis dari resist dipanaskan pada
permukaan (b). jika PMMA digunakan, maka akan hancur dalam
MIBK dan kekuatan larutan menentukan ketebalan film PMMA.
Selanjutnya (gambar c) pemokusan beam elektron pada umumnya pada
energy sekitar 100 keV dan arus beam dari beberapa picoamper di
rastered over daerah yang diperlukan untuk “ditulis” nanostruktur yang
diinginkan pada permukaan. Dosis harus dengan teliti dikalkulasikan
sehingga alterasi kimia dalam resist dapat terselesaikan dengan komplit
dan menyeluruh. Beberapa resist, termasuk PMMA dapat diubah dari
positif ke negative dengan mengubah exposure elektron; pada dosis
rendah menjadi resist positif dan menjadi negatif jika diberikan dosis
tinggi yang cukup. Resist diarahkan pada pelarut dengan dipping
sederhana. Dan dikembangkan ; Resist yang dikehendaki dihancurkan
(d). pada contoh yang ditunjukan, lembaran yang tersusun dari lubang
dengan substrat kosong pada bagian bawah resist positif dan pulau
persegi yang tersusun pada substrat dengan resist negatif. Selanjutnya
logam yang diperlukan nanostruktur terdeposisi pada permukaan ke
ketebalan yang tepat (e). Akhirnya, pelarut yang dapat melarutkan
resist yang tak terkena cahaya digunakan, dan peluncuran semua logam
yang tidak bersentuhan defngan substrat (f) meninggalkan pulau logam
persegi atau lubang persegi pada film untuk resist positif dan negatif.

477
(a) substrat (Si)

(b) dipanaskan dengan resist

(c) beam elektron “menulis”


pada daerah yang ditentukan

Resist Resist
Positif Negatif

(d) pelarut digunakan untuk


menghilagkan bagian soluble

(e) sampel dipanaskan dengan


film logam

(e) pelarut berbeda digunakan


untuk menghilangkan resist
sisa dan logam yang
dipanaskan
Gambar 29.6 pembuatan nanostruktur logam pada permukaan Si
menggunakan EBL

Gambar 29.2.2 menunjukan susunan nanopartikel CoPt


berdiameter 40 nm yang terpisah sejauh 80 nm dihasilkan pada
permukaan Si melalui EBL.

Gambar 29.7 40 nm dots magnetic CoPt yang dihasilkan dengan EBL

478
29.2. 3. Sintesis Reaksi Kimia Basah dari
Nanomaterial
Pada prinsipnya kita dapat mengklasifikasikan sintesis reaksi
kimia basah dalam dua kelompok besar, yaitu:
a. metode top down : dimana Kristal tunggal dicampurkan
dalam larutan encer untuk memproduksi nanomaterial,
misalnya sintesis dari silicon berporos menggunakan
electrochemical ething
b. metode bootom up: terdiri dari metode sol-gel, pengendapan,
dan lain-lain. Dimana material berisi precursor yang
dicampur pada cara yang terkontrol untuk membentuk
larutan koloid.

29.2.3.1. Proses Sol/Gel


Proses sol-gel melibatkan evolusi dari bahan jaringan anorganik
melalui formasi suspense koloid (sol) dan pembekuan sol untuk
membentuk jaringan dalam pase liquid (cair). Prekursor yang
digunakan adalah koloid yang terdiri dari elemen logam atau logamloid
dengan berbagai ligands reaktif. Awalnya material diproses untuk
membentuk disperse oxide dan membentuk sol dalam air atau larutan
asam. Penghilangan cairan dari sol menghasilkan gel, dan transisi
sol/gel mengontrol ukuran dan bentuk partikel. Calcination dari gel
membentuk oxide.
Di sini terdapat dua cara utama untuk mensintesis gel pada suhu
ruangan. Pertama terdiri dari reaksi biasa yang terjadi di alam ketika
silica dilarutkan dalam larutan untuk memandu terbentuknya formasi
jaringan silica. Kondensasi mungkin terjadi dalam beberapa larutan
bergantung pada pH dan konsentrasi garam. Perbedaan morfologi
mungkin diperoleh dan untuk silica sebagian besar dikenal sruktur
“opal”
Cara lain untuk menghasilkan silica dari larutan hamper sama
dengan reaksi kimia logam oxide dan air dalam larutan alcohol. Reaksi
pertama adalah hidrolisis yang berisi penggantian dari OR yang
terhubung pada silicon oleh silanol Si-OH. Sebelumnya, reaksi kimia
ini mungkin bereaksi bersama-sama untuk membentuk rantai Si-O-Si
(siloxane) yang memandu terbentuknya formasi jaringan silica. Tahap
ini membuat jaringan 3D yang menyerbu volume keseluruhan dari
wadah. dua sintesis cairan yang menggunakan solvent ( pelarut) untuk

479
melakukan reaksi kimia yang berbeda akan tetap sampai terjadi poros
pada jaringan solid. Gel terbentuk. Dua tahap material ini terdiri dari
shaped solid yang memperlihatkan difat yang spesifik.
Reaksi yang terjadi pada proses sol-gel bergantung pada
hidrolisis dan kondensasi dari meteal oxide M(OR) z yang dapat
diuraikan :
MOR + H 2 O → MOH + ROH (hydrolysis)
MOH + ROM → M-O-M + ROH (kondensasi)
Metode sol-gel sangat popular Dianatara ahli kimia dan
dilakukan secara luas untuk mempersiapkan material oxida. Misalnya
kimia dari tipe proses sol-gel untuk memproduksi Yittria yang
distabilkan oleh nanopartikel zirconia,

Zr(OH)4 (slurry) Sol Zirconia Yittria Zirconia Sol


HNO3+ Y (NO)3 Surfaktan (Span 80) +
Pemanasan +air Liquid Organik
(1,1,1,trichloroethan

Bulatan padat Sol


Bulatan Serbuk YSZ Bulatan Gel
mencampur Dalam Larutan Organik
Ekstrak Spere &
Calcine

Proses Sol-Gel dapat diuraikan secara ringkas pada langkah-


langkah yang jelas berikut ini:
1. Formasi dari larutan berbeda yang stabil dari alkoxide atau
precursor logam solvate,
2. Hasil pembekuan formasi oxida atau alkohol mmembuat
jaringan (gel) dengan reaksi polykondensasi yang dihasilkan
dalam peningkatan aksi dalam viskositas larutan
3. Mendiamkan gel (syneresis) selama berlangsung reaksi
polykondensasi sampai gel berubah pad bentuk solid,
dibarengi dengan penyusutan jaringan gel dan pengeluaran
zat pelarut dari poros gel. Tahap transformasi mungkin
terjadi secara bersamaan dengan syneresis. Proses
penyimpanan gel dapat melewati 7 hari dan secara kritis
mencegah terjadinya retakan pada gel.
4. Pengeringan gel, ketika air dan cairan volatile lainnya
dihilangkan dari jaringan gel. Proses ini lumayan rumit, pada
perubahan pokok dalam struktur gel. Jika terisolasi oleh
penguapan thermal, hasilnya adlah monolit yang dimasukan
dalam xerogel. Jika pelarut (seperti air) di extrac dibawah

480
kondisi superkritis dan dekat super kritis, hasilnya berupa
aerogel.
5. Dehidrasi, ketika permukaan batas M-OH dihilangkan, di
sana distabilkan oleh dehidrsi gel. Hal ini dicapai dengan
memanaskan monolit pada temperature 8000 C.
6. Densifikasi dan dekomposisi gel pada suhu tinggi ( T > 8000
C) jaringan poros gel hancur dan species organic sisa di
uapkan.
Representasi skematik proses sol gel untuk mensintesis nano
material dapat dilihat pada gambar berikut ini:

Gambar 29.8 Skema proses sintesis nanomaterial dengan metode


Sol-Gel
Pada umumnya proses pengeringan dari gel oxide menyebabkan
sintering dan penumbuhan yang juga merusak struktur poros dan
penyusutan jaringan gel. Untuk melindungi tekstur dari dari gel
basah,bagian dalam udara di permukaan interface poros harus
dikeluarkan secara hati-hati selama proses pengeringan selalu di atas
suhu dan tekanan kritis dalam autoclave. Hasilnya material terbentuk
dan disebut aerogel, material dengan struktur nano dengan banyak
poros. Perhatian pada metode sintesis ini muncul ketika kemungkinan
sintesis dari bukan etal inorganic seperti kaca, kaca keramik atau
material keramik pada suhu sangat kecil yang dikomparasikan dengan
tekanan tinggi yang dibutuhkan dengan pelelehan kaca atau keramik.
Contoh baik lainnya adalalah persiapan sukses MgO dengan metode
aerogel. Ini ditemukan bahwa MgO dihasilkan dengan metode aerogel
yang dikomparasikan dengan tehnik konvenional memperlihatkan

481
perbedaan sifat kimia. 4 nm kristalit dihasilkan dengan tekhnik aerogel
dimana partikel spheroid dibandingkan dengan partikel 9 nm kristalit
yang dihasilkan dengan tekhnik konvensional.
Salah satu contohnya adalah sintesis nanopartikel Zinc Oxide
(ZnO) dalam bentuk cairan koloid. LiOH merupakan agen hidrolisis
bagi (CH 3 COO) 2 Zn sehingga menghasilkan Zn(OH) 2 kemudian yang
terbentuk terkondensasi sehingga menghasilkan ZnO.

Gambar 29.9 SEM film tipis ZnO yang dihasilkan melalui metode Sol-
Gel

29.2.3.2 Sintesis Nanopartikel dalam Cairan Suspensi


Untuk banyak aplikasi nanopartikel, nanopartikel dibutuhkan
dalam cairan suspensi (hydrosol). Untuk material tipe ini, pada
umumnya paling baik menggunakan metode kimia basah yang
menghasilkan nanopartikel sebagai hydrosol. Metode umum yang
digunakan logam berisi molekul seperti garam logam atau
organologamik yang direduksi secara kimia untuk logam dalam
kehadiran surfaktan yang memungkinkan cluster logam tumbuh, tapi
mencegah terbentuknya cluster dari aglomerasi. Untuk menggambarkan
sintesis kimia basah proses untuk menghasilkan nanopartikel
monodisperse FePt, digambarkan secara detail pada gambar di bawah
ini:

482
Gambar 29.10 Sintesis kimia nanopartikel FePt
Pt yang berisi pada Pt (acac) 2 dengan struktur terlihat pada
gambar di atas, dicampurkan dalam botol reaksi dengan bahan kimia
lainnya. 1,2-alkanediol adalah pengantar yang mereduksi Pt dari
molekulnya. Dan diotyl ether adlah cairan bulk yang didispersan
dengan ttik didih tinggi (~2900 C). sedikit ikatan molekul hydrocarbon
, oleic acid dan oleylamine, juga ditambahkan untuk membentuk
surfaktan di sekitar atos logam dan memadatkannanopartikel FePt.
Untuk pencampuran ini ditambahkan Fe yang terkandung dalam
Fe(CO) 5 , yang secara termal tidak stabil dan dapat terdekomposisi pada
suhu rendah (~290 0 C). campuran dipanaskan pada suhu dibawah suhu
lembab, dan pembebasan atom Fe dan Pt memadat menjadi
nanopartikel yang dicegah dari koagulasi dengan pemanasan
surfaktan.a stoichiomertry partikel dapat dikontrol dengan jumlah
relatif Pt(acac) 2 dan Fe(CO) 5 yang ditambahkan. Dan ukuran partikel
dapat dikontrol pada ukuran diantara 2-5 nm dengan nilai absolut
bearing kimia yang ditambahkan. Partikel besar dapat juga dihasilkan
dengan dua metode dimana nanopartikel FePt dihasilkan dalam larutan
sebelumnya ditambahkan sebagai biji dalam tempat reaksi dan
prosesnya meningkatkan ukuran partikel. Metode ini menghasilkan
suspensi partikel monodisperse.
Keuntungan mempunyai disperse nanopartikel dalam cairan
suspensi adalah memproduksi array yang dibutuhkan relatif cepat jika
partikelnya monodispers. Tetesan suspensi dapat disalurkan pada

483
permukaan flat, dan cairan menguap dan partikel muncul bersama-
sama, interaksi antara pemanasan masing-masing surfaktan
menyebabkan keseimbangan dapat dihasilkan sebagai pegkristalan
raksasa, tapi terdapat beberpa perbedaan. Metode ini untuk mengontrol
ordered arrays dari nanopartikel ditunjukan oleh gambar 2.3.4 yang
menunjukan gambar hasil TEM diametr nanopartikel FePt 6 nm dengan
pemansan oleate/oleylamine (a) dan hexanoate/hexylamine (b).

Gambar 29.11 larik yang teratur dari nanopartikel FePt yang


dihasilkan melalui reaksi kimia

Kelas penting lainnya yang dibentuk dengan metode yang sama


adalah material semikonduktor seperti CdSe. Nanopartikel
semikonduktor dikenal sebagai quantum dot dan fluoresce dengan
panjang gelombang bergantung pada ukuran partikel pada batasan 2-10
nm. Cara alternative lain untuk menghasilkan nanopartikel
menggunakan molekul multi branched yang dikenal sebagai
dendrimers. Dendrimers berasal dari bahasa Yunani, dendro, yang
artinya tanaman, dendrimers dimulai dari molekul sederhana dengan
beberapa tempat aktif yang sama dengan molekul yang dapat terikat.
Dendrimers dapat meningkatkan ukuran dengan memasang kerangka
melekul, masing-masing kerangka dikeahui sebagai generasi dan
penambahan generasi meningkatkan ukuran dendimers menekati nomor
tempat permukaan aktif.contohnya 5 generasi dendimers
polyamidoamine (PAMAM) ditunjukan pada gambar 2.3.5. Akhir-akhir
ini , metode ini dikembangkan untuk menggunakan dendimers sebagai
template untuk menghasilkan logam nanopartikel dalam suspensi
dengan distribusi ukuran yang terbatas. Tekhnik dasar ditunjukan pada
gambar …b dan dimulai dengan menambahkan logam garam (AuCL4
dalam contoh yang ditunjukan) pada larutan dendimer, menyebabkan
hancurnya ion logam untuk menyerap saluran dendimers. Selanjutnya,
tetrahydrobiopterin atau BH 4 ditambahkan dan berperan sebagai
pereduksi, menghilangkan muatan dari ion logam sehingga
terkondensasi pada nanopartikel bersama dendimers.

484
Untuk mengekstrak partikel, toluene yang berisi surfaktan tiol
ditambahkan dan menjaga phase tersendiri dari larutan dendrimer.
Dengan menggetarkannya menyebabkan thiol terpasang pada
permukaan nanopartikel, lalu mengekstrak nanopartikel dari
dendrimers, dan membawanya pada phase toluene. Dendrimer kosong
berada di sebelah kiri dan dapat digunakan untuk memperoleh partikel
lebih lanjut. Ukuran partikel (diameter maximum sampai 4 nm) dapat
dikontrol secara mudah dengan sejumlah logam garam ditambahkan
pada larutan dendrimer. Pembuatan nanopartikel dengan jumlah logam
yang berbeda telah dilaporkan. Untuk beberapa aplikasi, contohnya
katalis.

Hydrogen
Carbon
Nitrogen
Oxygen

Gambar 29.12 sintesis nanopartikel menggunakan dendimer

29.2.3.3 Reverse Micelle


Reverse micelle sebagai rongga mikroemulsi hidrofil skala nano
telah diketahui sejak 1960, tapi struktur multimolecular baru digunakan
pertama kali sebagai templet nano sintesis material pada tahun 1982.
Synthesis Reserve micelle material termasuk sintesis material basah .
Reverse micelle adalah air dalam droplet minyak yang
distabilkan oleh surfactant. Rasio air terhadap surfactant, w =[H 2 O]/[S],
berbanding lurus dengan ukuran droplet. Reverse micelle diperlakukan
untuk gerak Brown dan selama tumbukan ini droplet bergabung untuk
membentuk dimer dengan adanya pertukaran masing-masing muatan
air terrsebut. Dimer menjauh satu sama lain membentuk reverse
micelles. Dua larutan micelle disiapkan, masing-masing mengandung

485
reaktan. Dengan mencampur kedua larutan, reaksi kimia terjadi dan
nano material terbentuk. Ukuran droplet yang dikontrol dengan w
mengontrol ukuran partikel. Prosedur digunakan untuk memperoleh
variasi dari material seperti semiconductor, logam, dan oxide.

Gambar 29.13 Reserve Micelle


Salah satu cara untuk melakukan sintesis reserve micelle adalah
menghasilkan satu induk mikroemulsi dan kemudian berturut-turut
membiarkan reaktan untuk berdifusi pada bagian dalam reverse micelle
dan bereaksi. Masalah utama dengan hal ini atau bisa juga disebut
single-microemulsion adalah semua reaktan tidak bereaksi pada kondisi
yang diperkirakan sama. Masalah kedua adlah komposisi dari
mikroemulsion berangsur-angsur berubah seperti larutan dari reaktan
yang berbeda berangsur-angsur muncul. Oleh karena itu, pendekatan
multi-microemulsion, dimana mikroemulsion tunggal dengan
komposisi sama disiapkan untuk setiap reaksi yang terlibat dalam
sintesis, digunakan lebih sering dalam cara untuk mengatasi masalah
single- mikroemulsion dan mencapai pengontrolan yang lebih baik
parameter-parameter sintesis. Ilustrasi dari single dan multi
microemulsion untuk mensintesis material dapat dilihat pada gambar di
bawah ini:

486
Gambar. 29.14 Ilustrasi beberapa tahap dalam penumbuhan partikel ukuran
nano dalam reserve micelle dalam pendekatan multimicroemulsi (atas) dan
single-microemulsi (bawah)

Berikut contoh nanopartikel oxalate La-Ni yang dihasilkan


dengan menggunakan metode Reserve Micelle

Gambar 29.15 La-Ni nanopartikel oxalate yangdihasilkan melalui metode


Reserve Micelle

487
29.2. 4. Deposisi Fasa Gas
Proses ini mencakup semua sintesis yang dimulai dengan reaksi
fasa gas. Devosisi pasa gas medapat perhatian yang lebih karena
metode ini memiliki cara yang mudah untuk mengontrol parameter
untuk memungkinkan memproduksi ukuran, bentuk dan komposisi
yang nanostruktur yang terkontrol.

29.2.4.1. Menghasilkan Nano Partikel dalam Vakum


Banyak dari penelitian mendasar pada nano partikel logam
murni dilaksanakan dengan menggunakan sumber yang menghasilkan
partikel dalam uap supersaturasi dan transport pada celah untuk
membentuk berkas partikel dalam pakum. Dalam kaitannya dengan
bagian tinggi atom permukaan, banyak material ketika mereka
terbentuk sebagai nanopartikel sangat reaktiv; dan jika material tersebut
dipelajari dalam keadaan murni, material tersebut dihasilkan dalam
lingkungan “ultra-clean”. Sehingga kebanyakan sumber dari tipe ini
berhenti pada pakum bertekanan tinggi (~10-7 mbar) atau ultra tinggi
(~10-10) sebelum saturasi tercipta. Untuk mengoerasikan sumber ini,
kabut uap logam dibuat dengan pemanasan atau sputtering dan
dicampurkan dengan satu lubang keluaran. Kondisi supersaturasi
dipertahankan pada chamber pada tekanan sekitar 10 mbar. Terlebih
dahulu tekanan pada daerah ini untuk beberapa sumber, dapar dibuat
lebih tinggi dan diatas tekanan atmospir. Campuran partikel
terkonsensasi dan gas ruangan lepas dari lingkungan pada tempat yang
dipompa dengan kuat, dengan tekanan yang tetap, tekanan bagian luar
dipertahankan mendekati 10 mbar. Pancaran gas pada tekanan tinggi ,
lubang kecil pada pakum yang dikenal sebagi “free jet expansion”dan
dapat menjadi kuat dan lemah bergantung pada perbandingan tekanan
pada tempat tekanan tinggi dan tekanan rendah.

Gambar 29.15 Skema dari nanoparticle Beam Source.

488
Pancaran berkas memasuki “skimmer” dengan celah yang kecil
dengan efesiensi transfer nanopartikel ruang gas yang kecil
memungkinkan masuk kedalam chamber selanjutnya., yang dipompa
dengan pompa vakum tinggi yang mejnjaga tekanan pada daerang
hingh pakum sekitar 10-5 mbar. Pada vakum level ini, tumbukan antara
nanopartikel dan gas dasar jarang dan partikel dalam perjalanan berkas
bergerak bebas.
Haost dari sumber telah dikembangkan sekitar tekhnologi
umum, masing-masing mengkhususkan pada elemen particular atau
batas ukuran partikel. Perbedaan utamanya adalah metode
memproduksi uap logam dan berbagi bagian tekanan sumber. Skema
dari perbedaan masing-masing source dapat dilihat pada gambar 2.4.2

Gambar 29.16 Skema beberapa tipe utama sumber


menggunakan uap supersaturasi untuk menghasilkan berkas
nanopartikel dalam pakum.
Gambar 2.4.2. a manunjukan seeded supersonic nosel source
(SSNS) yang terkhususkan dalam menghasilkan perubahan drastis

489
partikel logam dengan titik leleh yang rendah seperti sodium. Logam
dipanaskan dengan pembakaran untuk pemanasan tinggi yang tepat,
untuk menghasilkan tekanan di sekitar 10-100 mbar, dan uap tercampur
dengan gas yang dimasukan dalam tekanan beberapa atmosfer.
Campuran panas meluas hingga vakum menuju celah sempit, dan
pendinginan yang cepat menyebabkan penutupan nosel
mengkondensasi logam menjadi cluster. Pengclusteran berlanjut hingga
rata-tara lintasan bebas menjadi terlalu panjang dan memungkinkan
interaksi yang signifikan antara parteikel terkondensasi. Ini adalah
kekurangan pertama dari desain yang ditunjukan oleh gambar a,
pengclusteran terjadi setelah tingkap pertama dan sumber
dikarakterisasi dengan ekspansi pancaran bebas y ang sangat kuat.
Tekhnik sulit dari penahan lelehan dalam pemanasan yangrelatif besar
membatasi suhu yang mungkin dibawah 1600 K. sumber demikian
terkurung untuk mempelajari material dengan tekanan uap tingi .
Walaupun demikian , alat ini dapat memproduksi flux lebih dari 1018
atom/sec material bentuk cluster.
Gambar 2.4.2. b menunjukan desain umum untuk sumber
kumpulan gas thermal, dengan tipe pertama sumber logam cluster
dilaporkan pada tahun 1980. Uap logam diproduksi dengan cawan
panas yang dengan desain hati-hati dan pemilihan material (bergantung
pada logam yang terkandung) dapat menjangkau suhu diatas 200 K.
sehingga range lebar dapat diproduksi sebagai nanopartikel, termasuk
juga logam transisi. Secara umum terdapat celah lebar dalam daerah
high-pakum, dan expansi pancaran bebas lebih lemah daripada SSNS.
Dengan pengeluaran gas yang teliti, sumber paling utama cocok untuk
memprodiksi berkas cluster sangat bersih dan ntuk UHV operasi yang
cocok dengan yang dilaporkan tekanan uap dari gas yang
terkontaminasi selain Ar atau He dalam ruang gas 10-11 mbar .
Cara alternative untuk memanaskan logam untuk menghasilkan
uap atomik adalah dengan sputtering, dimana ion berenergi tinggi
dipercepat pada permukaan dan mengeluarkan atom dari permukaan
tersebut. Gas yang terionisasi dan digunakan untuk sputtering pada
umumnya Ar dengan dasar tekanan uap supersaturasi logam. Uap
atom logam yang di sputtering terkondensaasi pada nanopartikel,
dengan perbedaan pokok uap diproduksi pada kondisi yang relative
dingin. Skema dari sputtering gas ditunjukan pada gambar 2.4.2. c . tipe
ini telah dilaporkan pada tahun 1992 dan memberikan beberapa
keuntungan, termasuk kemampuan untuk menghasilkan cluster hamper
solid termasuk logam refactori. Pengclusteran memiliki efisiensi yang
tinggi karena uap yang terpercik mengandung atom individual dan
proporsi cluster dimmers dan kecil, yang berperan sebagai nucleus
pengkondensasi untuk nanopartikel. Proses awalnya partikel bertumbuh

490
tidak hanya bergantung pada kehomogenan nukleasi, namun juga pada
inisial bottleneck untuk penumbuhan. Karakteristik lainnya memiliki
proporsi yang tinggi (meningkat sampai 50%) jumlah nanopartikel
yang terionisasi.
Gambar 2.4.2. d menunjukan skema sumber nanopartikel yang
menggunakan pulsa laser untuk menghasilkan kabut uap logam. Pulsa
cahaya dari laser Nd-YAG yang difokuskan pada target yang cocok
dapat menguapkan setiap material refraktor. Dan jika pulsa laser
bertepatan dengan ledakan gas sepanjang target yang dihasilkan dengan
pulsa katup, kondisi cocok untuk pengcluseran dapat dicapai.
Clustering terjadi ketika nosel sebagai uap logam berjumpa dengan gas
yang jarang dan berlanjut pada ekspansi kuat sebagai campuran yang
dikeluarkan.
Pulsa arc dapat juga digunakan untuk menghasilkan plume yang
teruapkan dari uap logam, dan pada kasus ini sumber dikenal sebagai
pulsed arc cluster ion source (PACIS) yang diilustrasikan pada gambar
2.4.2. e. proses clusterisasi sama dengan yang digunakan dalam metode
laser ablation. Aggregasi gas memanfaatkan sputtering, cluster yang
keluar mengandung ukuran ion ~10 % dan cocok untuk harga partikel
penganalisis massa. Baru-baru ini, continuous arc source (ACIS) telah
dikembangkan pada Continuous arc yang diarahkan pada katoda
berlubang dengan medan magnetic.
Pemahaman yang bertambah dari pengoperasian sumber cluster,
dicapai dengan menerapkan simulasi fluida dinamis pada aliran gas,
telah menunjukan rancangan pengontrol aktif kecepatan gas pada
medan ruanggas untuk mencapai kondisi optimal cluster. Sebagai
contohnya pengembangan pulsa istics dari beberapa sumber lainnya,
Memperkerjakan pulsa ruang gas yang diarahkan sebagai pancaran
yang berlawanan dengan katoda target. Uap plume dihasilkan oleh
sputtering dengan discharge electric yang juga digunakan sebagai pulsa
yang singkron dengan pancaran gas. Simulasi menunjukan bahwa
dengan rancangan yang benar dari chamber expansi, disana tekanan gas
tinggi yang membatasi rod pada discharge ablasi yang meningkatkan
hasil sputtering. Tekanan tinggi juga menaikan sputtering secara
langsung keseluruhan cluster yang ditempatkan pada penumbuhan
nanopartikel lebih lanjut. Dengan repitisi rate 5 Hz, sumber dapat
memproduksi film nanopartikel karbon engan rate 100 𝜇𝜇m/hr, dibuat
pada pemanasan dan aplikasi device yang sesuai.

491
29.2.4.2 Chemical Vapor Depormation (CVD)
CVD adalah metode popularmemproduksi IC (integrated circuit)
silikon untuk menumbuhkan berbagai macam logam, semikonduktor,
dan film tipis. Cirri khas CVD aalah pada generasi thermal radikal aktif
dari gas precursor yang menyebabkan deposisi susunan atau elemen
film pada substrat. Beberapa waktu, film yang sama dapat tumbuh pada
suhu rendah dengan memisahkan precursor dengan eneergi elektron
tinggi pada glow discharge. Pada kasus lain, katalis hampir tidak
dibutuhkan. Transisi katalis logam dibutuhkan untuk menumbuhkan
CNTs pada beberpa bentuk hydrocarbon (CH 4 , C 2 H 2 , C 2 H 4, ….) atau
CO.
Reactor CVD sederhana dan murah untuk dibuat di
laboratorium, dan berisi pipa kwarsa yang tertutup dalam furnace.
Reactor menggunakan 1 atau 2 pipa kwarsa, mampu mencengkram
substrat kecil. Material substrat bisa menggunakan Si, mica, quartz,
atau alumunia. Susunannya memerlukan pengontrol aliran massa,
pengontrol gas dan tranducer tekanan untuk mengukur tekanan. Suhu
penumbuhan antara 700 sampai 9000 C. CO dan CH 4 adalah dua gas
yang paling banyak dilaporkan untuk mendapatkan SWCNTs. Gambar
dibawah menunjukan skema reactor CVD

Gambar 29.17 Skema Reaktor CVD

Untuk menghasilkan carbon nanofiber dan carbon nanotube,


membrane template dengan atau tanpa katalis Ni pada lubang
ditempatkan pada kisi platina sebelah kanan dalam raktor CVD. Suhu
reactor dinaikan sampai 9000C untuk membrane tanpa Ni dan 545 0 C
untuk membrane yang memakai katalis Ni, keduanya dibawah aliran
argon. Carbon nanofiber dan carbon nanotube disintesis dengan
dekomposisi masing-masing ethylene atau pyrene. Dengan ethylene,
aliran Ar diakhiri setelah suhu stabil. 10 sccm aliran ethylene didimulai
secara serempak. Setelah deposisi aliran Ar dilanjutkan, aliran ethylene
dihentikan. Furnace dimatikan dan membiarkan dingin pada suhu

492
ruangan. Pada kasus precursor pyrene ~50 mg pyrene ditempatkan
pada daerah 2000 C dari reactor dan Ar (50 sccm) digunakan sebagai
gas pembawa. Prosedur lain sama seperti dekomposisi ethylene. Hasil
SEM dapat dilihat pada gambar berikut:

Gambar 29.18 SEM nanotubes yang dihasilkan setelah 10 menit deposisi


pada suhu 9000 C menggunakan precursor (A) ethylene dan (B) pyrene

29.2.5. Metode Spray


Spray dapat diartikan sebagai pembangkitan droplet-droplet dari
medium cair. Banyak contoh spray yang kita jumpai dalam kehidupan
sehari-hari, diantaranya hair spray, parfum, cat pilox, obat nyamuk
semprot dan lain sebagainya. Terdapat beberapa faktor yang
mempengaruhi besarnya ukuran droplet, diantaranya : tegangan
permukaan cairan, viskositas cairan, ukuran lubang keluarnya droplet,
dan lain sebagainya.

29.2.5.1 Spray pyrolisis

Spray pyrolisis adalah salah satu tekhnik menghasilkan partikel


yang diadopsi untuk membuat serbuk dengan ukuran submikrometer.
Metode spray pyrolisis ini terdiri dari tiga alat utama, yaitu atomizer,
tabung reaktor, dan penangkap partikel. Ultrasonic nebulizer (atomizer)
berfungsi sebagai penghasil droplet dari larutan precursor dengan
menggunakan gelombang ultrasonic. Tabung yang digunakan dalam
reaktor spray pyrolisis harus bersal dari bahan yang tahan suhu tinggi
sampai 10000 C, seperti quartz, alumunia, ataupun stainless steel.
Berikut gambar reactor spray pyrolisis:

493
Gambar 29.19 Reaktor Spray Pyrolisis

Droplet yang dihasilkan oleh ultrasonic nebulizer akan dialirkan


melewati tabung reactor oleh gas pembawa. Prinsip kerjanya adalah
ketika droplet berukuran kecil yang berisi precursor melewati mulut
tabung, dengan segera pelarut menguap sampi habis dan tersisa adalah
zat terlarut berbentuk padatan yang terus mengalir bersama gas
pembawa dan terjadi reaksi pyrolisis disana karena pengaruh suhu
tinggi sehingga terbentuklah partikel yang diharapkan. Partikel yang
terbentuk dapat dikumpulkan dalam penangkap partikel. Gambar
menunjukan proses perubahan droplet menjadi partikel padatan

494
Gambar 29.20 skema pembentukan partikel dari droplet menggunakan
spray pyrolisis

Dibandingkan dengan metode yang lain yang menggunakan


proses aerosol, spray pyrolisis adalah metode yang paling baik, dengan
beberpa keuntungan: partikel yang dihasilkan berbentuk bulat,
distribusi diameter partikel merata/ seragam dan dapat dikontrol dari
ukuran micrometer sampai ukuran submicron, kemurnian partikel yang
dihasilkan tinggi, prosesnya berkelanjutan. Hal ini dapat dibuktikan
karena larutan teratomisasi pada droplet berukuran micrometer dan
terjadi beberapa proses, seperti penguapan pelarut dan pyrolisis yang
bersatu di dalam droplet. Masing-masing droplet memiliki komposisi
yang sama, dan partikel mudah dibentuk, hanya dengan mengontrol
larutan awal (precursor).
Berbagai bentuk partikel dapat dihasilkan utuk bebrapa kondisi
operasi yang berbeda dalam metode spray pyrolisis seperti ditunjukan
dalam gambar: Kecepatan penguapan zat pelarut (misalnya air) pada
droplet atau dengan kata lain kecepatan pemanasan adalah faktor yang
sangat penting. Pada kasus pemanasan yang terlalu cepat dengan laju
penguapan zat pelarut disekitar permukaan droplet tinggi, dan
supersaturasi untuk konsentrasi tinggi larutan dengan cepat terjadi, bagian
luar parikel telah menjadi padat tapi bagian dalamnya masih dalam bentuk
cairan. sehingga partikel akan mengalami keretakan karena tekanan gas

495
terjadi dalam reaksi berikutnya atau partikel berpori dan berlubang akan
terbentuk. Pada pengggunaannya, macam-macam partikel ini tidak
diinginkan.

Gambar 29.21 perbedaan bentuk partikel yang bergantung pada


laju penguapan

Pada kasus sebaliknya dimana laju pemanasannya rendah, sejak


penguapan zat pelarut di sekitar permukaan droplet berlangsung secara
lambat, ini dapat membawa keseimbangan difusi zat pelarut dan
partikel bulat akan dengan mudah dihasilkan. Gambar menunjukan
bentuk partikel dengan pemanasan yang berbeda

Gambar 29.22 bentuk partikel pada distribusi suhu yang tetap, precursor
:Zr(OH)OCl, Cs = 2,0 mol/ l, Q = 2,0 l/min

Spray pyrolisis secara umum dilakukan pada pemanasan


dibawah titik leleh partikel yangdihasilkan. Pada prakteknya, untuk
mgnhasilkan partikel yang diharapkan, dimana partikel berbentuk bulat
yang memiliki kerapatan penuh atau partikel berkristal banyak, seleksi
material awal dan bebrapa opersi ( distribusi suhu pada dinding reactor,

496
laju aliran gas pembawa, dll) sangatlah penting. Tetapi seperti metode
untuk mengontrol bentuk partikel hamper bergantung pada teori
empiris yang berlaku. Mekanisme menghasilkan partikel dengan
metode spray pyrolisis sangat komplek, dan teori yang didiskusikan
masih sangat terbatatas untuk eksperimen, maupun penelitian teori.
Parameter yang akan berpengaruh pada bentuk partikel yang dihasilkan
dapat diuraikan diantaranya material awal, suhu reaksi, laju penguapan
zat pelarut, dan lain-lain.

29.2.5.2 Falme spray pyrolisis

Gambar 29.23 Reaktor Flame spray Pyrolisis


Flame synthesis merupakan salah satu proses untuk
menghasilkan nanopartikel. Flame spray pyrolisis (FSP) menjanjikan
karena berbagai macam prekursor dapat digunakan untuk mensintesis
partikel. Gambar 2.5.6 menunjukan skema reaktor flame spray pyrolisis
dengan nosel oxygen. Nosel terdiri dari pipa kapiler dengan diameter
luar 0,91 mm dan diameter dalam 0,6 mm. semprotan glass menyuplai
larutan precursor melalui nozze dimana larutan terdispersi oleh aliran
oxygen. Nosel dikelilingi oleh 18 lubang (6 mm dari noozle) yang
terdistribusi normal, campuran methane dan oxygen disiapkan,
membentuk methane-oxygen sebelum dicampurkan yang membantu
pembakaran.

497
Gambar 29.24 skema Reactor Flame Spray Pyrolis
Oxygen disiapkan melalui lapisan logam berpori dengan lebar 8
dan jari-jari 9 mm. Partikel yang dihasilkan dikumpulkan dalam
saringan gelas fiber dengan bantuan pompa pakum. suhu flame yang
tinggi dapat menguapkan jenis logam (misalnya precursor metal oxide),
membuat nukleasi pada fasa gas, selanjutnya membentuk nanopartikel
oxide.

Gambar 29.25 mekanisme pembentukan partikel dengan FSP

498
Cairan sebagai zat yang digunakan untuk memulai proses Flame
spray pyrolisis dimasukan ke dalam penyemprot, lalu zat yang keluari
dari penyemprot tersebut dialirkan oleh gas pembawa sehingga
terbentuk droplet halus. Penguapan dan pembakaran dimulai pada
cincin api dari pusat nosel. Proses pembakaran akan menguapkan zat
pelarut (contohnya air) yang diikuti dengan reaksi kimia pada bentuk
gas.kondensasi uap air akan menghasilkan nanopartikel di ruangan
yangtelah disiapkan (chamber). Contoh partikel yang dihasilkan
dengan metode FSP adalah ZnO. Gambar 2.5.8 menunjukan TEM
partikel ZnO yang dibuat dengan FSP.

Gambar 29.26 TEM partikel ZnO yang dibuat dengan FSP dengan laju feed
yang berbeda.

29.2.6. Nanosphere Lithography


Nanosphere Lithography adalah salah satu proses untuk
memperoleh nanomaterial dengan cepat dan efesien, dan biaya yang
murah. Nanosphere lithography dapat dilakukan dengan menggunakan
beberapa cara, masing-masing dengan pariabel yang berbeda yang akan

499
mempengaruhi ukuran, bentuk, dan keseragaman nano sruktur yang
disintesis. Untuk membuat single layer nanosphere, kaper slip pada
awalnya dibersihkan denan menggunakan asam kuat dan kemudian
dibilas dengan air. Setengah dari cover slip ditreatmen dengan 3-
aminpropyiltriethoxilane (APTES) untuk mengubah permukaan supaya
memiliki adhesi yang bagus. Bulatan polystyrene dengan diameter 1
um dilarutkan dengan 5 konsentrasi yang berbeda dari 107 sampai 1010
partikel/ml. larutan diteteskan pada substrat, yang telah dikeringkan
dengan nitrogen. Masing-masing konsentrasi diteteskan pada dua slip,
satu pada slip yang ditreatmen dengan APTES dan yang lainnya slip
yang tidak di kasih perlakuan. Sampel didiamkan supaya kering
selama satu malam. Sampel dengan bagian yang banyak dan bentuk
hexagonal yang seragam menutupi lapisan dipanaskan dalam suhu
penguapan dengan film tipis, contohnya 10 nm titanium yang didop
dengan 100 nm emas. Dengan menggunakan scouth tape, bulatan akan
dihilangkan dari cover slip.

Gambar 29.27 Hasil SEM dari lapisan tunggal seragam b. SEM


hexagonal close pack c. Hasil pola fischer

500
DAPTAR PUSTAKA
Abdullah, Mikrajudin. 2009. Pengantar Nanosains. Bandung: ITB.
Andrew W. Salamon, Patrick Courtney and Ian Shuttler. 2010.
Nanotechnology and Engineered Nanomaterials. Waltham:
PerkinElmer, Inc.
Binns, Cris. 2010. Introduction to nanoscience and nanotechnology. New
Jersey: John Wiley and Sons
C. N. R. Rao, A. Mu¨ller, and A. K. Cheetham (Eds.). 2004. The Chemistry of
Nanomaterials. Weinheim: WILEY-VCH
DJohn C. Hulteen and Richard P. Van Duyne. 1995. Nanosphere lithography:
A materials general fabrication process for periodic particle array
surfaces. J. Vac. Sci. Technol. A, Vol. 13, No. 3, May/Jun 1995
G. Che, B. B. Lakshmi, C. R. Martin, and E. R. Fisher. 1998. Chemical Vapor
Deposition Based Synthesis of Carbon Nanotubes and Nanofibers
Using a Template Method. Chem. Mater. 1998, 10, 260-267
L. C. QIN. 1997. CVD synthesis of carbon nanotubes. Journal Of Materials
Science Letters 16 (1997) 457–459
Nanomaterials by J. Dutta & H. Hofmann. Text Book in preparation
O.Milosevic, L.Mancic, M.E. Rabanal, L.S.Gomez, K.Marinkovic. 2009.
Aerosol route in Processing of Nanostructured Functional Materials.
KONA Powder and Particle Journal 106 No.27
S.M. Lindsay. 2010. Introduction to Nanoscience. New York: Oxford
University Press Inc
Vuk Uskokovi C And Miha Drofenik. 2005. Synthesis of Materials within
Reverse Micelles. Surface Review and Letters, Vol. 12, No. 2 (2005)
239–277
Widodo, Slamet. 2010. Teknologi Sol Gel pada Pembuatan Nano Kristalin
Metal Oksida untuk Aplikasi Sensor Gas. Seminar Rekayasa Kimia
Dan Proses 2010 Universitas Diponegoro Semarang

501
Bab 30
Carbon Nanotube
Oleh: Elfi Yuliza

30.1 Pendahuluan
Pada perkembangan zaman yang semakin maju ini, manusia membutuhkan
devais atau alat yang dapat memenuhi kebutuhannya. Alat-alat atau devais-devais
yang telah ada masih dirasa kurang mampu memenuhi kebetuhan manusia yang
semakin kompleks. Maka dilakukanlah serangkaian penelitian sehingga dapat
meimprovisasi alat /devais yang telah ada menjadi lebih baik. Salah satu hasil
improvisasi tersebut adalah manusia memasuki era nanoteknologi.
Nanoteknologi merupakan teknologi dengan memanfaatkan material
berukuran nanometer (10-9m). Dengan mengubah ukuran material menjadi lebih
kecil (nanometer), maka sifat fisis dan kimia dari material akan berubah. Sehingga
kita dapat memvariasikan material yang sesuai dengan kebutuhan. Pemanfaatan
material dalam ukuran nanometer juga akan meningktakan daya guna dari material
itu sendiri.
Teknologi nano diyakini akan menjadi terobosan bagi kemajuan teknologi
dalam berbagai bidang (material, elektronik, informasi, energi lingkungan,
kesehatan, bioteknologi dan lain-lain). Dengan manfaat besar yang ditawarkan
oleh teknologi nano ini, Negara-negara di dunia secara besar-besaran menggalakan
pengembangan teknologi nano. Hal ini terlihat dari meningkatnya anggaran
pengalokasian dana negara-negara di dunia untuk nanoteknologi (tahun 2005
sebesar US $9,5 miliar, dari tahun ketahun meningkt sebesar US$3,3 miliar dan
2013 diperkirakan sebesar US $19,8 milyar). Disamping maraknya penelitian
mengenai teknologi nano ini.
Diantara material berstruktur nano yang dikembangkan adalah material
yang terdiri dari unsur karbon yang dikenal dengan nama “carbon nanotube
(CNT)”. Unsur karbon sendiri telah dikenal sejak lama dalam kehidupan manusia
seperti arang, pensil yang digunakan untuk menulis dan sebagainya. Ternyata
dengan mengubah ukuran karbon menjadi lebih kecil (nanometer) akan
menghasilkam material dengan sifat unggul.

502
CNT memiliki sifat mekanik, sifat termal dan sifat listrik yang unik dan
diramalkan akan menjadi teknologi massa depan. Sehingga sejak penemuan CNT
oleh Sumio Iijima tahun 1991, penelitian mengenai CNT terus berkembang pesat
baik secara teori maupun eksperimen. Hal ini terbukti dengan banyaknya
bermunculan paper-paper yang membahas mengenai CNT. Pada tahun 2000 paper
yang membahas CNT berjumlah 886 dan pada tahun 2007 meningkat menjadi
5406 paper [1]. Banyaknya penelitian mengenai CNT dapat dijadikan petunjuk
bahwa material ini merupakan material yang sangat menjanjikan dan penting di
kembangkan untuk teknologi masa depan.

30.2 Alotrop Karbon dan Sejarah Carbon


Nanotube (CNT)
Hingga pertengahan tahun 1980-an, unsur karbon murni hanya dikenal
dalam bentuk intan dan grafit. Kedua bentuk dari unsur karbon ini dikenal dengan
nama alotrop (alotrop adalah salah satu dari dua bentuk lain unsur) dan keduanya
memiliki sifat yang berbeda. intan memiliki atom ikatan karbon yang tersusun
secara tetrahedral dan memiliki sifat sangat keras, kristal transparan, penghantar
listrik yang buruk, penghantar panas yang baik dan digunakan sebagai bahan
pemotong atau digunakan untuk perhiasan. Sedangkan grafit tersusun heksagonal
mendatar, memiliki sifat yang rapuh, bewarna hitam dan merupakan konduktor
listrik yang buruk.
Dalam perkembangannya, tahun 1985 tiga ilmuan yaitu Dr. Richard
Smalley, Dr. Robert “Bob” Curl dari Rice University dan Harry Kroto dari
University of Sussex menguapkan sampel dari grafit dengan laser dan
memanfaatkan aliran gas helium untuk membawa karbon yang terevaporasi ke
dalam sebuah spektrometer massa. Spektrum massa yang didapatkan
menunjukan puncak yang bersesuaian dengan cluster atom karbon dengan strong
peak yang menunujukan molekul yang tersusun dari 60 atom karbon, C 60 . Struktur
C 60 dikenal dengan nama Buckminsterfullerene, penamaan dilakukan karena
struktur yang dihasilkan mirip bangunan yang dirancang arsitek Amerika R
Buckminster Fuller. Dalam perkembangannya, ditemukan juga molekul yang
tersusun dari karbon-karbon yaitu: C 36 , C70 , C 76 , C 84 . Sehingga secara
keseluruhan untuk molekul ini dikenal dengan Fulerene [2-4].

503
Gambar 30.1 Struktur Fullurene [3]

Penemuan Fullurene merupakan ladang baru bagi peneliti, sehingga banyak


bermunculan paper yang membahas mengenai Fullurene. Salah satu ilmuan yang
memfokuskan penelitiannya pada Fullurene adalah Sumio Iijima dari Nippon
Electronics Company (NEC) Jepang. Dalam percobaannya, Iijima menggunakan
metoda arc discharge, dan memprediksikan hasil penemuannya berbentuk bawang
Bombay. Namun hasil yang diperoleh tidak seperti bawang bombai melainkan
berbentuk pipa yang kemudian dikenal dengan nama Carbon nanotube (CNT).
CNT merupakan material yang terdiri dari ikatan atom-atom karbon, dimana satu
atom karbon berikatan dengan 3 atom karbon lainnya, mempunyai bentuk seperti
pipa, kulitnya tersusun atas unsur karbon dan di dalamnya terdapat rongga. Hasil
penemuan Sumio Iijima (1991) ini menjadi hot issue dalam keilmuan karena
keunikan sifat dari CNT itu sendiri. Sehingga banyak peneliti yang memfokuskan
penelitiannya pada material CNT baik secara teori, simulasi dan eksperiment.
Semua bertujan untuk meningktakan kesejahteraan manusia.

504
Gambar 30.2. struktur carbon nanotube (CNT)

Secara singkat sejarah penemuan alotrop karbon, CNT dan aplikasinya dapat dilihat pada
tabel 30. 2 berikut:

Tabel 30.2. Sejarah Penemuan CNT dan C 60 [5]


Tahun Penemu Peristiwa
1970 an Harry Kroto dan Dave Walton Mencoba mensintesis rangkai carbon
yang panjang
1980an Ilmuan di seluruh dunia Mensintesis buckyball dan
menetapkan sebagai C60
1991 Sumio Iijima Menemukan multiwall CNT
1993 Sumio Iijima dan T. Ichihashi Mensintesis SWNT
1996 Robert F Curl, Harry Kroto dan Memperoleh nobel kimia atas
Richard R Smalley penemuan buckyball
1999 Samsung Display panel datar prototipe
2001 IBM Sirkuit computer pertama yang hanya
terdiri dari satu single CNT

505
30.3 Struktur dan Geometri Carbon
Nanotube (CNT)
Terdapat berbagai variasi bentuk dari fullurene: bola, kerucut, tube, dan
berbagai bentuk lainnya. Setiap variasi memiliki aplikasi yang berbeda pula. CNT
dapat dipandang sebagai fullurene yang diperpanjang [6]. Stuktur CNT
berdasarkan jumlah kulitnya dapat dibedakan atas Singel Walled Nanotubes
(SWNT) dan Multi Walled Nanotubes (MWNT).

30.3.1 Singel Walled Nanotubes (SWNT)


Singel Walled Nanotubes (SWNT) merupakan salah satu tipe CNT yang
mempunyai dinding tunggal yang dapat dianggap sebagai sebuah lembaran
graphene yang digulung. Secara umum diameternya sekitar 1-2 nm dan
panjangnya 1000 kali diameter. Sehingga strukturnya mendekati struktur satu
dimensi.
Sebuah SWNT terdiri dari dua bagian yakni bagian tutup tubenya dan
bagian silindernya. Struktur tube SWNT berasal dari bagian fullurene seperti C 60
yang tersusun atas atom-atom C yang ditempatkan pada bentuk segienam dan
segilima di ujung struktur tutup tube. Struktur lain yang membentuk SWNT adalah
silinder. Struktur silinder dari SWNT bisa diperoleh ketika sebuah lembaran
graphene digulung dalam arah tertentu. Dua buah atom pada lembaran grafin di
pilih sebagai titik awal dan yang lainnya sebagai titik akhir. Lembaran grafin
digulung sehingga kedua atom di titik-titik ini bertemu. Vektor penunjuk dari atom
pertama ke atom lainnya dinamakan vektor chiral.

506
Gambar 30.3. Vektor chiral CNT (lembaran grafin yang belum digulung) [7]

Vektor chiral menunujukan chirality dari dari CNT. Chirality adalah cara
penggulungan dari lembaran grafin yang sedemikian rupa sehingga menghasilkan
suatu silinder. Chirality yang berbeda-beda akan menghasilkan sifat CNT yang
berbeda pula, sehingga dengan memvariasikan Chirality akan memperoleh CNT
yang berbeda. Secara matematis, vektor chiral dapat dinyatakan sebagai berikut:
𝐶𝐶⃗ℎ = 𝑛𝑛𝑎𝑎⃗1 + 𝑚𝑚𝑎𝑎⃗2 ≡ (𝑛𝑛, 𝑚𝑚) (3.1)
Dengan n, m adalah bilangan integer yang memenuhi 0 ≤ |𝑚𝑚| ≤ 𝑛𝑛, 𝑎𝑎⃗1 dan 𝑎𝑎⃗2 merupakan
vektor basis dari kisi heksagonal atom karbon. T adalah vektor translasi dimana saling
tegak lurus dengan vektor chiral, secara matematis didefenisikan sebagai:

�⃗ = 𝑡𝑡1 𝑎𝑎⃗1 + 𝑡𝑡2 𝑎𝑎⃗2


𝑇𝑇 (3.2)

Secara umum parameter-parameter dari CNT dapat dituliskan sebagai berikut:

507
Tabel 30.3. parameter-parameter CNT [6]
Simbol Nama Rumus Nilai
a c-c Jarak antardua 0,1421 nm
atom karbon
a Panjang vektor √3𝑎𝑎𝑐𝑐−𝑐𝑐 0,246nm
satuan
a1, a2 Vektor satuan √3 1 √3 1 Dalam koordinat
� , � 𝑎𝑎, � , − � 𝑎𝑎 (x,y)
2 2 2 2
Ch Vektor chiral 𝐶𝐶⃗ℎ = 𝑛𝑛𝑎𝑎⃗1 + 𝑚𝑚𝑎𝑎⃗2 ≡ (𝑛𝑛, 𝑚𝑚) n,m bilangan bulat
L Keliling tabung 𝐿𝐿 = |𝐶𝐶ℎ | = 𝑎𝑎�𝑛𝑛2 + 𝑚𝑚2 + 𝑛𝑛𝑛𝑛 0 ≤ |𝑚𝑚| ≤ 𝑛𝑛
D Diameter 𝐿𝐿
𝑑𝑑 = = 𝑎𝑎�𝑛𝑛2 + 𝑚𝑚2 + 𝑛𝑛𝑛𝑛
tabung 𝜋𝜋
𝜃𝜃 Sudut chiral √3𝑚𝑚 0 ≤ 𝜃𝜃 ≤ 300
sin 𝜃𝜃 =
2√𝑛𝑛 + 𝑚𝑚2 + 𝑛𝑛𝑛𝑛
2

2𝑛𝑛 + 𝑚𝑚
cos 𝜃𝜃 =
2√𝑛𝑛2 + 𝑚𝑚2 + 𝑛𝑛𝑛𝑛
√3𝑚𝑚
tan 𝜃𝜃 =
2𝑛𝑛 + 𝑚𝑚

Struktur SWNT dapat di klasifikasikan berdasarkan vektor chiral


menggunakan pasangan bilangan integer (n,m). Berdasarkan vektor chiral tersebut,
ada tiga tipe SWNT yaitu Zigzag, Armchair dan chiral.

Tipe 𝜽𝜽 Ch Bentuk penampang lintang


Armchair 300 (n,n)

Zigzag 00 (n,0)

Chiral 0 ≤ 𝜃𝜃 ≤ 300 (n,m) Gabungan antara model armchair


dan zigzag.

508
Gambar 30.4 . Tipe SWNT [7,8].

Vektor chiral dari SWNT juga menyatakan keliling dari silinder yang
diperoleh dari penggulungan. Untuk mendapatkan bentuk dari tipe SWNT dapat
dilakukan dengan mengambil selembar kertas dan melakukan penggulungan
sesuai dengan tipe masing-masing yang diinginkan. Berikut akan dicontohkan cara
penggulungan untuk memperoleh tipe-tipe dari SWNT.
Pada tipe CNT zigzag yang dinotasikan dengan (n,0) misalkan kita ingin
memperoleh zigzag nanotube (5,0), langkah pertama adalah memilih atom karbon
yang akan menjadi titik pertama dan terakhir. Pilihlah atom karbon sembarangan
(disini kita pilih atom yang diberi bintang merah) sebagai titik awal. Kemudian
kita berjalan sebanyak 5 langkah ke atom C yang lain dalam arah a 1 (tandai
dengan bintang merah) sebagai titik akhir. Kemudian lembaran tersebut digulung
sehingga kedua bintang merah berhimpit dan membentuk silinder.

509
Gambar 30.5. Menghitung (5,0) zigzag. Kedua bintang harus berimpit untuk menggulung
grafin menjadi tube.

Dalam perhitungan model zigzag seperti gambar 3.3, yang harus


diperhatikan hanya arah a 1 saja. Namun, untuk model armchair dan chiral kedua
arah (a 1 dan a 2 ) harus diperhatikan untuk memperoleh sebuah SWNT. Sebagai
contoh, untuk mendapatkan model armchair (3,3), pertama pilih atom C awal
(ditandai dengan bintang merah). Kemudian kita berjalan ke atom C yang lain
searah a 1 sebanyak tiga langkah. Dari sini, kita berjalan sebanyak tiga langkah
dalam arah a 2 dan tandai dengan bintang merah sebagai atom akhir. Kemudian
satukan kedua bintang merah ini hingga berhimpit dan diperolehlah SWNT tipe
Armchair.

Gambar 30.6. Menghitung (3,3) armchair nanotube.

510
Untuk tipe chiral dapat diperoleh dengan cara yang sama dengan model
armchair, perbedaanya hanya terletak pada banyak langkah yang harus dilakukan,
model armchair mempunyai m=n atau (n,n) sedangkan model chiral dinotasikan
dengan (n,m) atau m≠n. Sebagai contoh (4,5), kita berjalan sejauh empat langkah
dalam a 1 kemudian sejauh lima langkah dalam arah a 2 dan kemudian digulung
sehingga titik awal berhimpit dengan titik akhir dan membentuk CNT tipe chiral.
Single wall nanotube memiliki keunggulan dibandingkan MWNT, namun
fabrikasi dari SWNT lebih sulit dibandingkan MWNT. Sehingga berbagai cara
dilakukan untuk meningkatkan fabrikasi dari SWNT.

30.3.2 Multi Walled Nanotubes (MWNT)


MWNT merupakan CNT yang memiliki dinding multi (banyak) yang dapat
dianggap sebagai kumpulan dari SWNT yang memilki sumbu yang sama tapi
memiliki diameter yang berbeda. MWNT merupakan bentuk CNT yang pertama
kali ditemukan oleh Sumio Iijima. Panjang dan diameter dari MWNT sangat
berbeda dengan SWNT, sehingga keduanya juga memiliki sifat yang sangat
berbeda. Diameter terluar MWNT bervariasi dalam kisaran 20 nm-100nm.
Fabrikasi dari multi wall ini lebih mudah dibandingkan single wall, karena
sifatnya tidak dipengaruhi oleh impuritas. Disamping itu, biaya yang dikeluarkan
juga tidak sebesar memproduksi SWNT. Sehingga para ilmuan mulai meneliti
teknologi yang dapat mengaplikasi MWNT ini [7,9]

30.4 Sifat – Sifat CNT


Meskipun karbon nanotube terdiri dari unsure-unsur karbon, namun sifat
yang dimilikinya sangat berbeda dengan unsure karbon biasa. CNT memiliki sifat-
sifat yang unik dibandingkan material yang telah ada, sehingga diramalkan akan
menjadi material masa depan. Berikut beberapa sifat dari CNT yaitu:

511
30.4.1 Sifat mekanik
Sifat mekanik karbon nanotube berhubungan dengan kekuatan dari CNT
dan modulus Youngnya. Modulus Young didefenisikan sebagai rasio antara
tegangan yang diberikan terhadap regangan yang terjadi, dikenal juga dengan
nama modus elastis. Secara matematis, modulus Young dapat dituliskan:
𝐹𝐹
𝜎𝜎 𝐴𝐴 0
𝐸𝐸 = = ∆𝐿𝐿 (30.1)
𝜀𝜀
𝐿𝐿 0

dimana E menyatakan modulus Young (pascal), F adalah gaya yang bekerja, A 0


adalah luas penampang melintang, ΔL adalah perubahan panjang dan L 0 adalah
panjang mula-mula.

Pada material padatan, modulus elastis berhubungan dengan dengan ikatan


kimia atom-atomnya. Material CNT memiliki ikatan SP2 yang kuat, sama seperti
graphene. Struktur ikatan yang dimilki oleh CNT ini juga lebih kuat dibandingkan
intan. Sehingga dapat kita simpulkan bahwa CNT lebih kuat dari intan dan alotrop
karbon memiliki modulus Young yang berbeda sesuai dengan unsur penyusunnya.
Berikut tabel modul young beberapa material karbon:

Tabel 30.4 variasi nilai modulus young material karbon [10]


Material Modulus Young (GPa)
Karet 0,01-0,1
Polystyrene 3-3,35
Polypropylene 2-2,7
Carbon fiber 150-200
Intan 1220
SWNT >1000

Modulus Young yang dimiliki oleh CNT sangat besar dibandingkan


material yang pernah ada. Ini merupakan salah satu keunikan dari material CNT.
Dengan keelastisan yang besar (45 juta Pa sebagai perbandingan baja akan patah
pada tekanan 2 juta pa), CNT tidak akan mengalami kerusakan apabila diberi
tekanan yang besar. Kekuatan dari CNT ini disebabkan oleh ikatan antar atom
karbon tersebut. Berdasarkan sifat ini, diharapkan CNT dapat dikembangkan
untuk merancang aplikasi material yang sangat kuat.

512
Penentuan besarnya nilai modulus Young yang dimilki oleh CNT terus
dilakukan baik secara eksperimen ataupun modeling. Untuk perhitungan secara
langsung, disebabkan oleh ukuran materialnya adalah dalam orde nano maka
pengukurunnya memiliki teknik pengukuran khusus. Sedangkan untuk
menentukan secara modeling dilakukan dengan beberapa pendekatan seperti
model finite element, persamaan van der walls dan lain-lain. Besarnya nilai
modulus Young yang diperoleh bervariasi bergantung kepada tipe CNTnya.
Beberapa simulasi menunjukan rentangan nilai modulus Young dalam kisaran
1,22-1,26 TPa [6].

