Anda di halaman 1dari 7

Tugas Marikultur

Faktor Yang Dapat Dikendalikan Dan Tidak Bisa Dikontrol Dalam Marikultur

Dosen Pengampu:

Tri Yulianto S.Pi, M.PSDA.

Oleh:

Nika Retalia

180254243013

PROGRAM STUDI BUDI DAYA PERAIRAN

FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN

UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI

2020
Dalam memperoleh suatu perairan yang layak untuk kegiatan budidaya KJA di laut
memerlukan pemilihan lokasi yang tepat dengan memperhatikan dua faktor antara lain :
A. Faktor yang Dapat Dikendalikan
1. Pemilihan Jenis Komoditas
Ada beberapa aspek yang perlu dipertimbangkan dalam penentuan pilihan biota laut yang
akan dibudidayakan, diantaranya aspek permintaan pasar, pasok benih, sediaan teknologi
budidaya, sediaan lahan, dan kemungkinan timbulnya dampak negatif terhadap lingkungan.
Pertimbangan untuk memilih komodit as laut yang akan dibudidayakan :
1. Sebaikknya mengembangkan spesies asli/ lokal daripada introduksi atau impor.
2. Memilih spesies yang sesuai dengan permintaan pasar.
3. Diversifikasi spesies budidaya diprioritaskan pada ikan pemakan plankton dan ikan
herbivora. Jumlahnya lebih banyak daripada ikan karnivora.
4. Jenis ikan pelagis lebih mudah dibudidayakan dilihat dari penerapan teknologinya
dibandingkan dengan ikan demersal.
5. Ikan yang tidak hanya bisa bernafas dengan insang atau ikan yang mempunyai labirin
lebih mudah pemeliharaan dan tidak memerlukan mutu air yang baik.
6. Ikan yang teknologi pembenihannya sudah maju sehingga pasokan benih baik jumlah dan
kualitasnya tersedia setiap saat.
7. Seluruh siklus hidup ikan budidaya harus dapat dikontrol dan teknologinya sudah dikuasai.

2. Pemilihan Lokasi
Sebagai langkah awal budidaya laut adalah pemilihan lokasi budidaya yang tepat. Oleh
karena itu, pemilihan dan penentuan lokasi budidaya harus didasarkan pertimbangan ekologis,
teknis, higienis, sosio-ekonomis, dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pemilihan lokasi sebaiknya dilakukan dengan mempertimbangkan gabungan beberapa faktor
yang dikaji secara menyeluruh.
I. Persyaratan teknis
Sesuai dengan sifatnya yang sangat dipengaruhi oleh kondisi perairan, lingkungan bagi
kegiatan budidaya laut dalam keramba jaring apung sangat menentukan keberhasilan
usaha. Pemilihan lokasi yang baik harus memperhatikan aspek fisika, biologi, dan kimia
perairan yang cocok untuk biota laut. Selain itu, pemilihan lokasi perlu juga
mempertimbangkan aspek efisiensi biaya operasional budidaya.
II. Persyaratan sosial-ekonomi
Berikut beberapa aspek sosial ekonomi yang perlu mendapat perhatian dalam pemilihan
dan penentuan lokasi.
a) Keterjangkauan lokasi.
Lokasi budidaya yang dipilih sebaiknya adalah lokasi yang mudah dijangkau.
b) Tenaga kerja.
Tenaga kerja sebaiknya dipilih yang memiliki tempat tinggal berdekatan dengan
lokasi budidaya, terutama pemberdayaan masyarakat dan nelayan.
c) Sarana dan pra sarana.
Lokasi budidaya sebaiknya berdekatan dengan sarana dan prasarana perhubungan
ynag memadai untuk mempermudah pengangkutan bahan, benih, hasil dan lain-lain.
d) Kondisi masyarakat.
Kondisi masyarakat yang lebih kondusif akan memungkinkan perkembangan usaha
budidaya laut di daerah tersebut.
III. Persyaratan non-teknis
Persyaratan non-teknis yang harus dipenuhi dalam pemilihan lokasi adalah :

a) Keterlindungan.
Lokasi budidaya harus terlindung dari bahaya fisik yang dapat merusaknya. Misalnya
gelombang besar dan angin. Oleh karena itu, lokasi budidaya biasanya dipilih di
tempat yang terlindung atau terhalang oleh pulau.
b) Keamanan lokasi.
Masalah pencurian harus dipertimbangkan dalam pemilihan lokasi budidaya agar
proses budidaya aman dan tidak terganggu.
c) Konflik kepentingan
Lokasi budidaya tidak boleh menimbulkan konflik kepentingan, misalnya, antara
kegiatan perikanan dan nonperikanan (pariwisata).
d) Aspek peraturan dan perundang-undangan.
Pemilihan lokasi harus sesuai dan tidak melanggar peraturan agar budidaya dapat
berkelanjutan.

