تغاس حديث

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH

SEJARAH PERADABAN ISLAM DI JAWA


Di Susun Untuk Memenuhi Tugas Individu
Mata Kuliah : sejarah peradaban Islam di jawa
Dosen Pengampu: Inayatul khasanah

Oleh: Hesti ratna kuntari IAT 3 (1831090)

INSTITUT AGAMA ISLAM NAHDLATUL ULAMA KEBUMEN


Fakultas Usuludin Syariah Dakwah
Jln Tentara Pelajar No. 20
2019/2020

[Type text]
Kata Pengantar
Alhamdulillahirabbil Alamin, Atas Berkat Rahmat Allah Yang Maha
Kuasa Yang Telah Mencurahkan Rahmat Dan Pertolongan Kepada Setiap
Hambanya, Sehingga Penyusunan Makalah Ini Dapat Selesai Tepat Waktu,
Shalawat Serta Salam Senantiasa Tercurahkan Kepada Baginda Nabi Agung
Muhammad Saw. Yang Kita Nantikan Syafaat Nya Nanti Di Yaumil Akhir.
Melalui Makalah Yang Berjudul “Sejarah Peradaban Islam di Jawa”
Penulis Sekaligus Penyusun Berharap Makalah Ini Dapat Memberikan Maanfaat
Sepenuhnya Untuk Rekan-Rekan Yang Membacanya Terima Kasih.

Kebumen 09 Oktober 2019


Penyusun

Hesti ratna kuntari

[Type text]
Bab I

PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG MASALAH

Nabi muhammad saw mencontohkan kepada umatnya untuk berkehidupan yang baik,
salah satunya yaitu dengan memuliakan tetangga, tamu, dan juga untuk bertutur kata yang
baik,, seperti yang sudah banyak muslim ketahui bahwa menghormati sesama, memuliakan
nya dan juga bertutur kata yang baik adalah pancaran dan bukti nyata dari akhlak yang baik,
dan akhlak yang baik ini merupakan bentuk kemuliaan seorang muslim.

Rumusan masalah

a. Hadits- hadits apa saja yang menjelaskan tentang anjuran memuliakan tetangga, dan
tamu
b. Maksud dan penjelasan masing- masing hadits berdasarkan pendapat para ulama.
c. Adab bertamu yang baik
d. Hadits tentang bertutur kata yang baik/ diam

[Type text]
BAB II
PEMBAHASAN

‫من كا ن يومن باهلل و اليو م آ آل خر فال يو د جا ر ه و من كا ن‬: ‫قا ل ر سو ل هللا صاي عليه و سلم‬: ‫حد يث أ بي هر ير ة‬
‫ىو من با هللا و ال يو ا آل خر فلىكر م ضىوفة و من كا ن يو من با هللا وا يو ا خر فل يكل جبرا أو ليصمث‬
(‫ با ب من كا ن يو من باهلل وايو م أخر فال يو د جا ره‬31: ‫كثا ب األد ب‬78: ‫)اخر جه الرجا ر في‬
Abu hurairah berkata Rosullulloh saw bersabda :
“ barang siapa beriman kepada allah dan hari akhir jangan menyakiti tetangganya, barang
siapa beriman kepada allah dan hari akhir muliakanlah tamunya. Dan barang siapa beriman
kepada allah dan hari akhir berkatalah yang baik atau diam.
( H R bukhari muslim)
Kitab al - lu lu wal marjan , mutiara hadits shahih dan muslim. Edisi penyempurnaan.
‫بسم هللا الر حمن الر حيم‬
‫ من كا ن‬: ‫ سمعث أد نا ي و أبصرث عبن ي حين ثكلم النبي صلي هللا عليه و السلم فقل‬: ‫حديث أ بي شريح العد و ي قل‬
‫ وم جا ْز ثه يا‬: ‫ ومن كان يو من باهلل واليو م اآل خر فليكرم ضيفه جاء ز ثه قل‬. ‫يو من باهلل وا اليو م ا آل خر فايكرم ج ره‬
‫ فم كا ن ورا ء د لك فهو صدقه عليه و من كا ن يو من باهلل وا ليو م‬,‫ يو م و اليلة وا لضيا فه ثال ثة أ يا م‬:‫ قال‬, ‫ر سو هللا‬
‫اآل خر فليقل خير ا أو ليصمث‬
(‫ با ب من كا ن يو من باهلل وايو م أخر فال يو د جا ره‬31: ‫كثا ب األد ب‬78: ‫)اخر جه الرجا ر في‬
Abu syuraih al adawi berkata,” kedua telingaku mendengar dan kedua mataku melihat ketika
rosululloh bersabda : barang siapa beriman kepada allah dan hari akhir muliakanlah
tetangganya. Dan barang siapa beriman kepada allah dan hari akhir muliakanllah tamunya
dan masa istimewanya.
Para sahabat bertanya,” seperti apa masa istimewanya wahai rosulluloh ?
Beliau menjawab, satu hari satu malam. Bertamu itu tiga gari adapun setelahnya, maka itu
sedekah(kebaikan baginya). Barang siapa beriman kepada allah dan hari akhir berkatalah
yang baik atau diam.(H R bukhari muslim).
3