30.4.2 Struktur Elektronik


Struktur SWNT dapat dianggap sebagai hasil dari penggulungan lembaran
grafin. Dimana dihasilkan tiga tipe SWNT berdasarkan penggulungannya yang
dinyatakan dalam vektor chiral yakni armchair (n,n), zigzag (n,0) dan chiral
(n,m). sifat listrik dari material SWNT yang dihasilkan dengan perbedaan vektor
chiral ini juga berbeda. Seluruh armchair bersifat metalik, sedangkan yang lain
dapat bersifat sebagai metalik atau bersifat sebagai semikonduktor bergantung (n-
m). apabila (n-m) merupakan kelipatan bilangan bulat, maka akan bersifat metal
dan yang lain semikonduktor. Secara umum sifat listrik yang dihasilkan untuk
CNT untuk penggulungan yang berbeda apat kita lihat pada lembaran grafin
berikut:

Gambar 30.7 semua kemungkinan struktur SWNT dapat dibentuk dari vektor
chiral

513
Untuk menentukan struktur elektronik dari karbon nanotube, dapat
diperoleh dengan menganggap struktur elektronik dari grafit. Atom-atom karbon
pada grafit memiliki ikatan SP2 dengan orbital valensi 2p yang membentuk ikatan
π yang terlokalisasi. Sifat konduktivitas listrik diperoleh pada keadaan energi
Fermi dan di dominasi oleh ikatan π. Dengan menggunakan syarat batas pada
vektor chiral, pita energi yang terdiri dari satu dimensi dispersi energi merupakan
penampang melintang dari dua dimensi grafit.

Gambar 30.8. Hubungan disperse dari lembaran grafin. Segi enam biru
adalah zona Brillouin dan titik merah disebut titik K adalah titik pita nol.

Struktur kisi hexagonal resiprok dari grafit diperoleh dari struktur kisi
hexagonal grafit. vektor satuan CNT yang dapat dituliskan:
√3 1 √3 1
𝑎𝑎1 = � , � 𝑎𝑎 , 𝑎𝑎2 = � , − � 𝑎𝑎 (30.2)
2 2 2 2
Vektor kisi resiprok dituliskan:

2𝜋𝜋 2𝜋𝜋 2𝜋𝜋 2𝜋𝜋


𝑏𝑏1 = � , �, 𝑏𝑏2 = � ,− � (30.3)
√3𝑎𝑎 𝑎𝑎 √3𝑎𝑎 𝑎𝑎

Dan sudut brillouin zone;

514
4𝜋𝜋 𝜋𝜋 𝜋𝜋
𝐾𝐾𝑖𝑖 = (sin �𝑖𝑖 � , cos �𝑖𝑖 � 𝑓𝑓𝑓𝑓𝑓𝑓 𝑖𝑖 = 1 → 6 (30.4)
3𝑎𝑎 3 3
Energi dispersi dari grafit:

√3𝑘𝑘 𝑥𝑥 𝑎𝑎 𝑘𝑘 𝑦𝑦 𝑎𝑎 𝑘𝑘 𝑦𝑦 𝑎𝑎
𝐸𝐸𝑔𝑔 �𝑘𝑘𝑥𝑥 , 𝑘𝑘𝑦𝑦 � = ±𝛾𝛾0 ��1 + 4 cos � � cos � � + 4 𝑐𝑐𝑐𝑐𝑐𝑐 2 � �� (30.5)
2 2 2

[11,12]𝛾𝛾0 merupakan integral transversal.

Kondisi batas periodik yang dipenuhi saat menggulung lembaran grafin menjadi
sebuah CNT dapat dituliskan:

𝐶𝐶ℎ . 𝑘𝑘 = 2𝜋𝜋𝜋𝜋 𝑞𝑞: 𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖 (30.6)

Struktur pita dari tiap nanotube terdiri dari line section struktur grafit yang harus
memenuhi kondisi ini. Nilai k yang dibolehkan terkuantisasi oleh syarat batas.
Karena panjang nanotube diasumsikan tidak terhingga, tidak ada kondisi
kuantisasi sepanjang vektor parallel dari k.

Untuk mengetahui sifat listrik dari armchair, chiral dan zigzag dapat kita
peroleh dengan penurunan secara matematis berikut: Pada armchair (n,n) untuk
menetukan pita energi, masukan syarat batas kedalam persamaan (30.5). Syarat
batas untuk armchair:
2𝜋𝜋𝜋𝜋
𝑘𝑘𝑥𝑥 = (30.7)
√3𝑛𝑛𝑛𝑛

√3𝑘𝑘𝑥𝑥 𝑎𝑎 𝑘𝑘𝑦𝑦 𝑎𝑎 𝑘𝑘𝑦𝑦 𝑎𝑎


𝐸𝐸𝑔𝑔 �𝑘𝑘𝑥𝑥 , 𝑘𝑘𝑦𝑦 � = ±𝛾𝛾0 ��1 + 4 cos � � cos � � + 4 𝑐𝑐𝑐𝑐𝑐𝑐 2 � ��
2 2 2

𝜋𝜋𝜋𝜋 𝑘𝑘𝑘𝑘 𝑘𝑘𝑘𝑘


𝐸𝐸𝑔𝑔 �𝑘𝑘𝑥𝑥 , 𝑘𝑘𝑦𝑦 � = ±𝛾𝛾0 ��1 + 4 cos � � cos � � + 4 𝑐𝑐𝑐𝑐𝑐𝑐 2 � �� (30.8)
𝑛𝑛 2 2

Persamaan (30.8) merupakan formula untuk menentukan energi disperse SWNT


tipe armchair. Dengan bantuan program simulasi computational, dapat diplot E
sebagai fungsi k, seperti gambar (30.4)

Cara yang sama dapat kita lakukan untuk memperoleh persamaan dalam
menentukan energi disperse SWNT tipe zigzag
Syarat batas untuk model zigzag memenuhi:

515
2𝜋𝜋𝜋𝜋
𝑘𝑘𝑦𝑦 = (30.9)
𝑛𝑛𝑛𝑛
Diperoleh:

√3𝑘𝑘𝑥𝑥 𝑎𝑎 𝑘𝑘𝑦𝑦 𝑎𝑎 𝑘𝑘𝑦𝑦 𝑎𝑎


𝐸𝐸𝑔𝑔 �𝑘𝑘𝑥𝑥 , 𝑘𝑘𝑦𝑦 � = ±𝛾𝛾0 ��1 + 4 cos � � cos � � + 4 𝑐𝑐𝑐𝑐𝑐𝑐 2 � ��
2 2 2

√3𝑘𝑘𝑘𝑘 𝑞𝑞𝑞𝑞 2�
𝑞𝑞𝑞𝑞
𝐸𝐸𝑔𝑔 �𝑘𝑘𝑥𝑥 , 𝑘𝑘𝑦𝑦 � = ±𝛾𝛾0 � �1 + 4 cos � � cos � � + 4 𝑐𝑐𝑐𝑐𝑐𝑐 �� (30.10)
2 𝑛𝑛 𝑛𝑛

Apabila persamaan (30.8) dan (30.10) sebagai fungsi k diplot menggunakan


program simulasi, akan diperoleh hasil seperti gambar berikut:

Gambar 30.9. Energi disperse untuk (a) armchair, (b),(c),(d) zigzag [11]

Berdasarkan gambar 30.9 yang menunjukan energi disperse dari SWNT


zigzag dan armchair, disimpulkan bahwa: apabila terjadi perpotongan pita pada

516
daerah titik setimbangan (zona Brillouin) maka SWNT bersifat logam dan yang
lainnya bersifat sebagai semikonduktor. Jadi, SWNT akan bersifat metalik apabila
telah melewati sudut Brillouin zone. Pada faktanya, terlihat bahwa SWNT bersifat
metal apabila (n=m ) dan (n-m)= kelipatan 3 atau melewati daerah Brillouin. .
Secara matematis dapat kita nyatakan menggunakan penurunan persamaan (30.1),
(30.2) dan (30.6)

𝐶𝐶ℎ . 𝑘𝑘 = 2𝜋𝜋𝜋𝜋

√3 1 √3 1 4𝜋𝜋 𝜋𝜋 𝜋𝜋
2𝜋𝜋𝜋𝜋 = �𝑛𝑛 � , � 𝑎𝑎 + 𝑚𝑚 � , − � 𝑎𝑎� ∗ ( (sin �𝑖𝑖 � , cos �𝑖𝑖 �)
2 2 2 2 3𝑎𝑎 3 3
Saat i=0, diperoleh:

√3 1 √3 1 4𝜋𝜋
2𝜋𝜋𝜋𝜋 = �𝑛𝑛 � , � 𝑎𝑎 + 𝑚𝑚 � , − � 𝑎𝑎� ∗ � (0,1)�
2 2 2 2 3𝑎𝑎
2𝜋𝜋
2𝜋𝜋𝜋𝜋 = (𝑛𝑛 − 𝑚𝑚)
3
(𝑛𝑛 − 𝑚𝑚)
𝑞𝑞 = (30.11)
3
Untuk SWNT akan bersifat sebagai metal apabila melewati zone Brillouin dan
secara matematis memenuhi persamaan berikut:

(𝑛𝑛 − 𝑚𝑚) (2𝑛𝑛 + 𝑚𝑚)


𝑞𝑞 = , 𝑞𝑞 = (30.12)
3 3
dimana q adalah bilangan integer. Jika memenuhi keadaan ini, SWNT akan
bersifat metalik dan bersifat sebagai semimetal apabila tidak memenuhi keadaan
ini.

Secara umum dapat disimpulkan bahwa CNT terdiri dari kombinasi dari
n,m. Dengan memvariasikan nilai kombinasi ini, akan diperoleh sifat listrik dari
CNT yang berbeda (konduktor, isolator atau semikonduktor). Sehingga dengan
satu material akan memiliki sifat yang berbeda sesuai dengan perlakuan yang
diberikan. Dengan keunikan sifat ini, CNT dapat dimanfaatkan untuk membangun
material heterostruktur seperti aplikasi dalam bidang elektronik untuk
mendapatkan piranti kecepatan tinggi dengan persambungan logam-
semikonduktor atau sebaliknya. Disamping sifat listrik yang dapat divariasikan,

517
CNT juga memiliki rapat muatan listrik yang lebih besar dari pada logam biasa
(perak dan tembaga) yakni 1000 kali lebih besar.

30.4.3 Sifat Transport CNT


Karbon nanotube adalah suatu material dalam orde nanometer, sehingga
CNT merupakan termasuk kedalam sistem mesoskopik. Sistem mesoskopik adalah
suatu sistem yang memiliki dimensi lebih besar dari pada atom tetapi lebih kecil
dari mikron.

Pada sistem mesoskopik, terdapat tiga karakteristik panjang yakni:


a. Momentum Relaxation length (L m )
Di defenisikan sebagai jalan bebas rata elektron yang merupakan jarak yang
ditempuh oleh elektron hingga terjadi tumbukan.
b. Fermi Wave Length
Merupakan panjang gelombang de Broglie elektron dalam level energi
Fermi.
c. Phasa Relaxation Length (L 𝝓𝝓 )
Merupakan jarak yang ditempuh oleh elektron sampai randomized, disini
elektron masih koheren sebagai gelombang.

Pada transport elektron dapat bekerja pada domain kuantum dan klasik.
Efek kuantum akan dominan apabila panjang gelombang de Broglienya lebih
besar dibandingkan jarak (dimensi) struktur mesoskopik.
ħ
𝜆𝜆𝑑𝑑𝑑𝑑 = > 𝐿𝐿𝑧𝑧 (30.13)
√2𝑚𝑚 ∗ 𝐸𝐸

Berdasarkan karakteristik panjang, tipe transport dapat dikelompokkan menjadi


tiga.

518
.

Gambar 30.10 Karakteristik Panjang

Tiga tipe transport yaitu:


1. Transport klasik
Transport klasik merupakan transport elektron yang memenuhi
hukum ohm.
𝑉𝑉 = 𝑅𝑅. 𝐼𝐼 (30.14)
Pada transport klasik, formula drude berlaku valid. Kondisi batas
pada transport klasik yakni L 𝝓𝝓 , L m <<L, dimana L adalah panjang
bahan. Sehingga dalam transport elektron klasik, hamburan terjadi
pada lintasan elektron dalam zat padat karena dimensi material lebih
besar dari tiga karakteristik panjang.

2. Transport Diffusive
Terjadi apabila dimensi material salah satunya lebih besar dari pada
tiga karakteristik panjang dan terjadi hamburan yang dapat
mengurangi transmisi. Kondisi terpenuhi jika L>L m .

3. Transport Ballistik
Merupakan proses transport dimana muatan pembawa dapat
menstransmisikan muatan atau energi tanpa mengalami hamburan.
Terjadi apabila dimensi material lebih kecil dari pada tiga
karakteristik panjang, khusunya jalan bebas rata-rata (L <<L 𝝓𝝓 , L m )
dan tidak terjadi hamburan [13].

Pada transport ballistik dimana hamburan tidak terjadi, maka formula


Drude yang selama ini di aplikasikan pada sistem transport menjadi tidak berlaku
lagi. Perlu dilakukan pendekatan untuk membuat formula yang dapat

519
menggantikan formula Drude dan mendiskripsikan proses transport. Formula
tersebut adalah formula Einstein Relation dan Landauer Formula.

Einstein Relation
Hubungan relasi Einstein diperoleh berdasarkan persamaan kontinuitas
rapat arus dan keadaan difusi.
���⃗𝑛𝑛
𝑗𝑗⃗ = 𝑒𝑒𝑒𝑒∇ (30.14)
dimana D adalah koefisien difusi dan ���⃗ ∇ 𝑛𝑛 adalah gradient dari rapat
muatan pembawa.
Dalam kesetimbangan, potensial elektrokimia akan menjadi nol karena
terjadi kesetimbangan antara gaya listrik dan gradient energi Fermi,
𝑑𝑑𝐸𝐸𝐹𝐹
∇𝜇𝜇 = 0 = −𝑒𝑒𝐸𝐸�⃗ + ∇𝑛𝑛
𝑑𝑑𝑑𝑑
∇𝑛𝑛
0 = −𝑒𝑒𝐸𝐸�⃗ +
𝑔𝑔�𝐸𝐸𝑓𝑓 �
∇𝑛𝑛 = 𝑒𝑒𝐸𝐸�⃗ 𝑔𝑔�𝐸𝐸𝑓𝑓 � (30.15)
Subsitusikan persamaan (4.15) ke persamaan (4.14) sehingga diperoleh:
𝑗𝑗⃗ = 𝑒𝑒 2 𝐷𝐷𝐸𝐸�⃗ 𝑔𝑔�𝐸𝐸𝑓𝑓 �
𝜎𝜎𝐸𝐸�⃗ = 𝑒𝑒 2 𝐷𝐷𝐸𝐸�⃗ 𝑔𝑔�𝐸𝐸𝑓𝑓 �
𝜎𝜎 = 𝑒𝑒 2 𝐷𝐷𝐷𝐷(𝐸𝐸𝐹𝐹 ) (30.16)
dimana σ adalah konduktivitas listrik, 𝑔𝑔(𝐸𝐸𝐹𝐹 ) rapat keadaan dari level
energi Fermi. Berdasarkan persamaan (4.16) disimpulkan bahwa
konduktivitas listrik pada sistem ini sebanding dengan rapat keadaan
elektron dalam suatu material.

Landauer Formula [14,15]


Formula Landauer ditemukan 1959 untuk menghitung ballistic dari
konduktor, tetapi menjadi booming setelah ditemukannya material
berukuran nano Karena formula ini lebih cocok untuk material berukuran
nano.

Pada formula Landauer dilakukan beberapa asumsi yakni arus mengalir


dari konduktor ke kontak sebagai proses transmisi bukan proses
pemantulan dan pada balistik konduktor juga tidak ada refleksi. Proses

520
transport terjadi dalam sistem yang dapat diformulasikan sebagai suatu
hamburan mekanika kuantum sebagai hamburan klasik.

Gambar 30.11 diagram konduktansi quantum wire 1 D

Gambar 30.11 menunjukan skema kunduktansi dari quantum wire 1D


dimana menunjukan reservoir ideal yang memiliki potensial kimia yang
berbeda, potensial kimia dikedua reservoir konstan (𝜇𝜇1 > 𝜇𝜇2 . Ketika
dalam channel ballistic 1D tidak mengalami scattering selama proses
transport elektron, elektron mempunyai vektor gelombang positif dengan
rentangan energi diantara dua potensial elektrokimia (𝜇𝜇~𝐸𝐸𝐹𝐹 ).

Asumsikan bahwa elektron memiliki energi awal 𝜇𝜇𝑖𝑖 sebelum


meninggalkan reservoir pertama menuju reservoir kedua dan memiliki
energi akhir 𝜇𝜇𝑓𝑓 . Sehingga arus yang mengalir dalam sistem satu dimensi
dapat dituliskan:
𝜇𝜇 𝑓𝑓
𝐼𝐼𝑗𝑗 = � 𝑒𝑒. 𝑔𝑔𝑗𝑗 (𝐸𝐸 ). 𝑣𝑣𝑧𝑧 (𝐸𝐸 )𝑇𝑇𝑗𝑗 (𝐸𝐸 )𝑑𝑑𝑑𝑑 (30.17)
𝜇𝜇 𝑖𝑖

Dimana 𝑔𝑔𝑗𝑗 (𝐸𝐸 ) merupakan rapat keadaan untuk sub pita ke j yang akhir,
𝑣𝑣𝑧𝑧 (𝐸𝐸 ) adalah kecepatan elektron dan 𝑇𝑇𝑗𝑗 (𝐸𝐸 ) adalah transmintasi elektron
ke sub pita ke j. Untuk sampel satu dimensi dengan panjang L, kecepatan
elektron dapat diperoleh dari panjang gelombang de Broglie:
ħ𝑘𝑘 𝑧𝑧
𝑣𝑣𝑧𝑧 = (30.18)
𝑚𝑚 ∗

521
Energi elektron terdiri dari energi sub pita dan energi kinetik sehingga
energi total diperoleh dengan menjumlahkan energi sub pita dan energi
kinetik:
ħ2 𝑘𝑘𝑧𝑧2
𝐸𝐸 = 𝐸𝐸𝑗𝑗 + (30.19)
2𝑚𝑚∗
Rapat keadaan dalam 1 D dinyatakan:
1�
(2𝑚𝑚∗ ) 2
𝑔𝑔𝑗𝑗 (𝐸𝐸 ) = 1�
(30.20)
2
ℎ�𝐸𝐸 − 𝐸𝐸𝑗𝑗 �
Dengan mensubsitusikan persamaan (30.18) dan persamaan (30.20) ke
persamaan (30.17) diperoleh:
𝜇𝜇 𝑓𝑓
𝐼𝐼𝑗𝑗 = � 𝑒𝑒. 𝑔𝑔𝑗𝑗 (𝐸𝐸 ). 𝑣𝑣𝑧𝑧 (𝐸𝐸 )𝑇𝑇𝑗𝑗 (𝐸𝐸 )𝑑𝑑𝑑𝑑
𝜇𝜇 𝑖𝑖

𝜇𝜇 𝑓𝑓 1�
(2𝑚𝑚∗ ) 2 ħ𝑘𝑘𝑧𝑧
𝐼𝐼𝑗𝑗 = � 𝑒𝑒. . . 𝑇𝑇 (𝐸𝐸 )𝑑𝑑𝑑𝑑
1�
2 𝑚𝑚∗ 𝑗𝑗
𝜇𝜇 𝑖𝑖 ℎ�𝐸𝐸 − 𝐸𝐸𝑗𝑗 �
1� 1� 1�
𝜇𝜇 𝑓𝑓 (2𝑚𝑚∗ ) 2 �𝐸𝐸 − 𝐸𝐸𝑗𝑗 � 2 (2𝑚𝑚∗ ) 2
𝐼𝐼𝑗𝑗 = � 𝑒𝑒. 1� . . 𝑇𝑇𝑗𝑗 (𝐸𝐸 )𝑑𝑑𝑑𝑑
𝑚𝑚∗
𝜇𝜇 𝑖𝑖 ℎ�𝐸𝐸 − 𝐸𝐸𝑗𝑗 � 2
𝜇𝜇 𝑓𝑓
2
𝐼𝐼𝑗𝑗 = � 𝑒𝑒 . 𝑇𝑇𝑗𝑗 (𝐸𝐸 )𝑑𝑑𝑑𝑑
𝜇𝜇 𝑖𝑖 ℎ

2
𝐼𝐼𝑗𝑗 = 𝑒𝑒. 𝑇𝑇𝑗𝑗 (𝐸𝐸 )�𝜇𝜇𝑓𝑓 − 𝜇𝜇𝑖𝑖 � (30.21)

Perbedaan energi pada kedua elektrokimi dinyatakan dalam �𝜇𝜇𝑓𝑓 −
𝜇𝜇𝑖𝑖 ) bersesuaian dengan tegangan maju yang diaplikasikan anatara dua
resovoir:
𝜇𝜇𝑓𝑓 − 𝜇𝜇𝑖𝑖 = 𝑒𝑒. ∆𝑉𝑉 (30.22)
Subsituskan persamaan (30.22) ke persamaan (30.21):
2
𝐼𝐼𝑗𝑗 = 𝑒𝑒. 𝑇𝑇𝑗𝑗 (𝐸𝐸 )𝑒𝑒. ∆𝑉𝑉

2
𝐼𝐼𝑗𝑗 = 𝑒𝑒 2 𝑇𝑇𝑗𝑗 . ∆𝑉𝑉 (30.23)

Arus total diperoleh:

522
2
𝐼𝐼 = 𝑒𝑒 2 . ∆𝑉𝑉 � 𝑇𝑇𝑗𝑗

𝑁𝑁
2 2
𝐼𝐼 = 𝑒𝑒 2 . ∆𝑉𝑉 ��𝑡𝑡𝛼𝛼,𝛽𝛽 � (30.24)

𝛼𝛼 ,𝛽𝛽

𝛼𝛼, 𝛽𝛽 menyatakan keadaan pada subpita dari kedua reservoir, secara


berurutan untuk reservoir pertama dan reservoir kedua. 𝑡𝑡𝛼𝛼,𝛽𝛽 merupakan
notasi yang menyatakan koefisien transmisi dalam proses teroboson dari
keadaan α ke keadaan β. Konduktansi dapat dinyatakan:
𝑁𝑁
22 2
𝐺𝐺 = 𝑒𝑒 . ∆𝑉𝑉 ��𝑡𝑡𝛼𝛼,𝛽𝛽 � (30.24)

𝛼𝛼 ,𝛽𝛽

Formula Landauer adalah formula yang cocok untuk menyatakan


konduktansi dari material berukuran nano. Hal ini dikarenakan
konduktansi pada formula Landauer tidak bergantung kepada dimensi
material tetapi sebanding dengan jumlah transmisi dari setiap terobosan
yang terjadi di dalam struktur.

30.5 Sintesis Carbon Nanotube


Berbagai cara dilakukan untuk mensintesis CNT. Beberapa metoda yang
digunakan seperti metoda Arc Discharge, Laser Ablation,High Pressure carbon
monoxide (HiPCO), dan Chemical Vapour Deposition (CVD) dan sebagainya.
Semua proses ini dilakukan dalam ruang vakum atau denga proses gas. Setiap
metoda yang digunakan memiliki kelebihan dan kekurangan tersendiri. Sehingga
para ilmuan terus mengembangkan penelitiannya untuk mensintesis CNT dengan
mutu baik dan ringan dari segi ekonomi.

Pada metoda CVD terdapat dua tahap penumbuhan CNT yakni penumbuhan
katalis dan penumbuhan CNT.

523
30.5.1 Penumbuhan Katalis
Katalis secara umum adalah material yang membantu mempercepat
terjadinya suatu reaksi kimia tanpa ikut bereaksi. Pada sintesis CNT, katalis
berfungsi untuk memandu penumbuhan CNT. Katalis yang digunakan biasanya
berasal dari golongan logam transisi seperti Fe, Ni, Co, Au dengan dimensi ukuran
nano atau disebut metal nanopartikel. Metal nanopartikel ini dideposisi diatas
substrat, setelah deposisi nanopartikel baru dilakukan penumbuhan CNT.
Penumbuhan nanopartikel dapat dilakukan menggunakan metoda sputtering
ataupun metoda evaporasi. Metoda evaporasi merupakan proses deposisi lapisan
tipis logam dimana untuk menempelkan bahan pada substratnya dilakukan pada
keadaan vakum. Sedangkan metoda sputtering merupakan metoda secara fisika
dimana penumbuhan lapisan tipis dengan memanfaatkan perubahan energi dan
entropi sehingga diperoleh lapisan diatas substrat.
Pada metoda sputtering terjadi pemborbardiran partikel katalis oleh gas
inert (argon) dan akhirnya terdeposisi di substrat menghasilkan lapisan tipis.
Berikut skema proses sputtering:

Gambar 30.13 Skema Diagram Proses Sputtering

Partikel katalis yang akan ditumbuhkan diletakkan pada katoda dan substrat
tempat deposisi film tipis diletakkan pada anoda. Chamber dikondisikan berada
dalam keadaan vakum, kemudian dialiri gas argon yang bersifat inert kedalam

524
chamber . Tegangan dihubungkan ke kedua elektroda. Apabila perbedaan
tegangan antara dua elektroda sangat besar akan menyebabkan gas Argon
mengalami ionisasi (𝐴𝐴𝐴𝐴 → 𝐴𝐴𝐴𝐴 + + 𝑒𝑒) dan terbentuk plasma. Ion 𝐴𝐴𝐴𝐴 + akan
menumbuk atom permukaan dari permukaan target, semakin banyak ion 𝐴𝐴𝐴𝐴 + yang
terbentuk maka akan semakin banyak pula yang akan menumbuk taerget. Karena
tumbukan-tumbukan yang diberikan oleh ion 𝐴𝐴𝐴𝐴 + , maka atom-atom permukaan
target akan lepas satu persatu dan terdeposisi pada substrat. hasil deposisi ini akan
membentuk film tipis. Reaktor tempat terjadinya proses Sputtering ditunjukan
pada gambar 5.2

(a) (b)
Gambar 30.14. (a) Reaktor Sputtering, (b) tempat penumbuhan film
tipis

Katalis yang dibutuhkan dalam penumbuhan CNT adalah metal


nanopartikel dalam bentuk dot-dot bukan film tipis. Tahap selanjutnya yang
dilakukan adalah melakukan proses Annealing untuk mendapatkan kluster-kluster
katalis. Proses Annealing adalah suatu proses dimana film tipis mengalami
perlakuan panas guna mengubah struktur layar atau lapisan menjadi butiran katalis
atau island. Pada tahap Annealing terjadi proses nukleasi/ pembentukan inti island

525
pada saat mencapai kondisi supersaturasi dan rekristalinasi yaitu proses
penyusunan ataom-atom ke dalam Kristal baru yang memiliki energi bebas
rendah.
Perlakuan yang diberikan pada saat nukleasi adalah pengaturan waktu dan
temperature Annealing. Pengaturan temperature yang digunakan pada proses
Annealing harus memperhatikan temperature eutectic dari material yang
diannealing. Pengaturan Temperature dan waktu ini akan sangat menentukan
struktur film, seperti ukuran butir dan jarak antar butir katalis yang dibentuk.
Ukuran butir yang terbentuk akan berpengaruh pada diameter CNT yang akan
dihasilkan dari proses penumbuhan. Semua proses Annealing ini terjadi dalam
furnace.
Apabila proses Annealing telah selesai dilakukan, selanjutnya dilakukan
proses karakterisasi menggunakan SEM atau TEM untuk mengetahui ukuran dan
morfologi butiran katalis yang dihasilkan. Apabila ukuran dan morfologi yang
dihasilkan telah sesuai dengan yang diinginkan, tahap selajutnya adalah
penumbuhan CNT.
Model penumbuhan CNT dengan katalis digambarkan pada gambar 5.3.
pemodelan ini difokuskan pada penumbuhan CNT dengan CVD. Gaya dorong
karbon terhadap katalis dan gradient temperature menentukan model penumbuhan
yang dihasilkan. Ada dua model penumbuhannya yaitu: tip growth dan base
growth

Gambar 30.15. Model penumbuhan CNT Tip growth dan Base growth

Interaksi metal support yang lemah akan menghasilkan penumbuhan ujung (tip
growth) sedangkan interaksi kuat akan menghasilkan penumbuhan dasar (base
growth). Bulatan bewarna hitam merupakan katalis dan garis biru merupakan CNT
yang dipandu penumbuhannya.

526
30.5.2 Penumbuhan CNT
Setelah katalis berhasil ditumbuhkan dan telah berbentuk klaster, tahap
selanjutnya adalah penumbuhan CNT. Katalis yang telah ditumbuhkan
dimasukkan kedalam reaktor. Untuk metoda penumbuhan CVD terdiri dari
berbagi tipe, salah satunya metoda VHF-PECVD (very high frequency plasma
enhance chemical vapour deposition). Merupakan metoda penumbuhan CNT yang
dapat menghasilkan CNT lurus vertical terhadap substrat. metoda ini mengalami
pengembangan dengan penambahan frekuensi yang berfungsi menaikan daya pada
penumbuhan CNT. Skema diagram VHF-PECVD adalah sebagai berikut:

Gambar 30.16. Diagram Skematik VHF-PECVD

Dalam reaktor dua elektroda di letakan saling berhadapan. Sebagai daya


input adalah frekuensi rf yang tinggi, besarnya daya antara elektroda akan
menghasilkan medan listrik. Apabila gas input (disini digunakan gas inlet) masuk
kedalam daerah yang memiliki beda daya yang tinggi, maka gas tersebut akan
terion dan membentuk plasma. Apabila tutup shutter di dibuka maka, gas yang
terion ini akan jatuh ke substrat yang telah diletakkan nanokatalis, sehingga ion-
ion ini akan terdeposisi pada substrat dan menghasilkan CNT. CNT yang
terbentuk akan mengikuti bentuk dan ukuran katalis.

527
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan (Vhf-pecvd), digunakan gas
metana (CH 4 ) dan gas silan (SiH 4 ) kosentrasi 10% dalam hidrogen (H 2 ) sebagai
sumber karbon. Lapisan tipis CNT ditumbuhkan diatas substrat silikion yang
sebelumnya telah ditumbuhkan katalis Fe. Dalam reaktor terjadi pemanasan
substrat sehingga mencapai suhu deposisi yang diinginkan. Selama proses
pemanasan substrat, chamber divakumkan sampai tekanan pradeposisi sekitar 1,6.
10-2 sampai 2,4. 10-2 torr. Setelah suhu deposisi tercapai, gas masukkan dialirkan
kedalam chamber dan daya rf dinaikan sampai muncul plasma. Apabila plasma
telah muncul, tekanan dan daya rf diatur sesuai dengan yang diinginkan. Hasil dari
penumbuhan CNT di SEM atau di XRD untuk mengetahui morfologi dan
informasi lainnya yang diinginkan. Berikut contoh hasil SEM dari penumbuhan
CNT menggunakan metoda VHF-PECVD

Gambar 30.17.Contoh Hasil SEM penumbuhan CNT dengan metoda


VHF-PECVD dengan variasi tegangan (a) 20 watt, (b) 30 watt, (c) 40 watt,
(d) 50 watt [16]

528
30.6 Aplikasi CNT
Beberapa teknologi yang telah menerapkan CNT sebagai materialnya
diantaranya:

30.6.1 Aplikasi SWNT untuk diode transparent [17]


Salah satu permasalahan mendasar berbagai Negara di dunia adalah
permasalah sumber energi seperti untuk energi listrik dan sebagainya. Pemakaian
bahan bakar yang tidak diperbaharui, nuklir dan sebagainya memilki keterbatasan
dan dampak buruknya terhadap lingkungan. Pemanfaatan matahari sebagai sumber
energi dapat mengatasi permasalahan dalam bidang energi dan ramah lingkungan.
Sehingga dikembangkanlah teknologi dengan memanfaatkan energi matahari
yakni solar cell.
Teknologi solar cell pun dari tahun ke tahun terus dikembangkan untuk
mendapatkan peforma terbaik. Penelitian dan pemanfaatan berbagai materialpun
dikembangkan. Material seperti ZnO:Al biasa digunakan sebagai Transparant
Conductive Oxide (TCO) dan In 2 :Sn sebagai ITO. Material ini memeberikan
efisiensi yang tinggi pada sel surya, permasalahannya adalah pada daya serap dari
free carrier dari IR. Sangat sulit untuk mengeliminasi absorpsi ini, karena
membutuhkan konsentrasi free carrier.
Material baru yang memilki transmintasi yang tinggi pada porsi spectrum
IR dibutuhkan untk menggantikan material ZnO tersebut. Material baru yang
dibutuhkan harus mempunyai deposisi yang sederhana, run to run reproducibility
dan hemat dari segi biaya. Salah satu material yang memenuhi keadaan itu adalah
SWNT. Sehingga SWNT dapat diaplikasikan pada teknologi sel surya.
Pemanfaatan SWNT untuk teknologi solar cell membutuhkan perlakuan
khusus. Proses coating material SWNT dilakukan dengan melakukan purifikasi
material SWNT menggunakan acid reflux, pencucian dan sentrifugasi yang
berfungsi untuk menghilangkan material metal katalis dan karbon non-tubular.
SWNT hasil purifikasi di disperse di dalam air dan alcohol untuk mendapatkan
pure SWNT coating. Karakterisasi morfologi SWNT dari coating ini dilakukan
dengan dstribusi acak dan densitas tinggi dari nanotube.
SWNT yang telah selesai dicoating, siap digunakan sebagai elektroda
transparan dalam devais photovoltaic (PV) organik. Sebagai pengecualian bahwa
material ini tidak dapat digunakan untuk PV inorganik.SWNT yang telah di
Coating memilki konduktivitas yang tinggi pada layar tipis dan perhitungan
optical seperti data transmisi dan tidak terjadinya free carrier absorpsi . kualitas

529
dari material SWNT sangat berbeda bila dibandingkan dengan menggunakan
material konvensional. Berikut kurva perbandingan transmisi optik anatara SWNT
dengan ZnO

Gambar 30.18. Data transmisi optical SWNT dan ZnO

Untuk mengevaluasi penggunaan SWNT menggantikan ZnO ini, dilakukan


beberapa tes seperti fabrikasi struktur yang terdiri dari gabungan dari material
yang bervariasi, komposisi yang berbeda dan beberapa variasi ketebalan layar.
Keuntungan yang diperoleh dengan menggunakan elektroda transparan
SWNT adalah bahwa sangat mungkin untuk meningkatkan transmisi optical
dengan hubungan reduksi sensitivitas pada SWNT coating oleh diameter, panjang
SWNT dan pilihan material metal. Proses deposisi yang sederhana dan harga yang
ekonomis dapat menghindari coating dari kehilangan efisiensi. SWNT dapat
digunakan sebagai pengabsorbsi material sanagt baik karena sifat listrik dan sifat
optic dari material ini. Sehingga SWNT dapat digunakan sebagai material active
pada sebuah solar cell.

530
30.6.2 Perangkat Memori [4]
Perkembangan nanoteknologi sekarang ini telah berimbas kedalam segala
bidang. Dalam bidang teknologi memori, diharapkan adanya memori dengan
ukuran yang sangat kecil (orde nano) dengan kapasitas penyimpanan besar dan
kecepatan akses yang sangat tinggi. Adanya penemuan mengenai CNT yang
memiliki banyak keistimewaan dan diramalkan menjadi teknologi masa depan,
memicu para ahli untuk meneliti pengaplikasian CNT untuk teknologi memori.
CNT pun memiliki berbagai tipe dan diperkirakan tipe SWNT yang lebih cocok
digunakan untuk membangun sirkuit computer dan teknologi. Beberapa penelitian
yang telah dilakukan untuk mewujudkan perangkat memori berbasis CNT
diantaranya sebagai berikut:

1. Perangkat memori bucky shuttle.


Perangkat memori berbasis bucky shuttle merupakan perangkat
memori berukuran nano yang dibangun oleh dari SWNT dan
Buckyball. Struktur bangunnya berupa sebuah Buckyball yang
dikurung didalam SWNT. Pemvariasian panjang SWNT dapat
dilakukan untuk menggantikan Buckyball. Status memori ditentukan
oleh Buckyball yang berada didalam SWNT, saat berada di sudut
kiri SWNT memori berstatus 1 dan sisi lain berstatus 0. Posisi dari
Buckyball pada kedua ujung SWNT ini dipengaruhi oleh adanya
gaya van der walls.

Untuk menyusun sel RAM yang besar berbasis CNT dapat


dilakukan dengan menyusun CNT secara rapat dan diletakkan di
antara dua lapisan kawat penghantar.kawat penghantar yang
digunakan dapat dibuat menggunakan logam ataw Nanowire.

2. Perangkat memori berarsitektur suspended nanotube,


CNT dapat digunakan sebagai kawat molekuler untuk menyusun
nonvolatile RAM. nonvolatile RAM merupakan jenis memori dengan
akses acak yang digunakan untuk menyimpan konfigurasi yang
dilakukan oleh firmware seperti BIOS dsb. NVRAM biasanya dibuat
dengan teknologi CMOS, sehingg daya yang digunakan sangat kecil
dan data yang tersimpan dalam NVRAM tidak akan hilang apabila
catu daya dimatikan.

531
Memori berbasis suspended nanotube device architecture lebih
penyusunan CNT yang digunakan pada memori. Susunan memori
pada keadaan on dan off dapat digambarkan pada gambar 30.2

Gambar 30.19 gambaran keadaan on dan off dari desaian suspended


nanotube device architecture

3. Carbon nanotube based nonvolatile memory with oxide-nitride-oxida


film and nanoscale channel [18]
Riset mengenai teknologi memori dilakukan dengan tujuan untuk
memperoleh perangkat memori yang mempunyai densitas yang
sangat tinggi, kosumsi daya yang kecil dan memilki kecepatan yang
lebih tinggi. Salah satu perangkat memori yang digunakan tersebut
adalah devise memori dengan basis MOSFET. Memori berbasis
mosfet memiliki densitas yang tinggi tapi mempunyai kelemahan
yakni memiliki disipasi termal, konsumsi daya yang besar,
kebocoran dan adanya fluktuasi listrik. Kekurangan ini dapat
ditutupi dengan pemanfaattan CNT-FET, kemudian dilakukan
penelitian mengenai memori berbasis CNT diantaranya CNT
Nonvolatile menggunakan ONO (SiO 2 -Si 3 N 4 -SiO 2 ) sebagai
charging node.

532
Berikut skema diagram CNT nonvolatile untuk devais memori

Gambar 30.20 (a) Skema CNT nonvolatile memori, (b) gambar AFM dari
SWNT antara sumber dan elektroda

Gambar 30.20 (b) menunjukan CNT yang dipasang diantara dua


elektroda logam. Kinerja terbaik dari CNTFET ini dilaporkan
menggunakan struktur top-gate. Dengan struktur top-gate ini,
gerbang elektroda terlokalisasi di dalam saluran CNT sehingga
medan listrik dapat terdistribusi secara efektif dalam CNT tampa
mengalami kebocoran arus.

Karakteristik output CNTFET menunjukan bahwa untuk perangkat


CNTFET tipe-p, arus meningkat dengan meningkatnya tegangan
Gate negative dan menurun pada tengangan Gate positif. Keadaan
arus low off dikaitkan dengan geometri top-gate elektroda dan sifat
high breakdown dari film ONO. Temperatur operasi dari CNT FET

533
bergantung kepada energi elektron dari celah pita CNT. Operasi
memori dikarakterisasi dengan mengukur pergeseran tegangan
ambang setelah pengisian Film ONO. Setelah pengisian film ONO
menunjukan pergeseran tegangan ambang kuantisasi sebesar 60mV.
Karena diameter CNT adalah sekitar 3nm, tegangan gerbang akan
mengasilkan medan listrik yang tinggi disekitar permukaan
permukaan CNT. Dengan menggunakan metoda muatan gambar,
dapat dihitung medan listrik disekitar CNT.

Lapisan ONO memiliki trap dengan keadaan energi terkuantisasi


untuk flash memory. Muatan disimpan pada lapisan ONO, dimana
muatan simpanan meningkatkan tegangan ambang dengan kenaikan
sebesar 60mV. Keadaan terkuantisasi berkaitan dengan medan listrik
tinggi terlokalisasi yang dihubungkan dengan skala nano dari saluran
CNT.

Dengan keadaan terlokalisasi sehingga terhindar dari kebocoran


arus, tidak terjadinya disipasi termal, dan tegangan yang digunakan
kecil menyebabkan CNT FET cocok digunakan untuk aplikasi
memori. Disamping itu CNT FET juga menunjukkan keadan ultra
high density flash memori yang mendukung CNT sebagai teknologi
masa depan.

30.6.3 Sensor dan actuator berbasis CNT dan kompositnya


[19]
Disebabkan sifat-sifat yang unik yang dimilki oleh CNT, dapat
dimanfaatkan untuk membuat sensor dan kompositnya. Dibandingkan dengan
material konvensional seperti pizoelektrik, CNT dapat diterpakan dengan medan
listrik yang tinggi pada temperature tinggi. Pemanfaatan CNT dan kompositnya
untuk sensor dapat dikaji berdasarkan konduktivitas listrik dan resistivitas bahan
ini.

534
30.6.4 Sebagai baterai kertas
Baterai kertas adalah baterai hasil rekayasa menggunakan lembaran tipis
selulosa yang disisipi dengan blok CNT dimana CNT disini berfungsi sebagai
elektroda. Dalam 1 cm2 mengandung satu juta CNT (satu juta elektroda), CNT ini
kemudian direndam dalam cairan elektrolit yang berfungsi sebagai penghantar
listrik. Baterai ini lebih hemat energi dan lebih stabil dibandingkan dengan baterai
konvensional sehingga dapat berfungsi sebagai baterai lithium-ion dan
superkapasitor.

30.6.5 Benang kekuatan tinggi dan anti gores


Berdasarkan sifat mekanik dari CNT yang lentur dan sangat kuat dapat
diaplikasikan untuk membuat komposit benang CNT yang yang fleksibel,
antigores, ringan, stabil, berkekuatan besar dan tahan panas. Sifat dan aplikasi ini
dapat dimanfaatkan untuk merancang pakaian anti peluru yang lebih baik
dibandingkan yang ada sekarang ini. Selain pakaian anti peluru juga dapat
dirancang untuk pakaian anti radiasi dan pakaian antariksa yang lebih ringan dan
fleksibel.

Salah satu metoda yang telah digunakan untuk mengahasilkan benang


berkomposit berbasis CNT adalah menggunakan benang CNT superaligned
(SACNT). Untuk mendapatkan kekuatan tinggi dari SACNT, komposit ini
dimasukan kedalam larutan polivinil alcohol [20].

30.6.7 Material keramik


Dengan modulus Young yang besar dari CNT dapat diaplikasikan untuk
mendapatkan keramik yang lebih kuat.
Berbagai penelitian terus ditingkatkan untuk memperoleh aplikasi nyata CNT dalam
kehidupan.

535
Daftar Pustaka
[1] Harris, P.J.F Carbon Nanotube Sciensce: Synthesis, Properties and
Applications. Cambrige University Press, 2009
[2] http://endor.hsutx.edu/~chemist/FullerLecture/fuller.htm
[3] Hongjie.Die An Introduction To Carbon Nanotubes. Department of
chemistry, Stanford University, 2003
[4] A. Kusumadewi Perangkat Memori Berbasis Carbon Nanotube
[5] E. Skulason Metalic and Semiconducting Properties of Carbon Nanotube.
Modren Physics, Department of Physics DTU, 2005
[6] Mikrajuddin, A. Pengantar Nanosains .Penerbit ITB, 2009
[7] R.B. Sanudin. Characterisation of Ballistic Carbon Nanotube Field Effect
Transistor. Universiti Teknologi Malaysia. 2005
[8] M.Daenen, The Wonderous World of Carbon Nanotubes. Eindhoven
University of Technology, 2003.
[9] Paul, Holise, dkk Nanotubes. CMP Cientifica, January 2003. (www.CMP-
cientifica.com)
[10] http://www.wikipedia.org
[11] N.R,Wilson, Electronic Transport in Single Walled Carbon Nanotubes
and their Application as Scanning Probe Microscopy tips. The University
of Warwick. April 2004
[12] R. Saito, M. Fujita, G. Dresselhaus, and M.S. Dresselhaus, Electronic
structure of Graphene tubules Based on C 60 . Physical Review B, Vol 46,
No. 3. 1992.
[13] N. Leonhard, Conductance Quantization and Laundauer Formula. 2010
Diakses dari : http://tfp1.physik.uni-freiburg.de/teaching/seminar
2010/talks/landauerformula_persentation110510.pdf.
[14] http://www.public.asu.edu/~ntao1/Teaching/EEE598/Lecture8.pdf
[15] ://nanohub.org/resources/4955/download/landauerformula.pdf
[16] S.C.Kurniasih, R.Y. Sari, Fabrikasi Awal Penumbuhan Lapisan Tipis
Carbon Nanotubes dengan metoda VHF-PECVD. Balai Besar Keramik.
[17] M. Contreras, T. Barnes, J. Van de Lagemaat, G. Rumbles, dan T.J
Coutts, Application of Single Wall Carbon Nanotubes as Transparents
Electrodes in Cu (In, Ga)Se 2 Based Solar Cells. National Renewable
Energy Laboratory (Presented at the 2006 IEEE 4th). 2006

536
[18] W.B. CHoi, dkk, B. Cheong, J. Kim, J.J.Kim, Carbon nanotube based
nonvolatile memory with oxide-nitride-oxida film and nanoscale channel ,
Applied Physics Letters, Vol. 82, No,2. 13 January 2003
[19] Chunyu Li, E.T. Thonstenson and Tsu-wei, Chu, Sensor and actuators
based on carbon nanotubes and their composites: A review. Department
of mechanical Engineering university of Delaware USA
[20] Majalah Elektronika Indonesia. Komposisi benang berdasarkan CNT yang
anti gores, sangat konduktif dan berkekuatan tinggi. 12 oktober 2010.
Diakses dari http://www.elektroindonesia.com/ei/?b=INSTRUMENTASI

537
Bab 31
Nanowire
Oleh: Maria Ulfa

31.1 Pendahuluan
Nanowire didefenisikan sebagai padatan solid berbentuk silinder, seperti
kawat yang memiliki diameter antara 1-100 nm dengan panjang sampai beberapa
micrometer[1]. Nanowire biasanya terbuat dari amorf, kristalin maupun
polikristalin. Nanowire dapat dibuat homogeny dan isotropic dari bahan seperti
dielektrik atau logam. Nanowire disebut struktur 1-dimensi karena perbandingan
panjang dan diameternya sangat besar sehingga diameternya dapat diabaikan. Hal
ini berarti bahwa elektron hanya dapat bergerak bebas pada satu arah saja,
sedangkan untuk 2 arah yang lain elektron tidak punya energi yang cukup untuk
bergerak.
Material skala nano satu dimensi (1D) telah menjadi sangat menarik dalam
penelitian dasar sains dan potensi teknologi aplikasi. Selain karbon nanotube,
nanostruktur 1D seperti nanowire atau quantum wire adalah sistem ideal untuk
menginvestigasi kebergantungan transport elektron, sifat optik dan sifat mekanik
pada ukuran dan dimensinya. Mereka dikembangkan untuk memainkan peran
penting sebagai interkoneksi dan komponen yang fungsional dalam fabrikasi
devais elektronik dan optoelektronik. Banyak sifat unik dan mengagumkan yang
telah didemonstrasikan pada material 1D ini seperti sifat mekanik superior,
luminisens dengan efisiensi tinggi, termoelektrik dan menurunkan pancaran
ambang. Sifat unik dari nanowire tidak hanya bergantung pada ukurannya, tapi
juga sangat bergantung pada bahan yang digunakan. Nanowire logam digunakan
dalam chip untuk transportasi elektron. Nanowire yang terbuat dari silicon dapat
digunakan untuk memandu gelombang optik.
Sejak tahun 1980 secara eksperimen dan teori telah memperlihatkan bahwa
sifat listrik semikonduktor pada skala ~1-10 nm dikembangkan berdasarkan
mekanika kuantum. Pada dasarnya, cahaya yang diserap dan diemisikan oleh
nanopartikel semikonduktor dimainkan oleh diameter nanopartikel karena
fotogenerasi pasangan elektron-holenya punya diameter exciton dalam rentangan
skala 1-10 nm. Pada Gambar (1) dapat dilihat beberapa jenis nanowire.

538
(a) (b)

(c) (d)
Gambar 31.1. Beberapa Jenis Nanowire yang Telah Disintesis. (a) Si
Nanowire [2], (b) ZnO Nanowire [2], (c) InGaN Nanowire
[2], (d) ZnO Nanowire pada Substrat Safir [3]

31.2 Konsep dasar nanowire


31.2.1 Teori Kuantum
Teori yang mendasari struktur 1D seperti nanowire dijelaskan oleh
mekanika kuantum yaitu menggunakan persamaan Schrodinger bebas waktu.
Untuk struktur 3D persamaan Schrodinger bebas waktu dengan massa efektif
konstan adalah
ℏ2 2
− ∇ Ψ(𝑥𝑥, 𝑦𝑦, 𝑧𝑧) + 𝑉𝑉(𝑥𝑥, 𝑦𝑦, 𝑧𝑧)Ψ(𝑥𝑥, 𝑦𝑦, 𝑧𝑧) = 𝐸𝐸Ψ(𝑥𝑥, 𝑦𝑦, 𝑧𝑧) (31.1)
2𝑚𝑚∗

dengan ℏ = ℎ/(2𝜋𝜋)

539
dimana :

h = konstanta Planck

E = energi

m* = massa efektif elektron

Dengan mengasumsikan disperse terjadi dalam arah datar dan axis wire adalah
sepanjang sumbu-x sehingga potensial total V(x,y,z) bisa ditulis sebagai sebuah
penjumlahan dari potensial terkurung dalam 2D dan potensial sepanjang sumbu
wire.

𝑉𝑉(𝑥𝑥, 𝑦𝑦, 𝑧𝑧) = 𝑉𝑉 (𝑥𝑥 ) + 𝑉𝑉(𝑦𝑦, 𝑧𝑧) (2)


Dan fungsi eigen bisa ditulis sebagai

Ψ(𝑥𝑥, 𝑦𝑦, 𝑧𝑧) = Ψ(𝑥𝑥 )Ψ(𝑦𝑦, 𝑧𝑧) (3)


Dengan mensubstitusikan persamaan (2) dan (3) ke dalam persamaan (1), akan
diperoleh

ℏ2 𝜕𝜕 2 Ψ(𝑥𝑥 ) 𝜕𝜕 2 Ψ(𝑦𝑦, 𝑧𝑧) 𝜕𝜕 2 Ψ(𝑦𝑦, 𝑧𝑧)


− �Ψ ( 𝑦𝑦, 𝑧𝑧 ) Ψ (𝑥𝑥 ) + Ψ ( 𝑥𝑥 ) � + Ψ(𝑥𝑥 )𝑉𝑉(𝑦𝑦, 𝑧𝑧)Ψ(𝑦𝑦, 𝑧𝑧)
2𝑚𝑚∗ 𝜕𝜕𝜕𝜕 2 ⪦ 𝑦𝑦 2 𝜕𝜕𝜕𝜕 2
+ Ψ(𝑥𝑥 )𝑉𝑉(𝑥𝑥 )Ψ(𝑦𝑦, 𝑧𝑧) = Ψ(𝑥𝑥 )�𝐸𝐸𝑥𝑥 + 𝐸𝐸𝑦𝑦,𝑧𝑧 �Ψ(𝑦𝑦, 𝑧𝑧) (4)

Dengan menggabungkan energi kinetic dan potensial pada ruas kiri dari
persamaan (4) untuk menyesuaikan energi pada ruas kanan dan mengetahui bahwa
V(x) = 0 (artinya tidak ada potensial sepanjang sumbu wire), kedua medan
digandengkan dengan persamaan :

ℏ2 𝜕𝜕 2 Ψ(𝑥𝑥)
− = 𝐸𝐸𝑥𝑥 Ψ(𝑥𝑥 ) (5)
2𝑚𝑚∗ 𝜕𝜕𝜕𝜕 2
dan

ℏ2 𝜕𝜕 2 Ψ(𝑦𝑦, 𝑧𝑧) 𝜕𝜕 2 Ψ(𝑦𝑦, 𝑧𝑧)


− � + � + 𝑉𝑉(𝑦𝑦, 𝑧𝑧)Ψ(𝑦𝑦, 𝑧𝑧) = 𝐸𝐸𝑦𝑦,𝑧𝑧 Ψ(𝑦𝑦, 𝑧𝑧) (6)
2𝑚𝑚∗ 𝜕𝜕𝜕𝜕 2 𝜕𝜕𝜕𝜕 2
Solusi dari persamaan (5) adalah

ℏ2 𝑘𝑘𝑥𝑥2
𝐸𝐸𝑥𝑥 = (7)
2𝑚𝑚∗
dimana k x adalah bilangan riil.

540
Persamaan (6) adalah persamaan Schrodinger untuk potensial kurungan 2D dalam
nanowire. Solusi persamaan ini untuk bentuk wire yang berbeda lebih berperan
akan tetapi bisa disederhanakan dengan membuat beberapa asumsi. Dengan
asumsi sebuah persegi panjang tak terhingga yang mengarah ke dalam nanowire
seperti diperlihatkan pada Gambar (2), dan mengambil potensial di dalam wire
menjadi nol dan potensial di luar wire tak terhingga, perubahan persamaan dalam
wire adalah

ℏ2 𝜕𝜕 2 Ψ(𝑦𝑦, 𝑧𝑧) 𝜕𝜕 2 Ψ(𝑦𝑦, 𝑧𝑧)


− � + � = 𝐸𝐸𝑦𝑦,𝑧𝑧 Ψ(𝑦𝑦, 𝑧𝑧) (8)
2𝑚𝑚∗ 𝜕𝜕𝜕𝜕 2 𝜕𝜕𝜕𝜕 2

Gambar 31.2. Skema Persegi Panjang Nanowire Tak Terhingga dengan


Mengambil Potensial Bagian dalam V=0 dan Bagian Luarnya Tak
Terhingga [4]

Di luar wire, fungsi eigen Ψ(𝑥𝑥, 𝑦𝑦, 𝑧𝑧) = 0, sejak potensial tak terhingga. Dengan
menggunakan pemisahan variabel

Ψ(𝑦𝑦, 𝑧𝑧) = Ψ(𝑦𝑦)Ψ(𝑧𝑧) (9)


dan mensubstitusikan persamaan (9) ke dalam persamaan (8) dan menempatkan
energi yang tepat di sepanjang sumbu yang berbeda, menghasilkan dua persamaan
yang dipisahkan lagi :

ℏ2 𝜕𝜕 2 Ψ(𝑦𝑦)
− = 𝐸𝐸𝑦𝑦 Ψ(𝑦𝑦), (10)
2𝑚𝑚∗ 𝜕𝜕𝜕𝜕 2
ℏ2 𝜕𝜕 2 Ψ(𝑧𝑧)
− = 𝐸𝐸𝑦𝑦 Ψ(𝑧𝑧). (11)
2𝑚𝑚∗ 𝜕𝜕𝜕𝜕 2

541
Solusi untuk persamaan (10) dan (11) dengan titik asal adalah sudut dan dimensi
wire diperlihatkan dalam Gambar (1) adalah

2 𝜋𝜋𝑦𝑦 𝑦𝑦
Ψ(𝑦𝑦) = � 𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠 � �
𝐿𝐿𝑦𝑦 𝐿𝐿𝑦𝑦

2 𝜋𝜋𝑛𝑛𝑧𝑧 𝑧𝑧
Ψ(𝑧𝑧) = � 𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠 � �
𝐿𝐿𝑧𝑧 𝐿𝐿𝑧𝑧

dimana n x dan n y dibatasi untuk bilangan bulat positif dengan komponen energi
sebagai,

ℏ2 𝜋𝜋 2 𝑛𝑛𝑦𝑦2 ℏ2 𝜋𝜋 2 𝑛𝑛𝑧𝑧2
𝐸𝐸𝑦𝑦 = , 𝐸𝐸𝑧𝑧 = . (12𝑏𝑏)
2𝑚𝑚∗ 𝐿𝐿2𝑦𝑦 2𝑚𝑚∗ 𝐿𝐿2𝑧𝑧
Kondisi yang fungsi eigennya menjadi nol pada bidang batas kawat
mengarah ke nilai-nilai kuantisasi energi melalui bilangan bulat n x dan n y .
Sehingga distribusi spasial densitas muatan sebanding dengan |Ψ(𝑦𝑦, 𝑧𝑧)|2 yang
dijelaskan oleh dua bilangan kuantum utama, n y dan n z , seperti terlihat pada
persamaan (12a). Dengan demikian, pengurungan energi berkurang dengan
meningkatnya ukuran nanowire, karena adanya istilah L pada penyebut dalam
persamaan (12b). Disini ditekankan bahwa energi yang terkuantisasi sebagai
konsekuensi dari nilai-nilai integer n y dan n z .

31.2.2 Rapat Keadaan Elektron


Rapat keadaan elektron (D(E)) adalah jumlah keadaan per satuan energi per
satuan volume dari ruang riil dan suatu jumlah yang penting. Jumlah rapat
keadaan elektron banyak menentukan sifat dari suatu material terutama sifat-sifat
fisika dan kimia. Ini memberikan pengetahuan kepada kita tentang jumlah keadaan
energi yang memungkinkan yang diperbolehkan untuk ditempati oleh elektron,
seperti diperlihatkan dalam persamaan (12),. Jadi
d𝑁𝑁
𝐷𝐷 (𝐸𝐸 ) = (13)
d𝐸𝐸
N kadang-kadang disebut rapat keadaan kumulatif atau rapat keadaan total hingga
energi E. Untuk material bulk, tiga derajat kebebasan untuk momentum keluar
bola dalam ruang k. Dalam sumur kuantum dengan dua derajat kebebasan,
momentum elektron berturut-turut mengisi lingkaran yang lebih besar. Untuk
nanowire dengan satu derajat kebebasan, momentum elektron mengisi keadaan di
sepanjang garis. Jadi dalam satu dimensi (1D), jumlah keadaan total N1D, adalah

542
sama dengan rasio dari panjang garis di ruang k (2k, untuk nilai k positif dan k
negatif) dengan panjang yang ditempati oleh satu keadaan dibagi dengan panjang
di ruang riil, yaitu L. Factor 2 dalam persamaan adalah perhitungan untuk
degenerasi spin (atas atau bawah spin diperbolehkan untuk masing-masing
keadaan elektron).

𝐿𝐿 1 2𝑘𝑘
𝑁𝑁 1𝐷𝐷 = 2(2𝑘𝑘 ) � � � � = (14)
2𝜋𝜋 𝐿𝐿 𝜋𝜋
Rapat keadaan untuk nanowire bisa kemudian diturunkan sebagai,

d𝑁𝑁 1𝐷𝐷 d𝑁𝑁 1𝐷𝐷 d𝑘𝑘


𝐷𝐷 (𝐸𝐸 )1𝐷𝐷 = = (15)
d𝐸𝐸 d𝑘𝑘 d𝐸𝐸
Dari persamaan (7),
1 −1
d𝑘𝑘 2𝑚𝑚∗ 2 𝐸𝐸 2
=� 2 � (16)
d𝐸𝐸 ℏ 2
Dengan mendifferensialkan persamaan (14) yang melibatkan k dan
mensubstitusikan hasilnya ke persamaan (16) dank e dalam persamaan (15)
menghasilkan,
1 −1
1𝐷𝐷
2𝑚𝑚∗ 2 𝐸𝐸 2
𝐷𝐷 (𝐸𝐸 ) = � 2 �
ℏ 𝜋𝜋
Perhitungan serupa dapat dilakukan dalam dimensi 0 (0D; yaitu untuk kuantum
dot), 2D, dan 3 D. Tabel 1 menunjukkan kebergantungan rapat keadaan pada
energi untuk dimensi yang berbeda. Data yang mirip memperlihatkan bagaimana
perubahan rapat keadaan dari bulk (3D), ke struktur 2D, 1D dan 0D seperti
ditunjukan pada Gambar (3) berikut.

Tabel 31.1. Rapat Keadaan untuk Struktur 1D, 2D dan 3D [4]

Dimensi Rapat Keadaan D(E)

3D 3 1
2𝑚𝑚∗ 2 𝐸𝐸 2
� 2 �
ℏ 2𝜋𝜋 2
2D 2𝑚𝑚∗ 1 𝐸𝐸 0
� 2 �
ℏ 2𝜋𝜋

543
1D 1 −1
2𝑚𝑚∗ 2 𝐸𝐸 2
� 2 �
ℏ 𝜋𝜋

Dalam bentuk grafik dapat dilihat pada Gambar (3) berikut.

Gambar 31.3. Perbandingan Rapat Keadaan Elektron untuk Nanostruktur yang


Berbeda dengan Material Bulk [4]

Atau bisa dilihat juga Gambar (4) di bawah ini.

544
Gambar 31.4. Skema Ilustrasi (bagian atas) untuk Material Bulk 0D, 1D, 2D dan
3D. Yang disesuaikan dengan Rapat Keadaan Elektron untuk Tiap
Struktur (bagian bawah) [4]

Efek yang jelas terlihat dengan perbedaan dimensi struktur pada gambar di
atas menjadi salah satu alasan utama untuk ketertarikan pada nanostruktur pada
umumnya dan nanowire khususnya untuk perangkat aplikasi elektronik dan optik.
Sementara rapat keadaan yang kontiniu pada struktur 3D, sedangkan untuk 1D
atau nanowire telah terjadi perubahan yang tajam pada tepi pita yang berbeda. Hal
ini menyebabkan sinyal yang kuat dalam banyak pengukuran optik dan elektronik
pada energi ini. Efek yang sama mempengaruhi ikatan kimia dan sifat mekanik
dari nanowire karena pengurungan elektron dalam 2D.

31.3 Penumbuhan nanowire


Penumbuhan nanowire sebagian besar adalah penumbuhan berkatalis.
Sebelum pembahasan tentang metode penumbuhan nanowirenya, terlebih dahulu
akan dijelaskan tentang metode penumbuhan katalis yang akan dipakai sebagai
pemandu penumbuhan nanowire. Katalis dapat ditumbuhkan dengan dua metode
yaitu metode sputtering dan evaporasi. Di sini hanya akan dijelaskan salah satu
metode saja yaitu metode sputtering.

31.3.1 Sputtering
Pada proses sputtering terjadi proses penembakan bahan pelapis (target)
dengan ion-ion berenergi tinggi sehingga terjadi pertukaran momentum. Atom dari
target akan terlepas dan menempel pada substrat selama proses pengaliran gas
argon sebagai media pembentuk plasma. Metode sputtering memiliki keunggulan
dibandingkan metode evaporasi, antara lain adhesivitas antara lapisan dan
permukaan substrat lebih kuat, ketebalan lapisan lebih mudah diamati dan
dikendalikan serta dapat digunakan untuk pendeposisian banyak lapisan
(multilayer). Dengan metode ini juga dapat dilakukan pendeposisian untuk
material isolator maupun konduktor.
Proses deposisi dengan sistem sputtering merupakan proses terlemparnya
materi dari suatu permukaan zat padat akibat ditumbuk oleh partikel berenergi
tinggi hingga terjadi pertukaran momentum yang dapat dilihat pada gambar di
bawah ini.

545
Gambar 31.5 Proses Pertukaran Momentum Antara Atom Target Dan
Atom Datang
Proses ini berlangsung di dalam ruang hampa udara dengan target (source)
berupa bahan pelapis dan diletakkan searah dengan substrat. Proses ini
berlangsung pada ruang vakum dengan tekanan awal sekitar 5 x 10-4 sampai
dengan 5 x 10-7 torr dengan tujuan untuk menekan kontaminasi gas. Sebagai gas
pembawa digunakan gas inert argon. Glow discharge dibentuk dengan
memberikan tegangan tinggi 500-5000 V di antara anoda dan katoda. Glow
discharge yaitu pembentukan plasma secara terus menerus karena terionisasinya
gas argon akibat perbedaan tegangan antara anoda dan katoda yang dapat dilihat
pada Gambar (6) berikut.

Gambar 31.6. Proses Pembentukan Plasma Dan Pemecahan Gas Argon [5]

546
Material yang akan dilapisi (substrat) diletakkan pada anoda sedangkan
target bertindak sebagai katoda. Ion positif argon dipercepat ke arah katoda untuk
membentuk potensial negatif. Atom-atom pada material di katoda di bombardir
dengan energi tinggi sehingga menyebabkan molekul target pecah dan terpental
dari katoda kemudian menempel pada substrat dan membentuk lapisan tipis.
Setelah lapisan tipis terbentuk, untuk membentuk butiran katalis dilakukan
proses lanjutan yaitu annealing. Pada proses ini, film tipis mengalami perlakuan
panas untuk merubah bentuk layer atau lapisan menjadi bentuk butiran atau island.
Pada tahap ini terjadi nukleasi kristal-kristal yang baru.
Metode sputtering ini biasa disebut dengan DC sputtering yang hanya bisa
dipakai untuk deposisi metal atau material yang bersifat konduktor sedangkan
untuk material yang bersifat isolator digunakan RF sputtering.

(a) (b)
Gambar 31.7. Skema reaktor DC sputtering (a), dan RF sputtering (b) [5]

31.3.2 Metode Vapor-Liquid-Solid (VLS)


Untuk mensintesis nanowire dapat dilakukan dengan banyak cara
diantaranya, metode Vapour Liquid Solid (VLS) yang kemudian dimodifikasi
menjadi CVD (Chemical Vapour Deposition), LCG (Laser Ablation Catalytic
Growth), dan Low Temperature VLS Method. Metode lain yang digunakan dalam
penumbuhan nanowire adalah dengan pembuatan template, dimana yang biasa
digunakan adalah templat anodic alumina.
Metode VLS pertama kali diusulkan diawal 1960-an untuk penumbuhan
kabel Si menggunakan Au. Metode VLS merupakan metode penumbuhan yang
membutuhkan katalis, fungsi katalis adalah memandu terbentuknya nanowire.
Katalis dapat disintesis dengan berbagai metode seperti metode sputtering dan

547
evaporasi. Proses ini diawali dengan penumbuhan lapisan tipis pada substrat
dengan ketebalan berorde nanometer, kemudian diberikan perlakuan annealing
untuk membentuk butiran berukuran nano. Metode VLS ini paling banyak
digunakan untuk penumbuhan nanowire semikonduktor. Mekanisme VLS terdiri
dari 3 bagian yang dapat dilihat pada Gambar (8) di bawah ini.

(a)

(1) Nukleasi nanopartikel logam (2) Gas pembawa berfungsi


sebagai vapor

(3)Difusi vapor setelah suhu (4) Penyerapan pada antarmuka


eutectic padat-cair

548
(5) Nanowire tumbuh pada substrat
(b)
Gambar 31.8. Skema Penumbuhan Nanowire (a) Skema Secara Umum [6], (b)
Skema yang Lebih Detail [7]
Pertama, sebuah material logam menyerap material semikonduktor dan
membentuk alloy. Dalam keadaan ini volume partikel meningkat dan sering terjadi
transisi perubahan fasa dari padat ke cair. Ke dua, alloy yang telah terbentuk terus
menyerap material semikonduktor sampai tercapai keadaan saturasi. Saturasi
adalah keadaan dimana partikel sudah berada dalam keadaan seimbang yang
berarti tidak terjadi lagi perubahan fasa. Dengan pengertian ini, sehingga droplet
alloy yang telah mencapai saturasi menjadi seimbang dengan fasa padat dan
kemudian terjadilah nukleasi yaitu pembentukan inti dari droplet alloy yang
terbentuk. Selama fasa terakhir, keadaan yang tetap terbentuk sehingga dapat
menumbuhkan sebuah kristal semikonduktor pada batas antarmuka padat/cair.
Pengendapan material semikonduktor tumbuh sebagai wire karena energinya lebih
tinggi daripada energi permukaan dari batas antarmuka padat-cair.
Dalam mekanisme VLS , diameter wire ditentukan oleh diameter partikel
alloy yang terbentuk, dimana diameter alloy ditentukan oleh suhu. Sedangkan
panjang wire ditentukan oleh besarnya laju dan lamanya waktu penumbuhan [6]..
Pada metode VLS ini pembentukan droplet alloy melalui beberapa perubahan fasa.
Diagram fasa secara umum dalam pembentukan alloy dapat diperlihatkan oleh
Gambar (9) di bawah ini.

549
Gambar 31.9. Diagram Fase Biner untuk Alloy pada Metode VLS [7]
Secara teori, alloy baru dapat terjadi pada temperature eutectic atau
4αΩ

diatasnya, temperature eutectic adalah temperature terendah yang dibutuhkan oleh


campuran dua material untuk melebur (melting). Syarat tercapainya titik eutectic
ini adalah tercapainya keseimbangan atau pertemuan zat pertama yang memiliki
fasa cair dengan zat kedua yang memiliki fasa padat. Syarat yang kedua, tercapai
pada suhu terendah dimana sistem masih benar-benar cair. Dalam pembentukan
alloy ini ada diameter kritis yang harus dipenuhi agar alloy yang dihasilkan
bersifat stabil. Diameter ini tercapai ketika sistem berada dalam kondisi seimbang,
diameter kritis tersebut memenuhi persamaan di bawah ini,
4𝛼𝛼Ω
d𝑐𝑐 = (17)
C
RTln � �
C∞

dimana : 𝛼𝛼 = energi bebas permukaan


Ω = volum molar
R = konstanta gas
T = temperature mutlak
C = konsentrasi komponen semikonduktor dalam alloy cair
C∞ = konsentrasi keseimbangan
Pada tabel di bawah ini dapat dilihat suhu eutectic dari beberapa alloy yang biasa
dipakai secara umum.

550
Tabel 31.2. Suhu Eutectic Beberapa Alloys yang Dipakai Secara Umum [7]
Alloys Suhu eutectic (Bulk
Material)°C
Au-Si 360
Au-GaAs 630
Au-Ge 360
Ag-Si 837
Fe-Si >1200
Al-Si 577
Al-Ge 419

31.3.3 Vapor-solid Growth


Penumbuhan nanostruktur dengan metode vapor-solid terjadi ketika gas
reaktan secara langsung terkondensasi ke fase padatan, sehingga mekanisme
penumbuhan ini dikenal dengan Vapor-Solid Growth. Penumbuhan dengan
metode ini dapat terjadi pada berbagai katalis logam. Precursor fase gas dari
material target secara langsung terserap pada substrat, yang diikuti oleh nukleasi
(pembentukan inti) dan seterusnya akan terjadi penumbuhan nanowire. Peluang
terbentuknya inti dengan metode Vapor-Solid bisa dinyatakan sebagai berikut.
−𝜋𝜋𝜎𝜎 2
𝑃𝑃𝑛𝑛 = 𝐴𝐴 𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒 � � (18)
𝑘𝑘𝐵𝐵 𝑇𝑇 2 ln 𝛼𝛼
dimana
𝐴𝐴 : konstanta
𝜎𝜎 : energi permukaan
𝛼𝛼 : rasio supersaturasi
T : suhu (K)
𝑘𝑘𝐵𝐵 : konstanta Boltzman

Rasio supersaturasi diberikan oleh, 𝛼𝛼 = p/p 0 dengan p adalah tekanan vapor dan
p 0 adalah tekanan vapor saat keadaan seimbang dari fase terkondensasi pada suhu
yang sama.

Untuk menumbuhkan susunan nanowire yang vertikal sejajar terhadap


substrat melalui mekanisme Vapor-Solid, salah satunya dengan pemilihan substrat
yang cocok untuk memperlihatkan pertumbuhan epitaxial yang heterogen atau
substrat yang homogeny untuk penumbuhan benih (dot). Gambar (10) adalah hasil

551
SEM penumbuhan logam oksida nanowire termasuk ZnO. Mekanisme fisik yang
tepat dalam penumbuhan nanowire anisotropi melalui Vapor-Solid sampai saat ini
belum jelas. Morfologi nanowire yang dihasilkan sebagian besar ditentukan oleh
anisotropi pada tingkat penumbuhan kristalografi yang berbeda.

Gambar 31.10. (a) Nanobelt Logam Oksida dengan Metode VS, (b)
Nanobelt In 2 O 3 dengan Metode VS [4]
Untuk memilih metode yang cocok dalam penumbuhan berbagai macam nanowire
dapat dilihat pada Tabel 3 berikut.

Tabel 31.3. Pemilihan Metode Sintesis Nanowire untuk Material Berbeda [2]

Materi Teknik Penumbuhan Referensi


al
Ag DNA-template,redox (Braun et al., 1998)
template, pulsed ECDα (Sauer et al., 2002)
Au Template, EDCα (Hornyak et al., 1997; Zhang et al.,
2001)
Bi Stress-induced (Cheng et al., 2002)
template, vapor-phase (Heremans et al., 2000)
template, EDCα (Piraux et al., 1999)
(Hong et al., 1999)
(Yin et al., 2001)
template, pressure-injection (Zhang et al., 1998b)
(Zhang et al.,1999b;Huber et al.,2000)

Bi 2 Te 3 Template, dc EDCα (Sander et al., 2002)

552
CdS Liquid-phase (surfactant), (Chen et al.,2002b)
recrystallization template, ac (Xu et al., 2000a)
EDCα (Routkevitch et al., 1996a)
CdSe Liquid-phase (surfactant), (Manna et al.,2000)
redox template, ac EDCα (Routkevitch et al., 1996b)
(Xu et al., 2000b)
Cu Vapor deposition template, (Adelung et al., 2002)
EDCα (Gao et al., 2001)
Fe Template, EDCc (Mawiawi et al., 1991)
(Li and Metzger, 1997)
Shadow deposition (Sugawara et al., 1997)
GaN Template, CVDc (Cheng et al., 1999)
VLSb (Huang et al., 2002; Cui et al.,2000)
GaAs Template,liquid/vapor (Berry et al., 1996)
OMCVDd
Ge High-T, high-P liquid-phase, (Heath and LeGoues., 1993)
redox VLSb (Wu and Yang., 2000)
Oxide-assisted (Zhang et al., 2000a)
InAs Template,liquid/vapor (Berry et al., 1996)
OMCVDd
InP VLSb (Duan et al., 2001)

Mo Step decoration,EDCα + redox (Zach et al., 2000)

Ni Template, EDCα (Sun et al., 1999)


(Nielsch et al., 2001; Yin et al., 2001)
PbSe Liquid phase (Bashouti et al., 2002)

Pd Step decoration, EDCα (Favier et al., 2001)

Se Liquid-phase, recrystallization (Gates et al., 2002a)


template, pressure injection (Huber et al., 1994)
b
Si VLS (Cui et al., 2001a)
b
Laser-ablation VLS (Morales and Lieber., 1998)
Oxide-assisted (Wang et al., 1998b)
b
Low-T VLS (Sunkara et al., 2001)
Zn Template,vapor-phase (Heremans et al., 2002)

553
template, EDCα (Li et al., 2000b)

ZnO VLSb (Yang et al., 2002)


α
Template, EDC (Zheng et al., 2002; Li et al., 2000b)
α
Electrochemical deposition
b
Vapor-liquid-solid
c
Chemical vapor deposition
d
Organometallic chemical vapor deposition

31.4 Mengontrol pertumbuhan nanowire


31.4.1 Control orientasi
Pengontrolan orientasi penumbuhan sangat penting untuk berbagai aplikasi
nanowire. Contohnya saja untuk aplikasi nanowire dalam solar sel dibutuhkan
susunan nanowire yang tegak lurus terhadap substrat dan teratur. Nanowire
memiliki arah penumbuhan berbeda untuk kristal yang berbeda. Misalnya silicon
nanowire akan tumbuh dengan arah <111> sedangkan arah penumbuhan ZnO
nanowire adalah <001>. Salah satu strategi untuk menumbuhkan nanowire secara
vertikal dengan susunan teratur adalah dengan cara pemilihan substrat dan
mengontrol kondisi reaksi seperti konsentrasi larutan. Dengan cara ini akan
dihasilkan nanowire yang tumbuh secara tegak lurus dengan substrat. Sebagai
contoh, safir yang dipilih sebagai substrat untuk penumbuhan ZnO nanowire. Safir
dengan konstanta kisi α = 4.75 Å dan c = 12.94 Å dapat menumbuhkan ZnO
nanowire secara epitaksi dengan baik. Gambar (11) di bawah ini memperlihatkan
penumbuhan ZnO nanowire vertikal di atas substrat safir.

554
Gambar 31.11. ZnO Nanowire yang Tumbuh di atas Substrat Safir Secara
Epitaksi [8]
Karakterisasi XRD memperlihatkan susunan ZnO nanowire di atas substrat
safir, dimana hanya peaks yang berorientasi (00l) yang terekam dengan baik.
Artinya, ZnO nanowire yang paling banyak tumbuh adalah yang berorientasi
(001) seperti terlihat pada gambar berikut.

Gambar 31.12. Pattern XRD dari ZnO Nanowire di atas Substrat Silikon [8]

31.4.2 Control Posisi


Dari mekanisme penumbuhan nanowire dengan metode VLS telah jelas
bahwa posisi dari nanowire bisa dikontrol oleh posisi awal dari nanocluster atau
film tipis. Teknik yang bisa digunakan untuk pembuatan pattern dari film tipis
adalah teknik litografi seperti soft litografi, e-beam litografi dan fotolitografi.
Teknik litografi merupakan fabrikasi yang ideal untuk menghasilkan
penyusunan yang teratur dan mendekati homogen untuk ukuran, bentuk dan
periodisitas. Parameter ini dapat dikontrol dengan mudah, dimana ukuran dot
dapat dikontrol dengan cara mengontrol lama waktu deposisi. Jarak antar dot
diatur dengan menggunakan partikel koloid yang berbeda ukuran, sedangkan
bentuk diatur dengan cara mengatur jenis material sumber. Gambar (13) berikut
memperlihatkan sebuah contoh pattern yang dibuat dengan teknik litografi. Pattern
hexagonal ini digunakan untuk menumbuhkan ZnO nanowire.

555
Gambar 31.13. Hasil SEM Pattern Koneksi ZnO Nanowire di atas Substrat
Silikon [8]
Sebagai tambahan bahwa untuk pengontrolan posisi ini adalah lebih
mungkin untuk mengontrol densitas nanowire dengan memodifikasi ketebalan
film tipis atau menggunakan larutan untuk pembuatan klusters. Dengan
mendispersikan jumlah atau densitas clusters yang berbeda pada substrat sangat
memungkinkan untuk memperoleh susunan nanowire dengan densitas yang
berbeda. Sebagai contoh dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

Gambar 31.14. Array ZnO Nanowire pada Substrat Safir dengan Densitas
yang Rendah [8]

31.4.3 Control Diameter


Diameter dari nanowire juga memiliki peranan penting dalam aplikasi
teknologi. Sehingga pengontrolan diameter penting untuk dilakukan. Pengontrolan
diameter penumbuhan nanowire dilakukan dengan cara mengatur ketebalan
lapisan tipis yang digunakan. Ide ini muncul karena berdasarkan sebuah
kemungkinan hubungan langsung antara ukuran larutan partikel dengan diameter
yang dihasilkan. Droplet terbentuk melalui proses pemanasan selama reaksi

556
berlangsung. Diameter wire yang dihasilkan akan menurun seiring dengan
menurunnya ketebalan lapisan tipis. Sebagai contoh, penelitian yang telah
dilakukan pada penumbuhan ZnO nanowire menghasilkan diameter rata-rata 88,
110, dan 150 nm saat ketebalan filmnya 0.5, 1, dan 3 nm. Penumbuhan ini
dilakukan di atas substrat safir pada suhu 900°C selama 5 menit.
Cara lain yang bisa digunakan untuk mengontrol diameter nanowire adalah
dengan mengatur kehomogenan distribusi kluster katalis (logam). Nanokluster
didistribusikan pada substrat untuk meminimalisir kemungkinan terbentuknya
agregat partikel. Sebagai contoh, diameter rata-rata ZnO nanowire adalah 35, 46,
dan 54 nm dihasilkan ketika kluster yang digunakan memiliki ukuran 5, 10, dan 15
nm.

31.4.4 Control Morfologi


Dengan menggunakan vapor yang berbeda dalam penumbuhan nanowire
akan mempengaruhi struktur yang terbentuk. Sebagai contoh, saat bubuk Zn
digunakan sebagai sumber vapor dalam penumbuhan ZnO nanowire maka akan
dihasilkan diameter nanowire yang seragam dan distribusi seragam pada sisi-sisi
nanowire. Keseragaman distribusi partikel pada penumbuhan nanowire ini akan
mempengaruhi sifat nanowire yang dihasilkan, sehingga juga memberikan
pengaruh terhadap pengaplikasian nanowire. Dengan demikian, pengontrolan
morfologi dalam penumbuhan nanowire perlu menjadi perhatian penting. Gambar
(15) berikut memperlihatkan perbedaan morfologi nanowire dengan sumber vapor
yang berbeda.

557
Gambar 31.15. Perbedaan Morfologi dan Superstruktur pada Penumbuhan
ZnO Nanowire dengan Zn sebagai Sumber Vapor [8]

31.5 Beberapa sifat nanowire


Karena adanya efek pengurungan kuantum pada nanowire memunculkan
sifat-sifat yang berbeda dengan bulknya. Diantaranya sifat konduksi listrik, sifat
optik, sifat magnetik, sifat termoelektrik dan sifat kimia. Akan tetapi dalam paper
ini tidak semua sifat-sifat nanowire tersebut dibahas, yang akan dibahas hanyalah
sifat listrik (transpor) dan sifat optik nanowire yang berkaitan dengan
fotoluminisens.

31.5.1 Sifat listrik (sifat transpor)


Sifat listrik (sifat transpor) elektron dalam nanowire sangat penting dalam
pengembangan piranti elektronik dan listrik. Oleh karena itu pemahaman tentang

558
mekanisme transpor muatan pembawa pada bidang satu dimensi menjadi sangat
krusial [1].
Variasi sifat listrik dalam material yang sesuai dengan dimensinya dapat
dijelaskan dengan perbedaan kerapatan elektronnya. Secara umum kerapatan
elektron dinyatakan oleh ρ ∝ ED/2-1, dimana E adalah energi dan D adalah dimensi
(3D, 2D dan 1D). Selain itu pengurungan spasial dalam struktur nano
menyebabkan pergeseran blueshift pada pita gap dengan semakin kecilnya ukuran.
Pergeseran blueshift pada pita gap dinyatakan oleh, ∆𝐸𝐸𝑔𝑔 ∝ 1/𝑑𝑑 2 dimana d adalah
karakteristik ukuran dari struktur nano. Hubungan energi gap dengan diameter
struktur dapat dilihat pada Gambar (16).

Gambar 31.16. Perkiraan Variasi Band Gap untuk Struktur 2D, 1D, dan 0D
[4]
Karena pengurungan elektron berbeda, maka pergeseran biru untuk struktur
nano dengan diameter berbeda juga akan berbeda. Besarnya energi gap
diperkirakan dari elektron-hole yang ada dan dihitung menggunakan model
partikel dalam kotak sederhana. Jadi sifat transport listrik bergantung pada bentuk
dan ukuran struktur nano.
Fenomena transpor elektron dalam sistem satu dimensi bisa dibagi dalam
dua kategori : transpor balistik dan transpor difusi. Transpor difusi adalah
fenomena yang terjadi ketika elektron bisa melewati nanowire tanpa adanya
hamburan. Transport balistik biasanya dilihat pada quantum wire yang sangat
pendek, seperti yang dihasilkan dengan mekanisme pengontrolan break junction
(MCBJ), dimana lintasan bebas rata-rata elektron harus lebih besar dari panjang
wire dan konduksinya adalah fenomena kuantum murni. Cara lain untuk melihat
fenomena transport balistik ini adalah dari energi termal yang memenuhi
hubungan k B T << ε j – ε j-1 , dimana ε j – ε j-1 adalah separasi energi antara level j dan
559
j-1. Sebaliknya, untuk nanowire dengan panjang yang lebih besar dari lintasan
bebas rata-rata, elektron (atau hole) mengalami hamburan sepanjang wire. Dalam
kasus ini, transport yang terjadi adalah transport difusi dan konduksi didominasi
oleh hamburan muatan pembawa sepanjang wire.
Transport elektron nanowire bisa juga dikelompokkan berdasarkan dari
besar relative dari 3 skala panjang yaitu lintasan bebas rata-rata muatan pembawa
(l w ), panjang gelombang de Broglie elektron (λ e ), dan diameter wire (d w ). untuk
diameter wire yang lebih besar dari lintasan bebas rata-rata muatan pembawa (d w
>> l w ), sifat transport nanowire biasanya sama dengan material bulknya, yang
bebas… Untuk diameter wire yang sama atau lebih kecil dari lintasan bebas rata-
rata (d w ~ l w or d w << l w ), tapi masih lebih besar dari panjang gelombang de
Broglie elektron (d w >> λ e ), transport elektron dalam nanowire dijelaskan dengan
ukuran klasik yang terbatas, dimana band struktur nanowire masih sama dengan
bulknya, saat hamburan terjadi pada batas wire. Untuk diameter wire yang
sebanding dengan panjang gelombang de Broglie elektron (d w ~ λ e ), rapat keadaan
elektron berubah secara dramatis dan subband kuantum terbentuk yang tergantung
pada efek pengurungan kuantum pada batas wire. Dalam kasus ini sifat transport
sangat dipengaruhi oleh perubahan dalam band struktur [2].

31.5.2 Sifat optik


Susunan nanowire menghasilkan sifat optik non-linear yang membuat
mereka menarik untuk aplikasi material fotonik. Pertambahan ketajaman puncak
energi adsorbsi seiring semakin kecilnya diameter wire disebabkan oleh efek
pengurungan kuantum dan adanya pergeseran biru (blue shift). Diameter nanowire
sangat berpengaruh terhadap daya adsorbsi material terhadap cahaya datang. Daya
adsorbsi akan meningkat seiring menurunnya ukuran diameter nanowire. Hal ini
telah dibuktikan oleh Ilan Shalish et al.,2004.

Gambar 31.17. Spektrum Fotoluminisens ZnO Nanowire untuk Diameter


yang Berbeda A, B, C(100,50, dan 25 nm)pada Suhu Kamar [8]

560
Gambar 31.18. Perbandingan Spektrum Fotoluminisens Bulk Material ZnO
dan ZnO Nanowire [9]

Gambar 31.19. Spektrum Fotoluminisens untuk Diameter ZnO Nanowire


yang Berbeda [9]

561
31.6 Aplikasi nanowire
31.6.1 Konversi energi (Sel surya)
Salah satu perangkat konversi energi yang saat ini banyak dikembangkan
adalah solar cell (sel surya). Sel surya yang dikembangkan terdiri dari berbagai
inovasi untuk menghasilkan konversi energi yang baik. Salah satu sel surya yang
sudah berhasil difabrikasi adalah sel surya silicon nanowire, namun daya serap sel
ini masih rendah pada rentangan daerah cahaya tampak dan daerah yang
mendekati inframerah. Karena cahaya matahari mayoritas berada dalam range ini
maka diperlukan sel surya yang ketebalannya mencapai orde milimeter agar
penyerapan foton bisa lebih banyak.
Efisiensi sel surya bergantung pada panjangnya difusi pembawa, sedangkan
difusi pembawa ini dibatasi oleh adanya rekombinasi dari muatan pembawa. Salah
satu cara untuk meminimalisir terjadinya rekombinasi adalah membuat sel surya
silicon nanowire dengan kemurnian tinggi, namun untuk membuat sel surya
dengan kemurnian tinggi ini dibutuhkan biaya yang cukup besar.
Selain sel surya silicon nanowire yang telah berhasil difabrikasi, ada lagi
jenis sel surya yang lain yaitu sel surya excitonik. Sel surya exciton ini
menggunakan molekul kecil, polimer dan quantum dot sebagai material penyerap
cahaya, namun bisa lebih menguntungkan jika yang digunakan sebagai material
penyerap cahaya adalah komponen nanowire. Salah satu alasan bahwa komponen
nanowire akan lebih menguntungkan bila dipakai sebagai sel surya exciton ini
adalah karena penyerapan nanowire yang jauh lebih besar dibandingkan
nanopartikel. Sebagai contoh, koefisien difusi ZnO nanowire lebih besar beberapa
kali lipat dibandingkan dengan nanopartikel ZnO. Ini adalah bukti bahwa
nanowire merupakan konduktor yang lebih baik dibanding nanopartikel.
Penggunaan geometri orthogonal seperti pada sel surya konvensional dapat
meningkatkan efisiensi sel surya excitonik dengan membuat persimpangan normal
terhadap substrat. Sebelumnya sudah dijelaskan bahwa dimensi yang penting
dalam sel surya adalah panjang difusi exciton. Pada sel surya polimer panjang
difusinya hanya berkisar 10 nm dan sampai orde micrometer untuk film tipis
berkualitas tinggi. Sehingga dalam hal panjang difusi exciton nanowire jauh lebih
bisa memberikan keuntungan karena panjang struktur nanowire yang bisa
dikontrol sampai orde micrometer dan diameter dalam orde nanometer.
Sel surya excitonik adalah sel surya yang menjanjikan karena penggunaan
bahan organic yang murah seperti pewarna dan polimer. Dye-Sensitized Solar
Cells (DSSCs) adalah sel excitonik yang paling efisien dan stabil saat ini.
Penyerapan cahaya pada sel-sel ini terbatas pada monolayer pewarna yang
kemudian mengoksidasi elektrolit cair dan mentransfer elektron ke fase anorganik.

562
Secara struktur, nanowire berbasis array DSSCs seperti nanopartikel DSSCs
dengan partikel dirakit ke dalam kolom dan tanpa batas antar butir, sehingga
membentuk saluran konduksi langsung (jalan bebas hambatan untuk elektron).
Namun ada perbedaan mendasar dalam fisika yang mengatur prilaku nanowire.
Pertama, tidak seperti mesopori film nanopartikel, diameter nanowire cukup tebal
untuk mendukung penipisan lapisan dekat permukaan. Ini adalah potensial
penghalang yang dapat memberikan energi pendorong untuk disosiasi exciton
pada antarmuka nanowire (disini sebagai contoh adalah ZnO nanowire) dan
pewarna, sehingga membuat injeksi yang lebih efisien. Kedua, karena elektron
dalam nanowire tidak isotropic yang disaring dalam elektrolit, membuat DSSCs
ini dapat mempertahankan listrik internal sepanjang nanowire. Akibatnya, elektron
yang diinjeksikan ke dalam nanowire akan hanyut menuju substrat elektroda
menuruni gradien potensial kimia. Selain itu, mobilitas elektron dalam nanowire
lebih besar dari nanopartikel karena strukturnya yang tidak terputus seperti
nanopartikel. Skema perbandingan sel surya ZnO nanowire berbasis array DSSCs
dengan sel surya nanopartikel berbasis array DSSCs dapat dilihat pada gambar
berikut.

Gambar 31.20. Skema yang Mempresentasikan Sebuah DSSC. (a)


Nanopartikel DSSCs, (b) Nanowire DSSCs [10]

563
Gambar 31.21. Penyerapan IR oleh DSSCs ZnO Nanowire dan ZnO
Nanopartikel [10]
Gambar (21) di atas memperlihatkan perbedaan injeksi antara nanopartikel
dan nanowire. Perbedaan ini disebabkan oleh banyaknya jumlah pewarna pada
film nanopartikel. Injeksi pada nanowire telah selesai setelah 5 ps, sedangkan pada
nanopartikel masih tetap berlanjut sampai 100 ps. Untuk melihat perbandingan
parameter lain dari kedua DSSC ini, dapat dilihat pada Tabel 3 di bawah ini.

Tabel 31.3. Perbandingan DSSC Nanowire dan Nanopartikel [10]


Elektroda Panjang Diameter (nm) Densitas (x 1010 cm-2)
(µm)
Nanopartikel 8-10 15-30 n/a
Nanowire ideal 20 60 3

31.6.2 Nanogenerator
Nanogenerator adalah salah satu aplikasi nanowire yang sudah difabrikasi.
Secara defenisi nanogenerator adalah prototipe generator yang dapat
mengkonversi energi getaran dari gelombang akustik, ultrasonik, energi hidrolik,
cairan tubuh atau aliran darah menjadi energi listrik yang dapat digunakan tanpa

564
membutuhkan baterai. Alat ini berukuran kurang dari 1 mikron (1000 nm).
Nanogenerator pertama kali dibuat oleh Zhong Lin Wang, Profesor di Sekolah
Ilmu dan Teknik Material di Institut Teknologi Georgia (Atlanta), yang diberi
nama Nanogenerator Piezoelektrik. Pembuatan nanogenerator ini diawali dengan
pembuatan array nanowire dari seng-oksida (ZnO) berskala nano yang tegak lurus
terhadap substrat safir. Kemudian digabungkan dengan bahan piezoelektrik dan
semikonduktor yang berjarak setengah mikron.
Setelah ditemukannya sensor piezoelektrik oleh Pierre dan Jacques Curie
pada tahun 1880 dan diciptakannya kapal selam menggunakan detector ultrasonik
pada tahun 1917 oleh militer Prancis, maka pada tahun 2003 Zhong Lin Wang
memaparkan bahwa ZnO adalah bahan piezoelektrik yang mendapat gaya
nanospring. Sehingga pada 14 April 2006 Zhong Lin Wang mengumumkan
konsep nanogenerator di Jurnal Science. Pada saat itu, nanogenerator mendapat
sumber energi hanya dari satu nanowire yang diambil dengan tip AFM.
Pembuatan silicon berlapis platinum berfungsi sebagai penghalang Schottky,
membantu, mengumpulkan dan memelihara muatan listrik sebagai hasil defleksi
nanowire dan memastikan bahwa arus mengalir dalam satu arah.
Nanogenerator bergantung pada beberapa gangguan eksternal, seperti
getaran atau gelombang sonik yang lentur searah susunan nanowire. Secara teori
penurunan tegangan terjadi pada penampang nanowire ketika tikungan lateral
nanowire sehingga tegangan positif pada sisi tarik dan tegangan negatif pada sisi
tekan.
Penjelasan prinsip kerja nanogenerator akan dijelaskan dalam dua kasus
yang berbeda yaitu pemberian gaya yang tegak lurus dan sejajar dengan sumbu
nanowire. Kasus pertama adalah pemberian gaya lateral bergerak dikenakan pada
ujung sebuah nanowire yang tumbuh secara vertikal.
Ketika struktur piezoelektrik dikenai gaya eksternal dengan ujung yang
bergerak, akan terjadi deformasi seluruh struktur. Efek piezoelektrik akan
menciptakan medan listrik di dalam struktur nano. Bagian membentang dengan
strain positif akan menunjukkan potensial listrik positif, sedangkan bagian yang
dikompresi dengan strain negatif akan menunjukkan potensial listrik negatif. Hal
ini disebabkan perpindahan kation anion dalam struktur kristalnya, sehingga ujung
nanowire akan memiliki distribusi potensial listrik pada permukaannya, sedangkan
bagian bawah nanowire digroundkan. Tegangan maksimum yang dihasilkan pada
nanowire dapat dihitung dengan persamaan berikut.
3 𝑎𝑎3
𝑉𝑉𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚 = ± [𝑒𝑒33 − 2(1 + 𝜐𝜐)𝑒𝑒15 − 2𝜐𝜐𝑒𝑒31 ] 3 𝜐𝜐𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚 (19)
4(𝜅𝜅0 + 𝜅𝜅) 𝑙𝑙
,dimana 𝜅𝜅0 adalah permitivitas dalam ruang vakum, 𝜅𝜅 adalah konstanta dielektrik,

565
𝑒𝑒33 , 𝑒𝑒15 dan 𝑒𝑒31 adalah koefisien piezoelektrik, 𝜐𝜐 adalah rasio Poisson, 𝑎𝑎 adalah
jari-jari dari nanowire, 𝑙𝑙 adalah panjang nanowire dan 𝑉𝑉𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚 adalah defleksi
maksimum dari tip nanowire.
Kontak listrik berperan penting untuk memompa muatan yang keluar di
permukaan ujung. Kontak Schottky harus dibentuk antara counter elektroda dan
ujung nanowire sejak kontak ohmik menetralisir medan listrik yang dihasilkan di
ujung nanowire. Untuk membentuk kontak Schottky yang efektif, afinitas
elektronnya harus lebih kecil dari fungsi kerja logam penyusun counter elektroda.
Untuk ZnO nanowire dengan afinitas elektron 4,5 eV, Pt (Ф = 6,1 eV) adalah
logam yang cocok untuk membangun kontak Schottky. Dengan membangun
kontak Schottky, elektron akan melewati counter elektroda dari permukaan ujung
elektroda saat potensialnya bernilai negatif, sedangkan untuk daerah potensial
positif tidak ada arus yang mengalir. Pembentukan kontak Schottky juga
memberikan kontribusi terhadap generasi sinyal keluaran.
Untuk kasus kedua, model yang dipakai adalah sebuah tumpukan nanowire
yang tumbuh vertikal. Kontak ohmik di bagian bawah dan kontak Schottky di
bagian atas menjadi suatu yang perlu dipertimbangkan. Ketika gaya diberikan
pada ujung nanowire, akan dihasilkan tekanan unaxial di dalam nanowire. Karena
efek piezolektrik, ujung nanowire akan memiliki potensi piezoelektrik negatif
sehingga meningkatkan energi Fermi di ujung nanowire. Karena elektron akan
mengalir dari ujung ke dasar melalui sirkuit eksternal sehingga pada bagian ujung
nanowire akan dihasilkan potensial listrik positif. Kontak Schottky akan
menghalangi elektron yang mengalir melalui antarmuka, sehingga
mempertahankan potensial pada ujung nanowire. Karena besarnya kekuatan
penghalang mengakibatkan potensial piezoelektrik menjadi berkurang, dan
elektron akan mengalir kembali ke atas untuk menetralisir potensial positif di
bagian ujung. Dengan demikian kasus ini akan menghasilkan tegangan bolak-
balik.
Gambar (22) adalah skema nanogenerator yang telah dikerjakan oleh Zhang
Ling dkk, dimana sebuah elektroda zigzag silicon yang dilapisi dengan platinum
yang meliputi ZnO nanowire. Lapisan platina tidak hanya untuk meningkatkan
konduktivitas elektroda tetapi juga untuk menciptakan sebuah diode Schottky di
antarmuka dengan ZnO. Kemudian elektroda ditempatkan di atas susunan
nanowire yang dimanipulasi dengan mengontrol jarak dan mengatur elektroda
agar terpisah dari nanowire. Desain bergantung pada kopling yang unik antara
ZnO nanowire piezoelektrik dengan sifat-sifat semikonduktor. Potensial
piezoelektrik asimetri pada lebar ZnO nanowire dan kontak Schottky antara
elektroda logam dan nanowire adalah dua proses kunci menciptakan, memisahkan,
melestarikan dan akumulasi, dan muatan keluaran.

566
Gambar 31.22. Nanogenerator Menggunakan Array ZnO Nanowire [11]
Desain ini dirancang agar elektroda bagian atas mencapai proses kopling
dan AFM dapat bermain di bagian ujung, kemudian parit zigzag bertindak sebagai
array tips AFM sejajar. Ketika sistem mengalami eksitasi gelombang ultrasonik,
elektroda zigzag dapat bergerak turun dan mendorong nanowire. Dorongan ini
mengarah ke bagian lateral yang menciptakan regangan bidang lebar di nanowire
itu, sehingga permukaan luar nanowire ditarik sedangkan permukaan dalam
ditekan. Ketika kontak elektroda nanowire yang membentang permukaan memiliki
potensial piezoelektrik positif, antarmuka logam platina dan ZnO semikonduktor
terjadi bias terbalik diode Schottky, sehingga arus yang mengalir di antarmuka
tersebut kecil. Proses ini akan menciptakan, dan mempertahankan muatan yang
dihasilkan. Jika elektroda terus didorong, nanowire yang telah membungkuk akan
mencapai sisi lain dari elektroda zigzag yang berdekatan. Dalam kasus seperti ini,
elektroda juga memiliki kontak dengan sisi nanowire yang ditekan, dimana
antarmuka logam-semikonduktor akan menghasilkan bias maju pada kontak
Schottky yang mengakibatkan peningkatan arus listrik keluaran secara mendadak
yang mengalir dari atas elektroda ke nanowire. Desain ini bekerja selama ada
perpindahan relatif antara elektroda dan nanowire baik secara vertikal maupun
lateral.
Para penulis berharap, listrik yang dihasilkan oleh defleksi negatif dan
perpindahan antara nanowire dan elektroda, baik yang dihasilkan dari
pembumkukan nanowire karena dorongan maupun yang dihasilkan oleh getaran
dapat terjadi secara terus-menerus. Jika hal ini berhasil maka akan bisa dirancang
paket seperti nanogenerator untuk mencegah invasi cairan sehingga dapat
langsung ditempatkan dalam biofluida atau fluida. Untuk aplikasi teknologi, untuk
meningkatkan daya keluaran berarti harus meningkatkan tegangan dan arus
keluaran dari nanogenerator. Cara yang paling mudah untuk meningkatkan
tegangan dan arus keluaran adalah pembentukan komponen struktur yang paralel.

567
Nanogenerator piezoelektrik bisa berpotensi untuk mengkonversi energi
berikut menjadi energi listrik untuk nanodevais dan nanosistem self-power.
Energi-energi yang dapat dikonversi adalah perubahan energi mekanik seperti
tubuh atau gerakan otot atau tekanan darah, energi getaran seperti gelombang
akustik dan ultrasonik, energi hidrolik seperti aliran cairan tubuh atau darah,
kontraksi pembuluh darah atau dinamika fluida di alam.

31.6.3 Biosensor
Aplikasi nanowire yang juga menarik adalah biosensor. Biosensor
didefenisikan sebagai suatu perangkat sensor yang menggabungkan senyawa
biologi dengan suatu tranduser. Dalam proses kerjanya, senyawa aktif biologi akan
berinteraksi dengan molekul yang akan dideteksi (molekul sasaran). Hasil
interaksi yang berupa besaran fisika seperti panas, arus listrik, potensial listrik dan
lainnya akan dimonitor oleh tranduser. Besaran tersebut kemudian diproses
sebagai sinyal sehingga diperoleh hasil yang dapat dimengerti. Biosensor yang
pertama kali dibuat adalah sensor yang menggunakan tranduser elektrokimia yaitu
elektroda enzim untuk menentukan kadar glukosa dengan metode amperometri.
Pada awal-awal tahun 1970-an, sensor mikroelektronik berbasis film tipis
transistor dan ion-sensitive field-effect transistors (ISFETs). Namun
mikroelektronik ini memiliki kekurangan yaitu kurang baiknya solid-state dari
elektroda yang digunakan. Hal ini menyebabkan sensitivitas penyakit terhadap
suhu dan cahaya harus bergantung pada waktu kestabilan sensor. Selanjutnya
selama bertahun-tahun dikembangkan sensor kimia dengan mengadopsi teknik
deteksi optik paralel untuk mendeteksi cepat biomolekul pada konsentrasi yang
relative rendah, misalnya DNA microarray yang sudah banyak digunakan. Sistem
sensor ini berbasis fluoresensi, namun masih memerlukan biaya yang besar dan
waktu yang lama untuk persiapan sampel dan analisis data. Selain itu DNA
microarray tidak cukup sensitive untuk pengukuran zat penting yang mungkin
terjadi pada konsentrasi yang sangat rendah. Sebagai contoh, jumlah setiap mRNA
yang diberikan dalam sel tunggal dapat bervariasi mulai dari jumlah kecil sampai
puluhan ribu, atau zat penting lainnya yang memiliki fluks cepat. Melihat
kekurangan ini maka para peneliti berusaha mengatasi semua itu dengan
merancang sensor dengan ukuran nano.
Kemajuan sintesis silicon dalam skala besar memberikan peluang yang
besar untuk pembuatan perangkat nano yang dapat diandalkan. Karena diameter
yang kecil dan panjangnya sampai orde micrometer membuat volume rasionya
menjadi besar yang berarti permukaannya akan semakin luas. Dengan luasnya
permukaan struktur, beberapa makromolekul biologis dapat dibebankan di
permukaan struktur untuk memodulasi distribusi muatan pembawa yang melewati
permukaan struktur. Hal ini berefek pada peningkatan sensitivitas jika

568
dibandingkan dengan sensor-sensor sebelumnya. Selain itu nanowire bisa
disintesis dengan array yang realistis untuk sensor.
Berikut ini adalah Gambar (23) yang menunjukkan skema umum untuk
mendeteksi biomolekul menggunakan silicon nanowire.

Gambar 31.23. Skema Biosensor untuk Mendeteksi Biomolekul [12]


Sistem ini terdiri dari Si-NW yang terletak di antara dua elektroda. Permukaannya
difungsikan sebagai reseptor spesifik yang akan mengenali dan mengikat molekul
target. Elektroda dilindungi dengan lapisan oksida untuk menghindari perubahan
konduktansi yang tidak diinginkan karena modifikasi fungsi kerja elektroda.
Molekul target yang menyebar dan mencapai nanowire akan dapat ditangkap oleh
reseptor. Interaksi Coulomb antara muatan molekul target dan nanowire dapat
mengakibatkan perubahan konduktivitas.
Salah satu penelitian yang telah dikerjakan adalah membuat sistem yang
hanya untuk mendeteksi muatan biomolekul target dan mengabaikan efek dari
keadaan permukaan sistem. Array sensor, masing-masing difungsikan khusus
untuk molekul target tertentu, juga memungkinkan deteksi parallel dari
biomolekul. Respon dari sensor dicirikan dengan selektivitas, waktu menetap, dan
sensitivitas. Selektivitas menunjukkan kemampuan reseptor untuk mengikat target
yang diinginkan di antara banyak molekul lain yang mungkin memiliki kemiripan
dengan molekul target. Misalnya, untuk mendeteksi DNA, reseptor asam nukleat
peptide (PNA) harus lebih selektif daripada tetangga DNA. Waktu menetap adalah
waktu yang digunakan oleh sensor untuk menghasilkan sinyal yang stabil. Hal ini
ditentukan oleh konsentrasi biomolekul, koefisien difusi, dan afinitas konjugasi ke
molekul reseptor. yang terakhir adalah sensitivitas yang sesuai dengan perubahan
relative dalam karakteristik sensor yang dihasilkan oleh molekul target yang
berada di atas permukaan nanowire. Hal ini paling banyak ditentukan oleh
elektrostatistik sistem.

569
Daftar pustaka
[1] M. Abdullah, Pengantar Nanosains, Bandung (2009)
[2] Allon I. Hochbaum, Peidong Yang, Chem. Rev. 2010, 110, 527-546, California, 26
Februari (2009)
[3] M.S. Dresselhaus, Y.M. Lin, O. Rabin, M.R. Black, G. Dresselhaus, Nanowires,
USA, 2 Januari (2003)
[4] Klaus D. Sattler, Handbooks of Nanophysics : Nanotubes and Nanowires, Francis
(2011)
[5] E. Chen, Applied Physics 298r, 4 Desember (2004)
[6] Lambert K. Van Vugt, Thesis, Netherlands (2007)
[7] Y. Civale, L.K. Nanver, P. Hadley, E.J.G Goudena, Netherlands
[8] Peidong Yang, Haoquan Yan, Samuel Mao, Richard Russo, Justin Johnson, Richard
Saykally, Nathan Morris, Johnny Pham, Rongrui He, dan Heon-Jin Choi, Adv. Funct.
Mater, 12. No.5, California, May (2002)
[9] Ilan Shalish, Henryk Temkin, dan Venkatesh Narayanamurti, Phy. Rev B 69,
245401, USA, 3 Juni (2004)
[10] Peidong Yang, MRS Bulletin, California, Januari (2005)
[11] Zhong Lin Wang, Xudong Wang, Jinhui Song, Jin Liu, dan Yifan Gao, Implantable
Electronics, Vol.7 No.1, Georgia, Januari-Maret (2008)
[12] Pradeep R. Nair, and Muhammad A. Alam, IEEE Transactions on Electron Devices,
Vol. 54, No.12, Desember (2007)

570
Bab 32
Resonant Tunneling Diode
Oleh: Rahmat Awaludin Salam

32.1 EfekTunneling (Terobosan)


Efek terobosan merupakan fenomena penerobosan suatu partikel
(elektron) secara kuantum untuk melewati suatu penghalang (barir)
sehingga partikel tersebut dapat bergerak bebas kembali setelah melalui
penghalang tersebut. Penghalang yang dilalui oleh partikel tersebut
berupa tegangan barir (penghalang) dengan energi yang tertentu.

Pada gambar 1a (gambaran secara klasik) nampak bahwa ketika


suatu elektron bergerak menuju suatu barir dengan nilai energi yang lebih
besar dibandingkan dengan nilai energi kinetik yang dimiliki oleh
elektron tersebut, maka elektron tersebut tidak akan dapat menerobos
barir yang dihadapinya. Hal ini dikarenakan pada gambaran secara klasik,
elektron yang menemui barir tersebut dianggap sebagai suatu partikel
biasa yang akan menumbuk suatu barir saja. Dengan memahami peristiwa
tumbukan tersebut, maka pergerakan dari elektron hanya ada tiga
kemungkinan yaitu dipantulkan kembali, diam atau bergerak bersamaan
dengan barir tersebut. Namun karena barir tersebut tetap diam, maka
partikel elektron hanya akan dipantulkan kembali dengan arah gerak dan
kecepatan yang berlawanan.

Untuk memahami peristiwa tunneling (terobosan) yang terjadi pada


elektron, maka kita harus mempelajarinya dengan gambaran kuantum.
Pada gambar 1b (gambaran secara kuantum) elektron yang akan
menembus barir dianggap sebagai gelombang. Hal ini dikarenakan pada
gambaran kuantum, setiap partikel (khususny elektron) memiliki sifat
dualisme gelombang-partikel yaitu sifat yang mengakibatkan elektron
tersebut dapat dipandang sebagai suatu partikel ataupun sebagai suatu
gelombang. Dengan menganggap elektron sebagai suatu gelombang,
maka elektron tersebut akan berperilaku sebagai gelombang dengan sifat-
sifat gelombangnya. Sehingga ketika elektron tersebut bertemu suatu barir
dengan energi barir yang lebih tinggi dari energi gelombangnya, maka
elektron tersebut akan mengalami dua kejadian seperti halnya gelombang
571
pada umumnya. Kejadian yang dialami oleh elektron tersebut adalah ada
sebagian gelombang yang diteruskan (ditransmisikan) dan ada juga
sebagian gelombang yang dipantulkan (direfleksikan) kembali. Adanya
gelombang elektron yang ditransmisikan melewati barir menunjukkan
bahwa proses terobosan tersebut telah terjadi.

V1Partikel Barir dengan


𝑚𝑚𝑣𝑣 2
𝑉𝑉 >
2

Partikel tidak
dapat melalui
barir.

(a)

Barir dengan
(ℏ𝑘𝑘)2
𝑉𝑉 >
2𝑚𝑚
Gelombang elektron

Gelombang elektron
ada yang diteruskan
melewati barir.

(b)

Gambar 32.1. Gambaran Elektron yang Menghadapi Barir, (a) Gambaran Klasik;
(b) Gambaran Kuantum
Gelombang elektron yang menembus barir akan mengalami proses
peluruhan yang diakibatkan oleh berkurangnya energi total yang dimiliki oleh

572
gelombang elektron di dalam barir tersebut. Proses peluruhan yang terjadi dapat
mengakibatkan beberapa kemungkinan terhadap gelombang elektron tersebut.
Kemungkinan tersebut yakni ada yang dapat diteruskan dan ada pula yang
mengalami peluruhan hingga gelombang tersebut tidak memiliki cukup energi
lagi untuk melewati barir tersebut. Peristiwa pelenyapan gelombang serta
transmisi gelombang elektron tersebut bergantung pada besar kecilnya energi
elektron dan barir serta seberapa lebar barir yang dilalui oleh gelombang
elektron tersebut. Semakin tinggi energi elektron dengan lebar dan energi barir
yang sama, kemungkinan transmisi elektron akan semakin tinggi sedangkan
kemungkinan gelombang elektron tersebut meluruh akan semakin rendah.
Namun sebaliknya jika energi barir semakin tinggi, dengan energi elektron serta
ketebalan barir yang sama, maka kemungkinan elektron bertransisi akan
semakin rendah dan kemungkinan peluruhan gelombang elektron tersebut pun
akan semakin tinggi. Begitu pula halnya dengan ketebalan barir. Ketika
elektron tersebut harus melewati barir yang lebih tebal, maka yang akan terjadi
adalah kemungkinan peluruhan gelombang elektron tersebut akan menjadi lebih
tinggi dari sebelumnya dan kemungkinan untuk bertransmisi pun akan lebih
rendah.

V
V0

x=0 x=a x

ψ V

x=0 x=a x

Gambar 32.2. Proses Terobosan Elektron

Pada daerah x<0, elektron bergerak secara bebas dengan energi sebesar
E. Persamaan gelombang yang dimiliki oleh elektron tersebut adalah sebagai
berikut :
573 ............................................ (1)
𝐻𝐻𝐻𝐻 = 𝐸𝐸𝐸𝐸

−ℏ2
� ∇2 + 𝑉𝑉� 𝜓𝜓 = 𝐸𝐸𝐸𝐸 ............................................ (2)
2𝑚𝑚

karena pada daerah x<0, tidak ada potensial penghalang, maka V = 0 serta
pergerakan elektron hanya pada sumbu x, sehingga persamaan tersebut menjadi

−ℏ2 𝜕𝜕 2 ............................................ (3)


𝜓𝜓 = 𝐸𝐸𝐸𝐸
2𝑚𝑚 𝜕𝜕𝜕𝜕 2

𝜕𝜕 2 2𝑚𝑚 ............................................ (4)


𝜓𝜓 + 𝐸𝐸𝐸𝐸 = 0
𝜕𝜕𝜕𝜕 2 ℏ2

maka solusi dari persamaan gelombang yang terdapat di daerah x<0 adalah

2𝑚𝑚𝑚𝑚
𝜓𝜓1 = 𝐴𝐴𝑒𝑒 −𝑖𝑖𝑘𝑘 1 𝑥𝑥 + 𝐵𝐵𝑒𝑒 𝑖𝑖𝑘𝑘 1 𝑥𝑥 , dengan nilai 𝑘𝑘1 = � ....................... (5)
ℏ2

karena keadaan elektron pada daerah x<0 sama dengan keadaan elektron pada
daerah x>a, maka dengan cara yang sama, persamaan gelombang yang terdapat
pada daerah x>a adalah
............................................ (6)
𝜓𝜓3 = 𝐺𝐺𝑒𝑒 −𝑖𝑖𝑘𝑘 1 𝑥𝑥 + 𝐹𝐹𝑒𝑒 𝑖𝑖𝑘𝑘 1 𝑥𝑥

karena pada daerah x>a elektron bergerak secara bebas dan tidak ada yang
dapat memantulkan elektron tersebut, maka constanta G (konstanta yang
menandakan amplitude gelombang pantul pada daerah x>a) akan bernilai nol.
Sehingga persamaan gelombang pada daerah x>a menjadi

𝜓𝜓3 = 𝐹𝐹𝑒𝑒 𝑖𝑖𝑘𝑘 1 𝑥𝑥 ............................................ (7)

sedangkan untuk daerah potensial barir (0<x<a), persamaan gelombang yang


dimiliki oleh elektron adalah

−ℏ2 𝜕𝜕 2
𝜓𝜓 + 𝑉𝑉𝑉𝑉 = 𝐸𝐸𝐸𝐸 ............................................ (8)
2𝑚𝑚 𝜕𝜕𝜕𝜕 2

karena V>E, maka persamaan tersebut menjadi


𝜕𝜕 2 2𝑚𝑚
𝜓𝜓 − (𝑉𝑉 − 𝐸𝐸)𝜓𝜓 = 0 ........................................ (9)
𝜕𝜕𝜕𝜕 2 ℏ2

dari persamaan tersebut, didapat solusi sebagai berikut


2𝑚𝑚(𝑉𝑉−𝐸𝐸) ......................... (10)
𝜓𝜓2 = 𝐶𝐶𝑒𝑒 −𝑘𝑘 2 𝑥𝑥 + 𝐷𝐷𝑒𝑒 𝑘𝑘 2 𝑥𝑥 dengan 𝑘𝑘2 = �
ℏ2

574
Dalam mekanika kuantum, persamaan-persamaan gelombang yang
didapat, haruslah bersifat kontinyu. Oleh karena itu, agar solusi tersebut bersifat
kontinyu, maka digunakan persamaan kontinuitas yakni

𝜓𝜓1 = 𝜓𝜓2 𝜓𝜓2 = 𝜓𝜓3


x=0 x=a
𝜕𝜕 𝜕𝜕 𝜕𝜕 𝜕𝜕
𝜓𝜓1 = 𝜓𝜓2 𝜓𝜓2 = 𝜓𝜓3
𝜕𝜕𝜕𝜕 𝜕𝜕𝜕𝜕 𝜕𝜕𝜕𝜕 𝜕𝜕𝜕𝜕

Dengan menggunakan persamaan kontinuitas, kita dapat menyelesaikan


persamaan 5, 7 dan 10 serta mendapatkan nilai-nilai dari koefisien dalam
persamaan tersebut dan menyatakannya ke dalam bentuk konstanta A. Untuk
menyatakan besarnya kemungkinan adanya elektron yang mengalami proses
terobosan melalui barir, kita perlu menghitung nilai transmitansi dari
gelombang tersebut yang besar nilainya merupakan perbandingan antara
kuadrat amplitude akhir gelombang dengan kuadrat amplitude awal (datang)
gelombang tersebut.
𝐹𝐹.𝐹𝐹 ∗ ............................................ (11)
𝑇𝑇 =
𝐴𝐴.𝐴𝐴 ∗

Ketika system tersebut mengalami keadaan khusus, dengan E<<<V,


maka nilai transmitansi yang didapat adalah
𝐸𝐸 𝐸𝐸
𝑇𝑇 ≈ 16 � � �1 − � 𝑒𝑒 −2𝑘𝑘 2 𝑎𝑎 ........................................ (12)
𝑉𝑉 𝑉𝑉

dari persamaan tersebut, Nampak jelas terlihat bahwa ketika potensial barir
serta tebal barir diperbesar, maka nilai transmitansi akan mengecil, namun
ketika energielektron yang digunakan diperbesar, maka transmitansi akan
semakin besar.

32.2 Resonant Tunneling (Terobosan


Resonansi)
Setelah mengkaji peristiwa terobosan (tunneling) suatu elektron, hal
yang selanjutnya harus dipahami untuk mengkaji lebih jauh tentang piranti-
piranti resonanttunneling adalah peristiwa resonanttunneling itu
sendiri.Layaknya peristiwa tunneling, peristiwa resonanttunneling pun
merupakan suatu peristiwa penerobosan barir oleh elektron. Hal yang
membedakan antara peristiwa tunneling dan resonanttunneling adalah jumlah
barir yang harus ditembus oleh elektron dan proses resonansi gelombang yang
terjadi. Peristiwa resonanttunneling ini pertama kali diungkapkan oleh H. Esaki
et,al. pada tahun 1962.

575
Resonanttunneling merupakan suatu proses penerobosan barir ganda
yang membentuk suatu sumur kuantum oleh elektron dan memanfaatkan
prinsip resonansi yang terjadi pada sumur tersebut.Prinsip resonansi yang
dimaksud adalah berresonansinya elektron-elektron yang berada di dalam
sumur kuantum yang diakibatkan oleh adanya elektron yang datang menuju
sumur tersebut. Efek yang dihasilkan dari adanya peristiwa resonansi tersebut,
intensitas gelombang yang ditransmisikan melalui barir tersebut akan
mendekati nilai dari intensitas awal saat gelombang elektron tersebut datang
menuju barir sebagaimana ditunjukkan oleh gambar 3. Tidak semua energi
dapat digunakan untuk menghasilkan efek resonansi ini, namun terdapat
beberapa kondisi tertentu yang mengakibatkan elektron-elektron tersebut
berresonansi. Kondisi tersebut adalah saat energi dari gelombang elektron yang
datang menuju barir sama dengan nilai tingkatan-tingkatan energi yang terdapat
di dalam sumur kuantum tersebut. Sebagaimana kita tahu bahwa dalam sumur
kuantum, elektron akan terkuantisasi dan menempati tingkatan-tingkatan energi
tertentu di dalam sumur tersebut. Perhatikan gambar 4 berikut ini:

Keadaan awal
Tidak ada
transmisi

Saat resonansi

Gambar 32.3. Proses ResonantTunneling

576
E

x=0 x=a

Gambar 32.4. (a) Sumur Kuantum; (b) Tingkatan Energi pada Sumur Kuantum
Gambar 4 merupakan suatu model dari sumur kuantum beserta tingkatan
energinya yang digunakan dalam proses resonanttunneling. Dengan
menganggap barir tersebut memiliki potensial tak hingga, maka kita dapat
menentukan persamaan gelombang serta tingkatan-tingkatan energi di dalam
sumur tersebut. Solusi dari persamaan tersebut hanya terdapat di daerah 0<x<a
dengan nilai V = 0. Dengan mengingat kembali persamaan Schrodinger
−ℏ2 2 ............................................ (13)
� ∇ + 𝑉𝑉� 𝜓𝜓 = 𝐸𝐸𝐸𝐸
2𝑚𝑚

Untuk daerah 0<x<a dan V= 0 maka persamaan tersebut menjadi


−ℏ2 𝜕𝜕 2
𝜓𝜓 = 𝐸𝐸𝐸𝐸 ............................................. (14)
2𝑚𝑚 𝜕𝜕𝜕𝜕 2

𝜕𝜕 2 2𝑚𝑚 ............................................. (15)


𝜓𝜓 + 𝐸𝐸𝐸𝐸 = 0
𝜕𝜕𝜕𝜕 2 ℏ2
Sehingga solusi yang didapat dari persamaan 15 di atas adalah

2𝑚𝑚𝑚𝑚
𝜓𝜓 = 𝐴𝐴𝑒𝑒 −𝑖𝑖𝑘𝑘𝑥𝑥 + 𝐵𝐵𝑒𝑒 𝑖𝑖𝑘𝑘𝑥𝑥 , dengan nilai 𝑘𝑘1 = � ....................... (16)
ℏ2

atau
𝜓𝜓 = 𝐴𝐴 cos 𝑘𝑘𝑘𝑘 + 𝑖𝑖𝑖𝑖 sin 𝑘𝑘𝑘𝑘 ....................... (17)
dengan mengambil solusi pada bagian sinus nya saja, maka persamaan tersebut
menjadi
577
𝜓𝜓 = 𝐵𝐵 sin 𝑘𝑘𝑘𝑘 ....................... (18)

dengan memasukkan syarat batas ψ (0) = ψ (a) = 0, persamaan gelombang


tersebut menjadi
𝑛𝑛𝑛𝑛
𝜓𝜓 = 𝐴𝐴 sin 𝑥𝑥
𝑎𝑎 ....................... (19)

sehingga didapat besarnya tingkatan-tingkatan energi yang besarnya


−ℏ2 𝜕𝜕 2
𝜓𝜓 = 𝐸𝐸𝐸𝐸 ....................... (20)
2𝑚𝑚 𝜕𝜕𝜕𝜕 2

ℏ2 𝑛𝑛𝑛𝑛 2
� � = 𝐸𝐸 ....................... (21)
2𝑚𝑚 𝑎𝑎
Peristiwa resonansi pada proses resonanttunneling ini dapat terjadi
sebanyak n kali sesuai dengan persamaan energi di dalam sumur kuantum
seperti seperti yang ditunjukkan oleh persamaan 19. Namun banyaknya
resonansi yang terjadi, dipengaruhi juga oleh barir yang terbentuk, semakin
tinggi barir yang terbentuk, maka peristiwa resonansi yang terjadi akan semakin
banyak begitu pula sebaliknya.

32.3 Dioda
Dioda merupakan piranti semikonduktor yang pada umumnya terbentuk
dari persambungan semikonduktor tipe p dan tipe n. Biasanya dalam rangkaian
elektronika, dioda banyak digunakan sebagai piranti penyearah. Selain
digunakan sebagai penyearah, dioda pun biasa digunakan sebagai pembatas
nilai tegangan (saklar otomatis) yang masuk ke dalam suatu rangkaian.
Sehingga ketika terdapat nilai tegangan yang lebih tinggi dari tegangan barir
dioda tersebut, maka arus yang sangat tinggi akan dihasilkan oleh dioda
tersebut yang mengakibatkan rangkaian menjadi terputus (off). Penggunaan
dioda sebagai pembatas nilai tegangan (saklar otomatis) didasarkan pada
karakteristik dari persambungan p-n yang terbentuk. Untuk lebih memahami
sifat dioda tersebut, perhatikan gambar 5 berikut:

578
PITA PITA Level-level energi
hole tambahan
KONDUKSI KONDUKSI (tingkat donor)
Level
Fermi

Level
Fermi
Level-level energi
elektron tambahan
PITA PITA
(tingkat donor) VALENSI VALENSI

Tipe – n Tipe – p

Gambar 32.5. Diagram Pita Energi untuk Semikonduktor Tipe n dan Tipe p
Saat semikonduktor intrinsik diberi doping doping yang mengandung
elektron valensi lebih dari 4, maka semikonduktor tersebut akan berubah
menjadi semikonduktor tipe-n. Hal ini disebabkan oleh adanya elektron valensi
dari atom doping yang tidak berikatan dengan atom-atom lainnya.Kelebihan
elektron valensi ini mengakibatkan energi yang diberikan untuk memindahkan
elektron dari pita valensi ke pita konduksi menjadi lebih kecil.Pengurangan
nilai energi ini dipengaruhi oleh tidak adanya ikatan antar atom pada elektron-
elektron yang bebas di pita valensi tersebut. Ketika semikonduktor diberi
doping dengan elektron valensi yang kurang dari 4, maka semikonduktor
tersebut akan berubah menjadi semikonduktor tipe-p yang ditunjukkan oleh
adanya hole-hole akibat dari kekurangan elektron atom doping. Dengan adanya
hole-hole di dalam elektron valensi tersebut, energi yang kecil sudah dapat
digunakan oleh elektron-elektron di pita valensi untuk berpindah dari posisinya
menempati hole-hole yang diakibatkan oleh atom doping.
Pada gambar 6 dapat kita lihat bahwa saat semikonduktor tipe-p dan
tipe-n disambungkan, pada bagian sambungan kedua tipe tersebut terdapat
lapisan yang disebut dengan daerah deplesi.Daerah deplesi ini terbentuk akibat
adanya elektron-elektron pada daerah tipe n yang berdifusi ke daerah tipe p
dengan konsentrasi elektron yang lebih rendah. Setelah bergerak menuju tipe p,
elektron-elektron yang bergerak dari tipe n akan mengisi hole-hole yang
terdapat di daerah tipe p. Akibat dari peristiwa difusi tersebut, bagian yang
ditinggalkan oleh elektron menjadi ion positif sedangkan bagian-bagian hole
yang diisi oleh elektron akan menjadi ion negatif. Terbentuknya konsentrasi ion
positif dan ion negative pada sambungan tersebut mengakibatkan timbulnya
medan listrik yang mengalir dari kumpulan ion positif ke kumpulan ion
negative. Medan listrik tersebut lebih umum dikenal sebagai medan listrik
dalam. Medan listrik dalam yang terjadi pada daerah deplesi tersebut
menghasilkan suatu potensial penghalang yang disebut debagai potensial barir.
Potensial inilah yang akan menghalangi pergerakan difusi elektron yang
sebelumnya telah terjadi. Proses terbentuknya medan dalam ditunjukkan oleh
gambar 7.

579
Daerah Daerah
Semikonduktor Semikonduktor
Tipe-p Tipe-n

(a)

(b)

Gambar 32.6. Sambungan p-n (a) Keadaan Awal, (b) Setelah Tersambung

(a) (b) (c)

Gambar 32.7. Mekanisme Pembentukan Medan Deplesi (a) Keadaan Awal; (b)
Elektron Berdifusi; (c) Ion-ion Terbentuk

qV

qV

Tipe-p d Tipe-n

Gambar 32.8. Diagram Pita Energi Persambungan p-n

580
n ’
n

n
n

p
p

p’ (a)
p

(b)

(c)
Gambar 32. 9. Efek Panjar pada Sambungan p-n (a) Tanpa panjar; (b) Panjar Maju; (c)
Panjar Mundur

Gambar 8 menunjukkan diagram pita energi persambungan p-n beserta


bagian deplesi dan barirnya. Bagian yang menghubungkan antara
semikonduktor tipe-p serta tipe-n pada gambar merupakan bagian deplesi yang
terbentuk disekitar persambungan.Perbedaan ketinggian yang terbentuk antara
pita valensi ataupun pita konduksi tipe-n dan tipe-p merupakan nilai potensial
barir yang terbentuk akibat adanya lapisan deplesi.
Jika bagian tipe-p pada persambungan p-n dihubungkan dengan kutub
positif dari sumber tegangan dan tipe-n dengan kutub negatifnya (diberi panjar/
bias maju), maka medan dalam yang terbentuk pada sambungan p-n akan
mengalami pelemahan akibat adanya potensial luar. Dengan demikian,
potensial barir yang dimiliki oleh piranti tersebut akan melemah pula.
Melemahnya potensial barir ini akan mengakibatkan adanya elektron yang
kembali mengalir melalui lapisan deplesi seperti yang ditunjukkan pada gambar
9b. Ketika potensial luar yang diberikan sama dengan nilai potensial barir yang
dimiliki oleh persambungan p-n, maka pada piranti persambungan p-n tersebut
581
tidak akan ada barir lagi yang menghalangi pergerakan elektron sehingga arus
akan mengalir melalui piranti tersebut. Jika potensial luar yang diberikan terus
diperbesar, maka arus yang mengalir melalui piranti tersebut akan semakin
besar seiring dengan banyaknya pasangan elektron-hole yang dibangkitkan
pada piranti. Pasangan elektron-hole ini terbentuk akibat dari adanya potensial
luar yang digunakan untuk mengeksitasi elektron di pita valensi ke pita
konduksi. Semakin tinggi tegangan yang diberikan, maka pasangan elektron-
hole yang dibangkitkan akan semakin banyak sehingga arus yang mengalirpun
akan semakin besar.
Ketika panjar mundur diberikan pada sambungan p-n (kutub positif
potensial dihubungkan dengan tipe-n dan sebaliknya), maka panjar yang
diberikan akan membuat medan listrik yang dimiliki oleh piranti sambungan p-
n tersebut akan semakin besar. Perbesaran nilai medan listrik pada piranti akan
menyebabkan semakin besarnya potensial barir piranti tersebut sehingga arus
yang melewati persambungan tersebut akan rendah seiring rendahnya
perbedaan konsentrasi pada pita piranti tersebut (gambar 9c). Karakteristik arus
tegangan (I-V) yang menggambarkan karakteristik pemberian panjar maju
ataupun mundur untuk piranti persambungan p-n ditunjukkan oleh gambar 10.

Gambar 32.10. Karakteristik I-V Persambungan p-n

32.3 Dioda Tunneling (Dioda Esaki)


Dioda esaki atau yang biasa dikenal dengan dioda tunneling merupakan
dioda yang memanfaatkan efek terobosan dalam pemanfaatannya. Sama seperti
halnya dioda pada umumnya, dioda tunneling ini pun terbentuk dari sambungan
semikonduktor tipe-p dan tipe-n.

582
Gambar 11. Diagram Pita Energi Persambungan p-n Dioda Tunneling
Hal yang membedakan dioda tunneling dengan dioda pada umumnya
adalah sifat terobosan yang dimiliki oleh dioda tunneling tersebut. Efek
terobosan pada dioda tunneling diakibatkan oleh banyaknya doping yang
diberikan pada semikonduktor intrinsik yang menyebabkan daerah deplesi yang
terbentuk pada persambungan tersebut sempit sebagaimana ditunjukkan oleh
persamaan 22 berikut

2ε S  N A + N D 
d = VB   ........................ (22)
q  N A D 
N

dengan ε s merupakan permitivitas bahan, V B tegangan barir serta N A dan N D


masing-masing merupakan jumlah atom doping akseptor dan donor.
Dari persamaan tersebut nampak terlihat bahwa semakin tinggi
konsentrasi doping yang diberikan, maka lebar deplesi yang dimiliki oleh
piranti persambungan p-n tersebut akan semakin kecil. Selain menyebabkan
kecilnya lebar lapisan deplesi, konsentrasi doping yang sangat berlebihan, akan
membuat kondisi di pita valensi tipe semikonduktor tersebut berubah. Ketika
semikonduktor tipe-p diberi doping yang sangat berlebihan, maka pada pita
valensi semikonduktor tersebut akan dipenuhi oleh banyak hole yang
mengakibatkan level Fermi pada tipe-p tersebut berada di bawah energi
maksimum pita valensi. Sedangkan pada tipe-n, pemberian doping yang sangat
berlebihan menyebabkan lapisan pita valensi semikonduktor tersebut dipenuhi
oleh elektron-elektron yang tidak terikat. Banyaknya elektron yang tidak terikat
ini berperilaku seperti halnya elektron bebas yang berada di pita konduksi
elektron sehingga level Fermi pada tipe-n akan berada di atas pita konduksinya
seperti yang ditunjukkan pada gambar 11.
Berbeda dengan dioda pada umumnya, mekanisme kerja untuk
menghasilkan arus pada dioda tunneling lebih didominasi oleh proses tunneling.
Ketika dioda tunneling ini dihubungkan dengan panjar maju, tegangan barir
pada persambungan tetap mengalami penurunan.Penurunan barir
mengakibatkan adanya perbedaan konsentrasi elektron antara pita konduksi
583
tipe-n dengan pita valensi tipe-p yang disebabkan oleh tingkat doping yang
berlebihan. Akibat dari adanya bagian pita valensi tipe-p yang tidak terisi oleh
elektron tersebut, perbedaan konsentrasi elektronpada tipe-n akan menerobos
barir dan mengisi bagian kosong di pita valensi tipe-p seperti yang tampak pada
gambar 12b.

Daerah tipe p Daerah tipe n

(d) V1< Va< V2


(a) Bias Nol, Va= 0

(e) V2> Va

(b) 0 < Va< V1

(c) Va= (f) Bias Mundur Va<


0

Gambar 32.12. Mekanisme Terobosan pada Dioda Esaki


Ketika nilai tegangan yang sebanding dengan nilai selisih antara energi
maksimum pita valensi dengan energi Fermi pada tipe-p tercapai, arus yang
melewati dioda tunnelingakan menjadi maksimum. Pada kondisi tersebut,
bagian pita valensi tipe-p yang sebelumnya ditempati oleh hole akan terisi
sepenuhnya oleh elektron dari tipe-n yang menerobos barir seperti yang
ditunjukkan oleh gambar 12c. Saat tegangan panjar terus diperbesar, elektron-

584
elektron yang menerobos barir akan berkurang jumlahnya. Pengurangan jumlah
elektron yang menerobos barir mengakibatkan arus yang melewati piranti
tersebut akan berkurang.
Setelah mencapai nilai tegangan yang menyebabkan pita valensi tipe-p
berada pada posisi datu garis dengan pita konduksi tipe-n, arus yang melewati
piranti tersebut akan mengalami titik balik minimum. Arus yang melewati
piranti tersebut tidak akan sama dengan nol, sebab ketika panjar diberikan,
perbedaan konsentrasi muatan pembawa akan tetap terjadi. Walaupun tidak
terjadi mekanisme terobosan, perbedaan konsentrasi muatan pembawa tersebut
akan tetap mengalir secara berdifusi antar pita konduksi ataupun pita valensi
seperti pada persambungan p-n biasa. Proses yang selanjutnya terjadi ketika
panjar terus diperbesar adalah proses seperti halnya persambungan p-n biasa.
Tegangan luar yang diberikan akan menurunkan potensial barir yang
selanjutnya akan terdapat arus yang melewati piranti tersebut akibat adanya
perbedaan konsentrasi muatan pembawa.
Pada saat dioda tunneling ini diberikan panjar mundur, mekanisme
penghasilan arus yang terjadi bukan berupa mekanisme difusi seperti pada
dioda secara umum. Arus yang melewati dioda tunneling sepenuhnya akan
dihasilkan dari proses tunneling. Hal ini dikarenakan ketika panjar mundur
diberikan, potensial barir akan meninggi dan perbedaan konsentrasi elektron
antara pita valensi tipe-p dengan pita konduksi tipe-n akan terlihat jelas,
sehingga elektron-elektron dari pita valensi tipe-p akan menerobos barir untuk
mencapai pita konduksi tipe-n seperti ditunjukkan pada gambar 12f. Arus yang
dihasilkan akibat pemberian panjar pada dioda tunneling terrangkum dalam
kurva karakteristik I-V seperti yang ditunjukkan pada gambar 13.

Gambar 13. Kurva Karakteristik I-V Dioda Tunneling

32.4 Dioda ResonantTunneling (RTD)

585
Dioda resonnant tunneling, seperti namanya, merupakan piranti dioda
yang memanfaatkan prinsip resonant tunneling untuk melewatkan arus melalui
piranti tersebut. Dioda ini menggunakan sebuah sumur kuantum yang diapit
oleh dua buah barir untuk meneruskan elektron dari satu sisi ke sisi lainnya.
Berbeda dengan dioda pada umumnya, dioda resonant tunneling ini tidak
menggunakan persambungan p-n ataupun persambungan metal-semikonduktor.
Untuk menghasilkan dioda resonant tunneling ini hal yang perlu dilakukan
adalah menyambungkan dua buah bahan yang memiliki perbedaan lebar celah
antar pita (bandgap) yang cukup besar sehingga ketika dua bahan tersebut
disambungkan perbedaan pita energi yang dimiliki oleh persambungan tersebut
akan membentuk suatu barir seperti gambar 14. Hal ini dikarenakan daerah
bandgap merupakan daerah terlarang untuk keberadaan elektron sehingga
ketika sambungan tersebut terbentuk, elektron yang bergerak dari bagian
dengan lebar bandgap yang rendah tidak akan dapat memasuki daerah bandgap
yang dimiliki oleh bagian dengan lebar celah antar pita yang tinggi.

CB

CB

Level
Fermi

VB

VB

Gambar 32.14. Diagram Pita Energi Persambungan Material dengan Bandgap


yang Berbeda

CB

CB CB

Level
Fermi

VB VB

VB

Gambar 32.15. Diagram Pita Energi Dioda Resonant tunneling


Untuk menghasilkan dua buah barir yang terdapat sumur kuantum
diantaranya, diperlukan tiga bagian dengan lebar bandgap yang rendah dan dua
bagian dengan lebar bandgap yang tinggi. Bagian dengan lebar bandgap yang
586
tinggi ditempatkan di antara dua buah bagian dengan lebar bandgap yang
rendah seperti nampak pada gambar 15.
Dalam pembahasan dioda resonant tunneling ini, hanya bagian konduksi
saja yang dibahas. Hal ini dikarenakan pada aplikasi-aplikasi elektronika
pergerakan elektron-elektron yang berada pada pita konduksi saja yang
dimanfaatkan untuk menghantarkan arus.
Seperti yang telah diungkapkan pada sub-bab sebelumnya, di dalam
sumur kuantum terdapat tingkatan-tingkatan energi yang menandakan posisi-
posisi elektron di dalam sumur tersebut. Ketika dioda resonant tunneling ini
diberi panjar, maka tegangan panjar yang diberikan akan membuat perbedaan
ketinggian antara bagian yang dihubungkan dengan bagian katoda dan bagian
yang dihubungkan dengan anodanya. Akbiatnya level energi pita konduksi yang
dihubungkan dengan katoda akan mendekati nilai tingkatan-tingkatan energi
yang terdapat di dalam sumur kuantum hingga pada keadaan tertentu dimana
tingkatan energi di dalam sumur kuantum akan sebanding dengan level energi
pita konduksi dari bagian yang dihubungkan katoda. Pada keadaan tersebut
elektron yang datang menuju barir akan berresonansi dengan elektron yang
berada pada tingkatan energi tersebut. Hal ini dikarenakan nilai energi yang
sama dari elektron yang menuju barir dan yang berada di dalam sumur kuantum
menunjukkan bahwa keduanya memiliki frekuensi yang sama. Saat frekuensi
antara keduanya sama, maka kedua bagian tersebut akan mengalami resonansi
dan akhirnya akan menembus barir kedua dengan intensitas gelombang yang
mendekati nilai intensitas gelombang awal elektron datang sehingga arus yang
melewati piranti akan mencapai titik maksimumnya.
Ketika panjar yang diberikan terus diperbesar, level energi pita konduksi
yang dihubungkan dengan katoda akan lebih tinggi dari tingkatan energi
pertama yang menyebabkan resonansi hanya terjadi pada sejumlah kecil
elektron saja sehingga pada keadaan ini arus yang melewati barir akan
menurun. Setelah panjar yang diberikan menyebabkan level energi pita
konduksi berada di tengah antara tingkatan energi pertama dan tingkatan energi
kedua dari elektron-elektron yang berada pada sumur kuantum, maka arus yang
dihasilkan akan mengalami titik balik minimumnya. Pada keadaan ini,
intensitas gelombang elektron yang diteruskan akan berada pada tingkat
minimum.
Pemberian panjar yang semakin besar akan menyebabkan level energi
pita konduksi akan mendekati tingkatan energi kedua pada sumur kuantum.
Akibat dari perbesaran panjar tersebut, peristiwa resonansi akan terulang
kembali yang akan menghasilkan nilai arus yang maksimum. Ketika panjar
terus diperbesar, peristiwa pembentukan arus minimum dan arus maksimum
akan terulang kembali hingga mencapai batas dimana tidak terdapat tingkatan
energi elektron di dalam sumur kuantum tersebut. Pada keadaan tersebut,
mekanisme tunneling biasa akan terjadi.

587
(a)

(b)

(c)

Gambar 32.16. Efek pemberian Panjar pada Dioda Resonant tunneling (a)
Tanpa Panjar; (b) Saat V = E 0 ; (c) Saat E 0 <V<E 1

Dari mekanisme tersebut kurva karakteristik I-V dari dioda resonant


tunneling ini ditunjukkan oleh gambar 17. Dari gambar 17 karakteristik I-V
yang dihasillkan nampak bahwa terdapat kesimetrian pada kurva tersebut. Hal
ini dikarenakan sifat yang sama akan berlaku ketika anoda dan katoda dari
sumber dihubungkan dengan ujung dioda yang berlawanan. Kesamaan sifat
tersebut terjadi akibat susunan dari dioda tersebut yang sama baik dari bagian
kiri ataupun bagian kanan. Jika kita perhatikan gambar 17, karakteristik I-V
yang terjadi pada dioda resonant tunneling yang diberi panjar maju tak ada
bedanya dengan karakteistik I-V yang terjadi pada dioda tunneling. Namun
yang membedakan antara dioda tunneling dengan dioda resonant tunneling
adalah sifat resonansi dari sistem barir yang dibuat pada resonant tunneling
dapat membuat intensitas gelombang terobosan pada resonant tunneling akan
menyerupai intensitas gelombang awal elektron. Hal tersebut berarti bahwa
elektron yang menembus barir tersebut memiliki energi yang sama dengan
energi elektron yang datang, sehingga transfer energi dengan menggunakan
dioda tunneling ini tidak akan terlalu mengurangi nilai dari energi awal yang
akan ditransfer.

588
I

Ipeak

Ivalley

V1 V2 V

Gambar 32.17. Kurva Karakteristik I-V Dioda Resonan Tunneling

32.5 Keunggulan dan Aplikasi Dioda


ResonantTunneling
Dioda resonant tunneling memiliki beberapa keunggulan dibandingkan
dengan dioda-dioda lainnya. Hal yang menjadi keunggulan utama dari dioda
resonant tunneling ini adalah sifat dari negatif different resistant (NDR). Sifat
NDR ini merupakan ciri khas dari suatu persambungan yang memanfaatkan
prinsip tunneling. Sifat dari NDR ini sangatlah unik sebab nilai resistansi yang
bernilai negatif jarang untuk ditemukan sedangkan aplikasi dari NDR ini cukup
potensial. Aplikasi yang dapat memanfaatkan sifat NDR ini diantaranya adalah
amplifier, mixer, serta oscillator. Sebagai contoh pemanfaatannya, berikut
merupakan sedikit penjelasan aplikasi piranti berbasis NDR sebagai oscillator.
Suatu rangkaian oscillator yang ideal haruslah terdiri dari rangkaian
induktor dan kapasitor saja secara sederhana ditunjukkan oleh gambar 18.
Namun pada kenyataannya, rangkaian oscillator yang ada masih dirangkaikan
dengan suatu hambatan agar dapat stabil. Dengan demikian, agar rangkaian
tersebut kembali menjadi rangkaian yang ideal untuk sebuah oscillator, maka
pengaruh dari hambatan yang dirangkaikan dengan rangkaian oscillator tersebut
haruslah dihilangkan. Untuk menghilangkan pengaruh hambatan tersebut, maka
perlu dipasangkan suatu piranti yang memiliki nilai hambatan sama dengan
hambatan yang telah dirangkaikan namun bernilai negatif. Seperti yang tampak
pada gambar 18, ketika rangkaian tersebut dipasangkan secara paralel, maka
untuk menghilangkan pengaruh hambatan biasa perlu dipasangkan piranti NDR
(dalam hal ini dioda resonant tunneling) secara paralel pula sehingga nilai
rangkaian resistor menjadi bernilai tak hingga. Akibatnya, arus yang melewati
rangkaian hambatan (resistor) akan mendekati nol yang berarti hampir tidak ada
arus yang melewati rangkaian hambatan tersebut atau dengan kata lain, arus
589
hanya akan mengalir melalui rangkaian induktor dan kapasitor saja. Ketika arus
yang mengalir hanya melalui induktor dan kapasitor saja, rangkaian oscillator
yang dibentuk akan menyerupai kasus ideal untuk oscillator walaupun terdapat
resistor dan piranti NDR di dalamnya. Walaupun dioda resonant tunneling ini
memiliki karakteistik yang sama dengan dioda tunneling, seperti yang telah
diungkapkan sebelumnya, sifat resonansi yang dimiliki oleh resonant tunneling
sangat bermanfaat untuk membuat intensitas gelombang elektron yang
menerobos menyerupai intensitas gelombang yang datangnya.

Gambar 32.18. Rangkaian Oscillator Harmonik (a) Kasus Ideal; (b) Kasus
Nyata; (c) Pemanfaatan Piranti NDR
Keunggulan dari dioda resonant tunneling ini, tidak hanya seperti itu saja.
Peristiwa resonansi yang dialami oleh dioda resonant tunneling ini sangat
bermanfaat pula untuk aplikasi clocking dan digital logic lainnya seperti halnya
penyimpanan data. Hal ini disebabkan dengan adanya peristiwa resonansi yang
dialami oleh dioda resonant tunneling ini, daya yang dibutuhkan untuk
menjalankan piranti ini sangat kecil. Hal ini dikarenakan dengan adanya
peristiwa resonansi tersebut, untuk menjalankan piranti ini cukup dengan
memberikan tegangan yang kecil saja (sebesar nilai tingkatan energi dasar
dalam sumur kuantum) proses tunneling dapat terjadi dengan kecilnya
pengurangan energi dari elektron yang dilewatkan melalui pitanti tersebut.
Selain itu proses resonansi yang sangat singkat, baik digunakan untuk clocking
dalam mengubah informasi digital dari 0 ke 1 ataupun sebaliknya. Waktu yang
dibutuhkan dalam proses resonansi berada dalam orde pikosekon (ps) yang
berarti frekuensi yang dimiliki oleh piranti resonant tunneling untuk clocking
berada dalam orde gigahertz (GHz). Hal yang menguntungkan lainnya dari
dioda ini adalah, saat dirangkaikan ke dalam suatu rangkaian digital logic,
penggunaan dioda ini dapat mereduksi tingkat kompleksitas yang dimiliki oleh
rangkaian. Maksud dari pengurangan tingkat kompleksitas tersebut adalah
jumlah komponen yang digunakan untuk rangkaian digital logic tersebut
dengan kemampuan yang sama menjadi lebih sedikit dibandingkan dengan
rangkaian tanpa dioda resonant tunneling ini. Dengan demikian piranti dioda
resonant tunneling ini, sangat potensial untuk digunakan sebagai piranti digital
logic.

590
Seperti yang telah diungkapkan sebelumnya, saat dioda resonant
tunnelingdirangkaikan dengan rangkaian digital logic, tingkat kompleksitas
rangkaian akan terreduksi. Hal ini terkait dengan sifat NDR yang dimiliki oleh
piranti. Sifat NDR yang dimiliki oleh piranti dioda resonant tunneling ini
didasarkan pada perbandingan selisih arus puncak dan arus arus lembah yang
terbentuk dengan selisih tegangan yang membentuknya. Ketika puncak dan
lembah yang terbentuk semakin banyak, maka NDR yang dimiliki oleh piranti
tersebut menjadi lebih banyak pula. Akibatnya ketika piranti tersebut
dirangkaikan pada rangkaian digital logic, kompleksitas dari rangkaian akan
sangat terreduksi. Hal ini disebabkan banyaknya komponen pada rangkaian
yang direduksi.
Untuk menciptakan suatu piranti dioda resonant tunneling dengan
multiple peak, hal yang dapat dilakukan adalah dengan mengkondisikan nilai
potensial barir pada piranti atau dengan cara membuat selisih tingkatan-
tingkatan energi pada sumur kuantum menjadi lebih kecil. Semakin tinggi
potensial barir yang dimiliki oleh piranti, maka tingkatan energi yang terdapat
dalam sumur kuantum tersebut akan semakin banyak. Akibatnya dioda resonant
tunneling tersebut akan memiliki banyak puncak (multiple peak). Potensial
yang lebih tinggi dapat dihasilkan dengan cara mengganti material yang
digunakan sebagai barir dengan material yang memiliki lebar bandgap yang
lebih besar lagi atau mengganti material untuk membuat dasar sumur kuantum
dengan material yang memiliki lebar bandgap yang lebih rendah. Hal lainnya
yang dapat dilakukan adalah dengan cara memberikan doping tipe-n pada
material pengapit barir. Hal tersebut dilakukan agar doping yang diberikan pada
material menyebabkan kondisi level fermi yang dimiliki material tersebut lebih
mendekat ke pita konduksi sehingga dapat meningkatkan barir yang terjadi.
Cara lainnya yang dapat digunakan untuk membentuk dioda resonant
tunnelingmultiple peak adalah dengan cara mengkondisikan tingkatan-tingkatan
energi agar mempunyai selisih yang lebih kecil. Dari persamaan 21 yang telah
dibahas sebelumnya, hal yang dapat divariasikan untuk merubah nilai tingkatan
energi pada sumur kuantum adalah dengan memvariasikan lebar sumurnya.
Ketika sumur tersebut diperbesar, maka nilai tingkatan-tingkatan energi pada
sumur tersebut akan mengecil. Akibatnya dengan tinggi barir yang sama,
tingkatan-tingkatan energi elektron akan lebih banyak yang nantinya akan
menghasilkan multiple peak.

591
Daftar Pustaka
Chu, C.S. and Liang H.C. 1999. Chinese Journal of Physics. Vol. 37, no. 4.
Davies, John H., et.al. 1993. Physical Review B. Vol. 47, no. 8, page 4603-4618.
Luryi, Serge. 1985. IEDM. Page 666-669.
Mazumder, Pinaki. 1998. Proceeding of The IEEE. Vol. 86, no. 4, page 664-686.
Mizuta, Hiroshi, et.al. 1988. IEEE Transaction on Electron Devices. Vol. 35, no. 11.
pp 1951-1956.
Mounaix, P. et.al. 1991. J. Physics III, page 539-549.
Neaman, Donald A. 2003. The McGraw-Hill Companies, Inc.
Schemmann, M.F.C. 1989. Ph.D. Thesis Eindhoven University of Technology.
Schmidt, J.M., et.al. 1991. Physical Review B. Vol. 43, page 229-238.
Sollner, T.C.L.G., et.al. 1988. The Lincoln Laboratory Journal. Vol. 1, no. 1, page 89-
106.
Sun, Jian Ping. 1998. Proceeding of The IEEE. Vol. 86, no.4, pp 641-661.
Zhang, Wendong, et.al. 2007. Indian Journal of Pure and Applied Physics. Vol. 45, pp
294-298.

592
Bab 33
Nanokomposit Polimer
Oleh: Rahmat Firman

33.1 Nanokomposit
Penelitian material nanokomposit dilakukan berdasarkan pemikiran atau ide
sederhana, yaitu menyusun sebuah material yang terdiri atas blok-blok partikel
homogen dengan ukuran nanometer. Hasilnya sebuah material baru lahir dengan sifat-
sifat fisis yang jauh lebih baik dari material penyusunnya. Hal ini memicu
perkembangan material nanokomposit di segala bidang dengan memanfaatkan ide
yang sangat sederhana tersebut. Contohnya, tulang memiliki bangunan nanokomposit
yang bertingkat-bertingkat yang terbuat dari tablet keramik dan ikatan-ikatan organik.
Partikel-partikel nanokomposit tersebut memiliki struktur, komposisi, dan sifat yang
berbeda-beda. Oleh karena itu partikel-partikel nanokomposit memberikan fungsi
yang beragam sehingga didapatkan material multiguna dalam waktu yang sama dan
dapat digunakan pada beberapa aplikasi. Dari sinilah para ilmuwan mulai memikirkan
berbagai cara untuk mendapatkan material nanokomposit, karena material tersebut
memiliki beberapa keunggulan dibandingkan material konvensional.
Penemuan material baru ini tidak langsung ditemukan atau secara mendadak
dan tanpa usaha. Sekitar tahun 1995, Profesor Veprek, memulai menerapkan sebuah
konsep rekayasa material baru di bidang material keras yang dinamakan
nanokomposit superkeras (sekitar 40-50 GPa). Konsep peningkatan sifat fisis dan
karakteristik material dengan cara membuat nanokomposit multi-fasa (yang terbuat
dari beberapa material) sebenarnya bukanlah hal yang baru. Ide ini telah dipraktikkan
sejak peradaban dimulai dan umat manusia mulai menghasillkan material-material
yang efisien dengan fungsi-fungsi tertentu. Hal ini terlihat dari banyaknya
peninggalan-peninggalan purbakala yang telah dtemukan saat ini yang sebenarnya
adalah material nanokomposit. Sebagai contoh adalah lukisan bangsa Maya,
peninggalan purbakala yang terdapat di meso-Amerika. Lukisan tersebut ternyata
terdiri dari matriks clay yang dicampur dengan molekul colorant (indigo) organik.
Selain itu, lukisan tersebut juga mengandung nanopartikel logam yang dibungkus oleh
substrat amorf silikat, dengan nanopartikel-oksida berada pada substrat.
Komposit adalah suatu material yang terbentuk dari kombinasi dua atau lebih
material pembentuknya melalui campuran yang tidak homogen, dimana sifat mekanik
dari masing-masing material pembentuknya berbeda. Umumnya material komposit
terdiri dari dua bahan penyusun. Bahan tersebut yaitu bahan pengisi (filler) dan bahan
pengikat (matriks). Filler adalah bahan pengisi yang digunakan dalam pembuatan
komposit, biasanya berupa serat atau serbuk, seperti yang sering digunakan dalam
pembuatan komposit antara lain serat e-glass, boron, karbon, dan sebagainya. Bahan
pengisi haruslah kuat untuk menerima beban yang diterima material komposit.

593
Matriks dalam struktur komposit dapat berasal dari bahan polimer atau logam.
Umumnya matriks terbuat dari bahan-bahan lunak dan liat. Epoksi, poliester, dan
vinilester adalah bahan-bahan polimer yang sejak dahulu telah dipakai sebagai bahan
matriks.
Nanokomposit adalah gabungan atau kombinasi dari satu atau lebih komponen
terpisah dan salah satu komponennya adalah material skala nanometer. Tujuan
pembuatan komposit adalah untuk menghasilkan sifat yang berbeda dari komponen-
komponen pembentuknya serta untuk menghasilkan sifat yang terbaik dari tiap
komponen suatu komposit. Dalam nanokomposit, nanopartikel seperti clay, logam,
CNT bertindak sebagai pengisi atau filler dalam sebuah matriks. Saat ini yang paling
banyak dipakai adalah polimer. Nanokomposit merupakan material yang dibuat
dengan menyisipkan nanopartikel (filler) dalam sebuah sampel material makroskopik
(matriks). Nanokomposit dihasilkan dari pencampuran dalam sejumlah fase yang
berbeda. Pencampuran ini dapat menghasilkan sifat baru yang tidak ditemui pada
masing-masing material asal. Nanokomposit memperlihatkan sifat-sifat baru yang
lebih unggul dibandingkan dengan material asal. Setelah menambahkan nanopartikel
ke dalam material matriks, nanokomposit yang dihasilkan dapat menunjukkan sifat-
sifat yang sangat berbeda dibandingkan dengan sifat material sebelumnya. Sebagai
contoh dengan menambahkan CNT pada suatu material maka konduktivitas listrik dan
konduktivitas termal material tersebut akan berubah. Penambahan nanopartikel jenis
lain dapat menghasilkan perubahan sifat optik, sifat dielektrik atau sifat mekanik,
seperti kekakuan (stiffness) dan kekuatan (strength).
Secara umum pembuatan nanokomposit dilakukan dengan mendispersi
material berdimensi nanometer ke dalam matriks. Persentase berat (mass fraction)
dari nanomaterial umumnya sangat kecil sekitar 0,5% - 5%. Beberapa penelitian
sedang dilakukan untuk mencari kombinasi terbaik matriks dan filler agar diperoleh
komposit dengan sifat yang unggul.
Konferensi Nanokomposit pada tahun 2000 telah mengungkapkan dengan
jelas keunggulan sifat-sifat nanokomposit. Sifat yang memperlihatkan peningkatan
yang signifikan diantaranya:
 Sifat mekanikal, seperti kekuatan, modulus, dan stabilitas dimensional
 Permeabilitas yang lebih kecil terhadap gas, air, dan hidrokarbon
 Stabilitas termal
 Daya tahan terhadap api dan emisi asap yang kecil
 Resistansi kimia
 Tampak permukaan
 Konduktivitas listrik
 Transparansi optik
Nanokomposit dapat dianggap sebagai struktur padat dengan dimensi berskala
nanometer yang berulang pada jarak antar-bentuk penyusun struktur yang berbeda.
Material-material dengan jenis seperti ini terdiri atas padatan inorganik yang tersusun
atas komponen organik. Selain itu, material nanokomposit dapat pula terdiri atas dua
atau lebih molekul inorganik/organik dalam beberapa bentuk kombinasi dengan
pembatas antara keduanya minimal satu molekul atau memiliki ciri berukuran nano.
Contoh nanokomposit yang ekstrim adalah media berporos, koloid, gel, dan
kopolimer.

594
Ikatan antar partikel yang terjadi pada material nanokomposit memainkan
peranan penting pada peningkatan dan pembatasan sifat material. Partikel-partikel
yang berukuran nano tersebut memiliki luas permukaan interaksi yang tinggi.
Semakin banyak partikel yang berinteraksi, semakin kuat material tersebut. Inilah
yang menyebabkan ikatan antar partikel semakin kuat, sehingga sifat mekanik
material bertambah. Namun, penambahan partikel-partikel nano tidak selamanya akan
meningkatkan sifat mekaniknya. Ada batas tertentu dimana saat dilakukan
penambahan material nano, kekuatan material justru semakin berkurang. Namun pada
umumnya, material nanokomposit menunjukkan perbedaan sifat mekanik, listrik,
optik, elektrokimia, katalis, dan struktur dibandingkan dengan material penyusunnya.

33.1.1 CNT
Carbon Nanotube (CNT) Ditemukan Setelah Penemuan Struktur Karbon
Murni Yang Tersusun Atas 60 Karbon Atau Dilambangkan Dengan C 60 Yang
Ditemukan Pada Tahun 1985 Oleh Richard E. Smalley, Robert F. Curl, Jr. Dan Sir
Harnold W.Kroto. Struktur C 60 Diberi Nama Buckminsterfullerene Atau Disebut Juga
Bucky Ball Karenastrukturnya Menyerupai Bangunan Berkubah Seperti Bola Yang
Dirancang Oleh Seorang Arsitek Amerika Serikat, R. Buckminster Fuller. Perbedaan
Antara Fullerence Dan Cnt Yaitu Atom-Atom Karbon Pada Fullerence Membentuk
Struktur Seperti Bola, Sedangkan CNT Berbentuk Silinder Yang Tiap Ujungnya
Ditutup Oleh Atom-Atom Karbon Yang Berbentuk Setengah Struktur Fullerence.

Gambar 33.1 Struktur Molekul (a) Buckminsterfullerene dan (b) CNT


(www.hielscher.com/CNT)
Struktur CNT pertama kali ditemukan oleh Sumio Iijima dari NEC
Laboratories di Jepang pada tahun 1991. Berdasarkan jumlsh cangkang (shell) yang
dibentuknya, ada dua golongan utama CNT, yakni sebagai berikut.

1. Single Walled Carbon Nanotubes (SWCNT)


SWCNT hanya membentuk satu cangkang dan sangat tahan terhadap kerusakan
akibat gaya fisis. Di bawah ini ditunjukkan gambar dari SWCNT.

595
Gambar 33.2 SWCNT
( Leslie, Journal of Experimental Nanoscience 2006)

2. Multiwalled Nanotubes (MWCNT)


MWCNT membentuk lebih dari satu cangkang berlapis dan bisa juga dikatakan
sebagai gabungan SWCNT dengan diameter yang berbeda-beda, SWCNT dapat
diperlihatkan pada gambar berikut ini.

Gambar 33.3 MWCNT


( Leslie, Journal of Experimental Nanoscience 2006)

596
Carbon NanoTube (CNT) memiliki beberapa sifat diantaranya sifat listrik,
sifat mekanik, sifat thermal, sifat optik, dan sifat kimia.

1. Sifat Listrik
CNT dapat memiliki rapat muatan listrik di atas 1000 kali lebih besar daripada
logam biasa seperti perak dan tembaga. Salah satu sifat yang menarik dari CNT
ini adalah dapat diatur sifat elektronikanya sesuai yang diinginkan, mulai dari
bersifat superkonduktor, hingga insulator.

2. Sifat Mekanik
CNT memiliki massa jenis yang kecil, yaitu 1,3-1,4 g/cm3. Ikatan kimia dari
seluruh CNT terdiri dari ikatan sp2, sama seperti grapene. Struktur ikatan ini
lebih kuat daripada ikatan sp3 pada intan. Oleh karena ikatannya yang sangat
kuat, CNT memiliki modulus elastik yang sangat besar dibandingkan material
lain yang pernah ada. Dengan sifat tersebut, CNT diharapkan dapat digunakan
untuk fiber yang kuat. Meskipun CNT memiliki daya regang yang besar, CNT
juga dapat mengalami deformasi plastik (deformasi permanen). Deformasi mulai
terjadi pada tegangan kira-kira 5% dan dapat patah jika strain terus diperbesar.

3. Sifat Termal
CNT merupakan konduktor panas yang baik dibandingkan material yang pernah
dikenal. SWNT yang sangat kecil (ultra small) memperlihatkan sifat
superkonduktor pada suhu di bawah 20 K. Semua jenis CNT merupakan
konduktor panas yang baik sepanjang tubenya. Sifat konduktivitas yang tinggi
disebabkan fenomena konduksi balistik (balistic conduction) sepanjang tabung.
Diperkirakan bahwa CNT dapat mentransmisi daya lebih besar dari 6000 WK/m
pada temperatur ruang. Nilai tersebut lebih besar dibandingkan dengan nilai yang
dimiliki tembaga yang kita ketahui sebagai konduktor panas yang baik, dimana
transmisi dayanya 385 WK/m. Diperkirakan CNT stabil pada suhu lebih besar
dari 2.800oC di dalam vakum dan sekitar 750oC di udara.

4. Sifat Optik
Menurut prediksi teoritik, sifat optik CNT makin hilang jika ukurannya
bertambah. Karena keunikan sifat optiknya yang dipengaruhi ukuran, CNT dapat
digunakan pada berbagai piranti optik. Banyak sifat fisis lain dari CNT yang juga
bergantung pada ukurannya. Sebagai contoh, lebar celah pita energi (band gap)
CNT dipengaruhi oleh diameternya. Makin kecil diameter, makin besar celah pita
energi. Di bawah ini contoh hasil pengukuran lebar celah pita energi CNT yang
bergantung pada diameter.

597
Gambar 33.4 Jari-jari nanotube (nm)

5. Sifat Kimia
Sifat reaktivitas kimia dari CNT menyerupai lembaran grapene. Sifat kimia dari
lembaran grapene berpengaruh pada pembentukan (pengulungan) CNT. Diameter
CNT yang semakin kecil akan memiliki sifat reaktif yang semakin besar, luas
permukaan spesifiknya (luas permukaan/massa) makin besar. Modifikasi ikatan
kovalen pada CNT dapat pula dilakukan. Salah satu caranya adalah mendispersi
CNT pada pelarut yang sesuai. Namun, modifikasi sifat kimia CNT sulit untuk
dilakukan jika sampel dasar nanotube belum cukup murni.

Pada semua jenis material, cacat dapat mempengaruhi sifat suatu material.
Cacat dapat terjadi dalam bentuk kekosongan atom (vacancy). Nilai cacat yang tinggi
dapat menurunkan daya regang CNT sampai 85%. Bentuk lain cacat dapat terjadi
pada CNT adalah adanya atom asing (Sone Wales Defect), yang membentuk struktur
pentagon dan heptagon dari pengaturan kembali ikatan. Karena struktur CNT yang
sangat kecil, daya regang dari tube bergantung pada segmen yang lemah pada cara
penyusunan yang sama. Cacat pada suatu daerah mengurangi kekuatan dari ikatan
yang lain. Sifat listrik juga dipengaruhi oleh cacat dalam bentuk pengurangan
konduktivitas. Suatu cacat pada CNT konduktor dapat menyebabkan daerah sekitar
berubah sifat menjadi semikonduktor. Cacat juga berpengaruh pada sifat termal CNT
dalm bentuk pengurangan konduktivitas termalnya.

598
33.2 Polimer

Energi
panas
katalis

Monomer Polimer

Gambar 33.5 Pembentukan Polimer

Polimer berasal dari bahasa Yunani, poly dan mer (meros). Poly berarti
banyak, sedangkan mer (meros) berarti ikatan. Istilah polimer ini digunakan untuk
menggambarkan bentuk molekul berantai panjang yang terdiri atas unit-unit terkecil
yang berulang (mer) sebagai blok penyusunnya. Molekul-molekul tunggal penyusun
polimer dikenal dengan istilah monomer. Sebagai contoh, polimer polipropilena
adalah salah satu jenis bahan polimer dengan rantai linier sangat panjang yang
tersusun atas unit-unit terkecil (mer) yang berulang-ulang berasal dari monomer
molekul propilen.

Menurut asalnya, polimer dibedakan menjadi dua, yaitu polimer alam dan
polimer buatan. Contoh polimer alam seperti selulosa, karbohidrat, dan DNA,
sedangkan polimer buatan contohnya adalah ban kendaraan yang pertama diproduksi
oleh Charles Goodyear dari Amerika Serikat pada tahun 1839. Setelah itu berbagai
modifikasi polimer pun mulai berkembang seperti pada tahun 1846 yaitu adanya
modifikasi selulosa dengan asam nitrat oleh Cristian Frederick Schonbein, tahun 1907
ditemukannya Bakelite oleh Leo Baekeland, tahun 1930 di Jerman ditemukan
Polystirena atau Polyfenol ethena dan pada tahun 1936 ditemukan Polyethylene di
laboratorium ICI di Winnington, Chesire. Hingga saat ini banyak produk industri
yang begitu beragam berasal dari proses pabrikasi polimer. Hal ini didukung adanya
karakteristik polimer seperti: polimer yang memiliki densitas rendah sehingga dapat
menghasilkan suatu produk yang ringan, kemudian polimer mudah diolah untuk
berbagai macam produk pada suhu rendah dengan biaya murah, ketahanan korosi
yang tinggi, bersifat osilator yang baik terhadap panas dan listrik, serta bersifat elastis
dan plastis. Polimer yang sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari diantaranya
adalah polyethylene (PE) yang banyak digunakan dalam perabotan rumah tangga dan
mainan anak-anak, polyvinylchloride (PVC) pada kemasan pasta gigi dan pipa, phenol
formaldehyde atau Bakelite yang digunakan dalam alat listrik dan polyisoprene
sebagai bahan baku pembuatan karet.

599
Polimer dapat diklasifikasikan berdasarkan strukturnya dan berdasarkan sifat
thermalnya, yaitu:

1. Polimer berdasarkan strukturnya terdiri dari polimer linier (linear), polimer


bercabang (branched), polimer sambung silang (crosslinked) dan polimer
berjejaring (network). Polimer jenis akan bersifat lunak pada saat dipanaskan,
menjadi keras dan kaku pada saat didinginkan secara berulang-ulang.

Gambar 33.6 Struktur rantai polimer

(Saptono Rahmat, Departemen Metalurgi dan Material)

a. Polimer linear yaitu polimer yang tersusun dengan unit ulang berkaitan satu
sama lainnya membentuk rantai polimer yang panjang. Biasanya terdapat
dalam polimer termoplastik contohnya polyethylene (PE).

Gambar 33.7 Polimer Linear

600
b. Polimer bercabang merupakan polimer yang terbentuk jika beberapa unit
ulang membentuk cabang pada rantai utama. Struktur polimer bercabang
biasanya terdapat dalam polimer termoplastik

Gambar 33.8 Polimer Bercabang

c. Polimer berikatan silang (cross-linked) yaitu polimer yang terbentuk karena


beberapa rantai polimer saling berikatan satu sama lain pada rantai utamanya,
contohnya ikatan yang terdapat pada elastomer.

Gambar 33.9 Polimer Sambung Silang

601
d. Polimer berjejaring (network) merupakan polimer yang apabila rantainya
bersambungan secara silang ke berbagai arah maka akan terbentuk sambung
silang tiga dimensi yang sering disebut dengan polimer jaringan. Hal ini yang
menyebabkan struktur rantainya menjadi sangat rigid, contohnya ikatan yang
terjadi pada termoset.

Gambar 33.10 Polimer Berjejaring

Resin yang biasa digunakan dalam pembuatan komposit sering diidentikkan


sebagai polimer. Semua polimer menampilkan karakterisasi yang umum yaitu
tersusun dari rantai yang sangat panjang yang terbentuk dari unit-unit berulang yang
sederhana. Polimer berdasarkan sifat termal dibagi ke dalam tiga bagian yaitu
termoplastik, termoset, dan elastomer.

33.2.1 Termoplastik
Termoplastik merupakan material padatan yang akan berubah menjadi cairan
kental ketika dipanaskan. Hal ini disebabkan karena polimer-polimer tersebut tidak
berikatan silang, biasanya bisa larut dalam beberapa pelarut. Karakteristik ini
menyebabkan termoplastik mudah dan ekonomis dalam proses pabrikasi menjadi
beragam bentuk. Termoplastik, sifatnya mirip logam, meleleh jika dipanaskan dan
mengeras jika didinginkan. Proses pengerasan dan pelelehan ini bisa berulang-ulang
bergantung kebutuhan kita. Contoh dari termoplastik adalah sebagai berikut.

1. Polyethylene (PE)

CH2 = CH2 → ─CH2CH2─

Gambar 33.11 Monomer Polyethylene (PE)

2. Polyvinilchloride (PVC)

CH2 = CHCl → ─CH2CHCl─

602
Gambar 33.12 Monomer Polyninilchloride (PVC)

3. Polystyrene

CH2 = CH ─CH2CH─

Gambar 33.13 Monomer Polysyrene

Selain dari contoh termoplastik di atas, terdapat pula nilon, polipropilen (PP),
dan ABS. Di bawah ini akan dijelaskan lebih luas mengenai polietilen (PE) dan
polipropilen.

33.2.1.1 Polyethylene (PE)

Polyethylene (PE) memiliki nama IUPAC polietena, yang merupakan


termoplastik yang digunakan secara luas oleh konsumen produk sebagai kantong
plastik. Polietina adalah polimer yang terdiri dari rantai panjang monomer etilena
(etena). Molekul etena (C 2 H4 ) terurai menjadi CH2 =CH2 . Dua grup CH2 bersatu
dengan ikatan ganda. Polietilena terdiri dari berbagai jenis, berdasrkan densitas dan
kekuatan tensilnya polietilen dibagi ke dalam tujuh klasifikasi, yaitu UHMWPE
(Ultra High Molecular Weight Polyethylene), HDPE (High Density Polyethylene),
MDPE (Medium Density Polyethylene), LDPE (Low Density Polyethylene), LLDPE
(Linear Low Density Polyethylene), VLDPE (Very Low Density Polyethylene), dan
PEX (Polyethylene-X). Di bawah ini dijelaskan masing-masing tujuh klasifikasi
berikut ini.

1. UHMWPE (Ultra High Molecular Weight Polyethylene)


UHMWPE adalah polietilena dengan massa molekul yang sangat tinggi hingga
jutaan, biasanya berkisar antara 3,1 hingga 5,67 juta. Polietilena ini digunakan
sebagai onerdil mesin pembawa kaleng dan botol, bagian yang bergerak dari
mesin pemutar, roda gigi, bahan anti peluru, dan sebagai implan pengganti bagian
pinggang serta lutut dalam operasi.

2. HDPE (High Density Polyethylene)


HDPE dicirikan dengan densitas yang melebihi atau sama dengan 0,941 g/cm3.
Polietilena ini memiliki kekuatan antar molekul dan kekuatan tensil yang sangat
tinggi. Aplikasi HDPE adalah sebagai bahan pembuat botol susu, botol atau
kemasan detergen, kemasan margarin, pipa air, dan tempat sampah.

3. MDPE (Medium Density Polyethylene)


MDPE dicirikan dengan densitas antara 0,926-0,940 g/cm3. MDPE memiliki
ketahanan yang baik terhadap pengaruh tekanan. Aplikasi MDPE biasanya
banyak digunakan pada pipa gas.

603
4. LDPE (Low Density Polyethylene)
LDPE dicirikan dengan densitas 0,910-0,940 g/cm3. LDPE memiliki kekuatan
antar molekul yang rendah, sehingga mengakibatkan LDPE memiliki kekuatan
tensil yang rendah.

5. LLDPE (Linear Low Density Polyethylene)


LLDPE dicirikan dengan densitas antara 0,915-0,925 g/cm3. LLDPE memiliki
kekuatan tensil yang tinggi dari LDPE dan memiliki ketahanan yang lebih tinggi
terhadap tekanan.

6. VLDPE (Very Low Density Polyethylene)


VLDPE dicirikan dengan identitas antara 0,880 hingga 0,915 g/cm3.

7. PEX (Polyethylene-X)
PEX adalah polietilena dengan kepadatan menengah hingga tinggi yang memiliki
sambungan cross-link pada struktur polimernya.

Berdasarkan pengklasifikasian di atas, terdapat perbedaan densitas polietilena


yang dapat menyebabkan adanya perbedaan pada titik lelehnya pula. Untuk
polietilena berdensitas menengah, titik lelehnya berkisar antara 120oC hingga 135oC,
sedangkan titik leleh untuk polietilena berdensitas rendah berkisar antara 105oC
hingga 115oC. Oleh karena itu, semakin besar densitas polietilena tersebut maka titik
lelehnya akan semakin tinggi pula. Apabila densitasnya besar maka polietilena
tersebut akan semakin kuat dan sukar untuk dilelehkan. Selain itu ada juga sifat
polietilena yang lainnya, yaitu sebagai berikut.

1. Tahan terhadap efek asam lemah, tetapi tidak tahan terhadap asam kuat.
2. Tahan terhadap basa lemah maupun basa kuat.
3. Tahan terhadap efek pelarut organik.
4. Laju pemanasannya sangat lambat.
5. Bersifat non-polar.

Penggunaan polietilen (PE) antara lain digunakan untuk industri pengemasan,


industri cetakan, perabotan rumah tangga,mainan anak-anak, dan isolator kabel listrik.

33.2.1.2 Polipropilen (PP)

Polipropilen merupakan kristalin yang dihasilkan dari proses polimerisasi gas


propilen. Monomer-monomer yang menyusun rantai propilena adalah propilena yang
diperoleh dari pemurnian minyak bumi. Propilena, merupakan senyawa vinil yang
memiliki struktur: CH 2 = CH─CH3 . Nama kimia dari polipropilena adalah poli (1-
metiletilena) dengan formula kimia (C 3 H6 ) x . Polipropilen mempunyai titik lebur
165oC, suhu transisi kaca -10oC, transisi degradasi 286oC dan titik kristalisasi
polipropilen 130oC.

604
Salah satu aplikasi dari polipropilen adalah sebagai karung plastik. Bahan baku
polipropilen didapat dengan menguraikan petroleum (naftan). Molekul rantai
polipropilen akan memberikan sifat termoplastik seiring dengan kenaikan temperatur,
serta dapat mencair dan mengalir.

Gambar 33.14 Skema Ikatan Kimia Polipropilen

Polipropilen termasuk kelompok yang paling ringan diantara bahan polimer.


Jika dibandingkan dengan polietilen, massa jenis titik lunak, kekuatan tarik, kekuatan
lentur, dan kekakuannya lebih tinggi, tetapi ketahanan impaknya rendah terutama
pada temperatur rendah. Polipropilen memiliki sifat tembus cahaya pada pencetakan
lebih baik daripada polietilen dengan permukaan yang mengkilap, penyusutan pada
pencetakan relatif kecil, serta penampilan dan ketelitian dimensinya lebih baik.

Sifat mekanik pada propilen dapat ditingkatkan sampai batas tertentu dengan
cara mencampurkan serat gelas. Pemuaian termal juga dapat diperbaiki setingkat resin
termoset. Sedangkan dilihat dari Sifat listriknya mempunyai frekuensi yang tinggi,
sehingga banyak digunakan sebagai bahan isolasi untuk radar, televisi, dan berbagai
alat komunikasi.

Polipropilen memiliki sifat mampu cetak yang baik. Faktor penyusutan


pencetakan lebih kecil jika dibandingkan dengan polietilen dengan massa jenis yang
tinggi. Pada kondisi hasil pencetakan yang optimaldapat diperoleh produk dengan
ketelitian dimensi yang baik dan tegangan sisa yang kecil.

33.2.2 Termoset
Termoset tidak akan berubah bentuk ketika dipanaskan pada suhu tertentu,
polimer-polimer ini tidak bisa dibentuk dan tidak dapat larut karena adanya ikatan
silang. Termoset dibentuk melalui reaksi kimia secara in situ, dimana resin dan
hardener atau resin dengan katalis dicampur dalam satu tempat kemudian terjadilah
proses pengerasan (polimerisasi). Apabila terjadi pengerasan, termoset tidak bisa
mencair lagi sekalipun dilakukan pemanasan.

605
Di pasaran, terdapat tiga jenis resin yang banyak digunakan, yaitu polyester,
vinil ester, dan epoksi. Contoh dari termoset diantaranya adalah fenol-formaldehida
(PF) atau bakelite yang biasa digunakan pada alat listrik dan elektronik.

Gambar 33.15 Cross Linked Polimer Bakelite


(www.tutorvista.com/content/chemi…tion.php)

33.2.2.1 Polimer Epoksi Resin


Epoksi resin memiliki karakteristik listrik yang bagus, daya penyusut yang
rendah, perekat yang bagus untuk banyak bahan logam, dan tahan terhadap
kelembaban udara serta tahan terhadap tekanan. Proses pengerasan terjadi jika
polimer epoksi resin dicampurkan dengan hardenernya. Pengerasan atau polimerisasi
terjadi karena pencampuran keduanya membentuk ikatan silang (cross link) yang
kuat. Epoksi resin mengeras lebih cepat pada selang temperature 5-150 ̊ C. Namun, hal
ini bergantung pada jenis hardener yang digunakan. Hardener mempunyai jenis yang
cukup banyak dan pemilihannya sesuai dengan kebutuhan yang akan digunakan. Zat
yang biasa dipakai sebagai hardener antara lain amines, polyamides, phenolic resins,
anhydrides, isocyanates, dan polymercaptans. Pemilihan resin dan hardener
bergantung pada aplikasi, pemilihan proses, dan sifat material yang diinginkan.

Secara umum epoksi mempunyai karakteristik, sebagai berikut:


1. Mempunyai kemampuan mengikat paduan metalik yang baik. Kemampuan
ini disebabkan oleh adanya gugus hidroksil yang memiliki kemampuan
membentuk ikatan hidrogen. Gugus hidroksil ini juga dimiliki oleh oksida
metal, dimana pada kondisi normal menyebar pada permukaan logam.
2. Ketangguhan.
Kegunaan epoksi sebagai bahan matriks dibatasi oleh ketangguhan yang
rendah dan cenderung rapuh.

606
Epoksi terbentuk dari reaksi antara epiklorohidrin dengan bisfenol propana
(bisfenol A) dengan persamaan reaksi sebagai berikut:

Gambar 33.16 Reaksi antara epiklorohidrin dan bisfenol A


(Herlan dkk., Prosiding Seminar Nasional Teknologi Limbah VII)

Reaksi polimerisasi dimulai dengan adanya radikal bebas yang terbentuk


karena dekomposisi bahan yang tidak stabil oleh temperatur, radiasi maupun katalis.
Radikal bebas dengan monomer akan mengadakan reaksi polimerisasi dan akhirnya
jika radikal bebas bereaksi dengan radikal bebas terjadi reaksi terminasi yang
menghasilkan polimer. Terbentuknya polimer melibatkan perubahan fase cair dan
pasta menjadi padat yang disebut curing atau pengeringan. Proses ini terjadi secara
fisika karena adanya penguapan pelarut atau medium pendispersi dan dapat juga
terjadi karena adanya perubahan kimiawi misal polimerisasi pembentukan ikatan
silang.
Epoksi merupakan campuran dari monomer-monomer bisfenol A dan
epiklorohidrin, yang mempunyai rumus dan struktur kimia seperti ditunjukkan dalam
gambar di atas. Hardener (pengeras) mempunyai fungsi sebagai katalisator reaksi
berantai dalam pembentukan polimer, dengan pencampuran epoksi dan pengeras
tersebut terbentuklah polimer epoksi. Polimer epoksi termasuk jenis resin termoset.
Resin termoset mempunyai struktur tiga dimensi. Polimer tiga dimensi adalah polimer
yang dapat membentuk struktur jaringan bila monomer yang beraksi bersifat
fungsional ganda, artinya mereka dapat menghubungkan tiga atau lebih molekul yang
berdekatan.

607
33.2.3 Elastomer
Elastomer merupakan material yang mampu memanjang secara elastis ketika
dikenakan gaya eksternal, contoh dari elastomer adalah karet. Karet memiliki perilaku
yang khas yaitu memiliki daerah elastis yang sangat besar. Perilaku tersebut ada
kaitannya dengan struktur molekul karet yang memiliki ikatan silang (cross link) antar
rantai molekul. Ikatan silang ini berfungsi sebagai pengingat bentuk (shape memory)
sehingga karet dapat kembali ke bentuk dan dimensi semula pada saat mengalami
deformasi yang besar.

CH2 = CH ─ C = CH2 ─ CH2CH = C ─ CH2 ─

CH3 CH3

Gambar 33.17 Monomer Polyisoprene

33.2.4 Parameter Fisis Polimer


Parameter fisis dari sebuah polimer yang penting adalah berat molekul primer.
Pada umumnya, polimer dengan berat molekul yang lebih tinggi bersifat lebih kuat,
tetapi berat molekul yang terlalu tinggi bisa menyebabkan kesukaran-kesukaran
dalam pemrosesannya. Sedangkan untuk polimer dengan berat molekul yang rendah,
kekuatan polimer bergantung pada gaya-gaya antar molekul. Penentuan berat molekul
polimer dapat dilakukan dengan beberapa cara, diantaranya adalah osmometri,
hamburan cahaya (light scattering), dan ultrasentrifugasi. Nilai berat molekul yang
diperoleh bergantung pada besarnya ukuran dalam metode pengukurannya. Metode
yang bergantung pada analisis gugus ujung atau sifat-sifat koligatif (penurunan titik
beku, kenaikkan titik didih, tekanan osmosis) menimbulkan apa yang dikenal sebagai
berat molekul rata-rata jumlah karena bilangan atau jumlah molekul dari setiap berat
dalam sampel yang bersangkutan dihitung.

Secara matematis, berat molekul primer (w) diartikan sebagai jumlah dari berat
spesies molekulnya.
∞ ∞

𝑤𝑤 = � 𝑤𝑤𝑖𝑖 = � 𝑁𝑁𝑖𝑖 𝑀𝑀𝑖𝑖 (1)


𝑖𝑖=1 𝑖𝑖=1

dengan N dan M masing-masing menunjukkan jumlah mol dan berat molekul dari
� 𝑛𝑛, adalah berat sampel per mol:
setiap spesies i. Berat molekul rata-rata jumlah, 𝑀𝑀

𝑤𝑤 ∑∞
𝑖𝑖=1 𝑁𝑁𝑖𝑖 𝑁𝑁𝑖𝑖
� 𝑛𝑛 =
𝑀𝑀 = (2)
∑∞
𝑖𝑖=1 𝑁𝑁𝑖𝑖 ∑∞ 𝑖𝑖=1 𝑁𝑁𝑖𝑖

608
Disisi lain, hamburan cahaya dan ultrasentrifugasi merupakan metode untuk
menetapkan berat molekul yang didasarkan pada massa dan polarisabilitas spesies
polimer yang hadir. Polimer dengan massa yang lebih besar, kontribusinya ke
pengukuran menjadi lebih besar. Berbeda dengan berat molekul rata-rata jumlah
(yang merupakan jumlah fraksi mol masing-masing spesies dikalikan berat
molekulnya), metode-metode ini menjumlahkan fraksi berat masing-masing spesies
dikalikan berat molekulnya.

Dengan demikian nilai yang diperoleh disebut berat molekul rata-rata berat,

𝑀𝑀 𝑛𝑛, dan secara matematis dituliskan sebagai berikut.

∑∞
𝑖𝑖=1 𝑤𝑤𝑖𝑖 𝑀𝑀𝑖𝑖 ∑∞ 2
𝑖𝑖=1 𝑁𝑁𝑖𝑖 𝑀𝑀𝑖𝑖
� 𝑛𝑛 =
𝑀𝑀 = ∞ (3)
∑∞ 𝑖𝑖=1 𝑤𝑤𝑖𝑖 ∑𝑖𝑖=1 𝑁𝑁𝑖𝑖 𝑀𝑀𝑖𝑖

33.3 Nanokomposit Polimer


Contoh dari nanokomposit yang ditunjukkan pada gambar di bawah ini
merupakan nanokomposit yang dibuat dengan mencampurkan polimer polypropylene
(PE) dengan carbon nanotube (CNT) dengan menggunakan metode injection molding.

Gambar 33.18 Spesimen Campuran PP dan CNT Metode Injection Molding


(Thiebaud and Gelin, Int J Mater Form Vol. 2 Suppl 1:149-152)

Metode pencampuran yang digunakan untuk mendapatkan suatu nanokomposit dapat


dilakukan dengan menggunakan metode mixing, melt-blending, dan in situ
polimerization.
a. Metode mixing merupakan metode pencampuran dimana salah satu bahannya
berupa larutan. Pada proses ini setelah bahan tercampur maka dipanaskan pada
temperatur tertentu. Pemanasan ini dilakukan dengan tujuan untuk menghilangkan
pelarut sehingga didapatkan nanokomposit dalam bentuk padatan.
b. Melt-blending merupakan metode fabrikasi yang sering dan baik digunakan untuk
mendapatkan material nanokomposit khususnya dengan menggunakan matriks

609
polimer termoplastik. Pada saat proses pencampuran berlangsung bahan pengisi
(filler) akan dicampurkan dengan lelehan matriks, jadi sebelumnya matriks yang
berupa padatan tersebut telah mendapatkan perlakuan terlebih dahulu yaitu dengan
dilelehkan pada temperatur tertentu.
c. In situ polymerization merupakan metode fabrikasi yang paling efisien untuk
peningkatan kekuatan secara signifikan. Pada umumnya, bahan pengisi (filler)
tersebut bisa ditambahkan ke dalam matriks melalui proses polimerisasi di bawah
temperatur tertentu, karena proses pencampuran ini merupakan metode
pencampuran dimana salah satu bahannya masih berupa monomer.

33.3.1 Melt Blending


Salah satu mekanisme pencampuran pada nanokomposit adalah dengan
menggunakan metode melt blending. Pada proses pencampuran dengan
menggunakan metode melt-blending, matriks dicampurkan dengan filler,
misalnya dalam proses pembuatan nanokomposit polimer CNT/PE. Polimer
polyethylene (PE) dicampurkan dengan Carbon NanoTube (CNT), sehingga
nantinya CNT yang berukuran nano itu akan terdispersi ke dalam polimer
polyethylene (PE).

Gambar 33.19 Pada Unsur-unsur yang menyusun PE dan CNT, terbentuk ikatan kuat yang
disebabkan perbedaan keelektronegatifan antar unsur penyusunnya yang
memiliki rentang cukup besar sehingga jarak ikatan unsur semakin dekat.
(Yeyen, Skripsi 2010)

610
Carbon NanoTube (CNT) yang terdispersi ke dalam matriks polimer
polyethylene (PE) akan menghasilkan sifat-sifat mekanik yang bagus.
Permukaan nanopartikel yang sangat besar berinteraksi dengan rantai polimer,
sehingga mereduksi mobilitas rantai polimer yang berimplikasi pada
peningkatan kekuatan mekanik nanokomposit tersebut, jauh di atas kekuatan
polimer itu sendiri. Hasil yang dicapai adalah material yang ringan dengan
kekuatan tinggi. Gambar di bawah ini adalah ilustrasi bagaimana peranan CNT
dalam meningkatkan kekuatan polimer polyethylene (PE).

Gambar 33.20 Pencampuran CNT dan PE


(a) Polimer PE, (b) Polimer PE yang didispersi CNT
(Yeyen, Skripsi 2010)

Pada polimer polyethylene (PE) yang tidak mengandung CNT seperti


gambar a di atas. Rantai polimer polyethylene memiliki mobilitas tinggi
sehingga matriks polimer polyethylene tidak terlalu kuat, sedangkan pada
Gambar b CNT yang didispersikan ke dalam matriks polimer polyethylene akan
mengikat rantai-rantai polimer polyethylene sehingga mobilitasnya rendah yang
mengakibatkan adanya peningkatan kekuatan matriks polimer polyethylene.

611
33.4 Pengujian dan Karakterisasi
Penguian bahan dimaksudkan untuk mengetahui kinerja atau mutu suatu
bahan. Pengujian juga dapat dilakukan untuk mengetahui kinerja atau mutu
suatu produk yang berupa barang, alat atau komponen.
Karakterisasi dimaksudkan untuk mengetahui sifat-sifat fisis dan kimia
dari bahan baik secara makro maupun secara mikro (molekular) misalnya sifat
termal, struktur kristal, distribusi berat molekul dan sebagainya.
Dewasa ini pemakaian bahan berbasis polimer semakin banyak menjadi
pilihan karena keunggulan dalam berbagai hal yaitu, ringan, relatif mudah
dibentuk, cukup kuat, dan harganya relatif murah. Di Indonesia industri
manufaktur berbasis polimer semakin meningkat sejalan dengan pertumbuhan
industri bahan polimer. Berkaitan dengan pertumbuhan industri tersebut,
pengujian dan karakterisasi produk merupakan kebutuhan mutlak, untuk
meningkatkan daya saing produk, baik untuk produk-produk industri
manufaktur maupun industri bahan polimer.
Beberapa alat-alat uji dan karakterisasi diantaranya, Scanning Electron
Microscope (SEM), Nuclear Magnetic Resonance (NMR), X-ray Diffraction,
Fourier Transform Infra Red (FTIR), Tensile Tester, Gel Permiation
Chromatography, Viscoelastometer, Weathering Tester, Laboplastomill Mixer
Extruder, Capilograph, Thermal Analyser (DSC, TG/DTA, TMA), Creep
Tester, Peeling Tester, Abrasion Tester, dan Hardness Rockwell.

Tabel 33.1 Alat-alat dan kemampuan karakterisasi dalam penelitian bahan


(Wiwik S. Subowo, Prosiding Pemaparan Hasil Litbang Ilmu Pengetahuan Teknik)

No. Nama Alat Karakterisasi


1. Scanning Electron Microscope (SEM) Pengamatan morfologi dan
topografi suatu bahan.
2. Nuclear Magnetic Resonance (NMR) Analisis struktur kimia.
3. X-ray Diffraction Analisa kualitatif, menentukan
derajat kristalinitas, dan derajat
orientasi dan struktur mikro.
4. Fourier Transform Infra Red (FTIR) Identifikasi gugus fungsi,
identifikasi perubahan kimia
dalam bahan, dan identifikasi
jenis polimer tertentu.
5. Tensile Tester Perpanjangan waktu putus,
kekuatan tarik, kekuatan sobek,
dan kekuatan kelupas perekatan.

612
6. Gel Permiation Chromatography Distribusi berat molekul dan
(GPC) berat moekul rata-rata
�n , M
M � w, M
� z dan M
�v
7. Gas Chromatography Analisa bahan yang mudah
menguap, analisa kualitatif, dan
analisa kuantitatif.
8. Rheolograph Solid (Viscoelastometer) Analisa konstanta elastik,
dielektrik, dan piezoelektrik
sebagai fungsi waktu dan
frekuensi.
9. Thermal Analyser (DSC, TG/DTA, T g , T m, T d , ∆H, kompatibilitas
TMA) yang terdiri dari DSC 200, bahan campuran, kapasitas
TMA 100 dengan daerah operasi suhu panas, kristalinitas derajat, dan
dari 150oC sampai dengan 500oC, dan sifat termo-mekanik, misalnya
TG/DTA 200 dengan daerah operasi termo ekspansi, suhu transisi,
suhu dari suhu kamar sampai dengan modulus elastisitas, dan suhu
500oC pelunakan pada beban tetap.
10. Creep Tester, dengan suhu operasi Perubahan panjang dengan
maksimum 250oC dan pertambahan beban tetap sebagai fungsi
panjang maksimum 50 mm waktu.
11. Weatherometer Mengukur ketahanan bahan
terhadap cuaca
12. Capirograph Mengukur parameter fisis yang
penting dan pemrosesan bahan
polimer di industri. Viskositas
lelehan, elastisitas lelehan,
kekuatan tarik lelehan.
13. Abrasion Tester Mengukur ketahanan bahan
terhadap kikisan.
14. Hardness Tester Menguji kekerasan bahan
plastik, baja, dan kayu paduan.
15. Perangkat Gelas Laboratorium Kimia Analisis kimia.
16. Densitas Meter Mengukur densitas.
17. Viscosimeter Mengukur viskositas cairan.
18. Gloss meter Perubahan kilap dan perubahan
warna karena cuaca.

613
33.4.1 Sifat Mekanik
Sifat utama yang menjadi pertimbanagan pemilihan bahan yang berdimensi
besar seperti jembatan atau bangunan adalah kekuatan (strength) sedangkan sifat
mekanis lainnya yang menjadi pertimbangan adalah elastisitas (elasticity), keuletan
(ductile), kekerasan (hardness), ketangguhan (toughness). Sifat-sifat tersebut di atas
berhubungan dengan kekuatan bahan untuk menahan gaya mekanik. Untuk
menghitung sifat-sifat tersebut, biasanya besaran-besaran berikut ini harus diukur
terlebih dahulu.
1. Stress (σ): didefinisikan gaya persatuan luas, satuan yang biasa dipakai adalah
MPa.
2. Strain (ε): merupakan deformasi atau perubahan panjang dari material.
3. Elastik: strain (ε) yang terjadi bila dikenai stress (σ) dan bisa kembali ke kondisi
semula ketika gaya dihilangkan.

Gambar 33.21 Kurva Daerah Elastik Plastis


(Callister, Material Science and Enginering an Introduction)
4. Plastic: daerah dimana terjadi perubahan permanen pada material, hal tersebut
dihasilkan oleh perubahan susunan yang permanen dari atom-atomnya.
5. Keuletan (ductile): jika suatu material dapat mengalami fase elastik dan plastis.

Sifat mekanik sangat penting dalam suatu bahan untuk dijadikan sebuah
produk, karena fungsi dan kinerja produk tergantung pada daya tahan terhadap
tekanan saat dipakai.
Sifat mekanik bahan adalah hubungan antara respon atau deformasi bahan
terhadap beban yang bekerja. Sifat mekanik berkaitan dengan kekuatan, kekerasan,

614
keuletan, dam kekakuan. Untuk mengetahui sifat-sifat suatu bahan, maka harus
dilakukan pengujian terhadap bahan tersebut. Ada empat jenis uji coba yang biasa
dilakukan, yaitu uji tarik (tensile test), uji tekan (compression test), uji torsi (torsion
test), dan uji geser (shear test).

33.2.2.1 Uji Tarik

Uji Tarik adalah salah satu uji stress-strain mekanik yang bertujuan untuk
mengetahui kekuatan bahan terhadap gaya tarik. Dalam pengujiannya, bahan uji
ditarik sampai putus. Uji Tarik adalah cara pengujian bahan yang paling mendasar.
Pengujian ini sangat sederhana, tidak mahal dan sudah mengalami standarisasi di
seluruh dunia, misalnya di Amerika dengan ASTM dan Jepang dengan JIS. Dengan
menarik suatu bahan maka akan mengetahui bagaimana bahan tersebut bereaksi
terhadap tenaga tarikan dan mengetahui sejauh mana material tersebut bertambah
panjang. Alat uji tarik yang digunakan, memiliki cengkeraman (grip) yang kuat dan
kekakuan yang tinggi (highly stiff).

Banyak hal yang dapat dipelajari dari hasil uji tarik. Bila kita terus menarik
suatu bahan sampai putus, kita akan mendapatkan profil tarikan yang lengkap berupa
kurva yang digambarkan di bawah ini. Kurva ini menunjukkan hubungan antara gaya
tarikan dengan perubahan panjang. Profil ini sangat diperlukan dalam desain yang
memakai bahan tersebut.

Gambar 33.22 Gambaran singkat uji tarik dan datanya


(Azhari Sastranegara, Mengenal Uji Tarik dan Sifat-Sifat Mekanik Logam)

615
Biasanya yang menjadi fokus perhatian adalah kemampuan maksimum bahan
tersebut dalam menahan beban. Kemampuan ini umumnya disebut “Ultimate Tensile
Strength” disingkat dengan UTS, yang artinya tegangan tarik maksimum.

Gambar 33.23 Bentuk spesimen yang akan diuji tarik dengan ukuran standar
yang telah ditentukan
(Anonim)

Hukum Hooke menyatakan bahwa hubungan antara beban atau gaya yang
diberikan berbanding lurus dengan perubahan panjang bahan tersebut. Hal ini disebut
daerah linier atau linear zone. Di daerah ini kurva pertambahan panjang vs beban,
mengikuti aturan hukum hooke, yakni, “rasio tegangan (stress) dan regangan (strain)
adalah konstan”.
Stress (tegangan) adalah gaya persatuan luas. Secara matematis, dapat
dituliskan sebagai berikut.

𝐹𝐹
𝜎𝜎 = (4)
𝐴𝐴

σ : tegangan (stress) (N/m2)


F : gaya tarik beban (N)
A : luas permukaan (m2)

616
Sedangkan regangan (strain) adalah rasio pertambahan panjang dan panjang
mula-mula. Persamaan matematis dituliskan sebagai berikut.

∆𝑙𝑙 (5)
𝜀𝜀 =
𝑙𝑙

ε : regangan (strain) (%)


∆l : perubahan panjang (m)
l : panjang awal

Berdasarkan hukum Hooke, bahwa apabila sebuah benda mengalami


perubahan bentuk secara elastis, terdapat hubungan linear antara tegangan (stress) dan
regangannya (strain).

Gambar 33.24 Kurva tegangan-regangan


(Azhari Sastranegara, Mengenal Uji Tarik dan Sifat-Sifat Mekanik Logam)

Gambar di atas merupakan kurva standar ketika melakukan eksperimen uji


tarik. E adalah gradien kurva dalam daerah linier, dimana perbandingan tegangan (σ)
dan regangan (ε) selalu tetap. E adalah modulus elastis atau Young Modulus. Kurva
yang menyatakan hubungan antara strain dan stress disingkat kurva SS (SS curve).

617
Rasio antara tegangan dan reganagan didefinisikan sebagai konstanta elastis
atau modulus elastis dari benda/bahan. Karena unit regangan ε merupakan bilangan
tanpa dimensi (rasio dua satuan panjang), maka E mempunyai satuan yang sama
dengan tegangan yaitu N/m2. Untuk banyak bahan-bahan teknik, modulus elastisitas
dalam tekanan mendekati sama dengan modulus elastisitas dalam tarikan.
Salah satu pengujian yang dapat dilakukan untuk mengetahui sifat mekanik
nanokomposit polimer adalah dengan pengujian tarik. Sebelum dilakukan uji tarik
biasanya dilakukan pembuatan spesimen yang mengacu standar uji ASTM.

Gambar 33.25 Alat Uji Tarik Universal Testing Machine (UTM) UCT-5)

618
33.2.2.1 Scanning Electron Microscope (SEM)

Scanning Electron Microscope (SEM) adalah salah satu jenis mikroskop


elektron yang menggunakan berkas elektron yang menggambarkan profil permukaan
benda.

Dari hasil pengujian tarik dapat diketahui data kekuatan tarik suatu bahan.
Selain itu, dilakukan juga uji karakterisasi menggunakan SEM (Scanning Eclectron
Microscope) untuk mengetahui morfologi patahan nanokomposit polimer setelah
dilakukan pengujian tarik.

Gambar 33.26 Alat JEOL JSM-T330A SEM

Faktor yang mempengaruhi sifat mekanik nanokomposit adalah ikatan antar


muka (interfacial bonding) antara filler dan matriks. Semakin kuat ikatannya maka
semakin besar kekuatan tarik nanokomposit tersebut. Kekuatan tarik filler yang lebih
rendah dari kekuatan tarik matriks menyebabkan penurunan kekuatan tarik
nanokomposit. Oleh karena itu diperlukan pemilihan yang tepat untuk filler dan
matriks sebelum keduanya dipadukan.

619
Gambar 33.27 Contoh hasil SEM patahan nanokomposit polimer CNT/PE
(Yeyen, Skripsi 2010)

Dari gambar hasil SEM pada nanokomposit polimer CNT/PE dapat


ditunjukkan patahan hasil uji tarik. Dengan pengamatan SEM dapat diketahui
kerusakan yang biasa disebabkan karena adanya bubble. Jika semakin banyak bubble
yang terlihat, maka kekuatan nanokomposit tersebut akan rendah.

620
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Mikrajudin. (2009). Pengantar Nanosains. Bandung: ITB.

Ajayan, dkk. (2003). Nanocomposite Science and Technology. Willey

Bower, I. David. (2002). An IntroductionTo Polymer Physics, New York: Cambridge


University Press.

Callister, D. William. 1996. Material Science and Enginering an Introduction. Sixth Edition.
John Wiley & sons

Cordec. (2008). Polymer. Fredain21. 8 Juli.

Diharjo, Kuncoro. (2006). Kajian Pengaruh Teknik Pembuatan Lubang Terhadap Kekuatan
Tarik Komposit Hibrid Serat Gelas Dan Serat Karung Plastik. Jurusan Teknik Mesin
Fakultas Teknik: Universitas Negeri Sebelas Maret Surakarta.

Firman, Rahmat. (2010). Studi Komposit Epoksi Berpenguat Serat Jute. Skripsi. Program
Studi Fisika: Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung.

Herlan, dkk. Pengolahan Limbah Pendukung Instalasi Pengolahan Limbah Radioaktif. Pusat
Teknologi Limbah Radioaktif.

J-H. Du, J. Bai, H-M. Cheng. (2007). The Present Status and Key Problems of Carbon
Nanotube Based Polymer Composites. eXPRESS Polymer Letters Vol. 1, No. 5.

Pasaribu, Nuraida. (2004). Berbagai Ragam Pemanfaatan Polimer. Digitized USU Digital
Library: Sumatra.

Sastranegara, Azhari. Mengenal Uji Tarik dan Sifat-Sifat Mekanik Logam.

Saptono, Rahmat. (2008). Departemen Metalurgi dan Material. FT UI: Jakarta.

Surdia, Prof. Dr. N. M. (1992). Sifat Fisika Kimia Bahan Polimer. Bandung: Jurusan Kimia
ITB.

621
Subowo, Wiwik S. (1996). Uji dan Karakterisasi Bahan Polimer. Prosiding Pemaparan Hasil
Litbang Ilmu Pengetahuan Teknik. Bandung: Pusat Penelitian dan Pengembangan
Fisika Terapan-LIPI.

Thiebaud, F. and Gelin, J.C. (2009). Multiwalled carbon nanotube/polypropylene composite:


investigation of the melt processing by injection molding and analysis of the resulting
mechanical behavior. Int J Mater Form (2009) Vol. 2 Suppl 1:149-152.

Van Vlack, L.H. dan Sriati Djaprie. (1986). Ilmu dan Teknologi Bahan (Ilmu Logam dan
Bukan Logam). Erlangga: Jakarta.

Wati, dkk. Pemadatan Resin Penukar Ion Bekas Yang Mengandung Limbah Cair
Transuranium Simulasi Dengan Epoksi. Pusat Teknologi Limbah Radioaktif:
BATAN

Yeyen. (2010). Pengaruh Penambahan Variasi Persentasi Berat CNT dan Perlakuan Strain
Hardening terhadap Sifat Mekanik Nanokomposit Polimer CNT/PE yang Dibuat
Dengan Menggunakan Metode Melt-Blending, Skripsi. Program Studi Fisika:
Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung.

Yeo, Y. Leslie. (2006). Electrospinning Carbon Nanotube Polymer Composite Nanofibers.


Journal of Experimental Nanoscience. Vol. 1. No. 2, June 2006, 177-209.

622
Ban 34
Efek Ukuran Pada Sifat Kimia
Nano
Oleh: Ratna Dewi Syarifah

Reaksi kimia adalah suatu reaksi antar senyawa kimia atau unsur kimia yang
melibatkan struktur dari molekul, yang umumnya berkaitan dengan pembentukan dan
pemutusan ikatan kimia. Reaksi kimia berlangsung dengan kecepatan yang berbeda-beda.
Meledaknya petasan, adalah contoh reaksi yang berlangsung dalam waktu singkat. Proses
perkaratan besi, pematangan buah di pohon, dan fosilisasi sisa organisme merupakan
peristiwaperistiwa kimia yang berlangsung sangat lambat.

(a) (b)

Gambar 34.1. (a)Perkaratan besi merupakan contoh reaksi lambat, (b) ledakan
merupakan contoh reaksi cepat

Reaksi kimia selalu berkaitan dengan perubahan dari suatu pereaksi (reaktan) menjadi
hasil reaksi (produk).

Pereaksi (reaktan)  Hasil reaksi (produk)


Laju reaksi dapat dinyatakan sebagai berkurangnya jumlah (konsentrasi) pereaksi per
satuan waktu atau bertambahnya jumlah (konsentrasi) hasil reaksi per satuan waktu.

623
Konsentrasi Produk

Pereaksi

Waktu (t)

Gambar 34.2. Grafik hubungan pereaksi terhadap waktu

Hubungan kuantitatif antara perubahan konsentrasi dengan laju reaksi dinyatakan


dengan persamaan Laju Reaksi atau Hukum Laju Reaksi.
Misalnya untuk reaksi:
pA + qB  rC
Maka bentuk umum persamaan lajunya adalah:
v = k [A] [B]n
m
pers. (1)
Keterangan:
v = laju reaksi (mol/ Liter. s)
k = tetapan laju reaksi
m = orde/tingkat reaksi terhadap A
n = orde/tingkat reaksi terhadap B
[A] = konsentrasi awal A (mol/ Liter)
[B] = konsentrasi awal B (mol/ Liter)

Tingkat reaksi (orde reaksi) tidak sama dengan koefisien reaksi. Orde reaksi hanya
dapat ditentukan melalui percobaan. Tingkat reaksi total adalah jumlah tingkat reaksi untuk
setiap pereaksi.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi laju reaksi, diantaranya adalah luas
permukaan sentuh, katalis, suhu, dan konsentrasi.

1. Luas Permukaan Sentuh


Luas permukaan sentuh memiliki peranan yang sangat penting dalam laju reaksi, sebab
semakin besar luas permukaan bidang sentuh antar partikel, maka tumbukan yang terjadi
semakin banyak, sehingga menyebabkan laju reaksi semakin cepat. Begitu juga, apabila
semakin kecil luas permukaan bidang sentuh, maka semakin kecil tumbukan yang terjadi
antar partikel, sehingga laju reaksi pun semakin kecil. Karakteristik kepingan yang

624
direaksikan juga turut berpengaruh, yaitu semakin halus kepingan itu, maka semakin
cepat waktu yang dibutuhkan untuk bereaksi; sedangkan semakin kasar kepingan itu,
maka semakin lama waktu yang dibutuhkan untuk bereaksi.

2. Katalis
Katalis adalah suatu zat yang mempercepat laju reaksi kimia pada suhu tertentu, tanpa
mengalami perubahan atau terpakai oleh reaksi itu sendiri. Suatu katalis berperan dalam
reaksi tapi bukan sebagai pereaksi ataupun produk. Katalis memungkinkan reaksi
berlangsung lebih cepat atau memungkinkan reaksi pada suhu lebih rendah akibat
perubahan yang dipicunya terhadap pereaksi. Katalis menyediakan suatu jalur pilihan
dengan energi aktivasi yang lebih rendah. Katalis mengurangi energi yang dibutuhkan
untuk berlangsungnya reaksi.

3. Suhu
Suhu juga turut berperan dalam mempengaruhi laju reaksi. Apabila suhu pada suatu
rekasi yang berlangusng dinaikkan, maka menyebabkan partikel semakin aktif bergerak,
sehingga tumbukan yang terjadi semakin sering, menyebabkan laju reaksi semakin besar.
Sebaliknya, apabila suhu diturunkan, maka partikel semakin tak aktif, sehingga laju reaksi
semakin kecil.

4. Konsentrasi
Konsentrasi memiliki peranan yang sangat penting dalam laju reaksi, sebab semakin
besarkonsentrasi pereaksi, maka tumbukan yang terjadi semakin banyak, sehingga
menyebabkan laju reaksi semakin cepat. Begitu juga, apabila semakin kecil konsentrasi
pereaksi, maka semakin kecil tumbukan yang terjadi antar partikel, sehingga laju reaksi
pun semakin kecil.

5. Tekanan
Banyak reaksi yang melibatkan pereaksi dalam wujud gas. Kelajuan dari pereaksi seperti
itu juga dipengaruhi tekanan. Penambahan tekanan dengan memperkecil volume akan
memperbesar konsentrasi, dengan demikian dapat memperbesar laju reaksi.

Dari lima faktor yang mempengaruhi laju reaksi, kami akan membahas 2 faktor yaitu
luas permukaan sentuh dan katalis. Katalis yang akan dibahas adalah mengenai nanokatalis
dan fotokatalis.

34.1 Luas Permukaan Sentuh


Reaktivitas kimia berubah lebih cepat secara drastis ketika luas permukaannya
diperkecil dalam skala nanometer. Reaktivitas suatu partikel sangat bergantung pada
jumlah atom yang ada pada permukaan partikel tersebut. Karena atom-atom inilah
yang akan melakukan kontak langsung dengan material pasangan. Untuk lebih
jelasnya lihat gambar 3 di bawah ini:

625
a

Gambar 34.3. Luas permukaan partikel mempengaruhi kereaktifan partikel

Pada gambar 1 diatas, gambar lingkaran besar dimisalkan sebuah partikel dengan jari-
jari R. Maka luas permukaan partikel tersebut adalah 𝑆𝑆𝑜𝑜 = 4𝜋𝜋𝑅𝑅2 . sedangkan
lingkaran kecil dimisalkan suatu atom yang berada pada permukaan partikel dengan
jari-jari a. Maka luas permukaan atom tersebut adalah 𝑠𝑠 = 𝜋𝜋𝑎𝑎2 .
Dari pernyataan diatas maka dapat dihitung jumlah atom yang menenpati permukaan
partikel adalah
𝑆𝑆𝑜𝑜 4𝑅𝑅 2
𝑁𝑁𝑠𝑠 = 𝑆𝑆 = 𝑎𝑎 2 pers. (2)

Kita juga dapat menghitung berapa jumlah atom yang menempati suatu partikel
4
berjari-jari R. Volume partikel pada gambar diatas adalah 𝑉𝑉𝑜𝑜 = 3 𝜋𝜋𝑅𝑅3 . Dan volume
4
satu atom adalah 𝑣𝑣𝑜𝑜 = 𝜋𝜋𝑎𝑎3 . Dengan demikian jumlah atom yang menempati partikel
3
tersebut adalah
𝑉𝑉𝑜𝑜 𝑅𝑅 3
𝑁𝑁 = 𝑣𝑣 = 𝑎𝑎 3 pers. (3)
𝑜𝑜

Dari persamaan (2) dan persamaan (3) di atas makan dapat kita hitung fraksi atom
yang menempati permukaan partikel, yaitu:

𝑁𝑁𝑠𝑠 4𝑎𝑎
= pers. (4)
𝑁𝑁 𝑅𝑅
Dari persamaan di atas dapat disimpulkan bahwa semakin kecil ukuran partikel maka
akan semakin besar fraksi atom yang menempati permukaan partikel. Hal ini
menyebabkan semakin kecil ukuran partikel maka semakin reaktif tersebut terhadap
reaksi kimia.

626
34.2 Katalis
Katalis adalah suatu zat kimia yang mampu mempercepat proses terjadinya
reaksi tanpa ikut bereaksi. Ada beberapa devisi lain dari katalis yaitu:
1. Katalis mempercepat reaksi yang menurut termodinamika dapat berlangsung
2. Katalis mempercepat reaksi mencapai kesetimbangan, tetapi tidak mengubah
kesetimbangan
3. Untuk reaksi parallel, katalis tertentu hanya mempercepat satu reaksi saja

Katalis membentuk ikatan dengan suatu reaktan (bereaksi membentuk


senyawa-senyawa aktif). Kekuatan ikatan tersebut harus tepat, yang berarti tidak
terlalu lemah agar senyawa antara tidak terlepas menjadi reaktan kembali, dan tidak
terlalu kuat agar senyawa antara tidak bereaksi lebih lanjut menjadi produk. Untuk
suatu reaktan, kekuatan ikatan tersebut dipengaruhi oleh sifat geometri dan sifat
elektronik katalis.
Ada tiga komponen yang ada di dalam katalis yaitu fasa aktif, support
(penyangga) dan promotor.
1. Fasa aktif
Komponen aktif merupakan pusat aktif katalis, yang bertanggung jawab pada
reaksi kimia utama. Pemilihan komponen aktif merupakan tahap pertama dalam
desain katalis, yang mempunyai tugas utama mempercepat dan mengarahkan
reaksi. Contoh fasa aktif (komponen aktif) material logam adalah Fe, Ni, Pt, Pd,
Cu, Ag, Co, dan Rh. Sedangkan contoh fasa aktif untuk material oksida logam
adalah NiO, CuO, ZnO, Cr 2 O 3 , MoO 3 , V 2 O 5 , MoS 2 . Dan contoh fasa aktif untuk
jenis material padatan asam adalah lempung, SiO 2 , Al 2 O 3 , MgO, SiO 2 , Al 2 O 3 ,
zeolit.

2. Support (penyangga)
Komponen penyangga merupakan komponen terbesar dalam katalis (~80%).
Komponen ini berfungsi sebagai penyedia luas permukaan besar bagi komponen
aktif. Fungsinya sebagai bahan penebaran fasa aktif, bertujuan memperluas
permukaan kontak antara fasa aktif dan reaktan, tanpa mengurangi aktivitas
intrinsik fasa aktif.
Pemakaian komponen support diawali dengan gagasan untuk meningkatkan
efektifitas komponen aktif, karena material fasa aktif umumnya mahal. Walaupun
tidak selalu, umumnya support dipilih dari jenis berpori, sehingga dalam
pemilihan support, ukuran dan distribusi pori harus dipertimbangkan untuk
dimanfaatkan. Beberapa padatan memiliki pori berukuran molekul dan seragam,
misalnya zeolit. Sifat tersebut dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan
selektivitas katalis, karena dapat berfungsi sebagai saringan molekul reaktan dan
produk.

3. Promotor

627
Komponen promotor ditambahkan pada katalis dengan maksud meningkatkan
kinerja katalis (aktivitas, selektivitas, dan stabilitas). Promotor umumnya tidak
aktif, tetapi jika ditambahkan pada katalis dapat memperbaiki kinerja katalis (ada
interaksi antara promotor dengan komponen lain dalam katalis).

Katalis dibedakan menjadi 2 jenis yaitu katalis homogen dan katalis


heterogen. Katalis homogen merupakan katalis yang memiliki fasa yang sama
dengan reaktan. Keuntungan yang diperoleh dari katalis homogen adlah aktif, selektif,
mudah dipelajari, dan mudah dimodifikasi. Sedangkan katalis heterogen merupakan
katalis yang fasanya tidak sama dengan fasa campuran reaksi. Umumnya katalis
heterogen merupakan campuran reaksi gas dengan katalis padat. Hal ini dimaksudkan
keduanya dapat dipisahkan, dan tahan terhadap temperatur tinggi. Dibawah ini adalah
tabel perbedaan katalis homogen dan heterogen.

Tabel 34.1. Perbedaan katalis homogen dan heterogen


Sifat katalis Homogen Heterogen
Pusat aktif Seluruh atom logam Hanya atom dipermukaan
Konsentrasi Rendah Tinggi
Selektivitas Tinggi Rendah
Difusi Umumnya tidak terjadi Terjadi
Kondisi reaksi Lunak (50-2000C) Lebih keras (>2500C)
Penerapan Terbatas Luas
Kehilangan aktivitas Akibat reaksi irreversibel Sintering, keracunan
dengan produk, keracunan
Struktur/stoikiometri Terdefinisi Tidak terdefinisi
Kemungkinan Tinggi Rendah
modifikasi
Stabilitas termal Rendah Tinggi
Pemisahan katalis Sukar (dekomposisi, Mudah (unggun tetap,
ekstraksi, distilasi) suspensi: filtrasi)
Daur ulang katalis Mungkin (sukar) Mudah
Biaya kehilangan Tinggi Rendah
katalis

34.2.1 Sifat Kinetik Katalis


Sifat kinetik reaksi berkatalis meliputi mekanisme reaksi, yang perilakunya
ditinjau dengan menggunakan persamaan laju reaksi.

𝐸𝐸𝐸𝐸
𝑟𝑟 = 𝑍𝑍𝐶𝐶𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟 𝐸𝐸𝐸𝐸𝐸𝐸 �− 𝑅𝑅𝑅𝑅 � 𝑓𝑓0 pers. (5)

Keterangan : r = laju reaksi


Z = jumlah tumbukan
C = konsentrasi reaktan

628
𝐸𝐸𝐸𝐸
𝐸𝐸𝐸𝐸𝐸𝐸 �− � = fraksi (tumbukan) dengan energi ≥ Ea
𝑅𝑅𝑅𝑅
𝑓𝑓0 = fraksi (tumbukan) dengan orientasi yang tepat

Dari persamaan diatas menyatakan reaksi dapat dipercepat dengan


meningkatkan f o dan penurunan Ea. Hal tersebut dapat dilakukan dengan lokalisasi
katalis. Dengan meningkatkan konsentrasi reaktan (dipermukaan katalis), dapat
meningkatkan ketepatan orientasi (f o ). Katalis juga berinteraksi dengan sedikitnya
satu reaktan membentuk senyawa aktif, sehingga menurunkan Ea.

34.2.1 Sifat Termodinamika Katalis


Sifat termodinamik reaksi berkatalis dikuantifikasikan dengan perubahan
energi bebas Gibbs reaksi (∆G) dan perubahan entalpi reaksi (∆H). Perubahan
energi bebas Gibbs merupakan suatu ungkapan konversi kesetimbangan (X maks ),
sebagai salah satu dasar pertimbangan kelayakan reaksi, sebagai penentuan target
dan kondisi reaksi, dan menentukan reversibilitas reaksi. Perubahan energi bebas
Gibbs standar pada temperatur T dapat ditentukan dengan formula:

∆𝐺𝐺𝑇𝑇𝑜𝑜 = −𝑅𝑅𝑅𝑅 𝑙𝑙𝑙𝑙 𝐾𝐾𝑎𝑎 pers. (6)

Keterangan: R = tetapan gas


K a = harga tetapan kesetimbangan reaksi

Entalpi reaksi merupakan kalor yang dibebaskan atau diserap oleh reaksi. Jika
reaksi tersebut menghasilkan kalor (∆H bernilai negatif) maka reaksi dikatakan
eksoterm. Sedangkan jika reaksi tersebut membutuhkan kalor (∆H bernilai positif)
maka reaksi dikatakan endoterm. Hubungan antara entalpi suatu reaksi terhadap
temperatur dituliskan dengan persamaan van’t Hoff:

𝛿𝛿(ln 𝐾𝐾) ∆𝐻𝐻𝑇𝑇𝑜𝑜


� 𝛿𝛿𝛿𝛿 � = − 𝑅𝑅𝑇𝑇 2 pers. (7)
𝑃𝑃

Baik perubahan energi bebas Gibbs maupun perubahan entalpi reaksi,


keduanya berperan penting untuk memprediksi berlangsungnya suatu reaksi.
Dengan luas permukaan katalis yang besar, reaksi pembentukan produk dari
reaktan akan lebih cepat. Luas permukaan katalis yang besar dapat diciptakan dengan
membuat ukuran katalis dalam skala nanometer.

629
34.3 Nanokatalis
Nanokatalis dikembangkan sebagai pengganti katalis dalam mempercepat
reaksi kimia karena keunggulannya mengkatalisis suatu reaksi yang lebih cepat dari
katalis. Nanokatalis adalah katalis yang berukuran 1-100 nm. Berkurangnya dimensi
katalis menjadi ukuran nano tentu akan meningkatkan luas permukaan katalis dan
konsekuensinya meningkatkan aktivitas katalis dalam reaksi tertentu.
Ada 2 cara pembuatan nanokatalis yaitu cara top-down dan bottom-up.
1. Top-down
Cara pembuatan katalis dengan cara top-down adalah pembuatan katalis
berukuran nano dari bahan berukuran besar lalu diperkecil dengan cara mekanik
(size reduction).
2. Bottom-up
Cara pembuatan katalis yang kedua adalah bottom-up. Cara bottom-up
yaitu cara pembuatan katalis berukuran nano dari reaksi kimia dan kristalisasi atau
proses atau proses presipitasi yang umumnya dipengaruhi oleh kondisi pH.
Ada tiga jenis metode bottom-up yaitu metode simple heating, metode
penumbuhan dalam zeolit, dan metode penumbuhan dalam silika. Tiga cara ini
telah digunakan dalam penelitian Herlinah 2010, yang berjudul nanokatalis
CuO/ZnO/Al 2 O 3 untuk mengubah metanol menjadi gas hidrogen untuk bahan
bakar kendaraan fuel cell.
Nanokatalis CuO/ZnO/Al 2 O 3 adalah suatu katalis yang digunakan untuk
mengubah methanol menjadi hydrogen melalui methanol reforming. Pada
mulanya katalis ini dibuat dengan menggunakan Kristal Cu(NO 3 ) 2 .3H2 O;
Zn(NO 3 ) 2 .4H2 O; Al(NO 3 ) 2 .9H 2 O dengan perbandingan komposisi tertentu.
Katalis ini memiliki ukuran yang kecil dan temperature proses yang rendah.
Dalam penelitian yang dilakukan Liherninah, dia membahas tentang
sintesis nanokatalis CuO/ZnO/Al 2 O 3 dengan menggunakan metode simple
heating, penumbuhan dalam zeolit, dan penumbuhan dalam silika. Disini herlinah
ingin mendapatkan bahwa dengan temperature pemanasan dan waktu pemanasan
yang rendah diharapkan dapat menghasilkan katalis CuO/ZnO/Al 2 O 3 dengan
ukuran butir yang kecil.

34.3.1 Metode Simple Heating


Metode ini adalah salah satu metode sintesis nanopartikel menggunakan media
continue. Akar pemikiran metoda ini adalah nanopartikel yang tidak menggumpal
dapat disintesis melalui reaksi kimia pada fasa kedua dari media kontinu, selama
kehadiran media continue tersebut dapat dipertahankan hingga akhir proses. Dengan
demikian, nanopartikel dapat diperoleh ketika media kontinu tersebut dihilangkan di
ujung proses fotosintesis.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Liherninah dkk, media kontinu yang
digunakan adalah larutan poly ethilen glikol. Untuk mensintesis katalis, seluruh
prekursor katalis dicampur dan direaksikan dengan larutan polimer tersebut.

630
Kemudian untuk mendekomposisi polimer, seluruh larutan tersebut dipanaskan
hingga suhu tertentu. Setelah polimer dihilangkan, maka nanopartikel yang saling
terpisahkan akan terbentuk. Flowchart (diagram alir) sintesis katalis dengan metode
simple heating dapat dilihat pada gambar dibawah ini.

Cu(NO3)2.6H2O + H2O
Zn(NO3)2.6H2O + H2O Polietilen glikol
Al(NO3)2.6H2O + H2O Mn = 20.000

Pengadukan dan
pemanasan pada
100oC

Pembakaran pada
suhu > 500oC

Nanopartikel

Gambar 34.4. Flowchart sintesis katalis dengan metode simple heating

Herlinah, dkk membuat beberapa sampel dalam pembuatan katalis dengan


metode simple heating. Komposisi sampel yang dibuatnya ada pada tabel di bawah
ini.
Tabel 34.2. Komposisi larutan garam nitrat setiap sampel katalis
Cu(NO 3 ) 2 .3H 2 O Zn(NO 3 ) 2 .4H 2 O Al(NO 3 ) 2 .9H 2 O PEG
(gram) (gram) (gram) (gram)
Sampel 1 3,435 2,975 3,759 30
Sampel 2 1,715 2,543 1,875 15
Sampel 3 3,435 2,975 3,759 30
Sampel 4 3,435 2,975 3,759 30
Sampel 5 1,715 2,543 1,875 15

Setelah membuat lima sampel dengan metode simple heating, gambar dibawah
ini adalah hasil pembuatan nanokatalis dengan metode simple heating. Yang

631
selanjutnya sampel-sampel ini akan dikarakterisasi untuk mengetahui ukuran dari
nanokatalis yang telah dibuat.

Gambar 34.5. Contoh sampel katalis dengan simple heating

34.3.2 Metode Penumbuhan dalam Zeolit


Zeolit dikenal sebagai material aluminosilikat dan material mikroporos.
Disebut material mikroporos karena memiliki poros lebih kecil dari 50nm.
Penggunaan metode ini untuk sintesis katalis didasarkan pada ukuran poros zeolit
yang kurang dari 50 nm. Dengan perendaman yang relatif lama (24 jam), diharapkan
material prekursor memasuki (terserap) ke dalam sela-sela poros zeolit. Untuk
menghilangkan sisa-sisa nitrat dan air, rendaman tersebut kemudian dipanaskan pada
furnace. Seperti pada metode simple heating, setting temperatur dilakukan secara
linear, dimulai dari temperatur ruangan sampai temperatur yang diinginkan (450-700
oC). Selanjutnya, temperatur akan turun dengan normal secara eksponensial selama
2-3 jam (Liherlinah, 2009).

Gambar 34.6. Struktur molekuler mikroporos zeolit

632
Flowchart (diagram alir) sintesis katalis dengan metode penumbuhan dalam
zeolit dapat dilihat pada gambar dibawah ini.

Cu(NO3)2.6H2O + H2O
Zn(NO3)2.6H2O + H2O Zeolit kasar
Al(NO3)2.6H2O + H2O

Perendaman selama
24 jam

Pembakaran pada
suhu > 500oC

Nanopartikel

Gambar 34.7. Flowchart sintesis katalis dengan metode penumbuhan dalam zeolit
(Liherlinah, 2009)

Pada metode penumbuhan dalam zeolit ini Liherlinah hanya membuat 1


sampel, yang selanjutnya akan disebut Sampel 6.
Tabel 34.3. Komposisi larutan prekursor sampel katalis
Cu(NO 3 ) 2 .3H 2 O Zn(NO 3 ) 2 .4H 2 O Al(NO 3 ) 2 .9H 2 O Zeolit
(gram) (gram) (gram) (gram)
Sampel 6 5,4 7,776 3,676 10

633
Gambar dibawah ini adalah hasil pembuatan nanokatalis dengan metode
penumbuhan dalam zeolit.

Gambar 34.8. Contoh sampel katalis dengan zeolit

34.3.3 Metode Penumbuhan dalam Silika


Silika yang digunakan dalam metode penumbuhan dalam silika adalah silika
dari glasswool. Glasswool terdiri dari 90% silika amorf. Penggunaan metode ini
untuk mensintesis nanokatalis didasarkan pada tingginya temperatur leleh glasswool
(sekitar 2000 oC). Dengan menggunakan glasswool dan polietilen glikol diharapkan
partikel nanokatalis yang terbentuk akan lebih halus dan lebih kecil dari dua metode
yang digunakan di atas (Liherlinah, 2009).

Cu(NO3)2.6H2O + H2O Polietilen glikol


Zn(NO3)2.6H2O + H2O Mn=20.000 +
Al(NO3)2.6H2O + H2O glasswoll

Pengadukan dan
pemanasan pada
100oC

Pembakaran pada
suhu > 500oC

Nanopartikel
634
Gambar 34.9. Flowchart sintesis katalis dengan metode penumbuhan dalam silika

Pada metode penumbuhan dalam silika ini Liherlinah hanya membuat 1


sampel, yang selanjutnya akan disebut Sampel 7.

Tabel 34.4. Komposisi larutan garam nitrat setiap sampel katalis


Cu(NO3)2.3H2O Zn(NO3)2.4H2O Al(NO3)2.9H2O glasswool
(gram) (gram) (gram) (gram)
Sampel 7 5,4 5,739 3,676 4,333

Gambar dibawah ini adalah hasil pembuatan nanokatalis dengan metode


penumbuhan dalam silika.

Gambar 34.10. Contoh sampel katalis dengan silika

Setelah membuat tujuh sampel dari tiga metode pembuatan nanokatalis,


selanjutnya sampel-sampel ini akan dikarakterisasi untuk mengetahui ukuran dari
nanokatalis yang telah dibuat.

34.3.3 Karakterisasi Katalis

34.3.3.1 Karakterisasi Ukuran Partikel dengan SEM

Karakterisasi dengan SEM (Scanning Elektron Microscopy) bertujuan untuk


melihat ukuran partikel pada katalis. SEM memiliki perbesaran 300.000 kali
mikroskop optik, sehinggan dengan menggunakan SEM partikel yang berukuran 10-9
meter dapat terlihat. Semua sampel tersebut dikarakterisasi dengan menggunakan
SEM. Gambar dibawah ini adalah hasil karakterisasi dengan SEM dan hasil fitting
lognormal dalam penelitian yang dilakukan oleh Herlinah.

635
Hasil SEM sampel 1, 450oC dan 30 menit Hasil SEM sampel 2, 450oC dan 60 menit

Hasil SEM sampel 3, 450oC dan 60 menit Hasil SEM sampel 4, 600oC dan 30 menit

636
Hasil SEM sampel 5, 600oC dan 60 menit Hasil SEM sampel 6, 600oC dan 30 menit
Gambar 34.11. Hasil SEM semua sampel (Liherlinah, 2009)

Pada gambar dibawah ini ditunjukkan hasil fitting lognormal dari masing-masing
sampel.

Hasil fitting lognormal sampel 1 Hasil fitting lognormal sampel 2

Hasil fitting lognormal sampel 3 Hasil fitting lognormal sampel 4

Hasil fitting lognormal sampel 5 Hasil fitting lognormal sampel 7

637
Gambar 34.12. Hasil fitting log normal masing-masing sampel katalis (Liherlinah,
2009)

Untuk mengetahui pengaruh temperatur terhadap morfologi kristal


ditunjukkan dengan pola SEM. Pengaruh temperatur dapat menyebabkan fenomena
berubahnya ukuran partikel yang ditunjukkan dalam tabel dibawah ini.
Tabel 34.5. Pengaruh partikel terhadap ukuran partikel
Katalis Temperatur Durasi waktu Ukuran partikel
pemanasan (oC) rata-rata (nm)
Sampel 1 450oC 30 menit 69,414
Sampel 2 450oC 60 menit 44,523
Sampel 3 500oC 30 menit 41,113
Sampel 4 600oC 30 menit 47,879
Sampel 5 600oC 60 menit 39,312

Dari tabel dapat dilihat bahwa ukuran partikel semakin kecil dengan
meningkatnya temperatur pemanasan. Sampel dengan durasi waktu 60 menit,
menunjukkan bahwa semakin tinggi temperatur semakin besar ukuran kristallitas.
Dengan ukuran kristallites yang besar, luas permukaan semakin besar, sehingga
selektivitas semakin tinggi. Dengan tingginya selektivitas maka kinerja katalis
semakin tinggi.
Hasil SEM yang dilakukan Herlinah menunjukkan bahwa semakin tinggi
temperatur pembuatanndan semakin lama waktu pemanasan maka semakin kecil
ukuran partikel.

34.4 Fotokatalisis
Katalis yang bekerja di bawah pengaruh cahaya disebut fotokatalis.
Fotokatalis pertama ditemukan pada tahun 1972 oleh A. Fujishima dan K.
Honda. Fotokatalisis merupakan reaksi kimia yang melibatkan foton sebagai
sumber energi dan katalis padat. Dimana secara umum dalam purifikasi
(penjernihan) ini melibatkan pasangan elektron (e-) dan hole (h+).

638
matahari

O2 -
sumber foton
e

TiO
2 polutan
organik +
h+
H2 O CO2

OH*
H2 O

Gambar 34.13. Skematik fotokatalisis


Jika suatu material semikonduktor dikenai cahaya (hv) dengan energi yang
sesuai, maka akan terjadi peristiwa eksitasi elektron dari pita valensi ke pita konduksi.
Pada kondisi inilah terbentuk hole (h+) pada pita valensi dan elektron (e-) pada pita
konduksi. Dalam kondisi ini elektron dan hole bergerak sampai ke permukaan
semikonduktor. Akan tetapi tidak semua elektron dan hole mampu mencapai
permukaan, sebagian ada yang berekombinasi kembali. Hal ini dipengaruhi oleh
intensitas foton tersebut.
Hole (h+) yang dihasilkan memiliki potensial oksidasi yang sangat kuat. Sifat
inilah yang mampu membuat dia memecah molekul air dengan menarik elektron dari
molekul air tersebut menjadi OH-. Pada kondisi ini, OH- menjadi tidak stabil dan
menjadi gugus hidroksil (OH*). Untuk menstabilkan dirinya kembali, maka gugus
hidroksil harus mengambil elektron dari luar lingkungan sekitarnya dengan syarat,
potensial oksidasi yang dimiliki lebih kecil dari gugus hidroksil. Potensial oksidasi
OH* sekitar 2,8 eV, harga ini lebih besar dari potensial oksidasi zat organik
kebanyakan. Sehingga gugus OH* mampu menarik elektron dari senyawa-senyawa
yang ada di sekitarnya. Peristiwa ini menyebabkan senyawa organik terdekomposisi
menjadi CO 2 dan H2 O. Sementara pada permukaan semikonduktor elektron akan
bereaksi dengan O 2 dan berbentuk anionsuperoksida yang memiliki keaktifan yang

639
sangat tinggi dalam memecahkan senyawa organik. Kondisi ini menyebabkan
fotokatalis dapat membunuh sel-sel bakteria dan mendekomposisi sel bakteria yang
diakibatkan oleh pencemar organik tersebut.
Salah satu contoh katalis yang sering digunakan pada proses fotokatalis adalah
Titanium oksida. Hal ini disebabkan karena pita valensi dari titanium dioksida terdiri
atas orbit 2p dari oksigen, disamping itu pita konduksi berada pada orbit 3d dari
titanium (Ti). Dalam semikonduktor yang memiliki lebar pita celah yang besar,
elektron yang berada pada pita valensi tidak dapat melompat menuju pita konduksi.
Jika terdapat energi eksternal pada system tersebut, elektron yang berada pada pita
valensi dapat melompat menuju pita konduksi yang selanjutnya dinamakan proses
eksitasi. Dan tercipta sejumlah hole (hole tertinggal dari sejumlah elektron yang
pindah menuju pita konduksi) yang jumlahnya setara dengan elektron yang
tereksitasi. Proses ini ekuivalen dengan pergerakan elektron dari kondisi terikat
(bonding orbital) menuju kondisi bebas (antibonding orbital). Pada umumnya,
keadaan fotoeksitasi (eksitasi yang disebabkan oleh adanya intervensi cahaya) sangat
tidak stabil. Lain halnya dengan bahan semikonduktor titanium dioksida yang
memiliki keadaan fotoeksitasi yang stabil. Hal ini membuat semikonduktor titanium
oksida memiliki sifat fotokatalis yang baik (Haruno, 2010).
Osi Arutanti pada tahun 2010 telah melakukan penelitian tentang fotokatalis
yang berjudul “Pelapisan Permukaan HDPE (High Density Polyethylene) dengan
Titanium Dioksida (TiO 2 ) Anatase menggunakan metode Cylinder Milling dan
Aplikasinya sebagai fotokatalis”. Dia menggunakan TiO 2 (Titanium Dioksida)
dalam penelitiannya. Langkah-langkah eksperimennya adalah pelapisan TiO 2
(Titanium Dioksida) anatase serbuk pada permukaan HDPE (High Density
Polyethylene). Pelapisan ini dilakukan dengan berbagai variasi suhu. Setelah
pelapisan dalam permukaan HDPE, maka hasilnya akan diamati menggunakan
mikroskop dengan perbesaran 10x. HDPE yang siap pakai akan diamati dicoba untuk
digunakan sebagai fotokatalis yang akan diberikan pada dua jenis sampel yaitu limbah
selokan Leuwi gajah, laturan wanteks merah dan biru yang dibuat sendiri. Tapi disini
kami hanya akan membahas sampel limbah selokan leuwi gajah dan larutan wanteks
biru.
Semua sampel diperlakukan sama, yaitu penjemuran di bawah sinar matahari
selama 9 hari. Dengan kondisi selama malam hari tidak diberi pencahayaan apapun.
1. Penjernihan limbah selokan leuwi gajah
Pada penjernihan ini ada beberapa variasi yang dilakukan. Data variasi dapat
dilihat sebagai berikut:
Tabel 34.6. Variasi perlakuan pada limbah
Gelas Banyaknya limbah Banyaknya HDPE dan TiO 2
L 150 ml 0 gram
C 150 ml 15,023 gram
c 150 ml 15, 030 gram

2. Penjernihan limbah wanteks biru


Hal yang pertama dilakukan adalah membuat larutan wanteks dengan cara sebagai
berikut:
Pembuatan larutan wanteks X

640
0,2 gram wanteks + 100 ml aquades = larutan X

Tabel 34.7. Variasi perlakuan pada larutan wanteks


Percobaan Warna Banyak Aquades Banyaknya
ke- wanteks larutan X HDPE dan TiO 2
1 Biru 10 ml 300 ml 15,013 gram
2 A 12,5 ml 150 ml 10,032 gram
3 A 12,5 ml 150 ml 10,028 gram
4 B 7,5 ml 150 ml 10,024 gram
5 B 7,5 ml 150 ml 10,035 gram

Untuk membuktikan bahwa pelapisan permukaan HDPE oleh TiO 2 anatase


serbuk tidak mempengaruhi pada fungsinya sebagai katalis, maka hasil tersebut
digunakan untuk menjernihkan limbah selokan leuwi gajah dan larutan wanteks.

1. Limbah selokan leuwi gajah

Gambar 34.14. Proses purifikasi pada 150 ml limbah leuwi gajah dengan 15 gram
HDPE

2. Larutan wanteks

641
Gambar 34.15. 10 ml larutan X + 300 ml aquades + 15,013 gram HDPE

Gambar 34.16. Gelas A dan a (12,5 ml larutan X + 150 aquadesh + 10 gram


HDPE)

Gambar 34.17. Gelas B dan b (7,5 ml lar. X + 150 ml aquadesh + 10 gram


HDPE)

642
Hasil proses fotokatalis selama 9 hari tersebut dilakukan uji lab. Ada beberapa
karakteristik yang diamati pada saat sebelum dan setelah dilakukan fotokatalis pada
setiap limbah yaitu mengenai PH, kekeruhan dan warna.
1. PH
Perubahan PH hasil fotokatalisis yang ditunjukkan pada tabel dibawah ini,
perubahannya tidak begitu signifikan. Hal ini dikarenakan PH awal larutan, baik
itu limbah selokan maupun larutan wanteks hanya berkisar 7-9. Perubahan PH pda
fotokatalisis ini dikarenakan gugus OH- yang berlimpah berubah menjadi gugus
yang tidak stabil dan berubah menjadi gugus hidroksil (OH*). Semakin banyak
OH-, maka makin banyak gugus hidroksil yang mampu mengubah senyawa
organik beracun menjadi senyawa organik sederhana (CO 2 dan H2 O). Perubahan
PH hasil fotokatalisis ditunjukkan oleh tabel dibawah ini.

Tabel 34.8. Perubahan PH selama 9 hari


Gelas Hari ke-
1 2 3 4 5 6 7 8 9
c 8,64 8,08 8,33 8,33 8,40 8,15 8,31 8,26 8,12
C 8,66 7,72 8,34 8,33 8,19 7,88 8,08 8,09 8,05
L 8,77 7,46 8,65 8,58 8,61 8,47 8,61 8,44 7,68 PH
a 7,86 8,06 8,34 7,85 7,84 7,29 7,44 7,91 7,35
A 7,76 8,35 8,30 7,74 8,22 7,30 7,58 7,91 7,35
b 7,99 7,89 8,35 7,72 7,75 7,18 7,47 7,66 6,67
B 7,76 7,94 8,45 7,71 7,80 7,96 7,99 7,81 7,41
M 9 8,40 8,50 8,28 8,18 8,06 8,12 8,55 7,48

2. Kekeruhan dan warna


Secara kasat mata, keberhasilan fotokatalisis dapat dilihat dari perubahan warna
larutan. Akan tetapi apa yang terlihat tidak menjadi jaminan bahwa hasil
fotokatalisis tersebut berhasil dengan baik. Oleh karena itu, untuk keakuratan
dilakukan pengukuran warna dan kekeruhan dengan menggunakan nanocolor
(MN 5180 Duren Postfach 307).

Tabel 34.9. Warna dan kekeruhan limbah sebelum dan setelah fotokatalis

643
Warna 0 400
Kekeruhan 0 120

Warna 130 90 140


Kekeruhan 65 20 40

Warna 430 60 30
Kekeruhan 120 14 14

644
Warna 1400 300
Kekeruhan 160 72

Berdasarkan data air guna, syarat warna dan kekeruhan yang dimiliki berkisar
0-15mg/mL. Akan tetapi, berdasarkan beberapa eksperimen yang telah dilakukan
angka tersebut hanya didapat pada wanteks biru. Purifikasi wantek biru dilakukan
pada musim kemarau. Dengan intensitas cahaya yang maksimal setiap harinya, maka
dalam waktu 4 hari larutan tersebut menjadi jernih. Purifikasi limbah selokan
dilakukan pada saat musim hujan sehingga hasilnya tidak maksimal.
Dari hasil percobaan fotokatalisis yang dilakukan oleh Osi Arutanti, dapat
dilihat bahwa jumlah TiO 2 , intensitas sinar dan jumlah senyawa organik yang terlarut,
mempengaruhi kecepatan dan proses purifikasi. Titanium dioksida yang dilapiskan
pada permukaan HDPE tidak mengurangi kemampuannya sebagai fotokatalis. Jumlah
TiO 2 yang baik untuk meningkatkan kualitas fotokatalis maksimum 200mg/L. Lebih
dari itu, kualitas fotokatalis semakin menurun. Hal ini dikarenakan penambahan TiO 2
yang terus menerus menyebabkan permukaan area menjadi jenuh (Arutanti, 2010).

645
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Mikrajudin. 2009. Pengantar Nanosains. Bandung: ITB.
Arutanti, Osi. 2010. Pelapisan Permukaan HDPE (High Density Polyethylene) dengan
Titanium Dioksida (TiO 2 ) Anatase menggunakan metode Cylinder Milling dan
Aplikasinya sebagai fotokatalis. Bandung: Institut Teknologi Bandung
Arutanti, Osi. 2009. Penjernihan Air dari Pencemar Organik dengan Proses Fotokatalis
pada Permukaan Titanium Dioksida (TiO 2 ). Bandung: Jurnal Nanosains dan
Teknologi (2009)
Iskandar, Suhendra. 2010. Nanokatalis sebagai pengganti katalis. Makassar : Universitas
Hasanudin
Liherninah, dkk. 2009. Sintesis Nanokatalis CuO/ZnO/Al 2 O 3 untuk mengubah Methanol
menjadi Hidrogen untuk Bahan Bakar Kendaraan Fuel Cells. Bandung: Jurnal
Nanosains dan Teknologi (2009)
Liherlinah. 2009. Sintesis Nanokatalis CuO/ZnO/Al 2 O 3 untuk mengubah Methanol
menjadi Hidrogen. Bandung : Institut Teknologi Bandung.
Praserthdam, Piyasan. Some Applications of nanomaterials for Catalyst and Catalyst
support. Bangkok: Chulalongkorn University (http://www3.ntu.edu.sg/SCBE/
cbe/apcat4/abstracts/piyasan.pdf diakses tanggal 24 Oktober 2011)
Subiyanto, Haruno. 2010. Penjernihan air model limbah tekstil cair menggunakan TiO 2
Fotokatalis yang dilapisi pada bahan serat transparan. Bandung : Institut Teknologi
Bandung

646
Bab 35
Nanofluida
Oleh: Shanty Merissa

35.1 Pengertian Nanofluida


Perpindahan kalor adalah proses yang sangat penting di berbagai
industry. Sudah menjadi sifatnya fluida konvensional yang digunakan untuk
memindahkan kalor buang memiliki konduktivitas termal yang rendah. Hal ini
menjadi keterbatasan industri untuk meningkatkan efisensi.

Sudah lebih ari seabad sejak Maxwell (1881), para peneliti dan insinyur
terus berusaha mengatasi keterbatasan ini dengan mendispersikan partikel
berukuran mili ataupun mikro ke dalam fluida. Tetapi tetap saja partikel
tersebut masih terlalu besar untuk dapat berkombinasi dengan fluida dalam
meningkatkan konduktivitas termal secara signifikan. Lagipula, bila dialirkan
ke dalam pipa kecil, fluida tersebut akan menyumbat alirannya.

Konsep dan kemunculan dari nanofluida sangat berkaitan erat dengan


trend miniaturasi dan teknologi nano itu sendiri. Saat ini banyak dijumpai
devices elektronik berdimensi kecil yang memiliki kemampuan luar biasa,
misalnya chip computer, dengan ukuran yang kecil tetapi mempunyai
kecepatan proses yang luar biasa. Dari segi dimensi sangatlah menguntungkan
memiliki devices dalam ukuran kecil karena dapat menghemat biaya dan ruang,
akan tetapi tentunya peralatan tersebut akan menghasilkan fluks kalor Φ yang
cukup tinggi. Fluks panas diartikan sebagai:

𝑄𝑄
Φ~ 𝐴𝐴 (35.1)

dimana: Q = jumlah kalor/ panas disipasi yang dilepaskan


A = luas permukaan

Dari persamaan terlihat bahwa semakin kecil devices, fluks panas yang
dihasilkan akan semakin besar. Keadaan seperti ini tentunya tidak disukai oleh
pengguna devices elektronik. Apalagi untuk skala industri yang mengharuskan

647
peralatan industri dioperasikan sepanjang hari tanpa henti. Oleh karena itu
sistem pendinginan yang baik dan tepat sangatlah dibutuhkan agar kestabilan
fungsi dari peralatan tersebut terjamin. Sistem pendingin yang baik adalah siste
pendingin yang memiliki konduktivitas termal yang tinggi, sehingga mampu
mengantarkan kalor dengan baik.

Udara, air, atau bahkan fluida kerja konvensional yang biasa


dipergunakan untuk proses pendinginan kuranglah efektif karena koefisien
perpindahan kalornya kurang memadai, fluida tersebut bisa dimanfaatkan
apabila laju aliran fluidanya ditingkatkan, hal ini tidak efisien karena
membutuhkan tempat penyimpanan untuk fluida kerja yang besar sedangkan
peralatan yang akan didinginkan dimensinya cukup kecil.

Dari perkembangan teknologi yang ada, ditawarkan suatu fluida kerja


baru yakni “Nano fluida”. Fluida ini diperkirakan dapat digunakan sebagai
fluida kerja alternatif untuk menggantikan fluida kerja konvensional tersebut.
Nanofluida adalah suatu campuran atau suspensi antara fluida cair (yang
disebut dengan fluida dasar) dengan partikel solid yang mempunyai ukuran
diameter dalam orde nanometer atau 10−9 m. Secara teoritik campuran ini
memiliki termal konduktivitas yang lebih baik daripada fluida dasar
pencampurnya, karena partikel solid memiliki termal konduktivitas yang lebih
tinggi dari fluida dasar pencampurnya. Selain daripada itu efek gerak Brown
diperkirakan akan terjadi pada partikel-partikel solid yang berukuran sangat
kecil di dalam fluida dasarnya, hal ini yang menyebabkan pengurangan
sedimentasi yang terbentuk karena nanopartikel tersebut akan melayang-
melayang di dalam fluida dasar tersebut karena efek gerak Brown ini.
Kemudian, karena tidak terjadinya sedimentasi maka kemungkinan terjadinya
penyumbatan (clogging) sangat kecil sekali.

Fluida Konvensional Nano Partikel Nanofluid

Gambar 35.1 Nanofluida adalah Campuran Fluida Konvensional dan


Nanopartikel

Untuk dijadikan sebagai fluida alternatif tentunya nanofluida perlu diuji


sifat-sifat termalnya, seperti termal konduktivitas, termal difusivitas, lalu
viskositasnya dan yang paling penting adalah koefisien perpindahan kalor

648
konveksinya. Selain daripada itu proses pembuatan nanofluida perlu dibahas
lebih lanjut.

Coolant

H2O
(air) Bio
Nano Fluid
Particles

Emulsion Oil

Gambar 35.2 Nanofluid merupakan Kombinasi Nanopartikel dan Fluida

Teknik pendispersian partikel dengan ukuran millimeter atau


micrometer telah dilakukan lebih dari 100 tahun yang lalu, namun orang
kurang tertarik untuk mengaplikasikannya karena tersandung beberapa masalah
seperti sedimentasi, erosi, fouling dan penurunan tekanan. Kemudian dilakukan
inovasi dengan menggunakan fluida pemindah kalor dengan menggunakan
partikel berukuran nano yang disebut nanofluida. Pemilihan partikel nano
dikarenakan sifat ketidak massifannya. Sehingga kemungkinan untuk
mengendap sangat kecil sekali. Gerak Brown yang kontinu membuat partikel
nano tidak diberi kesempatan untuk diam dan mengendap. Selain daripada itu,
dengat sifat konduktivitasnya sebagai bahan metal yang memiliki nilai lebih
jika dibandingkan dengan fluida dasarnya, membuat campuran ini memiliki
sifat konduktivitas yang tinggi secara teori.

35.2 Pembuatan Nanofluida


Cairan yang mengandung partikel dengan dimensi nanometer disebut
nanofluida. Partikel nano yang dipakai dalam beberapa literatur antara lain
Alumunium Oksida (Al2 O3 ), Tembaga (Cu), Tembaga Oksida (CuO), Emas
(Au), Perak (Ag), partikel nano silica dan carbon nanotube (CNT). Fluida dasar
yang digunakan adalah air, minyak, aseton, descene dan ethylene glycol.
Pemilihan partikel nano dan fluida dasarnya disesuaikan dengan kebutuhan,
dengan memperhatikan sifat-sifat dari masing-masingnya.

649
Nanofluida memiliki properties yang unik sehingga berpotensi
dikembangkan untuk pemakaian dalam industri. Nanofluida mempunyai sifat-
sifat yang tergantung pada ukuran partikel yang didispersikan dan fraksi
volume partikel yang didispersikan dalam fluida dasar. Selain itu nanopartikel
memiliki struktur permukaan yang unik, yaitu memiliki sekitar 20% dari atom-
atomnya berada didekat permukaan, yang memungkinkanya untuk menyerap
dan memindahkan panas dengan lebih efisien. Luas permukaan spesifik dari
nanfluida lebih besar dari mikropartikel. Sesuai dengan persamaan :

4𝑎𝑎
𝑓𝑓 = 𝑅𝑅
(35.2)
Dimana:
f = Fraksi atom yang menempati permukaan partikel
A = jari-jari efektif atom
R = jari-jari partikel
Dengan ukurannya yang begitu kecil, maka partikel nano memiliki
keistimewaan seperti:
• Mampu tersuspensi lebih lama dalam fluida, dan jika ditambahakan
surfactant atau stabilizer, maka akan mampu bertahan terus menerus
kesuspensiannya (bersifat stabil).
• Luas permukaan per unit volum dari parikel nano sekitar 1000 kali
lebih tinggi daripada mikropartikel, artinya pelepasan kalor menjadi
lebih cepat
Partikel-partikel dalam ukuran nanometer dalam fluida menyebabkan
meningkatnya interaksi dan tumbukan antar partikel, fluida dan permukaan
yang dilaluinya. Partikel nano ini mengalami gerak Brownian, sehingga ketika
fluida dalam keadaan diam, partikel ini terdistribusi merata dengan gaya apung
sehingga tidak terjadi seimentasi.
Dalam pencampuran partikel nano pada fluida dasar, ada dua metode
yang dapat digunakan yakni: metode single step method dan two step method.

35.2.1 Single Step Method


Single step method merupakan metoda membuat partikel nano yang
langsung didispersikan ke fluida dasarnya. Ada beberapa eksperimen yang
dilakukan untuk membuat nanofluida dengan teknik Reduksi Kimia (single
step), antara lain dilakukan oleh Liu untuk meningkatkan konduktivitas thermal
dari air dicampur Cu dengan menggunakan metode reduksi kimia. Nano
partikel tembaga (Cu) dihasilkan dalam air dengan mereduksi copper acetate.

650
Ion Cu2+ di reduksi menjadi atom tembaga (Cu). Dari atom tembaga terjadi
presipitasi membentuk partikel nano tembaga.

Copper acetate Cu(CH3 COO)2 digunakan sebagai bahan baku yang


direndam dalam air deionized. Larutan diaduk pada temperature 55o C dengan
nitrogen hydrazine (N2 H4 ) sebagai bahan pereduksi. Jumlah larutan hydrazine
ditambah dengan tetap diaduk rata. Larutan didinginkan dalam suhu 0o C dan
dibiarkan mengendap, kemudian dicuci dengan air deionized untuk
membersihkan kotoran. Fraksi volum partikel nano Cu dalam larutan dibawah
0,2%.

Eksperimen yang lain dilakukan oleh Zhu, dengan mereduksi


CuSO4 . 5H2 O dengan NaH2 PO2 . H2 O dalam ethylen glycol dengan iradiasi
gelombang mikro. Nanofluida yang stabil dan tidak menggumpal dapat
dihasilkan dengan teknik ini. Hasilnya juga menunjukkan bahwa penambahan
NaH2 PO2 . H2 O dan adanya iradiasi gelombang mikro sangat mempengaruhi
laju reaksi dan properties dari parikel nano Cu.

35.2.2 Two Step Method


Metoda dua langkah banyak dilakukan dalam sintesa nanofluida dengan
menggunakan nano powder yang diproduksi oleh industri secara komersial.
Dalam metode ini, partikel nano dibuat terpisah terlebih dahulu kemudian
dilarutkan dalam fluida dasar. Biasanya peralatan ultrasonik digunakan untuk
mendispersikan partikel untuk mengurangi penggumpalan dari parikel.
Lamanya proses sonifikasi sekitar 9-10 jam agar partikel nano dapat terdispersi
secara merata dan stabil di fluida dasar. Untuk memastikan berhasilnya proses
sonifikasi, biasanya nanofluida tersebut didiamkan beberapa hari dan dilihat
ada atau tidaknya penggumpalan atau sedimentasi pada nanofluida.

Beberapa penelitian yang menggunakan metode ini untuk membuat


nanofluida antara lain; Murshed, menggunakan ultrasonic dismembrator yang
digunakan selama 8-10 jam untuk membuat campuran yang bagus dengan
fraksi volum yang berbeda dari nano partikel TiO ke dalam fluida dasar
(deionized water). Penelitian ini memerlukan surfaktan untuk membuat
partikel benar-benar terlarut. Surfactant Oleic acid dan cetyl trimethyl
ammonium bromide (CTAB) digunakan untuk membuat larutan yang stabil dan
terdispersi secara baik tanpa mengganggu sifat termofisika dan sifat
perpindahan panas karena surfaktant yang dipakai sangat kecil dengan
persentasi volume (0.01-0.02)%.

651
Xuan juga menggunakan teknik yang sama untuk menyiapkan
nanofluida. Dengan metode ini nanfluida didapatkan dengan mencampur
langsung bubuk partikel nano dengan fluida dasar dengan proses yang cukup
praktis. Larutan yang mengandung (2-5)% volume dengan fluida dasar air dan
minyak. Digunakan pelarut oleic acid. Larutan dicampur dengan menggunakan
alat ultrasonic vibrator selama 10 jam.

Hwang menggunakan ultrasonic disruptor untuk memproduksi


nanofluida MWCNT dengan air, CuO dengan air, SiO2 dengan air dan CuO
dengan ethylene glycol. Karena MCWNT selalu terikat dan bergumpal, maka
ditambahkan sodium dodecyl sulfat.

Hong menggunakan bubuk Fe nano kristal yang disintesis dengan proses


kondensasi gas menggunakan besi carbonyl (FeSCOd5) sebagai pelarut dalam
aliran helium atmosfer. Nanofluida disiapkan dengan prosedur 2 langkah untuk
mendispersikan nano partikel dalam ethylene glycol. Untuk membuat cairan
tersebut benar-benar larut digunakan alat ultrasonic cell disrupter. Eksperimen
ini memperoleh hasil yang paling bagus pada 0.55 % volume dengan
diletakkan dalm ultrasonic cell disrupter selama 50 menit sonifikasi.

Kondensasi gas memiliki kelebihan dibandingkan dengan teknik yang


lain karena partikel dapat dibuat dalam keadaan yang lebih bersih dan
permukaannya dapat dihindarkan dari pelapisan yang dikehendaki. Tetapi
partikel yang diproduksi dengan teknik ini terjadi penggumpalan, yang dapat
dipecah menjadi kelompok yang lebih kecil dengan memberikan energi dalam
jumlah yang kecil.

35.3 Konduktivitas Termal Nanofluid


Jika dalam suatu medium terdapat perubahan suhu, maka akan terjadi
perpindahan kalor dari suhu yang tinggi ke suhu rendah. Laju perpindahan
panas tersebut sebanding dengan gradient perubahan temperatur:

𝑞𝑞 𝛿𝛿𝛿𝛿

𝐴𝐴 𝛿𝛿𝛿𝛿

dimana: q = laju perpindahan kalor


𝛿𝛿𝛿𝛿 = gradien suhu
𝛿𝛿𝛿𝛿 = gradien jarak
A = luas penampang

652
Setiap material memiliki kemampuan yag berbeda dalam
menghantarkan panas sehingga persamaan tersebut memiliki konstanta
proporsionalitas yang berbeda (propotionality constant). Sehingga persamaan
tersebut menjadi:

𝑞𝑞 𝛿𝛿𝛿𝛿
= −𝑘𝑘 (35.3)
𝐴𝐴 𝛿𝛿𝛿𝛿

dimana : k = konduktivitas termal material

Tanda negatif menunjukkan bahwa kalor berpindah dari suhu yang tinggi ke
suhu rendah.

Variabel konduktivits termal merupakan factor terpenting dalam


perpindahan panas. Nanofluida yang mengandung partikel nano berimplikasi
terhadap kenaikan konduktivitas termal nanofluida. Maka perlu dihitung
besarnya kondutivitas nanofluid. Berikut akan dijelaskan dua metode yang
biasa digunakan untuk itu, yakni: transient hot wire method dan temperature
oscillation method.

35.3.1 Transient Hot Wire Method


Setelah proses pembuatan nanofluid, maka kita perlu menentukan
konduktivitas termal nanofluida tersebut. Karena parameter ini sangat
diperlukan untuk penggunaannya. Metode paling populer untuk mengukur
konduktivitas termal nanofluid adalah dengan menggunakan transient hot wire.
Dalam metode ini kawat metal digunakan sebagai sumber panas dan sensor
temperatur. Kawat dicelupkan kedalam nanofluida yang akan diukur
konduktivitas termalnya. Arus listrik dialirkan melalui kabel untuk
memanaskan nanofluida. Semakin tinggi konduktivitas nanofluida, maka
kenaikan suhu dari metal akan semakin kecil. Percobaan dilakukan dalam
waktu 2-8 detik, sehingga konveksi natural tidak sempat terjadi. Metode ini
disebut transient karena kalor diberikan seketika pada saat kawat mendapatkan
kalor. Persamaan yang digunakan untuk metode ini adalah specific solution
dari Fourier Low’s untuk radial transient heat conduction.
Persamaan konduksi kalor pada koordinat kartesius adalah:
𝛿𝛿 2 𝑇𝑇 𝛿𝛿 2 𝑇𝑇 𝛿𝛿 2 𝑇𝑇 1 𝛿𝛿𝛿𝛿
𝛿𝛿 𝑥𝑥 2 + 𝛿𝛿 𝑦𝑦 2 + 𝛿𝛿𝑧𝑧 2
=
𝛼𝛼 𝛿𝛿𝛿𝛿
(35.4)

653
Lalu dengan mengintegral persamaan diatas pada sisi z, maka diperoleh
distribusi temperature sebagai berikut:
𝑞𝑞′ 4𝑘𝑘𝑘𝑘 𝛾𝛾𝛾𝛾
𝑇𝑇 = 𝑙𝑙𝑙𝑙 − (35.5)
4𝜋𝜋𝜋𝜋 𝑟𝑟 2 𝜌𝜌𝑐𝑐𝑝𝑝 4𝜋𝜋𝜋𝜋

Dimana q adalah kalor yang diberikan persatuan waktu persatuan panjang


dalam W/m dan k adalah nilai konduktivitas termal fluida, dan jika temperature
pada saat 𝑡𝑡1 dan 𝑡𝑡2 adalah 𝑇𝑇1 dan 𝑇𝑇2 , maka persamaannya menjadi:
𝑞𝑞 𝑡𝑡
𝑘𝑘 = ln �𝑡𝑡 1 � (35.6)
4𝜋𝜋(𝑇𝑇1 −𝑇𝑇2) 2

Skema pengukuran transient hot wire seperti terlihat pada gambar 35.3,
kawat (Pt) diletakkan sepanjang sumbu axis dan dikelilingi oleh fluida yang
akan ditentukan konduktivitas termalnya. Platinum memiliki electrical
resistivity sebesar 1,06 x 10−7 Ωm (pada temperature 20 °C) lebih besar
darupada metal lainnya, dan mempunyai temperature coefficient resistance
0,0003925 /C yang juga lebih besar daripada etal lainnya. Diameter yang
digunakan sekitar 100 µm. Karena proses hanya berlansung 2-8 detik, maka
jumlah kalor yang mengalir ke fluida sangat kecil, maka diameter wadah tidak
boleh terlalu besar.

654
Gambar 35.3 Pengukur Konduktivitas Termal dengan Transient Hot Wire

35.3.2 Oscilation Method


Prinsip dasar dari percobaan ini adalah menunjukkan osilasi temperature
di dalam cylindrical liquid volume. Pengukuran konduktivitas termal
didasarkan pada persamaan energi untuk konduksi. Persamaan tersebut
diterapkan dengan asumsi fluida yang diuji isotropic dan thermophysical
properties seragam dan konstan terhadap waktu pada seluruh bagian specimen.
Dan pada saat pengujian fluida yang akan diuji diapit oleh dua reference layer
yang nantinya akan dihitung osilasi temperaturnya untuk menghitung
konduktivitas termal dari fluida yang diuji.
Susunan dari perangkat untuk melakukan uji ini antara lain fabricated
test cell, yang akan didinginkan oleh cooling water kedua ujungnya
dihubungkan ke thermostatic bath. Untuk sumber listriknya dipergunakan DC
power supply yang akan dihubungkan ke elemen peltier yang ada pada test
cell. Temperatur fluida uji akan diterima oleh thermocoupes di test cell yang
hasilnya akan diterima dan diteruskan oleh amplifier filter. Hasil ini akan
diterima oleh data aquicition system yang akan mengolah data lebih lanjut dan
ditampikan ke computer.
Temperatur dari reference material diosilasi suhunya oleh eleven peltier
berukuran 40mm x 40mm. Tujuan dari osilasi temperature ini adalah:
• Amplitudo dari osilasi dijaga agar tetap kecil (±1,5 𝐾𝐾) sehingga
properties dari fluida uji tidak berubah dan tidak terjadi natural
convection. Amplitudo juga dijaga agar tidak turun terlalu jauh agar
tingkat akurasi dari pengukuran tidak berubah. Nilai dari Grashof
number adalah 850, yang nilainya dibawah batas natural convection.
• Amplitudo yang kecil dan pengaturan yang akurat dari rata-rata
osilasi temperature menjamin test pada conducting fluid dilakukan
pada temperature yang diinginkan.
Dengan cara ini juga densitas dari fluida uji dapat diukur dan specific
heat dari fluida uji dapat dihitung dengan:
𝑚𝑚 𝑠𝑠 𝐶𝐶𝑝𝑝 ,𝑠𝑠 +𝑚𝑚 𝑤𝑤 𝐶𝐶𝑝𝑝 ,𝑤𝑤
𝐶𝐶𝑝𝑝,𝑛𝑛𝑛𝑛 = (35.7)
𝑚𝑚 𝑠𝑠 +𝑚𝑚 𝑤𝑤
Dan konduktivitas termal dari fluida uji dapat dihitung dengan:

𝑘𝑘𝑛𝑛𝑛𝑛 = 𝛼𝛼𝑛𝑛𝑛𝑛 𝜌𝜌𝑛𝑛𝑛𝑛 𝐶𝐶𝑝𝑝,𝑛𝑛𝑛𝑛 (35.8)

655
35.3.3 Hasil Pengukuran Konduktivitas Termal Nanofluida
Partikel CuO dan Al2 O3 berukuran nanometer dicampur dengan fluida
cair diantaranya air dan ethyleneglycol. Dari hasil penelitian Eastman (6)
diperoleh peningkatan termal konduktivitas sebesar 20%. Peningkatan
konduktivitas termal sekitar 60% dapat dicapai untuk nanofluida terdiri dari air
volume 5% nanopartikel CuO. Peningkatan termal konduktivitas sebesar 40%
untuk penambahan 0.3% partikel Cu dalam ethyleneglycil.

Xuan dan Li (8) menjelaskan suatu prosedur untuk menyiapkan


nanofluida dengan menggunakan peralatan hot wire untuk mengukur
konduktivitas termal nanofluid dengan nanopartikel bubuk tembaga yang
tersuspensi. Pertama mereka menemukan bahwa kenaikan termal konduktivitas
adalah linear dan mereka menjadikan penelitian Hamilton-Crosser (1962)
sebagai pembandingnya. Hasil yang didapat menunjukkan bahwa konduktivitas
termal baik nanofluida air dan ethyleneglycol jauh lebih besar dari yang sudah
diperkirakan oleh Hamilton-Crosser. Kesimpulan dari eksperimen mengejutkan
karena sangat jauh berbeda untuk nanofluida Al2 O3 . Untuk diingat bahwa
termal konduktivitas dari Al2 O3 dan CuO tidak jauh berbeda dan rata-rata
ukuran partikel Al2 O3 sebesar 38 nm dan CuO sebesar 24 nm. Kesimpulan
yang diambil mengarahkan pada perbedaan ukuran yang terdapat antara
keduanya.

Li dan Peterson (14) melakukan penelitian dengan eksperimen untuk


menguji pengaruh dari variasi temperatur dan fraksi volum terhadap
konduktivitas termal efektif dari CuO (ukuran 29 nm) dan Al2 O3 (ukuran 36
nm) dengan larutan dasar air. Hasilnya menunjukkan bahwa jenis partikel nano,
fraksi volum dan temperatur bulk memiliki efek yang signifikan terhadap
konduktivitas nanofluida.

Patel menguji partikel nano emas (Au) dan perak (Ag) dengan thoriate
dan sitrat sebagai pelapis dalam fluida dasar air dan toluene. Nanofluida
digunakan untuk mengetahui pengaruh partikel nano dalam konsentrasi rendah.
Hasilnya menunjukkan peningkatan konduktivitas termal untuk penggunaan
0.000026% volum dari partikel perak (Ag). Untuk penggunaan 0.011% dari Au
partikel, peningkatannya sekitar 7%-14%. Yang menarik adalah, selain ukuran
partikel, terdapat faktor yang berhubungan dengan gerakan dari partikel. Selain
itu peningkatan konduktivitas termal dari nanofluida ternyata tidak linier
dengan temperatur dan hampir linier dengan fraksi volum partikel. Faktor
kimia yang penting seperti adanya hubungan antara permukaan logam dan

656
media pelarut, mempunyai pengaruh yang penting terhadap peningkatan
konduktivitas termal efektif.

Xie (16) menggunakan metode baru untuk mendapatkan larutan yang


homogen dan stabil yaitu menggunakan multiwalled cabon nanotubes
(MWCNT’s) dalam air deionized (DW), ethylene glycol (EG) dan decene
(DE). Mereka memperkenalkan penggunaan dari oxygen-containing functional
groups pada permukaan CNT untuk memperoleh permukaan hydrophilic yang
lebih banyak. Data hasil penelitian menunjukkan peningkatan konduktivitas
termal dengan semakin banyak penggunaan nanotube.

Berikut hasil beberapa pengukuran yang dilakukan untuk mengetahui


pengaruh fraksi volume nano partikel terhadap konduktivitas thermal
nanofluida;

Gambar 35.4 Grafik Hubungan Fraksi Volume terhadap Konduktivitas Termal


Efektif Nanofluida

Dimana;

1. Al2O3 dalam deionized water , eastman and choi (6).


2. CuO dalam deionized water, eastman and choi (6).
3. CuO dalam Duo Seal Oil, Eastman and Choi (6)
4. Cu dalam HE-200 oil (6)
5. TiO2 (dia 15nm) dalam air dengan CTAB surfactant, murshed et al,(7)

657
6. TiO2 (10 X40) dalam air dengan CTAB surfactant, murshed et al,(7)
7. Cu dalam transformer oil, xuan&li (8).
8. CuO dalam air, xuan&li,(8).
9. MWCNT+EG, hwang and ahn (9).
10. MWCNT+water, , hwang and ahn (9).
11. CuO dalam air, Das (11)
12. Al2O3 dalam air, Das (11)
13. Cu(acid), Eastman dan Choi (12)
14. Cu (old), Eastman dan Choi (12)
15. (cu fresh), Eastman dan Choi (12)
16. Cu (fresh) in EG, Eastman dan Choi (12)
17. Cu (old) in EG, Eastman dan Choi (12)
18. Al2O3 in EG, Eastman dan Choi (12)
19. CuO in EG, Eastman dan Choi (12)
20. Fe, hong dan choi (13)
21. Cu, hong dan choi (13)
22. Al2O3 dalam air (14)
23. CuO dalam air, li&peterson'05(14)
24. TCNT in EG, xie&lee (16)
25. TCNT in DE, xie&lee (16)
26. TCNT in DW, xie&lee (16)
27. CNT, gum arabic 0.25 wt% terhadap air, Ding et al (32)
28. df=1.4, pasher dan evans (41)
29. df=1.8, pasher dan evans (41)

Dari gambar tersebut diketahui bahwa penambahan partikel nano dalam


larutan meningkatkan konduktivitas termal efektif dari larutan tersebut. Hal ini
berlaku pada semua jenis larutan dengan segala macam jenis partikel nano dan
fluida dasar.

Beberapa hal yang menarik salah satunya hasil eksperimen yang


dilakukan oleh Eastman and Choi, ditunjukkan oleh garis 13, memberikan hasil
yang paling ekstrem dengan adanya penambahan thioglycolic acid pada
larutan. Nanofluida ini dibuat dengan metode satu langkah dengan ukuran
partikel kecil dari 10 nm, dan menunjukkan hasil yang lebih baik jika
dibandingkan dengan penelitiannya yang lain yang ditunjukkan oleh garis no.
19, yang menggunakan CuO dengan diameter 35 nm. Dari hasil penelitiannya
yang ditunjukkan oleh garis no. 13, diperoleh hasil peningkatan sampai 40%
fraksi volume yang sangat kecil (0.3%) untuk partikel Cu dengan penambahan
thioglycolic acid yang kecil (<1%). Fluida dengan thioglycolic acid tanpa
partikel nano tidak menunjukkan peningkatan konduktivitas termal, sedangkan
nanofluida tanpa thioglycolic acid peningkatannya tidak sebesar dengan
thioglycolic acid.

658
Eksperimen yang dilakukan oleh Hong and Choi, ditunjukkan oleh garis
20, menggunakan partikel nano dengan ukuran diameter 10 nm. Hasilnya
peningkatan sebesar 18% untuk fraksi volume 0.55%. Hasil ini menunjukkan
bahwa peningkatan konduktivitas termal tidak linier terhadap peningkatan
fraksi volume. Hasil pengukuran yang tidak linier juga ditunjukkan oleh
eksperimen yang dilakukan oleh Murshed pada nanofluida TiO2, untuk yang
berbentuk bulat maupun yang silinder. Dalam eksperimen yang sama, murshed
menunjukkan bahwa untuk nanofluida bentuk silinder peningkatannya lebih
besar daripada yang bulat (garis 5 dan 6).

Untuk Eksperimen yang dalam kisaran 1% sampai 5% fraksi volume,


peningkatannya masih terus berlanjut. Peningkatan yang ekstrem ditunjukkan
oleh Prasher sebesar 76% untuk fraksi volume 5%, untuk nanofluida CNT.

Tidak banyak ekperimen yang dilakukan untuk fraksi volume dalam


kisaran 5 sampai 10%. Hanya ada 4 eksperimen yang dilakukan di daerah
tersebut, dengan maksimum peningkatan sebesar 75% untuk nanofluida CuO
dalam air yang dilakukan oleh Xuan dengan fraksi volume 7.5%. Adanya
kesulitan untuk menghasilkan larutan yang stabil tanpa pengendapan dan
penggumpalan pada fraksi volume yang tinggi menyebabkan tidak banyak
penelitian dilakukan dalam kisaran ini.

Percobaan yang dilakukan oleh Ding juga menunjukkan hasil yang tidak
linier pada temperatur kamar. Nanofluida yang digunakan dalam percobaan ini
adalah CNT dengan gum arabic sebagai surfactant. Peningkatan yang paling
kecil ditunjukkan oleh eksperimen yang dilakukan oleh Das, untuk nanofluida
Al2 O3 dalam air. Dalam eksperimen ini digunakan partikel nano dengan ukuran
38.4 nm dengan cairan dasar air.

Jika ditinjau dari ukuran partikel nano, grafik tersebut menunjukkan


bahwa nanofluida dengan diameter partikel yang lebih kecil menunjukkan hasil
yang lebih baik. Hal ini bisa secara jelas dilihat dari hasil eksperimen Eastman
yang menggunakan partikel nano dengan diameter 18, Hong dengan Fe yang
berdiameter 10 nm. Untuk nanofluida dengan ukuran partikel lebih besar
seperrti alumina, cenderung menunjukkan hasil yang tidak begitu besar
peningkatannya, seperti yang ditunjukkan oleh eksperimen dari Das, Li
Peterson dan Eastman.

Dari plotting tersebut dapat disimpulkan bahwa tidak ada model yang
benar-benar sesuai dengan hasil eksperimen. Dari grafik diatas dapat dikatakan
juga bahwa konduktivitas termal meningkat sesuai dengan peningkatan dari

659
fraksi volume. Dilakukan perbandingan dengan model yang telah
dikembangkan oleh Hamilton-Crosser.

Dari grafik tersebut dapat dilihat bahwa perbedaan yang terjadi dari
beberapa eksperimen yang dilakukan untuk partikel nano yang sama, tetapi
dengan fluida dasar dan teknik pembuatan yang berbeda. Hasil plotting dari
berbagai pemodelan tidak menunjukkan kesesuaian kecuali model Pasher, yang
berada di tengah-tengah dari beberapa sebaran data. Teori ini
memperhitungkan pengaruh dari gerakan brownian . Hasil plotting persamaan
Pasher ini menunjukkan adanya kecocokan berdasarkan gradient peningkatan
konduktivitas termal yang terjadi terutama untuk CuO, hanya saja masih
membingungkan karena harus mengubah konstanta m dan Rb untuk
mendapatkan hasil yang sesuai dengan hasil eksperimen, dimana penentuan
konstanta tersebut kurang jelas.

Hamilton-Crosser tidak menunjukkan hasil yang bagus untuk nanofluida


dengan CuO sebagai partikel nano, karena persamaan ini hanya memasukkan
unsur dari konduktivitas termal partikel, fluida dasar dan konduktivitas
thermal. Teori Hamilton-Crosser yang paling lama muncul dan memiliki
beberapa kelemahan, salah satunya adalah tidak memperhitungkan efek dari
diameter partikel, tidak seperti ketiga teori yang lain. Hal ini tidak sesuai
dengan beberapa hasil eksperimen dan ide bahwa partikel yang lebih kecil
membuat luas permukaan yang lebih besar, sehingga dapat dilihat bahwa hasil
plottingnya paling rendah.

Untuk lebih jelasnya peranan dari fraksi volum terhadap termal


konduktivitas dapa dilihat dari grafik berikut:

Gambar 35.5 Pengaruh Fraksi Volume terhadap Konduktivitas Termal untuk


Fluida Dasar water

660
Fraksi volume dalam grafik ini berkisar antara 0 sampai 5%,
menunjukkan peningkatan maksimum sebesar hampir 1.6 pada fraksi volume
partikel 5% untuk partikel nano CuO. Hanya nanofluida dengan bahan dasar air
yang diplotkan pada grafik 35.4, untuk variasi konduktivitas termal partikel.
Dari gambar diatas dapat diambil kesimpulan bahwa besarnya k partikel tidak
sejalan dengan peningkatan konduktivitas termal efektif. Kalau dilihat dari k
material partikel maka urutannya seharusnya menjadi:

Tabel 35.1 Nilai konduktivitas dari berbagai partikel nano (T = 300 K)

Konduktivitas
Material
Termal (W/mK)

Copper 401
Alumunium 237
CuO 76,5
Alumina (𝐴𝐴𝐴𝐴2 𝑂𝑂3 ) 40
Water 0,613
𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇2 11,7
MWCNT 3000
Ethylene Glikol (EG) 0,253
Engine Oil (EO) 0,145

Tetapi berdasarkan gradien peningkatannya, urutan dari garis tersebut


menunjukkan bahwa Fe memberikan peningkatan paling besar. Tetapi dapat
dilihat juga bahwa peningkatan konduktivitas itu tidak linier terhadap
peningkatan fraksi volume. Sehingga dapat disimpulkan bahwa peningkatan
konduktivitas thermal nanofluida tidak hanya tergantung pada sifat-sifat dari
partikel nano saja, tetapi ada pengaruh –pengaruh lain diluar itu.

35.3.4 Model Pendekatan Konduktivitas Termal Nanofluida


Pengertian konvensional dari konduktivitas thermal efektif dari
campuran berasal dari formula continuum yang hanya melibatkan bentuk dan
ukuran partikel, fraksi volum dan asumsi perpindahan kalor difusi baik dari
fase solid ataupun solid. Metode ini berhasil memberikan perkiraan yang yang
tepat tentang perilaku dari sistem fluida dengan partikel berukuran mikrometer
atau lebih besar, tapi tidak berlaku untuk nanofluida.

Keblinski et al (28) mengajukan 4 kemungkinan mekanisme yang terjadi


dalam nanofluida yaitu; gerakan brownian dari partikel nano, molecular-level

661
layering dari liquid pada liquid/partikel interface, sifat perpindahan kalor dalam
partikel nano, efek dari pengelompokan partikel nano. Mereka beranggapan
efek dari gerakan Brownian dapat diabaikan.

Xuan and Li (8) juga mengemukakan 4 alasan untuk memperbaiki


konduktivitas thermal efektif; peningkatan luas permukaan karena
mengapungnya partikel nano, peningkatan konduktivitas thermal dari fluida,
interaksi dan tumbukan yang terjadi antara partikel, fluktuasi campuran dan
turbulensi dari fluida, dan disperse dari partikel nano.

Banyak penelitian yang menggunakan konsep liquid/solid interfacial


layer untuk menerangkan peningkatan besar dalam konduktivitas thermal dari
nanofluida, antara lain; Yu and Choi (29,30) mengemukakan sebuah model
yang berdasarkan teori konvensional yang mempertimbangkan liquid
molekular layer di sekitar partikel nano.

Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Xue et al. (36) meng


menggunakan simulasi molecular dinamis yang menunjukkan bahwa liquid
monoatomik sederhana tidak mempunyai efek pada karakteristik perpindahan
kalor baik yang normal ataupun pararel terhadap permukaan. Hal ini
menunjukkan bahwa perpindahan panas dalam liquid layer mungkin tidak
cukup untuk menerangkan peningkatan konduktivitas thermal dari larutan
dengan partikel nano.

Wen dan Ding (31,32) mempelajari pengaruh pergerakan partikel pada


karakteristik dari perpindahan kalor nanofluida yang mengalir pada mini-
channels (D=1mm) secara teori. Mereka mempelajari shear-induce dan
pergerakan partikel dengan viscosity-gradient-induced dan self-diffusion
karena gerakan Brownian. Hasilnya menunjukkan adanya ketidakseragaman
yang signifikan dalam konsentrasi partikel dan konduktivitas thermal dari
irisan penampang karena pergerakan partikel.

Jika dibandingkan dengan distribusi seragam dari konduktivita thermal,


distribusi tidak seragam yang disebabkan oleh pergerakan partikel
menyebabkan tingginya bilangan Nusselt.

Koo and Kleinstreuer (33) mempelajari efek dari gerakan Brownian,


gerakan osmo-phoretic pada konduktivitas thermal efektif. Mereka
mendapatkan peran dari grakan Brownian lebih penting dari gerakan thermo-
phoretic dan gerakan osmo-phoretic. Interaksi partikel dapat diabaikan jika
konsentrasi partikel rendah (<0.5%). Tetapi hasil penemuan ini belum
divalidasi dengan eksperimen.

662
Evans et al. (34) mengemukakan bahwa gerakan Brownian memberikan
kontribusi yang kecil dan bukan penyebab perpindahan panas ang tidak biasa
dari nanofluida. Mereka juga memperkuat argumennnya deengan simulasi
molecular dinamis dan teori efektif medium. Tetapi mereka membatasi
permasalahan pada fluida diam.

Disamping itu, Vadasz (35) menunjukkan bahwa proses konduksi panas


transient dapat memberikan penjelasan yang valid untuk peningkatan
perpindahan kalor yang terjadi.

Jadi, belum ada mekanisme umum yang dapat menjelaskan kelakuan


yang tidak biasa dari nanofluida yang menyebabkan tingginya konduktivitas
thermal, meskipun banyak factor yang bisa jadi penyebabnya, diantaranya;
gerakan Brownian, lapisan liquid-solid, ballistic phonon transport, dan
keadaan surface charge. Masih ada beberapa kemungkinan yang dapat terjadi
dalam konduksi panas, natural konveksi dari partikel, konveksi yang
disebabkan oleh electrophoresis, thermophoresis,dan lain-lain.

Keblinski et al. (28) meneliti tentang factor-faktor yang menyebabkan


peningkatan konduktivitas thermal seperti ukuran, pengelompokan partikel,
dan nano-layer antara partikel nano dan fluida dasar.

Hamilton and Crosser mengajukan sebuah model untuk larutan terdiri


atas liquid dan benda padat dengan partikel yang tidak bulat. Diperkenalkan
faktor bentuk, n, untuk menghitung pengaruh dari bentuk dari partikel.
Konduktivitas thermal, untuk material dengan perbandingan kp/kf > 100, dapat
dinyatakan dengan;

𝑘𝑘 𝑝𝑝 + (𝑛𝑛 −1 )𝑘𝑘 𝑏𝑏 −(𝑛𝑛−1 )(𝑘𝑘 𝑏𝑏 −𝑘𝑘 𝑝𝑝 )𝛷𝛷


𝐾𝐾𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒 = 𝑘𝑘 𝑝𝑝 + (𝑛𝑛 −1 )𝑘𝑘 𝑏𝑏 +(𝑘𝑘 𝑏𝑏 −𝑘𝑘 𝑝𝑝 )𝛷𝛷
𝐾𝐾𝑏𝑏
(35.9)

Dimana; Keff konduktivitas termal efektif nanofluida, subscript b


mengacu pada fluida dasar, p mengacu pada partikel nano dan Ф adalah
konsentrasi volum. n adalah factor bentuk yang dapat ditulis dengan n = 3/ψ,
dan ψ adalah ratio dari luas permukaan terhadap volume partikel. Model ini
hanya mengikutsertakan pengaruh yang ditimbulkan oleh fraksi volume dan
bentuk dari partikel selain kf dan kp.

Yu dan Choi (30) membuat sebuah model yang memodifikasi model


klasik maxwell dengan memhitung pengaruh dari nano-layer. Nilai β = h/r,

663
adalah ratio dari ketebalan nano-layer terhadap jari-jari partikel yang
sebenarnya, sehingga persamaan tersebut dapat ditulis kembali menjadi;

𝑘𝑘 𝑝𝑝 +2𝑘𝑘 𝑏𝑏 +2�𝑘𝑘 𝑝𝑝 −𝑘𝑘 𝑏𝑏 �(1−𝛽𝛽 )3 𝛷𝛷


𝑘𝑘𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒 = 𝑘𝑘 𝑝𝑝 +2𝑘𝑘 𝑏𝑏 −�𝑘𝑘 𝑝𝑝 −𝑘𝑘 𝑏𝑏 �(1−𝛽𝛽 )3 𝛷𝛷
𝑘𝑘𝑏𝑏 (35.10)

Dari persamaan itu dapat disimpulkan bahwa penambahan dari partikel


yang lebih kecil dari 10 nm lebih baik daripada meningkatkan fraksi volume
dari partikel dalam meningkatkan konduktivitas thermalnya.

Xie et al. (37) memasukkan pengaruh interfacial nano-layer dengan


distribusi linier konduktivitas thermal untuk menghitung ketebalan nano-layer,
ukuran nano partikel, fraksi volum dan konduktivitas thermal dari fluida,
partikel nano, dan nano layer.

Formulanya menjadi :

3𝛩𝛩2 𝛷𝛷 12
𝑘𝑘𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒 = (1 + 3𝛩𝛩𝛷𝛷𝑇𝑇 + 1−𝛩𝛩𝛷𝛷 )𝑘𝑘𝑏𝑏 (35.11)
𝑇𝑇

Dimanasu bscript l mngacu pada liquid nanofluida, b pada fluida dasar


dan p mengacu pada partikel nano. Pemodelan ini cocok untuk beberapa hasil
eksperimen.

Pasher (49) membuat sebuah pemodelan yang diturunkan dari


persamaan Maxwell-Garnett dengan memasukkan pengaruh dari ukuran
partikel nano, pengaruh dari interfacial resistance (rb), fraksi volume, dan
lain2. Kesimpulannya adalah gerakan Brownian adalah penyebab utama
terjadinya peningkatan yang sangat significant dari nanofluida.

Dimana k adalah konduktivitas thermal, subscript f mengacu pada fluida


dasar, Re adalah bilangan Reynolds, Pr adalah bilangan Prandtl, Ф
menunjukkan konsentrasi volum dari partikel dan α menunjukkan difusitas
thermal.

664
Gambar 35.6 Kenaikan Konduktivitas Termal sebagai fungsi Fraksi Volume
Partikel Nano yang didispersikan (a) Cu-O: Water (b) Al2O3 : Water

Tabel 35.2 Model Klasik Konduktivitas Termal Efektif dari Campuran

35.3 Perpindahan Kalor Konveksi pada


Nanofluida
Banyak penelitian yang telah membahas tentang termal konduktivitas
pada nanofluida. Sedangkan untuk penelitian tentang perpindahan kalor
konveksi masih sedikit yang membahasnya. Nandy (2003) membahas tentang
konveksi bebas pada nanofluida didalam silinder horizontal pada salah satu
ujungnya. Hasil yang didapat menunjukkan fluida ini berbeda karakter dari
slurry pada umumnya. Dalam proses perpindahan kalor pendidihan, juga
diteliti oleh Das (2003) yaitu proses pool boiling dalam nanofluida air-𝐴𝐴𝐴𝐴2 𝑂𝑂3
dan mengindikasikan bahwa nanopartikel mempengaruhi karakteristik proses

665
pendidihan fluida. Sementara Xuan dan Quang Li (2003) juga melakukan
percobaan untuk menyelidiki perpindahan kalor konveksi dan karakteristik
aliran dari nanofluida. Peningkatan koefisien perpindahan kalor konveksi
nanofluida seiring dengan laju aliran dan fraksi volum nano partikel, sementara
koefisien perpindahan kalornya lebih besar dari fluida dasarnya pada laju alir
yang sama.
Kemudian Louis Gosselin (2004), mengkombinasikan disipasi energy
dan perpindahan kalor untuk mengoptimalkan aliran pada nanofluida.
Penelitian dilakukan pada lapisan aliran turbulen dan laminar yang sasarannya
adalah untuk memaksimalkan perpindahan kalor yang lepas dari sebuah plat
panas dengan nanofluida. Nandy (2004) melakukan eksperimen perpindahan
kalor konveksi paksa pada nanofluida dengan nano partikel 𝐴𝐴𝐴𝐴2 𝑂𝑂3 , pengukuran
koefisien perpindahan kalor ini dengan menggunakan alat perpindahan kalor
pipa ganda dalam susunan tipe aliran berlawanan. Hasil pengukuran
menunjukkan peningkatan nilai koefisien konveksi untuk nanofluida
konsentrasi 1% sebesar 6%-10% dan konsentrasi 4% sebesar 7%-17%. Hal ini
juga pernah diprediksi oleh Nandy dan diperkuat dengan penelitian lanjutannya
yang menunjukkan peningkatan koefisien perpindahan kalor sebesar 6%-8%
pada konsentrasi 1%-4% dalam jangkauan temperature 40C-60C.
Aliran suatu partikel padat dengan fluida biasa disebut dengan aliran
partikulat (particulate flow). Nanopartikel sebagai partikel padat dalam
nanofluida merupakan aliran partikulat sehingga akan mempengaruhi
karakteristik aliran partikulat seperti:
• Thermoporesis, suatu partikel padat yang tersuspensikan dalam
fluida akan mengalami gaya yang arahnya berlawanan dengan
gradient kenaikan temperature. Berikut adalah rumus gaya
thermoporesis pada suatu partikel.

1 𝛿𝛿𝛿𝛿
𝐹𝐹𝑇𝑇 = −𝐷𝐷𝑇𝑇 (35.11)
𝑚𝑚 𝑝𝑝 𝑇𝑇 𝛿𝛿𝛿𝛿
Dimana,
6𝜋𝜋𝜇𝜇 2 𝐶𝐶𝑠𝑠 (𝐾𝐾𝑟𝑟 +2.18𝐾𝐾𝑟𝑟 )
𝐷𝐷𝑇𝑇 = (35.12)
𝜌𝜌 (1+3×1.14𝐾𝐾𝑟𝑟 )(1+2𝐾𝐾𝑟𝑟 +4.36𝐾𝐾𝑟𝑟

666
dimana:
𝐷𝐷𝑇𝑇 = koefisien difusi termoforik
𝐾𝐾𝑟𝑟 = rasio antara kondktivitas termal fluida dengan partikel
𝑚𝑚𝑝𝑝 = massa partike
𝐶𝐶𝑠𝑠 = 1.17
µ = viskositas fluida
• Shear Lift Force, gaya angkat partikel yang diakibatkan adanya gaya
geser pada suspensinya.
1
2𝐾𝐾𝑣𝑣 2 𝜌𝜌𝑑𝑑 𝑖𝑖𝑖𝑖
𝐹𝐹 = 𝜌𝜌 1/4 (𝑣𝑣 − 𝑣𝑣𝑝𝑝 ) (35.13)
𝑝𝑝 𝑑𝑑 𝑝𝑝 (𝑑𝑑 𝑘𝑘𝑘𝑘 𝑑𝑑 𝑘𝑘𝑘𝑘 )

Dimana K= 2.594 dan 𝑑𝑑𝑖𝑖𝑖𝑖 adalah deformation tensor


• Gerak Brownian sangat terkait erat dengan efek temperatur pada
konduktivitas dan diyakini bahwa konveksi yang terjadi akibat gerak
Brownian yang dialami nanopartikel adalah alsan utama mengapa
konduktivitas termal nanofluida begitu meningkatnya.
• Efek Soret dan Dufour, efek ini menjelaskan bahwa bila suatu
campuran diberikan suatu gradien temperature, maka komponen-
komponen dari campuran tersebut akan terpisah, mengasilkan
gradient konsentrasi yang lajunya sebanding dengan gradient
temperature.

35.4 Aplikasi Nanofluida: Pengangkatan


Heavy Oil
Minyak bumi dijuluki juga sebagai emas hitam, adalah cairan kental,
coklat gelap, atau kehijauan yang mudah terbakar. Minyak bumi berada di
lapisan atas dari beberapa area di kerak bumi dan banyak juga terdapat di
dalam pori-pori batuan. Minyak bumi terdiri dari campuran kompleks dari
berbagaihidrokarbon, sebagian besar seri alkana tetapi bervariasi dalam
penampilan, komposisi dan kemurniannya. Pendeteksian keberadaan masing-
masingnya dengan menentukan sifat resistan pada fluida.
Heavy oil atau sering disebut dengan minyak berat merupakan minyak
bumi yang memiliki sumber energy yang banyak tersimpan didalam pori-pori

667
batuan sebagai reservoir yang ukurannya dalam orde mikro. Heavy oil
memiliki derajat kekentalan yang tinggi, lebih kurang 100 kali lebih kental
daripada water/air.

Gambar 35.7 Keberadaan heavy oil di dalam pori batuan. Pasir (abu-abu), air
(biru) dan heavy oil (hitam)
Untuk menentukan batuan yang mengandung minyak mentah dapat
ditentukan dari berat jenisnya. Data ini diambil dengan menggunakan alat
logging dengan bantuan bahan radioaktif yang memancarkan sinar gamma.
Pantulan dari sinar ini akan menggambarkan berat jenis batuan. Dapat kita
bandingkan bila pori batuan berisi air dengan batuan berisi hidrokarbon akan
mempunyai berat jenis yang berbeda.

(a) (b)

Gambar 35.8 (a) Struktur molekul heavy oil (b) Perbandingan nilai viskositas
heavy oil dengan fluida lainnya

Untuk dapat mengangkat heavy oil dari pori-pori batuan membutuhkan


tekanan yang sangat tinggi. Ibarat kita menyedot suatu cairan yang sangat

668
kental. Maka kita butuh tenaga yang besar untuk dapat mengangkatnya dari
tempatnya, karena viskositas/ kekentalannya yang tinggi.

Jumlah heavy oil yang tersimpan di dalam pori batuan sangat banyak
sekali di Indonesia, hanya saja sampai saat ini belum ada metoda yang efektif
untuk dapat melakukakan pengangkatan ini. Kemudian akhir-akhir ini para ahli
mencoba untuk menerapkan prinsip nanofluida dalam menyelesaikan masalah
ini. Salah satu alternative cara yang digunakan untuk pengangkatan heavy oil
ini adalah dengan menggunakan gelombang elektromagnetik.

Gambar 35.9 Penurunan viskositas heavy oil dengan penembakkan gel EM

Agar heavy oil dapat kita alirkan dari reservoirnya, maka yang harus
dilakukan adalah menurunkan derajat kekentalan dari heavy oil tersebut.
Sebelumya orang menginjeksi panas sekitar (2000-3000) C untuk menurunkan
derajat kekentalan. Namun hal ini tidak efisien karena adanya panas yang
terbuang sebelum sampai ke reservoir. Oleh karenanya digunakan partikel nano
sebagai penghasil panas yang diperoleh dari gelombang elektromagnetik.
Pertama-tama partikel nano diinjeksikan kedalam reservoir heavy oil secara
merata. Kemudian dari luar, ditembakkan gelombang elektromagnetik yang
membawa energy untuk dapat memvibrasi partikel-partikel nano yang terlarut.
Akibat gerakan partikel tersebut, membuat daerah disekitar partikel panas
sehingga koefisien viskositas heavy oil menuru. Dalam kondisi seperti ini
memungkinkan terjadinya aliran heavy oil keluar dari reservoirnya. Karena
peningkatan suhu, akan menurunkan derajat kekentalan fluida yang memenuhi
persamaan:
𝐸𝐸0�
𝜂𝜂 = 𝜂𝜂0 𝑒𝑒 𝑘𝑘𝑘𝑘 (35.14)

Selain itu, rantai karbon yang cukup panjang juga menjadi penyebab
tingginya derajat kekentalan dari heavy oil. Karena partikel mendapat cukup
energi dari gelombang EM, maka gerak Brownian dari partikel akan semakin

669
cepat dan partikel memiliki energi yang tinggi. Sehingga ini memungkinkan
terjadinya pemutusan rantai karbon pada heavy oil dan berimplikasi pada
penurunan derajat kekentalannya.

670
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Mikrajudin. 2009. Pengantar Nanosains. Bandung: ITB.
Clement Kleinstreuer dan Yu Feng. 2011. Experimental and theoretical studies of
nanofluid thermal conductivity enhancement. Kleinstreuer and Feng Nanoscale
Research Letters.
Kiyuel Kwak and Chongyoup Kim. 2005. Viscosity and thermal conductivity of
copper oxide nanofluid dispersed in ethylene glycol. Vol 17, No 2. Korea-
Australia Rheology Journal.
Murshed, S.H. 2008. Temperature Dependence of Interfacial Properties and Viscosity
of Nanofluids. Journal of Physics, Vol. 41, no. 8.
Sanjaya, Edvan Gana. 2008. Pengujian Perpindahan Kalor Nanofluida. Universitas
Indonesia.
William Evans, Jacob Fish dan Pawel Keblinskia. 2006. Role of Brownian motion
hydrodynamics on nanofluid thermal conductivity. American Institute of
Physics.
Wong, Kaufui V dan Omar de Leon. 2009. Application of Nanofluids: Current and
Future. Article ID: 519659. Hindawi Publishing Corporation.

671
BAB 36
Quantum Dots
Oleh: Siti Ala’a

36.1 PENDAHULUAN
Berawal dari tahun 1970, para ilmuan berhasil untuk pertama kalinya
membuat kuantum well. Kuantum well merupakan lapisan tipis semikonduktor
(ketebalan sekitar 10nm) yang diapit oleh dua lapisan isolator pada arah sumbu
z, sehingga elektron hanya bisa bergerak dalam dua arah (arah x dan y).
Kemudian pada tahun 1980-an para ilmuan berhasil membuat kuantum dot
(disingkat QD) yang dapat mngurung pasangan elektron-hole (eksiton) dalam
ukuran yang sangat kecil, sekitar 2-20nm. Pasangan elektron-hole terbentuk
ketika semikonduktor menyerap foton dan membuat elektron dari pita valensi
berpindah menuju pita konduksi.
Suatu partikel dikatakan termasuk dalam kategori QD jika memiliki
diameter yang berada pada orde jari-jari bohr, yang didefinisikan dengan
4𝜋𝜋𝜖𝜖0 ђ2
𝑎𝑎0 =
𝑚𝑚𝑒𝑒 𝑒𝑒 2
dimana 𝑎𝑎0 merupakan jari-jari bohr, 𝜖𝜖0 merupakan permitivitas vakum yang
nilainya 8.85419 x 10-12C2/Jm, 𝑚𝑚𝑒𝑒 merupakan massa elektron dan 𝑒𝑒 merupakan
muatan elektron. Jika kita hitung kita dapatkan jari-jari bohr 𝑎𝑎0 = 0.52 Å. Nilai
jari-jari molekul berbeda untuk molekul yang berbeda, misalnya aCuCl= 7 Å,
aGaAs = 100 Å dan aCdSe = 56 Å.
Pada gambar 1 teramati perbandingan geometri dan fungsi keadaan
antara bulk (gambar 1.a), kuantum well (gambar 1.b), kuantum wire (gambar
1.c) dan QD (gambar 1.d). Bulk memiliki rapat keadaan yang kontinu karena
elektron bebas bergerak dalam segala arah tanpa adanya efek pengurungan.
Efek pengurungan adalah efek dimana elektron berada pada suatu kondisi
dimana elektron tidak bisa bergerak bebas karena daerah disekitarnya memiliki
energi yangbesar sekali sehingga elektron tidak bisa berpindah ke daerah
tersebut. Sedangkan untuk kuantum well elektron terperangkap dalam dua
dimensi dan untuk kuantum wire elektron hanya dapat bergerak dalam 1

671
dimensi. Pada QD elektron dibatasai pada segala arah sehingga QD memiliki
fungsi keadaan yang diskrit disebabkan karena efek pengurungan elektron-hole
pada ruang yang sangat kecil.

Gambar 36.1. Geometri bulk (a), kuantum well (b), kuantum wire (c), dan QD
(d), serta grafik fungsi keadaan dari keempat geometri tersebut.

Penelitian mengenai QD ini penting sekali karena dari efek


pengurungan elektron-hole muncul sifat fisik yang menarik dan dapat
diaplikasikan dalam berbagai device. Efek pengurungan berkaitan dengan
hukum ketidakpastian Heisenberg. Dalam hukum ketidakpastian Heisenberg
kita ketahui bahwa jika kita semakin mengetahui posisi suatu benda kuantum
maka semakin sulit kita menghitung momentum benda tersebut. Karena terjadi
efek pengurungan maka posisi benda jadi lebih mudah dipastikan sehingga
momentum partikel menjadi semakin tidak pasti. Sedangkan momentum
kuadrat sebanding dengan energi.
Akibat dari efek pengurungan ini sifat optik seperti misalnya
florescence dari QDs mudah berubah tergantung dari ukuran diameternya.
Inilah yang menyebabkan QD menjadi penting untuk dipelajari. Meskipun
material organik dan nonorganik lainnya menunjukkan fenomena yang sama
tetapi QD menghasilkan florescence yang lebih bagus dan mendekati ideal. Hal
ini teramati dari cahaya yang dihasilkan, non-photobleaching yang sempit,
spektrum emisi yang simetri, dan memiliki banyak warna yang dapat
diemisikan menggunakan panjang gelombang eksitasi tunggal.

672
Gambar 36.2. Fotograph dari fotoluminesense dari beberapa larutan QD yang
berbeda (sumber : Annikeva 2009)

36.2Fungsi gelombang dan energi gap


Spektroskopi QD dapat dijelaskan dengan model partikel dalam
bola. Kita tinjau partikel dengan masa 𝑚𝑚0 berada dalam sumur potensial bola
dengan radius a
0 𝑟𝑟 < 𝑎𝑎
𝑉𝑉 (𝑟𝑟) = � (13.1)
∞ 𝑟𝑟 > 𝑎𝑎
Persamaan scrodinger tidak bergantung waktunya untuk potensial bola adalah
ђ2 1 𝜕𝜕 2 𝜕𝜕𝜕𝜕 1 𝜕𝜕 𝜕𝜕𝜕𝜕 1 𝜕𝜕 2
− � �𝑟𝑟 �+ 2 �𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠 � + 2 2 � + 𝑉𝑉𝑉𝑉 = 𝐸𝐸𝐸𝐸
2𝑚𝑚 𝑟𝑟 2 𝜕𝜕𝜕𝜕 𝜕𝜕𝜕𝜕 𝑟𝑟 𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠 𝜕𝜕𝜕𝜕 𝜕𝜕𝜕𝜕 𝑟𝑟 𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠 𝜃𝜃 𝜕𝜕𝜙𝜙2
dan dengan menggunakan metode separasi variabel kita dapatkan solusinya
𝐽𝐽𝑙𝑙 �𝑘𝑘𝑛𝑛,𝑙𝑙 𝑟𝑟�𝑌𝑌𝑙𝑙𝑚𝑚 (𝜃𝜃, 𝜙𝜙)
𝜓𝜓 = 𝐶𝐶 (13.2)
𝑟𝑟
dengan 𝐶𝐶 merupakan konstanta normalisasi, 𝑌𝑌𝑙𝑙𝑚𝑚 (𝜃𝜃, 𝜙𝜙) spherical harmonik dan
𝐽𝐽𝑙𝑙 �𝑘𝑘𝑛𝑛,𝑙𝑙 𝑟𝑟� orde ke-l fungsi bessel spherical, dan
𝛼𝛼𝑛𝑛,𝑙𝑙
𝑘𝑘𝑛𝑛,𝑙𝑙 =
𝑎𝑎
Dengan 𝛼𝛼𝑛𝑛,𝑙𝑙 orde n ke nol dari 𝐽𝐽𝑙𝑙 . Sedangkan energi dari partikel diberikan oleh
2 2
ђ2 𝑘𝑘𝑛𝑛,𝑙𝑙 ђ2 𝛼𝛼𝑛𝑛,𝑙𝑙
𝐸𝐸𝑛𝑛,𝑙𝑙 = = (13.3)
2𝑚𝑚0 2𝑚𝑚0 𝑎𝑎2
Fungsi gelombang pada persamaan (2) serupa dengan fungsi gelombang atom
sehingga dapat kita labelkan 𝑛𝑛(1,2,3, … ), 𝑙𝑙(𝑠𝑠, 𝑝𝑝, 𝑑𝑑, … . ) dan 𝑚𝑚. Menurut
teorema Bloch, fungsi gelombang bulk ditulis sebagai
𝛹𝛹𝑛𝑛𝑛𝑛 (𝑟𝑟⃗) = 𝑈𝑈𝑛𝑛𝑛𝑛 (𝑟𝑟⃗ ) exp�𝑖𝑖𝑘𝑘�⃗ . 𝑟𝑟⃗� (13.4)

673
dimana 𝑈𝑈𝑛𝑛𝑛𝑛 merupakan fungsi periodik dari kisi kristal, 𝑛𝑛 merupakan band
indeks, dan 𝑘𝑘 merupakan vektor gelombang. Teorema Bloch digunakan untuk
sistem kisi yang bersifat periodik sehingga pada teorema bloch kita cukup
menghitung fungsi perioik pertama saja. Pada perhitungan ini Kita
menggunakan aproksimasi massa efektif sehingga pita energi dianggap
memiliki bentuk parabolik sederhana. Massa efektif teramati pada sistem
kuantum karena saat partikel kuantum bergerak kita tidak dapat menggunakan
massa diamnya yang klasik. Dengan persaman massa efektif adalah
1
𝑚𝑚𝑒𝑒𝑒𝑒 = ђ2
𝑑𝑑 2 𝐸𝐸
�𝑑𝑑𝑘𝑘 2

𝑚𝑚𝑒𝑒𝑒𝑒 merupakan massa efektif elektron yang untuk CdSe jika dihitung nilainya
adalah 𝑚𝑚𝑒𝑒𝑒𝑒 = 0.067𝑚𝑚𝑒𝑒 dimana 𝑚𝑚𝑒𝑒 merupakan massa elektron bebas. Untuk
CdTe, dengan energi band gap 1.51 eV, massa elektron efektifnya
adalah 0.096𝑚𝑚𝑒𝑒 . Pada aproksimasi massa efektif, energi pita konduksi dan
energi pita valensi diberikan oleh
ђ2 𝑘𝑘 2
𝐸𝐸𝑘𝑘𝑐𝑐
= 𝑐𝑐 + 𝐸𝐸𝑔𝑔 (13.5)
2𝑚𝑚𝑒𝑒𝑒𝑒
𝑣𝑣
ђ2 𝑘𝑘 2
𝐸𝐸𝑘𝑘 = − 𝑣𝑣 (13.6)
2𝑚𝑚𝑒𝑒𝑒𝑒
dan 𝐸𝐸𝑔𝑔 merupakan bandgap semikonduktor . 𝐸𝐸𝑘𝑘𝑐𝑐 merupakan energi pita
konduksi dan 𝐸𝐸𝑘𝑘𝑣𝑣 merupakan energi pita valensi. Aproksimasi massa efektif ini
valid jika diameter dot jauh lebih besar dari konstansta kisi material. Dengan
memasukkan syarat batas partikel tunggal (sp) fungsi gelombang dapat
dituliskan dalam

𝛹𝛹𝑠𝑠𝑠𝑠 (𝑟𝑟⃗) = � 𝐶𝐶𝑛𝑛𝑛𝑛 𝑈𝑈𝑛𝑛𝑛𝑛 (𝑟𝑟⃗ )exp⁡( 𝑖𝑖𝑘𝑘�⃗ . 𝑟𝑟⃗) (13.7)


𝑘𝑘

dengan 𝐶𝐶𝑛𝑛𝑛𝑛 merupakan koefisien ekspansi. Jika kita asumsikan 𝑈𝑈𝑛𝑛𝑛𝑛 memiliki
ketergantungan yang lemah terhadap 𝑘𝑘 maka

( 𝑖𝑖𝑘𝑘�⃗ . 𝑟𝑟⃗) = 𝑈𝑈𝑛𝑛𝑛𝑛 (𝑟𝑟⃗)𝑓𝑓𝑠𝑠𝑠𝑠 (𝑟𝑟⃗)


𝛹𝛹𝑠𝑠𝑠𝑠 (𝑟𝑟⃗) = 𝑈𝑈𝑛𝑛𝑛𝑛 (𝑟𝑟⃗) � 𝐶𝐶𝑛𝑛𝑛𝑛 exp⁡ (13.8)
𝑘𝑘

𝑓𝑓𝑠𝑠𝑠𝑠 (𝑟𝑟⃗): fungsi pembungkus partikel tunggal. Pendekatan ini belum


memasukkan interaksi coulomb. Pada bulk material, interaksi coulomb
menyebabkan keadaan hydrogenic-like atau eksiton.

674
Selanjutnya kita melakukan aproksimasi pengurungan kuat.
1
Sebagaimana kita ketahui energi pengurungan sebanding dengan 2 , sementara
𝑎𝑎
1
interaksi coulomb sebanding dengan , maka pada ukuran yang kecil efek
𝑎𝑎
pengurungan lebih dominan. Kondisi ini terpenuhi ketika ukuran QD lebih
kecil dari ukuran eksiton bulk. Pada ukuran ini, elektron dan hole independent
dan dapat digambarkan sebagai partikel dalam bola. Sehingga pada bagian
interaksi coulomb ditambahkan energi koreksi 𝐸𝐸𝑐𝑐 . Maka fungsi gelombang
pasangan elektron-hole menjadi
𝛹𝛹𝑒𝑒ℎ𝑝𝑝 (𝑟𝑟⃗𝑒𝑒 , 𝑟𝑟⃗ℎ ) = 𝛹𝛹𝑒𝑒 (𝑟𝑟⃗𝑒𝑒 , ) 𝛹𝛹ℎ ( 𝑟𝑟⃗ℎ )
= 𝑈𝑈𝑐𝑐 𝑓𝑓𝑒𝑒 (𝑟𝑟⃗𝑒𝑒 )𝑈𝑈𝑣𝑣 𝑓𝑓ℎ (𝑟𝑟⃗ℎ )
𝑚𝑚 𝑚𝑚
𝑈𝑈𝑐𝑐 𝐽𝐽𝐿𝐿𝑒𝑒 �𝑘𝑘𝑛𝑛 𝑒𝑒 ,𝐿𝐿𝑒𝑒 𝑟𝑟𝑒𝑒 �𝑌𝑌𝐿𝐿𝑒𝑒 𝑒𝑒 𝑈𝑈𝑣𝑣 𝐽𝐽𝐿𝐿ℎ �𝑘𝑘𝑛𝑛 ℎ ,𝐿𝐿ℎ 𝑟𝑟ℎ �𝑌𝑌𝐿𝐿ℎ ℎ
= 𝐶𝐶 � �� �
𝑟𝑟𝑒𝑒 𝑟𝑟ℎ
dan tingkat energinya
ђ2 𝜑𝜑𝑛𝑛2 ℎ ,𝐿𝐿ℎ 𝜑𝜑𝑛𝑛2 𝑒𝑒 ,𝐿𝐿𝑒𝑒
𝐸𝐸𝑒𝑒ℎ𝑝𝑝 (𝑛𝑛ℎ 𝐿𝐿ℎ 𝑛𝑛𝑒𝑒 𝐿𝐿𝑒𝑒 ) = 𝐸𝐸𝑔𝑔 + 2 � 𝑣𝑣 + 𝑐𝑐 � − 𝐸𝐸𝑐𝑐
2𝑎𝑎 𝑚𝑚𝑒𝑒𝑒𝑒 𝑚𝑚𝑒𝑒𝑒𝑒
1.8𝑒𝑒 2
Bentuk pertama koreksi coulomb adalah sehingga dapat ditulis formula
4𝜋𝜋𝜖𝜖 0 𝜖𝜖𝜖𝜖
lengkap energi band gap untuk QD
ℎ2 1 1 1.8𝑒𝑒 2
𝐸𝐸𝑔𝑔 (𝑞𝑞𝑞𝑞 ) = 𝐸𝐸𝑔𝑔 (𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏 ) + � 𝑣𝑣 + 𝑐𝑐 � − (13.9)
8𝑎𝑎2 𝑚𝑚𝑒𝑒𝑒𝑒 𝑚𝑚𝑒𝑒𝑒𝑒 4𝜋𝜋𝜖𝜖0 𝜖𝜖𝜖𝜖

𝑣𝑣 𝑐𝑐
dengan 𝑚𝑚𝑒𝑒𝑒𝑒 merupakan massa efektif elektron dan 𝑚𝑚𝑒𝑒𝑒𝑒 merupakan massa hole
efektif. Untuk CdTe massa hole efektifnya sebesar 0.84𝑚𝑚𝑒𝑒 .
Pada Tabel 1. ditampilkan perbandingan energi band gap dari
beberapa material QD.

Tabel 36.1. Perbandingan band gap untuk bulk dan QD


Material Energi Bandgap Energi Bandgap efektif dari
Bulk (eV) pemerangkapan QD berdiameter 5 nm
kuantum (eV) (eV)
CdSe 1.74 0.29 2.03
PbSe 0.28 0.66 0.94
PbS 0.41 0.48 0.89

Persamaan (9) cukup sesuai dengan hasil eksperimen jika ukuran


partikel lebih besar dari 3 nm, tetapi persamaan ini tidak sesuai untuk partikel
675
dengan ukuran kurang dari 3 nm. Hal ini disebabkan karena massa efektif
elektron dan hole tidak cocok digunakan jika ukuran partikel sangat kecil
dimana partikel hanya mengandung ratusan atom.
Untuk material yang sangat besar (bulk), dapat diambil pendekatan
R→ ∞ sehingga suku kedua nol, atau tidak ada efeknya pada jarak antar pita
valensi dan pita konduksi. Jika ukuran partikel sangat besar (bulk) maka
elektron dan hole dapat berpisah sangat jauh sehingga tarikan antar keduanya
dapat dianggap nol. Akibatnya tidak ada pengurangan energi yang dimiliki
elektron setelah meloncat ke pita valensi.

36.3Sintesis QD
Ada beberapa metode untuk mengurung eksiton dalam
semikonduktor atau membangun struktur nol dimensi QD. Pada bagian ini
akan dibahas tiga metode yang umum digunakan untuk membentuk QD. Dari
metode umum tersebut kemudian dapat diturunkan metode-metode lain yang
disesuaikan dengan aplikasi.

36.3.1 Lithography
Litography bisa juga disebut dengan metode pencetakan. Pada
metode ini pertama-tama Kuantum well diselubungi oleh lapisan polimer,
kemudian dikenai sinar ion atau elektron. Permukaan yang terpapar ion dan
elektron kemudian menjadi hilang. Permukaan tersebut kemudian dilapisi
metal yang tipis. Larutan kimia digunakan untuk membersihkan polimer dan
lapisan logam untuk mendapatkan permukaan yang bersih. Hanya bagian yang
terekspose yang tetap ada bagian logamnya.
Keuntungan dari metode ini adalah kita dapat menghasilkan multi
layer devise dan dari metode ini kita bisa mengatur ukuran yang kita inginkan.
Skema lebih jelas mengenai metode ini dapat dilihat pada Gambar 3.
Kekurangan dari metode ini adalah lambat, tidak murni, kerapatan rendah dan
terdapat formasi yang rusak.

676
Gambar 36.3. Sintesis QD dengan menggunakan metode lithography. (Sumber
gambar: Harenza)

36.3.2 Sintesis Koloid


Pada metode ini, kristal nano dalam bentuk koloid disintesis dari
campuran prekursor yang terlarut dalam larutan, mirip dengan proses kimia
biasa. Sintetis QD fase koloid didasarkan pada tiga sistem komponen
pembentuk: prekursor, surfaktan organik dan bahan terlarut. Ketika terjadi
pemanasan medium hingga temperatur yang cukup tinggi, prekursor secara
kimiawi berubah menjadi monomer. Ketika monomer melebihi level
supersaturasi, nanokristal memulai proses nukleasi.
Suhu selama proses penumbuhan merupakan faktor yang penting
untuk menentukan nilai optimal dari proses penumbuhan kristal nano. Suhu
ini harus cukup tinggi untuk memungkinkan pengaturan, memulai reaksi, dan
annealing atom selama proses. Suhu juga tidak boleh terlalu rendah agar
proses penumbuhan kristal dapat berlangsung. Faktor lain yang penting
adalah konsentrasi monomer. Konsentrasi monomer berkaitan dengan laju
reaksi kimia dimana sebagaimana kita ketahui laju reaksi sebanding dengan
laju reaksi. Semakin cepat laju reaksi maka semakin cepat struktur nano
terbentuk. Jika kita mereaksikan senyawa A dan B, maka laju reaksinya
ditentukan oleh persamaan
𝑣𝑣 = 𝑘𝑘 [𝐴𝐴][𝐵𝐵]

677
Dimana [𝐴𝐴] merupakan konsentrasi senyawa A, [𝐵𝐵 ] merupakan konsentrasi
senyawa B dan 𝑘𝑘 merupakan tetapan laju reaksi.

Gambar 36.4. Skema peralatan sintesis QD dengan metode kolloidal. Labu


reaksi yang mengandung larutan prekursor dipanaskan sembari larutan
diaduk terus. Selama pemanasan terdapat tambahan molekul yang
ditambahkan dalam reaksi.

Fase pelarut yang digunakan untuk metode ini:


Metal : Au, Ag, Pd, Pt, Co, Ni, Fe, Cu
Semikonduktor : (IV) Si, Ge. (III-V) ME (M=Bi, Cu, Cd, Sn, Zn, Pb; E=S,
Se, Te)
Oksida : ZnO, CuO, TiO2, ZrO2, Fe2O3, Fe3O4, La2O3,
MnFe2O4, CoFe2O4.

Pada Proses penumbuhan kristal nano dengan metode ini, terdapat


dua proses utama yakni focusing dan defocusing. Pada konsentrasi monomer
yang tinggi, ukuran kritis (ukuran dimana kristal nano akan tumbuh atau
menyusut) yang relatif kecil, dihasilkan pada penumbuhan semua partikel.
Pada kasus ini partikel kecil tumbuh lebih cepat dibandingkan dengan yang
besar (karena kristal yang besar memiliki atom yan lebih banyak akan
ditumbuhkan dibandingkan dengan kristal yang kecil) sehingga
menghasilkan focusing distribusi ukuran untuk mendapatkan partikel
monodisperse.
Ukuran focusing optimal ketika konsentrasi monomer dijaga
seperti misalnya rata-rata ukuran kristal nano selalu lebih besar dari ukuran
kritis. Ketika konsentrasi monomer berkurang selama penumbuhan, ukuran
kritis menjadi lebih besar daripada ukuran rata-rata dan terjadi distribusi
defocuses disebabkan oleh Ostwald ripening.

678
Gambar 36.5. Grafik konsentrasi prekursor terhadap waktu pada proses
penumbuhan QD menggunakan metode sintesis koloid.

Kelebihan dari metode ini adalah ukuran dapat dikontrol,


monodisperse, bentuk dapat diatur. Selain itu campuran, doping dan
heterostruktur dapat diatur.
Kenan dkk. telah melakukan eksperimen menghasilkan koloid QD
QdS dalam bentuk powder dan thin film. Nanopartikel CdS dihasilkan dari
reaksi cadmium acetate (Cd(CH3COO)2.2H2O) dengan thioacetamide
((CH3CSN2) pada rasio molar satu. Rasio molar cadmium acetate /methanol
dan thioacetamide/metanol sama dengan 0.02. 3-Mercaptopropyl-
trimethoxysilane (MPS) dicampur dengan cadmium acetate pada
perbadingan rasio MPS/Cd=0.3. Rasio ini dipilih setelah menganalisa
spektrum absorbsi dari CdS ukuran nano pada beberapa rasio (0.1M, 0.2M,
0.5M).
Kemudian larutan pada kedua gelas baker dicampur dan diaduk
selama 10 menit pada suhu 60OC dengan nitrogen sebagai medium. Bentukan
sol MPS menyelubungi CdS yang terbentuk awalnya tidak berwarna
kemudian menjadi lama kelamaan berubah menjadi berwarna kuning.
Bentukan sol MPS menyelubungi CdS dibiarkan selama 2 minggu dalam
ruangan dengan tekanan atmosfer agar menjadi bentukan gel kemudain diurai
untuk menghasilkan partikel nano dalam bentuk powder.

679
Di sisi lain. MPS tertutup sol dicoating pada substrat gelas dengan
metode spin coating pada laju putar 2000 rotasi/menit selama 10 detik.
Substrat kemudian dikeringkan pada suhu 60OC selama 10 menit untuk
setiap coating. Film kering diberi panas pada suhu 300OC dan 350OC selama
15 menit. Perlakuan yang lain diberikan pada suhu 550OC selama 18 jam.

Tabel 36.2. Perhitungan jari-jari dan energi band gap QD oleh Kenan dkk.
Suhu Waktu Energi band gap Diamete
pemanasan0C pemanasan (eV) r (nm)
60 10 menit 3.22 2.92
300 15 menit 2.92 3.58
350 15 menit 2.7 4.42
550 18 jam 2.54 5.86

Metode lain dilakukan oleh Wong dan Stucky dengan menggunakan


garam cadmium (klorida, iodida atau asetat) dan 2 molar oksida
trioctylphosphine (“TOPO,” 90%, Aldrich) ditempatkan dalam labu dan
dikeringkan pada suhu 140 °C dengan tekanan ~3×10-2 Torr selama 0.5
jam. Larutan trioctylphosphine selenide 0.4 M (“TOPSe”) dibuat dengan
melarutkan bubuk Se (99.95%, Cerac) dalam trioctylphosphine (“TOP,”
90%, Aldrich) dibawah aliran Ar. Dari tambahan larutan inin prekursor Cd
and Se dikombinasikan dibawah aliran Ar pada perbandingan molar Cd/Se
1.4. Pada sintesis QD yang biasa , 5.5 g TOPO kemudian dinaikkan suhunya
menjadi 250-350 °C. Ketika mencapai suhu yang diinginkan 1 ml larutan
Cd/TOPO/TOPSe diinjeksikan (<0.25 sec) kedalam larutan TOPO yang
diaduk. Larutan kemudian menjadi berwarna dengan penurunan suhu 15 °C.
Alikuot dikeluarkan sebagai fungsi dari waktu dan kelebihan TOPO
dibersihkan dengan cara flokulating QD CdSe dengan metanol dan
mendapatkannnya kembali dengan alat sentrifugal.

36.3.3 Epitaxy
Metode ini dilakukan pada kondisi vakum (10-8 Pa). Ciri utama dari
metode ini adalah laju deposisi yang rendah (kurang dari 1000 nm/jam)
sehingga memungkinkan partikel nano tumbuh secara epitaksial. Epitaksial
berkaitan dengan deposisi kristal diatas lapisan substrat kristal.
Bietti dkk. telah melakukan penumbuhan QD GaAs/AlGaAs dengan
metode epitaxy droplet (ED). Pertama sinar Ga dikenai pada permukaan
silikon (001) yang tidak mengandung arsenik, untuk mendapatkan droplet
gallium. Kemudian fluks As diberikan untuk mengkristalisasi droplet agar

680
menjadi kristal nano GaAs. Teknik ini efektif untuk menghasilkan struktur
kuantum nano dengan density, dimensi, dan bentuk yang berbeda. Tenik ini
dapat juga dilakuaan pada suhu penumbuhan yang rendah, di bawah 5300C
dan didapatkan panjang gelombang domain antara 630 dan 820 nm yang
tidak dapat diperoleh dengan metode penumbuhan QD lainnya.
Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Wojak dkk menghasilkan
QD GaAs yang ditumbuhkan diatas permukaan AlGaAs. Penumbuhan
dibatasi oleh pelapisan SiO 2 dan lapisan tersebut di etching menjadi bentuk
piramid, seperti yang tampak pada Gambar 13.6. kekurangan dari metode ini
adalah density QD dibatasi oleh pola lapisan pemabatas.

Gambar 36.6. Penumbuhan QD dengan metode Epitaxy (sumber gambar:


Wojak dkk, 1996)

36.4 Karakteristik QD
QD merupakan semikonduktor berukuran nano berbentuk bola, terdiri
dari inti, kulit dan lapisan pembungkus. Inti tersusun dari ratusan atom
semikonduktor (misalnya CdS, CdSe, CdTe, ZnS, PbS), tetapi bisa juga dari
metal dan logam. Inti kuantum yang umum digunakan adalah Cadmium yang
dicampur dengan Selenium (CdSe) atau tellurium (CdTe) dengan diameter 2-
10nm (10-50 atom). Pada umumnya inti dari QD dibungkus dengan lapisan

681
semikonduktor (misalnya ZnS) untuk meningkatkan sifat optik dan fisika, serta
menstabilkan inti.
QD sebagai ‘artificial atom’ memiliki sifat optik dan fisis yang
berbeda dengan partikel nano lainnya. Sifatnya yang khas inilah yang membuat
QD berbeda dan menjanjikan banyak aplikasi. Untuk dapat digunakan sebagai
devais atau diaplikasikan, terlebih dahulu kita haruslah mengetahui
karakteristik dan fenomena-fenomena yang teramati dari QD .

36.4.1 Sifat Optik QD


Fluorescence pada kristal nano semikonduktor QD disebabkan oleh
radiatif rekombinan dari pasangan eksitasi elektron-hole. Hasil spektrum
emisinya terutama pada pita lorentzian yang sempit 30-40 nm, full width at
the half maximum value (FWHM) sedikit pergeseran stokes berkaitan
dengan pinggir pita. Spektrum absorbsinya pada sisi yang lain sangat lebar
dan mengandung efek pemerangkapan kuantum. Baik eksitasi maupun emisi
berkaitan dengan ukuran kristal nano. Spektrum mengalami pergeseran biru
ketika ukuran diperkecil, berkaitan dnegan bertambahnya energi ikat eksiton.
Tergantung pada materialnya, spektrumnya dapat diatur dari UV-biru (ZnS,
ZnSe) ke dekat inframerah (CdS/HgS/CdS) dan cahaya tampak (CdS, CdSe,
CdTe).
Spektrum absorbsi pada QD ditampilkan pada Gambar 13.7.
perubahan sifat optik ini merupakan fungsi dari ukuran inti CdSe. Dari kiri
kekanan menunjukkan spektrum absorbsi untuk biru, hijau, kuning, jingga,
merah dan cokelat.

Sedangkan pada gambar 13.8. ditunjukkan grafik intensitas emisi


QD CdSe dari kiri ke kanan biru, hijau, kuning, orange dan merah. Intensitas
emisi berbeda tergantung dari ukuran partikel disebabkan karena efek
pengurungan. Material awal pembentuk QD menentukan sifat dasar
energinya, ukuran QD mempengaruhi band gapnya. Oleh karenanya material
yang sama nanum berbeda ukuran dapat mengemisikan warna yang berbeda.
Semaik besar QD, semakin rendah energinya. Sebaliknya semakin kecil QD
maka akan semakin besar mengemisikan energi (warna biru). Pewarnaan
dapat kita kaitkan dengan energi level dari QD. Band gap yang menentukan
energi (warna) berbanding terbalik dengan ukuran QD. QD besar lebih
banyak memiliki energi level dimana menyebabkan ruang semakin sempit.
Sehingga QD lebih mudah menyerap foton dengan energi rendah yang
identik dengan spektrum merah.

682
Gambar 36.7. Spektrum aborbsi (au) QD CdSe terhadap panjang gelombang
(dalam satuan nm)

Penelitian selanjutnya menunjukkan bahwa lifetime dari


fluorescence ditentukan oleh ukuran dari QD. QD yang lebih besar memiliki
ruang energi level yang lebih besar sebagai jebakan pasangan elektron-hole.
Oleh karenanya, pasangan elektron-hole pada QD yang lebih besar eksis
lebih lama sehingga menunjukkan lifetime yang lebih lama.selain itu lifetime
juga dipengaruhi oleh tebal kulit.

683
Gambar 36.8. spektrum intensitas QD CdSe yang dibungkus ZnS (sumber:
Murphy 2002)

36.4.2 Transport elektron


Seperti diilustrasikan pada gambar 13.9, terdapat tiga hubungan
antar terminal. Pertukaan partikel terjadi pada dua terminal, seperti yang
ditunjukkan dengan panah. Transport elektron pada QD dipelajari dengan
cara menghubungkan dengan reservoir (source dan drain). Source dan drain
terminal dihubungkan oleh konduktor (QD) menuju voltmeter. Terminal
ketiga yang tersusun dari QD memberikan gaya elektrostatis atau kapasitif
coupling dan dapat berfungsi sebagai elektroda. Jika kita asumsikan tidak
terdapat coupling menuju source dan drain, maka QD bertindak sebagai
pulau untuk elektron. Jumlah elektron pada pulau ini merupakan bilangan
bulat N, sehingga muatan pada pulau adalah Ne. Kenyataannya bahwa
muatan terkuantisasi pada dot dalam satuan elemen e membawa pada suatu
kesimpulan awal bahwa sifat transport elektron pada QD diatur oleh efek
blokade coulomb. Jika terjadi tunneling anatara source dan drain maka
elektron yang berjumlah N tersebut akan mengatur diri sehingga sistem
dalam keadaan energi minimu.

684
Sementara tunneling partikel tunggal merubah energi elektrostatis
dari pulau dengan nilai diskrit, tegangan V g (dengan kapasitansi C g )
diberikan pada gate dapat merubah energi elektrostatis pulau secara kontinu.
Proses tunneling merubah muatan pulau sedangkan tegangan gate
mempengaruhi muatan efektif dengan q = CgVg yang dimiliki QD.
Transport antara reservoir dengan dot diukur melalui potensial
akibat pengurungan kuantum. Koefisien transmisi yang kecil diperlukan saat
melewati perintang, sehingga resistansi terobosan harus jauh lebih besar
daripada resistensi kuantum h/e2. Jika dot sepenuhnya tidak terkopling dari
lingkungan, sejumlah N elektron akan terkurung dengan baik dalam dot.
Untuk kasus kopling lemah, deviasi karena terobosan melewati penghalang
kecil akan mengarah pada energi total elektrostatik yang bernilai diskret pada
dot. Energi tersebut dapat didekati melalui persamaan:
𝑁𝑁(𝑁𝑁 − 1)𝑒𝑒 2
2𝐶𝐶
dengan C menyatakan kapasitas dari dot. Oleh karena itu, untuk menambah
satu elektron kedalam dot akan diperlukan energi sebesar
𝑁𝑁𝑒𝑒 2
𝐸𝐸 = (13.10)
2𝐶𝐶
Jika energi permuatan (charging energi) tersebut lebih besar dari
energi termal kT, sehingga elektron tidak bisa keluar dan masuk ke dalam dot
dengan eksitasi termal, maka transport elektron akan tertahan. Fenomena
tersebut disebut blokade coulomb. Fenomena tersebut akan teramati pada
suhu yang sangat rendah karena nilai kT yang sangat kecil.

Gambar 36.9. Skema fenomene coulomb blokade pada lateral QD

685
36.4.3 QD dalam medan magnetik
Maksyin dan Chakraborty telah mngmati beberapa sifat dari QD
dalam medan magnetik. Untuk kasus ideal elektron dalam dua dimensi,
kuantum dot dikurung dalam potensial radial,
1 ∗ 2 2
𝑚𝑚 𝜔𝜔0 𝑟𝑟 𝑉𝑉 =
2
dengan medan magnetik B tegak lurus bidang dot. Fungsi keadaan elektron
tunggal diberikan oleh

|𝑙𝑙| |𝑙𝑙| 𝑟𝑟 2 𝑟𝑟 2
𝜑𝜑 (𝑟𝑟) = 𝑟𝑟 exp(−𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖 ) 𝐿𝐿𝑛𝑛 � 2 � 𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒 � �
2𝑎𝑎 24
1
|𝑙𝑙| ђ
Dimana 𝐿𝐿𝑛𝑛 merupakan polynomial Laguerre, 𝑎𝑎2 = (𝜔𝜔𝑐𝑐2 + 4𝜔𝜔02 )−2 −
𝑚𝑚 ∗
1
𝑙𝑙ђ 𝜔𝜔𝑐𝑐 , dan 𝜔𝜔𝑐𝑐 = 𝑒𝑒𝑒𝑒/𝑚𝑚∗ . Energi elektron tunggal bergantung pada
2
bilangan kuantum n dan l
1 1 1
𝐸𝐸𝑛𝑛𝑛𝑛 = (2𝑛𝑛 + 1 + |𝑙𝑙 |)ђ( 𝜔𝜔𝑐𝑐2 + 𝜔𝜔02 )−2 − 𝑙𝑙ђ 𝜔𝜔𝑐𝑐
4 2
1
Dengan syarat batas, saat 𝜔𝜔0 → 0, energi menjadi 𝐸𝐸𝑛𝑛𝑛𝑛 = �𝑛𝑛 + + (|𝑙𝑙 | −
2
𝑙𝑙)/2� ђ𝜔𝜔𝑐𝑐 dan hanya bergantung pada bilangan kuantum 𝑁𝑁 = 𝑛𝑛 + (|𝑙𝑙 | −
𝑙𝑙)/2. Secara fisis, 𝑁𝑁 merupakan indeks Landau-level dan – 𝑙𝑙 merupakan
momentum sudut bilangan kuantum. Tanpa potensial pengurungan, energi
dari keadaan 𝑙𝑙 positif akan tidak bergantung pada 𝑙𝑙, tetapi dalam
pengaamatan ternyata energi dari keadaan 𝑙𝑙 akan bertambah seiring dengan
bertambahnya 𝑙𝑙. Medan magnet B diset besar agar spin terpolarisasi dan
dapat diamati fungsi keadaan interaksi elektron. Dalam spin yang
terpolarisasi, efek zeeman dapat diabaikan sehingga hamiltonian sistem
menjadi
𝑛𝑛 𝑒𝑒 𝑛𝑛 𝑒𝑒
1 2
1 ∗ 2 2
1 𝑒𝑒 2 1
𝐻𝐻 = �(𝑝𝑝𝑖𝑖 + 𝑒𝑒𝐴𝐴𝑖𝑖 ) + 𝑚𝑚 𝜔𝜔0 � 𝑟𝑟𝑖𝑖 + �
2𝑚𝑚∗ 2 2 4𝜋𝜋𝜋𝜋𝜖𝜖0 �𝑟𝑟𝑖𝑖 − 𝑟𝑟𝑗𝑗 �
𝑖𝑖=1 𝑖𝑖=1 𝑖𝑖≠𝑗𝑗

dimana 𝜖𝜖𝜖𝜖0 merupakan konstanta dielektrik. Eigen state dari sistem


merupakan eigen state dari total momentum sudut. Eigen state ini dapat
ditulis dalam 𝐽𝐽 yang merupakan jumlah 𝑙𝑙 elektron tunggal.

686
Gambar 36.10. Energi level sebagai fungsi dari J untuk tiga dan empat
elektron pada QD GaAs.

Setiap kotak menggambarkan total energi yang diplot terhadap J


pada medan magnetik lemah (2 T) dan medan magnetik kuat ( 8T dan 10T).
Tampak bahwa selalu ada dua luasan yang dipisahkan oleh gap. Pada level
pengurungan yang mendekati nol akan terdapat dua level landau yang paling
rendah. Trend yang tampak bahwa energi meningkat seiring dengan
bertambahnya J karena energi elektron tunggal bertambah seiring dengan
bertambahnya l. Ini paling jelas terlihat pada B= 2T. Pada medan magnet
yang kaut peningkatannya lebih lemah.
Perbedaan utama pda medan magnet lemah dan kuat adalah pada
pada sifat momentum sudut pada keadaan dasar. Pada B=2, hal ini teramati
pada j terendah, oleh karenanya momentum sudut terkecil akan
menempatkan elektron pada keadaan N=0. Jika elektron tidak saling
berinteraksi , keadaan dasar akan memiliki j terendah pada B kuat sehingga
hanya N=0 yang relevant. Karena adanya interaksi ini maka j bertambah
seiring dengan bertambahnya B. Efek ini terjadi karena saling mempengaruhi
antar lektron tunggal dan energi interksi.

36.4.4 Blinking QD
Permukaan yang cacat dari struktur kristal nano akan meneyebabkan
adanya jebakan sementara untuk elektron atau hole. Ini akan mengakibatkan
radiasi rekombinan alami dan menjadi alasan utama flourescence intermittens
(blinking). Untuk menghindari efek ini kita membutuhkan kulit untuk
melindungi inti atom dari oksidasi dan rekasi kimia lainnya.

687
Salah satu fenomena yang teramati pada QD adalah peristiwa
pergantian luminescence (blinking). Hal ini teramati juga pada molekul
tunggal seperti misalnya pewarna organik dan polimer, dengan eksitasi
luminescence emisi berganti dari ‘on’ ke ‘off’ dengan lompatan stokastik
yang tiba-tiba. Perbedannya adalah distribusi waktu ‘on’ dan ‘off’ pada
sistem ini biasanya eksponensial atau mendekati eksponensial, berbeda
dengan QD koloid yang membutuhkan energi yang lebih rendah dan interval
waktunya mulai dari 0.1s hingga 1000 s.
Penjelasan mengenai fenomena ini dijelaskan dalam tiga model
yaitu energi dasar, keadaan eksitasi emisi cahaya, dan keadaan perangkap
gelap dimana sistem tidak berpijar. Oleh karenanya terperangkap dan tidak
terperangkap menyebabkan pergantian fotoluminescence ‘off’ dan
‘on’.luminescence teramati jika salah satu karier (elektron atau hole)
terperangkap dalam matriks. Peristiwa blinking dapat diatur dengan fluktuasi
energi level yang acak pada kuantum dot relatif terhadap energi pada keadaan
terperangkap pada permukaan kristal.
Karakteristik muatan elektrostatis dan fotoionisasi dari kristal nano
CdSe 5 nm diamati menggunakana electrostatic force microscopy (EFM)
dalam udara kering dan temperatur ruang. in dry air at room temperature.
Pengukuran dilakukan pada kristal nano tunggal. Kristal nano dalam keadaan
awal bermuatan netral. Beberapa minggu kemudian beberapa kristal nano
menunjukkan muatan positif jika mengenai cahaya.
Pengukuran dengan EFM menunjukkan bukti fotoionisasi kristal
nano.sebagaian kecil dari kristal nano yang terfotoionisasi menunjukkan efek
blinking. Pengukuran dengan EFM juga menunjukkan bahwa fotoionisasi
mengecil pada batas elektron pada permukaan kristal nano.

Gambar 36.11 Skema alat EFM

Gaya tarik menarik antara tip dan substrat konduktif yang dihasilkan
dari adanya tegangan, diibaratkan sebagai interaksi kapasitif. Setiap muatan
Q diperlakukan sebagai muatan diatas permukaan isolator. Permukaan
muatan membentuk muatan image pada tip dan substrat metal. Muatan

688
permukaan dan imagenya berinteraksi dengan muatan total pada EFM tip
dengan interaksi coulomb. Gaya tarik menarik antara penopang dan substrat
sebanding dengan kuadrat beda tegangan antara keduanya. Berikut ini
perhitungan matematisnya.
Gaya elektrostatik dirumuskan dengan
𝑄𝑄1 𝑄𝑄2
𝐹𝐹𝑐𝑐𝑐𝑐𝑐𝑐𝑐𝑐 =
4𝜋𝜋𝜋𝜋𝑧𝑧 2
Sedangkan energi yang tersimpan dalam kapasitor
1 2 1 𝑄𝑄 2
𝑈𝑈 = 𝐶𝐶𝑉𝑉 =
2 2 𝐶𝐶
Gaya yang berkaitan dengan kapasitansi
𝑑𝑑𝑑𝑑 𝑑𝑑 1 𝑄𝑄 2 1 𝑄𝑄 2 𝑑𝑑𝑑𝑑 1 𝑑𝑑𝑑𝑑 2
𝐹𝐹 = − =− � �= = 𝑉𝑉
𝑑𝑑𝑑𝑑 𝑑𝑑𝑑𝑑 2 𝐶𝐶 2 𝐶𝐶 𝑑𝑑𝑑𝑑 2 𝑑𝑑𝑑𝑑
Ketika tegangan diberikan kepada tip, muncul gaya elektrostatik dan
kapasitatif. Jika terdapat muatan pada permukaan, muatan image ditimbulkan
oleh metal tip.
1 𝑑𝑑𝑑𝑑 2 𝑄𝑄1 𝑄𝑄2
𝐹𝐹𝑒𝑒 = 𝐹𝐹𝑐𝑐𝑐𝑐𝑐𝑐 + 𝐹𝐹𝑐𝑐𝑐𝑐𝑐𝑐𝑐𝑐𝑐𝑐𝑐𝑐𝑐𝑐 = 𝑉𝑉 +
2 𝑑𝑑𝑑𝑑 4𝜋𝜋𝜋𝜋𝑧𝑧 2
1 𝑑𝑑𝑑𝑑 𝑄𝑄𝑠𝑠
= ((𝑉𝑉𝑑𝑑𝑑𝑑 + 𝑉𝑉𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶 ) + 𝑉𝑉𝑎𝑎𝑎𝑎 sin(𝜔𝜔𝜔𝜔 ))2 − (𝑄𝑄 + 𝐶𝐶𝑉𝑉𝑑𝑑𝑑𝑑 + 𝐶𝐶𝑉𝑉𝑎𝑎𝑎𝑎 sin(𝜔𝜔𝜔𝜔 ))
2 𝑑𝑑𝑑𝑑 4𝜋𝜋𝜋𝜋𝑧𝑧 2 𝑠𝑠
1 𝑑𝑑𝑑𝑑 1 𝑄𝑄𝑠𝑠
= �(𝑉𝑉𝑑𝑑𝑑𝑑 + 𝑉𝑉𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶 )2 + 𝑉𝑉𝑎𝑎2𝑎𝑎 � − �𝑄𝑄 + 𝐶𝐶 (𝑉𝑉𝑑𝑑𝑐𝑐 + 𝑉𝑉𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶 )�
2 𝑑𝑑𝑑𝑑 2 4𝜋𝜋𝜋𝜋𝑧𝑧 2 𝑠𝑠
𝑑𝑑𝑑𝑑 𝑄𝑄𝑠𝑠 𝐶𝐶
+ �2(𝑉𝑉𝑑𝑑𝑑𝑑 + 𝑉𝑉𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶 ) − � 𝑉𝑉 sin(𝜔𝜔𝜔𝜔 )
𝑑𝑑𝑑𝑑 4𝜋𝜋𝜋𝜋𝑧𝑧 2 𝑎𝑎𝑎𝑎
1 𝑑𝑑𝑑𝑑 2
+ 𝑉𝑉 cos⁡ (𝜔𝜔𝜔𝜔)
4 𝑑𝑑𝑑𝑑 𝑎𝑎𝑎𝑎
dengan
𝑑𝑑𝑑𝑑 𝑄𝑄𝑠𝑠 𝐶𝐶
𝐹𝐹 (𝜔𝜔) = �2(𝑉𝑉𝑑𝑑𝑑𝑑 + 𝑉𝑉𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶 ) − � 𝑉𝑉
𝑑𝑑𝑑𝑑 4𝜋𝜋𝜋𝜋𝑧𝑧 2 𝑎𝑎𝑎𝑎

Merupakan gaya pada frekuensi 1 𝜔𝜔 dan gaya pada frekuensi 2 𝜔𝜔


didefinisikan sebagai
1 𝑑𝑑𝑑𝑑 2
𝐹𝐹 (2𝜔𝜔) =
𝑉𝑉
4 𝑑𝑑𝑑𝑑 𝑎𝑎𝑎𝑎
Pada gambar 13.12 ditunjukkan fenomena blinking QD yang diamati
Krauss dkk. gambar 13.12a untuk QD pada frekuensi 1 𝜔𝜔 dan gamabr 13.12b

689
untuk QD pada frekuensi 2 𝜔𝜔. Tampak bahwa pada frekeunsi 2 𝜔𝜔 teramati
fenomena blinking QD.

Gambar 36.12. diberi energi 20 W/cm2. Gambar a image muatan pada gaya
pada 1 𝜔𝜔 QD dan (b) QD koloidal yang terpolarisasi untuk gaya pada 2 𝜔𝜔
menunjukkan adanya efek blinking. (sumber gambar: Krauss dkk 2001)

36.5 Aplikasi QD
Karena sifatnya yang unik, QD memiliki banyak aplikasi. Seperti
misalnya Photovoltaic devices: solar cells yang merupakan optoelectronic
device. Dalam Biologi sebagai biosensors, imaging, kode warna kuatum dot
sebagai test DNA yang cepat, imaging bagian dalam tubuh organisme hidup,
dan sebagainya. Sedangkan dalam elektronika sebagai Light emitting diodes:
LEDs, kuantum computation, flat-panel displays, memory elements sebagai
information storage, Photodetectors infra red, dan laser. Dalam tulisan ini
hanya dibahas beberapa aplikasi QD

36.5.1 LEDs
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, karena emisi warna dari
QD dapat dikontrol dari ukuran dan komponennya, QD sangat cocok
690
digunakan untuk membuat LED. Keuntungan dari LEDs (Light Emiting
Dioda Quantum Dots) ini dibandingkan dengan LED konvensional adalah
lebih tahan lama dan konsumsi energi rendah. Lampu LEDs dapat
menurunkan hingga 50% konsumsi penggunaan listrik. Salah satu aplikasi
dari LEDs adalah displays berkualitas tinggi.
LCD konvensional menggunakan konsep pixel. Setiap pixel
mengandung 3 sub pixel yang berkaitan dengan warna merah, biru dan hijau.
Dengan mengatur intensitas ketiga komponen warna dapat dihasilkan
berbagai macam warna. Tetapi ada beberapa kekurangan LCD konvensional.
Yang pertama subpixel tidak murni yang dapat mempengaruhi kualitas
gambar. Yang kedua pixel hitam hanya memblok pixel sehingga boros
energi. Display yang menggunakan QD dapat menghilangkan kekurangan
ini. Karena efek pengurungan yang kuat, QD memiliki emisi yang tajam,
sehingga dapat mengemisikan warna merah, biru, dan hijau yang murni. QD
mengemisikan cahaya bukan memfilternya sehingga lebih hemat energi.
Selain itu QD tidak banyak mengemisikan infrared sehingga mengurangi
pemanasan selama proses pencahayaan.
Untuk LED konvensional, ada dua cara menghasilkan warna putih.
Yang pertama adalah mengatur warna hijau, merah dan biru. Pada metode ini
energi digunakan untuk internal absorbsi dan proses pengaturan. Cara kedua
adalah menambahkan fosfor pada LED biru. Emisi LED biru berkisar antara
380-420 nm, sedangkan efisiensi absorpsi fosfor konvensional rendah. Oleh
karena itu fosfor yang efisien dibutuhkan dalam proses ini.
Para peneliti menunjukkan bahwa sintesis koloid QD bisa menjadi
partikel nano fosfor yang bagus. Keuntungan fosfor dalam ukuran QD : (1)
QD memiliki pencapaian kuantum yang tinggi, (2) Emisi energi dapat diatur
dengan mengatur ukuran QD, (3) Semakil kecil dot mengindikasikan
semakin banyak atom yang dipermukaan dan setiap perubahan pada
komponen kimia pada atom tersebut akan mempengaruhi emisi energi dari
dot tersbut.
Struktur dari LEDs adalah pusat emisi cahaya yakni cadmium
selenide (CdSe) kristal nano. Lapisan CdSe diapit oleh lapisan elektron-
transporting (ETL) dan lapisan hole-transporting (HTL) material organik.
Pemasangan medan listrik menyebabkan elektron dan hole bergerak menuju
lapisan QD, dimana mereka ditangkap oleh QD dan direkombinan sehingga
dapat mengemisikan foton. Spektrum emisi foton lebar dan dikarakterisasi
dari FWHM.
Membawa elektron dan hole bersama dalam daerah yang kecil untuk
rekombinan yang efisien utnuk menngemisikan foton tanpa ada disipasi
merupakan salah satu tantangan. Untuk mengatasi masalah ini dibuat lapisan

691
emisi tipis diapit oleh HLT dan ETL. Dengan membuat lapisan tipis QD,
elektron hole dapat ditransfer langsung dari permukaan ETL dan HTL.
Elektron hole rekombinan teramati di dekat katoda, yang akan
mengakibatkan pembentukkan eksiton. Untuk menncegah terbentuknya
eksiton atau hole dari mencapai katoda, lapisan hole-bloking memainkan
peranan mencegah hole bergerak ke katoda dan mentransport elektron
menuju lapisan emisi. Gambar 13.13 menunjukkan lapisan-lapisan yang ada
pada LEDs. Disini digunakan lapisan QD tunggal (monolayer) dimana QD
disusun sehingga membentuk ukuran 2 dimensi.

Gambar 36.13. Struktur lapisan LEDs dimana lapisan QD diapit oleh lapisan
ETL dan HTL.

36.5.2 Imaging bagian dalam tubuh organisme hidup


Pada aplikasi dalam bidang biologi, QD menggunakan polimer
ampipilik sebagai lapisan coating mengelilingi inti dan kulit untuk
menciptakan permukaan yang bisa larut dalam air sehingga memberikan
banyak modifikasi pada QD agar sesuai untuk berbagai macam aplikasi
dalam bidang biologis.
Kelebihan dari QD untuk tujuan biologis adalah dapat diset untuk
sembarang spektrum emisi agas bisa digunakan untuk menandai dan
pengamatan berbagai proses biologi dapat digunakan untuk monitoring sel
kanker dan memberikan pemahaman mengenai evolusi dari sel kanker ini.
Kedepannya QD dapat pula dilengkapi dengan obat tumor untuk memberikan
diagnosa dan treatment kanker. QD lebih tahan terhdap degradasi
dibandingkan dengan probe optikal imaging lainnya seperti misalnya

692
pewarna organik, sehingga memungkinkan untuk mengamati proses sel
untuk waktu yang lebih lama. QD memberikan spektrum absorbsi yang luas
dengan panjang gelombang emisi yang tetap.
Multifungsi dari sistem nano untuk diagnosa kanker dan pengobatan
telah dibuat. Geometri dari partikel nano pembawa haruslah dapat penyimpan
obat dan gerak dinamis dalam fluida (darah). Struktur pori atau berlubang
diperlukan untuk menyimpan dan menyebarkan obat. Seperti ditunjukkan
pada gambar, interior nano pembawa diisi oleh obat anti kanker begitu juga
dengan permukaan luarnya. Bagian luar dari nano pembawa dihubungkan
dengan fluorescent dan partikel nano magnetik untuk imaging dan
hipertermia. Hipertermia disini diartikan dengan panas suhu tubuh. Sehingga
dengan menggunakan partikel nano magnetik kita bisa memberikan panas
pada bagian tubuh tertentu untuk membakar sel yang terinfeksi misalnya.
Komponen fluorescent bukan hanya untuk menahan bagian
dalamnya tetapi juga agar tidak berinteraksi dengan komponen lain di
luarnya. Penelitian yang dilakukan oleh Cho Hoon Sung menunjukkan bahwa
menghubungkan QD dengan beberapa partikel nano pembawa seperti
misalnya carbon nanotubes dan magnetik nanospheres Fe3O4 menyebabkan
adanya pergeseran biru. Pergeseran biru atau blue shift berarti spektrum
emisinya menuju ke spektrum biru.

Gambar 36.14. skema ideal multifungsi sistem nano yang digunakan untuk
diagnosa kanker dan pengobatan.

Polimer matriks untuk partikel nano haruslah cocok dengan sel


hidup, dapat terurai dalam sel, kuat secara mekanik, dan mudah diproses.
Polimer yang paling bagus untuk dikontrol adalah poly(latide-co-glycolide)s
(PLGA).

693
Para peneliti di Emory University, Georgia Tech, dan Cambridge
Penelitian dan Instrumentasi, telah menggunakan QD untuk mengidentifikasi
tumor pada tikus. QD yang digunakan terbuat dari selenide kadmium sulfida-
seng, masing-masing 5nm di diameter. QD dilapisi dengan polimer untuk
mencegah tubuh makhluk hidup menyerang QD dan untuk menjaga QD
sendiri dari kebocoran ion kadmium beracun dan selenium. kauntum dot
dipasangkan antibodi di luar kulit, kemudian anti bodi tersebut dilepas ke
permukaan sel tumor prostat. Para ilmuwan menyuntik QD ke dalam sistem
peredaran darah dan terakumulasi pada titik tumor, yang kemudian bisa
dideteksi oleh fluoresensi pencitraan.

36.5.3 Unit Informasi Kuantum


Pada logaritma yang klasik, 1 bit didefinisikan sebagai keadaan ada
atau tidak ada (0 dan 1), jadi terdapat dua keadaan. Diperkenalkan logaritma
yang baru dengan menggunakan QD yang disebut dengan kuantum bit,
dimana keadaannya 𝛼𝛼 |0〉 + 𝛽𝛽|1〉, dengan (𝛼𝛼 2 + 𝛽𝛽2 ) = 1 sehingga memiliki
keadaan yang tak hingga. Keadaan 𝛼𝛼 |0〉 diinformasikan oleh spin down dan
keadaan 𝛽𝛽|1〉 diinformasikan oleh spin up. Ini memungkinkan kita dapat
menyimpan memori lebih banyak dalam ukuran yang lebih kecil. Selain itu,
dapat pula dalam bentuk penambahan elektron ke dalam dot. Elektron yang
diinjeksikan ke dalam QD akan terkurung dengan kuat didalamnya selama
tidak diberikan panjar mundur (reverse bias) yang bersesuaian agar elektron
terdorong kuat. Penambahan elektron ke dalam dot dapat dikonversi menjadi
bilangan biner 0 dan 1. Dari bilangan biner tersebut kemudian dapat
dibangun berbagai macam logika.

36.5.4 Sel Surya


Sel surya merupakan piranti yang mampu mengubah energi cahaya
menjadi energi listrik. Foton yang datang dengan energi sebesar hc/𝜆𝜆 akan
diserap oleh elektron di pita valensi yang kemudian digunakan untuk eksitasi
ke pita konduksi. Syaratnya adalah energi yang diserap harus lebih besar atau
sama dengan lebar celah energi.
Sel surya yang beredar di pasaran biasanya berbasis pada silikon.
Namun, efisiensi yang dicapai rata-rata sel surya hanya sekitar 15%. Untuk
meningkatkan efisiensi hingga mencapai 30%, sel surya dibuat dari kristal
silikon tunggal, tetapi biaya yang dikeluarkan sangat mahal sehingga untuk
memasarkan secara masal sel surya jenis ini sangat tidak mungkin. Sebagai
catatan, sel surya tersebut hanya mampu menyerap foton pada daerah cahaya
tampak saja.

694
QD dapat menjawab semua persoalan tersebut. Partikel QD memiliki
ukuran dalam skala nano meter, sehingga luas permukaan serapan akan
menjadi sangat besar. Bayangkan saja setiap dot mampu menyerap dan
mengkonversi cahaya menjadi energi listrik, padahal dalam luas permukaan
tertentu pasti akan banyak sekali QD (mencapai orde bilangan avogadro).
Celah energi yang bergantung pada ukuran pun membuat daerah serapan
menjadi sangat lebar. Tiap jenis QD memiliki daerah serapan masing-masing,
mulai dari daerah ultraviolet sampai inframerah, sehingga pada kondisi cuaca
bagaimanapun sel surya berbasis QD masih tetap aktif bekerja mengubah
energi cahaya menjadi energi listrik. Sel surya berbasis QD mampu bertahan
hingga 10000jam pemakaian.
Sel surya berbasis QD dibagi menjadi tiga konfigurasi. Pertama adalah
foloelektroda yang tersusun dari sejumlah larik (array) QD. Pada konfigurasi
ini, QD disusun membentuk formasi larik tiga dimensi dan jarak antar dot
dibuat sangat kecil sehingga terbentuk pita mini (mini band).

36.6 Penutup
QD merupakan kristal nano yang berukuran sangat kecil yang dapat
mengemisikan panjang gelombang yang berbeda-beda tergantung dari ukuran,
bentuk dan komposisinya. Dengan sifatnya ini QD merupakan penemuan yang
luar biasa yang memungkinkan kita untuk mengatur ukuran dan sifatnya
seperti yang kita inginkan sehingga kita dapat menghasilkan berbagai macam
device sesuai dengan kebutuhan kita. Selain itu kita juga dapat
menggunakannya untuk mendeteksi berbagai hal yang kita inginkan. Aplikasi
dari QD ini sangat beragam seperti misalnya untuk LED yang lebih efisien,
aplikasi dalam bidang kedokteran untuk membantu pengobatan kanker, dan
dalam bidang komputer menawarkan sistem memori baru menggunakan spin
sehingga dapat dihasilkan memori dengan penyimpanan yang jauh lebih besar
pada ukuran memori yang lebih kecil.

36.7 Daftar pustaka


Anikeeva, Polina O. Kuantum Dot Light-Emitting Deviceswith
Electroluminescence Tunable over the Entire Visible Spectrum. Nano
letter 2009 vol 9 no. 7(2532-2536)
Bietti, dkk. Explanation of kuantum dot blinking without long-lived trap
hypothesis. California Institute of Technology Pasadena, CA 91125
(July 28, 2005)

695
Busani, Sridhar. QDs – Application in Life Sciences. Didownload dari
nanocluster.mit.edu/bawendi-group2011
Chance Harenza. QDs. Seminar Research, Arlington, TX, 76010, USA
Fabrication of GaAs kuantum dots by droplet epitaxy on Si/Ge virtual
substrate. Didownload dari http://iopscience.iop.org/1757-
899X/6/1/012009
Griffith, David J. Introduction to Kuantum Mechanics. Second Edition.
Pearson Education LTD,. London
Hoon-Sung, Cho. 2010. Design and Development of a multifunctional nano
carrier system for imaging, drug delivery, and cell targeting in cancer
research. Disertasi pada Division of Research and Advanced Studies of
the University of Cincinnati Liu, Cheng. 2005. Basic Idea of Kuantum
Dots and Current applications. Physic 598OS 14 Desember
Koc, Kenan, Tepehan, Fatma, dan Tepehan, Galip. Characterization Of Mps
Capped Cds Kuantum Dots And Formation Of Self-Assembled Kuantum
Dots Thin Films On A Glassy Substrate. Chalcogenide Letters Vol. 8,
No. 4, April 2011, p. 239-247
Kouwenhoven, Leo P. dkk. 1997. Electron transport in quantum dots.
Proceedings di the Advanced Study Institute on Mesoscopic Electron
Transport
Krauss, dkk. Charge and Photoionization Properties of Single Semiconductor.
J. Phys. Chem. B 2001, 105, 1725-1733
maksyin, P.A. dan Chakraborty, Tapash. 1990. Kuantum Dots in a Magnetik
Field: Role of Electron-Electron interactions. Physical review Letter
volume 65, number 1 (108-111).
Michaelt, Xavier, dkk. Properties of Fluorescent Semiconductor Nanocrystals
and their Application to Biological Labeling. Single Mol. 2 (2001) 4,
261-276
Mikrajuddin, A. 2009. Pengantar Nanosains. Penerbit ITB:Bandung
Murphy, Catherine J. 2002. QDs: A Primer. Volume 56, number 1. Applied
Spectroscopy. Hal 16A-27A
Norris, David J. Spectrum in Cadmium Selenide (CdSe) QDs. Disertasi
departemen of Chemistry University of Chicago 1990
S. M. Reimann and M. Manninen. Electronic structure of QDs. Rev. Mod.
Phys., Vol. 74, No. 4, October 2002
Wojs, Arkadiusz, dkk. Electronic structure and magneto-optics of self-
assembled quantum dots. Physical Review B Volume 54, Number 8 15
August 1996-II
Wong, Michael S. dan Stucky, Galen D.. The Facile Synthesis of
Nanocrystalline Semiconductor Kuantum Dots. Mat. Res. Soc. Symp.
Proc. Vol. 676 © 2001 Materials Research Society
X. Michalet. QDs for Live Cells, in Vivo Imaging, and Diagnostics

696
Bab 37
Sel Surya Quantum Dot
Oleh: Dui Yanto Rahman

37.1 Pendahuluan
Peningkatan efisiensi sel surya terus dikembangkan, salah satunya
adalah dengan meningkatkan daya serap sel surya terhadap foton-foton cahaya,
baik yang memiliki energi tinggi maupun energi rendah. Sel surya
konvensional yang ada saat ini hanya mampu menyerap energi cahaya yang
memiliki panjang gelombang antara 400-550 nm, yang berarti hanya sebagian
kecil dari daerah cahaya tampak. Oleh karena itu, penemuan partikel nano yang
memiliki konduktivitas tinggi kemudian diterapkan pada teknologi
semikonduktor sel surya. Penelitian menunjukkan bahwa pemakaian
semikonduktor berstruktur nano dapat meningkatkan daya serap sel surya, tapi
hanya menyerap foton-foton berenergi tinggi yang berguna untuk
menghasilkan Multiple exiton (satu foton bisa menghasilkan lebih dari satu
pasangan elektron dan hole). Untuk itu, diperlukan susunan dan material sel
surya yang dapat menyerap foton-foton berenergi rendah juga. Kombinasi
antara material nano dan Quantum Dots dapat menjawab tantangan ini karena
Quantum Dots dapat menyerap hampir semua foton-foton dalam daerah
cahaya tampak.

37.2 Sel Surya


Sel Surya adalah alat yang mengubah energi cahaya matahari menjadi
energi listrik. Alat ini terdiri dari beberapa lapisan di mana lapisan
semikonduktor P dan N serta sambungan keduanya berada pada lapisan intinya.
Pada lapisan inti inilah terjadi peristiwa pengubahan energi cahaya matahari
menjadi energi listrik dimana lapisan ini menyerap cahaya matahari yang
membawa sejumlah foton. Foton-foton tersebut datang dengan energi sebesar
hc/λ diserap oleh elektron yang berada pada pita valensi untuk keluar
(tereksitasi) menuju pita konduksi dengan syarat energi yang diserap minimal
harus sebesar celah pita energinya. Terlepasnya elektron ini meninggalkan hole
pada daerah yang ditinggalkannya yang disebut dengan fotogenerasi elektron-
hole (electron-hole photogeneration) yakni, terbentuknya pasangan elektron
dan hole akibat cahaya matahari.