3. Teknis Budidaya
Berbeda dengan budidaya air tawar, komoditas budidaya laut cukup banyak. Selain itu,
metode atau teknologi budidaya laut lebih beragam, mulai dari pemanfaatan lahan dasar,
penggunaan jaring atau rak tancap ( pen Culture ), Keramba Jaring apung.
a) Jaring Tancap
Jaring tancap ( pen Culture ) biasanya dipasang di bawah ( kolong ) rumah nelayan di
pinggir pantai atau dipasang di tengah laut pada kedalaman 2-8 meter waktu surut
terendah. Jaring tancap merupakan jaring kantong berbentuk persegi yang dipasang
pada kerangka bambu atau kayu yang ditancap pada dasar perairan. Pasangan kayu /
bambu ditancap rapat, seperti pagar, atau hanya dipasang di bagian sudut kantong
jaring. Jaring sebagai lapisan dalam diikatkan pada kayu.
b) Keramba jaring apung
Keramba Jaring Apung ( KJA ) dapat dibuat dalam berbagai ukuran. Desain dan
bahan tergantung pada kemudahan penanganan, daya tahan bahan baku,harga, dan
faktor lainnya. Jaring atau wadah untuk pemeliharaan ikan di laut dibuat dari bahan
polietilen. Bentuk dan ukuran bervariasi dan sangat dipengaruhi oleh jenis ikan yang
dibudidayakan, ukuran ikan, kedalaman perairan, serta faktor kemudahan dalam
pengelolaan.