HAK -HAK SEORANG TAMU


3
Berkaitan dengan tetangga para ulama mengatakan “ jika tetangga itu muslim sekaligus kerabat maka ia
memiliki tiga hak.
Diantara bentuk memuliakan tamu ialah menyambutnya dengan baik dan menjamunyakewajiban menerima
dan menjamu tamu adalah sehari semalam sedangkan selebihnya hukumnya sunah
(imam nawawi syarah hadits arbain . kitab al lu lu wal marjan hal.89)

[Type text]
Menurut para ulama seorang tamu memiliki beberapa hak yaitu,
A hak terhadap kerabat muslim.
Jika tetangga itu muslim sekaligus kerabat, maka iya memiliki tiga hak yaitu hak
ketetanggaan, hak keislaman dan hak kekerabatan. Seperti yang di jelaskan dalam hadist
berikut :
‫من سر ه أن يمرله في عمره و يوسع له في ل ز قه فليثتق هللا وا ليصل رحمه‬
“barang siapa yang ingin di panjangkan umurnya dan di luaskan rezekinya maka hendaklah ia
bertaqwa kepada Allah, dan hendaklah la menyambung tali kekerabatan.(silaturrahmi)
(H R bukhari dan muslim hadits dengan tambahan ini disisi Ahmad al hakim dengan sanad
jayyid).
Ada yang bertanya kepada rosululloh saw “siapakah manusia yang paling mulia? Nabi saw
menjawab:
‫أ ثقا هم هللا و أصلهم لر حمه وا مر هم با لمعرو ف و أنها هم عن المنكر‬
Orang yang paling bertaqwa kepada allah swt , dan yang paling banyak menyambung
kekerabatannya, serta orang yang paling banyak memerintahkan kebaikan(ma’ruf ) dan
mecegah kemungkaran
( H R Ahmad dan tabrani dengan sanad hasan).
B HAK TERHADAP MUSLIM YANG BUKAN KERABAT
Disini seorang memiliki dua hak, yaitu hak ketetanggaan dan keislaman.
Nabi saw bersabda
‫ما ز ال جبر يل يو صيني با لجا ر حثي طننث أ نه سيو رثه‬
“malaikat jibril senantiasa memberiku nasehat dalam hubungan dengan tetangga,
sampai aku mengira bahwa ia,””tetangga” akan mewarisinya.(tetangga lain)
(H R Bukhari muslim, kitab tazkiyatun nafs vol III hal 621: 2006)

C HAK KETETANGGAAN ( NON muslim)


[Type text]
Mujahid berkata,” aku pernah bersama abdulloh bin umar sedangkan pembantunya
menguliti seekor kambing, beliau berkata. Anak, jika engkau telah selesai menguliti kambing
itu maka pertama kali bagikanlah kepada tetangga kita yang Yahudi itu. Sampai abdulloh bin
umar mengatakan hadits itu berulang kali, sehingga pembantunya berkata. Berapa kali
engkau mengatakan hal ini tuan?
abdulloh bin umar berkata “ sesungguhnya rosululloh saw. senantiasa berwasiat
kepada kami”dalam hal bertetangga, hingga kami khawatir bahwa ia akan
mewarisinya.(H R abu dawud dan tirmidzi “hasan gharib”)
(tazkiyatun nafs vol III hal 623.2006)
Dalam keterangan lain, Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam juga bersabda, “Tidak ada
seorang hamba mukminpun yang memuliakan seorang tamu ikhlas karena Allah Yang Maha
Dermawan, kecuali Allah akan memperhatikannya sekalipun dia berada di antara
kerumunan orang. Seandainya tamu yang datang termasuk ahli surga dan pemilik rumah
ahli neraka, maka Allah Ta’ala menjadikan pemilik rumah tersebut termasuk ahli surga
karena telah memuliakan tamunya.” (baca: Manfaat Senyum Dalam Islam; Hak Muslim
Terhadap Muslim Lainnya).
1. ADAB dan ETIKA BERTAMU YANG BAIK

Sebaliknya, seorang yang bertamu juga harus senantiasa memperlihatkan akhlak yang
baik, sehingga orang yang menerimanya merasa senang melayaninya. Adapun etika bertamu
yang harus diperhatikan antara lain:
a) Masuk ke rumah orang lain atau tempat perjamuan, harus memberi salam, dan atau
memberi hormat menurut adat dan tata cara masing-masing masyarakat.
b) Masuk ke dalam rumah melalui pintu depan, dan diperjamuan melalui pintu gerbang
yang sengaja disediakan untuk jalan masuk bagi tamu.
c) Ikut berpartisipasi dalam acara yang diadakan dalam suatu perjamuan, selama kegiatan
itu tidak bertentangan dengan ajaran Islam.
d) Duduk setelah dipersilahkan, kecuali di rumah sahabat karib atau keluarga sendiri.
e) Duduk dengan sopan.

[Type text]
2. Adab Bertetangga

Istilah tetangga mempunyai pengertian yang luas, mencakup tetangga yang dekat
maupun jauh. Tetangga merupakan orang-orang yang terdekat  yang umumnya merekalah
orang pertama yang mengetahui jika kita ditimpa musibah dan paling dekat untuk dimintai
pertolongan di kala kita kesulitan. Oleh karena itu, hubungan dengan tetangga harus
senantiasa diperbaiki. Saling kunjung mengunjungi antara tetangga merupakan perbuatan
terpuji, karena hal itu akan melahirkan kasih sayang antara satu dengan yang lainnya.
Tetangga memiliki tingkatan, sebagiannya lebih tinggi dari sebagian yang lainnya,
bertambah dan berkurang sesuai dengan kedekatan dan kejauhannya, kekerabatan, agama dan
ketakwaannya serta yang sejenisnya. Adapun batasannya masih diperselisihkan para ulama,
di antara pendapat mereka adalah:       
a) Batasan tetangga yang mu’tabar adalah 40 rumah dari semua arah.
b) Sepuluh rumah dari semua arah.
c) Orang yang mendengar azan adalah tetangga
d) Tetangga adalah yang menempel dan bersebelahan saja.
e) Batasannya adalah mereka yang disatukan oleh satu masjid. 
Pendapat yang lebih kuat, insya Allah batasannya kembali kepada adat yang berlaku.
Apa yang menurut adat adalah tetangga maka itulah tetangga. Dengan demikian jelaslah
tetangga rumah adalah bentuk yang paling jelas dari hakikat tetangga, akan tetapi pengertian
tetangga tidak hanya terbatas pada hal itu saja bahkan lebih luas lagi. Karena dianggap
tetangga juga tetangga di pertokoan, pasar, lahan pertanian, tempat belajar dan tempat-tempat
yang memungkinkan terjadinya ketetanggaan. Demikian juga teman perjalanan karena
mereka saling bertetanggaan baik tempat atau badan dan setiap mereka memiliki kewajiban
menunaikan hak tetangganya.
Berbuat baik kepada tetangga dapat dilakukan dengan berbagai cara, misalnya dengan
memberikan pertolongan, memberikan pinjaman jika ia membutuhkan, menengok jika ia
sakit, melayat jika ada yang meninggal, dan lain-lain. Selain itu, sebagai tetangga kita juga
harus senantiasa melindungi mereka dari gangguan dan bahaya, memberinya rasa tenang.

[Type text]
Menurut Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah,Memuliakan
(tetangga) dalam hadits yang telah disebutkan di atas bersifat mutlak (mencangkup segala
bentuk pemuliaan). Maka (perlu) dikembalikan kepada ‘urf (adat kebiasaan yang berlaku di
masyarakat). Terkadang pemuliaan terwujud dengan cara mengunjungi tetangga,
mengucapkan salam dan bertamu kepada mereka, bisa jadi dengan cara memberinya hadiah-
hadiah.

3.   Berkata yang Baik atau Diam


Kalimat “barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir”, maksudnya
adalah barang siapa beriman dengan keimanan yang sempurna, yang (keimanan nya itu)
menyelamatkan nya dari adzab Allah dan membawanya mendapatkan ridha Allah, “maka
hendaklah ia berkata baik atau diam” karena orang yang beriman kepada Allah dengan
sebenar-benarnya tentu dia takut kepada ancaman-Nya, mengharapkan pahala-Nya,
bersungguh-sungguh melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan-Nya. Yang
terpenting dari semua itu ialah mengendalikan gerak-gerik seluruh anggota badannya karena
kelak dia akan dimintai tanggung jawab atas perbuatan semua anggota badannya.
Menjaga lisan bisa dilakukan dengan 2 cara, yaitu dengan berkata baik atau kalau
tidak mampu maka diam. Dengan demikian diam kedudukannya lebih rendah dari pada
berkata baik, namun masih lebih baik dibandingkan dengan berkata yang tidak baik. Berkata
baik terkait dengan 3 hal, seperti tersebut dalam surat An-Nisa': 114, yaitu perintah
bershodaqoh, perintah kepada yang makruf atau berkata yang membawa perbaikan pada
manusia. Perkataan yang di luar ketiga hal tersebut bukan termasuk kebaikan, namun hanya
sesuatu yang mubah atau bahkan suatu kejelekan. Pada menjaga lisan ada isyarat menjaga
seluruh anggota badan yang lain, karena menjaga lisan adalah yang paling berat.[4]
Sesungguhnya lidah adalah pintu semua kebaikan dan keburukan. Oleh karena itu,
hendaknya seorang mukmin menutup (menjaga) lidahnya sebagaimana (menjaga) emas dan
peraknya. Rasulullah bersabda: “Tidak selamat seseorang dari dosa hingga ia menyimpan
lidahnya”. Untuk menjadi orang yang baik, manusia dituntut untuk tahu bagaimana
menggunakan lidahnya, sehingga dia berkata pada tempatnya dan diam pada tempatnya, tidak
mengumpat orang lain, tidak mengadu domba mereka, tidak merendahkan mereka dengan
ucapan, tidak memperolok mereka, tidak mengatakan sesuatu yang buruk kepada orang lain,
dan lain sebagainya. Imam Ali as berkata: “... Dan terhinalah seseorang yang lidahnya
4
http://muslimah.or.id/akhlak-dan-nasehat/bicara-baik-atau-diam.html  Diakses pada tanggal 30 september 2019

[Type text]
menguasai dirinya”.[5] Oleh sebab itulah sehingga Rasulullah memerintahkan untuk berkata
baik, dan jika tidak mampu mengucapkan yang baik maka diam merupakan pilihan terbaik.
Imam An-Nawawi rahimahullah menyebutkan dalam Syarah Arbain, bahwa Imam
Syafi’i rahimahullah mengatakan, “Jika seseorang hendak berbicara maka hendaklah dia
berpikir terlebih dahulu. Jika dia merasa bahwa ucapan tersebut tidak merugikannya, silakan
diucapkan. Jika dia merasa ucapan tersebut ada mudharatnya atau ia ragu, maka ditahan
(jangan bicara).”
Diriwayatkan oleh Bukhari dalam kitab Shahih-nya, hadits no.10 dari Abdullah bin
Umar Ra  bahwa Nabi Saw bersabda:
‫ْال ُم ْسلِ ُم َم ْن َسلِ َم ْال ُم ْسلِ ُمونَ ِم ْن لِ َسانِ ِه َويَ ِد ِه‬

“Seorang muslim adalah seseorang yang orang muslim lainnya selamat dari ganguan lisan
dan tangannya.”
Hadits di atas juga diriwayatkan oleh Muslim, no. 64, dengan lafal:

‫ي ْال ُم ْسلِ ِم ْينَ خَ ْي ًر قَا َل َم ْن َسلِ َم ْال ُم ْسلِ ُمونَ ِم ْن لِ َسانِ ِه َويَ ِد ِه‬
ِّ َ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم أ‬
َ ِ ‫إِ َّن َر ُجالً َسأ َ َل َرسُو َل هَّللا‬

“Ada seorang laki-laki yang bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
‘Siapakah orang muslim yang paling baik?’ Beliau menjawab, ‘Seseorang yang orang-orang
muslim yang lain selamat dari gangguan lisan dan tangannya.’”
Bahagia dan celakanya seseorang terletak pada ujung lidahnya sebab jika seseorang
membiasakan lidahnya pada hal-hal yang baik seperti senantiasa beramar ma’ruf nahi
mungkar, mendamaikan orang yang berselisih, maka perbuatan tersebut akan menjadi bagian
yang tak terlepas dari dirinya. Oleh sebab itu rasulullah memerintahkan salah satu dari dua
hal berikut jika tidak mampu lagi memberikan pertolongan kepada orang lain, maka cukuplah
dengan menbicarakan yang baik atau diam saja.[6]
Hadis-Hadis yang telah dijelaskan di atas menyebutkan tiga di antara sekian banyak
ciri dan sekaligus konsekuensi dari pengakuan keimanan seseorang kepada Allah swt dan hari
akhir. Ketiga ciri yang dimaksudkan adalah memuliakan tamu, menghormati tetangga, dan
berbicara yang baik atau diam. Meskipun keimanan kepada Allah dan hari akhirat merupakan

5
Khalil al Musawi, Bagaimana Menjadi Orang Bijaksana, PT Lentera Basritama, Jakarta, 1998, h. 153-154

6
St.Kuraedah, Hadits Tarbawy, Stain Kendari, 2008, h. 96

[Type text]
perbuatan yang bersifat abstrak, namun keimanan tidak berhenti sebatas pengakuan, tetapi
harus diaplikasikan dalam bentuk-bentuk nyata. Hadis di atas hanya menyebutkan tiga
indikator yang menggambarkan sikap seorang yang beriman, dan tidak berarti bahwa segala
indikator keberimanan seseorang sudah tercakup dalam hadis tersebut.
Demikian pula, ciri-ciri orang beriman yang disebutkan dalam hadis di atas tidaklah
berarti bahwa orang yang tidak memenuhi hal itu diklaim sebagai orang yang keluar dari
keimanan, sehingga orang yang tidak memuliakan tamu dan tetangga, serta tidak berkata
yang baik dianggap tidak beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Maksud hadis di atas bahwa
ketiga sifat yang disebutkan dalam hadis termasuk aspek pelengkap keimanan kepada Allah
dan hari akhir-Nya. Ketiga sifat tersebut di atas jika diwujudkan dengan baik, mempunyai arti
sangat besar dalam kehidupan sosial.
Ciri orang beriman yang disebutkan dalam hadis di atas, adakalanya terkait dengan
hak-hak Allah swt, yaitu melaksanakan kewajiban-kewajiban dan meninggalkan larangan-
larangan, seperti diam atau berkata baik, dan adakalanya terkait dengan hak-hak hamba-Nya,
seperti tidak menyakiti tetangga dan memuliakan tamu.

[Type text]
Kesimpulan
Hadist tentang memuliakan tamu, dan tetangga serta berkata baik atau diam
terdapat dalam kitab al lu lu in wal marjan “mutiara hadist shahih dan muslim”
Kitab tazkiyatun nafs vol III Hal 621.623 2006/
Begitu banyak tata cara bertamu dan tuntunan bagaimana cara untuk memuliakan
tamu dengan baik, selain terdapat di beberapa hadits juga di jelaskan dalam al qur’an surat an
nisa ayat 26 dan juga ad dzarriyat ayat 24-27.
Dimana kita di tuntut untuk mengkajinya dan menerapkannya di dalam kehidupan
bertetangga dan juga di lingkungan masyarakat. Demi terciptanya kerukunan antara tetangga
dan umat beragama, juga hubungan terhadap sesama manusia.

[Type text]
Daftar pustaka

Baqi muhammad fuad abdul : hadist shahih bukhari muslim :Ummul qura cetakan IV
:jumadis tsaniyah mei 2013
Hawwa said Kitab tazjuyatun nafs vol III JUNI 2006
@muslim or.id
Khalil al Musawi, Bagaimana Menjadi Orang Bijaksana, PT Lentera Basritama, Jakarta,
1998, h. 153-154
St.Kuraedah, Hadits Tarbawy, Stain Kendari, 2008, h. 96
http://muslimah.or.id/akhlak-dan-nasehat/bicara-baik-atau-diam.html Diakses pada tanggal
30 september 2019

[Type text]
[Type text]
[Type text]
[Type text]
[Type text]
[Type text]
7

[Type text]
[Type text]
[ CITATION ima13 \l 1057 ]

[Type text]
[Type text]
/

[Type text]
! '

[Type text]
01

[Type text]
#

!
9

[Type text]

Anda mungkin juga menyukai