697
Selanjutnya, dikarenakan pada sambungan pn terdapat medan listrik E, elektron
hasil fotogenerasi tertarik ke arah semikonduktor n, begitu pula dengan hole
yang tertarik ke arah semikonduktor p. Apabila rangkaian kabel dihubungkan
ke dua bagian semikonduktor, maka elektron akan mengalir melalui kabel. Jika
sebuah lampu kecil dihubungkan ke kabel, lampu tersebut menyala
dikarenakan mendapat arus listrik, dimana arus listrik ini timbul akibat
pergerakan elektron. Gambar 37.2.1. menunjukkan proses perubahan energi
cahaya menjadi energi listrik.

Gambar 37.2.1 Proses pengubahan energi cahaya menjadi energi listrik


(www.RonCurtis&MrSolar.com)

Proses pengubahan atau konversi cahaya matahari menjadi listrik ini


dimungkinkan karena bahan material yang menyusun sel surya berupa
semikonduktor. Lebih tepatnya tersusun atas dua jenis semikonduktor; yakni
jenis n dan jenis p.

Semikonduktor jenis n merupakan semikonduktor yang memiliki


kelebihan elektron, sehingga kelebihan muatan negatif, (n = negatif).
Sedangkan semikonduktor jenis p memiliki kelebihan hole, sehingga disebut
dengan p ( p = positif) karena kelebihan muatan positif. Caranya, dengan
menambahkan unsur lain ke dalam semkonduktor, maka kita dapat mengontrol
jenis semikonduktor tersebut, sebagaimana diilustrasikan pada gambar di
bawah ini.

Gambar 4.2.2 Proses doping semikonduktor silikon


http://energisurya.files.wordpress.com

698
Pada awalnya, pembuatan dua jenis semikonduktor ini dimaksudkan
untuk meningkatkan tingkat konduktifitas atau tingkat kemampuan daya hantar
listrik dan panas semikonduktor alami. Di dalam semikonduktor alami (disebut
dengan semikonduktor intrinsik) ini, elektron maupun hole memiliki jumlah
yang sama. Kelebihan elektron atau hole dapat meningkatkan daya hantar
listrik maupun panas dari sebuah semikoduktor.

Misal semikonduktor intrinsik yang dimaksud ialah silikon (Si).


Semikonduktor jenis p, biasanya dibuat dengan menambahkan unsur boron (B),
aluminum (Al), gallium (Ga) atau Indium (In) ke dalam Si. Unsur-unsur
tambahan ini akan menambah jumlah hole. Sedangkan semikonduktor jenis n
dibuat dengan menambahkan nitrogen (N), fosfor (P) atau arsen (As) ke dalam
Si. Dari sini, tambahan elektron dapat diperoleh. Sedangkan, Si intrinsik sendiri
tidak mengandung unsur tambahan. Usaha menambahkan unsur tambahan ini
disebut dengan doping yang jumlahnya tidak lebih dari 1 % dibandingkan
dengan berat Si yang hendak di-doping.

Dua jenis semikonduktor n dan p ini jika disatukan akan membentuk


sambungan p-n atau dioda p-n (istilah lain menyebutnya dengan sambungan
metalurgi / metallurgical junction) yang dapat digambarkan sebagai berikut.

Semikonduktor jenis p dan n sebelum disambung.

Gambar 4.2.3 Semikonduktor tipe N dan P


(http://energisurya.files.wordpress.com)
Sesaat setelah dua jenis semikonduktor ini disambung, terjadi
perpindahan elektron-elektron dari semikonduktor n menuju semikonduktor
p, dan perpindahan hole dari semikonduktor p menuju semikonduktor n.
Perpindahan elektron maupun hole ini hanya sampai pada jarak tertentu dari
batas sambungan awal.

699
Gambar 4.2.4 Proses penyambungan semikonduktor N dan P
(http://energisurya.files.wordpress.com)
Elektron dari semikonduktor n bersatu dengan hole pada semikonduktor p
yang mengakibatkan jumlah hole pada semikonduktor p akan berkurang.
Daerah ini akhirnya berubah menjadi lebih bermuatan positif.
Pada saat yang sama. hole dari semikonduktor p bersatu dengan elektron yang
ada pada semikonduktor n yang mengakibatkan jumlah elektron di daerah ini
berkurang. Daerah ini akhirnya lebih bermuatan positif.

W
Gambar 4.2.2 Terbentuknya depletion area setelah proses
penyambungan (http://energisurya.files.wordpress.com)

Daerah negatif dan positif ini disebut dengan daerah deplesi (depletion
region) ditandai dengan huruf W.

Baik elektron maupun hole yang ada pada daerah deplesi disebut dengan
pembawa muatan minoritas (minority charge carriers) karena keberadaannya
di jenis semikonduktor yang berbeda.

Dikarenakan adanya perbedaan muatan positif dan negatif di daerah deplesi,


maka timbul dengan sendirinya medan listrik internal E dari sisi positif ke sisi
negatif, yang mencoba menarik kembali hole ke semikonduktor p dan elektron
ke semikonduktor n. Medan listrik ini cenderung berlawanan dengan
perpindahan hole maupun elektron pada awal terjadinya daerah deplesi (nomor
1 di atas).

Gambar 4.2.3 Arah medan listrik setelah terbentuknya


depletion area (http://energisurya.files.wordpress.com)
Adanya medan listrik mengakibatkan sambungan pn berada pada titik
setimbang, yakni saat di mana jumlah hole yang berpindah dari semikonduktor
p ke n dikompensasi dengan jumlah hole yang tertarik kembali kearah
semikonduktor p akibat medan listrik E. Begitu pula dengan jumlah elektron
yang berpindah dari smikonduktor n ke p, dikompensasi dengan mengalirnya
kembali elektron ke semikonduktor n akibat tarikan medan listrik E. Dengan
kata lain, medan listrik E mencegah seluruh elektron dan hole berpindah dari
semikonduktor yang satu ke semiikonduktor yang lain.

700
Pada sambungan p-n inilah proses konversi cahaya matahari menjadi listrik
terjadi. Untuk keperluan sel surya, semikonduktor n berada pada lapisan atas
sambungan p yang menghadap kearah datangnya cahaya matahari, dan dibuat
jauh lebih tipis dari semikonduktor p, sehingga cahaya matahari yang jatuh ke
permukaan sel surya dapat terus terserap dan masuk ke daerah deplesi dan
semikonduktor p.

Gambar 4.2.4 Posisi semikonduktor N dan P serta arah


cahaya matahari datang
(http://energisurya.files.wordpress.com)
Ketika sambungan semikonduktor ini terkena cahaya matahari, maka
elektron mendapat energi dari cahaya matahari untuk melepaskan dirinya dari
semikonduktor n, daerah deplesi maupun semikonduktor. Terlepasnya elektron
ini meninggalkan hole pada daerah yang ditinggalkan oleh elektron yang
disebut dengan fotogenerasi elektron-hole (electron-hole photogeneration)
yakni, terbentuknya pasangan elektron udan hole akibat cahaya matahari.

Gambar 4.2.5 Proses penyerapan cahaya matahari oleh


semikonduktor (http://energisurya.files.wordpress.com)

701
Cahaya matahari dengan panjang gelombang (dilambangkan dengan
simbol “lambda” di gambar atas ) yang berbeda, membuat fotogenerasi pada
sambungan pn berada pada bagian sambungan pn yang berbeda pula.

Spektrum merah dari cahaya matahari yang memiliki panjang


gelombang lebih panjang, mampu menembus daerah deplesi hingga terserap di
semikonduktor p yang akhirnya menghasilkan proses fotogenerasi di sana.
Spektrum biru dengan panjang gelombang yang jauh lebih pendek hanya
terserap di daerah semikonduktor n.

Selanjutnya, dikarenakan pada sambungan pn terdapat medan listrik E,


elektron hasil fotogenerasi tertarik ke arah semikonduktor n, begitu pula
dengan hole yang tertarik ke arah semikonduktor p.

Apabila rangkaian kabel dihubungkan ke dua bagian semikonduktor,


maka elektron akan mengalir melalui kabel. Jika sebuah lampu kecil
dihubungkan ke kabel, lampu tersebut menyala dikarenakan mendapat arus
listrik, dimana arus listrik ini timbul akibat pergerakan elektron.

Gambar 4.2.6 Ilustrasi Aliran elektron dan hole


(http://energisurya.files.wordpress.com)
Pada umumnya, untuk memperkenalkan cara kerja sel surya secara
umum, ilustrasi di bawah ini menjelaskan segalanya tentang proses konversi
cahaya matahari menjadi energi listrik.

Gambar 4.2.6 Ilustrasi sederhana proses konversi cahaya matahari


menjadi energi listrik (http://energisurya.files.wordpress.com)

702
Mayoritas bahan semikonduktor untuk sel surya yang ada terbuat dari
silikon karena kemudahan mendapatkan bahan tersebut didukung dengan
meluasnya fabrikasi semikonduktor berbasis silikon. Tetapi efisiensi sel surya
dengan bahan silikon rata-rata hanya 15 persen. Pencapaian efisiensi sel surya
berbasis silikon pada level 30% tidak didukung dengan kemurahan biaya
produksinya.
Beberapa material selain silikon telah dicoba diterapkan sebagai bahan
semikonduktor untuk sel surya tetapi efisiensi yang dihasilkan belum cukup
memuaskan ditambah dengan biaya produksinya membuat banyak peneliti
tidak berhenti untuk terus menemukan bahan sel surya yang mempunyai
efisiensi yang tinggi namun dengan biaya produksi murah. Gambar 37.2.2 di
bawah ini menyajikan perbandingan tingkat efisiensi untuk beberapa jenis sel
surya.

Gambar 4.2.2 Perbandingan tingkat efisiensi untuk tipe solar sel yang berbeda.
(Shell Solar 2003)

Pusat kerja sel surya berada pada lapisan semikonduktor n dan p dan
sambungan keduanyanya. Dimana pada lapisan ini arus listrik yang dihasilkan
bergantung pada banyaknya pasangan elektron dan hole yang dihasilkan.
Semakin banyak pasangan electron dan hole yang dihasilkan semakin besar
aliran electron yang terjadi antara semikonduktor n dan p yang berefek pada
besarnya aliran arus listrik yang dihasilkan. Gambar di bawah ini menunjukkan
pusat kerja sel surya.

Gambar 4.2.3 pusat kerja sel surya. Lapisan n, p dan daerah deplesi.
(Donghwan Kim, Korea University)

703
Untuk menghasilkan pasangan electron-hole yang banyak diperlukan
material yang memiliki nilai band gap yang optimum, dimana dapat menyerap
foton-foton yang dibawa cahaya matahari baik yang berenergi tinggi maupun
rendah.
Teknologi sel surya yang ada saat ini biasanya dikelompokkan menjadi
3 kelompok, yakni sel surya single junction (sambungan tunggal), sel surya
film tipis, dan sel surya single junction yang disusun menjadi beberapa lapisan
. Material yang dipakai untuk sel surya beragam diantaranya monocrystalline
silicon, polycrystalline silicon,, amorphous silicon, cadmium telluride, dan
copperindum selenide/sulfide. Material umumnya berbentuk bulk yang
dibentuk wafer-wafer tipis berukuran 180-240 mikrometer. Material yang lain
adalah lapisan film tipis, dye organic, dan polymer organic yang dideposisikan
pada substrate pendukung.
Sel surya silikon terbagi menjadi tiga kategori sesuai dengan sifat dan
ukuran kritalnya. Yaitu;
1. Monokristal silikon (c-Si)
2. Poli Kristal silikon atau multi Kristal silikon (poly-Si atau mc-Si)
3. Ribbon Silicon
Sel surya single junction memiliki efisiensi yang terbatas, hal ini
disebabkan oleh banyaknya energi yang terbuang dan dibawa oleh foton
dengan beberapa mekanisme, seperti yang ditunjukkan gambar 37.2.4.
Spektrum matahari yang terdiri dari foton-foton dengan kisaran energi antara
0.5 s.d 3.5 eV. Foton dengan energi yang lebih kecil dari band gap (celah pita)
material semikonduktor sel surya tidak diserap oleh material tersebut
(ditransmisikan), sementara foton-foton dengan energi sangat tinggi
melepaskan energinya sebagai panas ketika Carrier (pembawa muatan)
kembali ke tepi pita (ditunjukkan oleh no.1 dan 2 pada gambar 37.2.3 secara
berurutan). e
2

e e 3
4
e e e
5 e

h 5’

4’ h h
2’
h
h
1

Gambar 4.2.4 Proses-proses umum terbuangnya energi


pada sel surya single junction (1) energi foton yang
rendah, (2) energi foton yang tinggi hilang sebagai
panas, (3) hilangnya tegangan pada sambungan, (4)
hilangnya energi karena tegangan kontak. (Som Nath
Dahal,Disertasi, 2011)
Berbagai usaha untuk mencapai efisiensi sel surya yang tinggi bertumpu
pada cara untuk bisa melewati batas efisiensi teori Shockley-Queisser sebesar
32%, yaitu dengan cara mengindari terbuangnya energi untuk foton yang

704
berenergi tinggi dan cara untuk bisa menyerap foton yang memiliki energi
lebih rendah dari band gap. Adapun cara untuk mengecilkan potensi
kehilangan energi (loss energy) untuk foton berenergi tinggi dan foton
berenergi lebih rendah dari band gap yaitu menggunakan solar sel single
junction dengan beberapa lapisan yang memiliki pita energi yang berbeda.
Tetapi cara ini belum memperoleh biaya produksi yang ekonomis.

37.3 Sel Surya Nano dan Quantum Dot


Pada saat ini, cara yang sedang dikembangkan oleh banyak orang untuk
meningkatkan efisiensi sel surya adalah dengan menggunakan sel surya
berstruktur nano dipadukan dengan Quantum Dots. Quantum dots merupakan
material semikonduktor yang sangat kecil dengan ukuran 1 - 10 nm, sesuai
dengan hukum mekanika kuantum, energi-energi electron yang dapat berada di
di dalamnya terbatas. Level-level energi ini ditentukan oleh ukuran quantum
dots , yang berarti juga menentukan band gaps. Dot-dot tersebut bisa dibuat
sesuai dengan ukuran yang dibutuhkan. Hal ini memungkinkannya untuk
memiliki beragam bandgap tanpa mengganti material pokok atau tehnik-tehnik
kontruksinya. Untuk mendapatkan variasi ukuran biasanya dilakukan dengan
memvariasikan waktu atau suhu sintesisnya. Karena bisa memvariasikan
bandgapnya dengan variasi ukurannya inilah quantum dots sangat tepat untuk
diapplikasikan pada sel surya. Apabila suatu semikonduktor berbasis quantum
dots diterapkan pada sel surya maka dapat dibayangkan betapa luasnya
permukaan serapan lapisan semikonduktor tersebut. Ditambah lagi dengan
beragam ukuran yang ada pada permukaan tersebut menyebabkan sel surya
tersebut dapat menyerap cahaya yang banyak dengan variasi jenis panjang
gelombang cahayanya yang banyak pula. Dibawah ini adalah contoh lapisan
quantum dots dengan variasi ukurannya juga.

Gambar 4.3.1. Lapisan Quantum Dot


Pada sel surya, pemakaian quantum dots ada beberapa tipe. Ada yang
pemakaian quantum dotnya hanya di daerah sambungan semikonduktor n dan p
nya saja, ada juga yang di seluruh lapisan semikonduktornya, dan ada juga
yang diseluruh lapisan sel suryanya. Gambar di bawah ini menunjukkan
beberapa tipe pemakaian quantum dots pada lapisan sel surya.

705
Gambar 4.3.2. contoh lapisan quantum dots
pada sel surya

Gambar 37.3.3 merupakan sel surya quantum dots Galium Arsenide


(GaAs) yang dibungkus dengan Indinium Arsenide (InAs). Lapisan ini dibuat
beberapa stack diletakkan antara 2 tipe semikonduktor tipe n.

Gambar 4.3.3 Desain konseptual dari sel surya silicon tandem.


Dengan quantum dots Si-SiO2.

Gambar 37.3.3 merupakan sel surya quantum dots yang disusun


beberapa lapisan dan diletakkan di atas material Silikon bulk. Quantums dots
diterapkan pada semua lapisan, baik pada bagian sambungan maupun bukan
sambungan.

706
Gambar 4.3.4 Konsep desain sel surya Quantum Dot GaAs
Gambar 4.3.4 merupakan sel surya quantum dots GaAs. Dimana
(Galium Arsenide) (Seth Hubbard dan Ryne Raffaelle)
material quantum dots hanya diletakkan di daerah persambungan antara
semikonduktor tipe n dan semikonduktor tipe p.

Gambar 4.3.5 Sel surya InGaAs/GaAs QD superlattice (SL) pin


(National Renewable Energy Laboratory Golden, Colorado)

Gambar 37.3.5 merupakan sel surya quantum dots. Dimana material


quantum dots dibuat berlapis-lapis dan ditempatkan antara semikonduktor tipe
p dan n.
Disamping itu, ada juga quantum dots dalam bentuk koloid dimana
sintesisnya dengan menggunakan proses kimia. Di bawah ini adalah contoh
quantum dots koloid yang diterapkan pada sel surya.

Gambar 4.3.6 . (a) pengikatan quantum dots CdSe kepad Partikel


TiO2 dengan permukaan bifunctional. (b) Sel Surya quantum
dots CdSe pada Film tipis TiO2. (Itsvan Robel et.al 2006)

Gambar 37.3.6 merupakan sel surya quantum dots koloid dimana CdSe
sebagai material quantum dots diikatkan pada nano partikel TiO2. Lapisan
substrate berupa OTE (Optical Transparant Electrode)

707
Efisiensi sel surya quantum dots menyamai sel surya GaAs tandem yang
biayanya mahal. Tetapi QDs bisa ditingkatkan lagi efisiensinya. Khusus PbS
CQDs mempunyai bandgap bandgap yang dapat menyerap cahaya infra merah,
yang tidak bisa diserap jika memakai PbS dalam ukuran bulk. Setengah dari
cahaya matahari yang sampai ke bumi adalah infra merah, kebanyakannnya
adalah di dekat daerah infra merah. Dengan solar sel quantum dot, material-
material yang sangat peka terhadap cahaya infra merah sangat mudah
digunakan sehingga dapat menyerap lebih banyak energi.Dengan teknologi ini
kehilangan energi dari pasangan elektron hole yang dihasilkan oleh foton
berenergi tinggi dapat ditekan dan digunakan untuk meningkatkan baik
tegangan ataupun arus oleh cahaya (photo voltage dan photo current).
Peningkatan arus bisa dicapai dengan menggunakan energi yang hilang dalam
proses relaksasi untuk membangkitkan pasangan elektron dan hole yang lebih
banyak. Satu foton bisa menghasilkan lebih dari satu pasangan elektron dan
hole. Sementara peningkatan photo voltage bisa dicapai dengan mengumpulkan
pembawa muatan (carrier) berenergi tinggi sebelum mereka sampai ke tepi
pita. Untuk foton yang berenergi lebih kecil dari celah pita, kehilangan
energinya bisa dihindari dengan memakai material yang memiliki intermediate
band (pita menengah) yang diletakkan antara pita valensi dan konduksi dari
suatu semikonduktor. Ada beberapa tipe sel surya berbasis nano dan quantum
dots.

37.4.1 Sel Surya Multiple Exciton Generation


Dalam sel surya jenis ini, pasangan elektron-hole dihasilkan oleh foton-
foton yang memiliki energi paling sedikit dua kali lebih besar dari band gap
yang melepaskan energinya untuk menghasilkan exciton yang lain. Fenomena
ini juga disebut impact ionization, yang menjadi penyebab multiple exciton
generation. Batas efisiensi untuk sel surya dengan prinsip ini adalah 85,9%
untuk bandgap 48MeV dengan konsentrasi maksimum dari AMO spectrum
cahaya dan 44% pada 1 sun untuk Eg = 0,735. Pada material bulk, dikarenakan
kekekalan momentum kristal berbarengan dengan kekekalan energi, maka
batas energi untuk impact ionizationnya lebih tinggi dari yang dibutuhkan oleh
kekekalan energi jika sendirian saja. Sebagai contoh dalam silikon bulk hasil
kuantum total hanya 125% didapatkan dengan energi foton sebesar 4,8 eV.
Laju impact ionization harus setara dengan laju carrier relaxation oleh
scattering elektron fonon. Untuk menghasilkan efek yang berarti dalam carrier
multiplication pada sel surya laju impact ionization harus dimaksimalkan.

Pada Kristal nano seperti quantum dots, kekekalan momentum tidak


dibutuhkan, ini bisa menghasilkan efek carrier multiplication yang efisien.
Tantangan utama untuk merealisasikan solar sel yang berbasis carrier
multiplication adalah menemukan material dan susunan yang mempunyai
impact ionization yang efisien dan mengumpulkan pembawa muatan yang
dihasilkan cahaya dari quantum dot menuju keluar lintasan eksternal.

708
37.4.2 Sel Surya Hot Carrier
Konsep fisis dari sel surya hot carrier adalah mengekstrasikan pembawa
muatan (carrier) dari media penyerap sebelum mereka (carrier) terelaksasi ke
pingiran pita dengan mengemisikan fonon (carrier masih panas). Ekstraksi hot
carrier bergantung pada dua factor utama. harus melewati sel dengan cepat (2)
laju pendinginan harus lambat. Hot carrier harus dikumpulkan dari media
penyerap dengan kontak energy pilihan. Struktur nano quantum dot dapat
diimplementasikan dalam sel surya hot carrier baik sebagai penyerap dan
kontak energi. Rapat keadaan yang diskrit dalam struktur ini bias mencegah
pendinginan carrier dibandingkan jika memakai material bulk. Dan juga rapat
energi yang terkurung dalam struktur nano seperti nano well, nano wire dan
quantum dots dapat digunakan sebagai level-level peresonansi energy dari
lebar yang sangat kecil yang mentransmisikan energi yang sangat kecil dari hot
carrier merefleksikan kembali carrier menuju lapisan penyerap. Ekstrasksi hot
carrier meningkatkan tegangan sirkuit terbuka dan efisiensi. Batas efisiensi
dari sel surya hot carrier adalah 85% mendekati batas kuantum maksimum
yaitu 86,8 %. Ini cocok dengan porsi yang sempit dari radiasi cahaya.

37.4.3 Sel Surya Multiple Transition


Sel surya multiple transisi membutuhkan keberadaan pita menengah
(intermediate band) dalam daerah energi gap dari material semikonduktor
konvensional. Pita intermediate ini memfasilitasi penyerapan foton berenergi
rendah dan menjaga tegangan sirkuit terbuka yang tinggi yang ditentukan oleh
pemisahan lever quasi Fermi sesuai dengan pita valensi dan konduksi dari
material yang mempunyai band gap besar. Agar bisa terealisasi, level quasi
Fermi yang cocok dengan pita intermediate harus dipasangkan secara optik dan
diisolasi secara listrik dari level quasi Fermi pita valensi dan pita konduksi. Ide
ini pertama kali dimaksudkan untuk menyerap foton-foton sub band gap dan
menghitung efisiensi menggunakan metode empirik. Batas efisiensi untuk sel
surya intermediate band adalah 63% untuk band gap optimum Eg = 1,95 eV ,
Eic = 0,71 eV dan Eiv = 1,24 eV seperti ditunjukkan gambar di bawah ini

Gambar 4.4.3.1 Batas Efisiensi sel surya intermediate band , sel


surya tandem 2 terminal. (Som Nath Dahal,Disertasi, 2011)

709
Dalam Intermediate band solar cells (IBSCs), sebuah material dengan
IB yang ditempatkan di daerah intrinsic antara semikonduktor konvensional
tipe p dan n seperti diperlihatkan gambar di bawah ini. Material IB harus
mengandung paling sedikit satu pita di antara pita valensi dan pita konduksi.

Gambar 4.4.3.2 skema proses penyerapan foton dan split level quasi-
Fermi dalam sel surya IB (Som Nath Dahal,Disertasi, 2011)

Para peneliti seluruh dunia sedang mencari dan meneliti material bulk
dan molecular yang mempunyai potensial memiliki IB yang cocok untuk
IBSCs.
Struktur nano seperti quantum well, wire dan dots direkomendasikan
sebagai calon material untuk IBSC. Dalam struktur ini, Kristal nano dari
material dengan band gap kecil dikelilingi material dengan band gap besar
dalam dimensi satu, dua dan tiga menghasilkan quantum well, wire dan dots
secara berurutan. Kedaan terkurung pada pita konduksi dan valensi dari
material quantum well, wire atau dots bertindak sebagai keadaan menengah
yang bias memfasilitasi penyerapan foton-foton sub band gap. Tetapi berkaitan
dengan k vector carrier continuum dalam arah yang tidak terkurung, quantum
well dan wire tidak memiliki rapat keadaan yang cocok untuk menjaga level
quasi-Fermi, sebagaimana yang ditunjukkan gambar di bawah ini. Quantum
dots Kristal nano, berkaitan dengan fungsi deltanya seperti rapat keadaan, dapat
menjadi calon material yang cocok untuk menjaga level quasi-Fermi dari
intermediate band diciptakan keadaan-keadaan terkurung tersebut (confined
states).

Gambar 4.4.3.2. Skema rapat keadaan untuk pengurungan


yang berbeda dibandingkan dengan bulk (Som Nath
Dahal,Disertasi, 2011)

710
Dalam quantum dots, keadaan terkurung pada pita konduksi dan valensi
dapat bertindak sebagai keadaan intermediate, dan jika jarak antara Kristal
nano quantum dots cukup kecil sehingga terjadi overlapping fungsi gelombang
diantara dot-dot sekitarnya yang cukup signifikan mereka akan membentuk
sebuah pita yang dapat bertindak sebagai sebuah pita intermediate seperti yang
ditunjukkan di bawah ini. Untuk applikasi quantum dots pada IBSCs,
penumbuhan metode stranski-Krastanov (SK) bias dipakai untuk fabrikasi QDs
melalui metode epitaxial yang dikontrol dengan sempurna menggunakan
molecular beam epitaxy (MBE) atau metalorganic chemical vapor deposition
(MOCVD).

Gambar 4.4.3.3 Diagram skema dari material intermediate band


dengan IB terbentuk melalui fungsi gelombang quantum dots yang
overlapping (Som Nath Dahal,Disertasi, 2011)

Dalam mekanisme penumbuhan SK, ketidaksebandingan kisi-kisi antara


material multi struktur memainkan peranan yang penting untuk mengontrol
bentuk, ukuran dan keseragaman quantum dots, bersamaan dengan kondisi
penumbuhan seperti rasio flux dan suhu substrate. Dot-dot bias disusun sejajar
sepanjang arah vertical dan ketebalan dari lapisan barrier bisa dikontrol dalam
skema penumbuhan ini. Oleh karena itu, dengan mengontrol ketebalan lapisan
barrier dalam arah vertical, terbentuk intermediate band bida didapat.
Diantara beragam isu dan tantangan dalam sel surya multiple transition
dengan QDs sebagai material intermediate band, salah satunya adalah
mengembangkan model material yang sempurna mengacu pada efek-efek
realistic berhubungan dengan kondisi penumbuhan. Salah satu efek realistiknya
adalah efek realistic strain dalam menentukan parameter-parameter pita energi
dari QDs dan material barrier. Penelitian terdahulu (teori dan eksperimen)
dalam sel surya quantum dots atau sel surya intermediate band berkutat di
sekitar InAs/GaAs dan InGaAs/GaAs yang merupakan kombinasi material
yang tidak optimum untuk Quantum dot intermediate band solar cells
QDIBSCs.
Keuntungan utama dari solar sel nano dan quantum dot adalah
kemungkinan menggunakan mekanisme fisika yang baru yang bisa melebihi
efisiensi sel surya single junction. Batas efisiensi termodinamiknya menyamai
sel surya tandem. Untuk bahan yang sama, dengan pendekatan nano dan
quantum dot efisiensi sel surya bisa lebih ditingkatkan. Sebagai contoh,
quantum dot intermediate solar cell (IBSC) (1) dua material menghasilkan
efisiensi yang sama dengan three junction tandem, sementara pendekatan hot

711
carrier memungkinkan menggunakan material penyerap untuk menghasilkan
efisiensi lebih dari 50 % di bawah konsentrasi.
Proses fabrikasi material untuk sel surya berbasis nano dapat dilakukan
dengan mekanisme fisika, kimia dan biologi. Mekanisme kimia dan biologi
memiliki potensi untuk menghasilkan sel surya berbiaya rendah. Usaha-usaha
untuk membuat semikonduktor berstruktur nano , partikel nano logam, dan
karbon nanotube telah membuka jalan untuk membuat sel surya generasi baru.
Ide-ide baru untuk bisa menyerap banyak foton dengan menggunakan
semikonduktor berbasis nano dan Assembly molecular sangat dibutuhkan.
Semikonduktor Quantum Dots dapat menyerap semua gelombang
cahaya tampak. Hal ini dikarenakan banyaknya jumlah Quantum Dot yang ada
dipermukaan suatu semikonduktor dengan ukuran yang bervariasi
menyebabkan semakin banyaknya cahaya dengan panjang gelombang yang
bervariasi di daerah cahaya tampak yang diserap oleh semikonduktor tersebut.
bahkan tidak menutup kemungkinan cahaya inframerahpun bisa diserap oleh
semikonduktor Quantum Dots. Sehingga pemakaian material Quantum Dots
dalam perangkat sel surya sangat dibutuhkan untuk memperlebar jangkauan
penyerapan spektrum cahaya matahari. Hal tersebut melengkapi kemampuan
material nano struktur yang menyerap energi foton dengan panjang gelombang
pendek.

37.4 Dasar Teori


Dalam bahan semikonduktor murni, elektron hanya mungkin memiliki
energi yang berada pada salah satu pita energi, yaitu pita valensi atau pita
konduksi. Pada suhu yang sangat rendah, tingkat energi yang dimiliki elektron
hanya pada vita valensi. Daerah antara pita valensi dan pita konduksi disebut
celah pita energi (energy band gap). Di mana pada daerah ini terdapat nilai-
nilai energi yang tidak bisa dimiliki oleh elektron.
Ketika elektron mendapatkan energi baik dari foton, panas, atau
tumbukan partikel lain maka ia akan terlempar (eksitasi) dari pita valensi
menuju pita konduksi. Energi yang diterima elektron minimal harus sama
dengan celah lebar pita energi. Ketika elektron pindah dari pita valensi ke pita
konduksi maka ia meninggalkan daerah kosong di pita valensi. Tempat yang
kosong ini disebut hole. Yang dianggap sebagai partikel bermuatan positif.
Persyaratan bagi elektron agar dapat tereksitasi dari pita valensi ke pita
konduksi adalah energi yang diterima harus lebih besar panjang gelombang
cahaya pengeksitasi harus memenuhi hc/λ > Eg dengan h adalah konstanta
Plank dan λ adalah panjang gelombang cahaya pengeksitasi. Gambar 37.4.1
dibawah ini menggambarkan level energi elektron pada semikonduktor.

712
Celah Pita

Gambar 4.4.1 : ilustrasi pita valensi, pita konduksi dan celah pita energi bahan
Ukuran partikel dalam nanometer semikonduktordapat mengubah lebar celah pita
energi. Berbeda dengan ukuran bulk. Bentuk kecil dan besarnya memiliki celah
pita energi yang sama. Bandgap partikel akan semakin besar jika ukurannya
bertambah kecil jika ukurannya dalam nanometer.

37.4.1 Sumur Quantum (Quantum Well)


Sumur kuantum adalah daerah yang memiliki potensial rendah dengan
lebar d dibatasi oleh potensial tak hingga, mengurung partikel apa saja yang
ada di dalam sumur tersebut. Potensial di dalamnya dianggap nol
untukmempermudah memecahkan persamaan Schroedinger, karena kedua
dindingnya berpotensial tah hingga, maka mempunyai pengaruh terhadap
solusi persamaan Schroedinger tersebut. Sesuai dengan teori kuantum, hanya
energi dengan nilai-nilai tertentu yang dimungkinkan ada di dalam sumur
kuantum tersebut. Setiap partikel mempunyai panjang gelombang deBroglie
berdasarkan massa dan energinya, keadaan energi yang dimungkinkan di dalam
sumur kuantum sesuai dengan level energi yang menyebabkan panjang
gelombang deBroglie membentuk gelombang berdiri. Panjang gelombang de
Broglie dan syarat untuk gelombang berdirinya adalah sebagai berikut:

ℎ2
λ𝑑𝑑𝑑𝑑 = � (1)
2𝑚𝑚𝑚𝑚

𝑛𝑛λ𝑑𝑑𝑑𝑑 = 2𝑑𝑑 (2)

dengan mensubstitusi panjang gelombang dan mencari solusi untuk energi akan
didapatkan ungkapan tingkat energi yang dimiliki oleh partikel sebagai
berikut.
ℎ 2 𝑛𝑛 2
𝐸𝐸𝑛𝑛 = (3)
8𝑚𝑚𝑑𝑑 2
Setiap nilai n sesuai dengan satu keadaan energy yang diizinkan, dimana n =1
adalah energi terendah. Gelombang berdiri dalam sumur kuantum akan
memiliki setengah panjang gelombang n.

n=4
Energi

n=3

n=2
n=1
x

Gambar 4.4.1.1 : Keadaan energi sumur kuantum 1-D


713
Ungkapan untuk level energi ini bisa juga didapat dengan
menyelesaikan persamaan Schroedinger dalam sumur kuantum dan
menerapkan syarat batas. Persamaan Schroedinger tidak bergantung waktu
adalah sebagai berikut:

−ℎ 2 𝜕𝜕 2 𝜓𝜓
= (𝐸𝐸 − 𝑉𝑉)𝜓𝜓 (4)
8𝜋𝜋 2 𝑚𝑚 𝜕𝜕𝑥𝑥 2

Ketika potensial V sama dengan nol, pemecahan persamaan diferensial


yang sederhana ini akan menghasilkan ungkapan periodik untuk fungsi
gelombang sebagaimana ditunjukkan di bawah ini:

8𝜋𝜋 2 𝑚𝑚𝑚𝑚 8𝜋𝜋 2 𝑚𝑚𝑚𝑚


𝜓𝜓 = 𝐴𝐴 𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠 �� 𝑥𝑥� + 𝐵𝐵 𝑐𝑐𝑐𝑐𝑐𝑐 �� 𝑥𝑥� (5)
ℎ2 ℎ2

Syarat batas dimana fungsi gelombang sama dengan nol ketika x = 0 dan
x = d, yang akan menghasilkan B = 0. A harus tidak sama dengan nol, oleh
karena itu ungkapan di dalam fungsi sinus harus sama dengan nilai bulat dari
pi. Jika syarat batas dipenuhi, maka akan didapat solusi E sebagai fungsi n.

8𝜋𝜋 2 𝑚𝑚𝑚𝑚
0 = 𝐴𝐴 sin �� 𝑑𝑑� (6)
ℎ2

8𝜋𝜋 2 𝑚𝑚𝑚𝑚
𝑛𝑛𝑛𝑛 = � 𝑑𝑑 (7)
ℎ2

ℎ 2 𝑛𝑛 2
𝐸𝐸𝑛𝑛 = (8)
8𝑚𝑚 𝑑𝑑 2

Untuk model 3 dimensi, gelombang berdiri dapat berada dalam arah 3


dimensi saling bebas satu sama lain. Oleh karena itu, ungkapan untuk energi
yang diizinkan dimodifikasi dan n mempunyai 3 nilai sesuai dengan arahnya

ℎ 2 (𝑛𝑛 1 2 +𝑛𝑛 2 2 +𝑛𝑛 3 2 )


𝐸𝐸𝑛𝑛 = (9)
8𝑚𝑚 𝑑𝑑 2

37.4.2 Quantum Dot


Energi elektron-elektron dalam sebuah semikonduktor umumnya
bergantung pada suhu dan sifat-sifat materialnya. Ketika elektron terkurung
dan hanya mampu bergerak dalam arah dua dimensi (bidang) dikarenakan
elektron tersebut tidak mempunyai energi yang cukup untuk menembus
dimensi yang ketiga, daerah ini disebut quantum well (sumur kuantum). Ketika

714
elektron terkurung dalam satu dimensi (garis) dan tidak mempunyai energi
yang cukup untuk menembus dimensi yang ke-dua dan tiga maka daerah
tersebut dinamakan quantum wire. Dan apabila elektron terkurung dalam suatu
daerah dimana elektron tidak bisa bergerak baik pada dimensi kesatu, dua dan
tiga maka daerah tersebut dinamakan quantum dot (QD). Dapat disimpulkan
bahwa quantum well, quantum wire, dan khususnya QD merupakan skema
pemerangkapan elektron dalam dimensi tertentu untuk membatasi geraknya
sehingga menghasilkan sifat-sifat kuantum yang diinginkan. Contoh dimensi
material dari ukuran besar hingga QD diilustrasikan pada gambar 37.4.2.1

1 2

3 4
Gambar 37.4.2.1: 1. Bulk (3 dimensi ) tiga derajat kebebasan (sumbu x,y dan z)
2.Quantum well (2 D) 2 derajat kebebasan (sumbu x dan y). 3. Quantum wire (1 D) 1 derajat
kebebasan (sumbu x). 4. Quantum Dot (0D) 0 derajat kebebasan (electron terkurung dalam
semua arah) (John Romankiewicz , 2004)
Quantum Dot kadang disebut atom tiruan (artificial atom). Ini
dikarenakan QD memiliki ukuran beberapa kali ukuran atom tunggal, tetapi
masih tetap kecil sehingga sifat-sifatnya menyerupai atom. Ukurannya mulai
dari 1 nm sampai 10 nm.
n=3
n=2
n=1

Eg

n=1
n=2
n=3

Gambar 37.4.2.2. Diagram Energi untuk semikonduktor Quantum Dot

Gambar di atas adalah diagram skema keadaan energi dalam sebuah


Quantum Dot. Ketika tereksitasi, elektron yang berada di dalam pita konduksi
berada pada salah satu keadaan energi yang ke-n, begitu juga hole. Oleh karena
itu perbedaan energi minimum terletak antara elektron dan hole bukan celah
pita, namun, selisih energi antara keadaan energi n =1 dari hole di pita valensi
dan n = 1 di pita konduksi. Selisih ini sama seperti persamaan energi untuk
elektron di dalam sumur kuantum ditambah dengan persamaan energi untuk
hole ditambah dengan celah pita energi material.

ℎ𝑐𝑐 ℎ 2 (𝑛𝑛 1 2 +𝑛𝑛 2 2 +𝑛𝑛 3 2 ) ℎ 2 (𝑛𝑛 1 2 +𝑛𝑛 2 2 +𝑛𝑛 3 2 )


∆𝐸𝐸 = = 𝐸𝐸𝐵𝐵𝐵𝐵 + + (10)
𝜆𝜆 8𝑚𝑚 𝑒𝑒∗ 𝑑𝑑 2 8𝑚𝑚 ℎ∗ 𝑑𝑑 2

Sebuah foton harus memiliki energi sebesar ini untuk mengeksitasi


sebuah elektron dan diserap. Di dalam material semikonduktor, hole dan

715
elektron memiliki massa efektif yang berbeda untuk dipakai di persamaan di
atas. Terdapat satu faktor lagi yang mempengaruhi energi yang dibutuhkan,
merujuk pada efek eksiton. Dua pembawa muatan, hole dan elektron, tidak
terisolasi. Mereka saling berinteraksi satu sama lain, menghasilkan energi
potensial negatif seperti ditunjukkan di bawah ini

−𝑒𝑒 2
𝑉𝑉 = (11)
4𝜋𝜋𝜋𝜋 ∈
Keduanya saling mengorbit satu sama lain, sama seperti interaksi antara
proton dan elektron dalam atom hidrogen, ini menyebabkan ada suku tambahan
berupa energi kinetik. Karena proton jauh lebih besar, elektron dianggap
mengelilingi proton. Asumsi yang sama bisa diterapkan pada hole, walaupun
tidak sebesar proton, hole lebih berat dari elektron. Gaya sentripetal yang
mengurung elektron diorbitnya adalah gaya Coulomb, dengan mengetahui
hubungan antara percepatan dan percepatan untuk gerak melingkar, maka
mungkin mendapat energi kinetiknya.

𝑣𝑣 2
𝑎𝑎 = 12)
𝑟𝑟

𝑒𝑒 2 𝑣𝑣 2
= 𝑚𝑚𝑒𝑒∗ (13)
4𝜋𝜋∈𝑟𝑟 2 𝑟𝑟

1 𝑒𝑒 2
𝑚𝑚𝑣𝑣 2 = = 𝐾𝐾𝐾𝐾 (14)
2 4𝜋𝜋∈

Energi total kombinasi elektron dan hole adalah sama dengan energi
kinetik ditambah dengan energi potensial.

𝑒𝑒 2 𝑒𝑒 2 𝑒𝑒 2
𝐸𝐸𝑥𝑥 = 𝐾𝐾𝐾𝐾 + 𝑉𝑉 = − = − (15)
8𝜋𝜋∈𝑟𝑟 4𝜋𝜋∈𝑟𝑟 8𝜋𝜋∈𝑟𝑟

Sehingga persamaan akhir untuk energi foton yang diserap atau


diemisikan adalah sebagai berikut:

ℎ𝑐𝑐 ℎ 2 (𝑛𝑛 1 2 +𝑛𝑛 2 2 +𝑛𝑛 3 2 ) ℎ 2 (𝑛𝑛 1 2 +𝑛𝑛 2 2 +𝑛𝑛 3 2 ) 𝑒𝑒 2


∆𝐸𝐸 = = 𝐸𝐸𝐵𝐵𝐵𝐵 + + − (16)
𝜆𝜆 8𝑚𝑚 𝑒𝑒∗ 𝑑𝑑 2 8𝑚𝑚 ℎ∗ 𝑑𝑑 2 8𝜋𝜋∈𝑟𝑟

Dimana ;
E BG = Energi band gap, h = konstanta planck, c = kecepatan cahaya
∗ ∗
𝑚𝑚𝑒𝑒 = masa efektif elektron, 𝑚𝑚ℎ = masa efektif hole ∈ = Kosntanta dielektrik
r = jari-jari Quantum Dot d = diameter Quantum Dot
Contoh perhitungan sederhana panjang gelombang yang diserap jika ukuran
Quantum Dot divariasikan.
Bahan : CdTe
Energi Band Gap = 1,51 eV pada suhu kamar.

716
Masa Efektif Elektron : 0,096 (Berger, 1997).
Masa Efektif Hole : 0,84 (Berger, 1997).
Konstanta Dielektrik (ε) : 10,392 (Zanio, 1978)
Dengan memvariasikan ukuran r Quantum Dot dari 2,5 nm sampai 5 nm, dan
memasukkan ke dalam pers berikut

ℎ𝑐𝑐 ℎ 2 (𝑛𝑛 1 2 +𝑛𝑛 2 2 +𝑛𝑛 3 2 ) ℎ 2 (𝑛𝑛 1 2 +𝑛𝑛 2 2 +𝑛𝑛 3 2 ) 𝑒𝑒 2


∆𝐸𝐸 = = 𝐸𝐸𝐵𝐵𝐵𝐵 + + − (17)
𝜆𝜆 8𝑚𝑚 𝑒𝑒∗ 𝑑𝑑 2 8𝑚𝑚 ℎ∗ 𝑑𝑑 2 8𝜋𝜋∈𝑟𝑟
Maka permulaan absorbsi secara teoritis akan terjadi antara 614,3 nm dan
618,5 nm.
Dengan hasil di atas kita dapat memvariasikan ukuran Quantum Dot
sesuai dengan panjang gelombang cahaya yang kita ingin serap untuk aplikasi
sel surya. Kalau ukuran jari-jarinya kita perbesar lagi sampai mencapai 10 nm
maka sangat mungkin kita menyerap cahaya di daerah infra merah.
Dikarenakan sifat-sifat luar biasa yang dimiliki oleh material quantum dot
inilah para ahli tertarik untuk meneliti penggunaan quantum dot untuk
diterapkan pada sel surya.

37.5 Eksperimen
Pada bagian ini akan diperlihatkan hasil eksperimen yang
mengkombinasikan antara material solar sel yang berukuran nano dengan
quantum dot dalam susunan sel surya yang menghasilkan daya serap lebih baik
dibandingkan dengan tanpa kombinasi keduanya dan juga dibandingkan
dengan material bulk.

37.5.1. Material Quantum Dots


Quantum Dots CdSe disebar ke partikel nano TiO 2 dan NanoTube TiO 2.
Bentuk susunannya seperti gambar 37.5.1.1 di bawah ini

a b
Gambar 4.5.1.1. a. Nano partikel OTE/TiO2 b. Nanotube Ti/TiO2
(Anusom K ,et al, 2008)

Gambar 37.5.1.2. memperlihatkan hasil Scanning Electron Micrograph


(SEM) dari T i O 2 film tipis yang dimasukan ke OTE (Optically Trasnparent
Electrode) dan film nanotube T i O 2 dimasukkan pada Titanium Subsrate.

717
Gambar 4.5.1.2. Hasil SEM dari (A) Flm tipis TiO2 pada OTE dan (B,C,D) nanotube
TiO2. Tampak samping (B) , tampak atas (C), dan tampak diperbesar (D)
(Anusom K, et al, 2008)

Gambar 37.5.1.3 menunjukkan empat ukuran berbeda dari Quantum


Dots CdSe yang dimasukkan ke dalam Elektroda OTE/T i O 2 (Partikel Nano)
dan Ti/TiO 2 (Nano tube).

Gambar Gambar
4.5.1.3. 2,3 nm, 2,6menunjukkan
4.5.1.4 nm, 3 nm dan 3,7 nm diameter
desain Quantum
solar sel Dot CdSedengan
“Rainbow” (A)
Tunggal (B) dimasukkan ke TiO2 film tipis (OTE/TiOe/CdSe) dan (C) dimasukan ke
Quantum
susunan Dots CdSe
nanotube dalam
TiO2 (Ti/T Nanotube T i O 2
iO2(NT)/CdSe (Anusom K, et al, 2008)

Gambar 4.5.1.1. Solar sel “Rainbow” dibuat dengan Quantum Dots


CdSe dalam susunan nanotube TiO2 (Anusom K, et al, 2008)

37.5.2. Alat
Alat yang digunakan untuk mengukur daya serap cahaya adalah
spektrofotometer Shimadzu UV-3101 PC.

718
Gambar 37.5.2.1 spektrofotometer Shimadzu UV-3101 PC
(http://www.chem.uky.edu/courses/che450g/handouts/shimadzuinstructions.html)

37.5.3. Hasil dan Pembahasan


Hasil pengukuran daya serap cahaya matahari dengan alat UV-3101 PC
spektrofotometer Shimadzu ditunjukkan gambar di bawah ini.
1. Quantum dots CdSe dengan variasi ukuran diameter 2,3 nm, 2,6 nm, 3,0
nm, 3,7 nm. Untuk CdSe dengan diameter 2,3 nm penyerapan cahaya
matahaari dimulai dengan panjang gelombang 540 nm, untuk ukuran diameter
2,6 nm penyerapan dimulai dengan panjang gelombang 600 nm, sedangkan
untuk ukuran diameter 3 nm penyerapan dimulai dengan panjang gelombang
605 nm dan untuk ukuran diameter 3,7 nm penyerapan dimulai dengan panjang
gelombang 620 nm. Gambar 37.5.3.1 menunjukkan daya serap quantum dots
CdSe dengan variasi diameter 2,3 nm, 2,6 nm, 3,0 nm, dan 3,7 nm.

Gambar 4.5.3.1 Spektrum penyerapan quantum dots CdSe dengan diameter 2,3
nm, 2,6 nm, 3 nm, dan 3,7 nm. (Anusom K, et al, 2008)
2. Quantum dots CdSe yang dimasukkan ke dalam film tipis TiO 2 ukuran nano
dan nanotube TiO 2 . Untuk CdSe dengan diameter 2,3 nm, 2,6 nm, 3,0 nm dan
3,7 nm penyerapan dimulai dengan panjang gelombang 590 nm, 600 nm, 610
nm dan 640 nm. Gambar 37.5.3.2 menunjukkan spektrum serapan cahaya
untuk CdSe yang dimasukkan ke dalam TiO 2 partitikel nano dan TiO 2
nanotube.

719
Gambar 4.5.3.2. Spektrum penyerapan quantum dots CdSe (a) 3,7 nm (b) 3,0 nm (c) 2,6
nm (d) 2,3 nm dimasukkan kedalam film tipis TiO2 (A) OTE/TiO2 (Nano
Partikel)/CdSe (garis utuh) dan (B) Ti/TiO2 (nanotube)/CdSe (garis terputus-
putus)
Dari kedua grafik tadi diperlihatkan pergeseran penyerapan cahaya
matahari jika quantum dots CdSe dikombinasikan dengan TiO 2 dalam ukuran
nano. Pergeran penyerapan terjadi dari gelombang pendek menuju gelombang
panjang. Dan terlihat hampir semua spectrum cahaya tampak bisa diserap oleh
sel surya dengan material kombinasi antara quantum dots dan partikel nano.
Quantum dots CdSe memiliki Band Gap kecil sedangkan TiO 2 memiliki band
gap lebih besar. Elektron ditansfer dari material quantum dots (CdSe) menuju
material partikel nano (TiO 2 ). Ukuran CdSe yang bervariasi menciptakan band
gap yang bervariasi pula sehingga ini dapat memperlambat prosese
rekombinasi elektron dan hole. Variasi level energi gap ini juga dapat
menyerap spectrum cahaya matahari yang lebih lebar di daerah cahaya tampak.
Gambar 37.5.3.3 mengilustrasikan level energi CdSe dengan variasi ukurannya
dan TiO 2.

Gambar 4.5.3.3 Diagram ilustrasi level-level energy untuk quantum dots CdSe
dengan ukuran yang berbeda dan TiO2 (Anusom K, et al, 2008)
Sebagai perbandingan penyerapan cahaya oleh bahan bulk adalah
sebagai berikut:
1. Bahan CdS, Grafik penyerapan cahayanya diperlihatkan pada gambar di
bawah ini:

Gambar 4.5.3.4. Penyerapan cahaya oleh CdS bulk diambil dari


G Kickelbick, Hybrid Materials : Synthesis, characterization dan
Applications, Wiley-VCH, Weinheim (2007)

720
Dari grafik di atas terlihat bahwa permualaan penyerapan cahaya oleh
material CdS bulk dimulai dengan panjang gelombang 550 nm. Hanya panjang
gelombang tersebut yang diserap oleh bahan CdS bulk. Untuk panjang
gelombang lebih besar dari 550 nm CdS bulk tidak bisa menyerapnya
dikarenakan energi yang dimiliki oleh cahaya dengan panjang gelombang lebih
besar dari 550 nm tidak cukup untuk menciptakan pasangan elektron dan hole.
2. Bahan ZnO, grafik penyerapan cahaya oleh ZnO terlihat pada gambar di
bawah ini:

Gambar 4.5.3.5. Penyerapan cahaya oleh ZnO bulk.


(Bergstrom et al.1996, Yoshkawa et al. 1997))
Dari grafik diatas terlihat juga bahwa penyerapan cahaya oleh ZnO bulk
dimulai pada panjang gelombang 410 sampai 450 nm. Untuk panjang
gelombang yang lebih besar dari 450 nm ZnO bulk tidak bisa menyerapnya. Ini
dikarenakan panjang gelombang yang lebih dari 450 nm tidak mempunyai
energi yang sama dengan bandgap bahan ZnO bulk.
Dari perbandingan 2 material bulk diatas terlihat bahwa penyerapan
cahaya oleh bahan nano dan quantum dots jauh lebih besar dibanding dengan
bahan bulk. Dengan variasi ukuran quantum dots maka semakin lebar spectrum
cahaya matahari yang akan diserap oleh sel surya berbahan nano dan Quantum
dots. Tentunya ini akan mempengaruhi efisiensi sel surya secara keseluruhan.
Dengan fakta inilah penelitian pemakaian material berstruktur nano dan
quantum dots pada sel surya semakin ditingkatkan dikarenakan adanya harapan
untuk meningkatkan efisiensi sel surya melebihi limit maksimum efisiensi sel
surya silikon sebesar 33%.

37.5 Efisiensi
Efisiensi sel surya quantum dots secara teori dapat ditingkatkan hingga
44 %. Pada sel surya yang sekarang, cahaya yang diserap partikel hanya dapat
mengeksitasi satu elektron (membuat satu pasangan elektron-hole), sedangkan

721
pada Sel surya quantum dots foton yang ada pada cahaya dapat mengeksitasi
beberapa elektron (Multiple Exiton Generation). Semakin banyak elektron
yang tereksitasi, semakin baik efisensi suatu sel surya.

Pemakaian quantum dots pada sel surya pertama kali diidekan oleh
Burnham and Duggan pada tahun 1990. Efisiensi sel surya quantum dots pada
waktu itu baru mencapai 5,1 % dan jenis quantum dots yang dipakai adalah
koloid. Dibandingkan dengan efisiensi yang telah dicapai bahan silikon
memang masih kecil tetapi masih mempunyai peluang yang besar untuk
ditingkatkan.

Usaha untuk meningkatkan efisiensi sel surya quantum dots terus


dilakukan. Diantaranya dengan memakai ligan inorganik untuk mengikat
permukaan quantum dots. Ini dilakukan karena selama ini selubung yang
dipakai untuk quantum dot adalah molekul organik yang memisahkan quantum
dots dalam skala nanometer. Dalam skala nano, jarak tersebut relatif cukup
jauh untuk perjalanan elektron. Idealnya jarak antar quantum dots harus
berhimpit sehingga memungkinkan elektron bergerak dengan cepat dan lancar
dalam sel surya. Dan capaian efisiensinya cukup tinggi yaitu 6 %. Quantum dot
yang digunakan adalah PbS (timbal sulida). Gambar di bawah ini menunjukkan
struktur sel surya teersebut:

Gambar 37.5.1. Struktur sel surya yang menggunakan quantum dot PbS (timbal
sulida) ( Sargent et.al., Nature Materials)

Peningkatan transport elektronik dan juga stabilitas yang lebih lama adalah
salah satu keuntungan dari penggunaan bahan-bahan inorganik . Dan sampai
saat ini peningkatan efisiensi sel surya quantum dots masih terus dilakukan
oleh para peneliti

37.5 Penutup
Penggunaan quantum dots dalam bahan sel surya dapat meningkatkan
daya serap sel surya tersebut. Dikarenakan bandgap Quantum dots dapat
dimodifikasi dengan memvariasikan ukuran quantum dots tersebut. Dengan
memvariasikan bandgap maka kita dapat mengontrol energi-energi matahari

722
yang ingin diserap oleh sel surya dengan bahan quantum dots. Berbeda dengan
material bulk dimana bandgapnya tidak bisa diubah-ubah sesuai dengan
komposisi materialnya.

Pada material quantum dots energi-energi elektron yang ada padanya


dibatasi oleh ukuran quantum dots. Di dalam suatu semikonduktor quantum
dots dimungkinkan terdapat variasi level energi matahari yang diserap sel surya
dengan memvariasikan ukuran quantum dots. Ini dapat mengatasi problema sel
surya konvensional yang hanya mampu menyerap cahaya maksimal di area
cahaya tampak.

Kombinasi antara material quantum dots dan partikel nano dapat


memperlebar penyerapan spcktrum cahaya matahari sehingga hampir semua
cahaya tampak dapat diserap oleh sel surya berbahan kombinasi antara
quantum dots dan partikel nano. Hal ini disebabkan karena quantum dots
memiliki sifat dapat menyerap cahaya matahari di daerah cahaya tampak.
Sedangkan semikonduktor bahan nano menyerap cahaya matahari dengan
panjang gelombang pendek (energi besar). Kombinasi keduanya menciptakan
level energi yang bervariasi dalam semikonduktor sehingga mencegah
terjadinya rekombinasi antara elektron dan hole yang terlalu cepat. Variasi
level energi ini juga membuat daya serap sel surya melebar menuju spektrum
cahaya dengan gelombang lebih panjang pada daerah cahaya tampak, yaitu
cahaya infra merah yang memiliki panjang gelombang 700 nm sampai dengan
1 mm. Peningkatan efisiensi sel surya melebihi 32 % sangat mungkin dicapai
apabila cahaya inframerah bisa diserap sel surya. Karena hampir 50% cahaya
matahari yang sampai ke bumi adalah cahaya inframerah..

723
DAFTAR PUSTAKA
1. Abdulah Mikrajudin, “ Pengantar Nanosains” . Penerbit ITB, Bandung, 2009

2. Honsberg Christiana B,.Barnett Allen M, Kirptrik Douglas, “ Nanostructured Solar


Cells for High Efficiency Photovoltaic”, University of Delaware, DE, USA 19716
(2006)

3. Anusom Kongkanand, Kevin Tvrdy, Kensuke Takechi, Masaru Kuno, and Prashant
V.Kamat, “ Quantum Dot Solar Cell. Tuning Photoresponse through Size and
Shape Control of CdSe-TiO 2 Architecture”, Journal of The American Chemical
Society, 130,4007-4015 (2008)

4. Som Nath Dahal, “Advanced Nanostructured Concepts in Solar Cells using III-V
and Silicon-Based”, Dissertation, Arizona State University, 2011

5. Istya’n Robel, Vaidyanathan Subramanian, Masaru Kuno, “Quantum Dot Solar


Cells. Harvesting Light Energi with CdSe Nanocrystals Molecularly Linked to
Mesoscopic TiO 2 Films”, Journal of The American Chemical Society, 46556-
5674 , Indiana 2005

6. Grätzel Michael, “Dye-sensitized solar cells” Journal of Photochemistry and


Photobiology C: Photochemistry Reviews 145–153 (2003)

7. Kyu-Hyun Banga, Deuk-Kyu Hwanga, Min-Chul Parka, Young-Don Kob, Ilgu


Yunb, Jae-Min Younga, , “Formation of p-type ZnO film on InP substrate by
phosphor doping” Science Sirect, 177–182 (2003)

8. Yoga Tatsuo, “Nanostructured Materials for Solar Energy Conversion”, Nagoya


466-8555, Japan

9. Lewis, N. S.; Crabtree, G. W.; Nozik, A. J.; Wasielewski, M. R.; Alivisatos, A. P.


“Basic Energy Sciences Report on Basic Research Needs for Solar Energy
Utilization”; Office of Science, U.S. Department of Energy, 2005.

724
10. Graetzel, M. “Nanocrystalline Electronic Junctions. In Semiconductor
Nanoclusters - Physical, Chemical and Catalytic Aspects”; Kamat, P. V.,Meisel,
D. Eds.; Elsevier Science: Amsterdam, The Netherlands, 1997

11. “ International Energy Outlook 2010,” US Energy Information Administratio,


Department of energy, published July 2010

12. “ Annual Energy Review 2009,” US Energy information Administration,


Department of Energy, published August 2010

13. S.P Bremner, R Corkish, and C.B. Honserberg, “ Detailed balance efisiency
Limits with quasi-Fermi level variations, “IEEE Transactions on Electron
Devices. Vol.46.no.10.pp.1932-1999

14. S.P. Bremmer, M.Y.Levy, C.B. Honsberg, “Analysis of Tandem Solar Cell
Effisiensi Under AM!.5G spectrum Using a Rapid Flux Calculation Method, “
Progress in Photovoltaic: Research and Applications, vol.16, pp.225-233,2008

15. A.Luque, A.Marti, “Increasing the effieciensy of ideal solar cells by photon
induced transitions at intermediate levels,” Physical Review Letters, vol.78,
p.5015,1997

16. A.De Vos and B Desoete, “On the ideal performance of solar cells with larger-
than unity quantum effieciency,” Solar Energy Materials and Solar cells,
vol.51.pp.413-424, 1998

17. R.T.Ross, “Effieciency of hot-carrier solar energy converters,”Journal of Applied


Physics, vol.53,p.3813,1982

18. K.M Yu, W.Walukiewicz, J.Wu,W.Shan, J.W.Beeman, M.A Scarpulla,


O.D.Dubon, and P.Becla, “Diluted II-VI oxide semikonduktors with multiple band
Gaps, “Physical Review Letters, vol.91,p.246403, 2003

19. C.Tablero, “Analysis of the electronic properties of intermediate band materials as


a function of impurity concentration,”Physical Review B, vol.72, no.3,p.035213,
2005

20. Martin A.Green, “Third generation photovoltaics: Ultra-high conversion


efficiency at low cost,” Progress in photovoltaics : Research and Applications,
vol.9,pp: 123-135, 2001

725
726

Anda mungkin juga menyukai