4. Faktor Kemudahan
Faktor kemudahan seperti dekat dengan prasarana perhubungan darat, pelelangan ikan
(sumber pakan), dan pemasok sarana dan prasarana yang diperlukan (listrik, telpon) serta
ketersedian tenaga kerja yang propesional.
5. Warna Perairan
Pada umunakan dalam kegiatan budidaya umnya warna perairan yang baik digunakan
dalam kegiatan budidaya KJA dilaut adalh perairan yang memiliki warna yang tidak terlalu pekat
atau sewajarnya saja (kecokelatan/biru laut).
B. Faktor Yang Tidak Dapat Dikendalikan
1. Arus Perairan
Arus adalah massa air baik horizontal maupun vertikal yang disebabkan oleh angin dan
gaya (gradien, coriolis, gravitasi, gesekan, sentrifugal). Arus sangat berperan dalam sirkulasi air,
pembawa bahan terlarut dan tersuspensi, kelarutan oksigen serta dapat mengurangi organisme
penempel (biofouling). Desain dan konstruksi keramba harus disesuaikan dengan kecepatan arus
dan kondisi dasar perairan (lumpur, pasir, karang). Di Singapura, kecepatan arus perairan untuk
usaha budidaya ikan kerapu dalam keramba jaring apung berkisar 25 – 50 cm/detik, sedangkan
perbedaan antara pasang naik dan pasang surut berkisar 3 m. (ANONYMOUS 1986).
Selanjutnya dikatakan bahwa kecepatan arus dibawah 25 cm/detik menyebabkan banyaknya
organisme yang menempel pada jaring, sehingga akan mengganggu sirkulasi air. Kecepatan arus
yang baik untuk usaha budidaya ikan laut dalam keramba jaring apung adalah 5 – 15 cm/detik
(AHMAD et al. 1991).
2. Suhu Air.
Suhu air merupakan salah satu parameter fisika yang memegang peranan di dalam
pertumbuhan dan kelangsungan hidup ikan dan biota akuatik lainnya. Suhu berpengaruh
langsung pada proses fotosintesa tumbuhan akuatik, proses metabolisme dan siklus reproduksi
(SVERDRUP et al. 1961). Kenaikan suhu air sebesar 10°C akan menyebabkan peningkatan
kebutuhan oksigen hewan akuatik menjadi dua kali lipat (WARDOJO 1975). Selanjutnya
GUNARSO (1985) melaporkan bahwa ikan sangat peka terhadap perubahan suhu walaupun
hanya 0,03 °C. Suhu air yang baik untuk usaha budidaya ikan laut adalah 27 – 32°C.
Peningkatan suhu juga menyebabkan kadar oksigen terlarut rendah dan selanjutnya akan
mempengaruhi metabolisme, seperti laju pernapasan dan meningkatnya konsentrasi karbon
dioksida.
3. Kecerahan
Kecerahan perairan menunjukkan kemampuan cahaya untuk menembus lapisan air pada
kedalaman tertentu. Menurut BIROWO & UKTOLSEJA (1976), faktorfaktor yang dapat
mempengaruhi kecerahan adalah kandungan lumpur, plankton, zat organik dan bahan-bahan lain
yang terlarut atau tersuspensi dalam air. Kecerahan dapat berkurang akibat reklamasi pantai,
buangan industri dan rumah tangga serta akibat lainnya. Perairan yang memiliki nilai kecerahan
rendah pada waktu cuaca normal (cerah), memberikan suatu indikasi banyaknya partikel-partikel
yang terlarut dan tersuspensi di dalamnya. Keadaan tersebut dapat mengurangi laju fotosintesa
serta mengganggu pernapasan ikan. Untuk budidaya perikanan dan konservasi biota laut,
kecerahan sebaiknya > 3 m (KHL 1988).
4. Muatan Padatan Tersuspensi (MPT)
Padatan tersuspensi adalah bahan-bahan yang tersuspensi (Ө > 1 μm), yang tertahan pada
saringan millipore dengan diameter pori 0.45 μm. Keberadaan muatan padatan tersuspensi di
perairan dapat berupa pasir, lumpur, tanah liat, koloid serta bahan-bahan organik seperti plankton
dan organisme lain. ( Effendi, 2003 ; Alaerts dan Santika, 1987 dalam Satriadi dan Widada,
2004). Konsentrasi dan komposisi MPT bervariasi secara temporal dan spatial tergantung pada
faktor-faktor fisik yang mempengaruhi distribusi MPT terutama adalah pola sirkulasi air,
pengendapan gravitional, deposisi dan resuspensi sedimen. Faktor yang paling dominan dalah
sirkulasi air (Chester, 1990 dalam Satriadi dan Widada, 2004). Padatan tersupensi dalam air
umumnya diperlukan untuk penentuan produktivitas dan mengetahui norma air yang dimaksud
dengan jalan mengukur dengan berbagai periode. Suatu kenaikan mendadak, padatan tersuspensi
dapat ditafsir dari erosi tanah akibat hujan (Sastrawijaya, 2000). Pergerakan air berupa arus
pasang akan mampu mengaduk sedimen yang ada (Satriadi dan Widada, 2004).
5. Produktivitas Primer Perairan
Produktivitas merupakan daya produksi bahan organik oleh organisme produsen.
Produktivitas primer atau dasar dari suatu ekosistem adalah laju perubahan energi matahari
menjadi bentuk senyawa-senyawa organik yang dapat digunakan sebagai bahan pangan (Odum,
1996 :54).
Daftar Pustaka
https://rezamuhammadazhar.wordpress.com/2010/06/02/materi-budidaya-laut-tugas/
Mayunar, 1995, BUDIDAYA IKAN LAUT DALAM KERAMBA JARING APUNG SERTA
PROSPEKNYA, Oseana, Volume XX, Nomor 2, 1995 : 1 – 12.
AHMAD, T. et al. 1991. Operasional pembesaran ikan kerapu dalam keramba jaring apung.
Balai Penelitian Perikanan Budidaya Pantai Maros, Badan Litbang Pertanian : 59 pp.
GUNARSO, W. 1985. Tingkah laku ikan dalam hubungannya dengan alat, metode dan taktik
penangkapan. Fakultas Perikanan IPB : 150 pp.
WARDOJO, S.T.H. 1975. Pengelolaan kwalitas air. Proyek Peningkatan Mutu Perguruan
Tinggi, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Bogor : 80 pp.
BIROWO, S. dan H. UKTOLSEJA 1976. Sifat-sifat oseanografis perairan panai Indonesia.
Makalah pada Simposium Pendekatan Ekologis untuk Pengelolaan Daerah Pesisir.
Pertemuan II Bogor, tanggal 29 – 31 Maret 1976 : 24 pp.

Effendi. H. 2003. Telaah Kualitas Air bagi Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan Perairan.
Penerbit Kanisius, Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai